Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tetanus neonatorum merupakan penyebab kematian paling sering
terjadi akibat penanganan tali pusat tidak bersih.1 Tetanus neonatorum
terjadi pada neonatus (bayi berusia 0-28 hari) yang disebabkan oleh bakteri
Clostridum tetani. Spora Clostridium tetani masuk melalui pintu masuk
satu-satunya ke tubuh bayi baru lahir, yaitu tali pusat. Peristiwa tersebut
dapat terjadi pada saat pemotongan tali pusat ketika bayi lahir maupun saat
perawatannya sebelum puput (lepas tali pusat).2
Di negara-negara berkembang angka kejadian tetanus neonatorum
85%, dengan mortalitas akibat tetanus neonatorum akan mendekati 100%
terutama kasus dengan masa inkubasi pendek.2 Menurut laporan kerja WHO
pada bulan April 1994, dari 8,1 juta kematian bayi di dunia, sekitar 48%
adalah kematian neonatal. Dari seluruh kematian neonatal, sekitar 42%
kematian neonatal disebabkan oleh infeksi tetanus neonatorum. Sedangkan
angka kejadian tetanus neonatorum di Indonesia, pada tahun 1997 terdapat
570 kasus, meninggal 106 dengan CFR (Case Fatality Rate)18,6%.2
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia menurut SDKI tahun 2007
adalah 34 kematian per 1000 kelahiran hidup, dan kematian yang tertinggi
terjadi pada periode neonatal. Angka kematian neonatal di Indonesia adalah
19 per 1000 kelahiran hidup, dan Tetanus Neonatorum (TN) merupakan
salah satu penyebab utamanya, sehingga tetanus merupakan penyakit yang
masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia.1

1
BAB II
KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : An. F
Jenis kelamin : Laki-Laki
Usia : 21 hari
Tanggal lahir : 16 Februari 2019
Agama : Hindu
Alamat : Tumbang runjan
Tanggal masuk rumah sakit : 9 Maret 2019

II. Anamnesa

 Kiriman dari : IGD


 Dengan Diagnosis : Tetanus neonatorum ( di status suspek
pneumonia )
 Keluhan utama ( anamnesis kurang lengkap menjuru ke tetanus
neonatorum dan pneumonia )
Pasien datang diantar kedua orang tuanya ke UGD bayi dengan keluhan
utama batuk 3 hari. Batuk muncul sejak bayi lahir, tidak diberikan obat batuk,
batuk berdahak dan sulit di keluarkan, darah tidak ada, kemudian ibu pasien
mengeluhkan bayi demam kurang lebih 2 hari, tidak di berikan obat saat
demam tidak ada dikeluhkan mimisan, gusi berdarah, tidak terdapat bintik
merah di kaki, tangan, atau keluar cairan dari telinga, hidung, menggigil,
berkeringat, tidak ada riwayat berpergian kesuatu daerah, badan dan mata
tidak tampak kuning.
Tidak adanya mual dan muntah, bengkak di kedua tangan dan kaki tidak
ada, bengkak di mata dan wajah tidak ada, sesak nafas ada, terdapat retraksi
pada bayi. Ibu pasien juga mengeluhkan anak minum ASI maupun susu

2
formula hanya sedikit, untuk buang air besar ada ampas dengan frekuensi ½
gelas aqua dan buang air kecil sedikit sehari satu kalo ganti popok.
.
 Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada

 Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada keluarga yang menderita batuk dan demam, tidak ada riwayat
batuk berkepanjangan (-), tidak ada riwayat asma dan alergi , tidak ada
keluarga yang menderita penyakit keganasan ataupun penyakit lainnya.

 Riwayat sosial, ekonomi, dan lingkungan


Pasien tinggal di rumah dengan beranggotakan 3 orang. Pasien merupakan
anak tunggal. Ayah dan ibu pasien bekerja swasta. Rumah terbuat dari beton,
terdiri dari kamar tidur 1 buah dan 1 dapur. Ventilasi dan jendela sering
dibuka, sumber air berasal dari air PDAM, lingkungan di sekitar rumah tidak
padat dan rumah berjarak > 1 m dari rumah tetangga. Kondisi ekonomi
keluarga menengah.

 Riwayat Antenatal
Rutin periksa ke bidan setiap bulan 1x ,ibu juga tidak mengkonsumsi obat-
obatan, alkohol, rokok dan jamu. Riwayat penyakit selama kehamilan:
Diabetes Mellitus (-), hipertensi (-), anemia (-), sesak (-).

 Riwayat lahir
Pasien dilahirkan cukup bulan secara spontan dirumah dibantu oleh dukun
lahir langsung menangis kuat (-), gerak aktif (-), sianosis (-) tali pusat segar
(+), lilitan tali pusat (-), tidak ada penyulit saat kehamilan (+), tidak ada
kelainan yang ditemukan saat pasien lahir. Berat badan bayi saat lahir 3.000
gram, untuk panjang badan 47 cm dan lingkar kepala 32 cm.

 Riwayat perkembangan :

3
- Motorik kasar:
Tiarap :-
Merangkak :-
Duduk :-
Berdiri :-
Berjalan :-
Kesan : -
- Motorik Halus : -
- Bahasa dan verbal : -
- Sosial : -
Kesan: -
 Riwayat Pertumbuhan
Usia = 21 hari
BB sekarang = 3000 gram
PB sekarang = 47 cm
LD sekarang = 30 cm

4
Status Gizi = apakah di buat status gizi anaknya ??
Menurut CDC :

WFA : 23/29 X 100% = 79% (80% - 100%)


Kurang
HFA : 127/134 X 100% = 94% (90%-110%)
Normal
WFH : 23/23 X 100% = 100% (90%-110%)
Status Gizi Normal

 Riwayat imunisasi :
Jenis Vaksin Jumlah pemberian

5
BCG -

DPT -

POLIO -

HEPATITIS B -

CAMPAK -

Kesan : Imunisasi tidak lengkap

 Riwayat Makanan :
Pada usia 0 – 21 hari pasien diberikan ASI dan susu formula setiap 2-3 jam/hari.

III. Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum : Tampak lemas, menggigil (-), Tampak Nyeri
 Kesadaran : compos mentis (E4M6V5)
 Tanda Vital
o Nadi : 176x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup.
o Laju Nafas : 64x/menit, pernafasan torakoabdominal
o Suhu : 37,5 oC
 Status Generalis
Kepala
Bentuk dan ukuran : Normocephali , deformitas (-) , ubun-ubun belum
menutup.
Lingkar Kepala : 32 cm
Rambut dan Kulit Kepala : Warna hitam, distribusi rambut merata , kelebatan
rambut sedang, tidak mudah di cabut dan tidak mudah patah.
- Mata
Palpebra : Edema -/-
Konjungtiva : Anemis +/+
- Wajah
Simetris

6
Edema (-)

- Hidung
Bentuk : normal, simetris , septum deviasi (-)
Sekret : -/-
Pernapasan cuping hidung : -/-
Sklera : Ikterik -/-
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor, reflex cahaya +/+
Air mata : +/+
Mata cekung : -/-

- Telinga
Meatus Akustikus Eksternus : +/+
Sekret : -/-
Serumen : -/-

- Mulut
Bentuk dan ukuran : normal
Mukosa oral dan bibir : kering
Warna gusi normal : merah muda
Oral kandidiasis (-)
Lesi (-)

- Bibir
Simetris
Sianosis (-)
Mukosa tampak jering
Tampak pucat/sianosis
Lesi (-)

7
- Leher
Bentuk : Simetris
Pembesaran KGB : Tidak teraba membesar
Kelenjar tiroid : Tidak teraba membesar.

- Faring
Dinding Faring : Tidak hiperemis
Ukuran Tonsil : T0-T0

Toraks
- Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-).
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga ke 5 garis mid klavikula.
Perkusi : Redup.
- Paru-paru
Inspeksi : bentuk dada simetris, retraksi (+)
Auskultasi : vesikuler +/+ , ronkhi -/-, wheezing -/-, stridor (-)
Palpasi : massa (-),gerakan nafas teraba simetris
Perkusi : sonor di kedua lapang paru.

Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : supel, turgor lambat balik, hepatosplenomegali (-),
splenomegali(-)
Perkusi : timpani di semua kuadaran abdomen
Auskultasi : bising usus 4-5x / menit pada seluruh region.

Punggung : Deformitas (-), massa (-).


Ekstremitas
Ekstremitas bawah : Akral hangat +/+, oedem -/- , CRT < 2 detik.

8
Ekstremitas atas : Akral hangat +/+, oedem -/- , CRT < 2 detik.

IV. Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan darah lengkap (09/03/2019)

Pemeriksaan Nilai
Hb 17,1 g/dL
MCV 95,7 fl
MCH 33,5 pg
MCHC 35,0 g/dL
Ht 48,9%
Eritrosit 5,11 x 10^6/uL
Leukosit 13,01 x 10^3/uL
Trombosit 315 x 10^/uL
GDS 130 mg/dL
Tabel 1. Pemeriksaan Darah Lengkap 09/03/2019

V. Resume
Pasien datang diantar kedua orang tuanya ke UGD bayi dengan keluhan
utama batuk 3 hari. Batuk muncul sejak bayi lahir, tidak diberikan obat batuk,
batuk berdahak dan sulit di keluarkan, darah tidak ada, kemudian ibu pasien
mengeluhkan bayi demam kurang lebih 2 hari, tidak di berikan obat saat
demam tidak ada dikeluhkan mimisan, gusi berdarah, tidak terdapat bintik
merah di kaki, tangan, atau keluar cairan dari telinga, hidung, menggigil,
berkeringa, tidak ada riwayat berpergian kesuatu daerah, badan dan mata tidak
tampak kuning.
Tidak adanya mual dan muntah, bengkak di kedua tangan dan kaki tidak
ada, bengkak di mata dan wajah tidak ada, sesak nafas tidak ada, terdapat
retraksi pada bayi. Ibu pasien juga mengeluhkan anak minum susu formula
hanya sedikit, untuk buang air besar ada ampas dengan frekuensi ½ gelas aqua
dan buang air kecil sedikit sehari satu kalo ganti popok.

VII. Diagnosa Kerja


- Susp. penumonia aspirasi

9
VIII. Penatalaksanaan
Medikamentosa
 IVFD D10% 12 tpm
 Inj. Cefotaxime 3 x 100 mg/IV
 Inj. Gentamisin 2 x 7,5 mg
 Inj. Methyl Prednisolon 2 x 3,25 mg
 Diet sementara tunda

IX. Saran Pemeriksaan Penunjang


 Darah Lengkap (sudah dilakukan)
 Foto Ronsen Thorax

X. Prognosis
 Ad vitam : ad bonam
 Ad functionam : ad bonam
 Ad sanationam : ad bonam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA ( tidak ada penjelasan tentang pneumonia )

2.1. Definisi
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus pada neonatus yang
disebabkan oleh spora Clostridium tetani yang masuk melalui luka tali
pusat, karena perawatan atau tindakan yang tidak bersih.3 Tetanus
neonatorum (TN) terjadi pada masa neonatal (<28 hari) dimana masa
inkubasi dari tetanus neonatorum adalah berkisar 3-28 hari.1

2.2. Epidemiologi
Menurut laporan kerja WHO pada bulan April 2004, dari 8,1 juta
kematian bayi di dunia, sekitar 48% adalah kematian neonatal. Dari seluruh
kematian neonatal, sekitar 42% kematian neonatal disebabkan oleh infeksi
tetanus neonatorum.2 Angka kematian tetanus neonatorum masih sangat
tinggi. Di Indonesia, berdasarkan SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga)
tahun 2001, penyebab kematian neonatal dini adalah asfiksia neonatorum
(33,6%) dan tetanus neonatorum (4,2%).4
Berdasarkan hasil survey yang dilaksanakan oleh WHO di 15 negara
di Asia, Timur Tengah, dan Afrika pada tahun 1978 – 1982 menekankan
bahwa penyakit tetanus neonatorum banyak dijumpai di daerah pedesaan
negara berkembang termasuk Indonesia yang memiliki angka proporsi
kematian neonatal akibat penyakit tetanus neonatorum mencapai 51%. Pada
kasus tetanus neonatorum yang tidak dirawat, hampir dapat dipastikan CFR
(Case Fatality Rate) akan mendekati 100%, terutama pada kasus yang
mempunyai masa inkubasi kurang dari 7 hari.2
WHO menunjukkan bahwa kematian akibat TN di negara-negara
berkembang adalah 135 kali lebih tinggi daripada negara maju. Pada tahun
2006, 2007, dan 2008 jumlah kasus TN di Indonesia menempati urutan
kedua di ASEAN dengan jumlah penderita lebih dari 100 orang.5

11
2.3. Etiologi
Penyakit tetanus pada neonatus disebabkan oleh Clostridium tetani
yang masuk melalui luka tali pusat, karena perawatan atau tindakan yang
tidak memenuhi syarat kebersihan, misalnya pemotongan tali pusat dengan
bambu atau gunting tidak steril, atau setelah tali pusat dipotong dibubuhi
abu, tanah, minyak, daun-daunan dan sebagainya.3
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, lurus, berukuran
panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron, bersifat gram positif dan tidak
berkapsul, membentuk spora, bersifat obligat anaerob dan mudah tumbuh
pada nutrien media yang biasa. Kuman ini membentuk eksotoksin yang
disebut tetanospasmin, suatu neurotoksin yang kuat. Clostridium tetani
berkembang cepat pada jaringan yang rusak dan dalam suansana anaerob
basil tetanus berubah dari bentuk spora ke dalam bentuk vegetatif. Pada
keadaan itu, Clostridium tetani mengeluarkan eksotoksin yang
menyebabkan penyakit tetanus.2

2.4. Faktor Risiko


2.4.1. Pemeriksaan Antenatal
Pemeriksaan antenatal adalah pemeriksaan kehamilan yang
dilakukan untuk memeriksa keadaan ibu hamil dan janin secara
berkala, yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap penyimpangan
yang ditemukan. Tujuannya adalah untuk menjaga agar ibu hamil
dapat melalui masa kehamilan, persalinan, dan nifas dengan baik serta
menghasilkan bayi yang sehat.2
Dari rangkaian pemeriksaan antenatal, pemberian imunisasi TT
(Tetanus Toksoid) adalah hal yang paling penting dilakukan untuk
mencegah infeksi tetanus neonatorum.2 Menurut Kemenkes RI,
tetanus neonatorum terjadi dikarenakan ibu hamil tidak memperoleh
imunisasi TT, sehingga bayi yang dilahirkan rentan terhadap infeksi
tetanus neonatorum.5

12
Pemberian imunisasi tetanus toksoid pada ibu hamil
dimaksudkan agar bayi yang dilahirkan sudah mempunyai kekebalan
terhadap toksin tetanus yang didapatkan secara pasif sewaktu masih
berada dalam kandungan. Dua dosis TT sekurangnya dengan jarak
waktu satu bulan serta sekurangnya sebulan menjelang persalinan,
hampir 100% efektif mencegah tetanus neonatorum. Jadi tidak adanya
imunisasi tetanus pada ibu merupakan faktor risiko yang berarti untuk
tetanus pada neonatus yang akhirnya dapat menyebabkan kematian.2
2.4.2. Penolong Persalinan
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia
masih rendah, yaitu sekitar 50%, selebihnya ditolong oleh dukun bayi
baik yang terlatih maupun yang tidak terlatih. Hal ini menyebabkan
masih banyak ditemukan persalinan yang tiba-tiba mengalami
komplikasi dan memerlukan penanganan yang professional.2
Kasus TN berada banyak terjadi pada ibu hamil yang
memeriksakan kehamilannya ke bidan/perawat. Namun di sisi lain
pertolongan persalinan pada kasus TN justru terjadi lebih banyak pada
ibu hamil yang persalinannya ditolong secara tradisional. Bila seorang
ibu hamil yang tinggal di perkotaan atau daerah dengan akses
pelayanan kesehatan cukup baik, pemeriksaan kehamilan dilakukan
oleh tenaga kesehatan. Akan tetapi pada menjelang persalinan, ibu
hamil kembali ke daerah asal yang mungkin akses pelayanan
kesehatannya sulit sehingga persalinan ditolong secara tradisional. Hal
lainnya adalah adanya asumsi bahwa persalinan yang ditolong secara
tradisional oleh dukun/paraji lebih mendapat perhatian hingga masa
nifas.1
2.4.3. Tempat Persalinan
Persalinan di rumah memiliki risiko tetanus neonatorum yang
tinggi, tetapi persalinan di rumah sakit tidak menjamin perlindungan
untuk tidak terjadinya tetanus neonatorum, karena lamanya tinggal di

13
rumah sakit sangatlah pendek. Sampai di rumah, biasanya perawatan
ibu dan bayi diserahkan kepada dukun beranak.2
Meskipun persalinan itu berlangsung di pusat pelayanan
kesehatan atau klinik bersalin, tidak jarang sekembalinya ke rumah,
para wanita yang baru melahirkan itu menjalani perawatan secara
tradisional. Di daerah pedesaan terlebih yang jauh dari pusat
pelayanan kesehatan ibukota kecamatan, proses persalinan selalu
berlangsung di rumah.2
2.4.4. Alat Pemotong Tali Pusat
Penggunaan sembilu untuk memotong tali pusat sampai kini
masih dilakukan oleh beberapa dukun bayi terutama di pedesaan. Tali
pusat bayi yang baru lahir dipotong dengan cara mengikat bagian
pangkal dan kira-kira tiga jari di bagian atasnya, kemudian dipotong
bagian tengahnya dengan sembilu yang terbuat dari irisan kulit bambu
yang diambil dari rangka atap rumah bagian depan.2
Penelitian di Desa Kmantan Kebalai Kabupaten Kerinci
menunjukkan bahwa masih terdapat penggunaan sembilu untuk
memotong tali pusat bayi baru lahir, sembilu diambil dari bambu yang
merupakan alat penghembus api milik keluarga yang sedang
digunakan di dapur. Sembilu tidak perlu dicuci karena dianggap sudah
bersih. Meskipun pemotong tali pusat telah dilakukan dengan gunting
atau benang, para dukun masih sering tidak membersihkan alat-alat itu
lebih dahulu, sama halnya saat mereka menggunakan sembilu.2
2.4.5. Perawatan Tali Pusat
Tiga segi perawatan pusar dan tali pusat mempunyai pengaruh
terhadap risiko tetanus neonatorum, yaitu: alat pemotong tali pusat,
praktek menyimpul, atau membuka simpulnya, serta bahan yang
diurapkan atau dioleskan pada pangkal potongan tali pusat yang
belum kering.2
Merawat tali pusat berarti menjaga agar luka tersebut tetap
bersih, tidak terkena kencing, kotoran bayi, atau tanah. Bila kotor,

14
luka tali pusat dicuci dengan air bersih yang mengalir dan segera
keringkan dengan kain/kasa bersih dan kering. Tidak boleh
membubuhkan atau mengoleskan ramuan, abu dapur, dan sebagainya
pada luka tali pusat sebab dapat menyebabkan infeksi dan tetanus
yang dapat berakhir dengan kematian neonatal. Infeksi tali pusat
merupakan faktor risiko untuk terjadinya tetanus neonatorum.2
Ramuan tradisional umumnya masih banyak digunakan oleh
masyarakat pedesaan, terutama oleh dukun bayi atau keluarga. Telah
didapati bahwa 60% dukun bayi memakai ramuan seperti kunyit,
kapur, dan abu sebagai bahan perawatan tali pusat. Alasan
digunakannya obat/bahan tradisional pada masyarakat yaitu karena
dianggap manjur dan cocok, sudah merupakan kebiasaan keluarga,
mudah didapat, murah, dan masyarakat lebih yakin terhadap khasiat
obat atau bahan tradisional tersebut.2
Penggunaan abu dapur bekas pembakaran kayu di tungku untuk
melumuri bekas potongan tali pusat agar luka cepat kering, sering
mengakibatkan pusar bayi menjadi bengkak dan berwarna merah. Jika
tidak dirawat dengan baik, keadaan ini dapat mengakibatkan
kematian. Adanya kematian bayi akibat serangan tetanus neonatorum
banyak terjadi karena praktek perawatan luka dengan cara seperti di
atas.2

2.5. Patofisiologi
Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani, bakteri ini bersifat obligat
anaerob, terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan
ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani
telah diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri
tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada ujung potongan
umbilikus pada neonatus. Jika organisme ini berada pada lingkungan
anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak
dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin

15
adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab terhadap manifestasi
klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek klinis.6
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin
ke susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction,
kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2)
Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. 2 Pada
mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction
lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara
transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian
ditranspor secara retrograd menuju sistem saraf pusat.6
Kandungan zinc-dependent metalloprotease yang terdapat pada toksin
tetanus akan merusak synaptobrevin yang dibutuhkan dalam proses
transportasi neurotransmitter. Hal ini menyebabkan pelepasan
neurotransmitter inhibitori terutama Gamma Amino Butric Acid (GABA)
tidak dapat dilakukan, seperti pada gambar 1. Dihambatnya transport GABA
ini menyebabkan refleks antagonis otot skeletal menjadi hilang, akibatnya
terjadi kontraksi otot tidak terkontrol dan spasme dari otot-otot skeletal.8

Gambar 1. Mekanisme C. tetani dalam menghambat neurotransmitter


(available on https://bio.libretexts.org)

16
2.6. Gejala Klinis
Menurut Depkes RI, gejala klinis tetanus neonatorum adalah: bayi
yang semula bisa menetek dengan baik tiba-tiba tidak bisa menetek, mulut
bayi mencucu seperti mulut ikan, sering kejang terutama karena rangsangan
sentuhan, rangsangan sinar dan rangsangan suara, wajahnya mungkin
kebiruan, kadang-kadang disertai demam.3 Tetanus memiliki gambaran
klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot, dan ketidakstabilan
otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih dahulu pada
kelompok otot dengan jalur neuronal pendek. Peningkatan tonus otot-otot
trunkal mengakibatkan opistotonus.2
Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus
fisik, visual, auditori, atau emosional. Spasme laring juga dapat terjadi,
mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest.
Gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian paling sering.
Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan
membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi.2.
Ablett mengklasifikasikan derajat manifestasi klinis Tetanus sebagai
berikut (tabel 1) 8 :
Tabel 1. Klasifikasi Ablett untuk derajat manifestasi klinis Tetanus 8

Grade 1 : Ringan
Trismus ringan, spastisitas menyeluruh, tidak ada yang membahayakan
respirasi, tidak ada spasme, tidak ada disfagia.
Grade 2 : Sedang
Trismus sedang, rigiditas, spasme singkat, disfagia ringan, keterlibatan
respirasi sedang, frekuensi pernapasan >30.
Grade 3 : Berat
Trismus berat, rigiditas menyeluruh, spasme memanjang, disfagia berat,
serangan apneu, denyut nadi >120, frekuensi pernapasan >40.
Grade 4 : Sangat Berat
Grade 3 dengan ketidakstabilan otonom berat.

17
2.7. Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis yang didapatkan pada tetanus neonatorum antara lain 9,10 :
- Persalinan yang kurang higienis terutama yang ditolong oleh tenaga
nonmedis yang tidak terlatih.
- Perawatan tali pusat yang tidak higienis, pemberian dan penambahan
suatu zat pada tali pusat.
- Bayi sadar, sering mengalami kekakuan (spasme), terutama bila
terangsang atau tersentuh.
- Bayi sulit minum.

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain 9 :
- Bayi sadar, terjadi spasme otot berulang.
- Trismus (mulut sukar dibuka). Dapat dilakukan dengan pemeriksaan
uji spatula seperti pada gambar 2. Dilakukan dengan menyentuh
dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut
dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter
(menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah.

Gambar 2. Trismus dengan uji spatula


(scribd.com)

18
Pemeriksaan fisik lain yang dapat ditemukan yaitu :
- Mulut mencucu seperti mulut ikan (carper mouth).
- Perut teraba keras (perut papan).
- Opistotonus (ada sela antara punggung bayi dengan alas, saat bayi
ditidurkan).
- Periksa tali pusat, apakah ada infeksi, berbau busuk, atau aplikasi
dengan bahan tidak steril.
- Anggota gerak spastik (boxing position).

Gambar 3. Gejala klinis tetanus neonatorum berupa trismus dan


spasme otot. (https://flowvella.com)

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis antara lain 7,9 :
- Pemeriksaan darah
Nilai hitung leukosit dapat tinggi. Pemeriksaan elektrolit dan glukosa
biasanya didapatkan normal.
- Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal akan menunjukkan hasil yang normal
tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot.
- Mikrobiologi
Kultur C. tetani sangat sulit (hanya 30% positif), dan hasil kultur positif
mendukung diagnosis, bukan konfirmasi.

19
2.8. Komplikasi
Laringospasme yaitu spasme dari laring dan/atau otot pernapasan
menyebabkan gangguan ventilasi. Hal ini merupakan penyebab utama
kematian pada kasus tetanus neonatorum. Fraktur dari tulang punggung atau
tulang panjang akibat kontraksi otot berlebihan yang terus menerus.
Terutama pada neonatus, di mana pembentukan dan kepadatan tulang masih
belum sempurna.11
Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saaraf otonom
yang dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi yang pada akhirnya dapat
menyebabkan henti jantung (cardiac arrest). Sepsis akibat infeksi
nosokomial sering kali terjadi.11

2.9. Diagnosis Banding


Diagnosis banding pada tetanus neonatorum ditampilkan dala tabel 2
di bawah ini.12
Tabel 2. Dignosis banding pada tetanus neonatorum 12

Kemungkinan Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan


diagnosis penunjang
Hipoglikemia - Timbul saat lahir - Kejang, letargi, Kadar glukosa
sampai dengan hari tremor, atau tidak <45 g/dL
ke-3 sadar
- Riwayat ibu - Bayi kecil
diabetes - Bayi besar

Curiga meningitis - Timbul pada hari - Kejang atau tidak Sepsis


ke-2 atau lebih sadar
- Ubun-ubun
membonjol
- Letargi

2.10. Tatalaksana

20
Prinsip penatalaksanaan tetanus neonatorum meliputi terapi suportif
selama tubuh berusaha memetabolisme neurotoxin, mencegah
bertambahnya toxin yang mencapai CNS dan berusaha membunuh kuman
yang masih dalam bentuk vegetatif untuk mencegah produksi tetanospasmin
yang berkelanjutan. Perawatan di NICU mutlak diperlukan.
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang
sumber tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3)
perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan
dengan jaringan telah habis dimetabolisme.13
1) Membuang sumber tetanospasmin
Eliminasi kuman dalam bentuk vegetatif dilakukan dengan
membersihkan situs luka; debridement merupakan salah satu tindakan
yang dapat dilakukan untuk membersihkan tali pusat, diharapkan
dengan tindakan tersebut, suasana anaerobik yang dibutuhkan kuman
untuk germinasi dapat dihilangkan. Pemberian antibiotik diperlukan
untuk membunuh kuman bukan untuk netralisasi toksin.13
- Lini 1: Metronidazol 30 mg/kg /hari dengan interval setiap enam jam
(oral/parenteral) selama 7-10 hari; atau
- Lini 2: Penisilin procain 100.000 U/kg IV dosis tunggal selama 7-10
hari.11

Gambar 4. Sediaan Metronidazole

2) Menetralisasi toksin yang tidak terikat

21
Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan pemberian Human
Tetanus Immunoglobulin (HTIG). Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU
intramuskular dosis tunggal. Makin cepat pengobatan diberikan, makin
efektif.7 Pada suatu penelitian ditemukan bahwa dosis sebesar 500 unit
memiliki efektifitas yang sama dengan pemberian dosis yang lebih
besar.10 Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap
imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya;
trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat
merupakan kontraindikasi pemberian intra muskular.11
Jika sediaan HTIG tidak tersedia, pemberian anti-tetanus serum (ATS)
atau sediaan TAT (Tetanus Antitoxin) seperti pada gambar 5 dapat
menjadi alternatif. ATS dapat diberikan dengan dosis 5.000 unit.4
Sedangkan untuk TAT biasanya diberikan dengan dosis 50.000 –
100.000 U, dengan pemberian setengah dosis secara intramuskular dan
setengah dosis lagi secara intravena. Dosis minimal yang dapat
digunakan adalah 10.000 U.13
Selain di atas, dapat juga digunakan sediaan tetagam seperti yang
ditampilkan pada gambar 6. Tetagam berisikan Human Tetanus
Antiglobulin. Sediaan yang tersedia biasanya adalah 250 IU dalam 1
ml. Dosis yang digunakan yaitu 250 IU, diberikan secara
intramuskular.11,13

Gambar 5. Sediaan TAT

22
Gambar 6. Sediaan Tetagam

3) Perawatan suportif
a. Jalan Napas
Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang dipresipitasi
stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan
tenang. Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi.7
Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme
laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu
respirasi. Sekresi bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan
suctioning yang sering. Kematian akibat spasme laring mendadak,
paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi tidak adekuat sering
terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.11
Bila frekuensi napas kurang dari 30 kali/menit dan tidak tersedia
fasilitas tunjangan napas dengan ventilator, obat dihentikan
meskipun bayi masih mengalami spasme. Bila bayi mengalami henti
napas selama spasme atau sianosis sentral setelah spasme, berikan
oksigen, bila belum bernapas lakukan resusitasi, bila tidak berhasil
dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas NICU.13
b. Terapi Cairan
Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta
analisis gas darah penting sebagai penuntun terapi.7 Diberikan cairan
intravena (IVFD) dengan larutan glukosa 5% : NaCl fisiologis – 4:1
selama 48-72 jam sesuai dengan kebutuhan cairan, sedangkan

23
selanjutnya IVFD hanya untuk memasukkan obat.2 Berikut adalah
kebutuhan cairan neonatus perharinya ditampilkan dalam tabel 3.14
Tabel 3. Kebutuhan cairan neonatus 14

BBLR Aterm
Umur (hari)
(ml/kgBB/hari) (ml/kgBB/hari)
1 80 60
2 100 80
3 120 100
4 140 120
5 160 140
6 180 160
7 180 180

c. Penanganan Kejang
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa
menekan pusat kortikal. Berikan diazepam 10 mg/kg/hari secara IV
dalam 24 jam atau dengan bolus IV setiap 3-6 jam (dengan dosis 0,1-
0,2 mg/kg per kali pemberian), maksimum 40 mg/kg/hari. Setelah 5-
7 hari, dosis diazepam dapat dikurangi secara bertahap 5-10 mg/hari
dan diberikan melalui rute orogastrik.11 Sediaannya dapat dilihat
pada gambar 7.

Gambar 7. Sediaan Diazepam

24
2.11. Pencegahan
Pencegahan terdiri atas 3 aspek yaitu: imunisasi, perawatan luka, dan
pemberian ATS/HTIG profilaksis. Pencegahan sangat penting, mengingat
perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu
dilakukan 15 :
- Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah
dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh
karena itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan
harus selalu ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui
yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi
imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut:
o Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS kontak dengan
pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang bersangkutan
hamil.
o Dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama.
o Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau
setiap saat pada kehamilan berikutnya.
o Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat
diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan
kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya.
Total 5 dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan
seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 - 4
dosis DPT pada waktu anak-anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat
kehamilan pertama, ini akan memberi perlindungan terhadap seluruh bayi
yang akan dilahirkan.
- Perawatan luka mencegah timbulnya jaringan anaerob. Untuk
pencegahan tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran
persalinan yang tidak aman, dan perawatan tali pusat. Pada perawatan tali
pusat, penting diperhatikan adalah jangan membungkus puntung tali
pusat/mengoleskan cairan atau bahan apapun ke dalam puntung tali

25
pusat, mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tapi
tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab.
- Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (<6 jam)
dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.
- Pelaksanaan Pelayanan Neonatal Esensial, terutama pemotongan tali
pusat dengan alat steril.

2.12. Prognosis
Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan
dari inokulasi spora hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali
munculnya gejala hingga spasme tetanik yang pertama. Terdapat sistem
skoring untuk menilai prognosis tetanus seperti Dakar score pada tabel 4
dan Phillips score pada tabel 5. Kedua sistem skoring ini memasukkan
kriteria periode inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi
neurologis dan kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi
pasien.13
Pada sistem Dakar score, apabila skor 0-1, derajat keparahan ringan
dengan mortalitas 10%; skor 2-3, derajat keparahan sedang dengan
mortalitas 10-20%; skor 4, derajat keparahan berat dengan mortalitas 20-
40%; dan skor 5-6, derajat keparahan sangat berat.13
Tabel 4. Dakar Score 13

Faktor Prognosis Score 1 Score 2

Periode inkubasi <7 hari ≥7 hari atau tidak diketahui


Periode onset <2 hari ≥2 hari
Tempat masuk Umbilikus, luka bakar, Selain dari yang telah
uterus, fraktur terbuka, disebut atau tidak diketahui
luka operasi, injeksi IM
Spasme Ada Tidak ada
Demam >38,40C <38,40C
Takikardi >150x/menit <150x/menit

26
Untuk sistem Phillips score, apabila didapatkan skor <9, derajat
keparahan ringan; 9-18, derajat keparahan sedang; dan >18, derajat
keparahan berat.13
Tabel 5. Phillips Score 13

Faktor Skor
Masa inkubasi
 <48 jam 5
 2-5 hari 4
 5-10 hari 3
2
 10-14 hari
1
 >14 hari
Lokasi Infeksi
 Organ dalam dan umbilikus 5
 Kepala, leher, dan badan 4
 Perifer proksimal 3
2
 Perifer distal
1
 Tidak diketahui
Status Proteksi
 Tidak ada 10
 Mungkin ada atau imunisasi pada ibu bagi pasien- 8
pasien neonatus
4
 Terlindungi >10 tahun
2
 Terlindungi <10 tahun
0
 Proteksi lengkap
Faktor Komplikasi
 Cedera atau penyakit yang mengancam nyawa 10
 Cedera berat atau penyakit yang tidak segera
8
mengancam nyawa
 Cedera atau penyakit yang tidak mengancam 4
nyawa
 Cedera atau penyakit minor 2
 ASA grade I 0

Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada
neonatus. Di fasilitas yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai 25%.
Pemulihan tetanus cenderung lambat namun sering sembuh sempurna,

27
beberapa pasien mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang menetap
dan gangguan keseimbangan, berbicara, dan memori. Dukungan psikologis
sebaiknya tidak dilupakan.13

2.13. Tindak Lanjut


Bayi perlu dirawat di ruang yang tenang dan gelap untuk mengurangi
rangsangan yang tidak perlu. Lanjutkan pemberian cairan IV dengan dosis
rumatan sesuai dengan kebutuhannya. Pasang pipa lambung bila belum
terpasang dan beri ASI perah di antara periode spasme. Mulai dengan
jumlah setengah kebutuhan per hari dan dinaikkan secara perlahan hingga
mencapai kebutuhan penuh dalam dua hari. Nilai kemampuan minum dua
kali sehari dan dianjurkan untuk menyusu ASI secepatnya begitu terlihat
bayi siap untuk mengisap. Bila sudah tidak terjadi spasme selama dua hari,
bayi dapat minum baik, dan tidak ada lagi masalah yang memerlukan
perawatan di rumah sakit, maka bayi dapat dipulangkan.14
Meskipun angka kematian tetanus neonatorum masih sangat tinggi
(50% atau lebih), tetapi kalau bayi bisa bertahan hidup tidak akan
mempunyai dampak penyakit di masa datang. Pemantauan tumbuh kembang
diperlukan terutama untuk asupan gizinya yang seimbang dan stimulasi
mental.14

28
BAB IV
DISKUSI KASUS
Dilaporkan seorang anak laki-laki An. F berusia 21 hari dengan berat
badan 3000 gram yang dirawat di ruang Perinatologi RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai diagnosis,
tatalaksana, prognosis, dan tindak lanjut dari kasus ini.

1.1 Diagnosis ( PEMBAHASANNYA BELUM, YG INI CONTOH KAKA


TINGKAT AJA)
A. Henoch Schonlein Purpura
Karakteristik dari penyakit HSP meliputi vaskulitis pada kulit, sendi saluran
cerna, dan ginjal.1 HSP lebih sering ditemukan pada anak-anak berusia 5-15
tahun, jarang ditemukan pada orang dewasa dan bayi. Ruam di kulit menjadi
penanda awal pasien dengan HSP. Keterlibatan organ lain dapat muncul
bersamaan dengan ruam, atau bermanifestasi setelah beberapa hari atau beberapa
minggu. Banyak kasus HSP didahului infeksi saluran pernafasan akut, oleh karena
itu HSP dapat didahului beberapa gejala sistemik seperti demam dan malaise.
Sebuah studi menyebutkan nyeri perut atau arthritis muncul setelah 1-14 hari
ruam muncul. Namun, penelitian Calvino et al menyatakan bahwa 30-43%
mengalami gejala pada sendi dan perut 1-14 hari sebelum ruam muncul. Hal ini
dapat mengaburkan diagnosis sehingga terjadi tindakan-tindakan yang tidak perlu
seperti laparotomy atau orchidectomy pada pasien yang mengalami nyeri perut
atau nyeri skrotal.2,3
Ruam khas HSP adalah palpable purpura yang distribusinya simetris pada
ekstensor, tungkai bawah dan bokong. Beberapa kasus melibatkan lengan, wajah
dan telinga tetapi biasanya hanya sekitar batang tubuh. Purpura HSP dapat berupa
petechiae, ekimosis besar, dan dapat didahului dengan urtikaria atau eritematosa,
makulopapular lesi. Lesi bulosa yang parah jarang terjadi pada anak-anak, hanya
sekitar 2% dari pasien.7,8
Kejadian keterlibatan gastrointestinal dilaporkan umumnya antara 50-75%
dari kasus dengan presentasi yang paling umum adalah nyeri perut kolik. Gejala

29
lain termasuk muntah dan perdarahan gastrointestinal bermanifestasi sebagai
darah samar pada tinja atau tampak secara makroskopik. Perdarahan
gastrointestinal masif jarang ditemukan, hanya dilaporkan pada sekitar 2% dari
pasien. Gejala tersebut merupakan hasil dari edema dan perdarahan dinding usus
akibat vaskulitis. Intususepsi juga merupakan komplikasi yang jarang terjadi
namun penting untuk ditegakkan segera karena keterlambatan manajemen dapat
mengakibatkan usus iskemik. Enteropati, pankreatitis, dan hidrops kandung
empedu dapat juga terjadi. Harus diingat bahwa edema sekunder akibat
hipoalbuminemia mungkin terjadi karena sindrom nefrotik atau kehilangan
protein pada enteropati atau kombinasi keduanya.7,8
Arthritis atau athralgia terjadi pada 15-25% kasus namun hingga 82%
pasien mengalami gejala pada persendian selama penyakit berlangsung. Arthritis
biasanya mengenai persendian besar pada anggota gerak bagian bawah termasuk
lutut, pergelangan kaki, tumit, dan panggul. Namun tidak menutup kemungkinan
anggota gerak atas juga terlibat. Pada sebuah review retrospektif 100 pasien, 72%
pasien mengalami gejala pada sendi tumit dan pergelangan kaki, 50% pasien
mengalami gejala pada lutut, 26% pasien mengalami gejala pada tangan dan
pergelangan tangan, dan 10% pada sendi siku. Gejala yang terjadi meliputi nyeri
sendi, bengkak dan penurunan range of movement. Meskipun keterlibatan sendi
tampak memperberat penyakit, namun hal ini tidak menyebabkan kerusakan
permanen.7,8 4
Pasien datang diantar kedua orang tuanya ke IGD dengan keluhan utama
demam 5 hari SMRS. Demam dirasakan naik turun, demam turun bila diberikan
obat penurun panas lalu kembali naik bila efek obat habis, saat demam tidak ada
dikeluhkan mimisan, gusi berdarah, tidak terdapat bintik merah di kaki, tangan,
atau keluar cairan dari telinga, hidung, menggigil, berkeringat, ataupun mencret,
tidak ada riwayat berpergian kesuatu daerah, badan dan mata tidak tampak
kuning. Pasien juga mengeluhkan adanya mual dan muntah, muntah 5x/hari ,
muntah kadang-kadang timbul mendadak, muntah berupa cair dan makanan,
Setiap kali pasien muntah sebanyak 1/2 gelas aqua, muntah tidak ada darah,
muntah tidak berwarna kehitaman, tidak berwarna hijau dan muntah tidak

30
menyemprot. Pasien juga mengeluhkan nyeri perut, nyeri dirasakan di seluruh
perut, nyeri perut hilang timbul dan timbulnya tidak menentu, jika di tekan perut
terasa nyeri, nyeri perut tidak timbul sehabis makan ataupun melakukan aktifitas,
rasa nyeri menyebar ke seluruh perut, rasa nyeri tidak terasa seperti terbakar dan
nyeri tidak menjalar. Tidak ada riwayat trauma pada perut.
Kemudian, Pasien mengeluhkan adanya bengkak di kedua tangan dan kaki 5
hari sebelum masuk rumah sakit. Bengkak pertama kali muncul di kedua kaki
kemudian timbul di kedua tangan. Bengkak muncul tiba-tiba dan selalu terlihat
bengkak, tidak ada bengkak di pagi hari, tidak ada bengkak di mata dan wajah,
tidak ada sesak nafas, dan tidak cepat lelah jika beraktivitas biasa.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya peningkatan suhu tubuh pasien
yaitu 38,5 oC, lalu ditemukan adanya purpura pada pada kedua ekstremitas bawah
dan atas, punggung, dan bokong pasien, ditemukan juga adanya nyeri perut pada
pasien, dan ditemukan adanya pembengkakan sendi pada kedua ekstremitas atas
dan bawah.
Pemeriksaan penunjang pada kasus HSP ditujukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding dan mendeteksi komplikasi penyakit HSP. Pemeriksaan
penunjang yang umum dilakukan antara lain:1,11
- Pemeriksaan kadar IgA dalam serum Pemeriksaan kadar IgA dalam
serum bukan merupakan pemeriksaan spesifik untuk HSP, namun adanya
peningkatan kadar IgA dapat mengarahkan diagnosis penyakit HSP dibanding tipe
vaskulitis lain. Kadar IgA serum yang meningkat dapat ditemui pada 25 – 50%
kasus HSP, namun besarnya peningkatan tidak sebanding dengan beratnya gejala
HSP.
- Pemeriksaan darah lengkap Pada HSP umumnya didapatkan kadar
trombosit yang meningkat. Kadar hemoglobin yang rendah mungkin ditemui jika
terjadi perdarahan saluran cerna atau hematuria berat akibat komplikasi HSP.
Leukositosis dijumpai pada kasus kasus HSP yang didasari oleh adanya infeksi
bakteri.
- Urinalisis Urinalisis dilakukan untuk mendeteksi adanya hematuria
ataupun proteinuria yang menjadi salah satu kriteria diagnosis untuk HSP.

31
- Pemeriksaan gangguan fungsi pembekuan darah Pemeriksaan seperti
PPT (Plasma Prothrombin Time), APTT (Activated Partial Thromboplastin
Time),dan CT (clotting time) dapat dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
purpura akibat gangguan pembekuan darah. Pada HSP umumnya ditemui fungsi
pembekuan darah yang normal.
- Pemeriksaan laju endap darah Laju endap darah merupakan pertanda non
spesifik dari adanya proses inflamasi. Pada 60% kasus HSP dapat ditemui laju
endap darah yang meningkat.
- Pemeriksaan kadar serum kreatinin (SC) dan kadar urea dalam darah
(Blood Urea Nitrogen / BUN) Kadar BUN-SC akan meningkat pada beberapa
kasus HSP dengan penurunan fungsi filtrasi glomerulus akibat adanya kerusakan
pembuluh darah ginjal.
- Pemeriksaan faktor XIII dalam plasma Pemeriksaan ini dapat dilakukan
pada kasus yang atipiikal. Aktivitas faktor XIII dalam plasma dilaporkan menurun
pada 70% pasien HSP, terutama pada pasien yang memiliki gejala gastrointestinal
yang berat. Kaneko et al (2004) mengatakan bahwa faktor XIII dapat menjadi
salah satu marker yang dapat membantu menegakkan diagnosis HSP, bahkan
sebelum onset purpura muncul. Namun studi lebih lanjut mengenai faktor XIII
masih diperlukan.
- Pemeriksaan antineutrofil cytoplasmic antibodies (ANCA) Pada HSP,
tidak ada peningkatan ANCA. Hal ini dapat membedakan HSP dengan
vasculitides tipe ANCA positif.
- Pemeriksaan darah samar Hasil positif dari Occult faecal blood test
mungkin menunjukkan adanya perdarahan saluran cerna terkait HSP.
Pemeriksaan imaging tidak diperlukan untuk diagnosis HSP, namun mungkin
perlu dilakukan pada kasus kasus HSP dengan kecurigaan komplikasi pada organ
lain seperti ginjal, saluran cerna dan otak. Pemeriksaan ultrasound (USG) berguna
sebagai skrining bila ditemui gejala nyeri perut yang hebat. USG dapat
mendeteksi adanya intususepsi atau perforasi usus. USG ginjal juga dapat melihat
adanya kelainan ginjal yang biasa ditemui pada kasus HNP yang berat. Endoskopi

32
digunakan untuk mengevaluasi perdarahan saluran cerna dan neuroimaging
digunakan bila ada kecurigaan keterlibatan serebral.1,11
Biopsi kulit, mukosa lambung atau ginjal dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis HSP. Temuan tipikal dari hasil biopsi jaringan tersebut berupa deposit
IgA yang menyebar, dan sering disertai dengan adanya IgG atau C3 dalam
mesangium dengan infiltrat selular. 1,11
Biopsi kulit, mukosa lambung atau ginjal dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis HSP. Temuan tipikal dari hasil biopsi jaringan tersebut berupa deposit
IgA yang menyebar, dan sering disertai dengan adanya IgG atau C3 dalam
mesangium dengan infiltrat selular. 1,11
 Pemeriksaan darah lengkap (06/05/2018)

Pemeriksaan Nilai
Hb 10,3 g/dL
MCV 84,9 fl
MCH 26.9 pg
MCHC 31.6 g/dL
Ht 29,7%
Eritrosit 4,92 x 10^6/uL
Leukosit 25.55 x 10^3/uL
Trombosit 295 x 10^/uL
GDS 79 mg/dL

 Pemeriksaan darah lengkap (09/05/2018)


Pemeriksaan Nilai
Hb 11,9 g/dL
MCV 85,2 fl
MCH 24.7 pg
MCHC 29.2 g/dL
Ht 30,4%
Eritrosit 5,21 x 10^6/uL
Leukosit 18.07 x 10^3/uL
Trombosit 471 x 10^/uL
Pada hasil pemeriksaan darah pada kasus ini ditemukan bahwa trombosit
pasien tidak mengalami penurunan dan mengalami peningkatan, ini merupakan
salah satu hasil pemeriksaan penunjang yang diharapkan ada untuk menegakkan
diagnosis pada pasien dengan HSP.

33
Anak – anak dibawah 17 tahun dengan palpable purpura dan keterlibatan
multisistem (gastrointestinal, ginjal dan sendi) tanpa adanya trombositopenia
mengarahkan diagnosis ke HSP. Diagnosis banding untuk HSP antara lain: 1,12
- Immunologic trombocytopenia purpura (ITP). Trombositopenia yang ditemui
pada ITP merupakan pembeda utama ITP dengan HSP dimana kadar trombosit
pada HSP normal atau meningkat.
- Erupsi Obat, Urtikaria dan Eritema Multiformis. Manifestasi kulit pada penyakit
tersebut dapat menyerupai lesi pada HSP. Namun pada HSP, predileksi lesi khas
predominan pada tungkai bawah dan harus disertai salah satu dari kriteria
diagnosis lainnya. Bila diagnosis masih diragukan, diagnosis HSP harus
dikonfirmasi dengan biopsi kulit atau ginjal. - Systemic Lupus Erythematosus
(SLE). Inflamasi vaskuler sekunder akibat SLE dapat menyerupai HSP.
Pemeriksaan antibodi DNA double stranded dan antinuklear dapat menyingkirkan
diagnosis SLE.
- Chron’s Disease. Pada Chron’s disease terjadi inflamasi pada usus dengan gejala
nyeri perut yang dapat menyerupai nyeri perut pada HSP. Namun pada Chron’s
disease ini tidak terdapat palpable purpura.
B. Sepsis
Sepsis merupakan suatu keadaan dimana infeksi dalam tubuh mencetuskan
kaskade inflamasi yang dikenal dengan istilah systemic inflammatory response
syndrome (SIRS). SIRS merupakan kaskade inflamasi yang terjadi karena sistem
imun tubuh host tidak dapat mengatasi infeksi. 2 Infeksi merupakan suatu keadaan
dimana ditemukan adanya mikroorganisme dan respons imun tetapi belum disertai
dengan adanya gejala klinis. Bila ditemukan gejala klinis maka digunakkan istilah
penyakit infeksi.4 Infeksi dapat berupa infeksi bakteri, riketsia, fungi, virus,
maupun protozoa. Infeksi dapat bersifat sistemik (bakteriemia, fungiemia, atau
viremia) maupun lokal (meningitis, pneumonia, atau pielonefritis).
Kriteria diagnosa sepsis ialah:
- Suhu inti tubuh > 38.5°C atau < 36.0°C
- Takikardia: denyut jantung rata-rata > 2 SD diatas denyut jantung normal
untuk umur tanpa stimulus eksternal, obat-obatan, atau stimulus nyeri

34
ATAU elevasi persisten denyut jantung tanpa sebab yang jelas selama 0.5
hingga 4 jam ATAU pada anak kurang dari 1 tahun terjadi bradikardia
persisten selama 0.5 jam dimana denyut jantung rata-rata < persentil ke-10
untuk usia tanpa adanya reflex vagal, penggunaan obat-obatan beta-
blocker, atau kelainan jantung kongenital
- Takipnue: laju pernapasan > 2 SD diatas laju pernapasan normal untuk
umur ATAU dibutuhkan bantuan ventilasi mekanis yang tidak
berhubungan dengan penyakit neuromuskular ataupun penggunaan
anastesi umum
- Hitung leukosit meningkat atau menurun: Hitung leukosit meningkat atau
menurun dari nilai normal untuk umur, bukan akibat dari penggunaan
kemoterapi ATAU netrofil batang > 10%

Pada kasus ini pasien datang diantar kedua orang tuanya ke IGD dengan
keluhan utama demam 5 hari SMRS. Demam dirasakan naik turun, demam turun
bila diberikan obat penurun panas lalu kembali naik bila efek obat habis, saat
demam tidak ada dikeluhkan mimisan, gusi berdarah, tidak terdapat bintik merah
di kaki, tangan, atau keluar cairan dari telinga, hidung, menggigil, berkeringat,
ataupun mencret, tidak ada riwayat berpergian kesuatu daerah, badan dan mata
tidak tampak kuning.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya demam dengan suhu 38,5ºC pada
pasien yang merupakan salah satu penanda adanya sepsis yang pada pasien ini.
 Pemeriksaan darah lengkap (06/05/2018)

Pemeriksaan Nilai
Hb 10,3 g/dL
MCV 84,9 fl
MCH 26.9 pg
MCHC 31.6 g/dL
Ht 29,7%
Eritrosit 4,92 x 10^6/uL
Leukosit 25.55 x 10^3/uL
Trombosit 295 x 10^/uL
GDS 79 mg/dL

35
 Pemeriksaan darah lengkap (09/05/2018)
Pemeriksaan Nilai
Hb 11,9 g/dL
MCV 85,2 fl
MCH 24.7 pg
MCHC 29.2 g/dL
Ht 30,4%
Eritrosit 5,21 x 10^6/uL
Leukosit 18.07 x 10^3/uL
Trombosit 471 x 10^/uL
Pada pemeriksaan darah kasus ini ditemukan adanya peningkatan jumlah
leukosit (leukositosis) diatas jumlah normal leukosit anak, ini merupakan salah
satu kriteria diagnosis dari sepsis.

1.2 Tatalaksana
A. Henoch Schonlein Purpura
HSP dapat membaik dengan sendirinya (self-limiting) pada 94% pasien.
Terapi yang diberikan merupakan terapi simtomatis. Tirah baring dan terapi
analgesik diberikan pada pasien dengan nyeri sendi akut dan nyeri perut.
Acetaminophen dapat menjadi pilihan pengobatan. Pemberian aspirin sebaiknya
dihindari. Non steroidal anti inflammatory (NSAID) sebaiknya dihindari terutama
pada pasien dengan keterlibatan ginjal dan saluran cerna. Cairan intravena dapat
diberikan pada pasien dengan nyeri abdomen hebat dan muntah. 1,12
Kortikosteroid oral diindikasikan pada pasien dengan rash yang berat,
edema, nyeri abdomen hebat tanpa mual muntah, dan keterlibatan ginjal, skrotum
serta testis. Prednison atau methylprednisolone dapat diberikan dengan dosis awal
1-2 mg/kgBB per hari selama satu hingga dua minggu. Selanjutnya, dosis
diturunkan secara bertahap menjadi 0,5 mg/kgBB/hari untuk satu minggu
selanjutnya. Steroid intravena dapat diberikan apabila pasien tidak toleran
terhadap steroid oral.11
Menurut beberapa studi, terapi steroid dapat meringankan gejala
gastrointestinal, mengurangi rekurensi HSP, dan mengurangi progresivitas

36
kerusakan ginjal. Steroid juga dapat mencegah komplikasi seperti perdarahan
gastrointestinal atau intususepsi.11
Pada kasus ini obat medika mentosa yang diberikan adalah Inj. Methyl
Prednisolon 3 x 25 mg, per-oral diberikan Ibuprofen syr 3x1 cth. Methyl
Predisolon diberikan sebagai terapi steroid untuk meringankan rash, nyeri
abdomen, skrotum serta testis pada kasus ini. Ibuprofen diberikan pada pasien
sebagai terapi simptomatik, ibuprofen termasuk dalam golongan NSAID tidak apa
apa diberikan karena pada pasien tidak menunjukan adanya tanda-tanda adanya
gangguan ginjal.
IDAI merekomendasikan pemberian antibiotika inisial setelah diagnosis
sepsis ditegakkan. Antibiotika yang dipilih harus mempunyai spektrum luas yang
bisa mengatasi bakteri gram positif dan bakteri gram negatif yang sering
menyebabkan sepsis. Antibiotika yang digunakan untuk tatalaksana sepsis pada
anak beserta dengan dosisnya dapat dilihat pada tabel berikut ini 10:

Tabel 4: Pengunaan Antibiotika pada Sepsis 10

Pada kasus ini obat medika mentosa yang diberikan adalah Inj. Cefotaxime
3 x 800mg/IV, cefotaxime adalah obat antibiotik golongan cephalosporine

37
generasi ketiga yang memiliki spektrum luas terhadap bakteri gram positif dan
negatif, pemberian cefotaxime pada kasus ini dimaksudkan untuk eradikasi
bakteri penyebab sepsis.
1.3 Prognosis
Sebagian besar kasus HSP dapat membaik dengan sendirinya, prognosis
umumnya baik dengan five-year survival rates sebesar 95%. Satu dari tiga pasien
mengalami relaps dengan durasi yang lebih singkat dan gejala yang lebih ringan,
umumnya dalam waktu 4 bulan dan mengenai organ yang sama. Prognosis pasien
berdasarkan pada keterlibatan organ ginjal, ketidakseimbangan imunoglobulin12
Beberapa faktor prognosis buruk pada pasien HSP antara lain: 12
 Sering relaps
 Kadar serum kreatinin yang lebih tinggi pada onset penyakit
 Proteinuria lebih dari 1 gram per hari
 Adanya hematuria saat diagnosis
 Hipertensi
 Membranoproliferaive glomerulonephritis
 Peningkatan konsentrasi IgA dengan penurunan konsentrasi IgM saat
diagnosis
 Kadar faktor XIII yang rendah
Tingkat mortalitas pada pasien dengan sepsis sekitar 10% tergantung dari letak
fokus infeksi, patogen penyebab infeksi, adanya MODS atau tidak, serta respons
imun host terhadap infeksi. Pasien dengan berat badan lahir rendah dan penyakit
kronis memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadi sepsis berat yang merupakan
salah satu penyebab kematian utama pada anak. 2 Angka kematian pada keadaan
syok septik berkisar antara 40-70% dan pada keadaan MODS meningkat 90-
100%.4 Durasi perawatan rata-rata untuk pasien dengan diagnosis sepsis ialah 31
hari untuk anak dan 53 hari untuk neonatus dan balita.2

Prognosis pada kasus :


 Ad vitam : ad bonam

38
Ad vitam pada pasien ini mengarah kepada baik, tetapi masih perlu
dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal, karena prognosis dari HSP bergantung
pada ada atau tidaknya keterlibatan organ ginjal. Pada pasien juga tidak
ditemukan adanya tanda-tanda syok septik dan MODS.
 Ad functionam : ad bonam
Ad functionam pada pasien ini mengarah kepada baik, karena tidak
ditemukan adanya kerusakan fungsi tubuh pada pasien.
 Ad sanationam : ad bonam
Ad sanationam pada pasien ini mengarah kebaik, tetapi perlu lagi dilakukan
pemeriksaan fungsi ginjal untuk memastikan penyakit pasien dapat sembuh
dengan baik.
1.4 Monitoring
Monitoring dan evaluasi yang dapat dilakukan pada pasien ini adalah:
- Monitoring dan evaluasi darah dan urine selama masa pengobatan untuk
mengetahui adanya kerusakan ginjal atau tidak.

BAB V
KESIMPULAN

39
Telah dilaporkan pasien laki-laki usia 9 tahun dengan keluhan utama demam
disertai nyeri perut dan mual muntah didiagnosis dengan Henoch Schonlein
Purpura (HSP) dan sepsis tanpa kultur.
Diagnosis HSP dicurigai karena adanya lesi yang khas berupa palpable
purpura dengan predileksi pada tungkai bawah, bokong dan punggung pasien,
yang disertai juga dengan adanya salah satu dari tanda seperti arthralgia/arthritis,
nyeri abdomen menyebar, keterlibatan ginjal berupa proteinuria dan/atau
hematuria. Diagnosis sepsis tanpa kultur dicurigai karena adanya dua tanda sepsis
yang ditemukan berupa suhu inti tubuh 38.5ºC dan hasil pemeriksaan darah
menunjukan adanya leukositosis pada pasien. Infeksi bakteri diduga merupakan
faktor pemicu terjadinya vaskulitis sistemik dengan manifestasi HSP.
Terapi yang diberikan pada pasien bersifat simtomatis berupa steroid
sebagai antiinflamasi untuk mengurangi gejala rash yang dialami pada HSP.
Terapi antibiotik diberikan atas indikasi infeksi bakteri yang menyebabkan adanya
sepsis. Prognosis pasien baik tanpa adanya keterlibatan ginjal dan tidak ada tanda-
tanda MODS ataupun tanda-tanda syok septik.
Monitoring dan evaluasi yang dapat dilakukan pada pasien ini adalah:
- Monitoring dan evaluasi darah dan urine selama masa pengobatan untuk
mengetahui adanya kerusakan ginjal atau tidak.

DAFTAR PUSTAKA

40
1. Hassan R, Alatas H, Latief A, Napitupulu PM, Pudjiadi A, dkk. Buku Kuliah
2 Ilmu Kesehatan Anak. Dalam : Tetanus Neonatorum. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 1985.
2. Rokhmah D dan Khoiri A. Perempuan Miskin dan Kejadian Tetanus
Neonatorum (TN). Prosiding Seminar Nasional Kesehatan. Jurusan
Kesehatan Masyarakat FKIK Unsoed. 2012
3. Wibowo T dan Anggraeni A. Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal
(MNTE) di Indonesia. Volume 1. Kementrian Kesehatan RI. 2012.
4. Dina RA. Gambaran Epidemiologi Kasus dan Kematian Tetanus Neonatorum
Di Kabupaten Serang Tahun 2005-2008. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. 2009
5. Ditjen Bina Gizi dan KIA. Eliminasi Tetanus Neonatorum (TN). Kemenrian
Kesehatan Republik Indonesia. 2004-2012.
6. Martha H Ropera, Jos H Vandelaerb, Fran Cois L Gassec. WHO Expanded
Programme on Immunization, Department of Immunization, Vaccines, and
Biologicals, Geneva, Switzerland; and UNICEF, Health Section, Programme
Division, New York, NY, USA. Seminar Maternal and Neonatal Tetanus.
2007
7. Hassel B. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of Using
Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. Toxins.
2013; 5 : 73-78.
8. Simanunjak P. Management of Pediatric Tetanus Infection. Medula, Volume
1, Nomor 4. Medical Student of Lampung University. 2013
9. Taher A. Buku Panduan Praktik Klinis. Dokter Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Ikatan Dokter Indonesia: Jakarta. 2014
10. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jilid II. 11 th ed. Jakarta : Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI. 2007.
11. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, dkk.
Pedoman Pelayanan Medis. Dalam : Tetanus Neonatorum. Ikatan Dokter
Indonesia. 2009.

41
12. Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, dan Usman A. Buku Ajar
Neonatologi Edisi I. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2014.
13. Laksmi NKS. Penatalaksaan Tetanus. Ikatan Apoteker Indonesia. CDK-222.
2014; 41(11): 823-827.
14. Simanjuntak P. Penatalaksanaan Tetanus Pada Pasien Anak. Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung. Medula. 2013; 1(4): 85-93.

42
LAMPIRAN
Follow up
Tanggal S O A P
7/5/18 Batuk (-), sesak KU : tampak lemah - Sepsis IVFD D5 1/2  15 tpm
Perawatan (-), demam (-), Kes : CM tanpa Inj. Cefotaxime
hari ke 2 Mual (-), Muntah Nadi :78x/menit, reguler kuat kultur 3x800mg
(-), nyeri perut(+) angkat, isi cukup - HSP Inj. MP 3x25 mg
Makan/minum Suhu: 37,50C PO:
(-), BAB/BAK (+) Respirasi: 20x/menit Ibuprofen syr 3x1 cth
Kep : CA -/-, SI -/-
Leh : > KGB -/-, > Tiroid (-)
Tho: simetris +/+, retraksi -/-
Paru : ves +/+, Rh-/-, Wh-/-
Cardio: S1-S2 tunggal,reguler,
murmur (-), gallop (-).
Abd: Datar, supel, BU (+)
8x/menit
Eks : AH, CRT < “, pembengkakan
sendi (+), Purpura (+/+)
8/5/18 Batuk (-), sesak KU : tampak lemah - Sepsis Pasang stopper
Perawatan (-), demam (-), Kes : CM tanpa Inj. Cefotaxime
hari ke 3 Mual (-), Muntah Nadi :78x/menit, reguler kuat kultur 3x800mg
(-), nyeri perut(+) angkat, isi cukup - HSP Inj. MP 3x25 mg
Makan/minum Suhu: 37,30C PO:
(+), BAB/BAK (+) Respirasi: 20x/menit Ibuprofen syr 3x1 cth
Kep : CA -/-, SI -/-
Leh : > KGB -/-, > Tiroid (-)
Tho: simetris +/+, retraksi -/-
Paru : ves +/+, Rh-/-, Wh-/-
Cardio: S1-S2 tunggal,reguler,
murmur (-), gallop (-).
Abd: Datar, supel, BU (+)
8x/menit
Eks : AH, CRT < “, pembengkakan
sendi (+), Purpura (+/+)

43
9/5/18 Batuk (-), sesak KU : tampak lemah - Sepsis Stopper (+)
Perawatan (-), demam (-), Kes : CM tanpa Inj. Cefotaxime
hari ke 4 Mual (-), Muntah Nadi :78x/menit, reguler kuat kultur 3x800mg
(-), nyeri perut(+) angkat, isi cukup - HSP Inj. MP 3x25 mg
Makan/minum Suhu: 36,80C PO:
(+), BAB/BAK (+) Respirasi: 20x/menit Ibuprofen syr 3x1 cth
Kep : CA -/-, SI -/-
Leh : > KGB -/-, > Tiroid (-)
Tho: simetris +/+, retraksi -/-
Paru : ves +/+, Rh-/-, Wh-/-
Cardio: S1-S2 tunggal,reguler,
murmur (-), gallop (-).
Abd: Datar, supel, BU (+)
8x/menit
Eks : AH, CRT < “, pembengkakan
sendi (+), Purpura (+/+) sudah
menurun.

44

Anda mungkin juga menyukai