“RESEP 4”
DOSEN PENGAMPU :
Dr. Eka Indra Setyawan, S.Farm., M.Sc., Apt.
KELOMPOK 1
GOLONGAN 1
IV. PERMASALAHAN
1. Dalam resep diminta untuk dibuat dalam bentuk sediaan kapsul dan tidak
diketahui ukuran cangkang kapsul yang digunakan.
2. Teofilin dan efedrinhidrochlorida memiliki perhitungan dosis yang
melebihi batas dosis maksimum (overdose).
3. Penambahan lactosum yang digunakan belum diketahui karena bobot
cangkang kapsul harus ditetapkan terlebih dahulu.
V. PENGATASAN
1. Dihitung bobot keseluruhan obat untuk satu kapsul, kemudian dicocokkan
cangkang kapsul yang mungkin digunakan sesuai dengan bobot yang telah
dihitung.
2. Dosis pada resep ini perlu dikonsultasikan pada dokter penulis resep untuk
menurunkan dosis pemakian.
3. Setalah ukuran cangkang kapsul telah ditentukan yaitu nomor 3 yang
dapat memasukan bahan obat sebanyak 200 mg, sedangkan bobot
campuran bahan obat tiap kapsul adalah 190 mg, maka perlu ditambahkan
10 mg lactosum tiap kapsul
XI. PENIMBANGAN
1. PERHITUNGAN
a. Teofilin : 75 mg x 10 = 750 mg
b. Efedrin : 10 mg x 10 = 100 mg
c. Vit B1 : 5 mg x 10 = 50 mg
d. Vit C : 75 mg x 10 = 750 mg
e. Total Bahan = 1650 mg/10 kapsul
= 165 mg/kapsul
Ukuran cangkang kapsul yang digunakan adalah cangkang kapsul
ukuran 3 yaitu 200 mg, maka:
f. Lactosa untuk menambah bobot = (200 mg – 165 mg) x 10
= 350 mg
2. TABEL PENIMBANGAN
NO NAMA BAHAN PENIMBANGAN PARAF
(Kondisional)
1. Teofilin 750 mg
3. Vitamin B1 50 mg
4. Vitamin C 750 mg
5. Lactosa 350 mg
X. PEMBAHASAN
Menurut Farmakope Indonesia IV, kapsul adalah sediaan padat yang terdiri
dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya
terbuat dari gelatin, tetapi dapat juga terbuat dari pati dan bahan lain yang sesuai
(Depkes RI, 1995). Pada resep No.4 diminta untuk membuat sediaan kapsul
sebanyak 10 buah. Resep tersebut ditujukan kepada anak Anon Anjasmara yang
berusia 7 tahun. Berdasarkan resep standar yang tercantum dalam Formularium
Indonesia hal.16, Capsulae Theophyllini Compositas dibuat dengan
mengkombinasikan Teofilin, Efedrin HCl, Vitamin B, dan Vitamin C.
Tujuan kombinasi bahan tersebut adalah diindikasikan untuk menyembuhkan
penyakit asma yang disebabkan oleh adanya gangguan pada saluran pernafasan,
dengan menambahkan Efedrin HCl sebagai simpatomimetikum (Depkes RI, 1966).
Sebelum peracikan resep, diperlukan skrining resep. Berdasarkan hasil skrining
resep No.4 belum memenuhi kelengkapan persyaratan administratif. Dikarenakan
pada resep tersebut tidak terdapat tanda tangan/paraf dokter penulis resep
(subscriptio). Kemudian, berdasarkan kesesuaian farmasetika, dokter telah
mencantumkan bentuk sediaan, dosis dan cara pemberian (signature) obat. Namun,
berdasarkan pertimbangan klinis kesesuaian dosis obat yang tertera pada resep
tersebut (Teofilin dan Efedrin HCl) berada di atas dosis maksimum (overdose)
untuk anak berusia 7 tahun, sehingga perlu dikonsultasikan kepada dokter penulis
resep, untuk menurunkan dosis teofilin dan efedrin agar tidak menimbulkan
toksisitas atau efek lainnya yang tidak diinginkan.
Sehingga dilakukan perubahan dosis bahan obat tersebut untuk pasien yang
berumur 7 tahun dengan menurunkan dosis teofilin yang pada awalnya diberikan
280 mg per sekali pemakaian, diturunkan menjadi 75 mg per sekali pemakaian.
Dengan pemberian dosis yang baru, teofilin telah berada di bawah dosis maksimum
untuk anak 7 tahun yaitu 75 mg untuk sekali pemakaian. Selain itu dosis untuk
sehari pemakaiannya juga tidak melebihi dosis maksimum untuk anak 7 tahun.
Sama halnya dengan teofilin, dosis efedrin juga diturunkan. Dosis awal yang tertera
pada resep yaitu 68 mg per sekali pemakaian diturunkan menjadi 5 mg. Sehingga
dengan penurunan dosis tersebut, efedrin telah berada di bawah dosis maksimum
untuk anak 7 tahun yaitu 5 mg untuk sekali pemakaian. Dosis untuk sehari
pemakaian juga telah berada di bawah dosis maksimum pemakaian untuk anak 7
tahun.
Permasalahan pada resep ini adalah tidak tercantum resep standar. Resep
standar (Formulae Officinalis) adalah resep yang tercantum dalam buku farmakope
atau buku lainnya dan merupakan standar (Syamsuni, 2005). Permasalahan lainnya
yaitu tidak terdapat bahan tambahan, sedangkan zat aktif rentan menempel pada
mortir. Maka dalam pembuatan resep ini perlu ditambahkan zat tambahan yang
sesuai, yaitu yang memiliki sifat inert, tidak merusak zat aktif. Sehingga dalam
peracikannya dipilih zat tambahan berupa saccharum lactis yang sesuai digunakan
sebagai zat tambahan untuk pembuatan sediaan oral (Anief, 1990).
Pada prinsipnya cara peracikan kapsul cangkang keras, terdiri dari beberapa
tahapan, yaitu diawali dengan pengecilan ukuran partikel dan pencampuran bahan.
Mortir terlebih dahulu dilapisi dengan saccharum lactis dengan cara menggerus
sedikit saccharum lactis ke dalam mortir untuk menutupi pori-pori pada mortir agar
zat aktif tidak menempel pada dinding mortir. Kemudian teofilin dan efedrin
dimasukkan ke dalam mortir dan digerus hingga homogen, serta ditambahkan
sedikit karmin (untuk melihat kehomogenitasannya) karena kedua zat tersebut
memiliki warna yang sama. Setelah homogen pada mortir tersebut ditambahkan
Vitamin B dan Vitamin C dan digerus homogen kemudian dipindahkan ke atas
kertas perkamen, dibagi menjadi 2 secara penimbangan, kemudian masing-masing
sediaan dibagi 5 secara visual sesuai dengan permintaan dalam resep.
Tahapan selanjutnya adalah pemilihan cangkang kapsul. Untuk menentukan
ukuran cangkang kapsul dapat menggunakan metode “Rule of Seven”. Metode ini
dilakukan dengan cara menimbang bobot keseluruhan campuran (serbuk). Setelah
mendapat bobot total serbuk kemudian dicari bobot rata-ratanya dengan cara
membagi sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Kemudian hasil rerata tersebut
dibagi 65 grain dan diperoleh hasilnya (dibulatkan keatas). Kemudian tentukan
cangkang kapsul menggunakan metode rule of seven dengan cara 7 dikurangi hasil
setelah dibagi 65 grain dan didapatkan ukuran cangkap kapsul yang tepat. Setelah
ukuran kapsul ditetapkan maka dilakukan pengisian kapsul (menggunakan metode
punching) yaitu dengan cara memasukkan setiap bagian serbuk ke dalam induk
kapsul. Kemudian kapsul dibersihkan, setelah kapsul dibersihkan kemudian
dimasukkan ke dalam plastik klip dan diberikan etiket berwarna putih, dan label.
Resep yang dibuat diindikasikan untuk meredakan gejala akibat penyempitan
saluran napas (bronkospasme), seperti mengi atau sesak napas. Penyakit yang bisa
menyebabkan timbulnya gejala tersebut adalah asma dan penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK). Dalam resep yang dibuat mengandung vitamin C, dimana vitamin
C dapat membantu mengurangi stress akibat tinggal di daerah dengan polusi udara
yang parah. Dengan membantu mengurangi stress itulah secara tidak langsung
vitamin C membantu daya tahun tubuh melawan penyakit asma. Selain itu, faktor
alergi juga merupakan salah satu faktor pemicu asma. Serangan asma terjadi ketika
paru–paru atau saluran pernafasan mendeteksi masuknya allergen (benda pemicu
alergi), disaat itulah vitamin C berperan sebagai anti-oksidan melawan radikal
bebas penyebab alergi.
Teofilin bekerja dengan cara mengendurkan otot di saluran pernapasan
sehingga udara dapat mengalir dengan lebih lancar dan proses bernapas juga bisa
lebih mudah. Obat ini juga bisa mengurangi respon saluran napas terhadap alergen.
Pelayanan farmasi yang baik akan mendukung keberhasilan suatu terapi, sehingga
berhasilnya suatu terapi tidak hanya ditentukan oleh diagnosis dan pemilihan obat
yang tepat, tetapi juga kepatuhan (compliance) pasien untuk mengikuti terapi yang
telah di tentukan (Depkes RI, 2006). Beberapa hal yang dapat disampaikan pada
saat pemberian KIE adalah cara pemakaian obat atau aturan pakai, efek samping
obat, maupun terapi non farmakologi yang dapat dilakukan oleh pasien.
Pada kasus ini, Apoteker harus memberikan informasi bahwa obat tersebut
diminum sebanyak 3 kali sehari 1 kapsul setelah makan. Adapun efek samping yang
dapat ditimbulkan adalah mual, muntah, sakit kepala, insomnia, tremor, ansietas
dan takikardia (denyut jantung cepat). Untuk mendukung terapi farmakologi dari
pasien, Apoteker juga dapat memberikan informasi terapi non farmakologi. Terapi
non farmakologi yang dapat dilakukan oleh pasien adalah menghindari alergen
yang memicu asma dan melakukan senam asma, serta melakukan program olahraga
renang. Dikarenakan renang dapat membantu perbaikan fisik pada anak yang
mengalami asma dengan meningkatkan volume paru dan mengembangkan teknik
pernapasan yang lebih baik. Selain itu, renang sangat baik dari segi psikologis
karena menimbulkan rasa senang pada anak yang menjalani renang sebagai terapi
asma. Renang dapat menjadi intervensi nonfarmakologi yang efektif untuk asma
pada anak karena menunjukkan perbaikan pada beberapa parameter penyakit, salah
satunya adalah PEFR (Peak Expiratory Flow Rate) merupakan pengukuran
sederhana terkontrol tidaknya asma. Untuk asma derajat ringan sampai sedang
persisten pada pasien di bawah 20 tahun bisa dimonitor PEFR. Peningkatan PEFR
berbanding lurus dengan perbaikan beberapa aspek, seperti berkurangnya frekuensi
serangan, berkurangnya jumlah hari dengan keluhan wheezing) (Putri dkk., 2017;
Chan et al., 2009).
XI. PENANDAAN
A. ETIKET
B. LABELING
-
XII. COPY RESEP
SALINAN RESEP
Resep dari : dr. Luliana, Sp. A
No. Resep :4
Tanggal Resep : 28 Februari 2021
Resep Untuk : Anak Anom Anjasmara
Umur : 7 Tahun
Alamat : Denpasar
det
pcc
Anief, M. 2015. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Chan, M., S. Sitaraman, and A. Dosanjh. 2009. Asthma Control Test and Peak
Expiratory Flow Rate: Independent Pediatric Asthma Management Tools.
Journal of Asthma. 46: 1042-1046.
Depkes RI. 1966. Formularium Indonesia. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Hal. 16.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI. 2006. Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian di Sarana
Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. 2014. Farmakope Indonesia. Edisi V. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Menkes RI. 2017. Perubahan Penggolongan Narkotika. Jakarta: Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.
Putri, P. P., K. Nisa, dan R. Wahyudo. 2017. Program Olahraga Renang: Intervensi
Non-Farmakologis yang Efektif pada Asma Anak. Medula. 7(5): 37-41.
Syamsuni, H. A. 2005. Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.