Pendahuluan
Penyajian informasi akuntansi dalam laporan keuangan tidak dapat dilepaskan dari
masalah pengukuran item-item informasi akuntansi tersebut. Pengukuran informasi akuntansi
diatur dalam rerangka konseptual akuntansi keuangan. Saat ini terdapat trend yang cukup
jelas ke arah pengukuran akuntansi berbasis fair value. Hal ini terutama ditandai dengan
terbitnya SFAC No.7 tentang penggunaan informasi arus kas dan nilai sekarang (present
value) dalam pengukuran akuntansi. Isu pengukuran fair value menjadi semakin penting sejak
berkembangnya profesi penilai properti yang mendasarkan penilaiannya pada beragam
pendekatan selain historical cost.
Hitz (2007) menyatakan bahwa konsep fair value dari FASB dan IASB ini
menyatakan suatu harga pasar hipotetik spesifik (specific hypothetical market price) dalam
kondisi ideal. Lebih tepatnya, fair value merupakan harga pasar exit yang dihasilkan dari
kondisi pasar yang mendekati ideal, dalam suatu transaksi antar pihak- pihak yang
knowledgeable, independen, dan berhubungan secara ekonomik, yang berinteraksi
berdasarkan set informasi identik atau informasi lengkap.
Estimasi fair value, menurut Hitz (2007), mengikuti suatu hirarki tiga tingkat, yaitu:
(1) harga pasar (market prices); (2) harga pasar dari item yang sebanding
(modified market prices of comparable items); dan (3) estimasi dan perhitungan internal.
Prinsip utama atas estimasi fair value ini adalah keutamaan ukuran berbasis pasar (market-
based measures), yang didasari pandangan bahwa harga pasar atau data pasar lebih informatif
dan lebih dapat diandalkan dibanding estimasi internal. Jadi, harga pasar merepresentasikan
estimasi terbaik atas fair value, jika kondisi pasar memenuhi definisi fair value. ‘Kualitas’
harga pasar yang relevan dinilai berdasarkan kriteria pasar aktif, yaitu bahwa perdagangan
reguler atas item terkait pada suatu pasar yang cukup likuid disyaratkan agar harga pasar
layak sebagai estimasi fair value. Jika harga pasar tidak menunjukkan kualitas yang cukup
atau tidak tersedia, maka level kedua dari hirarki estimasi mensyaratkan untuk
mempertimbangkan harga pasar modifikasian) dari item-item sebanding, di mana
komparabilitas secara natural merujuk kepada profil arus kas. Hanya jika kedua jenis harga
pasar tersebut tidak dapat digunakan, maka marking-to-market gagal dan fair value harus
diestimasi menggunakan estimasi dan perhitungan internal.
Di Indonesia, IFRS telah ditetapkan akan diadopsi secara penuh pada tahun 2012
yang lalu. Dengan diadopsinya IFRS secara penuh, maka laporan keuangan yang dibuat
berdasarkan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) tidak lagi memerlukan
rekonsiliasi yang signifikan dengan laporan keuangan perusahaan atau entitas yang berasal
dari negara lain yang juga mengadopsi IFRS.
Namun, penerapan IFRS berarti merubah dan menyesuaikan sebagian besar prinsip
dari standar akuntansi yang sebelumnya telah berlaku berpuluh-puluh tahun. Salah satu
perubahan mendasar dari adanya adopsi IFRS tersebut adalah penggunaan Fair Value
Accounting.
Fair value ditetapkan oleh IASB sebagai dasar dalam mengukur nilai aset dengan
diperkenalkannya IFRS diberbagai belahan dunia. Demikian pula GAAP yang mewakili
standar akuntansi keuangan Amerika, sejak tahun 2006 telah memberlakukan SFAS 157
tentang Fair Value Measurement. Pertanyaan mengenai bagaimana aset seharusnya diakui di
neraca merupakan salah satu isu penting digaris bawahi. Untuk itu, baik IASB maupun FASB
melakukan pengkajian secara seksama terhadap konsep fair value ini.
Untuk memahami implikasi dari fair value, kita harus mulai dari pemahaman
pentingnya akuntansi terhadap sistem ekonomi. Inti dari kapitalisme adalah identifikasi harga
dan perhitungan laba rugi. Penilaian paling penting terhadap para manajer adalah apakah
keputusan yang mereka buat menghasilkan laba atau justru kerugian. Sedangkan investor,
kreditor, dan mitra bisnis menggunakan data akuntansi untuk membuat keputusan untuk
alokasi investasi, perpanjangan kredit, dan evaluasi kerja sama.
Masalah lain yang juga akan muncul saat akan mengubah nilai aset berdasarkan nilai pasar.
Pertanyaan mendasar yang timbul adalah siapa yang menentukan harga pasar?
Satu hal yang juga menarik adalah angka-angka yang dilaporkan dengan sistem
akuntansi nilai pasar mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan harga saham dan
memberikan gambaran bahwa harga/nilai berdasarkan pasar lebih baik dan lebih terpercaya
dari pada historical cost. Akan tetapi, meskipun mempunyai keunggulan tersebut, sistem
market value berpotensi rentan terhadap manipulasi dan kesalahan estimasi.
Berdasarkan FASB Concept Statement No. 7 dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
fair value adalah harga yang akan diterima dalam penjualan aset atau pembayaran untuk
mentransfer kewajiban dalam transaksi yang tertata antara partisipan di pasar pada tanggal
pengukuran. Terdapat tiga hirarki dalam mengestimasi fair value, yaitu dengan menggunakan
nilai pasar, komparasi dengan harga pasar dari item yang dapat diperbandingkan dengan item
yang dinilai, dan dengan menggunakan estimasi (Hitz 2007). Meskipn fair value dapat diukur
dengan menggunakan current market value, namun tidak berarti fair value itu sepenuhnya
adalah current market value.
Untuk item-item tertentu dalam laporan keuangan yang berasal dari traksaksi yang
lazim terjadi (arm’s length transaction) dan harga-harganya juga dapat dengan mudah diukur
dengan harga pasar, fair value dapat diukur dengan menggunakan current market value.
Pengukuran fair value seperti ini disebut juga dengan mark-to-market. Namun untuk item-
item yang harga pasarnya tidak tersedia, fair value diukur dengan menggunakan model
penilaian yang didasarkan atas perhitungan-perhitungan dan estimasi tertentu. Pengukuran
fair value disebut juga dengan mark-to-model. Dengan demikian, penggunaan fair value
sesungguhnya dapat menimbulkan implikasi yang bersifat subjektif terutama yang berkaitan
dengan penilaian (Blommaert dalam Verhoog 2003).
Gassen dan Schwedler (2009) menemukan bahwa terdapat pemahaman yang berbeda-
beda mengenai fair value. Fair value yang didasarkan atas penilaian mark-to- market lebih
bernilai dan memiliki decision usefulness lebih tinggi dibandingkan dengan fair value yang
didasarkan atas penilaian mark-to-model. Mereka juga menemukan bahwa fair value yang
berdasarkan pada harga pasar memiliki decision usefulness yang tinggi untuk aset-aset lancer
dan non-operasional, dan untuk aset tidak lancer serta aset-aset yang digunakan untuk
kegiatan operasional, tidak ada perbedaan yang signifikan dari sisi decision usefulness baik
yang menggunakan historical cost maupun menggunakan market based fair value.
Pendekatan dalam perhitungan fair value dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu
pendekatan pasar, pendekatan pendapatan, dan pendapatan biaya (SFAC 157). Masing-
masing pendekatan ini jika ditelusuri lebih lanjut memiliki resiko untuk menimbulkan
terjadinya fraud dalam laporan keuangan, dan ini akan menjadi suatu diskusi yang sangat
menarik mengenai penerapan fair value dan hubungannya dengan tindakan fraud dan resiko
global. Pengukuran dengan menggunakan atribut fair value memerlukan perhatian yang
serius dari penyusun standar akuntansi, terutama dalam menciptakan konvergensi antara dua
kerangka konseptual dan standar akuntansi yang saat ini banyak menjadi acuan yaitu yang
dikeluarkan oleh FASB dan IASB.
Hal ini diperlukan untuk mengatasi kendala-kendala penerapan fair value agar
menjadi lebih andal (reliable), dapat diaudit (auditable), dan dapat diverifikasi (verifiable).
Penerapan fair value tidak dapat dihindari dalam perkembangan akuntansi saat ini, yang
harus dilakukan adalah menyediakan instrument agar konsep fair value dapat lebih diperkuat
dan dapat diukur secara lebih reliable. Pernyataan yang jelas dalam kerangka konseptual juga
diperlukan terutama rekomendasi penggunaan fair value untuk item-item tertentu, seperti
aset-aset atau kewajiban yang digunakan untuk meraih keuntungan jangka pendek (short-term
trading profit). Pengungkapan (disclosure) mengenai penggunaan fair value juga perlu diatur
secara lebih ketat untuk menghindari bias dan penyalahgunaan manajemen dalam melakukan
estimasi, khususnya untuk item-item yang diukur dengan fair value namun current market
valuenya-nya tidak tersedia.
KELEMAHAN FAIR VALUE
Meskipun fair value dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan dari historical cost,
namun masih terdapat kelemahan dari penerapan fair value. Menurut Krumwiede (2008)
terdapat beberapa kritik terhadap fair value :
1. Meskipun bermaksud baik, namun perkiraan manajemen dengan fair value bisa
menjadisalah dan meluas pada prediksi dan estimasi yang salah.
2. Oportunistik dan ketidakjujuran manajemen dapat menyebabkan aksi pemanfaatan
dari proses penilaian dan estimasi yang rentan untuk dimanipulasi.
Sedangkan menurut Warsidi (2010), terdapat beberapa keburukan dari fair value,
antara lain : (i) Fair value berusaha menyediakan informasi yang transparan dengan menilai
aset pada tingkat harga yang dihasilkan jika segera dilikuidasi, sehingga sangat sensitive
terhadap pasar. (ii) Akuntansi fair value bekerja melalui akuntansi mark-to-market, yaitu aset
dicantumkan dengan harga pasar mereka jika diperdagangkan secara terbuka. Akibatnya,
terjadi perubahan terus-menerus pada laporan keuangan perusahaan ketika nilai aset
mengalami kenaikan dan penurunan yang berdampak pada laba dan rugi yang dicatat. Hal ini
membuat semakin sulit untuk memastikan apakah laba dan rugi diakibatkan oleh keputusan
bisnis oleh manajemen ataukah terjadi karena perubahan yang terjadi pada pasar. (iii) Banyak
pihak, utamanya lembaga-lembaga keuangan mengkhawatirkan akuntansi yang berdasarkan
harga pasar akan menyebabkan Volatility kinerja lembaga karena semakin mudahnya
berfluktuatif nilai item-item aktiva maupun liabilitas.