Anda di halaman 1dari 351

Y

M
M
U
D
5
Y
M
M
U
D
6
Y
M
M
U
D
D

FILSAFAT MODERN BARAT


Sebuah Kajian Tematik
U
M
M

Dr. Zaprulkhan, M.S.I


Y

7
Dalam episode panjang perjalanan sejarah umat manusia,
kita telah menyaksikan sejauh mana monumen-monumen
D
kecerdasan dan pengetahuan jauh lebih lama bertahta daripada monumen-
monumen kekuasaan dan kekuatan tangan. Bukankah kalimat-kalimat sastra
Homer masih mampu bertahan selama duapuluh lima abad bahkan lebih
U
tanpa kehilangan satu suku kata atau huruf pun tatkala istana-istana megah
dan kuil-kuil
keagamaan, kastil-kastil mewah dan kota-kota besar
M
dalam sejarah telah mengalami kehancuran dan keruntuhan?
(Francis Bacon)
M
Y

8
DAFTAR ISI

Halaman Judul 1
Daftar Isi 9
Kata Pengantar: Diskursus Epistemologi Filsafat Modern 12
Barat
Bab 1 EPISTEMOLOGI RASIONALISME 29
A. Pengantar 29
B. Pengertian Rasionalisme 30
C. Biografi Rene Descartes 32
D

D. Rasionalisme Rene Descartes (1596-1650) 33


E. Penutup: Catatan Kritis Terhadap Rasionlieme 47
U
Bab 2 EPISTEMOLOGI EMPIRISME 55
A. Pengantar 55
B. Pengertian Empirisme 56
M

C. Biogtafi John Locke (1632-1704 M) 58


D. Empirisme John Locke 60
M
E. Biografi David Hume (1711-1776 M) 65
F. Empirisme David Hume 67
G. Penutup: Catatan Kritis bagi Empirisme 73
Y
Bab 3 EPISTEMOLOGI FENOMENALISME 79
A. Pengantar 79
B. Pengertian Fenomenalisme 80
C. Biografi Immanuel Kant (1724-1804) 82
D. Epistemologi Fenomenalisme Immanuel Kant 84
E. Penutup: Antara Kontribusi dan Kritik 105

9
Bab 4 EPISTEMOLOGI POSITIVISME DAN 108
POSITIVISME LOGIS
A. Pengantar 108
B. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Positivisme 109
C. Biografi Auguste Comte 114
D. Epistemologi Positivisme Auguste Comte 115
E. Biografi Alfred Jules Ayer 115
F. Epistemologi Positivisme Logis Alfred Jules Ayer 125
G. Penutup: Sebuah Catatan Kritis 134
Bab 5 EPISTEMOLOGI IDEALISME 139
D

A. Pengantar 139
B. Pengertian Idealisme dan Tipologinya 142
U
C. Biografi Johann Gottlieb Fichte 149
D. Idealisme Johann Gottlieb Fichte 151
E. Biografi Georg Wilhelm Friedrich Hegel 158
M

F. Idealisme Georg Wilhelm Friedrich Hegel 160


G. Penutup: Antara Apresiasi dan Kritik 173
M
Bab 6 EPISTEMOLOGI MATERIALISME HISTORIS 177
A. Pengantar 177
B. Biografi Karl Marx 180
Y
C. Infrastruktur dan Suprastruktur 182
D. Perkembangan Sejarah dan Mode Produksi 189
E. Ideologi dan Kesadaran Semu 196
F. Kesadaran Kelas dan Revolusi 199
G. Penutup: Antara Apresiasi dan Kritik 205
Bab 7 EPISTEMOLOGI INTUISIONISME 210
A. Pengantar 210

10
B. Pengertian Intuisionisme 211
C. Biografi Henri Bergson (1859-1941) 214
D. Intuisionisme Henri Bergson 217
E. Penutup: Antara Apresiasi dan Kritik 230
Bab 8 EPISTEMOLOGI EKSISTENSIALISME
A. Pengantar 233
B. Sejarah dan Pengertian Eksitensialisme 233
C. Biografi Soren Kierkegaard 235
D. Eksistensialisme Soren Kierkegaard 242
E. Biografi Jean Paul Sartre 268
D

F. Eksistensialisme Jean Paul Sartre 269


G. Penutup 287
U
Bab 9 EPISTEMOLOGI NIHILISME 294
A. Pengantar 294
B. Biografi Nietzsche dan Corak Filsafatnya 296
M

C. Nihilisme Nietzsche 303


1. Kebutuhan untuk Percaya 303
M
2. Manifesto Kematian Tuhan 307
3. Manusia Unggul 323
4. Moralitas Tuan 326
Y
D. Penutup: Antara Kritik dan Apresiasi 330
DAFTAR PUSTAKA 345
BIOGRAFI PENULIS 351

11
Kata Pengantar
D

Diskursus Epistemologi Filsafat Modern Barat


U
Ketika Rene Descartes mengikrarkan Cogito ergo sum, I think,
therefore I am, “Aku berpikir, maka aku ada”, ia menyuguhkan metode
kesangsian sebagai landasan metodis dalam filsafat pada awal fajar
M

rasionalisme modern Barat. Lalu dilanjutkan David Hume yang


menggulirkan wacana empirisme radikal dengan sebuah adagium
prinsipil: “No idea without antecedent impression; ideas are copies of
M

impressions”, Tidak ada ide tanpa didahului kesan, sehingga ide-ide


yang kita miliki merupakan salinan dari kesan-kesan yang kita tangkap
Y
dari dunia eksternal.
Kemudian muncul Immanuel Kant dengan mengusung
epistemologi kritisisme atau fenomenalisme. Kant memulai proyek
filsafat fenomenalisme-nya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
filosofis yang bersifat fundamental: What can we know? Apakah yang
dapat kita ketahui? What are the limits of human knowledge? Apakah
batas-batas pengetahuan manusia? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini,

12
Kant hendak menyelidiki sejauh mana kekuatan sekaligus batas-batas
kemampuan rasio manusia dalam mencandra ilmu pengetahuan.
Dengan berpijak pada pertanyaan tersebut sebagai titik
berangkat, Kant secara tegas menyatakan bahwa bangunan-bangunan
filsafat sebelumnya bersifat dogmatisme: tidak pernah menguji lebih
dahulu kapasitas akal manusia dalam memperoleh pengetahuan;
kemampuan rasio manusia diterima dan dipercaya begitu saja dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan dan konsep-konsep filsafat. Dalam
konteks inilah, konstruksi filosofis yang dibangun Immanuel Kant
disebut kritisisme atau fenomenalisme yang mengkritisi sekaligus
D

sebuah upaya mendamaikan antara aliran filsafat rasionalisme dan


empirisme.
U
Dalam perkembangan filsafat modern Barat selanjutnya, lahir
pula idealisme melalui filsuf besar Jerman, Friedrich Hegel dengan
slogan tersohornya: “The real is the rational, and the rational is the
M

real”, “Semua yang riil bersifat rasional dan semua yang rasional
bersifat riil”. Dengan berpijak pada rasio, Hegel ingin menjadikan
M
metode dialektika yang bersifat abstraksi-rasional dalam meneropong
segala persoalan kehidupan.
Kemudian datanglah Karl Marx yang tidak puas dengan
Y
dialektika filosofis Hegel yang terlalu melangit. Marx menghendaki
filsafat yang menjadi kekuatan emansipatoris dengan slogan yang
menggugat wacana para filsuf sebelumnya: “Philosophers have only
interpreted the world in different ways; the point is to change it”, “Para
filsuf hanya sibuk menafsirkan dunia dengan beragam cara, padahal
tujuan inti filsafat adalah merubah wajah dunia.”
Selanjutnya muncul aliran filsafat eksistensialisme teistik yang
percaya pada eksistensi Tuhan, yang disuarakan oleh Soren
13
Kierkegaard. Kierkegaard menawarkan konsep The leap of faith,
lompatan keimanan dalam puncak keberagamaan seseorang. Dengan
lompatan imannya, keberagamaan seseorang menjadi benar-benar
hidup dan eksistensi agama akan menemukan identitas hakikinya.
Artinya, dengan mengakui statusnya sebagai yang tergantung pada
Yang Ilahi atau Yang Mutlak, manusia sungguh-sungguh menghidupi
agamanya sebagai pengakuan terhadap realitas tak terbatas yang berada
di luar jangkauannya.
Agama justru akan kehilangan identitas sejatinya ketika para
pemeluknya mendaku telah mengetahui segala-galanya. Agama sejati
D

selalu mengakui keterbatasan manusia di hadapan Allah dan bahkan


menganggap pengetahuan manusia sebagai sesuatu yang relatif di
U
hadapan yang Maha Tahu. “He ‘who makes the leap of faith, ‘recovers’
himself, his true self,” ‘Dia yang telah melakukan lompatan keimanan,
niscaya menemukan dirinya kembali, menemukan eksistensi dirinya
M

yang sejati”, demikian deklarasi Kierkegaard.


Namun wacana eksistensialisme yang berbeda juga digulirkan
M
oleh Jean Paul Sartre yakni eksistensialisme ateistik yang menolak
eksistensi Tuhan. Dalam telaah Sartre, ketiadaan Tuhan diganti oleh
kebebasan mutlak manusia itu sendiri. Sartre terkenal dengan sebuah
Y
adagiumnya: existence precedes essence, ekstensi mendahului esensi.
Bagi Sartre, makna eksistensi mendahului esensi adalah pertama-tama
manusia muncul dengan suatu adegan bebas dan baru setelah itu ia
mulai mendefinisikan siapa dirinya. Manusia adalah sang penulis
skenario hidupnya sendiri, tanpa dikendalikan siapapun, termasuk
Tuhan. Bagi Sartre, eksistensi manusia adalah sebuah ruang
keterbukaan tak bertepi. Dari sinilah, Sartre kemudian menegaskan
sebuah asas pertama eksistensialisme: “Man is nothing else but what he
14
makes of himself”, “Manusia tidak lain hanyalah apa yang dia buat
tentang dirinya sendiri”.
Pada abad ke-19 timbul filsafat yang disebut positivisme, yang
menitahkan prinsip: The only source of knowledge was observation and
experience, satu-satunya sumber pengetahuan adalah observasi dan
pengalaman. Dengan perspektif positivisme, kita tidak perlu mencari
sesuatu yang berada di balik fenomena atau menemukan sebab-sebab
yang bersifat teologis atau metafisis. Dengan kata lain, dalam sikap
dasar ideologinya, positivisme memang bersifat duniawi, sekular, anti
teologis, dan anti metafisika.
D

Namun pada penghujung abad ke-19 dan memasuki awal abad


ke-20 M, muncul aliran filsafat intuisionisme yang gelisah terhadap
U
perkembangan aliran-aliran filsafat rasionalme, empirisme, dan dalam
tataran tertentu berpuncak pada positivisme yang telah menjadi amat
dominan saat itu di wilayah Barat dan Eropa. Aliran filsafat
M

intuisionisme dicetuskan oleh filsuf tersohor Prancis Henri Bergson.


Bergson mencurahkan pemikirannya secara luas dengan mengkaji
M
hakikat makna kehidupan dan struktur fundamental kehidupan yang
mendasari gerak alam semesta, dan menjadikan intuisi sebagai
kekuatan inti dalam diri manusia yang melampaui kehebatan fakultas
Y
panca indera dan akal.
Bagi Bergson, pengetahuan akal merupakan pengetahuan
mengenai (knowledge about), yakni pengetahuan diskursif atau
simbolis yang menggunakan perantara. Sedangkan pengetahuan intuisi
merupakan pengetahuan tentang (knowledge of), yaitu pengetahuan
intuitif yang bersifat langsung. Hanya dengan menggunakan intuisi,
kita dapat memperoleh pengetahuan sejati, pengetahuan langsung yang

15
bersifat mutlak dan bukannya pengetahuan yang nisbi dan pengetahuan
yang ada perantaranya.
Tidak berhenti sampai di situ. Akhirnya di ambang modernitas,
hadirlah Friedrich Nietzsche, sang filsuf nihilisme aktif yang
membongkar semua pegangan pada suatu idea fixed dalam bentuk
apapun yang menjadi rujukan makna dengan mewartakan kematian
tuhan, “God is dead.” Nietzsche mengajak kita memasuki paradoksnya
palung-palung kehidupan dan menyelami labirinnya yang tak berdasar.
Ia membawa kita berlayar ke tengah-tengah ketakterbatasan samudera
kehidupan; Berenang secara seimbang antara permukaan gelombang
D

dan kedalamannya tanpa harus berpuas diri dengan satu pegangan,


sandaran, pujaan, atau kepercayaan; Sebab keyakinan adalah penjara.
U
Itulah sekilas perjalanan Filsafat Modern Barat.
Akan tetapi, kapankah tepatnya hari kelahiran sebuah periode
yang disebut zaman modern? Istilah “modern” berasal dari kata latin
M

moderna yang artinya sekarang, baru, atau saat kini. Atas dasar
pengertian asli ini kita bisa mengatakan bahwa manusia senantiasa
M
hidup di zaman modern, sejauh kekinian menjadi kesadarannya.
Banyak ahli sejarah menyepakati bahwa sekitar tahun 1500 adalah
kelahiran zaman modern di Eropa. Sejak itu, kesadaran waktu akan
Y
kekinian muncul di mana-mana. Lalu, pernyataan ini tidak menyiratkan
bahwa sebelumnya orang tidak hidup di masa kini. Lebih tepat
mengatakan bahwa sebelumnya orang kurang menyadari bahwa
manusia bisa mengadakan perubahan-perubahan yang secara kualitatif
baru. Oleh karena itu “modernitas” bukan hanya menunjuk pada
periode, melainkan juga suatu bentuk kesadaran yang terkait dengan
kebaruan (newness).

16
Karena itu, istilah perubahan, kemajuan, revolusi,
pertumbuhan adalah istilah-istilah kunci kesadaran modern.
Pamahaman tentang modernitas sebagai suatu bentuk kesadaran itu
lebih mendasar daripada pemahaman-pemahaman yang bersifat
sosiologis atau pun ekonomis. Dalam pemahaman-pemahaman terakhir
ini orang menunjuk tumbuhnya sains, teknik dan ekonomi kapitalistis
sebagai ciri-ciri masyarakat modern. Berbeda dengan pemahaman-
pemahaman sosiologis dan ekonomis, pemahaman kita di sini bersifat
epistemologis: yang kita minati bukan perubahan institusional sebuah
masyarakat, melainkan perubahan bentuk-bentuk kesadaran atau pola-
D

pola berpikirnya.1
Modernitas juga merupakan sebutan bagi kondisi konkret
U
sosial, ekonomi, politik, dan budaya zaman modern yang berbeda
dengan zaman pertengahan. Modernitas sendiri muncul karena
sekularisasi di segala bidang (politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan
M

sebagainya) karena semangat pemikiran bebas dan humanisme.


Peristiwa-peristiwa penting yang turut mendorong modernitas antara
M
lain: (a) revolusi ilmu pengetahuan, (b) revolusi Prancis, dan (c)
revolusi industri Inggris. Revolusi-revolusi tersebutlah yang kemudian
melahirkan elemen-elemen modernisasi seperti sains dan teknologi,
Y
demokrasi dan kapitalisme.
Secara sosiologis, masyarakat Abad Pertengahan adalah
masyarakat yang relatif kecil, homogen, tanpa pembagian kerja, di
mana tradisi, adat istiadat, dan agama memainkan peran kunci.
Sebaliknya, masyarakat modern adalah masyarakat yang heterogen,
industrial, dan sekuler, di mana sains dan teknologi memainkan peran

1
Budi. F Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 2-3.
17
kunci menggantikan tradisi dan agama. Secara umum modernitas
berarti tumbuhnya industri, kota-kota, kapitalisme besar, keluarga
borjuis, dan demokratisasi, 2
Sedangkan Anthony Giddens, mendefinisikan modernitas
dilihat dari sudut empat institusi dasar. Pertama, kapitalisme yang
ditandai oleh produksi komoditi, pemilikan pribadi atas modal, tenaga
kerja tanpa properti (propertyless), dan sistem kelas yang berasal dari
ciri-ciri tersebut. Kedua, adalah industrialisme yang melibatkan
penggunaan sumber daya alam dan mesin untuk memproduksi barang.
Industrialisme tak terbebas pada tempat kerja saja dan industrialisme
D

memengaruhi sederetan lingkungan lain seperti transfortasi,


komunikasi, dan bahkan kehidupan rumah tangga. 3 Ketiga, kemampuan
U
mengawasi yang mengacu pada pengawasan atas aktivitas warga
negara dalam lingkungan politis. Keempat, kekuasaan militer atau
pengendalian atas alat-alat kekerasan, termasuk industrialisasi peralatan
M

perang.
Fenomena modernitas mendapat tanggapan baik positif
M
maupun negatif. Mereka yang menanggapi modernitas secara negatif
biasanya adalah mereka yang menganggap masa sebelum peradaban
modern muncul adalah masa indah di mana manusia tidak diatur-atur
Y
secara mekanis seperti mesin. Sedang mereka yang menanggapi secara
positif adalah mereka yang optimis bahwa modernisasi akan membawa
masyarakat keluar dari tempurung Abad Pertengahan dan menjadi lebih
sadar, cerdas, dan bebas.4

2
Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra,
2006), hlm. 68.
3
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, op.cit, hlm. 555.
4
Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran, op.cit, hlm. 69.
18
Dalam perspektif Budi Hardiman, sebagai bentuk kesadaran,
modernitas dicirikan oleh tiga hal, yaitu: subjektivitas, kritik, dan
kemajuan. Dengan subjektivitas dimaksudkan agar manusia menyadari
dirinya sebagai spectrum, yaitu sebagai pusat realitas yang menjadi
ukuran segala sesuatu. Ilustrasi berikut mungkin dapat memperjelas
konteks lahirnya subjetivitas modern. Dalam karya yang termasyhur
Die Culture de Renaisance in Italien sejarawan Swiss, Jacob
Burckhardt, menjelaskan bagaimana manusia dalam masyarakat abad
pertengahan lebih mengenali dirinya sebagai ras, rakyat, partai keluarga
atau kolektif. Lewat modernisasi yang dimulai dari Italia di zaman
D

Renaisans manusia lebih menyadari dirinya sebagai individu.


“Menjelang akhir abad ke-13” tulisnya, “sekonyong-konyong Italia
U
dipenuhi oleh pribadi-pribadi; penghalang individualisme telah
dibobol; ribuan wajah individual menspesialisasikan dirinya tanpa
batas”.
M

Kemajuan ekonomi dan terutama seni di Italia besar andilnya


dalam peningkatan kesadaran akan subjektivitas ini. Di dalam filsafat
M
kita telah mendengar pernyataan Descartes yang sangat masyhur,
cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada).5 Pernyataan ini adalah
formasi padat kesadaran zaman modern yang terus dipertahankan
Y
bahkan sampai abad ke-20 ini bahwa manusia (individu) bisa
mengetahui kenyataan dengan rasionya sendiri. Di abad ke-19 Marx,6
dengan ilham dari Hegel,7 menegaskan bahwa manusia adalah subjek
sejarah, yaitu bahwa manusia tidak hanyut dipermainkan waktu,

5
Mengenai Rene Descartes & perkembangan pemikirannya, lihat dalam
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosda Karya, 1997), h. 111-127.
6
Mengenai Karl Marx & perkembangan pemikirannya, lihat dalam Wright
Mills, kaum Marxis, terj. Imam Muttaqien (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
7
Mengenai Hegel & perkembangan pemikirannya, lihat dalam Franz
Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 71-128.
19
melainkan perancang sejarahnya sendiri. Dengan demikian
subjektivitas dipahami dalam matra historisnya.
Elemen selanjutnya adalah kritik. Kritik sudah implisit dalam
pengertian subjetivitas itu, sejuah dihadapkan dengan otoritas. Dengan
kritik dimaksudkan bahwa rasio tidak hanya menjadi sumber
pengatahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk
membebaskan individu dari wewenang tradisi atau untuk
menghancurkan prasangka-prasangka yang menyesatkan. Di zaman
Pencerahan, Kant merumuskan kritik sebagai keberanian untuk berpikir
sendiri di luar tuntunan tradisi atau otoritas. 8 Dia sendiri mengatakan
D

“terbangun dari tidur dogmatis” yaitu kemampuan kritis rasio


membuatnya bebas dari prasangka-prasangka pemikiran tradisional.
U
Subjektivitas dan kririk pada gilirannya mengandaikan keyakinan akan
kemajuan. Dengan kemajuan dimaksudkan bahwa manusia menyadari
waktu sebagai sumber langka yang tak terulangi. Waktu dialami
M

sebagai rangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan yang


dituju oleh subjektivitas dan kritik itu.
Sebagai suatu “periode” atau zaman, ketiga bentuk kesadaran
M

di atas mulai muncul di abad ke-16, lalu memuncak di abad ke-18.


Dewasa ini kita cukup gampang menerima perbedaan antara cara
Y
berpikir abad ke-16 dan seterusnya dengan abad-abad sebelumnya.
Perbedaan yang terang itu adalah hasil dari perdebatan yang lama.
Karena begitu kabur dan kompleksnya soal periodisasi ini, tidak
mengherankan kalau baru abad ke-19 para sejarawan sepakat
menentukan tanggal lahir modernitas pada abad ke-16, sambil

8
Mengenai Kant & perkembangan pemikirannya, lihat dalam Hector
hawton, Filsafat yang Menghibur, terj. Supriyanto Abdullah (Yogyakarta: Ikon,
2003), hlm. 105-126.
20
membedakan zaman sebelumnya sebagai “abad pertengahan”. Istilah
medium aevum (Zaman Tengah) sudah muncul di awal modernitas.
Istilah itu berasal dari Flavio Biondo (1392-1463). Yang dirujuk
sebagai peristiwa-peristiwa terpenting yang menjadi awal modernitas
itu adalah gerakan Renaisans, reformasi, tapi juga penemuan-penemuan
benua-benua baru, penemuan mesin cetak dan mesiu. Pemikiran filsuf
yang hidup mulai dari abadi ke-16 ini kemudian dicirikan sebagai
“modern” karena bukan kebetulan gerakan-gerakan sosial dan
penemuan-penemuan itu juga melahirkan pemikiran-pemikiran yang
berpusat pada manusia sebagai subjektivitas, rasio sebagai kemampuan
D

kritis, dan sejarah sebagai kemajuan. 9


Apa yang membedakan pemikiran modern dengan pemikiran
U
zaman sebelumnya yang disebut “tradisional” itu? Pemikiran abad
pertengahan ditandai oleh kesatuan, keutuhan, dan totalitas yang
koheren dan sistematis yang tampil dalam bentuk metafisika atau
M

ontologi. Oleh pemikir abad pertengahan kenyataan dilukiskan sebagai


sebuah tatanan sistematis yang hierarkial: mulai dari kenyataan yang
M
tertinggi sampai terendah, dari yang abstrak sampai yang paling
konkret, dst. Filsafat Thomas Aquinas adalah puncak dari pemikiran
abad pertengahan ini. Pemikiran modern lalu dapat dipahami sebagai
Y
suatu pemberontakan terhadap alam pikir abad pertengahan itu. Sejarah
filsafat modern, lalu, bisa dilukiskan sebagai pemberontakan intelektual
terus-menerus terhadap metafisika tradisional. Dari pemberontakan ini,
cara berpikir filosofis yang mendasarkan diri pada rasio menjadi
otonom dari pemikiran atas dasar iman yang dikenal sebagai “teologi”.
Pemisahan filsafat dan teologi berlanjut pada abad ke-18.

9
Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2004), hlm. 3-5.
21
Pemberontakan intelektual itu bisa dilihat dari dua sudut yang
berbeda. Di satu sisi, kita bisa menganggap modernitas sebagi
disintegrasi intelektual. Filsafat modern lebih menampilkan dirinya
sebagai anarkhi dan kekacauan daripada ketuhanan dan ketertiban.
Filsafat modern, dalam wawasan ini, adalah sebuah kemerosotan
intelektual. Mereka yang ingin mempertahankan metafisika tradisonal
berada pada posisi ini. Di sisi lain, kita bisa menganggap filsafat
modern sebagai sebuah emansipasi, sebuah kemajuan berpikir, dari
kemandegkan dan pendewaan pemikiran metafisis yang mendukung
system kekuasaan gerejawi tradisional. Mereka yang berbeda pada
D

posisi kedua ini akan mendukung radikalisasi lebih lanjut, pemisahan


ilmu pengetahuan dan filsafat. Kita tidak bisa memihak salah satu
U
posisi secara ekstrem. Dalam kenyataan, hancurnya metafisikan
tradisional disambut gembira oleh filsuf-filsuf, seperti: Nietzsche, Kant,
Comte, dst, di pihak lain, Hegel dan Marx ingin mengembalikan
M

integrasi metafisis itu dari puing-puingnya.10


Pertanyaan kita selanjutnya adalah, sejak kapan filsafat
M
mendapat tenaga intelektualnya untuk memberontak terhadap cara
berpikir Abad Pertengahan? Jawabannya adalah sejak Renaisans, dan
kemudian dilanjutkan dengan Reformasi Protestan. Oleh karena itu,
Y
penting dibahas di sini pentingnya zaman ini dalam pembentukan
pemikiran-pemikiran yang sekarang kita sebut “modern”.
Istilah Renaisans (Prancis: Renaissance) secara harfiah berarti
“kelahiran kembali”. Istilah yang mendahului istilah Prancia itu adalah
kata Italia rinascita (Latin: renasci). Yang lahir kembali adalah
kebudayaan Yunani dan Romawi kuno, setelah berabad-abad dikubur

10
Ibid., hlm. 5-6.
22
oleh masyarakat abad pertengahan di bawah pimpinan gereja. Di sini
kita perlu hati-hati agar tidak terjebak ke dalam simplikasi: Kata
“kelahiran kembali” atau “kembali ke” kultur antik lebih merupakan
slogan. Memang warisan-warisan kebudayaan Yunani dan Romawi
kuno dipelajari lagi oleh para cendikiawan yang pada zaman itu disebut
“kaum humanis”.
Namun hasil pengolahan kembali warisan antik itu adalah
sesuatu yang baru, sehingga Renaisans itu bukanlah produksi kultur
antik, melainkan reinterpretasi baru atasnya. Para humanis tersebut
memandang kebudayaan klasik sebagai puncak peradaban Barat.
D

Dalam hal ini mereka tidak sekedar bernostalgia tentang masa silam,
melainkan memanfaatkan minat-minat kebudayaan klasik itu demi
U
kepentingan masa depan kebudayaan Barat. Usaha mereka bersifat
progresif justru karena lewat minat penelitian filosofis zaman
Renaisans, mereka menemukan nilai-nilai klasik yang harus dihidupan
M

kembali dalam kebudayaan Barat demi masa depannya, yaitu:


penghargaan atas dunia-sini, penghargaan atas martabat manusia, dan
pengakuan atas kemampuan rasio.11
M

Jika kita mendiskusikan spektrum epistemologi Filsafat


Modern Barat, maka cakupannya sangat luas yaitu meliputi
Y
rasionalisme, empirisme fenomenalisme (kritisisme), idealisme,
positivisme, materialisme, intuisionisme, eksistensialisme dan
nihilisme. Belum lagi dengan varian-varian kecil dari berbagai aliran
filsafat modern Barat tersebut dengan beragam filsufnya masing-
masing yang memiliki karakteristik filosofis tersendiri. Namun
menurut Frederick Copleston, kajian filsafat modern Barat bisa dimulai

11
Ibid., hlm. 8-9.
23
dari filsuf Rene Descartes yang mendapat gelar sebagai Bapak Filsafat
Modern.12
Karena itulah, tulisan ini tetap berupaya membahas sebagian
besar dari aliran-aliran epistemologi filsafat modern Barat yang
mencakup rasionalisme, empirisme, fenomenalisme (kritisisme),
positivisme dan positivisme logis, idealisme, materialisme historis,
intuisionisme, eksistensialisme, dan nihilisme dengan menghadirkan
sejumlah filsuf avant-garda yang mewakili alirannya masing-masing.
Marilah kita memasuki tema-tema dalam karya ini secara
sekilas. Dalam bab pertama kita akan mendiskusikan epistemologi
D

dalam filsafat rasionalisme. Di sini kita akan melihat bagaimana makna


rasionalisme secara cukup detil; kemudian kita akan menelaah
U
epistemologi rasionalisme melalui salah seorang filsuf dipermulaan
abad modern yang paling representatif bagi filsafat rasionalisme yaitu
Rene Descartes yang dijuluki sebagai Bapak filsafat modern Barat.
M

Secara garis besar, kita akan menyelami secara mendalam tahapan-


tahapan cara kerja metode keraguan yang diciptakan Descartes, ide-ide
M
bawaan dan eksistensi Tuhan. Kemudian tulisan ini diakhiri dengan
penutup yang berisi beberapa noktah catatan kritis terhadap doktrin
rasionalisme yang dibangun Rene Descartes.
Y
Bab dua kita akan mengkaji epistemologi empirisme dengan
menguraikan terlebih dahulu pengertiannya secara sekilas; Kemudian
untuk merasakan langsung warna pemikiran filosofis aliran empirisme,
kita akan melihat secara langsung epistemologi aliran empirisme
melalui dua filsufnya yang sangat tersohor yaitu John Locke dan David

12
Frederick Copleston, A History of Philosophy (London: Burns Oates &
Washbourne, 1958), hlm. 1.
24
Hume; Dan bab ini akan diakhiri dengan secercah catatan kritis
terhadap beberapa noktah kelemahan epistemologi empirisme.
Dalam bab tiga akan menelisik epistemologi fenomenalisme.
Disini kita akan menelusuri bagaimana pengertian fenomenalisme
secara filosofis; mengeksplorasi pijakan-pijakan argumentatif
epistemologi fenomenalisme melalui perspektif Immanuel Kant, dan
diakhiri dengan catatan penutup untuk melihat kontribusi sekaligus
tilikan kritis terhadap fenomenalisme Kant. Di sini perlu ditegaskan,
bahwa epistemologi fenomenalisme Immanuel Kant yang kita bahas ini
hanya dibatasi pada ranah filsafat murni yang berhubungan dengan akal
D

murni (pure reason) dan tidak membahas wilayah filsafat moralnya


yang mencakup practical reason (akal praktis).
U
Selanjutnya memasuki bab empat kita akan mengeksplorasi
epistemologi positivisme dan positivisme logis. Fokus kajian dalam bab
ini: kita akan melihat bagaimana pengertian dan sejarah perkembangan
M

aliran-aliran positivisme hingga dewasa ini; menjelajahi secara spesifik


epistemologi positivisme Auguste Comte dan aliran positivisme logis;
M
serta dipungkasi dengan konklusi yang berisi setitik apresiasi dan
catatan kritis terhadap epistemologi positivisme.
Sedangkan dalam bab lima kita akan membahas epistemologi
Y
idealisme. Dalam bab ini, kit akan mendiskusikan epistemologi
idealisme dengan menguraikan terlebih dahulu pengertian idealisme
secara umum dan tipologinya. Selanjutnya ditayangkan konstruksi
idealisme melalui dua filsuf besar Jerman: Ficthe dan Hegel. Dalam
bagian penutup, akan disoroti sekilas keistimewaan sekaligus catatan
kritis terhadap konstruksi idealisme kedua filsuf tersebut.
Selanjutnya memasuki bab enam, kita akan membahas
pemikiran materialisme historis Karl Marx, sang filsuf perubahan
25
revolusioner. Di sini kita akan menelusuri wacana materialisme historis
yang meliputi wacana-wacana tentang infrastruktur dan suprastruktur,
perkembangan sejarah dan mode-mode produksi, ideologi dan
kesadaran semu, kesadaran kelas dan revolusi sosial, serta diakhiri
dengan kesimpulan yang berisi apresiasi dana catatan kritis terhadap
materialisme historis yang diusung oleh filsuf revolusioner tersebut.
Memasuki bab tujuh, kita memperbincangkan tentang
epistemologi intuisionisme. Dalam bab ini, kita akan melihat
bagaimana makna intuisi secara agak detil dan pengertian singkat
intuisionisme; Kemudian kita akan mengikuti epistemologi
D

intuisionisme Bergson yang lebih memprioritaskan keunggulan intuisi


ketimbang akal; Dan akhirnya dipungkasi dengan refleksi kritis sebagai
U
catatan penutup.
Sedangkan dalam bab delapan, kita menelisik wacana
epistemologi eksistensialisme. Di sini akan dibahas dua aliran besar
M

eksistensialisme yaitu eksistensialisme teistik atau eksistensialis yang


percaya dan tidak menolak Tuhan, dan eksistensialisme ateistik atau
M
eksistensialis yang tidak percaya atau menolak Tuhan. Jika
eksistensialisme teistik diwakili oleh filsuf semacam Soren
Kierkegaard, Gabriel Marcel, dan Martin Buber, eksistensialisme
Y
ateistik direpresentasikan oleh filsuf seperti Jean-Paul Sartre, Martin
Heidegger, dan Friedrich Nietzsche. Karena itu, bab ini hanya
menelaah kedua aliran besar eksistensialisme tersebut dengan
menghadirkan gagasan sentral salah satu filsuf aliran tersebut masing-
masing yaitu Soren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre.
Sementara itu, bab sembilan akan mengeksplorasi wacana
epistemologi nihilisme. Dalam bab ini kita akan mengeksplorasi
epistemologi nihilisme yang disuarakan oleh Nietzsche. Namun dalam
26
membicarakan nihilisme Nietzsche, kita harus berangkat dari beberapa
konsep dan wacana Nietzsche yang mengkonstruksi bangunan
epistemologi nihilismenya yaitu kebutuhan untuk percaya, manifesto
kematian Tuhan, menusia unggul, dan moralitas tuan. Di bagian akhir
wacana, kita akan menorehkan sedikit catatan apresiasi sekaligus kritis
terhadap wacana epistemologi nihilisme Nietzsche.
Sebagaimana judulnya, Filsafat Modern Barat: Sebuah Kajian
Tematik, buku ini dapat di gunakan para mahasiswa di semua
Perguruan Tinggi Umum dan Perguruan Tinggi Agama Islam seperti
UIN, IAIN, STAIN atau perguruan tinggi lainnya yang bernafaskan
D

studi Islam yang mengkaji materi epistemologi filsafat modern Barat.


Dalam konteks ini, saya mesti menghaturkan ungkapan terima
U
kasih yang tak terhingga kepada belahan jiwaku, Nuran Hasanah.
Sebab dialah yang mengetik seluruh naskah dalam buku ini sekaligus
melakukan pengeditan ulang. Bahkan dia pula yang mendesain cover
M

awal buku ini secara kreatif dan artistik! Sehingga tampilan buku ini
semakin terlihat kompatibel dengan judul dan isinya. Seperti biasa,
M
saya hanya mengkonstruksi wacana-wacana tersebut secara manual,
setelah selesai dialah yang mengetiknya ke dalam laptop. Setelah
rampung semuanya, baru tugas saya memberikan finishing touch
Y
secukupnya. Karena itulah, dialah yang menjadi the real editor
terhadap karya ini.
Akhirnya, sebagai tahap awal, apa yang tertuang dalam buku
filsafat ilmu ini tentu saja masih terdapat beberapa kekurangan dan
kelemahan, sehingga kritik konstruktif dari para ahli sangat diharapkan
demi perbaikan ke arah yang lebih sempurna. Semoga karya yang
cukup bersahaja ini mudah dipahami oleh para mahasiswa yang

27
mengkajinya, serta menorehkan secercah manfaat bagi kita semua,
amin.

Pangkalpinang, Akhir Desember 2017

Zaprulkhan
D
U
M
M
Y

28
BAB 1
EPISTEMOLOGI RASIONALISME
A. Pengantar

“No fact can be real and no statement true unless it has a


sufficient reason why it should be thus and not otherwise”.13

Frase tersebut dilontarkan oleh Wilhelm Leibnitz, salah seorang


filsuf abad modern aliran rasionalisme. Doktrin filsafat rasionalisme meyakini
bahwa sejumlah ide atau konsep adalah dapat terlepas dari pengalaman dan
bahwa kebenaran itu juga dapat diketahui hanya dengan kekuatan penalaran.
Doktrin filsafat rasionalisme memandang bahwa rasio manusia memiliki
D
kekuatan dalam mengkonstruksi ilmu pengatahuan tanpa dilengkapi dengan
pengalaman empiris. 14
Bahkan pengalaman-pengalaman empirisme pun dalam berbagai
U

bentuknya jika tidak dapat dijustifikasi melalui penalaran akal, dianggap tidak
dapat diterima oleh filsuf aliran rasionalis. Sebagaimana dalam statemen
M
Leibnitz di atas, bahwa fakta-fakta empiris bisa saja menjadi tidak nyata, dan
ungkapan-ungkapan apa pun tidak bisa dinilai benar jika tidak memiliki
sebuah alasan yang memadai mengapa harus nyata dan benar, dan bukan
M
sebaliknya.
Dalam bab ini, kita akan mendiskusikan epistemologi dalam filsafat
rasionalisme. Di sini kita akan melihat bagaimana makna rasionalisme secara
Y
cukup detil; kemudian kita akan menelaah epistemologi rasionalisme melalui
salah seorang filsuf dipermulaan abad modern yang paling representatif bagi
filsafat rasionalisme yaitu Rene Descartes. Secara garis besar, kita akan
menyelami secara mendalam tahapan-tahapan cara kerja metode keraguan
yang diciptakan Descartes, ide-ide bawaan dan eksistensi Tuhan. Kemudian

13
Manuel Velasquez, Philosophy A Text With Reading (New
York: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm. 354.
14
Milton D. Hunnex, Peta Filsafat ,Terj. Zubair (Jakarta:
Teraju, 2004), hlm. 8 dan 11.
29
tulisan ini diakhiri dengan penutup yang berisi beberapa noktah catatan kritis
terhadap doktrin rasionalisme yang dibangun Rene Descartes.
B. Pengertian Rasionalisme
Istilah rasionalisme yang berasal dari bahasa Inggris, rasionalism,
memiliki akar dari bahasa Latin yaitu ratio yang berarti akal. Dalam makna
sempit, rasionalisme menegaskan bahwa akal harus diberi peranan utama
dalam penjelasan. Secara umum, rasionalisme adalah pendekatan filosofis
yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan,
mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan indrawi. 15
Secara lebih rinci, terdapat ajaran-ajaran pokok rasionalisme antara
D
lain:
1. Dengan proses pemikiran abstrak kita dapat mencapai kebenaran
fundamental, yang tidak dapat disangkal a) tentang apa yang ada dan
U
mengenai strukturnya, b) tentang alam semesta pada umumnya.
2. Realitas dapat diketahui—atau beberapa kebenaran tentang realitas
dapat diketahui—secara tidak tergantung dari pengamatan,
M
pengalaman, dan penggunaan metode empiris.
3. Pikiran mampu mengetahui beberapa kebenaran tentang realitas yang
mendahului pengalaman apa pun juga (tetapi yang bukan kebenaran
M
analitis). Kebenaran-kebenaran ini adalah gagasan bawaan dan secara
isomorfis cocok dengan realitas.
4. Akal budi adalah sumber utama pengetahuan, dan ilmu pengetahuan
Y
pada dasarnya adalah suatu sistem deduktif yang dapat dipahami
secara rasional yang hanya secara tidak langsung berhubungan
dengan pengalaman indrawi ini.
5. Kebenaran tidak diuji dengan prosedur verifikasi-indrawi, tetapi
dengan kriteria seperti: konsistensi logis.

15
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002), hlm. 929.
30
6. Terdapat metode (cara) rasional (deduktif, logis, matematis,
inferensial) yang dapat diterapkan pada materi soal pokok apa saja
dan yang dapat memberikan kita penjelasan yang memadai.
7. Kepastian mutlak mengenai hal-hal adalah ideal pengetahuan dan
sebagian dapat dicapai dengan pikiran murni. Kepastian (dan
keniscayaan) mutlak adalah ciri pokok baik dari realitas maupun dari
semua pengetahuan yang benar.
8. Hanya kebenaran-kebenaran niscaya dan benar pada dirinya sendiri,
yang timbul dari akal budi saja, yang dikenal sebagai benar, nyata,
dan pasti; semua yang lain tunduk kepada kekeliruan, kesesatan, ilusi,
D
dan ketidakpastian.
9. Alam semesta (realitas) mengikuti hukum-hukum dan rasionalitas
(bentuk) logika. Ia adalah suatu sistem yang dirancang secara rasional
U
(logis) yang aturannya cocok dengan logika.
10. Begitu logika dikuasai, segala sesuatu dalam alam semesta dapat
dianggap dideduksi dari prinsip-prinsip atau hukum-hukumnya.
M
Berbeda dari aliran pemikiran seperti: Empirisme, Positivisme-logis,
Intuisionisme, Relasionisme. 16
Meskipun demikian, sebagian kaum rasionalis tidak meyakini secara
M
total bahwa seluruh pengetahuan yang kita miliki diraih hanya melalui akal
semata. Sebagian besar filsuf aliran rasionalis juga sepakat bahwa sebagian
pengetahuan kita, seperti matahari yang sedang bersinar, jerapah yang
Y
mempunyai bintik-bintik di sekujur tubuhnya, keberadaan hewan yang
bernama dinosaurus, bisa kita dapatkan melalui observasi dengan
menggunakan panca indera kita. Namun para filsuf aliran rasionalis secara
spesifik berpegang pada keyakinan bahwa sebagian dari pengetahuan kita
tentang realitas, terutama pengetahuan-pengetahuan kita yang paling
fundamental, dapat dicapai tanpa melalui pengamatan indrawi. Sebagaimana
kita dapat menangkap kebenaran-kebenaran matematis dengan menggunakan

16
Ibid., hlm. 929-930.
31
penalaran dalam pikiran kita, maka kita juga dapat memahami prinsip-prinsip
hukum alam semesta tanpa harus mengadakan observasi empirikal terhadap
alam semesta.17
C. Biografi Rene Descartes
Masyarakat tempat Descartes hidup
berciri aristokrat, yakni memberi tempat utama
kepada elite bangsawan. Minat elit ini adalah
pada masalah metafisika Skolastik. Sementara itu,
dari kalangan yang sama mulai tumbuh minat
baru terhadap matematika, geometri, dan fisika
D
yang mulai giat dipelajari pada zaman itu. Dalam
situasi macam ini, seperti juga yang dihadapi
Bacon, Bruno, dan Machiavelli, filsuf ini
U
menghasilkan refleksinya. Descartes lahir dari
kalangan borjuis yang sedang mekar saat itu, di kota La Haye di wilayah
Touraine. Ayahnya adalah seorang pengacara yang aktif berpolitik, sedangkan
M
ibunya meninggal sejak kelahirannya. Kesehatan Descartes pun buruk.
Seumur hidupnya, dia kerap diganggu sakit batuk yang tak kunjung sembuh,
sementara dia sendiri enggan berurusan dengan dokter. Namun, otaknya
M
encer. “Sejak kecil aku diasuh lewat ilmu pengetahuan” tulisnya. Di usia 8
tahun, dia disekolahkan di La Fleche, sekolah berikut asrama yang dikelola
pater-pater Yesuit. Para Yesuit ini sangat mengagumi kecerdasan Descartes,
Y
sampai ia mendapat hak istimewa untuk bangun terlambat. Agaknya mereka
maklum bahwa Descartes sering menemukan gagasan briliannya selagi di atas
ranjang. Tentu privilegi itu menimbulkan rasa iri pada teman-temannya.
Sampai usia tua Descartes masih meneruskan kebiasaannya untuk
terlambat bangun pagi. Selesai di La Fleche, Descartes ke Paris. Sejak itu dia
menikmati masa mudanya dengan melancong sampai ke Belanda, Jerman,

17
Manuel Velasquez, Philosophy, op. cit, hlm. 355.
32
Hungaria, Swiss, Italia, Swedia.18 Sebagai pemikir modern yang yang pertama
mempelajari persoalan metode berfilsafat, dia diberi gelar Father of modern
philosophy.19 Ia menetap di Belanda selama 20 tahun dan meninggal di
Swedia. Karya utamanya di bidang filsafat ialah Discourse on Mtehod;
Meditions dan Principles.20
D. Rasionalisme Rene Descartes (1596-1650)
1. Metode Kesangsian Metodis
Rene Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut
Bertrand Russell, anggapan itu memang benar. Kata “Bapak” diberikan
kepada Descartes karena dialah orang pertama pada Zaman Modern itu yang
D
membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan
oleh pengetahuan akliah. Dialah orang pertama di akhir Abad Pertengahan itu
yang menyusun argumentasi yang kuat, yang distinct, yang menyimpulkan
U
bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat
suci, bukan yang lainnya.21 Meskipun muara pijakan akal itu sendiri, menurut
Descartes harus bergantung secara mutlak kepada Tuhan yang Maka Absolut.
M
Descartes mengarang beberapa karya penting dalam bidang
matematika. Namun karya terpentingnya dalam filsafat murni adalah
Discourse on Method dan Meditations. Dalam kedua karya besar inilah,
M
Descartes menciptakan metode keraguan justru untuk menghilangkan
keraguan itu sendiri. Dalam temuan Descartes, salah satu cara untuk
menentukan sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan ialah melihat
Y
seberapa jauh hal itu bisa diragukan. Bila kita secara sistematis mencoba
meragukan sebanyak mungkin pengetahuan kita, akhirnya kita akan mencapai

18
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hlm. 34-35
19 John K. Roth, Persoalan-persoalan Filsafat Agama, terj. Ali

Noer Zaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 77.


20
Ibid.
21
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosda Karya, 2004
), hlm. 112.
33
titik yang tidak bisa diragukan, sehingga pengetahuan kita dapat dibangun di
atas dasar kepastian absolut. Keraguan yang diteruskan sejauh-jauhnya,
akhirnya akan membuka tabir sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi, kalau
hal itu memang ada.
Prosedur yang disarankan oleh Descartes disebut “keraguan metodis
universal”. Keraguan ini bersifat universal karena direntang tanpa batas, atau
sampai keraguan ini membatasi diri. Artinya, usaha meragukan tersebut akan
berhenti bila ada sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi. Usaha meragukan
ini disebut metodik, karena keraguan yang diterapkan di sini merupakan cara
yang digunakan oleh penalaran reflektif filosofis untuk mencapai kebenaran.
D
Akhirnya keraguan yang digunakan ini bukan menunjuk kepada kebingungan
yang berkepanjangan, tetapi sebagai usaha mempertanyakan yang dilakukan
akal budi atau jiwa manusia.22
U
Mari kita eksplorasi cara kerja epistemologi methodological doubt
Descartes yang melalui beberapa tahapan. Pertama-tama, Descartes mencoba
menggunakan semua yang dapat dilihat oleh panca indra dan sekaligus
M
meragukan kemampuan panca indra itu sendiri. Dapatkah kita mempercayai
ketepatan panca indra kita dalam menangkap suatu objek dengan tepat dan
akurat? Kita menyadari bahwa panca indra kita tidak bebas dari beberapa
M
kelemahan. Kita melihat secara langsung bahwa matahari dan rembulan
terlihat kecil; Padahal kita sadar bahwa kedua planet itu sangat besar, bahkan
ukuran matahari ribuan kali lebih besar daripada bumi tempat kita tinggal.
Y
Ketika kita mendengar guntur atau melihat kilat, panca indra kita mengatakan
semua yang kita lihat dan dengar itu terjadi saat kita melihat dan mendengar.
Namun penelitian saintifik telah menemukan bahwa kedua fenomena tersebut
telah terjadi beberapa menit sebelum sampai di kedua mata dan telinga kita.
Di pagi hari, waktu kita keluar rumah, kita merasakan kehangatan
sentuhan cayaha matahari di tubuh kita. Boleh jadi perasaan kita mengatakan

22
P. Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan,
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 28-29.
34
bahwa cahaya itu adalah cahaya yang langsung berasal dari matahari saat kita
merasakan kehangatan cahayanya. Padahal para saintis telah mengukur bahwa
waktu cahaya matahari untuk sampai ke bumi, untuk menyentuh tubuh kita
membutuhkan waktu kurang lebih delapan menit. Jadi tatkala kita merasakan
hangatnya sentuhan sinar matahari, itu adalah sinar cahaya yang dikirimkan
oleh matahari sekitar delapan menit yang lalu. Begitu juga, tongkat yang lurus
terlihat bengkok di dalam air; Kedua rel kereta api yang terpisah terlihat
menyatu dari kejauhan; Dan di saat terkena demam, seringkali makanan-
makanan yang manis justru terasa pahit di lidah kita. Semua panca indra ini
menjadi tidak dapat diandalkan sebagai sumber ilmu pengetahuan. 23
D
Dari keraguan terhadap panca indra, Descartes mulai meragukan
keadaannya sendiri, meragukan tubuhnya, meragukan eksistensinya sendiri.
Tidak ada yang bisa memastikan eksistensi seseorang secara mutlak, sebab
U
dalam ilusi, halusinasi, dan mimpi ia juga menemukan eksistensi yang sama
namun tidak riil. Descartes mengakui bahwa tampaknya tidak masuk akal
untuk meragukan banyak hal, “misalnya, de facto saya ada di sini, duduk
M
dekat api, mengenakan baju panjang, memegang kertas ini di tangan dan
beberapa hal yang serupa”. Tetapi ia melanjutkan:
“Pada waktu yang sama saya harus ingat bahwa saya adalah
M
seorang manusia, dan bahwa dengan itu saya mempunyai
kebiasaan tidur, dan di dalam mimpi tampak bagi saya hal-hal
yang sama atau kadang-kadang bahkan hal-hal yang lebih
Y
meyakinkan, daripada mereka yang kurang waras di dalam saat-
saat mereka terjaga. Barang kali telah terjadi pada diri saya
bahwa di malam saya bermimpi saya menemukan diri di tempat
khusus ini, bahwa saya berpakaian seperti ini dan duduk dekat
api, sedang di dalam kenyataannya saya tidur di bed! Pada saat
ini memang tampaknya saya terjaga sewaktu memandangi kertas

23
Bertrand Russell, Berpikir Ala Filsuf Terj. Basuki Heri
Winarno (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), hlm. 28.
35
ini; bahwa kepala yang saya gerakkan ini tidak tertidur, bahwa
dengan sengaja saya merentangkan tangan dan
memperhatikannya; apa yang terjadi di dalam tidur kelihatan
tidak sejelas dan serinci ini. Tetapi di dalam memikirkan kembali
hal ini mengingatkan diri saya bahwa pada banyak kesempatan
saya telah tertipu di dalam tidur oleh ilusi-ilusi yang serupa, dan
di dalam merenung dengan teliti ini saya melihat dengan begitu
jelas bahwa tidak ada petunjuk-petunjuk pasti yang
memungkinkan kita membedakan dengan jelas antara keadaan
terjaga dan keadaan tidur sehingga saya terseret di dalam
kekaguman”.
D

Ini adalah”keraguan mimpi”-nya Descartes yang sangat terkenal itu. Intinya


mudah ditangkap. Ketika saya bermimpi saya sepertinya menemukan diri di
U
antara objek-objek yang nyata, lepas dari saya, dan di luar kontrol saya.
Namun kenyataannya mereka tidaklah nyata dan tidak lepas dari saya.
Bagaimana saya tahu bahwa saya tidak selalu bermimpi? Bagaimana saya
M

tahu bahwa dunia yang saya lihat berada di luar saya, de facto bukan
merupakan bagian dari imajinasi saya? Sebagaimana badan saya yang
tampaknya begitu jelas, demikian pula halnya badan saya di dalam mimpi
M

juga begitu jelas. Padahal kenyataannya, badan saya di dalam mimpi hanyalah
khayalan saya.
Jangan-jangan semua hal yang sampai saat ini saya yakini begitu
Y
jelas berada di luar imajinasi saya, kenyataannya hanyalah hasil ulah pikiran
saya sendiri, seperti yang terjadi dalam mimpi! Kalau halnya demikian, suatu
nada sendu terdengar sayup-sayup di sini. Sebab bersamaan dengan itu, yang
runtuh di dalam hancurnya duniaku ke dalam mimpi bukan hanya menara-
menara yang tertutup awan dan istana-istana megah, tetapi juga sesamaku:
sahabat, orang-orang tercinta, orang-orang yang menyebabkan hidupku terasa
begitu bahagia. Kalau kesadaran baruku ini benar, terbukti bahwa semuanya
yang semula saya kira berbeda dari saya tidak lain hanyalah bayang-bayang
36
yang saya temui di dalam mimpi, yang tidak berbeda dari saya dan proyeksi
diriku sendiri.24
Dengan menyuguhkan beberapa pengalaman tertipunya indra kita
dalam sejumlah kasus riil, Descartes hendak menunjukkan bahwa panca indra
kita memang pantas untuk diragukan dalam mewartakan informasi yang valid.
Karena panca indra dapat dengan mudah keliru dalam mengkonstruksi
realitas, konsekuensinya keadaan kita juga yang selalu melakukan observasi
eksternal belum tentu eksis. Kalau indra kita dan eksistensi kita tidak dapat
dijadikan sumber kepastian pengetahuan, lalu bagaimana dengan ide-ide kita
yang dikatakan Plato sebagai sumber eksistensi hakiki?.
D
Barangkali Plato benar sepenuhnya, dan idea kita merupakan
pondasi yang tepat bagi semua pengetahuan. Namun Descartes mendapati
bahwa menaruh keraguan pada bidang ini mudah juga. Bahkan ide-ide yang
U
bagi kita tampaknya pasti, ide-ide yang kesangsiannya tak pernah
terbayangkan, bisa diragukan bila kita upayakan. Sebagai misal, ada banyak
cara menaruh kesangsian pada pengalaman kita sehari-hari yang berhubungan
M
dengan ruang dan waktu. Kebanyakan dari kita pernah bermimpi yang
melanggar hukum-hukum keruangan semisal gravitasi (umpamanya, ketika
dalam mimpi kita terbang) atau bermimpi yang waktu di dalamnya kelihatan
M
lebih lambat atau lebih cepat daripada ketika kita tidak tidur.
Bagaimana kita tahu bahwa pengalaman kita sehari-hari bukan
mimpi belaka, bahwa sewaktu-waktu kita akan bangun dari mimpi ini?
Y
Barangkali ada jin jahat yang memperdaya kita semua sehingga kita salah
menduga bahwa mimpi panjang ini merupakan dunia nyata kita. Walaupun
tidak ada jin jahat itu, kita semua pernah mengalami keinsafan secara
mendadak bahwa suatu ide yang karena kita kira benar kita pegang teguh
ternyata salah. Ide apa pun bisa berbalik menjadi ilusi semacam itu, sehingga
tidak ada ide yang tercegah dari kemungkinan ilusi. Karenanya, idealisme

24
Ibid., hlm. 30-32.
37
Plato tidak lebih berguna daripada realisme Aristoteles dalam pencarian kita
akan sesuatu yang pasti mutlak. 25
Sampai pada titik ini, penjelajahan keraguan metodis Descartes
belumlah menemukan titik perhentian dan kepuasan. Sebab masih ada
kebenaran-kebenaran yang selama ini sudah lazim dianggap sebagai
kebenaran pasti dan tidak pernah salah; serta bersifat universal di mana pun,
kapan pun, dan dalam kondisi seperti apa pun yaitu kebenaran-kebenaran
dalam bidang geometri, aritmatika, logika, maupun matematika. Kebenaran
lima kali lima berjumlah dua puluh lima adalah kebenaran universal kapan
pun dan dimana pun. Kebenaran setiap segi empat pasti mempunyai bagian
D
empat sisi merupakan kebenaran abadi kapan pun dan dimana pun. Begitu pun
kebenaran logika universal bahwa tidak ada yang bisa muncul dari ketiadaan
(nothing) menjadi kebenaran logis yang benar sepanjang waktu.
U
Akan tetapi terhadap kebenaran-kebenaran pasti yang oleh
kebanyakan orang sudah dianggap mutlak kebenarannya ini pun masih
membuka peluang keraguan bagi Descartes. Sebab, kata Descartes sangat
M
mungkin saya salah menghitung jumlah angka-angka, baik dalam
penjumlahan maupun perkalian (apalagi dalam jumlah yang sangat besar).
Bisa jadi juga saya keliru dalam mengukur atau menghitung sisi yang terdapat
M
dalam sebuah segi empat dan lainnya. 26 Lebih-lebih dalam logika, tidak
menutup kemungkinan kita keliru dalam meletakkan penilaian-penilaian logis.
Petikan singkat argumentasi Descartes tentang kemungkinan keliru dalam
Y
dunia matematika atau aritmatika berjalan begini:
“Sebagaimana saya sering membayangkan bahwa banyak orang
menipu diri sendiri di dalam hal-hal yang mereka pikir mereka
ketahui benar-benar, bagaimana saya tahu bahwa saya tidak
menipu diri setiap saat saya menambahkan dua dan tiga, atau

25
Stephen Palmquis, Pohon Filsafat (Yogyakarta: Pusyaka
Pelajar, 2007), hlm. 76-77.
26
Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London:
George Allen & Unwin LTD, 1975), hlm. 547.
38
menghitung sisi dari sebuah sebuah segi empat, atau
mempertimbangkan benda-benda yang masih lebih sederhana,
jika sesuatu yang lebih sederhana masih bisa dipikirkan?”. 27

Sampai di sini, setelah semua pijakan-pijakan common sense dunia


eksternal dan diri sendiri diragukan eksistensinya; konsep-konsep dunia idea
Plato dan wacana pengetahuan dalam prinsip-prinsip aritmatika, geometri, dan
matematika juga disangsikan, lalu apa yang bisa dijadikan landasan kepastian
dengan metode kesangsian Descartes tersebut? Dengan pertanyaan-pertanyaan
ini, Descartes menjawab bahwa masih ada satu hal yang tidak mungkin
D
diragukan; bahkan tidak satu setan yang licik pun yang dapat mengganggu
aku yang sedang ragu; tidak ada seorang skeptis pun juga yang mampu
meragukan kenyataan ini yakni fakta bahwa aku sedang ragu. Fakta ini
U
menjadi sangat pasti, sangat nyata, dan sangat jelas sekali bahwa aku sedang
ragu.
Tidak dapat diragukan bahwa aku saat ini sedang ragu. Aku merasa
M
dengan sangat jelas dan distinct bahwa aku tengah ragu. Sangat mungkin saya
meragukan keakuratan panca indra saya dan dunia luar yang ditangkap oleh
panca indraku-saya. Sangat mungkin saya meragukan kepastian eksistensi diri
M
saya sendiri. Amat mungkin pula saya meragukan semua kepastian dunia
idea-idea dalam konsep Plato dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan bidang
aritmatika, geometri, dan matematika. Namun mengenai “diriku yang sedang
Y
ragu” benar-benar tidak dapat diragukan lagi eksistensinya.
Aku yang sedang ragu itu benar-benar ada disebabkan oleh aku
berpikir. Kalau begitu, aku berpikir pasti ada dan benar. Jika aku berpikir ada,
berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku. Cogito ergo sum, I think,

27
Hardono Hadi, Epistemologi, op. cit, hlm. 32.
39
therefore I am, aku berpikir, maka aku ada28; sebab meragukan keraguan
orang yang sedang ragu adalah mustahil. 29
Dalam kata-kata Descartes secara langsung demikian: “There
remains, however, something that I cannot doubt: no demon, however
cunning, could deceive me if I did not exist. I may have no body: this might be
an illusion. But thought is different. ‘While I wanted to think everything false,
it must necessarily be that I who thought was something; and remarking that
this truth, I think, therefore I am, was so solid and so certain that all the most
extravagant supposition of the sceptics were incapable of upsetting it, I
judged that I could receive it without scruple as the first principle of the
philosophy that I sought’.30 Terjemahnya secara longgar kira-kira demikian:
D

“Akan tetapi, tetap saja ada sesuatu yang tidak bisa saya ragukan:
tidak ada setan betapa pun liciknya, yang dapat menipu saya jika saya tidak
U
ada. Saya mungkin tidak memiliki tubuh: tubuh ini bisa jadi sebuah ilusi.
Namun tidak demikian halnya dengan pikiran. Ketika saya ingin menganggap
sesuatu itu salah, pastilah ada diri saya yang berpikir. Karena itu, ungkapan
M
kebenaran: Aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum), begitu nyata dan
begitu pasti; Dan semua perkiraan berlebihan dari orang-orang yang skeptis
tidak dapat mengganggunya; sehingga saya yakin bahwa saya dapat menerima
M
kebenaran prinsip ini tanpa keberatan sebagai prinsip pertama dari filsafat
yang saya cari”.
Tahapan-tahapan metode berpikir keraguan metodologis hingga
Y
sebuah titik keyakinan atau kepastian dari Descartes dapat kita formulasikan
dalam bentuk bagan berikut:

28
Ahmad Tafsir, Filsafat, op. cit, hlm. 115.
29
Zaine Ridling, Philosophy Than and Now, (New York:
Access Foundation, 2001), hlm. 521.
30
Bertrand Russell, History, op. cit, hlm. 547.
40
TAHAPAN KERAGUAN METODIS DESCARTES

Panca indera dan benda-benda eksternal


tidak eksis

Dunia idea-idea Platonis


tidak eksis

Logika, Aritmatika, dan Matematika


juga tidak eksis

Namun saya tidak bisa menyangkal


ekistensi saya yang sedang ragu
D

Saya meragukan semua eksistensi


karena saya berpikir
U

Dengan demikian, karena saya berpikir,


maka eksistensi saya eksis
M

Coqito ergo sum;


I think, therefore I am
M

Dalam perspektif Bertrand Russell, kesangsian metodis merupakan


inti dari teori pengetahuan Descartes dan memuat hal terpenting dalam
filsafatnya. Kebanyakan filosof sejak Descartes memandang penting teori
Y

pengetahuan ini, dan sikap mereka ini terutama disebabkan oleh Descartes.
“Aku berpikir maka aku ada” membuat pikiran menjadi pasti daripada materi,
dan pikiran saya (bagi saya sendiri) lebih pasti daripada pikiran-pikiran orang
lain.31 “Aku” yang terbukti ada disimpulkan dari fakta yang aku pikirkan,
maka aku ada ketika aku berpikir, dan hanya saat itu. Jika aku berhenti
berpikir, tidak ada bukti tentang eksistensinku. Aku adalah sesuatu yang

31
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat Terj. Sigit Jatmiko,
dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 740.
41
berpikir, sebuah zat yang seluruh sifat atau esensinya berupa pikiran.
Karenanya, jiwa seluruhnya berbeda dari tubuh dan lebih mudah mengetahui
daripada tubuh, sehingga seolah-olah tidak ada tubuh.32
Melalui kesangsian metodis tersebut, Descartes telah menemukan
pijakan bagi filsafatnya. Pijakan itu bukan konsep-konsep para filsuf
sebelumnya, bukan agama, atau keyakinan-keyakinan lainnya. Fondasi itu
adalah aku yang berpikir. Pemikiran itulah yang pantas dijadikan dasar
filsafat karena aku yang berpikir itulah yang benar-benar ada, tidak diragukan
lagi eksistensinya.
Jadi metode keraguan yang dibangun oleh Descartes tidak berhenti
D
pada keraguan itu sendiri. Keraguan itu laksana jembatan yang harus dilalui
untuk menuju wilayah kepastian. Kita tidak boleh berhenti di tengah-tengah
jembatan kesangsian, karena kita tidak mungkin dapat hidup bersamanya.
U
Kesangsian metodis Descartes hanya ditujukan untuk menjelaskan perbedaan
antara sesuatu yang dapat diragukan dari sesuatu yang tidak dapat diragukan.
Ia sendiri tidak pernah meragukan bahwa ia mampu menemukan keyakinan
M
yang berada di balik keraguan itu, dan menggunakannya untuk membuktikan
suatu kepastian di balik sesuatu. Keyakinan itu begitu jelas dan pasti, clear
and distinct, dan menghasilkan keyakinan yang sempurna. 33
M
Dalam metode ini berjalan suatu deduksi yang tegas. Bila Descartes
telah menemukan suatu idea yang ditinct, maka ia dapat menggunakannya
sebagai premise yang dari sana ia mendeduksi keyakinan lain yang juga
Y
distinct. Seluruh penyimpulan itu terlepas dari data empiris; keseluruhannya
merupakan proses rasional. Setelah fondasi itu ditemukan, mulailah ia
mendirikan bagungan filsafat di atasnya. Akal itulah basis yang paling
terpercaya dalam berfilsafat.34

32
Ibid., hlm. 740-741.
33
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosda Karya, 2004
), hlm. 116.
34
Ibid.
42
Akan tetapi, di sini segera kita harus tambahkan bahwa konsep
“berpikir” yang digunakan Descartes dalam pengertian yang sangat luas. Bagi
Descartes, berpikir adalah sesuatu yang meragukan, memahami, mengerti,
menegaskan, mengingkari, menghendaki, menolak, serta termasuk pula
sesuatu yang membayangkan dan merasakan. Kegiatan berpikir itu bukan
hanya dalam makna eksklusif perenungan intelektual semata, melainkan
mencakup semua aktivitas yang melibatkan kesadaran.35 Dengan makna
inilah, bagi Descartes, esensi dari pikiran manusia bukan intelegensi atau
kecerdasan intelektual semata, melainkan kesadaran (consciousness),
kesadaran seseorang mengenai pikirannya sendiri sekaligus terhadap objek-
objeknya.36
D

Makna berpikir dalam perspektif Descartes, tampaknya mendekati


pengetahuan metakognisi (metacognition) sekaligus metamood (metamood)
U
atau yang lebih populer dengan istilah kesadaran diri (self-awareness) dalam
kajian psikologi. Kesadaran diri mencerminkan kesadaran kita tentang proses
berpikir sekaligus menyadari pula emosi-emosi yang menyertainya. Ketika
M
saya sedang marah kepada seseorang, pikiran saya benar-benar menyadari
bahwa saya sedang marah; sehingga kalau saya harus melampiaskan
kemarahan ini, saya akan mengungkapkannya secara argumentatif, bukan
M
secara destruktif. Tatkala saya sedang sedih, benak saya menyadari kalau saya
sedang bersedih; sehingga saya tidak akan menunjukkan kedukaan saya
secara vulgar di tempat-tempat yang tidak pantas. Dan sewaktu saya sedang
Y
merasa gembira, perasaan saya sepenuhnya sadar akan kegembiraan yang
sedang berlangsung dalam diri saya, sehingga saya akan mengungkapkannya
secara proposional, bukan secara liar tak terkendali. 37

35
Anthony Kenny, Western Philosophy (USA: Blackwell
Publishing, 2006), hlm. 212.
36
Ibid., hlm. 208.
37
Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence (New
York: A Bantam Books, 1999), hlm. 57-153. Dan Emotional
Intelligence (New York: A Bantam Books, 1999), hlm. 50-61.
43
Dalam cakupan makna yang sangat luas inilah, cukup wajar bila
salah seorang pemikir (filsuf) kontemporer, Anthony Kenny dengan tegas
menyatakan bahwa: “No previous author had used the word with such a wide
extension”.38 ‘Tidak ada seorang pun pengarang (filsuf) yang telah
menggunakan kata tersebut (berpikir) dengan sebuah keluasan makna seperti
itu’.

2. Ide Bawaan dan Tuhan


Dengan metode keraguan metodis, Descartes sudah menemukan
pijakan fundamental bagi filsafatnya yakni Cogito: sebuah kesadaran diri
secara penuh terhadap eksistensi diri dan eksistensi objek-objek eksternal.
D
Namun Descartes mengakui bahwa pikiran sendiri (atau jiwa) dapat
menggapai pengetahuan tanpa melalui panca indra. Pengetahuan itu memang
sudah diperolehnya melalui ide-ide bawaan yang melekat dalam jiwa
U
manusia. Konsep-konsep tentang ide bawaan itu memang bersifat abstrak,
seperti prinsip-prinsip dasar dalam logika, geometri, aritmatika, dan
matematika. Dalam geometri, seperti ungkapan bahwa jarak terdekat antara
M

dua titik adalah sebuah garis lurus. Dalam aritmatika, seperti proposisi bahwa
jika jumlah yang sama (misal genap) dijumlahkan dengan jumlah yang sama,
maka hasilnya sama (genap). Bahkan beberapa filsuf rasionalis pun percaya
M

bahwa prinsip dasar yang berkerja dalam sains juga berpijak pada ide bawaan,
seperti peraturan universal dalam sains bahwa setiap kejadian pasti memiliki
sebuah sebab; termasuk pula prinsip eksistensi: tidak ada yang dapat muncul
Y
dari ketiadaan.39
Dengan konsep ini juga, Descartes mengakui keterkaitan antara
eksistensi pikiran yang berpikir dan eksistensi tubuh jasmani sekaligus benda-
benda eksternal yang ia pikirkan. Namun pertanyaanya adalah kalau begitu
realitas badan itu kita percaya berdasarkan apa? Serta bagaimana hubungan
antara pikiran dan tubuh itu bekerja? Pertanyaan pertama ini dijawab

38
Anthony Kenny, Western op. cit, hlm. 212.
39
Manuel Velaquez, Philosophi, op. cit, hlm. 360-361.
44
Descartes dengan memanfaatkan Tuhan. Ia memulainya dengan menyusun
suatu argumentasi yang kini disebut “argumen ontologis” tentang eksistensi
Tuhan (yakni argumen yang hanya memanfaatkan pemahaman yang tepat
mengenai konsep ‘Tuhan’). Bukti yang ia ajukan itu semaca ini: kita semua di
dalam diri kita mempunyai idea “kesempurnaan”; setiap orang tahu bahwa
“ego” yang ia yakini keberadaannya (yaitu benaknya sendiri) bukanlah Yang-
Berada sempurna; sekalipun begitu, Yang-Berada sempurna ini pasti eksis
pada aktualnya, karena kalau tidak, ia akan kurang sempurna.
Artinya, jika konsep kita tentang Yang-Berada yang paling
sempurna itu mengacu pada suatu Yang-Berada yang pada kenyataannya
D
tidak eksis, maka Yang-Berada ini tidak akan sesempurna Yang-Berada
sempurna yang benar-benar eksis. Lalu Descartes menyatakan bahwa, karena
dengan jalan itu kita bisa yakin bahwa suatu Yang-Berada sempurna
U
(“Tuhan”) itu eksis, dan karena Yang-Berada semacam ini pasti baik supaya
sempurna, kita pun bisa yakin bahwa Yang-Berada semacam ini tidak akan
menipu kita. Dalam menanggapi kritik-kritik yang mengira bahwa argumen
M
semacam itu tak berujung-pangkal (yaitu bahwa argumen itu telah
mengasumsikan hal yang hendak ia buktikan), Descartes memanfaatkan
gagasan tentang “idea bawaan” (idea-idea yang hadir di benak kita pada
M
waktu kita lahir, dan karenanya otentik sendiri), yang menegaskan bahwa
“Tuhan” merupakan idea bawaan seperti halnya idea “ego” saya sendiri. 40
Kendati kita bisa menerima penjelasan teologis Descartes tentang
Y
alasan agar kita dapat mempercayai realitas dunia eksternal, masih ada
persoalan tentang bagaimana pada aktualnya benak kita berkaitan dengan
badan kita, jika memang keduanya pada hakikatnya merupakan dua substansi
yang berbeda. Solusi Descartes atas masalah ini tidak begitu disetujui oleh
rekan-rekannya sesama filsuf. Ia menduga bahwa suatu kelenjar kecil di dasar
otak, yang disebut “kelenjar kerucut” bertanggung jawab untuk memastikan

40
Stephen Palmquis, Pohon Filsafat (Yogyakarta: Pusyaka
Pelajar, 2007), hlm. 78-79.
45
hubungan sebab-akibat antara benak dan badan. Atau disebut juga dengan
glandula pinealis yang menjadi semacam jembatan penghubung antara
pikiran dan tubuh kita.41 Pada zaman Descartes, ide yang dominan tentang
badan manusia adalah bahwa badan itu mesin yang hidup, sehingga kapan
saja suatu bagian bergerak, pergerakannya pasti disebabkan oleh suatu proses
mekanis sedemikian rupa, sehingga beberapa bagian lain “bergeser” ke
dalamnya sebagaimana adanya.
Jadi, Descartes mengklaim bahwa bila benak badan melakukan
sesuatu, ini mempengaruhi kelenjar kerucutnya, entah bagaimana, sehingga
mulai suatu reaksi berantai yang berakhir pada berlangsungnya tindakan yang
D
dikehendaki. Jadi, jika benak saya menyuruh saya untuk melempar sepotong
kapur tulis ini ke udara, gagasan ini berputar-putar di benak saya sampai
mencapai cukup kekuatan untuk menimbulkan dampak yang signifikan, lalu
U
gagasan ini memintas menuju kelenjar kerucut saya, yang menyampaikan
serangkaian pergerakan melalui leher saya dan turun ke lengan saya, sampai
akhirnya lengan saya mematuhi perintah itu, seperti ini!.42
M
Dengan penjelasan distingtif antara pikiran dan badan, Descartes
menolak pandangan Plato misalnya yang memperlakukan tubuh jasmani
sebagai ilusi. Descartes mengambil sudut pandang berbeda: baik tubuh
M
jasmani maupun pikiran adalah sama-sama nyata, benar-benar riil bukan ilusi.
Tubuh jasmani memiliki realitas nyata sendiri dan begitu pula dengan pikiran
mempunyai realitas nyata tersendiri. Di sini, Descartes menganut pandangan
Y
antropologis yang disebut sebagai dualisme, yaitu pandangan yang
menganggap bahwa jiwa dan badan adalah dualitas yang sama-sama nyata
dan terpisah eksistensinya satu sama lain. Yang pertama (jiwa) merupakan
substansi pikir yang disebut res cogitans. Sedangkan yang kedua merupakan
substansi eksistensi atau badan jasmani yang dinamakan res extensa.
Meskipun demikian, Descartes tetap meyakini bahwa pengetahuan kita

41
Hariman, Filsafat Modern, hlm. 41.
42
Ibid., hlm. 79-80.
46
tentang tubuh jasmani berserta keseluruhan alam eksistensi, tidak pernah bisa
sepasti pengetahuan kita tentang alam pikiran kita.43
Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan dualisme Descartes
ini di satu sisi memang bisa menyebabkan kemajuan di bidang sains, namun
pada sisi lain menimbulkan problem yang serius. Ini karena kemudian
Descartes memandang alam semesta sebagai sebuah mesin dan tidak lebih
dari sekedar mesin. Tidak ada tujuan, kehidupan, atau spiritualitas dalam
materi. Alam bekerja sesuai dengan hukum-hukum mekanik, dan segala
sesuatu dalam materi dapat diterangkan dalam pengertian tatanan dan
gerakan dari bagian-bagiannya. Gambaran alam mekanik ini telah menjadi
D
paradigma ilmu pada masa setelah Descartes. Gambaran itu telah menuntun
semua pengamatan ilmiah dan perumusan semua teori fenomena alam hingga
fisika abad kedua puluh menghasilkan suatu perubahan yang radikal. Seluruh
U
penjelasa tentang ilmu mekanistik pada abad ketujuh belas, delapan belas dan
sembilan belas, termasuk teori agung Newton, tidak lain adalah
perkembangan dari pemikiran Descartes. Descartes memberikan pemikiran
M
ilmiah pada kerangka umumnya—pandangan alam sebagai sebuah mesin
sempurna, yang diatur hukum-hukum matematis yang pasti.44 Inilah yang
disebut paradigma cartesian dalam dunia sains yang sangat mempengaruhi
M
perkembangan sains yang bercorak mekanistik sampai abad dua puluh.45
E. Penutup: Catatan Kritis Terhadap Rasionlieme
Tidak bisa dipungkiri lagi bila Rene Descartes telah mampu
Y
melakukan konstruksi landasan filsafat yang amat kokoh dan tak tergoyahkan
dalam rangka menyingkirkan pandangan skpetisme dengan menggunakan
kemustahilan untuk bisa meragukan keraguan sebagai daftar fundamental

43
F. Budi Hardiman, Filsafat, op. cit, hlm. 41 dan Stephen
Palmquis, Pohon, op. cit, hlm. 78.
44
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban. Terj. Thoyibi
(Yogyakarta: Bentang, 2000), hlm. 62.
45
Lihat dalam Husain Heriyanto,Paradigma Holistik (Jakarta:
Teraju, 2003), hlm. 25-71
47
filsafatnya. Descartes membangun epistemologi pemikirannya secara tekun
dengan membentuk tahapan-tahapan metodis untuk sampai pada kepastian
yang memiliki kriteria secara jelas (clear) dan pasti (distinct), sehingga sangat
sulit pula disangsikan validitasnya. Namun terlepas dari keistimewaan-
keistimewaan epistemologi filosofis yang telah dibangun Descartes, proses
dan konstruksi epistemologinya tidak luput dari sejumlah kritik.
Pertama, melaui temuan cogito, sebagai landasan utama setiap
pemikiran, Descartes mendeklarasikan bahwa kemampuan berpikir pada
sosok manusia mendahului eksistensi tubuh jasmaninya. Ketika aku memiliki
kesadaran aku yang berpikir, maka eksistensiku ada. Kalau aku tidak memiliki
D
kesadaran aku yang berpikir, maka eksistensi tubuh jasmaniku tidak ada.
Dengan logika ini, aku berpikir mendahului eksistensiku.
Filsuf besar Jerman, Martin Heidegger mempersoalkan temuan
U
filosofis Descartes. Menurut Heidegger, daripada mendahulukan pembicaraan
mengenai pengetahuan, kita harus berbicara lebih dulu mengenai kenyataan
manusiawi yang memberi dasar bagi kemungkinan pengetahuan kita. Dalam
M
pembagian Heidegger, manusia otentik adalah Dasein, yakni manusia yang
selalu memiliki kesadaran kritis untuk mempersoalkan semua realitas
kehidupan, termasuk eksistensinya yang hadir di pentas kehidupan duniawi
M
ini. Namun sikap kritis Desein ini, tetap tidak bisa keluar dari kesadaran
bahwa eksistensinya, kehadiran dirinya di atas panggung dunia ini
mendahului sikap kritis pikirannya. 46
Y
Manusia sebagai Desein sudah menemukan dirinya eksis; ia
menemukan dirinya sebagai pengada yang sadar; pengada yang sadar yang
sudah terlempar ke dunia dengan tanpa persetujuannya. Di sini, sebelum
manusia berpikir, bernalar, dan menggunakan kesadaran kritisnya, eksistensi
jasad empirisnya telah lebih dulu mengada di atas jagad raya. Kalau

46
Mengenai wacana eksistensi manusia yang mendahui proses
berpikirnya secara luas, dapat dilihat dalam Martin Heidegger, Being
and Time, trans. Joan Stambaugh (New York: State University of New
York Press, 1996).
48
dirumuskan dengan menggunakan gaya konstruksi Descartes, slogan prinsipil
Heidegger kira-kira berbunyi begini: “I exist, therefore I thinhk”, ‘Saya ada,
karena itu saya berpikir’. Bukan I think, therefore I exist, ‘Saya berpikit,
karena itu saya ada.’
Sebab “saya ada” mendahului “saya berpikir”. Eksistensi fisikal
saya yang juga memiliki kesadaran pemikiran di dalamnya, jelas mendahului
prose pemikiran yang saya lakukan. Karena itu, lebih absah untuk berkata, “I
exist, therefore I think” ketimbang “I think, therefore I am”.
Kedua, subjektivisme hasil dari epistemologi yang dikonstruksi
Descartes bahwa kesadaran berpikir bisa berdiri sendiri independen dan
D
terlepas dari semua objek, ternyata mempunyai cacat tersendiri. Di sini kritik
dari Edmund Husserl dengan pemikiran filosofis fenomenologi menemukan
gemanya. Dari sudut pandang fenomenologi, proses kesadaran dan analisis
U
kritis pikiran kita tidak pernah bisa terlepas dari objek-objek yang kita
pikirkan.
Dalam tilikan Husserl, kesadaran kita atau proses pikiran kritis kita
M
tidak pernah bisa terpisah dari objek dan tidak dapat mempunyai status lebih
istimewa di dalam adanya daripada objek. Istilah “intensionalitas”-nya
Edmund Husserl pada dasarnya dimaksudkan untuk menekankan kenyataan
M
ini: kodrat dari tindakan sadar adalah sedemikian rupa sehingga tindakan itu
sekaligus menunjuk yang lain. Tindakan sadar ini diarahkan kepada yang lain;
inteligibilitas kesadaran adalah intensionalitasnya. Husserl mengatakan bahwa
Y
semua kesadaran adalah “kesadaran akan”.
Sadar adalah sadar akan sesuatu, dan apa yang saya sadari
mempunyai status yang tidak dapat direduksikan kepada kesadaran, sehingga
objek tersebut mempunyai kenyataan yang sama tak-teragukannya
sebagaimana kesadaran saya. Kesadaran yang melulu subjektif tidak pernah
dapat dibuktikan secara empiris. Kita tidak perlu menemukan jalan keluar dari
subjektivitas untuk mencapai objectivitas, karena kita tidak pernah
menemukan diri kita di dalam subjektivitas murni.

49
Kesadaran selalu bersifat bi-polar, kesadaran secara esensial selalu
bersifat relasional. Kesadaran terutama berarti kesadaran-diri-akan-yang-lain.
Kedua kutub secara empiris nyata. Kesadaran selalu diterima sebagai
hubungan bi-polar ini. Maka kita tidak bisa menghilangkan salah satu di
dalam hubungan itu tanpa menghilangkan hubungan sendiri. 47 Dengan
demikian, subjektivisme Descartes yang bisa berdiri sendiri tanpa hubungan
dengan objek-objek lain tidak dapat dipertanggungjawabkan secara utuh.48
Ketiga, dengan kekuatan berpikir secara independen, Descartes juga
mengklaim bahwa cogito mempunyai kemampuan dalam mencandra
pengetahuan secara jelas dan pasti kebenarannya. Pengetahuan yang
D
ditangkap dengan kekuatan kesadaran cogito akan mempunyai nilai kebenaran
yang pasti dan utuh. Namun yang belum disadari oleh Descartes adalah setiap
konstruksi pengetahuan yang kita bangun selalu diperantarai oleh bahasa.
U
Tidak seorang pun di antara kita yang bisa membangun konsep-konsep yang
paling sederhana pun tanpa melibatkan bahasa, tanpa melibatkan kata-kata.
Entah kita menggunakan bahasa itu secara verbalistik atau pun kita hanya
M
menggunakannya secara imajinatif dalam proses berpikir dalam benak pikiran
kita.
Satu hal yang mesti kita sadari ketika kita menggunakan bahasa,
M
baik dalam bentuk imajinatif maupun secara verbalistik, kita sudah berjarak
dengan objek-objek yang kita pikirkan. Ketika kita sudah berjarak dengan
objek-objek yang kita pikirkan melalui jarak bahasa, sebenarnya pengetahuan
Y
kita menjadi tidak lagi utuh terhadap objek-objek yang kita pikirkan. Kita
tidak lagi menyapa dan membaca objek-objek yang kita renungkan secara apa
adanya, melainkan secara bahasa dan kata-kata yang kita gunakan. Dengan
keberjarakan melalui bahasa tersebut, setiap pengetahuan yang kita bangun
melalui pikiran kita meniscayakan lubang-lubang kelemahan.

47
P. Hardono Hadi, Epistemologi, op. cit, hlm. 46-47.
48
Lihat juga makna ketergantungan manusia terhadap segala
fenomena kehidupan dalam Komaruddin Hidayat, Psikologi Ibadah
(Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 18-37.
50
Selanjutnya, setiap kata-kata, frase, atau bahasa yang kita gunakan
selalu mencerminkan kultur tempat bahasa tersebut tumbuh berkembang.
Itulah alasannya mengapa ada begitu banyak tipe bahasa manusia yang
kesemuanya berbeda-besa, meskipun secara garis besar digunakan dalam hal-
hal kehidupan yang dialami oleh semua umat manusia. Itu juga alasannya
mengapa sebuah objek yang bernama anggur dalam bahasa Indonesia,
diekspresikan dengan grape dalam bahasa Inggris, Uzum dalam bahasa Turki,
inab dalam bahasa Arab, dan stafil dalam bahasa Yunani.49
Karena setiap bahasa mengekspresikan corak kultur setiap
masyatakat yang berbahasa, maka setiap bahasa tentu memiliki kekurangan
D
dalam dirinya sendiri untuk melukiskan objek-objek yang hendak
dilukiskannya. Ketika saya menggambarkan lezatnya sebutir buah durian
yang baru saja saya nikmati dengan kata-kata “nikmat sekali”, maka
U
ungkapan “nikmat sekali” belum cukup untuk benar-benar mewakili rasa
nikmat buah durian yang telah saya rasakan itu. Ungkapan “nikmat sekali” itu
hanya mewakili sebagian kecil dari kelezatan yang saya rasakan dan untuk
M
memudahkan orang lain memahaminya.
Begitu juga ketika saya mengidentifikasi seseorang dengan nama
Imam Ghazali atau Imam Syafi’i, misalnya, nama-nama itu hanya mewakili
M
sebagian kecil sosok mulia kedua ulama besar tersebut sekaligus
memudahkan orang lain memahami maksud saya. Tapi kompleksitas tentang
kecerdasan, kealiman, kemuliaan, kreativitas, kesalehan, dan belum lagi
Y
perasaan-perasaan sakral yang mereka miliki, tentu saja tidak akan pernah
bisa ditampung dengan sebuah nama “Imam Ghazali dan Imam Syafi’i”.
Makanya ada ungkapan ‘al-ism ghoiru musamma, yakni sebuah nama tidak
bisa melukiskan secara penuh sosok yang dinamai; sebuah nama bukanlah

49
Idries Shah, Mahkota Sufi, terj. Hidayatullah & Roudlon
(Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 26.
51
yang dinamai. 50 Pada titik inilah, apa pun yang dilukiskan dengan Cogito
kritis Descartes, mengharuskan bahasa yang memiliki kelemahan internal
dalam menggambarkan objek-objek ilmu pengetahuan, sehingga ilmu
pengetahuan tidak bisa bersifat mutlak. 51
Keempat, pandangan antropologis Descartes yang menganut paham
dualisme, yang memisahkan akal dari badan, akal dari materi, ternyata
membawa pengaruh yang amat dalam bagi pengetahuan secara saintifik di
dunia Barat. Dalam kajian kritis yang dilakukan Fritjof Capra, pemisahan itu
telah menyebabkan kita menetapkan nilai yang lebih tinggi pada kerja mental
daripada kerja manual; pemisahan itu juga telah memungkinkan industri-
D
industri raksasa menjual produknya—terutama kepada wanita—yang
memungkinkan menjadi pemilik “tubuh ideal”; pemisahan itu telah
menghalangi para dokter memikirkan secara serius tentang dimensi-dimensi
U
psikologis suatu penyakit, menghalangi para psikoterapis memikirkan tentang
tubuh pasien. Dalam ilmu-ilmu kehidupan, pemisahan Descartes telah
membawa arah kebingungan yang tiada akhir tentang hubungan antara akal
M
dan otak, dan dalam fisika telah menyulitkan para perintis teori kuantum
menafsirkan observasi mereka terhadap fenomena-fenomena atom.
Heisenberg yang bergelut dengan masalah itu selama bertahun-tahun
M
menyatakan: Pemisahan ini telah jauh menembus ke dalam pikiran manusia
selama tiga abad sesudah Descartes dan diperlukan waktu yang sangat lama
untuk menggantinya dengan sikap yang benar-benar berbeda terhadap
Y
realitas.52
Fisika abad kedua puluh telah menunjukkan dengan begitu kuat
bahwa tidak ada kebenaran mutlak dalam ilmu, bahwa semua konsep dan teori
kita bersifat terbatas dan hanya berupa perkiraan. Kepercayaan ala Descartes

50
Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, Agama
Masa Depan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 78-83.
51
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta:
Teraju, 2003), hlm. 33-76.
52
Capra, Titik Balik, op.cit., hlm. 61.
52
pada kebenaran ilmiah masih tersebar luas saat ini dan tercermin dalam
“scientism” yang telah menjadi ciri kebudayaan Barat. Banyak orang dalam
masyarakat kita, baik ilmuwan maupun orang awam, merasa yakin bahwa
metode ilmiah merupakan satu-satunya cara yang sahih dalam memahami
alam semesta. Metode pemikiran Descartes dan pandangannya tentang alam
telah mempengaruhi semua cabang ilmu modern dan mungkin masih sangat
berguna saat ini. 53
Namun demikian menurut Capra, metode dan pandangan itu akan
bermanfaat hanya jika keterbatasan-keterbatasannya diketahui. Penerimaan
pandangan Cartesian sebagai kebenaran mutlak dan metode Cartesian sebagai
D
satu-satunya cara yang sahih bagi pengetahuan telah memainkan peran yang
sangat penting dalam menghasilkan ketidakseimbangan budaya kita pada saat
ini. 54
U
Terakhir, efek paradigma cartesian yang bersifat dualisme, tidak
lagi mampu menjawab dan menyelesaikan berbagai persoalan kontemporer.
Menurut Capra, kegagalan zaman modern ini ditandai dengan runtuhnya
M
kebudayaan indrawi yang diagung-agungkan dalam saintisme modern. Hal ini
disebabkan karena telah terjadinya perubahan paradigma di dalam ilmu,
khususnya dalam fisika yang menjadi lokomotif dalam kebangkitan saintisme
M
modern. Capra menunjukkan bahwa penerapan “rasionalisme” Descartes dan
fisika Newton yang berparadigma tunggal dalam ilmu-ilmu alam maupun
fisika sosial telah melahirkan berbagai macam ancaman patologis (penyakit)
Y
dalam struktur kehidupan alam, maupun secara khusus dalam bidang
kehidupan sosial manusia.
Akibatnya, para ahli tidak sanggup lagi memecahkan masalah-
masalah dalam bidang keahliannya. Ia menggambarkan bahwa setelah
mencapai puncak validitasnya, peradaban indrawi ini terasa kehilangan tenaga

53
Ibid., hlm. 58.
54
Ibid. dan Fritjof Capra, Jaring-Jaring Kehidupan. Terj. Saut
Pasaribu (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2002), hlm. 32-34.
53
budayanya serta daua fleksibilitasnya akibat ditelan sediri oleh budaya
indrawi yang berparadigma tunggal itu. Peradaban itu tidak mampu
melanjutkan proses kreativitas budayanya. Akhirnya, muncul bahasa
disintegrasi pada hampir seluruh aspek kehidupan yang secara langsung
mengancam hakikat hidup manusia secara total. 55 Karena kelemahan-
kelemahan paradigma cartesian dan juga newtonion yang bersifat mekanis,
Capra menawarkan pandangan yang holistik-integratif untuk memecahkan
pelbagai problematika masyaraat kontemporer. 56
D
U
M
M
Y

55
Aholiab Watloly, Sosio Epistemologi (Yogyakarta: Kanisius,
2013) , hlm. 376.
56
Fritjof Capra, The Hidden Connections. Terj. Andya
Primanda (Yogyakarta: Jalasutra, 2007).
54
BAB 2
EPISTEMOLOGI EMPIRISME
A. Pengantar

“No idea without antecedent impression;


D
ideas are copies of impressions” (David Hume). 57

Kalimat tersebut keluar dari lisan filsuf aliran empiris yang paling
radikal: David Hume. Meskipun frase ini amat singkat, namun makna frase
U

tersebut justru menjadi motto sekaligus pijakan fundamental yang melandasi


hampir seluruh argumentasi yang dibangun para filsuf aliran empirisme:
M
Tidak ada ide tanpa didahului kesan, sehingga ide-ide yang kita miliki
merupakan salinan dari kesan-kesan yang kita tangkap dari dunia eksternal.
Para filsuf aliran empirisme memang sangat menekankan fakta-fakta
M
empiris yang bisa diobservasi secara objektif melalui kapasitas inderawi kita.
Secara sederhana, semua pengetahuan yang hadir ke dalam kehidupan kita
harus dapat dibuktikan melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan fisikal,
Y
penciuman, atau pun cita rasa lidah kita. Tanpa bisa diverifikasi secara
faktual, validitas sebuah pengetahuan masih bisa diragukan nilai
kebenarannya. Dengan kata lain, pengetahuan yang kita peroleh dalam
kehidupan ini adalah hasil dari pengalaman faktual kita dalam bersentuhan
dengan semua fakta kehidupan empiris.

57
Anthony Kenny, A Brief History of Western Philosophy
(United Kingdom: Blackwell Publishing, 2006), hlm. 256 & 257.
55
Karena itu, dalam bab ini kita akan mengkaji epistemologi
empirisme dengan menguraikan terlebih dahulu pengertiannya secara sekilas;
Kemudian untuk merasakan langsung warna pemikiran filosofis aliran
empirisme, kita akan melihat secara langsung epistemologi aliran empirisme
melalui dua filsufnya yang sangat tersohor yaitu John Locke dan David
Hume; Dan tulisan ini akan diakhiri dengan secercah catatan kritis terhadap
beberapa noktah kelemahan epistemologi empirisme.
B. Pengertian Empirisme
Secara etimologis, empirisme berasal dari bahasa Yunani, empeiria
atau empeiros yang berarti berpengalaman dalam, berkenalan dengan, dan
terampil untuk. 58 Sedangkan secara terminologis, empirisme merupakan
D

paham yang berpandangan bahwa seluruh pengetahuan manusia tentang dunia


berpijak pada pengalaman panca indra. Empirisme berkeyakinan bahwa
U
pengetahuan yang sesungguhnya adalah pengetahuan yang berdasarkan
pengalaman atau pengetahuan jika bisa diverifikasi secara empiris. 59 Ada
beberapa pengertian secara lebih detil tentang empirisme yaitu:
M
1) Empirisme adalah doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus
dicari dalam pengalaman. Salah satu teori mengenai asal
pengetahuan. Biasanya bertolak belakang dengan rasionalisme.
M
Yang disebut terakhir ini beranggapan bahwa akal merupakan
sumber pengetahuan satu-satunya, setidaknya yang primer.
Kebanyakan filsuf mengakui pentingnya pengalaman maupun akal.
Y
Maka, filsuf-filsuf empiris adalah mereka yang memberikan tekanan
lebih besar pada pengalaman dibandingkan filsuf-filsuf lain.
2) Pandangan bahwa semua ide (gagasan) merupakan abstraksi yang
dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.

58
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002), hlm. 197.
59
Manuel Velasquez, Philosophy A Text With Reading (New
York: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm. 365.
56
3) Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan
bukan akal/rasio.
4) Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data
inderawi. Semua pengetahuan turun secara langsung dari, atau
disimpulkan secara tidak langsung dari, data inderawi (kecuali
beberapa kebenaran definisional logika dan matematik).
5) Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang
realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan
panca indera kita. Informasi yang disediakan oleh indera kita,
berguna sebagai fundamen bagi semua ilmu pengetahuan. Akal budi
D
mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari
pengalaman. Metode yang diterapkan ialah induktif.
6) Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui pengalaman
U
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. 60
Namun untuk mendapatkan pemahaman yang lebih holistik, kita
perlu memahami terlebih dahulu dua ciri fundamental empirisme yaitu teori
M
tentang makna (theory of meaning), dan teori tentang pengetahuan (theory of
knowledge). Dalam perspektif Ahmaf Tafsir, teori makna pada aliran
empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu
M
asal-usul idea atau konsep. Pada abad pertengahan teori ini diringkaskan
dalam rumus Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak ada
sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman).
Y
Sebenarnya pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat
dalam bukunya, An Essay Concerning Human Understanding, yang
dikeluarkannya tatkala ia menentang ajaran idea bawaan (innate idea) pada
orang-orang rasionalis. Jiwa (mind) itu, tatkala orang dilahirkan, keadaannya
kosong, laksana kertas putih atau tabula rasa, yang belum ada tulisan di
atasnya, dan setiap idea yang diperolehnya mestilah datang melalui
pengalaman; Yang dimaksud dengan pengalaman di sini ialah pengalaman

60
Lorens Bagus, Kamus , op.cit, hlm. 197-198.
57
inderawi. Atau pengetahuan itu datang dari observasi yang kita lakukan
terhadap jiwa (mind) kita sendiri dengan alat yang oleh Locke disebut inner
sense (penginderaan dalam). 61
Teori yang kedua, yaitu teori pengetahuan, yang dapat diringkaskan
sebagai berikut. Menurut filsuf rasionalis ada beberapa kebenaran umum
seperti “setiap kejadian tentu mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika, dan
beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan
sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh
lewat intuisi rasional. Empirisme menolak pendapat itu. Tidak ada
kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah
kebenaran yang diperoleh lewat observasi; jadi ia kebenaran a posteriori.62
D

Paham empirisme dapat ditelusuri akar-akar historisnya dari sejak


zaman Yunani kuno. Elemen-elemen empirisme bisa kita temukan dalam
U
tulisan-tulisan Aristoteles, Thomas Aquinas, Francis Bacon, dan Thomas
Hobbes misalnya. Sedangkan dalam awal era modern, doktrin empirisme
secara lebih lengkap dapat kita lihat tiga orang filsuf tersohor dari Inggris
M
yaitu John Locke, George Berkeley, dan David Hume. Dalam tulisan ini, kita
hanya membatasi pada dua filsuf empirisme era modern yaitu John Locke dan
David Hume. Sebab, analisis epistemologi empirisme yang disajikan oleh
M
kedua filsuf ini tampaknya paling memadai.
C. Biografi John Locke (1632-1704 M)
John Locke lahir di
Y
Wrington, Somerset, dan belajar di
Oxford, tempatnya diproyeksikan

61
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosda Karya, 2004
), hlm. 136.
62
Ibid., hlm. 137. Bandingkan dengan Zaine Ridling,
Philosophy Then and Now (New York: Access Foundation, 2001), hlm.
357.
58
untuk menjalani karier di kedokteran. 63 Sejak 1675 sampai 1679, Locke
tinggal di Prancis, tempatnya mempelajari Descrtes dan Gaseendi. 64 Tiga
karya utama Locke terbit berturut, yaitu Essay Concering Human
Understanding, Two Treatises of Government, dan Letter on Toleration, dua
yang terakhir tersebut terbit anonim. 65
Meski Locke terkenal sebagai tokoh senior empirisme Inggris,
namun filsafatnya jauh lebih kompleks dari istilah tersebut. Essay-nya
menolak “ide-ide bawaan” untuk ditempatkan sebagai fondasi pengetahuan,
dan secara keseluruhan, terkesan anti-rasionalistik. Essay meletakkan
pengalaman, atau ide tentang sensasi dan refleksi, sebagai basis terkuat
D
pemahaman manusia. Namun demikian, Locke masih mempertahankan
kemungkinan dari pengetahuan yang diberikan ide-ide kita (yaitu kualitas-
kualitas primer) suatu perepresentasian yang tepat tentang dunia di sekitar
U
kita.66
Tugas sebuah epistemologi yang ilmiah adalah menampilkan apa
yang sungguh kita ketahui, beragam sumber pengetahuan, penggunaan yang
M
tepat, dan di atas semuanya, batas-batas dan kapasitas yang meragukan, dari
pikiran kita. Melalui tema ini, Locke mengaitkan epistemologinya dengan
pembelaannya atas toleransi beragama. Doktrin radikal ini, bersama dengan
M
karyanya tentang properti dan hubungan pemerintahan dan persetujuan rakyat,
merupakan warisannya yang kekal bagi filsafat politik. 67 Tulisan-tulisannya
dan filsafatnya mempengaruhii Thomas Jefferson dan Declaration of
Y
Independence dari Amerika Setikat.68

63
Simon Blackburn, Kamus Filsafat, terj. Yudi Santoso
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 508.
64
Ibid., hlm. 508.
65
Ibid.
66
Ibid.
67
Ibid., hlm. 509.
68
John K. Roth, Persoalan-persoalan Filsafat Agama, terj. Ali
Noer Zaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 174.
59
D. Empirisme John Locke
Sebagaimana telah kita diskusikan dalam bab sebelumnya, dalam
pemikiran filsuf aliran rasionalisme, ada sejumlah ide-ide bawaan dalam
(innate ideas) setiap diri manusia. Filsuf rasionalis Rene Descrates dan
Leibniz, misalnya meyakini bahwa ada ide-ide intuitif dalam diri manusia
sebagai prinsip untuk menjelaskan eksistensi kehidupan menusia dalam
interaksinya dengan dunia, seperti konsep-konsep tentang angka, jiwa,
ataupun ide bahwa dari ketiadaan (non-eksistensi) tidak akan pernah bisa
menciptakan keberadaan (eksistensi). 69
John Locke menolak semua argumentasi filosofis filsuf rasionalis di
D
atas. Secara metaforis-analogis, bagi Locke, kapasitas manusia itu bagaikan
kertas putih kosong (blank sheet of paper) yang belum terwarnai apa pun.
Kalau ditanya: apa yang bsia mengisi kertas kosong itu? Jawabnya tidak lain
U
adalah tulisan. Kalau disuguhkan kertas kosong ke hadapan saya, maka saya
bisa menuliskan apa saja di permukaannya sesuka hati saya. Saya bisa
menulikannya dengan kisah-kisah sufistik yang dilakukan oleh kaum sufi,
M
analisis-analisis filosofis tentang pelbagai teori filsafat dari para filsuf, atau
bisa juga hanya mengisinya dengan coretan-coretan kata tanpa makna.
Tatkala lembaran-lembaran kertas kosong itu diserahkan kepada
M
seorang pujangga, kemungkinan ia akan menuliskan kisah-kisah cinta yang
menyentuh perasaan dan menaburinya dengan berbagai prosa atau puisi cinta
yang dapat menghangatkan jiwa kita. Namun ketika lembaran-lembaran
Y
kertas polos itu diserahkan kepada seorang seniman yang ahli melukis,
barangkali ia akan melukis berbagai lukisan yang indah; bisa panorama hutan
belantara yang dihiasi pohon dan gunung-gunung yang tinggi menjulang,
pemandangan samudera yang membentang luas dengan dipayungi cakrawala
biru yang tak bertepi, lukisan kota-kota metropolitan dengan beragam gedung-
gedung pencakar langit yang membelah angkasa, atau bisa juga berisi gambar

69
Ridling, Philosophy Then and Now, op.cit, hlm.878-879.
60
tokoh-tokoh besar dalam sejarah; ilmuwan, presiden, sejarawan, pengarang,
budayawan, dan aktor atau artis ternama.
Demikianlah seterusnya, lembaran-lembaran kertas kosong itu bisa
ditulis dengan tulisan apa pun tergantung apa pun yang ingin dituliskan oleh
penulisnya. Kira-kira begitulah metaforanya. Mengenai teori kertas putih
kosong ini, kita bisa menyimak penuturan Locke dalam salah satu karya
terkenalnya, An Essay Concerning Human Understanding:
”Let us then suppose the mind to be, as we say, white paper,
void of all characters, without any ideas; how comes it by that
vast store, which the busy and boundless fancy of man has
D
painted on it with an almost endless variety? Whence has it
all the materials of reason and knowledge? To this I answer,
in one word, from experience: in that all our knowledge is
U
founded”.70

Secara longgar, terjemahannya kira-kira demikian:


“Selanjutnya mari kita memandang pikiran, seperti kita tahu,
M

sebagai kertas putih, yang bebas dari semua sifat, tanpa ide
apapun; lantas, bagaimana pikiran dilengkapi? Dari mana
datangnya simpanan yang banyak sekali, khayalan manusia
M

yang amat banyak dan tak terbatas telah mengecatnya dengan


aneka ragam yang hampir tiada akhir? Atas pertanyaan ini,
saya menjawab dalam satu kata: di dalam pengalaman semua
Y
pengetahuan kita dibangun, dan dari pengalaman,
pengetahuan pada puncaknya menurunkan dirinya”. 71

Itulah inti petikkan konsep epsitemologis tabula rasa atau kertas


putih kosong sebagai keadaan jiwa manusia yang hanya akan diwarnai dengan

70
Louis P. Pojman, Philosophy The Pursuit of Wisdom
(Amerika: Wadsworth Publishing Company, 1998), hlm. 136.
71
Bertrand Russell, History of Western Philosophy. Terj. Sigit
Jatmiko, dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 799.
61
pengalaman. Dari sinilah, teori epistemologi empirisme Locke mengalir. Mati
kita eksplorasi beberapa noktah pemikiran filosofisnya. Pertama, penolakan
terhadap ide-ide bawaan dalam diri manusia dengan mengajukan beberapa
argumentasi, antara lain:
1) Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu
tidak ada. Memang agak umum orang beranggapan bahwa innate
itu ada. Ia itu seperti distempelkan pada jiwa manusia, dan jiwa
membawanya ke dunia ini. Sebenarnya kenyataan telah cukup
menjelaskan kepada kita bagaimana pengetahuan itu datang, yakni
melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-kesan bawaan,
D
dan kita sampai pada keyakian tanpa suatu pengertian asli.
2) Persetujuan umum adalah argumen yang terkuat. Tida ada sesuatu
yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea itu
U
sebagai sumber daya yang inhern. Argumen ini ditarik dari
persetujuan umum. Bagaimana kita akan mengatakan innate idea itu
ada padahal umum tidak mengakuinya.
M

3) Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate idea.


4) Apa innate idea itu sebenarnya tidaklah mungkin diakui dan
sekaligus juga tidak diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan
M
bahwa innate idea jusru saya jadikan alasan untuk mengatakan ia
tidak ada.
5) Tidak juga dicetakkan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak
Y
idiot, idea yang innate itu tidak ada. Padahal anak normal dan anak
idiot sama-sama berpikir.
Argumentasi ini secara lurus menolak adanya innate idea, sekalipun
itu ada, tidak dapat dibuktikan adanya.
Kedua, ide-ide simpleks dan ide-ide kompleks. Ide-ide simpleks
merupakan ide-ide yang kita terima secara langsung melalui pengalaman
nyata dengan penalaran panca indra: penglihatan, pendengaran, sentuhan,
penciuman, dan rasa (taste), seperti ide tentang terang, ide tentang manis, ide

62
tentang jelas, dan lain-lain. Perjumpaan langsung antara panca indra kita
dengan pengalaman eksternal dunia disebut oleh Locke sebagai sensasi. Ide-
ide simpleks yang dihasilkannya dinamakan dengan ideas of sensation, ide-
ide sensasi.
Kemudian semua ide-ide simpleks yang telah ditangkap panca indra
itu diproses kembali secara internal dalam diri kita dengan lebih rumit
sehingga menghasilkan ide-ide kompleks, seperti keraguan, kepercayaan,
penalaran, pengetahuan, cinta, benci, kesenangan, keinginan, dan lain-lain.
Proses internal terhadap ide-ide simpleks yang berlangsung dalam pemikiran
ini dinamakan oleh Locke sebagai refleksi dan ide-ide kompleks yang
dihasilkannya disebut juga dengan ideas of reflection, ide-ide refleksi. 72
D

Ketiga, kualitas primer (primary qualities) dan kualitas sekunder


(secondary qualities). Locke menguraikan bahwa ada daya atau kekuatan
U
dalam diri objek atau benda-benda yang bisa menghasilkan ide-ide dalam
pikiran kita. Daya inilah yang disebutnya dengan kualitas. Katakanlah, bola
salju bisa memiliki daya dalam menghasilkan ide dalam pemikiran kita
M
tentang putih, bulat, dan dingin.73
Selanjutnya, ada kualitas-kualitas yang terdapat dalam objek yang
bersifat intrinsik, menyatu dengan sebuah objek dan berbeda dengan persepsi
M
kita mengenainya. Kualitas yang akan tetap eksis, walaupun tanpa dipikirkan,
dikonsepsikan, dan dikonstruksikan. Locke menamakan kualitas ini dengan
kualitas primer. Secara umum, kualitas-kualitas primer dalam objek ini dapat
Y
diukur, seperti ukuran, bentuk, bobot dan beratnya. Kualitas-kualitas tersebut
tetap berada dalam benda-benda, baik kita mengetahuinya maupun tidak; baik
kita merasakannya ataupun tidak; baik kita mempersepsikannya maupun
tidak.

72
Pojman, Philosophy , op.cit, hlm. 136, dan Ridling,
Philosophy , op.cit, hlm. 879.
73
Tafsir, Filsafat , op.cit, hlm. 140.
63
Akan tetapi, ada pula kualitas-kualitas yang tidak berada di dalam
objek itu sendiri. Sebagai contoh, sebuah pohon memiliki warna, bau, tekstur,
dan mungkin pula sebuah nuansa tertentu. Dalam musim gugur, pohon itu
mungkin mempunyai sebuah warna yang berbeda dengan warnanya ketika
musim; sebagaimana pohon tersebut memiliki satu warna pada waktu fajar,
dan warna lain pada siang hari. Tanpa daun-daunnya, pohon itu menebarkan
bau tak sedap; bersama daun-daun yang rindang, pohon itu menebarkan
aroma yang semerbak mewangi. Kalau begitu, apa warna yang sesungguhnya
dari pohon tersebut? Apa bau yang sejati yang dimiliki pohon tersebut?
Sesuatu yang kita sebut dengan istilah warna dan bau pada pohon itu adalah
D
daya-daya pohon tersebut dalam menciptakan sensasi dalam diri kita. Jadi,
warna dan bau bukanlah kualitas yang berada dalam tubuh pohon itu sendiri
(not qualities in the tree it self), melainkan ide-ide kita sendiri. Dalam pohon
U
itu sendiri, sejatinya tidak ada warna dan tidak ada bau; pohon itu hanya
memiliki daya untuk memproduksi dalam diri kita suatu pengalaman
inderawi yang kita sebut dengan warna dan bau.74
M
Berdasarkan pada argumentasi di atas, konsep ide atau pengetahuan
dalam pemikiran filosofis Locke adalah merupakan hasil interaksi antara
sebuah objek yang dipersepsi dan subjek yang mempersepsinya. Kita
M
mempunyai pengetahuan mengenai suatu benda, gedung, hutan, kapal, dan
lautan, misalnya, karena hasil interaksi kita sebagai subjek yang memiliki
pengalaman bersentuhan dengan objek-objek tersebut. Tanpa adanya
Y
pengalaman berinteraksi dengan benda-benda tersebut, kita tidak akan
memiliki pengetahuan tentang semua benda-benda itu.
Pada titik inilah, Locke juga menegaskan bahwa bukan hanya
substansi objek tidak akan pernah bisa ketahui secara utuh, melainkan hakikat
sang subjek juga misteri yang tak terungkap. Mengapa demikian? Kita tahu
bagaimana objek-objek mempengaruhi kita karena kita memiliki pengalaman
visual, aural, sentuhan (tactile), dan efek-efek lain yang bersifat langsung dan

74
Velasquez, Philosophi A Text With Reading, op.cit, hlm. 369.
64
tak teragukan. Namun, hakikat sebenarnya dari suatu yang menerima efek-
efek pengalaman itu—hakikat independen dari subjek yang memiliki
pengalaman-pengalaman—adalah sesuatu yang tidak bisa kita ketahui dalam
pengalaman. Oleh karena itu, tampaknya logis bahwa jika yang kita ketahui
secara langsung adalah pengalaman, maka ketika pengalaman tidak ada, kita
tak akan bisa mengetahui secara langsung subjek yang memiliki pengalaman
tersebut.
Jadi, kita hidup dalam dunia yang hanya terdiri dari efek-efek
(effects) dan pengaruh-pengaruh (affects). Itulah yang bisa kita alami secara
langsung. Namun, hakikat dari yang memiliki efek-efek akan selalu berada di
D
luar segenap kemungkinan pengalaman kita, sebagaimana halnya dengan
hakikat dari yang-dipengaruhi (affected). Hal ini menghasilkan sebuah cara
pandang yang menganggap realitas terdiri atas dua jenis entitas, yaitu pikiran
U
dan objek-objek materiil. Menurut pandangan ini, keduanya dalam hakikatnya
tak bisa diketahui. Hanya interaksi antara keduanyalah yang bisa kita
ketahui.75
M
E. Biografi David Hume (1711-1776 M)
Lahir sebagai putra kedua dari
seorang tuan tanah kecil Skotlandia, Hume
M
masuk Universitas Edinburgh. Pada 1734 ia
pindah ke kota kecil La Fleche di Anjou
untuk menulis dan belajar (kemungkinan
Y
karena terdapat akademi Yesuit yang
mengajarkan Descartes dan Mersenne yang
sudah mempengaruhi keputusannya itu).
Pada tahun 1739 ia kembali ke Edinburgh

75
Bryan Magee, Memorar Seorang Filosof Terj. Eko Prasetyo
(Bandung: Mizan, 2005), hlm. 162.
65
untuk memastikan format akhir Treatise of Human Nature sebelum dicetak ke
publik, karya filsafat pertamanya sekaligus yang terbesar.76
Pada 1742 Hume menulis Essay Moral and Political, berisi banyak
kajian dari yang paling ringan bergaya Joseph Addison sampai yang berat dan
penting saat menyoroti fondasi-fondasi etika, politik, dan ekonomi. Karya ini
segera disusul An Enquiry Concering Human Understanding (1748) dan An
Enquiry Concering the Principles of Moral (1751). Dua buku ini dapat dilihat
sebagai upaya untuk menggambarkan pandangan filosofis di Treatise dengan
cara yang lebih mudah dipahami, meski Enquiry yang kedua mengandung
perbedaan mencolok dalam penitikberatannya. Pada dekade berikutnya, Hume
D
menerbitkan buku yang segera melambungkan namanya pada zaman itu,
History of England (sebanyak enam jilid, 1754-1762, karya yang kemudian
dikembangkan lebih jauh oleh Smellet). Selama periode inilah reputasinya
U
naik terus sampai kemudian diakui sebagai salah satu penulis, esais,
sejarawan, dan sastrawan utama Inggris. Pada 1763, ia pun dipercaya menjadi
sekretaris kedutaan dan kemudian charge d’affaires di Paris, dan dalam
M
periode inilah Hume menikmati ketenaran dan pemujaan luar biasa sebagai
salah satu arsitek utama Pencerahan. 77
Hume adalah empiris modern pertama yang menolak bantuan apa
M
pun entah dari prinsip aprioris penalaran, maupun dari ideologi lain yang
memastikan sebuah harmoni antara persepsi kita dan dunia. Kejeniusannya
terletak dalam keketatan yang dengannya ia merekonstuksi pelapisan
Y
pemikiran sehari-hari di atas dasar yang ramping ini. Kalau begitu, hubungan
kausal di antara peristiwa merupakan suatu yang tidak mempunyai impresi
apa pun terhadap kita, sehingga tidak mungkin ada ide yang muncul. Dengan
demikian teori Humean tentang penyebab lebih melihat kita sebagai agen
yang memproyeksikan peritiwa itu untuk cenderung kita sendiri yang
menyimpulkan peristiwa yang satu daripada peristiwa lainnya. Pikiran yang

76
Blackburn, Kamus Filsafat, hlm. 415.
77
Ibid., hlm. 415.
66
merupakan pemilik persepsi saya itu merupakan sesuatu yang dari dirinya
tidak pernah diberikan kepada saya dalam perspesi, sehingga sebuah teori
Humean tentang diri melihat sekedar sebagai fiksi yang muncul dari
imajinasi.78
Menurut Simon Blackburn, kecerdasan Hume yang sangat
menakjubkan telah memberinya kemampuan memengaruhi hampir tidak bisa
dihitung lagi: hampir semua studi antropologi, sosiologi, dan komparatif
menemukan benih mereka dalam karya-karyanya ini, sedangkan upaya untuk
lepas dari empirisme radikalnya telah memotivasikan para filsuf dari Kant
sampai hari ini. 79
D

F. Empirisme David Hume


David Hume merupakan salah seorang filsuf aliran empirisme yang
U
paling radikal. Hal ini disebabkan ia bukan hanya mampu mengembangkan
filsafat empirisme para filsuf sebelumnya, tetapi lebih dari semuanya, ia
memberikan pijakan filsafat empirisme secara amat konsisten. Meskipun ada
M
cukup banyak dan sangat luas prinsip-prinsip pemikiran filosofisnya, kita
hanya akan mendiskusikan tiga doktrin pemikirannya tentang filsafat
empirisme.
M
Pertama, tentang kesan (impressions) dan ide (ideas). Hume
memulainya dengan sebuah adagium prinsipil: ‘No ideas without
impressions’, yakni tidak ada ide tanpa melalui kesan. 80
Hume membedakan
Y
antara kesan dan ide. Kesan adalah bagaimana dunia eksternal memberi
pengaruh secara langsung kepada kita melalui kelima panca indera kita.
Sementara ide merujuk kepada citra atau konsep yang kita tarik dari kesan-
kesan yang telah kita dapatkan sebelumnya.

78
Ibid., hlm. 417.
79
Ibid., hlm. 417-418.
80
Pojman, Philosophy , op.cit, hlm. 137.
67
Katakanlah, kita melihat sebuah objek berwarna merah. Kemudian
warna kemerahan menorehkan kesan kemerahan tersebut melalui pikiran kita;
sehingga ketika kita menutup mata kita, maka kita masih bisa
menggambarkan warna kemerahan itu dalam pikiran kita. Atau ketika kita
mendengar seekor anjing yang menggonggong dan memberikan kesan suara
gonggongan pada telinga kita; Sehingga kemudian, walaupun kita sudah tidak
mendengar gonggongan anjing tersebut, namun pikiran kita tetap mampu
menangkap sebuah ide tentang “gonggongan”.
Akan tetapi, semua ide-ide ini walaupun terlihat sederhana, bagi
Hume, kita tidak akan bisa mempunyai ide-ide tentang apa pun kalau kita
D
tidak mempunyai pengalaman melalui panca indera kita terhadap dunia
eksternal terlebih dahulu. Jika kita tidak pernah melihat sebuah objek
berwarna merah, kita tidak akan bisa mempunyai ide tentang merah; Karena
U
itu, orang buta tidak memiliki ide mengenai warna merah. Jika kita tidak
pernah mendengar suara anjing yang menyalak, maka kita tidak akan dapat
memiliki ide mengenai nyalakan suara anjing. Itulah alasannya mengapa
M
orang yang sejak lahir tuli, tidak mempunyai ide tentang suara nyalakan
anjing.
Selanjutnya, kata Hume, dari ide-ide yang sederhana (simple ideas)
M
yang berpijak pada kesan-kesan sederhana (simple impressions), kita dapat
membangun ide-ide yang kompleks (complex ideas) sehingga kita bisa
membuat citra tentang hal-hal yang tidak eksis. Kita memiliki ide yang
Y
kompleks tentang kisah legenda kuno tentang kuda yang bertanduk (unicorn)
yang kita ciptakan dari gabungan ide sederhana tentang seekor kuda dan
sebuah tanduk. Kita juga bisa memiliki ide yang kompleks mengenai legenda
Yunani klasik tentang kisah kuda yang berkepala manusia yang kita ciptakan
dari kombinasi ide tentang belalai, lengan, dan kepala seorang manusia yang
menyatu dengan tubuh dan kaki seekor kuda.
Kita memang tidak bisa menciptakan ide-ide sederhana tanpa
memiliki kesan. Tapi sekali kita mengalami ide-ide sederhana melalui kesan

68
yang telah kita terima, imajinasi kita dapat mengkonstruksi berbagai
kombinasi ide-ide tersebut, sehingga menghasilkan ide-ide yang kompleks. 81
Itulah makna gambaran umum dari adagium yang diteriakkan oleh Hume di
atas: ‘No ideas without impressions’, yakni semua ide-ide yang kita bangun,
dari ide-ide sederhana, sampai ide-ide kompleks, harus bersumber dari kesan-
kesan yang kita dapatkan melalui pengalaman kita bersentuhan langsung
dengan dunia eksternal.
Kedua, penolakan terhadap substansi dan kesadaran diri. Salah satu
landasan filsafat sejak Plato hingga Berkeley adalah adanya substansi yang
eksistensinya berada dalam dirinya sendiri, bukan bergantung pada eksistensi
D
yang lain. Substansi berbeda dengan aksiden yang justru eksis dan bergantung
kepada substansi. Seekor kucing adalah sebuah substansi; sementara warna,
bentuk, berat, dan erangannya hanya bisa eksis bersama dan bergantung pada
U
eksistensi seekor kucing. Hume menolak keberadaan hakikat substansi sebab
seluruh pengetahuan manusia dapat dilacak pada pengalaman bersentuhan
dengan kesan-kesan terhadap dunia eksternal.
M
Ide tentang substansi pun berasal dari kesan-kesan yang disaksikan
manusia sehingga menjadi ide kompleks yang disebut dengan substansi. Dari
semua objek eksternal apa pun, menurut Hume, yang dapat kita tangkap
M
hanyalah kesan-kesan atau efek-efek dari objek tersebut, bukan hakikatnya.
Kita tidak dapat mengetahui secara penuh objek-objek eksternal yang kita
alami dengan panca indera. Namun ini bukan berarti dunia eksternal yang kita
Y
saksikan tidak eksis. Hume ingin menegaskan bahwa hakikat eksistensi dunia
eksternal atau substansinya tidak akan pernah bisa divalidasi dengan
pembuktian atau argumentasi rasional.
Meminjam contoh langsung dari Hume: “Gold is nothing but the
collection of the ideas of yellow, malleable, fusible, an so on”; ‘Emas tidak
lain kecuali kumpulan ide-ide tentang kuning, sesuatu yang dapat ditempa,

81
Ibid., hlm. 137-138; Bandingkan dengan Ridling, Philosophy
, op.cit, hlm. 886-888.
69
dapat dilebur, dan sebagainya’.82 Dengan alasan tersebut, dalam tilikan Hume,
sejatinya we have therefore no idea of substances, kita tidak mempunyai ide
mengenai substansi.83 Dalam pengertian tertentu, menurut Bryan Magee,
tampaknya Hume sedang melontarkan kritik atas keterbatasan-keterbatasan
manusia, dan secara khusus kritik atas pengetahuan manusia, yakni sebuah
kritik atas akal budi yang mendahului kritik Immanuel Kant terhadap akal
budi. 84
Berkenaan dengan kesadaran diri pun, Hume bersikap skeptis bahwa
kita tidak memiliki kesadaran diri secara solid. Mengenai kesadaran diri,
Hume beragumen bahwa jika kita berintrospeksi, kita hanya bisa menyadari
D
kandungan (content) pengalaman batin kita seperti persepsi-persepsi indriawi,
imaji-imaji, pemikiran-pemikiran, kenangan-kenangan, suasana-suasana hati,
perasaan-perasaan, dan lainnya. Kita tak memiliki kognisi atas sebuah entitas
U
lain, yaitu diri, yang memiliki semua pengalaman tersebut. Sebagaimana dia
katakan, “rasa sakit dan senang, rasa sedih dan gembira, suasana hati dan
sensasi bergantian datang dan pergi, dan tidak pernah hadir pada saat yang
M
sama. Oleh karena itu, kita tidak bisa menderivasikan ide tentang diri (self)
dari kesan-kesan ini atau dari kesan-kesan yang lain; dan sebagai
konsekuensinya, sesungguhnya ide diri itu tak ada”.85
M
Dalam perspektif Bryan Magee, pandangan Hume yang
beranggapan eksistensi diri itu tidak ada adalah keliru. Manusia sebenarnya
bukan hanya makhluk (adaan) yang mengetahui (knowing being); hanya
Y
seorang penonton panggung dunia, melainkan juga seorang agen yang
memiliki ide agensi. Yakni manusia memang sebagai makhluk yang
mengetahui tapi juga sekaligus makhluk yang berkehendak dan makhluk yang
bertindak. Kita bukan hanya para penonton dunia, melainkan juga partisipan
dunia yang turut menggerakkan dunia (baik dalam arti harfiah maupun

82
Zaine Ridling, Philosophy , op.cit, hlm. 891.
83
Ibid., hlm 890.
84
Bryan Magee, Memorar, op.cit, hlm. 169.
85
Ibid., hlm. 170-171.
70
metaforis). Manakala kita melakukan aktivitas yang kita sengaja, kita
memiliki sebuah pengalaman sadar bahwa kita sedang melakukan sesuatu¸dan
bahwa pengalaman itu tidak secara niscaya harus memiliki sebuah objek
epistemologis.
Sebagai contoh, saat kita mengunggu sebuah keputusan penting, kita
mungkin menderita sekali akibat situasi itu selama berhari-hari atau
berminggu-minggu, terbangun pada tengah malam karena khawatir,
mendiskusikannya dengan teman, dan sebagainya. Sepanjang periode
tersebut, kita sangat sadar bahwa kita sedang melakukan sesuatu, bahwa kita
tengah terlibat, berada dalam situasi itu; tetapi mungkin saja kita sama sekali
D
tidak bisa menduga-duga hasil keputusannya (mungkin saja keputusan itu
tidak akan pernah diwujudkan dan dirumuskan sama sekali) sebelum proses
itu berakhir. Dengan kata lain, terdapat kesadaran yang langsung dan bersifat
U
serta-merta akan aktivitas sebuah subjek, dan kesadaran-langsung ini
berlangsung kontinu dan tetap.
Kita lalu mempercayainya sebagai sebuah kesadaran yang diinsafi
M
dan bersifat langsung tentang aktivitas-aktivitas yang dilakukan diri. Ini bukan
berarti kita menyatakan bahwa diri (self) sepenuhnya diketahui—justru
sebaliknya, dengan mudah ditunjukkan bahwa itu tidak benar dan karena itu
M
kita tak perlu repot-repot membahasnya. Namun, kita memang menganggap
itu menggambarkan bahwa kita memahami secara langsung diri kita sebagai
diri yang berkesinambungan (continuing self). Tentu saja, tidak berarti
Y
mengatakan bahwa diri merupakan semacam entitas eksistensial: pada
hakikatnya, diri lebih merupakan sebuah proses. 86
Ketiga, hukum kausalitas. Ketika mendiskusikan hukum kausalitas,
kita dapat memulainya dengan cara kerja pikiran yang diuraikan Hume. Hume
menyatakan bahwa pikiran bekerja melalui tiga prinsip yaitu
keserupaan/kemiripan, relasi, hubungan, atau kontak serta sebab dan akibat.
Ketika kita memiliki sebuah ide tentang sesuatu misalnya, lazimnya kita

86
Ibid., hlm. 171-172.
71
mulai memikirkan peristiwa-peristiwa lain yang memiliki kemiripan dengan
ide yang sedang kita pikirkan. Kemudian kita mulai menghubungkan ide yang
sedang kita pikirkan dengan pengalaman-pengalaman kita sebelumnya yang
kita anggap relevan.
Dari pemikiran yang bersifat asosiatif ini, kita akhirnya
menisbahkan berbagai peristiwa sebagai hubungan sebab-akibat, sebagai
hukum kausalitas.87 Dengan argumentasi ini, Hume ingin menunjukkan
bahwa hukum kausalitas: bahwa A menyebabkan B; bahwa satu peristiwa ini
menyebabkan peristiwa kedua itu, tidaklah valid. Sejatinya kita tidak
mengetahui substansi hukum kausalitas; yang kita ketahui hanya hubungan
D
antara beberapa kejadian yang bersifat asosiatif, bukan bersifat substantif.
Ketika kita mempertimbangkan bahwa kejadian A menyebabkan
kejadian B, apa yang sebenarnya terjadi pada kejadian A dan B hanyalah
U
bahwa keduanya seringkali kita saksikan secara berurutan: kejadian A segera
disusul dengan kejadian B. Di sini, sebenarnya kita tidak berhak mengatakan
bahwa kejadian A mesti diikuti kejadian B, atau akan diikuti kejadian B pada
M
kesempatan mendatang. Kita juga tidak memiliki landasan untuk menduga,
seberapa pun seringnya kejadian A diikuti dengan kejadian B, adanya
hubungan di luar hubungan urutan, yang kita sebut dengan hukum kausalitas.
M
Sebab secara faktual, hukum sebab-akibat dapat diuraikan sebagai rentetan
yang berurutan, bukan sebagai gagasan kausalitas tersendiri.
Sebagaimana kita sudah singgung di awal, bahwa Hume meyakini
Y
semua gagasan kita berasal dari kesan yang kita dapatkan melalui
pengalaman. Pengalaman-pengalaman kita yang berulang-ulang membentuk
kebiasaan dan akhirnya kebiasaan-kebiasaan yang selalu kita temukan
menumbuhkan semacam harapan bahwa itu pasti terulang serupa dalam diri
kita, meskipun tidak kita sadari. Kejadian A yang menyebabkan kejadian B
yang telah kita saksikan berulang-ulang di masa silam dan telah membentuk

87
Ridling, Philosophy , op.cit, hlm. 888-889.
72
kebiasaan dalam perspektif kita, maka kita meyakini bahwa kejadian A yang
menyebabkan kejadian B itu pasti akan terjadi juga di masa depan.
Gambaran karikaturalnya seperti ini. Setiap pagi hari saya melihat
tetangga saya mengeluarkan beberapa ekor ayamnya dan langsung diberi
makan. Saya menyaksikan peristiwa yang sama ini setiap hari, setiap minggu,
dan setiap bulan-bulan yang terus berlalu. Pengalaman tentang kejadian ini
kemudian membentuk kebiasaan dalam benak saya, sehingga ada ekspektasi
samar dalam diri saya yang membisikkan begini: Ketika pagi hari saya
melihat tetangga saya mengeluarkan beberapa ekor ayamnya dari kandang,
benak saya langsung berbisik (berharap/harapan saya yang tak terucap):
“Ayam-ayam itu akan mendapatkan makanan dari yang empunya”.
D

Boleh jadi beberapa hari, minggu, atau bulan ke depan apa yang
saya yakini benar-benar terjadi sama persis seperti hari-hari sebelumnya:
U
ayam-ayam itu langsung mendapatkan makanan gratis dari tetangga saya.
Namun satu waktu, dua hari atau sehari sebelum hari raya Idul Fitri, tetangga
saya mengeluarkan kembali ayam-ayamnya dari kandang seperti kebiasaan
M
sebelumnya. Namun yang mengejutkan, ketika ayam-ayam tersebut keluar,
ayam-ayam itu bukannya mendapatkan makanan gratis seperti biasanya, tetapi
langsung dipotong oleh empunya (untuk makanan di Hari Raya Lebaran).
M
Di sini, semua perspektif yang berdasarkan pengalaman dan
kebiasaan saya tentang sebab akibat: bahwa kalau setiap pagi ayam-ayam itu
dikeluarkan, maka ayam-ayam tersebut akan mendapatkan makanan, menjadi
Y
gugur seketika. Harapan saya yang samar dan mungkin tidak saya sadari,
seketika itu juga menjadi jelas: hari ini saya menyaksikan ayam-ayam yang
dikeluarkan itu bukan untuk diberi makanan, tapi dipotong. Harapan saya pun
gugur. Hukum kausalitas yang barangkali saya yakini selama ini, sebenarnya
tidak lain hanya kesan-kesan tentang relasi secara berurutan yang saya
dapatkan melalui pengalaman yang telah menjadi kebiasaan. Jadi, bagi Hume,
yang kita sebut sebagai hukum kausalitas itu hanya perspektif kita belaka
tentang berbagai kejadian, bukan hakikat hukum kausalitas itu sendiri.

73
Dengan alasan inilah: ‘We can therefore’, tulis Hume, only know
cause and effect from experience, not from reasoning or reflection¸’Karena
itulah, kita hanya mengetahui sebab dan akibat dari pengalaman, bukan dari
penalaran atau hasil refleksi’. 88 Begitu juga, dari pengandaian kita bahwa
masa depan menyerupai masa silam tidak dilandaskan pada jenis argumen
rasional apa pun, tetapi sepenuhnya berasal dari kebiasaan-kebiasaan saja.89
Kiranya kita bisa melihat secara langsung sikap skeptis Hume dari
kesimpulan yang disuguhkannya ke hadapan kita berikut ini:
“Semua alasan yang mungkin tidak lain merupakan satu jenis
sensasi. Kita mesti mengikuti selera dan sentimen kita, bukan
D
hanya di dalam puisi dan musik, namun juga dalam filsafat.
Sebuah prinsip yang saya alami, tidak lain hanyalah sebuah
gagasan yang sangat mempengaruhi saya. Ketika saya lebih
U
memilih sekumpulan argumen ketimbang argumen lain, apa yang
saya lakukan itu tidak lain adalah memutuskan berdasarkan
perasaan saya tentang keunggulan pengaruh argumen-argumen
M
itu. Obyek tidak memiliki hubungan teramati satu sama lain;
tidak dari prinsip mana pun, tetapi dari kebiasaan yang berlaku
dalam imajinasi, sehingga kita dapat menarik kesimpulan apa
M
pun dari penampakan yang satu hingga keberadaan yang lain”. 90

Pada titik ini, menjadi transparan tentang sikap skeptis Hume: ia


Y
bukan hanya meragukan ide-ide kita, substansi objek dan kesadaran diri, tapi
juga meragukan pengetahuan kita tentang hakikat hukum kausalitas. Hume
menurunkan sebuah keraguan radikal kepada kita. Tapi benarkah bahwa
pengetahuan pasti tidak dapat kita ketahui atau kita dapatkan melalui fakultas
panca indera dan penalaran kita terhadap realitas eksternal? Benarkah semua

88
Bertrand Russell, History of Western , op.cit, hlm. 639.
89
Ibid., hlm. 644.
90
Ibid., hlm. 877.
74
pengetahuan kita hanya bersifat relatif, tidak utuh, dan karenanya mesti
disisipi sikap keraguan seperti yang diikrarkan oleh Hume?
Sebenarnya, bila seseorang mengklaim bahwa pengetahuan pasti
mustahil tercapai, pertanyaan yang perlu kita ajukan kepadanya ialah apakah
dia mengetahui klaimnya itu secara pasti atau dia juga meragukannya. Jika dia
menjawab bahwa dia mengetahui kemustahilan pengetahuan pasti secara
pasti, setidaknya suatu pengetahuan pasti telah diperoleh—seperti yang
diakuinya—dan dengan demikian klaimnya mengenai kemustahilan
pengetahuan pasti dia langgar sendiri. Sebaliknya, jika dia tidak mengetahui
secara pasti tentang kemustahilan pengetahuan pasti, setidaknya dia telah
D
mengakui kemungkinan adanya pengetahuan pasti. Dan dengan demikian,
klaimnya tentang kemustahilan pengetahuan pasti telah, dari sisi lain,
dikelirukannya sendiri.
U
Akan tetapi, jika seorang berkata bahwa dia meragukan
kemungkinan pengetahuan pasti dan klaim-klaim tentang pengetahuan pasti,
kita perlu menanyakannya apakah dia telah mengetahui dengan pasti bahwa
M
dia punya keraguan semacam itu atau tidak. Jika dia menjawab bahwa dia
mengetahui secara pasti adanya keraguan tersebut, itu berarti bahwa ia tidak
hanya telah mengakui kemungkinan pengetahuan pasti, tetapi juga
M
mengetahui keaktualan pengetahuan pasti itu (dalam dirinya). Akan tetapi,
jika dia menyatakan bahwa dia meragukan apakah dia benar-benar punya
keraguan atas keberadaan pengetahuan pasti (yang terdapat dalam dirinya),
Y
jawaban seperti ini tidak bisa tidak diakibatkan oleh suatu penyakit atau niat
yang memerlukan tanggapan non-teoretis.
Sebagai tanggapan untuk kalangan yang membela relativitas semua
pengetahuan, yakni kalangan yang mengklaim ketiadaan proposisi yang benar
secara mutlak, universal, dan abadi, kita perlu bertanya apakah klaim
relativitas semua pengetahuan itu sendiri benar secara mutlak, universal, dan
abadi atau klaim itu cuma benar secara relatif, partikular, dan temporer.
Apabila klaim relativitas itu dianggap senantiasa benar dalam semua kasus

75
tanpa syarat dan penyifatan (qualification), gugurlah relativitas pada semua
pengetahuan, lantaran satu proposisi telah terbukti benar secara mutlak,
universal, dan abadi—yakni proposisi relativitas semua pengetahuan. Jika
proposisi relativitas semua pengetahuan ini pun bersifat relatif, itu berarti
bahwa pada kasus-kasus tertentu relativitas tidak berlaku. Dan pada kasus-
kasus yang tidak menerima relativitas, terdapat proposisi-propoisi yang benar
secara mutlak, universal, dan abadi. 91
Terlepas dari kelemahan sikap skeptis Hume, dalam kajian Bryan
Magee, sebenarnya Hume sendiri mengakui bahwa tidak mungkin bagi siapa
pun untuk benar-benar hidup sebagai seorang yang skeptis karena, untuk bisa
D
hidup, kita harus terus-menerus melakukan tindakan-tindakan, dan ini
melibatkan penetapan pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan, dan semua ini
tak bisa dilakukan kecuali atas dasar keyakinan-keyakinan kita mengenai
U
situasi kita. Lebih dari itu, proses pemilihan dan keputusan tersebut
melibatkan risiko-risiko, dan sering kali risiko-risiko itu begitu besar karena
perilaku kita memiliki konsekuensi-konsekuensi praktis: setiap hari kita harus
M
sering mengambil keputusan yang membuat kita terbunuh seperti melangkah
di depan kendaraan-kendaraan yang sedang melaju sehingga kita tertabrak,
tersengat aliran listrik, menghirup gas beracun, overdosis obat-obatan, atau
M
tertusuk oleh benda-benda tajam.
Jadi, sepanjang waktu kita semua harus menjalani kehidupan atas
dasar keyakinan-keyakinan mendasar mengenai realitas, meski kita memang
Y
tak pernah bisa yakin seratus persen apakah keyakinan-keyakinan kita benar.
Ini membuat Hume menyerukan sikap yang disebutnya sebagai “skeptisisme
ringan” (mitigated scepticism). Proses pemikiran yang bijaksana, menurut
Hume, ialah pemikiran yang menjauhkan kita dari segala bentuk dogmatis dan
proses pemikiran yang terus-menerus bersedia untuk berdasarkan pengalaman

91
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam,
terj. Musa Kazhim dan Saleh Bagir (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 88-
89.
76
merevisi ekspektasi-ekspektasi, dan pada saat yang sama bertindak secara
berani dan penuh keyakinan sebagaimana yang dituntut oleh kehidupan.
Sudah pasti, akan ada saat-saat ketika kita terjatuh, dan satu-satunya hal yang
bisa kita lakukan pada saat-saat itu ialah bangkit dan mencoba lagi—dan
mencoba untuk belajar dari pengalaman. Dalam praktiknya, pengadopsian
cara hidup seperti ini memiliki implikasi-impliasi tertentu yang sangat luas.
Salah satunya ialah sikap toleransi yang massif dan manusiawi. 92
G. Penutup: Catatan Kritis bagi Empirisme
Persoalan khusus aliran filsafat empirisme ialah menerangkan
konsep dan keputusan universal hanya lewat pengalaman saja. Tidak
diragukan bahwa “seluruh pengetahuan kita mulai dengan pengalaman” dan
D

secara tertentu dikondisikan oleh pengalaman. Pembatasan pengetahuan kita


pada bidang pengalaman belaka tidak dapat dipertahankan oleh dirinya
U
sendiri. Bahkan pernyataan, “seluruh pengetahuan berdasarkan pengalaman
adalah benar” tidak dapat direduksi dari pengalaman. Dan malahan prinsip
fundamental empirisme yang mengatakan bahwa pengalaman sajalah yang
M
menjamin pengetahuan yang sejati lebih sulit dibangun berdasarkan
pengalaman saja.
Empirisme cenderung gagal ketika menjelaskan konsep universal
M
atau umum. Representasi inderawi biasa atau schemata inderawi tidak cukup
menjelaskan konsep universal, karena re-presentasi atau schemata itu tidak
dapat diafirmasikan secara identik dengan afirmasi beberapa aspek objek real.
Y
Konsep logis “manusia” adalah satu, tetapi schemata inderawi untuk
“manusia” mendapat bentuk berbeda-beda. Akibatnya shemata tidak dapat
dipakai sebagai subjek atau predikat dalam suatu keputusan universal.
Schemata itu sendiri membutuhkan satu norma agar dapat dihasilkan dan
dikenal sebagai schemata, yakni konsep logis.

92
Bryan Magee, Memorar, op.cit, hlm. 168. Perbandingan
dengan Zaine Ridling, Philosophy, op.cit, hlm. 894.
77
Berpegang kepada yang tidak sadar, atau yang inderawi atau
imajinasi yang dibawa serta oleh yang tak sadar dan yang inderawi tidak
cukup. Sebab, konsep universal adalah representasi yang sungguh sadar dan
jelas. Bahwa bisa terjadi konsep universal itu diselimuti dengan schema
inderawi dan disertai representasi inderawi tidak dapat ditolak. Tetapi proses
ini mengandaikan konsep logis. Selanjutnya, empirisme mengacaukan
hubungan subjek-predikat yang dipahami secara intuitif dalam keputusan
asosiasi non-intuitif. Ia mencoba membangun kesahihan keputusan universal
berdasarkan induksi. Tetapi induksi sendiri mempunyai pengandaian-
pengandaian tertentu yang tidak dapat dibangun dari pengalaman saja.
D
Penolakan metafisika oleh empirisme sebagai pengetahuan yang
melampaui pengalaman, gagal untuk melihat bahwa pengalaman itu sendiri
dikondisikan oleh dasar-dasar yang melampaui pengalaman. Jadi, di dalam
U
semua pengetahuan yang benar pengalaman selalu dilampaui.93
Demikian pula, sebuah teori yang sangat menitikberatkan pada
persepsi pancaindera kiranya melupakan kenyataan bahwa panca indera
M
manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Panca indera kita sering
menyesatkan di mana hal ini tidak disadari oleh kaum empiris sendiri.
Empirisme tidak mempunyai kelengkapan untuk membedakan antara
M
khayalan dan fakta.
Akhirnya, empirisme tidak dapat memberikan kita kepastian. Apa
yang disebut pengetahuan yang mungkin, dalam pengertian di atas,
Y
sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan. Secara
karikatural, tanpa terus berjaga-jaga dan mempunyai urutan pengalaman
indera yang tak terputus-putus, kita takkan pernah merasa yakin bahwa mobil
yang kita masukkan ke dalam garasi pada malam hari adalah juga mobil yang
sama yang kita kendarai pada pagi harinya. 94

93
Lorens Bagus, Kamus, op.cit, hlm. 200.
94
Jujun S. Suriasumantri ed., Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta:
Obor Indonesia, 2009), hlm. 104.
78
BAB 3

EPISTEMOLOGI FENOMENALISME
A. Pengantar

“Kant’s views are a serious attempt to analyze the nature of knowledge.


Kant not only shows the limitations of knowledge but also
validates knowledge within its proper field”.95

Setelah menelusuri argumentasi-argumentasi filosofis dari filsafat


rasionalisme dan empirisme, kini kita akan menjelajahi salah satu doktrin
D
filsafat besar abad-18 yaitu fenomenalisme. Epistemologi fenomenalisme
bukan hanya mengkritisi sejumlah kelemahan masing-masing pijakan filosofis
paham rasionalisme dan empirisme, tapi juga berupaya mendamaikan
U

keduanya dengan sebuah formula filosofis yang benar-benar orisinil.


Sebagaimana diungkapkan dengan indah oleh Manuel Velasquez di
M
atas, perspektif-perspektif yang dikonstruksi oleh Immanuel Kant merupakan
sebuah upaya yang sangat serius dalam menganalisa basis pengetahuan.
Menariknya, Kant bukan hanya mampu menunjukkan batasan-batasan
M
pengetahuan kita, ia juga mampu memvalidasi pengetahuan kita dalam
ranahnya yang tepat. Baik rasionalisme maupun empirisme hanya mampu
menangkap setengah kebenaran pengetahuan. Padahal terdapat struktur-
struktur internal dalam fakultas indrawi dan akal kita yang menjadi penentu
Y

kita dalam membingkai realitas. Struktur-struktur internal inilah yang menjadi


basis pengetahuan manusia, sehingga fenomenalisme hendak menunjukkan
sejauh mana kapasitas indrawi dan akal kita dalam mencandra realitas.
Karena itu, tulisan ini akan menelusuri bagaimana pengertian
fenomenalisme secara filosofis; mengeksplorasi pijakan-pijakan argumentatif
epistemologi fenomenalisme menalui perspektif Immanuel Kant, dan diakhiri

95
Manuel Velasquez, Philosophy A Text With Reading (New
York: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm. 389.
79
dengan catatan penutup untuk melihat kontribusi sekaligus tilikan kritis
terhadap fenomenalisme Kant. Di sini perlu ditegaskan, bahwa epistemologi
fenomenalisme Immanuel Kant yang kita bahas ini hanya dibatasi pada ranah
filsafat murni yang berhubungan dengan akal murni (pure reason) dan tidak
membahas wilayah filsafat moralnya yang mencakup practical reason (akal
praktis).
B. Pengertian Fenomenalisme
Istilah fenomenalisme berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata
phainomenon yang berarti apa yang tampak dari penampakan atau
memperlihatkan. Ada beberapa arti fenomen antara lain: objek persepsi; apa
D
yang diamati; apa yang tampak pada kesadaran kita; objek pengalaman
indrawi atau apa yang tampak pada panca indra kita; dan suatu fakta atau
96
peristiwa yang dapat diamati. Sedangkan fenomenalisme adalah sebuah
U
doktrin filosofis yang berpandangan bahwa kita hanya mengetahui sesuatu
berdasarkan apa yang tampak. 97
Doktrin fenomenalisme dapat dirinci dalam sejumlah detil-detil
M
sebagai berikut:
1. Hanya fenomena (data inderawi) dapat diketahui sebagaimana
fenomena tersebut tampak kepada kesadaran kita.
M
2. Kita tidak dapat mengetahui hakikat terdalam dari suatu kenyataan
yang berada di dalam dirinya sendiri.
3. Apa yang kita ketahui tergantung pada kegiatan kesadaran. Realitas
Y
obyek lahiriah, fisis berdasarkan pengamatan, pencerapan seseorang.
4. Pengetahuan dibatasi pada apa yang dapat dicerap (diamati) secara
sadar terhadap dunia luar dan dibatasi pada apa yang dapat dicerap
dengan introspeksi tentang kegiatan dan keadaan mental kita.

96
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002), hlm. 230-231.
97
Milton D. Hunnex, Peta Filsafat Terj. Zubair (Jakarta:
Teraju, 2004), hlm. 29 dan 156.
80
5. Realitas merupakan totalitas pengalaman-pengalaman sadar yang
mungkin ada.
6. Materi merupakan kemungkinan permanen bagi pencerapan
(sensasi). Obyek-obyek material merupakan rangkaian atau gugusan
kelompok cerapan inderawi yang aktual atau yang mungkin. Dunia
fisik tidak dapat dikatakan terpisah dari data inderawi seorang
pengamat, baik yang aktual maupun yang bersifat potensial.
7. Obyek fisik (material) merupakan konstruksi logis berdasarkan
persepsi (data indrawi). Arti tentang pernyataan tentang obyek fisik
seluruhnya dapat dianalisis dalam kaitan dengan pernyataan tentang
D
pola-pola data inderawi, atau seluruhnya dapat dikembalikan kepada
pernyataan tentang pola-pola data inderawi (fenomena).
8. Berbeda dengan idealisme epistemologis, fenomenalisme dalam arti
U
yang tepat menegaskan dan menandaskan eksistensi segala sesuatu
yang terlepas dari pikiran. Tetapi hakikat segala sesuatu yang berada
di dalam dirinya sendiri tetap tidak dapat kita ketahui. Di sini pula
M
letak perbedaan antara realisme dan fenomenalisme. Kaum
fenomenalis menegaskan bahwa segala sesuatu memberikan kesan-
kesan kepada kita. Dalam kesan-kesan ini, segala sesuatu yang
M
tampak kepada kita sesuai dengan ciri khas subyek bersangkutan.
Dan gejala (kesan) yang kita terima secara pasif ini merupakan
obyek pengetahuan kita. Oleh karena itu, fenomenalisme berbeda
Y
baik dari realisme maupun idealisme. 98
Seorang filsuf yang membuat demarkasi secara distingtif antara
realitas objektif sebagai sesuatu yang dalam dirinya sendiri (noumena) dan
realitas subjektif sebagai sesuatu yang tampak pada kesadaran kita
(fenomena) adalah Immanuel Kant. Berikut ini kita akan memfokuskan
epistemologi fenomenalisme yang digulirkan oleh filsuf besar dari Jerman
abad ke-18 M tersebut.

98
Lorens Bagus, Kamus, op. cit, hlm. 231-232.
81
C. Biografi Immanuel Kant (1724-1804)
Tidak boleh disangsikan,
Immanuel Kant (1724-1804)
termasuk filsuf yang terbesar dalam
sejarah filsafat modern. Tentang
riwayat hidupnya tidak dapat
dikisahkan hal-hal yang mencolok
mata. Ia lahir di Konigsberg, sebuah
kota kecil di Prusia Timur. Di
universitas di kota asalnya ia
D
menekuni hampir semua mata pelajaran yang diberikan dan akhirnya menjadi
profesor di sana. Di bidang filsafat, Kant dididik dalam suasana rasionalisme
yang pada waktu itu menonjol di universitas-universitas Jerman.99
U
Sewaktu studi di universitas kota Konigsberg, Kant mempelajari
hampir semua mata kuliah waktu itu, dan dia mendapat pengaruh rasionalisme
Wolff melalui dosen yang sangat dikaguminya, Martin Knutzen. Dengan hak
M
istimewa untuk meminjam buku-buku dosennya ini, Kant dapat mempelajari
fisika Newton dan sistem-sistem metafisis dan logika yang dicapai sampat
saat itu. Karena kekurangan uang, dia juga bekerja sebagai Privatdozent
M
(dosen lepas) untuk beberapa keluarga kaya. Masa kerja sebagai Privatdozent
ini berlangsung dari tahun 1755-1770 dan dikenal sebagai “periode pra-
kritis”-nya yang sangat dipengaruhi oleh Leibniz dan Wolff. Juga pada
Y
periode ini Kant adalah seorang dosen yang sangat luar biasa dalam
penguasaannya atas hampir semua ilmu waktu itu. 100
Episode kehidupan Kant secara pribadi berjalan sangat ketat, teratur,
penuh kedisiplinan, dan bahkan terkesan mekanisme. Penyair Heine
melukiskan rutinitas kehidupan sang filsuf dengan sangat indah: ”Sejarah

99
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1975), hlm. 63.
100
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hlm. 131.
82
hidup Immanuel Kant, sulit ditulis karena dia tak punya kehidupan maupun
sejarah, dan karena dia menjalani kehidupan sebagai bujangan tua yang
abstrak dan tertib secara mekanis, di sebuah jalan yang tentram dan sepi di
Keonigsberg, kota kuno diperbatasan Timur-laut Jerman. Saya tak yakin
bahwa jam besar katedral di kota itu mampu melaksanakan tugasnya sehari-
hari secara lebih tertib dan teratur ketimbang rekannya, Immanuel Kant.
Bangun tidur, minum kopi, menulis, membaca bahan-bahan kuliah, makan,
dan berjalan, semuanya memiliki waktu tersendiri, dan para tetangganya tahu
bahwa tentu tepat pukul setengah empat, Immanuel Kant lengkap dengan
mantel abu-abu dan tongkat bambu di tangannya, meninggalkan pintu
D
rumahnya menuju jalan raya yang dinaungi pohon-pohon limau—suatu
kebiasaan yang untuk mengenang dia lantas disebut Langkah sang Filsuf”. 101
Secara fisik ia lelah, memerlukan perawatan dokter, tetapi ia hidup
U
sampai usia delapan puluh tahun. Ia memang filosof tulen. Ia berpikir lebih
dahulu sebelum berbuat. Barangkali karena inilah maka ia membujang seumur
hidup. Dua kali ia mencoba mendekati perempuan. Pertama ia
M
merenungkannya terlalu lama. Karena tidak sabar menunggu, perempuan itu
kawin dengan pemuda lain yang berani. Yang kedua dengan perempuan yang
juga tidak sabar menunggu Kant mengambil keputusan kawin atau tidak.
M
Akhirnya perempuan itu pindah dari kota Konigsberg. Mungkin ia berpikiran
seperti Nietzsche yang berpandangan bahwa kawin akan merintangi
pencapaian kebenaran, atau seperti Talleyrand yang berpendapat bahwa orang
Y
yang kawin akan melakukan apa saja demi duit. Dan Kant pada umur dua
puluh tahun telah menyatakan, “Saya sudah menetapkan jalan yang pasti.
Saya ingin belajar, tidak satu pun yang dapat menghalangi saya dalam
mencapai tujuan hidup”.102

101
Henry D. Aiken, Abad Ideologi (Yogyakarta: Relief, 2010),
hlm. 32.
102
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosda Karya,
2004), hlm. 152.
83
Kehidupan Kant sebagai filsuf dapat dibagi atas dua periode: zaman
praktis dan zaman kritis. Dalam zaman praktis ia menganut pendirian
rasionalistis yang dilancarkan oleh Wolff dan kawan-kawannya. Tetapi karena
dipengaruhi oleh Hume, berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalisme.
Ia sendiri mengatakan bahwa Hume-lah yang membangunkan dia dari tidur
dogmatisnya. Sedangkan dalam periode kedua, Kant mengubah wajah filsafat
yang radikal. Kant sendiri menamakan filsafatnya sebagai kritisisme dan ia
mempertentangkan kritisisme dengan dogmatisme. Menurut dia, kritisisme
adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan telebih dahulu
menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant adalah filsuf yang
D
pertama mengusahakan penyelidikan ini. Semua filsuf yang mendahuluinya
tergolong dalam dogmatisme, karena mereka percaya mentah-mentah
kemampuan rasio tanpa penyelidikan lebih dahulu. 103
U
Kant menggunakan sebagian besar dari umurnya mempelahari
proses “logical process of thought”, “the external world” dan “the reality of
things”. Mulai zamannya Kant, para filosof harus mengindahkan dan
M
memikirkan argumen-argumennya. Tulisan-tulisan Kant yang kurang penting
banyak dan mengenai bermacam-macan topik. Tetapi karya yang besar adalah
tiga kritik: Critique of Pure Reason, membicaran tentang “reason” dan
M
“knowing process”, ia menghabiskan waktu 15 tahun untuk menulis buku
tersebut, yaitu buku yang mengherankan dunia filsafat; Critique of Pure
Reason, yang menjelaskan filsafat moralnya; dan Critique of Pure Reason
Y
yang menyempurnakan kedua karangan sebelumnya dan terlihat “nature as
purposive” dalam hukum-hukumnya.104 Kant meninggal dunia pada tanggal
12 Februari 1804 dalam usia delapan puluh tahun.

D. Epistemologi Fenomenalisme Immanuel Kant


1. Kritik Terhadap Akal Murni

103
Bertens, Ringkasan Sejarah, hlm. 64.
104
Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj.
H.M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 151.
84
Immanuel Kant memulai proyek filsafat fenomenalisme-nya dengan
mengajukan pertanyaan filosofis yang bersifat fundamental: What can we
know? Apakah yang dapat kita ketahui? What are the limits of human
knowledge? Apakah batas-batas pengetahuan manusia? Meskipun pertanyaan
ini amat singkat tapi justru dengan pertanyaan inilah Kant hendak menyelidiki
sejauh mana kekuatan akal manusia dalam mencandra ilmu pengetahuan;
Meskipun pertanyaan ini tampak sederhana, tapi dengan pertanyaan inilah
Kant mulai menelisik tentang batas-batas kemampuan rasio manusia dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan; Meskipun pertanyaan ini seperti
pertanyaan common sense, tapi pertanyaan inilah yang tidak pernah
D
dipertanyakan oleh filusf-filsuf sebelumnya; Dengan pertanyaan inilah, Kant
memisahkan diri dengan filsuf-filsuf sebelumnya sekaligus membangun garis
batas yang jelas antara bangunan filsafatnya dengan bangunan filsafat
U
sebelumnya.
Dengan berpijak pada pertanyaan tersebut sebagai titik berangkat,
Kant tegas menyatakan bahwa bangunan-bangunan filsafat sebelumnya
M
bersifat dogmatisme, sedangkan bangunan filsafatnya bersifat kritisisme.
Filsuf-filsuf Barat sejak zaman Yunani kuno sampai zaman pencerahan, entah
sejak Thales, Pythagoras, dan Heraklitus, entah sejak Socrates, Plato, dan
M
Aritoteles, entah sejak era Francis Bacon, Thomas Hobbes, dan Isaac Newton,
maupun sampai era Rene Descartes, John Locke, dan David Hume, semuanya
tidak pernah mempertanyakan batas-batas kemampuan akal manusia. Semua
Y
filsuf sebelum Kant itu tidak pernah menguji lebih dahulu kapasitas akal
manusia dalam memperoleh pengetahuan, kemampuan rasio manusia diterima
dan dipercaya begitu saja dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan dan
konsep-konsep filsafat.105
Sikap penerimaan mereka itulah yang disebut Immanuel Kant
dengan dogmatisme. Padahal dalam perspektif Kant, sebelum melakukan

105
Harun Handiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat 2 (Yogyakarta:
Kanisius, 1980), hlm. 64.
85
penjelajahan filosofis untuk menurunkan wacana-wacana filsafat, seorang
filsuf semestinya menguji terlebih dulu sejauh mana kemampuan dan batas-
batas yang dimiliki oleh alat yang digunakannya yaitu akal. Dengan kata lain,
metode kritis Kant merupakan sebuah proses dimana akal kita bertanya
kepada akal itu sendiri mengenai jangkauan dan batas-batas kekuatannya
sendiri. Tujuan pemeriksaan diri tersebut adalah untuk menemukan semua
tapal batas antara apa yang bisa dan yang tidak busa dicapai oleh akal. 106
Sikap inilah yang oleh Kant disebut kritisisme. 107 Namun sampai di sini,
pertanyaan yang tersisa adalah dimanakah batas-batas aparatus yang dimiliki
manusia, baik akal maupun panca indera dalam melakukan konstruksi ilmu
D
pengetahuan?
Dalam perspektif Kant, pengetahuan manusia merupakan hasil kerja
sama antara panca indera dan pemahaman akal. Melalui panca indera, objek-
U
objek menampakkan diri ke hadapan kita dan melalui pemahaman akal,
objek-objek tersebut dapat dipahami. Bagi Kant, filsuf mesti mengkaji cara
kerja panca indera dan akal pikiran dalam membentuk pengetahuan; Sebab
M
ada dua level pengetahuan: pengetahuan pada level panca indera yang
dinamakan oleh Kant sebagai estetika transendental (the transcendental
aesthetic) dan pengetahuan pada level akal yang dinamakannya dengan logika
M
transendental (the transcendental logic).108
Pertama, estetika transendental. Sebagaimana para filsuf abad ke-17
dan 18 sebelumnya, Kant menilai fakultas panca indera sebagai kekuatan
Y
pasif dalam menerima penampakan objek-objek eksternal. Namun Kant
membuat perbedaan antara materi dan bentuk dari pengalaman panca indera
kita. Materi adalah sesuatu yang berasal dari sensasi secara langsung.

106
Stephen Palmquis, Pohon Filsafat (Yogyakarta: Pusyaka
Pelajar, 2007), hlm. 87-88.
107
Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika (Yogyakarta:
Kanisius, 1997 ), hlm. 138.
108
Anthony Kenny, Western Philosophy (USA: Blackwell
Publishing), hlm. 278.
86
Sedangkan bentuk merupakan pengaturan yang berasal dari pemahaman kita
yang belum teratur. Aspek materi dari sensasi misalnya mencakup perbedaan
antara sekilas warna biru dan warna hijau atau semerbak mewangi bunga
mawar dan sepotong keju.
Namun yang lebih menarik dan lebih dominan dalam pemikiran
filosofis Kant, adalah mengenai unsur bentuk pada level estetika
transendental. Dalam pengetahuan manusia, setiap objek panca indera secara
tidak langsung menjadi objek pikiran, yakni apa pun yang kita alami selalu
kita klasifikasikan dan kodifikasi dengan pemahaman dalam satu atau
beberapa konsep. Kant hendak mengisolasi semua perangkat pemahaman
D
tersebut dengan menyuguhkan dua bentuk yang menjadi kesadaran panca
indera yaitu ruang dan waktu (space and time). Bagi Kant, forma ruang dan
waktu merupakan struktur intrinsik panca indera yang bersifat apriori (tanpa
U
pengalaman empiris).
Kemudian Kant membedakan pula antara panca indera internal dan
panca indera eksternal. Ruang merupakan bentuk panca indera eksternal kita
M
di mana objek-objek eksternal dapat kita persepsi. Semuanya hanya dapat
terjadi dalam lingkaran ruang. Sedangkan waktu merupakan bentuk panca
indera internal kita di mana pikiran kita mengalami keadaan-keadaan internal
M
pikiran kita: semua kondisi-kondisi internal dalam pikiran dan jiwa kita itu
hanya bisa berlangsung dalam putaran sang waktu. 109 Jadi panca indera kita
selalu menangkap objek, baik objek eksternal maupun objek internal, dalam
Y
kerangka ruang dan waktu. Tidak ada satu pun objek, kejadian, atau pun
keadaan yang bisa kita tangkap secara inderawi tanpa berada dalam batasan
ruang dan waktu.
Sampai pada poin ini, muncul pertanyaan yang menggoda benak
kita: lalu apakah ruang dan waktu dalam pandangan Kant tidak riil? Jawaban
Kant: secara empiris, ruang dan waktu riil, tetapi secara transendental ruang
dan waktu bersifat ideal, menyatu dalam diri manusia. “If we take away the

109
Ibid., hlm. 278-279.
87
subject”, tulis Kant menyuguhkan argumentasi, “space and time disappear”,
“Kalau kita hilangkan sang subjek, maka ruang dan waktu akan lenyap.
Karena itulah; “These as phenomena cannot exist in them selves but only in
us”; Fenomena ruang dan waktu tidak dapat eksis dalam diri mereka sendiri,
tapi hanya eksis dalam diri kita.110
Di sinilah, Kant mengidentifikasi ruang dan waktu yang bersifat
inheren dalam diri kita sebagai bentuk-bentuk intuisi inderawi yang
mendahului setiap pengalaman persepsi inderawi yang kita lakukan (forms of
intuition).111 Karena pencandraan inderawi kita terhadap objek-objek
senantiasa ditentukan oleh forma ruang dan waktu, maka konstruksi persepsi
D
kita terhadap setiap objek tidak pernah sempurna. Setiap pengetahuan kita
terhadap objek-objek yang kita candra melalui indera kita hanyalah tentang
penampakannya saja bukan hakikat objek itu sendiri. Dalam bahasa Kant,
U
secara langsung, Das ding an sich, benda-dalam-dirinya-sendiri (thing in
itself), tidak dapat kita ketahui.
Analoginya, ini laksana kita menggunakan kaca mata berwana
M
dalam melihat dunia. Ketika kita memakai kaca mata berwarna hitam dalam
melihat mobil berwarna putih, maka warna mobil itu berubah menjadi hitam.
Bentuk mobil yang kita lihat sama dengan sebelumnya; hanya saja warnanya
M
berubah menjadi hitam. Tatkala kita menggunakan kaca mata berwarna
kuning untuk memandang seekor kucing hitam, maka kucing hitam itu pun
berwarna kuning. Pose kucing hitam dengan empat kakinya tidak berbeda
Y
dengan sebelumnya; Namun warna kucing itu sekarang bukan lagi hitam, tapi
menjadi kuning dalam penglihatan kita. Ini karena kaca mata yang kita
kenakan membatasi kita dalam melihat objek-objek inderawi.
Dalam konteks ini pula, Kant mengatakan bahwa yang dapat kita
ketahui dari objek-objek tersebut hanya fenomena atau hanya penampakan

110
Ibid., hlm. 279.
111
Philip Stokes, Philosophy 100 Essential Thinker (New York:
Enchanted Lion Books, 2003), hlm. 97.
88
(gejala) nya saja, sementara noumena, atau substansi dari objek itu sendiri
tidak dapat kita ketahui. Hakikat objek-objek yang kita pandang melalui
fakultas inderawi bersidat transenden, melampaui kemampuan kapasitas
panca indera kita. Kesan-kesan inderawi atau sensasi penampakan dari objek
yang kita tangkap adalah phenomenal world, dunia fenomena dan sedangkan
esensi objek itu sendiri adalah noumenal world dunia noumena yang tidak
dapat ditembus oleh kemampuan panca indera kita.112 Dengan demikian, Kant
sudah menunjukkan bahwa aparatus inderawi kita terbatas dalam
mengkonstruksi pengetahuan.
Kedua, logika transendental. Apakah kemampuan panca inderawi
D
sendiri mencukupi dalam memotret realitas? Dalam perspektif Kant, sensasi
panca indera harus dilengkapi oleh pemahaman (understanding) akal, sebab
pemahaman akal itulah yang mengatur data-data yang telah ditangkap oleh
U
panca indera. Jadi proses kerja panca indera mesti diikuti dengan proses kerja
intelek agar bisa menjadi konsep-konsep atau gagasan-gagasan ilmu
pengetahuan; Estetika transendental mesti diikuti dengan logika transendental.
M
Namun dalam epistemologi fenomenalisme Kant, antara fakultas
panca indera dan akal mempunyai peran seimbang dan saling bergantung satu
sama lain; tidak ada posisi yang istimewa di antara keduanya. “Without the
M
sense” tulis Kant, no object would given to us, without understanding no
object would be thought. Thought without content are empty, awareness
withouth concepts is blind. The understanding is aware of nothing, the sense
Y
can think nothing. Only through their union can knowledge arise”,113 ‘Tanpa
panca indera tidak ada objek yang bisa sampai pada kita dan tanpa proses
pemahaman tidak ada objek yang dapat dipikirkan. Pikiran kita tanpa isi data-
data sensasi inderawi menjadi kosong dan kesadaran kita tanpa konsep-
konsep menjadi buta. Karena itu, tanpa keterkaitan keduanya, pemahaman

112
S. E. Frost, Basic Teaching of The Great Philosophers,
(New York: Anchor Books, 1989), hlm. 41.

89
tidak akan menyadari apa pun dan panca indera tidak akan dapat memikirkan
apapun. Dengan demikian, hanya dengan melalui kerjasama di antara
keduanyalah pengetahuan dapat hadir’.
Di sini, kita bisa melihat posisi Kant di antara doktrin rasionalisme
dan empirisme. Dengan statemen tersebut, Kant hendak menunjukkan peran
panca indera dan akal pikiran dalam proses konstruksi ilmu pengetahaun.
Keduanya tidak bisa saling mendominasi salah satu fakultas secara mutlak,
melainkan meniscayakan kolaborasi di antara keduanya. Dengan jalan
pemikiran ini pula, tidak keliru kalau epistemologi fenomenalisme hendak
mendamaikan paham rasionalisme dan empirisme yang saling bertolak
D
belakang satu sama lain. Lalu bagaimana cara kerja akal dalam memproses
data-data inderawi yang telah masuk melalui panca indera?
Senada dengan panca indera yang mempunyai struktur formal
U
berupa ruang dan waktu yang bersifat a priori dalam menghasilkan data-data
inderawi, begitu pula dengan akal yang memiliki struktur formal yang bersifat
a priori dalam setiap diri manusia dalam mengolah data-data inderawi
M
menjelma pengetahuan. Kant menamakan struktur formal akal tersebut
dengan istilag kategori. Ketika kita memikirkan suatu objek fisik, kita
menggolongkan dan menempatkan dalam pelbagai hubungan. Kita
M
mempredikasikan (menyematkan predikat) konsep-konsep universal pada
objek-objek itu dalam pelbagai bentuk pernyataan putusan.
Dalam paradigma Kant, konsep-konsep itu tidak didasarkan atas
Y
objek-objek fisik dan juga tidak diabstraksikan dari objek-objek tersebut.
Sebaliknya, alasan mengapa kita dapat memikirkan objek-objek fisik itu
menampakkan diri kita sebagai bisa disebut dengan predikat ini atau itu,
adalah karena akal telah mengstrukturkan intuisi inderawi dengan kategori-
kategori inderawi. Dengan kata lain, kategori-kategori merupakan syarat-
syarat bagi dimungkinkannya konsep-konsep yang dapat dipredikasikan pada
benda-benda atau objek fisik. Sebagaimana intuisi inderawi, melalui bentuk
ruang dan waktu menyediakan data-data inderawi bagi pikiran, begitu juga

90
konsep melalui kategori-kategori a priori menyediakan bentuk atau struktur
formal bagi objek yang dipikirkan. 114
Kant kemudian menurunkan dua belas kategori akal yang
berhubungan dengan dua belas jenis putusan. Berikut ini tabel dua belas
kategori akal sejajar dengan dua belas jenis putusan.115
Jenis Putusan Kategori
A. Kuantitas A. Kuantitas
1. Putusan Universal 1. Kesatuan/Unitas
2. Putusan Partikular 2. Kemajemukan/Pluralitas
3. Putusan Singular 3. Keseluruhan/Totalitas
D
B. Kualitas B. Kualitas
4. Putusan Afirmatif 4. Realitas
5. Putusan Negatif 5. Negasi
U
6. Putusan Ketakberhinggaan 6. Limitasi
C. Relasi C. Relasi
7. Putusan Kategoris dan Aksidensi 7. Substansi
M

8. Putusan Hipotesis 8. Kausalitas


9. Putusan Disjunktif 9. Komunitas
D. Modalitas D. Modalitas
M

10. Putusan Problematis 10. Kemungkinan-Kemustahilan


11. Putusan Penegasan 11. Eksistensi-Non-Eksistensi
12. Putusan Apodiktis 12. Keniscayaan-Kontigensi
Y

Sebagaimana struktur formal inderawi, ruang dan waktu lebih


menentukan dalam memotret realitas, begitu pula dengan struktur formal akal,
kategori lebih berperan dalam menyusun konsep-konsep terhadap objek-
objeknya. Supaya setiap objek dapat dipahami oleh akal kita, maka objek

114
J. Sudarminta, Epistemologi Dasar (Yogyakarta: Kanisius,
2002), hlm. 111-112.
115
Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 141
91
tersebut harus menyesuaikan diri dengan kategori-kategori tersebut; bukan
akal kita dengan struktur formal kategori-kategori itu yang harus
menyesuaikan diri dengan objeknya. Berhubungan dengan ini, Kant
menyatakan demikian: “Instead of asking how our knowledge can conform to
its objects, we must start from the supposition that objects must conform to
our knowledge”,116 “Dari pada bertanya bagaimana pengetahuan kita dapat
menyesuaikan diri dengan objek-objeknya, kita harus mulai dari pengandaian
bahwa objek-objek itulah yang harus menyesuaikan diri dengan pengetahuan
kita.”
Ilustrasinya begini: ketika kita memasukkan air ke dalam sebuah
D
gelas, bentuk air akan mengikuti bentuk gelas tersebut; Tatkala kita
menuangkan air ke dalam sebuah cangkir yang besar, bentuk air akan
menyesuaikan dirinya dengan bentuk cangkir besar tersebut; Dan sewaktu kita
U
mencurahkan air ke dalam sebuah teko yang meliuk-liuk bentuknya dengan
bentuk corong kecil tempat ke luar air di depannya, lagi-lagi bentuk air akan
mengikuti bentuk teko tersebut dengan segala liuk-liuknya. Jadi setiap air
M
yang dituangkan ke dalam gelas, cangkir, dan teko itu, harus menyesuaikan
bentuknya dengan wadah-wadah tersebut.
Dengan demikian, dalam epistemologi fenomenalisme proses
M
pengetahuan manusia berpusat pada subjek manusia itu sendiri bukan pada
objek. Inilah salah satu terobosan paling signifikan dalam bidang filsafat.
Dalam penjelasan Kant sendiri, dengan konstruksi epistemologi ini, bahwa
Y
subjek sebagai pusat konstruksi ilmu pengetahuan, bukan objek sebagai pusat
ilmu pengetahuan, ia telah melakukan revolusi copernican dalam dunia
filsafat.
Dialah Nicolas Copernicus (1473-1543) seorang astronom Polandia
yang berani mempersoalkan asumsi yang telah lama dianut bahwa bumi
adalah piringan datar yang terletak di tengah-tengah alam semesta. Ia yakin,
anggapan itu menjauhkan kita dari penjelasan mengapa sebagian planet

116
Anthony Kenny, Western, op. cit, hlm. 276.
92
bergerak memutar tatkala berjalan melewati langit dari malam ke malam, dan
kemudian memutar lagi untuk melanjutkan perjalanan searah dengan bintang-
bintang. Maka ia memutuskan untuk mencoba asumsi bahwa matahari pada
aktualnya berada di tengah-tengah alam semesta, sedangkan bumi dan planet-
planet lain semuanya adalah bola bundar yang berputar mengelilingi
matahari.117
Pihak gereja menyatakan pernyataan Copernicus sebagai sebuah
dosa dengan alasan bahwa pernyataan itu bertentangan dengan kitab suci
sehingga jika pernyataan itu dianggap benar, berarti kitab Injil pastilah salah.
Meskipun berhadapan dengan semua rintangan tersebut, termasuk penyiksaan,
D
ide tersebut lambat laun terbentuk dengan sendirinya sehingga orang menjadi
paham bahwa bumi dengan planet-planet lainya yang berputar mengelilingi
matahari. Dan begitu sistem tata surya dipahami secara demikian, kesulitan-
U
kesulitan itu pun lenyap. Segala kesulitan menjadi terselesaikan dan menjadi
sangat masuk aka: sehingga gerakan-gerakan dari planet-planet menjadi
mudah untuk dibayangkan dan menjadi sederhana untuk dihitung
M
Namun, pada level pengalaman nyata, hal ini memang terasa sangat
kontraintuitif. Manusia masih dan selalu memandang seolah-olah mataharilah
yang mengelilingi bumi, dan sampai hari ini terasa tak masuk akal bagi kita
M
untuk merasakan diri kita bergerak mengelilingi ruang angkasa sepanjang
waktu dengan kecepatan ribuan mil perjam di atas permukaan sebuah bola
yang berputar (meski kita tahu bahwa kenyataannya memang begitu).
Y
Pengetahaun ini terasa abstrak bagi kita dan sama sekali tidak cocok dengan
setiap pengalaman konkret yang kita miliki secara aktual. Bahkan, orang-
orang yang pertama kali menyatakan hal itu dicap oleh publik sebagai orang
sinting. Nah, Kant mengklaim bahwa semua hal itu berlaku mutatis mutandis
(perubahan-perubahan yang perlu dilakukan) bagi pendekatan revolusioner
mengenai pengetahuan manusia yang diajukannya. Selama ribuan tahun,

117
Stephen Palmquis, Pohon Filsafat (Yogyakarta: Pusyaka
Pelajar, 2007), hlm. 91-92.
93
umumnya manusia percaya begitu saja bahwa objek-objek materiil memiliki
sebuah eksitensi yang bersifat independen dalam sebuah ruang dan waktu
yang eksistensinya juga independen. Namun, dari titik awal yang kelihatannya
terbukti dengan sendirinya ini, manusia terus-menerus merasa tak mungkin
baginya untuk menjelaskan bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan
mengenai objek-objek tersebut, atau andaikata pun kita memiliki pengetahuan
mengenai objek-objek itu secara langsung, bagaimana kita tahu bahwa
pengetahuan mengenai objek-objek itulah yang memang kita miliki. Dan alih-
alih mengasumsikan bahwa pengetahuan itu harus selaras dengan objek-
objek, Kant menegaskan bahwa andai saja kita melihat situasi tersebut dari
D
sisi yang berbeda dan berpikir dalam kerangka objek-objek pengetahuan,
maka kemustahilan dan kontradiksi-kontradiksi tersebut akan lenyap. Segala
sesuatu akan berada pada tempatnya dan menjadi masuk akal. Meskipun
U
demikian, hal ini akan terasa kontraintuitif. Kita mendapati bahwa tak
mungkin untuk merasakan seolah-olah objek-objek itu menyelaraskan diri
dengan pengetahuan kita dan bukan yang sebaliknya. 118
M
Jadi sebagaimana Copernikus membalikkan pendapat yang telah
bertahan ribuan tahun: bukan matahari yang mengelilingi bumi, tetapi justru
bumi yang mengelilingi matahari; Kant juga membalikkan pandangan
M
filosofis selama ini: bukan subjek yang tergantung pada objek, tapi objek yang
bergantung pada subjek. Subjek menjadi pusat ilmu pengetahuan. Itulah
revolusi dalam bidang filsafat.
Y
Namun bersamaan dengan struktur-struktur formal inderawi dan
akal itu juga, Kant lagi-lagi hendak menegaskan bahwa apa pun yang
dikonstruksikan oleh panca indera dan akal kita bersifat terbatas. Karena
setiap kita membawa struktur formal a priori yang menjadikan semua benda-
benda menyesuaikan diri dengan perangkat-perangkat struktur formal
tersebut, maka benda-benda yang tampak dihadapan kita tidak sama dengan

118
Bryan Magee, Memoar Seorang Filosof, Terj. Eko Prasetyo
(Bandung: Mizan, 2005), hlm. 246-247.
94
benda-benda itu dalam-dirinya-sendiri. Kant membuat distingsi secara tegas
antara penampakan dan realitas; antara ‘benda itu di dalam dirinya sendiri
(thing in itself)’ dan ‘benda itu bagi kita (thing for us)’. Kant menamakan
dunia yang dikonstruksi oleh semua fakultas mental kita dengan fenomena
(the phenomenal world); sedangkan dunia itu sendiri yang terlepas dari
perangkat mental kita, dinamakan oleh Kant dengan noumena, the noumenal
world.119
Jika kita mencoba membayangkan konsep-konsep itu (struktur-
struktur formal yang kita miliki) dalam metafora, konsep-konsep itu
merupakan tali-tali jala pengalaman kita. Hanya yang tertangkap oleh tali-tali
D
hala itulah yang bisa kita miliki. Apa pun yang lolos dan berada di luar jala
pengalaman kita, tak akan bisa kita miliki. Hanya apa yang tertangkap oleh
jala pengalaman kitalah yang bisa kita miliki, dan hanya yang bisa ditangkap
U
sajalah yang bisa menjadi milik kita. Dan apa yang sesungguhnya tertangkap
oleh jala pengalaman kita ialah materi yang bersifat kontingen yang
tertangkap oleh kita, dan apa yang bisa kita tangkap ditentukan oleh hakikat
M
dari jala pengalaman itu sendiri. Oleh karena itu, sepanjang hidup, kita
terperangkap dalam kapasitas-kapasitas dan batasan dari jala pengalaman kita.
Oleh karena itu, jika kita melakukan sebuah investigasi yang sangat
M
saksama terhadap bentuk-bentuk dari semua pengalaman, kita akan bisa
menemukan adanya batas-batas kemungkinan pengalaman atau pengetahuan
kita, dan apa pun yang berada di luar batas-batas tersebut tak mungkin bisa
Y
kita ketahui atau kita alami. Argumen ini tidak berarti bahwa tak ada sesuatu
di luar batas-batas tersebut. Argumen itu hanya berarti bahwa jika ada sesuatu
di luar batas-batas tersebut, kita tak memiliki cara apa pun untuk
menangkapnya.120
Dalam konteks ini pula, kita menemukan salah satu sumbangan
terbesar yang diberikan epistemologi fenomenalisme Kant pada ranah filsafat

119
Manuel Velasquez, Philosophi, op. cit, hlm. 383.
120
Bryan Magee, Memoar, op. cit, hlm. 240-241.
95
yakni adanya garis pembatas yang ditariknya antara benda-benda dalam
dirinya sendiri, das ding an sich, dan benda-benda sebagaimana tampak dalam
penglihatan kita.121 Proses konstruksi pengetahuan antara subjek dengan objek
dalam epistemologi fenomenalisme dapat diilustrasikan dalam bagan berikut
ini:122
D
U
M
M
Y

121
Jostein Gaarder, Dunia Sophie Terj. Rahmani Astuti
(Bandung: Jakarta, 1997), hlm. 356.
122
Milton D. Hunnex, Peta Filsafat Terj. Zubair (Jakarta:
Teraju, 2004), hlm. 29.
96
FENOMENALISME
Data Indrawi
Yang Ada

Knower Benda yang


dalam dirinya
sendiri

Fenomena
D
“Benda sebagaimana yang tampak”

Kendati demikian, bukan berarti dalam perpektif Kant tidak ada satu
U

pun yang pasti dalam pengetahuan kita. Menurut Kant, ada sejumlah
pengetahuan a priori yang bersumber dari interen dalam jiwa kita yang
M
memiliki nilai kebenaran pasti dan mutlak, seperti matematika, geometri, dan
logika. Kalau kebenaran-kebenaran lain yang bersifat pengalaman masih
mungkin untuk kita sangsikan nilai kepastiannya. Tapi kebenaran matematika,
geometri, dan logika, tidak seorang pun yang bisa menolak kebenarannya
M

yang bersifat niscaya. Kita dapat saja membayangkan bahwa 100 tahun atau
1000 tahun lagi matahari tidak terbit lagi dari arah Timur: sesuatu yang tidak
mustahil terjadi. Tapi kita tidak mungkin membayangkan bahwa 100 tahun
Y

atau 1000 tahun dari sekarang, jumlah sudut segi tiga bukan 180 derajat.123
Sangat mungkin bagi nalar kita untuk berasumsi bahwa satu saat
nanti panas api tidak lagi membakar dan dinginnya es tidak lagi membuat kita
kedinginan. Namun tidak mungkin bagi nalar kita untuk mengatakan dan juga
tidak mungkin dalam kenyataannya suatu saat kelak 3+5 menjadi berjumlah
12. Nilai kebenaran-kebenaran tersebut bersifat tetap dan stabil sampai

123
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Rosda Karya,
1997), hlm. 150.
97
kapanpun dan dimana pun juga. Itulah beberapa kebenaran pasti yang bersifat
bawaan internal dalam setiap diri manusia.
2. Kritik Terhadap Rasionalisme dan Empirisme
Epistemologi fenomenalisme Immanuel Kant berupaya melakukan
rekonsiliasi terhadap epistemologi rasionalisme dan empirisme dengan
terlebih dulu mengkritisi kelemahan-kelemahan keduanya. Sebagaimana telah
kita ketahui, kebanyakan filsuf aliran rasionalisme memiliki keyakinan bahwa
pijakan fundamental dari seluruh pengetahuan yang kita peroleh terdapat
dalam pikiran kita sendiri. Kita bisa melakukan refleksi filosofis terhadap
objek-objek empiris dan hasil refleksi akal pikiran kita terhadap objek-objek
D
tersebut benar-benar akurat sebagaimana adanya objek-objek tersebut. Ketika
kita melakukan refleksi filosofis tentang fenomena alam semesta dengan
benar-benar mengamati objek-objek semesta, maka hasil refleksi kita terhadap
U
alam semesta beserta hukum-hukumnya akan benar-benar akurat sebagaimana
eksistensi hukum-hukum dalam alam semesta itu sendiri.
Di sini, walaupun kontemplasi filosofis yang kita lakukan berangkat
M
dari fakta-fakta empirikal, namun proses kerja dan hasil refleksi tersebut lebih
ditentukan oleh kekuatan kapasitas akal kita, bukan oleh fakta-fakta empirikal
kita. Akal yang melakukan kontemplasi filosofis menghegemoni fakta-fakta
M
inderawi. Dapat dikatakan bahwa fakta-fakta inderawi bersifat sekunder
belaka; penalaran yang dilakukan akal-lah yang bersifat primer. Selanjutnya
pada titik ekstrem doktrin rasionalisme, bagi filsuf rasionalis, akal kita
Y
memiliki kemampuan refleksi yang amat mengagumkan tanpa harus merujuk
kepada fakta-fakta empiris. Dengan melakukan abstraksi filosofis, akal kita
dapat membuahkan berbagai konsep-konsep yang independen dari objek-
objek aktual. Dengan kata lain, sebagian filsuf rasionalis mengenggam
paradigma bahwa objek-objek ideal, bukan objek-objek aktual yang menjadi
bidikan utama renungan filosofis akal kita, sehingga melahirkan berbagai
konsep-konsep ilmu pengetahuan.

98
Menariknya, hasil refleksi filosofis akal terhadap objek-objek ideal
ini pun benar-benar akurat atau pasti nilai kebenarannya. Artinya hasil
konstruksi filosofis akal mereka bersifat tepat seperti objek-objek yang
mereka refleksikan. Ketika kita melakukan refleksi filosofis terhadap makna
manusia yang bersifat abstrak, bukan manusia kongkret secara orang
perorang, maka buah refleksi filosofis kita benar-benar akurat seperti konsep
manusia itu sendiri. Di sini, akal memiliki kapasitas holistik dalam memotret
objek-objek abstrak; sehingga hasil konstruksi akal terhadap objek-objek
abstrak tersebut memiliki nilai kebenaran pasti.124
Berbeda dengan paham rasionalisme, doktrin empirisme justru
D
menyuguhkan pandangan yang sebaliknya. Bagi sebagian besar filsuf empiris,
semua pengetahuan kita ditentukan oleh pengalaman bersentuhan langsung
dengan objek-objek faktual. Pikiran manusia laksana kertas putih yang kosong
U
yang bisa diukur dengan tulisan dan lukisan apapun saja, tergantung sang
penulisnya. Tulisan dan lukisan-lukisan yang hadir dalam kertas putih pikiran
kita berasal dari pengalaman-pengalaman kita saat berinteraksi langsung
M
dengan pengalaman-pengalaman empiris. Meskipun dalam hal ini akal pikiran
kita bisa juga melakukan refleksi terhadap objek-objek empiris, namun
refleksi kita tidak bisa independen: setiap kita melakukan refleksi, kita harus
M
berangkat dari pengalaman inderawi yang telah kita alami sebelumnya.
Jika paham rasionalisme mengklaim akal kita bersifat primer dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan, paham empirisme justru menyatakan
Y
bahwa pengalaman empirislah yang bersifat primer dalam mengkonstruksi
ilmu pengetahuan. Lebih jauh, mereka meyakini kemampuan independen
pengalaman empiris. Bagi mereka, karena tidak ada realitas lain di belakang
objek-objek fisikal, maka hasil pengetahuan yang mereka konstruksi memang
sesuai dengan objek-objek fisikal tersebut. Apa pun yang mereka konsepsikan

124
Zaine Ridling, Philosophy Then and Now (New York:
Access Foundation, 2001), hlm. 513-533.
99
mengenai fakta-fakta eksternal, begitulah kenyataannya fakta-fakta eksternal
itu sendiri.125
Tepat pada titik inilah, epistemologi fenomenalisme Immanuel Kant
memainkan peran kritiknya terhadap kedua doktrin di atas. Jika dilihat dari
perspektif fenomenalisme, baik rasionalisme maupun empirisme telah
membuat kekeliruan dengan mengambil satu posisi ekstrem dan mengabaikan
sudut pandang lainnya. Jika rasionalisme mengambil posisi ekstrem akan
kemampuan rasio manusia dengan mengabaikan peran pengalaman,
empirisme mengambil sebuah posisi ekstrem akan validitas pengalaman
iderawi dengan mengabaikan peran akal manusia. Dengan perspektif ini,
kedua doktrin tersebut hanya menangkap setengah kebenaran.126
D

Dalam pandangan Bryan Magee, jika kita memahami bahwa analisis


Kant mengajari kita sebuah pemahaman mengenai dunia dan bukannya
U
pemahaman mengenai proposisi-proposisi, yang menjadi poin-poin penting
ialah bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk yang bertubuh dan bahwa
tubuh kita diperlengkapi dengan aparatus mental dan indrawi tertentu
M
sehingga semua pengalaman mestilah sampai kepada kita lewat aparatus
tersebut. Oleh karena itu, hanya hal yang bisa dimediasi oleh aparatus
tersebutlah yang bisa hadir sebagai pengalaman dalam diri kita. Karena itu
M
pula, batas-batas dunia pengalaman yang tak bisa dilampaui ditentukan oleh
sifat aparatus yang kita miliki, dan hal itu akan tetap berlaku, apa pun aparatus
yang kita miliki. Meski aparatus yang kita miliki bersifat kontingen, fakta
Y
bahwa aparatus itu menetapkan batas-batas pengalaman kita bukanlah fakta
yang bersifat kontingen, melainkan bersifat niscaya. Apa yang tak bisa
dimediasi oleh aparatus tersebut adalah juga apa yang tak bisa dialami. Sekali
lagi, hal ini tidak berarti bahwa tak ada sesuatu yang eksis di luar hal-hal yang
bisa dimediasi oleh aparatus tersebut. Anggapan inilah yang merupakan

125
Ibid., hlm. 356-374.
126
Stephen Palmquis, Pohon Filafat, op. cit, hlm. 90-91.
100
kekeliruan paling umum yang dilakukan oleh pemikiran awam dan pemikiran
saintifik, dan juga oleh para filosof empirisme dan realisme. 127
Kant percaya dengan seteguh mungkin bahwa terdapat sebuah
realitas yang bersifat independen, berada di luar dunia pengalaman manusia.
Ia menyebut realitas itu sebagai dunia noumena, yaitu dunia benda dalam-
dirinya-sendiri, dan dunia realitas dalam-dirinya-sendiri. Sedangkan dunia
yang tampak di hadapan kita—yaitu dunia yang kita ketahui secara langsung
dalam pengalaman aktual kita dengan segenap isinya, dunia yang kita
postulasikan sebagai pengalaman yang mungkin—disebutnya sebagai dunia
fenomena. Dan yang tak boleh dilupakan oleh para pemikir dalam tradisi
D
Anglo-Saxon ialah ketika Kant dan para penerusnya membicarakan dunia
fenomena, sesungguhnya apa yang sedang Kant bicarakan adalah dunia yang
sebagaimana kita pikirkan, dunia yang aktual, dunia objek-objek materiil yang
U
berada dalam objek ruang dan waktu, dunia pemahaman umum (common
sense) dan sains: dunia yang biasa kita sebut sebagai dunia empiris.
Kant telah mengajari kita bahwa terdapat tiga—bukannya dua—
M
komponen pengetahuan kita atas dunia: yaitu observasi empiris, derivasi
logis, dan forma-forma yang di dalamnya semua ini dimediasi oleh aparatus
mental dan indrawi kita. Di antara forma-forma itu adalah waktu, ruang,
M
gagasan tentang sebuah objek, hubungan sebab-akibat, dan semua asumsi
empiris yang bersifat umum. Forma-forma itu mengarakteristikkan, dan hanya
bisa mengarakteristikkan, dunia pengalaman atau dunia empiris yang juga
Y
merupakan sebuah dunia yang hadir dalam pengalaman kita, bukan dunia
benda dalam-dirinya-sendiri. Apa yang sedang kita bicarakan adalah ciri-ciri
struktural dari pengalaman dan ciri-ciri tersebut tak bisa eksis secara
independen dari pengalaman, sebagaimana juga tubuh manusia tak bisa eksis
secara independen dari badannya.128

127
Bryan Magee, Memoar Seorang Filosof, op. cit, hlm. 242.
128
Ibid., hlm. 243.
101
Bercermin dari sini, bagi Kant jika kita mengingat fakta bahwa kita
hanya bisa mengalami objek-objek melalui aparatus mental, aparatus indriawi,
dan yang lainnya, dan dalam kerangka forma-forma, modus-modus, kategori-
kategori yang dimediasi oleh aparatus itu, niscaya ini berarti bahwa apa yang
kita alami bisa hadir di hadapan kita sepenuhnya dan semata-mata dalam
kerangka tersebut. Ketika seorang penulis bisa melukiskan sebuah
pemandangan dalam wujud kata-kata, maka representasi dari pemandangan
itu yang tiba di tangan Anda merupakan sebuah lukisan yang bersifat verbal.
Sementara satu-satunya representasi yang bisa diciptakan oleh sebuah kamera
dari pemandangan yang sama adalah wujud foto atau sekumpulan foto.
D
Meskipun pada prinsipnya terdapat banyak jenis representasi yang sangat
beragam dan jumlahnya tak terbatas yang bisa dibuat dari pemandangan yang
sama, tetapi kamera tak bisa menciptakan representasi lain selain dalam
U
bentuk foto.
Sementara, satu-satunya representasi dari pemandangan yang sama
bisa dibuat oleh sebuah alat perekam suara ialah sebuah rekaman suara:
M
perlengkapan itu tak akan bisa menciptakan representasi dalam bentuk foto
dan bentuk lain selain suara. Dan ini berlaku pula pada otak, sistem saraf,
serta indra-indra kita: sarana-sarana kita ini merepresentasikan realitas sesuai
M
dengan kerangka hakikatnya, dan inilah satu-satunya yang bisa dilakukannya,
dan hal ini pula yang membentuk pengalaman dan pengetahuan yang bisa kita
miliki. Jika kita mulai dari pertimbangan ini, kita bisa menjelaskan apa yang
Y
tak bisa dijelaskan oleh empirisme, yaitu bagaimana pengetahuan kita bisa
cocok dengan objek-objeknya.
Apa yang sebenarnya terjadi ialah bahwa apa yang tampak di
hadapan kita sebagai objek-objek dari pengalaman kita, dibentuk oleh
aparatus pembentuk pengalaman dalam diri kita persis dengan cara yang sama
sebagaimana foto yang dihasilkan oleh sebuah kamera dan sebagaimana
sebuah rekaman suara yang dihasilkan oleh sebuah perekam suara. Itulah
mengapa objek-objek itu lalu tampak seperti itu dalam pengetahuan manusia.

102
Sementara, benda-benda dalam-dirinya-sendiri tidaklah seperti itu,
sebagaimana suatu objek dalam-dirinya-sendiri tidaklah sama dengan foto
atau rekaman suara dari objek tersebut. Jadi, representasi benda-benda yang
kita tangkap semata-mata adalah cara representasi yang kita miliki, bukan
benda-benda dalam-dirinya-sendiri.
Menghadapi teori epistemolosgis seperti itu, para filosof empirisme
cenderung untuk melakukan dan terus saja melakuakn kekeliruan besar yang
khas. Mereka mengatakan seolah-olah Kant berkata bahwa kita sendirilah
yang menyintesiskan realitas, bahwa kitalah yang menciptakan benda-benda
itu dalam benak kita, bahwa kitalah yang menciptakan semua itu. Padahal,
D
Kant tidak pernah mengatakan demikian. Justru sebaliknya, dia selalu
menegaskan bahwa realitas eksis secara independen dari diri kita. Apa yang
sebenarnya dia katakan sangat berbeda dari yang mereka sangka. Yang
U
sebenarnya dia katakan ialah bahwa pengalaman harus dimediasi oleh
aparatus yang dalam-dirinya-sendiri bukan merupakan objek dari pengalaman
itu.
M
Lebih dari itu, objek-objek itu secara niscaya tampak dalam forma-
forma sebagaimana ditentukan oleh kodrat aparatus kita, dan sebagai hasilnya
ialah bahwa representasi-representasi itu berbeda secara kategori dari objek-
M
objek aslinya. Jelasnya, objek-objek pengalaman itu “seperti” pengalaman,
tapi itu karena objek-objek pengalaman itu memang adalah pengalaman, dan
itulah sebenarnya pemaknaan kita atas kata “pengalaman”. Objek-objek
Y
pengalaman bukanlah objek-objek yang eksis secara independen, membentuk
realitas-dalam-dirinya-sendiri, persis bagaimana foto bukanlah objek-objek
yang ditangkap oleh foto atau persis seperti rekaman suara bukanlah objek
yang suaranya direkam.
Dalam kasus pengalaman kita, objek-objek dalam-dirinya-sendiri,
yang harus dibedakan dari pengalaman, adalah sesuatu yang tak pernah bisa
kita tangkap atau kita konsepsikan. Kita tak pernah bisa menangkap objek-
objek itu tanpa perantaraan aparatus indrawi dan mental kita; dan karena

103
adanya perantaraan itulah, isi dari pengalaman kita tak lain dari hasil
perantaraan aparatus indrawi dan mental kita yang dihadirkan ke hadapan
kesadaran kita. Meskipun kita mengetahui bahwa objek-objek dalam-dirinya-
sendiri itu ada, demikian kata Kant, tetapi itu berada di luar kemungkinan
pemahaman kita. Jadi, yang menjadi gagasan sentral dari filsafat Kantian ialah
doktrin yang mengatakan bahwa karena realitas itu eksis secara independen
dari pengalaman, maka realitas itu senantiasa bersifat gaib.129
Dalam tilikan Magee, alasan utama mengapa banyak filsuf
emprisme salah paham terhadap ide Kant ialah karena identifikasi objek-objek
yang eksis secara independen (yang berarti adalah realitas) dengan objek-
D
objek pengalaman merupakan pendirian yang sangat mendasar dalam filsafat
yang mereka anut dan praktekkan. Para filsuf empirisme mungkin akan
menyanggah: “Namun tidakkah absurd jika kita mengatakan bahwa segenap
U
pengalaman langsung kita, dan semua yang kita ketahui secara aktual itu sama
sekali tidak riil, dan yang sesungguhnya riil itu tidak akan pernah kita
ketahui?”
M
Menurut Magee, sama sekali tidak, dan itu karena sebuah alasan
yang sederhana, yaitu bahwa semua yang pernah kita tangkap dalam
pengalaman kita tak lain adalah pengalaman, dan pengalaman itu sendiri
M
bergantung pada subjek. Dalam logika ini, jelas bahwa pengalaman tidak
bersifat objektif. Oleh karena alasan-alasan yang luar biasa mendalamnya
sebagaimana dijelaskan oleh Kant, kita menjadi tahu bahwa tidak mungkin
Y
pengalaman merupakan realitas independen itu sendiri. Bahkan, justru karena
pengalaman itu adalah pengalaman, dia tak mungkin merupakan realitas yang
independen. Pengalaman tak pernah merupakan realitas independen itu
sendiri. Kekeliruan mendasar dari segenap tradisi filosof empirisme terletak
pada apa yang bisa disebut sebagai reifikasi terhadap pengalaman, yang keliru

129
Ibid., hlm. 247-249.
104
memahami pengalaman sebagai realitas, dan memahami secara salah
epsitemologi sebagai ontologi.130
Melalui argumentasi-argumentasi cerdas di atas, fenomenalisme
mematahkan klaim validitas niscaya atas realitas yang dibangun oleh
rasionalisme dan empirisme. Kekeliruan prinsipil keduanya adalah karena
kedua dokrtin tersebut mengabaikan keterbatasan perangkat-perangkat
inderawi sekaligus perangkat akal dalam mencandara realitas, baik realitas
eksternal maupun realitas internal; Bahkan kontribusi kedua perangkat-
perangkat inderawi dan rasio pun masih tetap belum mampu membingkai
realitas secara holistik; Sehingga bagi fenomenalisme, sebenarnya masih ada
D
realitas-realitas transendental lain yang memang tidak mungkin terdeteksi
oleh aparatus inderawi dan akal kita.
E. Penutup: Antara Kontribusi dan Kritik
U
“Kant’s ultimate mistake was of giving a name (noumenon)
to that which he’s trying to tell us cannot even be named.131
M
Kita baru saja mengikuti uraian epistemologi fenomenalisme dari
seorang filsuf pencetus utamanya: Immanuel Kant. Dalam butir-butir
argumentasi di atas, kita melihat bagaimana piawainya Kant membangun
M
fondasi baru sekaligus menghasilkan temuan konstruksi filosofis baru bagi
dunia pemikiran filsafat. Secara garis besar, paling tidak ada tiga bentuk
kontribusi filosofis yang ditawarkan epistemologi fenomenalisme Kant.
Y
Pertama, Kant mengawali proyek filosofisnya dengan membangun
prosedur dalam proses memperoleh pengetahuan. Kalau para filsuf sebelum
Kant langsung memulai proyek filosofis mereka dengan menggunakan
perangkat rasio dan indrawi dalam diri manusia, Kant justru hendak mengkaji
lebih dulu sejuah mana kemampuan rasio dan indrawi untuk memperoleh
pengetahuan. Melalui prosedur tersebut, Kant merumuskan batasan-batasan

130
Ibid., hlm. 250.
131
Manuel Velasquez, Philosophi, op. cit, hlm. 384.
105
wilayah yang dapat dan sekaligus tidak dapat ditangkap oleh perangkat mental
kita itu. Di sini kontribusi pertama Kant: meletakkan pondasi filosofis bagi
syarat-syarat kemungkinannya meraih ilmu pengetahuan.
Kedua, sebagai konsekuensi kontribusi tersebut, epistemologi
fenomenalisme membangun pijakan baru dalam ranah filsafat: pengetahuan
berpusat pada subjek, bukan pada objek. Jika dalam wacana-wacana filsafat
sebelumnya memegang prinsip bahwa subjek harus mengarahkan diri pada
objek dalam memahami realitas, Kant membalik prinsip tersebut bahwa objek
yang mesti mengarahkan diri atau menyesuaikan diri kepada subjek.
Ketiga, karena konstruksi kita terhadap realitas bergantung pada
D
atribut akal dan indrawi kita yang mengalaminya, konsekuensinya realitas
yang kita konstruksi tidaklah sama dengan realitas itu dalam-dirinya-sendiri.
Bersama semua atribut-atribut mental dan indrawi itu, kita hanya mampu
U
membingkai fenomena, dunia dalam perspektif kita, sedangkan tentang
noumena, dunia dalam-dirinya-sendiri tetap menjadi misteri yang tidak bisa
kita ketahui.
M
Namun terlepas dari semua keistimewaan yang disumbangkan oleh
epistemologi fenomenalisme kepada perkembangan dunia filsafat, ada
beberapa kritik terhadap epistemologi tersebut. Pertama, Kant menyatakan
M
bahwa hanya ranah fenomena yang bisa diketahui dalam kajian filsafat
sedangkan ranah noumena tidak dapat kita ketahui. Dalam perspektif
Muhammad Iqbal, ranah noumena itu tetap bisa dijelajahi oleh manusia
Y
dengan menggunakan perangkat intuisi. Bagi Iqbal, eksistensi dan hakikat
dari realitas bisa diketahui melalui pengalaman intuisi yang unik dan
bertujuan untuk mengerti seluruh realitas. Manusia yang tidak puas dengan
pengetahuan relatif yang diperoleh akal dan persepsi indrawi cenderung
mencari pengalaman langsung yang berhubungan dengan realitas mutlak
melalui intuisi. 132

132
Alim Roswantoro, Muhammad Iqbal (Yogyakarta: Idea
Press, 2009), hlm. 112.
106
Kedua, sebagaimana statemen kritis yang dilontarkan oleh Stephen
Toulmin di atas, yakni kekeliruan puncak Immanuel Kant adalah memberi
sebuah nama yaitu noumena terhadap realitas yang sedang ia jelaskan kepada
kita yang tidak bisa dinamakan. Dalam hal ini, kritik Toulmin terhadap
Immanuel Kant adalah adanya semacam kontradiksi dalam pemikiran filosofis
yang dibangun oleh Kant. Kant sudah tegas-tegas menyatakan bahwa kita
hanya mampu mengetahui fenomena yang ditangkap dengan aparatus akal
dan indrawi kita. Kemudian Kant juga menegaskan bahwa ada juga ranah
hakikat yang tidak dapat kita ketahui yang berada di balik tabir fenomena.
Tapi problemnya, ia justru mengidentifikasi bahwa realitas yang berada di
D
belakang fenomena itu adalah noumena.
Walaupun secara filosofis, Kant menyatakan secara argumentatif
bahwa wilayah noumena itu tidak dapat kita ketahui; wilayah noumena itu
U
adalah wilayah gaib bagi perangkat indrawi dan akal kita; Namun tatkala ia
sudah mengidentifikasi wilayah gaib itu dengan sebuah nama: noumena, maka
dalam perspektif Toulmin secara tidak langsung dengan penamaan itu Kant
M
seolah-olah sudah mengetahui wilayah neomena tersebut. Itulah kontradiksi
filosofis argumentasi yang dibangun filsuf besar Jerman tersebut, meskipun
tetap tidak mengurangi kebesaran sumbangan filosofisnya dalam ranah
M
pemikiran filsafat.
Y

107
BAB 4
EPISTEMOLOGI POSITIVISME DAN POSITIVISME LOGIS
D
A. Pengantar

“In its basic ideological posture, positivisme is thus worldly,


secular, antitheological, dan antimetaphysical”.133
U

Pada abad ke-19 timbulah filsafat yang disebut Positivisme, yang


diturunkan dari kata “positif”. Filsafat ini berpangkal dari apa yang telah
M
diketahui, yang faktual, yang positif. Segala uraian dan persoalan yang di luar
apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu,
metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui secara positif adalah segala yang
M
tampak, segala gejala.134 Kaum positivis menitahkan prinsip: The only source
of knowledge was observation and experience, satu-satunya sumber
pengatahuan adalah observasi dan pengalaman.135
Y
Kaum positivis hanya membatasi filsafat dan ilmu pengetahuan
kepada bidang gejala-gejala saja. Apa yang dapat kita lakukan ialah: segala
fakta, yang menyajikan diri kepada kita sebagai penampakan atau gejala, kita

133
Zaine Ridling, Philosophy Then and Now (New York:
Access Foundation, 2001), hlm. 467.
134
Harun Handiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat 2 (Yogyakarta:
Kanisius, 1980), hlm. 109.
135
S. E. Frost, Basic Teaching of The Great Philosophers (New
York: Anchor Books, 1989), hlm. 74.
108
terima seperti apa adanya. Sesudah itu kita berusaha untuk mengatur fakta-
fakta tadi menurut hukum tertentu; akhirnya dengan berpangkal kepada
hukum-hukum yang telah ditemukan tadi kita mencoba melihat ke masa
depan, ke apa yang akan tampak sebagai gejala dan menyesuaikan diri
dengannya. Arti segala ilmu pengetahuan ialah: mengetahui untuk mendapat
melihat ke masa depan. Jadi kita hanya dapat menyatakan atau mengkonstatir
fakta-faktanya, dan menyelidiki hubungan-hubungannya yang satu dengan
yang lain. 136
Dengan demikian, dalam perspektif positivisme, kita tidak perlu
mencari sesuatu yang berada di balik fenomena atau menemukan sebab-sebab
D
yang bersifat teologis atau metafisis. Jadi sebagaimana tersimpulkan dalam
ungkapan di awal wacana kita di atas, dalam sikap dasar ideologinya,
positivismememang bersifat duniawi, sekular, anti teologis, dan anti
U
metafisika.
Dalam konteks inilah, fokus kajian dalam bab ini: kita akan melihat
bagaimana pengertian dan sejarah perkembangan aliran-aliran positivisme
M
hingga dewasa ini; menjelajahi secara spesifik epistemologi positivisme
Auguste Comte dan aliran positivisme logis; serta dipungkasi dengan konklusi
yang berisi setitik apresiasi dan catatan kritis terhadap epistemologi
M
positivisme.

B. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Positivisme


Secara etimologis, positivisme berasal dari bahasa Latin yaitu
Y
positivas atau ponere yang berarti meletakkan.137 Positivisme membatasi
pengetahuan kepada pernyataan-pernyataan tentang fakta yang dapat diamati
serta hubungan-hubungan antara fakta-fakta tersebut.138 Positivisme sekarang
merupakan suatu istilah umum untuk posisi filosofis yang menekankan aspek

136
Harun Handiwijoyo, Sari Sejarah, op.cit, hlm. 109-110.
137
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002), hlm. 858.
138
Harold H Titus dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat Terj.
Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 198), hlm. 363.
109
faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Dan umumnya
positivisme berupaya menjabarkan pernyataan-pernyataan faktual pada suatu
landasan pencerapan (sensasi). Atau, dengan kata lain, positivisme merupakan
suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-
satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi
filosofis atau metafisik.139
Meskipun demikian, positivisme juga diartikan sebagai campuran
dari berbagai sikap seperti saintisme (asumsi bahwa metode ilmiah
merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang berharga), naturalisme
(praanggapan bahwa ada satu kesatuan metode ilmiah yang berlaku untuk
D
ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu alam), suatu pandangan umum tentang
kausalitas atau hubungan sebab akibat (asumsi bahwa hubungan antara x dan
y secara umum adalah keduanya perlu dan cukup untuk membicarakan
U
tentang kausalitas), suatu asumsi bahwa penjelasan menurut rangkaian
kebutuhan untuk prediksi (dan sebaliknya), suatu penolakan terhadap
penjelasan-penjelasan yang berkaitan dengan keadaan-keadaan mental atau
M
subjektif (seperti niat atau motif-motif tindakan), suatu kecenderungan untuk
lebih menyukai kuantifikasi dan analisis statistik yang canggih dan rumit, dan
terakhir, pembedaan yang tajam antara fakta-fakta dan nilai-nilai. 140
M
Secara historis-sosiologis, sedikitnya ada tiga tahapan kunci dalam
sejarah perkembangan positivisme. Pertama, mengacu pada positivismenya
Saint Simont, Auguste Comte dan para pengikutnya pada abad kesembilan
Y
belas; kedua, mengacu pada positivisme logis seperti yang dikembangkan di
Vienna (Wina) dan Cambridge selama awal abad kedua puluh, dan terakhir
mengacu pada model deduktif-nomologisnya Ernest Nagel dan Carl Hempel
pada pertengahan abad kedua puluh. Positivisme abad kesembilan belas
berkait sangat erat dengan kemunculan dan kemapanan sosiologi sebagai satu

139
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, op.cit, hlm. 858.
140
Bryan S. Tuner (ed), Teori Sosial Dari Klasik sampai
Postmodern Terj.E. setiyawati A dan Roh Shufiyati (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 76-77.
110
disiplin ilmiah yang otonom dan seperti yang diindikasikan dengan menyerap
berbagai pertanyaan tentang sifat metode ilmiahnya dan kekhasan upaya
kajian sosiologis. J. S. Mill, Herbert Spencer, dan Durkheim adalah beberapa
di antara intelektual abad kesembilan belas yang bersimpati terhadap proposal
artikel-artikel utama Comte meski tetap mempertahankan jarak kritis terhadap
cara Comte menghasilkan proposal itu.
Sebagian besar tokoh positivis abad kesembilan belas percaya
bahwa penjelasan yang non-spekulatif dan ilmiah mengenai dunia sosial akan
membantu mewujudkan suatu masyarakat yang lebih teratur dan adil. Seperti
positivisme awal, salah satu perhatian utamnya mengenai positivisme yang
D
muncul di Vienna dan Cambridge pada awal abad kedua puluh adalah untuk
membebaskan filsafat dari metafisika, tetapi, tidak seperti para pendahulunya,
positivisme berusaha melakukannya dengan bantuan analisis logis yang rumit
U
dan canggih. Sebagian besar positivis logis mengikuti teori pengetahuan
fenomenalis, yang menyatakan bahwa basis dari ilmu pengetahuan terletak
pada pengamatan-pengamatan indrawi.
M
Sementara positivisme abad kesembilan belas terkait sangat erat
dengan sosiologi, positivisme logis yang muncul pada bada kedua puluh di
Vienna dan Cambridge hampir-hampir tidak mempunyai kaitan semacam itu.
M
Di antara kalangan Vienna, hanya Otto Neurath yang memberi perhatian
khusus kepada ilmu-ilmu pengetahuan sosial, komitmennya terhadap
“fisikalisme” (yang menyatakan bahwa berbagai fenomena sosial atau
Y
psikologis pada akhirnya harus dijelaskan kembali dalam bahasa fisika)
melahirkan satu pandangan yang aneh tentang sosiologi (karena hanya
mempelajari mengenai perilaku) dan mengenai penjelasan-penjelasan sosial
(karena mengenyampingkan beberapa acuan-acuan keadaan-keadaan mental
atau subjektif) sehingga, dengan demikian, pengaruh Neurath terhadap ilmu-
ilmu sosial tetap terbatas.141

141
Ibid, hlm. 77-78.
111
Positivismelogis dewasa ini menjelaskan pengetahuan ilmiah
berkenaan dengan tiga komponen: bahasa teoritis, bahasa observasional, dan
kaidah-kaidah korespondensi yang mengaitkan keduanya. Tekanan positivitik
menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang
menyatakan informas faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa
teoritis itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-
kaidah korespondensi.
Kendati positivismelogis dikembangkan sebagai suatu basis
interpretatif bagi ilmu-ilmu alam, ia sudah diperluas ke ilmu-ilmu manusia.
Dalam psikologi ia menemukan pertalian alami dalam behaviorisme dan
D
operasionalisme. Dalam etika (Ayer, Stevenson), ia berupaya menjelaskan
makna dari pernyataan-pernyataan yang mengatakan kewajiban moral
sehubungan dengan konotasi emotifnya. Dalam yurisprudensi, ketentuan-
U
ketentuan dan larangan-larangan yang ditetapkan oleh suatu komunitas dilihat
sebagai basis terakhir dari hukum. Dengan demikian ditolak pandangan akan
hukum kodrat atau norma-norma trans-empiris, misalnya, imperatif kategoris
M
Kant.142
Sedangkan positivismemodel deduktif-nomologis Negel dan
Hampel, memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap ilmu-ilmu
M
pengetahuan sosial, menyajikan suatu pandangan yang rapi dan langsung
tentang pembentukan dan pengujian teori ilmiah, yang bisa diterapkan baik
untuk ilmu-ilmu pengetahuan sosial maupun ilmu-ilmu pengetahuan alam.
Y
Seperti rekan sezamannya Karl Popper (tetapi tak seperti positivismeawal),
mereka memandang teori-teori ilmiah sebagai upaya-upaya deduktif, yang
dengannya hipotesis-hipotesis empiris disimpulkan dari hukum-hukum dan
kondisi-kondisi awal. 143
Sejak Renaisance, gagasan dunia yang mekanis dan matematis telah
mulai dikemukakan oleh para ilmuwan aliran awal positivisme. Ilmu

142
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, op.cit, hlm. 861-862.
143
Bryan S. Tuner (ed), Teori Sosial, op.cit, hlm. 78.
112
pengetahuan atau sains memiliki posisi otonom, lepas dari pengaruh filsafat
dan agama. Dari sini, ilmu pengetahuan didirikan positivismeatas dasar
beberapa pengandaian yang dirumuskan sebagai prinsip atau metode.
Pertama, logika ilmiah menyatakan bahwa proposisi hanya berarti bila dapat
diverifikasi dengan pengalaman indrawi. Seorang ilmuwan dapat menentukan
apakah sebuah proposisi benar atau salah dengan menghubungkan proposisi
tersebut dengan pembuktian empiris. Jika sebuah propoisisi tidak bisa
dibuktikan secara empiris, maka proposis itu tidak berarti, not make sense,
atau nonsense.144
Kedua, pengetahuan ilmiah harus bersifat objektif. Ini berarti bahwa
D
seorang ilmuwan sama sekali tidak boleh dipengaruhi oleh faktor
subyektifitasnya seperti, perasaan, kepercayaan, nilai-nilai, moral/etis, dalam
melakukan penelitian. Di sini asumsi bebas nilai menyatakan bahwa karena
U
peneliti terpisah, maka setiap penelitian ilmiah selalu bebas nilai. Nilai
bersifat subjektif, sedangkan dunia pengamatan bersifat objektif. 145
Ketiga, sains tidak berurusan dengan fenomena yang unik
M
(idiografis), karena gejala yang unik tidak memungkinkan untuk memastikan
hal yang akan terjadi (prediksi) dan kontrol. Padahal prediksi dan kontrol
merupakan tujuan sains yang terpenting. Seluruh teknologi modern, di bidang
M
kedokteran, pertanian, metereologi, komunikasi, transportasi dan lainnya
didasarkan atas pengetahuan tentang reaksi-reaksi yang berulang kali terjadi,
sehingga dapat ditentukan, dikendalikan, atau dimanipulasi. 146
Y
Keempat, reduksionisme yakni dunia dapat diketahui dengan
memecah dunia tersebut kepada satuan-satuan kecil. Panas adalah gabungan

144
Holmes Rolston III, Science and Religion A Critical Survey
(New York: Random House, 1987), hlm. 4-6.
145
Ibid., hlm. 21. Dalam hal ini, Rolston meminjam teori Martin
Buber bahwa hubungan pengamat dengan yang diamati bagaikan
hubungan ‘I dengan it’, aku dengan objek yang tanpa perasaan dan
nilai.
146
Ibid., hlm. 28. Bandingkan juga dengan Akhyar Yusuf
Lubis, Paul Feyerabend (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 58.
113
dampak dari partikel gas dan cair. Bunyi adalah gerakan gelombang yang
dibawa oleh medium yang bergetar. Bau-bauan muncul ketika molekul-
molekul terbang memamsuki hidung dan bereaksi dengan reseptor di
dalamnya. Rasa adalah molekul-molekul yang mempengaruhi lidah. Dan
warna tidak lebih dari radiasi elektromagnetik. Fenomena yang kompleks
dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur yang kecil. 147
Kelima, determinisme, menyatakan bahwa dunia diatur hukum sebab
akibat yang bersifat linier. Baik sebab maupun akibat terjadi pada tataran
dunia empiris. Apapun yang terjadi sekarang terjadi karena sebab-sebab yang
mendahuluinya, sebab-sebab yang bersifat empiris atau imanen. Dengan
determinisme yang menggunakan proposisi ‘jika-maka’, ilmu pengetahuan
D

dapat meramalkan dan juga mengendalikan pelbagai peristiwa di alam


semesta.148 Selanjutnya, kita hanya akan menjelajahi epistemologi
U
positivismeAuguste Comte dan PositivismeLogis.

C. Biografi Auguste Comte


M

Aguste Comte adalah figur


yang paling representattif untuk
positivisme sehingga dia dijuluki
M

Bapak Positivisme. Pada tahun


terjadinya Revolusi, filsuf ini
dilahirkan di kota Montpellier dari
Y
sebuah keluarga bangsawan yang
beragama Katolik. Dalam usia 25
tahun, dia studi di Ecole
Polytechnique di Paris dan sesudah
dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideolog, tapi juga

147
Ibid., hlm. 38.
148
Secara global bandingkan juga dengan Jalaluddin Rakhmat,
Islam dan Pluralisme (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 190-194.
114
Hume dan Condorcet. Sain-Simon menerimanya sebagai seketarisnya, dan
sulit dipungkiri bahwa pemikiran Sain-Simon mempengaruhi perkembangan
intelektual Comte. Mereka cocok dengan pandangan bahwa reorganisasi
masyarakat bisa dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan baru tentang
perilaku manusia dan masyarakatnya. Pada tahun 1826, Comte sudah
menemukan proyek filosofisnya sendiri dan mulai mengajarkannya di luar
pendidikan resmi.149
Simon Blackburn mendokumentasikan bahwa pada tahun-tahun
akhir hidupnya, Comte mendevosikan tenaganya untuk membangun sebuah
agama kemanusiaan, yang kalendar orang-orang kudusnya meliputi nama-
D
nama seperti Ada Smith, Frederich Agung, dan dirinya sendiri, sebagai
Paus.150
Adikarya Comte yang paling termasyhur adalah Cours de
U
Philosophie Positive dalam 6 jilid. Dalam tulisan-tulisannya dia
mengusahakan sebuah sintesis segalai ilmu pengetahuan dengan semangat
positivisme, tetapi usaha itu tidak rampung, sebab pada tahun 1857 dia
M
meninggal dunia. Ketika ia meninggal, para muridnya dalam kelompok yang
didirikannya Societe Positiviste menghormatinya sebagai orang kudus
positivisme, yakni imam agung kemanusiaan. 151
M
D. Epistemologi Positivisme Auguste Comte
Meskipun istilah positivismediperkenalkan oleh Saint Simon,
namun Auguste Comte-lah sebagai mahasiswa dan rekan kerja Saint Simon
Y
yang mempopulerkan dan mensistematisir penggunaan Positivismedan filsafat
positif. 152

149
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hlm. 203.
150
Simon Blackburn, Kamus Filsafat, terj. Yudi Santoso
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 169.
151
Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 203-204.
152
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, op.cit, hlm. 859.
115
Dalam prakata karyanya, Cours de Philosophie Positive, Comte
mulai memakai istilah “filsafat positif” dan terus menggunakannya dengan
arti yang konsisten di sepanjang bukunya. Dengan “filsafat” dia mengartikan
sebagai “sistem umum tentang konsep-konsep manusia”, sedangkan “positif”
diartikan sebagai “teori yang bertujuan untuk ‘menyusun fakta-fakta yang
teramati”. Dengan kata lain, “positif” sama dengan “faktual”, atau apa yang
berdasarkan fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan bahwa
pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Dalam penegasan itu
lalu jelas yang ditolak positivisme, yakni metafisika. Penolakan metafisika di
sini bersifat definitif. Dalam kritisismenya, Kant masih menerima adanya
“Das ding an sich”, objek yang tidak bisa diselidiki pengetahuan ilmiah.
D

Comte menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain, seperti etika,


teologi, seni, yang melampaui fenomena yang teramati. Baginya, objek adalah
U
yang faktual. Satu-satunya bentuk pengetahuan yang sahih mengenai
kenyataan hanyalah ilmu pengetahuan. Fakta dimengerti sebagai “fenomena
yang dapat diobservasi”, maka sebenarnya positivisme terkait erat dengan
M
empirisme. Akan tetapi, sementara empirisme masih menerima adanya
pengalaman subjektif yang bersifat rohani, positivisme menolak sama sekali.
Yang dianggap sebagai pengetahuan sejati hanyalah pengalaman objektif
M
yang bersifat lahiriah, yang bisa diuji secara indrawi. Karena itu, positivisme
adalah ahli waris empirisme yang sudah diradikalkan dalam pencerahan
Prancis.153
Y
Menurut D. Aiken, cara terbaik untuk memahami filsafat positif
Comte adalah dengan membandingkannya dengan filsafat kritis Kant. Seperti
Comte, Kant juga menentang metafisika spekulatif dan teologi. Namun, Kant
tidak pernah menyangkal bahwa dalam pengertian tertentu masih ada
perlunya kita berbicara tentang sesuatu dalam dirinya yang berada di luar
jangakuan pemahaman ilmiah. Ia juga tak membantah adanya bentuk-bentuk
aktivitas rasional yang berbeda dari aktivitas rasional yang sejalan dengan

153
Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 204-205.
116
prosedur-prosedur ilmu empiris. Kritiknya terhadap rasio, singkatnya, tidak
menentang secara fundamental pandangan tradisional bahwa kehidupan rasio
tidak sepenuhnya terpakai untuk upaya ilmiah. Baginya, etika, agama, dan
seni juga memiliki dasar-dasarnya masing-masing meskipun memang tak
mungkin lagi untuk menyebut berbagai pencapaian dalam bidang-bidang itu
sebagai pengetahuan.
Comte, di pihak lain, menolak untuk keluar dari wilayah ilmu
dengan tujuan untuk memberi ilmu. Penolakan itu merupakan suatu
pembenaran kritis sebagai satu-satunya bentuk pengetahuan manusia. Satu-
satunya standar rasionalitas yang dia pakai sejak semua adalah standar ilmu
D
dan penolakannya untuk menganggap teologi atau metafisika sebagai domain-
domain pengetahuan semata-mata didasarkan pada fakta bahwa klaim-klaim
kognitif mereka tidak bisa dibenarkan berdasarkan metode-metode
U
penyelidikan ilmiah. Ringkasnya, Comte tidak menerima sikap kritis,
melainkan sikap positif terhadap ilmu. Dunia yang ia gambarkan adalah dunia
ini dan metodenya adalah metode pengetahuan. Seperti akan kita lihat, ini
M
bukan berarti Comte sepenuhnya bermusuhan dengan etika atau agama,
namun ini berarti bahwa keduanya tidak boleh lagi dianggap bersaing dangan
ilmu di dalam wilayahnya dan keduanya harus berpindah ke wilayah ilmu
M
untuk mengeluarkan klaim-klaim kognitif apa pun yang mungkin harus
mereka lakukan.
Kerap dikatakan oleh para pengkritik Comte bahwa filsafat Comte
Y
sepenuhnya bersifat derivatif. Ini merupakan kekeliruan yang akan menjadi
jelas jika orang membandingkannya dengan para pendahulunya, seperti Locke
dan Hume. Kaum empiris Inggris semuanya berusaha membenarkan
empirisme mereka dengan menunjukkan bahwa asal usul semua ide kita bisa
ditelusuri kembali pada kesan-kesan indriawi dan refleksi atau perasaan.
Comte menolak justifikasi psikologistis seperti itu dan cukup menyatakan
ketegasannya untuk tidak menerima pernyataan apa pun sebagai sesuatu yang
layak dipercaya jika tidak bisa diverifikasi berdasarkan metode-metode ilmu

117
empiris. Empirisme Comte, singkatnya, bersifat positivis. Ia menerapkannya
secara tegas dan eksplisit sebagai perangkat ideologis untuk meruntuhkan
semua mode pemikiran yang tidak ilmiah. Sebagai filsuf, tujuannya adalah
menanamkan mentalitas yang sama sekali tidak akan berpikir dalam kerangka
yang tidak ilmiah dan yang akan menolak proposisi-proposisi teologi dan
metafisika tradisional cukup dengan alasan bahwa keduanya tidak ilmiah. 154
Titik berangkat dari epistemologi positivisme Comte bisa kita lihat
dari analisisnya mengenai hukum tiga tahapan perkembangan intelektual umat
manusia (law of the three phases of intellectual development) yaitu tahap
teologis, metafisis, dan tahap positif. Pertama, tahap teologis. Pada tahap
D
teologis dicirikan oleh mentalitas yang memandang sebagian besar hal-hal
lain berdasarkan analogi-analoginya dengan pikiran manusia, dan yang oleh
sebab itu akan mengembalikan kepada fenomena alam segala penyebab
U
perasaan-perasaan dan berbagai kemauan yang merupakan ciri khas
tanggapan kita terhadap mereka. Pada tahap ini semua pemikiran cenderung
animistis dan antropomorfis, memandang segala sesuatu dengan kategori-
M
kategori tujuan, kehendak, dan roh, dan mengonsepsikannya penjelasan
tentang eksistensi segala hal sepenuhnya berdasarkan tujuan terdalam atau ruh
yang dianggap terdapat pada segala sesuatu itu.
M
Dengan demikian, memang merupakan ciri khas kesadaran teologis
bahwa ia tak sadar dengan adanya perbedaan tajam antara pertanyaan
“Bagaimana?” dan “Mengapa?”, dan karenanya tidak bisa membuat
Y
perbedaan yang jelas antara apa yag kita sebut penjelasan dan pembenaran.
Dari sudut pandang ini, dunia dikonsepsikan secara mistis sebagai tatanan
spiritual tempat tujuan-tujuan yang menggerakkan pada segala sesuatu juga
dianggap sebagai pelaku-pelaku efektif yang menyebabkan mereka
berperilaku sebagaimana adanya. Dinyatakan dengan cara lain, pada tahap ini
semua fenomena cenderung dipersonifikasikan dan setiap proses dianggap

154
Henry D. Aiken, Abad Ideologi (Yogyakarta: Relief, 2010),
hlm. 136-137.
118
sebagai tindakan. Apa yang terjadi bukan hanya terjadi, ia adalah sesuatu
yang dilakukan, sesuatu yang menderita, atau sesuatu yang dicapai.
Tahap teologis, sebagaimana yang digambarkan Comte, memiliki
subdivisi-subdivisinya masing-masing yang penting. Tahap pertamanya
adalah tahap yang fetisistis, yaitu objek-objek fisik itu diperlakukan seolah-
olah mereka hidup serta memiliki perasaan dan tujuan mereka. Pada tahap
kedua atau tahap politeistis, terjadilah simplikasi secara gradual terhadap
animisme pluralistis yang radikal itu. Sekarang dewa-dewa dikonsepsikan
sebagai kekuatan yang gaib atau setengah gaib yang mengendalikan seluruh
golongan fenomena. Namun, akhirnya tercapailah tahap ketiga atau tahap
D
monoteistis tempat terjadinya konsolidasi kekuatan-kekuatan secara lebih
lanjut dalam bentuk dewa tunggal yang tertinggi, yang dianggap menciptakan
seluruh alam semesta dan mengendalikannya secara langsung maupun melalui
U
pelaku-pelaku yang lebih rendah yang melaksanakan perintahnya. 155 Tahap
teologis ini merupakan karakteristik kehidupan umat manusia sebelum era
1.300 Masehi. 156
M
Kedua, tahap metafisis. Dalam tahap metafisis, kecenderungan
berpikir secara animistis untuk pertama kalinya mulai lenyap. Para
metafisikawan tak lagi mengkonsepsikan alam sebagai ciptaan suci dari dewa
M
penyelenggara, namun sebagai prinsip pertama atau penyebab yang memang
perlu diandaikan adanya bagi berlangsungnya ketertiban dunia. Jejak-jejak
animisme tentu saja masih tersisa, namun kini ide tentang tujuan atau
Y
kehendak, menurut peristilahan Arnold Toynbee, ter-etherialisasikan sampai
ia menjadi tak lebih dari abstraksi intelek. Ia pun tak lagi merupakan roh
penggerak dari sesuatu yang partikular, melainkan lebih merupakan kekuatan
impersonal yang efektivitasnya tak bisa lagi ditempatkan di mana pun di
dunia alami. Kecenderungan khas pikiran metafisis bukan lagi
menganimasikan alam, melainkan mereifikasikan ide-ide, bukan lagi

155
Ibid., hlm. 138-139.
156
George Ritzer, Modern Sociological Theory ( hlm.
119
mengaitkan perasaan-perasaan pada angin atau mengaitkan tujuan dengan
lautan, melainkan memberikan kepada konsep-konsep suatu realitas subsisten
yang sebanding dengan dunia batu-batuan, kuri, dan binatang-binatang kecil.
Esensi, tendensi, potensialitas, dan sifat kini mulai memenuhi
semesta sebagai entitas-entitas yang berdiri sendiri dan memiliki kemampuan
kausal yang sebelumnya hanya dianggap dimiliki oleh ruh. Untuk
menggantikan dewa-dewa gaib dari para teolog, para metafisikawan
mengonsepsikan suatu logos atau rasio sebagai penentu tatanan dunia
alamiah. Yang lebih khas di antara semuanya, para metafisikawan
mengidentikkan rasio dengan penyebab, dan karenanya beranggapan bahwa
D
dengan penalaran itu saja ia bisa menjelaskan berbagai penyebab dari segala
sesuatu. Ia mengajukan bukti-bukti yang dicapai melalui deduksi dari
kebenaran rasional yang jelas dengan sendirinya, tentang eksistensi dari suatu
U
ada yang bersifat niscaya dan biasanya ia disebut Tuhan dan mengembalikan
keniscayaan yang ia klaim demi kesimpulannya itu pada segala sesuatu yang
ia anggap telah ia simpulkan sendiri.
M
Awal dari berakhirnya tahap metafisis dicapai ketika kontroversi-
kontroversi besar terjadi di antara mereka yang disebut kaum realis dan kaum
nominalis mengenai status konsep-konsep universal. Kontroversi tersebut
M
masih bersifat metafisis karena kedua belah pihak masih beranggapan bahwa
dengan analisis logika murni semata-mata sudah dimungkinkan untuk
mengajukan persoalan-persoalan tentang eksistensi. Namun, fakta bahwa
Y
realitas dari universal-universal itu, terlepas dari partikular-partikular yang
dicirikan olehnya, kini dianggap sebagai persoalan dengan sendirinya menjadi
pertanda mulai melonggarnya cengkraman metafisis itu sendiri secara
berangsur.157 Tahap metafisis berlangsung kira-kira antara tahun 1.300-1.800
Masehi.158

157
Henry D. Aiken, Abad Ideologi, op.cit, hlm. 139-141.
158
Ritzer, Sosiological Theory, op.cit., hlm.
120
Ketiga, tahap positif. Tahap positif tercapai ketika semua problem
tersebut terlampaui secara permanen sebagai sesuatu yang tak berguna dan
ilmu positif diterima sebagai gudang pengetahuan manusia. Pada tahap ini,
penjelasan dikonsepsikan semata-mata berdasarkan hipotesis-hipotesis atau
hukum-hukum empiris yang menggambarkan hubungan konstan yang terjadi
di antara kelompok-kelompok fenomena yang bisa diobservasi. Kini satu-
satunya hubungan kausal yang bisa diterima adalah korelasi yang bisa
diverifikasi di antara kelompok-kelompok fenomena dan peran rasio dibatasi
secara eksklusif untuk melacak hubungan logis yang terdapat di antara
hipotesis-hipotesis ilmiah.
D
Dalam mencirikan tahap ketiga, sebenarnya Comte memberi kita
teori pengetahuannya yang bersifat empiris meski hanya dalam pengertian
yang paling umum dari istilah itu. Semua pemikiran ilmiah, menurut Comte,
U
harus menerima pengujian observasional sebagai sesuatu yang penting untuk
menentukan validitas sembarang hipotesis. Namun, ilmu lebih dari sekedar
laporan observasional dan ilmu seperti fisika menonjol bukan karena
M
terkumpulnya sejumlah besar fakta-fakta partikular, melainkan karena
dirumuskannya hipotesis-hipotesis dan teori-teori umum yang mengaitkan
fakta-fakta itu dengan fakta-fakta lain dengan cara yang sistematis. Ilmu yang
M
sejati hanya tercipta jika fakta-fakta dibawa menuju korelasinya satu sama
lain dan, lebih dari itu, jika fenomena individual dikonsepsikan sebagai
anggota dari seluruh kelompok fenomena yang serupa, yang memiliki
Y
hubungan koeksistensi atau suksesi mirip hukum dengan anggota-anggota
kelompok lainnya. Jika hubungan-hubungan yang digambarkan oleh teori
ilmiah tertentu adalah hubungan koeksistensi, Comte menyebut teori itu
hukum statis. Jika mereka berupa hubungan-hubungan suksesi atau
kontinuitas, hukum itu adalah hukum dinamis. Kedua jenis hukum itu

121
menurut Comte adalah sesuatu yang esensial bagi ilmu—tak ada salah satunya
yang akhirnya lebih dipilih ketimbang yang lain. 159
Mengenai tahap positif ini, Comte menggarisbawahi penjelasannya:
“Mankind reached full maturity of thought only after abandoning the pseudo
explanations of the theological and metaphysical phases and substituting an
unrestricted adherence to scientific method”,160 “Umat manusia hanya
mencapai kedewasaan pemikirannya setelah meninggalkan penjelasan semu
dari tahapan teologis dan metafisis, serta menggantinya dengan kesetiaan tak
terbatas terhadap metode ilmiah”. Hukum tiga tahap perkembangan pemikiran
manusia tersebut, oleh Comte juga diidentifikasi dengan ilustrasi
D
perkembangan kepribadian manusia. Sebagai anak-anak, manusia adalah
seorang teolog; sebagai pemuda atau masa remaja, manusia adalah seorang
metafisikus; dan pada masa dewasa, manusia adalah seorang fisikus. 161
U
Dengan kata lain, menurut Comte, masing-masing di antara kita jika
meninjau masa silam sejarah kita, maka kita bagaikan seorang teolog dimasa
kecil kita, seorang metafisiskawan di masa remaja kita, dan seorang filsuf
M
alam dimasa dewasa kita. Tahap positif ini terjadi mulai tahun 1.800 Masehi
yang ditandai dengan kepercayaan terhadap pengetahuan saintifik atau
ilmiah. 162
M
Selanjutnya, Comte juga menguraikan bahwa tahap-tahap
perkembangan permikiran manusia itu berpijak pada perkembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Karena itu, Comte juga berusaha mengklasifikasikan
Y
ilmu-ilmu yang ada. Menurut Comte, semua ilmu pengetahuan memusatkan
diri pada kenyataan faktual, dan karena kenyataan faktual itu berbeda-beda,
harus ada perbedaan sudut pandang dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu,
terjadi pengkhususan dalam ilmu pengetahuan. Untuk menetapkan ilmu-ilmu

159
Ibid., hlm. 141.
160
Zaine Ridling, Philosophy Then and Now, op.cit, hlm. 469.
161
Harun Handiwijoyo, Sari Sejarah, op.cit, hlm. 111.
162
George Ritzer, Modern Sociological Theory (Amerika: Mc
Graw-Hill, 2000), hlm. 17.
122
khusus, Comte berusaha menemukan ilmu-ilmu yang bersifat fundamental,
artinya dari ilmu-ilmu itu diturunkan ilmu-ilmu lain yang bersifat terapan.
Dalam karyanya itu, Comte menyebutkan enam ilmu fundamental, yakni:
matematika, astronomi, fisika, kimia, fisiologi, biologi, dan fisika sosial
(sosiologi).
Keenam ilmu dasar itu diurutkan sedemikian rupa sehingga mulai
dari yang paling abstrak ke yang paling konkret, yang lebih kemudian
tergantung pada yang terdahulu. Misalnya, matematika lebih abstrak dari
astronomi, dan astronomi tergantung pada matematika. Fisiologi dan biologi
menyelidiki hukum-hukum yang mengatur makhluk hidup, dan keduanya
D
tergantung pada kimia yang menyelidiki perubahan zat, tapi juga lebih abstrak
daripada sosiologi dan diandaikan oleh sosiologi. Sebagai ilmu pengetahuan
terakhir, menurut Comte, sosiologi baru berkembang sesudah ilmu-ilmu lain
U
menjadi matang. Sebaliknya sebagai pangkal, matematika bagi Comte adalah
model metode ilmiah bagi ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi baru dalam
sosiologi, menurut Comte, ilmu-ilmu mencapai tahap positifnya, yakni: secara
M
penuh memakai metode ilmiah untuk menyelidiki fakta yang paling konret,
yakin: perilaku sosial manusia. Dalam hal ini, dia mengklaim dirinya sebagai
orang yang membawa ilmu pengetahuan ke tahap positifnya dalam
M
sosiologi.163
Dengan hadirnya filsafat positif tersebut, Comte sangat
mendambakan perubahan besar, dan dua diantaranya adalah mengembangkan
Y
pendidikan yang bercorak saintifik dan penataan ulang kehidupan masyarakat
positif saintifik. Wacana-wacana pendidikan di Eropa hingga memasuki abad
ke-18, bagi Comte masih bercorak teologis dan metafisis. Semua corak
pendidikan tersebut harus diganti dengan warna pendidikan positivisme atau

163
Budi. F Hardiman, Filsafat Modern, op.cit, hlm. 209-210.
Bandingkan juga dengan Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat &Etika
(Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 135-136.
123
filsafat positif agar sesuai dengan perkembangan zaman dan mencapai
manfaat secara maksimal.
Begitu pula dengan tahapan kehidupan masyarakat luas yang masih
berada dalam lingkaran chaos: mekanisme sosial berlandaskan opini serta
krisis politik dan moral besar muncul karena anarki intelektual. Berbagai
kekacauan sosial yang terjadi disebabkan adanya tiga aliran filsafat sekaligus
yang tidak bersesuaian: teologis, metafisis, dan positif. Karena ketiganya tidak
bisa eksis secara bersamaan, maka harus ada satu konsep filsafat yang
dijadikan pedoman untuk menyelesaikan berbagai problematika tersebut. Pada
titik inilah, Comte percaya bahwa hanya filsafat positif yang mampu
D
mengatasi puspa ragam masalah tersebut dan melakukan penataan ulang
kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. 164
U
M
M
Y

164
Henry D. Aiken, Abad Ideologi, op.cit, hlm. 157-160.
124
E. Biografi Alfred Jules Ayer
Alfred Jules Ayer, filsuf Inggris dan
cendikia sayap kiri. Lahir dari ayah Swiss dan
ibu Belgia, Ayer menjalani pendidikan di Inggris.
Setelah lulus dari Oxford pada 1932, ia belajar di
di Wina setahun sebalum kembali untuk
mengajar di Oxford. Minatnya pada positivisme
logis menghasilkan karyanya yang paling
cemerlang dan banyak dirujuk, Language, Truth
and Logic (1936), dimaksudkan untuk
D
memperkenalkan positivisme logis kepada publik berbahasa Inggris seluas
mungkin. Karya ini diikuti Foundations of Empirical Knowledge (1940),
namun gemanya kalah oleh deru perang. Setelah Perang Dunia II berakhir,
U
Ayer dipercaya memimpin University College London dari tahun 1946, lalu
di Oxford dari tahun 1959. Di antara periode inilah The Problem of
Knowledge (1956) lahir dan menjadi tulisan yang sangat berpengaruh untuk
M
topik ini. Pada tahun-tahun berikutnya dia semakin banyak menulis tentang
sejarah filsafat, menghasilkan sejumlah buku tentang Moore dan Russell,
pragmatisme, Hume dan Voltaire. Filsafatnya banyak dipengaruhi empirisme
M
Hume dan logika Russell, mewarisi dari keduanya kekuatan serta kelemahan
mereka. Ayer juga memainkan peran intelektual cukup menonjol di kehidupan
politik Inggris, menulis untuk publik luas, dan mendukung sikap liberal
Y
dengan cara yang sangat santun dan cerdas.165

F. Epistemologi Positivisme Logis Alfred Jules Ayer


Positivisme logis merupakan aliran pemikiran yang membatasi
pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada
analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Tugas pertama dipersiapkan
untuk ilmu dan yang kedua khusus untuk filsafat. Menurut positivisme logis,

165
Blackburn, Kamus Filsafat, hlm. 77-78.
125
filsafat ilmu murni mungkin hanya sebagai suatu analisis logis tentang bahasa
ilmu. Fungsi analisis ini, di satu pihak, mengurangi “metafisika” (yaitu,
filsafat dalam arti tradisional), dan di lain pihak, meneliti struktur logis
pengetahuan ilmiah. Penelitian ini bertujuan menentukan isi konsep-konsep
dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris. 166
Positivisme logis pertama kali muncul bukan di Oxford, melainkan
di Wina, selama periode antara dua perang dunia. Alfred J. Ayer, yang
kemudian menjadi seorang junior research fellow, yang saat berusia dua
puluh tiga tahun menulis bukunya yang paling terkenal itu, bukanlah orang
yang melahirkan positivisme logis, melainkan hanya memperkenalkannya ke
D
negeri-negeri berbahasa Inggris. Di Oxford-lah untuk pertama kalinya
positivisme logis tumbuh marak; dan, setidaknya dalam lingkup Inggris,
untuk seterusnya Universitas Oxford menjadi sentra dari positivisme logis .
U
Pengaruh positivisme logis itu, yang tidak terbatas pada filsafat, mencapai
puncaknya dalam tahun-tahun sesudah Perang Dunia Kedua, dan metode
intelektual itulah yang membuat Oxford menjadi barisan depan dalam filsafat.
M
Perhatian utama para penganut positivisme logis ialah menemukan kriteria
demarkasi (garis batas) antara kalimat yang bermakna (sense) dan yang tidak
bermakna (non-sense).167
M
Bagi filsuf aliran positivis, pertanyaan fundamentalnya adalah:
bagaimana dapat ditentukan suatu norma yang dapat membedakan ucapan-
ucapan yang bermakna dari ucapan-ucapan yang tidak bermakna? Mereka
Y
merumuskan sebuah prinsip demarkasi yang disebut verifiabilitas atau prinsip
verifikasi untuk membedakan antara kalimat-kalimat yang bermakna dan
kalimat-kalimat yang tidak bermakna. Alfred Ayer menegaskan verifiabilitas
tersebut dalam karya terkenalnya, Language, Truth, and Logic; ‘The criterion
which we (will) use to test the genuiness of apparent statements of fact is the

166
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, op.cit, hlm. 862.
167
Bryan Magee, Memoar Seorang Filosof, Terj. Eko Prasetyo
(Bandung: Mizan, 2005), hlm. 58.
126
criterion of verifiability’168, “Suatu kriteria yang akan kita gunakan untuk
menguji kebenaran pernyataan-pernyataan yang nyata tentang kenyataan
(fakta) adalah kriteria verifiabilitas atau kriteria dapat diverifikasi”.
Menurut Ayer, ada dua macam ungkapan, pernyataan, atau kalimat
yang dapat diidentifikasi sebagai kalimat bermakna atau tidak bermakna, yaitu
kalimat-kalimat analitis dan kalimat-kalimat sintesis. Selain dua macam
kalimat atau pernyataan tersebut tidak dapat diidentifikasi sebagai pernyataan
yang bermakna atau tidak bermakna. Kalimat analitis adalah kalimat dimana
makna atau arti predikat sebagai bagian dari subjeknya. Kalimat-kalimat
analitis bisa kita lihat pada ungkapan, seperti: ‘Semua pemuda belum
menikah’, ‘Saudara perempuan Budi adalah seorang ‘wanita’, dan ‘Segitiga
D

mempunyai tiga sisi’. 169


Kita bisa melakukan verifikasi terhadap kalimat-kalimat tersebut
U
langsung secara konseptual mengenai maknanya yakni bermakna atau tidak
bermakna. Semua kalimat-kalimat di atas dapat kita ketahui mempunyai
makna atau benar, sebab kita sudah mengetahui secara apriori bahwa seorang
M
pemuda memang belum menikah, saudara perempuan Budi jelas seorang
wanita, dan memang benar segitiga terdiri dari tiga sisi. Untuk melihat
kalimat analitis yang tidak memiliki makna, mari kita perhatikan contoh
M
berikut ini. Jika saya mengatakan, “Laki-laki yang tinggal di sebelah rumah
saya adalah seorang bujangan dengan seorang istri dan dua anak”, Anda tahu
bahwa kalimat ini tidak mungkin benar (kecuali jika nama laki-laki itu adalah
Y
“Bujangan” dan aku sedang bermain kata-kata). “Bujangan” berarti “laki-laki
yang belum menikah”, dan karena itu tetanggaku tersebut tidak mungkin
seorang bujangan sekaligus beristri. Jadi, Anda tidak perlu menyelidiki
perkataan tersebut hanya untuk mengetahui apakah pernyataannya itu benar
atau salah; istilah-istilah yang dipakai dalam kalimat itu sendiri sudah

168
Alfred J. Ayer, Language, Truth, and Logic (New York:
Dover, 1952), hlm. 34.
169
Manuel Velaquez, Philosophi A Text With Reading (New
York: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm. 203.
127
menunjukkan bahwa kalimat tersebut salah. Anda bisa dengan yakin
mendakwanya sebagai pernyataan yang salah tanpa harus repot-repot pergi
mengecek ke rumah tetanggaku.170
Itulah yang disebut pernyataan analitis (analytic statement) yang
kebenaran dan kesalahannya bisa langsung dianalisis pada pernyataan
tersebut. Kaum positivis logis beranggapan bahwa semua definisi dan semua
pernyataan dalam logika dan matematika, termasuk ke dalam jenis pernyataan
ini, termasuk juga semua pernyataan yang validitasnya didasarkan pada
konvensi-konvensi (kesepakatan-kesepakatan), seperti aturan-aturan
permainan atau pernyataan-pernyataan dalam sebuah bidang tertentu,
misalnya ilmu lambang (heraldry).171
D

Sedangkan kalimat atau pernyataan sintesis adalah pernyataan yang


menyatakan sesuatu secara faktual. Dengan kata lain, kalimat sintesis adalah
U
pernyataan-pernyataan yang kebenaran atau kesalahannya tidak bisa
ditetapkan hanya dengan menganalisis pernyataan-pernyataan tersebut,
melainkan hanya bisa dilakukan dengan melakukan verifikasi terhadap fakta-
M
fakta secara faktual atau empiris. Jika saya mengatakan, “Terdapat sepuluh
partai politik di negara Indonesia”. Pernyataan ini bisa jadi benar atau salah,
namun tidak bisa diverifikasi berdasarkan hanya pada susunan kalimat
M
tersebut secara langsung. Satu-satunya cara untuk mengetahuinya ialah
dengan melakukan observasi terhadap semua partai politik yang ada di negara
Indonesia.
Y
Berdasarkan paparan dua macam kalimat tersebut, kita menemukan
distingsi yang transparan antara kedua kalimat tersebut: jika penyebab tidak
sahnya sebuah pernyataan analisis ialah adanya kontradiksi dalam dirinya
sendiri (self-contradiction), maka penyebab tidak sahnya sebuah pernyataan
sintesis ialah sebuah pernyataan yang mungkin benar, tetapi dalam

170
Bryan Magee, Memoar Seorang Filosof, op.cit, hlm. 59.
171
Ibid., hlm. 59-60.
128
kenyataannya tidak demikian.172 Pernyataan saya, “Terdapat sepuluh partai
politik di negara Indonesia”, memang secara intrinsik tidak ada sesuatu yang
salah dalam kalimat itu sendiri. Kalimat itu benar secara struktur analisis
bahasa. Tapi jika kita melakukan verifikasi secara empiris, boleh jadi
pernyataan tersebut keliru; sebab partai politik di negara Indonesia ternyata
sekarang berjumlah sembilan bukan sepuluh.
Meskipun demikian, Ayer tetap harus memakai adanya batas-batas
yang berlaku untuk prinsip-prinsip verifikasi. Tidak perlu bahwa suatu ucapan
dapat diverifikasi secara langsung, tetapi cukuplah kalau verifikasinya dapat
dilakukan secara tidak langsung, misalnya, melalui kesaksian orang yang
D
dapat dipercaya. Ayer menerima pembatasan ini, sebab—kalau tidak—semua
ucapan tentang masa lampau menjadi tak bermakna. Dengan perkataan lain,
pembatasan ini perlu, supaya ilmu sejarah mungkin. Ucapan seperti
U
“Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945”
selalu dapat diverifikasikan, juga jika nanti sesudah seratus tahun tidak ada
orang lagi yang menyaksikan peristiwa bersejarah itu dengan mata dan kepala
M
sendiri.
Supaya suatu ucapan bermakna, tidak perlu ucapan itu dapat
diverifikasi secara faktual, sudah cukuplah kalau verifikasi itu mungkin secara
M
prinsipial saja. Ucapan seperti “Ada kehidupan di atas planet Saturnus” tidak
atau belum dapat diverifikasi. Tetapi walaupun ucapan itu mungkin tidak
pernah dapat diverifikasi, tetap benar bahwa ucapan itu bermakna, sebab kita
Y
tahu apa yang harus dibuat untuk memverifikasinya, biarpun barangkali kita
tidak mampu melaksanakannya. Akhirnya tidak perlu juga suatu ucapan dapat
diverifikasi secara lengkap, cukuplah jika ucapan itu dapat diverifikasi untuk
sebagian saja. Kalau tidak, maka suatu hukum umum seperti “Logam yang
dipanaskan akan memuai” tidak akan bermakna. Karena pembatasan-
pembatasan semacam itu Ayer hati-hati dalam merumuskan prinsip verifikasi

172
Ibid., hlm. 60.
129
dan hanya berkata: If he knows what observations would lead him, under
certain conditions.173
Dengan demikian, pandangan para filsuf aliran positivis logis dapat
diringkas bahwa hanya kalimat-kalimat logika, matematika, dan kalimat-
kalimat mengenai pengamatan inderawi yang mempunyai makna; sedangkan
kalimat-kalimat lain dianggap tidak absah dan hanya bersadarkan kekacauan
dalam pemakaian bahasa.174 Selanjutnya prinsip verifikasi empiris
epistemologi positivisme logis ini mempunyai implikasi radikal bahwa semua
kalimat-kalimat metafisika, teologi, etika, dan estetika harus dianggap tidak
bermakna dan karena itu tidak sah. 175
D
Pernyataan-pernyataan metafisika, justru karena bersifat metafisika,
melampaui alam inderawi dan karena itu memang tidak pernah dapat
dipastikan secara empiris. Istilah seperti “substansi”, “hakikat”, “sebab-
U
akibat”, “roh”, “akal budi”, tetapi juga “Tuhan” memang tidak menunjuk pada
alam inderawi, maka tidak dapat diverifikasi secara empiris dan oleh karena
itu oleh positivisme logis dianggap tidak bermakna atau kosong. Bukannya
M
seakan-akan positivisme logis menyatakan kalimat seperti “Allah ada” salah,
melainkan kalimat itu dianggap kosong, tanpa arti. Kalimat ini tidak salah dan
juga tidak benar, melainkan tanpa makna. Begitu pula kalimat “Allah tidak
M
ada” sama saja tidak terbuka pada verifikasi dan karena itu tidak bermakna.
Hal yang sama berlaku bagi semua pernyataan etika normatif.
Apakah sebuah perbuatan “baik atau buruk”, “dapat dibenarkan atau tidak
Y
dapat dibenarkan”, “secara moral wajib atau terlarang” tidak dapat diverifikasi
secara empiris dan karena itu tidak merupakan pernyataan bermakna.
Misalnya pernyataan “membunuh itu jelek”: yang dapat dicek dengan amatan
inderawi hanyalah pelbagai sudut faktual: Apakah pembunuhan itu terjadi,

173
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman
(Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 37.
174
Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20
(Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 55.
175
Ibid.
130
dengan cara mana, apakah secara kejam, apakah yang terbunuh tampak
kesakitan, apakah akibatnya bagi pihak ketiga dsb. Tetapi apakah perbuatan
yang kejadiannya dipastikan secara inderawi itu harus dinilai baik atau buruk,
tidak dapat diamati, dan karena itu tidak lolos dari prinsip verifikasi. Begitu
semua pernyataan etikan normatif tidak bermakna karena tidak terbuka
terhadap verifikasi empiris. 176
Namun bila dalam kenyataannya ada begitu banyak orang yang
meyakini bahwa pernyataan-pernyataan metafisika, etika, atau teologi
memang benar-benar bermakna, lalu muncul pertanyaan kritis: Bagaimana
pernyataan-pernyataan metafisika ditolak oleh positivisme logis sebagai
D
pernyataan yang tidak bermakna ketika banyak orang percaya bahwa
pernyataan-pernyataan tersebut memang dipenuhi makna? Salah seorang
filsuf aliran positivisme logis, Rudolph Carnap menyatakan bahwa meskipun
U
pernyataan metafisika secara tekstual tidak bermakna, namun pernyataan
tersebut membawa makna non-literal yakni pernyataan-pernyataan metafisika
mengekspresikan perasaan. Meminjam bahasa Carnap secara langsung: The
M
metaphysical statements have only expressive function, but no representatif
function.177 “Pernyataan-pernyataan metafisika hanya memiliki fungsi
ekspresif (mengungkapkan perasaan), tetapi tidak fungsi representatif (benar-
M
benar mewakili secara empiris terhadap pernyataan tersebut)”.
Jadi sampai d isini, menjadi cukup jelas bahwa bagi filsuf positivis
logis, tugas pokok filsafat adalah mengklarifikasi makna terhadap konsep-
Y
konsep dasar dan pernyataan-pernyataan, dan bukan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab tentang semacam realitas
puncak atau realitas absolut.178 Sebagaimana namanya, prinip positivisme
logis menolak membicarakan sesuatu yang di luar bahasa dan di luar atau

176
Ibid., hlm. 55-56.
177
Dikutip dari Morris Weitz (ed.), Twentieth-Century
Philosophy: The Analytic Tradition (New York: Free Press, 1966), hlm.
215.
178
Zaine Ridling, Philosophy Then and Now, op.cit, hlm. 478.
131
melampaui tilikan panca indera kita yang tidak bisa diverifikasi secara
objektif-empiris. 179
Secara umum, beberapa ajaran pokok positivisme logis dapat dirinci
sebagai berikut:
1. Penerimaan prinsip verifiabilitas, yang merupakan kriteria untuk
menentukan bahwa suatu pernyataan mempunyai arti kognitif. Arti
kognitif suatu pernyataan (sebagaimana dipertentangkan dengan
aspek emotif atau aspek lain dari arti) tergantung pada apakah
pernyataan itu dapat diverifikasi atau tidak. Suatu pernyataan
berarti/bermakna kalau dan hanya kalau, paling sedikit pada
D
prinsipnya, secara empiris dapat diverifikasi. Suatu pengalaman
inderawi dasariah (pengetahuan positif) harus dicapai sebelum suatu
pernyataan dapat memiliki arti kognitif.
U
2. Semua pernyataan dalam matematika dan logika bersifat analitis
(tautologi) dan benar per-definisi. Pernyataan-pernyataan itu secara
niscaya merupakan pernyataan benar yang berguna dalam
M
menyelenggarakan pernyataan yang berarti/bermakna secara
kognitif. Konsep-konsep matematika dan logika tidak diverifikasi
tetapi merupakan kesepakatan definisional yang diterapkan dalam
M
realitas.
3. Metode ilmiah merupakan sumber pengetahuan satu-satunya yang
tepat tentang realitas. (Ada upaya untuk menyusun suatu sistem
Y
yang menyeluruh dari semua ilmu pengetahuan dibawah suatu
metodologi logika-matematik-eksperiensial).
4. Filsafat merupakan analisis dan klarifikasi makna dengan logika dan
metode ilmiah. (Beberapa ahli positivisme logis berupaya untuk
menghilangkan semua filsafat yang tidak tersusun sebagaimana
ilmu-ilmu logiko-matematik).

179
Philip Stokes, Philosophy 100 Essential Thinker (New York:
Enchanted Lion Books, 2003), hlm. 173.
132
5. Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu kalkulus. Dengan
formalisasi bahasa dapat ditangani sebagai suatu kalkulus a) dalam
memecahkan masalah-masalah filosofis (atau memperlihatkan yang
mana dari masalah-masalah itu merupakan hal semu), b) dalam
menjelaskan dasar-dasar ilmu. Kaum positivis dan empiris logis
telah melakukan usaha untuk menyusun bahasa artifisial, serta
secara formal sempurna bagi filsafat agar memperoleh dayaguna,
ketepatan, dan kelengkapan ilmu-ilmu fisika.
6. Pernyataan-pernyataan metafisik tidak bermakna. Pernyataan-
pernyataan itu tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan
D
tautologi yang berguna. Tidak ada cara yang mungkin untuk
menentukan kebenarannya (atau kesalahannya) dengan mengacu
pada pengalaman. Tidak ada pengalaman yang mungkin yang
U
pernah dapat mendukung pertanyaan-pertanyaan metafisik seperti:
“Yang tiada itu sendiri tiada”, (The Nothing itself nothings—Das
Nichts selbst nichtet), “Yang Mutlak mengatasi Waktu”, “Allah
M
adalah sempurna”, “Ada Murni tidak mempunyai ciri”. Pernyataan-
pernyataan metafisik adalah pernyataan semu. Metafisika berisi
ucapan-ucapan yang tak bermakna.
M
7. Dalam bentuk positivisme ekstrem: Pernyataan-pernyataan tentang
eksistensi dunia luar dan pikiran luar yang bebas dari pikiran kita
sendiri, dianggap tidak bermakna karena tidak ada cara empiris
Y
untuk mengadakan verifikasi terhadapnya.
8. Penerimaan terhadap suatu teori emotif dalam aksiologi. Nilai-nilai
tidak ada secara tergantung pada kemampuan manusia untuk
menetapkan nilai-nilai. Nilai-nilai tidak merupakan objek-objek di
dunia, tidak dapat ditemukan dengan percobaan, tidak dapat
diperiksa, atau dialami sebagaimana kita mengalami atau
mengadakan verifikasi terhadap eksistensi objek-objek. Nilai-nilai
tidak absolut. Pernyataan mengenainya bukan pernyataan empiris.

133
“Pembunuhan jahat”, “Aborsi salah, “Kau jangan mencuri”, “Arca
itu indah”, semuanya merupakan pernyataan yang sama sekali tidak
mengandung isi empiris atau deskriptif. Pernyataan-pernyataan jenis
itu hanya menyatakan sikap, pilihan, perasaan, keyakinan,
persyaratan tentang pembunuhan, aborsi, pencurian, keindahan.
Pernyataan itu tidak secara langsung mengkomunikasikan fakta-
fakta atau informasi atau pengetahuan kognitif, dan hanya
menunjukkan hal-hal seperti: persetujuan kita, ketidaksetujuan kita,
penerimaan, tidak adanya penerimaan, keterikatan atau
ketidakterikatan kita untuk hal-hal tertentu.180
D
G. Penutup: Sebuah Catatan Kritis
Meskipun sejak awal abad ke-20 hingga kini cukup banyak orang
yang mengikuti prinsip-prinsip positivisme dalam dunia sains dan pandangan-
U
pandangan positivisme logis, namun kedua epistemologi tersebut
mengundang banyak kritik tajam. Berhubungan dengan prinsip-prinsip
positivisme yang diterapkan dalam dunia sains yang mengklaim bahwa
M

metode saintifik berpijak pada patokan-patokan yang terukur secara empirik,


bersifat objektif, serta tanpa keterlibatan asumsi, praduga si pengamat atau
ilmuwan dipatahkan oleh Holmes Rolston III. Dalam perspektif Rolston tidak
M

ada penelitian ilmiah yang benar-benar objektif tanpa keterlibatan pengamat.


Siapapun ilmuwannya, mereka pasti membawa kepercayaan, atau unsur
subjektivitas mereka dalam menafsirkan fakta-fakta di jagad raya.
Y
Meskipun teori dan fakta masing-masing dalam beberapa tingkat
merupakan pengetahuan objektif dan mewakili dunia nyata, namun tidak
dapat dielakkan keduanya adalah pengetahuan subjektif pula secara mutlak.
Hal ini disebabkan, karena informasi yang diperoleh tersebut diproses oleh
subjek-subjek yang bernama manusia. Orang-orang yang mengetahui tidak

180
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, op.cit, hlm. 862-864.
134
pernah sedikit lebih mengetahui daripada yang diketahui karena mengetahui
adalah sebuah hubungan. 181
Sebagai ilustrasi, seorang ilmuwan memilih apa yang dikaji dan
bagaimana cara mengkajinya. Kapanpun dia membangun laboratorium,
mempersiapkan beberapa eksperimen, memilah-milah fenomena-fenomena,
atau menggunakan teori ke dalam observasi, maka dia sedang membuat jaring
untuk mengail, dan apa yang ditangkapnya adalah fungsi dari jaringnya
sendiri.182
Pada titik ekstremnya, seseorang tidak dapat melihat apa yang tidak
dicarinya, meskipun bukti yang ada lebih dari cukup. Seringkali apakah
D
seseorang menjumpai dirinya sedang mencari tergantung pada apa yang
tengah ia cari dan dengan apa ia mencarinya. Di sini, Rolston
menggarisbawahi: we interpret what we see in order to see it, setiap orang
U
menafsirkan apa yang ia lihat agar ia dapat melihatnya. Ada sebuah prinsip
subjektivitas atau presuposisi yang berperan dalam diri seorang ilmuwan
dalam melihat (menafsirkan) fakta, sehingga implikasi lebih jauhnya: if I
M
hadn’t believed it, I wouldn’t have seen it, jika seseorang sudah tidak
mempercayai sesuatu, maka ia tidak akan dapat melihatnya. 183
Bahkan lebih jauh, terkadang dan seringkali sebuah teori lahir dari
M
sebuah trial and error yang tidak terduga sama sekali. Ketika sedang tidur,
August Kekule memimpikan sebuah angan-angan tentang permainan atom-
atom dan ular, ular yang menggigit ekornya sendiri. Sejak malam itu, ahli
Y
kimia yang terkenal tersebut mengembangkan struktur cincin rantai tertutup
benzene. Fred Hoyle mencetuskan teori kekonstanan alam karena terinspirasi
kejadian aneh saat ia meghilangkan sekrup dan paku. Dan Albert Einstein
melaporkan bahwa ia mengawali teori relativitasnya, setidaknya sebagian

181
Rolston, Science, op.cit,, hlm. 16.
182
Ibid., hlm. 19.
183
Ibid., hlm. 8 & 10.
135
dalam mimpi dan dengan menekankan kebebasan imajinasi, untuk kemudian
baru diuji secara observasional. 184
Dengan eksposisi di atas, bukan berarti menyangkal validitas teori-
teori ilmiah atau metode-metode penyelidikan ilmiah. Yang ingin disangkal
dalam hal ini adalah klaim objektivitas, bebas nilai, dan tanpa keterlibatan
unsur subjektivitas sang peneliti itu sendiri. Padahal lazimnya, fakta-fakta
atau peristiwa alam disaring oleh konsep-konsep yang telah diciptakan
terlebih dulu. Sehingga dalam tilikan kritis, fakta-fakta ilmiah tidak lebih
merupakan bagian dari entitas subjektivitas sang pengamat. Fakta menjelma
kebenaran kontekstual, bukan kebenaran faktual an sich.185
D
Begitu pula dengan prinsip verifikasi dalam aliran positivisme logis
yang dirumuskan Alfred J. Ayer tidak bebas dari kritik. Ada dua argumen
utama yang membantah positivisme logis. Yang pertama: empirisme logis
U
menyangkal keabsahan intuisi bukan inderawi; mereka hanya mengakui
intuisi inderawi, artinya penangkapan langsung terhadap realitas
inderawi/alami melalui mata, telinga dsb. Akan tetapi, kalau itu benar,
M
bagaimana empirisme logis dapat membenarkan kelompok kalimat kedua
yang menurut mereka sah: kalimat analitis? Bahwa “2 tambah 2 adalah 4”
hanya dapat “dilihat” lewat intuisi bukan inderawi. Begitu pula halnya
M
segenap pengertian analitis dan tautologis. Kebenaran kalimat analitis hanya
dapat diketahui secara intuitif, padahal tidak berdasarkan pengalaman
inderawi. Kelihatan bahwa positivisme logis sendiri tidak dapat menghindar
Y
dari pengakuan adanya intuisi yang bukan empiris. Dan karena itu penolakan
apriori terhadap intuisionisme etis bersifat sewenang-wenang. 186
Argumen kedua mempertanyakan dasar prinsip verifikasi. Kalau
prinsip itu betul, jadi kalau “hanya pernyataan yang dapat dicek kebenarannya
pada pengamatan iderawi mempunyai makna rasional” bagaimana prinsip

184
Ibid., hlm. 3-4.
185
Ibid., hlm. 2-3.
186
Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika, po.cit, hlm. 62.
136
verifikasi itu sendiri mau dibenarkan? Pernyataan ini jelas tidak dapat dicek
pada pengalaman empiris, melainkan berstatus logis dan kebenarannya hanya
dapat dipastikan secara intuitif. 187 Penjelasannya begini, bahwa pernyataan
“hanya pernyataan yang dapat dicek kebenarnnya pada pengamatan inderawi
mempunyai makna rasional” sendiri tidak empiris dapat diperlihatkan
demikian: pernyataan ini juga dirumuskan sbb: “Semua pernyataan yang
dapat dicek kebenarnnya pada pengamatan inderawi mempunyai makna
rasional”. Tetapi pernyataan ini tidak mungkin dicek secara inderawi.
Mengapa? Karena dua unsur (dimana masing-masing sudah cukup untuk
menjatuhkan prinsip itu). Pertama kata “semua”: kata ini, kecuali kalau
dimaksud ”semua dalam lingkup empiris terbatas” (“semua ekor ayam dalam
D

kandang ini”), tidak bersifat inderawi, tidak pernah dapat dilihat; yang dapat
dilihat hanyalah sejumlah tertentu; “semua” di sini dimaksud sebagai “semua
U
yang mungkin” dan “semua yang mungkin” yang prinsipil tidak dapat diamati
secara empiris. Kedua, sebuah pernyataan—lain daripada bunyi-bunyi yang
keluar dari mulut, atau titik-titik hitam tinta hurup di atas kertas—tidak
M
merupakan realitas empiris. Atau, dengan kata lain, prinsip verifikasi
merupakan sejumlah prinsip universal (“semua...”) dan yang universal tidak
dapat diamati secara empiris. Maka prinsip itu bertentangan dengan dirinya
M
sendiri”. 188
Dengan demikian, menurut pengandaian positivisme logis sendiri,
prinsip verifikasi tidak mempunyai makna alias tidak berguna untuk
Y
membuktikan sesuatu apa pun. Dengan kata lain, prinsip verifikasi tidak
berlaku, karena kalau berlaku, prinsip verifikasi tidak berlaku. 189 Demikian
juga, dapat dipertanyakan mengapa prinsip verifikasi, dalam positivisme logis
harus disamakan dan hanya dibatasi pada pengalaman-pengalaman empiris
semata? Padahal pengalaman-pengalaman sebenarnya dapat diperluas

187
Ibid., hlm. 63.
188
Ibid.
189
Ibid.
137
sehingga mencakup berbagai pengalaman-pengalaman lain, bukan hanya
pengalaman-pengalaman empiris. Karena itulah, epistemologi positivisme
memiliki sejumlah kelemahan fundamental, sebab konsep-konsep
pemikirannya hanya terbatas pada wilayah konsep-konsep bahasa filosofis
dan frase-frase yang berhubungan dengan fakta empirikal semata.
D
U
M
M
Y

138
BAB 5
EPISTEMOLOGI IDEALISME

A. Pengantar
D
“Esensi idealisme adalah bahwa yang-ada selalu
memerlukan yang ada untuk kesadaran. Tanpa subjek
yang mengetahui, tidak akan ada objek yang diketahui.
U
Jika tidak ada isi dalam kesadaran, jika yang ada hanya
kekosongan, bagaimana kita dapat berbicara tentang
subjek yang sadar? Tidak menyadari sesuatu berarti
M

bukan sesuatu”.190

Kita sudah mengikuti bahwa pencerahan membawa sikap kritis atas


M
metafisika pada puncaknya. Juga sudah kita lihat bagaimana Kant, setelah
menguji kesahihan metafisika, membuktikan kemustahilannya sebagai sebuah
ilmu pengetahuan. Rasionalisme, empirisme, dan kritisisme, berada dalam
Y
barisan yang sama untuk menggempur metafisika tradisional pada
pertengahan. Kita bisa menduga kelanjutannya: penghancuran ini menjadi
radikal. Dalam masa-masa pasca pencerahan di Jerman, pada paruh pertama
abad ke-19, kita justru akan menemukan sesuatu yang di luar dugaan terjadi
dalam bidang intelektual.

190
Hector Hawton, Filsafat yang Menghibur, terj. Supriyanto
Abdullah (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003), hlm. 139.
139
Dalam sejarah filsafat, awal-awal abad ini justru merupakan masa
berkembang-suburnya spekulasi-spekulasi metafisis gaya baru yang
menggantikan metafisika abad Pertengahan itu. Berbagai metafisika itu
disebut “gaya baru” karena berbeda dari metafisika tradisional yang
menekankan peranan iman dan rasio, metafisika abad ke-19 ini meyakini
kemampuan rasio manusia, dan rasio di sini tidak dipahami sebagai rasio
tertentu yang dimiliki orang tertentu, melainkan sesuatu yang menguasai
realitas sebagai keseluruhan.
Istilah yang khas untuk ini: rasio tidak dipahami sebagai “subjek
tertentu” (diriku), melainkan sebagai suatu “intelegensi yang mengatasi
indivudu”, suatu “Subjek Absolut”. Rasio macam ini mengatasi pikiran
D

individu-individu dan menjadi inti hakiki kenyataan itu sendiri. Kenyataan


lalu dimengerti sebagai “perwujudan diri dari Subjek Absolut atau rasio” itu.
U
Karena pandangan ini mengklaim sesuatu tentang kenyataan akhir sebagai
keseluruhan, pandangan ini adalah sebuah metafisika, dan karena klaim itu
menegaskan bahwa kenyataan akhir itu adalah subjek absolut atau rasio,
M
metafisika ini disebut idealisme. 191
Di Jerman, abad ke-19 menghasilkan sistem-sistem filsafat
idealisme yang digulirkan oleh Schelling, Fichte, dan Hegel. Filsafat
M
idealisme Jerman awalnya sebagai respons kritis terhadap filsafat Kritisisme
Immanuel Kant. Kritisisme Kant merupakan titik tolak yang paling jelas bagi
idealisme. Yang dimaksud di sini adalah pandangan Kant mengenai das Ding
Y
an sich. Pandangan ini meninggalkan sebuah problem inkonsistensi dalam
filsafat Kant. Problemnya dapat dijelaskan begini. Menurut Kant, adanya das
Ding an sich ini menjadi “sebab” unsur materi dari pengindraan. Das Ding an
sich itu tidak bisa kita diketahui karena melampaui pengetahuan kita.
Lalu bagaimana kita bisa mengatakan bahwa ia menjadi “sebab”
sesuatu? Konsep “sebab” di sini dipakai untuk sesuatu yang melampaui

191
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hlm. 154-155.
140
pengetahuan, padahal Kant sendiri menegaskan bahwa kausalitas tidak bisa
dipakai untuk sesuatu yang melampaui pengetahuan. Di samping itu, ada
kelemahan kedua yang juga jelas, yaitu bahwa dengan menetapkan das Ding
an sich sebagai sesuatu yang “tak mungkin diketahui” (tinggal diterima saja),
Kant berada dalam bahaya sikap dogmatisme yang sebenarnya ingin
dikritiknya. Atas dasar alasan-alasan ini, idealisme menghapus das Ding an
sich. Artinya, filsafat Kant mereka radikalkan sampai mengetahui das Ding an
sich itu. Dan karena Kant, dengan “Revolusi Kopernikan”-nya, menekankan
peranan subjek pengetahuan, secara konsisten radikalisasi itu akan
menghasilkan idealisme: kenyataan adalah produk pengetahuan. 192
D
Dengan demikian, konsekuensi radikal idealisme Hegel ada pada
kemampuan nalar manusia (tidak seperti Kant yang berhenti pada fenomena
dan tidak bisa ke realitas mutlak pada dirinya sendiri), untuk mampu
U
mencapai Yang Absolut yang tampil dalam alam. Kesadaran nalar manusia
bisa menangkapnya karena ia berada dalam nalar yang menghubungkan alam,
Yang Absolut dan nalar si manusia. Nalar manusia sebagaimana ia berpikir,
M
berkesadaran itu bekerja seturut konstruksi alam, seturut apa-apa yang di alam
ini berlaku. Kejadian, proses alam bergerak seturut dinamika gerak yang
Absolut sebab Yang Absolut mengungkapkan dirinya seturut konstruksi alam.
M
Jadi manusia menalar alam seturut cara Yang Mutlak mengungkap dirinya di
alam. Sama seperti Yang Mutlak maupun dalam berproses dinamis, begitu
pula nalar manusia juga berproses menyadar. Proses logis dinamis ini
Y
merupakan proses dialektika.193
Karena itu dalam bab ini, kita akan mendiskusikan epistemologi
idealisme dengan menguraikan terlebih dahulu pengertian idealisme secara
umum dan tipologinya. Selanjutnya ditayangkan konstruksi idealisme melalui
dua filsuf besar Jerman: Ficthe dan Hegel. Dalam bagian penutup, akan

192
Ibid., hlm. 156.
193
Mudji Sutrisno, Ranah Filsafat dan Kunci Kebudayaan
(Yogyakarta: Galangpress, 2010), hlm. 26.
141
disoroti sekilas keistimewaan sekaligus catatan kritis terhadap konstruksi
idealisme kedua filsuf tersebut.

B. Pengertian Idealisme dan Tipologinya


Secara historis-sosiologis, istilah idealisme pertama kali digunakan
secara filosofis oleh Leibniz awal abad ke-18. Ia menerapkkan istilah ini pada
pemikiran Plato, seraya memperlawankannya dengan materialisme Epikuros.
Istilah ini, dengan demikian, menunjukkan filsafat-filsafat yang memandang
yang mental atau ideasional sebagai kunci masuk ke hakikat realitas. Dari
abad ke-17 sampai permulaan abad ke-20, istilah ini sudah banyak dipakai
dalam pengklasifikasian filsafat.194
D
Sedangkan secara etimologi, istilah idealisme lebih banyak
ditentukan dari kata ide daripada kata ideal. W. E. Hocking, seorang idealis
yang mengatakan bahwa kata-kata idea-ism adalah lebih tepat daripada
U
idealism. Dengan ringkas, idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari
ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (selves) dan bukan benda
material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih
M

dahulu daripada materi. Jika materialisme mengatakan bahwa materi adalah


riil dan akal (mind) adalah fenomena yang menyertainya, maka idealisme
mengatakan bahwa akal itulah yang riil dan materi adalah produk sampingan.
M

Dengan begitu maka idealisme mengandung pengingkaran bahwa dunia ini


pada dasarnya adalah sebuah mesin besar dan harus ditafsirkan sebagai
materi, mekanisme atau kekuatan saja.
Y
Idealisme adalah suatu pandangan dunia atau metafisik yang
mengatakan bahwa realitas dasar terdiri atas, atau sangat erat hubungannya
dengan ide, pikiran, atau jiwa. Dunia mempunyai arti yang berlainan dari apa
yang nampak pada permukaannya. Dunia dipahami dan ditafsirkan oleh
penyelidikan tentang hukum-hukum pikiran dan kesadaran, dan tidak hanya
oleh metode ilmu obyektif semata-mata.

194
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002), hlm. 300.
142
Oleh karena alam mempunyai arti dan maksud, yang di antara
aspek-aspeknya adalah perkembangan manusia, maka seorang idealis
berpendapat bahwa terdapat suatu harmoni yang dalam antara manusia dan
alam. Apa yang “tertinggi dalam jiwa” juga merupakan “yang terdalam
dalam alam”. Manusia merasa berada di rumahnya dalam alam; ia bukan
orang asing atau makhluk ciptaan nasib, oleh karena alam ini adalah suatu
sistem yang logis dan spiritual, dan hal ini tercermin dalam usaha manusia
untuk mencari kehidupan yang baik. Jiwa (self) bukannya satuan yang
terasing atau tidak riil, ia adalah bagian yang sebenarnya dari proses alam.
Proses ini dalam tingkat yang tinggi menunjukkan dirinya sebagai aktivitas,
D
akal, jiwa atau perorangan. Manusia sebagai suatu bagian dari alam
menunjukkan struktur dalam kehidupannya sendiri.
Natur atau alam yang obyektif adalah riil dalam arti bahwa ia ada
U
dan menuntut perhatian dari dan penyesuaian diri dari kita. Meskipun begitu
alam tidak dapat berdiri sendiri, karena alam yang obyektif bergantung,
sampai batas tertentu, kepada mind (jiwa, akal). Kaum idealis percaya bahwa
M
manifestasi alam yang lebih kemudian dan lebih tinggi adalah lebih penting
dalam menunjukkan sifat-sifat prosesnya daripada manifestasi yang lebih
dahulu dan lebih rendah. Kaum idealis dapat mengizinkan ahli-ahli sains
M
fisika untuk mengatakan apakah materi itu, dengan syarat bahwa mereka tidak
berusaha untuk menciutkan segala yang ada dalam alam ini kepada kategori
tersebut. Mereka juga bersedia mendengarkan ahli-ahli biologi untuk
Y
melukiskan kehidupan dan proses-prosesnya, dengan syarat bahwa mereka
tidak menciutkan tingkat-tingkat (level) lainnya kepada tingkat biologi atau
sosiologi.
Kaum idealis menekankan kesatuan organik dari proses dunia.
Keseluruhan dan bagian-bagiannya tidak dapat dipisahkan kecuali dengan
menggunakan abstraksi yang membahayakan, yakni yang memusatkan
perhatian terhadap aspek-aspek tertentu dari benda dengan mengesampingkan
aspek-aspek lain yang sama pentingnya. Menurut sebagian dari kelompok

143
idealis, terdapat kesatuan yang dalam, suatu rangkaian tingkatan yang
mengungkapkan, dari materi, melalui bentuk tumbuh-tumbuhan kemudian
melalui bentuk binatang hingga sampai kepada manusia, akal dan jiwa.
Dengan begitu maka prinsip idealisme yang pokok adalah kesatuan
organik.195
Sementara itu, secara umum idelalisme dapat diklasifikasi ke dalam
tiga tipologi. Pertama, idealisme subyektif. Jenis idealisme ini kadang-kadang
dinamakan mentalisme atau fenomenalisme. Jenis ini sangat tidak dapat
dipertahankan, paling sedikit tersiarnya, dan paling banyak mendapat
tantangan. Seorang idealis sunyektif berpendirian bahwa akal, jiwa dan
persepsi-persepsinya atau ide-idenya merupakan segala yang ada. “Obyek”
D

pengalaman bukan benda material, obyek pengalaman adalah persepsi.


Benda-benda seperti bangunan-bangunan dan pohon-pohon itu ada, tetapi
U
hanya dalam akal yang mempersepsikannya. Seorang idealis subyektif tidak
mengingkari adanya apa yang kita namakan alam yang “riil”. Yang menjadi
permasalahan bukan adanya benda-benda itu akan tetapi bagaimana alam itu
M
diinterpretasikan. Alam tidak berdiri sendiri, bebas dari orang yang
mengetahuinya. “Bahwa dunia luar itu ada” menurut seorang idealis
subyektif, mempunyai arti yang sangat khusus, yakni bahwa kata “ada” itu
M
dipakai dalam arti yang sangat berlainan dari arti yang biasa kita pakai. Bagi
seorang idealis subyektif apa yang ada (dalam arti biasa) adalah akal dan ide-
idenya.
Y
Idealisme subyektif diwakili oleh George Berkeley (1685-1753)
seorang filosof dari Irlandia; ia lebih suka menamakan filsafatnya:
immaterialisme. Bagi Berkeley, hanya akal dan ide-idenya yang ada. Ia
mengatakan bahwa ide itu ada dan ia dipersepsikan oleh suatu akal. Baginya,
ide adalah, Esse est percipi (Ada, berarti dipersepsikan). Tetapi akal itu
sendiri tidak perlu dipersepsikan agar dapat berada. Akal adalah yang

195
Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj.
H.M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 316-317.
144
melakukan persepsi. Untuk menjelaskan pandangan Berkeley sepenuhnya kita
karus berkata “Ada berarti dipersepsikan (bagi ide) atau berarti yang
mempersepsikan (bagi akal). Segala yang riil adalah akal yang sadar atau
suatu persepsi atau ide yang dimiliki oleh akal tersebut”. Berkeley bertanya,
“Dapatkah kita membicarakan tentang sesuatu selain dari ide atau akal?”
Jika kita mengatakan bahwa benda-benda itu ada ketika benda-
benda itu tidak terlihat dan bahwa kita percaya wujud yang berdiri sendiri dari
dunia luar, Berkeley menjawab bahwa ketertiban dan kosistensi alam adalah
riil dan disebabkan oleh akal yang aktif yaitu akal Tuhan. Tuhan, akal yang
tertinggi, adalah pencipta dan pengatur alam. Dan kehendak Tuhan adalah
D
hukum alam. Tuhan menentukan urutan dan susunan ide-ide kita. Inilah
sebabnya maka kita tidak dapat hanya menentukan apa yang akan kita lihat
jika kita membuka mata kita.
U
Kaum idealis subyektif mengatakan bahwa tak mungkin ada benda
atau persepsi tanpa seorang yang mengetahui benda atau persepsi tersebut,
subyek (akal atau si yang tahu) seakan-akan menciptakan obyeknya (apa yang
M
kita namakan materi atau benda-benda yang diketahui), bahwa apa yang riil
itu adalah akal yang sadar atau persepsi yang dilakukan oleh akal tersebut.
Mengatakan bahwa suatu benda ada berarti mengatakan bahwa benda itu
M
dipersepsikan oleh akal. Apakah benda yang tidak diketahui, tak ada orang
yang dapat memikirkan atau mengatakan. Apa yang kita lihat atau kita pikir,
bersandar kepada akal, dan alam ini bersifat mental. 196
Y
Kedua, idealisme obyektif. Banyak filosof idealis, dari Plato,
melalui Hegel sampai filsafat masa kini menolak subyektivisme yang ekstrim
atau mentalisme, dan menolak juga pandangan bahwa dunia luar itu adalah
buatan manusia. Mereka berpendapat bahwa peraturan dan bentuk dunia,
begitu juga pengetahuan, adalah ditentukan oleh watak dunia itu sendiri. Akal
menemukan peraturan alam. Mereka itu idealis dalam memberi interpretasi
kepada alam sebagai suatu bidang yang dapat dipahami, yang bentuk

196
Ibid., hlm. 318-319.
145
sistematiknya menunjukkan susunan yang rasional dan nilai. Jika mereka
mengatakan bahwa watak yang sebenarnya dari alam adalah bersifat mental,
maka artinya adalah bahwa alam itu suatu susunan yang meliputi segala-
galanya, dan wataknya yang pokok adalah akal; selain itu alam merupakan
kesatuan organik.
Walaupun istilah idealisme baru dipakai pada waktu yang belum
lama untuk menunjukkan suatu aliran filsafat, akan tetapi permulaan
pemikiran idealis dalam peradaban Barat biasanya dinisbahkan kepada Plato
(427-347 SM). Plato menamakan realitas yang fundamental dengan nama ide,
tetapi baginya, tidak seperti Berkeley, hal tersebut tidak berarti bahwa ide itu,
D
untuk berada, harus bersandar kepada suatu akal, apakah itu akal manusia atau
akal Tuhan. Plato percaya bahwa di belakang alam perubahan atau alam
empiris, alam fenomena yang kita lihat atau kita rasakan, terdapat alam ideal,
U
yaitu alam esensi, form atau ide. Bagi Plato, dunia dibagi dalam dua bagian.
Pertama dunia persepsi, dunia penglihatan, suatu dan benda-benda individual.
Dunia seperti itu, yakni yang konkret, temporal dan rusak bukannya dunia
M
yang sesungguhnya, melainkan dunia penampakana saja. Kedua, terdapat
alam di atas alam benda, yaitu dalam konsep, ide, universal atau esensi yang
abadi.
M
Konsep “manusia” mengandung “realitas” yang lebih besar daripada
yang dimiliki orang perorang. Kita mengenal benda-benda individual karena
kita mengetahui konsep-konsep dari contoh-contoh yang abadi. Bidang yang
Y
kedua ini mencakup contoh, bentuk (forms) atau jenis (type) yang berguna
sebagai ukuran untuk benda-benda yang kita persepsikan dengan indra kita.
Ide-ide adalah contoh yang transenden dan asli, sedangkan persepsi dan
benda-benda individual adalah copy atau bayangan dari ide-ide tersebut.
Walaupun realitas itu bersifat immaterial, Plato tidak mengatakan bahwa tak
ada orang yang riil kecuali akan dan pengalaman-pengalamannya. Ide-ide
yang tidak berubah atau esensi yang sifatnya riil, diketahui manusia dengan
perantaraan akal. Jiwa manusia adalah esensi yang immaterial, dikurung

146
dalam badan manusia untuk sementara waktu. Dunia materi berubah, jika
dipengaruhi rasa indra, hanya akan memberikan opini dan bukan
pengetahuan.
Kelompok idealis obyektivis modern berpendat bahwa semua
bagian alam mencakup dalam suatu tata tertib yang meliputi segala sesuatu,
dan mereka menisbahkan kesatuan tersebut kepada ide dan maksud-maksud
dari suatu akal yang mutlak (Absolut mind). Hegel (1770-1831) memaparkan
satu dari sistem-sistem yang terbaik dari idealisme monistik atau mutlak
(absolut). Pikiran adalah esensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa
yang diobyektifkan. Alam adalah proses pikiran yang memudar. Alam adalah
D
Akal yang Mutlak (Absolute Reason) yang mengekspresikan dirinya dalam
bentuk luar.
Oleh karena itu, maka hukum-hukum pikiran merupakan hukum-
U
hukum realitas. Sejarah adalah cara zat yang Mutlak (Absolute) itu menjelma
dalam waktu dan pengalaman manusia. Oleh karena alam itu Satu, dan
bersifat mempunyai maksud serta berpikir, maka alam itu harus berwatak
M
pikiran. Jika kita memikirkan tentang keseluruhan tata tertib dunia, yakni tata
tertib yang mencakup in-organik, organik, tahap-tahap keberadaan yang
spiritual, dalam suatu tata tertib yang mencakup segala-galanya, pada waktu
M
itulah kita membicarakan tentang yang Mutlak. Jiwa yang Mutlak atau Tuhan.
Sebagai ganti realitas yang statis atau tertentu serta jiwa yang
sempurna dan terpisah, seperti yang kita dapatkan dalam filsafat tradisional,
Y
Hegel membentangkan suatu konsepsi yang dinamik tentang jiwa dan
lingkungan; jiwa dan lingkungan itu adalah begitu berkaitan sehingga kita tak
dapat mengadakan pembedaan yang jelas antara keduanya. Jiwa mengalami
realitas setiap waktu. Yang “universal” selalu ada dalam pengalaman-
pengalaman khusus dari proses yang dinamis. Dalam filsafat semacam itu,
pembedaan dan perbedaan termasuk dalam dunia fenomena dan bersifat
relatif bagi si pengamat. Keadaanya tidak mempengaruhi kesatuan dari akal
yang positif (mempunyai maksud).

147
Kelompok idealis obyektif tidak mengingkari adanya realitas luar
atau realitas obyektif. Mereka percaya bahwa sikap mereka adalah satu-
satunya sifat yang bersifat adil kepada segi obyektif dari pengalaman, oleh
karena mereka menemukan dalam alam prinsip: tata tertib, akal dan maksud
yang sama seperti yang ditemukan manusia dalam dirinya sendiri. Terdapat
suatu akal yang memiliki maksud di dalam alam. Mereka percaya bahwa hal
ini ditemukan bukan sekedar dipahami dalam alam. Alam telah ada sebelum
saya (jiwa individual) dan akan tetap ada sesudah saya; alam juga sudah ada
sebelum kelompok manusia ada. Tetapi adanya arti dalam dunia, mengandung
arti bahwa ada sesuatu seperti akal atau pikiran di tengah-tengah idealitas.
D
Tata tertib realitas yang sangat berarti itu diberikan kepada manusia agar ia
memikirkan dan beradaptasi di dalamnya. Keyakinan terhadap arti dan
pemikiran dalam struktur dunia adalah institusi dasar yang menjadi asas
U
idealisme. 197
Ketiga, idealisme personal atau personalisme. Personalisme muncul
sebagai protes terhadap materialisme mekanik dan idealisme monistik. Bagi
M
seorang personalis, realitas dasar itu bukannya pemikiran yang abstrak atau
proses pemikiran yang khusus, akan tetapi seseorang, suatu jiwa atau seorang
pemikir. Realitas itu termasuk dalam personalitas yang sadar. Jiwa (self)
M
adalah satuan kehidupan yang tak dapat diperkecil lagi, dan hanya dapat
dibagi dengan cara abstraksi yang palsu. Kelompok personalis berpendaat
bahwa perkembangan terakhir dalam sains modern, termasuk di dalamnya
Y
formulasi teori relativitas dan pengakuan yang selalu bertambah terhadap
“tempat berpijaknya si pengamat” telah memperkuat sikap mereka. Realitas
adalah suatu sistem jiwa personal, oleh karena itu realitas bersifat pluralistik.
Kelompok personalis menekankan realitas dan harga diri dari orang-orang,
nilai moral dan kemerdakaan manusia.
Bagi kelompok personalis, alam adalah suatu tata tertib yang
obyektif; walaupun begitu alam tidak berada sendiri. Manusia mengatasi alam

197
Ibid., hlm. 319-322.
148
jika ia mengadakan interpretasi terhadap alam tersebut. Sains mengatasi
materialnya melalui teori-teorinya; alam arti dan alam nilai menjangkau lebih
jauh daripada alam semesta sebagai penjelasan terakhir. 198 Alam itu
diciptakan oleh Tuhan, Aku yang Maha Tinggi dalam masyarakat individu.
Yang tertinggi telah mengekspresikan dirinya dalam dunia material dari atom
dan dalam jiwa-jiwa yang sadar yang timbul pada tahap-tahap tertentu dari
proses alam. Terdapat suatu masyarakat person atau aku-aku yang ada
hubungannya dengan personalitas tertinggi.
Nilai-nilai moral dan spiritual diperkuat oleh jiwa kreatif personal,
dan jiwa mempunyai hubungan dengan segala sesuatu. Personalisme bersifat
D
theistik (percaya kepada adanya Tuhan); ia memberi dasar metafisik kepada
agama dan etika. Tuhan mungkin digambarkan sebagai zat yang terbatas,
sebagai pahlawan yang berjuang dan bekerja untuk tujuan-tujuan moral dan
U
agama yang tinggi. Ide tentang kebaikan Tuhan dipertahankan walaupun
kekuasaannya terbatas. Tujuan hidup adalah masyarakat yang sempurna,
yakni masyarakat jiwa (selves) yang telah mencapai personalitas sempurna
M
dengan jalan berjuang.199
C. Biografi Johann Gottlieb Fichte
Fichte lahir lahir dari keluarga
M
melarat di kota Rammenau pada tahun 1762. Ia
adalah seorang anak perajut pita. Meski
demikian, seorang bangsawan kota itu—Baron
Y
von Miltitz—menyekolahkannya. Dia belajar
teologi di Universitas Jena, dan juga sempat
studi di Leipzig dan Wina. Dalam masa
studinya, Fichte sudah dipengaruhi oleh
gerakan Romantis, dan dalam filsafat dia
dipengaruhi oleh determinisme Spinoza, sebelum pada gilirannya

198
Ibid., hlm. 322-324.
199
Ibid., hlm. 324.
149
menolaknya. Suatu ketika, dalam kariernya sebagai seorang dosen di Zurich,
seorang mahasiswa memintanya untuk menjelaskan kritisime Kant. Sejak saat
itu, dia belajar Kant untuk pertama kalinya, bahkan sempat mengunjungi Kant
di Konigsberg.200
Dididik dalam teologi kemudian filsafat di Jena, Fichte menjadi
terkenal, sebagian karena buku pertamanya, yang diterbitkan secara anonim di
Konigsberg, sehingga sempat keliru diyakini sebagai tulisan Kant. Karya ini,
Versuch einer Kritik aller Offenbarung (1792: Critique of All Revelation),
merupakan perayaan atas kedaulatan hukum moral, dan kekuatan argumennya
di buku itu telah mengantarkannya ke sebuah posisi di Universitas Jena.
D
Kombinasinya atas moralisme yang ketat, dukungan terhadap Revoli Prancis,
dan kritik Spinozistik terhadapa agama wahyu mengarah ke sejenis
kontroversi yang sepertinya menjadikan Fichte daya tarik banyak orang:
U
contoh, kuliahnya dirancang untuk merepresi para mahasiswa teologi dan
disiplin tersebut, selain juga mengadakan sesi kuliah di hari Minggu sebagai
ganti ibadah rutin gereja.
M
Keyakinan Fichte bahwa Tuhan identik dengan tatanan dunia moral,
bahkan meski pada gilirannya ini menjadi dasar bagi semua kognisi dan “satu-
satunya realitas objektif yang absolut sahih”, kelihatannya tidak lebih dari
M
sebuah pandangan ateisme, dan pada 1799 Atheismustreit, atau sidang besar
akademik terkait isu ini yang melibatkan banyak pemikir Jerman kala itu,
membuatnya didepak dari Jena.
Y
Secara metafisik, Fichte adalah yang pertama melucuti elemen
transendental dari Kant, berpendapat kalau kesadaran adalah basis satu-
satunya bagi penjelasan tentang pengalaman, dan bawah semua kesadaran
yang diarahkan ke apa pun yang lain memiliki kesadaran yang diarahkan
kepada diriya sebagai asal muasalnya. Konsep ini dikombinasikan dengan
konsep Kant tentang kehidupan moral sebagai pengejaran tanpa batas
terhadap tujuan yang tidak dapat diraih, sehingga semua eksistensi menjadi

200
Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 157-158.
150
perjuangan ego yang tidak pernah bisa terpuaskan, membuat dunia eksternal
dilihat sebagai penghalang bagi pemenuhannya.
Idealisme yang dinamis dan aktif ini, yang dipasangkan dengan
pengangkatan kesadaran diri, menjadi karya utama yang menggerakan Hegel,
dan bisa dilihat sebagai transisi dari filsafat Kant menuju idealisme absolut.
Seluruh dimensi pemikiran Fichte ini bisa dilihat dalam karya-karyanya
sepert: Bestimmung des Menschen (1800: The Vocation of Man, 1848), dan
Reiden an die Deutsche Nation (1807-1808: Addresses to the German Nation,
1922).201
Fichte juga dikenal sebagai orator yang ulung sejak ia mengucapkan
D
pidatonya di depan bangsa Jerman tahun 1808. Dia dinggap sebagai salah
seorang perintis nasionalisme Jerman. Tahun 1810 dia dikukuhkan sebagai
profesor di Universitas Berlin, dan empat tahun kemudian dia meninggal
U
karena sakit tifus yang ditularkan oleh istrinya yang kebetulan bekerja sebagai
perawat.202
D. Idealisme Johann Gottlieb Fichte
M
Idealisme Fichte dibangun dari tilikan kritisnya terhadap pemikiran
filosofis Immanuel Kant. Dalam hal ini, saya ingin menurunkan uraian Budi
Hardiman yang sangat representatif. Menurut Hardiman, seperti Kant, Fichte
M
berpendapat bahwa filsafat harus bertolak dari pengalaman, tetapi pengalaman
di sini mendapat arti khusus, yakni presentasi. Kata yang dipakai Fichte
adalah Vorstellung (bayangan; gambaran). Kalau kita merefleksikan isi
Y
kesadaran kita, kita akan menemukan dua macam presentasi, yakni: presentasi
yang disertai rasa kebebasan dan presentasi yang disertai rasa keniscayaan.
Kita, misalnya, bisa membayangkan sebuah kertas emas, berpergian
ke Venesia atau apa saja, dalam imajinasi kita, dan kemampuan inilah yang
disebutnya presentasi yang disertai rasa kebebasan. Lain halnya, kalau kita

201
Simon Blackburn, Kamus Filsafat, terj. Yudi Santoso
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 324.
202
Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 159.
151
benar-benar berada di jalan-jalan air di Venesia, segala yang kita dengar dan
lihat tak tergantung dari subjek, maka ini disebut presentasi yang disertai rasa
keniscayaan. Kalau kita perhatikan lebih lanjut, kita akan menemukan bahwa
presentasi pertama tergantung pada subjek, sedang yang kedua tergantung
pada objek. Kedua macam presentasi inilah yang disebut Fichte “pengalaman”
(Erfahrung).
Ficthe lalu mengabstraksi lebih lanjut. Karena pengalaman selalu
merupakan kesadaran akan sesuatu objek, kita dapat mengatakan bahwa
dalam setiap pengalaman aktual selalu ada dua unsur yang saling menjalin,
yaitu subjek dan objek. Kalau dipandang sendiri-sendiri, kita bisa
mengabstraksi sebjek sebagai “intelejensi pada dirinya sendiri” dan objek
D

sebagai “benda pada dirinya sendiri”. Sekarang pertanyaannya, Manakah dari


keduanya yang menghasilkan pengalaman aktual? Menurut Fichte, kalau kita
U
memilih yang kedua sebagai titik tolak pengalaman, kita justru memilih
“dogmatisme”, yaitu kepercayaan bahwa objek menentukan intelejensi atau
kesadaran. Jika diradikalkan pilihan ini menjadi determinisme dan
M
materalisme.
Kalau kita memilih yang pertama, kita memilih apa yang disebut
Fichte “idealisme”. Menurut Fichte, Immanuel Kant telah memilih yang
M
kedua sebagai titik tolak pengalaman, meskipun kemudian ia mengutamakan
unsur-unsur a priori kesadaran. Sikap Kant ini dinilainya kompromistis, dan
kompromi semacam itu malah kembali pada dogmatisme, sebab
Y
bagaimanapun titik tolaknya adalah pengalaman empiris akan das Ding an
sich. Kalau kita serius mau menolak dogmatisme, menurut Fichte, kita harus
menghapus das Ding an sich itu tanpa sikap kompromis. Artinya, Fichte
memilih “intelejensi pada dirinya” sebagai pencipta kenyataan—inilah
idealisme.
Pertanyaan kita selanjutnya adalah mengapa seorang filsuf memilih
yang satu dan menolak yang lain? Menurut Fichte pilihan itu tergantung pada
macam orang yang memilihnya; jadi tergantung pada kepentingan dan

152
kecenderungan. Ficthe berkata: “Was fur eine Philosophie man wahle, hangt
ab, was man fur ein Mensch ist” (Macam filsafat mana yang dipilih orang
tergantung dari manusia macam apa orang itu). Akan tetapi, Fichte lalu
menunjukkan keunggulan idealisme. Menurutnya, seorang filsuf yang makin
matang kesadaran moralnya akan kebebasan cenderung memilih idealisme,
sedangkan yang kurang matang justru akan memilih dogmatisme. Atas dasar
ini lalu Fichte mengutamakan rasio praktis yang sudah dirumuskan Kant atas
rasio murni. Kesadaran moral dalam arti tindakan moral inilah yang
membimbing orang pada idealisme murni. Di sini Fichte mau menjembatani
jurang yang menganga sejak Kant, antara rasio murni dan rasio praktis. 203
D
Selanjutnya menurut K. Bertens, Fichte kerapkali menunjukkan
filsafatnya sebagai Wissenschaftslehre. Yang dimaksudkannya dengan nama
ini ialah suatu refleksi tentang pengetahuan. Fichte sepakat dengan Kant
U
bahwa semua ilmu membahas salah satu objek tertentu, sedangkan filsafat
bertugas memandang pengetahuan sendiri. Oleh karenanya filsafat merupakan
ilmu yang mendasari ilmu-ilmu lain dan akibatnya dinamai sebagai
M
Wissenschaftslehre yang sebetulnya berarti “ajaran tentang ilmu
pengetahuan”.
Menurut pendapat Fichte, filsafat harus berpangkal bukan dari suatu
M
substansi melainkan dari suatu perbuatan (Tathandlung), yaitu Aku Absolut
mengiyakan dirinya sendiri dan dengan itu mengatakan dirinya sendiri.
Dengan kata lain, realitas seluruhnya harus dianggap menciptakan dirinya
Y
sendiri (self-creating). Dengan cara inilah Fichte bermaksud juag
memperdamaikan pertentangan antara rasio teoritis dan rasio praktis yang
terdapat dalam filsafat Kant. Rasio teoritis tidak dapat ditempatkan pada awal
mula, tetapi didahului dan dirangkum oleh suatu perbuatan. Oleh karena itu
memang pada tempatnyalah jika filsafat Fichte disebut idealisme praktis.
Lalu aktivitas tak terhingga dari Aku Absolut itu mengadakan
lapangan tempat ia dapat menjalankan aktivitas. Dengan kata lain, Aku

203
Ibid., hlm. 160-162.
153
Absolut menghasilkan suatu non-aku. Tetapi dengan berbuat demikian Aku
Absolut itu serentak juga mengadakan diri sebagai aku sehingga yang dibatasi
oleh non-aku. Dengan cara inilah Fichte dapat menerangkan kemungkinan
pengalaman kita. Saya mempunyai kesan bahwa pohon yang saya lihat di situ
memang terdapat di tempat itu sebagai sesuat yang “asing” bagi saya, sebagai
yang lain dari saya. Saya mengalami hubungan subjek-obyek. Tetapi menurut
prinsip idealisme sama sekali tidak mungkinlah adanya obyek belaka. Karena
alasan itulah Fichte mengatakan bahwa “non-aku” (alam semesta) merupakan
buah hasil aktivitas Aku Absolut dan juga aku terhingga merupakan buah
hasil aktivitas itu. Tetapi harus ditambah bahwa hasil ini diperoleh dengan
D
cara tidak sadar (dan karena itu menjadi mungkin bahwa pohon itu misalnya,
dilihat sebagai sesuatu yang “asing” bagi saya). 204
Dengan ungkapan lain, melalui metode deduktif Fichte mencoba
U
menurunkan dari Ego atau “Aku” adanya benda-benda. Karena Ego berpikir,
berefleksi, meng-ia-kan diri, maka benda-benda ada. Meng-ia-kan diri dan
berada ini, jikalau diterapkan kepada Ego, dipandang sebagai identik. Setelah
M
Ego meng-ia-kan diri, maka “bukan-Ego” dinyatakan. Jadi hukum berpikir
dipandang sebagai sama dengan hukum alam. Dengan secara dialetis (yaitu
berpikir dengan menggunakan tesis, antitesis dan sintesis) ia mencoba
M
menjelaskan adanya benda-benda.
Ia mengemukakan tiga dalil: (1) Ego atau “Aku” meng-ia-kan diri
sendiri, atau Ego yang meneguhkan adanya diri sendiri ini baru mungkin
Y
jikalau Ego juga membedakan diri daripada yang “Bukan Ego” atau obyek
atau benda, yang membatasi Ego tadi. Demikianlah (2) Ego meneguhkan
adanya yang “Bukan Ego”. Inilah antitesisnya. Oleh karena Ego sekarang
benar-benar tidak lagi tunggal (karena ada “Ego” yang dapat dibagi-bagi dan
“Bukan Ego” yang dapat dibagi-bagi), maka (3) Ego di dalam kesadarannya
berhadapan muka dengan suatu dunia. Perbedaan dan kesatuan telah

204
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1975), hlm. 70-71.
154
memasuki pengalamannya. Inilah sintesisnya. Demikianlah pengenalan yang
konkrit mengandung di dalamnya Ego atau Aku dan dunia, yang keduanya
saling membatasi. Keduanya, Ego dan dunia, bukanlah dualisme yang mutlak,
sebab keduanya dapat dikembalikan kepada satu sumber, yaitu aktivitas atau
perbuatan Ego yang “menciptakan” itu. 205
Reese membuat ringkasan filsafat idealisme Fichte sebagai berikut
ini:
1. Fichte amat banyak dipengaruhi oleh Kant. Ia dikenal sebagai
pendiri idealisme Jerman dan mengembangkan filsafatnya bertolak dari
pemikiran Kant dengan cara menjadikan akal praktis Kant menjadi lebih
D
penting daripada akal murni, yang Kant sendiri kelihatannya tidak
berkehendak seperti itu. Hasilnya ialah idealisme itu menjadi idealisme yang
berangkat dari kemauan moral. Langkah yang ditempuh oleh Fichte untuk
U
menjelaskan hal itu ditulis dalam bukunya, The Vocation of Man, yang ditulis
untuk pembaca bukan filosof. Argumen yang diajukannya untuk itu ialah
bahwa bila setiap sesuatu terjadi oleh suatu keharusan kausalitas, maka kita
M
akan bertanggung jawab atas tindakan kita karena sumber tindakan kita itu
adalah hukum alam, bukan kita.
2. Kurang tepat bila kita mengatakan bahwa seseorang memahami
M
karena ia memiliki obyek. Yang tepat ialah seseorang memahami karena ia
melihat obyek; dan ini, sebagaimana kita saksikan, adalah cara manusia
memahami. Jadi, memahami dengan melihat. Bila seseorang ditanya mengapa
Y
ia mempercayai dunia eksternal, ia akan mengajukan hukum kausalitas. Apa
yang dipahami tentu memerlukan penjelasan kausalitas. Akan tetapi, dengan
mengatakan bahwa ia memerlukan kausalitas, ia juga dapat mengatakan
bahwa ia melihat kausalitas itu bekerja di daerah obyek. Kita mengatakan
bahwa kausalitas itu ada hanyalah karena kita berada di dunia.

205
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2
(Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 89.
155
3. Akan tetapi, karena kesadaran kita adalah penjelmaan persepsi
kita, maka kita tidak begitu memahami kedasaran “kita” dibandingkan dengan
kesadaran kita tentang dunia. Kita menempatkan Ego sama dengan kita
menempatkan non-Ego. Oleh karena itu, kita menyadari bahwa Ego itu lebih
tinggi daripada Ego-absolut. Fichte menyatakan bahwa keharusan terlibatnya
segala sesuatu dalam menempatkan diri dalam Ego-absolut adalah suatu
keharusan teologis dan keharusan dialektis. Jadi bukanlah Hegel, melainkan
Fichte yang mula-mula mengetengahkan proses dialektis yang terdiri atas
tesis, antitesis, dan sintesis, dan juga ia meletakkan tahap-tahapnya.
4. Karena keharusan yang dilihatnya mula-mula dalam alam
D
hanyalah keharusan dalam pikiran, maka ia tidak begitu memperhatikannya.
Sebenarnya, kesadaran moral mengatakan kepada kita bahwa kita ini bebas,
dan kita bertanggung jawab sendiri atas perbuatan kita. Itu tidak akan sama
U
seandainya kita ini berada di dalam penguasaan hukum kausalitas, yang telah
diberikan kepada kita sebelum kita menyadarinya.
5. Keunggulan kesadaran moral ialah tidak memerlukan contoh. Ia
M
memerlukan dunia yang di sana kita bebas berbuat dan bertanggung jawab
serta memenuhi tugas kita satu dengan yang lainnya. Itu adalah dunia spiritual
yang tidak ditentukan oleh ruang dan waktu.
M
6. Akan tetapi, mengapa kita mempercayai penginderaan? Kita
berbuat demikian agar kita mampu meningkatkan kebijakan kita dalam
mengenali berbagai kesulitan di dalam hidup ini.
Y
7. Membiasakan melakukan tugas terhadap satu sama lainnya adalah
suatu tugas kemanusiaan, yang sebaiknya menjadi etika budaya dunia yang
akan dapat menjaga kebebasan dan hak setiap orang. Negara tempat kita
hidup seharusnya bertanggung jawab menyediakan dan menjaga kebebasan
dan hak kita itu.
8. Di belakang tugas dan kesadaran moral itu ada roh (spirit) dan
moral, yang dapat dikenali pada diri Tuhan, Tuhan sebagai Dunia, logos,
bukan sebagai Pencipta atau Penyebab. Tuhan Fichte itu disebutnya juga

156
“Ada” (Being) atau Absolut. Tuhan itu kekal (eternal), maka ia mesti
sempurna. Karena saya dan Anda adalah bagian dari susunan moral yang
menjadi satu dengan Tuhan, maka kita sekarang ini sebenarnya bersatu (satu)
dengan Tuhan. Kemauan kita bersatu dengan kemauan Tuhan (kemauan kita
bagian dari kemauan Tuhan). Tuhan dan kita menyatu. Tuhan tidak sendirian.
Kita pun tidak sendirian. Akan tetapi, pendapat ini berujung pada bahwa saya
juga akan kekal, tidak berubah, tetap. Saya kekal secara sempurna. Dengan
demikian, terdapat paradoks di dalam pemikiran Fichte: di satu pihak fokus
pemikirannya pada kehidupan manusia (manusia bebas dan karena itu
bertanggung jawab), tetapi di pihak lain manusia bersatu dengan Tuhan (tentu
tidak dapat bebas dan bertanggung jawab). 206
D
U
M
M
Y

206
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1997), hlm. 130-131.
157
E. Biografi Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Georg Wilhelm Friedrich Hegel lahir
di Stuttgart tahun 1770 dan hidup selama era
Jerman yang bersinar emas peradabannya. Tahun
yang sama, lahir pula musikus Beethoven dan
kala itu penyair budayawan Geothe berusia 20
tahun sementara Immanuel Kant berumur 46
tahun. Puisi Wordsworth, penyair Inggris, ikut
menyentuh nuansa romantisme pada aliran
filsafat idealisme Jerman saat itu. Awalnya,
D
Hegel tertarik pada penulis-penulis Yunani Plato, Aristoteles. Di awal usia
sekolah Tubingen usia 18 tahun, ia menekuni sekolah teknologi di kota itu, di
mana pertemuan dan pertemanan dengan penyair Holderlin dan filsuf
U
Schelling ketika sama-sama digairahkan oleh api Revolusi Perancis 1789
menentukan beberapa jejak pikirannya di kemudian hari yang menyangkut
cara membaca sejarah dalam nalar sebagai kesadaran manusia.
M
Di Tubingen pula, Hegel mulai menaruh perhatian pada hubungan
antara filsafat dan teologi yang lagi-lagi nantinya akan menunjuk jejak satu
lagi pada pemikiran Hegel di kemudian hari. Namun ketika tamat universitas-
M
lah, filsafat menjadi minat utama Hegel. Hegel tamat universitas, Hegel
menjadi guru tutor keluarga selama 6 tahun di Berne dan Frankfurk. Saat ini
embrio karangan-karangan pendek filsafat mulai ia tulis. Periode ini pula
Y
idealisme Jerman menemukan 2 corong berpengaruh yaitu Fichte dan
Schelling yang jejak kontak dialog pikirannya muncul dalam tulisan Hegel
tahun 1801 berjudul Beda Antara Sistem Filsafat Fichte dan Schelling. Tahun
1801 ini pula Hegel menjadi dosen fakultas Universitas Jena. Menjelang
pecah perang Jena 1807, ia menyelesaikan tulisan The Phenomenology of
Mind (Fenomenologi Nalar).
Ketika perang Jena memaksa tutup universitas, Hegel menikah 1811
lalu menjadi rektor sekolah lanjutan atas di Nurnberg sampai tahun 1816 di

158
mana tulisan pentinyanya yaitu Science of Logic (Pengetahuan mengenai
logika) dibuat dan menjadi pemantik undangan-undangan untuk memberi
prasaran di beberapa universitas.
Tahun 1816 Hegel bergabung di universitas Heidelberg yang tahun
berikutnya ia menerbitkan Encyclopedia of the Philosophical Sciences in
Outline, sebuah karya menyeluruh yang membahas struktur filsafat dalam 3
mantranya yaitu: Filsafat Nalar. Tahun 1819 Hegel diangkat menjadi dosen di
Universitas Berlin fakultas filsafat sampai meninggalnya di usia 61 tahun
pada tahun 1831 karena penyakit kolera. Di Universitas Berlin inilah
pemikiran Hegel mematang dan mencerah dalam karya-karyanya: Philosophy
D
of Right dan kuliah-kuliahnya yang diterbitkan setelah wafatnya meliputi:
Philosophy of History (Filsafat Sejarah), Philosophy o f Religion dan Sejarah
Filsafat (history of philosophy).207
U
Salah satu pokok konstruksi filosofis Hegel adalah dialektika.
Menurut Hegel, setiap gerakan menciptakan sebuah pertentangan atau
gerakan, seriap aksi memunculkan reaksi, dan setiap pertarungan di antara
M
kekuatan-kekuatan yang bertentangan menemukan penyelesainnya dalam
sebuah unsur baru ketiga yang akan menggerakkan proses baru sehingga
karenanya jelas akan memunculkan sebuah reaksi baru. Jadi, dengan
M
menggunakan istilah-istilah teknis bagi tahapan-tahapan suksesif ini, dia
mengajarkan bahwa setiap tesis niscaya memunculan antitesis-nya sendiri dan
ketidakselarasan di antara kedua hal itu menciptakan konflik, dan konflik itu
Y
bisa diselesaikan oleh sebuah sintesis, yang kemudian memunculkan
antitesisnya sendiri: dan sintesis tersebut menjadi tesis dari sebuah triad baru.
Ada dua poin penting dari dialetika ini. Yang pertama, dialektika
menunjukkan bahwa proses perubahan, meski berlangsung terus-menerus,
tidak berlangsung dalam bentuk yang semau-maunya, tetapi dalam bentuk

207
Sutrisno, Ranah Filsafat, hlm. 23-24.
159
yang bisa dipahami secara rasional; yang kedua, dialektika menunjukkan
bahwa proses perubahan itu secara inheren melibatkan konflik. 208
Menurut Hardiman, idealisme Jerman menemukan raksasanya yang
paling akbar, yakni dalam diri Hegel. Tidak berlebihan juga jika dia
dipandang sebagai tokoh puncak segala bentuk spekulasi filosofis dalam
sejarah filsafat Barat modern. Sejarah filsafat sesudahnya bahkan bisa
dipandang sebagai sebuah usaha sepenuh tenaga untuk merobohkan bangunan
raksasa yang didirikan oleh filsuf ini. 209
F. Idealisme Georg Wilhelm Friedrich Hegel
1. Rasio, Ide, dan Roh
D
Secara general, rasio merupakan kemampuan untuk melakukan
abstraksi, memahami, menghubungkan, merefleksikan, memperhatikan
kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan.210 Bila dipikirkan sebagai
U
kemampuan, rasio berbeda dengan kemampuan kehendak, kemampuan cita
rasa, kemampuan perasaan, kempuan intuisi, dan sebagainya. Dan biasanya
rasio dianggap sebagai ciri khas manusia yang membedakannya dengan
M
makhluk-makhluk yang lebih rendah. Rasio juga dibedakan dari iman, wahyu,
intuisi, emosi atau perasaan, pencerapan, persepsi, pengalaman. 211
Jika merujuk kepada para filsuf, ternyata mereka mengungkap
M
pengertian rasio yang cukup kaya. Aristoteles membuat perbedaan antara
rasio aktif dan pasif. Rasio aktif adalah bentuk penalaran “murni”, sedangkan
rasio pasif adalah bentuk penalaran yang berkaitan dengan panca indra. 212
Y
Pascal membuat perbedaan antara “rasio pikiran” dan “rasio hati” yang tidak
diketahui oleh pikiran. Kant, sama seperti Panaetius, membedakan antara
rasio teoritis dan praktis. Ia membeberkan panjang lebar kajian yang cocok

208
Bryan Magee, Memorar Seorang Filosof, terj. Eko Prasetyo
(Bandung: Mizan, 2005), hlm. 606-607.
209
Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 172.
210
Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 925.
211
Ibid., hlm. 925-926.
212
Ibid., hlm. 926.
160
untuk keduanya, termasuk pembedaan antara pengertian dan rasio. 213
Sedangkan Hegel mengangkat perbedaan Kant, sambil menjadikan
214
perkembangan rasio sebagai basis deduksi kategori-kategorinya.
Akan tetapi, Hegel melakukan kritik terhadap epistemologi
kritisisme Kant sehingga rasio yang dieksplorasi oleh Hegel juga rasio kritis.
Kritik Kant bersifat transendental dan dengan cara ini ia ingin meletakkan
rasio yang kritis itu di atas suatu dasar yang pasti dan tak tergoyahkan. Rasio
semacam ini tak mengenal waktu, netral dan ahistoris. Hegel yang kritis
terhadap kritisisme Kant ini menempatkan kegiatan pengetahuan kita atau
rasio di dalam rangka proses pembentukan diri (bildungsprozess) dari rasio.
D
Apakah maksud dari ungkapan terakhir ini?
Dalam pandangan Hegel rasio bersifat kritis tidak dengan cara
transenden dan ahistoris seakan-akan rasio itu sudah sempurna pada dirinya.
U
Rasio menjadi kritis justru kalau ia menyadari asal-usul pembentukannya
sendiri. Rasio bukanlah kesadaran lengkap yang bebas dari rintangan-
rintangan dalam sejarah umat manusia dan alam, melainkan merupakan proses
M
menjadi semakin sadar justru di dalam rintangan-rintangan itu. Jika rasio
menyadari rintangan-rintangan mana yang menghalanginya untuk menjadi
semakin rasional dan semakin sadar, rasio melangkah ke kualitas rasionalitas
M
yang lebih tinggi.
Menyadari adanya rintangan-rintangan itu, dalam pandangan Hegel,
sama dengan menyadari asal-usul kesadaran. Dengan kata lain, kesadaran
Y
rasional kita akan sesuatu muncul justru setelah kita mereflesikan rintangan-
rintangan itu dan karena munculnya kesadaran itu kita dapat membebaskan
diri dari rintangan-rintangan itu untuk menjadi semakin rasional. Proses rasio
menjadi semakin rasional di dalam sejarah ini oleh Hegel digambarkan dalam
suatu model yang termasyur, yaitu “dialektika Tuan dan Budak”.

213
Ibid.
214
Ibid.
161
Untuk melukiskan maksudnya, Hegel menunjuk beberapa contoh di
dalam sejarah bagaimana rasio dan proses kesadaran manusia menjadi
semakin rasional. Bagi Hegel sejarah tak lain dari pergumulan rasio
merefleksikan dan membebaskan diri dari rintangan-rintangan untuk menjadi
semakin sadar. Dalam sejarah, zaman yang satu berperan melawan zaman
yang lain, bangsa melawan bangsa dan kebudayaan melawan kebudayaan. Di
dalam konflik dan kontradiksi-kontradiksi serta rintangan-rintangan yang
menuntut korban-korban ini manusia berusaha memahami siapa dirinya yang
sebenarnya atau dengan kata lain rasio berjuang gigih untuk menyadari
dirinya dan menjadi semakin bebas.
D
Salah satu contoh adalah proses penyadaran rasio yang diperoleh
dalam Revolusi Prancis. Meskipun revolusi ini menghasilkan korban-korban,
berkat rintangan-rintangan inilah warga negara memperoleh kebebasannya
U
dari kekuasaan monarkhi absolut. Kesadaran demokratis yang diperoleh
dalam revolusi Prancis tak lain dari hasil refleksi dan perjuangan rasio sendiri
untuk menyadari adanya rintangan-rintangan untuk menjadi semakin bebas
M
dan sadar. Proses sejarah manusia memahami siapa dirinya, apa itu
masyarakat, kebudayaan, dan alam semesta adalah proses pembentukan diri
rasio. 215
M
Konsep rasio memang mempunyai kedudukan sentral dalam filsafat
Hegel. Ia berpendapat bahwa pemikiran filsafat tidak mensyaratkan sesuatu di
luar jangkauannya, bahwa sejarah berhubungan dengan rasio dan hanya
Y
dengan rasio, dan bahwa negara adalah perwujudan dari rasio. Namun
demikian, pernyataan ini tidak bisa dipahami jika rasio ditafsirkan sebagai
konsep metafisik murni karena ide Hegel tentang rasio, meskipun dalam
bentuk idealistiknya, mencakup berbagai upaya material untuk membangun

215
Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi (Yogyakarta:
Buku Baik, 2004), hlm. 43-45.
162
tatanan kehidupan yang bebas dan rasional. 216 Inti filsafat Hegel adalah
struktur di mana konsep-konsep—kebeasan, subjek, pikiran, gagasan—
diturunkan dari ide rasio.
Sebagaimana telah kita ungkapkan di awal, bagi Hegel, Revolusi
Prancis menggemakan kekuasaan rasio di atas realitas. Ia meringkaskan
masalah ini dengan mengatakan bahwa prinsip Revolusi Prancis menegaskan
bahwa pemikiran seharusnya mengarahkan realitas. Implikasi yang terdapat
dalam pernyataan ini menjadi inti pokok dari filsafatnya. Pemikiran harus
mengarahkan realitas. Apa yang dianggap manusia sebagai betul, benar, dan
baik harus direalisasikan dalam organisasi kehidupan sosial dan individu
D
mereka yang nyata. Namun demikian, pemikiran berbeda di antara individu-
individu, dan perbedaan tajam yang terdapat pada opini individu tidak bisa
menjadi prinsip pembimbing bagi organisasi kehidupan bersama. Jika
U
manusia tidak mempunyai konsep dan prinsip pemikiran yang secara
universal menunjuk pada kondisi dan norma yang valid, pemikirannya tidak
bisa mengklaim untuk mengarahkan realitas. Sebagaimana dengan tradisi
M
filsafat Barat, Hegel yakin bahwa konsep dan prinsip obyektif semacam ini
ada. Totalitasnya ia sebut dengan rasio. 217
Jadi ada idealisme konkret di sini, yaki realitas harus dikonstruksi
M
sesuai dengan kualifikasi rasio. Selama terdapat gap antara yang riil dan yang
potensial, yang riil harus diubah sampai ia sejalan dengan rasio. Sepanjang
realitas tidak dibentuk oleh rasio, ia—dalam makna katanya yang empatik—
Y
bukanlah realitas. Jadi, realitas dalam struktur konseptual sistem Hegel
berubah maknanya. “Yang riil” berarti tidak hanya sesuatu yang secara aktual
ada (ini lebih tepat disebut dengan penampakan), tetapi sesuatu yang ada
dalam bentuk yang sesuai dengan standar rasio. 218

216
Herbert Marcuse, Rasio & Revolus, terj. Imam Bauhaqie
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 4.
217
Ibid., hlm. 6.
218
Ibid., hlm. 9.
163
Namun dalam perjalanannya, rasio dalam filsafat idealisme Hegel
tidak hanya berhenti pada tataran orang per orang secara individual,
melainkan diangkat pada tataran universal yang meliputi semesta dimensi
kehidupan. Bagi Hegel, yang dimaksud bukan saja rasio pada manusia
perorangan, tetapi juga pada dan terurama pada Subyek Absolut, karena Hegel
pun menerima prinsip idealistis bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan
dengan suatu subyek. Suatu dalil Hegel yang kemudian menjadi terkenal
berbunyi, “The Real is the Rational, and the Rational is the Real”219, “Semua
yang riil bersifat rasional dan semuanya yang rasional bersifat riil”.
Maksudnya ialah bahwa luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas
seluruhnya adalah proses pemikiran (atau “Ide” menurut istilah yang dipakai
D

Hegel) yang memikirkannya dirinya sendiri. Atau dengan perkataan Hegel


lain lagi, realitas seluruhnya adalah Roh yang lambat laun menjadi sadar akan
U
dirinya. Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja bereaksi atas
kecondongan intelektual pada waktu itu yang mencurigai rasio sambil
mengutamakan perasaan. Kecondongan ini terutama dilihat dalam kalangan
M
“filsafat kepercayaan” dan dalam aliran sastra Jerman yang disebut
“Romantik”220;
2. Metode Dialektika
M
Secara historis-filosofis, dialektika merupakan dobrakan Hegel
terhadap hegemoni logika tradisional aristotelian selama berabad-abad
lamanya. Dua hal yang ditolak Hegel adalah sebagai berikut:
Y
(a) Logika dipahami sebagai studi tentang pikiran, semata-mata
kebenaran formal yang tidak memiliki signifikansi ontologis;
(b) Prinsip identitas yang menyatakan bahwa satu entitas dengan
oposisinya saling mengecualikan, berdiri sendiri-sendiri, dan
kontradiksi secara logis: A adalah A dan bukan non-A.

219
S. E. Frost, Basic Teaching of The Great Philosophers (New
York: Anchor Books, 1989), hlm. 198.
220
K. Bertens, Ringkasan Sejarah, hlm. 73.
164
Hegel dalam bukunya Phenomenology of Mind (1807)
mengemukakan bahwa tidak ada realitas objektif terpisah dari pikiran. Pikiran
adalah realitas objektif, dan realitas objektif adalah pikiran. Logika, menurut
Hegel, bukan sekedar kebenaran formal, melainkan memiliki signifikansi
ontologis dimana benak membentuk realitas, sehingga kajian tentang pikiran
akan mengungkap prinsp-prinsip yang menata realitas. Hegel menolak prinsip
identitas yang mengecualikan oposisi dengan mengatakan bahwa setiap fase
“ada” mengandung di dalamnya kontradiksi diri dan hal ini berfungsi sebagai
generator bagi pergerakannya ke fase yang lebih tinggi dan kompleks. Bagi
Hegel, berlawanan dengan Aristoteles, oposisi merupakan keniscayaan logis.
D
Dialektika memandang apa pun yang ada sebagai kesatuan dari apa
yang berlawanan, yaitu sebagai perkembangan melalui langkah-langkah yang
saling berlawanan. Apa pun dilihat sebagai hasil sebuah proses yang maju
U
lewat penyangkalan/negasi, dimana negasi bukan berarti bahwa apa yang
dinegasi dihancurkan/ditiadakan, melainkan yang disangkal hanyalah hal yang
salah, sedang kebenarannya tetap dipertahankan. Semuanya bergerak dari
M
suatu tesis-antitesis-sintesis dimana sintesis pun kemudian bisa menjadi suatu
tesis baru.221
Jadi proses dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Ada suatu fase
M
pertama (tesis) yang menampilkan lawannya (antitesis), yaitu fase kedua.
Akhirnya timbullah fase ketiga yang memperdamaikan fase pertama dan
kedua (sintesis). Dalam sistesis itu tesis dan antitesis menjadi aufgehoben,
Y
kata Hegel. Kata Jerman ini mempunyai lebih dari satu arti dan Hegel
memaksudkan semua arti itu (dalam bahasa Inggris umumnya diterjemahkan
dengan sublated). Di pihak aufgehoben berarti: dicabut, ditiadakan, tidak
berlaku lagi. Dan itu memang yang dimaksudkan: karena adanya sintesis,
maka tesis dan antitesis sudah tidak ada lagi; sudah lewat.

221
Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer
(Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hlm. 125-126.
165
Tetapi di lain pihak kata tersebut berarti juga: diangkat, dibawa
kepada taraf yang lebih tinggi. Dan itu juga yang dimaskudkan Hegel: dalam
sintesis masih terdapat tesis dan antitesis, tetapi kedua-duanya diangkat
kepada tingkatan baru. Dengan kata lain, dalam sintesis baik tesis maupaun
antitesis mendapat eksistensi baru. Atau dengan kata lagi, kebenaran yang
terkadung dalam tesis dan antitesis tetap disimpan dalam sintesis, tetapi dalam
bentuk lebih sempurna. Dan proses ini akan berlangsung terus. Sintesis yang
telah dihasilkan dapat menjadi tesis pula yang menampilkan antitesis lagi dan
akhirnya kedua-duanya dapat diperdamaikan menjadi sintesis baru. Maka dari
itu proses dialektika sebaiknya dikiaskan dengan gerak spiral dan bukan gerak
garis lurus.222
D

Di dalam kehidupan sehari-hari ada banyak contoh tentang apa yang


dimaksud oleh Hegel ini: suatu pandangan yang ekstrim ke kanan
U
menimbulkan suatu reaksi yang ekstrim ke kiri, yang kemudian menelorkan
suatu kompromi yang menyelaraskan keduanya itu. Umpamanya: golongan
yang satu menghendaki supaya negara menguasai agama. Pandangan ini
M
mengandung di dalamnya hal yang positif baik, yaitu bahwa ada kesatuan di
antara kekuatan dan kekuasaan politik, sehingga tata tertib nasional terjamin.
Segi yang negatif yang tidak baik ialah, bahwa kebebasan agama ditiadakan.
M
Agama harus tunduk kepada pemerintah. Pandangan yang demikian itu
membangkitkan reaksi, yang menghendaki supaya agama menguasai negara.
Keuntungan pandangan ini, yang mewujudukan segi yang positif,
Y
ialah bahwa kebebasan agama terjamin, artinya: agama dapat mengatur diri
sesuai dengan hakikat dan sifat-sifatnya. Akan tetapi segi yang negatif ialah
adanya kemungkinan kebebasan agama itu hanya berlaku bagi satu agama
saja. Selain daripada itu kekuasaan di negara tidak sama dengan kekuatan
yang riil, sehinga tata tertib nasional dapat goyah. Jikalau pandangan yang
pertama tadi mewujudkan tesisnya, maka pandangan yang kedua adalah
antitesisnya. Sintesis bagi kedua pendapat itu ialah pandangan yang

222
K. Bertens, Ringkasan Sejarah, hlm. 73-74.
166
menghendaki perpisahan di antara agama dan negara, keduanya baik agama
maupun negara, harus diberi tugasnya sendiri-sendiri di bidangnya sendiri-
sendiri. Segi yang positif, yang baik dari pandangan ini ialah, bahwa tata
tertib nasional terjamin, sedang kebebasan agama terjamin bagi semua agama.
Baik kekuasaan maupun kekuatan politik berada di tangan yang sama.
Sekalipun demikian hak agama dihormati, sedang kepentingan agama tidak
dicampur dengan kepentingan politik.
Dari contoh di atas kita dapat lihat, bahwa tesis mengandung di
dalamnya unsur-unsur yang positif dan yang negatif, akan tetapi unsur
positifnya lebih banyak. Sebaliknya, antitesisnya mengandung di dalamnya
D
lebih banyak unsur yang negatif daripada yang positif, jikalau dibanding
dengan tesisnya. Di dalam sintesisnya segala unsur positif dari tesis dan
antitesis disintesiskan menjadi suatu kesatuan yang lebih tinggi. Sudah barang
U
tentu segi negatifnya masih ada juga, yaitu kemungkinan bahwa agama hanya
menjadi “perkara pribadi” saja, sehingga mudah kehilangan rasa tanggung
jawab sosial, atau kurang ikut menjaga nilai moral politik, dan lain
M
sebagainya. Mungkin melalui perkembangan yang lebih lanjut orang dapat
sampai kepada suatu struktur, di mana timbul suatu hubungan dialogis di
antara negara dan agama, jadi bukan hanya suatu perpisahan saja.223
M
Sekarang marilah kita memandang beberapa contoh konkret
sebagiannya berasal dari Hegel sendiri sebagiannya disadur untuk
menerangkan maksudnya. Contoh pertama menyangkut tiga bentuk negara.
Y
Bentuk negara yang pertama ialah diktator: di sini hidup kemasyarakatan
diatur dengan baik, tetapi para warga negara tidak mempunyai kebebasan
apapun jua (tesis). Keadaan ini menampilkan lawannya: anarki (antitesis).
Dalam bentuk negara ini para warga negara mempunyai kebebasan tanpa
batas, tetapi hidup kemasyarakatan menjadi kacau. Tesis dan antitesis
diperdamaikan dalam suatu sintesis, yaitu demokrasi konstitusional.

223
Hadiwijono, Sari Sejarah, hlm. 100.
167
Dalam bentuk negara yang ketiga ini kebebasan para warga negara
dijamin dan dibatasi oleh undang-undang dasar dan hidup kemasyarakatan
berjalan dengan memuaskan (=sintesis). Dalam demokrasi konstitusional baik
diktator maupun anarki menjadikan aufgehoben. Ini berarti bahwa dengan
timbulnya demokrasi konstitusional kedua bentuk lain sudah lewat atau sudah
tidak ada lagi. Tetapi itu berarti juga bahwa apa yang dinilai diktator dan
anarki masih disimpan pada taraf lebih tinggi dalam demokrasi konstitusional.
Yang bernilai dalam diktator ialah hidup kemasyarakatan yang teratur dan
yang bernilai dalam anarki ialah kebebasan. Nah, kedua-duanya disimpan
dalam demokrasi konstitusional tetapi demikian rupa sehingga sudah
D
diperdamaikan satu sama lain.
Contoh kedua adalah keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan
anak. Bagi suami, sang istri adalah yang lain dan bagi istri sang suami adalah
U
yang lain. Suami dan istri merupakan dua kutub yang bertentangan (tesis dan
antitesis). Nah, anak dapat dianggap sebagai sintesis yang memperdamaikan
tesis dan antitesis tadi. Bagi suami, anak tidak merupakan yang lain begitu
M
saja, sebab dalam anaknya ia mendapati sebagian dirinya sendiri. Bagi istri
juga, anak tidak merupakan yang lain begitu saja, sebab dalam anaknya ia
menemui sebagian dirinya sendiri. Pertentangan antara suami dan istri sudah
M
menjadi aufgehoben dalam si anak.
Contoh ketiga adalah tiga konsep yang sering dipakai dalam filsafat:
“ada”, “ketiadaan”, “menjadi”. “Ada” merupakan tesis. Lawannya adalah
Y
“ketiadaan” yang merupakan antitesis. Tetapi pertentangan ini diperdamaikan
dalam sintesisnya, yaitu “menjadi”. Apa sebabnya? Karena “menjadi” berarti
sebagian ada sebagian tidak ada. Hal yang menjadi memang sudah ada tetapi
belum sepenuh-penuhnya.224
“Jika aku merenungkan konsep “ada”, aku terpaksa
memperkenalkan konsep sebaliknya, “tiada”. Kamu tidak dapat merenungkan
keberadaanmu tanpa segera menyadari bahwa kamu tidak akan selalu ada.

224
K. Bertens, Ringkasan Sejarah, hlm. 74-75.
168
Ketegangan antara “ada” dan “tiada” menjadi cair dalam konsep “menjadi”.
Sebab jika sesuatu itu sedang dalam proses menjadi, ia sekaligus ada dan
tiada”, demikian contoh dialektika antara ada, tiada, dan menjadi secara
artikulatif dari Jostein Gaarder dalam novel filsafat populernya, Dunia
Sophie.225
Hegel secara konsekuen menggunakan metode dialektika, sehingga
pembagian atas tiga hal tersebut berulang kali muncul dalam karya-karyanya.
Secara general, Hegel membagikan sistemnya dalam tiga aspek: (1) Bagian
pertama sistem Hegel adalah “logika”. Istilah ini dibuat Hegel mempunyai arti
lain daripada yang biasa dimaksud dengannya. Logika adalah bagian filsafat
yang memandang Roh dalam dirinya; (2) “Filsafat alam” adalah bagian
D

filsafat yang memandang roh yang sudah di luar dirinya sendiri atau yang
sudah terasing dari dirinya sendiri; (3) Akhirnya bagian terakhir sistemnya
U
disebut “filsafat roh”. Di sini diuraikan bagaimana Roh kembali pada
dirinya.226 Dari ketiga sistem filsafat Hegel tersebut, selanjutnya kita hanya
akan membahas tentang filsafat roh.
M
3. Filsafat Roh
Filsafat roh mempelajari bagaimana Yang Absolut mengenali
dirinya kembali, menjadi sesuatu yang ada “pada dan bagi dirinya”, atau ada
M
yang berpikir tentang dirinya. Hegel menyebutnya “Roh”. Filsafat roh ini
tentu saja dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama yang disebutnya
Roh Subjektif, dia juga membagi menjadi tiga tahap. Tahap terendah adalah
Y
suatu peralihan dari Alam ke Roh. Peralihan itu terjadi dalam “jiwa” manusia.
Tapi jiwa dimengerti sebagai subjek yang mengindrai. Tahap kedua yang
lebih tinggi adalah “kesadaran diri”. Pokok-pokok Phanomenologie des
Geistes diulang di sini. Pada tahap ketiga, dia bicara mengenai “pikiran”
subjektif.

225
Jostein Gaarder, Dunia Sophie, terj. Rahmani Astuti
(Bandung: Jakarta, 1997), hlm. 400.
226
K. Bertens, Ringkasan Sejarah, hlm. 75.
169
Bagian kedua disebut “Roh Objektif”: Roh mengobjektifikasi diri
dalam kehidupan sosial. Filsafat politik atau filsafat hukum dalam
Grundlinien der Philosophie des Rechtes (Garis Besar Filsafat Hukum)
tercakup di dalam tahap ini. Di sini pun Hegel membagi tiga tahap. Pada
tahap pertama, Hegel bicara tentang “hak” (die Rechte). Dalam hak,
kesadaran subjektif atau roh subjektif menyatakan diri dalam hal-hal material,
misalnya: harta milik. Tahap ini dilanjutkan dengan sebuah alienasi dari hak
itu dalam “kontrak” (Vertrag). Dalam kontrak, pernyataan kesadaran masing-
masing pihak dipersatukan dengan sesuatu yang berasal dari luar keduanya,
yaitu kontrak.
D
Kedua tahap itu disintesiskan dalam tahap ketiga, yaitu moralitas
(Moralitat). Di sini moralitas bukanlah kesadaran akan kewajiban konkret
belaka, melainkan Hegel sudah mengabstraksinya menjadi kehendak bebas
U
yang sadar akan dirinya sendiri, suatu keseluruhan dari kehidupan etis
manusia yang tidak hanya bersifat subjektif, tapi juga objektif. Terjadi
kesatuan antara subjektivitas dan objektivitas di dalamnya. Istilah yang
M
dipakai Hegel “die Sittlichkeit” dan istilah ini mungkin bisa diterjemahkan
dengan “kesusilaan”.
Hegel lalu menjelaskan bahwa kehidupan moral tampil dalam apa
M
yang disebutnya “substansi etis”, yakni: keluarga, masyarakat sipil, dan
negara. Pada tahap uraiannya mengenai Roh Objektif ini, filsafat hak berubah
menjadi filsafat politik. Ketiga substansi etis ini, menurut Hegel, merupakan
Y
sintesis antara subjektivitas dan objektivitas yang sudah dicapai dalam
moralitas. Juga substansi etis berkembang dalam tiga tahap institusional.
Keluarga, sebagai tahap pertama, adalah sifat sosial roh manusia yang
mengobjetifikasi diri. Tahap institusional ini paling rendah karena para
anggotanya diikat dengan emosi. Kesatuan ini terancam hancur kalau anak-
anak menjadi dewasa dan rasional, dalam arti menjadi individu dan person.
Karena itu muncul tahap berikut yang mengatasi kehancuran itu,
yakni masyarakat sipil yang tersusun dari individu-individu yang mencapai

170
tujuan sendiri-sendiri. Karena itu dalamnya ada pembagian kerja, spesialisasi,
dan seterusnya, serta keanekaan ini tidak menyebabkan kehancuran
masyarakat karena masyarakat sendiri mengadakan institusionalisasi hukum.
Dalam arti terakhir ini, negara menjadi tahap sintesis. Bagi Hegel sendiri
sebenarnya masyarakat sipil tak pernah ada secara otonom. Yang ada adalah
negara yang tersusun dari keluarga-keluarga dan masyarakat sipil. Ketiga
substansi dipahami sebagai tiga aspek atau momen kehidupan sosial. Tahap-
tahap tidak dimengerti secara eksklusif (keluarga ada lebih dulu, lalu
masyarakat sipil, dan sesudahnya negara), melainkan sebagai momen-momen
dalam negara. Negara itulah “substansi etis yang sadar diri”. 227
D
Akhirnya kita memasuki bagian terakhir dari filsafat Roh yang juga
menjadi puncak tertinggi sistem Hegelian, yaitu Roh Absolut. Yang Absolut
adalah Yang Ada, dan Yang Ada itu adalah Roh. Jika dalam bagian Roh
U
Subjektif, Roh dipandang “pada dirinya”, yaitu sebagai subjektivitas, dan
dalam bagian Roh Objektif, Roh dipandang sebagai sesuatu yang
mengasingkan diri atau mengobjektikan diri dalam negara dengan segala
M
insitusi sosialnya, dalam bagian terakhir ini Roh dipandang sebagai sebuah
totalitas yang menyadari dirinya sendiri. Dari segi epistemologis, Roh Absolut
adalah Roh pada taraf pengetahuan absolut yang dijelaskan Hegel dalam
M
Phanamenologie des Giestes. Tetapi dalam segi metafisis, Dia adalah Yang
Absolut sendiri. Jadi, bagi Hegel Yang Absolut adalah pengetahuan absolut.
Kemudian, karena pengetahuan disadari oleh manusia, kita juga bisa
Y
mengatakan bahwa pengetahuan manusia mengenai Yang Absolut identik
dengan pengetahuan Yang Absolut mengenai dirinya. Dengan ini tidak
dimaksudkan bahwa manusia adalah Yang Absolut, melainkan bahwa Yang
Absolut itu menyadari dirinya sebagai Roh yang memikirkan dirinya melalui
roh manusia.
Bahwa Yang Absolut mengenali dirinya melalui roh manusia dapat
dijelaskan sebagai berikut. Individu memiliki kesadaran diri yang berbeda dari

227
Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 190-191.
171
kesadaran individu lain. Kesadaran diri subjektif ini, menurut Hegel, bukanlah
Yang Absolut, melainkan yang berada dalam Yang Absolut. Selama individu
hanya menyadari dirinya dan menghadapi benda-benda dan kesadaran-
kesadaran lain dalam oposisi dengan dirinya, dia belum memiliki pengetahuan
absolut. Baru sesudah ia menyadari realitas sebagai suatu totalitas yang
mencakup segala sesuatu, dia memiliki pengetahuan absolut itu. Akan tetapi,
menurut Hegel pengetahuan absolut itu dicapai melalui sejarah pemikiran
manusia. Sejarah pemikiran lantas adalah proses Roh menjadi sadar diri.
Tetapi sejarah dilalui lewat kontradiksi-kontradiksi. Ada konflik antara
negara-negara lebih dulu sebelum Volkgeist diatasi oleh Weltgeist. Dalam roh
D
dunia, Roh Absolut, atau Pengetahuan Absolut itu, terjadi apa yang sejak
Schelling disebut “Identitas Absolut” antara subjetivitas dan obejektivitas
pada tarap yang paling luhur.
U
Hegel lalu memperlihatkan bahwa Yang Absolut itu dapat dipahami
dalam tiga bentuk pengetahuan, yakni: dalam pengetahuan tentang keindahan
(filsafat seni), dalam pengetahuan tentang Yang Kudus sejauh terungkap
M
dalam bahasa religius (filsafat agama) dan dalam filsafat spekulatif (filsafat
tentang filsafat). Tidak perlu dikatakan lagi bahwa ketiganya berhubungan
secara dialektis. Seni meningkat pada Agama, dan akhirnya meningkat pada
M
Filsafat. Filsafat spekulatif dipahami sebagai filsafat tentang sejarah filsafat.
Di sini Hegel merefleksikan secara spekulatif bagaimana pemikiran-
pemikiran yang muncul dalam sejarah filsafat berkembang secara dialektis
Y
dan tak lain daripada proses Roh yang sadar diri. Satu hal yang paling
mengesankan dari seluruh sistem Hegel ini adalah akhir perjalanan sejarah itu,
karena tidak jarang Hegel sendiri melukiskan sistem filsafatnya sebagai akhir
dari perjalanan filsafat. Dengan demikian Hegel berpretensi bahwa dalam
sistem terakhir itu pengetahuan absolut dicapai secara final, dan Roh Absolut
pun menyadari diri dalam sistemnya.228

228
Ibid., hlm. 192-194.
172
G. Penutup: Antara Apresiasi dan Kritik
Sebagaimana setiap konstruksi epistemologi filosofis, idealisme pun
memiliki keistimewaan sekaligus kekurangan. Berhubungan dengan Fichte,
tidak dapat disangkal, bahwa Fichte adalah seorang pemikir yang penting. Ia
memiliki daya pikir spekulatif yang kuat, sekalipun ia tidak setaraf dengan
Kant. Ia membangun terus atas dasar yang telah diletakkan oleh Kant, dan ia
menarik kesimpulan-kesimpulan dari dasar-dasar pikiran Kant. Filsafatnya
menunjukkan suatu tahap-terusan, yang di satu pihak membawa kita kepada
Schelling dan Schopenhauer, dan di pihak lain membawa kita kepada
Hegel. 229
D
Sedangkan Hegel memberikan kontribusi terkenal dengan
dialektikanya: sebagai upaya mengatasi kontradiksi antara tesis dan antitesis
melalui sintesis, untuk kemudian sintesis juga mengalami kontradiksi baru
U
sehingga mesti dicari sintesis berikutnya, dan demikian seterusnya proses ini
mengulangi dirinya sampai kesempurnaan terakhir tercapai.230 Bagi Hegel,
dialektika merupakan suatu proses yang dibutuhkan untuk membentuk
M
kemajuan entah dalam pemikiran secara konseptual maupun dalam tataran
dunia secara faktual. Yang juga khas bagi bagi proses ini adalah struktur
negativitasnya.
M
Kemajuan tercapai melalui penyangkalan. Setiap momen dalam
positivitasnya adalah terbatas, berat sebelah, dan itu berarti, tidak adekuat,
tidak sesuai dengan dirinya sendiri. Maka, momen itu merangsang
Y
penyangkalannya sendiri. Penyangkalan meskipun total (dalam arti: seluruh
momen A disangkal oleh non-A), namun tidak memusnahkannya karena
peyangkalan hanya dapat berada berdasarkan apa yang disangkal (pemenang
tanpa yang kalah tidak ada). Maka, penyangkalan itu sendiri juga tidak benar
karena, di satu pihak, penyangkalan itu menyangkal; dan di pihak lain, justru
mengandaikan apa yang disangkal, maka perlu disangkal sendiri, dalam

229
Hadiwijono, Sari Sejarah, hlm. 93.
230
Blackburn, Kamus Filsafat, hlm. 241.
173
negasi terhadap negasi, dan hasilnya adalah A’, A, tetapi di tingkat lebih
tinggi karena sudah dimurnikan dan dibenarkan oleh penyangkalnya.
Dengan model dialektika ini, Hegel menjelaskan kemajuan dalam
sejarah dan dalam pengertian kita tentang sejarah dan tentang apa saja.
Kerangka ini membuka kemungkinan untuk mengerti negativitas secara
positif dan itu berarti, kita dapat mengerti rasionalitas realitas.231 Itulah prinsip
negativitas. Negativitas bagi Hegel bukanlah tujuan pada dirinya sendiri.
Penyangkalan terhadap penyangkalan adalah positivitas. Akan tetapi,
positivitas hanya dapat terjadi dalam proses negativitas. Kehebatan Hegel
adalah bahwa ia, lebih tajam dari semua filosof sebelumnya (dimana Socrates
D
dan Nicolaus Cusanus disebut) menemukan nilai hakiki unsur negativitas bagi
manusia.232
Sampai di sini, kita bisa memahami mengapa para filosof kritis dari
U
mulai Karl Marx, Marcuse, Adorno, sampai ke Habermas begitu memuja
Hegel. Kiranya karena dalam dialektikanya, dalam prinsip negativitas, mereka
menemukan prinsip yang memungkinkan segala gerak kritis, bahkan yang
M
memperlihatkan kritik sebagai unsur mutlak kemajuan, sebagai prasyarat
kepositifan. Jadi, Hegel mendobrak secara prinsipil pendekatan filsafat yang
mau menjaga ketenangan, sebuah ketenangan yang sekarang diketahui palsu,
M
yang hanya menahan kemajuan kepada rasionalitas dan kebebasan yang lebih
besar, karena mengidentikkan kepositifan dengan kemapanan beberapa unsur
beruntun dalam keseluruhan.
Y
Hegel yang secara mendalam melihat bahwa hanya keterbukaan,
kritik, dan kritik terhadap kritik dapat membuka perspektif terhadap manusia.
Ditempatkan ke dalam kerangka pengalaman penindasan dan ketidakadilan—
yang oleh filsafat kritis lebih diberi fokus daripada oleh Hegel—prinsip
dialektika menunjukkan bagaimana keadaan itu dapat disangkal, tidak dengan

231
Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), hlm. 79.
232
Ibid., hlm. 84.
174
meniadakan segala yang telah tercapai, melainkan dengan justru mengakatnya
kepada tingkat kebenaran yang lebih tinggi. Bahwa Hegel sendiri kadang-
kadang inkonsisten tidak berarti apa-apa terhadap ketajamannya yang satu itu:
Menemukan bahwa positivitas budaya manusia hanya dapat dibangun melalui
gerak negativitas, jadi bahwa negativitas pada hakikatnya adalah positif. 233
Kendati demikian di samping memuja, sebagian besar filosof kritis
juga mengkritik idealisme Hegel. Salah satu kritik fundamental dilontarkan
oleh Karl Marx. Kritik Marx diawali dengan pertanyaan kritis: Apakah
sesudah Hegel orang masih mungkin berfilsafat secara kreatif dan orisinal?
Apakah “sesudah filsafat yang total manusia masih dapat hidup?” Bukankah
D
Hegel sudah memikirkan segala-galanya? Apakah filsafat pasca-Hegel harus
membatasi diri pada beberapa catatan kaki atas karya Hegel serta tambahan
dan perbaikan sana-sini?
U
Jawaban atas pertanyaan itu tidak lepas dari pertanyaan kedua:
Bagaimana filsafat pengetahuan absolut dapat disesuaikan dengan kenyataan
bahwa dunai sendiri kelihatan sama sekali tidak filosofis? Artinya, situasi
M
politik dan sosial di Prussia pada waktu itu semakin menjadi reaksioner,
kebebasan-kebebasan yang diberikan pada waktu perang melawan Napoleon
satu demi satu dicabut kembali. Realitas kelihatan kebalikan dari apa yang
M
digambarkan oleh Hegel. “Jadi dunia terpecah setelah berhadapan dengan
sebuah filsafat total”. Lantas apa hubungan negara rasional Hegel itu dengan
realitas?
Y
Cara Marx mendeteksi dua pertanyaan itu merangkum dan
mempertajam apa yang sudah menjadi arah pemikiran kaum Hegelian Muda
lainnya: sudah tiba saatnya agar filsafat menjadi praktis. Tuntutan itu
dijelaskan Marx dengan dua cara yang saling melengkapi. Pertama, filsafat
yang telah mencapai tingkat universalitas tinggi, filsafat Hegel, perlu menjadi
api yang memakan habis dunia. “Apa yang merupakan cahaya batin menjadi
api panas yang berpaling keluar. Kesimpulannya bahwa kalau dunia menjadi

233
Ibid., hlm. 85.
175
filosofis, filsafat sekaligus menduniai”. Sedangkan bahwa Hegel tidak melihat
keterbatasan filsafatnya (keterbatasan pada alam teoritis), menurut Marx harus
dimengerti atas dasar filsafat Hegel sendiri. Filsafat Hegel sendiri baru
merupakan salah satu tahap dalam perkembangan Roh, yaitu tahap teoritis.
Maka tahap itu berarti: filsafat Hegel perlu disangkal secara dialektis. Tesis
Hegel bahwa filsafatnya adalah pengetahuan absolut harus disangkal oleh
tindakan praktis. Filsafat Hegel belum absolut karena keabsolutannya hanya
dalam teori, sedangkan realitas sosial-politik masih belum tersentuh filsafat.
Pengetahuan absolut baru absolut kalau realitas sendiri menjadi kerajaan
kebebasan.
D
Dengan demikian, Marx dapat membuka tugas baru bagi si filosof:
ia harus menjadi sarana perealisasian filsafat. Sang filosof harus mengambil
api kontemplasi di gunung Olympus filsafat dan melemparkannya kepada
U
umat manusia sebagaimana Promethues dalam mitos Yunano mencuri api dari
Olympus para dewa. Jadi filsafat Hegel sudah total, tetapi hanya secara
teoritis. Totalitas sungguh-sungguh baru tercapai kalau filsafat menjadi
M
kekuatan praktis, kekuatan yang nyata-nyata mengubah dunia.234
M
Y

234
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx (Jakarta:
Gramedia, 2001), hlm. 63-64.
176
BAB 6
D
EPISTEMOLOGI MATERIALISME HISTORIS

A. Pengantar
“Philosophers have only interpreted the world in different ways;
U
the point is to change it”.235

Diktum yang keluar dari lisan Karl Marx ini dan sampai kini masih
M
terpahat abadi di pusaranya, menjadikan filsafat yang diusung oleh Karl Marx
memiliki karakteristik berbeda dengan aliran-aliran filsafat sebelumnya. Jika
wacana filsafat-filsafat sebelumnya menguraikan kecanggihan dan
M
kompleksitas pemikiran dalam tataran filosofis, maka Marx hendak membawa
wacana filsafat ke dalam tataran praktis. Bagi Marx, setiap konsepsi filosofis
harus membawa misi emansipatoris praktis yang membebaskan manusia dari
Y
dominasi terselubung yang dilakukan oleh kalangan elit kapitalis. Para filsuf
tidak boleh hanya sibuk dengan kenikmatan intelektual dalam menafsirkan
dunia secara filosofis, padahal tujuan filsafat yang hakiki adalah merubah
wajah dunia yang eksplotatif menjelma keadilan yang bersifat distributif.
Dengan alasan inilah, wacana filsafat tidak boleh melangit tapi harus turun ke
bumi untuk kepentingan orang-orang yang tertindas.

235
Stephen Law, The Great Philosophers (London: Quercus: 2007),
hlm. 221.
177
Dalam konteks Eropa pada zaman Karl Marx hidup, industrialisasi
sedang meningkat. Orang dipaksa meninggalkan pertanian dan keterampilan
tangan dan bekerja di pabrik-pabrik dengan konsdisi-kondisinya yang sering
akli sangat keras. Pada 1840-an, ketika Marx sedang memasuki periode yang
paling produktifnya, Eropa sedang mengalami perasaan kritis sosial yang
tersebar luas. Pada tahun 1848 serangkaian pemberontakan melanda seluruh
Eropa (segera sesudah penerbiatan karya Marx dan Engels Communis
Manifesto). Efek-efek industrialisasi dan implikasi-implikasi politis
industrialisasi secara khsusu tampak di sebagian besar negara pedesaan yang
secara kolektif disebut Jerman.
D
Pada permulaan abad ke sembilanbelas, barang-barang hasil pabrik
yang murah dari Inggris dan Prancis mulai memaksa para pengusaha pabrik
yang kurang efisien di Jerman keluar dari dunia bisnis. Sebagai jawabannya,
U
para pemimpin politis negara-negara Jerman memaksakann kapitalisme
kepada masyarakat yang sebagian benar masih feodal. Timbullah kemiskinan,
dislokasi, dan alienasi yang sangat nyata akibat kecepatan perubahan itu.
M
Analisis Marx atas alienasi adalah respons terhadap perubahan-
perubahan ekonomis, sosial, dan perubahan-perubahan politis yang disaksikan
Marx terjadi di sekitarnya. Dia tidak memandang alienasi sebagai suatu
M
masalah filosofis. Dia ingin memahami perubahan-perubahan yang
dibutuhkan untuk menciptakan suatu masyarakat yang dapat mengungkapkan
potensi manusia secara memadai. Wawasan Marx yang penting ialah bahwa
Y
sistem ekonomi kapitalis adalah penyebab utama alienasi. Karya Marx
mengenai hakikat manusia dan alienasi menyebabkan dia mengkritik
masyarakat kapitalis dan membuat program politis yang berorientasi
mengatasi struktur-struktur kapitalisme agar manusia dapat mengungkapkan
kemanusiaanya yang hakiki.
Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi dengan sejumlah besar
pekerja yang menghasilkan sedikit komoditi demi keuntungan sejumlah kecil
kapitalis yang memiliki segala hal berikut ini: komoditi, alat-alat produksi

178
komoditi, dan waktu kerja kaum pekerja, yang dibeli melalui upah. Salah satu
dari wawasan sentral Marx ialah bahwa kapitalisme jauh lebih dari sekedar
sistem ekonomi. Kapitalisme juga adalah sistem kekuasaan. Rahasia
kapitalisme ialah bahwa kekuasaan politis telah diubah menjadi relasi-relasi
ekonomi. Kaum kapitalis jarang membutuhkan penggunaan paksaan kasar.
Kaum kapitalis mampu memaksa para pekerja melalui kekuasaan mereka
untuk memecat para pekerja dan menutup pabrik. Oleh karena itu, kapitalisme
bukan hanya suatu sistem ekonomi; ia juga adalah suatu sistem politis, suatu
cara melaksanakan kekuasaan, dan suatu proses untuk mengeksploitasi para
pekerja.
D
Di dalam suatu sistem kapitalis, ekonomi tampak sebagai suatu
kekuatan alamiah. Orang-orang diberhentikan, upah dikurangi, dan pabrik-
pabrik ditutup karena “ekonomi”. Kita tidak melihat peristiwa-peristiwa itu
U
sebagai hasil keputusan-keputusan sosial atau politis. Keterkaitan antara
penderitaan manusia dan struktur ekonomi dianggap tidak relevan atau sepele.
Contohnya, Anda mungkin membaca di koran bahwa Dewan Cadangan
M
Federal Amerika Serikat telah menaikkan suku bunga. Alasan yang sering
diberikan untuk tindakan tersebut ialah bahwa ekonomi “terlalu panas”, yang
berarti ada kemungkinan inflasi. Apakah kenaikan suku bunga benar-benar
M
“menyejukkan” ekonomi? Bagaimana cara penaikan itu melakukannya?
Ia membuat sejumlah orang kehilangan pekerjaan. Hasilnya, para
pekerja menjadi takut meminta upah yang lebih tinggi, yang dapat
Y
memunculkan harga-harga yang lebih tinggi, yang menyebabkan pertambahan
suku bunga tambahan dan membuat lebih banyak pekerja yang kehilangan
pekerjaan. Dengan demikian, inflasi dihindarkan. Dengan kenaikan suku
bunga, Dewan Cadangan Federal menyetujui kebijakan yang membantu kaum
kapitalis dan merugikan para pekerja. Akan tetapi, keputusan itu biasanya
digambarkan sebagai keputusam ekonomi semata. Marx akan mengatakan
bahwa itu adalah suatu keputusan politis yang menguntungkan kaum kapitalis
dengan mengorbankan kaum pekerja.

179
Tujuan Marx membuat struktur-struktur sosial dan politis ekonomi
lebih jelas dengan menyingkapkan “hukum pergerakan ekonimi masyrakat
modern”. Selanjutnya Marx bermaksud menyingkapkan kontradiksi-
kontradiksi internal yang diharapkam akan mentransformasi kapitalisme
secara tidak terhindarkan.236 Karena itu, dalam bab ini kita akan membahas
pemikiran materialisme historis Karl Marx yang meliputi wacana-wacana
tentang infrastruktur dan suprastruktur, mode-mode produksi, ideologi dan
revolusi sosial, serta diakhiri dengan kesimpulan yang berisi apresiasi dana
catatam kritis terhadap materialisme historis yang diusung oleh filsuf
revolusioner tersebut.
D

B. Biografi Karl Marx


Karl Marx lahir di Trier dan belajar
U
hukum di Universitas Bonn, lalu sejarah dan
filsafat di Berlin. Sejak 1841 ia bekerja di
jurnal kaum radikal, Rheinische Zeitung. Pada
M
1842 Marx menikah dan pindah ke Paris,
tempatnya bertemu Engels. Karya utamanya
pada masa ini adalah teks yang sekarang
M
dikenal sebagai The Economic and
Philosophical Manuscripts of 1844. Selama
periode ini ia menjauhhan diri dari para Hegelian muda, dan mempelajari
Y
karya ekonom politik Inggris Adam Smith, David Ricardo (1772-1823), dan
James Mill. Dalam Manuscripts, Marx memperkenalkan konsep utamanya,
alienasi, dan menyoroti tradisi ekonomi politik yang menjadikan
ketidaksetaraan sebagai fakta alaminya, gagal memahami kreasi sosialnya.
Theses on Feuerbach (1845) dan German Ideology (1846) memulai fokus
Marx terhadap bentuk-bentuk yang berbeda dari masyarakat manusia, dan

236
George Ritzer, Teori Sosiologi, terj. Saut Pasaribu, dkk
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 92-94.
180
suksesi revolusioner mereka sebagai resposn terhadap “kotradiksi” atau
tegangan yang tidak terselesaikan di antara kelas yang berbeda, atau kekuatan
produktif di masyarakat. Pada 1848, Marx menetap di London, tempatnya
menulis semua karyanya yang paling terkenal, dimulai dari The Commnunist
Manifesto, lalu pemahaman teoritis Marx tentang masyarakat manusia dan
ekonominya dalam monumen terakhirnya, Capital.237
Dalam The German Ideology Marx meninggalkan gaya bicara
humanistik. Ia menegaskan bahwa sosialisme, penghapusan hak milik pribadi,
bukan sekedar tuntutan etis, melainkan keniscayaan objektif. Marx
mengklaim bahwa ia menemukan hukum yang mengatur perkembangan
D
masyarakat dan sejarah, dan hukum itu adalah prioritas bidang ekonomi.
Karena itu, Marx menyebut anggapannya “pandangan sejarah yang
materialistik”. Mulai saat itu Marx menanggap dirinya sebagai penemu
U
“sosialisme ilmiah”, artinya sosialisme yang tidak berdasarkan harapan dan
tuntutan belaka, melainkan berdasarkan analisis ilmiah terhadap hukum
perkembangan masyarakat. Dalam buku ini Marx merumuskan premis dasar
M
bahwa bidang ekonomi menentukan bidang politik dan pemikiran manusia,
bahwa bidang ekonomi ditentukan oleh pertentangan antara kelas-kelas
pekerja dan kelas-kelas pemilik, bahwa pertentangan itu dipertajam oleh
M
kemajuan teknis produksi, dan bahwa pertentangan itu akhirnya meledak
dalam sebuah revolusi yang mengunah struktur kekuasaan di bidang ekonomi
serta mengubah struktur kenegaraan dan gaya manusia berpikir.
Y
Ia menyatakan bahwa kapitalisme pun akan berakhir dalam sebuah
revolusi, tetapi revolusi itu, berbeda dari semua revolusi sebelumnya, akan
menghapus perpecahan masyarakat ke dalam kelas-kelas yang saling
bertentangan, dan dengan demikian memghapus hak milik pribadi dan
menghasilkan masyarakat yang sosialis. Buku The German Ideology memuat

237
Simon Blackburn, Kamus Filsafat, terj. Yudi Santoso
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm.535.
181
rumusan pertama “Materialisme Historis”, pandangan inti Marxisme. 238
Ketika Karl Marx meninggal di London pada tanggal 14 Maret 1883, hanya
delapan orang yang berdiri di sisi makamnya. 239
C. Infrastruktur dan Suprastruktur
Materialisme historis adalah pendekatan teoritis terhadap kehidupan
sosial yang dikembangkan sebagai perlawanan langsung terhadap idealisme
yang saat itu banyak berkembang dalam filsafat Jerman. Walaupun
materialisme historis dibangun terutama sebagai alat untuk memahami
masyarakat kapitalis modern, Marx dan Engels menganggapnya dapat
diterapkan juga terhadap seluruh kehidupan masyarakat manusia, baik masa
D
lalu maupun masa kini.
Marx dan Engels membagi masyarakat manusia ke dalam dua
komponen pokok. Salah satu diantaranya disebut sebagai infrastruktur,
U
kadang-kadang disebut juga pola produksi. Selanjutnya infrastruktur dibagi ke
dalam dua kategori: kekuatan-kekuatan produksi dan hubungan-hubungan
produksi. Kekuatan-kekuatan produksi terdiri dari bahan-bahan mentah yang
M
diperlukan masyarakat dalam produksi ekonomi: tingkat teknologi yang
tersedia dan sifat khusus dari berbagai sumber daya alam, seperti kualitas
tanah. Hubungan-hubungan produksi merujuk kepada pemilikan atas
M
kekuatan-kekuatan produksi. Marx dan Engels menyatakan bahwa pada
sebagian masyarakat, kekuatan-kekuatan produksi dimiliki secara komunal
oleh seluruh masyarakat, tetapi dalam masyarakat lain pemilikan pribadi atas
Y
kekuatan produksi telah terjadi. Kelompok yang memegang kekuatan-
kekuatan produksi dapat memaksa kelompok-kelompok lain bekerja untuk
mereka. Marx dan Engels menyatakan bahwa beberapa bentuk hubungan
pribadi dalam produksi yang berbeda terjadi dalam berbagai masyarakat yang
berbeda.

238
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx (Jakarta:
Gramedia, 2001), hlm. 51-52.
239
Ibid., hlm. 55.
182
Komponen penting lain dalam masyarakat yang diidentifikasi oleh
Marx dan Engels adalah suprastruktur. Komponen ini terdiri dari semua aspek
kehidupan masyarakat yang tidak termasuk dalam infrastruktur, seperti
politik, hukum, kehidupan keluarga, agama serta gagasan dan cita-cita. Marx
dan Engels berpendapat bahwa infrastruktur dan suprastruktur masyarakat
saling berkaitan. Walaupun dinyatakan bahwa suprastruktur terkadang dapat
mempengaruhi infrastruktur, mereka menegaskan bahwa arus utama
hubungan kausal itu bergerak dari infrastruktur ke suprastruktur. Dengan kata
lain, mereka percaya, pola-pola pikiran dan tindakan manusia yang terdapat
dalam suprastruktur masyarakat pada umumnya dibentuk oleh ciri-ciri
D
infrastruktur masyarakat tersebut. Mereka juga memandang bahwa perubahan
sosial dalam suprastruktur terjadi karena adanya perubahan yang terjadi di
dalam infrastruktur masyarakat.240
U
Dengan demikian, prinsip dasar pandangan materialis sejarah dapat
dirumuskan sebagai berikut: “Bukan kesadaran manusia yang menentukan
keadaan mereka, tetapi sebaliknya keadaan sosial merekalah yang
M
menentukan kesadaran mereka”.
Menurut Karl Marx, yang menentukan perkembangan masyarakat
bukan kesadaran, jadi bukan apa yang dipikirkan masyarakat tentang dirinya
M
sendiri, melainkan keadaan masyarakat yang nyata: “Berlawanan dengan
filsafat Jerman yang turun dari surga ke bumi, di sini kami naik dari bumi ke
surga. Artinya, kami tidak menolak dari apa yang dikatakan orang, dari
Y
bayangan dan cita-cita orang, juga tidak dari orang diperkatakan, dipikirkan,
dibayangkan, dicita-citakan untuk sampai kepada manusia nyata; (melainkan)
kami bertolak dari manusia yang nyata dan aktif, dan dari proses hidup nyata
merekalah perkembangan refleks-refleks serta gema-gema ideologis proses
hidup itu dijelaskan. Anggapan Marx itu memuat dua pernyataan: pertama

240
Stephen K Sanderson, Makro Sosiologi, terj. Farid Wajidi (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 7-8.
183
sebuah pernyataan tentang keadaan masyarakat; kedua, penyataan bahwa
keadaan itulah yang menentukan kesadaran manusia dan bukan sebaliknya”.
Apa “keadaan masyarakat” atau “keadaan sosial” itu? Keadaan
sosial manusia adalah produksinya, pekerjaannya. “Manusia ditentukan oleh
produksi mereka, baik apa yang mereka produksikan, mau pun cara mereka
berproduksi. Jadi individu-individu tergantung pada syarat-syarat material
produksi mereka”. Di lain tempat Marx menjelaskan: “Penggilingan dengan
tangan menghasilkan masyarakat kaum kapitalis industrial”. Pandangan ini
disebut materialis karena sejarah dianggap ditentukan oleh syarat-syarat
produksi material. Jadi Marx memakai kata materialisme bukan dalam arti
D
filosofis, sebagai kepercayaan bahwa hakikat seluruh realitas adalah materi,
melainkan ia ingin menunjuk pada faktor yang menentukan sejarah. Dan itu
bukan pikiran, melainkan “keadaan material” manusia, dan keadaan material
U
itu bukan, sebagaimana yang mungkin akan kita duga, unsur seperti ras, iklim,
cara makan, dan sebagainya, melainkan produksi kebutuhan material manusia.
Cara manusia menghasilkan apa yang dibutuhkannya untuk hidup itulah yang
M
disebut keadaan manusia.
Nah, cara itulah yang juga menentukan kesadaran manusia. Menurut
Marx, cara manusia berpikir ditentukan oleh cara ia bekerja. “Kesadaran
M
(Bewuβtsein) tidak mungkin lain dari keadaan yang disadari (das bewuβte
Sein), dan keadaan manusia adalah proses manusia yang sungguh-sungguh”.
Jadi untuk memahami sejarah dan arah perubahannya, kita tidak perlu
Y
memperhatikan apa yang dipikirkan oleh manusia, melainkan bagaimana
bekerja, bagaimana ia berproduksi. 241
Maka bagi Marx, hidup rohani masyarakat, kesadarannya,
agamanya, moralitasnya, nilai-nilai budaya, dan seterusnya bersifat sekunder,
karena hanya mengungkapkan keadaan primer, struktur kelas masyarakat, dan

241
Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx (Jakarta: Gramedia,
2001), hlm. 138-140. Bandingkan dengan Andy Muawiyah Ramly,
Peta Pemikiran Karl Marx (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm. 133.
184
pola produksi. Sejarah tidak ditentukan oleh pikiran manusia, melainkan oleh
cara ia menjalankan produksinya. Karena itu, perubahan masyarakat tidak
dapat dihasilkan oleh perubahan pikiran, melainkan oleh perubahan dalam
cara produksi. 242
Selanjutnya, mari sekarang kita melihat “kerangka klasik”
pengertian Marx tentang masyarakat yang merupakan inti pandagan materialis
sejarah. Kerangka itu dirumuskan oleh Marx dalam teks yang paling
termasyhur dari segala tulisannya, yang ditemukan dalam prakata bukunya
Contribution to the Critique of Political Economic (Zur Kritik der politischen
Okonomie) dari tahun 1859. Marx menulis:
“Dalam produksi sosial kehidupan mereka, manusia memasuki
D

hubungan-hubungan tertentu yang mutlak dan tidak tergantung pada kemauan


mereka; hubungan-hubungan ini sesuai dengan tingkat perkembangan tertentu
U
tenaga-tenaga produktif materialnya. Jumlah seluruh hubungan-hubungan
produksi ini merupakan struktur ekonomis masyarakat, dasar nyata di mana di
atasnya timbul suatu bangunan atas yuridis dan politis dan dengannya bentuk-
M
bentuk kesadaran sosial tertentu bersesuaian. Cara produksi kehidupan
material mengkondisikan proses kehidupan sosial, politi, dan spiritual pada
umumnya. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka,
M
tetapi sebaliknya, keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran
mereka”.
Dalam konteks ini Marx membagikan lingkup kehidupan manusia
Y
dalam dua bagian besar, yang satu adalah “dasar nyata” atau “basis” dan yang
lain adalah “bangunan atas”. Dasar atau basis itu dalah bidang “produksi
kehidupan material”, sedangkan bangunan atas adalah “proses kehidupan
sosial, politik, dan spiritual”. Kehidupan bangunan atas ditentukan oleh
kehidupan dalam basis.
a. Basis

242
Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, op.cit, hlm. 141-142.
185
Mari kita melihat basis terlebih dulu. Basis ditentukan oleh dua
faktor: tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi. Apa yang
dimaksud dengan dua istilah yang amat penting itu? Tenaga-tenaga
produktif (Produktikrafte) adalah kekuata-kekuatan yang dipakai oleh
masyarakat untuk mengerjakan dan mengubah alam. Ada tiga unsur yang
termasuk tenaga-tenaga produktif: alat-alat kerja, manusia dengan kecakapan
masing-masing, dan pengalaman-pengalaman dalam produksi (teknologi).
Hubungan-hubungan produksi (Produktionsverbaltnisse) adalah
hubungan kerja sama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat
dalam proses produksi. Untuk hubungan-hubungan produksi Marx juga
memakai istilah “lalu lintas” (Verkebr). Yang dimaksud bukan hubungan
D

antara orang yang kebetulan berkerja berdampingan, melainkan struktur


pengorganisasian sosial produksi. Misalnya, pemilik modal dan pekerja.
U
Setelah zaman purba, hubungan-hubungan produksi selalu berupa hubungan
kelas, tepatnya struktur kelas yang konkret dan terperinci dari sebuah
masyarakat. Ciri khas basis adalah pertentangan antara kelas-kelas atas dan
M
kelas-kelas bawah. Dan karena struktur kelas pada hakikatnya ditentukan oleh
sistem hak milik, hubungan-hubungan produksi itu sama juga dengan
hubungan hak milik.
M
Yang penting adalah bahwa menurut Marx, hubungan-hubungan
produksi ditentukan oleh tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif:
“Dalam produksi sosial kehidupan mereka, manusia memasuki hubungan-
Y
hubungan tertentu yang mutlak dan tidak tergantung pada kemauan mereka;
hubungan-hubungan ini sesuai dengan tingkat perkembangan tertentu tenaga-
tenaga produktif materialnya”. Struktur kelas masyarakat bukan sesuatu yang
kebetulan, melainkan ditentukan oleh tuntunan efisiensi produksi, jadi oleh
tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif. Bochenski menjelaskan
maksud Marx sebagai berikut: “Kalau misalnya sekelompok orang
mengangkap ikan dari sebuah perahu, dengan sarana-sarana tertentu, misalnya
dengan jala, satu orang harus memberi komando, yang lain memegang

186
kemudi dan seterusnya. Apabila pola alat kerja dan cara produksi sudah ada,
hubungan-hubungan produksi tertentu terbentuk dengan niscaya dan tidak
tergantung dari kemauan orang”.
Maka yang pertama menentukan hubungan-hubungan produksi atau
struktur kelas sebuah masyarakat adalah tenaga-tenaga produktif. Dalam teks
di atas, Marx menegaskan bahwa hubungan-hubungan itu tidak tergantung
pada kemauan orang, melainkan pada tuntunan objektif produksi. Dengan
demikian Marx merasa dapat menganalisis perkembangan masyarakat secara
ilmiah.
Tetapi apakah alat-alat kerja sendiri bukan ciptaan manusia? Kita
D
akan segera membahas pertanyaan ini. Untuk sementara cukuo dicatat bahwa
alat-alat kerja dikembangkan bukan menurut selera manusia, melainkan di
bawah tekanan untuk berproduksi dengan semakin efisien. Jadi ada faktor
U
objektif juga. Tingkat perkembangan alat-alat kerja tidak tergantung pada
kesewenangan manusia, melainkan mengikuti logika internal insting manusia
untuk mempertahankan diri. Dalam arti itu, perkembangan alat-alat kerja dan
M
tenaga-tenaga produktif pada umumnya memang mutlak.
b. Bangunan Atas
Mari kita sekarang masuk ke dalam bangunan atas. Bangunan atas
M
terdiri dari dua unsur: tatanan institusional dan tatanan kesadaran kolektif
atau, dalam bahasa Marxisme, “bangunan atas ideologis”.
Yang dimaksud dengan tatanan institusional adalah segala macam
Y
lembaga yang mengatur kehidupan bersama masyarakat di luar bidang
produksi, jadi organisasi sebuah pasar, sistem pendidikan, sistem kesehatan
masyarakat, sistem lalu lintas, dan terutama sistem hukum dan negara. Kita
akan berfokus pada negara, termasuk hukum. Sedangkan tatanan kesadaran
kolektif memuat segala sistem kepercayaan, norma-norma dan nilai yang
memberikan kerangkan pengertian, makna, dan orientasi spiritual kepada
usaha manusia. Di sini termasuk pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas
masyarakat, nilai-nilai budaya, seni, dan sebagainya.

187
Pembagian keseluruhan bidang kehidupan manusia ke dalam bidang
produksi (di mana manusia memiliki kesibukan secara nyata dan individual),
bidang institusi-institusi (yang memastikan peran masing-masing dan
memberi kerangka organisatoris kepada kesibukan itu), dan bidang
kepercayaan serta nilai-nilai (yang memberikan makna kepadanya) cukup
masuk akal. Tetapi, mengapa yang satu, bidang produksi, dianggap basis yang
menentukan, sedangkan dua bidang lain, institusi-institusi dan kepercayaan
dan nilai-nilai dianggap bangunan atas?
Sebagian jawabannya telah kita lihat dalam bab sebelumnya. Marx
bertolak dari pengandaian bahwa institusi-institusi, agama, moralitas, dan
D
sebagainya ditentukan oleh struktur kelas dalam masyarakat. Menurut Marx
negara selalu mendukung kelas-kelas atas, dan agama serta sistem nilai
lainnya memberikan legitimasi kepada kekuasaan kelas-kelas atas itu.
U
Untuk memahami apa yang dimaksud oleh Marx, kita perlu
memperhatikan bahwa hubungan-hubungan produksi dalam basis selalu
berupa struktur-struktur kekuasaan, tepatnya struktur kekuasaan ekonomis.
M
Hubungan-hubungan produksi ditandai oleh kenyataan bahwa bidang
produksi dikuasi oleh para pemilik. Teori tentang basis dan bangunan atas
berarti bahwa struktur-struktur kekuasan politis dan ideologis ditentukan oleh
M
struktur hubungan hak milik, jadi oleh struktur kekuasaan di bidang ekonomi.
Itulah inti konsepsi Marx tentang basis dan bangunan atas. Kita sudah melihat
arti kaitan ini. Yang menguasai bidang ekonomi, pada umumnya para pemilik,
Y
juga menguasai negara, sehingga kekuasaan negara selalu mendukung
kepentingan mereka. Begitu pula kepercayaan-kepercayaan dan sistem-sistem
nilai berfungsi memberi legitimasi kepada kekuasaan kelas-kelas atas. Dalam
arti ini struktur kekuasaan politis dan spiritual dalam masyarakat selalu
mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas atas terhadap kelas-kelas
bawah dalam bidang ekonomi.243

243
Ibid., hlm. 142-147.
188
D. Perkembangan Sejarah dan Mode Produksi
Semua perkembangan sejarah umat manusia, sejark era klasik
hingga kini mengorganisasi cara-cara memproduksi benda-benda material
yang disebut Karl Marx sebagai mode produksi. Menurut Marx, dalam
perkembangan sejarah ada lima macam mode produksi yaitu komunis
primitif, kuno (perbudakan), feodal, kapitalis, dan komunis. Berbeda dengan
mode komunis primitif dan komunis, ketiga mode lainnya memiliki ciri khas,
yaitu produksi benda material itu berbasis kelas. Meskipun istilah “kelas”
memiliki kegunaan yang berbeda di mana saja dalam sosiologi (dan dalam
segala macam penggunaan dalam pembicaraannya) penggunaan Marxis cukup
D
spesifik. Menurut Marx, pada semua masyarakat non-komunis—pada mode
kuno, feodal, dan kapitalis—hanya ada dua kelas yang penting. Ada kelas
yang memiliki sarana produksi—ini menjadi harta kekayaan mereka—dan ada
U
kelas yang tidak memiliki.
Dalam sistem produksi yang berbasis kelas, barang-barang
diproduksi dengan cara yang cukup pasti. Mayoritas orang yang tidak
M
memiliki sarana produksi, melalukan pekerjaan produktif untuk kepentingan
pihak minoritas yang memiliki sarana produksi. Dalam teori Marxis, ini
adalah ciri kunci masyarakat non-komunis setiap masa dalam sejarah.
M
Produksi barang material (aktivitas manusia yang paling penting), selalu
terjadi dengan melakukan eksploitasi tenaga kerja mayoritas, yakni kelas yang
tidak memiliki sarana produksi oleh kelas minoritas, yang memiliki sarana
Y
produksi dan tidak mengerjakan sendiri. Jadi, hubungan antar kelas adalah
hubungan konflik.
Tidak ada kelas pada mode komunis, baik komunis primitif maupun
komunis. Pada masyarakat komunis primitif, masyarakat tidak memproduksi
surplus. Ini biasanya karena lingkungan yang tidak bersahabat, atau karena
kekurangan teknologi know how atau kombinasi keduanya. Karena warga
masyarakat hanya mungkin memproduksi kebutuhan secukup hidup, setiap
orang harus bekerja. Tidak ada kekayaan yang surplus, karena itu tidak

189
memungkinkan munculnya kelas untuk mengeksploitasi orang lain. Pada
mode komunis tidak ada kelas karena kekayaan pribadi dihapuskan—orang
tidak bisa memilih sendiri sarana produksi. Karena pada mode produksi
berbasis kelas barang-barang dihasilkan dalam cara eksploitatif ini, dalam
tulisan-tulisan Marxis pemilik sarana produksi biasanya disebut kelas
dominan, sedangkan kelas yang memiliki, namun dieksploitasi untuk
melakukan pekerjaan produktif, disebut kelas subordinat.
Menurut Marx, sejarah masyarakat manusia adalah sejarah berbagai
macam sistem produktif yang berbasis eksploitasi kelas. Dikatakanya bahwa
kita dapat membagi sejarah setiap masyarakat ke dalam episode (epoch) atau
D
masa, yang setiap masa itu didominasi oleh mode produksi tertentu, dengan
hubungan kelas khas tersendiri. Semua masyarakat sebenarnya akan melalui
semua tahap ini dalam sejarah, dan tidak semuanya akan menjadi komunis.
U
Namun, tidak semua masyarakat berevolusi dengan kecepatan yang sama.
Itulah sebabnya mengapa pada suatu masa tertentu dalam sejarah berbagai
masyarakat menunjukkan mode produksi yang berbeda-beda—berbagai
M
masyarakat tersebut berbeda pada tahap perkembangan sejarah yang berbeda-
beda.
Apa yang membedakan mode-mode produksi satu sama lain? Semua
M
mode non-komunis mempunyai kesamaan produksi barang-barang dengan
menerapkan dominasi dan eksploitasi suatu kelas terhadap kelas yang lain.
Yang membedakan dalam setiap kasus adalah siapa anggota kelas dominan,
Y
yang memiliki kekayaan, yang berbeda; demikian pula kelas subordinat, yang
dieksploitasi, yang tidak memiliki kekayaan, yang berbeda pula. Selanjutnya,
setiap mode tumbuh untuk menyebabkan kematian mode yang lain. 244
Mari kita lihat tahap-tahap perkembangan sejarah umat manusia
bersama dengan mode produksi yang mengiringinya. Pertama, masyarakat
komunal primitif yaitu tahap masyarakat yang memakai alat-alat bekerja yang

244
Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial, terj. Achmad Fedyani
Saifudin (Jakarta: Obor, 2009), hlm. 78-80.
190
sifatnya sangat sederhana. Alat produksi itu bukan milik pribadi
(perseorangan), tetapi menjadi milik komunal. Patut dicatat bahwa dalam
masyarakat primitif ini belum dikenal surplus produksi di atas tingat
konsumsi, karena setiap orang masih mampu mencukupi kebutuhannya
sendiri. Keadaan ini tidak berlangsung lama sebab masyarakat mulai
menciptakan alat-alat yang dapat memperbesar produksi—periode zaman batu
lalu meloncat kepada penggunaan tembaga dan besi. Perbaikan alat produksi
pada saat yang sama menimbulkan perubahan-perubahan sosial, pada titik
inilah pembagian kerja dalam berproduksi tidak dapat dihindari. Pertukaran
barang-barang mulai berkembang luas, meski mekanisme pasar yang
D
diciptakan masih sederhana. Akhirnya keperluan mengasilkan barang-barang
yang dibutuhkan orang lain meningkat, diperlukan kemudian kaum pekerja
dalam rangka produksi. Hal ini berarti mulai tercipta hubungan produksi
U
(relation of production) dalam masyarakat komunal itu.245
Kedua, masyarakat perbudakan. Masyarakat ini muncul dari mode
komunis primitif yang subsistem terutama karena perbaikan teknologi.
M
Sebagai contoh, pada zaman Besi manusia mengembangkan teknik-teknik
produktif yang memungkinkan untuk pemiaraan hewan secara khsusus dan
produksi pertanian menetap. Hal ini kemudian mendorong produksi surplus,
M
dan mendorong pembagian kerja yang lebih kompleks, lebih memungkinkan
daripada ekonomi subsitensi. Akibatnya, suatu kelas dominan yang bukan
produsen dapat muncul.
Y
Ciri menonjol dari mode produksi ini adalah bahwa manusia
dimiliki sebagai kekayaan oleh sebagian orang yang lebih berkuasa. Jadi,
inilah produksi yang berbasis perbudakan. Pada masa ini terdapat kelas
dominan majikan dan kelas subordiant yaitu budak. Produksi terjadi dengan
menggunakan tenaga manusia secara paksa, karena mereka dimiliki sebagai
kekayaan oleh sebagian orang. Yunani Kuno dan Romawi adalah contoh
klasik perbudakan sebagai mode produksi. Pada kerajaan Yunani dan Romawi

245
Andy, Peta Pemikiran, op.ct, hlm. 134-135.
191
sepertiga penduduk adalah budak. Sebagian besar budak pada mulanya
sebagai tahanan perang, sebagai akibat dari imperialisme kedua kerajaan ini
pada masa itu. Salah satu alasan utama mengapa mode produksi kuno
akhirnya ambruk karena kekuasaan negara mengalami kemerosotan. Semakin
lama semakin sukar bagi negara untuk mengontrol penduduk yang tinggal di
bagian-bagian jajahan yang jauh. Sehingga perbudakan sebagai mode
produksi lambat laun menghilang karena tidak relevan lagi. 246
Marx menilai bahwa pada tingkat perkembangan masyarakat ini,
nafkah kerja budah sudah di bawah standar murah dan di saat yang sama
pemilik alat-alat produksi tidak mau memperbaiki alat-alat produksi yang
D
dimilikinay. Namun pada saat itu pula budak makin lama makin sadar akan
kedudukannya (akan manfaat tenaganya). Mulai timbul ketidakpuasan atas
kedudukannya di dalam hubungan produksi. Ketidakpuasan ini menjadi awal
U
perselisihan dua kelompok masyarakat, budak dan pemilik alat produksi.
Ketiga, tingkat perkembangan masyarakat feodal bermula setelah
runtuhnya masyarakat perbudakan. Masyarakat baru ini ditandai dengan
M
pertentangan yang muncul di dalamnya. Pemilik alat produksi terpusat pada
kaum bangsawan, khususnya pemilik tanah. Para buruh tani yang berasal dari
kelas budak yang dimerdekakan. Mereka mengerjakan tanah untuk kaum
M
feodal, kemudian setelah itu mengerjakan tanah miliknya sendiri. Hubungan
produksi macam ini mendorong adanya perbaikan produksi dan cara produksi
di sektor pertanian, maksudnya agar petani menghasilkan pendapatan yang
Y
layak. Dengan demikian, sistem feodal sebenarnya mengubah cara-cara
kehidupan sosial. Dari kerangka ini lahir dua golongan kelas di dalam
masyarakat—puncaknya menjelma dalam sistem kapitalis—yaitu kelas feodal
tuan tanah yang menguasai perhubungan sosial dan kelas petani yang bertugas
melayani tuan tanag dimaksud.
Kepentingan kedua kelas ini berbeda-beda, kaum feodal lebih
memikirkan keuntungan yang lebih besar karena itu mereka memperlebar

246
Pip Jones, Pengantar, op.cit, hlm. 80-81.
192
sektor (bidang usaha) penghasilannua lewat pendirian pabrik-pabrik.
Akibatnya muncul pedagang-pedagang yang mencari pasar dan melemparkan
hasil-hasil produksi yang selalu bertambah. Fenomena baru yang tidak dapat
dibendung kehadirannya yaitu terbentuknya alat produksi dan sistem kapitalis
yang menghendaki hapusnya masyarakat feodalisme. Kelas kaya baru ini
(kelas borjuis) yang memiliki alat-alat produksi menempuh segala cara untuk
terbentuknya pasar bebas—yang menyangkut di dalamnya baik sektor
buruh—sistem kerja dan penggajian—maupun ketentuan tarip pertukaran
barang seperti yang diberlakukan dalam masyarakat feodalis. Proses
dialektika sejarah ini pada akhirnya membuktikan bahwa sistem masyarakat
D
feodal yang memang tidak mampu membendung lahirnya masyarakat
kapitalis. 247
Keempat, masyarakat kapitalis yang memiliki karakter kelas yang
U
baru. Tenaga kerja dari suatu kelas pekerja yang tak memiliki tanah—kaum
proletar, demikian istilah Marx—dapat dibeli oleh kelas majikan yang
memiliki segalanya, yang oleh Marx disebut kaum borjuis.
M
Oleh sebab itu kapitalis di Inggris berkembang sebelum
industrialisasi, hasil pertanian produksi untuk pertama kali dalam cara
kapitalisma. Barulah kemudian, ketika pabrik-pabrik dibangun dan mesin-
M
mesin industri dikembangkan, maka kapitalisme industri menjadi mantap dan
proletar perkotaan pun muncul. Pada masyarakat kapitalis, karakter
kepemilikan di mana kaum kapitalis menanamkan kekayaannya, tentu saja
Y
berubah. Pada masa permulaan kapitalisme, sebagaimana yang kita catat,
kepemilikan produktif terutama dalam bentuk tanah, di mana kaum proletar
bekerja dengan upah rendah mengolah tanah tersebut. Kemudian produksi
industrial mendorong munculnya investasi kapitalis pada pabrik-pabrik dan
mesin-mesin, sedangkan proletar dengan upah rendah tertinggal sebagai
tenaga kerja industri manual saja. Barulah kemudian pula, kapitalisme
memperoleh bentuk khas kapitalisme industri kontemporer. Pada masa kini,

247
Andy, Peta Pemikiran, op.ct, hlm. 136-137.
193
kepemilikan sarana produktif biasanya mengambil bentuk investasi modal
simpanan (stocks) dan saham (shares), tidak lagi memiliki dan mengontrol
secara aktual produksi industri itu sendiri. (Tentu saja, kapitalis pemilik tanah,
dan pemilik dan pengontrol perusahaan mereka sendiri—khususnya yang
berskala kecil—masih ada cukup banyak di masa kini).
Meski terjadi perubahan-perubahan sifat dan ciri kepemilikan
produktif dalam masyarakat kapitalis, bagi Marxis karakter hubungan kelas
antara pemilik dan bukan pemilik kekayaan pada dasarnya sama dengan
sebelumnya, mode produksi berbasis kelas. Walaupun kaum borjuis tidak
membuat sendiri barang-barang produksi, mereka tetap memiliki sarana
D
produksi itu. Untuk alasan ini, mereka akan selalu mengambil keuntungan
dari perbedaan biaya untuk membayar pekerja proletar dengan nilai barang
yang dihasilkan pekerja upah rendah itu. Fakta yang penting adalah bahwa
U
pekerja selalu dibayar lebih rendah daripada nilai barang yang diproduksi.
Jika tidak, maka sistem ini tidak akan bekerja; tanpa keuntungan, investasi
kembali surplus ini ke dalam kekuatan produktif kapitalisme tidak akan
M
terjadi, dan perusahaan akan merosot dan akhirnya mati.
Nilai surplus tidak membebani apa pun bagi kapitalis, dan
merupakan simbol nyata dari eksploitasi terhadap pekerja upah oleh majikan
M
mereka. Meski tidak senyata pajak atau upeti pada mode produksi feodal oleh
tuan rumah, atau kepemilikan atas tenaga jerja oleh pemilik budak, hubungan
antara kapitalis dan pekerja upah sebenarnya sama saja.248 “The history of all
Y
hitherta existing society, tulis Marx, is the history of class struggles”,
“Sejarah semua masyarakat yang kini ada adalah sejarah perjuangan kelas.”249
Sebab para para kaum borjuis dalam sistem kapitalis menguasai sirkulasi
modal dengan meminjam bahasa Marx: buying in order to sell, yakni mereka

248
Pip Jones, Pengantar, op.cit, hlm. 82-83.
249
Anthony Kenny, Western Philosophy (USA: Blackwell Publishing,
2006), hlm. 306; Zaine Ridling, Philosophy Than and Now (New York:
Access Foundation, 2001), hlm. 110.
194
membeli berbagai komoditi untuk dijual kembali dengan meraih keuntungan
yang jauh lebih besar lagi.250
Kelima, masyarakat sosialis—yang dipahami sebagai formulasi
terakhir dari lima tahap perkembangan sejarah Marx adalah masyarakat
dengan sistem pemilikan produksi yang disandarkan atas hak milik sosial
(social ownership). Hubungan produksi merupakan jalinan kerja sama dan
saling membantu dari kaum buruh yang berhasil melepaskan diri dari
eksploitasi. Perbedaan mendasar dengan tahap-tahap perkembangan sejarah
masyarakat sebelumnya adalah, dalam masyarakat sosialis alat-alat produksi
merupakan hasil olahan dari kebudayaan manusia yang lebih tinggi. Sistem
D
sosialis dirancang untuk memberi kebebasan bagi manusia mencapai
harkatnya tanpa penindasan. Dengan ini, kata sebuah sistem yang mengingkan
hapusnya kelas-kelas dalam masyarakat.
U
Upaya menghapuskan kelas-kelas dalam masyarakat ini menjadi
usaha yang tidak mudah, namun penuh dengan tawaran “hukum besi” sejarah
yang menggembirakan kaum proletar. Seperti diketahui, sistem kapitalis
M
sebagai penyebab utama penderitaan kaum proletar sudah terlanjur kuat.
Dengan demikian beberapa cara dan taktik untuk merubuhkannya haruslah
dimulai dari dalam sistem itu sendiri, di samping cara revolusioner dalam
M
mekanisme perjuangan kelas.251
Dengan demikian, hadirnya masyarakat sosialisme merupakan
konsekuensi natural dari sistem kapitalisme yang eksplotatif. 252 Namun
Y
sebelum memasuki puncak perkembangan masyarakat komunis melalui jalan
revolusi sosial, mari kita telaah terlebih dahulu konsep ideologi dan kesadaran
kelas kaum proletariat sebagai jalan menuju revolusi sosial.

250
George Ritzer, Classical Sociological Theory (America: McGraw
Hill, 2000), hlm. 507.
251
Andy, Peta Pemikiran, op.ct, hlm. 138-139.
252
Philip Stokes, Philosophy 100 Essential Thinker (New York:
Enchanted Lion Books, 2003), hlm. 133.
195
E. Ideologi dan Kesadaran Semu
Mengajukan sesuatu sebagai kepentingan umum yang sebenarnya
merupakan kepentingan egois pihak yang berpamrih itulah inti dari apa yang
oleh Marx disebut sebagai ideologis. Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan
suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang
menganggapnya sah, padahal jelas tidak sah. Ideologi melayani kepentingan
kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang
sebenarnya tidak memiliki legitimasi. Kritik ideologi adalah salah satu
sumbangan terpenting dari teori Marx terhadap analisis struktur kekuasaan
dalam masyarakat.
D
Marx memberikan beberapa contoh pendekatan ideologis. Yang
telah disebutkan di atas adalah klaim negara bahwa ia mewujudkan
kepentingan umum padahal ia melayani kepentingan kelas berkuasa. Begitu
U
pula tuntutan untuk taat kepada hukum dianggap ideologis, karena tuntutan itu
dibenarkan dengan keadilan hukum, padahal hukum melayani kepentingan
golongan atas, sedangkan orang kecil sulit untuk memanfaatkan hukum.
M
Kapitalisme membenarkan diri dengan dua pertimbangan yang khas
ideologis karena sekaligus menutup-nutupi bahwa sistem kapitalis
menguntungkan para pemilik modal. Pertama, kapitalisme mengklaim bahwa
M
ia adalah sistem sosial-ekonomi pertama yang tidak mengenal privilese, yang
memperlakukan setiap orang secara sama, yang menghormati kebebasan siapa
pun yang mau berusaha untuk maju dan yang memberi imbalan atas prestasi.
Y
Tetapi kapitalisme mengabaikan kenyataan bahwa, karena anggota
masyarakat tidak sama kekuatannya, kesamaan formal tidak dapat digunakan
oleh mereka yang lemah. Apabila yang kuat dan yang lemah sama bebasnya,
maka yang kuat selalu akan mendahului yang lemah.
Begitu pula buruh, ia memang bebas untuk menerima atau tidak
menerima pekerjaan yang ditawarkan, tetapi karena ia hanya dapat hidup
apabila ia bekerja, ia terpaksa “dengan bebas” menerima pekerjaan dengan
syarat-syarat yang ditetapkan sepihak oleh majikan. Argumen kedua

196
dijelaskan secara panjang lebar oleh Marx dalam karta utamanya Das Kapital:
secara formal, kapitalisme menjaga keadilan karena ia membayar upah yang
cukup agar tenaga kerja yang dihabiskan dalam pekerjaan bagi sang kapitalis
dapat dikembalikan. Menurut Marx, prinsip kapitalisme adalah pertukaran
nilai yang sama (exchane of equivalents). Tetapi keadilan itu ideologis atau
miring, karena menutupi nilai lebih pekerjaan buruh yang dicaplok oleh
kapitalis.
Tetapi kritik ideologi Marx lebih luas jangkauannya.253 Menurut
Marx semua sistem besar yang memberikan orientasi kepada manusia bersifat
ideologis. Yang paling terkenal adalah kritik Marx terhadap agama. menurut
D
Marx, agama adalah candu rakyat. Candu itu memberikan kepuasan, tetapi
kepuasan itu semu karena tidak mengubah situasi butuk si pecandu. Seperti
candu, agama memberikan kepuasan semu tanpa mengubah situasi buruk
U
orang kecil. Agama menjanjikan ganjaran di akhirat bagi orang yang dengan
tabah menerima “nasib” atau “salibnya”. Maka, rakyat kecil bukannya
memperjuangkan perbaikan nasih mereka, tetapi malah bersedia menerima
M
penghisapan dan penindasan yang dideritanya, hal yang justru
menguntungkan kelas-kelas yang menindas.
Begitu pula pandangan-pandangan moral masyarakat, nilai-nilai
M
budaya, filsafat dan seni menunjang kepentingan kelas-kelas atas. Nilai
kerukunan, misalnya, menguntungkan majikan karena atas nama nilai itu
buruh dapat dilarang mogok; ia bersedia menerima kompromi, bukan
Y
memperjuangkan keadilan. Begitu pula tuntutan moral agar kita bersikap sepi

253
Mengenai kritik ideologi Karl Marx secara luas, lihat dalam Jon
Elster, Karl Marx, terj. Sudarmaji (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000),
hlm. 231-253.

197
ing pamrih, tidak mau menang sendiri, secara efektif dapat mematikan ambisi
orang kecil untuk membebaskan diri dari ketertindasannya. 254
Salah satu kesimpulan tentatif yang dapat kita ambil dari kritik
ideologi Karl Marx adalah bahwa kita sebaiknya curiga kalau penguasa
mengkhotbahi masyarakat tentang nilai-nilai luhur serta kewajiban-kewajiban
moral mereka. Sering tanpa disadari, khotbah-khotbah semacam itu sarat
dengan pamrih, alias ideologis.255 Namun banyak masyarakat proletar yang
memiliki kesadaran semu yakni tidak menyadari ideologi terselubung dari
para borjuis. Dalam konteks kontemporer, kapitalisme tergantung pada
ketidaksetaraan yang melekat, apabila diakui, akan diterima sebagai hal yang
D
adil. Di dalam kelaslah kita pertama kali berhadapan dengan ketidaksetaraan
yang tak terhindarkan. Di dalam kelas kita belajar bahwa manusia tidak hanya
memiliki kemampuan yang berbeda.
U
Manusia bahkan juga memiliki kemampuan yang lebih baik atau
lebih buruk. Anak “pintar” sukses dan diberikan ganjaran berupa nilai dan
hasil ujian yang baik. Anak yang “kurang mampu” memperoleh ganjaran
M
yang lebih rendah. Pendidikan apa yang lebih baik untuk hidup dalam suatu
masyarakat di mana perbedaan kemampuan juga dinilai sebagai unggul dan
terbelakang, dan diberi ganjaran sesuai dengan penilaian itu? Pengalaman di
M
sekolah hanya dapat mendorong orang untuk yakin bahwa ketidaksetaraan
ganjaran itu adalah adil. Keyakinan demikian itu diekspresikan dalam
pernyataan seperti: “Tentu saja gaji dokter lebih besar daripada tukang sapu.
Y
Dokter melakukan pekerjaan yang lebih penting”. Distribusi ganjaran yang
tidak setara itu mencerminkan arti penting pekerjaan yang bersangkutan.
Perhatikan pernyataan yang lain seperti: “Setiap orang dapat
menjadi tukang sapu. Tetapi hanya orang yang ahli/cerdas/mampu yang dapat
menjadi dokter”. Pencapaian dalam dunia yang tidak setara mencerminkan

254
Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, op.cit, hlm. 121-124.
Bandingkan dengan Louise A. Hitchcock, Theory for Classics (USA:
Routledge, 2008), hlm. 17.
255
Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, op.cit, hlm. 125.
198
penghargaan. Secara mendasar, maka pendidikan dengan penekanan intrinsik
pada persaingan dan seleksi, atas dasar sukses dan gagal, pada penghargaan
dan tanpa penghargaan, mengajarkan kepada warga masyarakat kapitalis
tentang ketidaksetaraan sebagai keadilan. Secara khusus, pendidikan pula
yang mengajarkan bahwa orang-orang yang “kurang mampu”—berarti
“gagal”—harus mau menerima ganjaran yang rendah (atau dalam pengertian
ini, gaji yang rendah untuk hidup mereka).
Marxis berpendapat bahwa analisis hubungan antara infrastruktur
dan suprastruktur menunjukkan kepada kita banyak hal tentang kekuasaan
dalam masyarakat berkelas. Kelas dominan menguasi dan mengendalikan,
D
tetapi tak berarti harus menjadi penguasa pada institusi secara resmi yang
mengambil keputusan. Kelas dominan menguasi dan mengendalikan karena
mereka dipandang superior oleh orang-orang yang tidak memiliki kekayaan—
U
yakni orang-orang yang selama ini sudah disosialisasikan ke dalam gagasan
dominan oleh agensi-agensi suprastruktural. Dalam kata-kata Marx: “Gagasan
tentang kelas penguasa, pada setiap masa, adalah gagasan penguasa”.256
M
F. Kesadaran Kelas dan Revolusi
Karena kelas subordinat tunduk kepada ideologi dominan, yang
menyembunyikan hakikat yang riil dari masyarakat kelas, gambarannya
M
tentang dunia dan tempatnya di dunia adalah keliru. Kesadaran kelas
subordinat mengenai realitas adalah semu atau salah. Hanya apabila mode
produksi berbasis kelas merosost barulah para anggota kelas subordinat mulai
Y
menyingkirkan citra yang keliru tentang dunia itu, dan mulai menyadari
realitas eksploitasi yang sesungguhnya. Kemudian, mereka akan menyadari
bahwa diri mereka sesungguhnya adalah satu kelas. Dalam kata-kata Marx,
mereka mengembangkan kesadaran kelas. Pandangan subjektif mereka
terhadap diri mereka sendiri dan kondisi mereka bertemu dan sesuai dengan
realitas objektif. Munculnya kesadaran kelas pada kelas subordinat itulah
yang menjadi kunci pembuka revolusi yang meruntuhkan mode produksi dan

256
Pip Jones, Pengantar, op.cit, hlm. 90-91.
199
kelas dominannya. Lalu, bagaimana hal ini terjadi? Bagaimana kesadaran
semu kemudian menjadi kesadaran kelas?
Sebegaimana halnya eksistensi kesadaran semu, kesadaran yang
sesungguhnya tidak akan muncul bebas dari kondisi ekonomi. Menurut Marx,
embryo revolusi tidak akan muncul secara acak, atau secara kebetulan. Secara
khusus, tatkala tataran institusional (yang muncul untuk mendukung mode
produksi tertentu) tidak lagi cocok dengan hubungan produktif, karena
perubahan-perubahan keadaan ini terjadi sepanjang waktu, tekanan bagi
terjadinya perubahan pun muncul. Kelas yang diekploitasi pun mulai
melancarkan perjuangan politik, yang dirancang untuk menggantikan tataran
D
sosial yang lama dengan yang lebih sesuai dengan tataran ekonomi yang
baru.257
Marx memprediksi bahwa perubahan sosial akan terjadi tatkala
U
transformasi mode produksi kapitalis secara revolusioner menjadi komunis
terjadi. Sekali lagi, gagasan dan tindakan manusia adalah motor perubahan.
Namun, gagasan revolusioner ini hanya akan muncul sebagai hasil dari
M
munculnya kesadaran kelas. Kondisi ini hanya akan terjadi apabila
kapitalisme berkembang sebagai mode produksi. Menurut Marx, evolusi
kapitalisme hanya akan terjadi apabila ada eksploitasi terus-menerus terhadap
M
kelas pekerja. Jadi, meskipun kapitalisme hanya tetap hidup jika terus-
menerus mengeksploitasi pekerja upah semakin lama semakin besar, sehingga
eksploitasi yang terus meningkat itu tak urung akan mengubah kesadaran
Y
semu menjadi kesadaran kelas. Sebagai akibatnya, langkah-langkah yang
diambil untuk meyakinkan adanya “kemajuan” kapitalisme sebagai sistem
produktif, pada saat yang sama, akan menjamin tumbuhnya benih-benih
keruntuhannya sendiri. Demikianlah yang akan terjadi menurut Marx.258
Sebagaimana kita sudah bicarakan, kapitalisme dibangun sebelum
perkembangan industri. Tetapi barulah dengan Ravolusi Industri, yang

257
Ibid., hlm. 91-92.
258
Philip Stokes,
200
merepresentasikan kemajuan bagi kapital, bahwa realitas masyarakat kapitalis
dapat mulai nampak jelas. Produksi industrial melahirkan pemukiman-
pemukiman dalam jumlah besar di perkotaan, dengan posisi yang sama untuk
pertama kalinya. Hidup dalam kondisi yang sama, pemukiman yang sangat
padat dan buruk ditambah dengan kemiskinan, dan bekerja di pabrik-pabrik
yang sama, kaum proletar perkotaan mulai menyadari keadaan mereka yang
dieksploitasi. Selanjutnya, tatkala kapitalisme berkembang sebagai mode
produksi, eksploitasi pun meningkat pula. Ketika ini terjadi, kesadaran kelas
mulai menggantikan kesadaran semu.
Produksi kapitalis tergantung pada akumulasi modal. Kapitalis
D
mengakumulasikan modal dengan meningkatkan hasil penjualan barang-
barang yang diproduksi sementara pada saat yang sama menurunkan biaya
produksi mereka. Satu cara penting untuk menurunkan biaya produksi itu
U
adalah dengan mengurangi tenaga kerja dengan cara melakukan mekanisasi
pekerjaan. Akibatnya ada dua hal. Pertama, kapitalis yang lebih kecil, yang
kekurangan modal untuk membeli mesin-mesin baru, tidak akan berhasil
M
bersaing. Mereka bergabung dengan kelas proletar. Kedua, pengangguran
meningkat di kalang proletar. Oleh karena pekerja upahan juga adalah
konsumen, maka meningkatnya kemiskinan mereka mengakibatkan
M
berkurangnya kebutuhan akan barang-barang. Berhadapan dengan
berkurangnya tuntutan kebutuhan, para kapitalis harus memotong biaya untuk
mempertahankan tingkat keuntungan. Hal ini dilakukan baik dengan
Y
mengurangi tenaga kerja lebih jauh atau dengan mengurangi tingkat upah. Hal
ini dilakukan dengan dua cara. Upah secara aktual dapat dikurangi. Atau,
yang lebih aman, kenaikan upah diatur lebih lambat daripada tingkat inflasi.
Sebagai akibat dari kedua metode ini, tuntutan kebutuhan berkurang lebih
jauh dan keadaan ini selanjutnya memengaruhi suplai. Ketika proses ini
berlangsung, jurang perbedaan antara kaum borjuis dan kaum proletar yang
makin banyak jumlahnya meningkat. Ketika kaum proletar semakin miskin,
kondisi ini mendorong mereka untuk mengembangkan kesadaran kelas di

201
kalangan mereka. Jadi, kaum proletar ditransformasi dari kelas yang semata-
maya objektif, yakni kelas dalam fakta, menjadi kelas subjektif—suatu kelas
pemikiran. Terjadi perubahan dari kelas dalam dirinya sendiri menjadi kelas
untuk dirinya sendiri, a class in itself must become a class for itself.259 Ketika
kesadaran kelas ini mencapai puncaknya, kaum proletar bangkit dan
meruntuhkan kapitalisme, mengambil alih sarana produksi dan aparatus
negara, seperti yang diperbuat kaum kapitalis sebelumnya.
Menurut Marx, inilah revolusi final dalam suatu masyarakat.
Berbeda dari revolusi sebelumnya, tidak akan ada kelas pengeksploitasi yang
baru. Kekuasaan oleh proletar berarti pemerintahan sendiri oleh kaum pekerja.
D
Masyarakat kelas dihapuskan, dengan segala kejahatannya, dan masa baru di
mana terwujud kebebasan manusia dimulai dalam masyarakat komunis. Di
sinilah, akhirnya, terwujud suatu masyarakat yang berlimpah di mana semua
U
orang secara kreatif, jauh lebih bebas dari sebelumnya. Manusia menentukan
nasibnya sendiri dan “membangun sejarahnya sendiri”. Kesetaraan membawa
emansipasi. Menurut Marx setiap orang “mungkin mengerjakan sesuatu hari
M
ini, lalu mengerjakan yang berbeda besok, berburu pagi hari, memancing sore,
memelihara ternak pada malam hari, lalu berdebat setelah makan malam;
Itulah yang tergambar dalam pikiranku, tanpa pernah aku menjadi pemburu,
M
nelayan, peternak, atau tukang berdebat”. 260
Maka, hanya pada masyarakat komunis manusia dapat
mengembangkan potensinya untuk kreatif dan berbuat kebaikan. Dalam
Y
semua bentuk masyarakat yang lain, produksi kekayaan materi oleh kelompok
dominan dalam suatu kelas menguasai warga masyarakat lainnya
menyingkirkan kemungkinan itu. Menurut Marx orang yang hidup dalam
masyarakat berkelas mengalami alienasi—mereka mengalami dehumanisasi
dan tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka. Bagi

259
Ritzer, Classical Theory, h. 174-175.
260
Pip Jones, Pengantar, hlm. 94-96.
202
Marx, dalam masyarakat kelas manusia dicegah untuk menjadi manusia yang
sesungguhnya.
Sampai disini, ada beberapa unsur dalam teori kesadaran kelas Marx
yang mengakibatkan revolusi. Pertama, tampak betapa besar peran segi
struktural dibandingkan segi kesadaran dan moralitas. Pertentangan antara
buruh dan majikan bersifat objektif karena berdasarkan kepentingan objektif
yang ditentukan oleh kedudukan mereka masing-masing dalam proses
produksi. Maka seruan agar masing-masing mawas diri, agar mereka mau
memecahkan secara musyawarh konflik-konflik yang mungkin timbul, agar
kepentingan umum lebih didahulukan daripada kepentingan golongan dan
D
sebagainya, tidak mempan. Masalahnya, bukan di situ. Selama sistem
ekonomi berdasarkan monopoli hak kekuasaan kelas pemilik atas proses
produksi berlangsung, niscaya ada pertentangan antara kedua kelas itu. Bukan
U
perubahan sikap yang mengakhiri konflik kelas, melainkan perubahan struktur
kekuasaan ekonomis.
Kedua, karena kepentingan kelas pemilik dan kelas buruh secara
M
objektif bertentangan, mereka juga akan mengambil sikap dasar yang berbeda
terhadap perubahan sosial. Kelas pemilik dan kelas-kelas atas pada umumnya,
mesti bersikap konservatif, sedangkan kelas buruh, dan kelas-kelas bawah
M
pada umumnya, akan bersikap progresif dan revolusioner. Kelas atas sudah
berkuasa, ia hidup dari pekerjaan kelas bawah. Karena itu, kelas atas secara
hakiki berkepentingan untuk mempertahankan status quo, untuk menentang
Y
segala perubahan dalam struktur kekuasaan. Mengingat mereka sudah mantap,
setiap perubahan mesti mengancam kedudukan mereka itu.
Sebaliknya kelas-kelas bawah berkepentingan terhadap perubahan.
Karena mereka tertindas, setiap perubahan merupakan kemajuan. Bagi mereka
setiap perubahan mesti berupa kebebasan. Seperti ditulis oleh Marx dalam
Manifesto Komunis, proletariat paling-paling dapat kehilangan belenggu-
belenggunya. Kepentingan objektif terakhir kelas-kelas bawah adalah
revolusi, pembongkaran kekuasaan kelas atas. Maka meskipun dalam proses

203
pekerjaan kaum buruh dan kaum majikan tergantung satu sama lain: majikan
memerlukan pekerjaan buruh dan buruh tidak dapat bekerja kecuali
disediakan tempat kerja, tetapi kepentingan bersama itu tidak menarik ke arah
yang sama: “Hak milik pribadi (=para pemilik) sebagai hak milik
pribadi....terpaksa mempertahankan dirinya sendiri dan lawannya,
proletariat.....Sebaliknya proletariat sebagai proletariat terpaksa meniadakan
diri dan lawannya yang menjadi syaratnya, yang menjadikannya proletariat,
yaitu hak milik pribadi”.
Ketiga, dengan demikian menjadi jelas mengapa bagi Marx setiap
kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melalui revolusi.
D
Begitu kepentingan kelas bawah yang sudah lama tertindas mendapat angin,
kekuasaan kelas penindas mesti dilawan dan digulingkan. Apabila kelas
bawah bertambah kuat, kepentingannya akan mengalahkan kepentingn kelas
U
atas, jadi akan mengubah ketergantungannya dari para pemilik dan itu berarti
membongkar kekuasaan kelas atas. Sebaliknya, kelas atas, karena ia kelas
atas, berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaannya. Maka kelas atas
M
tidak pernah mungkin merelakan perubahan sistem kekuasaan, karena
perubahan itu niscaya mengakhiri perannya sebagai kelas atas. Karena itu,
sebuah perubahan sistem sosial hanya dapat tercapai dengan jalan kekerasan,
M
melalui revolusi.
Itulah sebabnya mengapa Marxisme menentang semua usaha untuk
memperdamaikan kelas-kelas yang saling bertentangan, mengapa mereka
Y
bersitegang bahwa reformasi, yaitu perbaikan kedudukan kelas-kelas bawah
di dalam sistem sosial yang sudah ada, tidak mungkin. Marxisme yakin bahwa
semua reformasi dan usaha perdamaian antara kelas atas dan bawah hanya
menguntungkan kelas atas karena mengerem perjuangan kelas bawah untuk
membebaskan diri. 261

261
Magis Suseno, Pemikiran Karl Marx, op.cit, hlm. 117-119.
204
G. Penutup: Antara Apresiasi dan Kritik
“As philosophy finds its material weapons in the proletariat,
the proletariat finds its intellectual weapons in philosophy”.262
Sebagaimana telah kita bahas dalam pengantar, ungkapan Karl Marx
ini pun meniupkan spirit senada bahwa filsafat harus mampu membawa
perubahan riil melalui kekuatan kaum proletar.263 Sehingga bagi Marx, kaum
filsuf mengemban tugas profetis yakni mengembalikan kesadaran kaum
proletar yang dilenyapkan oleh kaum kapitalis. Pandangan profetis kaum
filsuf, yaitu kekuatan yang membebaskan secara teoritis, hanya dapat
dijalankan jika ia mempunyai kekuatan material; kaum proletar adalah
D
kekuatan material yang dinamis dalam merespons panggilan sejarah untuk
membebaskan dirinya dari belenggu kelas-kelas yang menindasnya.264 Dan
tugas-tugas profetis ini ternyata mampu bertahan dan masih bergema sampai
U
hari ini.
Faktanya, ketika Karl Marx wafat pada tahun 1883, sebelas orang
yang melayat pada pemakamannya tampak memungkiri apa yang dikatakan
M
Engels di dalam eulogi (pujian untuk orang mati)nya: “Nama dan karyanya
akan langgeng sepanjang masa”. Namu demikian, Engels tampak benar. Ide-
idenya sedemikian berpengaruh sehingga bahkan salah seorang dari
M
pengkritiknya mengakui bahwa dalam arti tertentu, “kita semua ini adalah
Marxis”. Seperti yang ditulis Hanna Arendt, jika Marx tampak dilupakan,
bukan “karena pemikiran Marx dan metode-metode yang telah dia
Y
perkenalkan telah ditinggalkan, tetapi lebih tepatnya karena telah menjasi
begitu aksiomatik sehingga asal usulnya tidak dapat lagi diingat. 265

262
A. Kenny, hlm. 305
263
Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London:
Unwin University Books, 1955), h. 749..
264
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-teori Kebudayaan
(Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 23-24.
265
Ritzer, Teori Sosiologi,op.cit,hlm. 71.
205
Manurut Magnis Suseno, konsep-konsep materialisme sejarah Marx
sudah lama dipertanyakan keabsahannya. Ada beberapa tanggapan kritis
terhadapnya. Pertama, pendapat tradisional sebagaimana tercermin dalam
buku-buku pelajaran sejarah di sekolah biasanya memberikan kesan bahwa
nasib bangsa-bangsa ditentukan oleh keputusan-keputusan para penguasan.
Mengapa keputusan ini dan bukan itu yang diambil, biasanya tidak
dibicarakan. Di sinilah letak jasa Marx. Ia membuka mata kita terhadap
kenyataan bahwa kebijakan politik sebuah negara dalam jangka panjang amat
sangat ditentukan oleh kepentingan-kepentingan kelas-kelas yang menguasai
bidang ekonomi. Tidak dapat disangkal bahwa struktur kekuasaan bidang
D
ekonomi mempengaruhi struktur kekuasaan politis. Begitu pula sulit di
sangkal bahwa gaya berpikir orang sangat dipengaruhi oleh cara berpikir dan
nilai-nilai golongan sosialnya dan cara berpikir dan nilai-nilai itu sendiri
U
ditentukan oleh kepentingan-kepentingan vital golongan sosial masing-
masing. Demikian pula halnya nilai-nilai budaya, moralitas, dan kepercayaan-
kepercayaan dalam masyarakat yang tidak mungkin tidak mencerminkan
M
kepentingan-kepentingan ekonomis yang dominan. Tetapi apakah pengaruh
hanya itu searah? Apakah hanya bidang ekonomi yang menentukan?
Bukankah kepentingan politik dan cita-cita juga mempunyai dampak terhadap
M
bidang ekonomi? Apakah perubahan politis dan ekonomis besar yang dialami
dunia Arab sesudah kedatangan agama Islam tidak membuktikan bahwa
agama juga dapat berdampak politis dan ekonomis? Berdasarkan apa Marx
Y
menyatakan bahwa, secara primer, kepentingan ekonomis menentukan
kepentingan politis dan ideologis dan bukan sebaliknya?
Marx tidak menjawab pertanyaan itu. Justru itulah masalah dalam
teori Marx. Masalahnya bukan ia menegaskan pengaruh kekuasan ekonomis
atas kekuasaan politis serta cara berpikir masyarakat yang bersangkutan,
melainkan bahw ia tidak memperhatikan bahwa bidang kenegaraan juga
mempunyai dampak pada bidang ekonomi dan ideologis dan bahwa cara
manusia berpikir, beragama, apa yang dinilainya sebagai baik dan buruk, juga

206
mempengaruhi bidang politik dan bahkan cara manusia berekonomi. Analisis
Marx menjadi miring karena ia tanpa pendasaran apapun mengesampingkan
kemungkinan dampat timbal balik antara bidang-bidang itu (Marx
sebenarnya mengakui bahwa bidang politis dan ideologis mempunyai dampak
terhadap basis ekonomis, tetapi mengaruh itu hanya sekunder). Bukan hanya
ekonomi yang mempengaruhi politik dan kepercayaan manusia, tetapi politik
dan kepercayaan manusia juga mempengaruhi bidang ekonomi. 266
Kedua, pembagian lingkup kehidupan ke dalamg bidang kesibukan
langsung masing-masing orang (“basis”), susunan-susunan institusional
(“bangunan atas politis”) serta kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai
(“bangunan atas ideologis”) tampak cukup masuk akal. Tetapi mengapa dalam
D

lingkup kesibukan langsung hanya produksi yang diperhatikan. 267


Bidang produksi adalah penting, tetapi tidak begitu saja merupakan
U
basis seluruh kehidupan masyaralat. Model determinasi searah, di mana ada
unsur primer, basis, dan unsur sekunder, bangunan atas, menyesatkan, model
yang tepat adalah model pengauh timbal balik. Tidak ada yang apriori primer
M
dan apriori sekunder. Itu tidak berarti bahwa pengarih tiga faktor itu—di mana
unsur komunikasi juga harus dimasukkan—seimbang. Bisa saja bahwa pada
tahap sejarah tertentu unsur yang satu lebih dominan, lalu pada tahap sejarah
M
tertentu unsur lain yang dominan. Yang pokok ialaha bahwa bidang mana
yang dominan tidak dapat ditentukan secara apriori—hal ini justru tidak
ilmiah—melainkan harus ditemukan berdasarkan analisis aposteriori terhadap
Y
proses-proses yang nyata-nyata berjalan. Mengetahui faktor maan yang
menentukan sejarah, adalah pekerjaan aposteriori. Maka sejarah tidak dapat
diperhitungkan dan adalah tidak masuk akal untuk membicarakan tentang
suatu tujuan objektif sejatah. Sejarah tetap terbuka. 268

266
Magis Suseno, Pemikiran Karl Marx, op.cit, hlm. 152-153.
267
Ibid., hlm. 154.
268
Ibid., hlm. 154-155.
207
Ketiga, perubahan sosial tidak harus lewat revolusi. Sejak zaman
modern hingga kontemporer, perbaikan kedudukan kelas buruh (proletar)
dalam negara-negara kapitalis Barat terjadi dengan cara reformasi, bukan
revolusi. Marx tidak memperhatikan bahwa kepentingan kelas-kelas atas
untuk mempertahankan kedudukan mereka juga dapat mendesak mereka
untuk berkompromi dengan kelas-kelas bawah. Justru dengan meningkatkan
perasaan puas kelas-kelas pekerja, para pemilik dapat mempertahankan
kedudukan mereka.
Jadi tidak benar bahwa keadilan sosial hanya dapat tercapai melalui
revolusi struktur-struktur sosial yang ada. Yang benar ialah bahwa tanpa
D
tekanan dari bawah, keadilan sosal memang tidak dapat tercipta. Jadi
perjuangan kelas-kelas bawah untuk memperoleh hak-hak mereka memang
diperlukan. Mengharapkan keadilan sosial semata-mata dari kebaikan kelas-
U
kelas atas tidak beralasan, karena mereka tidak dapat diharapkan menggergaji
dahan di mana mereka duduk. Hanya perjuangan golonga-golongan bawah
itulah yang menghasilkan cukup tekanan untuk membuat kelas-kelas atas mau
M
berkompromi. Maka di satu pihak ajaran Marx tentang revolusi yang tak
terelakkan harus dilepaskan, tetapi kelas-kelas bawah memang harus
memperjuangkan sendiri kemajuan mereka. 269
M
Meskipun ada penafsiran-penafsiran yang berbeda, ada kesepakatan
umum bahwa perhatian utama Marx terletaj pada dasar historis
ketidaksetaraan, khususnya bentuk unik yang diambilnua di bahwa
Y
kapitalisme. Akan tetapi, pendekatan Marx berbeda dari banyak teori yang
akan kita kaji. Bagi Marx, suatu teori tentang cara kerja masyarakat akan
bersifat parsial, karena yang dia cari terutama ialah suatu teori tentang
bagaimana mengubah masyarakat. Oleh karena itu, teori Marx adalah suatu
analisis atas ketidaksetaraan di bawah kapitalisme dan bagaimana
mengubahnya.

269
Ibid., hlm. 157-158.
208
Ketika kapitalisme telah mendominasi dunia dan sebagian besar
alternatif komunis yang paling signifikan telah lenyap, sebagian orang
mungkin menyatakan bahwa teori-teori Marx telah kehilangan relevansinya.
Akan tetapi, bila kita menyadari bahwa Marx memberikan analisis atas
kapitalisme, kita dapat melihat bahwa teori-teorinya lebih relevan sekarang
daripada yang dahulu. Marx memberikan suatu diagnosis mengenai
kapitalisme yang mampu menyingkapkan kecenderungan untuk mengalami
krisis, menunjukkan ketidaksetaraanya yang langgeng, dan, menuntut agar
kapitalisme bertindak memenuhi janji-janjinya.
Contoh yang kita dapat dari kasus Marx membuat poin yang penting
D
tentang teori. Meskipun prediksi-prediksi yang khusus tidak terbukti—
meskipun revolusi kaum proletariat yang dipercaya Marx segera terjadi juga
tidak terjadi—teori-teorinya masih bernilai sebagai suatu alternative bagi
U
masyarakat kita dewasa ini. Teori-teori mungkin tidak mengatakan kepada
kita apa yang akan terjadi, tetapi dapat mengargumenkan apa yang seharusnya
terjadi dan membantu kita mengembakan rencana untuk melaksanakan
M
perubahan yang diimpikan teori itu atau untuk melawan perubahan yang
diprediksi oleh teori-teori itu. 270
Akhirnya seperti disinyalir oleh Bryan Magee, Marx menawarkan
M
wawasan-wawasan yang bernilai abadi. Karena pemikiran Marx-lah dunia ini
menjadi sebuah dunia yang berbeda, tidak hanya serba objektif, tetapi juga
dalam cara kita memandang dunia ini. 271
Y

270
Ritzer, Teori Sosiologi,op.cit,hlm. 72.
271
Bryan Magee, Memoar Seorang Filosof. terj. Eko Prasetyo
(Bandung: Mizan, 2005), hlm. 42-43.
209
BAB 7
EPISTEMOLOGI INTUISIONISME
A. Pengantar
“Philosophy lives in words, but truth and fact well up into our lives
D

in ways that exceed verbal formulation”.272


U
Filsuf besar Amerika, William James mengungkapkan statemen
tersebut dalam karya monumentalnya, The Varieties of Religious Experience.
Dengan statemen itu, James hendak menunjukkan bahwa dalam pentas
M
kehidupan kita sebagai manusia, tidak semua aspek pengalaman kita bisa
dipotret secara lengkap oleh filsafat yang lebih menekankan pendekatan
rasional. Ada begitu banyak kebenaran-kebenaran dan fakta-fakta kehidupan
M
yang tak terjangkau oleh analisis filosofis semata. Sebab sebagaimana
dilukiskan James: filsafat hidup di dalam kata demi kata, tetapi kebenaran dan
fakta menyelubungi kehidupan kita dengan cara-cara yang melampaui semua
Y
rumusan verbalistik (lisan) kita.
Bukan hanya dengan menggunakan akal dalam mencandra realitas
kehidupan, tapi mengharuskan juga penggunaan hati atau intuisi manusia agar
pemahaman kita terhadap realitas kehidupan menjadi komprehensif.
Barangkali itulah alasannya mengapa dalam karya yang sama, James juga
menganjurkan bahwa: every philosophy should be touched with emotion to be

272
William James, The Varieties of Religious Experience ( New York:
Touchstone Rockefeller, 1997), hlm. 588.
210
rightly understood, “Setiap kajian filsafat harus mendapatkan sentuhan emosi
agar dapat dimengerti dengan tepat”.273
Sentuhan emosi inilah, barangkali yang menjadi proyek filosofis
Henri Bergson dengan menggunakan istilah intuisi. Bergson tak puas dengan
kajian sains yang lebih cenderung bersifat mekanistik-materialistik sekaligus
kecewa dengan prioritas penggunaan akal dalam kajian filsafat. Kedua kajian
tersebut melupakan salah satu fakultas intrinsik manusia yakni intuisi atau
dalam bahasa praktis kita disebut hati. Ketidakpuasan inilah, yang akhirnya
menginspirasi Bergson mengkonstruksi filsafatnya dengan lebih
mengutamakan fakultas intuisi, sehingga konstruksi filosofisnya dinamakan
D
dengan intuisionisme. Dalam tulisan ini, kita akan melihat bagaimana makna
intuisi secara agak detil dan pengertian singkat intuisionisme; Kemudian kita
akan mengikuti epistemologi intuisionisme Bergson yang lebih
U
memprioritaskan keunggulan intuisi ketimbang akal; Dan akhirnya dipungkasi
dengan refleksi kritis sebagai catatan penutup.
B. Pengertian Intuisionisme
M
Dalam mendiskusikan tentang pengertian intuisionisme, kita akan
mulai dengan pengertian intuisi secara lebih detil untuk kemudian
disimpulkan dengan intuisionisme. Sebab intuisi merupakan akar dari kata
M
yang menjadi substansi pembahasan intuisionisme. Secara etimologi, intuisi
berasal dari bahasa Latin, intueri yang berarti melihat, menonton, atau
memandang.274 Secara garis besar, ada beberapa pengertian intuisi, antara
Y
lain:
1. Pemahaman atau pengenalan terhadap sesuatu secara langsung dan
bukan melalui inferensi (penyimpulan). Penglihatan langsung atau
penangkapan (aprehensi) kebenaran. Kontras dengan empirisme dan
rasionalisme sebagai sumber pengetahuan.

273
Ibid., hlm. 572.
274
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002), hlm. 363.
211
2. Daya (kemampuan) untuk memiliki pengetahuan segera dan
langsung tentang sesuatu tanpa menggunakan rasio.
3. Pengetahuan atau insight (pemahaman) bawaan, naluriah tanpa
menggunakan panca indera, pengalaman biasa, atau akal budi kita.
Intuisi berpangkal pada konsep ide-bawaan, paling tidak bila
kebawaan dimengerti sebagai tendensi (kecenderungan). 275

Meskipun demikian, terdapat beberapa pandangan terhadap makna


intuisi. Pertama, terdapat unsur intuisi dalam segala pengetahuan. George
Santayana memakai istilah intuisi dalam arti kesadaran kita tentang data-data
D
yang langsung kita rasakan. W. E. Hocking berkata bahwa mengetahui diri
sendiri (self-knowledge) adalah “kasus intuisi yang terbaik”. Mengetahui diri
sendiri selalu ada dalam pengetahuan tentang benda-benda lain. Pada waktu
U
saya mendengar siul, di samping mendengar saya juga sadar tentang
pendengaran saya dan sadar tentang diri saya sebagai yang mendengar. Intuisi
terdapat dalam pengetahuan tentang diri sendiri, kehidupan diri sendiri dan
M
dalam aksioma matematik. Intuisi ada dalam pemahaman kita tentang
hubungan antara kata-kata (proposition) yang membentuk bermacam-macam
langkah dari argumen. Pemikiran juga bergantung kepada hubungan yang kita
M
rasakan atau tidak kita rasakan. Unsur intuisi adalah dasar dari pengakuan kita
terhadap keindahan, ukuran moral yang kita terima dan nilai-nilai agama.
Kedua, intuisi hanya merupakan hasil tumpukan pengalaman dan
Y
pemikiran seseorang pada masa lalu. Intuisi yang benar adalah pemendekan
terhadap pengetahuan yang seharusnya diungkapkan oleh indra dan pemikiran
reflektif. Intuisi adalah hasil dari induksi dan deduksi di bawah sadar. Mereka
yang mempunyai banyak pengalaman dalam berfikir dan bekerja di lapangan
lebih mudah mempunyai intuisi yang baik dalam bidangnya. Dalam bacaan-
bacaan ilmiah zaman sekarang, kata intuisi sering diganti dengan persepsi
yang tepat, imajinasi, pemikiran yang ringkas dan pertimbangan yang sehat.

275
Ibid., hlm. 364.
212
Pandangan ilmiah yang tajam akan muncul kepada mereka yang bergelimang
terus menerus dengan problem ilmiah; inspirasi syair datang kepada mereka
yang biasa menyusun syair; inspirasi musik datang kepada mereka yang
mengetahui dan mempraktekkan musik; intuisi filsafat atau keagamaan timbul
kepada mereka yanga mengkhususkan waktu dan perhatiannya dalam bidang
tersebut.
Ketiga, intuisi adalah satu macam pengetahuan yang lebih tinggi,
wataknya berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indra atau
akal. Tokoh yang menonjol tentang pendapat ini adalah Henri Bergson (1859-
1941), filosof Prancis. Bagi Bergson, intuisi dan akal mempunyai arah yang
D
bertentangan. Kecerdasan atau intelek adalah alat yang dipakai oleh sains
untuk menghadapi materi. Ia menghadapi benda-benda dan hubungan
kuantitatif. Ia membekukan apa yang ia sentuh dan tidak dapat menghadapi
U
watak kehidupan atau zaman (duration). Intuisi yang sesungguhnya adalah
naluri (instinct) yang menjadi kesadaran diri sendiri, dapat menuntun kita
kepada kehidupan dalam. Jika intuisi dapat meluas, ia dapat memberi
M
petunjuk dalam hal-hal yang vital. Kita menemukan elen vital, dorongan yang
vital dari dunia, dengan intuisi, yang ada di dalam dan langsung; bukan
dengan intelek yang dari luar dan yang melukiskan benda hidup dalam term
M
yang statis.
Keempat, intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-
penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan yang
Y
langsung yang mengatasi (transcend) pengetahuan yang kita peroleh dengan
akal dan indra. Mistisisme atau pengetahuan mistik telah diberi definisi
sebagai kondisi orang yang amat sadar tentang kehadiran yang maha riil (the
condition of being overwhelmingly aware of the presence of the ultimately
real). Intuisi mistik mungkin dijelmakan menjadi persatuan aku dengan

213
realitas spiritual, hubungan antara aku dengan Tuhan pribadi, atau kecerdasan
kosmis (rasa bersatu dengan totalitas alam). 276
Sedangkan intuisionisme merupakan doktrin filsafat yang lebih
menekankan pemahaman langsung mengenai pengetahuan yang bukan hasil
dari pemikiran yang sadar atau persepsi rasa atau intuisi yang langsung.
Intuisionisme dipandang juga sebagai pengetahuan tanpa perantara
(immediate knowledge); Intuisionisme menekankan tidak terperantaranya
pengetahuan atau bukti-diri dari karakter ide-ide tertentu. Jadi intuisionisme
merupakan aliran filsafat yang menunjukkan kecenderungan untuk
mengutamakan intuisi dalam pengetahuan manusia.
D
Dengan demikian, intuisionisme dalam konteks pembahasan ini
adalah intuisi yang diformulasikan oleh filsuf besar Prancis Henri Bergson.
Dalam pemetaan kronologis filsafat, pemikiran intuisionisme Bergson
U
termasuk salah satu bentuk intuisionisme kontemporer. Bergson memandang
intusi sebagai sumber pengetahuan tertinggi karena ia menempatkan sang
knower (subjek yang mengetahui) dalam sebuah hubungan identifikasi dan
M
simpati cerdas dengan known, objek yang diketahui.277 Doktirn filsafat
intuisionisme Henri Bergon inilah yang akan kita eksplorasi di bawah ini.

C. Biografi Henri Bergson (1859-1941)


M

Filsuf Prancis yang paling banyak


menarik perhatian pada awal abad ke-20
adalah Henri Bergson (1859-1941). Ia lahir
Y
di Paris. Anehnya, filsuf yang dikenal
sebagai khas Prancis ini lahir dari orang tua
yang berkebangsaan asing. Ayahnya adalah
pemusik dan komponis ternama yang

276
Harold H. Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat, Terj. Rasjidi,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 204-205.
277
Milton D. Hunnex, Peta Filsafat, Terj. Zubair (Jakarta:
Teraju, 2004), hlm. 27.
214
mengungsi dari Polandia (nama aslinya: Berekson) dan ibunya orang Inggris.
Menurut kesaksiannya sendiri, dengan ibunya ia selalu berbicara dalam
bahasa Inggris. Hubungan keluarganya dengan kebudayaan Inggris itu dalam
jiwanya memancarkan suatu keterbukaan terhadap alam pikiran Inggris yang
jarang ditemukan di antara filsuf-filsuf Prancis. Baik ayah maupun ibunya
menganut agama Yahudi dan Henri pun dibesarkan dalam suasana Yudaisme
yang tradisional.
Ia masuk Lycee Condrocet, salah satu sekolah menengah yang
terkemuka di Paris. Sebagai pelajar yang amat berbakat ia merebut tempat
pertama untuk mata pelajaran matematika maupun filsafat. Konon gurunya
D
dalam bidang matematika sangat kecewa ketika mendengar bahwa ia telah
memutuskan akan belajar terus dalam filsafat. Ia diterima di Ecole normale
superieure, dimana ia belajar antara lain bersama Emile Durkheim, yang akan
U
menjadi seorang ahli besar dalam sosiologi, dan Jean Jaures yang di kemudian
hari memimpin sosialisme di Prancis. Setelah menerima agregation de
philosophie (1881) ia menjadi guru filsafat dan sastra Prancis di Angers,
M
Clermont-Ferrand dan Prancis. Pada tahun 1889 ia meraih gelar docteur es
letters berdasarkan tesis besar Essai sur les donnees immediates de la
conscience (Esai tentang Data yang Langsung Disajikan kepada Kesadaran)
M
dan tesis kecil ini yang pada waktu itu masih ditulis dalam bahasa Latin
berjudul Quid Aristoteles de loco senserit (Apa yang Dipikirkan Aristoteles
tentang Tempat).
Y
Pada tahun 1897 ia menjadi dosen di Ecole normale superieure dan
sejak tahun 1900 ia mengajar sebagai professor di College de France, mula-
mula tentang sejarah filsafat Yunani, lalu dari tahun 1904 juga tentang filsafat
modern dan pada saat itulah kuliah-kuliahnya mulai mengembangkan suatu
daya tarik luar biasa, bukan saja atas para mahasiswa, melainkan juga
peminat-peminat dari kalangan non-akademis. Tidak banyak dosen filsafat di
zaman modern yang pernah mengalami sukses begitu besar seperti Bergson

215
dalam kira-kira sepuluh tahun sebelum Perang Dunia I. Pada tahun 1921 ia
berhenti mengajar karena alasan kesehatan.
Bukan saja sebagai dosen, sebagai pengarang pun Bergson
mengenal sukses luar biasa. Buku-bukunya sering kali dicetak ulang,
sebagaimana jarang terjadi dengan karya-karya filsafat. Ketika diangkat di
College de France ia sudah menerbitkan bukunya Matiere et Memoire (1896)
(Materi dan Ingatan). 1900, terbit suatu buku kecil berjudul Le rire (Tertawa).
Suatu buku yang disambut dengan hangat—juga di luar negeri—adalah
L’evolution Creatrice (1907) (Evolusi Kreatif). Tahun 1922 terbit Duree et
Simultaneite (Lamanya dan Keserentakan), suatu refleksi filosofis relativitas
D
dari Albert Einstein; tetapi sejak tahun 1926 Bergson tidak mengizinkan karya
ini dicetak ulang, suatu tanda bahwa ia tidak lagi menyetujui isinya. Karya
besar terakhir yang diterbitkannya ialah Les deux Sources de la Morale et de
U
la Religion (1932) (Kedua Sumber dari Moral dan Agama). Artikel-artikelnya
dikumpulkan dalam L’energie Spirituelle (1919) (Energi Rohani), dan La
pensee et le Mouvant (1934) (Pemikiran dan Yang Bergerak). Sesudah
M
meninggalnya terbit lagi Ecrits et Paroles (3 jilid, 1957-1959) (Karangan-
karangan dan Perkataan-perkataan).
Waktu Perang Dunia I beberapa kali ia mengabdi kepada negaranya
M
sebagai utusan pemerintah Prancis. Dan sesudah perang untuk beberapa waktu
ia mengetuai komisi untuk kerjasama internasional dan Persatuan Bangsa-
Bangsa (The League of Nations). Selain itu, ia juga aktif dalam persiapan-
Y
persiapan untuk melakukan pembaruan sistem pendidikan di Prancis. Ia
mendapat pelbagai penghargaan, antara lain pada tahun 1914 ia dipilih
sebagai anggota Academie Francaise dan pada tahun 1982 ia dianugerahi
Hadiah Novel untuk kesusastraan.278 Bergson meninggal di Paris pada tanggal

278
K. Bertens, Filsafat Kontemporer Perancis (Jakarta:
Gramedia, 2001), hlm. 9-12.
216
13 Januari 1941, ketika tentara Jerman sudah menduduki ibu kota Prancis
itu.279

D. Intuisionisme Henri Bergson


Pada penghujung abad ke-19 dan memasuki awal abad ke-20 M,
wacana ilmu pengetahuan dan teknologi sudah mulai berkembang dengan
pesat di wilayah Barat dan Eropa. Prinsip-prinsip pemikiran filsafat
rasionalme, empirisme, dan dalam tataran tertentu berpuncak pada positivisme
telah menjadi amat dominan saat itu. Akal digunakan secara maksimal tapi
dengan tujuan hanya untuk menyingkap struktur alam semesta yang
bersumber pada materi belaka. Bahkan manusia dengan segala kompleksitas
D
yang melingkupinya akan ditelaah secara utuh dari perspektif saintifik.
Konsekuensinya, manusia,—sama dengan fenomena alam semesta, —dengan
kapasitas akal dan semua aktivitas-aktivitasnya—merupakan bentuk-bentuk
U
behavior belaka.280 Bahkan dimensi kesadaran manusia yang bersifat
psikologis, dianggap tidak lebih dari sebuah fenomena fisika yang bisa
dijelaskan dengan memakai prinsip yang sama dengan fisika. 281
M

Dalam atmosfer filsafat yang cenderung materialisme inilah, Henri


Bergson hidup. Bahkan Bergson awalnya sempat terpesona dan mengagumi
Herbert Spencer, salah seorang filsuf aliaran positivisme. Ia terpukau dengan
M

argumentasi Spencer yang menyatakan bahwa kehidupan berasal dari benda


atau materi yang tanpa ruh kehidupan. Namun dengan kontemplasi
filosofisnya yang mendalam, akhirnya ia justru menolak dan menentang keras
Y
pandangan filsafat materialisme dan positivisme, termasuk mengkritik secara
tajam aliran filsafat rasionalisme. Dengan alasan inilah, Bergson mencurahkan
pemikirannya secara luas dengan mengkaji hakikat makna kehidupan dan
struktur fundamental kehidupan yang mendasari gerak alam semesta, dan

279
Ibid., hlm. 13.
280
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat &Etika (Jakarta:
Prenada Media, 2003), hlm. 146-147.
281
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama. Terj,
Fransiskus Borgias (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 126.
217
menjadikan intuisi sebagai kekuatan inti dalam diri manusia yang melampaui
kehebatan fakultas panca indera dan akal.
Melalui pembahasan filosofis mengenai intusi, Bergson bukan
hanya mengkritik pandangan materialisme, melainkan juga mengkritisi
kelemahan-kelemahan intrinsik yang terdapat pada akal yang menjadi
kekuatan pokok filsafat rasionalisme. Melalui kritik-kritik yang diajukan
Bergson, terutama terhadap rasionalisme, ia membuktikan secara filosofis
kekuatan dan keistimewaan intuisi yang tidak dimiliki oleh akal yang menjadi
basis rasionalisme. Karena begitu luas spektrum pemikiran filosofis Bergson,
kita hanya membatasi pembahasan kita mengenai epitemologi intuisionisme
D
dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Untuk memudahkan wacana kajian
kita, saya akan mengklasifikasi pembahasan ini dalam dua tipologi: kritik
Bergson terhadap fakultas akal dan epistemologi intuisionisme Bergson.
U
1. Kritik Bergson Terhadap Fakultas Akal
Selama ini dalam kajian filosofis yang dikonstruksi oleh para filsuf,
kebanyakan mereka menggunakan akal sebagai alat penalaran dalam
M
mengkontruksi ilmu pengetahuan. Fakultas akan begitu dominan seakan-akan
akal mampu memotret realitas ecara utuh. Namun dalam perspektif Bergson,
justru akal mempunyai sejumlah kelemahan pundamental. Pertama, akal
M
memiliki kecenderungan dalam meruang-ruangkan (spatilize) apa pun yang
menjadi objeknya dan melakukan pengukuran dengan ukuran-ukuran
matematis statistik yang bersifat homogen: kilometer, hektometer, dekameter,
Y
sentimeter, milimeter, atau dalam bentuk mil, yard, kaki, dan inci. 282
Dalam persoalan ruang dan tempat, akal selalu melakukan
identifikasi terhadap setiap tempat secara homogen untuk kemudian
melakukan generalisasi dengan tempat-tempat lain di manapun. Ukuran
kilometer di Jakarta akan sama dengan ukuran satu kilometer di Surabaya.
Ukuran luas sepuluh meter persegi di Indonesia akan serupa bagi penilaian

282
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu (Bandung:
Mizan, 2005), hlm. 14-15.
218
akal dengan ukuran luas sepuluh meter persegi di Amerika. Tanah yang
berada di Mekkah dalam tilikan akal tidak ada yang berbeda dengan tanah
yang berada di Yordania; Semuanya sama-sama tanah sebagai bagian dari
bumi.
Begitu pula dengan tempat-tempat yang lain: sebuah halte bus,
stasiun kereta api, pantai, alun-alun ataupun sebuah rumah dalam perspektif
akal tidak lebih dari tempat-tempat netral sebagai benda-benda mati yang
dinamakan sebagai halte bus, stasiun, pantai, alun-alun, atau rumah yang
mempunyai fungsi serupa dengan tempat-tempat tersebut di tempat lain mana
pun. Bagi akal, setiap orang akan mempunyai sikap yang sama dengan
D
tempat-tempat tersebut sebagaimana kesamaan fungsi tempat-tempat itu
dimana pun. Di sini, dengan melakukan generalisasi terhadap setiap tempat di
mana pun, akal justru mengabaikan partikularitas sebuah tempat. Walaupun
U
sebuah halte bus mempunyai fungsi sebagai tempat penungguan penumpang
bus yang sama di mana pun, namun boleh jadi halte bus yang sama akan
mempunyai makna yang berbeda dengan setiap orang yang berbeda.
M
Sebuah taman kota atau alun-alun yang memiliki fungsi sama
sebagai tempat penghias dan pemanis, yang membuat sebuah kota semakin
indah. Namun sangat mungkin akan memiliki arti yang tidak sama bagi setiap
M
orang yang pernah mengunjungi taman kota yang sama. Meskipun sebuah
rumah secara umum mempunyai komponen-komponen yang sama di mana
pun: ada fondasi dan dinding-dindingnya, ada pintu, jendela, dan ventilasi-
Y
ventilasinya, ada plafon dan atap di atasnya. Tapi rumah-rumah yang secara
umum sama itu, amat mungkin akan memiliki kesan spesifik bagi setiap orang
yang berbeda dengan orang lain. Makna yang berbeda, arti yang tidak sama,
dan kesan spesifik bagi setiap ruang, tempat, dan benda-benda itulah yang
ditangkap oleh intuisi setiap orang yang tidak mampu di candra oleh nalar.
Sebuah ilusi praktis berikut ini barangkali bisa lebih memudahkan
pemahaman kita. Katakanlah seorang istri belum lama, kira-kira tujuh bulan
ditinggal mati oleh suaminya tercinta. Ketika akan memasuki hari raya Idul

219
Fitri, malam harinya ia mempersiapkan pakaian yang akan dikenakan oleh
dirinya dan anak-anaknya esok hari. Sewaktu mengeluarkan pakaian-pakaian
itu, tiba-tiba sehelai sapu tangan almarhum suaminya terjatuh ke lantai
menyentuh ujung jari-jemarinya kakinya. Seketika itu juga, ia memungut sapu
tangan tersebut dan menciumnya sembil menangis sejadi-jadinya. Ia
membasahi sapu tangan itu dengan tetesan-tetesan air matanya.
Kalau dilihat sekilas dengan perspektif akal, yang dilakukan si istri
itu tidak rasional: kenapa sehelai benda mati ia ciumi dengan begitu syahdu
bahkan sambil menangis terisak-isak? Bagi akal, peristiwa itu tidak logis,
sebab tidak masuk akal seseorang menciumi benda mati (sapu tangan) sambil
D
menangis lagi. Tapi dalam penglihatan intuisi, kejadian itu justru sangat
berbeda: sang istri bukan menciumi sehelai benda mati yang bernama sapu
tangan, melainkan ia tengah menciumi kebaikan dan kepedulian suaminya; ia
U
sedang menciumi cinta dan kasih sayang suaminya; ia sedang mendekap
perhatian tulus dan tanggungjawab suami tercinta. Dalam pengalaman
langsung yang dirasakan intuisi saat itu, wanita itu bukan sedang mencumbui
M
sapu tangan: ia sedang mencumbui kepribadian suaminya; ia sedang
mencumbui sang suami tercinta. Itulah sebabnya mengapa ia bisa langsung
menangis terisak-isak; ia bisa langsung terkoyak perasaannya dan terguncang
M
jiwanya. Jadi bukan sapu tangan itu sendiri yang membuatnya menangis, tapi
kesan, pengalaman, dan makna unik yang ia rasakan bersama almarhum
suaminya.
Y
Contoh lain begini. Dalam legenda percintaan klasik dari kawasan
Timur Tengah, kita mengenal kisah cinta abadi yang sangat indah tentang
sepasang kekasih: Laila dan Majnun. Dalam legenda yang sangat mempesona
itu, dilukiskan bahwa Majun terpisah dengan Laila untuk waktu beberapa
lama. Majnun menjadi sangat dimabuk cinta, sehingga ia selalu
mendendangkan nama Laila dalam setiap desahan nafasnya. Satu waktu,
karena sudah tidak tahan lagi menahan gejolak kerinduan dan pahitnya
perpisahan, Majnun mengunjungi rumah Laila. Begitu sampai di depan rumah

220
Laila, ia langsung menyentuh dinding-dinding rumah kekasihnya itu dan
menciuminya dengan penuh rasa haru.
Sebagian orang-orang yang menyaksikan tingkah laku Majnun yang
menciumi dinding rumah Laila, mulai mengolok-ngolok Majnun: Majnun
sudah tidak waras; Majnun sudah kehilangan akal sehatnya; sebab dinding tak
bernyawa itu dia dekap dan ciumi dengan penuh mesra. Mendengar cemooh
orang-orang di sekitarnya, lalu Majnun menanggapinya dengan bait-baik syair
berikut:
Tatkala kulewati rumah Laila,.
Kuciumi dinding itu berulang kali
D
Bukan rumah itu yang memabukkanku,
tetapi penghuninyalah (Laila) yang memabukkanku.283
Dalam penglihatan mata kepala secara empirikal dan penilaian akal
U
secara rasional, Majnun memang benar-benar menciumi dinding rumah Laila;
tidak lebih. Tapi dalam penglihatan intuisi, bukan dinding-dinding rumah itu
yang diciumi oleh Majnun. Dia sedang menciumi kekasih pujaan hatinya:
M
Laila. Jadi bukan rumah itu yang membuat mabuk cinta, melainkan sang
kekasih yang berada di dalam rumah. Secara metaforis, orang-orang yang
mencemooh perilaku Majnun, mewakili fakultas indera dan akal. Sedangkan
M
sosok Manjun sendiri, mewakili fakultas intuisi yang melampaui penglihatan
inderawi dan akal.
Ilustrasi di atas ingin menjelaskan bahwa intuisi memiliki kapasitas
Y
untuk menangkap tempat-tempat dan benda-benda biasa secara unik-spesifik
yag tidak bisa dilakukan oleh akal. Dengan kesadaran intuitif ini, kita menjadi
mengerti mengapa ada tempat-tempat sakral, makam-makam mulia, dan
wilayah-wilayah suci. Melalui kesadaran intuitif ini pula, kita menjadi
mengerti mengapa banyak kaum Muslim yang ketika pertama kali

283
Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma, Terj. Wasmukan & Samson
Rahman, (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), hlm. 763; Lihat juga
kisahnya langsung dalam Nizami, Layla Majnun , terj. Sholeh Gisymar
(Yogayakarta: Navila, 2006).
221
menginjakkan kedua kakinya di Mekah, mereka langsung menangis tersedu-
sedu; Ketika mereka pertama kali hanya melihat makam Rasulullah Saw
tangis mereka segera pecah. Tatkala pertama kali memandang Ka’bah serta
merta mereka kehilangan kata-kata, hanya linangan air mata yang membasahi
wajah mereka. Saat itu, intuisi menangkap makna sakral yang berada di balik
Mekah, Ka’bah, dan makam Rasulullah Saw; namun makna sakral inilah yang
luput dari penglihatan akal.
Kemudian akal juga sangat piawai untuk memilah-milah waktu ke
dalam satuan-satuan homogen seperti yang dilakukannya terhadap ruang. Dari
sini, kita dapati satuan-satuan ukuran waktu yang homogen, seperti milenium,
abad, dasawarsa, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, dan detik. 284 Dengan
D

pembagian secara homogen ini, akal melalukan generalisasi pula terhadap


waktu secara statistik-matematis: Di mana pun dan kapan pun, ukuran waktu
U
tetap sama.
Ukuran satu milenium di wilayah Indonesia akan sama ukurannya
dengan satu milenium di Amerika yang berisi seribu tahun; Hitungan satu
M
tahun antara negara Afrika dengan Malaysia akan tetap sama yang berisi dua
belas bulan; Hitungan sehari semalam antara Jerman dan Iran sama-sama
berisi dua puluh empat jam; Dan tidak ada perbedaan antara mayoritas
M
negara-negara di dunia ini tentang jumlah menit yang terdapat dalam satu jam
yakni berjumlah enam puluh menit. Begitulah seterusnya, hitungan waktu
menjadi bersifat general dan universal. Tapi apakah waktu hanya mempunyai
Y
satu-satunya makna statis yang bersifat general?
Di sinilah, Bergson membedakan dua macam waktu. Waktu pertama
adalah waktu kuantitatif yang berhubungan dengan ruang, waktu yang dapat
diukur dan dibagi-bagi. Dalam konsep ini, waktu diklasifikasi ke dalam
satuan-satuan yang homogen, seperti milenium, abad, dasawarsa, tahun,
bulan, minggu, hari jam, menit, dan detik. Inilah waktu yang berada pada

284
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu (Bandung:
Mizan, 2005), hlm. 15.
222
tataran dimensi objektif-fisis. Dalam istilah Perancisnya, Bergson
menyebutnya sebagai temps, waktu yang digunakan secara umum dalam
rutinitas kehidupan kita sehari-hari.
Nah, pengalaman kita saat bersentuhan dengan waktu kuantitatif ini
dinamakan pengalaman fenomenal, yakni pengalaman kita yang banal dalam
kebiasaan hidup sehari-hari. Pengalaman jenis ini nyaris dilakoni oleh
kebanyakan manusia umumnya. Kedua, waktu kualitatif yang tidak
berhubungan dengan ruang (tempat), bersifat kontinuitas dan mengalir terus-
menerus tak terbagi. Waktu jenis ini terkait dengan perasaan dan kesadaran,
aspek psikologis manusia.
D
Inilah waktu yang berada pada wilayah subjektif-psikologis. Bergson
menamakan waktu ini dengan duree, yang berarti lamanya, yang digunakan
untuk manusia secara pribadi-pribadi. Pengalaman kita tatkala bersentuhan
U
dengan waktu kualitataif tersebut dinamakan pengalaman eksistensial, yakni
pengalaman yang dirasakan oleh aspek mental, emosional, bahkan ranah
sukma spisitual kita yang terdalam.
M
Untuk memperkaya penjelasan Bergson, kita bisa meminjam
analisis Martin Heidegger yang juga membagi waktu ke dalam dua tipologi:
waktu objektif dan waktu subjektif. Waktu objektif merupakan waktu yang
M
digunakan oleh kronometer, alat pengukur waktu, seperti arloji, kalender dan
berbagai petunjuk waktu secara umum. Sedangkan waktu subjektif adalah
waktu yang dialami oleh orang perorang secara individual. Jika waktu
Y
objektif berada di luar sana yang dirasakan sama oleh manusia secara umum,
maka waktu secara subjektif berada di dalam sini, yang dirasakan secara unik
oleh setiap pribadi dan berbeda antara seorang dengan orang yang lain.
Waktu sehari semalam dalam pendangan mayoritas orang secara
objektif berisi dua puluh empat jam, namun durasi waktu itu terasa bagaikan
dua puluh empat menit bagi sepasang kekasih yang sedang berkencan di
bawah payung asmara. Bagi orang-orang yang berada di tengah-tengah pesta
waktu dua belas jam terasa begitu cepatnya. Tapi bagi orang yang sedang

223
sekarat diserang penyakit kronis waktu itu sungguh-sungguh terasa sangat
lama.
Fakta yang mungkin sering kita alami adalah waktu lima jam sangat
berbeda antara Anda yang menunggu dengan saya yang sedang ditunggu.
Waktu lima jam itu terasa sangat lama bagi Anda namun terasa biasa saja bagi
saya. Padahal ukuran waktu sehari semalam, dua belas jam, atau pun lima jam
itu, secara matematis tidak ada bedanya, waktu itu bergulir secara objektif di
mana pun. Albert Einstein melukiskan pengalaman eksistensial ini secara
kontradiktif: “Jika dua jam bersama gadis yang baik, orang merasa dua menit;
namun jika dua menit duduk di atas open panas, orang merasa dua jam.”285
D
Kembali kepada Bergson, di sini waktu yang bersifat kualitatif dalam
bentuk durese tidak bisa diartikan berdasarkan waktu yang bersifat kuantitatif;
“Lamanya tidak dapat ditafsirkan berdasarkan ruang; peristiwa kesadaran
U
tidak bisa diperlakukan sebagai peristiwa fisis dan realitas psikis tidak
mungkin diterangkan secara mekanistis; eksistensi duree tidak boleh
dijelaskan melalui fenomena temps.286
M
Karena itu, akal tidak dapat membedakan antara tempat dan waktu
yang sakral dan profan, semuanya sama. Namun intuisi mampu mengerti
mengapa ada tempat-tempat yang sakral dan profan, sebagaimana juga ada
M
waktu-waktu yang suci dan biasa.287 Bahkan menurut Bergson, hati secara
intuitif bisa menembus batas waktu; antara masa lalu, masa kini dan masa
depan seakan lebur dalam kesatuan. Dalam istilah Bergson, inilah yang
Y
dimaksud dengan peleburan murni (pure duration)”.288
Bersama dengan ingatan murni yang berada di dalam manusia, bagi
Bergson eksistensi duree bukan serangkaian momen-momen yang terpisah

285
Zaprulkhan, Sakit Yang Menyembuhkan (Bandung: Mizan,
2008), hlm. 13-16.
286
Bertens, Filsafat Kontemporer, hlm. 13-14.
287
Kartanegara, Menyibak, op.cit, hlm. 28-29, 62.
288
Zaprulkhan, Filsafat Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2014), hlm. 137.
224
satu sama lain antara masa silam, masa kini, dan masa depan; melainkan
sebagai kesatuan organis di mana masa silam tidak tertinggal di belakang,
tetapi bersama dan menyatu dalam masa kini. Begitu pula dengan masa
depan, bukanlah momen-momen yang belum datang, melainkan masa depan
itu benar-benar bisa hadir pada saat ini dalam kesadaran manusia yang intens
sebagai ingatan murni. Dengan kata lain, melalui ingatan murni, masa silam
bukan sekuensi waktu yang terlepas dari masa kini, sebagaimana masa depan
bukan pula sekuensi waktu yang berbeda jauh dari masa kini. Baik masa silam
maupun masa depan, keduanya bisa benar-benar menyatu dengan masa kini
yang dirasakan seutuhnya oleh ingatan murni dalam diri manusia yang
mengalir bersama duree.289
D

Itulah alasannya mengapa kita bisa larut dalam kesedihan dan


menangis terisak-isak tatkala terkenang momen-momen masa silam yang
U
sangat menyedihkan hati. Kita juga bisa merasa senang dan bangga ketika
mengenang kemenangan-kemenangan kita di masa silam. Namun bukan
hanya itu. Dengan membayangkan kemenangan-kemenangan yang lebih besar
M
dalam perasaan kita saat ini di masa depan, kita akan langsung merasakan
semangat dan gairah yang menyala-nyala dalam diri kita seakan-akan
kemenangan-kemenangan besar itu sudah kita raih saat ini juga; Dengan
M
mengimajinasikan tindakan-tindakan kebajikan voluntir kepada orang banyak
di masa depan, kita bisa langsung merasakan kebahagiaan dan kehidupan
yang bermakna saat ini juga, kini dan di sini. 290 Itulah keunikan intuisi: ia
Y
mampu menyatukan momen masa silam dan masa depan ke dalam momen
sekarang.

289
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis (Jakarta:
Gramedia, 2006), hlm. 17-19. Bandingkan dengan Muhammad Iqbal,
Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Terj. Ali Audah dkk
(Yogyakarta: Jalasutra, 2002), hlm 95-97.
290
Dalam kajian psikologi di sebut visualisasi. Lihat dalam
Napoleon Hill, Think and Grow Rich (New York: Ballantine Books,
1983), hlm. 70-80; Bandingkan dengan Norman Vincent Peale, Change
Now, Terj. Teguh W. Utomo (Yogyakarta: Baca, 2007).
225
Kedua, akal selalu memahami objeknya melalui simbol-simbol,
sedangkan intuisi justru melampaui segala bentuk simbol dan menembus
langsung sampai ke jantung objeknya. Wacana akal atau pengetahuan rasional
diperoleh dari pengalaman yang kita alami dengan berbagai objek dan
peristiwa dalam lingkungan kita sehari-hari. Pengetahuan ini termasuk ke
dalam wilayah penalaran, yang berfungsi membedakan, memisahkan,
membandingkan, mengukur dan menggolongkan. Dengan cara ini, tercipta
suatu dunia distingsi nalar; dari hal-hal berkebalikan yang hanya bisa eksis
dalam relasinya dengan yang lain, juga merupakan alasan mengapa orang
Buddhis menyebut sejenis pengetahuan ini ‘relatif’.
D
Abstraksi adalah ciri penting pengetahuan ini, karena untuk
membandingkan dan mengklasifikasikan berbagai macam bentuk, struktur,
dan fenomena yang amat banyak di sekitar kita, kita tidak bisa menyertakan
U
seluruh cirinya, tetapi harus memilih beberapa ciri signifikan. Maka kita
membangun semacam peta menalaran realitas di mana segala sesuatu
direduksi menjadi garis besarnya secara umum. Pengetahuan rasional karena
M
itu merupakan sistem konsep dan simbol abstrak, dengan ciri struktur
sekuensial linier yang khas sebagaimana cara kita berpikir dan berbicara.
Dalam nyaris setiap bahasa, struktur linier ini dibuat eksplisit dengan
M
penggunaan abjad yang befungsi mengkomunikasikan pengalaman dan
pikiran dalam deretan panjang huruf.
Di sisi lain, dunia alamiah adalah dunia dengan keragaman dan
Y
kompleksitas tak terhingga, dunia multidimensional tanpa garis lurus ataupun
bentuk-bentuk yang sepenuhnya beraturan, dimana segala sesuatu tak
berlangsung secara sekuensi namun serentak bersama-sama; dunia di mana—
seperti dikatakan fisika modern kepada kita—ruang kosong pun melengkung.
Jelas bahwa sistem abstrak pemikiran konseptual kita tak akan pernah bisa
mendeskripsikan atau memahami realitas ini selengkapnya. Ketika berpikir
tentang realitas ini kita dihadapkan pada persoalan yang sama seperti ketika
seorang pembuat peta berupaya melingkupi permukaan bumi yang

226
melengkung dengan serangkaian peta bidang datar. Kita hanya bisa
mengharapkan representasi hampiran (aproksimasi) atas realitas dari prosedur
semacam itu, dan karena itu seluruh pengetahuan rasional niscaya terbatas.
Tentu saja, dunia pengetahuan rasional, adalah dunia sains yang
aktivitasnya memang mengukur dan mengkuantifikasi, mengklasifikasi dan
menganalisis. Berbagai keterbatasan dari setiap pengetahuan yang diperoleh
dengan metode ini menjadi semakin tampak jelas dalam sains modern,
khususnya dalam fisika modern yang telah mengajari kita, meminjam
ungkapan Werner Heisenberg, ‘bahwa setiap kata atau konsep, sejelas apa pun
kelihatannya, hanya memiliki jangkauan penerapan yang terbatas.291 Dalam
D
bahasa Bergson, cara kerja akal bersifat sinematografik yakni menganalisis
rangkaian peristiwa dalam serpihan-serpihan keadaan yang statis.292
Dalam konteks ini, cukup penting kiranya kita melihat pembagian
U
pengetahuan menurut Bergson. Dalam perspektif Bergson, pengetahuan akal
merupakan pengetahuan mengenai (knowledge about), yakni pengetahuan
diskursif atau simbolis yang menggunakan perantara. Sedangkan pengetahuan
M
intuisi merupakan pengetahuan tentang (knowledge of), yaitu pengetahuan
intuitif yang bersifat langsung. 293
Dalam Frase Bergson: melalui analisa dan saran pelukisan lainnya,
M
kita tidak pernah memperoleh pengetahuan tentang kejadian yang
sebenarnya…hanya dengan menggunakan intuisi kita dapat memperoleh
Y

291
Fritjof Capra, The Tao of Physics. Terj. Aufiya Ilhamal
Hafizh (Yogyakarta: Jalasutra, 2000), hlm. 17-18.
292
Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London:
George Allen & Unwin Ltd, 1974), hlm 763; Harun Hadiwijoyo, Sari
Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius,2005), hlm 137-138.
293
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj, Soejono
Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 141.
227
pengetahuan tentang kejadian itu, suatu pengetahuan yang langsung, yang
mutlak dan bukannya pengetahuan yang nisbi atau yang ada perantaranya. 294
Mendekati konsepsi Bergson, Alfred North Whitehead menyuarakan
pula dua tipologi pengetahuan. Pertama, pengetahuan dengan lukisan
(knowledge by description) atau knowledge about thing, yakni pengetahuan
tentang fakta yang didapatkan dari benda-benda atau kejadian-kejadian yang
mengelilingi manusia. Kedua, pengetahuan dengan perkenalan (knowledge by
acquaintance), yakni pengetahuan yang akrab. Ilustrasi konkretnya, ada
perbedaan antara uraian ilmiah tentang cinta, baik dari segi kimia atau segi
psikologi, dengan pengalaman yang betul-betul tentang cinta. Begitu juga
D
terdapat perbedaan antara uraian tentang simponi dengan respons emosional
dan estetik yang mendalam yang ditumbuhkan oleh orang yang memainkan
simponi tersebut.295
U
Ketiga, akal tidak bisa memasuki wilayah pengalaman eksistensial
yang berhubungan dengan perasaan, emosional, mental, dan spiritual
kehidupan manusia. Berbeda dengan akal, intuisi mampu menyelami langsung
M
pengalaman-pengalaman eksistensial, pengalaman nyata manusia yang
berhubungan dengan segala dimensi kehidupan yang ditangkap oleh fakultas
hati, emosinal, mental, dan spiritual secara langsung. 296
M
Menurut Capra, salah satu metode menggunakan intuisi dalam
memperoleh pengetahuan langsung adalah meditasi. Ketika pikiran rasional
diheningkan, modus intuitif menghasilkan kesadaran luar biasa; lingkungan
Y
yang dialami secara langsung tanpa saringan pikiran konseptual. Dalam
ungkapan Chuang Tzu, ‘Pikiran hening seorang bijak adalah cermin langit
dan bumi—cermin segala sesuatu’. Pengalaman menyatu dengan lingkungan

294
Ibid., hlm. 83. Bandingkan dengan Kaelan, Metode
Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma, 2005),
hlm. 13.
295
Titus, Persoalan Filsafat, op.cit., hlm. 249-250.
296
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu (Bandung: Mizan, 2005),
hlm. 14-15.
228
di sekelilingnya adalah karakteristik utama kondisi meditatif ini. Kondisi ini
adalah suatu keadaan kesadaran ketika setiap bentuk fragmentasi mereda,
memudar dalam kesatuan yang tak terdiferensiasi.
Pada meditasi yang mendalam, pikiran terjaga sepenuhnya. Selain
pemahaman nirinderawi atas realitas, kondisi ini juga menangkap setiap suara,
penglihatan, dan kesan-kesan lain dari lingkungan sekitarnya, namun
gambaran inderawi itu tidak dipegang untuk dianalisis atau ditafsirkan. 297
Semua pengalaman intuitif itu bukan untuk diuraikan dengan kata-kata dan
dilukiskan secara lisan, tapi untuk dialami dan dirasakan oleh siapa pun yang
mengalaminya.
D
Dalam konteks ini, kita bisa kembali meminjam kasus tentang cinta,
siapa pun tidak akan memahami hakikat cinta semata-mata, dengan membaca
literatur tentang cinta, tetapi dengan mengalaminya; Sebab cinta tidak dapat
U
dipahami lewat akal, tetapi lewat hati. Itulah mengapa perasaan cinta tidak
bisa diungkapkan dengan kata-kata atau secara diskursif sebab ia bukan
wilayah akal. Pujangga besar sufi Maulana Jalaluddin Rumi yang terkenal
M
dengan ajaran cintanya kepada Tuhan, menyatakan ketidakmampuannya
mengekspresikan hakikat makna cinta: “Telah kuberikan seribu satu macam
penjelasan tentang cinta, tetapi ketika cinta itu sendiri datang, aku malu
M
dengan semua penjelasan tersebut.”298 Secara agak ekstrem Jalaluddin Rumi
mengemukakan prinsip ini:
If the intellect were to try and explain love, it would fall
Y
down in the mud like an ass. Love and loving can only be
explained by love. The sun is the proof of the sun; if you
need proof of its existence, stare at it.299

297
Fritjof Capra, The Tao, po. cit, hlm. 31.
298
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta:
Erlangga, 2006), hlm. 119.
299
Robert Van De Weyer, 366 Reading from Islam (Mumbai:
Jaico Publishing, 2003), hlm. 9-30.
229
Sebagian ulama sufi mengekspresikan ketidakmampuannya
melukiskan hakikat cinta dengan sangat indah: Hakikat cinta tidak mungkin
didefinisikan dengan lebih jelas kecuali dengan cinta itu sendiri; pengertian
cinta adalah eksistensi cinta itu sendiri; Sehingga makna cinta tidak bisa
dilukiskan dengan lebih jelas kecuali dengan cinta lagi. Dengan kata lain,
kembali meminjam bahasa Bergson, intuisi mencandra kehidupan dengan
seluruh pernak-pernik yang mengiringinya sebagai pengalaman hidup yang
bersifat dinamis (dynamic) bukan bersifat statis (static).300

E. Penutup: Antara Apresiasi dan Kritik


Kita baru menelusuri epistemologi intuisionisme Henri Bergson
D
yang berpijak pada fakultas intuisi. Serpihan-serpihan argumentasi yang
dikonstruksi oleh Bergson memang sangat menakjubkan. Bergson
menunjukkan secara demonstratif bagaimana keistimewaan intuisi yang
U
melampaui kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh akal dan panca indera.
Intusi dapat bersentuhan langsung dengan pengalaman-pengalaman
eksistensial kehidupan kita: tentang kebahagiaan dan penderitaan; tentang
M

cinta dan kebencian; tentang sakralitas ruang dan waktu; tentang meleburnya
pusaran masa silam, masa kini, dan masa depan dalam perasaan kita; tentang
senyuman dan tangisan. Di sini mesti kita akui secara jujur, momen-momen
M

eksistensial inilah yang tak bisa ditangkap oleh fakultas akal dan panca indera
secara penuh.
Meskipun demikian, dalam perspektif para filsuf, kehebatan intuisi
Y
tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri: sebab tidak ada satu pun fakultas
manusia, termasuk intusi yang bisa steril dari kekurangan dan kelemahan.
Dalam konteks ini, kita bisa mengajukan dua catatan kritis. Pertama, intuisi
kita bersifat sangat subjektif ketika bersentuhan dengan pengalaman-
pengalaman eksistensial. Apalagi ketika seseorang bersentuhan dengan
pengalaman keagamaan dan pengalaman ketuhanan, dikhawatirkan intuisi

300
Russell, Western Philosophy, op.cit., hlm 763.
230
justru menjadi alat yang digunakan untuk mendukung kepentingan
egoistiknya semata.301 Pengalaman-pengalaman ketuhanannya malah menjadi
pengakuan-pengakuan yang tak masuk akal dan bisa menyesatkan orang
banyak. Di sini, pengalaman-pengalaman eksistensial melalui intuisi idealnya
tetap disoroti di bawah terang akal.
Kedua, karena sifat subjektivitasnya, intuisi mengungkapkan
temuan-temuan penglihatannya secara subjektif pula. Setiap orang memiliki
pengalaman unik yang pasti berbeda dengan orang lain. Sehingga seolah-olah
menjadi paradoks: intuisi membiarkan pengalamannya menjadi misteri dalam
diri setiap orang yang kesemuanya tidak sama, meskipun mengalami objek
D
yang sama (tentang cinta, kebahagiaan, kesedihan).
Filsafat, dengan penggunaan akalnya secara maksimal, justru
bertolak belakang dengan sikap tersebut. Salah satu tujuan akal adalah
U
menyingkap semua ranah yang dikajinya dari bayang-bayang misteri dan
paradoks. Idealisme yang paling dihargai oleh intelek kita adalah menemukan
kebebasan diri dari bujukan pribadi yang samar dan memberontak dengan
M
tujuan untuk mendapatkan kebenaran objektif bagi setiap manusia yang
berpikir. Tugas penalaran berupaya membebaskan semua pengalaman-
pengalaman eksistensial yang bersifat subjektif menjadi bersifat objektif,
M
sehingga bisa dimengerti oleh semua orang (sebagian besar orang).
Meskipun pengalaman ketuhanan yang dicandra oleh intuisi
seseorang tidak dapat dituangkan ke dalam kata-kata secara lengkap, tapi akal
Y
tetap menuntut untuk mengekspresikannya secara analogis agar dapat
dipahami oleh lawan bicaranya. Walaupun baris kalimat demi kalimat terlalu
miskin untuk bisa menampung pengalaman cinta yang kita rasakan, namun
akal tetap menuntut kita menguraikannya secara objektif agar orang lain
setidaknya bisa mengerti sebagian pengalaman cinta kita yang subjektif.

301
Karen Armstrong, A History of God (London: Vintage
Books, 2001), hlm. 244-246.
231
Demikianlah seterusnya, untuk kepentingan agar dapat
dikomunikasikan secara universal dan dapat dipahami oleh mitra bicara dalam
berinteraksi, pengalaman-pengalaman intuitif seyogyanya tetap harus
diekspresikan ke dalam bahasa yang logis-rasional. Tugas akal-lah yang
membungkus pengalaman-pengalaman intuitif dengan bahasa yang rasional
dan universal.302 Akhirnya, karena tidak ada kebenaran intuitif yang bersifat
mutlak dan steril dari kesalahan, cukup beralasan jika epistemologi intuisi
dalam memperoleh pengetahuan mesti dilengkapi dengan epistemologi
pengalaman inderawi sekaligus intelegensi. 303
D
U
M
M
Y

302
Kritik ini juga, saya pinjam dari kritik filsafat terhadap pengalaman
keagamaan yang dilakukan William James dalam bab filsafat. Lihat James, The
Varieties of Religious Experience, op.cit., hlm. 337-356.
303
Titus, Persoalan Filsafat,op.cit. hlm. 208.
232
BAB 8
EPISTEMOLOGI EKSISTENSIALISME
D
A. Pengantar
“Existentialism is an attempt to philosophize from the
standpoint of the actor rather than from the standpoint of
U
the spectator”304
Eksistensialisme merupakan satu bentuk filsafat yang berusaha
keras untuk menganalisa struktur-struktur dasar dari eksistensi manusia serta
M
untuk mengundang setiap orang pada kesadaran akan eksistensi mereka dalam
kebebasan yang hakiki.305 Para filsuf eksistensialis memiliki concern atau
minat yang sama, yaitu problem tentang kehidupan konkret sebagai manusia
M
(human being). Kata human yang mengacu kepada manusia menunjuk kepada
keseluruhan situasi dan kondisi yang istimewa dan eksklusif “dimiliki” hanya
oleh manusia dan keseluruhan totalitas kemanusiaan. Manusia adalah
Y
eksistensi. Kata eksistensi itu sendiri sudah menunjuk kepada cara berada
manusia yang khas, yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk hidup lainnya.
Apa yang bersifat human dalam dirinya sendiri juga menunjuk
kepada keseharian konkret hidup manusia eksistensial yang disebut dengan

304
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Logical
Positivism and Existentialism (London: Cobtinuum, 2003), hlm. 127-
129.
305
Emanuel Prasetyo, Tema-Tema Eksistensialisme (Surabaya:
Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, 2014), hlm. 29.
233
human existence. Dikatakan bahwa human existence (eksistensi manusia)
memiliki minat atau ketertarikan (concern) bagi (terhadap) dirinya sendiri.
Human existence mengekspresikan eksistensi dirinya melalui jalan-jalan
reflektif, laksana cermin yang menyampaikan pesan tentang dirinya,
eksistensinya, keseharian hidupnya, relasi dan komunikasinya, dan lain
sebagainya. Dasar dari permahaman tentang human existence adalah
kenyataan ontologis bahwa manusia adalah sosok yang “menjadi”,
sebagaimana dikatakan oleh Kierkegaard: “Individu bukan hanya eksis (ada),
tetapi dia juga bereksistensi (mengada)”.
Sebagai sosok yang menjadi, yang bereksistensi, kita tidak akan
D
pernah secara tuntas mengatakan manusia sebagai ini atau itu. Manusia adalah
sosok yang tidak pernah tuntas, dan dengan demikian selalu ada sisi atau
dimensi yang bersifat misteri baginya. Para pemikir eksistensialis dengan
U
tekun dan serius akan selalu mencoba melongok “cahaya yang keluar” dari
kedalaman misteri eksistensi manusia ini. Oleh karena itu, dalam konteks ini,
eksistensialisme dipahami sebagai jalan hidup yang melibatkan totalitas diri
M
seseorang dalam hal keseriusan sikap yang sungguh-sungguh tentang dirinya
sendiri.306
Dengan demikian sebagaimana statemen di awal, eksistensialisme
M
merupakan sebuah upaya filosofis yang berangkat dari pengalaman atau sudut
pandang konkret sang pemain secara langsung dengan seluruh problematika
aktual yang dihadapinya daripada sudut sang penonton. Dalam
Y
perkembangannya, eksistensialisme terbagi dalam dua aliran besar, yaitu
eksistensialisme teis atau eksistensialis yang percaya dan tidak menolak
Tuhan, dan eksistensialisme ateis atau eksistensialis yang tidak percaya atau
menolak Tuhan.307

306
Ibid., hlm. 25-27.
307
Alim Roswantoro, Menjadi Diri Sendiri Dalam
Ekstensialisme religius Soren Kiekegaard (Yogyakarta: Idea Press,
2008), hlm. 45.
234
Jika eksistensialisme teistik diwakili oleh filsuf semacam Soren
Kierkegaard, Gabriel Marcel, dan Martin Buber, eksistensialisme ateistik
direpresentasikan oleh filsuf seperti Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger, dan
Friedrich Nietzsche. Karena itu, dalam bab ini kita akan menelaah kedua
aliran besar eksistensialisme tersebut dengan menghadirkan gagasan sentral
salah satu filsuf aliran tersebut masing-masing yaitu Soren Kierkegaard dan
Jean-Paul Sartre.

B. Sejarah dan Pengertian Eksitensialisme


Suatu filsafat muncul tidak pernah bisa dilepaskan dari bangunan
filsafat yang sudah ada sebelumnya. Idealisme Platonik menginspirasi
D
realisme Aristotelian, idealisme dan realisme mendapatkan kritik-kritik dan
lahirlah filsafat aliran empirisme. Empirisme, yang dipandang melebih-
lebihkan persepsi inderawi dan memandang kurang begitu penting rasio,
U
melahirkan filsafat baru, rasionalisme, yang berkebalikan melebih-lebihkan
rasio sebagai alat pengetahuan yang menjamin kepastian. Rasionalisme dalam
sejarah filsafat Barat mendorong menguatkan kesadaran sebagai pusat
M

filosofisasi dan lahirlah aliran idealisme. Semua filsafat aliran ini bertumpu
pada keyakinan adanya kebenaran objektif-universal tentang sesuatu baik
sebagai gejala-gejala fisikal maupun non fisikal, bahkan termasuk manusia
M

dan sosialitasnya.
Filsafat seperti ini membangunkan filosof-filosof yang menentang
pengejaran kebenaran objektif-universal, apalagi kalau menyangkut eksistensi
Y
manusia, dan sebagai gantinya mereka memusatkan pada sisi individualitas
dan keunikan setiap individu manusia. Tidak pernah ada konsep manusia dan
kemanusiaan objektif-universal yang timelessness dan spacelessness, manusia
selalu unik, dan konsep kemanusiaan merupakan suatu gagasan yang terus
bergerak maknanya, karena gagasan atau ide atau pemikiran hanyalah bagian
dari ekspresi manusia memahami keadaan sekitarnya. Manusia yang
menentukan ide, bukan ide yang menentukan manusia. Gerakan filosofis ini
kemudian melahirkan suatu filsafat aliran baru yang disebut eksistensialisme.
235
Jadi, eksistensialisme merupakan suatu filsafat baru yang merespons
filsafat-filsafat aliran sebelumnya. Seperti filsafat-filsafat sebelumnya,
eksistensialisme tidak lahir begitu saja, tanpa didahului paradigma filosofis
yang ada sebelumnya. Secara etimologis, eksistensialisme berasal dari kata
eksistensi (existence) dan isme (ism) yang berarti paham atau aliran. Kata
existence, jika dilacak ke bahasa lain, berasal dari bahasa Latin, existere. Kata
existere sebenarnya dalam bahasa Latin masih terurai lagi ke dalam dua kata,
yaitu ex dan sistere. Ex dalam bahasa Inggris biasanya diterjemahkan dengan
kata out yang berarti keluar, sedangkan padanan untuk kata sistere dalam
bahas Inggris adalah stand yang berarti berdiri.
D
Dengan demikian, existere atau existence berdiri keluar, yang secara
terminologis dalam paham eksistensialisme adalah keluar untuk menyadari
bahwa dirinya berdiri sendiri; dirinya ada; memiliki aktualitas; dan menilai
U
apa saja yang dialami. Eksistensialisme, dari kata eksistensi yang dibubuhi
kata yang berarti paham atau aliran, secara sederhana bisa diartikan paham
filsafat yang mementingkan eksistensi daripada sebaliknya, esensi.
M
Eksistensialisme adalah suatu paham filsafat yang dalam memahami sesuatu,
apalagi menyangkut manusia, menekankan pentingnya eksistensi daripada
spekulasi-spekulasi abstrak yang wujudnya berupa konstruksi-konstruksi
M
konseptual.
Eksistensi dalam perbendaharaan istilah filsafat selalu dilawankan
dengan istilah esensi. Esensi dimengerti sebagai sesuatu yang dipandang
Y
penting, ideal, objektif, dan universal melalui aktivitas berpikir. Pengertiannya
sepenting, seideal, seobjektif, dan seuniversal benda mati. Dalam tradisi ilmu-
ilmu alam, benda mati sebagai sasaran eksperimentasi penelitian ilmiah
memiliki kepenuhan dan kefinalan pengertian. Berbeda dengan manusia,
benda bisa diteliti dan dieksperimentasi berulang-ulang, kapanpun ia tidak
akan berubah.
Benda tidak memiliki inisiatif dan keaktifan di dalam dirinya
sendiri, dan karenanya jelas tidak memiliki personalitas. Ia mempunyai

236
pengertian yang tertutup, akan selalu sama di manapun dan kapanpun. Ia ada
tetapi tidak pernah bisa mengada, dan oleh karenanya ia bisa dengan pasti
diobjektivikasi. Ia tidak pernah bereksistensi. Esensi adalah yang menjadikan
sesuatu benda apa adanya, atau sesuatu yang dimiliki secara umum oleh
bermacam-macam benda. Esensi adalah umum untuk beberapa individu dan
esensi dapat dibicarakan secara berarti walaupun tak ada contoh bendanya
pada suatu waktu.
Berbeda dengan benda, manusia sama sekali objek yang lain.
Manusia ada dan selalu terbuka untuk mengada. Manusia bereksistensi,
sementara benda tidak bereksistensi. Kata eksistensi dalam eksistensialisme
D
ditujukan secara khusus untuk keunikan eksistensi manusia dibandingkan
dengan benda. Eksistensi menunjukkan bahwa keberadaan dan proses
mengadanya manusia selalu terbuka dan dinamis dan menggambarkan
U
keunikan masing-masing individu. Manusia tidak bisa dibatasi pengertiannya
pada konsep-konsep ideal, objektif, dan universal tentang dirinya. Manusia
tidak bisa dipahami dalam pengertian tertutup dan final, karena setiap
M
individu memiliki inisiatif, prakarsa, kehendak bebas, dan kreativitas.
Oleh karena itu, eksistensinya tak tergantikan oleh hasil
konseptualisasi pikiran manusia. Eksistensi adalah keadaan aktual, yang
M
terjadi dalam ruang dan waktu, yang berarti kehidupan yang penuh, tangkas,
sadar, tanggung jawab dan transformatif diri. Kebalikan dari eksistensi adalah
esensi. Jika spekulasi-spekulasi abstrak berharap melahirkan konsep ideal
Y
yang memandang segala sesuatu pada umumnya, maka eksistensi memandang
setiap individu memiliki keunikan masing-masing. Apabila spekulasi-
spekulasi abstrak melihat setiap individu manusia secara umum dan sama,
maka eksistensi memandang setiap individu memiliki perbedaan-perbedaan
dan tidak begitu saja disamakan. Menyangkut masalah manusia,
eksistensialisme merupakan suatu pandangan filosofis tentang interpretasi
eksistensi manusia di dunia ini yang menekankan kekonkretannya dan
karakter problematiknya yang dihadapi langsung oleh setiap individu

237
manusia. Eksistensi oleh karenanya dianggap sebagai yang partikular dan
yang individual, yang mengonotasikan suatu jalan menuju makna mengada
sebagai diri.308
Dalam perkembangannya, eksistensialisme terbagi dalam dua aliran
besar, yaitu eksistensialisme teis atau eksistensialis yang percaya dan tidak
menolak Tuhan, dan eksistensialisme ateis atau eksistensialis yang tidak
percaya atau menolak Tuhan. Filosof-filosof eksistensialis aliran yang
pertama antara lain Soren Keirkegaard, Karl Jaspers, dan Gabriel Marcel;
Sedangkan di antara eksistensialis ateis adalah Friedrich Nietzsche, Jean-Paul
Sartre, dan Camus, yang menurut pengelompokkan Sartre, mereka adalah
D
Martin Heidegger, para eksistensialis Perancis, dan dia sendiri.
Keduanya, baik yang bertuhan maupun yang tidak bertuhan, sepakat
bahwa seluruh agama dan filsafat itu untuk manusia, dan harus berupaya
U
mengembangkan suatu teori tentang manusia yang sesuai. Dari
pengembangan teori tentang manusia ini akhirnya terlihat perbedaan
menyolok antara keduanya. Eksistensialisme ateis menganggap manusia
M
sebagai suatu wujud yang sama sekali bergantung pada dirinya sendiri,
sedangkan eksistensialisme teis menganggap manusia sebagai wujud yang
bergantung pada yang lain, pada Tuhan.309
M
Ciri yang menonjol untuk membedakan keduanya adalah bahwa
yang non-religius atau ateistik menolak Tuhan demi kebebasan manusia,
sedangkan yang religius justru dengan menerima Tuhan manusia
Y
mendapatkan kebebasannya. Keduanya sama-sama menekankan pentingnya
individualitas dan kebebasan dan sama-sama memandang manusia sebagai
realitas terbuka dan tak pernah selesai. Argumen eksistensialis non-religius,
apabila eksistensi Tuhan diterima berarti eksistensi manusia menjadi semu,

308
Ibid.,hlm. 37-40. Sebagai kompararsi, lihat juga Lorens
Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.
183-188.
309
Alim Roswantoro, Tuhan dan Kebebasan Manusia Dalam
Eksistensialisme Ateistik (Yogyakarta: Idea Press, 2008), hlm. 48-49.
238
karena kebebasannya dibatasi oleh kemahakuasaan Tuhan. Eksistensialis
religius berpendapat, manusia mengatasi temporalitas yang menjadi ciri
eksistensi dengan menjadikan Tuhan sebagai sumber kebebasan dan
aktualisasi diri ke masa depannya.310
Kierkegaard berpendapat bahwa jiwa manusia berada dalam
pengasingan permanen dari Tuhan. Manusia mendapatkan dirinya di dunia
yang bukan buatannya. Dia menemukan dirinya terpisah dari kekuasaan atau
prinsip yang melahirkan dunia dan oleh karena itu, merasa, merasa
diasingkan. Menurutnya, pengasingan ini tidak bisa disembuhkan dengan
jalan perubahan sosial—bukan berarti dia menentang perubahan sosial—
D
karena pengasingan manusia berakar dalam dirinya sendiri. Jika melihat
dunia, manusia merasa cemas, suatu rasa putus asa yang mendalam atau
Angst, sehingga tidak mungkin disembuhkan dengan analisan apapun, apakah
U
dengan analisa logis, seperti dianjurkan para pemikir Inggris dan Amerika,
atau dengan analisa psikoanalisis.
Melalui tiga stadia eksistensi, akhirnya manusia menemukan
M
kembali kebebasannya hanya dengan suatu lompatan ke dalam iman, kembali
kepada Tuhan. Bila dia kembali kepada Tuhan, dia tidak bisa
membenarkannya atas dasar logika atau intelegensi. Kata Kiekegaard,
M
kebenaran akan terdapat pada keputusan terakhir. Tidak ada orang yang dapat
memberi arahan untuk keputusan ini. Atas dasar hal ini, dia merumuskan
suatu dalil yang diterima semua penganut eksistensialisme, termasuk
Y
Heidegger dan Sartre, yaitu bahwak kebenaran bersifat subjektif, tidak ada
kebenaran yang objektif, bahwa kebenaran bergantung pada keputusan-
keputusan yang diambil secara subjektif, sehingga kebenaran itu memang
menggambarkan subjektivitas.
Sebaliknya, Heidegger dan Sartre serta para penganut
eksistensialisme ateistik lainnya tidak menerima bahwa pengasingan itu dapat
disembuhkan dengan meloncat ke alam kemutlakan atau Tuhan. Mereka

310
Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 46.
239
menerima pernyataan Nietzsche bahwa Tuhan telah mati. Pernyataan ini
sangat terkenal dalam sejarah pemikiran Barat. Nietzsche menyatakan bahwa
semua agama tradisional telah menjadi tidak mungkin, karena kritik-kritik
yang tajam dalam Injil, dan bahwa Tuhan sudah mati, kembali kepada Tuhan
adalah suatu pelarian. Meskipun para penganut eksistensialisme ateistik
mengatakan Tuhan telah mati, namun mereka menganggap bahwa
pengasingan manusia dan kesepiannya terdapat di dunia sebagai sesuatu yang
tidak dapat dihilangkan.311 Ketiadaan Tuhan oleh para filsuf eksistensialis
ateis diganti dengan eksistensi manusia itu sendiri. Dalam telaah Sartre,
ketiadaan Tuhan diganti oleh kebebasan mutlak manusia itu sendiri. Sartre
D
terkenal dengan sebuah adagiumnya: existence precedes essence, ekstensi
mendahului esensi.312
Slogan tersebut mengindikasikan bahwa seseorang tidak punya sifat
U
atau jangkauan pilihan yang sudah ditentukan sebelumnya, namun selalu
bebas untuk memilih yang baru dan sesuai, karenanya menjadikan dirinya
sebuah pribadi yang berbeda.313 Sartre menerangkan pengertian ini dimulai
M
dengan analogi bahwa manusia tidak bisa disamakan dengan sebuah pisau
kertas. Hal ini karena pisau kertas ini dibuat oleh seseorang yang mempunyai
konsep tentang pisau itu. Tampak bahwa sebelum jadi, pisau tersebut telah
M
dikonsepsikan sebagai suatu benda yang mempunyai maksud tertentu dan
dibuat dengan suatu proses tertentu pula. Ini berarti esensi pisau itu telah ada
sebelum pisau itu ada. Mengenai manusia, dia ada tanpa didahului oleh esensi,
Y
tetapi dia ada dan kemudian bereksistensi membentuk esensinya.
Maksud eksistensi mendahului esensi menurut Sartre bisa disimak
dalam kata-kata berikut: It means that, first of all, man exists, turns up,
appears on the scene, and, only afterwards, defines himself. If man, as the

311
Roswantoro, Tuhan Dan Kebebasan, hlm. 49-50.
312
Stephen Law, The Great Philosophers (London: Quercus,
2007), hlm. 317.
313
Simon Blackburn, Kamus Filsafat, terj. Yudi Santoso
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 302.
240
existentialist conceives him, is indefinable, it is because at first he is nothing
(Ini berarti bahwa, pertama-tama, manusia ada, muncul, tampak pada suatu
adegan, dan baru setelah itu, mendefinisikan dirinya sendiri. Jika manusia,
seperti eksistensialis memahaminya, tak dapat didefinisikan, itu karena pada
awalnya dia tidak ada). Dari pengertian ini, Sartre menyimpulkan, ‘Thus there
is no human nature, since there is no God to conceive it’(Jadi tidak ada
hakikat manusia, karena tidak ada Tuhan untuk mengkonstruksinya).
Bagi manusia, eksistensi adalah keterbukaan. Berbeda dengan
benda-benda lain yang keberadaannya sekaligus berarti hakikatnya. Hanya
manusia saja yang memahami dan membentuk dirinya sendiri. Manusia
D
mendefinisikan dirinya dengan tindakan-tindakannya. Dari sinilah, Sartre
kemudian menegaskan bahwa asas pertama eksistensialisme adalah man is
nothing else but what he makes of himself (Manusia tidak lain hanyalah apa
U
yang dia buat tentang dirinya sendiri). 314
Dalam eksistensinya, manusia berjumpa dengan dirinya sendiri dan
muncul di dunia sebelum segala sesuatu didefinisikan dan dipahami.
M
Perjalanan hidup bagi manusia tidak lain adalah dalam proses aktualisasinya,
kebebasannya, pilihan-pilihannya, dan tanggung jawabnya. Seluruh
eksistensinya merupakan kebebasan dan tanggung jawab manusia yang
M
terutama nampak pilihan-pilihannya. Itulah yang disebut sebagai kemanusiaan
eksistensial.
Lebih lanjut, menurut Sartre, eksistensi manusia secara fundamental
Y
bukanlah by design. Seandainya eksistensi manusia itu by design, maka
eksistensinya kehilangan sama sekali kebebasan dan otentisitas dirinya.
Hidupnya menjadi determinatif dan sudah berada dalam kerangka ‘takdir’-
nya. Menurut Sartre, ‘takdir’ manusia justru ada dalam kebebasannya. Cara
ada manusia yang paling unik dan tak tergantikan ada dalam kebebasannya.
Manusia adalah kebebasannya. Kebebasan itu nampak dalam pilihan-pilihan
yang dibuatnya di sepanjang sejarah hidupnya. Melalui pilihan-pilihan yang

314
Roswantoro, Tuhan Dan Kebebasan, hlm. 43-44.
241
dibuatnya, manusia “mengisi” hidupnya. Pilihan-pilihan itulah yang
menetapkan kebebasan dalam hidup manusia sebagai yang bukan by design
melainkan by choice.315

C. Biografi Soren Kierkegaard


Soren Kierkegaar dilahirkan pada
tahun 1813 di kota Kopenhagen, Denmark,
sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Saat
ia dilahirkan, ayahnya, Mikhael Kierkegaard,
sudah berusia 51 tahun. Ayahnya menanggung
perasaan berdosa dan melankolia sepanjang
D
hidupnya.316 Watak melankolis itupun
diwarikskan kepada si bungsu, Soren
Kierkegaard, sebab hubungan ayah dan anak ini
U
sangat dekat. Pada tahun 1830, Kierkegaard
masuk ke fakultas teologi Universitas Kopenhagen. Motif masuk teologi
adalah untuk menyenangkan ayahnya. Karena itu dia sebenarnya kurang
M

meminati ilmu ini, dan sebagai mahasiswa dia malah mempelajari filsafat,
kesusastraan, dan sejarah. Dalam masa ini dia mengambil sikap sebagai
seorang “penonton kehidupan” yang sinis. Keyakinan yang diwarisi dari
M

ayahnya masih dianut, yakni bahwa kehidupannya adalah untuk menjalani


hukuman Allah yang ditimpakan kepada keluarganya.
Sementara itu, perlahan-lahan dia mulai mengambil jarak terhadap
Y
keyakinan itu dan melancarkan kritik-kritiknya atas agama Kristen. Sikap
kritis ini membawanya ke sikap tidak percaya, lalu dia kehilangan
kepercayaannya ada patokan-patokan moral, sampai pada tahun 1836, dia
sempat mencoba bunuh diri. Keadaan ini dapat diatasinya, dan pada tahun

315
Prasetyo, Tema-Tema Eksistensialisme, hlm. 79-81.
316
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hlm. 244.
242
1838, setelah ayahnya meninggal, dia mengalami sebuah pertobatan religius.
Dia berhasil menyelesaikan studi teologinya.
Salah satu peristiwa penting dalam hidupnya adalah pertunangannya
dengan Regina Olsen. Sekiranya tidak bertemu dengan gadis ini, mungkin kita
tidak akan mendapat tilikan-tilikan filosofis Kierkegaard. Dia sudah jatuh
cinta kepada gadis ini ketika gadis ini berusia 14 tahun, dan empat tahun
kemudian Kierkegaard yang sudah berusia 27 tahun melamarnya. Semua
orang menilai keduanya sebagai pasangan ideal, begitu juga perasaan
keduanya. Akan tetapi, sebelas bulan sesudah pertunangan itu, Kierkegaard
mengubah pendiriannya dan memutuskan ikatan pertunangan itu. Setelah
D
pergumulan yang lama, ia menjadi yakin bahwa dirinya tidak cocok untuk
kehidupan rumah tangga dan menyadari dirinya sebagai seorang manusia
dengan misi khusus.
U
Dalam perkawinan orang harus terbuka satu sama lain, padahal
menurut Kierkegaard ada hal-hal yang sangat intim yang tak bisa
diungkapkan kepada pasangan, maka ia membatalkan rencana perkawaninan
M
itu. Regina sangat kecewa tentu saja, tapi kemudian dia bisa mengatasinya
dan hidup bahagia dengan laki-laki lain. Judul karyanya Either Or,
sebenarnya menyatakan sikap hidupnya (atau…atau…). Dia juga menulis The
M
Concept of Dread, Philosophical Fragments, Stage on Life’s Way, dan
Concluding Unscientific Postcript, Attack upon Cristendom, dan lain-lain.
Pada mulanya dia memakai nama samaran Constantin Constantius untuk
Y
buku-buku ini. Dalam sisa hidupnya, dia tetap mengambil sikap kritis dan
bahkan melancarkan serangan frontal terhadap agama Kristen di Denmark
yang baginya tidak autentik menampilkan iman kristiani. Dia meninggal tahun
1885.317
D. Eksistensialisme Soren Kierkegaard
1. Kebenaran sebagai Subjektivitas: Kritik atas Hegelianisme

317
Ibid., hlm. 245-246.
243
Pada abad ke-19 di Eropa, filsafat berkembang di bawah dominasi
ontologi objektivisme. Pada masa ini, Eropa memasuki era yang disebut
zaman modern yang jiwanya ada dalam filsafat modern. Dalam dunia modern
dibedakan antara pemikiran objektif dan pemikiran subjektif. Pemikiran
objektif adalah suatu pemikiran yang berusaha dan cenderung
mengidentifikasi kebenaran dengan objek yang dikaji. Tendensi dan
prasangka subjektif disingkirkan dalam proses pemahaman, karena
subjektivitas adalah kesalahan. Pemahaman sepenuhnya tertuju pada objek,
karena yang subjektif disingkirkan, kebenaran objektif yang diyakini sebagai
kebenaran sebagaimana objek itu sendiri atau thing in itself diperoleh dari
D
tindakan pikiran mengabstraksikan objek yang dipikirkan ke dalam rumusan
objektif yang bernilai universal. Hal ini bisa diistilahkan dengan kebenaran
berbasis objek (object based truth). Eliminasi yang subjektif ini sangat jelas
U
dalam prinsip kerja ilmu alam yang memang dominan dalam dunia modern.
Berbeda dengan pemikiran objektif, pemikiran subjektif berusaha
dan cenderung mengidentifikasi kebenaran dengan subjek yang mengkaji.
M
Kebenaran bergantung pada kepasitas subjeknya berdasarkan prasangka-
prasangka miliu dan tradisinya. Mengaitkan kebenaran dengan objektivitas
adalah suatu kesalahan. Kebenaran dengan demikian sepenuhnya tertuju pada
M
subjek. Kebenaran sesuatu itu sendiri atau thing in itself terekspresikan sejauh
subjek mampu memahami dan menghayatinya. Istilah untuk hal ini bisa
dirumuskan sebagai kebenaran berbasis subjek (subject based truth).
Y
Ontologi pemikiran objektif secara ringkas biasa diungkapkan
dalam pernyataan being is objectivity. Dalam ontologi ini, tindakan manusia,
siapapun tanpa kecuali, dikontrol oleh objek, tepatnya konsep-konsep abstrak-
objektif tentang sesuatu. Kebenaran objektif mengindikasikan suatu
kecenderungan kepada kebenaran yang final dan stagnan. Dengan prinsip ini,
tindakan manusia menjadi tindakan kolektif-uniformitif. Sementara ontologi
pemikiran subjektif bisa dikatakan dengan pernyataan being is subjectivity.
Dalam ontologi ini, tindakan manusia tidak dikontrol oleh objek, melainkan

244
sebaliknya dikontrol oleh subjek, yakni cara dan sikap subjektif dalam
memahami sesuatu. Dengan prinsip ini, tindakan manusia selalu berupa
tindakan individual, yakni tindakan seseorang tidak bisa dipaksakan
mengikuti tindakan orang lain.
Ontologi pemikiran objektif, sebagaimana ia menjadi salah satu
karakter dasar dari filsafat modern, mendominasi cara berpikir orang zaman
modern di Eropa. Kierkegaard adalah seorang filosof yang hidup pada masa-
masa dominan filsafat modern, namun meskipun demikian, dia lebih
mengambil sikap kritis terhadapnya dan tidak tenggelam di dalamnya. Dia
menolak cara berpikir objektif filsafat Hegelian. Secara khusus dia
D
mengkritisi Hegelianisme, karena pada waktu itu, Hegelianisme merupakan
filsafat yang dominan di Eropa, sehingga filsafat sering diidentikkan dengan
Hegelianisme.
U
Kierkegaard memasukkan Hegelianisme ke dalam objective thought
atau sering juga disebutnya abstract thought. Jenis pemikiran ini, menurutnya,
bekerja dengan mengabstraksikan atau mengobjektivikasi segala sesuatu,
M
dengan cenderung mengabaikan subjek yang perpikir dan eksistensinya.
Dimensi konkret individu dalam berkehendak bebas dan berkomitmen
dieliminasi.318
M
Yang mengesankan Kierkegaard adalah fakta yang menjadi ciri
pendekatan Hegel sebenarnya juga merupakan ciri dari pendekatan para
ilmuwan dari semua jenis ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan,
Y
“objektivitas” merupakan salah satu kriteria paling penting untuk mencapai
“kebenaran ilmiah”. Suatu proposisi atau teori ilmiah mempunyai nilai
kebenaran, sejauh proposisi atau teori itu mengacu pada realitas “objektif”.
Adapun syarat paling utama untuk mencapai hal itu adalah: Kita (observer)
harus bersikap objektif, hanya mendeskripsikan dan menjelaskan setiap
kejadian “apa adanya”. Setiap bentuk pertimbangan dan/atau penilaian
subjektif dari pihak pengamat (observer), dianggap bisa merusak objektivitas

318
Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 78-80.
245
(kebenaran yang objektif). Kalau begitu, sikap kita sebetulnya tidak jauh
berbeda dari sikap Hegel, yang mengira jadi penonton pentas dunia. Dengan
sinis, Kierkegaard menulis: “…kecenderungan yang menyarankan kita agar
menjadi pengamat objektif pada dasarnya sama dengan menyarankan kita
untuk menjadi seorang hantu!”.
Kesamaan lain antara filsafat Hegel dan ilmu pengetahuan terletak
pada penggunaan abstraksi atau generalisasi. Abstraksi adalah suatu proses
dan/atau produk pemikiran manusia yang menanggalkan ciri-ciri khusus dari
kenyataan konkret dan individual, untuk melihat ciri-ciri umumnya saja.
Dengan cara itu, kita diharapkan mampu memperoleh hukum-hukum umum
D
di balik kenyataan yang konkret individual. Ada perhubungan erat antara
objektivitas, generalisasi, dan kebenaran ilmiah. Semakin objektif suatu
hukum atau teori, maka semakin berlaku umum hukum atau teori itu (jadi,
U
berlakunya hukum atau teori itu tidak terbatas pada satu atau dua gejala
individual saja), dan dengan demikian kebenaran dari hukum itu pun bisa
dipertahankan.
M
Menurut Kierkegaard, sangatlah berbahaya jika objektivitas seperti
itu diterapkan pada ilmu-ilmu tentang manusia. Kalau hukum-hukum yang
umum itu kita gunakan untuk menerangkan gejala-gejala manusiawi yang
M
konkret dan individual, maka segala kekonkretan dan individualitas manusia
akan lenyap tanpa bekas. Pengalaman unik dari setiap individu akan
terabaikan. Maka ia menolak segala bentuk ilmu-ilmu tentang manusia, kalau
Y
ilmu-ilmu justru mengorbankan keunikan dan individualitas subjek kajiannya
(manusianya). Ilmu-ilmu seperti sosiologi dan psikologi misalnya, ditentang
keras, karena kedua ilmu tersebut dianggap telah menerapkan pola seperti
itu.319
Kritik Kierkegaard atas idealisme Hegel dilandasi oleh keyakinan
ontologisnya bahwa eksistensi manusia pada prinsipnya adalah individual,

319
Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung: Rosdakarya:
2003), hlm. 130-131.
246
personal, dan subjektif. Manusia, dengan demikian, tidak dapat dijelaskan
dalam kerangka abstraksi ide, teori-teori umum, ataupun objektivitas
pendekatan ilmiah. Skema ideal dan objektif dari idealisme dan ilmu hanya
cocok untuk menjelaskan esensi dan struktur dasariah gejala-gejala infra-
human (realitas di luar manusia) atau sesuatu yang bersifat fisik, tetapi tidak
dapat diberlakukan begitu saja pada eksistensi manusia. Peristiwa dan
pengalaman eksistensial manusia yang konkret, individual, subjektif, dan
faktual memerlukan pendekatan yang khas, spesifik, dan bersifat human
(manusiawi). Pendekatan itu haruslah bersifat individual dan subjektif, dari
subjek ke subjek, dari pribadi ke pribadi!.
D
Adapun kritik Kierkegaard atas sikap ideal Hegelian dan sikap
objektif ilmu pengatahuan, yang menganjurkan kita untuk menjadi pengamat
bisu atau penonton objektif, dilandasi oleh keyakinannya bahwa manusia pada
U
prinsipnya bukan makhluk yang melulu rasional, atau “hantu” tanpa kehendak
dan perasaan, melainkan makhluk yang merasa dan menghendaki secara
bebas. Sikap ‘ideal’ dan ‘objektif’, menurut penilaian Keirkegaard,
M
mengandaikan dominasi intelek (rasio) manusia atas kehendak bebas dan
afeksi manusia.
Pada kenyataannya, segenap tindakan dan peristiwa manusia tidak
M
melulu didasarkan pada rasio (intelek), tapi juga pada pilihan bebas dan
emosi spontannya. Bahkan, kita sering menyaksikan bahwa tindak-tanduk
manusia itu didasari oleh pilihan-pilihan dan pertimbangan-pertimbangan
Y
yang tidak rasional! Dengan perkataan lain, manusia bukan makhluk yang
murni rasional, atau yang mampu menjadi pengamat objektif, atau sanggup
mengambil jarak dari segala kejadian, tetapi makhluk yang mempunyai
pertimbangan emosional dan praktis (in action). Adanya keterlibatan dan
komitmen pada manusia, yang memungkinkan manusia menjadi aktor dalam

247
panggung kehidupan yang maha luas ini, terutama disebabkan oleh afeksi dan
kehendak bebasnya.320
Menurut Alim Roswantoro, yang berbahaya dari abstraksionisme
Hegelian adalah tidak menyadari telah mengembangkan pemikiran abstrak
atau objektif menjadi pemikiran murni. Pemikiran murni adalah suatu
pemikiran yang bersumber pada abstraksi-abstraksi rasional tentang realitas
yang berakhir dengan hasil identifikasi sistematik antara pemikiran dan yang
dipikirkan, atau pemikiran tentang realitas identik dengan realitas itu sendiri.
Ketika mengabstraksikan manusia ke dalam ide tentang manusia universal
sebagai subjek, atau humanitas, filsafat Hegelian melebur manusia individual
D
dan konkret ke dalam suatu sistem kemanusiaan.
Semua pemikiran logis mempergunakan bahasa abstraksi.
Memikirkan eksistensi manusa secara logis dengan demikian harus
U
mengabaikan kesulitan, yaitu kesulitan pemikiran tentang yang abadi seperti
dalam proses menjadi. Kesulitan ini adalah sesuatu yang tidak bisa
dihindarkan, karena pemikir sendiri adalah proses menjadi juga. Memikirkan
M
eksistensi manusia dengan abstraksi berarti menghapus eksistensi manusia itu
sendiri, karena mengandaikannya sebagai sesuatu tanpa gerak. Berkaitan
dengan pemahaman tentang eksistensi manusia, tidaklah mungkin
M
memahaminya tanpa gerakan, karena ia sendiri adalah suatu gerak yang hidup
di dalam faktisitas eksistensial yang merupakan konteksnya. Konteks-konteks
eksistensial ini juga selalu bergerak, dan pergerakan konteks ini terjadi karena
Y
eksistensi manusia adalah sesuatu yang bergerak.
Inilah mengapa, filsafat Hegelian dan juga pemikiran-pemikiran
abstrak pada umumnya, terjerembab ke dalam cara pemikiran murni bekerja,
yang dalam hal ini menyamakan pemikiran tentang manusia identik dengan
eksistensi manusia. Hal ini terjadi karena dalam pemikiran objektif cenderung
mengabaikan kesulitan eksistensial pemikir sendiri yang dalam kenyataannya
juga dalam proses menjadi. Seorang pemikir yang juga dalam proses menjadi

320
Ibid., hlm. 132.
248
mengklaim abstraksinya atas sesuatu sebagai objektivitas, padahal dalam
proses menjadi, pengetahuannya dimungkinkan berkembang karena proses
pengalamannya. Namun demikian, pemikir objektif tetap mengabaikan
kesulitan seperti ini demi objektivitas. 321
Dalam Concluding Unscientific Postcript Climacus, nama samaran
Kierkegaard, mengulas tema penting mengenai kebenaran sebagai
subjektivitas. Baginya, kebenaran adalah masalah batin (inwardness), dan
bukan pertama-tama masalah sesuatu yang berada di luar diri manusia.
Kebenaran selalu berkaitan dengan subjek, yakni dengan diri yang memeluk
dan meyakini kebenaran itu secara pribadi. Yang ditekankan di sini adalah
D
relasi manusia dengan kebenaran tersebut, dan bukan hakikat kebenaran itu
sendiri.
Hal itu berarti bahwa Climacus menolak adanya kebenaran objektif,
U
yakni fakta-fakta yang bersifat independen dari cara manusia menggambarkan
dan mengenal dunia. Kebenaran sebagai subjektivitas berarti bahwa ketika
isu-isu mengenai makna dan kepenuhan hidup seseorang sedang
M
dipertaruhkan, sikap orang tersebut terhadap obyek keprihatinannya atau apa
yang dipandangnya sebagai kebenaran mendahului atau lebih penting
daripada isu mengenai kebenaran fakta yang dimilikinya. Misalnya, Lia sudah
M
berpacaran selama empat tahun dengan Bram dan berharap agar
pernikahannya dengan Bram segera berlangsung. Ini adalah masalah makna
dan kepenuhan hidup Lia, dan secara subjektif ia yakin bahwa Bram sungguh
Y
mencintainya dan akan melamarnya (keyakinan ini dapat disebut ‘kebenaran
subyektif’). Kebenaran sebagai subjektifitas berarti bahwa relasi Lia terhadap
keyakinannya ini (atau kebenaran tersebut), yang terwujud dalam sikap dan
tindakannya terhadap Bram, jauh lebih penting daripada fakta bahwa apakah
Bram sungguh-sungguh mencintai Lia (fakta ini dapat disebut ‘kebenaran
obyektif’).

321
Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 83-84.
249
Di sini kita perlu mempertajam pemahaman mengenai kebenaran
obyektif. Bagi Kierkegaard, ada dua macam kebenaran obyektif: pertama,
bersifat manusiawi (human objective knowledge) dan yang kedua berifat Ilahi
(divine objective knowledge). Kebenaran obyektif Ilahi jelas tidak tersedia
(unavailable) bagi manusia; kita tidak punya akses pada pengetahuan Ilahi
dan tidak dapat mengetahuinya. Sebaliknya, kebenaran obyektif manusiawi
sebetulnya tersedia (available) bagi manusia. Akan tetapi, pengetahuan
manusia mengenai kebenaran obyektif ini hanya bersifat mendekati
(approximate). Penafsiran manusia terhadap realitas, menurut Keierkigaard,
tidak pernah bersifat final atau definitif, seperti pendakuan Hegel. 322
D
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa Climacus
mendefinisikan kebenaran sebagai “ketidakpastian obyektif yang dipeluk erat-
erat dalam proses apropriasi oleh batin yang berhasrat”. Ia menyebut
U
kebenaran sebagai “ketidakpastian” karena baginya manusia hanya dapat
mendekati kebenaran dan tidak akan pernah memiliki atau menguasai
sepenuhnya pengetahuan obyektif. Kalau kebenaran obyektif selalu
M
merupakan aproksimasi atau hanya dapat didekati tanpa pernah dikuasai
sepenuhnya, maka kita juga akan selalu memiliki ketidakpastian obyektif.
Pengetahuan manusia dilihat sebagai yang hanya bersifat mendekati
M
terhadap kebenaran obyektif, sedangkan kebenaran obyektif sendiri berada di
luar kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Hal ini tidak berarti bahwa
kita akan selalu ragu dengan kebenaran itu. Sama sekali tidak. Kita dapat
Y
merasa sangat yakin tentangnya. Akan tetapi, secara obyektif, hal itu tidak
pasti; dengan kata lain, bisa jadi kita keliru.323
Karena itulah, kebenaran juga perlu dipeluk erat-erat karena
memang merupakan masalah relasi dengan orang lain maupun dengan yang
Ilahi. Relasi yang terbentuk antara suami dan istri, antara seorang beriman

322
Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2004), hlm. 112-114.
323
Ibid., hlm. 114-115.
250
dengan yang Ilahi, bukanlah relasi yang dingin (detached) antara mengamat
(spectator) dan yang diamati, melainkan relasi yang penuh hasrat
(passionate).324
Inilah makna kebenaran sebagai subyektivitas, yang selalu menuntut
orang menjadikan kebenaran sebagai milik pribadi (apropriasi). Tugas
apropriasi ini menuntut kerja batin yang luar biasa, dan bagaimanapun juga,
tidak dapat digantikan oleh pencarian pengetahuan obyektif. Perbedaan antara
obyektivitas dan subyektivitas dapat juga dipahami dalam kerangka distingsi
antara isi (content) dan bentuk (form). Dalam The Present Age, Kierkegaard
membahas berbagai ciri masyarakat zamannya, antara lain ‘ketiadaan bentuk’
D
(formlessness). Ketiadaan bentuk terjadi ketika beda antara bentuk dan isi
dihapus.
Suatu entitas, baik masyarakat atau individu, dapat memiliki isi
U
(content) yang benar (yakni kebenaran), namun kebenaran yang dimilikinya
tidak pernah sungguh-sungguh benar karena tidak memiliki bentuk (form),
atau dengan kata lain, tidak dipeluk secara subyektif dan penuh hasrat.
M
Indonesia dapat memiliki Pancasila yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan
yang sangat lahur dan dikagumi banyak orang asing; dalam hal isi (content)-
nya sudah benar. Akan tetapi, ketika nilai-nilai luhur ini diinjak-injak bagitu
M
saja dan tidak dihayati secara subyektif oleh warga negaranya, kebenaran ini
tidak akan banyak berguna; dengan kata lain, kebenaran ini tidak memiliki
bentuk (form) yang menampung ekspresi dan perwujudan nilai-nilai tersebut.
Y
Ketiadaan bentuk (formlessness) terjadi ketika orang mengira bahwa
berbicara menggebu-gebu mengenai nilai-nilai Pancasila (content) sama
dengan mempraktekkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari (form),
termasuk dalam kehidupan berpolitik. Ketika distingsi antara bentuk dan isi
ditiadakan, orang pun mudah berucap-ucap saja tanpa memeluk nilai-nilai
kebenaran yang dibahas secara intelektual itu dengan penuh hasrat.325

324
Ibid., hlm. 116.
325
Ibid., hlm. 116-118.
251
Dengan kata lain, tekanan obyektivitas jatuh pada apa yang
dikatakan, sendangkan tekanan subyektivitas jatuh pada bagaimana hal itu
dikatakan: The objective accent falls on WHAT is said, the subjective accent
on HOW it is said. Bagi Climacus, yang penting bukanlah isi pengetahuan
rasional, melainkan cara mengungkapkan pengetahuan tersebut dalam
kehidupan. Kalau dunia ini sungguh adalah panggung sandiwara, maka yang
dibutuhkan adalah kepiawaian menentukan peran yang akan dimainkan,
bukan pengetahuan mengapa dunia harus merupakan panggung sandiwara
atau apakah sandiwara yang dimainkan itu rasional atau tidak. Dunia
eksistensi terlalu rumit dan terfragmentasi untuk diberi kerangka rasionalitas.
D
Di sini menjadi jelas perbedaan antara Hegel dan Kierkegaard. Bagi
Hegel, seperti halnya Aristoteles, manusia pada hakikatnya rasional. Manusia
baru mencapai tujuan hidup dan kebahagiaannya kalau ia mengembangkan
U
dimensinya yang hakiki, yang, dalam pendangan Hegel, mencapai puncaknya
ketika akal-budi manusia dapat menghasilkan pengetahuan absolut.
Sebaliknya, bagi Kierkegaard, manusia pada dasarnya adalah
M
penentu nilai (value chooser) dan pengambil keputusan (decider). Ketika
pilihan yang harus dibuat sudah menyangkut kepenuhan hidup dan identitas
diri, tantangan yang dihadapi manusia menjadi sangat besar. Tentu saja ia
M
akan menggunakan akal-budinya dalam mengambil keputusan, namun
penalaran rasional ini bukan untuk mencari kebenaran obyektif demi
kebenaran itu sendiri, melainkan untuk membantunya memilih dan
Y
memutuskan.
Hegel melihat bahwa landasan realitas adalah rasionalitas,
obyektivitas, dan pemahaman yang reflektif. Seluruh realitas dilihatnya
sebagai yang secara hakiki memuat rasionalitas. Demikian juga perjalanan
sejarah yang memuat ‘logika’, yang akhirnya akan membawa manusia pada
pengetahuan absolut. Sebaliknya, Kierkegaard melihat segala sesuatu terletak
dalam tindakan memilih, dalam menjadi subyektif dengan penuh hasrat dan
komitmen. Realitas eksistensi manusia bersifat ‘mentah’ dan sulit dicari

252
logikanya.326 Dengan tegas Kierkegaard menolak untuk menyetujui bahwa:
logic could be the key to reality, logika dapat menjadi kunci bagi realitas.327
Oleh karena itu, manusia harus terus-menerus memilih agar yang
‘mentah’ itu terdeterminasi dan konkret. Kebebasan untuk memilih itu sendiri
merupakan nilai paling dasar yang membuat manusia menjadi seorang
manusia atau seorang individu eksistensial. Bagi Kierkegaard, pengenalan dan
penggunaan kebebasan ini jauh lebih penting daripada pemahaman
sepenuhnya mengenai objek pilihan tersebut.
Di sini kita perlu menyadari bahwa subyektivitas berbeda dengan
subyektivisme. Menurut subyektivisme, apa yang kita pikirkan atau
D
ungkapkan adalah sekedar masalah rasa (a matter of taste), seperti apakah
orang suka makan durian atau petai, sehingga paham ini mengandung
semacam relativisme. Dalam subyektivisme seringkali orang tidak memiliki
U
relasi dengan dunia di luar dirinya, sehingga konsep tanggung jawab tidak ada
dalam paham ini.
Sebaliknya, subyektivitas adalah relasi manusia dengan sesuatu
M
yang melampaui dirinya (ada referensi terhadap dunia luar). ‘Dunia luar’ di
sini dapat berupa manusia maupun yang Ilahi. Relasi dengan sesuatu yang
berada di luar dirinya itulah ciri hakiki subyektivitas manusia, yang menjadi
M
konkret ketika manusia menggunakan kebebasan dan memeluk kebenaran
secara pribadi. Maka masalahnya di sini adalah tugas (task) dan tanggung
jawab (responsibility), bukan soal rasa (taste).
Y
Perlu ditekankan kembali di sini bahwa pandangan Kierkegaard
mengenai kebenaran sebagai subyektivitas hanya berlaku bagi tipe kebenaran
tertentu, yakni kebenaran yang bersifat ‘esensial’ bagi eksistensi manusia,
atau konkretnya kebenaran moral dan religius. Kierkegaard tidak berbicara
mengenai kebenaran ilmu pengetahuan, misalnya bahwa banyak
mengonsumsi minuman berakohol membuat badan tidak sehat. Ia percaya

326
Ibid., hlm. 120-121.
327
Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 36.
253
akan adanya realitas obyektif yang berusaha didekati oleh ilmu pengetahuan.
Tetapi, yang ia bicarakan adalah kebenaran moral dan religius, yakni hal-hal
yang menyangkut cara manusia menghayati kehidupannya, nilai-nilai yang
dipeluknya, keputusan-keputusan yang dibuatnya, dan sebagainya. Dalam
pandangannya kebenaran-kebenaran ini harus didekati secara subyektif:
penuh gairah, hasrat dan komitmen. 328
Sampai disini, kebenaran sebagai subjektivitas yang harus digumuli
seorang manusia dengan sepenuh jiwa dan perasaannya merupakan aktualisasi
dari kehendak bebasnya. Dari sini, pandangan Kierkegaard tentang kehendak
bebas berhubungan erat dengan masalah kebebasan manusia. Ia mempunyai
D
pandangan yang khas eksistensialis, bahwa manusia pada prinsipnya adalah
individu. Individu adalah identik dengan kebebasan. Setiap manusia—setiap
individu—mengkonstitusikan (menciptakan) diri dan dunianya melalui suatu
U
pilihan bebas, yang dipilih dan diputuskan sendiri oleh manusia—individu—
itu sendiri.
Terlepas, misalnya, dari tuntutan keluarga yang otoriter, dari sistem
M
politik yang refresif ataupun dari sistem sosial budaya yang ketat dan kaku,
eksistensial aktual seorang individu adalah eksistensi yang bersumber dari
satu inti, yakni eksistensi dirinya. Realitas dari luar dirinya boleh mempunyai
M
kekuatan yang memaksa individu atau mempunyai pengaruh besar atas
individu itu, tetapi sumber keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu perbuatan tertentu, terletak pada diri individu itu sendiri. Individu itulah
Y
yang menjadi kata kunci atau penentu dalam mengatakan ‘ya’ atau ‘tidak’
untuk suatu perbuatan tertentu.
Satu aspek yang melekat pada kebebasan adalah tanggung jawab.
Kebebasan dan tanggung jawab merupakan dua sisi dari satu mata uang yang
sama. Tidak bisa dibenarkan seseorang yang mengaku dirinya bebas, tapi
tidak mau bertanggung jawab atas kebebasannya itu. Konsekuensi apapun dari
suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu adalah tanggung jawab

328
Tjaya, Kierkegaard, hlm. 121-123.
254
individu itu. Orang lain bisa saja misalnya mengambil alih tanggung jawab
itu, tetapi hati nurani si pelaku tidak bisa dibohongi bahwa tanggung jawab
yang berifat pribadi itu tidak bisa digantikan oleh siapapun. Ia, sejauh jujur
terhadap dirinya, akan menyadari bahwa seharusnya ia sendirilah yang
bertanggung jawab atas segenap perbuatannya itu.
Masalah kebebasan dan tanggung jawab adalah masalah yang
fundamental dan krusial. Sumber permasalahan utama eksistensi manusia
sesungguhnya terletak pada masalah kebebasan dan tanggung jawab itu.
Kebebasan itu—tanggung jawab itu—yang selalu diinginkan dan bahkan
diperjuangkan oleh hampir setiap manusia, ternyata bukanlah sesuatu yang
D
menyenangkan. Sebaliknya, kebebasan justru sering mendatangkan persoalan,
yakni menimbulkan rasa cemas dan gelisah. Manusia cemas, jangan-jangan
dalam menentukan pilihannya itu akan dihadapkan pada akibat-akibat yang
U
tidak menyenangkan, menyakitkan, atau membahayakan.
Maka dibutuhkan suatu kebijaksanaan tertentu agar kita bisa
mengurangi atau meminimalkan resiko seperti itu. Kierkegaard sebetulnya
M
tidak mengajarkan kebijaksanaan. Akan tetapi, belajar dari pengalaman
hidupnya yang tragis, dan dari filsafatnya yang cenderung gelap dan tidak
cukup transparan (meski sebetulnya cukup meyakinkan), kita masih bisa
M
menangkap pesan kebijaksanaan itu. Menurut pendapatnya, yang dibutuhkan
dalam hidup ini adalah suatu passion, suatu antusiasme, suatu gairah, suatu
semangat dan keyakinan pribadi, yang ditandai oleh kehendak bebas dan
Y
afeksi (emosi). Dibutuhkan suatu greget tertentu dalam setiap sikap dan
perbuatan kita.329
Dengan kehendak bebasnya pula, menurut Kierkegaard, manusia
pasti melakukan pilihan-pilihan hidup sebagai dialektika-eksistensial dalam
perjalanan hidupnya. Dialektika eksistensial inilah yang dinamakan juga oleh
Kierkegaard sebagai tahap-tahap eksistensi manusia yang menggambarkan
kehidupan manusia yang autentik atau inautentik.

329
Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 132-134.
255
2. Tiga Tahap Eksistensial
Dalam berbagai buku yang ditulisnya dengan nama samaran,
Kierkegaard berpendapat ada tiga macam wilayah eksitensi (spheres of
existence) atau tahapan-tahapan jalan hidup (stages on life’s way), yakni
wilayah estetis (the aesthetic), etis (the ethical), dan religius (the religious).
Penggolongan ini didasarkan pada wilayah eksistensi karena, menurut
Kierkegaard, itulah cara-cara manusia berada di dunia (modes of being-in-the-
world), dalam arti bahwa dalam setiap wilayah eksistensi ada pandangan dan
pengandaian tertentu, yang bagi orang-orang di dalamnya memberikan
kepuasan dan kepenuhan hidup.330
D
Pertama, tahap estetis. Tahap estetis dapat digambarkan sebagai
usaha mendefinisikan dan menghayati kehidupan tanpa merujuk pada yang
baik (good) dan yang jahat (evil). Artinya, ketika orang bertindak tertentu, ia
U
tidak memikirkan apakah tindakan itu baik atau jahat dan kemudian menilai
apakah itu boleh dilakukan.331
Istilah ‘estetis’ berasal dari kata Yunani yang artinya “mengindrai”,
M
“mencecap”. Lalu kalau Keirkegaard menyebut tahap pertama sebagai tahap
estetis, yang dimaksudkan adalah bahwa individu yang berada pada tahap ini
diombang-ambingkan oleh dorongan-dorongan indrawi dan emosi-emosinya.
M
Semboyan hidupnya adalah “kenikmatan segera”, sedangkan hari esok pikir
besok. Oleh karena itu, patokan-patokan moral tidak cocok untuk tahap ini,
sebab akan menghambat pemuasan hasrat individu. 332
Y
Tahap estetis merupakan tingkatan awal manusia mengikuti apa
yang disenanginya secara egoistik. Dia menghindari membuat keputusan-
keputusan dalam hidup, dan karenanya tidak pernah menjadi suatu diri yang
sebenarnya. Dalam pikirannya, jika dia harus menjadi suatu diri berarti dia
harus membuat komitmen-komitmen dalam hidup. Dia menginginkan hidup

330
Tjaya, Kierkegaard, hlm. 87.
331
Ibid., hlm. 88.
332
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hlm. 252.
256
secara terus-menerus dalam keadaan langsung tanpa ikatan-ikatan kewajiban
moral. Satu-satunya pilihan sadarnya pada tahap ini adalah memilih yang
indah dan menyenangkan bagi dirinya sendiri.
Tahap estetik bisa disebut “tidak autentik”, karena manusia belum
sampai pada kesadaran diri. Ia menaruh minat besar terhadap hal-hal yang ada
di luar dirinya yang poros penggeraknya adalah kesenangan material dan
hedonistik (pleasure). Individu memandang dunia luar sebagai kenyataan
yang serba indah dan menjanjikan kesenangan yang memuaskan. Tetapi
kenyataannya, estetisisme gagal memberi kepuasan, karena kesenangan itu
tidak dapat dijamin, sering diimbangi dengan kebosanan-kebosanan,
D
kesedihan-kesedihan, dan akhirnya tak dapat memuaskan jiwanya yang mulai
bangkit dalam dirinya.333
Pada tahap estetis, Kierkegaard mengambil tiga sosok dari
U
kebudayaan Barat yang mewakilinya yaitu, Don Juan, Faust, dan Ahasuerus.
Don Juan hidup sebagai hedonis yang tidak mempunyai komitmen dan
keterlibatan apapun dalam hidupnya. Ia tidak mempunyai passion dalam
M
menyikap dan menindaklanjuti suatu persoalan. Tidak ada cinta, dan tidak ada
ketertarikan untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawinan, selain keinginan
untuk berpetualang dengan wanita. Cinta dan perkawinan adalah hambatan
M
untuk pertualangan dan untuk “kebebasan”, oleh karena itu bisa dianggap
mengurangi kesenangan. 334
Sedangkan Faust adalah tokoh ciptaan Goethe yang bagi
Y
Keirkegaard mewakili kebosanan itu sendiri. Tokoh ini menghadapi aneka
tantangan, dan setiap kali tantangan itu diatasi, dia ragu apakah dia akan
mencapai kebahagiaan. Akhirnya, Ahasuerus, seorang Yahudi pengembara
yang tidak percaya kepada manusia ataupun Allah. Bagi Kierkegaard, dialah

333
Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 103-104.
334
Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 134.
257
personifikasi dari keputusasaan, sebab dia hidup tanpa arah, tanpa harapan,
dan akhirnya juga tanpa kedamaian. 335
Manusia etetis hidup untuk dirinya sendiri, untuk kesenangan dan
kepentingan pribadinya. Manusia estetis pun adalah manusia yang hidup tanpa
jiwa. Ia tidak mempunyai akar dan isi dalam jiwanya. Kemauannya adalah
mengikatkan diri pada kecenderungan masyarakat dan zamannya. Yang
menjadi trend dalam masyarakat menjadi petunjuk hidupnya, dan oleh sebab
itu ia ikuti secara seksama. Namun kesemuanya itu tidak dilandasi oleh
passion apapun, selain keinginan untuk sekedar mengetahui dan mencoba.
Hidupnya tidak mengakar dalam, karena dalam pandangannya, pusat
D
kehidupan ada di dunia luar. Panduan hidup dan moralitasnya ada pada
masyarakat dan kecenderungan zamannya.
Manusia estetis terdapat di mana saja dan kapan saja. Manusia
U
estetis bisa mewujud pada siapa saja, termasuk pada para filsuf dan ilmuwan,
sejauh mereka tidak mempunyai passioan, tidak mempunyai antusiasme,
komitmen, dan keterlibatan tertentu dalam hidupnya. Jiwa estetis mereka
M
tampak dari pretensi mereka untuk menjadi “penonton objektif” kehidupan.
Mereka hanya mengamati dan mendeskripsikan setiap kejadian yang mereka
amati dan alami dalam kehidupan, tanpa berusaha untuk melibatkan diri ke
M
dalamnya. Jadi, mereka sebetulnya tidak sungguh-sungguh hidup, karena
mereka tidak merasa perlu menceburkan diri ke dalam realitas hidup yang
sesungguhnya.
Y
Kalau manusia hidup secara hedonis dan tidak mempunyai passion
atau antusiasme dan keterlibatan, lalu apa yang sebetulnya terjadi dalam jiwa
mereka? Keputusasaan! Manusia estetis tidak mempunyai pegangan yang
pasti dan niscaya, yang bisa dijadikan sebagai akar atau tambatan yang kokoh
dalam menjalankan hidupnya. Manusia estetis tidak tahu lagi apa yang
sebetulnya diinginkannya, karena hidupnya tergantung pada mood dan pada
trend dalam masyarakat dan zamannya. Manusia estetis adalah manusia yang

335
Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 252.
258
pada akhir hidupnya hampir tidak bisa lagi menentukan pilihan karena
semakin banyak alternatif yang ditawarkan masyarakat dan zamannya. 336
Dari uraian di atas, eksistensialisme religius Kierkegaard berakar
pada upaya menjawab pertanyaan filosofis: bagaimana menjadi suatu diri
(how to be a self). Dia ingin menjawab persoalan apa yang membuat saya
adalah saya dan kamu adalah kamu. Menjadi diri, menurut Kierkegaard,
ditentukan dari keharusan pembuatan pilihan. Dalam pemikirannya, saya ada
karena saya memilih; kamu ada karena kamu memilih; dan kita ada, karena
kita memilih.337 Jika bagi Descartes cara mengada manusia dapat
diekspresikan dengan slogan: I think, therefore I’am (saya berpikir, maka saya
D
ada). Bagi Kierkegaard eksistensi manusia dapat dirumuskan dalam sebuah
adagium: I chose, therefore, I exist (saya memilih, karena itu saya eksis).
Orang yang sungguh mengada tidak akan lari dari pilihan-pilihan
U
yang harus dibuatnya dan dari keputusan-keputusan yang harus diambilnya.
Entah Anda itu manajer, guru, ibu rumah tangga, atau supir kendaraan umum,
Anda tidak dapat lari dari tugas subyektivitas. Tugas ini ada pada setiap
M
manusia sebagai manusia (qua human being) dan berlangsung dalam ruang
yang tersembunyi, dalam pergulatan batin dan proses pengambilan keputusan.
Hanya dengan memilih dan mengambil keputusan orang akan menjadi
M
manusia yang autentik. 338
Akan tetapi ketika manusia menolak untuk melakukan pilihan, ia
akan kehilangan dirinya; kehilangan eksistensi autentiknya. Menurut Alim
Y
Roswantoro, ada dua cara yang membuat orang kehilangan eksistensi
autentiknya. Pertama, dengan membiarkan orang lain membuat pilihan (by
letting others make choice). Orang kehilangan eksistensi autentiknya ketika
dia membiarkan orang lain menentukan pilihan dan dirinya kemudian
mengikuti pilihan orang lain tersebut. Orang yang sekedar mengikuti begitu

336
Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 134-135.
337
Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 123.
338
Tjaya, Kierkegaard, hlm. 156.
259
saja apa yang orang lain katakan, apa yang orang tuanya katakan, apa yang
tradisinya katakan, apa yang masyarakatnya katakan, dan seterusnya adalah
orang yang telah kehilangan diri. Dalam hal beragama, orang seperti ini tidak
memiliki pilihannya sendiri, dia hanya mengikuti keumuman orang lain atau
masyarakatnya beragama.339
Kedua, dengan membuat pilihan-pilihan yang salah (by making
wrong choices). Ketika orang membuat kesalahan pilihan, yaitu membuat
pilihan yang salah atau buruk, maka dia kehilangan dirinya. Ketika orang
memilih perbuatan bohong, maka dia telah melakukan hal yang sebenarnya
tidak dia inginkan, karena kebohongan adalah keburukan atau kesalahan yang
D
tidak bisa diterima hanya oleh orang tertentu atau kultur tertentu, melainkan
oleh semua orang atau semua kultur. Dengan memilih bohong, berarti orang
telah membuat pilihan yang salah, dan ini juga menandakan kehilangan suatu
U
diri. Memilih selalu memilih yang baik, karena memang tidak ada orang yang
memilih yang buruk.340
Keputusasaan menjadi tahap akhir pergulatan eksistensi manusia
M
estetis. Namun menurut Kierkegaard, kalau dengan bebas dipilih oleh manusa
estetis, rasa putus asa itu akan membawanya ke sebuah pembebasan. Dengan
kata lain, dia akan menghadapi tawaran untuk hidup menurut cara eksistensi
M
yang baru, yaitu tahap etis. Untuk mencapai tahap ini, individu itu harus
membuat pilihan bebas, sebuah ‘lompatan eksistensial’. 341
Dalam wilayah eksistensi kedua, yakni tahap etis, orang mulai
Y
memperhitungkan dan menggunakan kategori yang baik (good) dan yang
jahat (evil) dalam bertindak. Hidupnya secara hakiki tidak lagi ditandai oleh
sifat langsung (immediacy) tindakan-tindakannya, melainkan sudah membuat
pilihan-pilihan konkret berdasarkan pertimbangan rasio. Suara hati, dan
refleksi tentu saja, mulai memainkan peranan penting dalam tahap ini. Dengan

339
Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 124.
340
Ibid, hlm. 124.
341
Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 252-253.
260
meninggalkan tahap estetis menuju tahap etis orang mencapai tingkat
integrasi apabila memenuhi kewajiban dan peranan sosialnya, serta menerima
tanggung jawab dan memberinya kesempatan memperlihatkan siapa dirinya
kepada dunia. Perlu dicatat di sini bahwa pilihan antara hidup estetis dan
hidup etis bukanlah pilihan antara yang buruk/jahat (bad/evel) dan yang baik
(good). Orang tidak memasuki wilayah etis karena memilih yang baik
(misalnya, karena menganggap wilayah estetis itu buruk atau jahat),
melainkan karena telah memilih hendak menjadikan yang baik dan yang jahat
sebagai kategori utama yang mendefinisikan eksistensinya.342
Ketika seseorang memilih hidup dalam tahap etis, berarti ia juga
D
mengubah pola hidup yang semula estetis menjadi etis. Ada semacam
“pertobatan” di sini, dimana individu mulai menerima kebajikan-kebajikan
moral dan memilih untuk mengikatkan diri kepadanya. Prinsip kesenangan
U
(hedonisme) dibuang jauh-jauh dan sekarang ia menerima dan menghayati
nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Sudah mulai ada passion
dalam menjalani kehidupan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang
M
dipilihnya secara bebas. Dalam kaitannya dengan perkawinan, manusia etis
sudah bisa menerimanya. Perkawinan merupakan langkah awal perpindahan
dari eksistensi estetis ke eksistensi etis. Prinsip kesenangan dan naluri seksual
M
tidak diproyeksikan langsung dalam petualangannya dengan wanita,
melainkan disublimasikan untuk tugas-tugas kemanusiaan. Hidup manusia
etis tidak untuk kepentingannya sendiri, melainkan demi nilai-nilai
Y
kemanusiaan yang jauh lebih tinggi.
Selain itu, jiwa individu etis sudah mulai terbentuk, sehingga
hidupnya tidak lagi tergantung pada masyarakat dan zamannya. Akar-akar
kepribadiannya cukup kuat dan tangguh. Akar kehidupannya ada di dalam
dirinya sendiri, dan pedoman hidupnya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang
lebih tinggi. Maka, dengan berani dan percaya diri, ia akan mampu
mengatakan “tidak” pada setiap trend yang tumbuh berkembang dalam

342
Tjaya, Kierkegaard, hlm. 89-90.
261
masyarakat dan zamannya, sejauh trend itu tidak sesuai dengan “suara hati”
dan kepribadiannya. Manusia etis pun akan sanggup menolak tirani atau kuasa
dari luar, baik yang bersifat represif maupun nonrepresif, sejauh tirani atau
kuasa itu tidak sejalan dengan apa yang diyakininya.
Setiap kuasa yang menginkari nilai-nilai kemanusiaan akan
ditentangnya dengan keras. Oleh sebab itu, sosok yang dipilih Kierkegaard
sebagai model dari hidup etis adalah Socrates. Socrates adalah manusia yang
sudi mengorbankan dirinya dengan minum racun, untuk mempertahankan
keyakinannya mengenai nilai kemanusiaan yang sangat luhur. Ia adalah sosok
yang sadar akan peran dan otonomi individu, subjek atau “aku” dalam
D
menerima kebenaran. Berdasarkan keyakinan pribadinya, ia menolak setiap
kuasa atau sistem kekuasaan yang dinilainya bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat universal.
U
Namun sosok Socrates belum sampai pada tahapan eksistensi yang
sesungguhnya. Realitas tempat ia menceburkan dirinya baru realitas mundane,
realitas fana. Jadi, ia baru akan “merasa bersalah” seandainya, karena
M
keterbatasannya, ia tidak (berhasil) memenuhi panggilan kemanusiaannya. Ia
belum sampai pada tahap yang lebih tinggi, yakni tahap religius, di mana
manusia mulai dihadapkan dengan Tuhan, dan kegagalan diterima sebagai
M
‘dosa’.343
Ketiga, tahap relgius. Dalam wilayah eksistensi ketiga, yakni tahap
religius, orang menyadari bahwa pertimbangan baik dan jahat sudah tidak
Y
memadai lagi untuk hidupnya. Yang bernilai adalah relasi dengan Yang Ilahi.
Ia menyadari bahwa tujuan hidupnya mestinya bukanlah miliknya, yakni
tujuan temporal yang dirancang untuk memuaskan dirinya. Dalam relasi
dengan Yang Ilahi, kepuasan diri dalam mencapai sesuatu, termasuk hidup
bermoral dan bahkan pencapaian kebahagiaan abadi, tidak mendapat tempat.
Dalam tahap religius ini orang tidak memberi sedekah, misalnya, supaya
mendapat pahala dan masuk surga karena tindakan seperti ini didorong oleh

343
Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 135-136.
262
keingingan pribadi tertentu dan terbatas. Dalam pemberian diri dan komitmen
kepada Yang Ilahi orang harus terus-menerus menyingkirkan dan
membersihkan segala bentuk perhatian pada diri sendiri (self regard) dari
motivasinya bertindak, termasuk keinginan memperoleh kebahagiaan abadi
bersama Yang Ilahi
Pada tahap religius, titik sentral perbincangan Kierkegaard adalah
relasi autentik seorang manusia dengan tuhannya; sebuah relasi eksistensial
yang bersifat nir pamrih antara seorang hamba dengan Sang Pencipta.
Keautentikan hidup manusia sebagai subjek atau “aku” baru akan tercapai
kalau individu, dengan “mata tertutup”, lompat dan meleburkan diri dalam
D
realitas Tuhan. Lompatan dari tahap etis ke tahap religius jauh lebih sulit dan
sublim daripada lompatan dari tahap estetis ke tahap etis. Karena, seandainya
kita hendak melompat dari tahap estetis ke tahap etis, maka secara rasional
U
kita bisa mempertimbangkan segala konsekuensi yang mungkin akan kita
hadapi, sedangkan lompatan dari tahap etis ke tahap religius nyaris tanpa
pertimbangan-pertimbangan rasional. Tidak dibutuhkan alasan atau
M
pertimbangan rasional dan ilmiah di sini. Yang diperlukan hanyalah
keyakinan subjektif yang berdasarkan pada iman.
Perbedaan lainnya terletak pada objektivitas dan subjektivitas nilai.
M
Nilai-nilai kemanusiaan pada tahap etis masih bersifat objektif (universal),
sehingga ada rujukan yang bisa diterima, baik secara rasional maupun secara
common sense. Sebaliknya, nilai-nilai religius bersifat murni subjektif,
Y
sehingga seringkali sulit diterima akal sehat. Tidak mengherankan kalau sikap
dan perilaku manusia religius sering dicap “tidak masuk akal”, nyentrik, atau
bahkan “gila”.
Hidup dalam Tuhan adalah hidup dalam subjektivitas transenden,
tanpa rasionalisasi dan tanpa ikatan pada sesuatu yang bersifat duniawi atau
mundane. Individu yang hendak memilih jalan religius tidak bisa lain kecuali
berani menerima subjektivitas transendennya itu—subjektivitas yang hanya
mengikuti jalan Tuhan dan tidak lagi terikat baik pada nilai-nilai kemanusiaan

263
yang bersifat universal (eksistensi etis) maupun pada tuntutan pribadi dan
masyarakat atau zaman (tahap estetis). 344
Di sini dengan melakukan lompatan iman (leap of faith), manusia
memasuki wilayah transendensi Ilahi. Manusia seolah-olah kehilangan
eksistensinya dengan menenggelamkan dirinya dalam subjektivitas transenden
Ilahi. Namun bagi Kierkegaard, dalam lompatan iman itulah manusia justru
benar-benar menemukan jati dirinya yang autentik, jadi diri yang terbatas
sekaligus tak terbatas. ‘If a man risks all and leaps, he finds him self; he
chooses his true self, which is both finite and infinite’,345 ‘Jika seorang
manusia mengambil risiko atas seluruh hidupnya dan melakukan lompatan
D
keimanan, niscaya dia akan menemukan dirinya sendiri; Saat itulah dia telah
memilih dirinya yang hakiki, dirinya yang terbatas sekaligus tak terbatas’ tulis
Kierkegaard.
U
Akan tetapi menurut Zainal Abidin, terdapat kesulitan atau
hambatan dalam melakukan lompatan keimanan dengan memasuki wilayahn
transenden Ilahi. Kesulitan atau hambatan yang pertama-tama dijumpai oleh
M
individu saat memutuskan untuk lebur dalam Kuasa Tuhan adalah
paradoksalitas yang terdapat di dalam Tuhan sendiri. Tuhan (dan perintah-
perintah-Nya) adalah sesuatu yang paradoks. Persoalan tentang ada atau tidak
M
adanya Tuhan, dan persoalan tentang sifat-sifat baik Tuhan misalnya, (“kalau
Tuhan itu ada atau Mahabaik, mengapa harus ada kejahatan atau korban
kejahatan?”) merupakan salah satu contoh saja dari banyak paradoks Tuhan.
Y
Tidak mungkin ada penjelasan rasional untuk menjelaskan paradoks itu,
karena paradoks Tuhan bukan sesuatu yang bisa dipikirkan secara rasional.
Hanya dengan keyakinan subjektif yang berdasarkan pada iman saja individu
bisa menerima paradoks itu.346

344
Ibid., hlm. 136-137.
345
Copleston, A History of Philosophy, hlm. 153.
346
Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 137.
264
Pada titik inilah, dalam analisis Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard
mendefinisikan kebenaran (religius/Ilahi) sama dengan iman yakni sebagai
ketidakpastian objektif yang dipeluk erat-erat dalam proses apropriasi oleh
batin yang paling berhasrat, atau kontradiksi antara hasrat tak terbatas batin
sang individu dan ketidakpastian objektif (the contradiction between the
infinite passion of inwardness and the objective uncertainty). Maksudnya
demikian. Secara obyektif, manusia selalu mengalami ketidakpastian karena
tidak dapat sepenuhnya mengetahui pengetahuan obyektif, dan hanya bisa
mendekatinya. Namun ketidakpastian itu justru membuat manusia
mengintensifkan hasrat batinnya yang tak terbatas (suatu kontradiksi). Ia
D
berani memeluk ketidakpastian obyektif dengan hasrat yang tak terbatas.
Bagi Kierkegaard, itulah iman. Manusia beriman tidak memeluk
kebenaran sesuai dengan apa yang diketahuinya, melainkan melampauinya.
U
Meskipun tidak memiliki pengetahuan obyektif atau tidak mengenal Allah
seutuhnya, ia toh berani menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Kalau
manusia mendaku dapat mengenal Allah secara obyektif, pendakuan seperti
M
ini justru harus dipertanyakan karena bagaimanapun juga Yang Tak Terbatas
tidak dapat dikenali sepenuhnya oleh yang terbatas. Sebaliknya, justru karena
manusia tidak dapat melakukannya, iman sungguh diperlukan: “If I am
M
capable of grasping God objectively, I do not believe, but precisely because I
cannot do I must believe”.
Yang ditentang di sini bukanlah akal-budi itu sendiri, melainkan
Y
cara bertindak akal-budi yang telah melupakan batas-batasnya sebagai
manusia dan terlanjur mengilahikan dirinya (self-deification). Dengan kata
lain, dengan lompatan imannya manusia justru menjadikan agama sungguh-
sungguh agama. Artinya, dengan mengakui statusnya sebagai yang tergantung
pada Yang Ilahi atau Yang Mutlak, manusia sungguh-sungguh menghidupi
agamanya sebagai pengakuan terhadap realitas tak terbatas yang berada di
luar jangkauannya. Agama justru kehilangan identitasnya ketika para
pemeluknya mendaku tahu segala-galanya. Agama sejati selalu mengakui

265
keterbatasan manusia di hadapan Allah dan bahkan menganggap pengetahuan
manusia sebagai sesuatu yang relatif di hadapan yang Maha Tahu. 347 Sehingga
he ‘who makes the leap of faith, ‘recovers’ himself, his true self348, ‘Dia yang
telah melakukan lompatan keimanan, niscaya menemukan dirinya kembali,
menemukan eksistensi dirinya yang sejati, demikian deklarasi Kierkegaard.
Pada tahapan eksistensial religius ini, Kierkegaard menampilkan
figur Ibrahim. Sosok Ibrahim, yang oleh Kierkegaard ditempatkan sebagai
manusia religius ideal, dapat membantu kita memahami apa yang
dimaksudkan oleh Kierkegaard dengan keyakinan subjektif yang berdasarkan
iman itu. Ibrahim bersedia mengorbankan anaknya, atas dasar keyakinan
D
pribadinya, bahwa Tuhanlah yang memerintahkan untuk mengorbankan
anaknya itu. Meskipun masyarakat dan moralitas kemanusiaanya menilai
perbuatan itu “salah” dan tidak manusiawi, tetapi ia yakin bahwa justru ia
U
akan “berdosa” kalau tidak mengikuti perintah Tuhan itu. Apa yang mundane
harus dikorbankan untuk sesuatu yang lebih tinggi, sesuatu yang transenden,
yakni perintah Tuhan.
M
Tantangan berikutnya yang dirasakan individu saat akan memilih
hidup di jalan Tuhan adalah kecemasan yang mencekam dan menggetarkan
(Angst). Berbeda dengan ketakutan, kecemasan bersifat metafisik. Kecemasan
M
terarah pada sesuatu yang tidak nyata, tidak pasti, tidak berketentuan, tidak
berujung-pangkal. Memutuskan untuk masuk dalam paradoks Tuhan ibarat
memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah hutan perawan raya, yang tidak
Y
bertuan dan tidak pernah terjamah tangan manusia. Oleh karena itu, sebelum
memutuskan untuk memasukinya, akan timbul rasa was-was, rasa cemas yang
mencekam: jangan-jangan masuk ke dalam wilayah itu hanya merupakan
keputusan yang sia-sia, atau hanya akan mendatangkan marabahaya. Hanya
dengan keyakinan pribadi yang kuat dan teguh saja, yang sering tidak
rasional, kita baru berani memasukinya. Demikian pula, hanya dengan

347
Tjaya, Kierkegaard, hlm. 126-128.
348
Copleston, A History of Philosophy, hlm. 153.
266
keyakinan pribadi yang berlandaskan iman, kita berani menceburkan diri
dalam Tuhan, dengan rasa aman dan bahagia. Hidup manusia akan berakhir
dalam kebahagiaan abadi, kalau ia sudah berada dalam tahap eksistensi yang
religius.349
Tiga tahap eksistensi manusia Kierkegaard di atas bisa dipahami
secara lebih sederhana, yang menggambarkan suatu proses penemuan diri
yang sesungguhnya. Tahap pertama adalah ketiadaan diri (no self). Dirinya
hilang dalam dunia (lost in-the world). Kehilangan diri karena orang hanya
tertarik dan peduli hanya pada apa yang orang lain pikirkan. Eksistensi dirinya
hanyalah apa yang orang-orang lain pikirkan dan putuskan. Tahap kedua
D
adalah tahap diri dalam pemberontakan (self in rebellion). Pada tahap ini,
orang mengatakan “saya tidak ingin seperti yang teman-temanku katakan, aku
tidak ingin menjadi seperti yang umumnya masyarakat saya inginkan, aku
U
tidak ingin berpendirian yang sama dengan apa yang sekelompok keyakinan
agama saya pegangi, dan seterusnya”.
Pada tahap ini, orang dalam tahap mengatakan tidak pada apapun
M
yang di luar saya katakan dan kehendaki. Orang ingin melakukan hal yang
berbeda dengan orang lain. Tahap ketiga adalah tahap suatu diri didasarkan
pada sesuatu yang lebih besar (self according to something greater). Pada
M
tahap ini, orang menghajatkan suatu standar ukuran yang lebih tinggi yang
padanya dirinya mengukur dirinya dengan standar yang paling tinggi, dan
menurutnya, standar dengan level paling tinggi adalah Tuhan yang dipahami
Y
sebagai Yang Tak Terbatas (the Infinite). Jika saya membiarkan Tuhan
menjadi pemandu saya, maka saya akan menjadi suatu diri atau a person.
Hanya Tuhan yang bisa memberi saya ukuran mutlak tentang apa yang benar
untuk saya pilih dan lakukan. Saya tidak didefinisikan atau ditentukan oleh
teman-teman saya, oleh orang tua saya, oleh kultur saya, oleh kelompok saya,

349
Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 137-138.
267
oleh partai saya, melainkan didefinisikan dan ditentukan oleh yang benar dan
yang baik dalam arti yang sesungguhnya, yaitu Tuhan. 350
E. Biografi Jean Paul Sartre
Filsuf, novelis, dan cendekia
Prancis yang dominan pada masanya.
Sartre lahir di Paris dan dididik di Ecole
Normale Superiure. Pada 1933, ia
belajar di Jerman dibawah bimbingan
Husserl dan Heidegger. Novel
pertamanya, La Nausee (1938: Nausea,
D
1949), disusul karyanya tentang
psikologi, tentang fenomena, L’Imaginaire (1940: The Pscychology of
Imagination, 1948). Setelah ditangkap sebentar oleh Nazi Jerman, Sartre pun
U
menghabiskan tahun-tahun perangnya di Paris, menghasilkan L’Etre et le
neant (1943: Being and Nothingness, 1956), karya filosofisnya yang utama.
Kuliahnya, L’Existentialisme est un humanisme (1946:
M
Existentialism is a Humanism, 1947) mengonsolidasikan posisi Sartre sebagai
filsuf eksitensialis terdepan di Prancis. Sartre sangat berminat pada politik,
menjadikannya simbol bagi semua yang ketat dan kompleks dari pemikiran
M
sayap-kiri Prancis masa itu. Meski dia seorang Marxis, namun hubungan
dengan partai komunis sengaja dibatasinya. Bersama-sama Beauvoir dan
Merleau-Ponty, Sartre mendirikan jurnal Les Temps Modernes yang di
Y
dalamnya isu politik dan ideologis kental mewarnai, mendorongnya pada
1951 untuk membuat partai politik sendiri.
Filsafat Sartre sepenuhnya menyoroti hakikat kehiidupan manusia
dan struktur kesadarannya. Akibatnya, filsafat ini bisa diekspresikan lewat
novel dan risalah akademis yang lebih ortodoks sifatnya. Moyang
langsungnya adalah tradisi fenomenalogis gurunya, dan Sartre dapat dilihat
sebagai penyangkal aktif tuduhan idealisme yang ditaruh di pintu

350
Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 125.
268
fenomenologi. Agen bukanlah penonton dunia, namun seperti segala hal yang
lain di dunia, dibentuk oleh tindakan-tindakan yang penuh intensionalitas dan
kesadaran. Diri yang dibentuk kalau begitu disituasikan secara historis, dan
sebagai agen yang melokasikan modenya sendiri di dunia, ini menghasilkan
tanggung jawab dan emosi. Namun demikian, tanggung jawab itu sendiri
adalah sebuah beban yang sering kali tidak bisa kita tanggung, dan iman
buruk pun muncul saat kita menyangkal kepengarangan kita sendiri atas
tindakan kita tersebut, melihat lebih sebagai respons yang dipaksakan
terhadap situasi tertentu yang bukan buatan kita.
Sartre kalau begitu menempatkan hakikat esensial eksistensi
D
manusia dalam kapasitas akan pilihan, meskipun pilihan itu, yang tidak bisa
disamakan dengan determinisme dan eksistensi hukum moral Kantian,
mengimplikasikan sebuah sintesis antara kesadaran (mengada-untuk-dirinya-
U
sendiri) dan objektivitas (mengada-dalam-dirinya-sendiri) yang selamanya
tidak stabil. Ketidakstabilan dan terus terpecah-belahnya hakikat dari
kehendak bebas ini akan membangkitkan kecemasan. Karya-karya ontologis
M
Sartre, seperti L’Etree et le neant, berusaha menganalisis implikasi dari
pandangannya tetang hakikat kesadaran dan penilaian. 351
F. Eksistensialisme Jean Paul Sartre
M
Wacana eksistensialisme ateistik yang digulirkan oleh Sartre
meliputi subjek kajian yang sangat luas. Di sini, kita hanya akan
memfokuskan kajian kita terhadap gagasan pokok Satre yakni mengenai dua
Y
cara bereksistensi serta wacana kekebasan dan tanggung jawab.
1. Dua Cara Bereksistensi
Dalam perspektif Sartre, ada dua cara bereksistensi atau cara berada
yaitu être en-soi yakni berada-pada-dirinya-sendiri, dan être-pour-soi yakni
berada-bagi-dirinya-sendiri. Yang pertama, adalah realitas objek-objek,
benda-benda yang kita hadapi yang, sejauh berhubungan dengan kita sebagai

351
Simon Blackburn, Kamus Filsafat, terj. Yudi Santoso
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 777-778.
269
manusia, merupakan realitas mati, tertutup, tanpa kesadaran, tanpa makna.
Sedangkan yang kedua, berada-bagi-dirinya-sendiri, adalah kesadaran
manusia, subjek sebagai pengada yang mengada “bagi dirinya sendiri, yang
menyadari diri sendiri”. Yang khas bagi pengalaman kesadaran manusia, atau
berada-bagi-dirinya-sendiri adalah bahwa dia menyadari diri sebagai yang lain
daripada objek-objeknya, yakni lain daripada berada-pada-dirinya-sendiri. 352
Mari kita telisik lebih dalam dua cara berada yang menentukan
eksistensi seorang manusia. Pertama, être en soi yaitu ada yang tidak
berkesadaran, being in itself atau non-conscious being. Ketika kita menyebut
kursi, meja, kayu, batu, dan benda-benda material lainnya, semuanya
D
merupakan ada yang tidak berkesadaran. Seluruh benda-benda tersebut telah
ditentukan esensinya dan beradanya, dan itulah “in-itself”, ada dalam dirinya
sendiri. In-itself adalah ada diri yang konsisten, sebagaimana Sartre
U
menyebutnya: “The self-consistency of being is beyond the active as it is
beyond the passive”. Begitu sempurna dan padatnya sehingga ketiadaan
(nothingness) tidak bisa masuk ke dalamnya. Sehingga adanya memang tanpa
M
dasar atau alasan apapun.
“In-itself” adalah suatu imanensi yang tidak dapat merealisasikan
dirinya sendiri, dia tidak pernah dipisahkan dengan dirinya sendiri baik dalam
M
refleksi maupun temporalitas, oleh karena itu disebut dengan “ada dalam
dirinya sendiri” (in-itself). Di samping ada dalam dirinya sendiri, dia adalah
gelap bagi dirinya sendiri dan penuh dengan dirinya sendiri. Secara sederhana,
Y
“in-itself” adalah ada atau masih, artinya tidak ada hubungan keluar;
bagaimana dia akan mengadakan hubungan keluar sedangkan dia tidak
berkesadaran; dia bukanlah afirmatif maupun negatif. “In-itself” bukanlah
suatu kemungkinan atau keharusan. Karena itu Sartre bertakata: “We can say
of it that it is contingent, merely accidental, just there”.

352
Franz Maginis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20
(Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 74-75.
270
Sartre, dalam menerangkan “in-itself” menunjukkan bahwa dia tidak
menanyakan mengapa “Ada” yang tidak sadar itu ada? Kecuali hanya adanya
secara kontingent (serta merta), kebetulan, dan hanya ada. Sartre, memberikan
rumusan khusus terhadap arti “is” dengan tanda petik di antara keduanya. Jadi
“is” adalah ”… being is what it is”. Yang berarti bahwa prinsip identitas yang
ada padanya sebagai yang tidak berkesadaran, bahwa dia adalah “dia”. Ini
berlainan dengan “for-itself” sebagai “Ada” yang berkesadaran, yaitu “is not”
atau “what it is not”.
Kalau dikatakan bahwa “in-itself” adalah “is”, yang berarti dia
adalah dia, apapun yang terjadi dia tidak akan menjadi bukan dia. Sebuah batu
adalah batu, itu esensinya telah ada, tidak bisa merubah apapun juga. “In-
D

itself” tidak pernah dan tidak akan bisa menempatkan dirinya sendiri sebagai
“other-than-an-other-being”. Dia tidak pernah terpengaruh dengan masalah
U
keberadaannya, dia tidak terbatas dan dirinya telah mapan di dalam adanya.
Ini berarti dia bukanlah subyek yang temporal.
Bila dikatakan bahwa “in-itself” adalah kontingensi, yaitu ada dalam
M
dirinya sendiri, maka dia tidak dapat diasalkan dari lainnya kecuali ada itu
sendiri. Dia bukanlah mungkin atau tidak mungkin, karena yang mungkin
adalah “for-itself” yang merupakan struktur yang mempunyai pilihan-pilihan
M
berdasarkan kebebasannya. Dia adalah “…. uncreated, wuthout reason for
being, without any connection with another being, being in-itself is de-trip for
eternity”. Yaitu, tanpa mencipta, tanpa alasan bagi adanya, tanpa hubungan
Y
dengan lainnya, ada di dalam dirinya adalah padat keseluruhannya.353
Being in self itu sama sekali identik dengan dirinya. Ia tidak aktif,
tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif: kategori-kategori semacam itu hanya
mempunyai arti dalam kaitan dengan manusia. Etre-en-soi tidak mempunyai
masa silam, masa depan; tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan.

353
Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 122-124.
271
Etre-en-soi itu sama sekali kontingen. Artinya: ada begitu saja, tanpa
fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat diturunkan dari sesuatu yang lain. 354
Dari urainan tersebut, dapat dilihat bahwa apa yang dimaksud
dengan “in-itself” adalah “ada itu sendiri”; benda-benda, peristiwa-peristiwa,
dan kenyataan di sekeliling “for-itself” yang dikonfrontir dengannya. Dan
dapat dilihat juga dalam pandangan Sartre, bahwa “in-itself” dipandang
sebagai hal yang ada sebagai kontingensi, yang berhubungan erat dengan
sikap atheis Sartre. Dia tidak meyakini bahwa benda-benda itu ada karena ada
yang mengadakan (Tuhan). Sartre tidak akan sejauh itu. Dia tidak dapat
mempercayai Tuhan sebagai pencipta dalam arti dari tiada menjadi ada,
bahkan dia beralasan: jika “in-itself” telah diciptakan maka adanya “in-itself”
D

tidak dapat diterangkan, karena mengatasi penciptaan. 355


Dengan demikian, being in itself merupakan ada yang sudah
U
memiliki kodrat atau esensi sesuai dengan keberadaannya, sesuai dengan
eksistensinya dan akan tetap sesuai dengan esensinya. Sebuah batu yang
memiliki esensi keras, maka akan tetap keras selamanya dan tidak berubah.
M
Esensi air yang membasahi dan esensi api yang membakar, maka keduanya
akan senantiasa membasahi dan membakar sesuai dengan esensinya dan tidak
berubah. Jadi cara berada being in itself senantiasa identik dengan esensi
M
dirinya sendiri dan selalu sesuai dengan esensi tersebut selamanya, tidak
mengalami perubahan. Mengenai being in itself, Sartre memang tidak banyak
membahasnya dan ia lebih banyak memfokuskan tentang eksistensi manusia
Y
sebaagai being for it self.
Kedua, être-pour-soi, yaitu ada yang berkesadaran, being for itself.
Dalam ontologi Sartre, being for itself bukan hanya ada pada atau berada
dalam dunia ini, akan tetapi sadar akan eksistensinya di dunia ini, conscious-

354
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 101-102.
355
Muzairi, Eksistensialisme, hlm. 124.
272
being-in-the-world.356 Yang dimaksud dengan cara berada yang sadar akan
eksistensinya di dunia adalah cara berada manusia. Eksistensi manusia
sebagai being for itself yang aktif berbeda dengan being in itself yang bersifat
pasif dan konstan. Manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya; ia
bertanggung jawab atas fakta bahwa dirinya eksis sebagai manusia yang
selalu bertindak. Ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia seorang pegawai,
seorang pedagang, seorang guru, seorang petani, atau bahkan seorang pencuri.
Jika being in itself sebagai benda yang tidak pernah menyadari akan
keberadaanya, maka manusianya Sartre, sebagai being for itself menyadari
akan eksistensinya.357 Sekaligus keberadaan benda-benda yang berada di
D
sekitarnya.
Di sini, eksistensi seorang manusia yang berkesadaran dengan
kesadarannya ia mampu menguasai, atau mengendalikan keberadaan benda-
U
benda tersebut. Karena being for it self selalu mengatasi being in it self, maka
sebagai kesadaran, manusia dapat mengatur dan memilih serta memberikan
makna alam kepadatan, serta memberikan bentuk tertentu sebagai dunia yang
M
cocok bagi dirinya. For itself sebagai manusia adalah seribu satu
kemungkinan walaupun dia sendiri tidak pernah identik dengan kemungkinan-
kemungkinan itu. Dia selalu mendahului dirinya, karena dia sadar, dan sadar
M
itu tidak pernah identik dengan dirinya. Kesadaran bukanlah suatu ragam
pengetahuan khusus yang mungkin dinamakan dengan suatu pengertian batin
atau pengetahuan diri; ia adalah suatu dimensi yang mengatasi phenomena
Y
ada dalam subyek; to be conscious of something is to be confornted with a
concrete and full presence which is not consciousness.
Oleh karena itu, kesadaran tidak akan muncul tanpa sesuatu, dan
inilah yang dikatakan bahwa for itself atau manusia yang sadar selalu
menyadari yang disadari itu sebagai yang bukan dirinya. Dan kesadaran selalu

356
Ibid., hlm. 122.
357
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2
(Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 159.
273
terbuka, for itself selalu merencanakan terhadap kemungkinan-kemungkinan
yang akan datang, karena harus mengatasi, “Ada”nya dan inilah yang
menyebabkan for-itself temporal. Yang maksudnya, selama for-itself
mengkonstitusikan diri sendiri dan memisahkan dari diri sendiri, dihadirkan
dalam kesejarahkan. Dia mempunyai masa lalu sebagai faktisitas, dia
mempunyai kekinian dan merencanakan masa depan yang terbuka. Oleh
karena itu, dikatakan bahwa rencana yang dibawa oleh for-itself membawanya
kepada temporalitas.358
Berhubungan dengan manusia sebagai pengada yang berkesadaran,
Sartre membedakan dua macam kesadaran yakni kesadaran pra-reflektif dan
D
kesadaran reflektif. Kesadaran pra-refleketif adalah kesadaran yang langsung
terarah pada objek perhatian kita (baik objek dalam kehidupan sehari-hari kita
maupun objek dalam pemikiran atau penelitian kita), tanpa kita sendiri
U
berusaha untuk merefleksikannya. Misalnya, ketika kita membaca sebuah
buku, kesadaran saya tidak terarah pada perbuatan saya yang sedang
membaca, melainkan pada bahan (isi buku) yang sedang saya baca. 359 Atau
M
ketika saya menghitung uang, kesadaran saya tidak tertuju pada tindakan saya
yang sedang menghitung, melainkan hanya terfokus pada jumlah uang yang
sedang saya hitung.
M
Oleh sebab itu, Sartre menyebut kesadaran pra-reflektif itu sebagai
“kesadaran yang tidak-disadari” (on-conscious consiousness). Adapun
kesadaran reflektif adalah kesadaran yang membuat kesadaran pra-reflektif
Y
menjadi tematik, atau dengan perkataan lain: kesadaran yang membuat
kesadaran yang tidak-disadari menjadi “kesadaran yang disadari”. Dalam
refleksi (kesadaran reflektif) kesadaran saya tidak lagi terarah pada buku yang
tadi saya baca, melainkan pada perbuatan saya ketika tadi saya membaca buku
(kesadaran yang tidak-disadari).360 Dan dalam refleksi terhadap kegiatan

358
Muzairi, Eksistensialisme, hlm. 113-114.
359
Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 184.
360
Ibid.
274
menghitung uang, kesadaran saya tidak lagi terfokus pada uang yang saya
hitung, tetapi pada perbuatan saya yang sedang menghitung uang.
Menurut Sartre, biasanya kesadaran kita bukanlah kesadaran akan
dirinya (conscience de soi), melainkan kesadaran-diri (conscience (de) soi).
Baru jikalau kita secara reflektif menginsafi cara kita mengarahkan diri
kepada obyek (melihat, mendengar, merusak, dll), kesadaran kita diberi
bentuk conscience de soi (kesadaran akan diri). Di dalam kesadaran akan diri
ini selalu ada jarak antara kesadaran (conscience) dan diri (soi). Tetapi jarak
ini sebenarnya terdapat juga pada kesadaran yang prareflektif. Jadi di dalam
kesadaran diri selalu ada jarak. Jarak yang senantiasa ada ini oleh Sartre
D
disebut le neant (ketiadaan). Di dalam kesadaran kita senantiasa ada ketiadaan
(le neant), yang membuat kita dari en-soi (dalam diri-sendiri) menjadi pour-
soi (untuk-diri-sendiri).
U
Sekalipun di dalam kesadaran prareflektif telah ada jarak namun hal
itu belum berarti, bahwa di dalam kesadaran ini telah ada hubungan subjek-
objek dalam arti yang sebenarnya. Baru kesadaran refleksiflah yang dapat
M
mempunyai bentuk hubungan subyek-obyek, dan sering kali memang menjadi
berbentuk subyek-obyek. Jadi di dalam kesadaran diri yang reflektif itu
manusia sadar bahwa ia ada. Manusia menyadari dirinya sebagai ada. Yang
M
menyadari (subyek) tidak sama dengan yang disadari (obyeknya).
Obyek adalah sesuatu di luar subyek. Di satu pihak kesadaran
menghubungkan subyek dengan yang bukan subyek, yaitu obyeknya, akan
Y
tetapi di lain pihak kesadaran memecah-belah. Apa yang semula satu
dijadikan dua. Kata “aku sadar akan aku (diriku)” berarti “aku” yang pertama
adalah subyek, sedang “aku” yang kedua (diriku) adalah obyek, sehingga
“aku” yang pertama lain dengan “aku” yang kedua, seperti halnya dengan
subyek lain daripada obyek. Kesadaran menjadikan retak apa yang semula
utuh, menjadikan dua apa yang semula satu, menjadikan tidak padat lagi apa

275
yang semula padat, menjadikan tidak sendirian lagi apa yang semula
sendirian.361
Dalam perspektif Herbert Spiegelberg, pemahaman kita tentang
kedua jenis kesadaran eksistensial manusia ini sangat penting untuk
memahami fenemenologi Sartre. Titik tolak fenemenologi Sartre, dan
sekaligus tema utama penyelidikan Sartre, tidak lain dan tidak bukan adalah
kesadaran. Adapun kesadaran yang menjadi titik tolak dan tema
fenomenologinya itu, pada prinsipnya adalah kesadaran pra-reflektif. Hidup
keseharian kita, eksistensi kita sehari-hari, adalah hidup dan eksistensi melalui
kesadaran pra-reflektif.
D
Dalam kesadaran pra-reflektif, ego (subjek) bukanlah ego yang
mengarahkan kesadarannya pada perbuatan-perbuatannya sendiri, melainkan
pada sesuatu (objek) yang sedang diperbuatnya. Bersamaan dengan itu,
U
kesadaran pra-reflektif pun menopang kesadaran reflektif. Kesadaran reflektif
tercapai berkat keterarahan kesadaran kita pada perbuatan-perbuatan kita
sendiri, dalam hubungannya dengan objek (jadi, pada kesadaran pra-reflektif
M
kita).
Kalau begitu, apakah tugas fenomenologi dalam hubungannya
dengan kesadaran pra-reflektif? Tugas fenomenologi adalah merefleksikan
M
kesadaran pra-reflektif, atau: membuat tematik kesadaran “yang tidak-
disadari”. Di dalam, (atau, dengan) fenomenologi, kesadaran pra-reflektif kita
akan objek, kita refleksikan atau kita buat menjadi tematik, sehingga kita
Y
menjadi paham apa makna sesungguhnya dari perbuatan-perbuatan kita itu
dan bagaimana obejek-objek dari perbuatan kita itu kita maknakan. 362
Jadi cara berada atau esksistensi seorang manusia berpusat pada
kesadarannya. Dengan kesadarannya, seorang manusia bukan hanya mampu
mencandra semesta objek-objek yang dihadapinya, tapi juga ia mampu
mencandra kegiatannya dalam mencandra semesta objek-objek dalam

361
Hadiwijono, Sari Sejarah, hlm. 160.
362
Abdin, Filsafat Manusia, hlm. 184-185.
276
kehidupannya. Itulah keunikan eksistensi seorang manusia sebagai being for it
self sebagai être-pour-soi.

2. Kebebasan dan Tanggung Jawab


Dalam tilikan Sartre, manusia adalah kebebasan. Mengenai
kebebasan yang menjadi tema sentral filsafat Sartre dan menjadikan
kebebasan yang otonom bagi manusia, ia mendeklarasikan sebuah ungkapan
yang terkenal: man is free, or rather man is freedom: manusia adalah
kebebasan, bahkan manusia adalah kebebasan itu sendiri. 363 Statemen ini
ekstrem sekali. Tidak cukup, kalau dikatakan bahwa kebebasan merupakan
salah satu ciri atau sifat manusia. Tidak cukup pula, kalau dikatakan bahwa
D
kebebasan merupakan ciri khas atau sifat hakiki manusia. Tidak! Harus
dikatakan bahwa manusia adalah kebebasan. Manusia itu tidak lain daripada
kebebasan. Karena alasan itu, Sartre menyimpulkan juga bahwa manusia tidak
U
mempunyai kodrat atau esensi. Seandainya terdapat kodrat atau esensi
manusia, maka manusia itu tidak bebas. Menerima kodrat manusia tidak
mungkin diperdamaikan dengan menganggap kebebasan sebagai inti
M

eksistensi manusia.364
Prinsip kebebasan inipun berhubungan erat dengan dua cara berada
yang telah dilukiskan Sartre sebelumnya yaitu being in itself, apa yang ada
M

begitu saja dan being for itself, kesadaran manusia. Kesadaran tidak pernah
identik dengan dirinya sendiri. Manusia selalu dapat mengatakan “tidak”.
Selalu ia dapat meniadakan apa saja yang mau menentukan dia. Jadi, manusia
Y
sebagai etre-pour-soi adalah bebas sama sekali. Kalau seandainya saya
mempunyai kodrat, itu berarti bahwa saya bersifat begini atau begitu. Kalau
seandainya saya mempunyai kodrat, itu berarti bahwa sudah ditentukanlah apa
saya ini atau siapa saya ini. Nah, hal itu tidak mungkin. Karena saya bebas,
maka tidak pernah dapat dikatakan bahwa saya adalah begini atau begitu.

363
Muzairi, Eksistensialisme, hlm. 133.
364
K. Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Teraju,
2005), hlm. 214.
277
Karena saya bebas, saya selalu sanggup untuk mengatakan “tidak”, untuk
meniadakan apa yang dikatakan atau dipikirkan orang tentang diri saya.
Dengan tingkah laku, dengan apa yang saya perbuat dapat saya ingkari kodrat
yang ditentukan orang tentang saya.
Sartre mengatakan juga bahwa manusia merupakan satu-satunya
makhluk yang tidak mempunyai kodrat tertentu, karena manusia adalah satu-
satunya makhluk yang bebas. Benda-benda alam mempunyai kodrat. Dan
benda-benda alam itu ditentukan pula oleh kodrat. Tidak bisa lain. Sebongkah
batu granit misalnya adalah keras menurut kodratnya, mau tidak mau. Atau
contoh lain: biji mangga karena kodratnya akan tumbuh menjadi pohon
D
mangga (tentu saja, jika syarat-syarat tertentu sudah terpenuhi) dan pohon
mangga itu akan menghasilkan buah-buah mangga, bukan buah durian. Itu
sudah ditentukan oleh kodratnya.
U
Juga benda-benda kultur mempunyai kodrat. Yang dimaksudkan
dengan benda-benda kultur ialah benda-benda buatan manusia atau artefak
rumah, meja, lukisan, buku, dan lain sebagainya. Sebagai salah satu benda
M
kultur marilah kita memandang sepasang sepatu misalnya. Sepatu tentu
mempunyai kodrat. Dan sudah nyata, kodrat itu telah diketahui oleh tukang
yang membuat sepatu tersebut. Sebelum sepatu itu dibuat, kodratnya tidak
M
boleh harus ada dalam pikiran tukang sepatu. Itu berarti pula bahwa lebih
dahulu ia mesti mengetahui untuk apa sepatu akan dipakai. Sepatu prajurit
misalnya mempunyai kodrat lain daripada sepatu penari balet. Pantaslah
Y
kodrat yang berlainan itu diketahui oleh tukang sepatu. Jangan-jangan terjadi
ia membuat sepasang sepatu prajurit untuk seorang prima ballerina!.
Dengan demikian kiranya sudah jelas bahwa benda-benda alam dan
benda-benda kultur mempunyai kodrat tertentu. Tetapi manusia tidak
mungkin memiliki kodrat. Apakah manusia itu? Apakah kodratnya? Apakah
esensinya? Sartre menjawab: itu tergantung dari manusia sendiri. Itu

278
tergantung dari kebebasannya. Kata Sartre: I’homme n’est rien d’autre que ce
qu’il se fait (Manusia adalah sebagaimana ia menjadikan dirinya sendiri). 365
Dengan ungkapan lain, Sartre menegaskan: Man becomes nothing
other than what is actually done: Manusia tidak bisa menjadi apapun selain
menjelma sesuatu yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. 366 “Manusia”,
tulis Sartre dalam Eksistensialisme dan Humanisme, “adalah apa yang ia cita-
citakan, manusia ada sejauh ia merealisasikan dirinya sendiri, dan oleh karena
itu ia adalah keseluruhan tindakan-tindakannya. Manusia bukanlah apa-apa
kecuali apa yang dinyatakan oleh hidupnya”. 367
Dengan kata lain, manusia mempunyai kebebasan penuh untuk
D
merancang masa depan kehidupan sendiri. Dengan demikian, kodrat dan
esensi seorang manusia, bagi Sartre, ditentukan oleh kebebasan manusia itu
sendiri untuk menjadi siapa dirinya. Sebab kalau terdapat kodrat manusiawi,
U
maka kodrat itu akan menentukan manusia dan akibatnya manusia itu tidak
lain daripada buah hasil perkembangan kodrat itu, kira-kira seperti pohon
mangga dihasilkan oleh biji mangga. Kalau begitu, manusia dijadikan dan
M
tidak menjadikan dirinya sendiri. 368
Akan tetapi menurut Sartre, kodrat atau esensi seorang manusia
dapat saja ditentukan oleh penilaian orang lain ketika manusia menjalin relasi
M
sosial dengan orang lain. Karena saya hidup bersama orang lain, maka mereka
akan berusaha untuk membuat saya menjadi obyek dengan kodrat begini atau
begitu. Itulah yang dinamakan Sartre sebagai etre-pour-autrui (Inggris: being-
Y
for-other). Misalnya saja, oleh Pak Guru saya dinilai sebagai seorang murid
yang malas atau sebagai murid yang rajin. Orang bilang, saya seorang yang

365
Ibid., hlm. 214-216.
366
http://www.public.asu.edu/~jmlynch/273/documents/sartre-
existentialism-squashed.pdf,hlm 2. Diakses pada Mei 2017.
367
Jean Paul Sartre, Eksistensialime dan Humanisme, terj.
Yudhi Murtanto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 73.
368
Bertens, Panorama , hlm. 216.
279
lekas tersinggung atau saya seorang pencuri. Dengan demikian saya mendapat
kodrat tertentu. Saya diberi kodrat oleh orang lain.
Akan tetapi saya tidak terikat pada kodrat itu. Selalu saya dapat
melepaskan diri dari “kodrat” yang dibentuk orang tentang saya. Saya dapat
mengatakan: tidak. Saya dapat membuktikan bahwa saya bukan seorang yang
lekas tersinggung, bukan seorang pencuri dan lain sebagainya. Apalagi, saya
dapat membuat orang lain menjadi obyek bagi saya. Saya dapat menyifatkan
kodrat kepadanya. Saya dapat mengatakan umpamanya bahwa Pak Guru tadi
tidak pernah puas, atau bahwa dia seorang yang senantiasa mengeluh, dan lain
sebagainya. Dengan cara itulah dapat saya selamatkan kebebasan saya. Baru
D
jika saya mati—demikian kata Sartre—saya kehilangan kebebasan saya. Sejak
saat itu orang dapat melukiskan biografi tentang saya. Orang dapat
menegaskan bahwa saya begini atau begitu. Dan saya tidak sanggup
U
menghindarinya, sebab kebebasan saya sudah tidak ada lagi.
Je suis condamne a etre libre: saya dihukum untuk hidup bebas.
Saya bebas, mau tidak mau. Terpkasa saya hidup sebagai makhluk bebas.
M
Kebebasan merupakan nasib saya sebagai manusia. Dan Sartre menganggap
kebebasan itu absolut atau mutlak. Kebebasan tidak terbatas pada aspek
tertentu saja. Kebebasan mencakup seluruh eksistensi manusia. Tidak ada
M
batas untuk kebebasan. Atau lebih tepat lagi: kebebasan tidak mempunyai
batas lain daripada dirinya sendiri. Kebebasan sendiri menentukan batas-
batasnya.
Y
Memang benar, harus diakui bahwa saya lahir dalam situasi historis,
geografis, dan sosial yang tidak saya pilih. Misalnya, saya seorang Prancis
yang hidup dalam abad ke-20 dan berasal dari lingkungan borjuis. Akan
tetapi, buat Sartre saya tidak ditentukan oleh situasi itu. Saya dapat menerima
situasi macam itu, tetapi saya juga dapat menyangkalnya dengan mengatakan:
tidak. Menurut Sartre hanya ada dua kemungkinan saja: atau manusia
ditentukan sama sekali sehingga kebebasan tidak ada, atau manusia adalah

280
bebas sehingga ia tidak ditentukan oleh apa pun juga. Selain kedua
kemungkinan ini tidak terdapat kemungkinan yang ketiga. 369
Kebebasan manusia betul-betul absolut. Tidak ada batas-batas bagi
kebebasan, kata Sartre, selain batas-batas yang ditentukan oleh kebebasan
sendiri. Konsepsi tentang kebebasan ini menjadi salah satu alasan bagi
ateisme Sartre. Seandainya Allah ada, kata Sartre, tidak mungkin saya bebas.
Allah itu Mahatahu yang sudah mengetahui segala-galanya sebelum saya
melakukan dan Allah pulalah yang akan menentukan humum moral. Kalau
begitu, tidak ada peluang lagi bagi kreativitas kebebasan. Allah sebagai Ada
Absolut tidak boleh tidak akan memusnahkan kebebasan manusia.370 Karena
D
itu. Salah satu cara untuk merumuskan ateisme Sartre adalah: karena manusia
itu bebas, maka Allah tidak ada.371
Sampai di sini, kita melihat bahwa kebebasan manusia dalam
U
pandangan Sartre, bersifat otonom, bersandar pada diri manusia itu sendiri
dan tidak bersumber dari luar dirinya sekalipun atas nama Tuhan atau Allah.
Dari sini pula, kebebasan seorang manusia selalu dikaitkan dengan tanggung
M
jawab yang menyertainya. Kebebasan dan tanggung jawab tidak boleh
dipandang terpisah dan terlepas dengan seorang subyek. Oleh karena itu,
mengandaikan kebebasan dan tanggung jawab, terpisah satu sama lain dan
M
masing-masing berdiri sendiri adalah merupakan suatu abstrasi yang tak dapat
dibenarkan.
Justru kebebasan itu akan bermakna dengan tampilnya tanggung
Y
jawab yang menyertainya dalam setiap tindakan manusia dan pilihannya yang
diputuskan. Dengan demikian, kebebasan seseorang dalam bertindak maupun
dalam memilih apa yang diputuskan, selalu melibatkan tanggung jawab.
Karena tiadanya tanggung jawab dalam suatu tindakan manusia yang bebas,

369
Ibid., hlm. 216-217.
370
Bertens, Filsafat Barat, hlm. 110-111.
371
Bertens, Panorama , hlm. 216.
281
akan mengakibatkan dihilangkannya akibat sebagai aspek penting dari kondisi
manusia.372
Jika pada awal formulasi filsafat eksistensialismenya, Sartre selalu
menghubungkan kebebasan manusia dan tanggung jawabnya terhadap dirinya
sendiri, maka dalam perkembangan teori selanjutnya ia mengaitkan tanggung
jawab seseorang kepada seluruh umat manusia. Tanggung jawab seseorang
tidak lagi bersifat individual tapi selalu sosial, bahkan universal mencakup
seluruh umat manusia. Dalam konteks ini, Sartre menulis: when we say that
man takes responsibility for himself, we say more than that—he is in
hischoices responsible for all men. All our acts of creating ourselves create at
D
the same time an image of man such as we believe he must be. Thus, our
personal responsibility is vast, because it engages all humanity.373
Jadi ketika kita mengatakan bahwa manusia bertanggung jawab atas
U
hidupnya sendiri, kita tidak bermaksud mengatakan bahwa tanggung
jawabnya hanya meliputi individualitasnya sendiri melainkan mencakup
tanggung jawab atas semua manusia.374 Apa yang kita pilih selalu pilihan
M
yang paling baik; dan tidak ada satu pilihan pun yang lebih baik bagi kita
kecuali pilihan-pilihan yang lebih baik bagi sesama manusia. 375 Dengan
demikian, ternyata tanggung jawab kita jauh lebih besar daripa apa yang kita
M
bayangkan, karena tanggung jawab kita meliputi seluruh umat manusia. 376
Mengenai tanggung jawab universal ini, Sartre memberi contoh
konkret. Misalnya saya adalah seorang pekerja dan kebetulan saya lebih
Y
memilih untuk bergabung dengan serikat pekerja Kristen daripada serikat
pekerja komunis. Keputusan saya untuk memilih keputusan tersebut, pertama-
tama adalah sikap yang terbaik dalam menjadi manusia, bahwa kerajaan

372
Muzairi, Eksistensialisme, hlm. 181.
373
http://www.public.asu.edu/~jmlynch/273/documents/sartre-
existentialism-squashed.pdf, hlm 2. Diakses pada Mei 2017.
374
Sartre, Eksistensi dan Humanisme, hlm. 46.
375
Ibid., hlm. 47.
376
Ibid., hlm. 48.
282
manusia tidak di dunia ini. Saya tidak mengikat diri pada pandangan ini
sendirian. Keputusan ini adalah keputusan saya bagi semua orang, dan
tindakan saya adalah, akibatnya. Sebuah komitmen atas nama semua umat
manusia. Atau, jika mengambil kasus yang lebih personal, saya memutuskan
untuk menikah dan mempunyai anak, meskipun keputusan ini bermula dari
situasi saya, dari keinginan atau hasrat saya sendiri, di sini saya mengikatkan
tidak hanya diri saya sendiri, tetapi seluruh kemanusiaan pada praktek
monogami. Dengan demikian, saya bertanggung jawab pada diri sendiri dan
semua manusia, dan saya menciptakan citra manusia seperti yang ingin saya
wujudkan. Dalam mewujudkan diri saya, saya mewujudkan manusia. 377
D
Dengan alasan inilah, Sartre menamakan eksistensialismenya
sebagai eksistensialisme humanis. Menariknya, sikap humanis yang
terlaksana dalam tanggung jawab total manusia terhadap semua manusia pada
U
Sartre bukan sebuah semboyan kosong, melainkan menjadi kenyataan. Sartre
selalu memberi komitmen nyata. Ia menentang antisemitisme dan penyiksaan.
Selama pendudukan Jerman ia mengorganisasikan kelompok perlawanan dan
M
kemudian memperjuangkan sebuah sosialisme netral. 1952, di puncak perang
dingin, ia menyatakan diri ikut dalam Gerakan Perdamaiana Dunia dan solider
dengan partai komunis Prancis dan Uni Soviet. Karena itu Merleau-Ponty and
M
Albert Camus memutuskan hubungan dengannya. 1956 ia mengutuk
penumpasan pemberontakan Hongaria oleh tentara Soviet. Ia melibatkan diri
melawan perang Prancis di Aljazair sehingga OAS (organisasi ekstrem kanan
Y
Prancis) meledakkan dua bom di depan rumahnya. Ia aktif menentang perang
Amerika Serikat di Vietnam dan membenarkan hak bangsa-bangsa terjajah
untuk memakai kekerasan untuk membebaskan diri. 378
Akan tetapi, menurut Sartre, dalam kebebasannya yang otonom dan
sikap tanggung jawabnya, manusia akan berjumpa dengan kecemasan.

377
Ibid., hlm. 48-49.
378
Jean Paul Sartre, Filsafat Eksistensialisme (R. Sani Wibowo,
dkk (ed.) (Yogyakarya: Kanisius, 2011), hlm. 10.
283
Sebagaimana menjadi kebiasaan di kalangan paara eksistensialis sejak
Kierkegaard, Sartre pun membedakan katakutan (fear) dan kecemasan
(anxiety). Ketakutan mempunyai salah satu obyek, yaitu benda-benda dalam
dunia. Kecemasan menyangkut diri saya sendiri dengan menyatakan bahwa
eksistensi saya seluruhnya bergantung pada diri saya.379 Kecemasan adalah
kesadaran bahwa masa depan saya seluruhnya bergantung pada saya.380
Kalau manusia identik dengan kebebasan maka jaminan keberadaan
dan keberlangsungan hidup diri dan eksistensinya sepenuhnya tergantung
pada kebebasannya itu. Kebebasan dan tanggung jawab, dengan demikian,
bukan sesuatu yang menggembirakan atau menyenangkan, melainkan justru
menimbulkan kecemasan: “Aku tidak punya jalan lain menuju nilai yang
D

melindungiku dari fakta bahwa aku sendiri yang menjamin keberadaanku; tak
ada apapun dan siapapun yang bisa memberikan jaminan atas diriku, atas
U
esensiku …. Aku mengambil keputusan sendiri tanpa pembenaran dan bahkan
tanpa restu dari siapapun ….”
Kecemasan adalah gejala universal dan menyergap siapa saja, saat ia
M
menyadari bahwa ia hidup sendirian dan harus memikul dipundaknya sendiri,
seluruh tanggung jawab yang bersumber dari kebebasannya itu. Akan tetapi,
baik kebebasan maupun tanggung jawab itu sebetulnya “terlalu berlebihan”,
M
“terlampau berat untuk dipikul”, karena konsekuensi apapun yang mungkin
timbul akibat kebebasan itu, bukan saja harus dipikul sendirian, tetapi juga
bisa menggoyahkan segenap eksistensi saya. Keputusan saya untuk
Y
mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan atau untuk melibatkan diri dalam
suatu organisasi politik yang radikal, misalnya (paling tidak pada mulanya)
sungguh membuat saya merasa cemas. Salah memilih pasangan hidup atau
mendapat tekanan sosial politik yang tidak menguntungkan dari pihak
penguasa seperti pada zaman Orde Baru, tidak mustahil bisa menghancurkan

379
Bertens, Filsafat Barat, hlm. 107.
380
Ibid., hlm. 108.
284
masa depan (eksistensi) saya, yang telah lama saya jalani dan saya rencanakan
dengan penuh pengharapan.381
Sartre mengakui bahwa kecemasan ini jarang terjadi. Ini disebabkan
karena biasanya manusia terhanyut oleh urusan-urusan sehari-hari.
Kemungkinan-kemungkinannya tidak menjadi obyek refleksi, tetapi ia
merealisasikannya secara pra-reflektif. Tetapi sedari ia insaf bahwa tingkah
lakunya seluruhnya bergantung pada dirinya, bahwa ia sendirilah satu-satunya
sumber segala nilai dan makna, maka kecemasan timbul dalam hidupnya.
Walaupun demikian, manusia bisa menutup matanya bagi kebebasan dan
melarikan diri dari kecemasan dan sering kali terjadi begitu.
D
Untuk dapat menyembunyikan kecemasannya dan melarikan diri
dari kebebasannya, manusia tentu saja harus mengetahui baik-baik apa yang
disembunyikan dan dijauhkan. Melarikan diri dari kebebasan dan menjauhkan
U
diri dari kecemasan serentak juga berarti adanya kesadaran (akan) kebebasan,
kecemasan, dan pelarian. Dengan demikian manusia mengakui kebebasannya
dan serentak menyangkal kebebasan itu.382
M
Sikap menyangkal kebebasannya dan menghindari dari tanggung
jawab in, oleh Sartre disebut sebagai mauvaise foi, bad faith, atau self
deception yakni sikap penipuan diri. Mauvaise foi atau sikap malafide inilah
M
yang dinilai oleh Sartre sebagai sikap hidup yang tidak autentik, sebab
manusia melarikan diri dari kebebasan dan tanggung jawabnya sebagai
seorang manusia. “Through bad faith” tulis Sartre, “a person seeks to escape
Y
the resposible freedom of Being-for-itself”, “Melalui penipuan diri, seseorang
mencoba menghindarkan diri dari kebebasan yang bertanggung jawab sebagai
seorang yang berkesadaran”.383
Dalam sikap malafide, manusia menipu dirinya sendiri dengan cara
menyangkal kebebasannya dan menutupi kecemasannya. Manusia

381
Abdin, Filsafat Manusia, hlm. 187-188.
382
Bertens, Filsafat Barat, hlm. 108-109.
383
Muzairi, Eksistensialisme, hlm. 138.
285
mengidentifikasikan diri dengan objek (Benda atau Ada) dan tidak mengakui
dirinya sebagai subjek (“kesadaran bebas”). Contoh konkret misalnya terjadi
pada banyak individu, yang mengasalkan segala kegiatannya dari “takdir”
atau “nasib”, atau kekuatan-kekuatan di luar dirinya, yang menurutnya tidak
bisa ditentang atau dihindari. Pernyataan-pernyataan seperti “sifat saya
memang begitu, mau apa lagi?” atau “kehendak para penguasa kita memang
demikian, bagaimana kita bisa menentangnya?” atau “itu sudah menjadi
ketentuan para pemimpin kita, sehingga adil atau tidak adil harus kita
lakukan”—adalah pernyataan-pernyataan yang keluar dari mulut-mulut
manusia malafide.
D
Apa yang sebenarnya hendak dikatakan oleh manusia malafide
dalam pernyataan-pernyataan tersebut adalah, “semuanya itu bukanlah
kehendak saya, atau tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan saya, jadi
U
apapun yang terjadi, bukanlah tanggung jawab saya”. Manusia malafide pun
bisa tampil dalam bentuk yang lain. Misalnya saja pada orang-orang, yang
segenap tindak-tanduknya bukan hanya ditentukan oleh pendapat atau
M
kehendak umum, tapi juga dimaksudkan untuk menyesuaiakan diri dengan
citra yang dibentuk oleh orang lain terhadap dirinya.384 Katakanlah seorang
pelayan yang over-acting dimana semua sikap, gerakan dan perilakunya
M
ditentukan oleh majikannya.
Dalam bentuk yang lain lagi, manusia malafide bisa saja tampil pada
ilmuwan atau psikolog yang meyakini teori-teori deterministik, dan
Y
menjadikan teori-teori tersebut sebagai alasan untuk menyangkal kebebasan
dan tanggung jawabnya. Teori yang menyatakan bahwa “watak manusia
terbentuk oleh pengalaman-pengalamannya pada masa kanak-kanak awal”,
atau “faktor-faktor biologis sangat menentukan perilaku agresif”, oleh
manusia malafide bisa dijadikan sebagai alasan untuk dimakluminya

384
Abdin, Filsafat Manusia, hlm. 188-189.
286
perbuatan-perbuatan amoral tertentu—atau agar dibebaskannya dari tanggung
jawab moral, yang seharusnya dipikul oleh dirinya.385
Karena itu, Sartre menegaskan bahwa kita sebagai manusia yang
memiliki kebebasan otonom harus menyambut semua tantangan kehidupan
dengan suatu sikap autentik. Dengan sikap autentik, kita justru menggunakan
kebebasam kita secara tanggung jawab, bukan malah menggunakan
kebebasan kita untuk menghindari tanggung jawab. Sebab bersama sikap
autentiknya yang penuh kebebasan dan tanggung jawab, seorang manusia
akan benar-benar dapat mengaktualisasikan eksistensi dirinya secara autentik
pula. “Manusia adalah apa yang ia cita-citakan, manusia ada sejauh ia
D
merealisasikan dirinya sendiri, dan oleh karena itu ia adalah keseluruhan
tindakan-tindakannya. Manusia bukanlah apa-apa kecuali apa yang
dinyatakan oleh hidupnya”, demikian pungkas Sartre. 386
U
G. Penutup
Kita telah melihat gagasan sentral dua aliran besar filsuf
eksistensialisme teistik dan ateistik yang diwakili Soren Kierkeggard dan
M

Jean-Paul Sartre. Seperti telah kita dibahas sebelumnya, dalam pandangan


Kierkegaard manusia juga adalah sintesis antara yang mewaktu dan yang
abadi. Manusia adalah pengada (being) yang hidup dalam waktu, tetapi
M

sekaligus melampaui waktu. Secara abstrak itu berarti bahwa meskipun hidup
kita dibentuk oleh rangkaian momen-momen yang terpisah karena dimensi
kemewaktuan hidup manusia, kita juga adalah pengada yang eksistensinya
Y
melampaui keterpisahan ini. Secara eksistensial itu juga berarti bahwa kita
bukan saja merupakan pengada yang dituntun oleh hasrat-hasrat dan
keinginan besar, yang bertujuan mencapai kepuasan sementara dan sering
mendikte kehidupan kita, melainkan juga pengada yang mendambakan hidup
yang koheren dan utuh. Meskipun kita suka berbelanja, menyantap makanan
enak, mendapatkan banyak uang, atau menduduki jabatan tinggi, kita juga

385
Ibid., hlm. 189-190.
386
Sartre, Eksistensialime dan Humanisme, hlm. 73.
287
merindukan makna dan kepenuhan hidup, yang membuat hati kita damai dan
yang melampaui segala bentuk kesenangan di atas.387
Dalam pandangan Kierkegaard, manusia bukan hanya dituntut untuk
mengungkapkan sebagian kodratnya, melainkan seluruh kodratnya, yakni
seluruh eksistensinya sebagai sintesis antara yang mewaktu dan yang abadi.
Mengungkapkan aspek mewaktu memang jauh lebih mudah karena hasrat
manusia untuk meraih kenikmatan dan memuaskan hasrat itu relatif selalu ada
setiap saat. Yang lebih sulit adalah mengungkapkan sisi Ilahi atau abadi, yang
memberikan keutuhan, tujuan, atau tema yang menyeluruh bagi diri dan hidup
kita. Tetapi merealisasikan struktur yang mempersatukan kehidupan manusia
D
inilah tugas setiap manusia: mengalami masa muda, kemudian menjadi tua,
dan akhirnya meninggal, adalah bentuk suam-suam kuku (atau sikap
setengah-setengah) eksistensi manusia; pengalaman ini ada pada semua
U
hewan. Akan tetapi, mempersatukan tahap-tahap hidup yang berbeda adalah
tugas yang ditetapkan bagi setiap manusia.
Kesatuan menyaluruh ini, menurut Kierkegaard, dapat dicapai hanya
M
melalui pilihan yang mantap dan yang terus-menerus diperbarui. Dengan kata
lain, diperlukan komitmen yang akan menyatukan hidup seseorang.
Komitmen itu misalnya, dapat diberikan kepada pasangan hidup dalam
M
perkawinan atau kepada Tuhan dalam hidup religius. Di sini Kierkegaard
berbicara mengenai salah satu tema paling fundamental dalam aliran
eksistensialime, yakni bahwa manusia dapat memperoleh makna hidupnya
Y
hanya melalui komitmen yang tegas dan yang menentukan hidup. Orang
disebut sungguh mengada (really exist) kalau berusaha mencapai kesatuan
yang menyeluruh dengan cara memperhatikan dimensi abadi hidupnya.
Eksistensi, dalam hal ini, bukanlah keadaan akhir atau produk yang sudah
selesai, melainkan perjuangan yang terus-menerus. Menjadi pribadi yang
sungguh mengada berarti melibatkan diri dalam proses sulit yang bertujuan
untuk mengungkapkan kedirian seseorang. Ini adalah proyek yang tidak

387
Tjaya, Kierkegaard, hlm. 98-99.
288
pernah selesai selama orang masih bernafas, tetapi harus terus menerus
dijalani dan dikejar.
Menurut Kiekegaard, memberikan komitmen, baik kepada manusia
maupun yang Ilahi, merupakan “lompatan” (leap). Dasarnya adalah bahwa
komitmen selalu memuat janji untuk memusatkan diri pada pihak tertentu di
masa depan, padahal masa depan secara hakiki dicirikan oleh kemungkinan
(uncertainty). Tak seorang manusia pun memiliki kendali atas masa depan;
berbagai kemungkinan dapat terjadi. Dengan membuat komitmen, manusia
“melompat”, membuat masa depan yang bersifat tidak pasti (uncertain)
menjadi sesuatu yang pasti (certain), sekurang-kurangnya dalam subyektivitas
manusia, dengan memusatkan diri pada pihak yang menerima komitmen. 388
D

Kendati demikian, wacana eksistensialisme Kierkegaard, seperti


sebagian besar wacana filsafat, dibentuk oleh reaksinya terhadap teori-teori
U
sebelumnya. Karenanya, tidak ada reaksi pada masa lalu yang dapat
memenuhi semua kebutuhan di masa depan. Kita tidak boleh puas dengan
rasionalisme zaman sebelumnya ataupun dengan paradoks absolut dari
M
Kierkegaard. Kita perlu berada di tempat di antara keduanya. Jika kita cukup
berani untuk mencari intelijibilitas teologis dan metafisik dibandingkan yang
diberikan oleh Kierkegaard, tanpa di saat yang sama membuat klaim eksesif
M
akan kekuatan rasional kita, kita mungkin merasakan bahwa kita telah
melakukan semua hal yang semanusiawi mungkin dan bahwa usaha kita
cukup memuaskan keinginan akan makna dan harapan di dalam kehidupan
Y
kita.389
Kierkegaard dapat bermain dengan paradoks dan irasionalitas karena
ia menganggap zamannya sendiri didominasi oleh rasionalisme yang
mencekik. Bagaimanapun, situasi kita jauh lebih mudah berubah dan dipenuhi
dengan irasionalitas. Maka, kabutuhan kita adalah sebuah perspektif metafisik

388
Ibid., hlm. 101-103.
389
John K. Roth, Persoalan-persoalan Filsafat Agama, terj. Ali
Noer Zaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 291.
289
yang dapat memberi makna dan harapan, namun dapat dimengerti dan
rasional. Paradoks absolut dari Kiekegaard mungkin memenuhi persyaratan
yang pertama, tetapi gagal memenuhi persyaratan yang kedua. 390
Sedangkan Sartre, memiliki pandangan filosofis yang berbeda
dengan Kierkegaard. Namun terlepas dari betapa ekstremnya pandangan
Sartre tentang kebebasan, kita bisa melihat adanya unsur positif dari
pandangannya itu. Unsur positif itu berkaitan dengan pilihan dan penentuan
bentuk dan makna eksistensi kita sendiri. Eksistensi kita, keberadaan kita
yang sejati, tidak lain adalah produk dari perbuatan-perbuatan bebas kita
sendiri. “Menjadi diri kita sendiri hanya mungkin kalau kita memilih sendiri
dan menentukan sendiri bentuk eksistensi kita”. Kendati kebebasan pada
D

prinsipnya, dan pada awal mulanya, “dibebankan” pada manusia dalam suatu
situasi yang sudah tertentu dan yang bukan merupakan pilihannya, tetapi
U
manusia bebas sebebas-bebasnya untuk mengubah makna situasinya itu, yakni
melalui perbuatan-perbuatan dan usaha-usaha yang dipilih dan ditentukan
oleh dirinya sendiri.
M
Situasi yang dibebankan kepada manusia (misalnya berupa
lingkungan yang buruk dan keras, cacat tubuh, atau peperangan yang banyak
meminta korban), justru merupakan prasyarat bagi kebebasan. Kebebasan
M
tidak mungkin terwujud tanpa situasi-situasi yang sudah tersedia, tanpa
situasi-situasi yang tidak dipilihnya sendiri.391 Dengan kebebasannya, Sartre
mengajak manusia untuk menjalani hidup secara autentik. Menurut Franz
Y
Magnis Suseno, komitmen autentik Sartre terhadap kebebasan dan tanggung
jawab menembus klise-klise filsofis atau keagamaan yang suka kita pasang
untuk melindungi diri dari komitmen yang sungguh-sungguh.392
Penegasan bahwa autentisitas adalah syarat harkat kemanusiaan
dalam segala sikap yang kita ambil, bagi Magnis, merupakan jasa Sartre yang

390
Ibid., hlm. 289.
391
Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 187.
392
Sartre, Filsafat Eksistensialisme, hlm. 10.
290
terbesar. Manusia hanya mencapai eksistensi yang bermutu apabila ia tetap
setia pada dirinya sendiri, apabila ia bertindak berdasarkan keyakinannya,
apabila ia, sebagaimana ditekankan Sartre, bertanggung jawab terhadap
segala-galanya. Manusia menyangkal diri apabila ia melemparkan tanggung
jawab terhadap peranannya dalam dunia dan masyarakat pada faktor-faktor
objektif di luarnya. Faktor-faktor objektif, dunia para ada-en-soi, memang
tidak dapat diubah orang, tetapi ia dapat mengambil sikap terhadapnya. Dan
hanya dialah yang dapat melakukannya. Dalam arti ini manusia bebas, ia
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dan ia diharapkan (oleh Sartre
pun) tidak melarikan diri darinya. 393
D
Kendati demikian, filsafat eksistensialisme Sartre dengan konsep
kebebasan otonomnya dan ateistiknya tetap mengundang sejumlah respons
kritis-konstruktif. Tidak betul bahwa kita, dalam mengambil sikap terhadap
U
dunia objektif, sama sekali bebas. Kebebasan semacam itu abstrak semata-
mata. Secara konkret, lingkungan, pendidikan, tekanan dari luar, dan struktur-
struktur dari dalam selalu sudah mengarahkan kita. Juga tidak betul bahwa
M
kita bertanggung jawab atas segala-galanya. Apa dasar tuntutan berlebihan
semacam itu? Kiranya kita hanya bertanggung jawab terhadap apa yang
memang langsung terjadi dalam lingkup kemungkinan tindakan kita dan
M
dalam struktur-struktur di mana kitalah yang diharapkan. 394
Gabriel Marcel, sang filsuf eksistensialis teistik, juga mengkritisi
pandang Sartre. Manusia dalam pemahaman Gabriel Marcel tidak terkutuk
Y
dalam kebebasan tanpa dasar sebagaimana dalam Sartre. Manusia juga tidak
hidup dalam dunia tanpa makna—tanpa tujuan. Menurut Gabriel Marcel,
relasi “aku-engkau” masih memberi kita kemungkinan untuk berharap akan
dunia yang memberi ruang bagi communio yang sejati. Dan communio atau
persaudaraan yang sejati hanya mungkin dibangun ketika didasarkan atas

393
Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika, hlm. 81
394
Ibid., hlm. 82.
291
keyakinan bahwa manusia juga memiliki peluang relasi transendental dengan
Engkau-Absolut (Allah).
Tentu Gabriel Marcel juga mengakui bahwa di dunia ini juga ada
banyak ketidaksempurnaan dan ketidakadilan. Tetapi itu tidak otomatis
membuat manusia hidup dalam kegelapan yang absurd dan nihil. Marcel
mempercayai adanya iman, keyakinan, kasih, dan harapan sebagai jalan bagi
manusia untuk memasuki relasi intersubjektif (interpersonal). Relasi dalam
communion, persaudaraan sejati, hanya mungkin kalau didasarkan di atas
keterbukaan spiritual dalam relasi dengan Engkau-Absolut (Allah), I-Absolute
Thou. Relasi ini tidak berada dalam level having tetapi being. Bila demikian,
D
lantas mengapa masih ada perang dan konflik yang membuat manusia saling
mengasingkan, saling mencabut dari realitas perdamaian dan persaudaraan
sejati? Menurut Marcel, manusia di abad ini mengalami keterasingan,
U
ketercerabutan, dan keterlemparan dalam absurditas eksistensi hidupnya
karena kehidupan di zaman ini secara masif dan dalam intensitas yang
semakin kuat telah berubah di bawah hegemoni teknologi dan pasar global
M
yang impersonal, melulu fungsional, dan mekanistik.
Sebagaimana eksistensialisme ateistik, eksistensialisme teistik juga
memandang bahwa kehidupan di muka bumi ini bukan surga. Tetapi, (ini
M
yang membedakan eksistensialisme teistik dari yang ateistik) kehidupan
sekarang ini dipandang sebagai semacam “persiapan” dari “yang akan
datang”. Di sinilah eksistensialisme teistik menemukan suatu kebahagiaan
Y
yang sulit dibayangkan (yang membedakannya dari kegelapan dan absurditas
eksistensial dari pandangan eksistensialisme ateistik terhadap “dunia”).
Menurut Gabriel Marcel, hidup manusia di dunia ini bagaikan homo viator,
manusia pejalan atau peziarah yang mencari permanent home, yaitu “tempat
tinggal” yang tetap. Dia bagaikan seorang pejalan kaki dari satu “rumah” ke
“rumah” yang lain untuk menemukan tempat tinggal yang membuatnya
merasa at home. Gambaran kehidupan manusia eksistensial semacam ini tentu

292
sangat berbeda dengan gambaran manusia yang disajikan oleh Martin
Heidegger dan Jean-Paul Sartre.
Seorang manusia peziarah percaya akan Allah sebagai Bapa
surgawi. Dia adalah manusia yang pernuh iman dan cinta. Inilah yang
digambarkan oleh Santo Agustinus dari Hippo. Bagi Agustinus, manusia tidak
akan pernah merasakan suatu kepenuhan atau kesempurnaan yang
memberinya damai dan kepuasan di muka bumi, karena dia diciptakan untuk
Kebaikan yang Tak Terbtas dan Abadi dalam kehidupan di masa depan.
Kehidupannya saat ini adalah persiapan yang penuh harapan dan cinta bagi
eksistensi yang abadi di mana “di sana” ditemukan kegembiraan dan
kebahagiaan yang tak bisa digambarkan. Kata Agustinus: “Jiwa kami tak akan
D

pernah beristirahat (gelisah) sampai saat kami beristirahat dalam Engkau, ya


Tuhan”.395
U
M
M
Y

395
Prasetyo, Tema-Tema Eksistensialisme, hlm. 107-110.
293
BAB 9
EPISTEMOLOGI NIHILISME
A. Pengantar
“Nihilism can take more than one form. There is, for instance,
D
passive nihilism, a pessimistic acquiescence in the absence of
values and in the purposelessness of existence. But there is
also active nihilism which seeks to destroy that in which it no
U
longer believes. And Nietzsche prophesies the advent of an
active nihilism”.396
M
Secara konseptual, nihilisme merupakan teori yang mempromosikan
kondisi meyakini ketiadaan, atau tidak memiliki pertolongan dan tanpa arah
tujuan.397 Nihilisme juga merupakan paham pemikiran yang menyatakan
M
bahwa makna hidup manusia berakhir dalam ketanpa-artian. Dalam pemikiran
Nietzsche, paham ini dipuncakkan dengan menunjukkan nihilisme nilai-nilai
yang ada dan ia mewartakan nilai-nilai baru yang harus dihayati secara baru
Y
dengan moral baru yang bertolak pada manusia eksitensial secara baru pula.
Secara sepintas nihilismenya mempunyai arti yang sama dengan
usaha melenyapkan/memusuhi nilai-nilai. Baginya nihilisme berarti
melenyapkan nilai-nilai imanen, fisik, marerial dengan cara menegaskan

396
Frederick Copleston, A History of Philosophy. Volume VII
(London: Burns Oates & Washbourne, 1958 ), hlm. 405.
397
Simon Blackburn, Kamus Filsafat, terj. Yudi Santoso
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 604.
294
berlakunya nilai-nilai absolut, langgeng. Dengan demikian nilai-nilai yang
kita pandang absolut, langgeng itu berlaku sebaliknya bagi Nietzsche.
Dalam kerangka nilainya, Nietzsche bertitik tolak dari suatu
pandangan revolusioner, yaitu bahwa nilai-nilai absolut (nilai-nilai rohani),
transenden dan seterusnya itu benar-benar memalukan, melemahkan manusia
sejati yang merupakan kumpulan nilai remeh dan lemah yang diajarkan kaum
imam dan penguasa yang mengajak umat manusia untuk baik, tunduk, rendah
hati sehingga membuat manusia seperti unta yang mesti membawa beban
kehidupan di punggungnya.
Bagi Nietzsche sebenarnya hanya ada nilai-nilai autentik yang sejati,
D
nilai-nilai material, nilai-nilai tubuh, nilai-nilai hidup, nilai-nilai dari bumi ini
di dunia ini. Nietzsche sendiri sebelum meninggal berkata bahwa dalam
seluruh hidupnya ia mempunyai satu tujuan, yaitu melenyapkan nilai-nilai
U
transenden, rohani yang menjadi dasar kebudayaan Barat dan mau
melaksanakan penggantian nilai-nilai. Dengan itu ia mau memulai suatu
kebudayaan baru.398
M
Jika ditelusuri, ada dua bentuk pemikiran dalam jalan pemikiran
nihilisme Nietzsche. Di satu pihak, pemikirannya bersifat merombak,
mendobrak, dan menghancurkan (una pars destruens). Di sini yang menonjol
M
adalah pola pemikiran untuk memusnahkan nilai-nilai kekal, absolut, agama,
dan filsafat yang mendukung sistem nilai absolut tersebut. Ia menyerangnya
dengan sistematis dan garang. Di lain pihak, pemikirannya mempunyai pola
Y
membangun (una pars constuens) yang meliputi uraian teori baru tentang
nilai-nilai lalu disusul konsep baru mengenai realitas. 399
Dengan kata lain, berhubungan dengan nihilisme, sebagaimana
diungkapkan oleh Frederick Copleston di atas, ada dua macam nihilisme:
nihilisme pasif dan nihilisme aktif. Nihilisme pasif mengambil sebuah sikap

398
Mudji Sutrisno, Ranah Filsafat dan Kunci Kebudayaan
(Yogyakarta: Galangpress, 2010), hlm. 30-31.
399
Ibid., hlm. 31.
295
pesimistik terhadap absennya nilai-nilai dan kehampaan eksistensi kehidupan.
Sedangkan nihilisme aktif justru berupaya menghancurkan apa pun yang tidak
lagi dapat dipercaya. Dalam hal ini, Nietzsche sebenarnya menubuatkan
datangnya suatu nihilisme aktif. Karena itu, dalam bab ini kita akan
mengeksplorasi epistemologi nihilisme yang disuarakan oleh Nietzsche.
Namun dalam membicarakan nihilisme Nietzsche, kita harus berangkat dari
beberapa konsep dan wacana Nietzsche yang mengkonstruksi bangunan
epistemologi nihilismenya yaitu kebutuhan untuk percaya, manifesto
kematian Tuhan, menusia unggul, dan moralitas tuan. Di bagian akhir wacana,
kita akan menorehkan sedikit catatan apresiasi sekaligus kritis terhadap
D
wacana epistemologi nihilisme Nietzsche.

B. Biografi Nietzsche dan Corak Filsafatnya


1. Biografi Nietzsche
U
Seorang filsuf Jerman yang
mempunyai kedudukan tersendiri dalam
sejarah filsafat abad 19 adalah Friedrich
M

Nietzsche (1844-1900). Ia tidak dapat


digolongkan dalam salah satu aliran yang
memainkan peranan pada waktu itu. Ia
M

dilahirkan di Rocken, dekat kota Leipzig.


Karena ia lahir sebagai anak seorang pendeta
Protestan, dapat dimengerti bahwa ia dididik
Y
secara sangat religius. Pada tahun 1864 ia masuk Universitas Bonn dengan
maksud mempelajari teologi dan kesusastraan klasik (Yunani dan Romawi).
Tidak lama kemudian ia pindah ke Leipzig untuk meneruskan studinya
tentang filologi klasik. Ketika itu ia sudah meninggalkan iman kristiani. Suatu
peristiwa yang amat penting sewaktu ia mahasiswa adalah perkenalan dengan
karya-karya Schopenhauer, yang kebetulan ditemui pada suatu tempat
penjualan buku bekas. Nietzsche juga sangat mengagumi komponis Jerman
yang bernama Richard Wagner (1813-1883) dan beberapa waktu lamanya ia
296
bersahabat akrab dengan dia. Tidak dapat disangkal bahwa ia sendiri juga
mempunyai bakat besar di bidang musik.
Pada waktu Nietzsche baru berumur 24 tahun, ia sudah diangkat
menjadi profesor dalam filologi klasik pada universitas di Basel (Swiss).
Karena ia dianggap amat pandai, Universitas Leipzing menyerahkan gelar
doktor kepadanya, tanpa ia dituntut menempuh ujian. Pada tahun 1879 ia
meletakkan jabatannya sebagai profesor, karena kesehatannya semakin
terganggu. Dalam sepuluh tahun berikutnya ia berkeliling di Italia Utara,
Perancis Selatan, dan Swiss, mencari tempat yang cocok untuk kesehatannya.
Dalam periode ini ia mengarang banyak buku. Pada awal tahun 1889 ia
D
ditimpa serangan penyakit jiwa. Dengan peristiwa itu berakhirlah kegiatan
Nietzsche sebagai filsuf dan sastrawan. Untuk beberapa lamanya ia diopname
dalam klinik psikiatris. Sampai akhir hidupnya ia dirawat oleh ibunya dan
U
saudarinya. Justru pada tahun-tahun itu Nietzsche mulai diakui sebagai filsuf
dan sastrawan Jerman yang besar. Tetapi ia sendiri sudah tidak sanggup lagi
untuk menyadari kemasyhurannya.
M
Sulit sekali untuk menyingkatkan permikiran Nietzsche. Ia tidak
pernah menguraikan filsafatnya secara sistematis. Satu-satunya karya yang
direncanakan Nietzsche untuk membentangkan filsafatnya dalam bentuk
M
sistematis, tidak pernah diselesaikan. Menurut rencana Nietzsche sendiri,
karya itu akan terdiri dari empat jilid dan berjudul Die Wille zur Macht. Eine
Umwertung aller Werte (Kehendak untuk berkuasa. Suatu transvaluasi semua
Y
nilai). Tetapi yang ditemukan sesudah Nietzsche meninggal hanyalah catatan-
catatan yang tidak gampang disusun menjadi uraian sistematis. Di antara
banyak buku yang dikarang Nietzsche ada yang berbentuk puitis dan ada yang
terdiri dari banyak teks pendek yang berupa pepatah. Di sini kami mengikuti
pembagian karya-karya Nietzsche atas tiga periode, seperti sudah beberapa
kali diusulkan. Tetapi pembagian ini tidak boleh dianggap mutlak dan hanya
diberikan karena alasan praktis.
1. Periode Pertama

297
Pada waktu ini Nietzsche memeluk suatu pandangan dunia yang
pesimistis. Pengaruh Schopenhauer dan Richard Wagner besar sekali dalam
periode ini. Ia berpendirian bahwa hanya kesenian (khususnya musik) dapat
memberikan arti kepada hidup manusia. Buku pertama yang dikarang
Nietzsche berjudul Die Geburt der Tragodie aus den Geiste der Musik (1872)
(Lahirnya tragedi dari musik). Dalam buku ini ia mengemukakan suatu teori
tentang asal-usul sandiwara tragedi Yunani dan memperlihatkan bahwa opera-
opera Wagner mempunyai arti yang sama untuk masyarakat Jerman seperti
dulu tragedi untuk masyarakat Yunani.
Yang menjadi tekenal ialah pembedaan yang dibuat Nietzsche
D
dalam buku tersebut tentang dua tendensi dalam kebudayaan Yunani. Yang
satu disebutnya tendensi Apollinian dan yang lain tendensi Dionysian,
masing-masing karena dewa-dewa Yunani Apollo dan Dionysos. Tendensi
U
Apollinian tidak lain daripada kecenderungan untuk keseimbangan,
keselarasan, dan ukuran yang telah diwujudkan dalam arsitektur serta seni
pahat Yunani. Tendensi Dionysian adalah daya pendorong hidup yang ingin
M
melebihi semua norma. Tendensi kedua ini diwujudkan dalam pesta ria riuh
yang setiap tahun diadakan untuk menghormati Dionysos dan dalam musik
serta tarian-tarian yang meramaikan perayaan pesta itu. Menurut Nietzsche,
M
dalam kultur Yunani tendensi Apollinian bertugas untuk mengendalikan
tendensi Dionysian. Dan tragedi Yunani diterangkannya sebagai semacam
sintesa antara musik dan tarian Dionysian dengan bentuk Apollinian.
Y
2. Periode Kedua
Pada tahun 1876 Nietzsche memutuskan hubungan dengan Wagner.
Kejadian itu dapat dipandang sebagai permulaan periode baru. Dalam periode
ini ia menerbitkan beberapa buku yang sebagian besar terdiri dari pepatah-
pepatah atau teks-teks pendek yang umumnya tidak melebihi setengah atau
satu halaman saja. Buku yang khas untuk periode kedua adalah Menschliches,
Allzumenschliches (1878-1880) (Manusiawi, terlalu manusiawi). Selama
periode ini Nietzsche bersikap kritis terhadap metafisika serta kesenian dan ia

298
menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Oleh karenanya pendirian Nietzsche
pada waktu itu pernah dicap sebagai positivisme, tetapi istilah itu harus
dianggap di sini tidak tepat.
3. Periode Ketiga
Dengan buku Also sprach Zarathustra (1883-1885) (Demikian
sabda Zarathustra) mulai suatu periode baru dalam aktivitas Nietzsche sebagai
filsuf. Buku ini merumuskan pemikirannya dengan bentuk puitis. Pada tahun-
tahun ini Nietzsche semakin mengalami kesepian. Buku-bukunya hampir
tidak mengakibatkan gema apa pun. Dan ia tidak lagi dimengerti oleh para
sahabatnya dari dulu. Gaya bahasa Nietzsche pada waktu itu menampakkan
D
keadaan hatinya yang semakin pahit dan panas. Kritik tajam atas agama
Kristen yang sudah dikemukakan dalam karya-karya lain, sekarang
memuncak dalam dua buku kecil, Gotzen-Dammerung (Pudarnya dewa-dewa)
U
dan Der Antichrist (Antikristus), yang bersama dengan dua karangan lain
selesai ditulis tidak lama sebelum Nietzsche ditimpa serangan penyakit
jiwa.400
M

2. Corak Filsafat Nietzsche


“Siapa percaya begitu saja padanya, dan mengangkap kata-
katanya secara harfiah, ia akan kehilangan apa yang ingin
M

dicarinya. Maklum, karya Nietzsche adalah seni. Karena itu


orang harus membacanya sebagai seni, di mana permainan,
paradoks, ironi, dan kontradiksi di dalamnya, hanya bisa
Y
dinikmati, bila orang tidak membacanya secara wantah dan
apa adanya”. 401

Berbeda dengan sebagian besar filsuf sebelumnya yang


menguraikan ide-idenya secara sistematis dan terstruktur, Nietzsche justru

400
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1975), hlm. 91-93.
401
A. Setya Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche (Yogyakarta:
Galang Press, 2004), hlm. xii.
299
mengemas traktat-traktat filsafatnya dengan menggunakan metafora, ironi,
dan aforisme. Tidak berlebihan bila Sindhunata dalam kutipan di atas
menyatakan bahwa karya filsafat Nietzsche adalah seni, tapi bukan sembarang
seni. Karena itu, menurut Setyo Wibowo, bagi Nietzsche, filsafat merupakan
seni transfigurasi, kunst der Transfiguration, seni mengubah bentuk. Apa
bahannya? Sebagaimana seni selalu menggunakan bahan mentah untuk
menciptakan sesuatu yang indah (Michelangelo menggunakan bahan marmer,
para pemusik menggunakan nada-nada suara), maka filsuf menggunakan
bahan mentah yang ada adalah apa saja yang mengenai dirinya sendiri.
Bila seniman besar menggunakan bahan yang semula tanpa bentuk
D
dan kaotik menjadi sebuah adikarya (mamer diubah menjadi cita rasa
keagungan dalam patung Pieta), maka filsuf memberi figur (bentuk) yang
indah bagi segala pengalaman yang dimilikinya. Transfigurasi kiranya harus
U
dipahami sebagai upaya pemberian bentuk yang lebih-luhur, lebih indah, lebih
bercahaya, “ke dalam horizon yang lebih spiritual” (in die geistigste Form und
Ferne umzuzetsen); dan bukan proses sebaliknya yang justru akan
M
menyebabkan de-figurasi (perusakan bentuk, penjelekan bentuk). 402
Bagi Nietzsche, ada dua macam seni: ascenden dan dekaden. Yang
satu adalah ungkapan kekuatan diri yang mampu menguasai dirinya sendiri,
M
sehingga bahan mentah pun bisa dia “paksa” dengan sebuah gaya, cita rasa
menonjol. Yang lainnya adalah ungkapan gregarisme (keterserakan) insting,
anarkisme yang dilabeli dengan kata bersayap “kebebasan”. Filsafat bagi
Y
Nietzsche mirip dengan aktivitas seniman ascenden yang mau memeteraikan
karakternya, gayanya pada bahan mentah yang dia sentuh. Ketidakberaturan
bentuk, bahan yang saling kontradiktif, campur aduk, singkatnya kaotik, tidak
membuat seorang seniman marah dan dendam. Justru sebaliknya, dunia kaotik
semacam itu dia sambut dengan tangan terbuka, dia atur, dia susun, dia cipta,
dia jadikan kosmos sesuai dengan gaya dan cita rasa hasil latihan kerja
kerasnya.

402
Ibid., hlm. 70.
300
Seniman adalah dia yang mampu memberi bentuk lebih luhur
(transfigurasi) pada apa-apa yang tanpa-bentuk (kaotik). Dia bermain di level
penampakan, bentuk-bentuk itu sendiri. Tanpa berpretensi telah menyentuh
kedalaman akhir, seorang seniman akan terus bermain-main di level
permukaan bentuk ini. Itu bukan karena seniman itu dangkal, tetapi justru
karena seniman ascenden tidak pernah beranggapan bahwa dia telah mampu
menuntaskan seluruh inspirasi terdalamnya yang dia miliki. Dia rendah hati
dan tahu diri, dia tahu bahwa realitas itu sangat dalam, tak akan pernah habis
untuk diungkapkan dalam proyek artistik. Dan untuk itulah setiap kali realitas
itu harus dikatakan, diungkapkan ulang dalam berbagai bentuk-bentuknya.
D
Inilah ciri lain lagi dari seni yang ascenden; ia tidak berhenti di satu
adikarya.403
Lebih jauh, untuk Nietzsche, hidup itu sendiri menjadi kesempatan
U
berfilsafat, diubah terus menerus, ditransfigurasikan. Hidup yang kuat adalah
kehidupan yang menerima adanya perubahan terus menerus, menjadikan
cahaya indah apa saja yang diberikan oleh kehidupan itu sendiri. Sang filsuf
M
seniman ascenden memasukkan dirinya dalam tegangan di antara dua tebing,
ketegangan akan hal-hal kontradiktif yang mengenai dirinya sendiri tanpa rasa
takut. Kontradiksi dalam realitas, kaos yang meraja di luar maupun di dalam
M
diri kita dihadapi dengan berani, didominasi, dikuasai berkat latihan dan kerja
keras untuk dikosmoskan dan diberi bentuk yang luhur secara terus menerus
tanpa pernah berhenti di satu titik. Semua ini muncul berkat pengalamannya
Y
masuk dengan waspada dalam kedalaman. Seniman ascenden menjadi sadar
bahwa akan adanya jurang kedalam realitas yang abyssal, yang tak akan
pernah habis terkuras karena tak berdasar.404
Ketegangan inilah yang pada gilirannya justru memungkinkan
subjek menerima ambiguitas dan kontradiksi apa saja yang datang
menghantamnya. Apa yang datang selalu bersifat sekaligus positif dan

403
Ibid., hlm. 74.
404
Ibid., hlm. 79.
301
negatif. Hanya subjek yang ada dalam ketegangan mampu melihat ketegangan
yang ada dalam realitas di hadapannya. Dan kekuatannya untuk menyatukan
dirinya itu pada gilirannya akan memampukan dia untuk memberikan gaya,
style, karakter (artinya keutuhan ciri) pada apa saja yang datang tersebut. Bagi
Nietzsche, kodrat internal subjek yang kuat seperti itulah yang mampu
menerima kehidupan apa adanya, menerima yang datang dengan tangan
terbuka, mengubah dan memberinya bentuk yang lebih spiritual,
mentransformasi diri dan bermetamorfosis. Subek ini kuat karena ia mampu
mengutuhkan ketegangan dalam dirinya dan ketegangan di luar dirinya
menjadi sebuah proyek artistik.405
D
Selain itu, gagasan-gagasan Nietzsche yang dituangkan dalam
bentuk aforisme erat kaitannya dengan penolakan Nietzsche terhadap sistem.
Nietzsche memiliki dasar filsafat yang kuat untuk menolak sistem.
U
Menurutnya sistem dapat direduksi menjadi serangkaian premis yang tidak
dapat dipertanyakan dalam kerangka berpikir sistem itu sendiri: “Keinginan
pada sistem merepresentasikan kurangnya integritas”. Semua asumsi harus
M
dipertanyakan. Tidak ada sistem yang dapat mengungkapkan seluruh
kebenaran; suatu sistem paling banter hanya mengadopsi satu sudut pandang
atau perspektif. Kita harus mempertimbangkan pelbagai sudut pandang dan
M
tidak membatasi pikiran kita hanya dalam satu sistem saja. Nietzsche
mengatakan koherensi suatu sistem yang terbatas tidak dapat menjamin
kebenarannya. Keseluruhan serangannya pada sistem didasarkan pada
Y
penolakan pada irasionalitas yang ia temukan dalam kegagalan
mempertanyakan premis. Baginya, ilmu bukanlah sistem yang telah selesai
dan impersonal. Ilmu adalah pencarian pengetahuan yang penuh gairah,
rangkaian eksperimen kecil, berani yang terus-menerus. Menurutnya, ilmu
harus menjadi gay science, ilmu yang merangkum eksperimen-eksperimen

405
Ibid., hlm. 81.
302
yang tidak kenal takut dan kehendak baik untuk menerima bukti-bukti baru
dan bila perlu meninggalkan posisi-posisi yang lama.406
C. Nihilisme Nietzschean
Ketika kita memperbincangkan wacana nihilisme Nietzschean, kita
tidak bisa langsung memasuki isi pemikiran nihilistik itu sendiri. Hal ini tidak
akan memadai. Kita harus membahas beberapa unsur filsafat Nietzsche yang
merenda secara utuh wacana nihilisme Nietzschean. Unsur-unsur filosofis ini
meliputi kebutuhan untuk percaya, manifesto kematian Tuhan, serta manusia
unggul dan moralitas tuan. Karena itu, kita akan menelisik lebih dalam unsur-
unsur filosofis tersebut satu persatu.
D
1. Kebutuhan untuk Percaya
Menurut Nietzsche, salah satu hal yang amat fundamental bagi
kehidupan manusia adalah kebutuhan untuk percaya. Ketika kita percaya pada
U
sesuatu, baik itu berupa ideologi, wacana keilmuan, konsep-konsep
metafisika, keyakinan maupun agama, semua itu karena kita digerakkan oleh
rasa kebutuhan untuk percaya yang berada di dalam diri kita masing-masing.
M
Berbagai bentuk kepercayaan harus ada untuk melabuhkan sekaligus menjadi
pegangan bagi kebutuhan untuk percaya yang bergejolak dalam diri kita. Di
sini kebutuhan kita untuk percaya dalam diri kita membutuhkan acuan,
M
pegangan, atau sandaran agar kita menemukan ketenangan, kedamaian, dan
kestabilan hidup. “Dalam diri seseorang, yang dibutuhkan kepercayaan untuk
berkembang, keinginan akan elemen ‘stabil’ yang tak tergoyahkan supaya
Y
dengan demikian orang bisa menyandarkan dirinya”.407 Demikian tulis
Nietzsche.
Persoalan yang menggoda adalah menandakan apa kebutuhan untuk
percaya selalu mencari suatu kepercayaan untuk dijadikan pegangan? Apakah
hanya berhenti pada relasi psikologis antara kebutuhan untuk percaya

406
Madan Sarup, Postrukturalisme & Posmodernisme
(Bandung: Jalasutra, 2008)
407
Wibowo, Gaya Filsafat, hlm. 172.
303
terhadap suatu kepercayaan an sich? Dalam perspektif Setyo Wibowo, dengan
analisis genealogisnya, Nietzsche hendak menunjukkan bahwa kebutuhan
untuk percaya pada sebuah kepercayaan tidak berhenti pada relasi psikologis
semata. Nietzsche berupaya melampaui hubungan psikologis tersebut.
Nietzsche justru hendak menyingkap selubung kelemahan yang hendak
ditutupi oleh setiap orang.
Tatkala kita melabuhkan kebutuhan untuk percaya dalam diri kita
pada suatu bentuk kepercayaan, baik itu berupa ideologi, ilmu pengetahuan,
keyakinan, maupun agama, bagi Nietzsche kepercayaan itu sebagai tanda
kelemahan diri kita. Kutipan Nietzsche yang agak panjang berikut ini cukup
D
representatif mengilustrasikan hubungan antara kebutuhan untuk percaya
dengan kelemahan kehendak orang yang percaya:
“Kepercayaan selalu dibutuhkan dengan sangat urgen saat kehendak itu
U
cacat: karena kehendak sejauh affek-memerintah (Affekt des Befehls,
affect of the command) adalah tanda paling distingtif sebuah kedaulatan
dan kekuatan. Maksudnya, semakin seseorang tidak bisa memerintah
M
diri sendiri semakin dia merasakan dengan urgen kebutuhan akan suatu
realitas, akan sesuatu, atau akan sebuah otoritas untuk memerintahnya,
yang memerintahnya dengan rigor, entah itu dalam wujud sebuah
M
tuhan, seorang pangeran, suatu sistem sosial, seorang dokter, seorang
bapa pengakuan, sebuah dogma, suatu kesadaran partai. Dari hal di
atas, bisa disimpulkan mengapa dua agama paling universal, yaitu
Y
Budhisme dan Kristianisme, memiliki alasan-alasan untuk lahir,
menyebar dengan mendadak dan cepat. Alasan tersebut ditemukan
dalam kesakitan kehendak. Dan memang demikian: kedua agama itu
memperlihatkan adanya kebutuhan akan sebuah “kamu harus” yang
diluhurkan sedemikian rupa oleh kehendak yang cacat sampai ke
nonsens. Dengan mengajarkan fanatisme pada saat kehendak sedang
mengendur, agama-agama itu menawarkan sebuah gagasan bagi jiwa-
jiwa yang tidak terbilang jumlahnya. Agama-agama itu menawarkan

304
sebuah kemungkinan baru untuk menghendaki, sebuah kenikmatan
untuk menghendaki. Sesungguhnya, fantisme adalah satu-satunya
bentuk “kekuatan kehendak” yang padanya orang-orang lemah dan
bingung bisa dibawa. Fanatisme, secara entah bagaimana, menghipnotis
totalitas sistem intelektual yang biasanya disandarkan pada persepsi
atas dunia indrawi. Hipnosis itu akan mengakibatkan hipertrofi
(pembengkakan) sudut pandang konseptual dan hipertrofi afektif
partikular yang sekarang ini memang sedang mewabah—orang
Kristiani akan menamai hal itu imannya (faith). Begitu seseorang
sampai ke keyakinan mendalam bahwa dia butuh menerima sebuah
perintah, maka dia pun menjadi ”orang yang percaya”. 408
D

Menurut telaah Setyo Wibowo, kutipan di atas menunjukkan


U
analisis tajam Nietzsche: sebuah kepercayaan—pada apa pun—secara sangat
urgen dibutuhkan manakala individu lemah. Saat ia tidak mampu memerintah
dirinya sendiri, tidak mampu menyatukan dirinya sendiri, merasa terserak-
M
serak dan bingung: di situlah ada sesuatu dalam dirinya yang butuh untuk
bersandar. Secara urgen ia akan mencari apa pun, di luar dirinya, untuk bisa
dipegangi. Sebuah “kamu harus” dari luar akan sangat ia perlukan supaya
M
untuk sejenak ia bisa merasa diri tersatukan, memiliki sebuah orientasi dan
akhirnya tahu harus berbuat apa. Di sinilah pisau genealogis Nietzsche
membelah-belah bagaimana derajat fiksasi kepercayaan pada sesuatu
Y
menunjukkan keutuhan atau kecacatan kehendak individu yang bersangkutan.
Kehendak, dalam definisi Nietzsche di sini, adalah sebuah affek-memerintah,
afek-menyatukan diri. Sejauh ia tersatukan, bersatu padu kehendak semacam
itu akan memunculkan individu yang berdaulat, yang bisa memimpin dirinya
sendiri. Affek memerintah yang keropos adalah kehendak yang sakit, lumpuh.
Contoh adanya kehendak yang cacat semacam itu dilihat Nietzsche
dalam simtom maraknya Kristianisme dan Budhisme di Eropa pada

408
Ibid.,hlm. 177-178.
305
zamannya.409 Di matanya, Kristianisme adalah agama budak; oleh karenanya
kaum budak (lemah) sajalah yang akan menjadi tanah subur berkembangnya
agama itu. Bukan hanya karena itu Kristianisme diterima luas, ada unsur
lainnya. Agama Kristiani mengajarkan pegangan, pegangan yang bahkan
membuat pengikutnya merasa menjadi penguasa dunia. Orang lemah, yang
membutuhkan pegangan, akan merasa kuat berkat pegangan yang dimiliki.
Dan kekuatan ini akan bertambah manakala pegangan tersebut diajarkan
sebagai satu-satunya yang valid di dunia ini. Itulah yang disebut iman: sebuah
pembengkakan sudut pandang intelektual dan afektif hasil sebuah hipnosis.
Hipnosis membuat orang tidak sadar, sistem intelektualnya yang bekerja atas
D
dasar persepsi indrawi tidak lagi berfungsi secara normal. Sesuai rancangan
pemberi hipnosis, pembengkakan sudut pandang intelektual dan afektif akan
membuat mereka sangat peka dan membesar-besarkan hal-hal tertentu dan
U
sama sekali tidak peka terhadap hal-hal yang tertutup oleh kaca mata kuda
hipnosis.410
Singkatnya, di balik kritik tajam Nietzsche atas konsep-konsep
M
metafisis, agama, politik ataupun poin yang diajukan oleh Nietzsche adalah
bahwa di sana ada idee fixe (dari bahasa Prancis idee: idea, ide, dan fixe yang
dalam bahasa latin fixus artinya titik yang tidak bergerak; dengan demikian
M
istilah idee fixe mau menunjukkan keterikatan subjek secara obsesif pada
sebuah ide sedemikian rupa sehingga ia selalu berotasi di sekitarnya).
Kebutuhan manusia akan topangan menunjukkan dirinya dalam fiksasi atas
Y
sebuah ide. “Isi ide” memang bisa macam-macam, bisa diargumentasikan dan
dirasionalisasikan secara hipercanggih, tetapi di mata Nietzsche, inti dasarnya
adalah kebutuhan akan topangan itu. Kebutuhan itulah yang menyetir dan
menentukan cara beragumentasi. 411

409
Mengenai kritik Nietzsche terhadap Kristianisme, lihat
dalam Friedrich Nietzsche, Senjakala Berhala dan Anti-Krist, terj.
Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Bentang, 2002).
410
Ibid., hlm. 178-179.
411
Ibid., hlm. 202-203.
306
Sehingga kepercayaan secara fiksatif pada sesuatu menyingkapkan
derajat kebutuhan untuk percaya seseorang, dan dengan demikian, derajat
kelemahan atau kecacatan kehendaknya. Hal kebutuhan untuk percaya ini
bersangkutan dengan kualitas kehendak, yaitu kemampuan kehendak untuk
mengutuhkan dirinya atau membiarkan dirinya terserak-serak. Kualitas
kehendak yang terserak (atau sakit) membutuhkan obat yang bisa
membantunya tersatukan. Obat itulah yang sebenarnya diupayakan ketika
kehendak yang lemah menghendaki sebuah kepercayaan secara fiksatif.
Dengan demikian, kepercayaan metafisis, agamis, ideologis atau ateis
merupakan obat bagi kehendak yang lemah, bagi orang-orang yang tidak
D
mampu mengutuhkan dirinya. Karena keterserakan internal, orang seperti itu
butuh agen luar untuk membantunya memfokuskan diri. Sama seperti seorang
anak yang tidak tahu apa yang dia maui, ia akan bertopang pada perintah-
U
perintah “kamu harus” dari orang tuanya atau siapa pun yang dia anggap lebih
superior darinya. Pada orang dewasa, “kamu harus” itu bisa ditemukan secara
lebih variatif entah dalam doktrin agama, filsafat, politik atau apapun. 412
M
2. Manifesto Kematian Tuhan
Manifesto warta tentang kematian tuhan merupakan jantung filsafat
nihilisme yang disuarakan Nietzsche. Renungan tentang nihilisme pada
M
intinya adalah sebuah renungan tentang krisis kebudayaan, khususnya
kebudayaan Eropa sebagaimana disaksikan oleh Nietzsche yang hidup pada
akhir abad lalu. Nietzsche melukiskan bahwa gerak kebudayaan Eropa pada
Y
waktu itu bagaikan aliran sungai yang menggeliat kuat saat mendekati bibir
samudera. Metafor ini ditunjukan pada orang-orang Eropa yang “tidak
sanggup lagi merenungkan dirinya sendiri, yang takut merenung”. Inilah satu
dari ratusan tanda datangnya nihilisme. Jadi, apa yang dikatakan Nietzsche
tentang nihilisme adalah semacam insight tentang apa yang hendak terjadi
pada zaman sesudahnya sebagaimana termaktub dalam eforismenya yang
pertama:

412
Ibid., hlm. 203-204.
307
“Apa yang aku kisahkan adalah sejarah dua abad yang akan
datang. Aku melukiskan apa yang akan terjadi, apa yang tak
mungkin datang secara lain: kedatangan nihilisme. Sejarah
nihilisme ini bahkan dapat dikisahkan dari saat sekarang
karena kepastiannya sudah terlihat saat ini. Masa depan dari
nihilisme sudah berbicara pada saat sekarang ini dengan
ratusan tanda-tanda; tanda-tanda akan datangnya nihilisme ini
mencuat di mana-mana. Semua gendang telinga sekarang ini
sudah digetarkan oleh musik masa depan itu … Kebudayaan
Eropa kita sedang bergerak menuju suatu melapetaka, dengan
D
tekanan yang tercabik yang meningkat dari tahun ke tahun,
dengan gerakan-gerakan penuh kegelisahan, kekerasan dan …
bagaikan aliran sungai yang sedang hendak mencapai lautan,
U
yang tidak sanggup lagi merenungkan dirinya sendiri, yang
takut merenungkan. 413
M
Secara historis-sosiologis, wacana nihilisme sudah ada sejak era
filsuf klasik Yunani hingga abad ke-19, zaman dimana Nietzsche hidup. Salah
seorang yang mempengaruhi warna nihilisme Nietzsche adalah Paul Bourget.
M
Jadi bagi Nietzsche, nihilisme bukanlah sebuah kepercayaan baru. Oleh
Nietzsche, nihilisme dipakai untuk menggambarkan karakter peradaban Eropa
itu sendiri, yang pada zamannya ditandai oleh kamatian Tuhan dan mulai
Y
pudarnya nilai-nilai lama, yaitu nilai-nilai platonico-kristiani. Dengan
demikian, Nietzsche berhadapan dengan sebuah istilah yang sudah ada pada
zamannya, dan ia merefleksikan makna persis nihilisme bagi dirinya sendiri.
Nihilisme sebagai normalitas zaman yang menimpa dirinya ia jadikan bahan
filsafat.414

413
St. Sunardi, Nietzsche (Yogyakarta: LkiS, 1996), hlm. 32-33.
414
Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 324.
308
Lalu apa makna nihilisme bagi Nietzsche? Dalam tilikan Nietzsche,
nihilisme berakar pada kebutuhan manusia untuk percaya, kebutuhan manusia
untuk memuja terhadap sesuatu yang akhirnya menjelma fixed idea yang
dijadikan sandaran utama. Penyakit utama manusia, bagi Nietzsche adalah
kebutuhannya untuk memuja. Dunia akhirnya ditafsirkan manusia sesuai
kebutuhannya, diberi bentuk manusiawi sesuai ideal kemanusiaannya sendiri.
Manusia mengidealkan dunia dan realitas sesuai kebutuhannya sendiri.
Dengan idealisasi tersebut, manusia melupakan wajah non-manusiawi, non-
ilahi dari realitas. Menurut Nietzsche, di situlah manusia mengamputasi dunia,
manusia tidak mau menerima dunia secara apa adanya, lewat sains, agama,
D
ideologi ataupun filsafat manusia menjalankan pemujaan tersebut.
Dunia lalu ditafsirkan sebagai entah Ilahi entah manusiawi. Padahal,
bagi Nietzsche realitas pada dirinya sendiri tidak begitu, ia adalah campur
U
aduk segalanya, ia adalah abyssal. Ketidakberanian menghadapi yang
senyatanya—yang adalah kekuatan menyadari dirinya sendiri yang tidak
pantas—membuat manusia lari dalam pemujaan. Dalam yang ideal, dalam
M
tokoh pujaan, dalam imajinasi-imajinasinya, manusia pemuja menemukan
obat bagi dirinya yang sakit. Kebutuhan untuk memuja inilah yang membuat
manusia “menciptakan” dunia sebagai a, b, atau c. Bagi Nietzsche, tafsiran
M
seperti itu tidak pernah mengatakan tentang dunia pada dirinya sendiri,
melainkan hanya mengatakan tentang siapakah si pemberi tafsir seperti itu.
Dan kebutuhan untuk memuja itu selain berbahaya karena mengamputasi
Y
dunia, juga berbahaya karena manusia adalah sekaligus binatang pencuriga.
Selain butuh memuja, manusia juga siap mencurigai pujaannya
sendiri. Risiko sebuah pemujaan adalah bahwa ia akan berujung pada
sebaliknya: kekecewaan. Manakala pujaan yang ia ciptakan tidak sesuai
dengan kebutuhannya untuk memuja, ia menjadi kecewa. Valuasi (pemberian
nilai) yang berlebihan kepada dunia memiliki risiko besar berakhir dengan
devaluasi besar-besaran. Manusia yang meletakkan harapannya terlalu besar
kepada dunia memiliki risiko untuk kecewa terhadap dunia—yang sebenarnya

309
adalah kekecewaan pada dirinya sendiri—dan akhirnya mendevaluasi
segalanya.415
Dengan penjelasan inilah, menurut Setyo Wibowo, hipotesa
Nietzsche tentang nihilisme sangat menarik: nihilisme adalah normalitas!
Nihilisme selalu ada, ia adalah keadaan normal manusia, ia bukanlah sesuatu
yang sama sekali baru. Mungkin lebih tepat sebuah normalitas “tersembunyi”,
yang ada secara taken for granted, banyak dibicarakan, tetapi belum
diungkapkan makna sesungguhnya. Nietzsche membuka apa yang selama
berabad-abad—sejak fixed Idea dari Plato diberikan—dianggap sebagai
normal-normal belaka. Ia menunjukkan dalam “pengandaian hipotesa
nihilisme” bahwa fixed idea seperti itu sebetulnya ketiadaan (neant, nihil.
D

nothingness) belaka. Nihilisme berarti penyingkapan bahwa di balik ide indah


tentang idea, Tuhan atau apapun ternyata hanyalah kekosongan belaka.
U
Parahnya, ideal kekosongan ini ternyata sepanjang segala abad dikehendaki
dengan mati-matian. Inilah ironi zaman, menurut Nietzsche, kehendak akan
Kebenaran-Kebaikan-Keadilan secara mati-matian ternyata hanyalah
M
kehendak akan kekosongan. Tersingkapnya sekarang bahwa valuasi
berlebihan atas nilai tersebut memiliki sisi mematikan lainnya, yaitu devaluasi
atas realitas senyatanya. Apa akar dari simtom ini? Mata fisio-genealogis
M
Nietzsche langsung melihat: ini simtom untuk otang yang sakit, kehendak-
cacat orang-orang lemah, orang yang butuh pegangan. 416
Dalam kajian St. Sunardi, di samping merupakan hasil
Y
perkembangan sejarah sebelumnya, nihilisme juga dapat dikatakan merupakan
akibat timbulnya pemikiran-pemikiran Nietzsche yang menghantam sisa-sisa
pemikiran dan kepercayaan sebelumnya. Dalam arti yang kedua ini, Nietzsche
harus dipandang sebagai tokoh yang mempercepat proses nihilisme secara
radikal. Namun, dia pulalah yang akhirnya datang membawa pelita bagi

415
Ibid., hlm. 326-327.
416
Ibid., hlm. 332.
310
semua orang. Dialah yang berani mengatakan “Ya” pada nihilisme dan
sekaligus mengatasinya.
Nihilisme sebagai runtuhnya seluruh nilai dan makna meliputi
seluruh bidang kehidupan manusia. Seluruh bidang ini dapat dibagi menjadi
dua, yaitu keagamaan (termasuk moral) dan ilmu pengetahuan. Runtuhnya
dua bidang ini membuat manusia kehilangan jaminan dan pegangan untuk
memahami dunia dan hidupnya, termasuk aku-nya. Singkatnya, nihilisme
mengantarkan manusia pada situasi kritis atau kepada hari yang menjadi
“malam terus menerus” karena seluruh kepastian hidupnya runtuh.
Nietzsche memaklumkan situasi ini dengan berteriak-teriak: “Tuhan
sudah mati! Kita telah membunuhnya” (Gott ist tot! gott bleibt tot! und wir
D

haben ihn getotet!). Ucapan yang kemudian menjadi termasyhur ini dipakai
Nietzsche untuk mengawali perang melawan setiap bentuk jaminan kepastian
U
yang sudah mulai pudar. Jaminan kepastian yang perama adalah Tuhan
sebagaimana diwariskan oleh agama Kristen. Dan jaminan-jaminan kepastian
lainnya, menurut Nietzsche, adalah model-model Tuhan seperti ilmu
M
pengetahuan, prinsip-prinsip logika, rasio, sejarah, dan kemajuan (progress).
Untuk merumuskan runtuhnya dua macam jaminan kepastian itu, Nietzsche
cukup mengatakannya dengan kalimat “Tuhan sudah mati”. Dengan kata lain,
M
paradigma seluruh krisis adalah “Tuhan sudah mati”. 417
Mari kita simak teks tentang warta kematian Tuhan yag
dideklarasikan oleh Nietzsche secara utuh:
Y
“Si orang sinting. Pernakah kalian mendengar kisah tentang
orang sinting, yang menyalakan lentera pada siang hari
bolong, berlarian ke pasar dan berteriak-teriak tanpa henti
“Saya mencari Tuhan! Saya mencari Tuhan!”—Dan karena
persis di sana terkumpul banyak orang yang tidak percaya
pada Tuhan, orang sinting itu mengakibatkan gelak tawa yang
meriah. Apakah kita kehilangan Tuhan? Kata yang satu.

417
St. Sunardi, Nietzsche, hlm. 33-34.
311
Apakah Tuhan tersesat seperti anak kecil? Kata yang lainnya
lagi. Atau mungkin dia bersembunyi entah di mana? Apa dia
takut sama kita? Apakah dia sudah pergi? Apakah dia suda
beremigrasi?, demikianlah mereka berteriak-teriak dan
tertawa-tawa sekaligus. Orang sinting itu segera mendatangi
orang-orang tersebut dan memandang tajam mereka “di mana
Tuhan?” teriaknya. Aku akan mengatakan kepada kalian. Kita
telah membunuhnya—kalian dan saya. Kita semua adalah
pembunuh-pembunuhnya. Tetapi bagaimana mungkin kita
telah melakukannya? Bagaimana mungkin kita
D
mengosongkan lautan? Siapa yang telah memberikan kepada
kita spon untuk menghapus seluruh horizon? Apa yang telah
kita perbuat dengan melepaskan bumi ini dari matahari?
U
Kemana bumi ini sekarang berputar? Kemana gerak bumi ini
membawa kita sekarang? Jauh dari segala matahari-matahari?
Tidakkah kita terperosok dalam kejatuhan tanpa henti?
M
Terperosok ke belakang, ke samping, ke depan, ke berbagai
arah mana pun? Apakah masih ada yang namanya atas atau
bawah? Tidakkah kita sekarang menyasar-nyasar melewati
M
kekosongan tanpa batas? Tidakkah kita rasakan hembusan
kekosongan? Bukankah rasanya lebih dingin? Tidakkah
rasanya menjadi malam, dan semakin lama semakin malam?
Y
Tidak perlukah menyalakan lentera-lentera sejak pagi hari?
Apakah kita sama sekali tidak mendengar suara para penggali
kubur yang telah menguburkan Tuhan? Apakah kita sama
sekali tidak menghirup bau pembusukan Ilahi?—tuhan-tuhan
pun membusuk! Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan
kitalah yang telah membunuhnya!. Bagaimana kita menghibur
diri kita, pembunuh dari para pembunuh? Apa yang paling
kudus dan paling berkuasa yang dimiliki oleh dunia telah

312
kehilangan darahnya di bilah pisau kita—siapa yang akan
membersihkan darah itu dari tangan kita? Air macam apakah
yang akan bisa membersihkan kita? Penebusan agung macam
apa, lomba suci macam apa yang harus diciptakan untuk
menebusnya? Tidakkah kedahsyatan tindakan ini terlalu besar
bagi kita? Tidak haruskah kita sendiri menjadi tuhan-tuhan
untuk bisa layak atas tindakan tersebut! Tidak pernah ada
tindakan lebih besar dari itu—dan siapa pun yang lahir setelah
kita, berkat tindakan kita itu akan masuk dalam sebuah
sejarah yang superior, lebih superior dari segala sejarah yang
D
sudah ada sampai saat itu! Sampai di sini orang sinting diam,
menimbang-nimbang lagi para pendengarnya: mereka juga
diam dan memandangnya tanpa mengerti. Akhirnya si orang
U
sinting itu melempar lenteranya ke tanah sehingga pecah dan
padam. “Saya datang terlalu awal, katanya kemudian,
waktuku belum tiba. Kejadian dahsyat itu sedang berjalan,
M
dan dalam perjalanan. Ia belum sampai ke telinga manusia-
manusia. Sambaran geledek dan suara guruh membutuhkan
waktu, cahaya bintang-bintang membutuhkan waktu,
M
tindakan-tindakan—pun kalau sudah dilakukan—
membutuhkan waktu untuk terlihat dan terdengar. Tindakan
itu masih jauh dari mereka, lebih jauh daripada bintang-
Y
bintang yang paling jauh—dan meskipun begitu, merekalah
yang telah melakukannya! Masih diceritakan lagi bahwa pada
hari yang sama si orang sinting itu masuk ke dalam gereja
yang berbeda-beda di mana dia mulai menyanyi-nyanyikan
lagu Requiem aeternam Deo (istirahat kekal Tuhan). Ketika
dilemparkan keluar dan harus menjelaskan, tanpa henti-

313
hentinya dia mulai lagi: “Gereja-geraja itu apa sih, kalau
bukan rongga-rongga dan kuburan-kuburan Tuhan”.418

Narasi di atas berbentuk metafora atau perumpamaan yang


mengambarkan kematian Tuhan. Sebagaimana layaknya model
perumpamaan, ia menghentak telinga pendengarnya! Tanpa argumentasi yang
bertele-tele, perumpamaan ini membeberkan sebuah kisah yang membuat
pendengarnya terhenyak. Perumpamaan tidak pernah menyingkapkan “isi atau
maksud” secara eksplisit. Ia hanya menawarkan, mengajak pendengarnya
untuk merenung. 419
Yang menarik, perumpamaan ini dibawakan oleh orang sinting atau
D
orang yang tidak ingat akan dirinya sendiri. Menurut Setyo Wibowo, istilah
‘orang gila’ bisa digunakan untuknya, asal diketahui bahwa kegilaan di situ
adalah abnormalitas yang disengaja guna menghentak normalitas taken for
U

granted yang mau dibangunkan. 420 Jadi kegilaan atau kesintingan yang
diprovokasi Nietzsche bukanlah kegilaan dalam arti split personality,
M
melainkan kesintingan metodologis. 421
Mari kita lihat uraian yang sangat dari menarik Setyo Wibowo.
Kesintingnan ditampakkan dalam tindakannya membawa lentera di siang hari
M
bolong. Selain mengikuti contoh Diogenes, Nietzsche sendiri mengatakan
bahwa kematian Tuhan akan diikuti bayang-bayang gelap. Tuhan sebagai
matahari hilang, tetapi bayang-bayangnya masih hadir dalam wujud
Y
metafisika. Mengetahui bahwa Tuhan sudah mati, orang sinting pergi dengan
menyalakan lentera untuk mengantisipasi kegelapan—sementara bagi orang
di pasar hari justru masih siang. Kesintingan juga ditampakkan dalam
bagaimana si orang sinting yang tahu Tuhan sudah dibunuh toh ia berteriak-
teriak mencarinya di tengah pasar.

418
Wibowo, Gaya Filafat Nietzsche, hlm. 284.
419
Ibid., hlm. 285-286.
420
Ibid., hlm. 288.
421
Ibid., hlm, 293.
314
Ia berbicara kepada khalayak ramai di pasar, orang-orang yang tidak
mengerti tindakan mereka sendiri. Nietzsche mengatakan bahwa orang-orang
di pasar itu adalah mereka-mereka yang tidak percaya kepada Tuhan. Jadi,
dari diri mereka sendiri mereka sudah ateis sebelum si orang sinting
mengumumkan makna ateisme mereka. Ia datang untuk mengabarkan bahwa
mereka-mereka adalah para pembunuh Tuhan. Dan kabar inilah yang
membuat mereka tertawa keras, dan dengan penuh canda mengajak si orang
sinting berkelakar. Pembawa warta ini menjadi sinting di mata orang-orang
yang merasa bahwa kematian Tuhan adalah sesuatu yang tidak perlu dibahas
atau diratapi.
D
Di tengah tawa canda dan indifferentisme orang-orang di pasar
inilah si orang sinting melanjutkan warta mengerikannya tentang pembunuhan
Tuhan. Ia menunjukkan bahwa tangan mereka dan dirinya bersimbah darah.
U
Pertanyaan-pertanyaan memilukan tanpa jawaban ia ajukan atas tindakan
yang tak terbayangkan tersebut: bagaimana mungkin lautan, horizon dan
matahari bisa dihilangkan, mungkinkah kita hidup tanpa itu semua,
M
kemanakah kehidupan sekarang bergerak? Sekali lagi ia meneriakkan warta
buruk tentang kematian Tuhan dan tanggung jawab atas pembunuh, yaitu kita
sendiri. Siapakah yang akan membersihkan kita dari pembunuhan ini?
M
Bagaimana kita akan berdamai dengan tindakan dahsyat itu sendiri? Nada
ironis, penuh keresahan dari teks ini mencuat sekali lagi ketika dikisahkan
dari situ bahwa mereka-mereka tidak mengerti apa isi warta yang dibawa
Y
orang sinting. Meski kisah dan konsekuensi kematian Tuhan sudah
diumumkan, rupanya orang-orang di pasar tersebut tetap tidak mengerti
dengan apa yang sudah mereka lakukan.
Saat Tuhan sudah mati, saat matahari sudah hilang, apakah orang-
orang di pasar ini mewakili matahari-matahari baru, kaum cerah independen
yang bisa memberi sinar dan pegangan baru? Tampaknya kisah ini
menyatakan tidak. Manusia tidak mengerti atas tindakan mereka sendiri, yang
tidak sadar bahwa matahari sudah hilang sehingga datang di pasar tanpa

315
mempersiapkan lentera bukanlah figur orang yang siap menjadi matahari
baru. Ketidakmengertian orang di pasar ini bukan lalu mengatakan bahwa
mereka orang bodoh. Tidak. Orang-orang di pasar adalah kaum cerah saintis
dan kaum agamis yang begitu percaya dengan “tuhan-tuhan” mereka sendiri.
Sedemikian yakinnya dengan doktrin mereka sendiri sehingga mereka tidak
menyadari adanya sesuatu yang lain di situ.
Bagi kaum saintis, kematian Tuhan adalah sesuatu yang memang
harus terjadi demi Pencerahan dan independensi manusia. Bagi kaum
agamis—kelompok kedua yang dikunjungi si orang sinting dalam gereja-
geraja—moral berdarah yang menghabisi Tuhan justru mereka kira
D
menghidupkan-Nya. Untuk itulah nyanyian requiem si orang sinting membuat
mereka melemparkannya keluar. Tetapi bagi si orang sinting, pembunuhan
Tuhan bukanlah sesuatu yang beres begitu saja. Tindakan itu adalah tindakan
U
yang belum disadari konsekuensinya. Di satu sisi masih ada yang
menganggapnya hidup, di sisi lain masih ada orang yang justru menganggap
kejadian itu sebagai sesuatu yang tidak perlu dibahas lagi.
M
Bagi orang sinting, pembunuhan Tuhan bukanlah hal banal. Ini
peristiwa serius: Tuhan mati artinya manusia kehilangan pegangan dan
orientasi yang selama ini menjadi pedoman hidupnya. Seperti horizon yang
M
menjadi latar belakang pandangan, hilangnya horizon membuat kita tidak
mampu melihat, membuat kita jatuh dalan kegelapan total. Horizon pula yang
menggabungkan bumi dengan langit. Hilangnya horizon adalah hilangnya
Y
perekat antara bumi dan langit tempat ia bergantung. Tuhan yang hilang akan
membuat dunia ini berputar tanpa arah, bergerak tanpa gravitasi, dan
melayang dalam disorientasi total. Tuhan, bagi orang sinting, bukanlah
sesuatu yang tanpa konsistensi. Ia bukan sesuatu yang tidak serius. Justru
sebaliknya, Tuhan adalah patokan dan pegangan maha penting bagi hidup.
Kematian-Nya akan membuat dunia kehidupan masuk dalam kaos kegelapan

316
total. Sadarkah manusia bahwa mereka kini berada dalam situasi seperti
itu?.422
Secara umum, makna kematian Tuhan dalam teks metafota di atas
menunjuk pada runtuhnya jaminan absolut, yaitu Tuhan, yang merupakan
sumber pemaknaan dunia dan hidup manusia. Nietzsche menyebut situasi ini
sebagai nihilisme. Namun, lebih dari itu, ia sebenarnya mengartikan kata
“Tuhan” lebih luas daripada pengertian sebagaimana dipahami orang-orang
yang termasuk zaman-teologisnya Comte. Bagi Nietzsche, “Tuhan” hanyalah
suatu model untuk menunjuk setiap bentuk jaminan kepastian untuk hidup dan
manusia. Karena itu, sekalipun orang sudah membunuh Tuhan, orang belum
tentu tidak menghidupkan tuhan-tuhan lainnya.423
D

Menurut Sunardi, semangat menciptakan model-model Tuhan


merupakan warisan dari kebiasaan zaman sebelumnya. Orang sudah begitu
U
terbiasa hidup dalam suasana di mana “tujuan hidup dipasang, diberikan, dan
dituntut dari luar oleh suatu kekuasaan adikodrati”. Sekalipun orang sudah
melepaskan kekuasaan adikodrati itu, masih saja orang melanjutkan kebiasaan
M
lama. Orang masih mencari ototitas lain yang dapat berbicara tanpa syarat dan
mendiktekan sejumlah tujuan dan tugas-tugas. Orang tidak tahan berada di
tengah-tengah samudera yang tak ada satu pulau pun juga! Orang
M
menuhankan suara hati, rasio, naluri sosial, dan sejarah.
Ketidakberdayaan orang melepaskan kebiasaan di atas disebabkan
oleh gerak sejarah yang sudah dibelenggu oleh polusi moral Kristen. Hal ini
Y
dapat dilihat pada empat hal yang dihasilkan moral Kristen selama ini.
Pertama, moral Kristen memberikan nilai absolut bagi manusia sebagai
jaminan bagi dirinya yang merasa kecil dan tidak berarti. Kedua, moral
Kristen berlaku sebagai perintah-perintah Tuhan di dunia. Ketiga, moral
Kristen menanamkan pengetahuan akan nilai-nilai absolut untuk memahami
apa yang dinggap paling penting. Keempat, moral Kristen berperan sebagai

422
Ibid., hlm. 288-290.
423
Sunardi, Nietzsche, hlm. 42.
317
sarana pemeliharaan bagi manusia. Keempat hal ini membuat manusia
menjadi sedemikian pasti dan aman akan hidupnya sehingga sulit
melepaskannya.424
Sifat kritis Nietzsche bukan hanya pada agama Kristen, tapi juga
terhadap berbagai bentuk filsafat dan moralitas. Tuduhan pokok Nietzsche
terhadap filsafat, moral, dan agama Kristen yang mendukung nilai-nilai
absolut adalah karena ketiga-tiganya membentuk dan membina dusta kolosal
yang membelenggu umat manusia dan menghalanginya untuk meneguk
cawan kehidupan secara bebas. Ia mengatakan, dustalah kalau ada nilai-nilai
mutlak lain di luar hidup ini, dustalah nilai-nilai transenden di seberang hidup
D
sekarang ini, dustalah bila dikatakan bahwa ada jiwa/roh abadi dalam diri
manusia, dalam tubuhnya, dustalah bila dikatakan ada dunia akhirat yang
spiritual di seberang dunia material yang ada di depan mata ini, dan terutama
U
dustalah bila ditegaskan bahwa manusia tidak mampu menjadi yang tertinggi
lantaran di atas manusia hanya ada Tuhan.425
Dalam perspektif Setyo Wibowo, ilustrasi orang sinting dalam
M
perumpamaan di atas adalah Nietzsche sendiri yang masih resah dengan
ketidakmengertian yang begitu meluas di zamannya. Untuk menggambarkan
keresahannya, ia memperlihatkan dirinya sebagai orang sinting yang masih
M
mau mereaksi bayang-bayang Tuhan dengan membawa lentera. Nietzsche
mengambil jarak dari dirinya sendiri dengan membuat figur sinting baginya
untuk bertanya-tanya tentang situasi di zamannya. Tidak ada kegembiraan
Y
euforik atau nada triumfalis dalam konstatasi Nietzsche tentang kematian
Tuhan. Ia mengajak orang sezamannya untuk menyadari konsekuensi
dramatis dari hilangnya Tuhan dari horizon hidup.
Tetapi kita tidak menyadari dan tidak mengertinya. Siapakah “kita”
yang diungkapkan Nietzsche ini? Kita yang dimaksud adalah seluruh
peradaban Eropa yang dibangun di atas pondasi tradisi Platonico-Kristiani.

424
Ibid., hlm. 44-45.
425
Sutrisno, Ranah Filsafat, hlm. 38.
318
Tradisi yang mewujudkan dirinya dalam bentuk pemikiran filosofis,
metafisikus, maupun rigoritas sains. Tradisi yang telah membesarkan Eropa
itu sendiri yang membuat Tuhan terbunuh. Rigoritas sains dan pencerahan
yang muncul berkat asahan tradisi filosofis dan religius milener berujung pada
penyingkiran Tuhan darinya. Tuhan yang digambarkan terlalu
antropomorfistik, bukannya memelihara keilahian-Nya, justru akhirnya
membuat manusia cerah zaman Nietzsche tidak mempercayainya lagi karena
Ia terlalu berwajah manusiawi, terlalu mirip dengan kita.426
Jadi teks kematian Tuhan, menurut Setyo Wibowo, menunjukkan
bahwa kematian-Nya masih diikuti kehadiran bayang-bayang yang adalah
D
metafisika. Pun setelah nilai paling ilahi kehilangan credit-nya, manusia
masih berhasrat mencari kebenaran tertinggi metafisis. Kebutuhan akan
pegangan masih merajalela. Itu menunjukkan bahwa manusia lemah selalu
U
ada, bahwa manusia selalu ingin memuja dirinya sendiri lewat proyeksi
antropomorfis “dunia idea” yang melupakan dunia senyatanya. Dunia
senyatanya digelapkan karena manusia tidak bisa menerima realitas apa
M
adanya, tidak berani menatap dirinya sendiri apa adanya. Model
penghendakan atas “dunia ideal” yang adalah kekosongan hanyalah simtom
untuk kelemahan mereka yang butuh pengutuhan kehendak diri. Kehendak
M
cacat membutuhkan pegangan. Apapun—termasuk yang nihil—akan
dikehendaki secara mati-matian bila ia membantunya untuk hidup. 427
Akan tetapi analisis genealogi Nietzsche tidak hanya berhenti di
Y
sini. Nietzsche mengimbau manusia agar bisa membebaskan diri dari segala
makna absolut yang menjamin dirinya dan dunianya. Nilai itu bukan datang
dari ideologi, moralitas, keyakinan, dan agama, tapi manusia sendirilah yang
harus menciptakan nilai yang ia kehendaki. Karena itu, Nietzsche menolak
sikap diam menghadapi nihilisme. Sikap diam bukanlah netral. Dalam hal ini
memang tidak ada sikap netral. Sikap diam berarti membiarkan diri didikte

426
Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 290-291.
427
Ibid., hlm, 332-333.
319
oleh keadaan nihilistik atau krisis terus menerus. Sikap ini akan mengantar
manusia ke dalam situasi dekaden yang tak tertahankan. Dekaden adalah
sikap tidak berani berkata “Ya” pada hidup. Kalau situasi ini dibiarkan terjadi
terus menerus, maka nihilisme kita adalah nihilisme pasif. Nihilisme ini
diwarnai dengan lembeknya dan pesimisnya manusia yang seolah-olah terus
menerus menghirup parfum wanita. Manusia tahu bahwa tuhan dan para dewa
sudah mati, tetapi manusia tak dapat berbuat lain kecuali menyembah mayat-
mayat yang disemprot wewangian terus menerus. 428
Nihilisme pasif juga merupakan penemuan bahwa ‘dunia ideal’ yang
selama ini dipuja ternyata hanya kekosongan belaka, dan tinggal tetap dalam
D
shock tersebut. Ia tahu bahwa dirinya hanya memuja kekosongan, tetapi tidak
tahu harus berbuat apa lagi di tengah penemuan shocking tersebut. Ia tahu
bahwa dunia ternyata kosong makna, dan kehendaknya yang cacat tidak
U
sanggup mengutuhkan diri untuk segera mengomando sebuah keutuhan nilai.
Ia tinggal dalam keterserakan kehendak, dan berpuas diri dalam aliran
menjadi kaotis realitas. Ia bergelimang dalam ketanpamaknaan dan pelan-
M
pelan membusukkan dirinya.429
Alternatif yang diajukan Nietzsche adalah sikap tidak tinggal diam,
yaitu mengatasi nihilisme tanpa harus menolak nihilisme. Usaha ini dilakukan
M
dengan mengadakan pembalikan nilai-nilai. Cara ini akan menghasilkan
nihilisme atif. Dilihat dari sudut ini, filsafat Nietzsche dapat disebut sebagai
filsafat nihilisme, dan Nietzsche adalah seorang nihilis sejati.
Y
Apa yang dimaksud dengan “tanpa harus menolak nilisme?” Kalau
nihilisme berarti runtuhnya nilai-nilai dan makna-makna tertinggi, tidak
menolak nilisme berarti membiarkan nilai-nilai dan makna-makna tertinggi
runtuh. Dengan kata lain, Nietzsche tetap menolak setiap bentuk model tuhan,
yang melaluinya orang mendapat jaminan untuk memahami dirinya dan
dunianya. Ia juga tidak bermaksud mencari pengganti dalam bentuk apa pun.

428
Sunardi, Nietzsche, hlm. 46-47.
429
Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 333.
320
Nietzsche mengakui bahwa segala sesuatu itu khaos. Tidak ada suatu pun
yang benar, maka segalanya diperbolehkan (Nichts ist wahr, allest is erlaubt).
Apa yang dimaksud dengan “mengadakan pembalikan nilai-nilai?”
Nietzsche bermaksud mengadakan penilaian kembali seluruh “nilai-nilai”
yang sudah ada sampai sekarang, yang cenderung memfosil menjadi karang.
Dengan cara ini, Nietzsche pertama-tama tidak mau mencari nilai-nilai itu
sendiri. Semangat mau mencari nilai-nilai adalah kebiasaan kuno, warisan
agama Kristen yang harus ditinggalkan. Nietzsche lebih suka mencari cara
untuk dapat berkata “Ya” pada dunia yang adalah khaos dan nihil, yang tidak
mengandung kebenaran mutlak atau tata dunia moral. Nietzsche tidak mau
D
mencari pulau atau daratan yang dapat dipakai sebagai tempat tinggal yang
aman. Dia mau mencari sampan kecil untuk mengarungi samudra raya supaya
dapat menikmati ketakterbatasan dan geloranya. Hanya dengan sampan kecil
U
ini orang dapat mengamini samudra.
Dalam usaha merevaluasi seluruh nilai, Nietzsche memandang nilai
tak lebih daripada titik berangkat dari suatu pengembaraan. Kita kadang-
M
kadang memerlukan nilai-nilai baru, namun kadang-kadang pula kita harus
melepaskan nilai-nilai yang sudah kita punyai. Demikian pula sikap Nietzsche
pada kebenaran. Tidak ada kebenaran absolut. Kebenaran adalah semacam
M
kekeliruan yang tanpanya kita tak dapat hidup. Kalau suatu nilai atau
kebenaran sudah mengarah menjadi absolut, manusia harus meninggalkannya.
Kalau sampan kita sudah aus dan tak dapat digunakan berlayar lagi, sampan
Y
itu harus dihancurkan dan diganti dengan sampan baru. Menurut Nietzsche,
hanya dengan semangat inilah kita dapat menikmati nihilisme. 430
Dengan kata lain, nihilisme aktif atau nihilisme yang tuntas, adalah
dia yang menyadari kekosongan di balik “dunia ideal”, menerima kekosongan
tersebut, dan dari kekosongan masih mampu mengafirmasi sesuatu,
memproduksi tujuan-tujuan sementara, makna-makna sementara. Ia tahu
bahwa nilai-nilai dan tujuan-tujuan itu semua adalah ilusi. Ia tahu bahwa ilusi

430
Sunardi, Nietzsche, hlm. 47-49.
321
tersebut berguna bagi hidup. Sekaligus ia tahu bahwa hidupnya bukan semata-
mata berhenti di situ. Ilusi ia pakai, ia terima, sekaligus ia sadari sebagai
sementara. Dalam gerak meng-iyai permukaan (ilusi) dan meng-iyai wujud
baru dalam kedalaman seperti itu si nihilis akan menari. Ia hidup di
permukaan, di bibir jurang kedalaman. Dunia adalah campur aduk permukaan
dan kedalaman, dan dua-duanya ia terima.431
Di sini, nihilisme aktif yang ditawarkan Nietzsche mengajak kita
melakukan peziarahan eksistensial tanpa titik fixed terhadap apapun; sebuah
peziarahan eksistensial di tengah-tengah ketidakterbatasan samudera
kehidupan. Sikap nihilisme aktif Inilah yang dilukiskan dengan indah secara
D
metaforis oleh Nietzsche:
“Tentang ketakterbatasan sebagai horizon. Kita telah meninggalkan
daratan, kita semua sudah berangkat! Kita telah menghancurkan
U
jembatan-jembatan—terlebih lagi, daratan di belakang telah kita
tinggalkan! Oleh karena itu, sejak sekarang, hai kapal kecil,
waspadalah! Di kanan kirimu terbentang luas samudera. Memang,
M
samudera tidak selalu bergelombang ganas, kadang-kadang ia
membentang bak sutera dan emas, seperti impian akan kebaikan.
Tetapi akan tiba waktunya saat-saat kamu mengakui bahwa
M
samudera itu tanpa batas dan bahwa tak ada sesuatu pun yang lebih
menakutkan daripada ketakterbatasan. Oh burung malang yang
merasa diri bebas, yang akhirnya menabrak kisi-kisi sangkar yang
Y
sama juga! Sial-lah kau, jika kerinduan kampung halaman
menjeratmu, seakan-akan di sana dulu ada lebih kebebasan—
padahal “daratan” itu sudah tidak ada lagi!”.432

431
Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 333.
432
Ibid., hlm. 334.
322
3. Manusia Unggul
“Manusia adalah lambang, dibuhul antara binatang dan
Manusia Unggul—seutas tambang di atas jurang.

Berbahaya menyeberang, berbahaya dalam perjalanan,


berbahaya melihat ke belakang, berbahaya gemetar dan
berdiri di tempat. Yang hebat pada manusia adalah ia sebuah
jembatan bukannya tujuan”.433

Konsep Nietzsche tentang manusia unggul, Ubermensch disuarakan


lewat lisan tokoh Zarathustra dalam karyanya, Also Sprach Zarathustra.
Dikisahkan Zarathustra meninggalkan rumahnya pada usia tiga puluh tahun,
D
pergi menuju perbukitan. Kehijauan hutan, binatang-binatang pada siang hari,
dan bintang-bintang pada malam hari telah menjadi temannya, dan kesunyian
adalah rumahnya. Setelah sepuluh tahun “menikmati roh dan kesunyian”,
U

Zarathustra memutuskan meninggalkan bukit-bukit dan turun ke kota. Selama


sepuluh tahun ia bagaikan lebah yang mengumpulkan madu, yang akhirnya
M
rindu untuk membagikan madu itu kepada orang-orang yang
membutuhkannya.
Madu yang dihasilkan Zarathustra tidak lain adalah ajarannya
M
tentang Ubermensch dan ajaran bahwa “Tuhan sudah mati”. “Aku ingin
melepaskan dan membagikan (ajaran itu) sampai orang-orang bijak
menikmati kebahagaiaan yang dalam...dan orang-orang miskin menikmati
kebahagiaan dalam kekayaan mereka”. 434 Melalui tokoh Zarathustra,
Y

Nietzsche mengajarkan nilai tanpa jaminan kepada semua orang. Nilai ini
tidak lain adalah Ubermensch. Ubermensch adalah cara manusia memberikan
nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke

433
Friedrich Nietzsche, Zarathustra, terj. H.B. Jassin
(Yogyakarta: Jejak, 2001), hlm. 43.
434
Sunardi, Nietzsche, hlm. 141-142.
323
seberang dunia. Dengan cara penilaian ini, Nietzsche tidak lagi menaruh
kepercayaan setiap bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia.435
Berserulah Zarathustra yang sudah lama merindukan orang-orang
yang akan menerima ajarannya:
“Lihatlah, aku ajarkan kepada kalian Manusia Unggul.
Manusia Unggul adalah makna bumi. Biarlah kehendakmu
berkata: Manusia unggul hendaklah jadi makna bumi!
Aku meminta kepadamu, saudara-saudaraku, tetap setia
kepada bumi dan janganlah percaya kepada mereka yang
bicara padamu tentang harapan-harapan di luar bumi!
D
Mereka itulah pencampur racun, sengaja atau tidak
sengaja”.436
U
Zarathustra mau mengajar umat manusia mengenai makna dari
keberanian mereka yang tidak lain adalah manusia unggul. Hidup, kehendak
berkuasa, mengekspresikan diri paling puncak pada manusia unggul. Di sana
M
nilai seluruhnya mewujudkan diri, menemukan realisasinya yaitu menjadikan
kehendak kuasa mengada dan diadakan dalam ketegangan-ketegangan yang
agresif dan meledak-ledak dalam jantung hati manusia.
M
Super manusia/manusia unggul adalah manusia yang tahu
mengikuti dan langsung sambung pada irama tari hidup. Dialah yang
menerima seluruhnya, dialah yang menghargai seluruhnya, dialah yang
Y
mengagungkan seluruhnya, dialah yang tidak pernah menolak apa-apa yang
dianugerahkan oleh hidup yaitu baik maupun buruk, indah maupun buruk,
suka maupun duka.437 Manusia unggul merupakan teladan yang ditampilkan

435
Ibid., hlm. 143-144.
436
Nietzsche, Zarathustra, hlm. 41.
437
Sutrisno, Ranah Filsafat, hlm. 35.
324
Nietzsche dalam keberaniannya meneriakkan Ja-Sagen, berkata “Ya”
terhadap kehidupan dengan semesta suka-dukanya.438
Untuk dapat mencapai manusia unggul, manusia mesti melewati
metamorfosis ganda, yaitu:
 Metamorfosis pertama, akan mengubah eksistensi unta berbeban dan
mudah taat (yaitu manusia baik, rendah hati, tunduk, religius,
moralis) menjadi singa agresif (yaitu roh kebebasan, otonom, tuan
pada diri sendiri, penentu mutlak tindak-tanduk dan perbuatannya
sendiri).
 Metamorfosis kedua, akan mengubah manusia dari singa yang ganas
D
tadi menjadi kanak-kanak murni yang selalu mengagumi dan
mencintai realitas dalam semua ungkapannya dan sisinya. Ia akan
berseru gembira dan menyatu dengan hidup.439
U
Manusia unggul juga oleh Nietzsche disimbolkan dengan Dionysos
sebagai dewa Yunani kuno sekaligus mentalis Dionysian. Dionysos adalah
dewa anggur dan kemabukan. Buat Nietzsche, dia menjadi lambang
M
pengakuan terhadap kehidupan sekarang dan di sini (Diesseitigkeit) yang
selalu mengalir. Dia adalah simbol pendobrakan dari segala batas-batas dan
kekangan-kekangan. 440 Mentalistas Dionysian adalah mentalitas kebudayaan
M
Yunani yang cenderung melampaui segala aturan atau norma, mentalitas yang
bebas mengikuti dorongan-dorongan hidup tanpa kenal batas.441
Dionisius juga adalah simbol waktu dari hidup yang penuh dan dari
Y
penerimaannya yang riang terhadap hidup. Dionisius melambangkan
becoming (menjadi) hal-hal yang dalam kebutuhan serta kemendesakannya
menyatakan seluruhnya menjadi satu baik duka nestapa maupun suka cita,
ketakutan maupun keberanian, cinta maupun dengki. Di samping itu,

438
Hardiman, Filsamat Modern, hlm. 276.
439
Sutrisno, Ranah Filsafat, hlm. 35-36.
440
Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 263.
441
Ibid.
325
Dionisius melambangkan pula kondisi manusia unggul yang menerima semua
ekspresi saling bertentangan dari eksistensi dengan penuh syukur.442
Dari uraian di atas, dapat diringkaskan bahwa bagi Nietzsche,
Ubermensch adalah semacam pengganti Tuhan yang sudah dibunuhnya.
Ubermensch adalah tujuan manusia di dunia ini yang diciptakan oleh manusia
itu sendiri untuk menggantikan setiap tujuan yang ditentukan dari luar.
Melalui Ubermensch, orang tidak perlu lagi memberi makna pada dunia dan
hidup dengan berpaling kepada suatu yang ada di seberang dunia. Sebab,
Ubermensch pada dasarnya adalah ajakan untuk mengafirmasikan hidup tanpa
membiarkan sedikit sisa pun untuk ditolak. Afirmasi hidup ini secara konkrit
D
terwujud dalam pengakuan akan segala macam dorongan—baik yang
menakutkan maupun yang mempesonakan—yang oleh orang-orang dekaden
dipersonifikasikan sebagai Tuhan. 443
U
4. Moralitas Tuan
Tampilnya Manusia Unggul yang diusung Nietzsche harus
membawa unsur-unsur moralitas yang disebut oleh Nietzsche sebagai
M

moralitas tuan. Dalam analisis genealogis Nietzsche, ada dua macam moral
yaitu herren-moral, moralitas tuan dan heerden-moral, moralitas budak.
Moralitas tuan adalah standard yang diterima pada zaman Antik, khususnya di
M

antara orang-orang Romawi; Bagi orang-orang Romawi biasa pun, kebajikan


adalah virtus—kejantanan, keberanian, kerja keras. Akan tetapi dari Asia,
khususnya dari bangsa Yahudi pada zaman penaklukan politis mereka,
Y
datanglah standard lain: penaklukan melahirkan kerendahan hati,
ketidakberdayaan melahirkan altruisme—yang merupakan upaya untuk
meminta pertolongan. Di bawah moralitas budak, cinta pada bahaya dan
kekuasaan membuka jalan untuk cinta pada keamanan dan kedamaian;
keberanian digantikan oleh kelicikan, balas dendam secara terbuka oleh balas

442
Sutrisno, Ranah Filsafat, hlm. 37.
443
Sunardi, Nietzsche, hlm.146-147.
326
dendam diam-diam, kekerasan oleh perasaan kasihan, inisiatif oleh peniruan,
kebanggaan pada penghormatan oleh cemeti suara hati.444
Bagi para tuan, moralitas adalah ungkapan hormat dan penghargaan
terhadap diri mereka sendiri. Mereka sungguh yakin, bahwa segala
tindakannya adalah baik. Meski demikian, mereka tidak mengklaim, bahwa
moralitasnya universal. Moralitas tuan itu tidak menunjukkan bagaimana
seharusnya orang bertindak, melainkan bagaimana tuan itu nyatanya
bertindak. Jadi, dari tindakan-tindakannya sendiri lahir nilai-nilai autentik.
Baik dan buruk sama nilanya dengan “ningrat” dan “rendah”, dan soal baik
dan buruk itu bukan ditujukan pada tindakan, melainkan pada pribadi yang
melakukannya.445 Tentang moralitas tuan yang harus dimiliki oleh manusia
D

unggul, Nietzsche menulis:


“Jenis manusia luhur merasa bahwa dirinya menentukan apa
U
yang bernilai, mereka tidak memerlukan pembenaran, mereka
menilai bahwa “apa yang merugikanku itulah yang
merugikan”, mereka mengetahui diri sebagai sumber segala
M
kemuliaan yang ada, mereka menciptakan nilai. Apapun yang
mereka lihat pada diri mereka sendiri menjadi alasan
kemuliaan mereka: moralitas semacam itu merupakan
M
pemuliaan diri. Yang mencolok adalah perasaan keutuhan,
kekuasaan yang mau meluap, kebahagiaan bertegangan tinggi,
kesadaran kekayaan yang ingin memberikan dan
Y
melepaskan—manusia luhur mebantu orang yang celaka,
tetapi tidak atau hampir tidak karena perasaan belas kasih,

444
Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung: Rosdakarya:
2003), hlm. 97-98. Lihat juga Will Durant, The Story of Philosophy
(New York: Simon and Schuster, 1961), hlm. 315
445
Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 269.
327
melainkan karena kekuasaan yang melimpah menciptakan
suatu dorongan (untuk membagi dari kekayaan itu)”. 446

Berbeda sama sekali dari manusia tuan, para budak tidak pernah
bertindak dari diri mereka sendiri, sebab tergantung pada perintah tuannya.
Bertindak sendiri justru akan menyangkal kodratnya. Yang dianggap baik
bukanlah kedaulatan diri, kekuasaan dan keningratan, melainkan simpati,
kelemahlembutan, kerendahan hati dalam hubungannya dengan kasta rendah
mereka. Karena itu, kaum budak memandang para indivisu yang independen,
unggul, kuat dan jenius, sebagai orang yang berbahaya dan jahat untuk
kelompoknya. Di sini sebenarnya, moralitas budak membalikkan moralitas
D
tuan. Apa saja yang dinilai baik oleh tuannya dinilai buruk oleh budak.
Moralitas budak ini bersifat reaktif, yakni: bersumber dari kekuatan pada
tuannya, lalu mencoba menguasi tuannya, tidak dalam kenyataan, melainkan
U
dalam dunia fiktif nilai-nilai dengan menilainya sebaga ’jahat’ (bose). 447
Mengenai moralitas budak, Nietzsche bertutur:
“Lirikan budak membenci keutamaan-keutamaan kaum
M

berkuasa: ia skeptik dan curiga, ia peka dan curiga terhadap


segala ‘kebaikan’ yang dimuliakan di sana,—ia ingin
meyakinkan diri bahwa kebahagiaan di situ pun tidak benar.
M

Sebaliknya sifat-sifat yang membantu untuk meringankan


eksistensi orang yang menderita ditarik ke depan dan disinari
cahaya: di sini dihormati rasa berbelas kasihan, tangan yang
Y
cepat membantu hati yang hangat, kesabaran, kerajinan,
kerendahan hati, keramahan—karena inilah sifat-sifat yang di
sini paling berguna dan yang merupakan alat hampir satu-

446
Franz Magnis-Suseno, 13 Model Pendekatan Etika
(Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 202.
447
Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 269.
328
satunya untuk bertahan terhadap tekanan eksistensi. Moralitas
budak secara hakiki berupa moralitas kegunaan”. 448

Dengan demikian, Nietzsche membedakan dua macam moralitas—


yang dalam kenyataan, menurut Nietzsche sendiri, tidak muncul secara murni,
melainkan masih bergelut satu sama lain—yaitu moralitas budak dang
moralitas tuan. Moralitas budak adalah moralitas orang kecil, masal, lemah,
moralitas yang tidak mampu untuk bangkit dan menentukan hidupnya sendiri
dan oleh karena itu lalu merasa sentimen atau iri terhadap mereka yang
mampu, yang kuat. Karena itu, ia mau mengebiri mereka dengan aturan-
aturan moral yang menjegal sikap-sikap keras dan berani serta menjunjung
D
tinggi keseimbangan, yang menggagalkan individualitas dan memenangkan
massa. Ia membenci excellency dan memuji yang pukul rata. Suara hati
diartikan sebagai kebengisan dan agresi orang yang telah dikebiri, yang terlalu
U

lemah untuk langsung melampiaskannya, maka diarahkan kepada dirinya


sendiri dan menjadi suara dalam dirinya sendiri yang menggagalkan segala
M
usaha yang luhur dan berani.449
Menurut Nietzsche, moralitas budak itu itu meresapi seluruh
kebudayaan. “Hampir segala apa yang kita sebut ‘kebudayaan tinggi’
M
berdasarkan perohanian dan penginteralisasian kebengisan … dan ‘hewan
ganas’ itu belum jadi dibunuh, masih hidup, berkembang, hanya diilahkan”
(sebagai suara hati). Jadi, yang baik bagi orang kuat: kekuatan, keberanian,
Y
kekerasan, tekad untuk menentukan sendiri arah hiidupnya, dalam moralitas
budak dianggap buruk, egois, dan sebagainya, sedangkan yang dijunjung
tinggi adalah yang dianggap hina oleh orang kuat: cinta kepada yang biasa,
kesederhanaan, ketenteraman, belas kasih. Moral budak adalah moralitas

448
Suseno, 13 Model, hlm. 203.
449
Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika (Yogyakarta:
Kanisius, 1997), hlm. 201.
329
kawanan (Herdenmoral), sikap orang yang selalu mengikuti kelompok dan
tidak berani bertindak sendiri, yang perlu dipuji dan takut ditegur.450
Sedangkan moralitas tuan, ‘baik’ adalah sama dengan ‘luhur’ dan
‘buruk’ sama dengan ‘hina’. “Yang dianggap hina adalah si penakut, si
cengeng, si sempit, si pencuri untung; begitu pula si pencuriga yang tidak
berani menatap mata lawan bicara, yang merendahakan diri, si manusia
macam anjing yang suka disiksa, si penjilat yang mengemis-ngemis, terutama
si pembohong…”. Moralitas tuan membenarkan kekuatan dan kekuasaan
cirinya adalah orang seluruhnya membenarkan dirinya sendiri. Moralitas tuan
adalah ungkapan kehendak untuk berkuasa”.451 Moralitas tuan inilah yang
D
akan melahirkan manusia unggul.

D. Penutup: Antara Kritik dan Apresiasi


“A philosopher is a person who constantly experiences, sees,
U
hears, suspects, hopes, and dreams extra ordinary things; a
being who is frequently running away from himself, frequently
afraid of himself,—but too curious not to always come back to
M

himself”.452

Definisi seorang filsuf yang diungkapkan Nietzsche dalam


M
pernyataan di atas, paling tidak sedikti banyak mewakili sosok Nietzsche
sendiri. Bagi Nietzsche, berfilsafat bukan hanya refleksi filosofis pada tataran
rasio an sich, melainkan sebuah keterlibatan seorang anak manusia dengan
Y
seluruh eksistensi dirinya: pengalaman, penglihatan, pendengaran, harapan,
impian, sekaligus kecurigaan dan keingintahuan dalam mencandra realitas
kehidupan dengan semesta pernak-perniknya. Tatkala sebuah enigma
kehidupan mulai tersingkap rahasianya, sang filusuf tidak akan berpuas diri
dan berhenti: ia kembali menghadirkan gairah keingintahuan dan

450
Ibid., hlm. 202.
451
Ibid.
452
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil (New York:
Cambridge University Press, 2002), 174.
330
kecurigaannya untuk menyibak makna-makna yang lebih sublim. Setiap
jawaban-jawaban baru yang muncul akan selalu diinterogasi kembali dengan
pertanyaan-pertanyaan baru shingga membuahkan new insights yang kian
memperkaya petualangan hidup seorang filsuf; memperkaya wajah kehidupan
itu sendiri.
Bagi Nietzsche, berfilsafat adalah proses menjalani kehidupan
secara utuh; sebuah proses pencarian, perubahan, dan perbaikan dengan
segala keterbatasan manusiawi seorang manusia di tengah-tengah
ketidakterbatasan semesta kehidupan. Itulah mungkin alasannya mengapa
Nietzsche menorehkan wacana-wacana filosofisnya dengan penuh metafora,
D
ironi dan paradoks yag seringkali mengejutkan sekaligus membingungkan
nalar kita. Ia begitu piawai menyuguhkan kejutan-kejutan reflektif yang justru
mampu membangunkan kesadaran subtil dalam diri orang-orang yang tekun
U
menyimaknya. “He who knows how to breathe in the air of my writings is
conscious that it is the air of the heights, that it is bracing. A man must be
built for it; otherwise the chances are that it will kill him”.453 Tulis Nietzsche.
M
“Dia yang tahu bagaimana bernafas dalam atmosfer tulisan-
tulisanku, tentu sadar bahwa tuliskanku adalah udara level tinggi yang
menyehatkan. Manusai harus di bangunkan dengannya; sebab jika tidak,
M
udara yang keruh akan membunuhnya”. Dengan memahami Nietzsche,
pertanyaan itu bukanlah sebuah kepongahan, sebagaimana diakui sendiri oleh
seorang sejarawan filsafat tersohor, Will Durant dengan penuh ketakjuban:
Y
Nietzsche does not prove, he announces and reveals; he wins us with his
imagination rather than with his logic; he offters us not a philosophy merely,
nor yet only a poem, but a new faith, a new hope, a new religion.454
Singkatnya, wacana filosofis yang diusung Nietzsche mengajak
setiap orang yang membacanya untuk memiliki open-minded (sikap terbuka)
dalam menyikapi segala sesuatu. Dengan prolog diakhir tulisan ini, mari kita

453
Durant, The Story of Philosophy, hlm. 329.
454
Ibid., hlm. 329.
331
menyikapi secara apresiatif-kritis unsur-unsur yang membentuk nihilisme
Nietzsche.
Pertama, kebutuhan untuk percaya. Kebutuhan untuk percaya
menjadi salah satu akar wacana nihilisme Nietzsche. Sebagaimana telah kita
bahas sebelumnya, segala bentuk kepercayaan yang dimiliki oleh setiap orang
bersumber dari kebutuhan untuk percaya yang bersemayam dalam diri orang
tersebut. Beragam bentuk kepercayaan yang dimiliki manusia, baik ideologi,
ilmu pengetahuan, keyakinan maupun agama dan Tuhan adalah bersumber
dari kebutuhan untuk percaya dalam setiap manusia. Kebutuhan untuk
percaya harus dilabuhkan pada suatu bentuk kepercayaan agar setiap orang
D
yang membutuhkan tersebut mendapatkan pegangan, sandaran, dan stabil
dalam menghadapi beragam problematika kehidupan yang tidak pasti.
Ketika berhubungan dengan agama, keyakinan, atau Tuhan,
U
Nietzsche mengklaim tidak jarang sebenarnya kita hanya melakukan proyeksi
antropomorfistik terhadap Tuhan yang transenden sesuai dengan proyeksi kita
sendiri. Dengan demikian, ketika kita melabuhkan kepercayaan kita kepada
M
Tuhan sebagai pegangan dan sandaran hidup, sebenarnya kita hanya
melabuhkan kepercayaan kita pada proyeksi antropomorfisktik kita sendiri.
Proyeksi antropomorfistik inilah yang hendak dibongkar oleh Nietzsche.
M
Tentu saja setiap orang membutuhkan pegangan untuk dijadikan
orientasi dan patokan dalam hidup. Pegangan menjadi berguna karena
membantu manusia memaknai kehidupan, dan dengan demikian
Y
membantunya hidup. Masalahnya, apakah hidup itu sendiri sesuai dengan
parameter pegangan yang ia cengkram? Inilah pertanyaan yang membongkar
si manusia itu sendiri. Posisi Nietzsche jelas mengatakan tidak: hidup, dunia,
realitas tidak bisa dikotakkan dalam kesempitan pegangan antropomorfistik
manusia.455
Oleh sebab itu, ketika seseorang menggenggam suatu pegangan dan
memuja suau pujaan, pertanyaan genealogis Nietzsche sangat menyentak

455
Wibowo, dkk, Para Pembunuh Tuhan, hlm. 25.
332
kesadaran: apa yang diingini kehendak saat menghendaki sesuatu? Saat kita
memuja satu ideologi, kepercayaan, agama, dan Tuhan, misalnya, apa
sesungguhnya yang dikehendaki oleh kepercayaan kita tersebut? Jika kita
melabuhkan kepercayaan pada sebuah keyakinan, mengapa keyakinan
tersebut yang kita percayai dan bukan yang lainnya? Dan tatkala hanya satu
Tuhan yang selalu kita puja, kenapa kita hanya memuja satu Tuhan tersebut
dan bukan Tuhan yang lain?
Pertanyaan-pertanyaan subtil tersebut bisa kita jadikan sebagai kritik
konstruktif dalam menyibak selubung-selubung kepalsuan kita dalam
beragama dan ber-Tuhan. Lazimnya kita menjalani keyakinan, keberagamaan,
dan pengabdian kepada Tuhan sebagai “warisan” dari orang tua kita, dari
D

leluhur kita sebelumnya. Kita menerima semua bentuk keyakinan tersebut


sebagai taken for granted yang sudah pasti benar tanpa dibarengi dengan
U
proses pemahaman, penghayatan, pencarian, dan pendalaman secara utuh
terhadap keyakinan yang telah kita warisi tersebut. Pertanyaan kritis-
genealogi Nietzschean itu membuka ruang kearifan dalam diri kita untuk
M
menjadi rendah hati bahwa masih ada semesta rahasia yang mungkin belum
kita ketahui dan pahami, belum kita hayati dan alami pada keyakinan, agama,
dan Tuhan yang kita puja.
M
Kita menjadi sadar bahwa agama merupakan wilayah tak terbatas
yang bisa kita gumuli secara terus menerus. Keberagamaan juga merupakan
sebentuk pengabdian yang selalu membuka ruang perbaikan, pengkayaan,
Y
penghayatan sekaligus pendalaman yang tak pernah menyentuh garis finis;
sebuah perlombaan dalam aneka ragam kebajikan yang tak pernah tuntas. Dan
kepercayaan kita terhadap Tuhan pun hendaknya selalu terbuka untuk
menghayatan yang lebih intensif yang hanya ditutup dengan layar kematian.
Pada titik inilah, analisis genealogis Nietzsche menjelma otokritik radikal bagi
kita. Sehingga kehidupan kita menjadi autentik: kita merengkuh satu
keyakinan, menjalani ritual keagamaan, dan pengabdian kepada satu Tuhan

333
sebagai proses pergulatan eksistensial melalui seluruh eksistensi pengetahuan,
kesadaran, dan penghayatan intensif yang tak berkesudahan.
Kedua, manifesto kematian Tuhan. Menurut Trisno Susanto, ketika
berbicara tentang maklumat Nietzsche bahwa Tuhan sudah mati, orang sering
terjebak untuk memperlakukan frase itu sebagai sesuatu yang ada pada dirinya
sendiri, lalu berdebat sengit apakah benar Tuhan sudah mati atau belum,
dengan seluruh argumennya. Padahal, kalau mau direnungkan lebih jauh, jika
Tuhan ada dan benar-benar dapat mati (bahkan dapat dibunuh oleh kita!),
maka jelas itu bukan Tuhan. Atau kalau toh Nietzsche memakai frase itu
sebagai metafor; agak aneh jika metafor benar-benar dapat mati, bahkan
D
dibunuh!
Jadi kita harus masuk lebih dalam, seperti sang genealog ala
Nietzsche sendiri, menelisik apa yang sesungguhnya mau dikatakan di balik
U
topeng kata-kata itu. Dalam aforisme lain, dengan nada yang sama sekali
berbeda, Nietzsche memberi petunjuk ke arah mana seyogianya kita
melangkah. Sebagai strategi literer, ungkapan Tuhan sudah mati mau merujuk
M
pada suasana dan semangat zaman di masa “kepercayaan kepada Tuhan
Kristiani tidak lagi dapat dipercaya.456
Sikap Nietzsche justu ingin melampaui nihilisme pasif dengan
M
kewaspadaan sudut pandang yang berjarak dalam aforisme yang ditulis
beberapa tahun kemudian setelah teks awal tentang kematian Tuhan berikut
ini:
Y
“Sungguh, kita para filsuf dan ‘pemikir bebas’ (free spirit,
harfiah: roh yang bebas) merasa saat kita mendengar kabar
bahwa ‘Tuhan yang tua sudah mati’, seakan-akan fajar baru
menyinari kita; hati kita dilimpahi rasa syukur, ketakjuban,
isyarat, penantian. Pada akhirnya, horizon tampak terbuka lagi
bagi kita meski belum terang menderang; pada akhirnya
kapal-kapal kita dapat berlayar lagi, berlayar menempuh

456
Ibid., hlm. 132.
334
segala bahaya; semua keberanian pencinta pengetahuan
diizinkan lagi; lautan, lautan kita, terbuka lagi; mungkin
belum pernah ada ‘lautan terbuka’ seperti itu.

Itulah yang mau ditawarkan Nietzsche. Kabar kematian Tuhan


memang dapat menjebak orang ke dalam nihilisme radikal, meng-iya-kan
secara naif, dan menjadi dasar bagi tindakan yang membolehkan segalanya;
atau sebaliknya, membuat orang menolak secara naif dengan mendirikan
benteng-benteng kenyamanan dogmatis agama. Kedua posisi itu seperti
dikatakan di atas, hanya akan jatuh ke dalam ilusi yang menyelubungi
kehendak untuk percaya pada suatu idee fixee. Dalam pisau bedah genealogis
D
Nietzsche, ini adalah simptom dari lemahnya kehendak. Nietzsche
menawarkan posisi lain yang melampaui keduanya, suatu posisi iya-
sekaligus-tidak terhadap nihilisme. Maksudnya, nihilisme memang harus
U

diterima, bahkan dihidupi sampai ke akar-akarnya. Akan tetapi, sekaligus juga


orang seyogianya tidak larut di dalam nihilsme, melainkan mengarunginya,
M
memasuki horisonnya. Karena itu, bagi Nietzsche dan mereka yang memiliki
“roh yang bebas”, kematian Tuhan membuka horizon-horizon baru, “lautan
terbuka” sehingga “kapal-kapal kita dapat berlayar lagi, berlayar menempuh
M
segala bahaya”.457
Demikian pula, warta kematian Tuhan yang dideklarasikan
Nietzsche acap kali dibaca sebagai doktrin ateisme yang menihilkan eksistensi
Y
Tuhan dan peran-Nya dalam kehidupan umat beragama. Tidak sedikit teolog
yang melindungi ajaran mereka dengan berbagai dalih apologetik-retorik.
Namun, para apologetik biasanya terjebak pada kesalahan epistemologis
berupa argumentum ad hominem. Mereka menyalahkan gagasan pemikir
tertentu berdasarkan ‘kekurangan’ yang dimiliki sang pemikir. Mereka tidak
sadar bahwa relasi antara gagasan dan si penggagas retas tatkala gagasannya
menjadi teks dan otonom. Makna tidak sama dengan maksud pengarang.

457
Ibid., hlm. 132-133.
335
Analisis kepribadian pengarang hanya membuang-buang waktu dan tidak
membangun sebuah diskursus yang sehat.458
Dalam perspektif Donny Gahral Adian, kita bisa meminjam konsep
filsafat Prancis kontemporer, Paul Ricoeur tentang konsep distansiasi dan
apropriasi sebagai momen metodis pemahaman suatu wacana. Dalam bingkai
pemikiran Ricoeur, tanggapan terbaik terhadap wacana ateisme bukan
apologia, melainkan memakai kritik tersebut untuk mengambil jarak
(distansiasi) dari lingkaran prasangka yang menyelimuti kita (dalam hal ini
agama). Artinya, kita melakukan refleksi terhadap religiositas kita sendiri
berdasarkan kritik-kritik tersebut. Setelah distansiasi, kritik-kritik tersebut
D
kemudian kita apropriasi, yaitu kita maknai secara baru sebagai obat
pemurnian keimanan kita dengan membersihkan keimanan kita dari apa-apa
yang dituduhkan kaum ateis.459
U
Dalam konteks Nietzsche, ia mengkritik religiositas yang
mengasingkan manusia dari potensi-potensi kemanusiaannya. Sesuai konsep
Ricoeur, kritik tersebut sebaiknya dijadikan momentum distansiasi dari
M
religiositas praktis yang membuai kita selama ini. Kritik para pemikir
tersebut, pada umumnya, menyebutkan bahwa kebertuhanan telah
mengasingkan manusia dari kemanusiannya. Kritik tersebut harus membuat
M
kita masuk pada kesadaran bahwa selama ini manusia cenderung
menggambarkan Tuhan berdasarkan citra manusia (Tuhan digambarkan
layaknya akuntan yang menghitung-hitung baik dan buruk untuk diganjar
Y
surga dan neraka, Tuhan digambarkan layaknya majikan yang berkuasa penuh
atas manusia yang berperan sebagai budak belian skenario agung-Nya).
Kecenderungan antropomorfisme tersebut telah menghambat
realisasi potensi manusia. Salah satu contoh, penggambaran Tuhan sebagai
akuntan penghitung perbuatan baik dan buruk telah menghambat potensi

458
Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer
(Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hlm.18.
459
Ibid.
336
afektif maupun kognitif manusia. Manusia berbuat baik semata-mata karena
takut hukuman dan ingin pahala, bukan karena dilandasi raca cinta kasih
maupun pemahaman mengapa hukum moral tersebut dipasang.
Misi pewahyuan adalah mengembalikan kodrat manusia ke posisi
primordialnya, yaitu sebagai makhluk yang menempati posisi khusus dalam
struktur kosmos. Pemberhalaan menjadi musuh utama setiap nabi pengemban
wahyu karena merupakan tindak irasional dan dehuman sebab manusia
menyembah alam (batu, matahari, pepohonan) yang seharusnya berada di
bawah kendalinya. Namun demikian, sesungguhnya masih ada bentuk
pemberhalaan yang mendehumanisasi manusia, yaitu kecenderungan
D
antropomorfisme. Antropomorfisme sebagai kecenderungan manusia untuk
mengkonstruksi Tuhan berdasarkan citranya wajib didekonstruksi demi
berkembangnya kemanusiaan.460
U
Di sini kita bisa mengambil teladan pada sosok filsuf muslim
termashur, Muhammad Iqbal yang mengatakan bahwa manusia jangan
mengosongkan dirinya ke dalam Tuhan; Manusia ideal, menurut Iqbal, justru
M
harus menyerap sifat-sifat Tuhan untuk dijadikan kekuatan kreatif, elan vital
untuk mengubah dunia menjadi yang lebih baik untuk dihuni. Seperti telah
disebutkan di atas, wacana ateisme jangan buru-buru dinafikan, melainkan
M
digunakan sebagai instrumen refleksi dan pengayaan eksistensi. 461
Ketiga, eksistensi manusia unggul. Eksistensi manusia unggul yang
ditawarkan Nietzsche pun tidak jarang dipahami secara keliru sebagai figur
Y
kuat yang menghalalkan segala cara untuk meraih hasrat-hasratnya. Untuk
melampiaskan segala bentuk hasratnya, manusia unggul bebas melakukan
kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah. Penilaian tersebut sebenarnya
terlalu simplifikatif terhadap hakikat makna manusia unggul yang
dikonstruksi oleh Nietzsche. Manusia unggul tetap mampu membagikan spirit
belas kasih, tapi dengan alasan yang tepat: “If we are compassionate, we are

460
Ibid., hlm. 19-20.
461
Ibid., hlm. 20.
337
compassionate for the right reasons.462 Barangkali kita perlu menengok
kembali sejenak makna aforisme yang disuarakan melalui lisan Zarathustra
tentang tiga macam transformasi roh: unta, singa, dan bayi.
Makna sikap unta adalah sikap “iya” secara naif terhadap apa saja
yang datang. Unta akan selalu membutuhkan beban eskternal agar dia
memiliki pegangan hidup. Sedangkan singa adalah roh menidak naif yang
tahunya bilang “tidak” karena dia takut apapun yang menyentuhnya akan
menundukkannya, akan merebut wilayah kekuasaanya. Apa saja yang datang
sebagai ancaman, harus ditendang jauh-jauh. Reaktif, itulah kata yang pas
untuk memperlihatkan paranoia roh singa yang menggelegak penuh curiga
dan melawan apa saja yang datang.463
D

Peng-iya-an secara naif atas apa saja yang datang hanyalah


menyingkapkan jadi diri si penerima realitas: ialah unta, roh penurut yang
U
lemah, yang takut berhadapan dengan realitas sehingga realitas ia tanggung
(bahkan lalu ia nikmati) sampai ia sendiri hancur.464 Begitu juga, penidakan
secara naif hanyalah wujud sok kuat dari roh yang sebenarnya juga takut
M
terhadap apa saja yang datang. Di balik kegarangan raungan singa adalah
ketakutan akan realitas, sedemikian rupa sehingga apa pun dia tolak dengan
akibat dia berkubang menutup hidungnya dalam kesempitan gurunnya sendiri
M
dan mati dalam kepahitan menidak. Roh reaktif singa hanyalah gelembung
besar tenggorokan katak yang mau menakut-nakuti ular yang akan
menelannya. Di balik raungannya tersembunyi roh yang lemah. 465
Y
Lalu di mana roh kuat, yang nantinya oleh Nietzsche
dikumandangan sebagai Ubermensch? Secara paradoksal, roh yang mampu
menciptakan nilai-nilai baru adalah roh bayi, yang polos, yang dengan
kemurniannya memberikan afirmasi kudus pada apa saja yang datang.

462
Stephen Law, The Great Philosophers (London: Quercus,
2013), hlm. 241.
463
Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 63.
464
Ibid., hlm. 64.
465
Ibid.
338
Afirmasi ini bukan lagi topeng kelemahan unta dan singa untuk menutupi
ketakutan mereka akan realitas, melainkan sebuah iya dan tidak sekaligus
kepada realitas yang dari dirinya sendiri tidak perlu ditakuti atau pun
dipuja.466
Menurut Setyo Wibowo, puncak makna manusia unggul sebagai
bayi menunjukkan kelicinan sekaligus subtilitas pemikiran Nietzsche: Bahwa
yang kita imajinasikan kuat, justru di mata Nietzsche adalah apa yang dalam
imajinasi kita paling lemah. Dalam yang kelihatan lemah dan tak berdaya, ada
kekuatan afirmasi agung yang diberi klaim oleh Nietzsche setara dengan Sang
Pencipta Tertinggi. Ambisi sang manusia super, peziarah resah tanpa henti,
D
seniman agung yang tak pernah puas mencipta dan mencipta, sang Dionysos
dengan energi vital kreatif yang meledak-ledak, itu semua difigurkan dalam
puisi indah Zarathustra dengan bayi yang bermain. 467
U
Oleh sebab itu, dalam telaah Henry D. Aiken, sebenarnya ajaran
Nietzsche tentang manusia unggul hanya permukaan saja yang tampak
sebagai teori evolusi atau darwinis sosial. Yang sebenarnya ia kemukakan
M
bukanlah spesies baru, melainkan jenis manusia baru yang menggunakan
kemampuannya untuk melakukan transendensi diri dan yang menuntut dirinya
dan semua manusia unggul lainnya hak untuk melakukan transendensi diri
M
dan pemenuhan diri.
Pada dasarnya, ajarannya adalah suatu seruan religius atau etis untuk
melakukan suatu tindakan. Tuntutan agar manusia yang memiliki kemampuan
Y
yang unggul, dengan upaya yang penuh disiplin dan pengorbanan, bisa
mengatasi warisan reflektif kebinatangannya, tanggapan instingtual dan
warisan sosialnya berupa keseragaman yang rutin dan bersifat gerombolan.
Singkatnya, Nietzsche tidak pernah benar-benar tertarik pada persoalan ilmiah

466
Ibid., hlm. 64-65.
467
Ibid., hlm. 68.
339
tentang kemungkinan evolusi dari suatu spesies baru selain homo sepiens,
melainkan lebih pada kemungkinan spiritual dari homo sapiens. 468
Melampaui semua kategori, konsep tentang ubermensch, kepolosan
seorang bayi, manusia unggul ataupun manusia yang melampaui, bagi Setyo
Wibowo bukanlah konsep yang fixed dan menjadi final. Nietzsche tidak
pernah berpretensi mem-fixed-kan sebuah telos atau finalitas apapun untuk
realitas atau manusia. Dalam konteks ini, konsep ubermensch idealnya dibaca
sebagai strategi literer Nietzsche, yakni “sekadar kata—sebuah upaya tertatih-
tatih dan terlambat untuk mengatakan apa yang sebenarnya tidak bisa
dikatakan namun toh berguna untuk dipakai demi komunikasi terbatas—
D
ubermensch pun hanyalah kata. Pada dirinya sendiri Ubermensch tidak
merepresentasikan apa-apa, tidak menghadirkan apa-apa, ia hanyalah upaya
Nietzsche untuk mengajak kita paham akan sebuah kemanusiaan yang mampu
U
melampai manusia zamannya”.469
Keempat, moralitas Tuan. Moralitas tuan tawaran Nietzsche, bagi
para filsuf eksistensialis, seperti Heidegger, Jaspers, Sartre, dan Camus,
M
mampu mendobrak klise-klise budaya borjuis abda ke-19, menempatkan
kembali manusia yang asli ke pusat perhatian serta meramalkan kedatangan
nihilisme. Jadi, yang amat kuat pengaruhnya dalam banyak aliran filsafat
M
kemudian adalah kritik Nietzsche terhadap pelbagai kebohongan dan
kepalsuan dalam budaya masyarakat borjuis, termasuk budaya berpikir dan
berfilsafat.470 Begitu pula, kritik Nietzsche terhadap moralitas umum sebagai
Y
moralitas budak dalam tataran tertentu mengenai sasarannya.
Setiap moralitas dan setiap sistem nilai budaya akan mempunyai
kelemahan-kelemahan serta segi-segi yang ambivalen. Mungkin juga bahwa
justru moralitas resmi Eropa abad ke-19, moralitas “borjuis” dengan tekanan
pada hak milik, kemapanan, kesopanan yang mau meniru-niru budaya para

468
Henry D. Aiken, Abad Ideologi (Yogyakarta: Relief, 2010),
hlm. 249-250.
469
Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 335-336.
470
Suseno, 13 Tokoh Etika, hlm. 203-204.
340
bangsawan, dengan moralitas seksual yang sempit, dan dengan tekanan pada
unsuru-unsur seperti kerajinan, ketepatan waktu, dan sikap hemat,
mengandung unsur-unsur kemunafikan. Adalah jasa Nietzsche bahwa ia
membuka ambivalensi yang inheren dalam moralitas itu. Bahwa budaya hati
lebih daripada kemampuan untuk mengambil sikap-sikap tata krama tepat
dalam situasi, bahwa manusia hendaknya berani menjadi autentik, berani
menjadi diri sangatlah penting dan menjadi inti utama dalam etika
Eksitensialisme.
Sebuah etika yang hanya menekankan penyesuain diri dan sikap
menerima, yang memutlakan kerukunan dan menutup-nutupi konflik, yang
D
menuntut agar orang selalu membawa diri secara seimbang serta jangan
sampai menonjol dapat menjadi kerangkeng dan kebohongan eksistensial.
Kebaikan moral dapat merosot menjadi rasionalisasi kelemahan dan ketakutan
U
terhadap segala konfrontasi. Altruisme, sikap orang yang selalu
mendahulukan orang lain dan seakan melupakan diri serta senang melayani,
secara psikologis pun meragukan. Kepribadian yang kuat dan seimbang dalam
M
arti baik juga harus dapat menjadi marah, dapat menolak melayani, mampu
memperhatikan kebutuhan sendiri, berani bertindak melawan arus, serta
mengajukan tuntutan yang keras kepada orang.
M
Analisis Nietzsche dapat membuat kita menjadi lebih kritis terhadap
mutu moralitas kita sendiri. Petunjuk pada peran sentimen sebagai salah satu
daya motivatif kuat yang dapat meracuni seluruh sikap seseorang merupakan
Y
salah satu penemuan Nietzsche yang paling penting. 471
Akan tetapi, Franz Magnis juga memberi respons kritis terhadap
moralitas tuan Nietzsche: Apakah dari kemungkinan adanya distorsi-distorsi
dalam kesadaran moral dapat ditarik kesimpulan bahwa kesadaran moral itu
sendiri sesuatu yang negatif? Ambil saja tuntutan etika Jawa agar orang
bersedia untuk menerima. Bisa saja menerima menjadi kedok yang lemah,
takut konflik, dan tidak berani bertanggung jawab. Bisa saja orang itu

471
Ibid., hlm. 204-205.
341
“menerima” apa saja, menelan apa saja, membiarkan diri dihina dan diinjak
dan hanya malu-malu senyum saja. Namun, bukan itulah yang dimaksud
dengan sikap menerima.
Nerima berarti mampu menerima hal-hal yang berat tanpa patah,
tidak memberontak seperti anak kecil apabila mengalami peristiwa yang tidak
disenangi, tahu bahwa banyak pengalaman dalam hidup memang harus
diterima, tetapi kuat untuk tetap bangkit kembali, untuk terus bertanggung
jawab dan tetap berani bertindak. Orang yang dapat menerima kejadian apa
pun dari luar tidak dapat dihancurkan dan mampu untuk mulai lagi. Sikap
Nerima berarti bahwa orang dalam keadaan kecewa dan kesulitan pun
D
bereaksi dengan rasional, dengan tidak ambruk, dan juga dengan tidak
menentang secara percuma. Nerima menuntut kekuatan untuk menerima apa
yang tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Sikap
U
nerima memberi daya tahan untuk juga menanggung nasib yang buruk. Bagi
yang memiliki sikap itu suatu malapetaka kehilangan sengsaranya. Ia tetap
gembira dalam penderitaan dan prihatin dalam kegembiraan.472
M
Begitu pula, apakah perhatian kepada orang kecil, solidaritas aktif,
kesediaan untuk menunda pemuasan keinginan sendiri demi saudara
merupakan tanda kelemahan atau kekuatan? Bukankah amat aneh bahwa
M
Nietzsche menjelek-jelekkan baik kapitalisme maupun sosialisme? Siapa yang
lebih benar: Nietzsche yang mengatakan bahwa orang kuat mengikuti nafss-
nafsunya, atau para ahli kerohanian hampir segala agama dan kebudayaan
Y
yang, sebaliknya, mengatakan bahwa orang baru kuat kalau ia dapat
menguasai nafsu-nafsunya? Apa bedanya antara mengikuti segala kehendak,
insting, dan nafsu serta diperbudak olehnya? Tekanan agama Kristiani, dan
juga agama Islam serta Kejawen agar manusia menguasai diri, merupakan
tanda kekuatan, bukan kelemahan. Bukankah orang yang kuat adalah orang

472
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2001), hlm. 143.
342
yang tenang, yang tidak ditentukan oleh apapun yag tidak disetujuinya?
Barangkali maksud Nietzsche begitu pula.
Namun, tekanannya pada nilai-nilai vital, pada kebinatangan dalam
manusia serta pada nafsu dan insting, disertai cemoohannya terhadap mereka
yang menguasai diri, memberikan kesan bahwa ia justru tidak tahu apa arti
kepribadian yang kuat. Siapa yang lebih kuat: orang yang langsung mau
membalas dendam, yang cepat mata gelap, yang begitu kena senggol menarik
clurit, atau orang yang hanya tersenyum atau bahkan tertawa serta bersedia
berjabat tangan? Lagi, yang kuat itu siapa? Orang yang begitu kena pukul tak
bisa pukul kembali, atau orang yang, sebagaimana dituntut Yesus, kalau
D
dipukul pipi kanannya dengan tenang menawarkan pipi kirinya? Begitu pula,
kebebasan untuk mengakui manusia yang lemah merupakan tanda kekuatan
kepribadian dan bukan tanda kelemahan. 473
U
Akhirnya terlepas dari kekurangan epistemologi nihilisme yang
disuarakan Nietzsche, ia tetap mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam
berbagai aspek pemikiran. Secara spesifik, ia sudah mengantisipasi nada
M
posmodernisme: sebuah sikap estetik terhadap dunia yang melihatnya sebagai
sebuah “teks”, penyangkalan atas fakta, penyangkalan atas esensi, merayakan
pluralitas interpretasi dan diri yang terfragmentasi, selain itu juga perendahan
M
rasio dan politisasi diskursus—semua gagasan ini menunggu penemuannya
kembali pada akhir abad ke-20.
Nietzsche juga sudah diakui para pengikutnya sebagai penulis paling
Y
bergaya yang sulit ditandingi dan perspektivismenya telah bergema kuat pada
perubahan peranti kesusastraan—dalam humor, ironi, pelebih-lebihan,
aforisma, penghayatan, dialog, parodi—untuk mengeksplorasi kehidupan dan
sejarah manusia secara lebih kuat, tajam, mendalam dan kritis. 474 Warna
pengaruh filsafatnya bukan hanya berpengaruh pada filsuf-filsuf besar seperti
Karl Jaspers, Martin Heidegger, Michel Foucault, dan Jacques Derrida dari

473
Ibid., hlm. 205-206.
474
Blackburn, Kamus Filsafat, hlm. 603.
343
wilayah Barat, tapi juga bergema pada sosok pujangga sekaligus filsuf besar
muslim asal Pakistan: Muhammad Iqbal. 475
D
U
M
M
Y

475
Lihat dalam St. Sunardi, Nietzsche, hlm. 177-258.
344
DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra,


2006.
Aiken, Henry D. Abad Ideologi. Yogyakarta: Relief, 2010.
Armstrong, Karen. A History of God. London: Vintage Books, 2001.
As-Sarraj, Abu Nashr. Al-Luma. Terj. Wasmukan & Samson Rahman.
Surabaya: Risalah Gusti, 2002.
Ayer, Alfred J. Language, Truth, and Logic. New York: Dover, 1952.
Abidin, Zainal Filsafat Manusia. Bandung: Rosdakarya: 2003.
Blackburn, Simon. Kamus Filsafat. Terj. Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka
D
Pelajar, 2013.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia,
U
2002.
________. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1975.
________. Filsafat Kontemporer Perancis. Jakarta: Gramedia, 2001.
M

________. Panorama Filsafat Modern . Jakarta: Teraju, 2005.


Capra, Fritjof. Titik Balik Peradaban. Terj. Thoyibi. Yogyakarta: Bentang,
2000.
M

________. Jaring-Jaring Kehidupan. Terj. Saut Pasaribu. Yogyakarta: Fajar


Pustaka, 2002.
________. The Hidden Connections. Terj. Andya Primanda. Yogyakarta:
Y
Jalasutra, 2007.
________. The Tao of Physics. Terj. Aufiya Ilhamal Hafizh. Yogyakarta:
Jalasutra, 2000.
Copleston, Frederick. A History of Philosophy. Volume 1. London: Burns
Oates & Washbourne, 1958.
__________. A History of Philosophy. Volume 7. Logical Positivism and
Existentialism. London: Burns and Oates Limited, 2003.
Durant, Will. The Story of Philosophy. New York: Simon and Schuster, 1961.
345
Elster, John. Karl Marx. Terj. Sudarmaji. Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000.
Frost, S. E. Basic Teaching of The Great Philosophers. New York: Anchor
Books, 1989.
Gaarder, Jostein. Dunia Sophie. Terj. Rahmani Astuti. Bandung: Jakarta,
1997.
Goleman, Daniel. Working With Emotional Intelligence. New York: A
Bantam Books, 1999.
________. Emotional Intelligence. New York: A Bantam Books, 1999.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius,
1980.
D
Hadi, P. Hardono. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius,
1994.
Hadiwijoyo, Harun Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius,2005.
U
________. Sari Sejarah Filsafat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
________. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Buku Baik, 2004.
M
Hawton, Hector. Filsafat yang Menghibur. Terj. Supriyanto Abdullah.
Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.
Haught, John F. Perjumpaan Sains dan Agama. Terj. Fransiskus Borgias.
M
Bandung: Mizan, 2004.
Heidegger, Martin. Being and Time. Trans. Joan Stambaugh. New York:
State University of New York Press, 1996.
Y
Heriyanto, Husain. Paradigma Holistik. Jakarta: Teraju, 2003.
Hitchcock, Louise A. Theory for Classics. USA: Routledge, 2008.
Hidayat, Komaruddin. Psikologi Ibadah. Jakarta: Serambi, 2008
________. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: Teraju, 2003.
Hidayat Komaruddin dan Muhamad Wahyudi Nafis. Agama Masa Depan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Hill, Napoleon. Think and Grow Rich. New York: Ballantine Books, 1983.
Hunnex, Milton D. Peta Filsafat. Terj. Zubair. Jakarta: Teraju, 2004.

346
Iqbal, Muhammad. Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam. Terj. Ali
Audah dkk. Yogyakarta: Jalasutra, 2002.
James, William. The Varieties of Religious Experience. New York:
Touchstone Rockefeller, 1997.
Jones, Pip. Pengantar Teori-Teori Sosial. Terj. Achmad Fedyani Saifudin.
Jakarta: Obor, 2009.
Kaelan. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta:
Paradigma, 2005.
Kartanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Waktu. Bandung: Mizan, 2005.
________. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006.
D
Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat. Terj, Soejono Soemargono.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Kenny, Anthony. A Brief History of Western Philosophy. United Kingdom:
U
Blackwell Publishing, 2006.
________. Western Philosophy. USA: Blackwell Publishing, 2006.
Law,Stephen. The Great Philosophers. London: Quercus: 2007.
M
Levine, Peter. Beyond Good and Evil. New York: Cambridge University
Press, 2002.
Marcuse, Herbert. Rasio & Revolus. Terj. Imam Bauhaqie. Yogyakarta:
M
Pustaka Pelajar, 2004.
Magee, Bryan. Memorar Seorang Filosof. Terj. Eko Prasetyo. Bandung:
Mizan, 2005.
Y
________. The Great Philosophers. New Yor: Oxford University Press, 1987.
Magnis-Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
________. 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
________. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia, 2001.
Misbah Yazdi, Muhammad Taqi. Buku Daras Filsafat Islam. Terj. Musa
Kazhim dan Saleh Bagir. Bandung: Mizan, 2003.
Mills, Wright. Kaum Marxis. Terj. Imam Muttaqien. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.

347
Morris Weitz (ed.). Twentieth-Century Philosophy: The Analytic Tradition.
New York: Free Press, 1966.
Muzairi. Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002.
Nizami. Layla Majnun. Terj. Sholeh Gisymar. Yogayakarta: Navila, 2006.
Nietzsche, Friedrich. Senjakala Berhala dan Anti-Kris. Terj. Hartono
Hadikusumo. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002.
________. Ecco Homo. Terj. Omi Intan Naomi. Yogykarta: Pustaka Pelajar,
2005.
________. Zarathustra. Terj. H.B. Jassin. Yogyakarta: Jejak, 2001.
D
__________. Beyond Good and Evil. New York: Cambridge University Press,
2002.
Palmquis, Stephen. Pohon Filsafat. Yogyakarta: Pusyaka Pelajar, 2007.
U
Pojman, Louis P. Philosophy The Pursuit of Wisdom. Amerika: Wadsworth
Publishing Company, 1998.
Praja, Juhaya S. Aliran-Aliran Filsafat &Etika. Jakarta: Prenada Media, 2003.
M
Prasetyo, Emanuel. Tema-Tema Eksistensialisme. Surabaya: Fakultas Filsafat
Unika Widya Mandala Surabaya, 2014.
Rakhmat, Jalaluddin. Islam dan Pluralisme. Jakarta: Serambi, 2006.
M
Ramly, Andy Muawiyah. Peta Pemikiran Karl Marx. Yogyakarta: LkiS,
2000.
Roswantoro, Alim. Menjadi Diri Sendiri Dalam Ekstensialisme religius Soren
Y
Kierkegaard. Yogyakarta: Idea Press, 2008.
___________. Tuhan Dan Kebebasan Manusia Dalam Eksistensialisme
Ateistik. Yogyakarta: Idea Press, 2008.
___________. Muhammad Iqbal. Yogyakarta: Idea Press, 2009.
Roth, John K. Persoalan-persoalan Filsafat Agama. Terj. Ali Noer Zaman.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Ridling, Zaine. Philosophy Than and Now. New York: Access Foundation,
2001

348
Ritzer, George. Modern Sociological Theory. Amerika: Mc Graw-Hill, 2000.
________. Classical Sociological Theory. America: McGraw Hill, 2000.
________. Teori Sosiologi. Terj. Saut Pasaribu, dkk. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012.
Rolston III, Holmes. Science and Religion A Critical Survey. New York:
Random House, 1987.
Russell, Bertrand. Berpikir Ala Filsuf. Terj. Basuki Heri Winarno.
Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.
________. History of Western Philosophy. London: George Allen & Unwin
LTD, 1975.
D
________. Sejarah Filsafat Barat. Terj. Sigit Jatmiko, dkk. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Sarup, Madan. Postrukturalisme & Posmodernisme. Bandung: Jalasutra,
U
2008.
Sartre, Jean Paul. Eksistensialime dan Humanisme. Terj. Yudhi Murtanto.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
M
________. Filsafat Eksistensialisme. R. Sani Wibowo, dkk (ed.). Yogyakarya:
Kanisius, 2011.
Shah, Idries. Mahkota Sufi. Terj. Hidayatullah & Roudlon. Surabaya: Risalah
M
Gusti, 2000.
Stokes, Philip. Philosophy 100 Essential Thinker. New York: Enchanted Lion
Books, 2003.
Y
Sudarminta, J. Epistemologi Dasar. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Suriasumantri, Jujun S. (ed). Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Obor Indonesia,
2009.
Sutrisno, Mudji. Ranah Filsafat dan Kunci Kebudayaan. Yogyakarta:
Galangpress, 2010.
________. dan Hendar Putranto. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius, 2005.
Sunardi, St. Nietzsche. Yogyakarta: LkiS, 1996.

349
Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
________. Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
________. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia, 2001.
________. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: Rosda Karya, 2004.
Tjaya, Thomas Hidya. Kierkegaard. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
2004.
Titus, Harold H. Persoalan-Persoalan Filsafat. Terj. Rasjidi. Jakarta: Bulan
Bintang, 1984.
Tuner, Bryan S. (ed). Teori Sosial Dari Klasik sampai Postmodern. Terj.E.
D
setiyawati A dan Roh Shufiyati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Van De Weyer, Robert. 366 Reading from Islam. Mumbai: Jaico Publishing,
2003.
U
Velasquez, Manuel. Philosophy A Text With Reading. New York: Wadsworth
Publishing Company, 1999.
Vincent Peale, Norman. Change Now. Terj. Teguh W. Utomo. Yogyakarta:
M
Baca, 2007.
Watloly, Aholiab. Sosio Epistemologi. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Wibowo, A. Setyo, dkk. Para Pembunuh Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
M
______. Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press, 2004.
Yusuf Lubis, Akhyar. Paul Feyerabend. Jakarta: Teraju, 2003.
Zaprulkhan, Filsafat Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014.
Y
________. Sakit Yang Menyembuhkan. Bandung: Mizan, 2008.
Sumber internet:
http://www.public.asu.edu/~jmlynch/273/documents/sartre-existentialism-
squashed.pdf,hlm 2. Diakses pada Mei 2017.

350
BIOGRAFI PENULIS

Dr. Zaprulkhan, S.Sos.I, M.S.I adalah putra keempat di antara enam


bersaudara dari pasangan Khan Muhammad dan Zahra. Ia lahir di Gisting,
Lampung pada 27 Mei 1976. Ia merupakan santri alumni pesantren Mahir
Arriyadl Ringin Agung, Kepung, Pare Kediri, Jawa Timur selama tujuh tahun
dari tahun 1992-1999. Dalam pesantren yang sangat menanamkan
kemandirian dan kesahajaan ini, ia mendalami wacana-wacana tasawuf di
bawah bimbingan seorang kyai yang sangat berkompeten dalam bidang
tasawuf, Kyai Zaed Abdul Hamid. Selama tahun 2000, kira-kira selama
sepuluh bulan, ia mengikuti pula pelajaran Bahasa Inggris di Mahesa Institute,
D
Pare, Kediri, Jawa Timur.
Ia menyelesaikan Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam
(SI) Fak Dakwah IAIN Raden Fatah pada tahun 2005 dengan Yudisium
U
Cumlaude. Pada tahun yang sama, ia langsung melanjutkan Studi Program
Magister (S2) pada Program Studi Agama dan Filsafat dengan Jurusan
Filsafat Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan tamat pada awal Maret
M

tahun 2007 sebagai wisudawan teladan Terbaik Tercepat yang ditempuh


tepat delapan belas bulan atau setahun setengah. Dan pada tahun yang sama
pula langsung menempuh Program Doktor (S3) di almamater yang sama dan
M

selesai pada bulan Juli 2011. Sejak awal Januari tahun 2009, ia menjadi dosen
di IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung.
Ada sejumlah seminar dan pelatihan yang telah penulis ikuti sewaktu
Y
masih menjadi mahasiswa, baik ketika SI, S2 atau pun setelah rampung S3
hingga sekarang. Setelah menjadi Dosen, ia pernah menjadi Nara
Sumber/Pembicara dalam beberapa seminar internasional seperti:
 Sebagai Nara Sumber dalam International Symposium: "Peace in
Islam: Said Nursi's Thought on Social Harmony, Education, and
Revivalism" di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta-Indonesia, 2009.

351
 Sebagai Nara Sumber dalam International Conference: "Rethinking
Islamic Education and Islamic (Their Contribution to Social
Harmony)” di Bangka-Indonesia, 2009.
 Sebagai Nara Sumber dalam The International Symposium: “Character
Building in Achieving National Education Goal” di Bangka-Indonesia,
2013.
 Sebagai Nara Sumber dalam International Symposium: “The Role and
Place of Prophethood in Humanity’s Journey to the Truth: The
Perspective of the RISALE-I NUR” di Istambul-Turki. 2013.
 Sebagai Nara Sumber dalam International Symposium “The Attainment
D
of Justice, Prosperity, And Peace In Pluralism For Revitalization of
Civilization: The The Risale-I Nur Perspective” di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta-Indonesia, 2014.
U
 Sebagai Nara Sumber dalam Annual International Conference on
Islamic Studies (AICIS): “Harmony in Diversity: Promating
Moderation and Preventing Conflicts in Socio-Religioys Life” ke-15 di
M
Manado, Sulawesi Utara-Indonesia, 2015.
 Sebagai Nara Sumber dalam The16th Annual International Conference
on Islamic Studies (AICIS): “The Contribution Of Indonesian Islam To
M
The World Civilization” State Institute of Islamic Studies (IAIN) Raden
Intan Lampung-Indonesia, 2016.
 Sebagai Nara Sumber dalam International Conference on Apocalyptical
Y
Theology and Being Relogious in Changing World, State University of
Islamic Studies (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017.
Selain itu ada beberapa artikelnya yang telah dipublikasikan dalam
beberapa jurnal seperti Esensia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin (Fak
Ushuluddin UIN Yogyakarta), Jurnal Mawa’izh Prodi Dakwah STAIN SAS
Babel, Jurnal Tawsiah STAIN Syaikh Abdurrhaman Siddik Bangka-Belitung,
Jurnal Asy-Syar’iyah STAIN SAS Babel, Jurnal Noura STAIN SAS Babel,
Jurnal Scientia STAIN SAS Babel, Jurnal Edugma STAIN SAS Babel, Jurnal

352
Tarbawy STAIN SAS Babel, Jurnal Review Politik (JRP) Fakultas
Ushuluddin IAIN Sunan Ampel-Surabaya (2014), Jurnal Episteme Pasca
Sarjana, IAIN Tulungagung (2014), Jurnal Wali Songo, IAIN Wali Songo-
Semarang (Mei, 2014 & Desember, 2015) Jurnal Teologia, IAIN Wali Songo-
Semarang (Juli-Desember 2013), Jurnal Kalam, Fakultas Ushuluddin IAIN
Raden Intan Lampung (Agustus-September 2013), Jurnal Analisis, IAIN
Raden Intan Lampung (Juni 2014), Jurnal Farabi, IAIN Gorontalo (Juni
2015), Jurnal al-Tahrir, STAIN Ponorogo (Desember 2015), dan juga surat
kabar, Harian Sumatera Ekspres (Palembang), Harian Bangka Pos dan
Babel Pos (Bangka-Belitung).
D
Sementara itu, ia juga telah menulis kurang lebih dua puluh lima karya
dalam bentuk Buku yang di antaranya adalah:
1. Renungan-Renungan Ramadhan (Global Pustaka Utama tahun
U
2003),
2. Kisah-Kisah Penuh Hikmah Yang Sanggup Menumbuhkan IQ, SQ,
dan EQ (Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2006),
M
3. Puasa Ramadhan Sebagai Terapi Pencerahan Spiritual (Jakarta:
Hikmah, 2007),
4. Kado Pernikahan (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007),
M
5. Sakit Yang Menyembuhkan (Bandung: Mizania, 2008),
6. Misteri Rakusnya Nabi Sulaiman (Jakarta: Sejuk, 2009),
7. Mewarisi Kearifan Pujangga Sufi (Yogyakarta: Idea Press, 2011).
Y
8. Spirit of Success And Meaningful Life (Yogyakarta: Idea Press,
2012).
9. Filsafat Umum: Sebuah Pendekatan Tematis, cet-2, (Jakarta:
Rajawali Grafindo, 2013).
10. Kisah-Kisah Sufistik: Membingkai Makna Hidup Melalui Kisah-
Kisah Sufistik (Yogyakarta: Idea Press, 2013).
11. Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematis (Jakarta: Rajawali Grafindo,
2014)

353
12. Merenda Wajah Islam Humanis (Yogyakarta: Idea Press, 2014)
13. Pernikahan Sakral (Yogyakarta: Idea Press, 2015)
14. Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer (Jakarta: Rajawali
Grafindo, 2015)
15. Mukjizat Puasa (Jakarta: Quanta EMK, 2015)
16. Pencerahan Sufistik (Jakarta: Quanta EMK, Gramedia, 2015)
17. Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik (Jakarta: Rajawali Grafindo,
Januari, 2016)
18. Hikmah Sakit: Mereguk Kasih Sayang Ilahi Badiuzzaman Said
Nursi (Jakarta: Quanta EMK, Gramedia, 2016)
19. Belajar Kearifan Hidup Bersama Jalaluddin Rumi dan Sa’di
D

Syirazi (Jakarta: Quanta EMK, Gramedia, 2016)


20. Kesuksesan Autentik (PT. Elex Media Komputindo, Gramedia, 2016)
U
21. Islam yang Santun dan Ramah, Toleran dan Menyejukkan (Jakarta:
Quanta EMK, Gramedia, 2017)
22. Signifikansi Epistemologi Pembacaan Hermeneutis Ali Harb
M
(Yogyakarta: Idea Press, 2017)
23. Rekonstruksi Paradigma Fiqih Moderat Dalam Perspektif Jamal al-
Banna (Yogyakarta: Idea Press, 2017)
M

Antology books:
1. Arah Baru Studi Islam Di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2008),
Y
2. Pernak Pernik Wacana Baru Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2010),
3. Panorama Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz,
2010)
4. Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer (Yogyakarta: Idea Press,
2011)
5. Merawat Nusantara (Malang: Genius Media, 2017)
6. Pendidikan Karakter: Strategi dan Aksi (Malang: Genius Media,
2017).
e-mail: zaprulkhan_zahra@yahoo.co.id / HP: 0813-6737-1535.

354

Anda mungkin juga menyukai