F.Budi Hardiman
Abstrak Kuliah
Berkembangnya teknologi digital telah
mengubah perilaku manusia. Hubungan
antara manusia dan teknologi tidak superfisial,
melainkan menyangkut gambaran diri
manusia. Perubahan manakah yang terjadi,
jika ditinjau dari segi antropologis? Kuliah kita
akan mendekati fenomena komunikasi digital
dengan fenomenologi lunak. Kita akan mulai
dengan konsep ‘dunia digital, dan dari situ
membahas hubungan antara manusia dan
dunia digital. Kuliah akan ditutup dengan
sebuah kesimpulan dan dilanjutkan dengan
diskusi.
Pokok-pokok Gagasan
1. Pernyataan Posisi
2. Duduk Masalah
4. Dunia Digital
6. Perubahan-perubahan Perilaku
7. Kesimpulan
Posisi: Realisme Kritis
Ada 3 posisi dalam merespons teknologi
digital:
1. Antusiasme teknologis
2. Konservatisme humanis
3. Realisme Kritis
Saya mengambil posisi ‘realisme kritis’,
yakni: pandangan bahwa teknologi digital
membuka kemungkinan-kemungkinan baru
yang bermanfaat bagi manusia, tetapi juga
membawa bahaya-bahaya baru.
Status Quaestionis
Perubahan apa yang terjadi pada perilaku dan pemikiran, sejauh ditinjau
dari segi antropologis?
Manfaat mempelajari jawabannya
1. Memahami kondisi kita sebagai manusia dewasa ini
2. Menyadari bahaya-bahaya yang dapat muncul dari komunikasi
digital
3. Membantu menggunakan teknologi digitaldengan bajik dan
bijak
Fenomenologi
Lunak sebagai
Pendekatan
Fenomenologi adalah pendekatan yang
diperkenalkan oleh E. Husserl
Sistem Dunia
Sistem
Sistem
Dunia Digital
Dunia moral?
Dunia netral?
Tatanan?
Kekacauan?
Kebebasan?
Pengawasan?
Dunia Digital dan Dunia
Korporeal
Dunia Korporeal
Manusia dalam Filsafat
Dalam filsafat manusia direfleksikan secara mendalam:
1. Direnungkan sampai pada ‘esensi’ atau ‘kodrat’ yang menentukan manusia sebagai manusia
3. Renungan antropologis itu memiliki klaim universal, yakni: ciri yang diperoleh itu berlaku bagi
manusia dari segala kebudayaan => kemanusiaan universal
4. Hasil renungan menunjukkan aspekaspek atau dimensi-dimensi yang berbeda dari manusia
Homo faber
Homo ludens
Homo religiosus
Homo oeconomicus…dst
Manusia
Contoh: MRI/Ctscan
3. Alterity relation
Hermeneutics
Alterity
Background
Ciri Hubungan Manusia dan
Dunia Digital
1. Manusia berubah bentuk lebih cepat daripada dalam dunia
korporeal
2. Dilepaskan dari beban kebertubuhan
3. Hilangnya batas-batas antara kesejatian dan kepalsuan
4. Berbagi dan banalitas
5. Berubahnya Diri lewat teknologi
1. Berubah bentuk lebih cepat….
Teknologi digital memungkinkan manusia menggandakan diri, menyebarkan diri, dan mengubah
jati diri di dalam komunikasi
Menurut Canetti manusia adalah mahluk yang mampu berubah bentuk. Dalam komunikasi digital
perubahan bentuk (mimikri, metamorphosis, komuflase) difasilitasi secara teknologis (dengan
video editing, photoshop, stickder, dst.)
Dunia digital berisi citra-citra yang mengisi kepala kita dan mengarahkan tindakan, dan citra-citra
itu dianggap real. Baudrillard menyebutnya simulacra. Citra-citra bersifat ‘cair’, yakni: cepat
berubah bersamaan dengan aliran pesan-pesan dan menimbulkan efek phantasmagoria
(Benjamin) pada subyektivitas pengguna.
Perubahan bentuk yang cepat bisa berarti hilangnya identitas, sensibilitas, dan otentisitas…
2. Dilepaskan dari beban
kebertubuhan
Komunikasi digital memiliki tiga ciri:
1. Dekorporealisasi
2. Deteritorialisasi
3. Banalisasi
Di satu pihak banyak kemudahan baru disediakan oleh komunikasi digital, tetapi di lain pihak
kemudahan itu mengurangi sensibilitas pengguna (desensibilisasi) karena absensi kehadiran
korporeal. Kehadiran korporeal menjangkarkan kita pada bumi, memungkinkan komitmen dan
pengorbanan, dan memberi bobot “lebih” personal dalam perjumpaan. Semua ini berkurang
secara signifikan dalam komunikasi digital, bukan karena kesalahan kita, tapi karena sistem ICT
yang melayani kita.
3. Hilangnya batas-batas
kesejatian dan kepalsuan
Eksistensialisme memberikan ‘tujuan’ antropologis, yakni ‘menjadi diri sendiri’ atau otentisitas.
Namun di era digital otentisitas tidak begitu dipentingkan. Yang terpenting adalah ‘mendapat
atensi’ entah dengan cara otentik atau inotentik.
Si “aku” tidak lagi menampilkan ‘diri’nya yang sesungguhnya, melainkan merupakan ‘cermin
komunikasi’ saja karena aliran pesan-pesan membentuk jati dirinya. Dalam dunia korporeal,
memang komunikasi membentuk diri kita, tetapi jalannya lambat. Saat ini komunikasi berjalan
sangat ceopat sehingga orang tidak bicara tentang ‘jati diri’, melainkan ‘modifikasi diri’.
Si “aku” dipandang sebagai gumpalan informasi yang tidak memiliki inti, yakni kosong di bagian
dalamnya.
4. Berbagi dan Banalitas
Wajah ganda komunikasi digital tampak dalam dua hal: Di satu pihak media-media sosial
memungkinkan kita cepat berbagi ide, perasaan, harapan kepada orang-orang lain; namun di lain
pihak – karena luapan informasi – kegiatan komunikasi ini menjadi dangkal atau banal (bdk.
Eichmann menurut Hannah Arendt). Kita meneruskan pesan atau membaca pesan bukan karena
perlu, melainkan karena ‘takut tertinggal’ atau sekadar ‘rasa ingin tahu’ (bdk Heidegger).
5. Berubahnya Diri lewat
Teknologi
Teknologi digital berciri interaktif sehingga menjadi “alter-ego” bagi ego. Don Ihde menjelaskan 4
pola hubungan antara manusia dan teknologi, yaitu: embodiment, hermeneutics, alterity, dan
background.
Hubungan antara manusia dan teknologi digital adalah ‘hermeneutics’, ‘alterity’ dan ‘background’
2. Muncul perilaku yang ‘dikendalikan dari luar’ (Riesman), bukan dari aktor itu sendiri.
Fanatisme, misalnya, tidak ‘given’, melainkan ‘formed’ bukan oleh seseorang dari luar, melainkan
oleh robot-robot pengirim pesan yang dari luar mengendalikan perilaku pengguna. Orang berubah
menjadi fanatik padahal dirinya sebelumnya tidak fanatik.
3. Distingsi klasik antara publik dan privat mulai kabur dan tidak diperhatikan. Terjadi
disorganisasi perilaku karena ‘locus’ perilaku tidak lagi mendapat perhatian dalam dunia digital.
Cepat atau lambat, perubahan ini akan berdampak pada perilaku korporeal.
4. Internet memungkinkan orang menjadi ‘omniscience’, sehingga dewasa ini kita cenderung
mengandaikan bahwa semua orang tahu semua yang ada di internet. Pengandaian ini tentu tidak
benar, karena nyatanya orang pasti hanya tahu sebagian. Akibatnya, tingkat kontingensi dalam
komunikasi meningkat. Orang lain makin unpredictable. Orang mulai sulit membedakan konteks
percakapan, apakah percakapan terjadi di dunia digital atau di dunia korporeal. Kondisi
percakapan ini menjadi sangat kompleks dan tidak dialami sebelum era digital.
5. Di satu pihak teknologi digital memungkinkan pengawasan, misalnya: memotret polisi yang
curang, tetapi di lain pihak teknologi tsb juga potensial menghasilkan pengawasan panoptik yang
membatasi kebebasan kita. Dewasa ini setiap orang bisa merasa diamati dan bahkan dikejar
paparazzi.
Apakah si “Aku” dalam Dunia
Digital?
Ke-aku-an termasuk fenomena sulit yang direnungkan dalam
antropologi. Descartes memberikan fondasi sederhana untuk
percaya bahwa si ‘aku’ itu ada, yakni: sebagai aktivitas berpikir
(cogito). Sepanjang filsafat modern pasca Cartesian (Kant, Fichte,
Hegel, Comte, dst.) eksistensi ke-aku-an makin dikokohkan.
Meski demikian, Hume di abad ke-18 sudah mempersoalkan
substansialitas ke-aku-an dengan menganggapnya sebagai a bundle
of perceptions. Di awal abad ke-20 Simmel juga bicara tentang si
‘aku’ bukan sebagai substansi, melainkan relasi-relasi. Agaknya
kompleksitas sosial menyebabkan orang mulai memikirkan ke-aku-
an sebagai acuan-acuan komunikasi.
Perubahan konsep ke-aku-an itu menjadi jelas dalam komunikasi
digital.
Si “Aku” dalam Komunikasi
Digital
Si “aku” tidak stabil, mudah berubah, karena dalam komunikasi digital dimungkinkan kecepatan
dalam perubahan peran.
Sebelum era digital si “aku’ mengacu pada tubuhnya (bdk. Descartes), tetapi dalam komunikasi
digital si “aku” mengacu pada pesan yang selalu berubah. Tubuh itu sendiri berubah menjadi
pesan, sehingga terbentuk fluid self yang identitasnya ditentukan oleh jaringan komunikasi.
Apakah si “aku” sebuah ilusi, ilusi ego? Si ‘aku’ bukan ilusi, melainkan nyata. Memang ego terjadi
dari ‘sistem diferensiasi’ (Simmel/Luhmann) yang berciri struktural yang membuat antinomi biner
(Derrida) ‘aku’ dan ‘kamu’, tetapi pemakaian kata ‘aku’ dalam bahasa dan komunikasi akan juga
menghasilkan acuan tetap yang disebut ‘aku’. Acuan tetap ini memang bukan substansi,
melainkan ‘gumpalan’ relasi-relasi yang bisa berubah merespons lingkungan. Namun
subyektivitas si ‘aku’ tetapmerupakan dirinya.
Kesimpulan
Hubungan antara manusia dan teknologi digital
bukan hanya bersifat eksternal, seperti misalnya
pemakaian gergaji, melainkan juga internal, yakni:
melibatkan isipikiran dan perasaan pemakai
teknologi itu.