Anda di halaman 1dari 66

TUGAS KHUSUS

LAPORAN PEMANTAUAN TERAPI OBAT


PADA PASIEN COVID-19
DI RUANGAN RAWAT INAP PULAU NUMFOR
RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO
JL. Bendungan Hilir No.17 Jakarta Pusat
PERIODE 22 FEBRUARI – 31 MARET 2021

Disusun oleh:

IMAS SULVI , S. Farm. 2043700186

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA
2021

HALAMAN PENGESAHAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


Memperoleh Gelar Apoteker (Apt)
Program Studi Profesi Apoteker

Disusun Oleh :

Imas Sulvi, S.Farm 2043700186

Telah disetujui oleh :

Pembimbing PKPA
RS TNI-AL Dr.Mintohardjo

Arief Fatkhur. R, S.S.Si. M. Farklin., Apt

ii
Mayor Laut (K) NRP 18350/P

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah serta nikmat-Nya yang tak terhingga, shalawat
beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Salallahu
Alaihi Wasallam beserta keluarga dan sahabatnya, serta umatnya hingga akhir
zaman. Alhamdulillah, pada akhirnya penulis dapat menyelesaikanLaporan
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) bidang Rumah Sakit TNI AL Dr.
Mintohardjo Jakarta Pusat.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Arief Fatkhur. R, S.Si. M.
Farklin., Apt sebagai pembimbing di RSAL Dr. Mintohardjo dan Ibu apt. Sylvi
Hartuti, M.Farm sebagai pembimbing di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
yang terlah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan dukungan moril
serta saran selama pelaksanaan PKPA di Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo
periode 22 Februari – 31 Maret 2021.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Nina Jusnita, S.TP., M. Si, selaku Dekan Farmasi Universitas 17 Agustus
1945.
2. Apt. Diah Ramadhani, M.Si selaku Ketua Program Studi Profesi Apoteker
Universitas 17 Agustus 1945.
3. Kolonel Laut Bapak Barkah Siswoyo, S.Si., Apt., selaku kepala Departemen
Farmasi Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo.
4. Mayor Laut (K) Arief Fatkhur.R, S. Si, M. Farklin., Apt., yang telah
membimbing penyuluhan Kesehatan masyarakat di Rumah Sakit dan
mengenalkan fungsi apoteker di apoteker.

iii
5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo
yang telah membantu PKPA kami selama di Rumah Sakit.
6. Seluruh pegawai Apotek Rawat Jalan, Rawat Inap dan Yanmasum Rumah
Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo yang telah membantu kami selama PKPA di
Rumah Sakit.
7. Seluruh staf pegajar Program Profesi Apoteker Universitas 17 Agustus 1945.
8. Orang tua dan keluarga besar yang senantiasa memberikan bantuan,
dukungan dan doa selama pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini.
9. Teman-teman mahasiswa Program Profesi Apoteker Universitas 17 Agustus
1945 Jakarta angkatan XXXXIII, atas segala bantuan yang telah diberikan.

Penyusun sangat menyadari bahwa laporan ini belum sempurna, oleh karena
itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Penyusun berharap ilmu
dan pengalaman yang didapatkan selama Praktek Kerja Profesi Apoteker ini dapat
berguna pada saat menjalankan profesi sebagai Apoteker dalam lingkungan
masyarakat dan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Jakarta, Maret 2021

Penyusun

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...i
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................................ii
KATA PENGANTAR.....................................................................................................iii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................v
DAFTAR TABEL..........................................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Tujuan...............................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................3
2.1 Pemantauan Terapi Obat (PTO)...........................................................................3
2.1.1 Defenisi.......................................................................................................3
2.1.2 Seleksi Pasien..............................................................................................3
2.1.3 Identifikasi Masalah Terkait Obat..............................................................4
2.1.4 Rekomendasi Terapi...................................................................................5
2.1.5 Rencana Pemantauan..................................................................................5
2.1.6 Tindak Lanjut.............................................................................................8
2.1.7 Dokumentasi...............................................................................................8
2.1.8 Penggunaan Obat yang Rasional................................................................9
2.2 Covid-19...............................................................................................................10
2.2.1 Definisi Covid-19.....................................................................................10
2.2.2 Derajat penyakit.......................................................................................10
2.2.3 Epidemologi.............................................................................................11
2.2.4 Tatalaksana Pasien Terkonvirmasi Covid-19............................................12
BAB III TINJAUAN KASUS........................................................................................19
3.1. Identitas Pasien.................................................................................................19
3.2. Data Klinis.......................................................................................................19
3.3 Hasil Pemeriksaan Fisik...................................................................................21
3.4 Hasil Pemeriksaan Laboratorium.....................................................................22

v
3.5 Data Penggunaan Obat.....................................................................................24
3.6 Uraian Klinis Pasien.........................................................................................27
3.7 Analisis Terapi Pengobatan..............................................................................33
3.8 Drug Related Problem Pada Terapi Pasien.......................................................52
BAB VI PEMBAHASAN...............................................................................................55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................................57
1.1 Kesimpulan......................................................................................................57
1.2 Saran................................................................................................................57
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................58

vi
DAFTAR TABEL

1.1 Tabel Hasil Pemeriksaan Fisik……………………………………...…...42


1.2 Tabel Hasil Pemeriksaan Laboratorium…………………………….…...43
1.3 Tabel Hasil Analisa Gas Darah……………………………………..…...44
1.4 Tabel Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik……………………..………...…45
1.5 Tabel Data Penggunaan Obat……………………………………...…….46
1.6 Tabel Uraian Klinis Pasien……………………………………………....48
1.7 Tabel Drug Related Problem (DRP)...……………….……………...…...85

vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Selama satu bulan lamanya melakukan PKPA di RSAL Dr Minroharjo ini
yaitu dari mulai bulan februari sampai maret. RSAL Dr. Mintohardjo sendiri
beralamat di Jl. Bendungan Hilir No 17, Jakarta Pusat. Pada saaat PKPA ini
penulis diberikan tugas Pemantauan Terapi Obat kepada pasien. Adapun pasien
yang dilakukan PTO ialah Pasien yang dinyatakan poositif COVID-19 di pulau
Numfor.
Pelayanan farmasi klinik di rumah sakit sangat diperlukan oleh pasien
untuk memberikan jaminan pengobatan (efektif, aman dan biayanya terjangkau).
Rumah sakit merupakan salah satu dari sarana kesehatan yang merupakan rujukan
pelayanan kesehatan, kegunaan utama profesi apoteker di rumah sakit adalah
melayani masyarakat dengan memastiakan keamanan dan ketepatan penggunaan
obat. Sebagai tanggung jawab professional dalam pengendalian penggunaan obat,
apoteker memainkan peranan yang sah dalam setiap proses ini. Dalam hal ini
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) yang merupakan unit atau bagian di rumah
sakit yang melakukan pekerjaan dan memberikan pelayanan kefarmasian secara
menyeluruh, khususnya kepada pasien, professional kesehatan rumah sakit serta
masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini apoteker harus kritis dalam hal menilai
masalah terapi pengobatan pasien. Dikarenakan setiap pengobatan itu pasti selalu
ada masalah. Walaupun masalah tersebut hanya kecil. Tetapi jika tidak ditangai
takutnya akan memperlambat outcome yang seharusnya didapat pasien dari
terapinya serta meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk
tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality
of life) terjamin seperti yang sudah disebutkan dalam Permenkes RI No. 58 Tahun
2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit. Maka dari itulah
penulis yang sebagai mahasiswa PKPA di RSAL ini melakukan Pemantauan
Terapi obat terhadap obat yang diberikan pada pasien yang positif dinyatakan

1
COVID-19. Pemantauan Terapi obat ini bertujuan untuk membantu pasien agar
lebih mendaptkanterapi yang lebih baik.
PTO sendiri merupakan suatu prosess yang mencangkup kegiatan untuk
memastikan bahwa terapi obat yang sedang dilakukan itu aman, efektif dan
rasional. Pengetahuan penunjang dalam melakukan PTO adalah patofisiologi
penyakit, farmakoterapi, serta interpretasi hasil pemerikasaan fisik, laboratorium
dan diagnostik. Selain itu diperlukan keterampilan berkomunikasi, kemampuan
membina hubungan interpersonal, dan menganalisis masalah. Beradasarkan data
tersebut diatas, pemantauan terapi obat harus dilakukan secara berkesinambungan
dan dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun
kegagalan terapi dapat diketahui, disinilah peran apoteker sebagai bagian dari tim
pelayanan kesehatan memiliki peranan penting dalam PTO.
1.2 Tujuan
Untuk melakukan pemantauan terapi obat dan mengidentifikasi
keefektifan dan kerasionalan obat yang digunakan pasien Covid-19 di ruang Pulau
Numfor, di Rumah Sakit TNI-AL Dr. Mintohardjo.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemantauan Terapi Obat (PTO)


2.1.1 Defenisi
Pemantauan terapi obat merupakan proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Kegiatan
tersebut diantaranya :
 Pengkajian pemilihan obat
 Cara pemberian obat
 Respon terapi
 Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD)
 Rekomendasi perubahan atau alternative terapi
 Pemantauan terapi obat harus dilakukan secara berkesinambungan dan
dieavaluasi secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun
ataupun kegagalan terapi dapat diketahui.

2.1.2 Seleksi Pasien


Pemantauan terapi obat seharusnya dilakasanakan untuk seluruh pasien.
Mengingat terbatasnya jumlah apoteker dibandingkan dengan jumlah pasien,
maka perlu ditentukan prioritas pasien yang akan dipantau. Seleksi dapat
dilakukan berdasarkan.
1. Kondisi Pasien
 Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga menerima
polifarmasi
 Pasien kanker yang menerima terapi obat sitostatika
 Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal
 Pasien geriatri dan pediatri
 Pasien hamil dan menyusui
 Pasien dengan perawatan intensif

3
2. Obat
a. Jenis obat
 Pasien yang menerima obat dengan risiko tinggi sperti
 Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, fenitoin)
 Obat yang bersifat nefrotoksik (gentamisin) dan hepatotoksik ( OAT )
 Obat golongan sitostatika (metotreksat)
 Obat antikoagulan (warfarin, heparin)
 Obat yang menimbulkan ROTD ( Metoklopamid, AINS)
Obat kardiovaskular (nitrogliserin)
b. Kompleksitas Regimen
 Polifarmasi
 Variasi rute pemberian
 Variasi aturan pakai
 Cara pemberian khusus (contoh: inhalasi)
c. Pengumpulan Data Pasien
 Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO.
Data tersebut dapat diperleh dari :
 Rekam medic
 Profil pengobatan pasien/pencatatan penggunaan obat
 Wawancara dengan pasien, anggota keluarga dan tetangga
 Kesehatan lain

2.1.3 Identifikasi Masalah Terkait Obat


Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi adanya
masalah terkait obat. Masalah terkait obat menurut Helper dan Strand dapat
dikategorikan sebagai berikut :
a. Ada indikasi tetapi tidak di terapi
Pasien yang diagnosinya telah ditegakkan dan membutuhkan terapi obat
tetapi tidak diresepkan. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua
keluhan/gejala klinik harus diterapi dengan obat.

4
b. Pemberian obat tanpa indikasi
Pasien mendapatkan obat yang tidak diperlukan
c. Pemilihan obat yang tidak tepat
Pasien mendapatkan obat yang bukan pilihan terbaik untuk kondisinya
(bukan untuk pilihan pertama, obat yang tidak cost effective, kontra
indikasi).
d. Dosis terlalu tinggi
e. Dosis terlalu rendah
f. Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD)
g. Interaksi obat
h. Pasien tidak menggunakan obat karena suatu sebab
i. Beberapa penyebab pasien tidak menggunakan obat anatara lain : masalah
ekonomi, obat tidak tersedia, ketidak patuhan pasien, kelalaian petugas.
Apoteker perlu membuat prioritas masalah tersebut sudah terjadi atau
berpotensi akan terjadi. Masalah yang perlu peneyelasaian segera harus di
prioritaskan.

2.1.4 Rekomendasi Terapi


Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas
hidup pasien, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
 Menyembuhkan penyakit (contoh : infeksi)
 Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh : nyeri)
 Menghambat progresivitas penyakit (contoh:ganguan fumgsi ginjal)
 Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke)
Beberapa faktor yang mempengaruhi penetapan tujuan terapi
antara lain: derajat keparahan penyakit dan sifat penyakit (akut atau
kronis).
Pilihan terapi dari berbagai alternative yang ada ditetapkan
berdasarkan: efikasi, keamanan, biaya, regimen yang mudah diapatuhi.

5
2.1.5 Rencana Pemantauan
Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan
perencanaan pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki. Apoteker dalam membuat rencana
pemantauan perlu menetapkan langkah- langkah.
a. Menetapkan Parameter Farmakoterapi
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih parameter pemantauan,
antara lain:
1. Karakteristik obat (contoh:sifat nefrotoksik dari allopurinol,
aminoglikosida). Obat dengan indeks terapi sempit yang harus diukur
kadarnya dalam darah (contoh:dogoksin)
2. Efikasi terapi dan efek merugikan dari regimen
3. Perubahan fisiologik pasien (contoh: penurunan fungsi ginjal pada pasien
geriatric mencapai 40%)
4. Efisiensi pemerikasaan laboratorium
 Kepraktisan pemantauan ( contoh : pemerikasaan kadar kalium dalam
darah untuk penggunaan furosemide dan digoksin secara bersamaan)
 Ketersediaan (pilih parameter yang tersedia),
 Biaya pemantauan
b. Menetapkan sasaran terapi (end point)
Penetapan sasaran akhir didasarkan pada nilai/gambaran normal atau yang
disesuaikan dengan pedoman terapi. Apabila menentukan sasaran terapi yang
diinginkan, apoteker harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Faktor khusus pasien seperti umur dan penaykit yang bersamaan diderita
pasien (contoh: perbedaan kadar teofilin pada pasien penyakit paru
Obstruksi Kronis/PPOK dan asma)
2. Karakteristik obat
Bentuk sediaan, rute pemberian, dan cara pemberian akan mempengaruhi
sasaran terapi yang diinginkan (contoh: perbedaan penurunan kadar gula
darah pada pemberian insulin dan anti diabetes oral).
3. Efikasi dan Toksisitas

6
c. Menetapkan Frekuensi Pemantauan
Frekuensi pemantauan tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan resiko
yang berkaitan dengan terapi obat berkala dibanding pasien yang menerima
aspirin.
Pasien dengan kondisi sebagai contoh pasien yang menerima obat kanker
harus dipanatau lebih sering dan relatif stabil tidak memerlukan pemantauan
yang sering. Berbagai faktor yang mempengaruhi frekuensi pemantauan
antara lain :
a. Kebutuhan khusus dari pasien
contoh: penggunaan obat nefrotoksik pada pasien gangguan fungsi
ginjal
b. Karakteristik obat pasien
Contoh : pasien yang menerima warfarin
c. Biaya dan kepraktisan pemantauan
d. Permintaan tenaga kesehatan lain
Data pasien yang lengkap mutlak dibutuhkan dalam PTO, tetapi pada
kenyataanya data penting terukur sering tidak ditemukan sehingga PTO tidak
dapat dilakukan dengan baik. Hal tersebut menyebabkan penggunaan data
subyektif sebagai dasar PTO. Jika parameter pemantauan tidak dapat digantikan
dengan data subyektif maka harus diupayakan adanya tambahan.
Proses selanjutnya adalah menilai keberhasialan atau kegagalan mencapai
sasaran terapi. Keberhasilan dicapai ketika hasil pengukuran parameter klinis
sesuai dengan sasaran terapi yang telah ditetapkan. Apabila hal tersebut tidak
tercapai, maka dapat dikatakan mengalami kegagalan mencapai sasaran terapi.
Penyebab kegagalan tersebut anatara lain : kegagalan menerima terapi, perubahan
fisiologis/kondisi pasien, perubahan terapi pasien, dan gagal terapi.
Salah satu metode sistematis yang dapat digunakan dalam PTO adalah Subjective
Objective Assesment Planning (SOAP).
S : Subjective
Data subyektif adalah yang dikeluhkan oleh pasien.
Contoh : pusing, mual, nyeri, sesak nafas.

7
O : Objective
Data obyektif adalah tanda/gejala yang terukur oleh tenaga kesehatan.
Tanda-tanda obyektif mencakup tanda vital ( tekanan darah, suhu tubuh, denyut
nadi, kecepatan pernafasan), hasil pemerikasaan laboratorium dan diagnostik.
A : Assessment
Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan analisis untuk menilai
keberhasilan terapi, meminimalkan efek yang tidak dikehendaki dan kemungkinan
adanya masalah baru terkait obat.
P : Plans
Setelah dilalukan SOA maka langkah berikutnya adalah menyusun
rencana yang dapat dilakukan untuk menyelsaikan masalah.
Rekomendasi yang dapat diberikan:
 Memberikan alternative terapi, menghentikan pemberian obat,
memodifikasi dosis atau interval pemberian, merubah rute pemberian.
 Mengedukasi pasien
 Pemeriksaan laboratorium
 Perubahan pola makan atau penggunaan nutrisi parentral/enteral
 Pemeriksaan parameter klinis lebih sering

2.1.6 Tindak Lanjut


Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat
oleh apoteker harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait. Kerjasama
dengan tenaga kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian
tujuan terapi. Informasi dari dokter tentang kondisi pasien yang menyeluruh
diperlukan untuk menetapkan target terapi yang optimal. Komunikasi yang efektif
dengan tenaga kesehatan lain harus selalu dilakukan untuk mencegah
kemungkinan timbulnya masalah baru.
Kegagalan terapi dapat disebabkan karena ketidak patuhan pasien dan
kurangnya informasi obat. Sebagai tindak lanjut pasien harus mendapatkan
Komunikasi, Informasu dan Edukasi (KIE) secara tepat. Informasi yang tepat
sebaiknya:

8
 Tidak bertentangan/berbeda dengan informasi dari tenaga kesehatan lain
 Tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat
 Dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat

2.1.7 Dokumentasi
Setiap langkah kegiatan pemantauan terapi obat yang dilakukan harus di
dokumentasikan. Hal ini penting karena berkaitan dengan bukti otentik
pelaksanaan pelayanaan kefarmasian yang dapat digunakan untuk tujuan
akuntabilitas / pertanggungjawaban, evaluasi pelayanan, pendidikan dan
penelitian. Sistematika pendokumentasia harus dibuat sedemikan rupa sehinngga
mudah untuk penelusuran kembali. Pendokumentasian dapat dilakukan
berdasarkan nomor rekam medic, nama, penyakit, ruangan dan usia. Data dapat
didokumentasikan secara manual, elektronik atau keduanya. Data bersifat rahasia
dan disimpan dengan rentang waktu sesuai kebutuhan. Sesuai dengan etik
penelitian, untuk publikasi hasil penelitian identitas pasien harus disamarkan.

2.1.8 Penggunaan Obat yang Rasional


Tujuan dari setiap sistem manajemean obat adalah mengantarkan obat
yang benar kepada pasien yang membutuhkannya. Tahap seleksi, pengadaan dan
distribusi merupakan perintis yang perlu untuk penggunaan obat rasional.
Penggunaan obat yang rasiona dalam konteks biomedis mencakup kriteria :
1. Obat yang benar
2. Indikasi yang tepat, yaitu alasan menulis resep didasarkan pada
pertimbangan medis yang baik
3. Obat yang tepat, mempertimbangkan kemanjuran keamanan, kecocokan
bagi pasien dan harga
4. Dosis, pemberian dan durasi pengobatan yang tepat
5. Pasien yang tepat, yaitu tidak ada kontraindikasi dan kemungkinan reaksi
merugikan adalah minimal
6. Dispensing yang benar, termasuk informasi yang tepat bagi pasien tentang
obat yang ditulis

9
7. Kepatuhan pasien terhadap pengobatan
Penggunaan obat yang tidak rasional seperti obat yang tidak perlukan, obat
yang salah, obat yang tidak efektif dan obat dengan kemajuran yang meragukan,
obat yang tidak aman, obat yang efektif yang tersedia kurang digunakan,
penggunaan obat yang tidak benar. Penggunaan obat yang tidak rasional dapat
memberikan dampak pada mutu terapi obat dan perawatan medic, pada biaya,
serta dampak psikologi. Peresepan yang irasional meliputi peresepan mewah,
peresepan berlebihan, peresepan salah.

2.2 Covid-19
2.
a.
2.2.1 Definisi Covid-19
Corona Virus merupakan salah satu penyebab penyakit menular yang
perlu diwaspadai. Virus corona ini menjadi patogen penyebab utama outbreak
penyakit pernapasan. Virus ini adalah virus RNA rantai tunggal (single-stranded
RNA) yang dapat diisolasi dari beberapa jenis hewan, terakhir disinyalir virus ini
berasal dari kelelawar kemudian berpindah ke manusia. Pada mulanya transmisi
virus ini belum dapat ditentukan apakah dapat melalui antara manusia-manusia.
Jumlah kasus terus bertambah seiring dengan waktu. Akhirnya dikonfirmasi
bahwa transmisi pneumonia ini dapat menular dari manusia ke manusia.

2.2.2 Derajat penyakit


Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala,
ringan, sedang, berat dan kritis.
1. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan
gejala.
2. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia.
Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas

10
pendek, mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan,
kongesti hidung, sakit kepala, diare, mual dan muntah, penghidu (anosmia)
atau hilang pengecapan (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala
pernapasan juga sering dilaporkan. Pasien usia tua dan
immunocompromised gejala atipikal seperti fatigue, penurunan kesadaran,
mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada
demam.
3. Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat
termasuk SpO2 > 93% dengan udara ruangan ATAU Anak-anak : pasien
dengan tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas +
napas cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda pneumonia
berat). Kriteria napas cepat : usia 5 tahun, ≥30x/menit.
4. Berat /Pneumonia Berat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas >
30 x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara
ruangan. ATAU Pada pasien anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(batuk atau kesulitan bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
sianosis sentral atau SpO25 tahun, ≥30x/menit.
5. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan
syok sepsis.

2.2.3 Epidemologi
Pada tanggal 31 Desember 2019, Tiongkok melaporkan kasus pneumonia
misterius yang tidak diketahui penyebabnya. Dalam 3 hari, pasien dengan kasus
tersebut berjumlah 44 pasien dan terus bertambah hingga saat ini berjumlah jutaan
kasus. Pada awalnya data epidemiologi menunjukkan 66% pasien berkaitan atau
terpajan dengan satu pasar seafood atau live market di Wuhan, Provinsi Hubei

11
Tiongkok. Sampel isolat dari pasien diteliti dengan hasil menunjukkan adanya
infeksi coronavirus, jenis betacoronavirus tipe baru, diberi nama 2019 novel
Coronavirus (2019-nCoV). Pada tanggal 11 Februari 2020, World Health
Organization memberi nama virus baru tersebut SARS-CoV-2 dan nama
penyakitnya sebagai Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Virus corona ini menjadi patogen penyebab utama outbreak penyakit
pernapasan. Virus ini adalah virus RNA rantai tunggal (single-stranded RNA)
yang dapat diisolasi dari beberapa jenis hewan, terakhir disinyalir virus ini berasal
dari kelelawar kemudian berpindah ke manusia. Pada mulanya transmisi virus ini
belum dapat ditentukan apakah dapat melalui antara manusia-manusia. Jumlah
kasus terus bertambah seiring dengan waktu. Akhirnya dikonfirmasi bahwa
transmisi pneumonia ini dapat menular dari manusia ke manusia.
Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO mengumumkan bahwa COVID-19
menjadi pandemi di dunia. Kasus COVID-19 pertama di Indonesia diumumkan
pada tanggal 2 Maret 2020 atau sekitar 4 bulan setelah kasus pertama di Cina.
Kasus pertama di Indonesia pada bulan Maret 2020 sebanyak 2 kasus dan
setelahnya pada tanggal 6 Maret ditemukan kembali 2 kasus. Kasus COVID-19
hingga kini terus bertambah. Saat awal penambahan kasus sebanyak ratusan dan
hingga kini penambahan kasus menjadi ribuan . Pada tanggal 31 Desember 2020
kasus terkonfirmasi 743.196 kasus, meninggal 22.138 kasus, dan sembuh
611.097. Propinsi dengan kasus COVID-19 terbanyak adalah DKI Jakarta, Jawa
Tengah dan Jawa Barat.

2.2.4 Tatalaksana Pasien Terkonvirmasi Covid-19


1. PEMERIKSAAN PCR SWAB
a. Pengambilan swab di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan diagnosis. Bila
pemeriksaan di hari pertama sudah positif, tidak perlu lagi pemeriksaan
di hari kedua, Apabila pemeriksaan di hari pertama negatif, maka
diperlukan pemeriksaan di hari berikutnya (hari kedua).
b. Pada pasien yang dirawat inap, pemeriksaan PCR dilakukan sebanyak
tiga kali selama perawatan.

12
c. Untuk kasus tanpa gejala, ringan, dan sedang tidak perlu dilakukan
pemeriksaan PCR untuk follow-up. Pemeriksaan follow-up hanya
dilakukan pada pasien yang berat dan kritis.
d. Untuk PCR follow-up pada kasus berat dan kritis, dapat dilakukan
setelah sepuluh hari dari pengambilan swab yang positif.
e. Bila diperlukan, pemeriksaan PCR tambahan dapat dilakukan dengan
disesuaikan kondisi kasus sesuai pertimbangan DPJP dan kapasitas di
fasilitas kesehatan masing-masing.
f. Untuk kasus berat dan kritis, bila setelah klinis membaik, bebas demam
selama tiga hari namun pada follow-up PCR menunjukkan hasil yang
positif, kemungkinan terjadi kondisi positif persisten yang disebabkan
oleh terdeteksinya fragmen atau partikel virus yang sudah tidak aktif.
Pertimbangkan nilai Cycle Threshold (CT) value untuk menilai
infeksius atau tidaknya dengan berdiskusi antara DPJP dan
laboratorium pemeriksa PCR karena nilai cutt off berbeda-beda sesuai
dengan reagen dan alat yang digunakan.
2. TANPA GEJALA
a. Isolasi dan Pemantauan Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak
 pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi, baik isolasi mandiri di
rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan pemerintah.
Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas
 Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Kontrol di FKTP terdekat
setelah 10 hari karantina
 untuk pemantauan klinis
b. Non-farmakologis Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu
dikerjakan (leaflet untuk dibawa ke rumah):
 Pasien :
- Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat
berinteraksi dengan anggota keluarga
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer
sesering mungkin.

13
- Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)
- Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah
- Menerapkan etika batuk (Diajarkan oleh tenaga medis)
- Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun
- Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya
(sebelum jam 9 pagi dan setelah jam 3 sore).
- Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong
plastik / wadah tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor
keluarga yang lainnya sebelum dicuci dan segera dimasukkan
mesin cuci
- Ukur dan catat suhu tubuh 2 kali sehari (pagi dan malam hari) -
Segera beri informasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga
jika terjadi peningkatan suhu tubuh > 38o C
 Lingkungan/kamar:
- Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara
- Membuka jendela kamar secara berkala
- Bila memungkinkan menggunakan APD saat membersihkan
kamar (setidaknya masker, dan bila memungkinkan sarung
tangan dan goggle).
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer
sesering mungkin.
- Bersihkan kamar setiap hari , bisa dengan air sabun atau bahan
desinfektan lainnya
 Keluarga:
- Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien
sebaiknya memeriksakan diri ke FKTP/Rumah Sakit.
- Anggota keluarga senanitasa pakai masker
- Jaga jarak minimal 1 meter dari pasien
- Senantiasa mencuci tangan
- Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan bersih

14
- Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar sirkulasi udara
tertukar
- Bersihkan sesering mungkin daerah yg mungkin tersentuh
pasien misalnya gagang pintu dll
c. Farmakologi
 Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid, dianjurkan untuk tetap
melanjutkan pengobatan yang rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin
meminum terapi obat antihipertensi dengan golongan obat ACE-inhibitor
dan Angiotensin Reseptor Blocker perlu berkonsultasi ke Dokter
Spesialis Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis Jantung
 Vitamin C (untuk 14 hari), dengan pilihan ;
- Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
- Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
- Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam
(selama 30 hari),
- Dianjurkan multivitamin yang mengandung vitamin C,B, E, Zink
 Vitamin D
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet,
kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul
lunak, serbuk, sirup)
- Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU
dan tablet kunyah 5000 IU)
 Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat
Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat
dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan
perkembangan kondisi klinis pasien.
 Obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat diberikan.
3. DERAJAT RINGAN
a. Isolasi dan Pemantauan

15
 Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari
sejak muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan
gangguan pernapasan. Jika gejala lebih dari 10 hari, maka isolasi
dilanjutkan hingga gejala hilang ditambah dengan 3 hari bebas
gejala. Isolasi dapat dilakukan mandiri di rumah maupun di fasilitas
publik yang dipersiapkan pemerintah.
 Petugas FKTP diharapkan proaktif melakukan pemantauan kondisi
pasien.
 Setelah melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke FKTP terdekat.
b. Non Farmakologis Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama
dengan edukasi tanpa gejala).
c. Farmakologis
 Vitamin C dengan pilihan:
- Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14
hari)
- Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
- Multivitamin yang mengandung vitamin c 1-2 tablet /24 jam
(selama 30 hari),
- Dianjurkan vitamin yang komposisi mengandung vitamin C,
B, E, zink
 Vitamin D
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk
tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap,
kapsul lunak, serbuk, sirup)
- Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000
IU dan tablet kunyah 5000 IU)
 Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari
 Antivirus :
- Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama 5- 7 hari
(terutama bila diduga ada infeksi influenza) ATAU

16
- Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600
mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke
2-5)
 Pengobatan simtomatis seperti parasetamol bila demam.
 Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat
Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat
dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap
memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien.
 Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
4. DERAJAT SEDANG
a. Isolasi dan Pemantauan
 Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/ Rumah Sakit
Darurat COVID-19
 solasi di Rumah Sakit ke Ruang PerawatanCOVID-19/ Rumah Sakit
Darurat COVID-19
b. Non Farmakologis
 Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status
hidrasi/terapi cairan, oksigen
 Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan hitung
jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi
hati dan foto toraks secara berkala.
c. Farmakologis
 Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1
jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan
 Diberikan terapi farmakologis berikut:
- Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau
sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi
bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).
Ditambah

17
- Salah satu antivirus berikut : Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg)
loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg
(hari ke 2-5) Atau
- Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV drip (hari
ke 2-5 atau hari ke 2-10)
- Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP (lihat halaman 66-
75)
- Pengobatan simtomatis (Parasetamol dan lain-lain).
- Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
5. DERAJAT BERAT ATAU KRITIS
a. Isolasi dan Pemantauan
 Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat secara kohorting
 Pengambilan swab untuk PCR
b. Non Farmakologis
 Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi
(terapi cairan), dan oksigen
 Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap beriku  dengan hitung
jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi
hati, Hemostasis, LDH, D-dimer.
 Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan
 Monitor tanda-tanda sebagai berikut;
- Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min,
- Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di jari),
- PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,
- Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru pada
pencitraan thoraks dalam 24-48 jam,
- Limfopenia progresif,
- Peningkatan CRP progresif,
- Asidosis laktat progresif.

18
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
No. RM : 235379
Nama : NN. TIEN YULFIANA
Jenis Kelamin : PEREMPUAN
Tempat Lahir : JAKARTA
Tangal Lahir : 19-JULI-1997
Alamat Rumah : JL. TERATAI 12 NO. 12 RT 003/005 TAMAN
CIBODAS TENGGERANG
Agama : ISLAM
Pendidikan : S1
Status Marital : BELUM MENIKAH
Pekerjaan : PNS
KESATUAN :
3.2. Data Klinis
a. Anamnesa : Auto Anamnesa.
b. Keluhan Utama : Batuk dan hilang indra penciuman
c. Riwayat Penyakit Sekarang : Indra penciuman hilang sejak 3 tahun
yang lalu, mual (+) muntah (–) pusing
(+) Batuk (–) Pilek (–) mencret (–)
sebelumnya ada riwayat demam tapi
minum obat demam penurun demam
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Alergi (-)

19
- TBC
e. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga : -
f. Riwayat Pekerjaan : PNS
g. Status Sosial : Baik.
h. Status Ekonomi : Baik.
i. Status Kejiwaan dan kebiasaan :
- Cemas
j. Pemeriksaan Umum :
- Kesadaran : Composmentis
- Tekanan Darah : 128/84
- Nadi : 88x/menit
- RR : 20x/menit
- Suhu : 36 0c.

20
1.
2.
3.
3.3 Hasil Pemeriksaan Fisik
Tabel 1. Tanda Vital Pasien
Parameter Nilai Tanggal
Normal 24-2 25-2 26-2 27-2 28-2 01-3 02-3 03-3 04-3 05-3 06-3 07-3 08-3 09-3 10-3
Tekanan 120/80 120/ 133/ 116/ 106/ 132/ 120/ 148/ 117/ 116/ 122/ 120/ 115/ 122/ 102/ 109/
Darah mmhg 80 66 76 65 82 60 68 64 70 72 73 70 63 65 65
Suhu 36-370c 36 36,2 36,6 36,7 36,4 36,5 36,8 36,3 36,3 36,4 36,6 36,4 36,4 36,2 36,6
Tubuh
Nafas 17-20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
/menit x/menit
Nadi 60-80 88 82 71 75 82 66 68 53 56 61 74 65 67 62 64
/menit x/menit
JenisPemeriksaan Nilai normal Satuan Hasil

21
Leukosit 5.000 - 10.000 / Μl 6200

Eritrosit 4,6 - 6,2 Juta / μL 4,3

Hemoglobin 14 - 16 g / dL 12,1

Hematokrit 42 – 48 % 37

Trombosit 150.000- 450.000 Ribu / μL 247000

Laju Endap Darah


Hitung jenis
Basofil 0-1 % 0
Eosinofil 0-3 % 2
Neutrofil 50-70 % 57
Limsofil 20-40 % 36
Monofit 2-8 % 5

Gula darah <200 mg/dL 105

22
sewaktu
AST (SGOT) <35 U/I 23

ALT (SGPT) <55 U/I 16


Ureum 17 – 43 mg/dL 28
Kreatinin 0.7 – 1.3 mg/dL 0.8
Elektrolit
Natrium 134 – 148 mmol/L 145
Kalium 3.40 – 4.50 mmol/L 3.95
Klorida 96 – 108 mmol/L 109

23
3.4 Data Penggunaan Obat
Tabel 5 Data Penggunaan Obat
No Tanggal
Nama Obat Dosis Aturan 24- 25-Februari- 26- 27- 28- 01-Maret- 0
Pakai Februari- 2021 Februari- Februari- Februari- 2021
2021 2021 2021 2021
P S M P S M P S M P S M P S M P S M P
1. Venflon 1x1 - √ - - √ - √ - - - √ - - √ - - √ - -

2. Resfar Injeksi 1200 mg 1x1 - - √ - - √ - - √ - - √ - - √ - - √ -


3. Vitamin C Injeksi 1 gram 1x1 - - √ - - √ - - √ - - √ - - √
4. Omeprazole 40 mg 1x1 - - √ - - √ - - √ - - √ - - √
Injeksi STO

5. Paracetamol 1 ampul 3x1 - - √ - - √ - - √ - - √ - - √


Injeksi
6. Avigan 600 mg 2x1 √ - √ √ - √ √ - √ √ - √ √ - √ √ - √ √
7. Zinc sulfat 20 mg 1x1 - √ - - √ - - √ - - √ - - √ - - √ - -
8. Azitromycin 500 mg 1x1 - - √ - - √ - - √ - - √ - - √ - - √ -
9. BNS Sprai 3x11 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

24
10. Betadin kumur 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Nama Obat Dosis Aturan Pakai Tanggal


03-Maret 04- 05- 06- 07-Maret- 08-Maret- 09-Maret-
No
2021 Maret- Maret- Maret- 2021 2021 2021
2021 2021 2021
P S M P S M P S M P S M P S M P S M P S M
1. Zinc Sulfat 20 mg 1x1 - √ - - √ - - √ - - √ - - √ - - √ - - √ -
2. Selcom C 500 mg 2x1 √ - √ √ - √ √ - √ √ - √ √ - √ √ - √ √ - √
3. Flumusyl 200 mg 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
4. BNC Spray 3x11 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
5. Betadin 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Kumur

25
26
3.5 Uraian Klinis Pasien
Tabel 6 Uraian Klinis Pasien
HARI/
HASIL PEMERIKSAAN, ANALISA RENCANA
TANGGA SOAP
PENATALAKSAAN PASIEN
L
24-02- Batuk
2021 Subjektif
Cm : Apatis k/u : baik
- TD :128/84
- Nadi : 88x/menit
Objektif - RR : 20x/menit
- Suhu : 36,20 C
Confirmen Covid-19

Assessment

Diberikan :
- Azitromycin 1x500 mg
- Resfar injeksi 1x1200 mg
Plan - Vitamin C injeksi 1x500 mg
- Zinc sulfat 1x20 mg
- Omeprazole injeksi 1x40 mg
- Paracetamol injeksi 3x1 gr
- Avigan 2x600 mg
- BNS sprai 3x11
- Betadine kumur

27
25-02- Subjektif Batuk
2021 Keadaan umum baik, kes : cm, aura hangat,
terpasang venflon, ADL mandiri, mobilitas akut
Objektif - TD : 133/66
- Nadi : 82x/menit
- Suhu : 36,2 0c
- SPO2 : 99%

Assessment Confirmen Covid

Diberikan
Plan - Azitromycin 1x500 mg
- Resfar injeksi 1x1200 mg
- Vitamin C injeksi 1x500 mg
- Zinc sulfat 1x20 mg
- Omeprazole injeksi 1x40 mg
- Paracetamol injeksi 3x1 gr
- Avigan 2x600 mg
- BNS sprai 3x11
Betadine kumur

28
26-02- Subjektif Batuk
2021 Keadaan umum baik
- TD : 86/55
Objektif - Nadi : 88x/menit
- Suhu : 36 0c
- RR : 20x/menit
- SPO2 : 99%

Assessment Confirmen Covid

Azitromycin 1x500 mg RO LD – 2/0


Plan Avigan 1x600 mg RO LD – 2/0

Terapi lanjutkan

29
Batuk
Subjektif

Keadaan umum baik


- TD : 132/82
- Suhu : 36,40c
27-02- Objektif - Nadi : 82x/menit
2021 - RR : 20x/ menit

Assessment Confirmen covid - 19


Azitromycin 1x500 mg RO LD – 3/0
Plan
Avigan 1x600 mg RO LD – 3/0
28-02- Subjektif Batuk
2021 Keadaan umum baik
- TD : 132/82
- Nadi : 71x/menit
Objektif
- RR : 20x/menit
- Suhu : 36,40c

Assessment- Confirmen covid


Plan Azitromycin 1x500 mg RO LD – 4/0
Avigan 1x600 mg RO LD – 4/0

30
Batuk
Subjektif

Keadaan umum : cm Tss


- TD : 120/79
- Nadi : 66x/menit
01-03- Objektif
- RR : 20x/menit
2021
- Suhu : 36,5 0c

Assessment - confirmen covid


Azitromycin 1x500 mg RO LD – 5/0
Plan
Avigan 1x600 mg RO LD – 5/0
Subjektif Batuk
: Keadaan umum : baik
- TD : 148/68
- Suhu : 36,80c
Objektif
- Nadi : 96x/menit
02-03-
- RR : 20x/menit
2021

Assessment Confirmen covid


Zinc 1x20 mg
Plan Selcom C 2x500
Flumucyl 3x200
03-03- Subyektif Batuk
2021 - TD : 117/64
- Suhu : 36,30c
Obyektif - Nadi : 53x/menit
- RR : 20x/menit

Assessment Confirmen covid


Plan Zinc 1x20 mg

31
Selcom C 2x500
Flumucyl 3x200
Subyektif Batuk
- TD : 116/70
- Suhu : 36,30c
Obyektif
- Nadi : 56x/menit
04-03-
RR : 20x/menit
2021
Assessment Confirmen covid
Zinc 1x20 mg
Plan Selcom C 2x500
Flumucyl 3x200
Subyektif Batuk
- TD : 122/72
- Suhu : 36,40c
Obyektif
- Nadi : 61x/menit
05-03-
RR : 20x/menit
2021
Assessment Confirmen covid
Zinc 1x20 mg
Plan Selcom C 2x500
Flumucyl 3x200
06-03- Subyektif Batuk
2021 - TD : 120/73
- Suhu : 36,60c
Obyektif
- Nadi : 74x/menit
RR : 20x/menit
Assessment Confirmen covid
Plan Zinc 1x20 mg
Selcom C 2x500
Flumucyl 3x200

32
Terapi lanjutkan
Swab 8/3 2021
Subyektif Batuk
- TD : 115/70
- Suhu : 36,40c
Obyektif
- Nadi : 65x/menit
RR : 20x/menit
07-03-
Assessment Confirmen covid-19
2021
Zinc 1x20 mg
Selcom C 2x500
Plan Flumucyl 3x200
Terapi lanjutkan
Swab 8/3 2021
Subyektif Batuk
- TD : 122/63
- Suhu : 36,40c
Obyektif
- Nadi : 67x/menit
RR : 20x/menit
08-03- Assessment Confirmen covid-19
2021 Zinc 1x20 mg
Selcom C 2x500
Flumucyl 3x200
Plan
Terapi lanjutkan

Hasil swab test (-)


09-03- Subyektif Pasien mengatakan batuk berkurang
2021 Obyektif - TD : 102/65
- Suhu : 36,20c
- Nadi : 62x/menit
RR : 20x/menit

33
Assessment Confirmen covid
Zinc 1x20 mg
Selcom C 2x500
Plan
Flumucyl 3x200

Subyektif Sembuh
- TD : 109/65
- Suhu : 36,60c
Obyektif
- Nadi : 64x/menit
10-03-
RR : 20x/menit
2021
Assessment Confirmen covid
Rawat jalan
Plan Zinc sulfat 1x20 mg
Selcom C 2x5000

3.6 Analisis Terapi Pengobatan


1. Venflon
Venflon merupakan jarum suntik untuk terapi infusa yang
dikembangkan untuk membantu meminimalkan risiko percikan darah yang
tidak terduga dan cedera akibat tertusuk jarum.Venflon dirancang secara
ergonomis untuk memungkinkan beragam teknik pengguna dan membantu
penyisipan agar memudahkan penetrasi (vena kecil dan rapuh)
a. Indikasi
jarum yang digunakan untuk pemasangan infusa
b. Dosis
Sekali pakai
2. Resfar injeksi (IONI 2014)
Resfar infusion mengandung Acetylcysteine. Acetylcysteine adalah
obat yang berfungsi mengencerkan dahak pada penyakit saluran

34
pernafasan dimana terjadi banyak lendir atau dahak. Obat ini digunakan
sebagai terapi pada orang dengan kondisi paru-paru tertentu seperti cystic
fibrosis, emfisema, bronkitis, pneumonia, atau tuberkulosis. Obat ini
adalah agen mukolitik yang juga dikenal sebagai N-acetylcysteine atau N-
acetyl-L-cysteine (NAC). Obat Ini tersedia dalam bentuk sediaan
intravena, sediaan oral (misalnya tablet), atau nebulasi/inhalasi.
Sebagai agen mukolitik, Acetylcysteine bekerja dengan cara
memecah serat asam mukopolisakarida yang membuat dahak lebih encer
dan mengurangi adhesi lendir pada dinding tenggorokan sehingga
mempermudah pengeluaran lendir pada saat batuk. Obat ini bisa juga
digunakan untuk mengatasi kasus toksisitas paracetamol. Untuk tujuan ini,
Acetylcysteine bekerja dengan cara bertindak sebagai agen hepatoprotektif
dengan mengembalikan glutathione hati, berfungsi sebagai pengganti
glutathione, dan meningkatkan konjugasi sulfat beracun dari paracetamol.
a. Kontraindikasi
Jangan menggunakan obat ini untuk pasien yang memiliki

riwayat alergi / hipersensitivitas.

b. Efek Samping: 

 Efek samping yang relatif ringan yaitu gangguan pada saluran


pencernaan misalnya mual, dan muntah.
 Efek samping yang lebih serius tetapi kejadiannya jarang
misalnya bronkospasme, angioedema, ruam, pruritus, hipotensi,
takikardia, hipertensi, kulit kemerahan, bengkak pada wajah,
dispnea, sesak napas, sinkop, berkeringat, arthralgia, penglihatan
kabur, gangguan fungsi hati, asidosis, kejang dan kadang-kadang
demam..
c. Interaksi obat

Potensi interaksi obat terjadi ketika digunakan bersamaan dengan


obat lain, sehingga dapat mengubah cara kerja obat. Sebagai akibatnya,

35
obat tidak dapat bekerja dengan maksimal atau bahkan menimbulkan
racun yang membahayakan tubuh.
Oleh sebab itu, penting untuk mengetahui obat apa saja yang sedang
Anda konsumsi dan beri tahukan pada dokter. Jenis obat yang dapat
berinteraksi dengan Resfar Infusion adalah:
 Penggunaan bersamaan dengan antibiotik tetracycline harus
diberi jarak minimal 2 jam.
 Penggunaan bersamaan dengan gliserol trinitrat (nitrogliserin)
dapat menyebabkan peningkatan efek vasodilatasi dan aliran
darah. Resfar infusion dapat diberikan bersamaan
dengan bronkodilator umum, dan vasokonstriktor

d. Dosis: 

 150 mg/kg berat badan dalam 60 menit, diikuti dengan dosis


berikutnya 50 mg/kg berat badan dengan kecepatan lambat.
 Infusion diberikan setiap 4 jam untuk perawatan selama 72 jam.
Dalam pemilihan obat, manfaat yang diperoleh harus dipastikan lebih
besar daripada risiko yang mungkin dialami pasien. Oleh karena itu,
penggunaan obat Resfar infusion harus sesuai dengan yang
dianjurkan.

3. Vitamin C injeksi IONI 2014


Coronavirus disease 2019 (COVID-19) sebagai emerging
disease sampai saat ini belum disertai dengan terapi yang sudah
terstandarisasi. Berdasarkan penelitian sebelumnya, didapatkan
keuntungan pemberian vitamin C pada pasien sepsis berat
maupun Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sehingga
secara empiris ada tempat pemberian vitamin C pada
pasien Coronavirus disease 2019 (COVID-19) komplikasi sepsis
maupun ARDS.

36
Pada kasus yang berat, COVID-19 dapat disertai dengan acute
respiratory distress syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik,
kegagalan multiorgan, termasuk acute kidney injury (AKI) dan cardiac
injury. Pada pasien COVID-19, jumlah total sel B, sel T, dan
sel natural killer (sel NK) menurun secara signifikan dan lebih jelas
penggunaannya pada kasus berat dibandingkan kasus yang tidak berat.
Saat ini terdapat beberapa terapo potensial yang digunakan untuk
tatalaksana kasus COVID-19, salah satunya adalah vitamin C.
Vitamin C memiliki aktivitas antioksidan dan dapat mengurangi
stress oksidatif dan peradangan oksidatif. Selain itu vitamin C mempunyai
efek yang meningkatkan sintesis vasopressor, meningkatkan fungsi sel
kekebalan tubuh, meningkatkan fungsi endovaskular, dan memberikan
modifikasi imunologis epigenetik. Pengobatan suportif masih merupakan
pengobatan utama saat ini untuk COVID-19. Salah satunya pemberian
Vitamin C oral maupun intravena dapat mengurangi peningkatan risiko
komplikasi, mengurangi tingkat keparahan, mengatasi gejala maupun
meningkatkan prognosis pasien dengan COVID-19.
a. Kontraindikasi
Infeksi sistemik (kecuali kalau diberikan pengobatan microbial
spesifik), hindari pemberian vaksin virus hidup pada pemberian dosis
imunosupresif (respon serum antibodi berkurang).
b. Efek Samping
 Diare
 Mual muntah
 Insomnia
 Heartburn
 Perut keram
c. Interaksi obat
Berikut ini beberapa jenis obat yang perlu Anda hindari ketika
menggunakan suntik vitamin C:

37
 fluphenazine (Proxilin)
 magnesium salisilat (Novasal)
 mexiletine (Mexitil)
 salsalat
Hal ini dikarenakan penggunaan suntik vitamin C bersamaan
dengan jenis obat tertentu bisa menyebabkan urine Anda lebih asam.
Bahkan, fungsi obat yang Anda konsumsi bisa hilang ketika
menyuntikkan vitamin C dan meningkatkan risiko efek samping, entah
dari obat tersebut atau vitamin C.
d. Dosis 
dosis suntik vitamin C untuk mengatasi masalah kekurangan
vitamin C adalah 200 mg satu kali sehari dalam masa perawatan selama
seminggu. Jika Anda menggunakannya untuk memulihkan luka, dosis
penggunaannya adalah 1 gram untuk satu kali sehari selama 5 sampai
21 hari masa perawatan

4. Omeprazole injeksi (IONI 2014)


Seftriakson merupakan sefalosporin generasi ketiga dengan aktivitas
yang lebih luas dibandingkan dengan generasi kedua, terhadap bakteri Gram
negative, di gunakan untuk terapi septikemia, pneumonia, meningitis, infeksi
saluran empedu, peritonitis, dan infeksi saluran urin. Namun, antibiotik ini
kurang aktif dibandingkan sefuroksim terhadap bakteri Gram positif, terutama
Staphylococcus aureus. Spektrum antibakterinya yang luas ini dapat
menyebabkan superinfeksi dengan bakteri atau jamur yang resisten.
Seftazidim memiliki aktivitas yang baik terhadap pseudomonas. Juga aktif
terhadap bakteri Gram negatif. Seftriakson memiliki waktu paruh yang lebih
panjang sehingga dapat diberikan satu kali sehari.
a. Indikasi
Meliputi infeksi berat seperti septikemia, pneumonia dan meningitis.
Garam kalsium dari seftriakson membentuk endapan dalam kandung kemih
yang walau jarang tetapi dapat menimbulkan keluhan, namun dapat hilang jika

38
dihentikan. Pada neonatus, seftriakson dapat menggeser bilirubin dari plasma
albumin, oleh karena itu penggunaannya sebaiknya dihindari pada neonatus
dengan hiperbilirubinemia yang tidak terkonjugasi, hipoalbuminemia, asidosis
atau kegagalan pengikatan bilirubin.
b. Kontraindikasi
Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin. Kontraindikasi
untuk bayi di bawah 6 bulan.
c. Dosis:
Pemberian secara injeksi intramuskular dalam, bolus intravena atau
infus. 1 g/hari dalam dosis tunggal. Pada infeksi berat: 2-4 g/hari dosis
tunggal. Dosis lebih dari 1 g diberikan pada dua tempat atau lebih. ANAK di
atas 6 minggu: 20-50 mg/kg bb/ hari, dapat naik sampai 80 mg/kg bb/hari.
Diberikan dalam dosis tunggal. Bila lebih dari 50 mg/kg bb, hanya diberikan
secara infus intravena. Gonore tanpa komplikasi: 250 mg dosis tunggal.
Profilaksis bedah: 1 g dosis tunggal. Profilaksis bedah kolorektal: 2 g.

5. Injeksi Paracetamol (BPOM 2020)


a. Indikasi
- Untuk menurunkan demam yang menyertai flu; dan demam
setelah imunisasi.
- Meringankan rasa nyeri pada nyeri ringan seperti sakit kepala,
sakit gigi dan sakit pada otot.

b. Kontraindikasi
Jangan digunakan pada penderita yang menderita kerusakan hati
hipersensitif terhadap parasetamol.
c. Interaksi obat
- Antikoagulan: penggunaan parasetamol jangka panjang dapat
meningkatkan efek antikoagulan kumarin

39
- Sitotoksik: parasetamol dapat menghambat metabolisme
busulvan intravena (monitor selama 72 jam pemberian bersama
dengan parasetamol)
- Hipolipidemik: absorpsi parasetamol menurun karena
kolestiramin
- Metoklopramid: absorpsi parasetamol meningkat karena
metoklopramid
- Kolestiramin menurunkan absorpsi parasetamol.
- Parasetamol dapat menghambat metabolisme busulfan yang
diberikan secara intravena (disarankan untuk memberikan
busulfan secara hati-hati dalam waktu 72 jam pada pemberian
bersama dengan parasetamol).
d. Efek samping
Penggunaan dosis tinggi dapat menimbulkan kerusakan hati, reaksi
hipersensitivitas seperti kemerahan atau gatal pada kulit. Hentikan
penggunaan obat dan segera hubungi dokter jika mengalami efek
samping.
e. Dosis 
3-4 x sehari. Minimum interval penggunaan dosis adalah 4 jam dan
tidak melebihi 4 x dalam 24 jam.
- Dewasa: 500 mg -1000 mg, 3-4 x sehari; Anak 6- 12 tahun, 250 mg - 50
mg, 3-4 x sehari.
6. Avigan (BPOM 2020)
a. Indikasi 
Indikasi yang diketahui untuk obat ini adalah infeksi virus influensa
pandemik baru atau yang kambuh kembali (terbatas digunakan untuk
pengobatan pada kasus dimana obat antivirus lainnya tidak atau kurang
efektif). Uji klinik favipiravir untuk obat COVID-19 di Jepang dan Tiongkok,
hasil sementara menunjukkan efektifitas yang baik.
b. Kontraindikasi
 Pemberian favipiravir harus hati-hati pada pasien berikut:

40
- Penggunaan pada wanita yang berpotensi hamil harus dipastikan
dulu hasil uji kehamilan negatif sebelum pengobatan dimulai.
Jika terjadi kehamilan saat pengobatan berlangsung, pengobatan
harus segera dihentikan.
- Bila favipiravir akan diberikan pada wanita menyusui, maka
diharuskan untuk menghentikan menyusui karena metabolit
aktif favipiravir berupa bentuk hidroksilasi ditemukan dalam air
susu ibu.
- Favipiravir terdistribusi dalam sperma. Jika obat diberikan pada
pasien pria, jelaskan risikonya dan instruksikan hal-hal sebagai
berikut:
a. menggunakan metode kontrasepsi yang paling efektif
dengan pasangannya selama dan untuk 7 hari setelah
pengobatan berakhir,
b. tidak melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil
- Walaupun tidak diketahui hubungan sebab akibatnya,
telah dilaporkan terjadinya gejala psikoneurotik seperti
perilaku abnormal setelah pemberian favipiravir. Jika
diperlukan pengobatan untuk anak dan bayi, perlu
dilakukan tindakan pencegahan jika terjadi perilaku
abnormal. Karena itu, keluarga harus menjaga atau
melakukan upaya lain setidaknya 2 hari bila
pengobatannya dilakukan di rumah. Karena gejala serupa
terkait dengan ensefalopati influensa telah dilaporkan,
maka harus dilakukan tindakan yang sama.
- Pemberian favipiravir harus hati-hati pada pasien gout
atau yang memiliki riwayat penyakit gout serta pasien
hiperurisemia karena dapat meningkatkan kadar asam
urat dan memperberat gejalanya.
- Infeksi virus influensa dapat disertai infeksi bakteri atau
dapat tersamarkan oleh influenza like symptoms. Jika

41
terjadi infeksi bakteri atau diduga terinfeksi bakteri,
perlu diberikan antibiotik.
- Pemberian favipiravir pada penderita lanjut usia perlu
dilakukan secara hati-hati disertai dengan pemantauan
kondisi secara umum.
c. Mekanisme Kerja
Favipiravir menghambat secara selektif RNAdependent RNA
polimerase (RdRp) dari virus influensa. Favipiravir adalah prodrug
yang mengalami ribosilasi dan fosforilasi intraseluler serta dikonversi
menjadi bentuk ribofuranosil fosfat (favipiravir-RTP) dalam sel dan
dikenali sebagai substrat oleh RNA polimerase virus sehingga
menghambat aktivitas RNA polimerase dan menghambat proses
replikasi virus
d. Dosis
Pengobatan penyakit virus influenza
Pada orang dewasa, dosis 1600 mg 2 x sehari pada hari pertama,
diikuti dengan 600 mg 2 x sehari selama empat hari berikutnya. Total
pengobatan selama 5 hari.
Sebagai obat uji COVID-19
 Berdasarkan WHO
Dosis 1600 mg pada hari ke-1 sebagai dosis muatan (loading
dose) diikuti dengan 600 mg, 2 x sehari mulai hari ke-2 sampai
tidak lebih dari 14 hari. - Di Indonesia, sesuai Tata Laksana
Pasien COVID19 PDPI 40: Gejala ringan: bila perlu,
favipiravir 600 mg 2 x sehari selama 5 hari. Gejala sedang dan
berat: favipiravir loading dose 1600 mg 2 x sehari hari ke-1 dan
selanjutnya 600 mg 2 x sehari (hari ke 2-5)
e. Interaksi Obat
Favipiravir harus digunakan secara hati-hati bila
diberikan bersama obat berikut:

42
Obat Tanda dan gejala Mekanisme dan
faktor resiko
pirazinamide Asam urat darah Reabsorpsi asam urat
meningkat. Pada dalam tubulus ginjal
pemberian secara aditif
pirazinamid 1500 mg ditingkatkan
sekali sehari dan
favipiravir 1200 mg/
400 mg 2 x sehari,
kadar asam urat darah
adalah 11,6 mg/dL
ketika pirazinamid
digunakan sendiri,
dan 13,9 mg/dL bila
digunakan dalam
kombinasi dengan
favipiravir.
repaglinid Kadar repaglinid Penghambatan
dalam darah mungkin CYP2C8
meningkat, dan reaksi meningkatkan kadar
merugikan terhadap repaglinid dalam
repaglinid dapat darah.
terjadi.
teofilin Kadar favipiravir Interaksi dengan
dalam darah mungkin xantin oksidase (XO)
meningkat, dan reaksi dapat meningkatkan
merugikan terhadap kadar favipiravir
favipiravir dapat dalam darah.
terjadi
Famsiklovir/sulindak Khasiat famsiklovir/ Penghambatan
sulindak dapat aldehid oksidase

43
dikurangi. (AO) oleh favipiravir
dapat menurunkan
bentuk aktif
famsiklovir/ sulindak
dalam darah
Klorokuin (Substrat Potensi interaksi Kemaknaan klinisnya
CYP2C8) belum diketahui
dengan pasti
Oseltamivir Potensi interaksi Kemaknaan klinisnya
belum diketahui
dengan pasti

f. Efek Samping
Pada dosis yang lebih rendah dari dosis yang tertulis dalam
posologi, dilaporkan efek yang tidak diinginkan sebagaimana tercantum
dalam tabel berikut:
≥ 1% 0,5 > 1% < 0,5
Hipersensitivitas Ruam Eksem, pruritus
Hepatic Peningkatan Peningkatan
AST (GOT), ALP darah,
peningkatan Peningkatan
ALT (GPT), bilirubin darah
peningkatan γ-
GT
Saluran cerna Diare (4.79%) Mual, muntah, Perut tidak
sakit perut nyaman, ulkus
duodenum,
hematokezia,
radang perut
Gangguan Peningkatan Adanya Penurunan kadar
metabolisme asam urat dalam glukosa dalam kalium dalam

44
darah (4.79%), darah darah
peningkatan
trigliserida
Saluran nafas Asma,
oropharyngal
pain, rhinitis,
Naso-
pharyngitis
Hematologi Penurunan Peningkatan
jumlah jumlah sel darah
neutrofil, putih, penurunan
penurunan jumlah
jumlah leukosit retikulosit,
Peningkatan
jumlah monosit

7. Zinc sulfat IONI 2014


Pada dasarnya, pentingnya zinc untuk fungsi kekebalan tubuh dan
diberbagai telah dibuktikan dalam beberapa penelitian.
Kekurangan zinc menjadi salah satu faktor atas 16 persen kasus infeksi
saluran pernapasan atau ISPA.

Hal ini menunjukkan adanya hubungan defisiensi zinc dengan risiko


infeksi dan perburukan infeksi COVID-19. Lalu, studi tersebut juga
menunjukkan potensi manfaat zinc untuk pasien COVID-19. Menurut
beberapa studi ilmiah, zinc dapat melindungi dari infeksi pernapasan
misalnya flu. Bahkan, bisa mengurangi gejalanya.
Berdasarkan studi pada 2019, terhadap 64 pasien rumah sakit usia anak-
anak yang mengalami infeksi saluran pernapasan akut. Ternyata, pengobatan
dengan memberikan 30 mg zinc setiap hari dapat menurunkan waktu infeksi.

45
Bahkan, pasien yang mendapatkan pengobatan tersebut bisa lebih cepat
perawatannya. Hal ini diharapkan dapat membantu proses pembersihan virus
dari saluran pernapasan manusia.
a. Indikasi: 
Mengobati defisiensi zinc
Peringatan: 
 Jangan mengonsumsi zinc sulphate jika Anda memiliki riwayat
alergi dengan obat ini.
 Beri tahu dokter jika Anda sedang hamil, menuyusui, atau
merencanakan kehamilan, sebelum menggunakan zinc sulphate.
 Jangan mengonsumsi suplemen zinc sulphate melebihi dosis atau
durasi yang disarankan oleh dokter.
 Pastikan Anda berkonsultasi dengan dokter apabila ingin
memberikan suplemen zinc sulphate kepada anak-anak.
 Beri tahu dokter jika Anda mengalami gangguan ginjal atau
memiliki kadar tembaga yang rendah dalam darah.
 Beri tahu dokter jika Anda sedang mengonsumsi suplemen lain,
obat-obatan tertentu, dan bahan herba.
 Jika terjadi reaksi alergi obat atau overdosis, segera temui dokter.

b. Dosis
 Dewasa: Untuk sediaan tablet, dosis 50 mg per hari. Untuk sediaan
sirop, dosis 10-20 mg sekali sehari.
 Anak usia 9-13 tahun: Sediaan sirop, dosis 10-20 mg sekali sehari.
 Anak-anak usia 4-8 tahun: Sediaan sirop, 10 mg sekali sehari.
 Anak-anak usia 1-3 tahun: Sediaan sirop, 5 mg sekali sehari.

c. Efek Samping: 
Sakit perut,Mual, Rasa panas di dada (Heartburn), Muntah, Diare,
Sakit kepala, Pusing

8. Azitromycin 500 mg (BPOM 2020)

46
a. Indikasi: 
Azitromisin diindikasikan untuk pengobatan pasien dengan infeksi
ringan sampai sedang yang disebabkan oleh galur mikroorganisme yang
peka, seperti infeksi saluran napas atas (tonsillitis, faringitis), infeksi
saluran napas bawah (eksaserbasi bakterial akut, penyakit paru obstruktif
kronik, pneumonia komunitas), infeksi kulit dan jaringan lunak, penyakit
yang ditularkan melalui hubungan seksual (Sexually Transmitted Disease),
uretritis, servisitis yang berkaitan dengan Chlamydia trachomatis,
Ureaplasma urealyticum dan Neisseria gonorrhea.
b. Kontraindikasi: 
Hipersensitivitas terhadap antibiotik golongan makrolida (misal
azitromisin, eritromisin) atau golongan ketolid, dan bahan lain dalam
sediaan obat ini.
c. Efek Samping: 
Mual, muntah, nyeri perut, diare; urtikaria, ruam dan reaksi alergi lainnya;
gangguan pendengaran yang reversibel pernah dilaporkan setelah
pemberian dosis besar; ikterus kolestatik dan gangguan jantung
(pemanjangan interval QT yang dapat berlanjut menjadi aritmia dan nyeri
dada), anoreksia, dispepsia, flatulens, konstipasi, pankreatitis, hepatitis,
pingsan, pusing, sakit kepala, mengantuk, agitasi, ansietas, hiperaktivitas,
astenia, paraesthesia, konvulsi, neutropenia ringan, trombositopenia,
interstisial nefritis, gagal ginjal akut, arthralgia, fotosensitivitas. Berikut
ini untuk efek samping yang jarang terjadi: gangguan pengecap, lidah
berwarna pucat, dan gagal hati.
d. Intaksi obat
a. Penggunaan bersama digoksin meningkatkan kadar digoksin dalam
darah.
b. Penggunaan bersama nelfinavir dapat meningkatkan kadar
azitromisin dalam darah, sehingga perlu pemantauan terhadap efek
samping azitromisin seperti gangguan enzim hati dan gangguan
pendengaran

47
c. Penggunaan bersama antikoagulan oral seperti warfarin dapat
mempotensiasi efek antikoagulan, sehingga perlu pemantauan INR.
d. Penggunaan bersama siklosporin dapat meningkatkan kadar
siklosporin. Jika pemberian bersama obat ini diperlukan, kadar
siklosporin harus dipantau dan dosis disesuaikan.
e. Dosis: 
Sesuai Tata Laksana Pasien COVID-19 PDPI. Gejala ringan, sedang,
berat: azitromisin 500 mg 1 x sehari selama 3 hari.

9. BNS spray IONI 2014


a. Indikasi:
Melembabkan membraan hidung yang kering dan teriritasi karena
pilek, alergi, kelembaban yang rendah, perdarahan hidung minor dan
iritasi hidung minor lainnya.
Peringatan. Bila hidung dalam keadaan sangat kering dan
teriritasi, dapat menyebabkan gatal.
b. Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap komponen penyusun obat
c. Interaksi: 
Jangan digunakan bersama spray hidung lain, dekongestan (contohnya
pseudoefedrin)
d. Efek Samping
Bila hidung dalam keadaan sangat kering dan teriritasi, dapat
menyebabkan gatal.
e. Dosis
- Penggunaan obat harus sesuai petunjuk pada kemasan dan anjuran dokter
- Dewasa: 2-6 semprot/hari/lubang hidung
- Anak-anak dan bayi >1 bulan: 1 semprot/hari/lubang hidung

10. Betadin kumur


Povidone-Iodine (PVP-I) merupakan salah satu kandungan dalam
obat kumur yang dipercaya mampu menurunkan risiko terinfeksi selama

48
masa pandemi virus corona. Berdasarkan hasil penelitian laboratorium
yang dilakukan oleh Duke, National University Singapore, PVP-I mampu
membunuh 99,99 persen virus COVID-19 dalam waktu 30 detik.
Selain itu, penelitian lainnya yang dilakukan oleh Tropical Infectious
Diseases Research and Education Centre (TIDREC) juga menemukan
kandungan PVP-I dari Mouthwash and Gargle BETADINE terbukti bisa
membunuh 99,999 persen virus COVID-19 dalam waktu 15 detik.
Prof. drg. Rahmi Amtha, MDS. Sp.PM, PhD, selaku SATGAS
COVID-19 PB PDGI dan Guru Besar Ilmu Penyakit Mulut Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, mengatakan virus corona bisa
menginfeksi manusia lewat droplet atau tetesan air liur yang keluar dari
mulut maupun hidung, saat berbicara dan juga bersin.
a. Indikasi 
Obat kumur ini digunakan untuk membantu meredakan gejala,
seperti sakit tenggorokan, gusi bengkak, bau mulut, napas tak segar dan
dapat membunuh bakteri atau virus dalam mulut
b. Kontraindikasi: 
Hipersensitivitas terhadap nitrat; hipotensi atau hipovolemia;
kardiopati obstruktif hipertrofik, stenosis aorta, tamponade jantung,
perikarditis konstruktif, stenosis mitral; anemia berat, trauma kepala,
perdarahan otak glaukoma sudut sempit.
c. Efek Samping: 
Sakit kepala berdenyut, muka merah, pusing, hipotensi postural,
takikardi (dapat terjadi bradikardi paradoksikal).
Injeksi. Efek samping yang khas setelah injeksi (terutama jika
diberikan terlalu cepat) meliputi hipotensi berat, mual dan muntah, diaforesis,
kuatir, gelisah, kedutan otot, palpitasi, nyeri perut, sinkop; pemberian jangka
panjang disertai dengan methemoglobinemia.
d. Dosis: 
Dewasa : Gunakan 10 ml untuk satu kali berkumur. Anda bisa berkumur
sebanyak 3-5 kali sehari.

49
Anak-anak : Betadine Obat Kumur hanya dianjurkan untuk mereka yang
telah berusia di atas 6 tahun. Obat ini dapat digunakan
sebanyak 10 ml, selama 30 detik dan dilakukan
pengulangan 3-5 kali dalam sehari.

11. Flumucyl (BPOM 2020)


Flumucyl mengandung acetylcystei 200 mg.
a. Indikasi: 
Mengencerkan dahak yang kental pada bronkus dan paru, seperti pada:
bronkitis akut, kronik, dan akut berulang, bronkiektasis, emfisema,
mucovisidosis, sehingga dapat dikeluarkan dengan mudah.
b. Peringatan: 
- Selama pengobatan, penderita asma harus dimonitor,
pengobatan dihentikan bila ada tanda-tanda bronkospasme.
- Bau sulfur yang ada bukan tanda dari kerusakan obat, hanya
merupakan sifat zat berkhasiatnya.
- Pada penderita dengan riwayat gastritis, sebaiknya diberikan
setelah makan.
- Pemberian pada wanita hamil dan menyusui Pada beberapa
penelitian baik pada hewan maupun manusia menunjukkan
pemberian asetilsistein tidak menimbulkan efek teratogenik
maupun efek samping berbahaya, akan tetapi selama kehamilan
dan menyusui pemberian asetilsistein harus di bawah
pengawasan dokter.
- Pemberian pada anak yang masih minum ASI dan anak kecil
c. Kontraindikasi: 
Hipersensitivitas terhadap acetylcystein .
d. Interaksi obat
- Pemberian bersama obat penekan batuk (antitusif) dapat
menyebabkan penghentian sekresi yang berbahaya, seiring
berkurangnya batuk.

50
- Penggunaan dengan tetrasiklin HCl harus diberikan secara
terpisah dengan interval waktu sekurangnya 2 jam.
- Pemberian bersama nitrogliserin mungkin dapat menyebabkan
peningkatan efek vasodilatasi dan aliran darah dari nitrogliserin.
e. Efek Samping: 
Pirosis, mual, muntah, dan diare jarang terjadi. - Stomatitis, pusing dan
telinga berdengung (tinitus). - Reaksi alergi, seperti gatal, urtikaria,
cutaneous eruption (exanthema, rash), kesulitan bernapas
(bronkospasme), denyut jantung yang cepat dan turunnya tekanan
darah. - Bronkospasme pada pasien dengan bronkus yang hiper reaktif,
disebut “Hyper Responder” (yaitu pada pasien dengan peningkatan
sensitivitas akibat berbagai stimuli)
f. Dosis: 
- Dewasa dan anak >14 tahun: 1 Kapsul 2-3 x sehari (setara dengan
400 – 600 mg Nasetilsistein per hari) Untuk anak 6 – 14 tahun: 1
kapsul 2 x sehari (setara dengan 400 mg N-asetilsistein per hari).
- Pada kasus mukovisidosis: Anak >6 tahun: 1 kapsul 3 x sehari
(setara dengan 600 mg N-asetilsistein per hari). Untuk anak

12. Selkom C (BPOM 2020)


a. Indikasi
Membantu memenuhi kebutuhan vitamin B kompleks dan vitamin C
b. Kontraindikasi: 
Tidak semua orang boleh menggunakan obat ini, terutama untuk
penderita yang diketahui memiliki hipersensitivitas/alergi terhadap bahan
aktif multivitamin ini
c. Efek Samping
Selkom C umumnya ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan sangat aman.
Namun, beberapa efek samping mungkin muncul pada orang dengan
kondisi kesehatan tertentu. Efek samping Selkom C tersebut meliputi:
Rasa tidak nyaman di perut, Mual, Nyeri ulu hati, Pusing.

51
d. Interaksi obat
Potensi interaksi obat terjadi ketika digunakan bersamaan dengan obat
lain sehingga dapat mengubah cara kerja obat. Sebagai akibatnya, risiko
efek samping dapat meningkat, obat tidak bekerja, atau bahkan
menimbulkan efek beracun yang membahayakan tubuh. Oleh sebab itu,
penting untuk mengetahui obat apa saja yang Anda konsumsi dan
beritahukan kepada dokter. Beberapa jenis obat dapat berinteraksi dengan
bahan aktif Selkom C, diantaranya yaitu:

 Warfarin. Vitamin C dosis tinggi akan menurunkan efektivitas warfarin.

 Aluminium. Vitamin C meningkatkan penyerapan aluminium yang


umumnya terdapat pada obat maag.
 Estrogen. Meningkatkan efek samping obat hormon estrogen.
 Obat kanker (altretamin, cisplatin). Dapat meningkatkan efek samping
obat kanker.
e. Dosis 
Selkom C tersedia dalam bentuk sediaan kapsul dengan kekuatan
dosis per kapsulnya mengandung:
- Vitamin B1: 10 mg
- Vitamin B2: 5 mg
- Vitamin B6: 5 mg
- Vitamin B12: 5 mcg
- Nicotinamide: 20 mg
- Calcium Panthotenate: 10 mg
- Vitamin C 500: mg

52
1.
2.
3.
3.8 Drug Related Problem Pada Terapi Pasien
Tabel 1.7 Drug Related Problem Terapi Pasien
No Klasifikasi Drug Related Keterangan Planing
Problem
(DRP)
Ada Tidak
1. Indikasi yang tidak √
di tangani
2. Pilihan obat kurang √ Pemberian Laxadin Seharusnya hanya
tepat sirup dengan diberikan Inpepsa
Inpepsa sirup, sirup saja dengan
dimana indikasi tujuan melindungi
Laxadin untuk mucus lambung
pencahar sedangkan
Inpepsa sirup
memiliki efek
samping konstipasi
3. Penggunaan obat √
tanpa indikasi
4. Dosis sub-terapi √
5. Overdosis √
6. Reaksi obat yang √
tidak di tangani
7. Interaksi obat √ Fondaparinux interaksi obat yg
dengan Aspilet bermakna klinis
meningkatkan efek harus dilakukan
anticoagulan monitoring

53
Fondaparinux
dengan Clopidogrel interaksi obat
Keduanya terjadi bermkana klinis
interaksi hindari kombinasi
farmakodinamik obat keduanya
sinergisme yaitu
meningkatkan efek
dari masing masing
obat berisiko
meningkatkan
terjadinya
pendarahan
(hemoragik),

ganti obat apabila


Fondaparinux tersedia
dengan penggantinya
Seftriakson
meningkatkan efek
dari fondaparinux
sebagai
antikoagulan

Beri jeda
Fondaparinux pemberian injeksi
dengan selama 1 jam
Dexamethason
Kortikosteroid
memungkinkan
untuk menurunkan

54
efek dari
antikoagulan
dengan
meningkatkan
penggumpalan
darah
Seftriakson dengan Hentikan
ambroksol pemberian
meningkatkan Ambroksol
penerimaan selama
antibiotik kedalam penggunaan
paru-paru Seftriakson

8. Gagal menerima √
obat

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada tanggal 24 februari 2021 pasien dengan nama Nn. Tien umur 23 tahun
masuk ruangan UGD Covid Rumah Sakit AL Mintoharjo dengan keluhan indra
penciuman hilang sejak 3 hari yang lalu dengan gejala tambahan seperti muntah
dan batuk, sebelumnya ada riwayat demam tetapi sudah mendingan setelah
meminum obat penurun demam. Pasien memiliki riwayat penyakit sebelumnya
TB dengan pengobantan hanya 2 bulan.
Hasil pemeriksaan tanda vital pada tanggal 24 mei normal tekanan darah
tinggi 128/88 mmHg, denyut nadi tinggi 88x/menit, nafas normal dengan nafas
20x/menit, suhu tubuh normal 360c.

55
Pada kasus ini terdapat beberapa kategori tipe dari DRP (drugs related
problem) yaitu pilihan obat yang kurang tepat dimana pemberian Laxadin sirup
sebagai pencahar di berikan juga dengan inpepsa sirup yang memiliki efek
samping konstipasi seharusnya kedua obat tersebut tidak boleh diberikan secara
bersamaan karena akan mengurangi bahkan menghilangkan indikasi salah satu
obat yaitu indikasi pencahar dari laxadin sirup, intervensi farmasis pada masalah
ini adalah menghentikan pemberian laxadin sirup sampai berhentinya pemberian
inpepsa sirup.
Terdapat interaksi obat yang merupakan salah satu kategori DRP dimana
injeksi arixtra (Natrium Fondaparinux) berinteraksi dengan beberapa obat yang
diberikan secara bersamaan. Tidak semua interaksi obat bermakna secara klinis.
Beberapa interakasi obat secara teoritis mungkin terjadi, sedangkan interaksi obat
yang lain harus dihindari kombinasinya atau memerlukan pemantauan yang
cermat.
Interaksi Fondaparinux dengan Aspilet dimana pada interaksi ini
meningkatkan efek antikoagulan yang dapat menyebabkan terjadi pendarahan,
interaksi tersebut merupakan interaksi obat yang bermakna klinis sehingga perlu
dilakukan monitoring dan pemberian jeda waktu 1-2 jam.
Interakasi obat antara Fondaparinux dengan Clopidogrel keduanya terjadi
interaksi farmakodinamik sinergisme yaitu meningkatkan efek dari masing
masing obat berisiko meningkatkan terjadinya pendarahan (hemoragik), interaksi
obat ini bermkana klinis dan hindari kombinasi obat keduanya dengan cara
menghentikan salah satu penggunaan obat.
Interaksi Fondaparinux dengan Seftriakson dimana Seftriakson dapat
meningkatkan efek dari Fondaparinux sebagai antikoagulan intervensi farmasis
adalah mengganti ganti salah satu obat apabila tersedia penggantinya. Interaksi ini
tidak bermakna klinis.
Interaksi obat antara Fondaparinux dengan Dexamethason golongan
kortikosteroid memungkinkan untuk menurunkan efek dari antikoagulan dengan
meningkatkan penggumpalan darah intervensi farmasis berikan jeda pemberian
antara kedua obat tersebut selama 2 jam.

56
Pada kasus ini penggunaan obat yang berinteraksi indikasinya dibutuhkan
sehingga wajib diberikan kepada pasien oleh karena itu monitoring harus
dilakukan secara intens apabila interaksi obat tersebut mulai memberikan gejala
yang tidak diinginkan.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

1.1 Kesimpulan
Terdapat 2 kategori DRP pada kasus ini yaitu pemilihan obat yang kurang
tepat antara Laxadin sirup dengan Inpepsa sirup dimana Laxadin sirup indikasinya
untuk pencahar sedangkan Inpepsa memiliki efek samping konstipasi sehingga
pada tangal 31 mei atau hari terakhir pasien dirawat masih mengeluh belum buang
air besar selama satu minggu.
Injeksi Arixtra (Natrium Fondaparinux) berinteraksi obat dengan beberapa
obat yaitu Aspilet, Clopidogrel, Seftriakson, dan dengan Dexamethason namun
interaksi obat yang bermakna klinis mayor yaitu injeksi Arixtra (Na
Fondaparinux) harus di hindari penggunaannya secara bersamaan karena dapat
meningkatkan terjadinya pendarahan yang serius

57
Terdapat obat yang dapat memperburuk rasa nyeri abdominal pasien
tetapi penggunaan obatnya penting dan tidak bisa ditunda jadi obat tetap masih
digunakan karena priotas utama pengobatan lebih besar daripada efek samping
yang ditimbulkan contoh obat adalah injeksi Dexamethasone, Aspilet,
Clopidogrel.

1.2 Saran
Penggunaan laxadin sirup harus diberikan setelah obat yang memiliki efek
samping konstipasi selesai.
Obat yang berinteraksi harus di berikan jeda waktu 1-2 jam
pemberiaannya atau diganti dengan alternatif lain.
Obat yang memperparah nyeri abdominal tetapi prioritas pengobatannya
utama maka harus dilakukan koreksi dosis untuk obat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, I. 2006. Infark miokard akut dengan elevasi ST dalam Aru W.S., Bambang
S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta. Hal 150-173
Badan Pom RI. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Sagung Seto.
Jakarta. Hal 655-664
Badan Pom RI. 2014. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Sagung Seto.
Jakarta.Hal 41-306
Elizabeth J. Corwin. Buku saku patofisiologi.Edisi ke-3.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2009.hal.492-504.
Hamm CW, Bertrand M, Braunwald E. Acute coronary syndrome without ST
elevation : implementation of new guidelines. Lancet 2001; 358: 1533-8
Siregar, C.J.P (2004). Farmasi Rumah Sakit. Jakarta : EGC. Hal 6-71.

58
Tan, K. Chik et al (2013). Farmasi Klinis. Surabaya: Universitas Surabaya. Hal
119-131.

59

Anda mungkin juga menyukai