Anda di halaman 1dari 17

Penghasilan Tidak Kena Pajak

Besar PTKP yang ditetapkan sebesar:

 Rp15.84.000 untuk diri wajib pajak orang pribadi


 Rp1.320.000 tambahan untuk wajib pajak yang kawin
 Rp15.840.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan
suami sebagaimana dimaksud dalam 8 ayat (1)
 Rp1.320.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
orang untuk setiap keluarga

PPh Pasal 21

Definisi PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek
pajak dalam negeri.

Objek PPh Pasal 21

Objek pajak penghasilan pasal 21 di antaranya:

 Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang
bersifat teratur maupun tidak teratur
 Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima industri secara teratur berupa uang
industri atau penghasilan sejenisnya
 Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan
dengan industri yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat industri,
tunjangan hari tua
 Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah industri atau upah yang dibayarkan secara bulanan
 Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan
sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
 Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang
rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan
imbalan sejenis dengan nama apapun.
PPh Pasal 22

Definisi PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang dikenakan kepada badan-badan
usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan
perdagangan ekspor, impor dan re-impor.

 Impor barang dan ekspor barang komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral
bukan logam yang dilakukan oleh eksportir
 Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM),
Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor
 Penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau importir

PPh Pasal 23

Definisi PPh Pasal 23 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas modal, penyerahan
jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Objek PPh Pasal 23

Objek pajak penghasilan pasal 23 ini di antaranya:

 Dividen
 Bunga
 Royalti
 Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain kepada Orang Pribadi
 Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau
bangunan
 Imbalan sehubungan dengan jasa industri, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan
jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final

Definisi PPh Pasal 4 ayat (2) atau juga disebut PPh Final adalah pajak penghasilan yang
dikenakan atas beberapa jenis penghasilan yang didapatkan dan pemotongan pajaknya
bersifat final serta tidak dapat dikreditkan dengan pajak penghasilan terutang.

Istilah ‘Final’ di sini artinya pemotongan pajaknya dilakukan hanya sekali dalam sebuah
masa pajak.

Objek PPh Pasal 4 ayat (2)/PPh Final

Objek pajak penghasilan pasal 4 ayat )2) atau PPh Final ini dikenakan pada jenis tertentu
dari penghasilan atau pendapatan berupa:
 Penghasilan berupa bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan lainnya serta diskonto sertifikat
Bank Indonesia
 Penghasilan berupa bunga dari obligasi swasta dan obligasi negara (SUN/Surat Utang Negara)
 Penghasilan berupa bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
masing-masing
 Penghasilan berupa hadiah berupa lotre/undian
 Penghasilan dari transaksi saham/dividen dan surat berharga lainnya

PPh Pasal 15

Definisi PPh Pasal 15 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atau dipungut dari wajib
pajak yang bergerak pada industri-industri tertentu yang ditetapkan dalam UU PPh.

Jenis PPh 25 ini dikenakan pada:

 Perusahaan pelayaran
 Perusahaan pelayaran dalam negeri
 Perusahaan pelayaran asing
 Perusahaan maskapai penerbangan internasional
 Perusahaan asuransi asing

PPh Pasal 19

Dalam UU PPh No. 36/2008, pada Pasal 19 disebutkan:

(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva
dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan
penghasilan karena perkembangan harga.

(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan
tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif
pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).

Atas dasar itulah, diterbitkannya PMK No. 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali
Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan.

Artinya, perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk
tujuan perpajakan, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai
dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.
PPh Pasal 24

Definisi PPh Pasal 24 adalah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas
penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri, di mana
pembayaran pajaknya bisa dikreditkan.

Sehingga jumlah pajak yang dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak
yang telah dibayarkan di luar negeri tersebut. Dengan demikian tidak terkena pajak
berganda.

PPh Pasal 25

Definisi PPh Pasal 25 adalah pajak yang dibayar secara angsuran setiap bulannya dalam
tahun pajak berjalan dengan tujuan untuk meringankan beban wajib pajak, mengingat pajak
yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun.

Objek PPh Pasal 25

Objek yang dikenakan pajak penghasilan pasal 25 ini adalah suatu penghasilan yang
diperoleh dari kegiatan usaha yang dilakukan wajib pajak.

Subjek yang dikenakan PPh Pasal 25

Jenis PPh 25 ini dikenakan pada:

 Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha, seperti sebagai pedagang pengecer
atau penyerahan jasa
 Wajib pajak badan yang melakukan suatu kegiatan usaha, seperti sebagai pedagang pengecer
atau penyerahan jasa

Subjek pemotong PPh Pasal 25

Pajak penghasilan pasal 25 ini tidak ada pihak yang memungut atau pemotongnya, akan
tetapi wajib pajak badan atau wajib pajak pribadi yang melakukan usaha ini menyetor
sendiri kewajiban PPh 25 ini dan tidak bisa diwakilkan.

PPh Pasal 26

Definisi pajak penghasilan pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas
penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia selain BUT dari
pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, dan perwakilan
perusahaan luar negeri.
PPh Pasal 29

Definisi PPh Pasal 29 adalah pajak penghasilan atau PPh Kurang Bayar yang tercantum
dalam SPT Tahunan PPh, yaitu sisa dari PPh yang terutang dalam tahun pajak yang
bersangkutan dikurangi dengan kredit PPh (jenis PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24) dan PPh
Pasal 25.

PPh Pasal 21/26

Definisi PPh Pasal 21/26 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek
pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

Subjek pemotong PPh Pasal 21/26

Pihak pemotong atau yang memungut pajak penghasilan pasal 21/26 ini sesuai UU PPh
terkait jenis PPh 21 dan PPh pasal 26 ini sama seperti yang sudah dijelaskan di atas.

PPh Pasal 23/26

Pengertian PPh Pasal 23/26 adalah pajak penghasilan yang berasal dari transaksi badan
usaha Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan perusahaan terkait jenis transaksi tertentu
sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Terkait objek dan subjek yang dikenakan serta pemotong PPh Pasal 23/26 sesuai UU PPh
untuk jenis PPh Pasal 23 dan PPh pasal 26 ini sama seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Tarif PPh 21 memiliki NPWP

Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh No. 36/2008, perhitungan tarif pajak
pribadi menggunakan tarif progresif. Atau sama halnya dengan tarif PPh Pasal 21
dengan ketentuan besar tarif adalah:

 5% untuk penghasilan sampai dengan Rp50.000.000 per tahun


 15% untuk penghasilan Rp50.000.000 sampai dengan Rp250.000.000 per tahun
 25% untuk penghasilan Rp250.000.000 sampai Rp500.000.000 per tahun
 30% untuk penghasilan di atas Rp500.000.000 per tahun
 Untuk WP yang tidak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), dikenakan tarif 20% lebih
tinggi dari mereka yang memiliki NPWP
Tarif PPh 21 tanpa NPWP

Bagi wajib pajak yang menerima penghasilan namun tidak memiliki NPWP, maka tarif pajak
penghasilannya dikenakan 20% lebih tinggi dari tarif yang ditetapkan terhadap yang
memiliki NPWP, yakni:

 Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21 yang
seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP.
 Ketentuan di atas diterapkan untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
 Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang
telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal
21 untuk Masa Pajak Desember, selisih pengenaan tarif sebesar 20% lebih tinggi tersebut
diperhitungkan untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.

Tarif PPh 22

Besar tarif atau pungutan pajak penghasilan pasal 22 adalah:

Atas impor:

 Bagi yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor
 Bagi non-API = 7,5% x nilai impor
 Bagi yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang

Atas pembelian barang

Pembelian barang ini dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD, yakni:

= 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final)

Atas penjualan hasil produksi

Penjualan hasil produksi ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak,
yaitu:

 Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)


 Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
 Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
 Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
Tarif PPh 23

Besar tarif pajak penghasilan pasal 23 ditetapkan sebesar:

 15% dari DPP untuk pajak dividen, royalti, bunga, hadiah dan penghargaan
 2% dari DPP untuk objek pajak lainnya
 100% atau dua kali lipat tarif standar PPh 23, jika tidak memiliki NPWP

Pengenaan tarif PPh 23 yang mengalami kenaikan 2 kali lipat tarif standar karena tak
punya NPWP ini maka besar tarifnya menjadi:

 30% dari DPP untuk pajak dividen, royalti, bunga, hadiah dan penghargaan
 4% dari DPP untuk objek pajak lainnya

Jumlah transaksi yang akan dikenakan angka tarif PPh yang naik 2 kali lipat ini adalah
jumlah bruto sebelum Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Tarif Khusus PPh 23

Pada tarif kategori objek pajak hadiah dan penghargaan diterapkan ketentuan khusus,
yakni:

 25% dari DPP jika hadiah undian atau lotre yang dianggap sebagai penghasilan
 20% dari DPP jika penerima hadiah dan penghargaan ekspatriat, dan bukan termasuk BUT
internasional
 15% dari DPP jika penerima adalah sebuah organisasi, termasuk BUT
 Hadiah lainnya dan penghargaan, termasuk penghargaan karier akan dikenakan tarif yang sama
seperti halnya tarif pajak yang berlaku menurut PPh 21

Tarif PPh Final Pasal 4 ayat (2)

PPh Final Pasal 4 ayat (2) ini dapat dikenakan terhadap jenis penghasilan, transaksi atau
lainnya yang telah ditentukan pada objek-objek PPh 4 ayat (2) ini, di antaranya:

 20% untuk penghasilan dari deposito, tabungan, diskonto SBI (Surat Berharga Indonesia)
 5%-15% untuk penghasilan dari bunga obligasi
 0-10% untuk penghasilan dari simpanan koperasi
 0,1% untuk penghasilan atas penjualan saham

Tarif PPh Final PP 23/2018

Besar tarif PPh Final untuk UKM berdasarkan PP No. 23/2018 ditetapkan sebesar 0,5%
dari penghasilan atau total omzet penjualan (peredaran bruto) per bulan. Pembayaran PPh
Final PP 23/2018 ini dibayarkan pada tanggal 10 setiap bulannya.

Ilustrasi usaha penerbangan yang jadi objek PPh


Tarif PPh 15

Besar tarif pajak penghasilan pasal 15 di antaranya:

Atas ‘charter’ penerbangan dalam negeri

 PPh terutang = 30% x Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NTPN)


 NTPN = 6% x Peredaran Bruto
 Tarif efektif PPh terutang = 1,8% x peredaran bruto (1,8% berasal dari 6% x 30%)
 Pelunasan PPh sebesar 1,8% ini merupakan pembayaran PPh Pasal 23 yang dapat dikreditkan
terhadap PPh yang terutang dalam SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Atas pelayanan dalam negeri

 PPh terutang = 30% NTPN


 NTPN = 4% x Peredaran Bruto
 Tarif efektif PPh terutang = 30% x 4% Peredaran Bruto = 1.2% x Peredaran Bruto dan bersifat
final

Atas pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri

 Penghasilan neto bagi wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri
ditetapkan sebesar = 6% dari peredaran bruto
 Besarnya pajak penghasilan bagi wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar
negeri sebesar = 2,6% dari peredaran bruto dan bersifat final

Atas kantor perwakilan dagang asing di Indonesia

 Penghasilan neto = 1% dari nilai ekspor bruto


 Pajak penghasilan terutang = 0,44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final
 Khusus dari negara mitra P3B = tarif pajak terutang disesuaikan tarif BPT (Branch Profit Tax)
dari suatu BUT tersebut

Atas kegiatan usaha jasa maklon internasional di bidang produksi mainan anak-anak

 Penghasilan neto sebesar = 7% dari jumlah seluruh biaya pembuatan atau perakitan barang
tidak termasuk biaya pemakaian bahan baku
 PPh terutang sebesar = 2,1% dari jumlah seluruh biaya pembuatan atau perakitan barang tidak
termasuk biaya pemakaian bahan baku
 Ketentuan tarif norma sebesar = 7% berlaku sepanjang wajib pajak tidak mengadakan perjanjian
penentuan harga transfer dengan DJP

Tarif PPh 19

 Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula
dikenakan PPh bersifat final sebesar = 10%
 Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus
PPh yang terutang sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, dapat mengajukan permohonan
pembayaran secara angsuran paling lama 12 bulan sesuai ketentuan

Tarif PPh 24

Karena PPh Pasal 24 merupakan sebagai pengurang jumlah pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri, maka perhitungan tarifnya menggunakan Pasal 17 ayat 1 UU PPh,
yakni tarif pajak progresif.

Tarif PPh 25

Tarif jenis PPh Pasal 25 wajib pajak orang pribadi pengusaha atau badan tertentu
adalah 0,75% dari jumlah peredaran bruto per bulan dari masing-masing tempat usaha.
Pajak ini bersifat tidak final, sehingga dapat dikreditkan pada akhir tahun pajak.

Ilustrasi tarif PPh yang berlaku

Tarif PPh 26

Tarif umum untuk PPh pasal 26 adalah 20%. Akan tetapi jika mengikuti perjanjian pajak (tax
treaty) atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka tarif dapat berubah,
sesuatu ketentuan yang berlaku.

Pengenaan tarif pajak penghasilan pasal 26 ini juga didasarkan dari DPP atau jumlah bruto
penghasilan. Besar tarif PPh 26 ditetapkan sebesar:

Tarif PPh 26 sebesar 20% (final) dari Jumlah Bruto

Tarif 20 persen dari jumlah bruto yang dikenakan atas:

 Dividen
 Bunga (termasuk premium, diskonto, insentif terkait jaminan pembayaran pinjaman)
 Royalti, sewa, dan pendapatan lain terkait penggunaan aset/harta
 Imbalan/insentif terkait jasa, pekerjaan, dan kegiatan
 Hadiah dan penghargaan
 Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
 Premi swap dan transaksi lindung lainnya
 Perolehan keuntungan dari penghapusan utang

Rumus dan Contoh Perhitungan PPh 21

Karena pajak penghasilan pasal 21 merupakan pajak progresif, maka contoh


perhitungannya seperti berikut ini:
Memiliki NPWP

Pak Kelik seorang pekerja lepas dan memiliki penghasilan kena pajak sebesar
Rp95.000.000 dan Pak Kelik memiliki NPWP.

Pajak Penghasilan yang harus dipotong bagi wajib pajak yang memiliki NPWP adalah:

Pajak Penghasilan yang harus dipotong bagi wajib pajak yang memiliki NPWP adalah:
= 5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000
= 15% x Rp45.000.000 = Rp6.750.000
= Rp2.500.000 + Rp6.750.000
= Rp9.250.000
 

Tidak Memiliki NPWP

Pak Kelik pekerja bebas dengan gaji yang diterima sebesar Rp95.000.000, namun Pak
Kelik tidak memiliki NPWP.

Pajak Penghasilan yang harus dipotong jika wajib pajak tidak memiliki NPWP adalah:

Pajak Penghasilan yang harus dipotong jika wajib pajak tidak memiliki NPWP adalah:
= 5% x 120% x Rp50.000.000 = Rp3.000.000
= 15% x 120% x Rp45.000.000 = Rp8.100.000
= Rp3.000.000 + Rp8.100.000
= Rp11.100.000
 

Rumus dan Contoh Perhitungan PPh 23

Note: Untuk ilustrasi perhitungan PPh Pasal 23 ini selengkapnya bisa Anda lihat di Ulasan
Lengkap PPh Pasal 23/26, Tarif, Penggunaan dan Perhitungannya

Rumus dan Contoh Perhitungan PPh Final Pasal 4 ayat (2)

Sebagai ilustrasi, Pak Kelik menyimpan uang di Bank AAA dalam bentuk deposito sebesar
Rp500.000.000 dengan tingkat bunga 8% per tahun. Atas deposito tersebut, Pak Kelik
menerima bunga setiap bulannya sebesar Rp40.000.000.

Maka PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong Bank AAA adalah:

Pajak deposito per bulan:


= Tarif PPh Pasal 4 ayat (2) untuk deposito x bunga per bulan
= 20% x Rp40.000.000
= Rp8.000.000
Pajak deposito per tahun:
= Pajak bunga deposito per bulan x 12 bulan
= Rp8.000.000 x 12
= Rp96.000.000
 

Rumus dan Contoh Perhitungan PPh Final PP 23/2018

Note: Sebagai gambaran pengenaan PPh Final PP 23/2018 pada UKM, selengkapnya bisa
Anda lihat tentang Bagaimana Cara Menghitung PPh Pengusaha?

Rumus dan Contoh Perhitungan PPh 15

Salah satu contoh perhitungan PPh Pasal 15 ini adalah untuk penerbangan dalam negeri,
dengan ilustrasi sebagai berikut:

PT AAA merupakan perusahaan tekstil asal Jakarta menyewa pesawat terbang dari
perusahaan penerbangan PT BBB di Semarang. Biaya sewa atau carter pesawat tersebut
adalah Rp150.000.000. PT BBB merupakan perusahaan penerbangan dalam negeri.

Maka, PPh Pasal 15 terutang adalah:

= Tarif PPh Pasal 15 untuk penerbangan dalam negeri x Biaya Sewa Pesawat
= 1,8% x Rp150.000.000
= Rp2.700.000
 

Rumus dan Contoh Perhitungan PPh 24

PT AAA di Indonesia sebagai pemegang saham tunggal dari BBB Inc., di Swiss. BBB Inc.,
pada 2020 memperoleh keuntungan sebesar US$250.000. Pajak penghasilan badan yang
berlaku di Swiss adalah 8,5% dan pajak dividen di Swiss sebesar 35%.

Maka, perhitungan pajak atas dividen tersebut adalah:

Keuntungan BBB Inc. = US$250.000


Pajak penghasilan atas BBB Inc. = 8,5% x US$250.000 = US$21.250 
Laba setelah pajak = US$228.750
Pajak atas dividen = 35% x US$228.750 = US$80.062,
Dividen yang dikirim ke Indonesia = US$148.687
 
PPh yang dikreditkan atas seluruh PPh terutang PT AAA adalah pajak yang langsung
dikenakan atas penghasilan yang diterima di luar negeri, yakni US$80.062,5.

Sedangkan PPh Badan atas BBB Inc., sebesar US$21.250 tidak dapat dikreditkan terhadap
PPh Terutang atas PT AAA, karena pajak tersebut tidak dikenakan langsung atas
penghasilan yang diterima PT AAA dari luar negeri, melainkan PPh yang dikenakan atas
keuntungan BBB Inc., di Swiss.

Rumus dan Contoh Perhitungan PPh 25

Ada beberapa cara perhitungan untuk PPh Pasal 25 ini tergantu tempat tinggal dan tempat
usahanya yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), yakni:

Tempat tinggal dan tempat usaha berada di dalam satu KPP

Pak Kelik punya tempat tinggal yang digunakan sebagai tempat usaha sebagai pedagang
pengecer di KPP A dan tidak memilih dikenakan PPh Final berdasarkan PP 23/2018, maka
wajib mendaftarkan NPWP di KPP A. Pak Kelik memiliki omzet sebesar Rp100.000.000
pada Juni 2020. Maka Pak Kelik hanya diterbitkan NPWP domisili saja, tidak perlu
diterbitkan NPWP cabang.

Maka, perhitungannya adalah:

= 0,75% dari peredaran bruto/omzet/penjualan kotor/pendapatan kotor


= 0,75% x Rp100.000.000
= Rp750.000
 

Nilai ini dapat dijadikan sebagai kredit pajak saat penghitungan pajak pada akhir tahun.

Tempat tinggal dan tempat usaha berbeda KPP

Pak Kelik punya tempat tinggal di wilayah KPP A dan tempat usaha sebagai pedagang
pengecer di wilayah KPP B, dan tidak memilih untuk dikenakan PPh Final berdasarkan PP
23/2018. Maka Pak Kelik mendaftarkan NPWP di KPP A sebagai NPWP domisili dan juga
mendaftarkan NPWP di KPP B sebagai NPWP Cabang/NPWP Lokasi.

Di KPP A, Pak Kelik tidak memiliki kewajiban PPh Pasal 25, sedangkan di KPP B, Pak Kelik
punya kewajiban PPh Pasal 25. Pak Kelik memiliki omzet usaha di wilayah KPP B sebesar
Rp80.000.000.

Maka, perhitungannya adalah:

= 0,75% dari peredaran bruto/omzet/penjualan kotor/pendapatan kotor


= 0,75% x Rp80.000.000
= Rp600.000
 
Nilai ini dapat dijadikan sebagai kredit pajak saat penghitungan pajak pada akhir tahun.
Sedangkan pelaporan SPT Tahunan dilakukan di KPP A.

Tempat tinggal dan tempat usaha di lebih dari satu KPP

Pak Kelik punya tempat tinggal di KPP A, memiliki 2 tempat usaha sebagai pedagang
pengecer di KPP B dan satu tempat usaha lainnya di wilayah KPP C. Pak Kelik tidak
memilih dikenakan PPh Final berdasarkan PP 23/2018.

Maka di KPP A, Pak Kelik diterbitkan NPWP domisili, tidak ada kewajiban PPh Pasal 25. Di
KPP B diterbitkan 2 NPWP Cabang atas masing-masing tempat usaha dan memiliki
kewajiban PPh Pasal 25 sebesar 0,75% dari peredaran bruto dari masing-masing tempat
usaha.

Di KPP C diterbitkan 1 NPWP Cabang atas 1 tempat usaha, PPh Pasal 25 sebesar 0,75%
dari peredaran bruto. Maka, perhitungannya adalah:

Lokasi Omzet Sebulan PPh Pasal 25 OP


Usaha 1 di KPP B Rp25.000.000
Usaha 2 di KPP B Rp50.000.000
 

Rumus dan Contoh Perhitungan PPh 26

Note: Ilustrasi perhitungan PPh Pasal 26 ini selengkapnya bisa Anda lihat di Ulasan
Lengkap PPh Pasal 23/26, Tarif, Penggunaan dan Perhitungannya
Ilustrasi lapor  SPT PPh secara online

Jatuh Tempo Pembayaran dan Pelaporan Pajak


Berikut adalah batas waktu pembayaran pajak penghasilan, penyetoran pajak yang
dipungut dan penyampaitan SPT Masa/Tahunan PPh:

Penyampain SPT Tahunan PPh Badan

1. Batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan adalah paling lama 4 bulan setelah
akhir Tahun Pajak:

Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan
tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Tahunan apabila dalam satu tahun Pajak
menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi PTKP.
2. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan

PPh harus dibayar lunas sebelum SPT PPh disampaikan.

Penyampaian SPT Masa

a. Batas waktu penyampaian SPT Masa adalah paling lama 20 hari setelah akhir Tahun
Pajak:

b. Tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat
atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 hari setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.

c. Tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporan pajak untuk SPT
Masa, yaitu:

 Jika tanggal jatuh tempo pembayaran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu
atau hari libur nasional, maka pembayaran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
 Jika tanggal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari
libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
 Hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan umum yang
ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.
 Batas waktu pembayaran, penyetoran, atau pelaporan pajak untuk SPT Masa, selengkapnya
dalam tabel berikut ini;

No Jenis Pajak Batas Pembayaran (Paling Lambat)  Ba


U
(Pasal 2 PMK 242/PMK.03/2014)
P
T
1 PPh Pasal 4 (2) Setor Sendiri Tgl. 15 bulan berikutnya
T
2 PPh Pasal 4 (2) Pemotongan Tgl. 10 bulan berikutnya
T
3 PPh Pasal 15 Setor Sendiri Tgl. 15 bulan berikutnya
T
4 PPh Pasal 15 Pemotongan Tgl. 10 bulan berikutnya
T
5 PPh Pasal 21 Tgl. 10 bulan berikutnya
T
6 PPh Pasal 23/26 Tgl. 10 bulan berikutnya
T
7 PPh Pasal 25 Tgl. 15 bulan berikutnya
PPh 22 Impor Setor Sendiri (dilunasi bersama dengan
8 Saat penyelesaian dokumen PIB
Bea Masuk, PPN, PPnBM)
Har
9 PPh Pasal 22 Impor yang Pemungutan oleh Bea Cukai 1 hari kerja berikutnya
min
Hari yang sama dengan pembayaran atas 14 h
10 PPh Pasal 22 Pemungutan oleh Bendaharawan
penyerahan barang pa
T
11 PPh Pasal 22 Migas Tgl. 10 bulan berikutnya
T
12 PPh Pasal 22 Pemungutan oleh WP Badan Tertentu Tgl. 10 bulan berikutnya
Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak Akhir
13 PPN & PPnBM berakhir & sebelum SPT Masa PPN sete
disampaikan
Akhir
14 PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri Tgl. 15 bulan berikutnya sete

Akhir
PPN atas Kegiatan BKP Tidak Berwujud dan/atau Tgl. 15 bulan berikutnya setelah saat terutang
15 sete
JKP dari Luar Daerah Pabean pajak
Akhir
16 PPN & PPnBM Pemungutan Bendaharawan Tgl. 7 bulan berikutnya sete

PPN dan/atau PPnBM Pemungutan oleh Pejabat Harus disetor pada hari yang sama dengan
17 Penandatanganan Surat Perintah Membayar sebagai pelaksanaan pembayaran kepada PKP Rekanan
Pemungut PPN Pemerintah melalui KPPN
Akhir
Tgl. 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak
18 PPN & PPnBM Pemungutan Selain Bendaharawan sete
berakhir
PPh 25 WP Kriteria Tertentu yang dapat melaporkan 20
Harus dibayar paling lama pada akhir Masa
19 beberapa Masa Pajak dalam satu SPT Masa (Pasal 3 ber
Pajak terakhir
ayat (3B) UU KUP) P
Pembayaran masa selain PPh 25 WP Kriteria tertentu 20
Harus dibayar paling lama sesuai dengan batas
20 yang dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam ber
waktu untuk masing-masing jenis pajak
satu SPT Masa (Pasal 3 ayat (3B) UU KUP) P
 

d. Ketentuan terkait SPT Masa PPh Pasal 25:

1. Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah:

 WP OP yang tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas


 WP OP yang dalam satu tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak
melebihi PTKP (kepada WP ini juga dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Tahunan)

2. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 melalui bank persepsi atau
kantor pos persepsi dengan sistem pembayaran secara online dan Surat Setoran Pajak
(SSP)-nya telah mendapat validasi dengan NTPN, maka SPT Masa PPh Pasal 25 dianggap
telah disampaikan ke KPP sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP.
Penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

1. Batas waktu penyampaian SPT-nya adalah paling lama 3 bulan setelah akhir Tahun
Pajak

 Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan
tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
 Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Tahunan adalah WP OP yang dalam satu
tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP)

2. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh harus
dibayar lunas sebelum SPT PPh disampaikan.

Anda mungkin juga menyukai