1 Orientasi 1
2 Isi 2,3,4,5,6,7,8
3 Reorientasi 9
Pemberian izin pembukaan bioskop oleh pemerintah DKI Jakarta sungguh di luar
nalar. Tidak ada urgensi memberikan kelonggaran semacam itu saat wabah Covid-
19 belum terkendali.
Dalam dua pekan terakhir, jumlah rata-rata pasien baru Covid-19 di Ibu Kota hampir
600-an orang setiap hari. Angka itu naik drastis dibanding data pada akhir Juli lalu
ketika penambahan jumlah pasien baru masih di kisaran 400-an. Rasio positif di
Jakarta dalam dua pekan terakhir juga lebih dari 10 persen. Artinya, terdapat
sepuluh orang positif dari setiap seratus orang yang diuji usap. Situasi ini lebih buruk
ketimbang bulan lalu, ketika rasio positif di Jakarta sempat berada di ambang batas
aman versi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 5 persen.
Karena itu, sulit memahami alasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan
mengizinkan bioskop segera dibuka lagi. Memang, sejak ditutup pada Maret lalu,
ribuan karyawan sinema sudah dirumahkan. Terdapat 343 teater dengan 1.756 layar
di Indonesia—lebih dari 50 persennya berada di Jakarta dan sekitarnya. Tutupnya
bioskop-bioskop itu menyebabkan industri perfilman ikut mati suri. Pusat belanja
juga sepi pengunjung. Tapi, mudah-mudahan, alasan ekonomi tak dijadikan
pembenar untuk mengabaikan pertimbangan kesehatan dan keselamatan publik.
Gubernur Anies beralasan pembukaan bioskop dimungkinkan selama protokol
kesehatan dipatuhi. Selain jumlah penonton yang masuk ke sinema dibatasi, posisi
duduk para penikmat film bisa diatur, seperti layaknya penumpang pesawat terbang.
Hal itu merupakan alasan yang mudah dipatahkan karena membuka bioskop sama
saja dengan mengundang pusat keramaian baru. Risiko penularan virus corona bisa
melonjak ketika titik-titik berkumpulnya warga kembali dibuka.
Pernyataan Ketua Tim Pakar Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19,
Wiku Adisasmito untuk mendukung pembukaan bioskop bahkan lebih absurd.
Menurut dia, membiarkan warga beramai-ramai menonton sinema bisa
meningkatkan imunitas. Penjelasan semacam ini lebih terdengar seperti
keputusasaan pemerintah dalam mengendalikan penularan Covid-19. Kadang-
kadang Satgas sudah kehabisan akal untuk menekan laju pandemi ini di Indonesia.
Gubernur Anies dan jajarannya tidak boleh menyerah di hadapan serangan virus
corona. Salah satu kelemahan utama dalam program pengendalian penularan
Covid-19 di Indonesia adalah pelacakan kontak pasien positif. Saat ini kapasitas
pemerintah dalam pelacakan jejaring kontak pasien masih di bawah standar WHO.
Protokol Kementerian Kesehatan mensyaratkan 80 persen dari semua kontak
pasien harus sudah terlacak dan diisolasi dalam tiga hari selepas konfirmasi status
pasien. Jika hal itu tidak dilakukan, mustahil penyebaran virus ini bisa ditekan
sampai minimal.
Ketimbang sibuk membuka bioskop, pemerintah DKI Jakarta seharusnya
menggelontorkan anggaran untuk membantu Dinas Kesehatan dan Satgas guna
meningkatkan kapasitas pelacakan. Tanpa itu, pembatasan sosial seketat apa pun
bakal percuma. Jika wabah sudah terkendali, ekonomi pasti akan pulih kembali.
Struktur Teks : Orientasi ` = Paragraf 1
Isi = Paragraf 2,3,4,5
Reorientasi = Paragraf 6 dan 7
Aspek Kebahasaan :
1. Kata Keterangan atau adverbia : Kadang-kadang Satgas sudah kehabisan
akal untuk menekan laju pandemi ini di Indonesia.
2. Kata hubung : Hal itu merupakan alasan yang mudah dipatahkan karena
membuka bioskop sama saja dengan mengundang pusat keramaian baru.
(hubungan sebab akibat)
3. Kata kerja atau verba : Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (subjek)
mengizinkan (verba material) bioskop (objek) segera dibuka lagi (keterangan
waktu).
4. Modalitas : Tapi, mudah-mudahan, alasan ekonomi tak dijadikan pembenar
untuk mengabaikan pertimbangan kesehatan dan keselamatan publik.(untuk
menyatakan keinginan)