Anda di halaman 1dari 45

NASKAH AKADEMIK DAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN BANYUMAS TENTANG LARANGAN MEROKOK DI


KAWASAN UMUM

Disusun Oleh:

Susilo Adi Wibowo

21.4301.168

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Rokok telah menjadi benda kecil yang paling banyak digemari. Merokok
telah menjadi gaya hidup bagi banyak pria dan wanita, bahkan anak-anak dan
kaum remaja. Kebiasaan merokok telah mengakibatkan banyak penyakit dari
gangguan pernapasan hingga kanker. Meski menyadari bahaya merokok, orang-
orang di seluruh dunia masih terus menghisap belasan milyar batang rokok setiap
harinya. Jumlah perokok di negara-negara berkembang jauh lebih banyak
dibanding jumlah perokok di negara maju. Angka yang sangat memprihatinkan
mengingat akibat buruk dari merokok baru dirasakan dalam jangka panjang.
World Health Organization (WHO) melansir bahwa angka kematian
akbat merokok mencapai 30%, atau setara dengan 17,3 juta orang. Angka
kematian tersebut diperkirakan terus meningkat hingga 2030, sebanyak 23,3 juta
orang. Aktivitas merokok meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular yang
banyak diidap oleh masyarakat di sejumlah negara berpendapatan rendah. Di
Indonesia, penyakit kardiovaskular mencapai 80% dan menduduki peringkat
tertinggi penyakit mematikan. Pada 2015, WHO mengeluarkan riset bahwa lebih
dari 3,9 juta anak dengan rentang usia 10 tahun hingga 14 tahun menjadi perokok
aktif. Sementara itu, aktivitas merokok untuk pertama kalinya dilakukan oleh
239.000 anak di bawah umur 10 tahun. Selebihnya, 40 juta anak berusia di
bawah 5 tahun menjadi perokok pasif. Selain itu, WHO juga mencatat bahwa
risiko peningkatan penderita kanker paru-paru pada perokok pasif mencapai 20—
30%, dan risiko penderita penyakit jantung sebanyak 25—35%. Angka kematian
dini akibat rokok di dunia tercatat hampir mencapai 5,4 juta. Jika kesadaran
tentang bahaya merokok tidak juga tumbuh, diprediksikan pada 2025 tercatat 10
juta perokok akan meregang nyawa.
Merokok merupakan salah satu gaya hidup yang tidak sehat.Setiap kali
menghirup asap rokok, baik sengaja atau tidak sengaja,berarti juga menghisap
lebih dari 4000 macam racun. Dengan demikian merokok sama dengan
memasukkan racun-racun tadi ke dalam rongga mulut dan tentunya paru-paru.
Merokok mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat dipungkiri. Banyak
pula penyakit yang telah terbukti sebagai akibat buruk dari merokok. Kebiasaan
merokok merupakan gaya hidup yang merugikan kesehatan, hampir semua
perokok memulai mengenal rokok pada usia muda. Setiap jam ada 560 orang
mati atau 8,4 juta pertahun mati akibat rokok. Di Indonesia 52,9 % laki-laki
merokok dan 3,2 % perempuan merokok.
Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung pembangunan
denganupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan
nasionalmerupakan usaha meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat
Indonesia yang dilakukan secara berkesinambungan. Upaya besar bangsa
Indonesia dalam meluruskan kembali arah pembangunan nasional yang telah
dilakukan menuntut reformasi total kebijakan pembangunan di segala bidang.
Pembangunan pada hakikatnya adalah perubahan yang terus-menerus yang
merupakan kemajuan danperbaikan menuju ke arah tujuan yang ingin dicapai.
Asap Rokok Orang Lain (AROL) adalah asap yang keluar dari ujung
rokok yang menyala atau produk tembakau lainnya, yang biasanya merupakan
gabungan dengan asap rokok yang dikeluarkan oleh perokok. Asap rokok terdiri
dari asap utama (main stream) yang mengandung 25% kadar bahan berbahaya
dan asap sampingan (side stream) yang mengandung 75% kadar bahan
berbahaya. Perokok pasif mengisap 75% bahan berbahaya ditambah separuh dari
asap yang dihembuskan keluar oleh perokok. Asap Rokok mengandung 4000
bahan kimia beracun dan tidak kurang dari 69 diantaranya bersifat karsinogenik
atau menyebabkan kanker. Perempuan bukan perokok yang menikah dengan
suami perokok memiliki resiko perokok.
Merokok merupakan hak, namun bukan termasuk Hak Asasi Manusia
(HAM) sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, karena ada hak yang lebih tinggi dari pada hak merokok,
yaitu hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehata
sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945.
Jika merokok merupakan hak, namun tidak berlaku bagi anak-anak. Dari sisi
psikologis, anak belum memiliki hak untuk memutuskan merokok atau tidak
merokok. Hal ini karena faktor kedewasaan pada anak yang belum terbentuk,
sehingga mereka harus dilindungi agar tidak mengambil keputusan yang dapat
memberi dampak buruk bagi dirinya. Penerima asap rokok sendiri banyak dari
kalangan anak–anak, wanita hamil, dan bahkan orang usia lanjut yang terdampak
akan adanya perokok, hal ini dikarenakan perokok cenderung tidak terlalu peduli
dengan lingkungan di sekitarnya.
Oleh karenanya, upaya yang diarahkan untuk menurunkan jumlah
perokok, baik aktif maupun pasif, dapat meningkatkan derajat Kesehatan
masyarakat Indonesia secara berarti. Pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk melindungi
masyarakat dari paparan terhadap asap rokok dan terhadap produk tembakau
pada umumnya. Hal ini didukung pula oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012
Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau Bagi Kesehatan yang mengharuskan pemerintah daerah (pemda)
menyusun Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR). Oleh karena
itu diperlukan adanya pembentukan kebijakan daerah yang memberikan
perlindungan terhadap bahaya rokok bagi bayi, balita, dan masyarakat bukan
perokok berupa pengendalian terhadap perilaku merokok. Pemberlakuan atau
rencana pemberlakuan KTR pun mulai banyak dilakukan oleh pemerintah daerah
di Indonesia, termasuk oleh Kabupaten Banyumas. Namun demikian,
pemberlakuan KTR memerlukan payung hukum yang kuat yang didukung oleh
naskah akademik dalam mewujudkan peraturan daerah mengenai KTR.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
sasaran yang ingin diwujudkan dalam penyusunan Naskah Akademik Tentang
Larangan Merokok di Kawasan Umum ini, yaitu:
1. Bagaimana meningkatkan pemantauan dan pengawasan kepada masyarakat
dalam penyelenggaraan Larangan Merokok di Kawasan Umum di
Kabupaten Banyumas, sebagai upaya mempercepat terwujudnya Kawasan
Tanpa Rokok di Wilayah Kabupaten Banyumas?
2. Produk hukum yang seperti apakah yang dapat digunakan sebagai dasar
hukum untuk mengatur penetapan Larangan Merokok di Kawasan Umum
sesuai dengan muatan materi peraturan perundang-undangan?
3. Apa yang menjadi pertimbangan sosiologis, yuridis dan faktual di
Pemerintah Kabupaten Banyumas terkait dengan penetapan Larangan
Merokok di Kawasan Umum?
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan dan bagaimana ruang lingkup
pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Banyumas tentang Larangan Merokok di Kawasan Umum?

C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik


Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di
atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut :
1. Tujuan Penyusunan Naskah Akademik:
a. Merumuskan permasalahan yang dihadapi masyarakat sehubungan
dengan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas tentang
Larangan Merokok di Kawasan Umum.
b. Memberikan sutau wawasan kebijakan dari Pemerintah Daerah dalam
mengambil suatu kebijakan tentang Larangan Merokok di Kawasan
Umum.
c. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosifis, sosiologis, yuridis
dari pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas
tentang Larangan Merokok di Kawasan Umum.
d. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan dalam ruang lingkup
pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan dari Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Banyumas tentang Larangan Merokok di Kawasan
Umum.

2. Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik:


a. Kegunaan Teoritik:
Naskah Akademik ini merupakan naskah yang memberikan
sumbangan pemikiran konseptual untuk pembentukan norma-norma dari
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas tentang Larangan
Merokok di Kawasan Umum. Naskah ini juga memberikan dukungan
teoritik (theoretical validity) penting terhadap Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Banyumas tentang Larangan Merokok di Kawasan
Umum.
b. Kegunaan Praktik
Naskah Akademik ini berguna bagi pihak-pihak yang
berkepentingan, transparansi dari demokratisasi serta peran masyarakat
dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas
tentang Larangan Merokok di Kawasan Umum. Dan hasil naskah ini
mempunyai kontribusi praktis sebagai bahan utama bagi instansi dalam
rangka merumuskan Larangan Merokok di Kawasan Umum.
D. Metode Penyusunan Naskah Akademik
Metode Naskah Akademik ini berbasis pada metode penelitian hukum,
baik secara yuridis normatif maupun secara yuridis empiris dengan menggunakan
bahan hukum sekunder maupun primer. Dalam penyusunan Naskah ini
menggunakan pendekatan Statute Approach, conceptual approach, dan
comperative approach, keseluruhan pendekatan ini sangat besar fungsinya bagi
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas tentang
Larangan Merokok di Kawasan Umum.
Secara normatif dilakukan penelitian melalui statute approach yakni
pengkajian terhadap Perundang-undangan yang relevan, baik segi substansi
permasalahan hukumnya, maupun segi konseptual pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik.
Disamping itu dengan statute approach penyusunan perda harus berpijak
pada legislasi dan regulasi yang berkaitan untuk melihat konsistensi dan
kesesuaian antara perda yang dibuat dengan Peraturan Perundang-undangan
lainnya. Perda merupakan bagian dari sistem pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Nasional. Hal ini sejalan pula dengan konseptual approach yang
mengedepankan pemahaman-pemahaman konseptual mengenai ranah hukum
dalam pembentukan Perda.
Selanjutnya dengan comperative approach suatu perumusan norma dalam
pembentukan perda harus membandingkan dengan beragam perangkat hukum
yang terkait maupun dengan disiplin ilmu non hukum yang menjadi objek kajian
dan pengaturan yang akan dituangkan dalam perda.
Suatu Perda dibuat untuk mewadahi banyak kepentingan yang harus
dituangkan dalam rumusan norma. Perlu ditekankan bahwa Perda bukanlah
gejala netral yang tidak bersentuhan dengan ilmu lain, melainkan justru
mewadahi semua sektor yang terkait (stakeholders).
Selain pengkajian terhadap Peraturan Perundang-undangan, juga
dilakukan pengkajian terhadap dokumen hukum lainnya, dan hasil penelitian
serta referensi lainnya.
Secara yuridis empiris, penelitian ini diawali dengan telaah terhadap
peraturan perundang-undangan, dilanjutkan dengan observasi yang mendalam
untuk mendapatkan bahan dan data non hukum yang terkait dan berpengaruh
terhadap Peraturan Perundang-undangan yang ditelaah.
Observasi antara lain dilakukan melalui pengalaman dan pengamatan
langsung terhadap tempat-tempat yang menjadi kawasan yang dilarang merokok,
sehingga menjadi tolak ukur dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Banyumas tentang Larangan Merokok di Kawasan Umum.
BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS


A. Kajian Teoritis
Landasan yang mendukung penetapan larangan merokok di kawasan
umum secara hukum telah cukup jelas dengan adanya norma dasar (grundnorm)
yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 (UU 36/2009) tentang
Kesehatan, sebagai bagian dari penjabaran amanat UUD 1945 pasal 28H. Pasal
115 ayat (1) dan (2) UU 36/2009 menyebutkan tempat-tempat yang harus
menjadi KTR dan bahwa kewajiban penetapan KTR terletak di tangan
pemerintah daerah. Adapun tempat tempat yang diatur oleh UU 36/2009 untuk
menjadi KTR adalah 1) fasilitas pelayanan kesehatan, 2) tempat proses belajar
mengajar, 3) tempat anak bermain, 4) tempat ibadah, 5) angkutan umum, 6)
tempat kerja, dan 7) tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Lebih jauh
lagi, UU 36/2009 juga mengatur nilai maksimum pidana denda bagi pelanggar
KTR sebesar-besarnya 50 juta rupiah.
Ketentuan-ketentuan tentang KTR di UU 36/2009 selajutnya dijabarkan
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau
bagi Kesehatan. Adapun yang dimaksud dengan “Kawasan Tanpa Rokok”
menurut PP 109/2012 adalah “ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk
kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau
mempromosikan Produk Tembakau”, dengan beberapa pengecualian untuk
tempat-tempat yang memang diijinkan untuk melakukan aktivitas penjualan
dan/atau produksi rokok. PP 109/2012 juga mengatur lebih lanjut tentang tempat
khusus merokok, yang harus “merupakan ruang terbuka yang berhubungan
langsung dengan udara luar” (Pasal 51 ayat (2). Melalui Pasal 52 PP 109/2012,
pemerintah daerah diwajibkan menetapkan KTR di wilayahnya melalui peraturan
daerah.
Larangan penjualan rokok ketengan diatur dalam UU 36/2009 selanjutnya
dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012)
tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau bagi Kesehatan. Pasal 25 PP 109/2012 menjelaskan bahwa setiap
orang dilarang menjual produk tembakau baik dengan menggunakan mesin layan
diri, kepada anak di bawah usia 18 (delapan belas) tahun, dan kepada perempuan
hamil. Sebagai konsekuensinya, tempat proses belajar mengajar merupakan salah
satu tempat yang harus dijadikan sebagai KTR sebagaimana telah ditegaskan
melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 64 tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah
Pasal 4, yang menjelaskan bahwa sekolah wajib mendukung KTR dengan
menolak kerja sama dalam bentuk apapun dengan perusahaan rokok dan/atau
organisasi yang dapat diasosiasikan berasosiasi dengan perusahaan rokok, baik
untuk keperluan kegiatan kurikuler atau ekstra kulikuler yang dilaksanakan di
dalam maupun di luar sekolah.
Lebih dari itu, sebuah survey dari Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) mendapatkan bahwa 90 persen pelajar di Jakarta pernah
melihat iklan rokok dan hafal dengan pesan yang disampaikan di dalam iklan
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa industry menjadikan anak-anak sekolah
sebagai target penjualan produk dan promosi. Oleh karenanya, dirasakan perlu
untuk memperluas larangan iklan bukan hanya di sekolah namun juga di
lingkungan dekat dengan sekolah, setidaknya dalam radius satu kilometer.
Dengan jelasnya landasan hukum penetapan larangan merokok di
kawasan umum melalui peraturan daerah, kajian yang dituliskan di dalam bab ini
ditujukan untuk lebih memperkuat landasan penyusunan perda larangan merokok
di kawasan umum dengan melihat kesesuaian antara kebutuhan pengaturan
dengan kondisi yang ada, baik secara teoretis maupun secara empiris berdasarkan
temuan di Kabupaten Banyumas.
Kandungan senyawa pada rokok merupakan golongan alkaloid yang
bersifat sebagai stimulant. Pada daun tembakau alkaloid yang ada antara lain
adalah nikotin, nikotirin, anabasin. Myomisin dll. Nikotin merupakan golongan
alkaloid yang paling dominan dalam rokok, merupakan alkaloid toksis. Nikotoin
merupakan alkaloid yang kuat dan terdapat dalam bentuk bukan ion sehingga
dapat melalui membrane sel saraf. Karena bersifat alkali kuat, maka dapat
menyebabkan kelumpuhan pada saraf. Rata-rata kandungan nikotin dalam
tembakan berkisar antara 0,5 - 4 %. Pada perokok pasif, mereka menghirup asap
rokok yang mengandung 3 zat kimia yang paling berbahaya yaitu nikotin, tar dan
karbon monoksida. Karbon monoksida merupakan gas beracun yang mempunyai
afinitas kuat terhadap hemoglobin dan membentuk karboksi hemoglobin. Tar
merupakan residu dari partikel-partikel asap rokok. Tar merupakan campuran
dari ribuan komponen asap, yang akan melekat pada permukaan paru-paru yang
dapat menyimbah dan pengiritasi paru-paru dan saluran pernapasan yang dapat
mengakibatkan terjadinya bronkhits kronis, emfisema dan kanker paru-paru.
TAR yang terbawa ke dalam aliran darah akan dikeluarkan melalui urine dan
apabila ada di dalam kandung kemih dapat menyebabkan kanker kandung kemih.
Kadar TAR dalam 1 batang rokok berkisar antara 0.5 – 35 mg per batang. Selain
ketiga zat tersebut, masih terdapat berbagai zat-zat lainnya yang mengganggu
permukaan membrane saluran pernapasan.
Risiko penyakit akibat rokok juga meningkat akibat gangguan terhadap
pankreas, dalam hal ini terganggunya sel-sel beta pankreas. Merokok diketahui
meningkatkan terjadinya diabetes pada perokok sekitar 1,6 kali dibandingkan
bukan perokok, dengan risiko meningkat sampai 18% untuk setiap 10 tahun masa
merokok, dan mereka yang mulai merokok di usia muda berisiko sampai 2,5 kali
lebih tinggi untuk menderita diabetes melitus tipe 2 dibandingkan mereka yang
tidak pernah merokok. Selain risiko penyakit-penyakit tidak menular, rokok juga
meningkatkan risiko kejadian penyakit menular, terutama yang menyerang
saluran pernapasan seperti tuberkulosis (TB) sebesar 40%. Beberapa penyakit
yang diakibatkan oleh rokok dan dapat diperburuk oleh kebiasaan merokok.
Selain asap yang dihisap perokok, pembakaran rokok juga menghasilkan
asap rokok sekunder dan tersier. Asap rokok sekunder adalah gabungan asap
yang dihembuskan perokok setelah menghisap rokok dan asap yang timbul
sebagai akibat pembakaran rokok. Sedangkan asap rokok tersier adalah
komponen-komponen asap rokok yang menempel di permukaan dan tertinggal di
lingkungan, termasuk pada debu yang pada akhirnya dapat kembali berada di
udara. Asap rokok tersier ini dapat berada di lingkungan sampai beberapa jam
setelah rokok dimatikan.
Mereka yang terpapar dengan asap rokok sekunder (perokok pasif) dan
tersier (perokok “tangan ketiga”) juga mengalami konsekuensi kesehatan yang
negatif. Bukan hanya pada perokok, risiko kejadian penyakit juga meningkat
akibat paparan terhadap asap rokok sekunder (secondhand smoke). Paparan
terhadap asap rokok sekunder meningkatkan risiko kejadian kanker paru sebesar
30% dan penyakit jantung koroner sebesar 25%. Setiap tahun, lebih dari 600 ribu
kematian di dunia diperkirakan disebabkan oleh paparan terhadap asap rokok
sekunder pada perokok pasif. Walaupun dampak kesehatan tersebut biasa timbul
di usia dewasa, kebanyakan perokok sekunder berusia anak-anak, dan termasuk
juga di dalamnya janin dalam kandungan. Ibu yang terpapar terhadap asap
sekunder melahirkan bayi yang lebih kecil, dan anak-anak yang terpapar asap
sekunder juga lebih berisiko mengalami kematian mendadak (sudden infant death
syndrome), atau lebih berisiko mengalami gangguan saluran pernapasan.
Selain dampak negatif terhadap kesehatan, rokok juga merugikan secara
ekonomi, baik secara langsung akibat penggunaan layanan kesehatan, maupun
secara tidak langsung seperti akibat dari hilangnya produktivitas kerja. Secara
global, kerugian ekonomi langsung akibat rokok diperkirakan mencapai lebih
dari 420 miliar dolar Amerika, sedangkan kerugian ekonomi tidak langsung
diperkirakan mencapai lebih dari satu triliun dolar Amerika (Goodchild dkk,
2017). Kerugian ekonomi ini secara disproporsional lebih banyak memengaruhi
golongan ekonomi lemah yang dapat menggunakan lebih dari 70%
penghasilannya untuk membeli produk tembakau, di luar pengeluaran akibat
gangguan kesehatan dan hilangnya produktivitas. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa sebagian besar para perokok aktif adalah pekerja mandiri
sebanyak 57,67%, lalu buruh harian 48,63% dengan rata-rata penghasilan
dibawah 2,9 juta rupiah per bulan. Sebagian besar pengeluaran rokok keluarga
tiap bulan ialah antara Rp 51.000,- Rp 156.000,- dengan rata-rata pengeluaran
ialah Rp 102.935,19, atau sebesar 17,2% dari total pengeluaran keluarga dalam
satu bulan. Dilihat dari segi pendidikan menunjukkan sebagain besar perokok
aktif berpendidikan rendah.
Kerugian ekonomi akibat rokok dan produk tembakau juga diperkirakan
jauh melebihi pendapatan dari penjualan rokok dan produk tembakau. Bila
dihitung biaya yang hilang akibat sakit yang berkaitan konsumsi rokok adalah
sebesar Rp 235,4 triliun. Sedangkan pengeluaran masyarakat untuk membeli
tembakau di Indonesia pada tahun 2013 sebesar Rp 138 triliun. Bila
dibandingkan dengan tahun 2007, terjadi peningkatan pengeluaran masyarakat
untuk membeli tembakau sebesar 50%. Biaya total yang dikeluarkan untuk rawat
jalan dan rawat inap karena penyakit terkait tembakau mencapai Rp 378,75
triliun. Bila dibandingkan dengan perolehan cukai rokok pada tahun 2013 sebesar
Rp 103,02 triliun, maka kerugian masyakarat dan pemerintah akibat kebijakan
rokok sangatlah besar.
Dari berbagai penelitian dinyatakan bahwa penerapan sistem cukai
tembakau pada suatu negara sangat tergantung pada kebijakan pemerintah,
sistem produksi dan kondisi pasar rokok. Sistem cukai yang sederhana dan tarif
cukai yang seragam dapat menurunkan konsumsi rokok dan meningkatkan
penerimaan pemerintah. Sistem cukai yang berjenjang akan mendorong perokok
untuk beralih dari rokok yang mahal menjadi mengkonsumsi rokok yang murah.
Pada tahun 2009, Indonesia sudah menyusun roadmap untuk menyederhanakan
sistem cukai rokok agar menjadi lebih sederhana. Namun ternyata banyak
kendala dan tantangan dalam implementasinya. Barber et all pada tahun 2008
melakukan perhitungan mengenai dampak peningkatan cukai rokok menjadi
57%. Berdasarkan UU No 39 Tahun 2007 cukai rokok 57% dari harga jual
eceran akan menurunkan jumlah perokok sebanyak 6.9 juta orang, kematian yang
berkaitan dengan konsumsi rokok akan berkurang 2.4 juta dan penerimaan
negara dari cukai tembakau akan bertambah sebanyak Rp 50,1 triliun. Selain itu,
survey yang dilakukan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia
(PKJS-UI) menunjukkan bahwa perokok akan lebih siap berhenti jika harga
rokok dinaikkan, sebanyak 74% akan berhenti jika harga rokok ketengan
mencapai 70 ribu per satu batang rokok.
Memperhatikan dampak rokok terhadap kesehatan, khususnya melalui
paparan asap rokok sekunder, pembentukan wilayah bebas asap rokok
merupakan salah satu upaya Kesehatan masyarakat yang dapat mengurangi
dampak tersebut. Di dalam kerangka kerja konvensi pengendalian tembakau (the
framework convention on tobacco control – FCTC), WHO mengajurkan
“perlindungan terhadap warga dari paparan terhadap asap rokok di tempat kerja,
kendaraan umum, dan tempat-tempat umum yang tertutup” (FCTC pasal 8).
Sebanyak 32 negara, termasuk 26 negara berpenghasilan menengah dan rendah,
telah memiliki kebijakan larangan merokok menyeluruh, dan melindungi sekitar
16% penduduk dunia dari paparan terhadap asap rokok

B. Kajian terhadap Asas dan Prinsip


Berdasarkan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, materi muatan peraturan perundangan harus mencerminkan asas-asas:
pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka
tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan. Selain itu, menurut UU 36/2009 tentang Kesehatan, pembangunan,
kesehatan di Indonesia harus didasarkan atas perikemanusiaan, keseimbangan,
manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan,
gender dan nondiskriminasi, serta norma-norma agama. maka asas-asas yang
harus mendasari pengaturan KTR adalah:
1. Pengayoman, bahwa pengaturan larangan merokok di kawasan umum harus
berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketenteraman
masyarakat. Perilaku merokok yang dilakukan sebagian warga tidak dapat
ditolak oleh warga lainnya karena ketidakberdayaan dan ketidakmampuan
secara hukum untuk mendapatkan haknya. Warga tidak perokok dan kaum
rentan seperti bayi, balita, anak, remaja dan wanita hamil membutuhkan
perlindungan dan kepastian hukum dalam mendapatkan hak-haknya seperti
dimaksudkan UUD 1945.
2. Kemanusiaan, bahwa pengaturan larangan merokok di kawasan umum harus
mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta
harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
3. Keadilan, bahwa pengaturan larangan merokok di kawasan umum harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
Walaupun seorang perokok memiliki hak untuk merokok, di saat yang sama
ada hak orang lain yang tidak merokok menjadi terabaikan. Maka mayoritas
penduduk tersebut harus mendapatkan keadilan dalam mendapatkan udara
yang sehat dan tidak mendapatkan dampak buruk dari produk tembakau. Dari
sudut pandang ini, penyelenggaraan KTR merupakan praktik perwujudan
asas keadilan secara merata ke semua lapisan masyarakat.
4. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa
pengaturan larangan merokok di kawasan umum tidak boleh membedakan
berdasarkan latar belakang seperti agama, suku, ras, golongan, gender, atau
status sosial. Perilaku merokok dan dampak buruk merokok terjadi pada
berbagai kelompok. Oleh karena itu pengaturan seyogyanya berlaku untuk
semua golongan baik tingkat sosial, ekonomi, ras, pendidikan, kedudukan
sosial, hukum, politik dan gender.
5. Ketertiban dan kepastian hukum, bahwa pengaturan larangan merokok di
kawasan umum harus mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian hukum. Polutan rokok menyebabkan ruangan atau tempat
publik yang dipakai para perokok menjadi gangguan bagi pihak lainnya.
Secara fisik ruangan dan lingkungan menjadi tidak nyaman, berasap dan
berbau. Secara Kesehatan jelas mengancam kesehatan orang sehat, apalagi
yang menderita sakit. Pada dasarnya, aktifitas merokok mengganggu
ketertiban.
6. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, bahwa pengaturan larangan
merokok di kawasan umum mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat, dan kepentingan
bangsa dan negara.
7. Manfaat, bahwa pengaturan larangan merokok di kawasan umum harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupan
yang sehat bagi setiap warga negara. Asap rokok tidak memberikan manfaat
bagi tubuh manusia. Perilaku merokok lebih banyak didorong oleh sifat
adiktif dari zat yang ada di dalam rokok. Raperda larangan merokok di
kawasan umum bermanfaat untuk mencegah bayi, anak, remaja untuk
terinisiasi merokok, terpapar zat membahayakan dari asap rokok; mencegah
perokok pasif dari akibat bahaya asap rokok; mengurangi kebiasaan merokok
dari perokok aktif. Pada akhirnya harapannya adalah dapat mencegah
terjadinya penyakit yang menurunkan produktivitas serta menyebabkan
kerugian ekonomi yang sangat besar.

C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta


permasalahan yang dihadapi
UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat. Dalam kaitannya dengan penetapan larangan merokok
di kawasan umum, penetapan tersebut dapat dianggap sebagai upaya negara
dalam menjalankan amanat konstitusi seperti tersebut di atas, sekaligus bentuk
pelaksanaan amanat FCTC pasal 8 yang dalam hal ini belum diratifikasi oleh
Indonesia, mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh paparan
terhadap asap rokok, baik bagi perokok aktif maupun perokok pasif. Secara
spesifik, upaya perlindungan Kesehatan akibat dampak rokok diatur dalam UU
36/2009 pasal 115 yang mewajibkan pemerintah daerah untuk menetapkan tujuh
kawasan sebagai kawasan tanpa rokok di masing-masing wilayahnya. Kewajiban
ini harus dituangkan dalam bentuk peraturan daerah, sebagaimana diatur oleh PP
109/2012. Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas pada praktiknya telah
menetapkan kawasan-kawasan tanpa asap rokok melalui Peraturan Daerah
Nomor 26 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Namun demikian,
sebagai konsekuensi adanya peraturan yang lebih tinggi, selain dari
perkembangan pengetahuan terkait rokok dan produk tembakau serta upaya
penanggulangannya, pengaturan larangan merokok di kawasan umum melalui
sebuah peraturan daerah tetap diperlukan.
Lebih lanjut pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Banyumas tentang Larangan Merokok di Kawasan Umum yang akan disesuaikan
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 26 Tahun 2016 tentang
Kawasan Tanpa Rokok, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Dengan peraturan tersebut dapat memenuhi kebutuhan masyarakat atas Peraturan
Perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara metode dan metode yang
pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang
membentuk Peraturan Perundang-undangan.
D. Kajian terhadap Implikasi penerapan dengan sistem baru dan dampak
terhadap beban Keuangan Negara
Berdasarkan hasil telaah bahwa penetapan larangan merokok di kawasan
umum bukan merupakan suatu kondisi yang benar-benar baru bagi berbagai
pemegang kepentingan di Kabupaten Banyumas, penerapan perda larangan
merokok di kawasan umum berpotensi menemui masalah jika sistem
implementasi tidak diperkuat. Untuk itu, dalam implementasi Perda larangan
merokok di kawasan umum, penting diperhatikan keterhubungannya dengan
upaya-upaya lain secara sinergis yang dapat dilakukan melalui penguatan sistem
kesehatan daerah, terutama dalam aspek stewardship. Antara lain hal ini dapat
dilakukan dengan pembentukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan
Dinas Kesehatan, pembentukan Satuan Tugas Penegak Kawasan Tanpa Rokok,
dan peningkatan fungsi Satpol PP, serta integrasi dengan upaya penanggulangan
penyakit.
Dalam konteks Kabupaten Banyumas, pertanian tembakau dan buruh
pabrik rokok tidak menjadi suatu kendala ekonomi. Adapun distribusi dan
perdagangan rokok bukanlah satu-satunya pilihan dalam perniagaan. Masih
banyak bidang perniagaan lain yang dapat dikerjakan oleh warga Kabupaten
Banyumas. Apalagi bila demand rokok sudah sangat jauh berkurang. Lebih
banyak kerugian akibat kesehatan daripada keuntungan ekonomi bila
mengandalkan industri dan perniagaan rokok.
BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


YANG TERKAIT

A. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan


Dasar hukum utama yang dijadikan acuan dalam menyusun peraturan
daerah tentang Larangan Merokok di Kawasan Umum adalah Undang-Undang
Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam undang-undang ini dijelaskan
bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, dan juga bahwa setiap hal yang menyebabkan
terjadiny gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan
kerugian ekonomi yang besar bagi Negara, dan setiap upaya peningkatan derajat
kesehatan juga berarti investasi bagi pembangunan Negara.
Terkait perlunya penetapan Larangan Merokok di Kawasan Umum di
Kabupaten Banyumas, sangat jelas ditunjukkan dalam ketentuan pokok dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 26 Tahun 2016 tentang Kawasan
Tanpa Rokok, dimana Kesehatan merupakan hak paling mendasar yang harus
diperoleh masyarakat. Pasal 4 menjelaskan bahwa “setiap orang berhak
mendapatkan lingkungan yang sehat bagai pencapaian derajat kesehatan”, pasal
ini menekankan kepada semua pihak untuk memberikan hak dengan menciptakan
lingkungan yang sehat, begitu juga dalam pasal 5 yang mengatakan bahwa
“setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya
memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi dan social. Kawasan
Tanpa Rokok akan menjadi area public yang menghargai hak-hak masyarakat
untuk mendapatkan lingkungan yang sehat.
Selanjutnya Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
juga mencantumkan peraturan Kawasan Tanpa Rokok pada Bagian Ketujuh
Belas, Pengamanan Zat Adiktif pasal 113 yaitu:
1. Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar
tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga,
masyarakat dan lingkunngan
2. Zat adiktif sebagaimana dimaksud meliputi tembakau, produk yang
mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif
3. Produksi , peredaran dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif
harus memenuhi standard an/atau persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 115 ayat (1) Kawasan tanpa rokok antara lain:
1. Fasilitas pelayanan kesehatan
Setiap pengelola, pimpinan, dan/atau penanggung jawab KTR pada
fasilitas pelayanan kesehatan wajib melarang setiap pasien, pengunjung,
tenaga kesehatan, tenaga non kesehatan atau setiap orang yang berada di
area fasilitas pelayanan kesehatan yang menjadi tanggung jawabnya untuk
tidak melakukan kegiatan merokok, mempromosikan, mengiklankan,
menjual, dan/atau membeli rokok.
2. Tempat proses belajar mengajar
Setiap pengelola, pimpinan, dan/atau penanggung jawab KTR pada
tempat proses belajar mengajar wajib memberikan teguran, peringatan
dan/atau mengambil tindakan kepada setiap peserta didik, pendidik, tenaga
kependidikan, tenaga non pendidikan atau setiap orang yang berada di area
tempat proses belajar mengajar yang menjadi tanggung jawabnya apabila
terbukti melakukan kegiatan merokok, mempromosikan, mengiklankan,
menjual, dan/atau membeli rokok.
3. Tempat anak bermain
Setiap pengelola, pimpinan, dan/atau penanggung jawab KTR pada
tempat anak bermain wajib memberikan teguran, peringatan dan/atau
mengambil tindakan kepada setiap orang yang berada di area tempat anak
bermain yang menjadi tanggung jawabnya apabila terbukti melakukan
kegiatan merokok, mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau
membeli rokok.
4. Tempat ibadah
Setiap pengelola, pimpinan, dan/atau penanggung jawab KTR pada
tempat ibadah wajib memberikan teguran, peringatan dan/atau mengambil
tindakan kepada jemaah atau setiap orang yang berada di tempat ibadah yang
menjadi tanggung jawabnya apabila terbukti melakukan kegiatan merokok,
mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli rokok.
5. Angkutan umum
Setiap pengemudi atau kondektur atau sebutan nama lainnya pada
angkutan umum wajib melarang penumpang atau setiap orang yang berada
di dalam kendaraannya untuk tidak melakukan kegiatan merokok,
mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli rokok.
6. Tempat kerja
Setiap pengelola, pimpinan, dan/atau penanggung jawab KTR pada
tempat kerja wajib melarang setiap orang yang berada di area tempat kerja
yang menjadi tanggung jawabnya untuk tidak melakukan kegiatan merokok,
mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli rokok.
7. Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
Setiap pengelola, pimpinan, dan/atau penanggung jawab KTR pada
tempat umum wajib melarang setiap orang yang berada di area tempat umum
yang menjadi tanggungjawabnya untuk tidak melakukan kegiatan merokok,
mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli rokok.
Kegiatan merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan
apabila kegiatan merokok dilakukan di tempat khusus merokok pada KTR di
area tempat umum.
B. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok
Bagi Kesehatan
Sejak tahun 1999, melalui PP 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok
bagi Kesehatan, Indonesia telah memiliki peraturan untuk melarang orang
merokok di tempat-tempat yang ditetapkan. Peraturan Pemerintah tersebut,
memasukkan peraturan Kawasan Tanpa Rokok pada bagian enam pasal 22 – 25.
Pasal 25 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok. Namun peraturan tersebut belum
menerapkan 100% Kawasan Bebas Asap Rokok karena masih dibolehkan
membuat ruang khusus untuk merokok dengan ventilasi udara di tempat umum
dan tempat kerja. Dengan adanya ruang untuk merokok, kebijakan kawasan
tanpa rokok nyaris tanpa resistensi. Pada kenyataannya, ruang merokok dan
ventilasi udara kecuali mahal, kedua hal tersebut secara ilmiah terbukti tidak
efektif untuk melindungi perokok pasif, disamping rawan manipulasi dengan
dalih ”hak azasi bagi perokok”.
Lalu pada ayat ( 2 ) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa
rokok di wilayahnya. Sehingga menindak lanjuti pasal 25 Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2003 tersebut beberapa pemerintah daerah telah mengeluarkan
kebijakan Kawasan Tanpa Rokok.

C. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang


Perlindungan Anak
Konstitusi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan
UU 35/2014 tentang perlindungan anak menyatakan, setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dan diskriminasi. Oleh karena itu, negara wajib memberikan perlindungan
khusus terhadap anak dari ancaman zat adiktif (seperti tembakau dan produk
yang mengandung tembakau) sebagai bagian dari upaya kesehatan.
Mengenai tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 diatur dalam beberapa pasal yang
diantaranya mewajibkan dan memberikan tanggung jawab untuk menghormati
pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi
fisik dan/atau mental, serta melindungi, dan menghormati hak anak dan
bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang
penyelenggaraan perlindungan anak.
Selain tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah,
undang-undang ini pun memberikan amanah, tanggung jawab dan kewajiban
kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak boleh lagi berpangku tangan dan
bermasa bodoh dalam hal perlindungan kepada anak, diantara kewajiban dan
tanggung jawab masyarakat diantaranya adalah melakukan kegiatan peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang dilaksanakan
dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan, akademisi, dan pemerhati anak.
Sehingga dalam hal ini organisasi masyarakat, akademisi dan pemerhati anak
sudah seharusnya turun langsung ke lapangan melakukan pencegahan dengan
jalan banyak melakukan edukasi dalam hal perlindungan kepada anak, sehingga
kasus-kasus kejahatan terhadap anak (terutama kejahatan seksual) yang akhir-
akhir ini banyak menghantui kita bisa diminimalisir.

D. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Di dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN No. 140-TLN No. 5059, selanjutnya
disingkat UUPPLH) diatur mengenai kriteria pencemaran lingkungan hidup yang
mampu mempengaruhi baku mutu lingkungan hidup salah satunya meliputi baku
mutu udara ambien, dalam hal ini yang dimaksud pencemaran lingkungan hidup
adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Terhadap
pencemaran udara dan lingkungan, dalam ketentuan umum pasal 14 yang
dimaksud dengan pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang ditetapkan. Selanjutnya pada pasal 21 yang dimaksud
dengan bahan berbahaya dan beracun adalah zat, energy dan/atau komponen lain
yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup,
dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup
manusia dan makhluk hidup lain. Dalam kaitannya terhadap hal tersebut asap
rokok dapat dikategorikan sebagai bahan berbahaya dan beracun. Oleh sebab itu
masyarakat memiliki hak yang sama erdasarkan undang-undang untuk
memperoleh lingkungan yang bebas dari ancaman penyakit yang dapat
membahayakan kesehatan manusia itu sendiri.
BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Dalam rangka menyelenggarakan Larangan Merokok di Kawasan Umum di


Kabupaten Banyumas, sangat perlu dibuat pengaturan secara tegas melalui Peraturan
Perundang-Undangan, dalam hal ini berupa Peraturan Daerah. Sehubungan dengan
itu diperlukan kajian aau penjelasan dalam bentuk Naskah Akademik mengenai aspek
filosofis, sosiologis, dan yuridis tentang perlunya hal tersebut diatur dengan Peraturan
Daerah.

A. Landasan Filosofis
Terlindunginya penduduk dari bahaya kesehatan akibat pajanan zat
beracun asap rokok orang lain adalah hak hidup manusia yang paling dasar.
Pemahaman akan hak individu untuk menghiruo udara bersih yang bebas dari
asap rokok, belum merata di masyarakat. Kebiasaan merokok tanpa hambatan
seolah-olah telah menjadi norma sosial yang diterima sebagai hal biasa selama
bertahun-tahun. Kalaupun ada upaya menghindari asap rokok orang lain,
umumnya lebih karena terganggu kenyamanannya, dan bukan karena
pemahaman hak individu untuk memperoleh udara yang bersih dan sehat atau
kesadaran akan resiko Kesehatan yang mengancam dirinya.
Pada UUD 1945 Pasal 28 butir a sampai dengan j, yang termasuk HAM
adalah sebagai berikut (karena manusia membutuhkan hak tersebut semenjak
dilahirkan):
1. Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan (merokok mengancam
kehidupan karena berbahaya terhadap Kesehatan)
2. Hak atas lingkungan hidup yang sehat (merokok menimbulkan asap yang
menyebabkan lingkungan tercemar dan tidak sehat)
3. Hak atas Kesehatan
4. Hak konsumen untuk dilindungi
5. Hak untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur.

Dengan demikian, kewajiban negara terhadap hak asasi manusia adalah


menghormati, memenuhi, dan melindungi hak asasi manusia yang berupa
tindakan sebagai berikut:

1. Obligation of Conduct, merupakan kewajiban untuk mengambil dan


melakukan langkah-langkah khususnya dalam upaya pemenuhan, termasuk
mencegah terjadinya pelanggaran.
2. Obligation of Result, merupakan kewajiban untuk mencapai hasil tertentu
dengan cara melaksanakan kebijakan dan program secara aktif dan efektif.

Perlu adanya perlindungan kesehatan masyarakat dari bahaya merokok


yang saat ini menjadi agenda yang mendesak karena semakin meningkatnya
prevalensi merokok terutama pada kelompok anak-anak dan remaja sehingga
semakin meluasnya resiko kematian dan kesakitan akibat penyakit yang terkait
dengan penggunaan rokok. Hal ini juga diperkuat dengan amanat Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat
Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Berdasarkan Undang-Undang
tersebut, tembakau (rokok) adalah zat adiktif yang penggunaannya
membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
Oleh karena itu Pemerintah Daerah wajib menetapkan larangan merokok di
kawasan umum di Kabupaten Banyumas.

B. Landasan Sosiologis
1. Asap rokok adalah campuran gas dan partikel yang mengandung lebih dari
4.000 zat kimia mematikan. Sedikitnya 50 dari semua zat beracun tersebut
dapat menyebabkan kanker dan penyakit serius lainnya. Pajanan terhadap
asap rokok orang lain menimbulkan dampak langsung dan jangka panjang
yang tidak terkembalikan. Dampak langsung adalah iritasi mata, sakit
kepala, batuk, sakit tenggorokan, pusing, dan mual. Dalam jangka panjang,
pajanan asap rokok orang lain meningkatkan resiko berbagai penyakit
mematikan, diantaranya yaitu kanker paru-paru, jantung, stroke, penyakit
pernapasan, sindrom kematian bayi mendadak, infeksi pernapasan bagian
atas, infeksi telinga, dan asma kronis pada anak- anak.
2. Di dalam ruangan tertutup, bahkan setelah sumber asap rokok berhenti,
partikel asap rokok akan mengendap dan menempel di dinding, karpet,
lantai, dan benda-benda di sekitar dalam waktu lama yang akan terhirup oleh
orang lain sehingga menimbulkan dampak lanjutan selain dampak akibat
menghirup asap rokok secara langsung.
3. Asap rokok tidak dapat disaring dengan peralatan ventilasi secanggih apapun
karena ukuran partikel yang sangat halus. Tidak ada kadar asap rokok yang
bebas dari resiko. Pajanan yang singkatpun tetap berbahaya. Hanya dengan
menciptakan lingkungan yang 100% bebas dari asap rokok, masyarakat akan
terlindungi.
4. Sebagian masyarakat termasuk anak-anak dan remaja tidak mengetahui dan
memahami bahaya merokok dan asap rokok. Untuk itu, informasi yang
benar, jelas, dan jujur tentang bahaya merokok harus disampaikan secara
terus menerus melalui iklan layanan masyarakat dan komunikasi media.
Bahwa iklan rokok yang menampilkan kesan seolah-olah merokok membuat
terlihat gagah dan glamor, memudahkan pergaulan, meningkatkan gengsi,
harus dinetralisir dengan iklan bahaya merokok yang sesungguhnya.
5. Secara lebih rinci, kajian ilmiah yang menjadi dasar sosiologis Rancangan
Peraturan Daerah tentang Larangan Merokok di Kawasan Umum di
Kabupaten Banyumas ini dijelaskan pada Bab I Pendahuluan dari Naskah
Akademik ini.
C. Landasan Yuridis
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menetapkan bahwa Kawasan Tanpa
Rokok meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar
mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat
kerja, dan tempat umum dan tempat lainnya yang ditetapkan serta
pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya.
2. Dalam rangka penyelenggaraan pengamatan bahan yang mengandung Zat
Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan (Peraturan Pemerintah
Nomor 109 Tahun 2012 Pasal 49), pemerintah daerah wajib mewujudkan
Kawasan Tanpa Rokok di wilayahnya dengan Peraturan Daerah. Selain
dilarang merokok, pada kawasan tanpa rokok tersebut diatur pula mengenai
larangan kegiatan menjual, mengiklankan, memproduksi, dan
mempromosikan rokok. Bahkan oemerintah daerah mengatur lebih lanjut
ketentuan-ketentuan iklan rokok di media luar ruang di wilayahnya
(Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Pasal 34).
3. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Larangan Merokok di
Kawasan Umum di Kabupaten Banyumas didasarkan pada asas pencapaian
derajat kesehatan manusia dan kualitas lingkungan hidup yang optimal di
daerah, sehingga pemerintah daerah dapat menetapkan ketentuan-ketentuan
lebih lanjut yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kaidah-
kaidah logis dan ilmiah untuk melindungi masyarakat dari bahaya rokok.
4. Peraturan pelaksanaan larangan merokok di kawasan umum yang berlaku
saat ini yaitu, Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 26 Tahun
2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam peraturan-peraturan tersebut yang telah sesuai dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku harus diakomodir dan
diperkuat dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Larangan Merokok di
Kawasan Umum di Kabupaten Banyumas.
BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI


MUATAN PERATURAN DAERAH

A. Ketentuan Umum
Ketentuan umum yang memuat pengertian di bawah ini:
1. Daerah adalah Kabupaten Banyumas
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur
Penyelenggara Pemerintah Kabupaten Banyumas.
3. Bupati adalah Bupati Kabupaten Banyumas.
4. Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar,
dihisap, dan/atau dihirup termasuk rokok daun nipah, rokok kretek, rokok
putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana
Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang
asapnya mengandung nikotin, tar, dan zat adiktif dengan atau tanpa bahan
tambahan.
5. Merokok adalah kegiatan membakar dan/atau menghisap rokok.
6. Kawasan Tanpa Rokok, yang selanjutnya disingkat KTR, adalah ruangan
atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan
memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk
tembakau.
7. Asap Rokok Orang Lain (AROL) adalah asap yang keluar dari rokok yang
menyala atau dari produk tembakau lain yang biasanya dengan kombinasi
asap rokok yang dihembuskan oleh perokok.
8. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan,baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat.
9. Tempat proses belajar mengajar adalah tempat berlangsungnya kegiatan
Belajar mengajar atau pendidikan dan pelatihan seperti sekolah, Madrasah,
perguruan tinggi, tempat kursus, TPA/TPSQ, termasuk Ruang perpustakaan,
ruang praktek atau laboratorium,museum dan sejenisnya.
10. Tempat ibadah adalah sarana untuk rnelaksanakan kegiatan keagamaan
seperti masjid, mushollah, gereja, kapel, pura, wihara, klenteng dan tempat
ibadah lainnya.
11. Tempat anak bermain adalah tempat yang diperuntukkan untuk kegiatan
anak-anak seperti tempat penitipan anak, tempat pengasuhan anak, tempat
bermain anak-anak dan lainnya.
12. Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang berupa
kendaraan darat, air dan udara.
13. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka,
bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki tenaga
kerja untuk keperluan suatu usaha.
14. Tempat umum adalah sarana yang dapat digunakan oleh lapisan masyarakat
untuk berbagai kegiatan.
15. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
firma, kongsi, koperasi, persekutuan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, bentuk
usaha tetap, serta bentuk badan lainnya.
16. Pimpinan dan/atau penanggungjawab adalah seseorang yang mempunyai
tugas dan wewenang sebagai pimpinan dan/atau penanggungjawab atas
sebuah tempat atau ruangan kegiatan.
17. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD adalah Unit
Kerja Pemerintah Daerah yang rnernpunyai tugas mengelola anggaran dan
barang daerah.

B. Materi Muatan Peraturan Daerah


1. Asas
Penetapan Larangan Merokok di Kawasan Umum dilaksanakan
berdasarkan asas:
a. Kepentingan kualitas kesehatan manusia adalah adalah asas yang
mengarahkan agar penyelenggaraan Kawasan Tanpa Rokok ditujukan
untuk kepentingan menjaga kualitas kesehatan manusia secara
keseluruhan, baik perokok aktif maupun perokok pasif dan masyarakat
pada umumnya.
b. Kelestarian dan keberlanjutan ekologi adalah asas yang menetapkan
bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab menjaga
kesehatan lingkungan dengan cara menciptakan tempat tertentu menjadi
bebas dari asap rokok yang membahayakan kesehatan manusia dalam
rangka melestarikan fungsi lingkungan demi keberlanjutan ekologi
dalam mendukung kehidupan manusia dan mahluk hidup lain.
c. Perlindungan hukum adalah adalah asas yang menjamin terlindunginya
secara hukum para pihak yang terkait dengan penyelenggaraan
Larangan Merokok di Kawasan Umum dalam rangka mewujudkan hak
atas kesehatan warga masyarakat.
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban adalah asas yang
menempatkan pengaturan penyelenggaraan Larangan Merokok di
Kawasan Umum haruslah dalam keseimbangan antara hak dan
kewajiban, baik dari sisi negara, perokok aktif, perokok pasif, maupun
masyarakat pada umumnya.
e. Keterpaduan adalah asas yang menentukan bahwa kebijakan
penyelenggaraan Larangan Merokok di Kawasan Umum haruslah
dilakukan dalam suatu langkah keterpaduan untuk menyatukan berbagai
sektor urusan pemerintahan dalam satu kesamaan persepsi.
f. Keadilan adalah asas yang menetapkan bahwa pelaksanaan Larangan
Merokok di Kawasan Umum dilakukan harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas generasi
maupun lintas gender.
g. Keterbukaan dan peran serta adalah asas yang menetapkan bahwa setiap
anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses
pengambilan keputusan dan pelaksanaan Larangan Merokok di
Kawasan Umum, baik secara langsung maupun tidak langsung.
h. Akuntabilitas adalah adalah asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir penyelenggaraan Larangan Merokok di
Kawasan Umum harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

2. Tujuan
Penetapan Larangan Merokok di Kawasan Umum bertujuan untuk:
a. Memberikan perlindungan dari bahaya asap rokok bagi perokok aktif
dan/atau pemaparan asap rokok pada orang lain.
b. Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi
masyarakat.
c. Membudayakan hidup sehat.
d. Menekan angka pertumbuhan perokok pemula.

3. Prinsip
Prinsip penerapan Larangan Merokok di Kawasan Umum adalah:
a. Kegiatan merokok pada KTR adalah bertentangan dengan hukum.
b. Disediakan ruang merokok khusus di tempat umum/tempat kerja
tertutup dengan syarat:
(1) Merupakan ruang terbuka atau ruang yang berhubungan langsung
dengan udara luar sehingga udara dapat bersirkulasi dengan baik.
(2) Terpisah dari gedung/tempaUruang utama dan ruang lain yang
digunakan untuk beraktifitas.
(3) Jauh dari pintu masuk dan keluar.
(4) Jauh dari tempat orang berlalu-lalang.
c. Pemaparan asap rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok, atau
tindakan mengijinkan dan/atau membiarkan orang merokok di KTR
adalah bertentangan dengan hukum.

4. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Larangan Merokok di Kawasan Umum meliputi:
a. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan,baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
b. Tempat proses belajar mengajar adalah tempat berlangsungnya kegiatan
Belajar mengajar atau pendidikan dan pelatihan seperti sekolah,
Madrasah, perguruan tinggi, tempat kursus, TPA/TPSQ, termasuk
Ruang perpustakaan, ruang praktek atau laboratorium,museum dan
sejenisnya.
c. Tempat ibadah adalah sarana untuk rnelaksanakan kegiatan keagamaan
seperti masjid, mushollah, gereja, kapel, pura, wihara, klenteng dan
tempat ibadah lainnya.
d. Tempat anak bermain tempat yang diperuntukkan untuk kegiatan anak-
anak seperti tempat penitipan anak, tempat pengasuhan anak, tempat
bermain anak-anak dan lainnya.
e. Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang berupa
kendaraan darat, air dan udara.
f. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka,
bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki
tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha.
g. Tempat umum adalah sarana yang dapat digunakan oleh lapisan
masyarakat untuk berbagai kegiatan.
h. Tempat lain yang ditetapkan.

5. Larangan Merokok di Kawasan Umum sebagaimana dimaksud dalam huruf


a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f merupakan kawasan yang
bebas dari asap rokok hingga batas pagar terluar atau dengan batas lainnya
yang ditentukan. Larangan Merokok di Kawasan Umum sebagaimana
dimaksud dalam huruf g merupakan kawasan yang bebas dari asap rokok
hingga batas kucuran air dari atap paling luar.

6. Kewajiban dan Larangan


Kewajiban dan larangan yang ditetapkan pada Kawasan Tanpa
Rokok adalah:
a. Setiap orang dilarang merokok di KTR.
b. Setiap orang/badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual
rokok di Kawasan Tanpa Rokok.
c. Larangan menjual dan membeli sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikecualikan untuk tempat umum yang memiliki ijin untuk
mempromosikan, mengiklankan, menjual rokok.
7. Setiap pimpinan atau penanggung jawab KTR sebagaimana dimaksud pada
poin 6 wajib:
a. Melakukan pengawasan internal pada tempat dan/atau lokasi yang
menjadi tanggung jawabnya.
b. Melarang setiap perokok di KTR di wilayah yang menjadi
tanggungjawabnya.
c. Meniadakan asbak atau sejenisnya pada tempat dan/atau lokasi yang
menjadi tanggungjawabnya.
d. Memasang tanda-tanda dilarang merokok sesuai persyaratan di semua
pintu masuk utama dan di tempat-tempat yang dipandang perlu dan
mudah terbaca dan/atau didengar baik.

8. Peran Serta Masyarakat


a. Masyarakat dapat berperan aktif dalam mewujudkan KTR.
b. Peran serta masyarakat dapat berbentuk:
1) Pengawasan pelaksanaan Peraturan Daerah ini.
2) Pemberian bimbingan dan penyuluhan serta penyebarluasan data
dan/atau informasi dampak rokok bagi kesehatan.

9. Setiap orang dapat ikut serta memberikan bimbingan dan penyuluhan


dampak rokok bagi kesehatan kepada keluarga dan/ atau lingkungannya.
Setiap warga masyarakat berkewajiban ikut serta memelihara dan
meningkatkan kualitas udara yang sehat dan bersih serta bebas dan asap
rokok.

10. Pembinaan Dan Pengawasan


a. Pihak yang melakukan pembinaan adalah:
1) Walikota melakukan pembinaan seluruh KTR di wilayahnya.
2) Walikota mendelegasikan pembinaan KTR kepada Kepala SKPD.
3) Pembinaan KTR dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai tugas
pokok dan fungsi sesuai dengan tempat yang dinyatakan sebagai
KTR.
4) Pembinaan pelaksanaan KTR dalam rangka pengembangan
kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat.
5) Pembinaan pelaksanaan KTR dilaksanakan oleh SKPD sesuai
bidang tugasnya dan/atau wewenangnya di bawah koordinasi Dinas
Kesehatan.
6) Pembinaan pelaksanaan KTR antara lain berupa:
a) Pemasangan tanda-tanda dilarang merokok.
b) Pemberian bimbingan dan/atau penyu1uhan.
c) Pemberdayaan masyarakat.
d) Menyiapkan petunjuk teknis.
7) Pembinaan dapat dilakukan oleh:
a) Masing-masing SKPD dengan melaksanakan berbagai kegiatan
pembinaan dalam rangka pembinaan pelaksanaan KTR.
b) Masing-masing SKPD dengan bekerja sama dengan masyarakat,
badan atau lembaga dan/atau organisasi kemasyarakatan.

11. Pengawasan
Pihak yang melakukan pengawasan adalah:
a. SKPD bersama-sama masyarakat dan/atau badan/atau lembaga dan/atau
organisasi kemasyarakatan melakukan pengawasan pelaksanaan KTR.
b. Pengawasan KTR dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai tugas
pokok dan fungsi sesuai dengan tempat yang dinyatakan sebagai KTR.
c. Hasil pengawasan wajib dilaporkan oleh masing-masing SKPD sesuai
dengan tugas dan fungsi masing-masing kepada Walikota melalui
Sekretaris Daerah setiap 1 (satu) bulan sekali.
d. Ketentuan lebuh lanjut mengenai pengawasan KTR diatur dalam
Peraturan Walikota.
e. Pimpinan dan/atau penanggungjawab KTR wajib melakukan inspeksi
dan pengawasan di KTR yang menjadi tanggungjawabnya.
f. Pimpinan dan/atau penanggungjawab KTR wajib melaporkan hasil
inspeksi dan pengawasan kepada SKPD terkait setiap 1 (satu) bulan
sekali.
g. Dinas Kesehatan dan Satpol PP berkoordinasi dengan SKPD lainnya
wajib melakukan inspeksi dan pengawasan ke seluruh gedung di
wilayah kerjanya.
h. Dinas kesehatan selanjutnya melaporkan hasil inspeksi dan pengawasan
kepada Walikota.
i. Dalam hal penegakan hukum, Dinas Kesehatan, Satpol PP dan SKPD
lainnya melakukan operasi tindak pidana ringan (operasi tipiring)
minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.

12. Ketentuan Penyidikan


Penyidikan terkait pelanggaran KTR dilakukan dengan cara:
a. Penyidik pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah daerah
berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pelanggaran
Peraturan Daerah ini.
b. Penyidik dalam melaksanakan tugas mempunyai wewenang:
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya
tindak pidana atas pelanggaran peraturan daerah.
2) Melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan di tempat kejadian.
3) Menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka.
4) Melakukan penyitaan benda atau surat.
5) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi.
7) Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara.
8) Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk
dari penyidik POLRI bahwa tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya
melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut
umum, tersangka atau keluarganya.
9) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
10) Penyidik tidak berwenang melakukan penangkapan dan/atau
penahanan.
11) Penyidik Pegawai Negeri Sipil membuat berita acara setiap tindakan
dalam hal:
a) Pemeriksaan tersangka.
b) Memasuki rumah dan/atau tempat tertutup lainnya.
c) Penyitaan barang.
d) Pemeriksaan saksi.
e) Pemeriksaan di tempat kejadian.
f) Pengambilan sidik jari dan pemotretan.

C. Ketentuan sanksi
1. Sanksi Administratif
a. Pimpinan dan/atau penanggungjawab KTR dapat dikenakan sanksi
berupa:
1) Peringatan tertulis.
2) Paksaan pemerintahan.
3) Uang paksa.
4) Pencabutan izin.
5) Tata cara pemberian sanksi administratif di KTR:
a) Walikota dan/atau kepala SKPD terkait memberikan peringatan
tertulis kepada pimpinan atau penanggungjawab KTR.
b) Apabila dalam waktu 1 (satu) bulan sejak peringatan tertulis
diberikan pimpinan dan/atau penanggungjawab KTR belum
memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam peringatan
tertulis, maka kepada pimpinan dan/atau penanggungjawab KTR
dimaksud diberikan sanksi berupa paksaan pemerintahan atau
uang paksa atau pencabutan izin.
c) Sanksi sebagaimana dimaksud di atas diberikan oleh Walikota
atau pejabat yang berwenang.

2. Sanksi Pidana
a. Setiap orang yang merokok di tempat atau area yang dinyatakan sebagai
KTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) hari atau denda paling sedikit Rp
100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 500.000,00
(seratus ribu rupiah) untuk setiap kali pelanggaran.
b. Setiap orang/badan yang mempromosikan, mengiklankan, menjual,
dan/atau membeli rokok di tempat atau area yang dinyatakan sebagai
KTR, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) hari atau
denda paling banyak Rp.1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah).
c. Setiap pengelola KTR yang tidak melakukan pengawasan internal,
membiarkan orang merokok, tidak menyingkirkan asbak atau
sejenisnya, dan tidak memasang tanda-tanda dilarang merokok di tempat
atau area yang dinyatakan sebagai KTR dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga hari) hari atau denda paling banyak Rp. 2.500.000,-
(dua juta lima ratus ribu rupiah).
d. Denda dibayarkan langsung ke rekening Kas Daerah setelah ditetapkan
oleh hakim sidang Pengadilan Negeri Banyumas.

D. Ketentuan Peralihan
1. Sebelum pelaksanaan sanksi terhadap Kawasan Tanpa Rokok, dilaksanakan
pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
2. Pembinaan dilakukan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini
diundangkan.

E. Ketentuan Penutup
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada saat diundangkan.
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan Naskah Akadamik mengenai Rancangan Peraturan Daerah
tentang Larangan Merokok di Kawasan Umum, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Dampak negatif penggunaan rokok pada kesehatan telah lama diketahui.
Kanker paru merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia, di samping
dapat menyebabkan serangan jantung, impotensi, penyakit darah, enfisema,
stroke, dan gangguan kehamilan serta janin yang sebenarnya dapat dicegah.
2. Merokok merugikan kesehatan baik bagi perokok itu sendiri maupun orang
lain di sekitarnya yang tidak merokok (perokok pasif). Perokok mempunyai
risiko dua sampai empat kali lipat untuk terkena penyakit jantung koroner
dan risiko lebih tinggi untuk kematian mendadak.
3. Perlindungan terhadap bahaya paparan asap rokok diperlukan untuk
pencapaian kesejahteraan manusia agar terwujud dan terpeliharanya derajat
kesehatan yang tinggi, karena kesehatan menjadi komponen penting dari
tercapainya kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menegaskan bahwa
setiap orang berhak atas kesehatan. Untuk mewujudkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya, maka Pemerintah Daerah berkewajiban
menyelenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh.

B. Saran
Penerapan kebijakan Larangan Merokok di Kawasan Umum bertujuan
untuk mempersempit area bagi perokok sehingga generasi sekarang maupun akan
datang dapat terlindungi dari bahaya rokok. Dan hal tersebut merupakan
tanggung jawab seluruh komponen bangsa, baik individu, masyarakat maupun
pemerintah. Komitmen bersama sangat dibutuhkan dalam keberhasilan
penerapan Larangan Merokok di Kawasan Umum. Oleh sebab itu,
pengembangan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) perlu diwujudkan bersama.
DAFTAR PUSTAKA

Skurnik Y, Shoenfeld. Health effects of cigarette smoking. Clin Dermatol, 1998


World Health Organization (WHO)2008 : The WHO report on the global
tobacco epidemic, The POWER package. Geneva, Switzerland: World
Health Organization
Prevalensi penduduk yang merokok. Available from: bppsdmk.depkes.go.id/
diakses pada tanggal 23 Januari 2014
Litin, Scott. Mayo Clinic Family Health Book 1. New York: Harper Collins,
2003
Crofton, John dan David Simpson.Tembakau Ancaman Global. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo, 2002
International Agency for Research on Cancer 2004, ‘Tobacco Smoke and
Involuntary Smoking: Summary data reported and Evaluation’, IARC
Monographs, Vol. 831
Nafsiah Mboi, Pos Kota Jakarta : 10 Februari 2013
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. 6, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2010
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984
Thoha, Miftah. 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.;
Philipus M. Hadjon, et.all, Hukum Administrasi dan Good Governance,
Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti
Rusdibjono, Mewujudkan Ketertiban dan Ketentraman Masyarakat, Jakarta:
Pustaka
The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1967

Anda mungkin juga menyukai