oleh:
RENY SARTIKA
NPM 19.13101.11.24
Kebiasaan merokok sudah menjadi budaya pada bangsa kita. Remaja, dewasa, bahkan
anak-anak sudah tidak asing lagi dengan benda mematikan tersebut. Peningkatan dapat dilihat
dari prevalensi perokok usia > 10 tahun meningkat dari 29,2% pada 2007menjadi 29,3% pada
tahun 2013. Sedangkan data Riskesdas 2018 menunjukkan jumlah perokok diatas 15 tahun
sebanyak 33,8 %. Dari jumlah tersebut 62,9 % merupakan perokok laki-laki dan 4,8%
perokok perempuan. Kebiasaan merokok disembarangan tempat telah menjadi hal yang biasa
dijumpai mulai dari merokok di pasar, angkutan umum, perkantoran, tempat ibadah, institusi
pendidikan dan sebagian tempat umum lainnya.
Hal ini membuat pemerintah menetapan kawasan tanpa rokok yang merupakan upaya
perlindungan untuk masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan kesehatan karena
lingkungan tercemar asap rokok. Secara umum, penetapan kawasan tanpa rokok bertujuan
untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat rokok, dan secara khusus, tujuan
penetapan kawasan tanpa rokok adalah mewujudkan lingkungan yang bersih, sehat, aman dan
nyaman, memberikan perlindungan bagi masyarakat bukan perokok, menurunkan angka
perokok, mencegah perokok pemula dan melindungi generasi muda dari penyalahgunaan
Narkotika, Psikotropika dan zat Adiktif (NAPZA).
Rumah Sakit Umum Daerah Besemah Kota Pagar Alam merupakan salah satu
fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di kota Pagar Alam yang seharusnya sudah 100%
menerapkan kawasan tanpa rokok tapi pada kenyataannya sampai dengan saat ini masih
terdapat pengunjung yang melakukan aktifitas merokok di koridor dan lingkungan rumah
sakit yang menunjukkan bahwa tidak adanya kepatuhan terhadap peraturan yang telah di
tetapkan oleh pemerintah berdasarkan Instruksi Menteri Keseharan RI Nomor :
84/MKES/INST/II/2002
1. Faktor Situasional
Hal ini merujuk pada data riset Kementerian Kesehatan, proporsi perokok terhadap
jumlah penduduk di Sumsel telah mencapai 30,1 persen, menempatkannya sebagai provinsi
dengan jumlah perokok tertinggi ke-12 di Indonesia. Tingginya angka perokok di kota ini
membutuhkan suatu solusi yang komprehensif untuk menurunkan angkanya menjadi lebih
rendah.
2. Faktor Struktural
Mengingat Sumsel masih sangat minim mengenai Perda kawasan bebas rokok, yaitu
menurut Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Sumsel mencatat, baru ada lima kabupaten/kota
yang sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang kawasan tanpa rokok (KTR).Padahal
perda ini penting untuk perlindungan bagi masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan
kesehatan akibat tercemar asap rokok. Berikut lima daerah yang sudah memberlakukan Perda
KTR antara lain Kota Palembang, Kabupaten OKU, OKI, Empatlawang, dan Ogan Ilir.
Dan kabar baiknya Pagaralam pun akan menyusul untuk menerapkan Peraturan
Daerah (Perda), yang mengatur tentang kawasan bebas asap rokok (sumber Pagaralam Pos).
Dalam menunjang kawasan bebas asap rokok terutama dilingkungan RSUD Besemah
menggunakan Intruksi Menteri Kesehatan RI nomor : 84/MKES/INST/II/2002.Dan tidak
hanya itu jugaperlu ditinjau lagi baik disegala aspek, salah satunya perlunya upaya
pengurangan perokok yang aktif disetiap lapisan masyarakat sangat dibutuhkan. Karenanya
jika masyarakat dapat melakukan perilaku hidup sehat yaitu dengan meninggalkan kebiasaan
merokok tentunya tidak hanya dilingkungan rumah sakit saja, namun juga disetiap
lingkungan masyarakat sudah akan terbiasa untuk menciptakan lingkungan yang sehat yaitu
lingkungan bebas dari asap rokok. Tidak hanya itu dari segi pemerintah juga, pelaksanaan
peraturan ini bukan hanya tanggung jawab dari pemerintah kota Pagaralam saja namun peran
dari pemerintah sumsel sangat diharapkan sehingga pencapaian indikator kawasan bebas asap
rokok dapat tercapai mencakup seluruh daerah. Dan perlu diingat bahwa upaya kawasan
bebas asap rokok bukan hanya tanggung jawab satu sektor saja, melainkan harus adanya
koordinasi atau kerja sama semua pihak yang terkait.
3. Faktor Budaya
Faktor Kebudayaan ini sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasar pada karsa
manusia didalam pergaulan hidup, sehingga faktor budaya berperan penting dalam
pelaksanaan peraturan. Masih banyaknya pelanggaran berupa kegiatan merokok terjadi
karena rendahnya budaya hidup sehat di masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang
sehat dan bebas asap rokok. Hal itu didukung dari kebiasaan dan pergaulan dilingkungan
perokok dan kurang sadarnya sebagian masyarakat akan kesehatan dan akibat buruk dari
rokok membuat pelaksanaan peraturan tentang kawasan tanpa rokok di lingkungan RSUD
Besemah belum efektif.
4. Faktor Nasional dan Internasional
Maksud dari kebijakan ini yaitu meningkatkan upaya hidup sehat terutama
menghindari atau menjauhkan diri kita dari kebiasaan merokok dengan begitu kesadaran akan
hidup sehat akan menjamin kesehatan bagi diri kita maupun orang lain disekitar kita, dan
untuk lingkungan tempat kerja hendaknya seorang atasan mampu mendisiplinkan
bawahannya untuk dapat menjaga lingkungan dari bahaya merokok, karena merokok banyak
memiliki efek buruk untuk tubuh kita baik itu dari perokok aktif maupun secara tidak
langsung mengimbas pada lingkungan (orang yang terkena asap rokok yaitu perokok pasif)
juga akan berdampak bagi kesehatannya. Kawasan bebas rokok bertujuan untuk menciptakan
lingkungan yang sehat bagi setiap individu maupun masyarakat melalui:
1. Menjadikan tempat kerja dan sarana kesehatan pada unit kerja masing-masing sebagai
kawasan tanpa rokok.
2. Pimpinan atau penanggung jawab tempat kerja dan sarana kesehatan harus
mengupayakan terbentuknya kawasan tanpa rokok dilingkungannya.
3. Menyediakan tempat khusus untuk merokok bagi para perokok yang dilengkapi alat
penghisap udara atau memiliki sirkulasi udara yang memenuhi persyaratan, serta terpisah
dan tidak berhubungan dengan ruangan tanpa rokok sehingga tidak mengganggu
kesehatan bagi yang tidak merokok.
4. Para pemipinan tempat kerja/sarana kesehatan agar mengenakan sanksi terhadap para
pejabat dan karyawan satuan kerja yang tidak mengindahkan larangan merokok ditempat
kerja dan sarana kesehatan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil atau sanksi sesuai ketentuan pada
sarana/tempat kerja tersebut.
5. Intruksi ini merupakan penekanan ulang dari Intruksi Menteri Kesehatan
161/Menkes/Inst./III/1990 tentang Lingkungan Kerja Bebas Rokok, agar para pimpinan
atau penanggung jawab tempat kerja dan sarana kesehatan lebih aktif dalam mewujudkan
kawasan tanpa rokok dilingkungannya.
6. Intruksi ini agar dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
1. Pasal 13, Rokok putih minimal isi 20 batang. Melalui peraturan ini diharapkan harga beli
rokok semakin tidak terjangkau sehingga daya beli masyarakat menurun. Sayangnya, belum
ada peraturan yang mengatur tentang penjualan rokok eceran (beli satuan batang).
2. Pasal 24, tidak boleh pakai istilah rokok Mild. Istilah tersebut menyesatkan karena dianggap
rokok jenis tersebut lebih aman dari rokok biasa, namun pada kenyataannya perokok mild
justru merokok lebih banyak karena merasa aman. Penggunaan kata Slim juga dilarang
karena dianggap dapat menguruskan badan.
3. Peringatan bergambar bahaya rokok ukuran 40% dari ukuran kemasan. Peraturan ini
bertujuan agar bahaya merokok dapat tersampaikan dengan jelas kepada perokok.
4. PP Tembakau yang ditetapkan tanggal 24 Desember 2012 mengatur iklan rokok di luar
ruangan luasnya tidak boleh lebih dari 72 m2. Konsekuensi dari peraturan ini adalah banyak
iklan rokok yang permanen maupun tidak untuk dicopot meskipun sudah menghabiskan
modal yang banyak.
5. Harus mencantumkan peringatan umur 18+. Peratuan ini seakan masih menjadi upaya yang
sia-sia karena sebagian perokok banyak yang memulai merokok dari usia anak-anak.
Pedagang rokok juga tidak pernah melarang anak dibawah umur untuk membeli rokok
dagangan mereka.
Upaya-upaya tersebut dirasakan masih kurang karena jumlah perokok masih tinggi, sehingga
pemerintah merasa perlu untuk menambah upaya menghampat perokok untuk merokok tanpa
mengambil haknya dengan cara pembatasan tempat merokok melalui penetapan Kawasan
Tanpa Rokok dan penetapan Tempat Khusus Merokok.
1. Menciptakan kawasan bebas asap rokok dilingkungan tempat kerja sehingga rumah sakit
terbebas dari asap rokok.
2. Agar tercipta kawasan tanpa rokok harus didukung oleh peran dari seorang atasan.
3. Untuk mendukung kawasan tanpa rokok hendaknya seorang atasan memberikan sanksi
bagi pegawainya apabila masih kedapatan melakukan merokok diarea dilarang untuk
merokok, karena bagaimana menciptakan kawasan bebas asap rokok apabila didalamnya
seperti para pegawainya masih tetap merokok.
Terdapat beberapa permasalah kesehatan di Indonesia saat ini, salah satunya adalah
peningkatan jumlah perokok di kalangan anak muda. Rokok dapat membahayakan kesehatan
dan menyebabkan berbagai penyakit diantaranya adalah kanker paru-paru, kanker mulut,
saluran pernapasan kronik, kardiovaskuler, ginjal, kanker mulut, tenggorok, lambung,
kandung kemih, mulut rahim, sumsum tulang, penyakit jantung koroner, dan pengerasan
pembuluh nadi (arteriosklerosis).Efek yang ditimbulkan tidak hanya berisiko pada
kalangan masyarakat yang aktif merokok tetapi juga perokok pasif yang terpapar asap rokok
yang juga berpotensi untuk menyebabkan berbagai penyakit diantaranya adalah infeksi paru,
gangguan pertumbuhan paru, dan kanker paru-paru.Dari segi total biaya konsumsi tembakau
mencapai Rp127,4 triliun, biaya tersebut digunakan untuk belanja rokok, biaya pembiayaan
kesehatan yang terkait dengan gangguan kesehatan akibat rokok serta kecacatan dan
kematian dini.
2. Analisis Aktor
Petugas kesehatan melaksanakan advokasi kepada pimpinan rumah sakit atau fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dengan menjelaskan perlunya Kawasan Tanpa Rokok dan
keuntungannya jika dikembangkan di area tersebut. Dari advokasi tersebut akhirnya
pimpinan rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya setuju untuk
mengembangkan Kawasan Tanpa Rokok. Contoh fasilitas pelayanan kesehatan adalah rumah
sakit, Puskesmas, Poliklinik, Poskesdes.
A. Analisis Situasi
Pihak pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan mengajak bicara serikat pekerja yang
mewakili perokok dan bukan perokok untuk :
• Meminta masukan tentang penerapan Kawasan Tanpa Rokok, antisipasi kendala dan
sekaligus alternatif solusi.
C. Membuat Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok Komite atau kelompok kerja membuat
kebijakan yang jelas tujuan dan cara melaksanakannya.
• Membuat surat keputusan dari pimpinan tentang penanggung jawab dan pengawas
Kawasan Tanpa Rokok di fasilitas pelayanan kesehatan.
• Instrumen pengawasan.
• Sosialisasi tugas dan penanggung jawab dalam pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.
• Lakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala tentang kebijakan yang telah
dilaksanakan.
• Minta pendapat komite dan lakukan kajian terhadap masalah yang ditemukan.
V. Kesimpulan
1. Lahirnya kebijakan kawasan tanpa rokok belum sepenuhnya direspon baik oleh seluruh
stakeholder kebijakan di Sumatera Selatan khususnya dibidang kesehatan, selain
peraturan daerah yang masih belum berlaku mengenai kebijakan kawasan tanpa rokok di
Kota Pagaralam, akibatnya implementasi kebijakan di rumah sakit tersebutbelum
berjalan dengan maksimal. Hal ini terlihat kurangnya kegiatan atau program-program
yang dilakukan RSUD Besemah untuk menindaklanjuti keputusan kebijakan yang
tertuang dalam Intruksi Menteri Kesehatan RI nomor : 84/MKES/INST/II/2002,
sehingga tidak sebanding dengan keinginan yang diharapkan dari pemberlakuan
kebijakan tersebut.
2. Tidak berjalannya secara maksimal implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di
RSUD Besemah, karena dihadapkan beberapa faktor kendala yaitu kurangnya sosialisasi,
kurangnya komitmen para pelaku kebijakan, kurangnya kepatuhan masyarakat, serta
tidak ditegakkannya sanksi-sanksi terhadap para pelanggar kebijakan.