Anda di halaman 1dari 9

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG

NOMOR 5 TAHUN 2010

TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

Tugas Ini Ditujukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Implementasi Kebijakan

Dosen Pengampu: Dr.Riswanda, S.Sos., M.Pa, Ph.D

Disusunoleh:

Kelas V-A

Ahmad Mahdi (66611600)

Fika Nur Fidiyanti (6661160028)

Siti Sahati (66611600)

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

SEPTEMBER 2018
Latar Belakang

Merokok merupakan salah satu kebiasaan buruk masyarakat yang


jumlah konsumennya setiap tahun semakin bertambah banyak. Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2009, konsumsi rokok di dalam
masyarakat dewasa ini sudah sangat memprihatinkan. Sifat adiksi rokok
membuat banyak orang sulit lepas dari jeratannya. Meski miskin, pekerjaan
tidak menentu, dan sadar ancaman penyakitnya, meraka tetap merokok.
Terdapat berbagai alasan yang menjadi faktor yang menyebabkan
masyarakat memiliki kebiasaan merokok. Menurut Lewin (Komasari &
Helmi, 2000), perilaku atau kebiasaan merokok yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat, selain disebabkan karena adanya pengaruh faktor
yang berasal dari dalam diri individu, juga disebabkan faktor lingkungan.
Secara individu, faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan merokok
meliputi gengsi, tingkat pendidikan, strata sosial. Sedangkan secara
lingkungan, meliputi sosiokultural seperti kebiasaan budaya dan pergaulan
(Smet, 1994).

Rokok terbukti melanggengkan kemiskinan, tetapi


pengendaliannya dinilai setengah hati. Di Indonesia, menurut data hasil
survey ekonomi nasional tahun 2016 tentang pengeluaran per kapita
menurut kelompok makanan, belanja untuk kebutuhan rokok masyarakat
berada pada urutan ketiga (13,50%), berada di bawah padi-padian (14,02%),
dan makanan dan minuman jadi (29,05%). Ini artinya bahwa belanja rokok
mengalahkan kebutuhan gizi. Selain itu, rokok termasuk dalam 5 jenis
komoditas utama kelompok makanan yang berkontribusi terhadap garis
kemiskinan tahun 2016, dengan urut-urutan sebagai berikut; beras (21,83%),
rokok (10,70%), daging sapi (4,23%), telur ayam ras (2,97%), dan daging
ayam ras (2,65%). Sedangkan untuk kelompok bukan makanan, yaitu
perumahan (8,72%), bensin (2,58%), listrik (2,23%), pendidikan (1,99%),
dan perlengkapan mandi (1,16%). (Sumber: Kompas.com diakses pada 10
September 2018 pukul 21.30 WIB)
Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa bahaya kesehatan
yang akan dialami bagi para perokok di antaranya:

1. Impotensi. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan penurunan


seksual karena aliran darah ke penis berkurang, sehingga tidak
terjadi ereksi.
2. Osteoporosis. Karbon monoksida dalam asap rokok yang
dihisap para perokok dapat mengurangi daya angkut oksigen
darah para perokok sebesar 15%, yang mengakibatkan
kerapuhan tulang, sehingga menyebabkan tulang mudah patah.
3. Gangguan kehamilan. Paparan asap rokok orang lain dapat
menyebabkan pertumbuhan janin menjadi lambat, peningkatan
resiko bagi ibu untuk melahirkan bayi kecil, dan bayi yang
prematur atau kurang bulan.
4. Serangan jantung koroner. Kebiasaan merokok dapat
menyebabkan penyakit serangan jantung yang berakhir dengan
kematian. Bahkan sekitar 40% kematian akibat serangan
jantung berhubungan dengan kebiasaan merokok.
5. Mengganggu sistem pernapasan. Menggangu system
pernapasan. Dalam jangka pendek, efek dari kebiasaan
merokok dapat membunuh sel rambut getar (silia) di saluran
pernapasan (Sadri, 2016: 11).

Banyaknya permasalahan kesehatan yang menghampiri masyarakat


akibat menghirup asap rokok, kerap kali menyebabkan kebiasaan merokok
masyarakat menjadi persoalan publik yang mendapatkan perhatian
pemerintah. Asumsinya bahwa munculnya berbagai macam penyakit yang
diderita masyarakat akibat asap rokok, baik bagi perokok pasif maupun
perokok aktif, mengharuskan negara menyediakan anggaran untuk
pelayanan kesehatan masyarakat. Apalagi di tengah kebijakan pelayanan
kesehatan gratis yang telah menjadi janji politik para pemegang kekuasaan
negara. Secara ekonomi, pemerintah memang dirugikan dengan kebiasaan
merokok masyarakatnya, karena secara tidak langsung telah membebankan
anggaran keuangan negara untuk menanggulangi efek kesehatan masyarakat
akibat kebiasaan merokok tersebut. Meskipun ada kewajiban dari produsen
rokok untuk memberikan peringatan tentang bahaya merokok melalui pesan
yang disampaikan dalam bungkus rokok, namun, upaya tersebut jauh
tertinggal dibandingkan dengan upaya menarik minat konsumsi rokok yang
dipromosikan oleh produsen rokok itu sendiri (Nasution, 2007).

Munculnya masalah kesehatan masyarakat yang diakibatkan karena


kebiasaan merokok ini sudah menjadi masalah nasional, bahkan
internasional, sehingga mendapatkan respon pemerintah di berbagai negara
dunia untuk melakukan penanggulangan. Di Indonesia, untuk
menanggulangi kebiasaan merokok dan perlindungan kesehatan masyarakat
dari kebiasaan merokok, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang
tertuang dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tentang Pengamanan
Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Dalam pasal 113
menjelaskan bahwa zat adiktif harus diamankan karena membahayakan bagi
kesehatan. Zat tersebut antara lain terdapat pada tembakau yang merupakan
bahan baku pembuatan rokok. Selanjutnya menurut pasal 116, pemerintah
harus menindaklanjuti kebijakan tersebut dalam bentuk Peraturan
Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi
Kesehatan selambat-lambatnya satu tahun setelah disahkan UU tersebut.
Sedangkan dalam pasal 202, mengamatkan kepada Pemerintah Daerah
untuk mengeluarkan kebijakan dalam bentuk peraturan daerah tentang area
bebas rokok pada masing-masing daerah.

Di samping itu, menyadari arti pentingnya perlindungan


masyarakat terhadap bahaya rokok, Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Kesehatan membuat nota kesepahaman yang menekankan
pemberlakuan kawasan tanpa rokok. Peraturan bersama kedua kementerian
tersebut dituangkan dalam surat bernomor 188/Menkes/PB/I/2011 dan No. 7
Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok. Adanya
mudlarat yang ditimbulkan kebiasaan merokok ini juga mendapatkan
perhatian dari organisasi Islam Indonesia, yaitu Muhammadiyah.
Berdasarkan Surat Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah/Surat Fatwa Haram No. 6/SM/MTT/III/2010 tentang
Hukum Merokok menegaskan tentang haram merokok. Namun sayangnya,
fatwa tersebut tidak mengikat pada warga negara, karena tidak dijadikan
acuan bagi kebijakan pemerintah (Iriani, 2016).

Menanggapi hal di atas, Komitmen Pemerintah Kota (Pemkot)


Tangerang dalam menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), mendapat
apresiasi dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yaitu berupa
penghargaan Pastika Parama, terkait penerapan Kawasan Tanpa Rokok
(KTR). Penyerahan penghargaan tersebut diterima langsung oleh Wakil
Wali Kota Tangerang, Sachrudin, dari Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, Nila Farid Moeloek, dalam acara Pertemuan aliansi bupati/wali
kota yang peduli KTR dan Penyakit Tidak Menular (PTM), di The Alana
Hotel, Sleman, Yogyakarta, Rabu (12/07).

Penerapan KTR di Kota Tangerang telah dilaksanakan sejak 2010,


yang diatur melalui Perda Nomor 5 Tahun 2010 tentang KTR, tentunya
untuk meningkatkan derajat kesehatan, pengetahuan, pemahaman,
kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat Kota Tangerang untuk
senantiasa membiasakan hidup sehat. Pemkot Tangerang juga telah
menerapkan KTR seperti di kantor-kantor pelayanan, tempat pelayanan
kesehatan, sekolah, tempat ibadah, angkutan umum, tempat anak bermain.
Adapun bagi para perokok, diberikan ruang khusus, sehingga meskipun
mereka merokok, tidak mengganggu masyarakat yang tidak merokok.

“Capaian ini, menjadi motivasi bagi kami untuk terus menerapkan


dan menegakkan Perda KTR demi peningkatan kesehatan dan membiasakan
pola hidup sehat bagi masyarakat Kota Tangerang,” ucapnya, yang turut
didampingi Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang, Liza Puspadewi.

Kadis Kesehatan Kota Tangerang, menambahkan, rokok


merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan
bahaya kesehatan bagi individu, masyarakat, dan lingkungan, secara
langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, diperlukan upaya pengendalian
dan perlindungan terhadap bahaya rokok bagi kesehatan secara menyeluruh,
terpadu dan berkesinambungan.

Ia juga mengatakan, upaya untuk melindungi dari bahaya rokok,


selain ditetapkannya Perda KTR, Perwal Nomor 33 tahun 2011 tentang
teknis pelaksanaannya, juga terus dilakukan sosialisasi terhadap KTR.
Kemudian, turut disediakan ruang khusus merokok agar tidak mengganggu
masyarakat yang tidak merokok.

“Ke depan, diharapkan masyarakat akan semakin memiliki


kesadaran tinggi akan pentingnya menjaga kesehatan yaitu dengan tidak
merokok atau mengurangi budaya merokok di masyarakat, yang juga akan
turut meningkatkan tingkat ekonomi karena berkurangnya pengeluaran
biaya untuk merokok ataupun pembiayaan penanggulangan penyakit akibat
rokok," terangnya.

Sebagai informasi, Pemerintah melalui Kemenkes, menargetkan 50


persen kabupaten/kota di seluruh Indonesia dapat menerapkan KTR pada
2019. Saat ini baru sekitar 250 kota/kabupaten yang telah menerapkan KTR.
Salah satunya adalah Kota Tangerang. (Sumber: tangerangkota.go.id
“terapkan ktr kota tangerang raih pastika parama dari kemenkes” diakses
pada 10 September 2018 pukul 20.00 WIB)

Meskipun Kota Tangerang telah mendapat apresiasi dari


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yaitu berupa penghargaan
Pastika Parama, terkait penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) bukan
berarti implementasi kebijakan berjalan dengan baik tanpa hambatan-
hambatan di pelaksanaannya. Hal ini juga dibuktikan dengan masih
kurangnya partisipasi dari masyarakat terhadap kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok ini terutama di tempat-tempat yang memang sudah diatur dalam
Peraturan Daerah tersebut. Sampai saat ini Pemerintah Kota Tangerang
terus menggalakkan peraturan ini agar tujuan menjadikan masyarakat yang
memiliki pola hidup sehat dan menciptakan lingkungan yang layak huni
dapat tercapai dan dipertahankan.
Adanya hambatan-hambatan yang dihadapi pemkot Tangerang
dalam mengatur dan mengendalikan tembakau. Pengendalian tembakau
dapat membantu Indonesia begitu juga pemerintah daerah dalam
menerapkan Kawasan Tanpa Rokok di daerahnya. Kebijakan tembakau di
Indonesia sendiri masih adanya tarik ulur kepentingan. Saat ini Indonesia
tengah berkutat menggodok RUU Tembakau yang dicibir sebagai produk
titipan produsen rokok. Kelompok lobi tembakau juga mengakui, RRU
tersebut merupakan gagasan petani tembakau.

Dalam ha ini pemerintah Indonesia tidak punya banyak ruang


bermain. Betapapun juga, industry tembakau menyumbang sekitar 15 triiun
Rupiah per tahun daam bentuk pajak dan cukai. RUU tembakau dikritik
antaran menganulir beberapa pasal yang mengatur perbatasan konsumsi
rokok. Hal ini juga masuk dalam laporan WHO yang menilai pemerintah
Indonesia masih setengah hati dalam kiprah memerangi kebiasaan merokok.
(Sumber: m.dw.com “Dilema rokok di Indonesia menyelamatkan petani
atau kesehatan penduduk” diakses pada tanggal 18 September 2018)

Berbeda dengan India, India juga merupakan konsumen tembakau


terbesar kedua di dunia, kedua seteah China. Prevaansi penggunaan
tembakau di kalangan orang dewasa (15 tahun ke atas) adalah 35%.
Prevalensi penggunaan tembakau secara keseluruhan di antara laki-laki
adalah 48 % dan di antara perempuan adalah 20%. Hingga dua dari lima
(38%) orang dewasa di daerah pedesaan dan satu dari empat (25%) orang
dewasa di daerah perkotaan menggunakan tembakau daam beberapa bentuk.
Namun, menanggapi permasaahan di atas, pemerintah India mengambil
berbagai inisiatif untuk pengendalian tembakau di negara ini. Selain
memberlakukan undang-undang pengendalian tembakau yang komprehensif
(COTPA,2003), India adalah salah satu dari beberapa negara pertama yang
meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja WHO tentang Pengendalian
Tembakau (WHO FCTC pada tahun 2004. Program Pengendalian
Tembakau Nasional diujicobakan selama Rencana Lima Tahun yang sedang
dilaksanakan di 42 distrik dari 21 negara ini. Advikasi untuk pengendalian
tembakau oleh masyarakat sipil dan inisiatif yang dipimpin masyarakat telah
bertindak bersinergi dengan kebijakan pengendalian tembakau dari
pemerintah. (Sumber: Indian Journal of Pubic Health “Kebijakan
Pengendalian Tembakau di India: Implementasi dan tantangan” diakses
pada tangga 18 September 2018). Meskipun tingkat keberhasilan yang capai
berbeda dari impementasi kebijakan tersebut namun dapat menjadi pelajaran
untuk pemerintah Indonesia dalam menerapkan kebijakan tembakau di
Indonesia.

Dari permasalahan yang sudah dijelaskan, kami tertarik untuk


melakukan analisis tentang “Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Kota Tangerang”. Hal ini penting dilakukan karena akan
memberikan gambaran nyata mengenai keberhasilan dan tantangan
Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Tangerang.
Gambaran tersebut tentu dapat dijadikan bahan pertimbangan dan acuan
untuk menyelesaikan masalah terkait Implementasi Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok di Kota Tangerang.
Daftar Pustaka

Winengan, Juni 2017, “Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa


Rokok di Kota Mataram” Vol. XIV, dalam
http://stialanbandung.ac.id/ojs/index.php/jia/article/viewFile/13/pdf, diakses
pada 10 September 2018 pukul 22.16

Reza Monica dan Argo Pambudi, M.Si, “Implementasi Kebijakan


Kawasan Tanpa Rokok di Kota Yogyakarta” dalam
file:///C:/Users/USER/Downloads/8934-19990-1-SM.pdf , diakses pada 10
September 22.16

http://www.bphn.go.id/data/documents/kotatangerang-2010-5.pdf

https://tangerangkota.go.id/terapkan-ktr-kota-tangerang-raih-
pastika-parama-dari-kemenkes

http://www.fakta.or.id/wp-content/uploads/2014/06/Perwal-
Tangerang-Nomor-33-Tahun-2011.pdf

https://banten.antaranews.com/berita/27182/kota-tangerang-raih-
penghargaan-penerapan-kawasan-tanpa-rokok

https://m.dw.com/id/dilema-rokok-di-indonesia-menyelamatkan-
petani-atau-kesehatan-penduduk/a-18591398

http://www.ijph.in/article.asp?issn=0019-
557X;year=2011;volume=55;issue=3;spage=220;epage=227;aulast=Kaur

Anda mungkin juga menyukai