Anda di halaman 1dari 10

TUGAS

KOMUNIKASI, PROMKES, DAN EPIDEMIOLOGI


“ANALISIS SEGITIGA KEBIJAKAN KESEHATAN PERDA KAWASAN
TANPA ROKOK”

DISUSUN OLEH :
Gusti Ayu Ratih Wulandari (211310843)

DOSEN PENGAMPU :
Sri Indayani, S.KM.,M.Kes

D3 TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2022
A. PENDAHULUAN
Kebijakan dalam pengendalian bahaya rokok bagi Kesehatan masyarakat di
Indonesia masih menjadi isu yang menarik untuk diperdebatkan. Isu tersebut mulai
dari hak asasi seorang perokok dan bukan perokok, dampak perokok di tempat umum
hingga dampak rokok bagi perekonomian di Indonesia dan di Bali pada khususnya.
Riset Kesehatan Dasar menyatakan bahwa penduduk yang merokok yang berusia di
bawah umur yaitu sebesar 29,2% dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 34,7%.
Dengan melihat kondisi tersebut, maka pemerintah berupaya untuk merumuskan
berbagai kebijakan dan regulasi untuk mengatur hal tersebut. Selain itu, kebijakan
tersebut juga digunakan untuk menanggulangi dampak dan bahaya rokok. Tanggung
jawab pemerintah adalah untuk memenuhi hak masyarakat agar dapat hidup sehat.
Dalam perspektif ini, pemerintah memegang peranan penting dalam menentukan
kebijakan yang seharusnya dilaksanakan oleh masyarakat. Salah satu kebijakan
pemerintah dalam pelayanan publik khususnya dalam bidang kesehatan adalah
kebijakan tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Kebijakan publik di bidang kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Propinsi Bali ini sangat terkait erat dengan program pemerintah yang bertujuan untuk
memberikan pengarahan kepada masyarakat dengan mengarahkan perilaku
masyarakat untuk hidup bersih dan sehat (program PHBS). Sebagaimana diketahui
jika dilihat dari aspek kesehatan, merokok dapat mengakibatkan berubahnya fungsi
dan struktur jaringan paru-paru dan saluran pernapasan. Selain itu, bahaya laten juga
dapat diderita oleh perokok pasif. Dengan demikian, maka kerjasama antara
pemerintah dan masyarakat secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan
sangatlah penting. Diperlukan kesadaran, kemauan, dan kemampuan pemerintah dan
masyarakat untuk mencegah penggunaan rokok baik yang secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi kesehatan. Berbagai fenomena yang menjadi
kesenjangan dan tumpang tindih pada Perda ini sangat menarik untuk dikaji lebih
mendalam. Dengan memerhatikan bagaimana keterlibatan faktor-faktor, konten,
konteks, dan proses, sehingga kebijakan yang dikeluarkan dapat secara komprehensif
dan integratif menampung semua faktor tersebut. Oleh karena itu, tulisan ini akan
mencoba menjawab pertanyaan penelitian: “Bagaimanakah segitiga kebijakan
kesehatan yang terdiri dari aktor, konten, konteks, dan proses Perda Kawasan Tanpa
Rokok di Bali?” Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan
segitiga kebijakan. Data diperoleh dari buku, peraturan perundang-undangan,
dokumen World Health Organization (WHO), dan berita media massa terkait
pemberlakuan Perda Kawasan Tanpa Rokok.

B. KEBIJAKAN KESEHATAN
Kebijakan kesehatan merupakan segala tindakan pengambilan keputusan yang
memengaruhi sistem kesehatan yang dilakukan oleh aktor institusi pemerintah,
organisasi, lembaga swadaya masyarakat dan lainnya (Buse, 2005). Menurut
Ayuningtyas (2014), menyatakan bahwa kebijakan kesehatan merupakan aplikasi dari
kebijakan publik berdasarkan pedoman yang ditetapkan. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Menurut WHO (2014), Urgensi
kebijakan kesehatan sebagai bagian dari kebijakan publik semakin menguat
mengingat karakteristik unik yang ada pada sektor kesehatan yaitu sektor kesehatan
amat kompleks karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan kepentingan
masyarakat luas dan ketidakpastian kondisi sakit Untuk membuat sebuah kebijakan
kesehatan, perlu memperhatikan segitiga kebijakan yang terdiri dari aktor, konten,
konteks dan proses. Pada kenyataannya, aktor baik individu, kelompok, atau
organisasi dipengaruhi oleh konteks, lingkungan di mana aktor hidup dan bekerja.
Konteks dipengaruhi oleh banyak faktor seperti politik, ideologi, sejarah, budaya,
ekonomi, dan sosial baik yang terjadi pada skala nasional maupun internasional yang
memengaruhi kebijakan kesehatan.
Proses pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh aktor yaitu posisi dalam struktur
kekuasaan, nilai, pendapat dan harapan pribadi. Konten kebijakan mencerminkan
dimensi tersebut. Konten merupakan substansi dari kebijakan yang secara detail
menggambarkan bagian pokok dari kebijakan tersebut. Aktor merupakan pusat dari
kerangka kebijakan kesehatan. Aktor merupakan istilah yang digunakan untuk
menyebut suatu individu, kelompok dan organisasi yang memengaruhi suatu
kebijakan. Aktor pada dasarnya memang memengaruhi kebijakan namun seberapa
luas dan mendalam dalam memengaruhi kebijakan tergantung dari kekuasaannya.
Kekuasaan merupakan campuran dari kekayaan individu, tingkat pengetahuan, dan
otoritas yang tinggi (Buse, 2005). Aktor Perumusan Perda Kawasan Tanpa Rokok
Aktor atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan dapat dibagi ke dalam
dua kelompok, yaitu para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi.
Yang termasuk ke dalam pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah
(birokrat), presiden (eksekutif), legislatif, dan yudikatif. Mereka dikatakan aktor
resmi karena mempunyai kekuasaan yang secara sah diakui oleh konstitusi dan
mengikat. Sedangkan, yang termasuk dalam kelompok pemeran serta tidak resmi,
yaitu pihak yang tidak memiliki wewenang yang sah, meliputi kelompok-kelompok
kepentingan, partai politik dan warga negara individu (Winarno, 2012). Dalam pasal
10 dan pasal 11 penetapan kawasan atau area yang dianggap sebagai KTR dan tempat
khusus untuk merokok pada Perda Propinsi Bali Nomor 10 tahun 2011 ditentukan
oleh Gubernur melalui peraturan Gubernur. Pimpinan atau Penanggung Jawab KTR
adalah orang yang karena jabatannya memimpin dan/atau bertanggung jawab atas
kegiatan dan/atau usaha di tempat atau area yang ditetapkan sebagai KTR. Satuan
Tugas Penegakan KTR adalah satuan tugas yang dibentuk untuk melakukan
pengawasan dan penegakan sanksi terhadap penyelenggaraan KTR yang terdiri dari
perangkat daerah yang tugas pokok dan fungsinya di bidang penegakan peraturan
daerah dan penyelenggaran ketenteraman dan ketertiban umum bekerjasama dengan
SKPD Pelaksana. Selain satuan tugas dari pemerintah, diharapkan juga masyarakat
ikut ambil peran dalam kebijakan ini. Masyarakat dapat berperan serta dalam
mewujudkan tempat atau lingkungan yang bersih dan sehat serta bebas dari asap
rokok.
Masyarakat juga berperan dalam mewujudkan KTR. Hal ini diatur dalam pasal
14 ayat (1). Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
penjelasan pada ayat (2) yaitu dengan cara memberikan sumbangan pemikiran dan
pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijakan yang terkait dengan KTR.
Peran berikutnya adalah dengan melakukan pengadaan dan pemberian sarana dan
prasarana yang diperlukan untuk mewujudkan KTR. Masyarakat juga ikut serta
dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan serta penyebarluasan informasi
kepada masyarakat. Konten Perda Kawasan Tanpa Rokok Perda Kawasan Tanpa
Rokok ini berisikan tentang pengertian Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
 Dalam pasal 1 ayat 3 yang dimaksud dengan KTR yaitu ruangan atau area
yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan
memproduksi, menjual, mengiklankan dan/atau mempromosikan produk
tembakau. Selanjutnya
 Dalam pasal 1 ayat 4 menyatakan bahwa Rokok merupakan salah satu
produk Tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar, dihisap dan/atau
dihirup. Yang termasuk dalam rokok adalah : rokok kretek, rokok putih,
cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana
Tabacum, Nicotiana Rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang
asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan.
Penetapan kawasan yang dianggap KTR ditentukan oleh Gubernur (Pasal
2). KTR yang dimaksud dalam pasal 2, meliputi :
a. Fasilitas pelayanan kesehatan;
b. Tempat proses belajar mengajar;
c. Tempat anak bermain;
d. Tempat ibadah;
e. Angkutan umum dan kendaraan dinas pemerintah;
f. Tempat kerja;
g. Tempat umum.
Keluarnya Perda tentang KTR masih memberi ruang bagi perokok untuk memperoleh
haknya merokok, sehingga mereka akan diberi Tempat Khusus Untuk Merokok, yaitu
ruangan yang diperuntukkan khusus untuk kegiatan merokok yang berada di dalam
KTR. Pimpinan atau Penanggung jawab KTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
wajib menyiapkan tempat khusus untuk merokok. Tempat khusus untuk merokok
sebagaimana dimaksud pada pasal 2 diatur dalam pasal 11 ayat (1) harus memenuhi
kriteria sesuai dengan pasal 11 ayat (2) yaitu sebagai berikut :
a. Ruang terbuka yang berhubungan dengan udara luar;
b. Terpisah dari gedung/tempat/ruang utama dan ruang lain yang digunakan
untuk beraktivitas;
c. Jauh dari pintu masuk dan keluar;
d. Jauh dari tempat orang berlalu-lalang.
Konteks Kontroversi Rokok menjadi sangat menarik untuk didiskusikan.
Beberapa Tahun sebelum munculnya kampanye dan peraturan-peraturan akan
pembatasan merokok, perokok seakan-akan mengambil hak orang yang bukan
perokok untuk menikmati udara segar dan tempat yang tanpa asap rokok. Perokok
bisa bebas merokok dimana saja dan kapan saja, tidak peduli siapapun orang yang
ada disekitarnya. Beberapa orang yang bukan perokok berani untuk menegur perokok
yang merokok sembarangan, namun jumlahnya tidak banyak, dan perokok cenderung
tidak menghiraukan dan menganggap yang dilakukannya adalah bagian dari haknya
untuk merokok. Hal tersebut menjadi suatu yang meresahkan disamping efek negatif
dari merokok yaitu ancaman penyakit bagi perokok dan orang yang berada
disekitarnya (perokok pasif) yang kemudian akan berefek pada ekonomi karena
meningkatnya beban biaya membeli rokok dan biaya perawatan kesehatan. Upaya
yang dilakukan oleh pemerintah sebagai dasar untuk pembentukan KTR dilakukan
dengan membatasi Rokok. Salah satu Peraturan Pemerintah adalah PP Nomor 109
tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa
Produk Tembakau bagi Kesehatan, antara lain :
1. Pasal 13, Rokok putih minimal isi 20 batang. Melalui peraturan ini
diharapkan harga beli rokok semakin tidak terjangkau sehingga daya beli
masyarakat menurun. Sayangnya, belum ada peraturan yang mengatur
tentang penjualan rokok eceran (beli satuan batang).
2. Pasal 24, tidak boleh pakai istilah rokok Mild. Istilah tersebut menyesatkan
karena dianggap rokok jenis tersebut lebih aman dari rokok biasa, namun
pada kenyataannya perokok mild justru merokok lebih banyak karena merasa
aman. Penggunaan kata Slim juga dilarang karena dianggap dapat
menguruskan badan.
3. Peringatan bergambar bahaya rokok ukuran 40% dari ukuran kemasan.
Peraturan ini bertujuan agar bahaya merokok dapat tersampaikan dengan
jelas kepada perokok.
4. PP Tembakau yang ditetapkan tanggal 24 Desember 2012 mengatur iklan
rokok di luar ruangan luasnya tidak boleh lebih dari 72 m2. Konsekuensi dari
peraturan ini adalah banyak iklan rokok yang permanen maupun tidak untuk
dicopot meskipun sudah menghabiskan modal yang banyak.
5. Harus mencantumkan peringatan umur 18+. Peratuan ini seakan masih
menjadi upaya yang sia-sia karena sebagian perokok banyak yang memulai
merokok dari usia anak-anak. Pedagang rokok juga tidak pernah melarang
anak dibawah umur untuk membeli rokok dagangan mereka. Upaya-upaya
tersebut dirasakan masih kurang karena jumlah perokok masih tinggi,
sehingga pemerintah merasa perlu untuk menambah upaya menghampat
perokok untuk merokok tanpa mengambil haknya dengan cara pembatasan
tempat merokok melalui penetapan Kawasan Tanpa Rokok dan penetapan
Tempat Khusus Merokok.
 Menciptakan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat;
 Melindungi kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan
lingkungan dari bahan yang mengandung karsinogen dan zat adiktif
dalam produk tembakau yang dapat menyebabkan penyakit, kematian
dan menurunkan kualitas hidup;
 Meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap
bahaya merokok dan manfaat hidup tanpa merokok;
 Melindungi kesehatan masyarakat dari asap rokok orang lain.
Pentingnya pengaturan Kawasan Tanpa Rokok dalam bentuk
undangundang (nasional) atau peraturan daerah (provinsi,
kabupaten/kota) dirasakan sangat mendesak mengingat Kesehatan
merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 yaitu :
- Setiap hal yang menyebabkan gangguan kesehatan pada
masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang
bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan
masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan Negara.
- Setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan
kesehatan dimana pembangunan nasional harus memperhatikan
kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua
pihak baik Pemerintah maupun masyarakat. yang tidak
mengindahkan Perda ini dan menyingkirkan asbak di Kawasan
Tanpa Rokok. Beberapa pemangku kepentingan juga
mendiskusikan tentang ketimpangan yang terjadi. Pemangku
kepentingan ini terdiri dari Aliansi Masyarakat Tembakau
Indonesia, Asosiasi Petani Tembakau, dan juga dari Komisi IV
DPRD Bali. Ada tumpang tindih antara Perda Nomor 10 tahun
2011 tentang KTR Bali yang bertentangan dengan Pasal 51 PP
Nomor 109 tahuan 2012 tentang keharusan menyediakan tempat
khusus untuk merokok. Satu sisi, tembakau dan cengkeh sebagai
bahan baku Rokok bukanlah produk pertanian yang dilarang.
Asumsi ini menunjukkan bahwa Rokok bukanlah produk yang
illegal. Ini ditunjukkan dengan dikenakannya bea dan cukai untuk
rokok dan tembakau.
PENUTUP

Implementasi Perda tentang KTR melibatkan faktor-faktor, konten, konteks, dan


proses. Aktor yang terlibat antara lain Gubernur, Anggota legislatif, Kelompok
Pemangku kepentingan dan Masyarakat. Konten berisi mengenai ketentuan umum,
tanggung jawab dan wewenang Pemerintah Daerah Propinsi Bali dalam mengatur
KTR. Saran yang dapat diberikan dalam penyusunan suatu kebijakan yang akan
datang, yaitu diperlukan keterlibatan aktif dari masyarakat sebagai pengguna ataupun
kelompok yang berkepentingan, untuk mendapatkan kesamaan sudut pandang.
Dengan demikian, akan lebih mempermudah penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
yang ada di lingkup Provinsi Bali.
DAFTAR PUSTAKA

Ayuningtyas, Dumilah. (2014). Kebijakan Kesehatan: Prinsip dan Praktik. Jakarta:


PT Raja Grafindo Persada.
Buse, K. Mays, N. Walt, G. (2005). Making Health Policy. Open University Press;
New York
Pemerintah Provinsi Bali. (2011). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun
2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Pemerintah Republik Indonesia. (2012). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat
Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Riset Kesehatan Dasar. (2010). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Winarno, B. (2012). Kebijakan Publik. CAPS. Yogyakarta
World Health Organization. (2014). “Health Policy.”http://www.who.i nt/
topics/health_policy/en/

Anda mungkin juga menyukai