Anda di halaman 1dari 74

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK (KTR)

DI RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI


TAHUN 2020

Proposal Tesis
Sebagai Salah Satu Memenuhi TugasMata Kuliah
Riset Kualitatif

Disusunoleh
SUTANTO

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

1
PASCA SARJANA UHAMKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kesehatan merupakan hak azasi manusia yang diamanatkan oleh Undang-

Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Amanat Undang-Undang

Kesehatan No. 36 Tahun 2009 pasal 115 (PresidenRI, 2009) menetapkan

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Pemerintah Daerah wajib

menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya. Kawasan Tanpa Rokok

merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa, baik individu,

masyarakat, parlemen maupun pemerintah untuk melindungi generasi sekarang

maupun yang akan datang. Komitmen bersama dari berbagai elemen akan

sangat berpengaruh terhadap keberhasilan KTR. (Kementerian Kesehatan

RI,2017)

Data riskesda

Data WHO

Ditinjau dari aspek kesehatan tidak kurang dari 70 ribu artikel ilmiah yang

menyebutkan bahwa merokok membahayakan kesehatan, baik perokok aktif

maupun perokok pasif. Kebiasaan merokok kini merupakan penyebab

kematian 10 persen penduduk dunia. Artinya, satu dari sepuluh penghuni bumi

kita meninggal akibat asap rokok (Muliku, 2016)

Soewarta Kosen dkk (2009) memperkirakan bahwa jika asumsi tanpa

biaya rawat inap, maka total biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat karena

penyakit yang berkaitan dengan tembakau berjumlah Rp.15,44 triliun. Angka

tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan total biaya rawat inap untuk

2
penyakit yang sama pada tahun 2001 yakni Rp.2,6 triliun. Total biaya rawat

inap untuk penyakit yang berkaitan dengan tembakau sebesar Rp. 3,11 triliun,

sehingga total biaya untuk rawat inap dan rawat jalan sebesar Rp. 18,55triliun.

Penetapan Kawasan Tanpa Rokok perlu diselenggarakan di

fasilitaspelayanankesehatan,tempat proses belajar mengajar,tempat

anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat

3
umum dan tempat lainnya yang ditetapkan serta menjadi kewajiban asasi bagi

kita semua terutama para pimpinan/penentu kebijakan di tempat tersebut untuk

mewujudkannya, khususnya di rumah sakit. Karena itulah kebijakan

menerapkan kawasan tanpa rokok (KTR) telah diidentifikasi sebagai strategi

intervensi utama dalam pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.

Untuk mengatasi itu, Penerapan Kawasan Tanpa Rokok ini telah diatur dalam

Peraturan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 6 Tahun 2014 yang

merujuk pada Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam negeri

(Zulaeha, 2015)

Hasil observasi menunjukkan bahwa pemerintah telah melakukan

sosialisasi yakni dengan memberikan informasi kepada masyarakat baik

melalui stakeholder yang dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan, media massa

ataupun melalui media elektronik tentang bahaya rokok bagi perokok aktif

maupun perokok pasif dan tentang penetapan kawasan tanpa rokok seperti

yang tercantum dalam Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri

Dalam Negeri diantaranya yaitu fasilitas pelayanan kesehatan seperti

RumahSakit.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nizwardi Azkha

mengenai Efektivitas penerapan kebijakan Perda Kota tentang kawasan tanpa

rokok (KTR) dalam upaya menurunkan perokok aktif di

SumateraBarattahun2013menunjukkanbahwakebijakanKawasan

Tanpa Rokok (KTR) dalam pelaksanaannya masih kurang,sehingga

4
efektifitas KTR dalam penurunan perokok aktif pada tiga kota belum

menunjukkan angka yang signifikan.(Habibi, 2015)

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok yang efektif adalah yang dapat

dilaksanakan dan di patuhi, untuk itu perlu di pahami prinsip – prinsip dasar

Kawasan Tanpa Rokok adalah: (1) Asap rokok orang lain mematikan, (2)

Tidak ada batas aman bagi paparan asap rokok orang lain, (3) Setiap warga

negara wajib dilindungi secara hukum dari paparan asap rokok orang lain, (4)

Setiap pekerja berhak atas lingkungan tempat kerja yang bebas dari asap rokok

orang lain, (5) Hanya lingkungan tanpa asap rokok 100% yang dapat memberi

perlindungan penuh bagi masyarakat, (6) Pembuatan ruang merokok dengan

ventilasi/filtrasi udara bukan hal yang efektif. Implementasi program atau

kebijakan merupakan salah satu tahap yang penting dalam proses kebijakan

publik.

Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai

dampak dan tujuan yang diinginkan. Ada beberapa hal yang menyebabkan

suatu kebijakan pemerintah tidak bisa berjalan dengan baik, seperti: kurangnya

kesadaran masyarakat akan bahaya rokok, kurang tegasnya pemerintah dalam

mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan tidak di buatnya Perda yang

mengatur kebijakan tersebut dan tidak adanya satgas yang bertugas untuk

melakukan patroli terhadap KTR yang ada. Peran sertapemerintah

sangat dibutuhkan dalam pengimplementasian suatu kebijakan dan

5
pemberian sanksi tegas bagi pelanggar dianggap ikut memberikan efek jera

kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut tidak terkesan berjalan di

tempat. Efek jera kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut tidak

terkesan berjalan di tempat.(Zulaeha, 2015)

Salah satu Fasilitas Pelayanan Publik adalah Rumah sakit, dimana

merupakan suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk

menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif,

kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah

daerah dan/atau masyarakat, tidak terkecuali di Rumah Sakit Islam Jakarta

Pondok Kopi yang merupakan salah satu Rumah Sakit milik organisasi islam

kota Makassar yang didasari dengan nilai- nilai islam juga semestinya

menerapkan Kawasan Tanpa Rokok dilingkungannya.

Salah satu area yang dinyatakan dilarang merokok, memproduksi, menjual,

mengiklankan dan mempromosikan rokok yang di atur dalam Peraturan Daerah

No. 4 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok adalah area rumah sakit.

Fungsi rumah sakit adalah mengobati orang- orang yang sakit. Selain sebagai

tempat pelayanan kesehatan, rumah sakit juga merupakan tempat umum yang

siapa saja boleh mengunjunginya. Tidak hanya orang sakit, melainkan

pengunjung, pembesuk bahkan penjual pun bisa memasukinya. Tidak

dipungkiri, dengan banyaknya pengunjung yang datang, masih ada saja orang-

orang yang dengan santainya merokok dan masih ditemukan orang

6
yang menjual rokok di area rumah sakit meskipun sudah ada tanda peringatan

dilarang merokok, termasuk di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka peneliti tertarik

untuk melakukan analisis kajian tentang Implementasi Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok ( KTR) di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.

B. RUMUSANMASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas,

maka sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagaiberikut:

1. Bagaimana komunikasi dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok ( KTR ) di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi?

2. Bagaimana sumber daya dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok ( KTR ) di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi?

3. Bagaimana disposisi dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok ( KTR ) di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi?

4. Bagaimana struktur birokrasi dalam Implementasi Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok ( KTR ) di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi?

7
C. TUJUANPENELITIAN

1. TujuanUmum

Untuk mengkaji lebih dalam mengenai implementasi kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok (KTR) di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.

2. TujuanKhusus

Untuk mengkaji lebih dalam melalui komunikasi dalam implementasi kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi

Untuk mengkaji lebih dalam melalui sumber daya dalam implementasi kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok (KTR) di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi

Untuk mengkaji lebih dalam melalui disposisi dalam implementasi kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok (KTR) di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi

Untuk mengkaji lebih dalam melalui struktur birokrasi dalam implementasi kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat BagiPeneliti

Penelitian ini Menambah Pengetahuan, Keterampilan dan Pengalaman

dalam mengkaji lebih dalam mengenai implementasi

8
kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Rumah Sakit Islam Jakarta

Pondok Kopi.

2. Manfaat Bagi Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi

Hasil Penelitian ini dapat digunakan oleh Rumah Sakit Islam

Jakarta Pondok Kopi sebagai bahan dan Informasi fenomena mengenai

implementasi kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Rumah Sakit

Islam Jakarta Pondok Kopi.

3. Manfaat Bagi InstitusiPendidikan

Menambah khazanah ilmu pengetahuan di bagian kebijakan

administrasi kesehatan dan dapat Memberikan kontribusi terhadap

penelitian-penelitian selanjutnya.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum TentangImplementasi

1. Pengertian ImplementasiKebijakan

Kebijakan (policy) umumnya dipahami sebagai keputusan yang diambil

untuk menangani hal-hal tertentu. Istilah kebijakan seringkali pula

penggunaannya saling di pertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti

tujuan (goals), program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan,

dan rancangan-rancangan besar. Kebijakan adalah prinsip atau cara

bertindak yang di pilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan.

Menurut Ealau dan Prewit, 1973 (Suharto, 2015), kebijakan adalah sebuah

ketetapan yang berlaku yang di cirikan oleh perilaku yang konsisten dan

berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya(yang

terkena kebijakan itu). Rose (Hamdi, 2014) mengartikan kebijakan (policy)

lebih sebagai suatu rangkaian panjang dari kegiatan-kegiatan yang

berkaitan dan akibatnya dari mereka yang berkepentingan daripada hanya

sekedar suatu keputusan. Menurut Anderson, kebijakan diartikan sebagai

suatu rangkaian tindakan bertujuan yang diikuti oleh seseorang atau

sekolompok aktor berkenaan dengan suatu masalah atau suatuhal

yang menarik perhatian. Menurut Crinson (Ayuningtyas, 2015)

10
kebijakan merupakan sebuah konsep, bukan fenomena spesifik maupun

konkret, sehingga pendefinisiannya akan menghadapi banyak kendala atau

dengan kata lain tidak mudah. Selanjutnya Crinson juga membenarkan

bahwa kebijakan akan jauh lebih bermanfaat apabila di lihat sebagai

petunjuk untuk bertindak atau serangkaian keputusan atau keputusan yang

saling berhubungan satu sama lain. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa

kebijakan itu sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi

amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau

sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau

kuantitatif, danpublik satau privat (Wahab, 2002).

Implementasi secara sederhana diartikan sebagai menyediakan sarana

untuk menjalankan kebijakan publik (Dachi, 2017). Makna implementasi

adalah upaya untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu

program di nyatakan berlaku atau di rumuskan merupakan fokus perhatian

implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian atau kegiatan-kegiatan

yang timbul sesudah di sahkannya pedoman- pedoman kebijakan negara,

yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun

untuk menimbulkan akibat atau dampak nyata pada masyarakat atau

kejadian-kejadian, Mazmanian dan Sabatier (Sulila, 2015).

Pengimplikasian merupakan cara agar kebijakan dapat mencapai

tujuannya. Definisi Implementasi menurutDunn

11
(Ayuningtyas, 2015) adalah pelaksanaan pengendalianaksi-aksikebijakan

didalam kurung waktu tertentu. LesterdanStewardmemandang

implementasi secara luas sebagaipelaksanaan

undang-undang atau kebijakan melibatkan seluruh aktor,

organisasi, prosedur serta aspek tehnik untukmeraihtujuan-tujuan. Kamus

Webster, merumuskan secara pendek bahwatoimplement

(mengimplementasikan) berarti to provide themeansforcarryng out

(menyediakan sarana untuk

melaksanakansesuatu);togivepracticaleffectto(menimbulkandampak/akibat

terhadapsesuatu). Kalau pandanganini kita

ikuti,makaimplementasikebijakan dapat di pandang sebagai

suatuprosesmelaksanakankeputusan kebijakan ( biasanya

dalambentukundang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan,

perintaheksekutif,ataudekrit presiden). Dalam praktiknya

implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu

kompleks bahkantidakjarangbermuatan politis dengan adanya

intervensiberbagaikepentingan.

Untukmelukiskankerumitandalamprosesimplementasitersebut dapat dilihat

pada pernyataan yang dikemukakan olehseorangahlistudikebijakan

Eugene Bardach, 1991:3 (Agustino,2008),yaitu:

“adalahcukupuntukmembuatsebuahprogramdankebijakanumum yang

kelihatannya bagus diatas kertas. Lebihsulitlagimerumuskannya

dalam kata-kata dan slogan-slogan yang

12
kedengarannya mengenakan bagI telinga para pemimpin dan para

13
pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk

melaksanakannya dalam bentuk cara yangm memuaskan semua orang

termasuk mereka anggap klien.” Implementasi kebijakan sesungguhnya

bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran

keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat

saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah

konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan

(Grindle) dalam (Wahab, 2002). Implementasi kebijakan menurut Daniel

Mazmanian dan Paul Sabatier (Agustino, 2008) adalah keputusan dasar,

biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk

perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau

keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut

mengidentifikasikan masalah yang ingn diatasi, menyebutkan secara tegas

tujuan atau sasaran yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan

atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan

atau mengatur proses implementasinya.

2. ProsesImplementasi

Proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya

menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung

jawab untuk melaksanakan program dan

menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkanpula

14
menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang

langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua

pihak yang terlibat, dan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap

dampak, baik yang di harapkan (intended) maupun yang tidak diharapkan

(spilloverr/negative effects).

Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena disini

masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul

dilapangan. Selain itu, ancaman utama adalah konsistensi implementasi.

Rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60% sisanya, 20%

sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi.

(Dwidjowijoto, 2006)

Pelaksanaan atau implementasi kebijakan bersangkut paut dengan

ikhtiar-ikhtiar untuk mencapai tujuan di tetapkannya suatu kebijakan

tertentu. Tahap ini pada dasarnya berkaitan dengan bagaimana pemerintah

bekerja atau proses yang dilakukan pemerintah untuk menjadikan

kebijakan menghasilkan keadaan yang direncanakan.

Pengimplementasian merupakan cara agar kebijakan dapat

mencapai tujuannya. Kesiapan implementasi amat menentukan efektifitas

dan keberhasilan sebuah kebijakan. Penyusunan kebijakan berbasis data

atau bukti juga berpengaruh besar

terhadapsuksestidaknyaimplementasikebijakan.Olehkarenitu,

keberadaan beberapa aktor utama untuk menganalisis kesiapan,

15
memasukkan hasil penelitian kebijakan sebagai pertimbangan

implementasi kebijakan menjadi begitu penting. Di antaranya Komite

Eksekutif Badan Formulasi Kebijakan, Dewan Penelitian

Kesehatan/Medis, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sains dan

Teknologi, dan Konsorsium Universitas. Akan menjadi menguntungkan

bila seluruh hasil asesmen, analisis atau riset dapat terkoordinasi. Para

aktor utama ini juga perlu mengambil dan memiliki tanggung jawab

terhadap implementasi kebijakan sekaligus memantau kemajuan,

mengevaluasi hasil dan memastikan umpan bailk untuk pembuat kebijakan

serta mengenalkan aplikasi dari semua hasil penelitian yangberguna.

Pelaksanaan kebijakan itu haruslah berhasil. Pelaksanaan kebijakan

itu dapat gagal, tidak membuahkan hasil, karena antara lain: (Soenarko,

2005)

a. Teori yang menjadi dasar kebijakan itu tidak tepat. Dalam hal

demikian, maka harus dilakukan “ reformulation” terhadap kebijakan

pemerintahitu.

b. Sarana yang dipilih untuk pelaksanaan tidakefektif.

c. Sarana itu mungkin tidak atau kurang dipergunakan

sebagaimanamestinya.

d. Isi dari kebijakan itu bersifat samar-samar. Di dalambukunya

Palumbomengemukakanbahwa:“Legislativepolicyambiquity

is a prime cause to implementation failure” ( Ketidakjelasan

16
kebijakan dalam perundang-undangan adalah sebab utama kegagalan

pelaksanaannya).

e. Ketidakpastian faktor intern dan/atau faktorextern.

f. Kebijakan yang ditetapkan itu mengandung banyaklubang.

g. Dalam pelaksanaan kurang memperhatikan masalahtehnis

h. Adanya kekurangan akan tersedianya sumber-sumber pembantu

(waktu, uang dan sumber dayamanusia).

Secara umum ada 2 (dua) pendekatan dalam implementasi kebijakan,

yaitu: pendekatan”top down” yang dapat di samakan dengan pendekatan

“command and control”, dan pendekatan”bottom up” yang dapat

disamakan dengan pendekatan”the market approach”. Pendekatan top

down dilakukan secara tersentralisasi di mulai dari aktor di tingkat pusat

dan keputusan-keputusan diambil ditingkat pusat, sedangkan pendekatan

top down bertolak dari perpektif bahwa keputusan- keputusan politik

(kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus

dilaksanakan oleh administrator atau birokrat yang berada pada level

bawah (street level bureaucrat). Pressman dan Wildavsky (Azmy, 2012)

tipe top down berpendapat bahwa implementasi secara jelas dalam bentuk

hubungan pada kebijakan sebagaimana bergantung pada dokumen resmi.

Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa implementasi yang sukses

bergantung

pada hubungan antara organisasi-organisasi yang berbeda dan

17
berbagai depatemen ditingkat lokal. Bertolak belakang dengan pendekatan

top down, pendekatan bottom up lebih menyoroti implementasi kebijakan

yang terformulasi dari inisiasi warga masyarakat. Argumentasi yang

diberikan adalah bahwa masalah dan persoalan yang terjadi pada level

daerah hanya dapat dimengerti secara baik oleh warga setempat.

Olehsebab itu pada tahap implementasinya pun suatu kebijakan selalu

melibatkan masyarakat secara partisipatif.(Dachi, 2017)

Goggin et.al. (1990) merumuskan empat tipe implementasi sebuah

kebijakan. Tipelogi tersebut menunjukkan potensi kegagalan dan

keberhasilan pencapaian tujuan suatu kebijakan.(Kasmad,2013)

a. Defiance atau penyimpangan. Tipe implementasi ini di warnai

terjadinya pengunduran atau bahkan pembatalan implementasi oleh

implementor yang disertai dengan perubahan-perubahan, baik tujuan,

kelompok sasaran maupun mekanisme implementasi, yang berakibat

tidak tercapainyatujuan.

b. Delay atau penundaan, yaitu penundaan tanpamodifikasi.

Biasanya dalam kasus ini implementer menunda pelaksanaan

implementasi, namun tidak melakukan perubahan terhadap isis

kebijakan.

17
c. Startegic delay atau penundaan strategis, yaitu penundaan disertai

modifikasi yang bertujuan memperbesar keberhasilan implementasi.

d. Compliance atau taat, yaitu tipe implementasi dimana implementer

menjalankan implementasi tanpa disertai dengan perubahan terhadap

isi dan mekanisme implementasi kebijakan tersebut.

3. Faktor Yang Mempengaruhi ImplementasiKebijakan

Implementasi kebijakan sesungguhnya bukan sekedar berhubungan

dengan penerjemahan pernyataan kebijakan (policy statement) ke dalam

aksi kebijakan (policy action). Dalam aktivitas implementasi terdapat

berbagai faktor-faktor yang akan mempengaruhi terlaksananya kegiatan

atau kebijakan tersebut. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi

implementasi telah banyak di kemukakan oleh para ahli kebijakan.

Implementasi kebijakan berjalan secara lineardari kebijakan publik,

implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang di

masukkan sebagai suatu hal yang mempengaruhi proses kebijakan publik

menurut Horn (Gobel & Koton, 2016) adalah:

a. Aktivitas implementasi dalam komunikasi antarorganisasi.

b. Karakteristik dan agenpelaksana/implementor

c. Kondisi ekonomi, sosial danpolitik

18
d. Kecenderungan (disposition) daripelaksana/implementor.

Menurut Kadji (Gobel & Koton, 2016) pada model Grindle hal yang

mempengaruhi kebijakan publik ditentukan oleh dua variabel utama, yaitu:

content of policy & contex implementation (isi kebijakan dan konteks

implementasinya) and impact (dampak). Ide dasarnya adalah bahwa

setelah kebijakan di transformasikan, maka implementasi kebijakan harus

dilakukan, dan dampaknya harus diperhatikan. Keberhasilannya ditentukan

oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan

(content of policy) mencakup:

a. Kepentingan yang terpengaruh olehkebijakan

b. Jenis manfaat yang akandihasilkan

c. Derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat

kebijakan.

d. Pelaksanaprogram

e. Sumber daya yangdikerahkan.

Sedangkan konteks implementasinya meliputi:

a. Kekuasaan kepentingan, strategi aktor yangterlibat

b. Karakteristik lembaga danpenguasa

c. Kepatuhan dan dayatanggap

19
Sementara dampak dari kebijakan itu adalah:

a. Manfaat dariprogram

b. Perubahan

c. Peningkatan kehidupan kepadamasyarakat.

Secara umum kriteria pengukuran keberhasilan implementasi

didasarkan pada 3 (tiga) aspek, yaitu (1) tingkat kepatuhan birokrasi

terhadap birokrasi diatasnya atau tingkatan birokrasi sebagaimana diatur

dalam undang-undang, (2) adanya kelancaran rutinitas dan tidak adanya

masalah, serta (3) pelaksanaan dan dampak (manfaat) yang dikehendaki

dari semua program yang ada terarah.

Implementasi suatu kebijakan paling tidak dipengaruhi oleh empat

faktor fundamental (O‟Toole 1986) yaitu: (1) kebijakan itu sendiri yang

berkaitan dengan kualitas dan tipologi kebijakan yang di implementasikan;

(2) kapasitas organisasi yang diberikan mandat untuk

mengimplementasikan kebijakan; (3) kualitas SDM aparatur yang bertugas

mengimplementasikan kebijakan; dan (4) kondisi lingkungan sosial,

ekonomi, dan politik dimana kebijakan tersebut diimplementasikan.

(Kasmad, 2013)

Berdasarkan dimensi-dimensi keberhasilan, dapat juga

dikatakan bahwa implementasi kebijakan kesehatan adalahsalah

20
satu tahap dari proses kebijakan kesehatan yang dipetakan dari dimensi-

dimensi dari keberhasilan implementasi kebijakan yaitu:

1) Efektivitas

2) Efisiensi

3) Responsivitas

4) Responsibilitas

5) Akuntabilitas

6) Keterbukaan/trasparansi

7) Keadaptasian

8) Kelangsunganhidup

9) Kompetensi

10) Akses

Implementasi dapat diartikan sebagai ”apa yang terjadi antara harapan

suatu kebijakan dan hasil kebijakan yang dirasakan”. Sampai tahun 1970-

an, para pakar kebijakan cenderung hanya berfokus pada penetapan

agenda, perumusan kebijakan dan “tahapan” pengambilan kebijakan dalam

proses politik. Kenyataan menunjukkan bahwa beberapa kebijakan publik

justru tidak bisa dijalankan sebagaimana yang diharapkan.

Implementasi kebijakan tentang Penetapan Kawasan Tanpa Rokok

di Rumah Sakit Umum Islam Faisal UjungPandang

berdasarkanteoriimplementasiEdwardIIIdalamZulaeha(2015)

21
dengan menggunakan indikator, komunikasi, sumber daya,

disposisi dan struktur birokrasi sebagaiberikut:

1. Komunikasi

Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh

seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang-lambang

yang bermakna bagi kedua pihak, dalam situasi yang tertentu

komunikasi menggunakan media tertentu untuk merubah sikap atau

tingkah laku seorang atau sejumlah orang sehingga ada efek tertentu

yang diharapkan. Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan

agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang

menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada

kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi

implementasi. Apabila tujuan dan sasaran dalam kebijakan tidak jelas

atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka

kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari

komunikator kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan

berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari

pembuat kebijakan kepada pelaksana. Informasi perlu disampaikan

kepada pelaku kebijakan agar pelaku

kebijakan dapat memahami apa yang menjadi isi,tujuan, arah

22
kelompok sasaran (target group) kebijakan, sehingga pelaku kebijakan

dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan

pelaksana kabijakan, agar proses implementasi kebijakan bias berjalan

dengan efektif serta sesuai dengan tujuan kebijakan itusendiri

Komunikasi memegang peranan penting karena mereka yang

melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang akan mereka

lakukan. Hal ini menyangkut penyampaian atau penyebaran informasi,

kejelasan dan konsistensi dari informasi yang disampaikan.

Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia, sehingga dapat

berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari, baik

dilingkungan rumah tangga, ditempat pekerjaan, dalam masyarakat

atau dimana saja menusia berada. Tidak ada manusia yang tidak

terlibat dalam komunikasi. Pentingnya komunikasi bagi manusia tidak

dapat dipungkiri begitu juga halnya dalam pengimplementasian suatu

kebijakan. Dengan adanya komunikasi yang baik implementasi suatu

kebijakan dapat berjalan dengan baik, berhasil dan begitu juga

sebaliknya, kurangnya atau tidak adanya komunikasi maka kebijakan

tidak akan terimplementasikan dengan baik bahkan menjadi macet

atau malah akanberantakan.

Sebagai makhluk sosial, kita tidak bisa menghindar dari

tindakankomunikasimenyampaikandanmenerimapesandari

23
dan ke orang lain. Tindakan komunikasi ini terus menerus terjadi

selama proses kehidupannya. Prosesnya berlangsung dalam berbagai

konteks baik fisik, psikologis, maupun sosial, karena proses

komunikasi adalah manusia yang selalu bergerak dinamis.

Komunikasi menjadi penting karena fungsi yang bisa dirasakan oleh

pelaku komunikasi tersebut. Melalui komunikasi seseorang

menyampaikan apa yang ada dalam benak pikirannya dan perasaan

hati nuraninya kepada orang lain baik secara langsung maupun tidak

langsung. Melalui komunikasi seseorang dapat membuat dirinya tidak

merasa terasing atau terisolasi dari lingkungandisekitarnya.

a. Jenis Komunikasi

Komunikasi terbagi menjadi beberapa jenis dari segi

peninjauannya, yaitu sebagai berikut:

1. Komunikasi alamsadar

Komunikasi alam sadar merupakan penyampaian informasi

antara manusia secara sadar. Komunikasi alam sadar umumnya

merupakan komunikasi interpersonal, misalnya komunikasi

secara verbal dan nonverbal.

2. KomunikasiVerbal

Komunikasi verbal adalah proses komunikasi di mana pesan

disampaikan menggunakan kata-kata melalui

24
mulut. Komunikasi verbal mencakup aspek-aspek

berupa:

1) Perbendaharaan kata-kata (vocabulary)

Komunikasi tidak akan efektif bila pesan disampaikan

dengan katakata yang tidak dimengerti, karena itu olah kata

menjadi penting dalamberkomunikasi.

2) Kecepatan berbicara (speaking rate) Komunikasi

akan lebih efektif dan sukses bila kecepatan bicara

dapat diatur dengan baik, tidak terlalu cepat atau

terlalulambat.

3) Intonasi suara(intonation)

Intonasi suara akan mempengaruhi arti pesan secara

dramatik sehingga pesan akan menjadi lain artinya bila

diucapkan dengan intonasi suara yang berbeda. Intonasi

suara yang tidak proporsional merupakan hambatan

dalamberkomunikasi.

2. Sumber Daya

Sumber daya memiliki peran penting dalam menjalankan sebuah

implementasi kebijakan, karena tanpa adanya sumber daya yang

mendukung dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan, maka sulit

untuk mencapai cita-cita yang diharapkan. Efektifitas dalam

pengimplementasian kebijakan ditentukan dengan

tersedianya sumber daya yang memadai terutama personil yang

25
akan menjalankannya harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi

serta mempunyai sumber-sumber untuk melakukan pekerjaan secara

efektif. Menurut Winarno (2012), sumber- sumber yang akan

mendukung kebijakan secara efektif terdiri dari:

1. Staf

Sumber Daya Manusia yang menjalankan implementasi kebijakan

harus memiliki jumlah yang cukup dan memenuhi kualifikasi untuk

mencapai tujuan dari kebijakan tersebut. Sumber daya manusia

adalah para pelaksana yang berjumlah cukup dan memiliki

kemampuan dan keterampilan dalam menjalankan kebijakan yang

telah ditetapkan. Sumber daya manusia yang banyak belum

otomatis mendorong pencapaian implementasi yang berhasil, jika

tidak memiliki keterampilan yang memadai. Di sisi lain kurangnya

personil yang memiliki keterampilan akan menghambat pencapaian

implementasi dari sebuah kebijakan.

2. Kewenangan

Kewenangan dalam sumber daya merupakan sebuah kewenangan

yang dimiliki oleh sumber daya dalam melaksanakan suatu

kebijakan yang telah ditetapkan. Adapun kewenangan yang

dimilikinya berkaitan denganhal-

hal yang diamanatkan dalam suatu kebijakan.

26
3. Informasi

Informasi adalah salah satu hal yang penting dalam implementasi

kebijakan. Informasi dalam sumber daya merupakan informasi

yang dimiliki oleh sumber daya manusia dalam menjalankan

implementasi suatukebijakan.

4. Fasilitas

Fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi

kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi,

mengerti apa yang harus di lakukannya, dan memiliki wewenang

untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas

pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan

tersebut tidak akan berhasil.

3. Disposisi

Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi

kebijakan adalah sikap implementor. Jika implementor setuju dengan

bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan

dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan

pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak

masalah. Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan;

kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk

merespon

kebijakan kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitasdari

27
respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan

sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam

melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan

yang ada di dalamnya sehingga secara sembunyi-sembunyi

menghilangkan dan menghindari implementasi kebijakan. disamping itu

dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai

tujuan kebijakan. Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi

pelaksanaan kebijakan dalam mencapai tujuan secara efektif dan

efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah menempatkan

kebijakan menjadi prioritas, penempatan pelaksana dengan orang-orang

yang mendukung kebijakan, memperhatikan keseimbangan daerah,

agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain.

Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna menunjang

pelaksanaan kebijakan tersebut, seperti pembanguna smoking area,

pemberian insentif bagi para satgas yang bertugas, pembelian alat-alat

peraga dan promosi untuk penyampaian kebijakan serta dengan

mengikut sertakan petugas dalam pelatihan- pelatihan khusus KTR pada

instansi-instansi terkait.

Campur tangan pemerintah dalam hal ini sangatlah

penting, baik dalam pelaksanaan kebijakan, memberikan

28
perhatian khusus dalam pengalokasian anggaran dan dalam penegakkan

sanksi bagi yang melanggar aturan untuk tercapainya tujuan yang

diinginkan bersama.

4. StrukturBirokrasi

Birokrasi merupakan lembaga yang memiliki kemampuan besar

dalam menggerakkan organisasi, karena birokrasi ditata secara formal

untuk melahirkan tindakan rasional dalam sebuah organisasi. Bentuk

organisasi dipilih sebagai suatu kesepakatan kolektif untuk

memecahkan berbagai masalah sosial. Struktur organisasi pelaksana

kebijakan mempunyai pengaruh penting pada implementasi kebijakan.

Para pelaksana kebijakan dapat saja mengetahui apa yang harus

dilakukan, memiliki keinginan serta dukungan fasilitas untuk

melakukannya, tetapi pada akhirnya tidak dapat berbuat apa-apa karena

terhalang oleh struktur organisasi dimana mereka bekerja. Birokrasi

baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi

untuk kesepakatan kolektif dalam memecahkan masalah-masalah

kehidupan sosial modern.

Dengan merujuk peran birokrasi dalam menjalankan proses

implementasi kebijakan sebagaimana diungkapkan diatas, diketahui

struktur birokrasi merupakan variable fundamental dalam mengkaji

implementasi kebijakan. Strukturorganisasi

memiliki pengaruh yang signifikan terhadapimplementasi

29
kebijakan. Aspek implementasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme

dan struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme,

mekanisme implementasi kebijakan biasanya ditetapkan melalui

prosedur kerja yang disebut sebagai Standard Operating Procedur

(SOP) yang dicantumkan dalam guideline kebijakan. SOP yang baik

seharusnya mencantumkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak

berbelit, mudah dipahami dan menjadi acuan dalam bekerjanya

implementor. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam

bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari

tujuan dan sasarankebijakan.

Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi adalah

karakteristik, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi

berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai

hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki

dalam menjalankan kebijakan. Struktur birokrasi yang terlalu panjang

dan terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan

menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang

selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi menjaditidak

fleksibel.(Zulaeha, 2015)

30
B. Tinjauan Tentang Kawasan Tanpa Rokok ( KTR)

1. Pengertian Rokok

Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan

untuk dibakar dan dihisap dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok

kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari

tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau

sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa

bahan tambahan (Walikota, 2013). Undang-Undang Republik Indonesia

No. 35 Tahun 2009 menggolongkan zat adiktif yaitu terdiri dari tembakau,

produk yang mengandung tembakau,padat, cairan dan gas, yang bersifat

adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian pada dirinya

dan/atau masyarakat disekelilingnya.

2. Kandungan padaRokok

Rokok merupakan produk yang memiliki ribuan bahan kimia

dalam kandungannya. Satu batang rokok memiliki 4000 kandungan bahan

kimia.Secara umum kandungan yang terdapat dalam rokok dapat di

kelompokkan menjadi dua yaitu komponen gas sebanyak 92% dan

komponen padat atau partikel sebanyak 8%. Asap rokok yang dihisap atau

dihirup melalui dua komponen yaitu pertama komponen yang lekas

menguap berbentuk gas dan komponen

yang bersama gas terkondensasi menjadi komponen partikulat.

31
Dengan demikian asap rokok yang dihisap berupa gas sebanyak 85%

dan sisanya berbentuk partikel. Asap yang dihasilkan rokok terdiri dari

asap utama (main stream smoke) yang merupakan asap yang tembakau

yang dihisap langsung oleh perokok dan asap samping (said stream

smoke) yaitu asap tembakau yang disebarkan melalui udara bebas dan

dapat dihirup oleh orang lain atau yang dikenal dengan prokokpasif

Kandungan zat kimia di dalam rokok memiliki kadar yang berbeda

beda.Kadar tersebut tergantung pada jenis dan merek suatu produk rokok.

Namun diketahui bahwa kandungan yang paling banyak ditemukan di

dalam rokok dan berbahaya bagi kesehatan terutama dapat memicu kanker

adalah Nikotin, Tardan Karbon Monoksida (CO2).(Rifqi, 2017)

a. Nikotin

Nikotin adalah zat atau bahan senyawa pyrrolidine yang terdapat

dalam Nicotiaca tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau

sintetisnya yang bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan.

Nikotin menstimulasi otak untuk terus menambah jumlah nikotin

yang dibutuhkan. Nikotin dapat melumpuhkan otak, rasa dan

meningkatkan adrenalin yang menyebabkan jantung diberi

peringatanatasreaksihormonalyangmembuatnyaberdebarlebih

cepat dan bekerja lebih keras jika penggunaan nikotin sudahterlalu

32
lama. Akibat kandungan nikotin dalam rokok dapat memicu terjadi

pembekuan darah dan serangan jantung (Jamal, 2014).

b. Tar

Tar adalah kondensat asap yang merupakan total residu dihasilkan

saat Rokok dibakar setelah dikurangi nikotin dan air, yang bersifat

karsiogenik (PP RI No. 109 2012). Zat karsiogenik adalah zat yang

beracun dan dapat menyebabkan kanker. Tar dapat diperoleh dari getah

tembakau, selain itu tar mengandung bahan kimia yang beracun, yang

dapat merusak sel paruparu dan menyebabkan kanker .(Jamal,2014)

c. Karbon Monoksida (CO2)

Karbon Monoksida adalah jenis gas berbahaya yang terkandung

dalam rokok yang tidak memiliki bau seperti pada asap yang dikeluarkan

oleh kendaraan bermotor. Karbon monoksida menggantikan sekitar 15%

jumlah oksigen, yang biasanya dibawah oleh sel-sel darah. Sehingga suplai

oksigen yang dibawa keseluruh tubuh akan berkurang karena dibebani

dengan CO2, akibatnya oksigen yang dibawah ke jantung berkurang

(Rifqi,2017).

3. Kawasan Tanpa Rokok(KTR)

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang

dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi,

menjual, mengiklankan, dan/ataumempromosikan

produk tembakau. (Kementerian Kesehatan RI, 2011)

33
Produk tembakau adalah suatu produk yang secara keseluruhan

atau sebagian terbuat dari daun tembakau sebagai bahan bakunya yang

diolah untuk digunakan dengan cara dibakar, dihisap, atau dikunyah.

Penetapan Kawasan Tanpa Rokok merupakan upaya perlindungan

untuk masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan kesehatan karena

lingkungan tercemar asap rokok. Penetapan Kawasan Tanpa Rokok ini

perlu diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses

belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum,

tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan, untuk

melindungi masyarakat yang ada dari asap rokok. (Kementerian Kesehatan

RI,2011)

Alasan Perlunya Peraturan 100% Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Ada beberapa alasan penting terkait perlunya peraturan 100

% Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yaitu :

1. Pekerja dan karyawan mempunyai hak untuk bekerja di lingkungan

kerja yang sehat dan tidakmembahayakan.

2. Anak-anak mempunyai hak khusus untuk tumbuh dan berkembang

dilingkungan yang sehat, wujudkan kota dan kabupaten layak anak,

salah satunya harus ada bebasasap

rokok.

34
3. Tidak ada batas anak aman untuk setiap paparan asap rokok orang

lain, oleh sebab itu 100% KTR merupakan upaya yang efektif untuk

melindungimasyarakat.

4. Pemerintah telah menetapkan KTR untuk melindungi masyarakat dari

bahaya asap rokok melalui undang-undang 36 tahun 2009 tentang

Kesehatan pasal 115 ayat (1) dan Pemerintah Daerah wajib

menetapkan KTR di wilayahnya sesuai pasal 115 ayat(2).

5. Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan

Bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau

bagiKesehatan.

6. Di Indonesia, KTR 100 % sangat populer. Jajak pendapat umum

memperlihatkan bahwa peraturan tentang KTR sangat populer

dimanapun diberlakukan, bahkan di antara para perokok seperti pada

gambar di bawahini.

Persentase Dukungan Beberapa Kota di Indonesia Terhadap

Lingkungan Bebas Asap Rokok 100%

35
Sumber : Direktorat Penyakit Tidak Menular P2PL, Kemenkes RI, 2010,

(Kementerian Kesehatan RI, 2017)

7. Kebijakan KTR menurunkan paparan Asap Rokok Orang

Lain(AROL) sebesar 80-90 di kawasan dengan paparan yang tinggi.

KTR 100% mengurangi kematian dari penyakitjantung.

8. Peraturan KTR 100% tidak menggangu bisnis. Negara- negarayang

telah menerapkan KTR secara menyeluruh, dimana lingkungan asap

rokok sangat populer, mudah dilaksanakan dan penegakan KTR

diterapkan, menimbulkan dampak positif pada dunia usaha, termasuk

restoran, hotel dan bar.(dikutif dari WHO Report OntheGlobal

Tobacco Epidemic)

36
(Kementerian Kesehatan RI, 2017)

37
Beberapa peraturan telah diterbitkan sebagai landasan hukum dalam

pengembangan Kawasan Tanpa Rokok sebagai berikut:

1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang

RumahSakit.

2. Undang –undang No. 36 Tahun 2009 tetang Kesehatan pasal 113 sampai

116, khusus pasal 115 yang terdiri dua ayat yang jelas sekali diakatakan

bahwa beberapa tempat yang menjadi tempat Kawasan Tanpa Rokok

(KTR) adalah fasilitas pelayanan tempat proses belajar mengajar, tempat

anak bermain, tempat ibadah, angkutan umun, tempat kerja dan tempat

umum dan tempat yang lainditetapkan.

3. Undang – Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang

perlindungananak

4. Undang – Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak

AsasiManusia.

5. Undang – Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang

PerlindunganKonsumen.

6. Undang – Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 tentang

pengelolaan LingkunganHidup.

7. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2003 tetang pengamanan

rokok bagi kesehatan.(Presiden RI,2003)

8. Peraturan, Nomor 41 Tahun 1999 )tentangpengendalian

pencemaran Udara.
37
9. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan RI dan Menteri Dalam Negeri,

2011) 188/Menkes/PB/I/2011 No. 7 Tentang Pedoman Pelaksanaan

Kawasan TanpaRokok.

10. Intruksi Menteri Pendidkan dan Kebudayaan RI Nomor. 4/U/1997

Tentang Lingkungan Sekolah BebasRokok.

11. Intruksi Menteri Kesehatan RI, (1990) Nomor 161/Menkes/Inst/III/1990

tentang LingkunganKerja Bebas Asap Rokok.

C. Tinjauan Umum Tentang RumahSakit

Rumah Sakit menurut WHO adalah suatu usaha yang menyediakan

pemondokan yang memberikan jasa pelayanan medik jangka pendek dan

jangka panjang yang terdiri atas tindakan observasi, diagnostik, terapeutik, dan

rehabilitatif untuk orang-orang yang menderita sakit, terluka, dan untuk mereka

yang mau melahirkan.(Indar,2017)

Rumah Sakit adalah suatu organisasi yang melalui tanaga medis

profesional yang terorganisir serta sarana kedokteran yang permanen

menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang

berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh

pasien, American Hospital Association(Azwar, 1996). Rumah sakit

merupakansuatuorganisasiyangunikkarenaberbaurantarapadat

teknologi,padatkaryadanpadatmodal,sehinggapengelolaanrumah

38
sakit menjadi disiplin ilmu tersendiri yang mengedepankan dua hal sekaligus,

yaitu teknologi dan perilaku manusia di dalam organisasi.

Definisi rumah sakit dari Sofwan Dahlan, SpPF(K) yang dikutip dari

Crawford Morris & Alan Moritz (Jayanti, 2009) sebagai berikut:

“ A place in which a patient receive food, shelter, and nursing care while

receiving medical or surgical treatment ” or “ an institution for the reseption,

care and medical treatment of the sick or wounded, also the building used for

that purpose” or “ a place where medicine is practiced by physician”.

Menurut keputusan Menteri Kesehatan Nomor 983/1992, rumah sakit

adalah:

“ Sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan serta

dapat di manfaatkan untuk kepentingan pendidikan tenaga kesehatan

danpenelitian”.

Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

gabungan alat ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan

personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah

medik modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang

sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik (Siregar,2004)

Rumah sakit adalah sebuah organisasi yang sangat kompleks

karena memiliki karakteristik tenaga yang sangat beragam, modalyang

sangat besar, teknologi tinggi, dan permasalahan manajemen yang


39
terus berkembang (Satrianegara, 2014). Organisasi rumah sakit mempunyai

bentuk yang unik, yang berbeda dengan organisasi lain pada umumnya. Rumah

sakit mempunyai kekhususan yang lahir dari adanya hubungan yang terjadi

antara medical staff (kelompok dokter) dan administrator atau CEO

(manajemen) governing body ( Departemen Kesehatan mendefinisikan

governing body adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu organisasi

yaitu pemilik atau yangmewakili).

Jenis rumah sakit di Indonesia berdasarkan kepemilikan antara lain sebagai

berikut :

1. Rumah Sakit MilikPemerintah

a. Rumah Sakit Pemerintah BukanBLU

b. Rumah Sakit Pemerintah DenganBLU

c. Rumah Sakit MilikBUMN

2. Rumah Sakit MilikSwasta/Privat

a. Rumah Sakit Milik Perseroan Terbatas(PT.)

b. Rumah Sakit Milik Yayasan Sesuai Dengan Undang-undang Yayasan

Klasifikasi rumah sakit berdasarkan jenis pelayanan (Siregar, 2004)

1. Rumah SakitUmum

Rumah Sakit Umum memberi pelayanan kepada berbagai penderita

denganberbagaijenis kesakitan,memberi pelayanandiagnosis

40
dan terapi untuk bernagai kondisi medik, seperti penyakit dalam, bedah,

pediatrik, psikiatri, ibu hamil dan sebagainya.

2. Rumah SakitKhusus

Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit yang memberi pelayanan

diagnosis dan pengobatan untuk penderita dengan kondisi medik tertentu

baik bedah maupun non-bedah, seperti rumah sakit: kanker, bersalin,

psikiatri, pediatrik, mata, lepra, tuberkulosis, ketergantungan obat, rumah

sakit rehabilitasi dan penyakit kronis.

Klasifikasi berdasarkan lama tinggal di rumah sakit:

1. Rumah Sakit perawatan jangkapendek

Rumah Sakit perawatan jangka pendek adlah rumahsakit yang merawat

penderita selama rata-rata kurang dari 30, misalnya penderita dengan

penyakit akut dan kasus darurat, biasanyadi rawat di rumah sakit kurang

dari 30 hari. Rumah sakit umum pada umumnya adalah perawatan rumah

sakit jangka pendek karena penderita yang dirawat adalah penderita

kesakitan akut yang biasanya pilih dalam waktu kurang dari 30 hari.

2. Rumah sakit perwatan jangkapanjang

Rumah Sakit perawatan jangka panjang adalah rumah sakit yang merawat

penderita dalam waktu rata-rata 30 hari atau lebih. Penderita demikian

mempunyai kesakitan jangka panjang, seperti kondisi psikiatri.

Klasifikasi Berdasarkan Kapasitas Tempat Tidur

41
Rumah sakit pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan kapasitas tempat

tidur sesuai pola berikut:

1. Di bawah 50 tempattidur

2. 50-99 tempattidur

3. 100-199 tempattidur

4. 200-299 tempattidur

5. 300-399 tempattidur

6. 400-499 tempattidur

7. 500 tempat tidurdanlebih

Klasifikasi Berdasarkan Afiliasi Pendidikan Terdiri Atas Dua Jenis :

1. Rumah SakitPendidikan

Rumah Sakit Pendidikan adalah rumah sakit melaksanakan program

pelatihan residensi dalam medik, bedah, pediatrik, dan bidang spesialis

lain. Dalam rumah sakit demikian, residen melakukan pelayanan atau

perawatan penderita dibawah pengawasan staf medik rumahsakit.

2. Rumah SakitNon-Pendidikan

Rumah sakit yang tidak memiliki program pelatihan residensi dan tidak ada

afiliasi rumah sakit dengan universitas.

Klasifikasi Berdasarkan Status Akreditasi

1. Rumah Sakit yang telahdiakreditasi

Adalah rumah sakit rumah sakit yang telah di akui secara formal oleh suatu

badan sertifikasiyang di akui, yang menyatakan bahwa

42
suatu rumah sakit telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan

tertentu.

2. Rumah Sakit yang belum diakreditasi

Klasifikasi Rumah Sakit UmumPemerintah

Rumah Sakit Umum Pemerintah Pusat dan Daerah, diklasifikasikan menjadi

Rumah Sakit Umum Kelas A, B, C dan Kelas D. Klasifikasi tersebut

didasarkan pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik dan peralatan:

1. Rumah Sakit Umum KelasA

Rumah Sakit Umum Kelas A adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas

dan kemampuan pelayanan medik spesialitik luas dan subspesialistik luas.

Oleh Pemerintah Rumah Sakit Umum kelas A ini telah di tetapkan sebagai

tempat pelayanan rujukan tertinggi ( top referral hospital ) ataudisebut pula

rumah sakitpusat.

2. Rumah Sakit Umum KelasB

Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan

pelayanan medik sekurang-kurangnya 11 spesialistik dan subspesilistik

terbatas.

3. Rumah Sakit Umum KelasC

Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan

pelayanan medik spesialistik dasar.

4. Rumah Sakit Umum KelasD

43
Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan

pelayanan medik dasar.

Rumah Sakit Umum Swasta terdiri atas (Is, 2015):

1. Rumah Sakit Umum Swasta Pratama, pelayanan medikumum

2. Rumah Sakit Umum Swasta Madya, pelayananspesialistik

3. RumahSakit Umum Swasta Utama, pelayanan spesialistik dan

subspesialistik.

D. KerangkaTeori

1. Teori Implementasi Kebijakan Model George C EdwardIII.

Teori Implementasi Kebijakan Model George C Edward III Menurut teori

implementasi kebijakan George C Edward III dalam (Agustino,2008)

terdapat empat variabel yang sangat menentukan

keberhasilanimplementasisuatukebijakan,yaitu:(1)komunikasi;

(2) sumberdaya; (3) disposisi; dan (4) sruktur birokrasi.

Komunikasi

Sumber Daya

Implementasi

Disposisi

Sruktur Birokrasi
Gambar 1. Teori Implementasi Kebijakan Model George C Edward III

44
1. Komunikasi

Variabel pertama yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut

George C. Edward III, adalah komunikasi. Implementasi kebijakan dapat

berjalan efektif, jika yang bertanggung jawab dalam proses implementasi

kebijakan tersebut mengetahui apa yang harus dilakukannya.(Gobel &

Koton,2016).

Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai atau di gunakan dalam

mengukur keberhasilan variabel komunikasi yaitu:

a. Transmisi

Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu

implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran

komunikasi adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi,

haltersebut disebagiankan karena komunikasi telah melalui beberapa

tingkatan birokrasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah

jalan.

b. Kejelasan

Komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street- level-

bureuacracts) haruslah jelas dan tidak membingunkan( tidak

ambigu/mendua). Ketidak jelasan pesan kebijakan tidak selalu

menghalangi implementasi, pada tatanan tertentu, para pelaksana

membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan

kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut akan

45
menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah

ditetapkan.

c. Konsistensi

Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah

konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau dijalankan). Karenajika

perintah yang diberikan sering berubah- ubah, maka dapat

menimbulakan kebingungan bagi pelaksana dilapangan.

2. SumberDaya

Adalah variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan

implementasi suatu kebijakan. Indikator sumberdaya terdiri dari beberapa

elemen, yaitu:

a. Staf

Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf.

Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah

satunya disebagiankan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai,

ataupun tidak kompeten dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan

implementor saja tidak mencukupi, tetapi diperlukan pula kecukupan staf

dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompoten dan

kapabel) dalam

mengimplementasikankebijakanataumelaksanakantugasyang

diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.

46
b. Informasi

Dalam implementasi kebijakan informasi mempunyai dua bentuk, yaitu

pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan

kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka

lakukan disaaat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan.

Kedua informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap

peraturan dan regulasi pemerintah yang telah di tetapkan. Implementor

harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan

kebijakan tersebut patuh terhadaphukum.

c. Wewenang

Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat

dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para

pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik.

Ketika wewenang itu nihil, maka kekuatan para implementor di mata

publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses

implementasi kebijakan.

Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut

ada, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas

kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan di perlukan dalam

pelaksanaan implementasi kebijakan; tetapi disisi

lain efektivitas akan menyurut manakala wewenang

47
diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau

kepentingan kelompoknya.

d. Fasilitas

Fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi

kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi,

mengerti apa yang harus di lakukannya, dan memiliki wewenang untuk

melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana

dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan

berhasil.

3. Disposisi

Disposisi atau sikap dari pelaksana adalah faktor penting ke tiga dalam

pendekatan mengenai pelaksanaan kebijakan publik. Jika pelaksanaan

kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus

mengetahui apa yang akan dilakukan tapi juga harus memiliki kemampauan

untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. Hal-

hal yang penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi adalah:

a. Pengangkatanbirokrat

Disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan-

hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil yang

ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang di inginkan oleh

pejabat-pejabat tinggi. Karena itu pemilihan

dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan harusalah orang-


48
orang yang memilki dedikasi pada kebijakan yang telah di tetapkan.

Lebih khusus lagi pada kepentingan warga.

b. Insentif

Salah satu tehnik yang ditawarkan untuk mengatasi masalah

kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif.

Oleh karena itu, orang pada umumnya orang bertindak menurut

kepentingan mereka sendiri, maka memanipilasi insentif oleh para

pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan.

Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan

menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana kebijakan

melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya

memenuhi kepentingan pribadi ( self interst) atau organisasi.

4. Struktur Birokrasi

Dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi/

organisasi kearah yang lebih baik, adalah:

a. SOP (Standar Operating Prosedures)

Adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para

pegawai( pelaksana kebijakan/administratur/birokrat) untuk

melaksanakan kegiatan-kegiatannya pada tiap harinya sesuai dengan

standar yang di tetapkan(standar minimum yang dibutuhkan warga)

b. PelaksanaanFragmentasi

49
Adalah upaya penyebaran tanggung jawab kegiatan-kegiatan atau

aktivitas-aktivitas pegawai diantara beberapa unit kerja.

2. Teori Implementasi Kebijakan Model Donald Van Meter dan Carl Van

Horn

Disebut dengan A Model of The Policy Implementation. Ada enam

variabel menurut Van Metter dan Van Horn yang mempengaruhi kinerja

kebijakan publik,adalah:

1. Ukuran dan tujuan kebijakan

2. Sumberdaya

3. Karakteristik agenpelaksana

4. Sikap/ kecenderungan (Disposition) parapelaksana

5. Komunikasi antar organisasi dan aktivitaspelaksana

6. Lingkungan ekonomi, sosial danpolitik

3. Teori Model Donald Van Meter dan Carl VanHorn

Teori Model Donald Van Meter dan Carl Van Horn dapat di gambarkan

sebagai berikut (Dachi, 2017):

50
Komunikasi Antar
Organisasi Dengan
Agen Pelaksana

Ukuran dan
Tujuan Kebijakan

Karakteristik
Agen Pelaksana

Disposisi
Kinerja
Implementasi

Sumber Daya

Lingkungan Sosial,
Ekonomi dan Politik

Gambar 2. Teori model Donald Van Meter dan Carl Van Horn

Teori Implementasi Kebijakan Model-Model Mazmanian dan Paul

Sabatier (Siswadi, 2012) disebut dengan A Framework for Implementation

Analisis. Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari implementasi

kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengindentifikasikan variabel-

variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada

keseluruhan proses implementasi. Variabel- variabel yang di maksud dapar di

klasifikasikan menjadi tiga kategori besar yaitu:

1. Mudah Atau Tidaknya Masalah Yang Akan Di Garap.Meliputi:

51
a. Kesukaran-kesukaranTeknis

52
b. Keberagaman Perilaku yangDiatur

c. Persentase Totalitas Penduduk yang Tercakup dalam Kelompok Sasaran

d. Tingkat dan Ruang Lingkup Perubahan Perilaku yang Dikehendaki

2. Kemampuan Kebijakan Menstruktur Proses Implementasi Secara Tepat.

Para pembuat kebijakan mendayagunakan wewenangyang

dimilikinya untuk menstruktur proses implementasi secaratepat melalui

beberapa cara:

a. Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang

akandicapai

b. Keterandalan teori kausalitas yangdiperlukan

c. Ketetapan alokasisumberdana

d. Ketetapan hirarki didalam lingkungan dan dintara lembaga- lembaga atau

instansi-instansipelaksana.

e. Aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badanpelaksana

f. Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaktub dalam udang-

undang

g. Akses Formal pihak-pihakluar

3. Variabel-variabel Diluar Undang-undang yang Mempengaruhi

Implementasi

a. Kondisi sosial ekonomi danteknologi

53
b. Dukunganpublik

c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompokmasyarakat

d. Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat

pelaksana.
Mudah atau tidaknya masalahdikendalikan:
Kesukaran-kesukarantehnis
Keseragaman perilakukelompoksasaran
Prosentasi kelompoksasaran
Ruang lingkupperubahanperilaku yang
diinginkan

Kemampuan kebijakan untuk Variabel diluar kebijakan


menstrukturkan proses yang mempengaruhi
implementasi: proses implementasi:
Kejelasan dan Kondisi sosial,
konsistensi tujuan ekonomi
Digunakannya teori kausal
yangmemadai dan teknologi
3. Ketepatan alokasi Dukunganpublik
sumber dana Sikap dan sumber daya
4. Keterpaduan h yang memiliki kelompok-
diantara i kelompok
r
a
r
k
i

l
e
m
Tahapan- tahapan dalam
b proses implementasi
a
Output Kesediaan Perbaika
g
Dampak
kebijakan kelompok Dampak n
badan- sasaran a
nyata mendasa
output
badan memenuhi output kebijakan r dalam
pelaksan output kebijaka undang-

53
a kebijakan dipersepsi undang
n
Gambar 3. Model Pendekatan A Framework for Implementation Analisis
( Daniel Mazmanian and Paul Sabatier)

54
4. Kerangka Teori Penelitian Modifikasi

Gambar 4. Modifikasi teori dari George C Edward III (1980) dalam (Agustino, 2008), Donald Van Meter dan Carl Van Horn dalam

h (Dachi, 2017), Mazmanian dan Paul Sabatier (1983) dalam Siswadi (2012)
54
E. KerangkaKonsep

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam

menyelesaikan berbagai masalah yang diakibatkan oleh rokok tentunya tidak

memiliki arti tanpa adanya implementasi terhadap kebijakan tersebut.

Implementasi merupakan sebuah tindak lanjut yang dilakukan terhadap aturan,

kebijakan, atau suatu kesepakatan bersama untuk mendukung pencapaian tujuan.

Keberhasilan dalam pencapaian tujuan pada sebuah kebijakan sangat dipengaruhi

oleh implementasinya yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan tersebut.

Sedangkan dalam proses pelaksanaan implementasi sangat dipengaruhi oleh

variabel pendukung agar suatu kebijakan dapat mencapai tujuannya.

Dari Teori yang dikemukakan oleh George C Edward III dalam (Agustino,

2008) terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan

implementasi suatu kebijakan, yaitu : (1) komunikasi; (2) sumberdaya; (3)

disposisi; dan (4) sruktur birokrasi maka kerangka konsep dalam penelitian ini

adalah :

55
Komunikasi
Transmisi

Konsistensi
Kejelasan

Sumberdaya
Staf
Informasi
Implementasi
Wewenang Kebijakan
Fasilitas Kebijakan
Kawasan Tanpa
Rokok Di
Disposisi/Sikap Rumah Sakit
Pengangkatan Islam Faisal
birokrat

Insentif

StrukturBirokrasi
SOP
Koordinasi
Berjenjang

: Variabel dependen

56
: Variabel Independen

Gambar 5. Kerangka Konsep

57
F. DefinisiKoseptual

1. Komunikasi dalam penelitian adalah proses pemberian informasi mengenai

kebijakan kawasan tanpa rokok melalui sosialisasi yang di sampaikan kepada

kelompok sasaran. yaitu pimpinan atau penanggung jawab program dan

pengunjung atau pengguna tempat umum, secara langsung maupun tidak

langsung sehingga diantara mereka mengetahui apa yang dimaksud dengan

kawasan tanpa rokok (KTR).

2. Sumber Daya dalam penelitian ini dibagi menjadi 4 (empat) staf, informasi,

wewenang dan fasilitas. Staf yang di maksud adalah tersedianya staf rumah

sakit yang bertanggung jawab untuk implementasi kawasan tanpa rokok serta

kejelasan informasi, kejelasan tugas dan wewenang, serta tersedianya fasilitas-

fasilitas penunjang Kawasan Tanpa Rokok seperti tanda informasi larangan

merokok, poster larangan merokok, surat edaran larangan merokok, pengeras

suara yang menunjang dan mendukung penerapan kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.

3. Disposisi dalam penelitian ini adalah pengangkatanbirokrat dan

insentif. Di bentuk tim khusus satuan tugas (satgas) penegak dan pengawas

kawasan tanpa rokok serta memberikan uang selaingaji

58
sebagai motivasi dan kompensasi atas tugas yang di jalankan dalam

pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Rumah Sakit Islam Kota

Makassar.

4. Struktur Birokrasi dalam penelitian ini adalah adanya koordinasi berjenjang

dan Standar Oprasional Prosedur (SOP). Yaitu struktur satgas dan prosedur

kegiatan rutin dalam pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok di Rumah Sakit Islam

Jakarta Pondok Kopi.

5. Implementasi Kebijakan : Diterbitkannya Surat Putusan dari Pimpinan Rumah

sakit beserta dengan Aturan tentang Kawasan Tanpa Rokok di Rumah Sakit

Islam Jakarta Pondok Kopi.

59
BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. untuk mengkaji lebih

dalam fenomena dan informasi mengenai implementasi Kebijakan terhadap

Kawasan Tanpa Rokok di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi dengan

wawancara mendalam (Indepth Interview), observasi secara terus menerus selama

penelitian berlangsung dan fokus grup discussion (FGD) di lingkungan Rumah

Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.

B. LOKASI DAN WAKTUPENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi yang

terletak Jl. A.P. Pettarani Makassar kota Makassar, Sulawasi Selatan. Penelitian

ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni.

C. SUMBER DATA DANINFORMAN

Sumber informan dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan

snowballing sampling/chain sampling atau biasa disebut dengan sampling bola

salju. Seperti halnya bola salju, semakin menggelinding bola salju akan makin

membesar. Teknik snowballing sampling merupakan metode pengambilan

sampling dimana peneliti memulai pengumpulandatanya

dari seorang responden (starting with an initial contact). Selanjutnya,


60
peneliti akan menanyakan responden pertama tersebut untuk menemukan atau

mendapatkan responden kedua. Kemudian peneliti menanyakan hal yang sama

untuk mendapatkan responden ketiga. Hal tersebut dilanjutkan terus oleh peneliti,

sampai jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi. (Swarjana, 2016). Peneliti

menunjuk direktur rumah sakit sebagai informan pertama (informan kunci) karena

memiliki pengetahuan yang luas terhadap objek penelitian (Bungin, 2001).

Informan selanjutnya peneliti sebut sebagai informanbiasa.

Fokus penelitian adalah pada kedalaman dan proses sehingga pada penelitian

ini hanya melibatkan partisipan/informan yang sedikit (sebanyak 5-8 partisipan).

Jumlah informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan. Cara pemilihan

partisipan pada penelitian ini tidak diarahkan pada jumlah tetapi berdasarkan pada

asas kesesuaian dan kecukupan sampai mencapai saturasi data.(Saryono &

Anggraeni, 2010). Responden atau informan dianggap telah memadai apabila telah

sampai pada taraf ”redundancy” (datanya telah jenuh, ditambah informan lagi

tidak memberikan informasi yang baru), artinya bahwa dengan menggunakan

informan selanjutnya boleh di katakan tidak lagi diperoleh tambahan informasi

baru yang berarti.(Sugiono, 2016)

Informan di pilih menurut prinsip (Kresno, dkk) tertentu sebagai

berikut:(Lapau, 2012)

61
a. Kesesuaian(appropriateness)

Kesesuaian (appropriateness) berarti bahwa sampel di pilih atas dasar

pengetahuan yang di miliki yang berkaitan dengan judul penelitian, dimana

terlihat situasi masalah atau fenomena apa yang menjadi perhatian untuk di

teliti. Demikian pula atas dasar situasi masalah atau fenomena tersebut,

peneliti dapat menentukan siapa informan(orang yang akan memberikan

informasi yang menyangkut situasi masalah atau fenomena tersebut, yang

bukan menyangkut dirinya sendiri tetapi di luardirinya).

b. Kecukupan(adequacy)

Kecukupan (adequacy) berarti bahwa data yang diperoleh seharusnya

keseluruhan dari fenomena yang berkaitan dengan masalah penelitian; karen

aitu harus memenuhi karakteristik-karakteristik yang berkaitan dengan

penelitian seperti umur, pendidikan, pendapatan,agama, suku, bangsadan lain-

lain. Dengan variasi karakteristik-karakteristik tersebut diharapkan informasi

yang di kumpulkan akan bervariasi sehingga diperoleh gambaran dari

fenomena yang ada. Jadi dalam penelitian dengan metode kualitatif,

ukuransampel tidakmenjadi persoalan, namun yang penting adalah

kelengkapan data.

c. Populasipenelitian

Dalam penelitian kualitatif, hampir tidak ada peneliti yang menyatakan

62
apa populasi penelitiannya. Namun ada cara mendefinisikan populasi

penelitian yaitu tergantung pada situasi masalah yang hendak di teliti. Situasi

masalah penelitian yang terdapat pada judul penelitian. Seperti telah di

jelaskan di atas bahwa dalam prinsip pengambilan sampel diperlukan

kesesuain dan kecukupan, tidak diperlukan keterwakilan. Jadi tidak ada

kegiatan pengambilan sampel dari populasi tertentu. Hasil penelitian pada

sampel hanya berlaku untuk sampel itu sendiri. Dengan demikian pada

penelitian kualitatif, sampel penelitian adalah populasi penelitian itu sendiri,

yang cara mendefinisikannya tergantung pada situasi masalah yang terlihat

pada judul penelitian.

D. TEKNIK PENGUMPULANDATA

Dalam Penelitian ini sumber data dipilih, dan mengutamakan perspektif emik

yang artinya mementingkan pandangan informan. Peneliti tidak bisa memaksa

kehendaknya untuk mendapatkan data dan informasi yang di inginkannya, data

dikumpulkan tediri dari :

1. Data Primer diperoleh dengan cara pengumpulan data melalui wawancara

mendalam (Indepth Interview) berpedoman pada instrumen wawancara yang

telah dipersiapkan dan dibantu oleh peralatan tape recorder. Selain itu

dilakukan pengumpulan data dengan pengamatan

atauobservasidanFocusGroupDiscussion(FGD).Denganobservasi,

63
data yang langsung mengenai perilaku yang khas dari suatu objek

64
dapat dicatat segera dan tidak menggantungkan data dari ingatan seseorang

(Tiro, 2009). FGD di lakukan untuk memperoleh data dari suatu kelompok

berdasarkan hasil diskusi yang terpusat untuk menghimpun data sebanyak-

banyaknya dari informan.(Bungin, 2007)

2. Data sekunder diperoleh dengan cara, melakukan telaah dokumen yang

bersumber dari Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.

E. TEKNIK PENYAJIANDATA

Teknik penyajian data yang digunakan dalam penelitian kualitatif

diungkapkan dalam bentuk kalimat serta uraian-uraian, bahkan dapat berupa cerita

pendek. Teknik penyajian data dalam penelitian ini adalah dalam bentuk narasi

atau uraian kata-kata dan kutipan-kutipan langsung dari informan yang disesuaikan

dengan bahasa dan pandangan informan. Penyajian secara narasi dilakukan dalam

bahasa yang tidak formal dalam kalimat yang digunakan sehari-hari dan pilihan

kata atau konsep asli informan.

F. METODE ANALISISDATA

Setelah data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, maka analisis data

dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan editing data, mengorganisir data sesuai

dengan variabel penelitian kemudian dilakukan analisis.

63
Analysis), yaitu menguraikan jawaban-jawaban berdasarkan fakta-fakta yang ada

dan diperoleh dilapangan kemudian dibuat matrik-matrik yang menjelaskan

pengkategorisasian terhadap hasil yang ditemukan di lapangan dan dibandingkan

dengan teori yang ada.

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data

berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu

(Sugiono, 2012) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif

dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas,

sehingga datanya telah jenuh. Aktivitas dalam analisis data yaitu data reduction,

data display, dan conclusion drawing and verification.

1. Reduksi Data (DataReduction)

Reduksi data adalah merangkum semua data yang telah diperoleh, memilih hal-

hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan

polanya (Sugiono, 2012). Dengan demikian data yang telah direduksi akan

memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk

melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya biladiperlukan.

2. Penyajian Data (DataDisplay)

Dalam penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian

singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan

64
sejenisnya (Sugiono, 2012).

3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing and Verification) Kesimpulan

awal yang dikemukakan bersifat sementara dan akan berubah bila tidak

ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan

data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal

didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke

lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan

kesimpulan yang kredibel (Sugiono,2012).

65
DAFTAR PUSTAKA

Agustino, L. (2008). Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.


Ayuningtyas, D. (2015). Kebijakan Kesehatan : Prinsip Dan Praktik. Jakarta:
Rajawali Pers.
Azmy, A. S. (2012). Negara dan Buruh Migran Perempuan: Menelaah Kebijakan
Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010.
Jakarta: YayasanPustaka Obor.
Azwar, A. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan: Binarupa Aksara. Bungin, B.
(2001). Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis
Kearah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.
Bungin, B. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.
Dachi, R. A. (2017). Proses Dan Analisis Kebijakan Kesehatan. Yogyakarta:
Deepublish.
Dwidjowijoto, R. N. (2006). Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang:
Model-Model Perumusan, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.
Gobel, E. Z., & Koton, Y. P. (2016). Pengelolaan Danau Limboto Dalam Perspektif
KebijakanPublik. Yogyakarta: Deepublish.
Habibi. (2015). Gambaran Implementasi Peraturan Daerah Tentang Kawasan Tanpa
Rokok (Ktr) Pada RSUD Haji dan Rumah Sakit Stella Maris Di Kota
Makassar Tahun 2015. Public Health Science Journal.
Hamdi, M. (2014). Kebijakan Publik : Proses, Analisis, dan Partisipasi. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Indar. (2017). Eticolegal Dalam Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta: Pstaka Pelajar.
Is, M. S. (2015). Etika Hukum Kesehatan : Teori dan Aplikasinya di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Jamal. (2014). Kepatuhan Mahasiswa Terhadap Penerapan Kawasan Bebas Asap
Rokok Di Lingkungan Kampus Universitas Hasanuddin. Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Jayanti, N. K. (2009). Penyelesaian Hukum Dalam Malapraktik Kedokteran.
Jakarta: PT.Buku Kita.
Kasmad, R. (2013). Studi Implementasi Kebijakan Publik. Makassar: Kedai Aksara.
Kementerian Kesehatan RI. (2011). Pedoman teknis pengembangan Kawasan Tanpa
Rokok Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Pusat Data Informasi Kementerian
Kesehatan RI : Perilaku Merokok Masyarakat Indonesia. Jakarta.

66
Lapau, B. (2012). Metode Penelitian Kesehatan: Metode Ilmiah Penulisan Skripsi,
Tesis, dan Disertasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Muliku, H. R. (2016). Analisis Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok di Rumah
Sakit Tingkat III Robert Wolter Mongisidi Manado. Jurnal Kesehatan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang
Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan (2003).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
(2009).
Rifqi, A. I. (2017). Implementasi Peraturan Daerah Kota Makassar No. 4 Tahun 2013
Tentang Kawasan Tanpa Rokok Di Universitas Hasanuddin. Jurnal Kesmas.
Saryono, & Anggraeni, M. D. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam
Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Satrianegara, M. F. (2014). Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan.
Jagakarsa, Jakarta Selatan: Salemba Medika.
Siregar, C. J. P. (2004). Farmasi Rumah Sakit : Teori & Penerapan. Jakarta: EGC.
Siswadi, E. (2012). Birokrasi Masa Depan : Menuju Tata KelolaPemerintahan yang
Epektif dan Prima. Bandung: MutiaraPress.
Soenarko. (2005). Public Policy: Pengertian Pokok Untuk Memahami dan Analisa
kebijaksanaan Pemerintah. Surabaya: Airlangga University Press.
Sugiono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sugiono.
(2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.Bandung:
Alfabeta.
Suharto, E. (2015). Analisis Kebijakan Publik : Panduan Praktis Mengkaji
Masalah Dan Kebijakan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Sulila, I. (2015). Implementasi Dimensi Pelayanan Publik Dalam Konteks Otonomi
Daerah. Yogyakarta: Deepublish.
Swarjana, I. K. (2016). Statistik Kesehatan. Yogyakarta: C.V Andi Offset.
Tiro, M. A. (2009). Penelitian: Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Makassar: Andira
Publisher.
Wahab, S. A. (2002). Analsis Kebijaksanaan : Dari Formulasi Ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta: BumiAksara.
Peraturan Daerah Kota Makassar No. 4 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa
Rokok(2013).
Zulaeha. (2015). Implementasi Kebijakan Pemerintah Tentang Penetapan Kawasan
Tanpa Rokok, Studi Pada Rumah Sakit Umum Daerah Undata Propinsi
Sulawesi Tengah. Jurnal Kesehatan.

67

Anda mungkin juga menyukai