Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan menjadi faktor penting dalam mengukur kesejahteraan seorang

individu. Kesehatan yang dimaksud ialah kesehatan secara fisik maupun

kesehatan secara psikis dan sosial. WHO (2017) mendefinisikan sehat adalah

kondisi tubuh fisik, mental, maupun sosial dalam keadaan baik, yang bukan hanya

sekedar tidak sakit atau lemah. Hal ini sejalan dengan UU Republik Indonesia No

36 tahun 2009 tentang kesehatan, yang mendefinisikan kesehatan adalah keadaan

sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Jadi, dapat

disimpulkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera secara fisik, psikis,

spiritual, dan sosial yang memungkinkan individu untuk tetap produktif secara

sosial maupun ekonomi.

Kesehatan seorang individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.

H.L.Blunn (Adliyani, 2015) menjelaskan bahwa ada empat faktor utama yang

dapat mempengaruhi masalah kesehatan, yaitu faktor perilaku (gaya hidup), faktor

lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), faktor pelayanan kesehatan (jenis

cakupan dan kualitasnya), dan faktor genetik (keturunan). Keempat faktor ini

saling berinteraksi satu sama lain sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap

kesehatan individu.

1
2

Dari keempat faktor tersebut, faktor lingkungan menjadi faktor yang cukup

sulit untuk dikontrol karena berhubungan dengan perilaku orang lain. Misalnya,

seorang individu yang tidak merokok bukan berarti individu tersebut dapat

terbebas dari bahaya asap rokok. Banyak dari individu yang tidak merokok

terpaksa harus terpapar dan ikut menghisap asap rokok. Individu yang tidak

merokok tetapi berada di sekitar perokok dan menghirup asap rokok yang

dihembuskan oleh perokok, biasa dikenal dengan istilah perokok pasif (Astuti,

dkk., 2016).

Merokok adalah hak setiap individu, namun dalam proses kehidupan hak

seseorang juga dibatasi oleh hak orang lain. Setiap individu memiliki kewajiban

untuk menghargai hak orang lain, seperti halnya seseorang memiliki hak untuk

merokok, tetapi hak tersebut juga dibatasi oleh hak orang lain untuk bisa

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (UUD 1945 Pasal 28 H).

Namun kenyataannya, para pelaku perokok aktif ini tidak menghargai hak orang-

orang disekitarnya untuk mendapatkan udara yang sehat dan bersih, sehingga

banyak dari masyarakat yang tidak merokok justru menjadi perokok pasif.

Peraturan daerah kota Palembang no 7 tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa

Rokok menjelaskan perokok pasif ialah seseorang yang bukan perokok namun

terpaksa menghisap asap rokok yang dikeluarkan oleh perokok. Fajriwan dan

Jusuf (1999) menyebutkan bahwa kelompok perokok pasif biasanya ialah istri

atau suami dari perokok, anak yang orang tuanya perokok, rekan kerja, teman

sebaya, penumpang kendaraan umum, pengunjung tempat wisata, pengunjung

fasilitas umum seperti terminal bus, stasiun ataupun bandara.


3

Jumlah perokok di negara maju telah mengalami banyak penurunan, namun

di negara berkembang jumlah perokok justru meningkat. Data Dinas Kesehatan

Provinsi Sumsel menunjukkan hampir 35 persen penduduk Sumsel ialah perokok

aktif (Siska, 2016). Meningkatnya jumlah perokok aktif akan meningkatkan

jumlah perokok pasif. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh.

Rafikasari (2015) yang menyebutkan lebih dari 97 juta warga non-perokok di

Indonesia secara rutin terpapar asap rokok. Perokok pasif menjadi kelompok yang

dirugikan karena harus ikut terpapar bahaya dari asap rokok.

Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia dan 200 diantaranya merupakan

racun (Pradano & Kristianti, 2003). Salah satu kandungan yang ada dalam rokok

ialah nikotin. Nikotin dapat memberikan efek adiksi baik itu untuk perokok aktif

maupun perokok pasif. Selain itu nikotin pada perokok pasif dapat menyebabkan

iritasi akut terhadap mata, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, dan

berbagai efek merugikan lainnya (Fajriwan & Jusuf, 1999).

Russel (Fajriwan & Jusuf, 1999) melakukan penelitian terhadap 49 perokok

pasif dan 184 bukan perokok pasif di London dan didapatkan hasil bahwa

konsentrasi rata-rata kotinin urin tiga kali lebih besar pada perokok pasif

dibandingkan dengan yang bukan perokok pasif. Hal ini menjadi bukti yang

spesifik akibat adanya paparan asap rokok di lingkungan sekitar. Dampak lainnya

ialah kerugian materi seperti biaya perawatan akibat kanker pernapasan yang

mencapai 42 triliun per tahun. Perhitungan ini belum termasuk kehilangan

pendapatan akibat kecacatan atau kematian dini perokok pasif tersebut (Pradono

& Kristianti, 2003).


4

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk menanggulangi dampak

asap rokok terhadap masyarakat, yaitu kebijakan tentang Kawasan Tanpa Rokok

(KTR). Pemerintah kota Palembang mengatur hal tersebut pada peraturan daerah

kota Palembang No.7 tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Dalam

peraturan daerah tersebut dijelaskan bahwa Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah

ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok, menjual,

mengiklankan dan/ atau mempromosikan rokok.

Pasal 8 perda kota Palembang No.7 tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa

Rokok menjelaskan bahwa KTR meliputi tempat umum, tempat kerja, tempat

ibadah, arena kegiatan anak-anak, angkutan umum, kawasan proses belajar

mengajar, dan tempat pelayanan kesehatan. Tempat umum diantaranya ialah

terminal bus, stasiun kereta api, bandara, mall, pusat perbelanjaan, hotel, restoran

dan sejenisnya. Saat ini ada enam daerah di Sumatera Selatan yang memiliki

Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR), yaitu Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Ilir

(OI), Empat Lawang, Ogan Komering Ulu (OKU), Palembang, dan Provinsi

Sumsel (Siska, 2016)

Perda kota Palembang No.7 tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok

pasal 14 menjelaskan bahwa masyarakat memiliki peran dalam mewujudkan

Kawasan Tanpa Rokok, baik itu dilakukan perorangan, kelompok ataupun

organisasi. Masyarakat diarahkan agar dapat menggunakan hak azasinya untuk

terlindungi dari paparan asap rokok orang lain. Peran serta yang dimaksud dapat

dilakukan salah satunya ialah dengan mengingatkan atau menegur perokok untuk

tidak merokok di tempat–tempat yang masuk ke dalam Kawasan Tanpa Rokok.


5

Namun sayangnya, masih sedikit masyarakat yang ikut berperan serta dalam

perwujudan peraturan Kawasan Tanpa Rokok. Berdasarkan hasil pengamatan

yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Januari-Februari 2017 di kota Palembang,

masih terdapat banyak pelanggaran terhadap Perda tersebut. Banyak para perokok

dengan bebas merokok di Kawasan Tanpa Rokok seperti di tempat umum,

terminal bis, angkutan umum, tempat makan, taman kota, bahkan lingkungan

rumah sakit.

Berdasarkan Pedoman Pengembangan KTR (Kementerian Kesehatan

Kesehatan RI, 2011), pelaksanaan peraturan KTR merupakan tanggung jawab

semua komponen bangsa khususnya masyarakat yang menjadi perokok pasif.

Ekowati Rahajeng sebagai Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular

Kementerian Kesehatan RI (Rafikasari, 2015) menyatakan bahwa perokok pasif

harus belajar berani untuk menegur perokok di sekitarnya. Kalau perokok aktif

mengatakan bahwa merokok adalah hak asasinya, maka perokok pasif juga berhak

mengatakan bahwa perokok pasif juga memiliki hak untuk bebas dari asap rokok.

Peneliti melakukan survey awal pada bulan Maret 2017 terhadap sepuluh

perokok pasif melalui angket, ditemukan bahwa perokok pasif merasa terganggu

dengan paparan asap rokok. Namun, perokok pasif tersebut tidak melakukan

banyak hal untuk bisa mempertahankan haknya mendapatkan udara yang sehat

dan bersih. perokok pasif tersebut enggan untuk menegur karena takut

menyinggung perasaan orang lain. Untuk memperkuat hasil survey tersebut,

peneliti melakukan wawancara tambahan kepada tiga perokok pasif dan

didapatkan hasil yang serupa.


6

Kemampuan untuk membela hak, menyampaikan ketidaknyamanan, dan

menegur tanpa ada perasaan cemas yang berlebihan berhubungan dengan

asertivitas yang dimiliki. Sriyanto, dkk (2014) mendefinisikan asertivitas sebagai

kemampuan mengungkapkan hak, kebutuhan, keinginan dan perasaan secara

positif, langsung, jujur tanpa merugikan diri sendiri ataupun melanggar hak orang

lain. Sedangkan Atkinson (Arumsari, 2017) menjelaskan asertivitas ialah

kemampuan yang membantu individu untuk dapat mengkomunikasikan hak–hak

yang dimiliki, hal yang diinginkan dari situasi dan mempertahankan hak tersebut

namun tetap dengan mempertimbangkan hak orang lain.

Individu yang memiliki asertivitas yang rendah biasanya pemalu, tertutup

dan tidak dapat menyatakan keinginannya, cenderung menjadi pasif di setiap

keadaan, meskipun keadaan tersebut merugikan hak–haknya secara pribadi (Khan,

2012). Pada fenomena perokok pasif, individu yang memiliki asertivitas yang baik

akan membela haknya dengan menegur perokok aktif, sedangkan individu yang

memiliki asertivitas rendah cenderung pasif dan enggan menegur.

Berdasarkan teori diatas, maka peneliti berasumsi bahwa asertivitas yang

baik dapat membantu perokok pasif untuk bisa bersikap tegas dalam membela dan

mempertahankan haknya untuk mendapatkan udara yang sehat dan terbebas dari

asap rokok. Ketegasan yang dimaksud ialah misalnya menyampaikan permintaan

agar perokok aktif dapat mematikan rokoknya sementara, meminta perokok untuk

merokok di ruangan yang telah disediakan (smoking area), dan lain sebagainya.

Perokok pasif yang memiliki asertivitas yang baik akan dapat menunjukkan

perilaku tersebut tanpa perasaan cemas atau takut yang berlebihan.


7

Menurut Rathus dan Nevids (Pratiwi, 2015), asertivitas dapat dipengaruhi

oleh beberapa faktor salah satunya ialah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan

yang tinggi memungkinkan seseorang untuk mendapatkan wawasan atau

pengetahuan yang lebih luas. Pengetahuan yang luas ini membantu seseorang

lebih mampu bersikap asertif. Kaufmann, dkk (2014) dalam penelitian kualitatif

tentang kebijakan bebas asap rokok di indonesia dan melihat sejauh mana

pengetahuan masyarakat mengenai bahaya asap rokok dan kebijakan bebas asap

rokok berhubungan dengan ketegasan perokok pasif. Dari penelitian tersebut

didapatkan hasil bahwa tingkat pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai

bahaya rokok dan juga pemahaman mengenai kebijakan bebas asap rokok masih

bervariasi yang akhirnya menyebabkan ketegasan perokok pasif juga bervariasi.

Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa faktor tingkat pengetahuan tentang

rokok dapat mempengaruhi asertivitas perokok pasif.

Sehubungan dengan hal tersebut peneliti melakukan survey awal pada bulan

Maret 2017 dengan menggunakan angket terhadap sepuluh perokok pasif. Hasil

survey tersebut menunjukkan bahwa 8 dari 10 perokok pasif tidak memahami

secara baik dan rinci mengenai adanya peraturan Kawasan Tanpa Rokok. Perokok

pasif tersebut tidak mengetahui bahwa di dalam peraturan KTR ada pasal yang

menjelaskan bahwa masyarakat dianjurkan untuk berperan aktif dalam

pengawasan peraturan KTR, seperti dengan menegur perokok yang melanggar

aturan. Perokok pasif tersebut juga menyatakan bahwa pemahaman yang baik

mengenai peraturan Kawasan Tanpa Rokok dapat membantu mereka untuk lebih

berani menegur perokok yang melanggar.


8

Untuk memperkuat hasil survey tersebut, peneliti melakukan wawancara

pada tanggal 27 Maret 2017 terhadap 1 orang perokok pasif (X) yang menyatakan

bahwa dirinya tidak mengetahui jika di dalam peraturan KTR terdapat pasal yang

mengatur peran masyarakat dalam mewujudkan KTR, salah satunya dengan

menegur perokok. X tidak mengetahui bahwa haknya mendapatkan udara yang

terbebas dari asap rokok telah dijamin oleh pemerintah. X menyatakan bahwa

pemahaman mengenai KTR dapat membantunya untuk lebih berani menegur

perokok aktif. Selain itu, tingkat pengetahuan perokok pasif mengenai bahaya

asap rokok juga masih rendah. Perokok pasif hanya mengetahui bahaya rokok

secara umum yang tertera pada kemasan rokok. Perokok pasif tidak mengetahui

secara lebih mendalam tentang bahaya asap rokok pada perokok pasif.

Menurut Wills dan Daisley (Purnama, dkk, 2013) asertivitas seseorang

juga dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin. Rathus dan Nevid (Aryaningrat &

Marheni, 2014) menjelaskan bahwa pria dituntut untuk lebih mampu bersikap

tegas, membuat keputusan, menyampaikan sesuatu sedangkan wanita dituntut

untuk lebih sopan, permisif, dan memaklumi ataupun memahami perasaan orang

lain. Namun dalam fenomena perokok pasif, apa yang terjadi di lapangan justru

sebaliknya. Perokok pasif pria tetap mengalami kesulitan untuk bertindak tegas

atau asertif. Hal ini peneliti temukan dari hasil wawancara pada tanggal 13 April

2017 terhadap satu orang perokok pasif pria (Y). Y menjelaskan bahwa dirinya

enggan untuk menegur perokok yang ada di sekitarnya. Menurutnya perilaku

merokok di kalangan pria dianggap sebagai hal yang lumrah dan biasa, sehingga

Y menjadi lebih permisif terhadap orang yang merokok disekitarnya.


9

Sedangkan perokok pasif wanita cenderung lebih berani untuk

menunjukkan ketegasan. Berdasarkan hasil wawancara peneliti pada tanggal 13

April 2017 terhadap satu perokok pasif wanita (Z) yang menyatakan bahwa

dirinya cukup sering menegur perokok aktif yang merokok ditempat umum.

Misalnya dengan menegur perokok untuk tidak merokok di Kawasan Tanpa

Rokok atau meminta perokok untuk mematikan rokoknya sementara. Z juga

menyampaikan bahwa perilaku merokok khususnya ditempat umum sangat

mengganggu kenyamanan orang lain yang ada disekitar.

Berdasarkan hasil wawancara awal peneliti terhadap perokok pasif laki-

laki dan perokok pasif wanita tersebut menunjukkan ada ketidaksesuaian antara

teori dengan fenomena yang terjadi di lapangan. Teori mengatakan bahwa laki-

laki cenderung memiliki asertivitas yang lebih baik daripada wanita, namun pada

fenomena perokok pasif justru wanita yang memiliki asertivitas yang lebih baik

daripada laki-laki. Ketidaksesuaian antara teori dengan fakta yang terjadi

dilapangan merupakan suatu masalah yang menarik untuk dijadikan sebuah

penelitian.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, maka peneliti tertarik untuk

meneliti apakah tingkat pengetahuan tentang rokok dan jenis kelamin dapat

membuat perbedaan pada asertivitas perokok pasif. Oleh karena itu peneliti

memutuskan untuk melakukan penelitian dengan judul “Asertivitas Perokok

Pasif ditinjau dari Tingkat Pengetahuan tentang rokok dan Jenis Kelamin di

Kota Palembang”.
10

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka

rumusan masalah dalam penelitan kali ini yaitu :

1. “Apakah ada perbedaan asertivitas perokok pasif ditinjau dari tingkat

pengetahuan tentang rokok?”.

2. “Apakah ada perbedaan asertivitas perokok pasif ditinjau dari jenis

kelamin?”.

3. “Apakah ada perbedaan asertivitas perokok pasif ditinjau dari tingkat

pengetahuan tentang rokok dan jenis kelamin?”.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai

dalam penelitian kali ini yaitu :

1. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan asertivitas perokok pasif ditinjau

dari tingkat pengetahuan tentang rokok.

2. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan asertivitas perokok pasif ditinjau

dari jenis kelamin.

3. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan asertivitas perokok pasif ditinjau

dari tingkat pengetahuan tentang rokok dan jenis kelamin.


11

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa

kontribusi positif bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya dalam

bidang psikologi sosial mengenai asertivitas perokok pasif ditinjau dari

tingkat pengetahuan tentang rokok dan jenis kelamin.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Subjek Penelitian: penelitian ini diharapkan dapat membantu

meningkatkan asertivitas perokok pasif, misalnya lebih berani untuk

menegur perokok yang melanggar peraturan Kawasan Tanpa Rokok.

b. Bagi Pemerintah: penelitian ini diharapkan dapat membantu

pemerintah untuk dapat mengetahui pentingnya sosialisasi mengenai

rokok, baik itu mengenai bahaya rokok dan juga sosialisasi

mengenenai peraturan Kawasan Tanpa Rokok kepada masyarakat,

khususnya di Kota Palembang. Salah satu bentuk sosialisasi yang

dapat dilakukan ialah dengan memperbanyak tanda peringatan

dilarang merokok pada tempat–tempat yang termasuk kedalam

Kawasan Tanpa Rokok (KTR).


12

E. Keaslian Penelitian

Penelitian pertama yang serupa dilakukan oleh Kaufman, dkk (2015) yang

berjudul “‘Excusme me, sir. Please don’t smoke here’. A qualitative study of

social enforcement of smoke-free policies in Indonesia”. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui pengetahuan mengenai bahaya rokok dan pengetahuan

mengenai kebijakan bebas rokok, dan menilai sejauh mana penegakkan kebijakan

sosial tersebut dan mengumpulkan contoh–contoh penegakkan kebijakan sosial

yang sukses. Peneliti menggunakan teknik kualitatif dengan metode wawancara

mendalam kepada dua orang masyarakat dan informan kunci dari tokoh

masyarakat. Hasil penelitian ditemukan bahwa ketegasan perokok pasif bervariasi

karena pengetahuan perokok pasif mengenai peraturan bebas rokok dan bahaya

rokok juga bervariasi. Selain itu status sosial juga memberikan pengaruh bagi

ketegasan perokok pasif dalam meminta orang lain untuk berhenti merokok.

Penelitian kedua yang serupa ialah penelitian yang dilakukan oleh

Aspropoulos, dkk (2010) dengan judul “Can you please put it out? Prediciting

non-smokers assertiveness intentions at work”. Penelitian ini bertujuan untuk

mengidentifikasi faktor psikososial karyawan terhadap asertivitas. Penelitian

dilakukan pada 137 karyawan di 15 perusahaan. Hasil penelitian ditemukan

bahwa 77,4% karyawan terapapar asap rokok namun hanya 37% yang bersikap

asertif. Analisis data menggunakan analisis regresi dan ditemukan bahwa

asertivitas perokok pasif dipengaruhi secara signifikan oleh normatif dan

keyakinan kontrol perilaku, tingkat ketidaknyamanan terhadap paparan asap rokok

dan perilaku asertif di masa lalu.


13

Penelitian ketiga yang juga membahas mengenai fenomena perokok pasif

ialah penelitian Gharaibeh (2011) dengan judul “Knowledge, Attitudes, and

Behavior in Avoiding Secondhand Smoke Exposure Among Non-Smoking

Employed Women with Higher Education in Jordan”. Penelitian ini bertujuan

untuk menilai pengetahuan, sikap, dan perilaku menghindar terhadap paparan asap

rokok di kalangan wanita yordania dengan pendidikan tinggi. Survei dilakukan

terhadap 209 wanita di 2 universitas. Hasil penelitian didapatkan bahwa perilaku

penghindaran subjek tidak mencerminkan tingkat pengetahuan tentang resiko asap

rokok. Sikap dan perilaku menghindar lebih dipengaruhi oleh budaya dan gender.

Penelitian Keempat yang juga membahas mengenai asertivitas perokok

pasif ialah penelitian yang dilakukan oleh Lazarus (2012) dengan judul “Smokers

Compliance with smoke-free policies, and non smokers assertiveness for smoke-

free air in the workplace ; a study from the Balkans”. Penelitian in bertujuan

untuk mengidentifikasi variabel psikososial yang memprediksi kepatuhan perokok

terhadap kebijakan bebas asap rokok, dan mengetahui ketegasan non perokok

dalam membela haknya untuk terbebas dari asap rokok. Peneliti menggunakan

analisis regresi dan didapatkan hasil bahwa kepatuhan perokok dipengaruhi oleh

usia, resiko kesehatan yang dirasakan, dan keyakinan terhadap manfaat merokok.

Sedangkan ketegasan non perokok dapat dipengaruhi oleh intensitas gangguan

asap rokok dan kognisi sosial terkait asertif (misalnya sikap, norma sosial, dan

self-efficacy).

Penelitian kelima yang serupa ialah penelitian yang berjudul “pengaruh

pelatihan asertivitas dalam meningkatkan perilaku asertif remaja perokok pasif”


14

yang dilakukan oleh Purnama, dkk pada tahun 2013. Tujuan dari penelitian ini

yaitu untuk mengetahui pengaruh pelatihan asertivitas dalam meningkatkan

perilaku asertif remaja perokok pasif. Penelitian ini menggunakan metode

eksperimen dengan desain perlakuan ulang. Data diolah menggunakan teknik

analisis statistik nonparametrik yaitu wilcoxon signed test. Hasil yang ditemukan

ialah tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor perilaku asertif perokok

pasif sebelum dan sesudah diberi pelatihan asertivitas.

Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat dilihat bahwa tidak ada

penelitian yang sama persis dengan penelitian yang akan dilakukan. Tidak ada

penelitian sebelumnya yang membahas mengenai fenomena perokok pasif dengan

tiga variabel sekaligus yaitu asertivitas, tingkat pengetahuan tentang rokok, dan

jenis kelamin. Perbedaan lainnya yaitu terletak pada subjek dan tempat penelitian.

Penelitian ini akan dilakukan pada perokok pasif yang ada di kota Palembang.

Metode yang digunakan ialah metode penelitian kuantitatif. Berdasarkan

perbedaan–perbedaan tersebut maka penelitian yang akan dilakukan dengan judul

“Asertivitas Perokok Pasif ditinjau dari Tingkat Pengetahuan Tentang

Rokok dan Jenis Kelamin di Kota Palembang” dapat dipertanggungjawabkan

keasliannya.

Anda mungkin juga menyukai