Anda di halaman 1dari 2

Sinopsis

Novel Jejak Langkah


Karya Pramoedya Ananta Toer

Minke, seorang anak bupati dari provinsi Jawa Timur adalah seorang pribumi yang
banyak mengecap pendidikan Eropa. Hal ini membuat pandangannya berbeda dari
pandangan kaum pribumi kebanyakan. Ia adalah seorang pekerja keras, pandai, dan
pantang menyerah. Tidak seperti kebanyakan pribumi yang dalam bahasa Jawa
disebutkan sebagai bangsa yang “alon-alon waton klakon dan nrimo ing pandum”
(sedikit-sedikit asal tetap berjalan, dan menerima apa adanya).

Minke memasuki sekolah STOVIA, sekolah dokter Jawa. Baru sehari ia berada di
asrama, ia sudah membuat ulah. Perpeloncohan yang dilakukan oleh para
seniornya membuat Minke marah. Perpeloncohan itu dirasa keterlaluan oleh
Minke. Minke dilucuti tanpa pakaian di dalam kamar, kemudian dijadikan sebagai
bahan olok-olokkan. Minke tidak bisa mengendalikan amarahnya. Ia meninju salah
seorang seniornya hingga dua giginya rontok. Kejadian ini tidak membuat para
senior marah, tetapi justru membuat mereka sadar setelah Minke mengatakan
bahwa tidak pantas seorang intelek berbuat semacam itu.

Hari demi hari dilalui oleh Minke di dalam asrama. Sering sekali Minke mendapat
teguran dari direktur asrama karena ketidakdisiplinannya. Sedari remaja Minke
sudah aktif mengikuti perkumpulan dan pertemuan-pertemuan. Ia juga aktif dalam
menulis. Sampai pada suatu hari, ia diundang untuk menghadiri acara gubernur
jenderal Hindia Belanda. Undangan ini membuat direktur asrama segan dan sering
memberikan dispensasi kepada Minke.

Suatu hari Minke dititipi surat oleh sahabatnya dari Tionghoa. Sahabat itu pernah
ditolong oleh Minke ketika menghadapi kesulitan untuk memperjuangkan
nasionalisme di Cina. Melalui surat itu, terjadilah perkenalan antara Minke dengan
Ang Sang Mei, seorang gadis Tionghoa yang mengabdikan dirinya untuk
nasionalisme Cina.

Pertemuan demi peretemuan sering mereka lakukan. Sampai pada suatu hari Ang
Sang Mei jatuh sakit dan dirawat oleh Minke hingga sembuh. Sekian waktu
berjalan membuat mereka jatuh hati. Dengan masih menyandang status sebagai
pelajar STOVIA, Minke melamar Ang Sang Mei. Kesibukannya bersama sang istri
membuat Minke sering menduakan sekolahnya. Akibatnya pelajaran Minke mulai
ketinggalan, dan karena nilainya yang jelek, ia dikeluarkan dari STOVIA dan harus
mengganti semua biaya asrama dan biaya belajarnya selama ini.
Penyakit yang diderita Mei semakin lama semakin parah, ditambah lagi dengan
aktivitasnya sebagai seorang pergerakan yang semakin padat. Hal ini membuatnya
kalah melawan penyakit tersebut. Mei meninggal dalam usia yang masih cukup
muda. Ketika akan meninggalkan suaminya, Mei berpesan agar Minke
merealisasikan perjuangan bangsanya dengan cara membuat organisasi. Semangat
yang ditiupkan istrinya membuat semangat Minke berkobar. Mula-mula ia
mendirikan sebuah organisasi yang ia namai Syarikat Dagang Islam. Organisasi ini
tumbuh menjadi organisasi yang besar.

Sebelum Syarikat Dagang Islam terbentuk, organisasi yang pertama kali muncul di
Indonesia pada masa kependudukan Belanda adalah organisasi-organisasi bangsa
Eropa, disusul organisasi-organisasi bangsa Tionghoa, baru kemudian organisasi
pribumi. Di tengah kesibukannya menjalankan Syarikat Dagang Islam, ia mulai
mendirikan sebuah penerbitan bulanan untuk menyuarakan semua aspirasinya.
Minke mendirikan penerbitan Medan. Semakin lama pembaca Medan semakin
banyak. Akhirnya Medan diubah menjadi Koran harian.

Medan memuat bermacam -macam surat pembaca yang sebagian besar berisi kritik
terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Salah satu surat berasal dari
seorang putri raja yang ikut dibuang di tanah Jawa bersama ayahnya. Ia minta
tolong agar Minke mau membantunya untuk pergi ke kampung halamannya.
Walaupun hubungan Minke dekat dengan gubernur, tetapi ia tidak bisa membantu
sang putri.

Untuk meredam gerakan sang putri, gubernur menyuruh sang raja untuk
mengawinkan putri. Sang raja terpesona dengan tindakan-tindakan Minke, dan ia
menyuruh Minke untuk menjadi menantunya. Bersama Prinses Kasiruta, Minke
melanjutkan perjuangan organisasinya. Suara organisasi semakin lama semakin
lantang menentang pemerintahan gubernur. Gubernur hanya memperingatkan
Minke dengan halus agar berhati-hati dengan tulisannya, karena sebentar lagi ia
akan digantikan dengan gubernur yang baru, dengan begitu maka tidak akan ada
lagi yang melindunginya.

Pergantian gubernur telah membuat warna baru di Indonesia. Ia sangat berhati-hati


terhadap segala macam perlawanan dalam bentuk organisasi. Segala macam
organisasi yang melawan pemerintahannya akan ia awasi dengan hati-hati.

Minke merupakan tokoh Syarikat Dagang Islam yang berbahaya bagi


pemerintahan Belanda. Ia merupakan pioner kebangkitan organisasi-organisasi
pribumi. Melalui sebuah peristiwa yang sudah dirancang oleh pemerintah Belanda,
diciptakanlah sebuah insiden yang membuat Minke kelihatan bersalah terhadap
pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya ia dibuang ke luar Jawa.

Anda mungkin juga menyukai