Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

ANALISIS FILSAFAT DAN TEORI PENDIDIKAN DI DALAM UNDANG-


UNDANG NOMER 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL, PERATURAN PEMERINTAH NO. 25 TAHUN 2000,
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 5 TAHUN
2017, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 22
TAHUN 2014

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Landasan Filosofis dan Teori
Pendidikan Sejarah

Dosen Pengampu: Dr. Leli Yulifar, M.Pd

Oleh:
AMALIATUL HUBILLAH
RITA NENGSIH AGUSTINAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Jika kita perhatikan isi pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Alinea ke empat, dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan pembukaan UUD itu, batang tubuh konstitusi
tersebut di antaranya Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32, juga mengamanatkan
bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.Sistem Pendidikan nasional harus
mampu menjamin pemerataan kesempatan Pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi
manajemen Pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan local,
nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan Pendidikan secara terencana, terarah dan
berkesinambungan.
Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak
memadai lagi dan perlu diganti serta perlu di sempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan membentuk Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tujuan pendidikan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan kodrat manusia yang bersifat multidimensional dan
holistik. Hubungan antar-komponen tujuan bersifat satu kesatuan integral dan ada hierarki nilai-nilai
dalam pencapaian tujuan tersebut. Aspek-aspek kodrati manusia dilihat sebagai suatu potensi yang perlu
dikembangkan agar manusia mencapai kualitas pribadi sebagai insan yang berakhlak mulia, baik ketika
berhadapan dengan Sang Pencipta dalam terminologi iman dan takwa (ketuhanan) maupun ketika
berhadapan dengan sesama makhluk dalam kehidupan dunia (kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
keadilan sosial).
Setiap negara mempunyai tujuan pendidikan sendiri-sendiri tergantung ideologi negara dan
kebijakan dasar pemerintahnya. Indonesia sejak berdiri tahun 1945 sampai saat ini telah memiliki
perundang-undangan pendidikan dan upaya penyempurnaannya. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003
adalah undang-undang terbaru yang sekarang berlaku mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Di
dalamnya memuat sejumlah nilai-nilai yang menjadi tujuan pendidikan Indonesia. Tulisan ini akan
menganalisis Landasan filosofis tujuan pendidikan nasional Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun
2003, Peraturan menteri, Peraturan Gubernur, dan Peraturan Daerah.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa isi dari UU Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur dan Peraturan
daerah?
2. Apa Landasan filosofil dan teori Pendidikan yang terkandung dalam dari UU Sistem Pendidikan
Nasional, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur dan Peraturan daerah?

1.3. Tujuan

1. Mengetahui isi dari UU Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur dan
Peraturan daerah?
2. Mengetahui Landasan filosofil dan teori Pendidikan yang terkandung dalam dari UU Sistem
Pendidikan Nasional, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur dan Peraturan daerah?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 UU Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur dan Peraturan
daerah
2.1.1 Undang-Undang Dasar 1945
 Pasal 20
(1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat masa itu.
 Pasal 21
(1) Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan rancangan
undangundang.
(2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disyahkan
oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat masa itu.
 Pasal 28 (1) ayat (1)
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
 Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-
nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.

 Pasal 32
(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya.
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

2.1.2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang sistem Pendidikan Nasional


BAB I KETENTUAN UMUM PASAL 1
BAB II DASAR, FUNGSI, DAN TUJUAN
BAB III PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA, ORANGTUA, MASYARAKAT,
DAN PEMERINTAH
BAB V PESERTA DIDIK
BAB VI JALUR, JENJANG DAN JENIS PENDIDIKAN
BAB VII BAHASA PENGANTAR
BAB VIII WAJIB BELAJAR
BAB IX STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
BAB X KURIKULUM
BAB XI PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
BAB XII SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN
BAB XIII PENDANAAN PENDIDIKAN
BAB XIV PENGELOLAAN PENDIDIKAN
BAB XV PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN
BAB XVI EVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI
BAB XVII PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN
BAB XVIII PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN OLEH LEMBAGA NEGARA LAIN
BAB XIX PENGAWASAN
BAB XX KETENTUAN PIDANA
BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN
BAB XXII KETENTUAN PENUTUP

BAB I KETENTUAN UMUM


PASAL 1
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.
2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

BAB II DASAR, FUNGSI, DAN TUJUAN


PASAL 3
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

BAB III PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN


PASAL 4
1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa
2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka
dan multimakna.
3) Pendidikan diselenggarakan ebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hajat.
4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangan budaya membaca, menulis, dan
berhitung bagi segenap warga masyarakat.

BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA


PASAL 5
(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu.
(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
(3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil
berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
(4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus.
(5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang
hayat.
PASAL 6
(1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar.
(2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan
pendidikan.
BAB V HAK DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH
PASAL 10
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan
mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

BAB V HAK DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH


PASAL 11
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan
lima belas tahun.

2.1.3 PERATURAN PEMERINTAH NO. 25 TAHUN 2000


TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROVINSI
SEBAGAI DAERAH OTONOM
PASAL 2
(1) Kewenangan Pemerintah mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan
bidang lain.
(2) Kewenangan bidang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan
tentang perencanaan nasional, dan pembangunan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara san lembaga perekonomian negara,
pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam
serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional.
(3) (3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelompokan dalam bidang
sebagai berikut:
Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
a. Penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum
nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya.
b. Penetapan standar materi pelajaran pokok.
c. Penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik.
d. Penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan .
e. Penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan
mahasiswa.
f. Penetapan persyaratan pemintakatan/zoning, pencarian, pemanfaatan, pemindahan,
penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya serta
persyaratan penelitian arkeologi.
g. Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional,
galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, dan monumen yang diakui secara
internasional.
h. Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi
pendidikan dasar, menengah dan luar sekolah.
i. Pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh serta
pengaturan sekolah internasional.
j. Pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia.
PASAL 3
(1) Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/KOTA serta kewenangan dalam bidang
pemerintahan tertentu lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
(2) Kewenangan bidang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perencanaan
dan pengendalian pembangunan secara makro, pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber
daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan
pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan
budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular dan hama tanaman dan perencanaan
tata ruang Propinsi.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelayanan minimal yang
wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/KOTA, Propinsi dapat melaksanakan kewenangan
yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/KOTA.
(4) Kewenangan Kabupaten/KOTA di bidang tertentu dan bagian tertentu dari kewenangan
wajib dapat dilaksanakan oleh Propinsi dengan kesepakatan antar Kabupaten/KOTA dan
Propinsi.
(5) Kewenangan Propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikelompokkan dalam
bidang sebagai berikut:
Bidang Pendidikan dan Kebudayaan:
a. Penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat
minoritas, terbelakang, dan atau tidak mampu.
b. Penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul pendidikan untuk taman
kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan luar sekolah.
c. Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan
kurikulum, akreditasi dan pengangkatan tenaga akademis.
d. Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi.
e. Penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/atau penataran guru.
f. Penyelenggaraan museum propinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan,
kajian sejarah dan nilai tradisional serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.

2.1.4 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2017


BAB I KETENTUAN UMUM
BAB II PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
BAB III PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN, PENYELENGGARAAN PEND
IDIKAN INKLUSIF DAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN LAYANAN
KHUSUS
BAB IV STANDAR PENDIDIKAN
BAB V PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN
BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN DAN PESERTA
DIDIK
BAB VII PERLINDUNGAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
BAB VIII PENDIDIKAN MENENGAH UNIVERSAL
BAB IX PEMBINAAN BAHASA DAN SASTRA
BAB X KOORDINASI DAN FASILITASI
BAB XI KERJASAMA
BAB XII PERAN SERTA MASYARAKAT DAN DUNIA USAHA
BAB XIII PENGHARGAAN
BAB XIV PEMBINAAN PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
BAB XV SISTEM INFORMASI DAN PELAPORAN
BAB XVI SANKSI ADMINISTRASI
BAB XVII PENUTUP

BAB I KETENTUAN UMUM


Pasal 1
 No 9. Pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, negara.
Pasal 3
Penyelenggaraan Pendidikan di daerah Provinsi berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter warga Jawa Barat untuk peradaban bangsa yang bermartabat dalam
mencerdaskan anak bangsa.
Pasal 4
 No 1. Penyelenggaraan pendidikan di Daerah Provinsi dilaksanakan untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang berimandan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
bertanggung jawab
 No 2. Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1. berpedoman pada
falsafah Jawa Barat yaitu : “silih asih, silih asah, silih asuh, silih wawangi”, untuk
menciptakan sumber daya manusia Jawa Barat yang “Cageur, Bageur, Bener, Pinter, tur
Singer”
Pasal 6
Penyelenggaraan Pendidikan di Daerah Provinsi dilaksanakan dengan Prinsip:
a. Demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa
b. Satu kesatuan yang sistematik dengan system terbuka dan memberikan keteladanan,
membangun kemauan dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran
c. Suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat
d. Memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta
didik dalam proses pembelajaran.
e. Mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga
masyarakat.
f. Memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan Pendidikan.
Pasal 7
a. Terlaksananya system Pendidikan yang efektif, produktif, objektif, transparan,
partisipatif, akuntabel, berkelanjutan, relevan, berwawasan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan terbuka, sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan
lingkungan.

BAB II PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN


Pasal 12 ayat 1 Pendidikan menengah umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 huruf a,
a. Pembelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
b. Peningkatan kepekaan dan kemampuan mengapresiasi serta mengekspresikan keindahan,
kehalusan dan harmoni
c. Penyaluran bakat dan kemampuan di bidang olahraga, untuk Kesehatan dan kebugaran
jasmani serta prestasi
d. Peningkatan kesiapan fisik dan mental untuk melanjutkan ke jenjang Pendidikan tinggi
dan atau untuk hidup mandiri di masyarakat.

BAB IV SATANDAR PENDIDIKAN


Pasal 47 (proses pembelajaran)
 Ayat 1. proses pembelajran pada satuan pendidikan menengah, pendidikan khusus dan
pendidikan layanan khusus diarahkan untuk menciptakan peserta didik yang memiliki
kemampuan kompetitif, komunikatif, literatif dan kolaboratif.
 Ayat 2. Proses pembelajaran dapat dilaksanakan di dalam dan di luar ruangan secara
klasikal, kelompok atau individual melalui tatap muka dan atau memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.
 Ayat 3. Proses pembelajaran dilakukan secara demokratis, aktif, inovatif, kratif, efektif,
inspiratif dan menyenangkan yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta
didik.

2.1.5 Peraturan Daerah Kabupaten bBandung No 22 Tahun 2014


Pasal 71
(1) Kurikulum setiap jenjang Pendidikan mengacu kepada Kurikulum Nasional yang berlaku
(2) Kurikulum pada jalur Pendidikan nonformal berbasis keunggulan local mengacu kepada
standar nasional Pendidikan dan ketentuan perundangan lain yang berlaku
Pasal 72
(1) Kurikulum pada setiap jenjang pendidikan formal dan nonformal dikembangkan dengan
standar yang lebih tinggi dari standar nasional pendidikan sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kurikulum pada setiap jenjang pendidikan formal dan nonformal dikembangkan oleh
satuan pendidikan masing-masing yang difasilitasi oleh Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan.
(3) Kurikulum pada setiap jenjang pendidikan formal dan nonformal sebelum dipergunakan
terlebih dahulu diverifikasi dan kemudian disahkan oleh Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan.
(4) Pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
berdasarkan prinsipprinsip sebagai berikut:
a. Peningkatan Iman, Takwa, danAkhlakMulia
b. Kebutuhan Kompetensi Masa Depan
c. Peningkatan Potensi, Kecerdasan, dan Minat sesuai dengan Tingkat Perkembangan
dan Kemampuan Peserta Didik
d. Keragaman Potensi dan Karakteristik Daerah dan Lingkungan
e. Tuntutan Pembangunan Daerah dan Nasional
f. Tuntutan Dunia Kerja
g. Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni
h. Agama
i. Dinamika Perkembangan Global
j. Persatuan Nasional dan Nilai-Nilai Kebangsaan
k. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Setempat
l. Kesetaraan Gender
m. Karakteristik Satuan Pendidikan
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyusunan dan pengembangan kurikulum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Bupati.

2.2 Landasan Filosofis yang Terkandung dalam UU Sistem Pendidikan Nasional,


Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur dan Peraturan daerah

2.2.1 Pemikiran Filafat Perenialisme


Perennialisme berasal dan kata perennial diartikan sebagai continuing throughout the
whole year atau lasting for a very long time abadi atau kekal dan dapat berarti pula tiada akhir.
Dengan demikian, esensi kepercayaan ilsafat Perennial ialah berpegang pada nilai-nilai atau
norma-norma yang bersifat abadi.
Perennialisme melihat akibat atau ujung dari kehidupan zaman modern telah
menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengobati
zaman yang sedang sakit ini, maka aliran ini memberikan konsep jalan keluar ”regressive road to
cultural” yakni kembali atau mundur kepada kebudayaan masa lampau yang masih ideal. Karena
itu, Perennialisme masih memandang penting terhadap peranan pendidikan dalam proses
mengembalikan keadaan manusia sekarang kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap
cukup ideal dan telah teruji kehandalannya, dalam menahan arus cultural lag (keterbelakangan
kultural). Sikap yang dilakukan aliran ini, untuk kembali ke masa lampau bukanlah suatu sikap
nostalgia, sikap mengenang, dan membanggakan masa yang penuh kesuksesan, tetapi untuk
membina kembali keyakinan yang teguh kepada nilai-nilai asasi masa silam yang diperlukan
untuk kehidupan abad cybernetic ini.
Aliran ini memandang keadaan sekarang sebagai zaman yang sedang ditimpa krisis
kebudayaan karena kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Perennialisme berpendapat,
untuk mengatasi gangguan kebudayaan diperlukan usaha untuk menemukan dan mengamankan
lingkungan sosiokultural, intetektual, dan moral. Inilah yang menjadi tugas filsafat dan filsafat
pendidikan. Adapun jalan yang ditempuh adalah dengan cara regresif, yakni kembali kepada
prinsip umum yang ideal yang dijadikan dasar tingkat pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Prinsip umum yang ideal itu berhubungan dengan nilai
ilmu pengetahuan, realitas, dan moral yang mempunyai peranan penting dan pemegang
kunci bagi keberhasilan pembangunan kebudayaan pada abad ini. Prinsip yang bersifat
aksiomatis ini tidak terikat waktu dan tetap berlaku dalam perjalanan sejarah.
Perenialisme adalah landasan filosofis yang berpusat pada pelestarian dan pengembangan
budaya. Pendidikan nasional berlandaskan aliran Perennialiasme Jika kita tinjau Undang-Undang
Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 poin 2 Pendidikan nasional
adalah Pendidikan yang berdasarkan Pncasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai kebudayaan nasional Indonesia. Selain itu
juga pada Bab III Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Pasala 4 poin 1 Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjungjung tinggi nilai kultural.
Pancasila sudah merangkum nilai-nilai budaya Indonesia. Koentjaraningrat menyebutkan
unsur-unsur universal dari kebudayaan adalah 1) sistem religi dan upacara keagamaan, 2) sistem
dan organisasi kemasyarakatan, 3) sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem mata
pencaharian hidup, dan 7) sistem teknologi dan peralatan.
UUD 1945 pasal 32 negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah
peradaban. Turunan pasal 32 termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang
pemajuan kebudayaan. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Pemajuan Kebudayaan, tindakan
yang dilakukan terhadap objek pemajuan kebudayaan yakni inventarisasi, pengamanan,
pemeliharaan, dan penyelamatan. Setiap warga negara dapat berperan aktif dalam pemajuan
kebudayaan. Sepuluh objek pemajuan kebudayaan tersebut adalah tradisi lisan, manuskrip, adat
istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional,
seni, bahasa, dan ritus. Berikut penjelasan singkat tentang ke-10 objek pemajuan kebudayaan
tersebut.
1. Tradisi Lisan
Tradisi Lisan adalah tuturan yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat,
seperti sejarah lisan, dongeng, rapalan, pantun, cerita rakyat, atau ekspresi lisan lainnya. Contoh
cerita rakyat antara lain Malin Kundang dari Sumatera Barat, Tangkuban Perahu dari Jawa Barat,
dan Legenda Si Kembar Sawerigading dan Tenriyabeng dari Sulawesi Barat.
2. Manuskrip
Manuskrip adalah naskah beserta segala informasi yang terkandung di dalamnya, yang
memiliki nilai budaya dan sejarah, seperti serat, babad, kitab, dan catatan lokal lainnya. Contoh
babad antara lain Babad Tanah Jawi yang menceritakan cikal-bakal kerajaan-kerajaan di Jawa
beserta mitosnya. Contoh serat antara lain Serat Dewabuda, yang merupakan naskah agama yang
menyebutkan hal-hal yang khas ajaran Buddha.
3. Adat Istiadat
Adat Istiadat adalah kebiasaan yang didasarkan pada nilai tertentu dan dilakukan oleh
kelompok masyarakat secara terus-menerus dan diwariskan pada generasi berikutnya, antara lain,
tata kelola lingkungan dan tata cara penyelesaian sengketa.
4. Permainan Rakyat
Permainan Rakyat adalah berbagai permainan yang didasarkan pada nilai tertentu dan
dilakukan kelompok masyarakat yang bertujuan untuk menghibur diri. Contoh permainan rakyat
antara lain permainan kelereng, congklak, gasing, dan gobak sodor.
5. Olahraga Tradisional
Olahraga Tradisional adalah berbagai aktivitas fisik dan/atau mental yang bertujuan
untuk menyehatkan diri dan meningkatkan daya tahan tubuh, didasarkan pada nilai tertentu dan
dilakukan oleh kelompok masyarakat secara terus menerus, dan diwariskan lintas generasi.
Contoh olahraga tradisional antara lain bela diri, pasola, lompat batu, dan debus.
6. Pengetahuan Tradisional
Pengetahuan Tradisional adalah seluruh ide dan gagasan dalam masyarakat yang
mengandung nilai-nilai setempat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan
lingkungan, dikembangkan secara terus menerus dan diwariskan lintas generasi. Pengetahuan
tradisional antara lain kerajinan, busana, metode penyehatan, jamu, makanan dan minuman lokal,
serta pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta.
7. Teknologi Tradisional
Teknologi Tradisional adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang atau
cara yang diperlukan bagi kelangsungan atau kenyamanan hidup manusia dalam bentuk produk,
kemahiran, dan keterampilan masyarakat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi
dengan lingkungan, dan dikembangkan secara terus menerus serta diwariskan lintas generasi.
Contoh teknologi tradisional adalah proses membajak sawah dengan menggunakan tenaga
kerbau, atau menumbuk padi dengan menggunakan lesung.
8. Seni
Seni adalah ekspresi artistik individu, kolektif, atau komunal, yang berbasis warisan
budaya maupun berbasis kreativitas penciptaan baru yang terwujud dalam berbagai bentuk
kegiatan dan/atau medium. Seni terdiri atas seni pertunjukan, seni rupa, seni sastra, film, dan seni
media. Seni pertunjukan antara lain seni tari, seni teater atau seni musik. Contoh seni sastra yaitu
lukisan, patung, atau keramik.
9. Bahasa
Bahasa adalah sarana komunikasi antarmanusia, baik berbentuk lisan, tulisan, maupun
isyarat, misalnya bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Di Indonesia terdapat sekitar 700 bahasa
daerah yang tersebar di berbagai pulau, dari ujung Sumatra hingga Papua. Bahkan, dalam satu
provinsi bisa terdapat berbeda-beda bahasa daerah. Misalnya di Provinsi Aceh terdapat bahasa
Aceh dan bahasa Gayo.
10. Ritus
Ritus adalah tata cara pelaksanaan upacara atau kegiatan yang didasarkan pada nilai
tertentu dan dilakukan oleh kelompok masyarakat secara terusmenerus dan diwariskan pada
generasi berikutnya, antara lain, berbagai perayaan, peringatan kelahiran, upacara perkawinan,
upacara kematian, dan ritual kepercayaan beserta perlengkapannya. (Desliana Maulipaksi)
Dalam pembelajaran di kelas implementasi dari perennialisme adalah dengan
mengajarkan nilai-nilai budaya masayarakat zaman dahulu dengan menggali sejarah local di
sekitar tempat tinggal peserta didik.

2.2.2 Pemikiran Filafat Progresivisme


Aliran Progresivisme ini merupakan salah satu aliran ilsafat pendidikan yang berkembang
pesat pada permulaan abad ke XX dan sangat berpengaruh dalam pembaruan pendidikan. Aliran
ini mempunyai konsep yang mempercayai manusia sebagai subjek yang memiliki kemampuan
dalam menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya, mempunyai kemampuan untuk mengatasi
dan memecahkan masalah yang akan mengancam manusia itu sendiri. Pendidikan dianggap
mampu mengubah dan menyelamatkan manusia demi masa depan. Tujuan pendidikan selalu
diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus dan bersifat progresif.
Dalam pandangan Progresivisme, manusia harus selalu maju (progress) bertindak
konstruktif, inovatif, reformatif, aktif dan dinamis. Sebab manusia mempunyai naluri selalu
menginginkan perubahan-perubahan. Menurut Imam Barnadib, Progresivisme menghendaki
pendidikan yang progresif (maju), semua itu dilakukan oleh pendidikan agar manusia dapat
mengalami kemajuan (Progress), sehingga orang akan bertindak dengan intelegensinya sesuai
dengan tuntutan dan lingkungan.
Progres atau kemajuan, lingkungan dan pengalaman menjadi perhatian dari
progresivisme, tidak hanya angan-angan dalam dunia ide, teori, dan cita-cita saja. Progres dan
kemajuan harus dicari dengan memfungsikan jiwa sehingga menghasilkan dinamika yang lain
dalam hidup ini.
Semuanya itu diperlukan oleh pendidikan agar orang dapat maju, dan berbuat sesuatu
sehingga mampu mengadakan penyesuaian dengan lingkungan. Karena itu, pendidikan tidak
hanya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik, tetapi yang lebih penting dari itu.
Yaitu, melatih kemampuan berpikir dengan memberikan rangsangan dengan cara-cara ilmiah,
seperti kemampuan menganalisis dan memilih secara rasional di antara beberapa alternatif yang
tersedia.
Tugas pendidikan, menurut pragmatisme, progresivisme ialah mengadakan penelitian
atau pengamatan terhadap kemampuan manusia dan menguji kemampuan-kemampuan tersebut
dalam pekerjaan praktis. Dengan kata lain, manusia hendaknya mengaktualisasikan ide-idenya
dalam kehidupan nyata, berpikir, dan berbuat.
Landasan filosofis progresivisme terkandung dalam UU SISDIKNAS nomor 20 Tahun
2003 ada dalam Bab 1 Ketentuan Umum Pasala 1 point 2, Pendidikan Nasional adalah
Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan di Indonesia harus mengikuti perubahan zaman
hal ini sesuai dengan progresivisme yang mengalami kemajuan sesuai dengan tuntutan dan
lingkungan.

2.2.3 Pemikiran Filafat Konstruktivisme


Salah satu tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor konstruktivisme adalah Jean Piaget.
Konstruktivisme yang dikembangkan Jean Piaget dalam bidang pendidikan dikenal dengan nama
kontruktivisme kognitif atau personal contructivisme. Jean Piaget menyakini bahwa belajar akan
lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Aliran
konstruktivisme adalah satu aliran filsafat yang menekankan bahwa pengetahuan adalah
kontruksi (bentukan).
Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas), pengetahuan merupakan
akibat dari suatu konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Seseorang dapat membentuk
skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Proses
pembentukan ini berjalan terus menerus dan setiap kali akan mengadakan reorganisasi karena
adanya suatu pemahaman yang baru.
Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif tersendiri yang kemudian dinamakan
skema (schema). Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang memungkinkan
seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema
adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, konstruksi hipotesis, seperti intelektual,
kreativitas, kemampuan dan naluri. Skema dapat terbentuk karena pengalaman, proses
penyempurnaan skema melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Dalam pandangan konstruktivisme, belajar adalah kegiatan aktif dimana peserta didik
membangun sendiri pengetahuannya. Peserta didik mencari sendiri makna yang dipelajari. Hal
ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang
telah ada dalam pikiran siswa. Siswa harus punya pengalaman dengan membuat hipotesis,
memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, mengadakan refleksi,
mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk
konstruktif yang baru.
Belajar, menurut teori belajar konstruktivistik bukanlah sekedar menghafal, akan tetapi
proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil
“pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang
dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari “pemberian” tidak akan bermakna. Adapun
pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu
akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam
setiap individu.
Teori konstruktivisme berpandangan bahwa dalam proses belajar, siswa yang harus
mendapat penekanan. Siswa yang harus aktif dalam mengembangkan pengetahuan, bukan guru
atau orang lain. Kreativitas dan keaktifan siswa membantu siswa menjadi orang yang kritis
menganalisis suatu hal karena siswa berpikir dan bukan meniru saja. Mengajar dalam pandangan
konstruktivisme bukanlah mentransfer pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada
orang yang belum tahu (siswa), melainkan membantu seseorang agar dapat mengkonstruksi
sendiri pengetahuannya lewat kegiatannya terhadap fenomena dan objek yang ingin diketahui.
Oleh karena itu menurut prinsip konstruktivisme guru berperan sebagai mediator dan fasilisator
yang membantu agar proses belajar murid berjalan dengan baik. Pendekatan ada pada siswa yang
belajar, dan bukan pada guru yang mengajar. Penekanan pada siswa ini yang belakangan
melahirkan konsep learning centered yaitu pembelajaran yang berpusat pada siswa. Tugas guru
dalam proses ini adalah merangsang pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan murid
mengungkapkan gagasan dan konsepnya.
Menurut Peodjiadi implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak
adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah
menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap
persolan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan ketrampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif
dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.
Prinsip-prinsip yang sering diadopsi dari konstruktivisme antara lain: (1) pengetahuan
dibangun oleh siswa sendiri secara aktif, (2) tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa, (3)
mengajar adalah membantu siswa belajar, (4) tekanan dalam proses belajar lebih pada proses
bukan pada hasil, (5) kurikulum menekankan partisipasi siswa, dan (6) guru adalah fasilisator.
Prinsip tersebut banyak diambil untuk membuat perencanaan proses belajar mengajar yang
sesuai, pembaruan kurikulum, perencanaan program persiapan guru, dan untuk mengevaluasi
praktek belajar mengajar. Pengembangan Kurikulum Pendidikan merupakan kurikulum yang
berorientasi pada standar kompetensi. Kurikulum yang berorientasi pada kompetensi menuntut
praktik pembelajaran yang konstruktif, bermakna (fungsional) bagi peserta didik, berpusat pada
siswa, mementingkan segala kecakapan hidup, mementingkan kemampuan riil yang terwujud
dalam pengetahuan, sikap, dan perilaku hidup secara nyata, dalam bentuk untuk kerja
sesungguhnya, dengan penilaian otentik yang memanfaatkan berbagai cara penilaian,
mementingkan proses dan hasil.
Salah satu prinsip dalam pelaksanaan pengembangan kurikulum pendidikan yaitu
didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi
dalam dirinya. Oleh karena itu peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang
bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis
dan menyenangkan. Prinsip ini merupakan bagian spirit konstruktivisme yang lebih
memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman siswa. Bukan
kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.
Jika kita meninjau UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Bab II Dasar, Fungsi, dan Tujuan
Pasal 3 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan tujuan Pendidikan nasional tersebut terlihat bahwa Landasan Filosofis
Pendidikan Nasional Indonesia adalah filsafat Konstruktivisme dan teori belajar
Konstruktivisme. Implementasinya terdapat dalam kurikulum 2013 dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran di kelas (student center),
guru hanya fasilittaor. Selain itu juga menerapkan pembelajaran abad 21 yaitu pembelajaran
yang dirancang untuk generasi abad 21 agar mampu mengikuti arus perkembangan teknologi
terbaru. Terutama pada ranah komunikasi yang telah masuk ke sendi kehidupan, maka dari itu
siswa diharuskan untuk bisa menguasai empat keterampilan belajar (4C), yakni: creativity and
innovation, critical thinking and problem solving, communication dan collaboration.

2.2.4 Pemikiran Filafat Humanistik


Pendidikan harus berkualitas untuk menghasilkan lulusan yang mampu menghadapi
dinamika perkembangan masyarakat dan teknologi yang begitu pesat. Di satu sisi teknologi
mampu digunakan untuk membantu menyelesaikan berbagai masalah, di sisi lain merupakan
tantangan yang sangat besar bagi dunia pendidikan untuk bertransformasi (Christensen, 1997).
Pendidikan harus dikelola untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan yang
dibutuhkan di abad ke-21, yaitu mampu belajar dan berinovasi, berpikir kritis dan mampu
memecahkan masalah, memiliki kreativitas serta mampu berkomunikasi dan berkolaborasi.
Menurut aliran filsafat humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk
kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya
lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari
pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari
dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-
konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar
dalam bentuknya yang paling ideal.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan
belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar bermakna atau
“Meaningful Learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mengatakan bahwa belajar
merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat
penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka
tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimilikinya.
Kolb (1939-sekarang) seorang ahli penganut aliran filsafat humanistik membagi tahap-
tahap belajar menjadi 4, yaitu pertama, tahap pengalaman konkret. Pada tahap paling awal dalam
peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu
kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat melihat dan merasakannya, dapat menceriterakan
peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang dialaminya. Namun, dia belum memiliki kesadaran
tentang hakikat dari peristiwa tersebut. Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya,
dan belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia juga belum
dapat memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu. Kemampuan inilah yang
terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap paling awal dalam proses belajar.
Kedua, tahap pengamatan aktif dan reflektif. Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah
bahwa seseorang makin lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap
peristiwa yang dialaminya. Ia mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian
tersebut. Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan mengapa hal itu mesti terjadi.
Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya semakin berkembang. Kemampuan inilah
yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap ke dua dalam proses belajar.
Ketiga, tahap konseptualisasi. Tahap ketiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang
sudah mulai berupaya untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau
hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi obyek perhatiannya. Berfikir induktif banyak
dilakukan untuk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh
peristiwa yang dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang diamati tampak berbeda-beda,
namun memiliki komponen-komponen yang sama yang dapat dijadikan dasar aturan bersama.
Keempat, tahap eksperimentasi aktif. Tahap terakhir dari peristiwa belajar menurut Kolb
adalah melakukan eksperimentasi secara aktif. Pada tahap ini seseorang sudah mampu
mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir
deduktif banyak digunakan untuk mempraktikkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di
lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul teori atau suatu rumus, tetapi ia mampu
menggunakan teori atau rumus-rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapinya,
yang belum pernah ia jumpai sebelumnya.
Teori humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih
praktis. Teori ini dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi
dari pada bidang pendidikan, sehingga sukar meterjemahkannya ke dalam langkah-langkah yang
lebih konkrit dan praktis. Namun karena sifatnya yang ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka
teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk
mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar
pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun
akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori humanistik ini
masih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan
operasional, namun sumbangan teori ini amat besar. Ideide, konsep-konsep, taksonomi-
taksonomi tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk
memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu mereka dalam menentukan
komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan, penentuan materi, pemilihan
strategi pembelajaran, serta pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang
dicita-citakan tersebut.
Pada teori humanistik, guru diharapkan tidak hanya melakukan kajian bagaimana dapat
mengajar yang baik, namun kajian mendlam justru dilakukan untuk menjawab pertanyaan
bagaimana agar siswa dapat belajar dengan baik. Jigna dalam jurnal CS Canada (2012)
menekankan bahwa “To learn well, we must give the students chances to develop freely”.
Pernyataan ini mengandung arti untuk menghasikan pembelajaran yang baik, guru harus
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang secara bebas.
Pada penerapan teori humanistik ini adalah hal yang sangat baik jika guru dapat membuat
hubungan yang kuat dengan siswa dan membantu siswa untuk membantu siswa berkembang
secara bebas. Dalam proses pembelajaran, guru dapat menawarkan berbagai sumber belajar
kepada siswa, seperti situs-situs web yang mendukung pembelajaran. Inti dari pembelajaran
humanistik adalah bagaimana memanusiakan siswa dan membuat proses pembelajaran yang
menyenangkan bagi siswa.
Landasan filosofis humanistik terdapat pada Undang Undang Dasar 1945 pasal 30 yang
berbunyi (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang. Dalam pasal ini jelas terlihat bahwa tujuan pendidikan itu adalah
memanusiakan peserta didik. Selain itu aliran humanistik ini terdapat pada UU sisdiknas Bab II
tentang dasar, fungsi dan tujuan, pasal 3 yang berbunyi Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Ini juga sesuai dengan peraturan daerah provinsi Jawa
Barat Nomor 5 Tahun 2017 Bab I Pasal 3 yang berbunyi, penyelenggaraan Pendidikan di daerah
Provinsi berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter warga Jawa Barat
untuk peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan anak bangsa.
2.2.5 Aliran Filsafat Esensialisme
Essensialisme berasal dari kata essensial yang berarti sifat-sifat dasar atau dari kata
asesnsi (pokok). Essensialisme mempunyai pandangan bahwa pendidikan sebagai pemelihara
kebudayaan. Aliran ini ingin kembali kepada kebudayaan lama, warisan sejarah yang telah
membuktikan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan manusia. Aliran ini berpedoman pada
peradaban sejak zaman Renaissance. Pada zaman Renaissance telah berkembang dengan
megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta
kebudayan purbakala, terutama dizaman Yunani dan Romawi. Dalam zaman Renaissance
muncul tahap-tahap pertama dari pemikiran essensialis yang berkembang selanjutnya sepanjang
perkembangan zaman Renaissance itu sendiri, yang mempunyai ciri-ciri utama yang berbeda
dengan aliran progresifisme. Perbedaannya yang utama adalah memberikan dasar berpijak
kepada pendidikan yang penuh fleksibel, dimana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan
tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Essensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak kepada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama, yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai tertinggi yang
tata dan jelas. Paham filsafat idialisme Plato dan faham idialisme Aristoteles adalah dua aliran
pikiran yang membetuk konsep-konsep berpikir golongan isensialisme. Jadi pandangan filsafat
essensialisme meramu dan menampung dua aliran filsafat itu (tetapi tidak lebur jadi satu dan
tidak melepaskan sifat yang utama pada masing-masing), yang kemudian mereka terapkan pula
dalam bidang pendidikan.
Essesnsialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap
hidup yang mengarah keduniawian, serba ilmiah dan materialistik. Selain itu juga diwarnai oleh
pandangan-pandangan dari paham penganut idialisme yang bersifat spiritual dan realisme yang
titik berat tujuannya adalah mengenai alam dan dunia fisik. Adapun beberapa tokoh utama yang
berperan dalam penyebaran essensialisme, yaitu:
• Desiderius Erasmus (akhir abad 15)
• Johan Amos Comenius (1592 – 1670)
• John Locke (1632 – 1704)
• Johan Heinrich Pestalozzi (1746 – 1827)
• Johan Friedrich Frobel (1782 – 1852)
• Johan Friedrich Herbert (1776 – 1841)
• William T. Harris (1835-1909)
Berbicara tentang perubahan, esensialisme berependapat bahwa perubahan merupakan
suatu kenyataan yang tidak dapat diubah dalam kehidupan social. Mereka mengakui evolusi
manusia dalam sejarah, namun evolusi itu harus terjadi sebagai hasil desakan masyarakat secara
terus- menerus. Perubahan terjadi sebagai kemampuan intelegensi manusia yang mampu
mengenal kebutuhan untuk mengadakan cara-cara bertindak, organisasi, dan fungsi sosial.
Essensialisme berasal dari kata essensial yang berarti sifat-sifat dasar atau dari kata
asesnsi (pokok). Essesnsialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi
terhadap hidup yang mengarah keduniawian, serba ilmiah dan materialistik. Selain itu juga
diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut idialisme yang bersifat spiritual dan
realisme yang titik berat tujuannya adalah mengenai alam dan dunia fisik. Menurut filsafat
esensialisme, pendidikan sekolah harus bersifat praktis dam memberi anak-anak pengajaran yang
logis yang mempersiapkan mereka untuk hidup, sekolah tidak boleh mencoba mempengaruhi
atau menetapkan kebijakan kebijakan sosial. Menurut Essensialime pendidikan harus didasarkan
pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak peradaban umat manusia, kebudayaan yang
mereka wariskan kepada kita hingga sekarang telah teruji oleh segala zaman, kondisi dan
sejarah. Aliran filsafat esensialisme terdapat dalam peraturan daerah pemerintah provinsi Jawa
Barat No 5 tahun 2017 Bab II tentang pedoman penyelenggaraan pendidikan Pasal 12 ayat 1
yaitu pembelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
DAFTAR PUSTAKA

Dardiri, Ahmad. (2021). Landasan Filosofis Pendidikan Dalam Perspektif Guru. Sukma:Jurnal
Pendidikan Vol. 5 No.2
Krisiawan, Muhammad. (2016). Filsafat Pendidikan. Jogjakarta : Valia Pustaka
Djamaludin, Ahdar. (2014). Filsafat Pendidikan. Jurnal Istiqra Vol.1 No. 2

Anda mungkin juga menyukai