• Tujuan dari halal supply chain ada untuk mempertahankan dan memastikan
bahwa produk yang dihasilkan tidak hanya halal dari segi material
penyusunnya saja. Tetapi juga melibatkan serangkaian alat bantu produksi
dan distribusi yang sesuai dengan prinsip-prinsip dalam syariat islam.
• Cara kerja dari halal supply chain yaitu dengan menghindari kontak langsung
dengan barang atau material non-halal, serta mempertimbangkan risiko
kontaminasi atau campuran antara produk halal dan non-halal.
RAGAM PENDAPAT FIQIH SOAL KRITERIA
THAYYIBAN DALAM PRODUK HALAL
• Thayyib menjadi lawan kata dari khabits, merujuk pada al-A’raf ayat 157 di
atas. Makna khabits, yang merupakan turunan kata dari khabutsa –
yakhbutsu – khubtsan, dalam Mu’jam al-Wasith diartikan sebagai sesuatu
yang rusak, buruk, atau tidak menyenangkan.
• Lafal thayyibat mencakup makna halal karena makanan yang thayyib tidak
akan mengandung bahaya, larangan maupun madharat lain di dalamnya,
sehingga ia halal. Jika yang thayyib berarti halal, maka yang buruk (khabits)
dapat dinilai haram.
RAGAM PENDAPAT FIQIH SOAL KRITERIA
THAYYIBAN DALAM PRODUK HALAL
• Sedangkan dalam konteks layak, enak, atau lezat, lumrahnya manusia
memandang kelayakan, rasa dan lezatnya makanan atau minuman sebagai
hal yang baik. Pandangan seperti ini meniscayakan bahwa layak tidaknya
makanan/minuman untuk dikonsumsi dinilai dari pengetahuan manusia seputar
kelayakan dan manfaat barang tersebut.
CATATAN PINGGIRAN FIQIH
•Istihalah
•Istihlak
•Dharurat
ISTIHALAH
• Berhutang
• Menarik Investasi
HUTANG YANG DILARANG
• Riba al Qardh
• Yaitu riba dalam bentuk seseorang memberikan pinjaman berupa uang kepada pihak
lain dengan ketentuan bahwa pihak tersebut harus mengembalikan uang pinjaman
dengan adanya tambahan sebesar jumlah tertentu atau sebesar kebiasaan yang
berlaku, atau dipersyaratkan adanya tambahan yang bersifat bulanan atau tahunan
atas dana yang dipinjam.
• Riba an Nasi’ah / Jahiliyyah
• Yaitu adanya tambahan yang dipersyaratkan yang melebihi pokok hutang, disebabkan
penangguhan hutang tersebut.
BENTUK LAIN RIBA
• Riba al Fadhl
• Yaitu adanya kelebihan pada pertukaran dua barang ribawi yang sejenis
• Riba an Nasa’
• Yaitu pertukaran dua barang ribawi yang sejenis atau tidak sejenis, dalam klasifikasi
yang sama, dengan adanya penangguhan.
INVESTASI YANG DILARANG
• “Syirkah menurut makna syariah adalah suatu akad antara dua pihak atau
lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan”.
DALIL-DALIL SYARIAH
• Hadits Nabi Saw berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau
diutus sebagai Nabi, banyak shahabat pada saat itu yang bermuamalah dengan cara
bersyirkah dan Nabi SAW-pun membenarkannya (men-taqrir-nya).
• Dalil yang lain adalah berdasarkan sabda dari Nabi SAW, sebagaimana dituturkan Abu
Hurairah ra:
• "Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang
bersyirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya
berkhianat, Aku keluar dari keduanya" (HR. Abu Dawud, Al-Baihaqi dan AdDaruquthni).
KONSEKUENSI DEFENISI
• Setelah kita memahami dari definisi syirkah secara syar’i dan mengetahui
dalildalil yang menjadi sandarannya, maka kita dapat memahami bahwa
dari definisi tersebut ternyata mengandung konsekuensi yang cukup dalam
dan luas. Sekaligus, dari definisi tersebut kita juga bisa memahami hakikat
perseroan syari’ah, yang dapat dibedakan dengan jelas dengan bentuk
bentuk perseroan kapitalisme, khususnya dengan bentuk Perseroan Terbatas
(PT).
PRINSIP 1
• Dalam perseroan syari’ah, di antara para pesyirkah harus ada pihak yang
menjalankan usaha atau bisnis secara langsung, dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan. Perseroan syari’ah tidak boleh hanya kumpulan
pemodal saja, kemudian membuat badan hukum perseroan, selanjutnya yang
menjalankan bisnisnya justru adalah pihak lain yang digaji untuk menjalankan
perusahaannya, sebagaimana yang biasa terjadi pada perseroan
kapitalisme.
PRINSIP 2
• Dalam perseroan syari’ah, semua orang yang telah beraqad syirkah harus
siap melebur menjadi satu. Baik yang melebur itu adalah manusianya,
maupun modal yang disertakaannya.
• Berbeda dengan perseroan kapitalisme, peleburan itu hanya dilihat sebatas
modal yang disertakan.
PRINSIP 3
• Dalam perseroan syari’ah, setiap keputusan yang dibuat harus disepakati oleh
seluruh pesyirkah yang menjadi pengelola, meskipun presentase modalnya kecil.
• Hal itu berbeda dengan perseroan kapitalisme, keputusan sangat ditentukan oleh
pemegang saham mayoritas. Jika ada 1 orang yag menguasai 51% saham, maka
apapun yang dia inginkan, harus disetujui dan diwujudkan oleh perusahaan,
walaupun 1 orang itu adalah “anak ingusan” , yang tidak tahu apaapa dalam
masalah bisnis (mungkin, saham mayoritas yang dimilikinya adalah warisan orang
tuanya)
PRINSIP 7
• Dalam perseroan syari’ah, jika akan ada penambahan modal baru atau
masuknya pesyirkah baru, harus disetujui oleh seluruh anggota syirkah yang
ada.
• Berbeda dengan perseroan kapitalisme, untuk menambah modal baru,
tinggal menjual saham-saham perusahaan, kepada siapa saja, dimana saja,
bahkan dapat menjual ke seluruh penjuru antero dunia.
PRINSIP 8
• Dalam perseroan syari’ah, jika ada salah satu pesyirkah yang tidak setuju
dalam sebuah permufakatan dan tetap kokoh dalam ketidaksetujuannya,
padahal seluruh pesyirkah lain sudah mufakat, maka perseroan itu harus
dibubarkan, dengan mengikuti ketentuan pembubaran syirkah.
• Hal itu berbeda dengan perseroan kapitalisme, keputusan tetap mengikuti
suara mayoritas. Jika ada pesero yang tidak setuju dan itu suara minoritas,
kesepakatan mayoritas harus dilaksanakan oleh perusahaan.
PRINSIP 9
• 1. SYIRKAH INAN
• Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl) sekaligus. Syirkah ini
hukumnya boleh (jaiz) berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-
Nabhani, 2004).
JENIS SYIRKAH
2. SYIRKAH ‘ABDAN
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-
masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal
(mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan
arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang
batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya). (An-Nabhani, 2004). Syirkah
ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996; Al-Khayyath, 1982).
JENIS SYIRKAH
3. SYIRKAH MUDHARABAH
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan
ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak
lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 2004). Istilah syirkah
mudhârabah banyak dipakai oleh ulama Irak, sedangkan untuk ulama Hijaz,
mereka menyebutnya dengan istilah qirâdh
JENIS SYIRKAH
4. SYIRKAH MUFAWADHAH
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah yang telah disebutkan di atas (syirkah inân,
‘abdan, mudhârabah, dan Wujuh) (An-Nabhani, 2004; Al-Khayyath, 1982).
Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini hukumnya adalah boleh (jaiz). Sebab,
setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan
dengan berbagai jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 2004).
SEKIAN DAN TERIMAKASIH