Anda di halaman 1dari 185

EKSPRESI GAYA BAHASA SINEKDOKE

DALAM AL-QUR’AN

Tesis
Dimajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Magister Agama (MA) dalam
Bidang Pendidikan Bahasa Arab

Oleh
HASYIM ASY'ARI
NPM. 07.2.00.1.15.08.0102

Pembimbing
Dr. Ahmad Dardiri, M.A.

SEKOLAH PASCASARJANA
KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini :


Nama : Hasyim Asy’ari
NPM : 07.2.00.1.15.08.0102
Jenjang : Magister (S2)
Program : Pengkajian Islam
Konsentrasi : Pendidikan Bahasa Arab
Menyatakan bahwa :
1. Tesis yang berjudul ”Ekspresi Gaya Bahasa Sinekdoke dalam Al-Qur’an”
merupakan hasil karya asli saya kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan
sumbernya, yang dimajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Magister Agama di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya pergunakan dalam penulisan tesis ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi berupa pencabutan gelar akademik.

Jakarta, 23 Agustus 2009


Penulis,

Hasyim Asy’ari

1
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul “ Ekspresi Gaya Bahasa Sinekdoke Dalam Al-


Qur’an “ yang ditulis oleh :

Nama : Hasyim Asy’ari


NPM : 07.2.00.1.15.08.0102
Jenjang : Magister (S2)
Program : Pengkajian Islam
Konsentrasi : Pendidikan Bahasa Arab

telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing untuk di bawa ke sidang


ujian/penilaian tesis.

Jakarta, 17 Agustus 2009


Pembimbing,

Dr. Ahmad Dardiri, M.A.

2
PERSETUJUAN TIM PENGUJI

Tesis saudara Hasyim Asy’ari (NPM : 07.2.00.1.15.08.0102) dengan


judul “ EKSPRESI GAYA BAHASA SINEKDOKE DALAM AL-QUR’AN “
telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis, 27
Agustus 2009, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran serta rekomendasi dari
Tim Penguji Tesis.

TIM PENGUJI

Ketua Sidang / Penguji, Pembimbing / Penguji

Dr. H. Udjang Tholib, MA. Dr. Ahmad Dardiri, MA.

Penguji, Penguji,

Prof. Dr. H. Chatibul Umam Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA.

3
ABSTRAK

Tesis ini membuktikan bahwa, relasi antara makna haqîqî suatu kata
dengan makna majâzînya dalam semua bentuk uslûb majâzî itu tidak bisa
dipisahkan. Hal ini disebabkan, karena dengan adanya relasi dan indikator itu,
makna suatu kata dapat dialihkan kepada makna majâzî. Peralihan makna haqîqî
(denotasi) ke dalam makna majâzî (konotasi) ini karena dipengaruhi oleh dua hal
yaitu : pertama, adanya relasi (alâqat) antara sebagian (juz’) dengan keseluruhan
(kull) atau antara keseluruhan (kull) dengan sebagian (juz’), kedua, dipengaruhi
oleh adanya indikator (qarînat) baik indikator tekstual (lafzhiyyat) yakni
keterangan yang diberikan dalam bentuk lafazh atau kalimat, maupun indikator
kontekstual (‘aqliyyat atau hâliyyat) yang dapat dipahami melalui pemikiran akal
dan logisnya hubungan sebuah kalimat.
Penelitian yang penulis lakukan, pada dasarnya membantah opini yang
digulirkan oleh Muhammad Mutawallî al-Sya‘râwî (W.1419H./1998M.) yang
mengatakan bahwa hukum-hukum agama yang ada dalam al-Qur’an itu
diturunkan dengan sempurna dan jelas, tidak ada kerancuan, penambahan, dan
perubahan, dan Muhammad Nûr al-Dîn al-Munajjid yang menyatakan bahwa
setiap kata dalam al-Qur’an itu mengandung makna tersendiri dan tidak
mengandung makna yang bermacam-macam. Penelitian ini sekaligus memperkuat
pendapat yang dikemukakan oleh Sya’bân Muhammad Ismâ’il dalam bukunya al-
Qirâ’at Ahkâmuhâ wa Masdâruhâ yang memberikan kontribusi pemikiran bahwa
bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab fushhâ yang mengandung banyak arti
(ma’na musytarak) serta pendapat Muhammad al-‘Ubaidân al-Qathîfî yang
mengatakan bahwa munculnya perbedaan penafsiran yang dilakukan oleh para
mufassir salah satu penyebabnya adalah karena adanya kata yang tidak jelas
maknanya dalam al-Qur’an.
Adapun data primer yang diteliti dalam tesis ini adalah ayat-ayat al-Qur’an
yang mengadung gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu
al-juz’iyyat) dan sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-
kulliyyat), yang dalam hal ini penulis batasi pada bidang teologi, shalat, pahala
(ajr) dan hukuman (‘adzâb), hukum (syarî’at), dan ilustrasi mengenai orang-orang
kafir atau munafik. Sementara sumber primer yang dipakai adalah Tafsîr al-
Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl
karya al-Zamakhsyarî. Untuk membaca sumber tersebut, penulis menggunakan
pendekatan content analysis dengan cara mengklasifikasi bidang-bidang tertentu
yang diekspresikan dengan menggunakan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto
(majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) maupun totum pro parte (majâz mursal
‘alâqatuhu al-kulliyyat). Untuk mengetahui relasi makna haqîqî suatu kata dengan
makna majâzinya serta keistimewaan nilai Balâghatnya dipergunakan pendekatan
ilmu Bayân.

4
ABSTRACT

The Thesis proves the relationship between actual meaning and


metaphorical meaning of a word in all metaphorical style (uslûb majâzî) can not
be separated. Using connection and indicator, the meaning of the word can be
replaced into metaphorical meaning. The meaning shift from actual meaning (al-
ma'nâ al-haqîqî) to metaphorical meaning caused by two factors; the first there is
a connection ('alâqat) between the particular (juz’î) and the general aspects (kullî)
or the reverse. There are indicators (qarînat), both explicit indicator (lafzhiyyat)
and implicit or contextual indicator (‘aqliyyat or haliyyat). The explicit indicator
is the words or sentence that indicate the thrue meaning of a narration, and the
explicit or contextual meaning is the meaning that can be grasped through the
logical or reasoning in sentence connection.
Basically, the research against the opinion of Muhammad Mutawalli al-
Sya’rawî’s (D.1419H./1998M.) who stated that the Islamic law which al-Qur’an
contains is comprehensive and clear, there is no ambiguity, no addition, no
change. The research also refuses Muhammad Nur al-Din al-Munajjid’s opinion
who stated that every word in the Qur’an contains distinctive meaning and does
not bring plural meaning. However the research supports Sya’ban Muhammad
Ismail’s opinion in his book entitled al-Qirâ’at Ahkamuha wa Mashdâruhâ who
argued that the language of Holy Qur’an is classical Arabic (fushâ’) that contains
many meanings and supports Muhammad al-Ubaidillah al-Qathifi’s opinion who
said that the emerging of difference of opinion in Qur’anic interpretasion is
caused by the existence of word ambiguity in holy Qur’an.
The primary data of the research are the verses of Holy Qur’an that contain
sinekdoke pars pro toto style (majaz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) and
sinekdoke totum pro parte style (majaz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyat). The
research limited in theological field, shalat, reward (ajr), punishment (‘adzâb),
Islamic law (syarî’at), and illustrations about infidel and hypocrite people. The
primary source of research is Tafsîr al-Kassyâf ‘an Haqâiq Ghiwâmidl al-Tanzîl
wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl Written by al-Zamakhsyarî. The source is
read using content analysis, wich are classification of some special field that
expressed in holy qur’an using both sinekdoke pars pro toto style (majâz mursal
‘alâqatuhu al-juz’iyyat) and totum pro parte style (majâz mursal ‘alâqatuhu al-
kulliyat). The research uses ilmu Bayan or rhetoric approach to understand the
actual and metaphorical meaning of word and the eloquence composition of word.

5
‫ﻤﻠﺨﺹ ﺍﻝﺒﺤﺙ‬

‫ﺘﻭﺼل ﺍﻝﺒﺎﺤﺙ ﺒﻌﺩ ﺍﻝﺒﺤﺙ ﺍﻝﻁﻭﻴل ﻋﻥ ﺃﻨﻪ ﻻ ﻴﻤﻜﻥ ﺍﻝﻔﺼل ﺒﻴﻥ ﺍﻝﻤﻌﻨﻰ ﺍﻝﺤﻘﻴﻘﻰ‬
‫ﺍﻝﻤﺠﺎﺯﻯ‪ .‬ﻭﺫﺍﻝﻙ ﻷﻥ ﻝﻬﺎ ﻋﻼﻗﺎﺕ ﻭﺍﻝﻤﻌﻨﻰ ﺍﻝﻤﺠﺎﺯﻯ ﻓﻰ ﺍﻝﻜﻠﻤﺎﺕ ﺍﻝﺘﻰ ﺘﺤﺘﻭﻯ ﻋﻠﻰ ﺍﻝﻤﻌﻨﻰ‬
‫ﻭﻗﺭﺍﺌﻥ ﺘﻐﻴﺭ ﺍﻝﻠﻔﻅ ﺍﻝﻤﻌﻴﻥ ﺇﻝﻰ ﺍﻝﻤﻌﻨﻰ ﺍﻝﻤﺠﺎﺯﻯ‪ .‬ﻓﺘﻐﻴﻴﺭﺍﻝﻤﻌﻨﻰ ﺍﻝﺤﻘﻴﻘﻰ ﺇﻝﻰ ﺍﻝﻤﻌﻨﻰ‬
‫ﺍﻝﻤﺠﺎﺯﻯ ﺘﻜﻭﻥ ﺒﺴﺒﺒﻴﻥ ‪ :‬ﺃﻷﻭل ﻭﺠﻭﺩ ﺍﻝﻌﻼﻗﺔ ﺒﻴﻥ ﺍﻝﺠﺯﺌﻴﺔ ﻭﺍﻝﻜﻠﻴﺔ ﺃﻭﺍﻝﻌﻜﺱ‪ .‬ﻭﺍﻝﺜﺎﻨﻰ‬
‫ﻭﺠﻭﺩ ﺍﻝﻘﺭﺍﺌﻥ ﻤﻠﻔﻭﻅﺔ ﻜﺎﻨﺕ ﺃﻭ ﻤﻠﺤﻭﻅﺔ ﻤﺜل ﺍﻝﻘﺭﻴﻨﺔ ﺍﻝﺤﺎﻝﻴﺔ ﺃﻭﺍﻝﻌﻘﻠﻴﺔ‪ .‬ﻓﺎﺍﻝﻘﺭﻴﻨﺔ ﺍﻝﻤﻠﻔﻭﻅﺔ‬
‫ﻫﻲ ﺍﻝﺒﻴﺎﻥ ﻋﻥ ﺃﻱ ﻝﻔﻅ ﻤﺒﻬﻡ ﻤﻌﻴﻥ ﺃﻭ ﺠﻤﻠﺔ ﻤﺒﻬﻤﺔ ﻤﻌﻴﻨﺔ ﺒﺎﻝﻠﻔﻅ ﺍﻻﺨﺭﺃﻭﺒﺎﻝﺠﻤﻠﺔ ﺍﻷﺨﺭﻯ‬
‫ﺍﻝﻤﺒﻴﻨﺔ ﻝﻠﻤﻌﻨﻰ ﺍﻝﻤﻘﺼﻭﺩ‪ .‬ﻭﺍﻝﻘﺭﻴﻨﺔ ﺍﻝﺤﺎﻝﻴﺔ ﺃﻭ ﺍﻝﻌﻘﻠﻴﺔ ﻫﻲ ﺍﻝﻔﻬﻡ ﻋﻥ ﻋﻼﻗﺔ ﺍﻝﻠﻔﻅ ﻭﺍﻝﺠﻤﻠﺔ‬
‫ﻋﻠﻰ ﺴﺒﻴل ﺍﺴﺘﺨﺩﺍﻡ ﺍﻝﻌﻘل ﻭﺍﻝﻤﻨﻁﻕ‪.‬‬
‫ﻓﻬﺫﺍ ﺍﻝﺒﺤﺙ ﻴﺨﺎﻝﻑ ﻋﻠﻰ ﺍﻝﺭﺃﻱ ﺍﻝﺫﻯ ﺫﻫﺏ ﺇﻝﻴﻪ ﻤﺤﻤﺩ ﻤﺘﻭﻝﻰ‬
‫ﺤﻴﺙ ﻗﺎل ﺇﻥ ﺠﻤﻴﻊ ﺍﻝﻘﻴﻡ ﺍﻝﺩﻴﻨﻴﺔ ﺍﻝﺘﻰ ﺍﺤﺘﻭﻯ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺍﻝﻘﺭﺃﻥ )‪(W.1419H./1998M.‬ﺍﻝﺸﻌﺭﺍﻭﻯ‬
‫ﻨﺯﻝﺕ ﻜﺎﻤﻠﺔ ﻭﻭﺍﻀﺤﺔ ﻻ ﺯﻴﺎﺩﺓ ﻭﻻ ﺘﻐﻴﺭﺍ‪ .‬ﻭﻜﺫﺍﻝﻙ ﻤﺎ ﺫﻫﺏ ﺇﻝﻴﻪ ﻤﺤﻤﺩ ﻨﻭﺭﺍﻝﺩﻴﻥ ﺍﻝﻤﻨﺠﺩ‬
‫ﺤﻴﺙ ﻗﺎل ﺇﻥ ﻝﻜل ﺃﻝﻔﺎﻅ ﺍﻝﻘﺭﺃﻥ ﺍﻝﻤﻌﻨﻰ ﺍﻝﻤﻔﺭﺩ ﻭﻻ ﺘﺤﺘﻭﻯ ﺍﻝﻤﻌﺎﻨﻰ ﺍﻝﻤﺘﻌﺩﺩﺓ‪ .‬ﻭﻫﺫﺍ ﺍﻝﺒﺤﺙ ﺃﻴﺩ‬
‫ﺭﺃﻱ ﺸﻌﺒﺎﻥ ﻤﺤﻤﺩ ﺇﺴﻤﺎﻋﻴل ﻓﻰ ﻜﺘﺎﺒﻪ "ﺍﻝﻘﺭﺍﺀﺍﺕ ﺃﺤﻜﺎﻤﻬﺎ ﻭﻤﺼﺎﺩﺭﻫﺎ" ﺤﻴﺙ ﺭﺃﻯ ﺃﻥ ﻝﻐﺔ‬
‫ﺍﻝﻘﺭﺃﻥ ﻫﻲ ﺍﻝﻠﻐﺔ ﺍﻝﻔﺼﺤﻰ ﺍﻝﺘﻰ ﺘﺤﺘﻭﻯ ﺍﻝﻤﻌﺎﻨﻰ ﺍﻝﻤﺸﺘﺭﻜﺔ ﻭﺍﻝﻤﺘﻌﺩﺩﺓ ﻭﻜﻤﺎ ﺍﻴﺩ ﺍﻝﺒﺤﺙ ﺭﺃﻯ‬
‫ﻤﺤﻤﺩ ﻋﺒﻴﺩﺍﻥ ﺍﻝﻘﺎﻁﻔﻰ ﺍﻝﺫﻯ ﺫﻫﺏ ﺇﻝﻰ ﺃﻥ ﻅﻬﻭﺭ ﺍﻹﺨﺘﻼﻓﺎﺕ ﺤﻭل ﺍﻝﻤﻔﺴﺭﻴﻥ ﻓﻰ ﺘﻔﺴﻴﺭ‬
‫ﺃﻴﺎﺕ ﺍﻝﻘﺭﺃﻥ ﺼﺎﺩﺭﺓ ﻋﻥ ﻭﺠﻭﺩ ﺍﻝﻠﻔﻅ ﺃﻭﺍﻝﺠﻤﻠﺔ ﺍﻝﻤﺘﺸﺎﺒﻬﺔ ﻤﻌﻨﺎﻫﺎ‪.‬‬
‫ﻭﺍﻝﻤﻌﻁﻴﺎﺕ ﺍﻷﺴﺎﺴﻴﺔ ﻝﻬﺫﺍ ﺍﻝﺒﺤﺙ ﻫﻲ ﺍﻴﺎﺕ ﺍﻝﻘﺭﺃﻥ ﺍﻝﺘﻰ ﺘﺤﺘﻭﻯ ﻋﻠﻰ ﻤﻌﻨﻰ ﺍﻝﻤﺠﺎﺯ‬
‫ﻭﺍﻝﻤﺠﺎﺯ ﺍﻝﻤﺭﺴل ﺍﻝﺫﻯ ﻝﻪ )‪ (sinekdoke pars pro toto‬ﺍﻝﻤﺭﺴل ﺍﻝﺫﻯ ﻝﻪ ﺍﻝﻌﻼﻗﺔ ﺒﺎﻝﺠﺯﺌﻴﺔ‬
‫‪ .‬ﻭﻨﻅﺭ ﻝﻀﻴﻕ ﺍﻝﻭﻗﺕ ﺤﺩﺩ ﺍﻝﺒﺎﺤﺙ ﺍﻝﺒﺤﺙ )‪ (sinekdoke totum pro parte‬ﺍﻝﻌﻼﻗﺔ ﺒﺎﻝﻜﻠﻴﺔ‬
‫ﺤﻭل ﺍﻻﻴﺎﺕ ﺍﻝﻤﺘﻌﻠﻘﺔ ﺒﺎﻝﻌﻘﻴﺩﺓ ﻭﺍﻝﻌﺒﺎﺩﺓ ﻭﺍﻷﺠﺭ ﻭﺍﻝﻌﺫﺍﺏ ﻭﺍﻝﺸﺭﻴﻌﺔ ﻭﺍﺤﻭﺍل ﺍﻝﻜﻔﺎﺭ‬
‫ﻭﺍﻝﻤﻨﺎﻓﻘﻴﻥ‪ .‬ﻭﺍﻝﻤﺼﺩﺭ ﺍﻷﺴﺎﺴﻰ ﻝﻬﺫﺍ ﺍﻝﺒﺤﺙ ﻫﻭ ﺘﻔﺴﻴﺭﺍﻝﻜﺸﺎﻑ ﻋﻥ ﺤﻘﺎﺌﻕ ﻏﻭﺍﻤﺽ ﺍﻝﺘﻨﺯﻴل‬
‫ﻝﻠﺯﻤﺨﺸﺭﻯ‪ .‬ﻭﺍﻝﻤﺩﺨل ﺍﻝﻤﺴﺘﺨﺩﻡ ﻓﻰ ﺍﺴﺘﻜﺸﺎﻑ ﺍﻝﻤﺼﺎﺩﺭ ﺍﻝﺘﺄﻭﻴل ﻭﺠﻭﻩ ﻭﻋﻴﻭﻥ ﺍﻻﻗﺎﻭل ﻓﻰ‬
‫ﻭﺍﻝﻤﻌﻁﻴﺎﺕ ﻫﻭﻤﺩﺨل ﺘﺤﻠﻴل ﺍﻝﻤﻀﻤﻭﻥ ﺒﺠﻤﻊ ﺍﻷﻴﺎﺕ ﺍﻝﺘﻰ ﺘﺤﺘﻭﻯ ﻋﻠﻰ ﻤﻌﻨﻰ ﺍﻝﻤﺠﺎﺯ‬
‫ﺃﻭﺍﻝﻌﻜﺱ‪ .‬ﻭﻝﻘﺩ ﺍﺴﺘﻌﺎﻥ )‪(sinekdoke pars pro toto‬ﺍﻝﻤﺭﺴل ﺍﻝﺫﻯ ﻋﻼﻗﺘﻪ ﺍﻝﺠﺯﺌﻴﺔ ﺃﻭﺍﻝﻜﻠﻴﺔ‬
‫ﺍﻝﺒﺎﺤﺙ ﺒﻌﻠﻡ ﺍﻝﺒﻴﺎﻥ ﻓﻰ ﻋﻤﻠﻴﺔ ﺍﻝﺒﺤﺙ ﻝﻤﻌﺭﻓﺔ ﺍﻝﻌﻼﻗﺔ ﺒﻴﻥ ﺍﻝﻤﻌﻨﻰ ﺍﻝﺤﻘﻴﻘﻲ ﻭﺍﻝﻤﺠﺎﺯﻯ ﻓﻰ‬
‫ﺍﻝﻠﻔﻅ ﺍﻝﻤﻌﻴﻥ ﻭﻤﻤﻴﺯﺍﺘﻪ ﺍﻝﺒﻼﻏﻴﺔ‪.‬‬

‫‪6‬‬
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah yang Maha Berilmu menjadi sebuah
ungkapan wajib yang terpatri dalam hati sanubari penulis. Dialah yang telah
memberi potensi-potensi dasar kecerdasan, pemberi rizki, pemotivasi daya-daya
jiwa yang kalamnya selalu terbuka untuk dikaji oleh siapa pun. Berkat bimbingan
dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan salam
penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW penyampai risalah Allah yang
karakternya patut untuk diteladani oleh umatnya.
Di samping itu, tesis ini tidak mungkin terealisir tanpa ada bantuan dan
support dari berbagai pihak yang terlibat. Karena itu, perkenanlah penulis
mengungkapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada mereka yang telah
membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Kepada bapak
Mentri Agama RI, Kepala Kantor Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah,
Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Brebes, dan Kepala MTs Negeri
Model Brebes penulis sampaikan terima kasih atas kesempatan dan dukungan
finansialnya untuk menimba ilmu di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta guna peningkatan SDM dan
profesionalitas penulis.
Selanjutnya rasa terima kasih ini penulis sampaikan kepada Prof. Dr.
Komarudin Hidayat, MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
dengan keuletan dan rasa tanggung jawabnya telah membawa Universitas Islam
Negeri ini setahap demi setahap sejajar dengan perguruan tinggi lainnya yang
sudah progressif, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dan Deputinya yang selalu berusaha dalam
memberdayakan lembaga kebanggaan ini dengan meningkatkan mutu para lulusan
melalui karya ilmiah yang dapat dibanggakan, staf pengajar yang telah
menaburkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya kepada penulis sebagai bekal
penulis saat kembali ke tengah-tengah masyarakat yang komplek demi tugas
pengabdian yang telah diembankan, serta tenaga administrasi yang telah
membantu fasilitas perkuliahan di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

7
Kepada Dr. Ahmad Dardiri, MA. selaku pembimbing tesis ini, yang
dalam kepadatan aktivitas intelektualnya serta aktivitas sosialnya, beliau
senantiasa memberikan peluang waktu kepada penulis dengan sanubari yang tulus
untuk berkonsultasi, memberikan pencerahan, bimbingan, dan arahan hingga
karya ilmiah ini selesai. Kepadanya, penulis sampaikan terima kasih yang tulus
dan penghargaan yang tinggi.
Teruntuk Ibunda Hj. Nur Asyiah, isteriku dan ketiga buah hati penulis;
Zidna Rahmatika, Haki Alfatikh, Diva Abelia, dan kakak serta adik penulis,
spesial buat kakanda Drs. H. Ruslan Abdul Ghani dan Hj. Siti Rahmah, S.Ag.
Kepada mereka penulis sampaikan terima kasih tak terhingga atas support ,
bantuan, do’a dan restu kepada penulis. Do'a dari mereka merupakan kekuatan
dan keyakinan bagi penulis dalam menghadapi setiap tantangan yang
menghadang. Teriring do’a untuk ayahnda tercinta H. Nur Hasyim (alm.) semoga
selalu mendapat rahmat dan maghfirat Allah.
Apresiasi juga penulis sampaikan kepada teman-teman di majlis dirasat
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan sahabat-sahabat
program beasiswa Departemen Agama angkatan 2007 dari Pendidikan Bahasa
Arab (PBA) dan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang merupakan duta-duta dari
berbagai propinsi se-Indonesia yang senantiasa memberikan semangat dan waktu
untuk berdiskusi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai karya
ilmiah akhir guna memperoleh gelar Magister Agama pada Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Akhirnya, penulis persembahkan karya ilmiah ini kepada almamater
tercinta dan mereka yang berkonsentrasi pada Pendidikan Bahasa Arab (PBA)
dengan harapan semoga tesis ini dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis
dan menambah wawasan keilmuan dalam khazanah masyarakat ilmiah bagi
pengembangan kajian susastra al-Qur’an. Amin.
Jakarta, 17 Agustus 2009
Penulis,

Hasyim Asy’ari

8
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

I. KONSONAN
ARAB LATIN ARAB LATIN

‫ء‬ ' ‫ط‬ TH


‫ب‬ B ‫ظ‬ ZH
‫ت‬ T ‫ع‬ '
‫ث‬ TS ‫غ‬ GH
‫ج‬ J ‫ف‬ F
‫ح‬ H ‫ق‬ Q
‫خ‬ KH ‫ك‬ K
‫د‬ D ‫ل‬ L
‫ذ‬ DZ ‫م‬ M
‫ر‬ R ‫ن‬ N
‫ز‬ Z ‫و‬ W
‫س‬ S ! H
‫ش‬ SY ‫ي‬ Y
‫ص‬ SH ‫ة‬ T
‫ض‬ DL - -

II. VOKAL PENDEK


_َ_ = a
__ = i
__ = u

III. VOKAL PANJANG


‫_َ_ ا‬ = â
‫= __ ى‬ î
‫= _ُ_ و‬ û

9
IV. DIFTONG
‫= _َ_ و‬ au
‫= _َ_ ي‬ ai
V. PEMBAURAN
‫ال‬ = al
-.‫= ا‬ al-Sy
‫= وال‬ wa al-

KETERANGAN :
Transliterasi yang penulis gunakan dalam penelitian tesis ini
berdasarkan pedoman transliterasi Arab-Latin yang tercantum dalam buku :
Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Kajian Islam tahun 2007 /
2008, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.

10
SINGKATAN

Cet. : Cetakan
dkk. : dan kawan-kawan
H. : Tahun Hijriyah
hlm. : Halaman
M. : Tahun Masehi
Q.S. : al-Qur’an Surat
SAW : Shalla Allâh ‘alaihi wa Sallam
SWT : Subhânahu wa Ta’âlâ
T.Th. : Tanpa Tahun
TTP : Tanpa Tempat Penerbit
TP : Tanpa Penerbit

11
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………….………… I


SURAT PERNYATAAN ……………………………………………….………… ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………………………… iii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI …………………………………………………. iv
ABSTRAK………………………………………………………………………… v
ABSTRACT………………………………………………………………............. vi
‫……………………………ﻤﻠﺨﺹ ﺍﻝﺒﺤﺙ‬...………………………………............... vii

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. ix

PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………………………. x

SINGKATAN-SINGKATAN ……………………………………………............ xii

DAFTAR ISI …………………………………….………………………......... xiii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………...………… 1
B. Identifikasi Masalah…………………………………................... 12
C. Batasan dan Perumusan Masalah ……...……………................... 12
D. Kajian Terdahulu …………………………………….................. 13
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian …………………..…………… 15
F. Metodologi Penelitian ………………………...…………........... 17
G. Sistematika Pembahasan ………………………...……………… 20

BAB II STILISTIK DALAM AL-QUR’AN


A. Stilistik dan Estetika ................................................................... 22
B. Gaya Bahasa Al-Qur’an ............................................................. 27
C. Unsur Gaya Bahasa …………………………………................. 41
D. Gaya Bahasa Sinekdoke …………………………….................. 46
1. Sinekdoke Pars Pro Toto (Majâz Mursal ‘Alâqatuhu al-
Juz’iyyat) ……………………………………………………. 47

12
2. Sinekdoke Totum Pro Parte (Majâz Mursal ‘Alâqatuhu al-
Kulliyyat) …………………...…............................................ 50
E. Kriteria Gaya Bahasa Sinekdoke …………….…………........... 50

BAB III GAYA BAHASA SINEKDOKE PARS PRO TOTO


DALAM AL-QUR’AN
A. Gaya Bahasa Sinekdoke Pars Pro Toto (Majâz Mursal
‘Alâqatuhu al-Juz’iyyat) pada Ayat-Ayat Makkiyyat ….......... 54
B. Gaya Bahasa Sinekdoke Pars Pro Toto (Majâz Mursal
‘Alâqatuhu al-Juz’iyyat) dan Relasi Maknanya
1. Bidang Teologi ……………………………………….…..… 59
2. Bidang Shalat ……………………………………………….. 70
3. Bidang Pahala (Ajr) dan Hukuman (‘Adzâb) …….................. 99

BAB IV GAYA BAHASA SINEKDOKE TOTUM PRO PARTE


DALAM AL-QUR’AN
A. Gaya Bahasa Sinekdoke Totum Pro Parte (Majâz Mursal
‘Alâqatuhu al-Kulliyyat) pada Ayat-Ayat Madaniyyat………. 117
B. Gaya Bahasa Sinekdoke Totum Pro Parte (Majâz Mursal
‘Alâqatuhu al-Kulliyyat) dan Relasi Maknanya
1. Bidang Hukum (Syarî’at) …................................................... 121
2. Bidang ilustrasi Orang-Orang Kafir dan Munafik .................. 139

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 157
B. Saran dan Implikasi Penelitian..................................................... 160

DAFTAR PUSTAKA

13
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penulisan tesis ini terilhami oleh adanya kontroversi pendapat mengenai
eksistesi majâz dalam al-Qur’an. Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî
(W.1419H./1998M.) yang mengatakan bahwa : hukum-hukum agama yang ada
dalam al-Qur’an diturunkan dengan sempurna dan jelas, tidak ada kerancuan,
penambahan, perubahan, dan ambiguitas yang dapat menimbulkan banyak
interpretasi.1 Pendapat ini juga didukung oleh Muhammad Nûr al-Dîn al-
Munajjid,beliau mengatakan bahwa setiap kata dalam al-Qur’an mempunyai suatu
makna tersendiri dan tidak akan mengandung makna yang lain, karena jika satu
kata mengandung makna yang beraneka ragam maka hal itu akan menyebabkan
terjadinya banyak penafsiran dalam al-Qur’an.2
Padahal realitasnya, jika ditinjau dalam perspektif ilmu Bayân argumentasi
yang mereka paparkan itu sesungguhnya tidak bisa diterima begitu saja. Sebab
sebuah kata itu tidak selamanya memiliki makna haqîqî, ia bisa berubah menjadi
makna majâzî jika terdapat relasi antara makna haqîqî suatu kata dengan makna
majâzinya serta adanya indikator yang menolak makna haqîqî (denotasi)nya.
Sya’bân Muhammad Ismâ’il dalam bukunya al-Qirâ’at Ahkâmuhâ wa
Mashâdiruhâ memberikan kontribusi pemikiran bahwa bahasa al-Qur’an adalah
bahasa Arab fushhâ yang mengandung banyak arti (ma’nâ musytarak).3 Senada
dengan pendapat di atas, Muhammad al-‘Ubaidân al-Qathîfî yang membahas
tentang munculnya perbedaan penafsiran yang dilakukan oleh para mufassir salah

1
. Muhammad Mutawallî al-Sya‘râwî, Mu’jizat al-Qur’ân, (Kairo: al-Mukhtâr al-Islâmî,
1978), hlm. 39.
2
. Muhammad Nûr al-Dîn al-Munajjid, al-Isytirâk al-Lafzhi fî al-Qur’ân al-Karîm baina
al-Nazhariyyat wa al-Tathbîq, (Damaskus : Dâr al-Fikr, 1998), hlm. 274.
3
. Ma’na musytarak adalah suatu kata yang memiliki arti lebih dari satu, seperti kata al-
‘Ain yang menunjukkan makna mata, mata air, mata uang, mata-mata, pencuri. Lihat Sya’bân
Muhammad Ismâ’il, al-Qirâ’at Ahkâmuhâ wa Mashâdiruhâ, (Kairo: Dâr al-Salâm, 1986), hlm.
40-41. Lihat juga Muhammad Syarîf al-Jurjânî, Kitâb al-Ta’rîfât, (Kairo: Dâr al-Rosyâd, 1991),
hlm. 52. Lihat juga Samit ‘Athif Zain, Ushûl al-Fiqh al-Muyassar al-Muqaddimat li al-Mausû’at
al-Ahkâm al-Syarî’at fî al-Kitâb wa al-Sunnat, (Beirut: Dâr al-Kitâb, 1990), hlm. 51-52.

14
satu sebabnya adalah karena adanya kata yang tidak jelas maknanya dalam al-
Qur’an.4 Dengan demikian sebuah kata dalam al-Qur’an tidak hanya
menunjukkan makna haqîqî saja, tetapi bisa juga menunjukkan makna majâzî
dengan indikator tertentu yang melatarbelakanginya.
Di kalangan para ulama memang terjadi polemik mengenai makna majâzî
dalam al-Qur’an. Jumhur ulama berpendapat bahwa makna majâzî terdapat dalam
al-Qur’an. Namun, ada juga segolongan ulama yang tidak mengakui hal tersebut.
Beberapa sarjana kontemporer5 telah menetapkan bahwa, secara historis
setidaknya ada tiga kelompok berbeda yang memposisikan lafal majâz sebagai
lawan dari haqîqat. Al-Jâhiz (W.255H./868M.) adalah sarjana pertama yang
memahami majâz6 secara substansial sebagai lawan dari haqîqat, meskipun jika
dibandingkan dengan penerusnya seperti al-Qâdli ‘Abd al-Jabbâr
(W.417H./1026M.) atau ‘Abd al-Qâhir al-Jurjânî (W.471H./1078M.), bahasan al-
Jâhiz belum begitu sistematis. Tiga kelompok yang dimaksud adalah : pertama,
Mu’tazilah, yang secara dogmatis ajarannya banyak bersinggungan dengan majâz.
Mereka menjadikan majâz sebagai senjata untuk memberikan interpretasi
terhadap teks-teks yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka. Kedua,

4
. Muhammad al-‘Ubaidân al-Qathîfî, Durûs fî Tafsîr al-Qur’an al-Karîm: al-Tafsîr wa
al-Ta’wîl, http://www.obaidan.org/newx78.htm.
5
. Sarjana kontemporer tersebut menurut M. Nur Kholis Setiawan diantaranya adalah
Zaghlûl Salâm penulis kitab Âtsâr al-Qur’ân fî Tathawwur al-Naqdi al-‘Arabî ilâ Qarn al-Râbi’
al-Hijrî dan Nashr Hâmid Abû Zaid penulis kitab Isykâliyyât al-Qirâ’at wa ‘Aliyyât al-Ta’wîl.
Lihat M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2005), hlm. 181.
6
. Menurut Imâm Sibawaih (W.180 H./796M.), tokoh gramatikal legendaries, mengatakan
bahwa majâz merupakan seni bertutur yang memungkinkan terjadinya perluasan makna (sâ’atun fî
al-kalâm). Lihat Sibawaihi, Kitâb Sibawaih, Jilid I, (Ed.) ‘Abd al-Salam Muhammad Hârûn,
(Kairo: Maktabat al-Khânjî,1988), hlm. 222. Ibnu Jinni (W.392H./1002M.) tokoh yang
menetapkan teori etimologi (al-Isytiqâq al-akbar) mengatakan bahwa majâz adalah setiap kata
yang maknanya beralih karena satu lain hal ke makna yang lainnya. Lihat Abû al-Fath ‘Utsmân
Ibnu Jinni, Al-Khashâish âla Ushûl al-‘Arabiyyat, Jilid III, (ed) M. Rasyid Ridla, (Kairo: Dâr al-
Kitâb al-‘Araby, 1952), hlm. 754. Imam al-Sakkâkî berpendapat bahwa majâz adalah kata yang
digunakan bukan menurut arti aslinya tetapi digunakan untuk makna yang lain dengan disertai
adanya relasi (qarînat) yang memalingkan arti kata tersebut dari makna asalnya. Lihat Abû
Ya’qûb Yusûf ibn Abî Bar Muhammad ibn ‘Ali al-Sakkâkî, Miftâh al-‘Ulûm, (Beirut: Dâr al-
Kutub, al-‘Ilmiyyat, 1987), hlm. 358-359.

15
Zhâhiriyah7, kelompok yang menolak eksistensi majâz baik dalam bahasa secara
keseluruhan maupun dalam al-Qur’an, dan sebagai konsekuensinya ia juga
menolak adanya ta’wîl. Pada intinya mereka menentang dengan keras pemahaman
terhadap teks yang melampaui bahasa. Ketiga, Asy’ariyah, kelompok yang
mengakui adanya majâz dalam kondisi tertentu dan di bawah persyaratan yang
begitu ketat.8
Awal mula kontroversi pendapat berkenaan dengan eksistensi mâjaz
dalam al-Qur’an menurut Nashr Hâmid Abû Zaid (L. 1943 M.) adalah karena
adanya perbedaan analisis dan kesimpulan mengenai asal-usal bahasa. Kalangan
Mu’tazilah berkeyakinan bahwa bahasa semata-mata merupakan penemuan dan
kuasa manusia. Sementara Zhâhiriyah memiliki keyakinan bahwa bahasa
merupakan pemberian dari Tuhan. Sedangkan kelompok Asy’ariyah menyatakan
bahwa bahasa memang merupakan kreativitas umat manusia, akan tetapi tidak
bisa dipungkiri bahwa Tuhan pun berperan dalam memberikan kemampuan umat
manusia.9 Perbedaan mengenai asal-usul bahasa memberikan pengaruh kepada
diskursus bahasa al-Qur’an, terutama di dalamnya pertanyaan mengenai eksistensi
majâz dalam al-Qur’an.
Ibn Qutaibat (W.276H./889M.) seorang teolog yang beraliran sunni dan
sekaligus kritikus sastra, menolak pendapat yang mengatakan tidak ada majâz
dalam bahasa, lebih khusus lagi bahasa al-Qur’an. Ibn Qutaibat menyatakan
bahwa penolakan terhadap eksistensi majâz dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa
mayoritas ungkapan dan kalimat dalam al-Qur’an merupakan kebohongan belaka,
karena bukan pengertian veritatif atau yang sesungguhnya.10 Statemen ini juga
dipertegas oleh al-Suyûthî (W.911H./1505 M.) yang mengatakan bahwa apabila
majâz tidak terdapat dalam al-Qur’an, ia akan kehilangan separuh dari keindahan
al-Qur’an. Bukankah para sastrawan telah sepakat bahwa majâz itu lebih indah

7
. Mereka adalah kaum phenomentalis yakni ahli al-Zhâhir yakni para pengikut Dâwûd
ibn ‘Alî ibn Khallâf yang terkenal dengan sebutan al-Zhâhirî. Lihat Shubhî al-Shâlih, Mabâhits fî
‘Ulûm al-Qur’ân, Cet. ke-9, (Beirut: Dâr al-‘Ilm, 1977), hlm. 329.
8
. Lihat Shubhî al-Shâlih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Cet. ke-9, hlm. 329.
9
. M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 181.
10
. Ibn Qutaibah, Ta’wîl Musykil al-Qur’ân, (Kairo: TP., 1973), hlm. 99-100.

16
dari pada makna haqîqat.11 Dengan demikian meniadakan majâz dalam al-Qur’an
sama halnya dengan meniadakan keindahan bahasa al-Qur’an. Padahal dari segi
diksi yang tepat, struktur kalimat yang tepat pula, dan makna yang sarat yang
dipakai dalam al-Qur’an, merupakan sebagian dari i’jâz al-Qur’an itu sendiri.
Pembahasan dan diskusi mengenai majâz dalam al-Qur’an memberi pintu
masuk kepada dogma akan keunggulan i’jâz al-Qur’an. Salah satu aspek dari
dogma tersebut adalah pembahasan keunggulan al-Qur’an dari perspektif
struktural, stilistik dan semantik.12
Sejak awal abad ke-3 H, fenomena ketidakmampuan manusia untuk
menandingi keunggulan al-Qur’an baik dari segi makna maupun struktur ini
muncul dari literatur Islam dengan istilah i’jâz. Kemudian berkembang lagi
hingga ketika abad ini hampir mencapai ujungnya, kata i’jâz menjadi terminologi
ilmiah yang mengandung pengertian bahwa secara agama fenomena ini memang
merupakan mu’jizat13 dari Allah yakni sebagai bukti kenabian Muhammad dan
kewahyuan al-Qur’an.14 Berkaitan dengan i’jâz al-Qur’an Hafinî Muhammad
Syaraf berpendapat bahwa di akhir abad ke-2 H, tampak segolongan para
sastrawan semisal Ibn al-Muqaffa’, Basyar ibn Barud, Shaleh ibn ’Abd al-Qudus,
dan ’Abd al-Hamid mulai timbul gagasan untuk mengkaji al-Qur’an mengenai
struktur dan gaya bahasanya.15 Dari sini muncullah pembahasan tentang
kemukjizatan al-Qur’an.

11
. Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz II, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyat, 2000), hlm. 71.
[[

12
. M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 196.
13
. Ulama memberikan pengertian tentang mu’jizat sebagai sesuatu yang ada di luar
kebiasaan manusia (khâriq li al-‘âdat) yang dapat menandingi musuh, dapat menyelamatkan
segala bentuk oposisi, yang hal itu merupakan pemberian Allah kepada rosul-Nya. Pendapat
mengenai definisi mu’jizat, lihat Mushthafâ Muslim, Mabâhits fî I’jâz al-Qur’ân, (Saudi Arabia:
Dâr al-Manârat, 1988), hlm. 14. Lihat Jalâludin Al-Suyûthî, Al-Ithqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
(Beirut: Dâr al-Fikri, 1987), hlm. 3-4. Lihat Muhammad ‘Abd al-Azhîm al-Zarqânî, Manâhil al-
‘Irfan fi Ulûm al-Qur’ân, Juz II, (Kairo : Dâr al-Salâm, 1424 H.), hlm. 66.
14
. Issa J. Boullata, I’jaz al-Qur’ân al-Karîm ‘Abra al-Târîkh, alih bahasa oleh Bachrum
dkk., Al-Qur’an yang Menakjubkan, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), hlm. 5.
15
. Hafinî Muhammad Syaraf, I’jâz al-Qur’ân al-Bayânî, (Lajnat ‘Ammât Li al-Qur’ân
wa al-Sunnat, 1970), hlm. 6.

17
Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa (figure of speech) yang khas.16 Ia tidak
dapat ditiru oleh siapapun. Jalinan huruf-hurufnya serasi, ungkapannya sangat
indah, uslûbnya17 manis, ayat-ayatnya teratur, dan sangat memperhatikan situasi
dan kondisi dalam berbagai macam gayanya.18
Nurcholish Madjid, budayawan muslim Indonesia mengatakan, salah satu
kemukjizatan al-Qur’an ialah ekspresi puitisnya yang sangat khas dan unik.
Kekhasan dan keunikan ekspresi puitisnya itu jelas sekali berkat digunakannya
bahasa Arab. Dengan perkataan lain, segi kemukjizatan al-Qur’an tidak mungkin
tanpa kemampuan tinggi bahasa Arab yang digunakan sebagai medium
ekspresinya.19 Kenyataannya benar, bangsa Arab tidak dapat berkutik untuk
menandingi ketinggian nilai sastra al-Qur’an.20 Hal ini dipertegas juga oleh Thib
Raya yang menyatakan bahwa ketinggian gaya bahasa (figure of speech) al-
Qur’an tidak dapat disaingi dan ditandingi oleh gaya bahasa yang sastrawan Arab
tampilkan.21
Ahli retorika Arab (Balâghat)22 mengatakan bahwa kemukjizatan al-
Qur’an setidaknya terletak pada tiga hal. Pertama, tantangan (al-tahaddî)23 untuk

16
. Muhammad Abdel Haleem, Understanding The Quran : Themes and Style, (London,
New York: I. B. Tauris, 2001), hlm. 10.
17
. Kata uslûb bentuk jamaknya adalah asâlîb yang secara sederhana dari segi semantik
dapat diartikan sebagai “cara, jalan, metode” atau “jalan yang terbentang“. Kata ini sepadan
dengan kata style dan figure of speech dalam bahasa Inggris. Menurut pengertian istilah, uslûb
berarti cara yang ditempuh oleh seseorang untuk mengungkapkan ide dan pikirannya yang
dituangkan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Dalam ilmu bahasa Indonesia istilah ini
dikenal dengan sebutan “ gaya bahasa atau majas “. Lihat Muhammad Hasan ‘Abd Allâh,
Muqaddimat fi al-Naqd al-Adabî, (Kuwait: Dâr al-Buhûts al-‘Ilmiyyat, 1975), hlm. 230.
18
. Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Riyadl: Mansyûrat al-‘Ashr al-
Hadîts, TT), hlm. 226. Lihat juga ‘Abd al-Rahmân Ibn Khaldûn, Muqaddimat Ibn Khaldûn,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1406 H.), hlm. 552.
19
. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Paramadina,
2000), hlm. 364.
20
. Yunus Ali al-Muhdar, H. Bey Arifin, Sejarah Kesusasteraan Arab, (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 1983), hlm. 20. Lihat juga ‘Abd al-Qâdir ‘Atha, ‘Azhamat al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-
Kutub al-‘Ilmiyyat, 1984), hlm. 55.
21
. Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa al-Qur’an Upaya Menafsirkan al-Qur’an
dengan pendekatan Kebahasaan, (Jakarta : Fikra, 2006), hlm. 32.
22
. Mereka yang termasuk dalam periode klasik ahli ilmu Balâghat di antaranya adalah al-
Jâhidz (W.255H./868M.), Abu Hasan al-Rummâni (W.386H./996M.), dan al-Qâdhi Abu Bakr al-
Bâqillânî (W.404H./1013M.). Lihat Mushthafâ Shâdiq al-Râfi'î, I'jâz al-Qur'ân wa al-Balâghat al-
Nabawiyyat, hlm. 181.
23
. Ayat-ayat yang menjelaskan perihal tantangan Allah (al-tahaddî) untuk menghasilkan
satu ayat atau satu surat semisal al-Qur'an terdapat dalam surat al-Baqarat:2:23, surat Yûnus

18
menciptakan kata ataupun kalimat yang sama dan senada dengan al-Qur’an.
Kedua, keselarasan mukjizat dengan kemampuan lawan bicara. Ketiga, sasaran
mukjizat yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.24 Argumentasi yang serupa
juga dilontarkan oleh Muhammad Arkoun bahwa karakter i’jâz yang murni yang
tak tersamai dari wacana Qur’ani, asal-usulnya terdapat dalam tantangan yang
dilancarkan berulang kali kepada bangsa Arab dengan menghasilkan suatu ujaran
yang begitu jelas, begitu koheren dan sarat makna.25
Berbagai kajian terhadap al-Qur’an hampir tak bisa dilepaskan dari
masalah kemukjizatannya, baik untuk membuktikan, mendukung maupun
menolaknya. Perdebatan seputar kemukjizatan al-Qur’an telah berlangsung sejak
masa awal pewahyuannya kepada Muhammad dan masyarakat Arab abad ke tujuh
masehi. Hadir di tengah-tengah masyarakat dengan tradisi dan kemampuan sastra
yang cukup tinggi, al-Qur’an menghadirkan nuansa kepuitikan yang berbeda
dengan yang umum berlaku di dalam berbagai karya sastra, terutama puisi ketika
itu. Namun demikian, gaya bahasa al-Qur’an yang unik dan khas itu tidak lantas
mengabaikan sama sekali konvensi sosial dan kultural penggunaan bahasa agar ia
dapat dipahami oleh manusia.26
Dari sini dapat dikatakan bahwa keunikan dan keistimewaan al-Qur’an
dari segi bahasa merupakan kemukjizatan utama dan pertama yang ditujukan
kepada masyarakat Arab lima belas abad yang lalu. Kemukjizatan yang
dihadapkan kepada mereka ketika itu bukan dari segi isyarat ilmiah al-Qur’an, dan
bukan pula segi pemberitaan gaibnya, karena kedua aspek ini berada di luar
pengetahuan dan kemampuan mereka bahkan mereka pun menyadari

:10:38, surat Hûd :11:13, surat al-Isrâ’ :17:88 dan surat Ath-Thûr :52:33-34. Lihat Issa J Boulatta,
The Rehetorical Interpretation of the Quran : I'jaz and Related Topics, In Andrew Rippin, (Ed),
Approaches to the History of the Interpretation of the Quran, (New York: Clarendo Press Oxford,
1988), hlm. 140. Lihat juga John Wansbrough, Qur’anic Studies Sources and Methods of
Scriptural Interpretation, (New York: Prometheus Books, 2004), hlm. 79. Lihat juga Stefan Wild,
The Qur’an As Text, (Leiden, New York, Koln: Brill, 1996), hlm 122-123.
24
. ’Iffat al-Syarqâwi, Ittijâhât al-Tafsîr fî Mishr fî ’Ashr al-Hadîts, (Kairo: TP., 1972),
hlm. 269-270.
25
. Muhammad Arkoun, Lectures du Coran, (Paris: G.P Maisonneuve et Larose, 1982),
alih bahasa Hidayatullah, Kajian Kontemporer al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1998), hlm. 162
26
. Thaha Husain, Fî al-Adab al-Jâhily, (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1926), hlm. 89. Lihat pula
Mushthafâ Muslim, Mabâhits fî I'jâz al-Qur'ân, (Jeddat: Dâr al-Manârat, 1988), hlm. 72.

19
kelemahannya dalam bidang tersebut.27 Dalam kondisi ini, al-Qur’an diturunkan
sebagai mukjizat untuk menandingi kemampuan puitik masyarakat Arab
jahiliyah.28 Tidak sedikit di antara mereka yang saat al-Qur’an turun memiliki
keahlian di bidang sastra bahkan dijadikan ajang kompetisi antar sastrawan.
Aspek-aspek keistimewaan dan kemukjizatan al-Qur’an tersebut berada
dalam cakupan bahasan ilmu Balâghat yang merupakan suatu disiplin ilmu yang
berlandaskan pada kehalusan jiwa dan ketajaman menangkap keindahan dan
kejelasan perbedaan yang samar di antara macam-macam uslûb. Ilmu Balâghat
adalah ilmu yang mengolah makna yang tinggi dan jelas, dengan ungkapan yang
benar dan fashih yang memberi kesan mendalam di dalam jiwa sesuai dengan
situasi dan kondisi orang-orang yang diajak bicara.29 Fenomena uslûb telah
dikenal dalam tradisi Arab dan dikaji secara implisit dalam kajian retorika Arab.30
Dengan kata lain Balâghat merupakan ilmu yang dipakai untuk mengekspresikan
apa yang ada dalam jiwa, dengan menggunakan ungkapan yang benar dan jelas
serta memberi kesan yang mendalam baik dalam bentuk lafal maupun maknanya
sesuai dengan situasi dan kondisi.
Berkaitan dengan makna haqîqî (the original meaning) al-Qur’an
sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf Rahman, tentu saja ada yang
berpendapat positif dan negatif. Kelompok pertama yang berpandangan negatif
berpendapat bahwa tafsir-tafsir yang ada tidak bisa lepas dari latar belakang,
interes, ideologi, situasi sosial politik yang mempengaruhi para mufassir, sehingga
interpretasi mereka bias, relatif dan subyektif. Sementara kelompok kedua yang
berpandangan positif tentu saja tidak menerima penafsiran kelompok yang
pertama, karena menurut mereka interpretasi tersebut hanya berdasarkan rasio
(tafsîr ‘aqlî) yang tidak berdasar pada hadits-hadits Nabi dan riwayat hidupnya
27
. M. Quraish Syihab, Mukjizat Al-Qur'an ditinjau dari Segi Keaspekan Isyarat Ilmiah
dan Pemberitaan Gaib, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 113-114.
28
. Mushthafâ Shâdiq al-Râfi'i, I‘jâz al-Qur’ân wa al-Balâghat al-Nabawiyyat, (Beirut:
Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyat, 2003), hlm. 167. Lihat pula ‘Abd al-Qâhir al-Jurjâni, Dalâ'il al-I'jâz fî
'Ilmi al-Ma'ânî, (Kairo: al-Maktabat al-Qâhirat , 1971), hlm. 309.
29
. ’Alî al-Jârimî dan Mushthafâ Amîn, Al-Balâghat al-Wâdlihat, (Kairo: Dâr al-Ma'ârif,
1957), hlm. 8.
30
. Syihabuddin Qalyubi, Stilistika dalam Orientasi Studi al-Qur'an, (Yogyakarta:
Belukar, 2008), hlm. 19.

20
(sîrat). Di dalam traidisi Islam inilah, menurut kelompok kedua, makna haqîqî
tersebut dapat ditemukan.31 Sesungguhnya yang mampu mengetahui makna
haqîqî hanyalah Allah semata. Manusia hanya bisa memberikan interpretasi akan
makna melalui pendekatan ilmu yang di pergunakan dalam memahaminya.
Al-Qur’an cukup mengagumkan dalam menyajikan gaya bahasanya. Di
antara figure of speech yang terdapat dalam al-Qur’an adalah gaya bahasa
sinekdoke. Sinekdoke merupakan suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani
synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Pengertian sinekdoke
dalam tesis ini adalah semacam gaya bahasa figuratif yang mempergunakan
sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte).32
Istilah sinekdoke pars pro toto dalam istilah ilmu Balâghat disebut majâz mursal
‘alâqatuhu al-juz'iyyat. Sedangkan sinekdoke totum pro parte dalam istilah ilmu
Balaghât disebut dengan majâz mursal‘alâqatuhu al-kulliyyat.
Adapun ilustrasi seni pengungkapan ayat al-Qur’an yang dituangkan
dengan menggunakan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal
‘alâqatuhu al-juz’iyyat) yakni menyebutkan sebagian tetapi dapat membangun
33
unsur keseluruhan sebagaimana terdapat dalam surat al-Insân: 76: 26 yang
berkaitan dengan perintah untuk melakukan ibadah shalat. Al-Mâwardî
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata ‫ﺠﺩ‬
 ‫ ﺍﺴ‬dalam ayat ini bukan hanya
merupakan sujud semata, tetapi yang dimaksud ‫ﺠﺩ‬
 ‫ ﺍﺴ‬adalah shalat maghrib dan
shalat ’isya.34 Al-Qur’an mengungkapkan perintah shalat dengan menggunakan
kata sujud, karena sujud juga merupakan bagian dari rangkaian ibadah shalat.

31
. Kusmana, Syamsuri (Ed.), Pengantar Ilmu al-Qur’an Tema Pokok Sejarah dan
Wacana Kajian, dalam tulisan Yusuf Rahman, Kritik Sastra dan Kajian al-Qur’an, (Jakarta:
Pustaka Alhusna Baru, 2004), hlm. 223-224.
32
. Gorys Keraf, Diksi dan Gaya bahasa, (Jakarta: PT Gramedia, 1984), hlm. 142.
33
. ‫ﻁﻭﹺﻴﻠﹰﺎ‬
‫ﻠﹰﺎ ﹶ‬‫ﻪ ﹶﻝﻴ‬ ‫ﺒﺤ‬‫ﺴ‬
 ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ ﹶﻝ‬‫ﺠﺩ‬
 ‫ل ﻓﹶﺎﺴ‬
ِ ‫ﻥ ﺍﻝﱠﻠﻴ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻭ‬
Artinya: Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah
kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari. (Q.S. al-Insân: 76: 26).
34
. Ibn al-Hasan ’Ali ibn Muhammad ibn Habîb al-Mawardi, Al-Nukat wa al-’Uyûn Tafsîr
al-Mâwardî, (Beirut: Dâr al-’Ilmiyyat, TT.), hlm. 172.

21
Dalam surat al-Muzammil :73: 235 juga disebutkan perintah shalat dengan
menggunakan kata berdirilah atau tunaikanlah. Al-Mâwardî menjelaskan bahwa
yang dimaksud berdiri pada ayat tersebut adalah shalat.36 Begitu juga menurut al-
Zamakhsyarî bahwa yang dimaksud dengan kata qum adalah shalat.37 Bukan
hanya sekadar berdiri saja. Sebab aktifitas berdiri juga merupakan rangkaian
rukun dalam pelaksanaan ibadah shalat seseorang.
Di sisi lain, pada surat al-Baqarat :2:4338 juga disebutkan perintah untuk
melakukan ibadah shalat dengan menggunakan gaya bahasa sinekdok pars pro
toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) dengan istilah ruku’. Al-Zamakhsyarî
berpendapat bahwa perintah untuk ruku’ merupakan perintah untuk melaksanakan
shalat sebagaimana beliau mengungkapkan kata sujud dengan maksud shalat.39
Sementara ilustrasi ayat al-Qur’an yang menggunakan gaya bahasa
sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) sebagaimana
yang terdapat dalam surat al-Baqarat:2:19.40 Kata ‫ﻬﻡ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺎ ﹺﺒ‬‫ َﺃﺼ‬dalam ayat tersebut
jika dianalisis dalam perspektif ilmu Bayân mengandung unsur majâz mursal
dengan 'alâqat kulliyyat yakni sebuah gaya bahasa yang menyatakan keseluruhan
tetapi yang dimaksud adalah sebagian. Kata tersebut oleh jumhur ‘ulama
ditafsirkan dengan kata ‫ ﺍﻨﺎﻤﻠﻬﻡ‬yakni hanya salah satu ujung jari mereka saja.41
Dalam perspektif bahasa Indonesia, ia disebut dengan istilah gaya bahasa
sinekdoke totum pro parte.

. ‫ﻴﻠﹰﺎ‬‫ل ِﺇﻝﱠﺎ ﹶﻗﻠ‬


35
َ ‫ ﹸﻗ ﹺﻡ ﺍﻝﱠﻠﻴ‬Artinya: Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit
(daripadanya) (Q.S. al-Muzammil: 73: 2).
36
. Ibn al-Hasan ’Ali ibn Muhammad ibn Habîb al-Mawardi, Al-Nukat wa al-’Uyûn Tafsîr
al-Mâwardî, hlm. 125
37
. Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl, Juz IV, (Kairo: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyat, 1995), hlm. 624.
38
. ‫ﻴﻥ‬‫ﻜﻌ‬ ‫ﺍ‬‫ﻊ ﺍﻝﺭ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ ﹶﻜﻌ‬‫ﺍﺭ‬‫ ﻭ‬Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah
beserta orang-orang yang ruku ”. (Q.S. al-Baqarat: 2: 43).
39
. Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl, Juz I, hlm. 136.
40
.‫ﺕ‬  ‫ﻤﻭ‬ ‫ﺭ ﺍﻝﹾ‬ ‫ﺤ ﹶﺫ‬  ‫ﻕ‬ ‫ﻋ‬  ‫ﺍ‬‫ﺼﻭ‬
 ‫ﻥ ﺍﻝ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻨ ﹺﻬﻡ‬ ‫ﻲ َﺁﺫﹶﺍ‬‫ ﻓ‬‫ﻬﻡ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺎ ﹺﺒ‬‫ﻥ َﺃﺼ‬
 ‫ﻌﻠﹸﻭ‬ ‫ﻴﺠ‬ Artinya: Atau seperti (orang-
orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka
menyumbat telinganya dengan anak jarinya, Karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan
mati. (Q.S. al-Baqarat: 2: 19).
41
. Ahmad Mathlûb, Funûn Balâghiyyat al-Bayân al-Badî', (Kuwait: Dâr al-Buhûts al-
'Ilmiyyat, 1975), hlm. 112.

22
M. Quraish Shihab memberikan interpretasi mengenai ditutupnya telinga
mereka dengan jari-jemarinya dalam surat al-Baqarat: 2: 19 adalah karena mereka
mendengar suara petir yang sahut menyahut akibat bertemunya awan bermuatan
listrik positif dan negatif. Mereka melakukan hal itu sebab takut akan dijemput
oleh kematian. Sebenarnya mereka menyumbat telinga dengan ujung anak jari,
tetapi agaknya ayat ini menggunakan kata jari-jari untuk melukiskan betapa
enggannya mereka mendengar dan betapa keras upaya mereka untuk menutup
pendengaran masing-masing, sampai mereka menggunakan seluruh jari-jari
mereka bukan hanya satu jari atau bahkan ujung jari, dan itupun dengan
memasukkan jari-jari ke dalam telinga, sehingga mereka mengaharap tidak ada
celah sedikitpun untuk masuknya suara.42
Sedangkan Sayyid Quthb berpendapat bahwa ayat ini merupakan sebuah
pemandangan indrawi yang melukiskan kondisi jiwa dan perasaan orang munafik.
Dan ini merupakan salah satu cara al-Qur’an yang mengagumkan dalam
melukiskan kondisi kejiwaan manusia seakan-akan sebuah pemandangan yang
dapat dilihat oleh pancaindera.43 Interpretasi di atas menunjukkan bahwa ayat ini
tergolong dalam kategori ayat yang mengandung ekspresi gaya bahasa sinekdoke
totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) dengan maksud untuk
menggambarkan ketakutan yang luar biasa yang dihadapi oleh orang-orang
munafik.
Gambaran gaya bahasa (uslûb) sinekdoke totum pro parte (majâz mursal
‘alâqatuhu al-kulliyyat) juga terdapat dalam surat al-Mâidat : 5 : 38.44 Menurut al-
Râzî (W.604H./1210M.) kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫ َﺃﻴ‬dalam ayat ini masih bersifat generik, sebab
kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫ َﺃﻴ‬itu mempunyai beberapa makna. Beliau mengatakan bahwa, sebutan
kata ‫ ﺍﻝﻴﺩ‬dalam bahasa Arab itu dipakai untuk menunjuk pada beberapa makna:

42
. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an,
Volume I, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 115-116.
43
. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân al-Juz al-Awwal, (Beirut: Dâr al-‘Arabiyyat, TT.),
hlm. 50.
44
. ‫ﻴﻡ‬‫ﺤﻜ‬
 ‫ﻋﺯﹺﻴﺯ‬
 ‫ﻪ‬ ‫ﺍﻝﱠﻠ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ﻥ ﺍﻝﱠﻠ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﺎ ﹶﻨﻜﹶﺎﻝﹰﺎ‬‫ﺴﺒ‬
 ‫ﺎ ﹶﻜ‬‫ﺀ ﹺﺒﻤ‬ ‫ﺍ‬‫ﺠﺯ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻭﺍ َﺃﻴ‬‫ﻁﻌ‬
‫ﺎ ﹺﺭ ﹶﻗ ﹸﺔ ﻓﹶﺎﻗﹾ ﹶ‬‫ﺍﻝﺴ‬‫ﻕ ﻭ‬
‫ﺎ ﹺﺭ ﹸ‬‫ﺍﻝﺴ‬‫ﻭ‬
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. al-Mâidat: 5: 38).

23
pertama, jari-jari tangan saja, kedua, jari-jari tangan sampai dengan telapak
tangan, ketiga, jari-jari, telapak tangan, hasta tangan, sampai siku tangan,
keempat, jari-jari sampai ke bahu.45 Jika dilihat dari zhâhirnya ayat, memang
tidak ada petunjuk yang jelas terhadap penggunaan salah satu maknanya. Akan
tetapi jika dirujuk melalui pendekatan ilmu Bayân, maka akan ditemukan bahwa
kata ‫ ﺍﻴﺩﻯ‬hanya menunjukkan makna sebagian saja. Karena hal ini tergolong
dalam kategori sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat)
yang mempunyai relasi dan indikator tertentu.
Menanggapi gaya bahasa tersebut, mayoritas madzhab semisal madzhab
Mâlikî, Syâfi‘î, Hanafî, dan Hambalî sepakat bahwa makna kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫( َﺃﻴ‬tangan)
dalam konteks ayat ini hanya menunjuk pada makna dari ujung jari sampai
pergelangan tangan. Hal ini didasarkan pada adanya beberapa riwayat yang
menjelaskan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk memotong tangan
pencuri dari ujung jari sampai pergelangan tangannya, lalu beliau bersabda kepada
para sahabatnya: ‫ﻩ‬ ‫ﻭ‬‫ﺴﻤ‬
 ‫( ﻓﺎﻗﻁﻌﻭﻩ ﺜﻡ َﺃﺤ‬potonglah, kemudian tutuplah aliran
darahnya).46
Contoh-contoh yang penulis kemukakan di atas cukup memberikan
gambaran yang jelas bahwa hubungan antara makna haqîqî (denotasi) suatu kata
dengan makna majâzînya sangat penting dalam memahami gaya bahasa
sinekdoke. Hal ini disebabkan karena dengan hubungan itu, makna suatu kata
dapat dialihkan kepada makna yang lain. Tanpa itu, pemahaman terhadap makna
kata yang digunakan dalam sebuah kalimat atau al-Qur’an akan sulit dilakukan.
Itulah keunikan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal
‘alâqatuhu al-juz’iyyat) dan sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu
al- kulliyyat) yang sering diungkapkan dalam bahasa al-Qur’an, sehingga research
mengenai “ Ekspresi Gaya Bahasa Sinekdoke dalam Al-Qur’an “ menarik dan laik
untuk dikaji.

45
. Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Hasan ibn al-Husain al-Taimî al-Râzî,
Al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, Juz 11, (Beirut: Dâr al- Fikr, 1985), hlm. 230.
46
. Ibn Rusyd al-Hafîd, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, Juz 2, tahqîq :
Khâlid al-‘Aththâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), hlm. 371.

24
Diusungnya tema tersebut dalam penulisan tesis ini, karena gaya bahasa
sinekdoke, zhâhirnya berupa makna haqîqî yang apabila dipahami menurut
zhâhirnya ayat saja, maka pesan (hidâyat) yang dikehendaki oleh al-Qur’an itu
tidak akan bisa bermakna dengan sempurna, karena itu diperlukan adanya
pemahaman ayat secara majâzî. Jika tidak, maka akan terkesan juga bahwa bahasa
al-Qur’an itu tidak rasional dalam mengekspresikan bahasanya.
Oleh karena itu, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mencari
relasi makna majâzînya dengan berpijak dan berkaca pada pendapat para mufassir
dan ahli Balâghat agar bisa ditemukan makna majâzî gaya bahasa sinekdoke pars
pro toto (majâz mursal‘alâqatuhu al-juz’iyyat) dalam bidang teologi, bidang
shalat, dan bidang siksa (’adzâb) serta pahala (ajr). Sementara dalam gaya bahasa
sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) penulis batasi
pada bidang hukum (syarî’at) dan gambaran mengenai orang-orang kafir dan
munafik.

B. Identifikasi Masalah
Kajian mengenai gaya bahasa (figure of speech) yang dipergunakan untuk
mengungkapkan kata dan kalimat dalam al-Qur’an, dapat memunculkan masalah-
masalah sebagai berikut : Bentuk gaya bahasa (figure of speech) apa saja yang
dipergunakan dalam al-Qur’an? Jenis gaya bahasa sinekdoke apa saja yang
diekspresikan dalam al-Qur’an? Relasi (‘alâqat) apa saja yang terdapat dalam
gaya bahasa sinekdoke? Bagaimana implikasi gaya bahasa sinekdoke dalam aspek
linguistik? Dalam wacana apa saja kecenderungan al-Qur’an menggunakan gaya
bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) dan totum
pro parte (majâz mursal‘alâqatuhu al-kulliyyat)?

C. Batasan dan Rumusan Masalah


Untuk menghindari ambisi yang berlebihan dalam sebuah penelitian, maka
diperlukan adanya titik fokus sebagai upaya pembatasan atau delimitasi dari
penelitian. Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk membangun pagar sekeliling

25
lahan penelitian, membangun kriteria inklusif atau eksklusif dalam penelitian, dan
memudahkan cara kerja sehingga tidak ada satupun tindakan yang mubadzdzir.47
Mengingat betapa banyak dan luasnya ekspresi gaya bahasa yang dipakai dalam
al-Qur’an, maka penulis akan membatasi penelitian ini pada gaya bahasa
sinekdoke dalam al-Qur’an yang berinteraksi dengan bidang teologi, bidang
shalat, bidang pahala (ajr) dan hukuman (‘adzâb), bidang hukum (fiqh) dan
ilustrasi mengenai orang-orang kafir atau munafik. Dengan berbekal secercah
ilmu pengetahuan yang penulis miliki, sengaja penulis mengajukan dua rumusan
masalah penelitian sebagai berikut :
1. Benarkah gaya bahasa sinekdoke itu memiliki makna majâzî (konotatif) dan
keistimewaan dalam perspektif ilmu Bayân ?
2. Dalam wacana apa saja al-Qur’an menggunakan gaya bahasa sinekdoke pars
pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) dan totum pro parte (majâz
mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat)?

D. Kajian Terdahulu
Sejak era klasik hingga era modern ini, tidak sedikit di kalangan ahli
retorika (Balaghât) dan kalangan akademik yang asyik mengusung tema al-
Qur’an mengenai struktur dan gaya bahasa yang tertuang di dalamnya. Misalnya
Muhammad Mutawallî al-Sya‘râwî, dalam bukunya Mu’jizat al-Qur’ân,
mengatakan bahwa : Hukum-hukum agama yang ada dalam al-Qur’an diturunkan
dengan sempurna dan jelas, tidak ada kerancuan, penambahan, dan perubahan.48
Muhammad Nûr al-Dîn al-Munajjid, al-Isytirâk al-Lafzhî fî al-Qur’ân al-
Karîm baina al-Nazhariyyat wa al-Tathbîq, kesimpulan penelitian ini menyatakan
bahwa setiap kata dalam al-Qur’an mempunyai suatu makna tersendiri dan tidak
akan mengandung makna yang lain, karena kalau satu kata mengandung makna
yang bermacam-macam maka hal itu akan menyebabkan terjadinya ambiguitas

47
. A. Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan
Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), hlm. 87.
48
. Mutawallî al-Sya‘râwî, Mu’jizat al-Qur’ân, (Kairo: al-Mukhtâr al-Islâmî, 1978), hlm.
39.

26
dalam al-Qur’an. Dan ketika terjadi ambiguitas dalam al-Qur’an maka pesan
Tuhan yang disampaikan kepada manusia tidak akan bisa diterima dengan baik.49
M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul ”Mukjizat Al-Qur’an
ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib”,
memberikan informasi bahwa kemukjizatan al-Qur’an bukanlah merupakan faktor
eksternal (sharfat), tetapi merupakan faktor internal yang dimilikinya karena al-
Qur’an banyak mengandung keistimewaan dari berbagai segi. Segi kemukjizatan
tersebut dapat dilihat dari aspek nuansa kebahasaan yang digunakan dalam
mengungkapkan kata dan kalimat. Keunikan dan keistimewaan gaya bahasa
(figure of speech) al-Qur’an serta kandungan makna yang begitu tinggi nilainya
merupakan kemukjizatan utama dan pertama yang ditujukan kepada manusia.50
Muhammad al-‘Ubaidân al-Qathîfî, Durûs fî Tafsîr al-Qur’an al-Karîm:
al-Tafsîr wa al-Ta’wîl, membahas tentang munculnya penafsiran yang dilakukan
oleh para mufassir salah satu sebabnya adalah karena adanya kata yang tidak jelas
maknanya dalam al-Qur’an. Dalam masalah kata yang tidak jelas makna yang ada
dalam al-Qur’an ini, Muhammad al-‘Ubaidân al-Qathîfî hanya membahas secara
umum.
M. Nur Kholis Setiawan mahasiswa asal Indonesia yang mengambil
program doktoral di Universitas Bonn Jerman dengan konsentrasi studi al-Qur’an
menulis disertasi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta : eLSAQ Press, 2005.
Disertasi ini mencoba membongkar khazanah klasik yang berbicara susatra dan
menemukan hasil bahwa pendekatan sastrawi terhadap al-Qur’an bukan saja sah,
tetapi juga sudah ada sejak era klasik Islam. Di dalamnya juga mengkaji sekilas
tentang bentuk-bentuk majas dalam al-Qur’an secara historis yang meliputi bentuk

49
. Muhammad Nûr al-Dîn al-Munajjid, al-Isytirâk al-Lafzhi fî al-Qur’ân al-Karîm baina
al-Nazhariyyat wa al-Tathbîq, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998), hlm. 274.
50
. M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 67.

27
metafora (isti'arat) , seni perbandingan (tasybih/simile), parabel (matsal),
persamaan (tamtsil), dan metonomia (kinayat).51
Ahmad Thib Raya, dalam bukunya yang berjudul ” Rasionalitas Bahasa
al-Qur’an Upaya Menafsirkan al-Qur’an dengan Pendekatan Kebahasaan ”.
Buku ini merupakan modifikasi disertasi untuk meraih gelar doktor di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Beliau berpendapat bahwa bahasa al-Qur’an memiliki
fleksibilatas yang tinggi yang dapat dipahami secara rasional, baik secara tekstual
maupun kontekstual dengan berbagai pendekatan, termasuk di dalamnya dengan
pendekatan kebahasaan. Menurutnya, ilmu al-Bayân sangat relevan digunakan
untuk memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an baik secara haqîqî maupun
majâzî, meskipun ada ulama yang hanya memahami ayat-ayat al-Qur’an secara
haqîqî tanpa pemahaman majâzî.52
Penelitian ini pada hakekatnya membantah terhadap kelompok yang
mengatakan tidak ada makna majâzî dalam al-Qur’an, dan akan mendukung
kelompok yang mengatakan eksistensi majâz itu sesungguhnya ada dalam al-
Qur’an. Karena justru dengan majâz itu keindahan bahasa al-Qur’an akan
terungkap.

E. Tujuan dan Kegunanaan Penelitian


Tujuan Penelitian
Merujuk pada rumusan masalah yang penulis sajikan di atas, maka
research ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah yang telah
dipaparkan. Tujuan research ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan mengungkap makna majâzî yang terdapat dalam
gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-
juz’iyyat) maupun sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-

51
. M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2005).
52
. Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa al-Qur’an Upaya Menafsirkan al-Qur’an
dengan Pendekatan Kebahasaan, (Jakarta : Fikra, 2006), hlm. xiii-xiv.

28
kulliyyat) sehingga dapat terbangun cita rasa sastra al-Qur’an secara
retoris.
2. Untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk wacana yang dituangkan dengan
menggunakan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal
‘alâqatuhu al-juz’iyyat) maupun totum pro parte (majâz mursal
‘alâqatuhu al-kulliyyat) dalam al-Qur’an.
Kegunaan Penelitian
Berangkat dari rumusan masalah yang dimajukan di atas, setidaknya
penelitian yang penulis angkat diharapkan dapat membawa secercah manfaat,
baik secara teoritis maupun praktis :
1. Secara Teoritis
Secara teoritis, research ini berupaya untuk memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang sastra al-Qur’an yang amat luas,
lebih spesifik lagi berinteraksi dengan studi mengenai gaya bahasa
sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) maupun
sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) yang
terdapat dalam al-Qur’an agar terbangun cita rasa sastra yang dapat
menemukan segi keindahan al-Qur’an secara retoris. Studi ini juga
berguna untuk menyadarkan kepada diri kita bahwa kajian mengenai al-
Qur’an tidaklah berhenti sampai di sini, akan tetapi terus berjalan secara
dinamis bersamaan dengan berjalannya masa. Di samping itu, penelitian
ini diharapkan dapat menarik semangat bagi pencinta ilmu di bidang ilmu
Bayân.
2. Secara Praktis
Secara praktis, research ini merupakan salah satu upaya yang
berguna untuk mengetahui dan mengungkap analisis relasi makna haqîqî
dengan makna majâzî ayat al-Qur’an yang menggunakan gaya bahasa
(figure of speech) sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-
juz’iyyat) maupun sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-
kulliyyat). Di sisi lain, research ini juga berguna untuk melihat wacana

29
dalam bidang apa saja al-Qur’an menggunakan gaya bahasa sinekdoke
pars pro toto (majâz mursal‘alâqatuhu al-juz’iyyat) maupun sinekdoke
totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat).

F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jika ditinjau berdasarkan pengukuran dan analisis data di mana
penelitian dapat digolongkan menjadi penelitian kuantitatif dan kualitatif,
maka penelitian dalam tesis ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif
yakni suatu penelitian yang datanya dinyatakan dalam bentuk verbal dan
dianalisis tanpa menggunakan teknik statistik.53 Apabila dalam penelitian
kualitatif ini dihasilkan angka-angka, maka sesungguhnya angka-angka
tersebut bukan sebagai data utama melainkan sebagai data penunjang saja.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data itu dapat
diperoleh.54 Ia dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer yang peneliti pergunakan dalam
penelitian ini adalah al-Qur'ân al-Karîm dengan sumber primer al-Kasysyâf
‘an Haqâiq Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl
karya al-Zamakhsyari.
Sedangkan sumber skunder yang penulis pergunakan dalam penelitian
ini adalah : Funûn Balâghiyyat al-Bayân al-Badî karya Ahmad Mathlûb,
'Ulûm al-Balâghat al-Bayân wa al-Ma’ânî wa al-Badî’ karya Ahmad
Mushthafâ al-Marâghî, Min Asâlib al-Bayân fî al-Qur’ân al-Karîm karya Abu
Hamzah Muhammad 'Ali, I’jâz al-Qur'ân karya Abu Bakr Muhammad Ibn al-
Thayyib al-Bâqillâni, I’jâz al-Qur'ân wa al-Balâghat al-Nabawiyyat karya
Mushthafâ Shâdiq al-Râfi'î, Asrâr al-Balâghat karya 'Abd al-Qâhir al-Jurjânî,

53
. Moch. Ainin, Metodologi Penelitian Bahasa Arab, (Pasuruan: Hilal Pustaka, 2007),
hlm. 12.
54
. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1992), hlm. 102 .

30
Mabâhits fî I'jâz al-Qur'ân karya Mushthafâ Muslim, Al-Itqân fî 'Ulûm al-
Qur’ân karya Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Manâhil al-'Irfan fî 'Ulûm al-Qur’ân
karya Al-Zarqâni Muhammad ‘Abd al-‘Azhim, Al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih
al-Ghaib karya Al-Râzî, I’jaz al-Qur’ân al-Karîm ‘Abra al-Târîkh karya Issa
J Boulatta, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al- Qur'an karya
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an ditinjau dari Aspek Kebahasaan
Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib M. Quraish Shihab, dan buku-buku lain
yang menunjang dalam penelitian ini.
3. Penentuan Jenis Data
Data utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah teks ayat-ayat
al-Qur’an yang dalam susunannya terdapat pola kalimat yang mengandung
gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat)
maupun totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat).
4. Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Metode ini
dipergunakan untuk mendeskripsikan, menguraikan, menganalisis,
mengkategorisasi, mengklasifikasi ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung
gaya bahasa sinekdoke dan relasi maknanya, serta memetakan bidang-bidang
apa saja al-Qur’an menggunakan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto maupun
totum pro parte.
Untuk melakukan analisis tersebut diperlukan pembacaan teks secara
heuristik (linier) dan hermeneutik.55 Pembacaan secara heuristik adalah
pembacaan sesuai dengan struktur bahasa sebagai sistem tanda bahasa
semiotika56 tingkat pertama. Pendekatan semiotik menyaran pada anggapan

55
. Rahmad Djiko Pradopo, Pengkajian Puisi cet. Ke-3, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1993), hlm. 270.
56
. Aart Van Zoest, mendefinisikan semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang
berhubungan dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain,
pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Secara khusus
semiotika dibagi atas tiga bagian utama yaitu ; pertama, sintaks semiotik, studi tentang tanda yang
berpusat pada penggolongannya, pada hubungannya dengan tanda-tanda lain, dan pada caranya
bekerja sama menjalankan fungsinya; kedua, semantik semiotik, studi yang menonjolkan hubungan
tanda-tanda dengan acuannya dan dengan interpretasi yang dihasilkannya; ketiga, pragmatik
semiotik, studi tentang tanda yang mementingkan hubungan antara tanda dengan pengirim dan

31
bahwa gaya bahasa merupakan tanda kebahasaan karya sastra yang
pemaknaannya harus melibatkan berbagai konvensi sastra yang berlaku.57
Pembacaan secara heuristik ini berusaha mengidentifikasi daya pragmatik
sebuah tuturan dengan merumuskan hipotesis-hipotesis dan kemudian
mengujinya berdasarkan data yang tersedia. Bila hipotesis tidak teruji, akan
dibuat hipotesis baru. Seluruh proses ini terus berulang sampai akhirnya suatu
pemecahan berupa hipotesis yang teruji kebenarannya, yaitu hipotesis yang
tidak bertentangan dengan evidensi yang ada.58 Pembacaan heuristik
dilanjutkan dengan pembacaan hermeneutik atau retroaktif. Pembacaan
hermeneutik59 merupakan pembacaan dengan memberikan tafsiran sebuah
teks.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan upaya yang dilakukan untuk mengklasifikasi
dan mengelompokkan data. Pada tahap ini dilakukan upaya untuk
mengelompokkan, menyamakan data yang sama dan membedakan data yang

penerima. Lihat Sudjiman dan Aart Van Zoest (ed), Serba-serbi Semiotika, (Jakarta: Gramedia,
1992), hlm. 5.
57
. Michael Riffaterre, Semiotics of Poetry, (Bloomington and London: Indiana
University Press, 1978), hlm. 5-6.
58
. Geoffrey Leech, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Terjemahan M.D.D. Oka, (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1993), hlm. 61-62.
59
. Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermẻneuine dan hermẻnia yang masing-
masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”. Istilah tersebut dalam berbagai bentuknya dapat
dibaca dalam sejumlah literatur peninggalan masa Yunani kuno, seperti Organon karya Aristoteles
yang di dalamnya terdapat risalah terkenal peri hermenẻias (tentang penafsiran). Ia juga digunakan
dengan bentuk nominal dalam epos Oedipus at Colonus, beberapa kali muncul dalam tulisan-
tulisan Plato, dan pada karya-karya para penulis kuno, seperti Xenophon, Plutarch, Euripides,
Epicurus, Lucretius, dan Longinus. Kedua istilah tersebut diasosiasikan kepada Hermes (hermeios)
seorang utusan (dewa) dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas menyampaikan dan
menerjemahkan pesan dewa yang masih samar-samar ke dalam bahasa yang bisa dipahami oleh
manusia. Gerhard Ebeling membuat interpretasi yang banyak dikutip mengenai proses
penerjemahan yang dilakukan Hermes. Menurutnya, proses tersebut mengandung tiga makna
hermeneutis yang mendasar. Pertama, mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih berada dalam
pikiran melalui kata-kata (utterance, speaking) sebagai medium penyampaian. Kedua,
menjelaskan secara rasional (interpretation, explanation) sesuatu yang sebelumnya masih samar-
samar sehingga maksud atau maknanya dapat dimengerti. Ketiga, menerjemahkan (translating)
suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain yang lebih dikuasai pemirsa. Jean Grondin,
Introduction to Philosophical Hermeneutics, (Yale: Yale University Press, 1994), hlm. 20
sebagaimana dikutip oleh Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan Metodologo al-Qur’an
menurut Hassan Hanafi, (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 23-24.

32
memang berbeda. Dalam rangka pengklasifikasian dan pengelompokkan data
tentu harus didasarkan pada apa yang menjadi tujuan penelitian.60
Data-data yang telah terkumpul dan tersusun, selanjutnya dipilih dan
diklasifikasikan serta dianalisis melalui pendekatan content analysis yakni
teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru
(replicable), dan shahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisa ini
berhubungan dengan pesan atau isi komunikasi.61 Pendekatan ini digunakan
untuk dapat menemukan ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung gaya bahasa
(figure of speech) sinekdoke. Sedangkan untuk mengetahui hubungan makna
asal dengan makna majâzî serta keistimewaan gaya bahasa yang terkandung
didalamnya, maka penulis menggunakan pendekatan ilmu Balâghat dalam hal
ini ilmu Bayân.

G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pemahaman dalam membaca tesis ini secara
komprehensif, maka penulis membagi pembahasan ini ke dalam lima bab.
Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab yang susunan sistematikanya
didesain berurutan sesuai dengan kronologi urutan pembahasan. Adapun
penyajian sistematika penelitiannya sebagai berikut :
Bab I berisi Pendahuluan yang meliputi : latar belakang masalah,
identifikasi masalah, perumusan masalah, kajian terdahulu, tujuan dan kegunaan
penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan tesis.
Untuk mengetahui stilistika yang dipakai dalam al-Qur’an pada umumnya
dan gaya bahasa sinekdoke khususnya, maka pada Bab II penulis akan
memaparkan mengenai stilistik dan estetika, gaya bahasa al-Qur’an, unsur gaya
bahasa, gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-

60
. Mahsun, M.S., Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi Metode dan Tekniknya,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 253.
61
. M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Komunikasi Ekonomi Kebijakan Publik dan
Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hlm. 155.

33
juz’iyyat) dan sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat),
kriteria gaya bahasa sinekdoke.
Bab III merupakan central penelitian yang berisi gaya bahasa sinekdoke
pars pro toto (majâz mursal‘alâqatuhu al-juz’iyyat) pada ayat-ayat Makkiyyat,
gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) serta
relasi maknanya bidang teologi, bidang shalat, dan bidang pahala (ajr) serta
hukuman (‘adzâb).
Bab IV mengungkap gaya bahasa sinekdoke totum pro parte dalam pada
ayat-ayat Madaniyyat yang meliputi gaya bahasa sinekdoke totum pro parte
(majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) dan relasi maknanya, wacana gaya bahasa
sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) dalam bidang
hukum (syarî’at) dan gambaran mengenai orang-orang kafir dan munafik.
Bab V berisi penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran-saran.
Kesimpulan yang penulis sajikan dalam tesis ini merupakan respon konkret atas
dua rumusan masalah yang penulis majukan dalam penelitian ini, sehingga semua
problem yang muncul dalam penelitian ini dapat terjawab dengan jelas
berdasarkan hasil temuan penelitian dan akhirnya dapat memberikan secercah
harapan untuk bisa dimanfaatkan oleh para pembaca khususnya para pencinta
ilmu Bayân. Selanjutnya akan dimajukan sejumlah saran-saran yang dapat
ditindaklanjuti setelah penelitian yang penulis lakukan ini selesai.

34
BAB II
STILISTIK DALAM AL-QUR’AN

A. Stilistik dan Estetika


Pada mulanya term stilistik berasal dari bahasa latin stilus yang dipakai
untuk menunjuk arti pena. Tetapi lama kelamaan istilah tersebut berkembang
menjadi sesuatu yang berkaitan dengan teknik penulisan, khususnya tulisan
tangan. Makna ini selanjutnya berkembang menjadi ekspresi bahasa sastra. Hal ini
berbeda dengan kata stylos dari bahasa Yunani yang berarti tiang atau pilar dan
dari kata inilah gelar diberikan kepada seorang ahli hikmah Yunani yang bernama
Simeon Stilita karena hidupnya selalu bersandar pada tiang. Adapun dalam bahasa
Inggris, style berarti gaya sebagai kata serapan dari bahasa Yunani. Stilistik
sebagai disiplin ilmu tersendiri lahir pada abad ke-20 yang merupakan
pengembangan dari ilmu retorika yang telah lama berkembang di Yunani pada
zaman Plato dan Aristoteles.62 Sementara Rolf Sandell mengatakan bahwa
stilistik berkaitan dengan pemilihan bentuk kebahasaan tertentu dari berbagai
pilihan yang mungkin digunakan.63
Batasan-batasan mengenai stilistik di atas, memberikan gambaran bahwa
stilistik merupakan cabang linguistik yang mempelajari gaya atau cara berbahasa
seseorang dalam perfomancenya baik secara lisan maupun tulisan. Pada
kenyataannya sehari-hari setiap penutur selalu meloncat-loncat dari satu style ke
style yang lain. Pergantian dari satu style ke style yang lain ini disebut juga code
switching (pindah kode).64 Karena itu, stilistik memegang peranan yang sangat
urgen dalam mengalihkan makna sebuah kosakata. Dalam kerangka linguistik

62
. Richard Bradford, Stylistics, (London: TP, 1997), hlm. 3-5.
63
. Rolf Sandell, Linguistic Style and Persuation, (London, New York, Fransisco:
Academic Press, 1977, hlm. 6.
64
. A. Chaedar Alwasilah, Pengantar Sosiologi Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1993), hlm.
44.

35
modern biasa disebut dengan model sintagmatig yakni susunan kata dalam
kalimat yang yang mempengaruhi peralihan makna dari kosa kata.65
Stilistik merupakan cabang ilmu linguistik yang memfokuskan diri pada
analisis gaya bahasa. Menurut Richard, kajian mengenai gaya bahasa dapat
mencakup gaya bahasa lisan, namun stilistik cenderung melakukan kajian bahasa
tulis termasuk karya sastra. Ilmu ini mencoba memahami mengapa si penulis
cenderung menggunakan kata-kata ungkapan tertentu. Adakalanya stilistik
digunakan untuk maksud yang lebih luas yaitu menandai gaya bahasa berdasarkan
variasi bahasa regional dan juga variasi bahasa sosial.66 Statemen di atas juga
sebagaimana dinyatakan oleh G.W. Turner, stilistik merupakan bagian integral
dari linguistik di mana ia berkonsentrasi pada variasi-variasi pemakaian bahasa,
seringkali walau tidak seluruhnya, dengan perhatian khusus pada pemakaian-
pemakaian bahasa yang paling disadari dan komplek dalam kesusasteraan.67
Namun pada abad pertengahan dan Renaissance hingga abad ke-18
barulah stilistik masuk ke dalam bidang puitika, khususnya dalam kaitannya
dengan puisi. Menurut teori ini, bahasa dianggap sebagai pakaian pikiran,
sehingga gaya bahasa merupakan mode tertentu dari pakaian, yang mesti dilihat
melalui sudut pandang tertentu.68
Karena itu dalam tinjauan stilistik, seorang penyair memiliki suatu
kebebasan penuh untuk menyimpang dari hukum tata bahasa formal. Kebebasan
tersebut dikenal dengan istilah lisensi stilistik yang dalam bahasa Inggris disebut
dengan lecentia stylistica, merupakan salah satu penyimpangan tata kalimat
(sintaksis) yang bertujuan untuk mencapai aspek retorik, tetapi hasilnya tidak
menimbulkan suatu kejanggalan, bahkan dengan menggunakan style dalam

65
. M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2005), hlm. 162.
66
. Kushartanti dkk., Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 232.
67
. G.W. Turner, Stylistic, (England: Penguin Books Ltd., 1975), hlm. 7.
68
. Nyoman Kutha Ratna, Estetika Budaya dan Sastra, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2007), hlm. 238.

36
ungkapannya justru akan menimbulkan efek artistik atau estetika kalimat yang
bernilai tinggi.69 Stilistik berbeda dengan (Balâghat). Menurut Syukri Muhammad
‘Ayyad ilmu Balâghat merupakan ilmu yang statis dan tidak berkembang.
Sedangkan stilistik merupakan ilmu baru yang dinamis dan berkembang. Dalam
ilmu Balâghat pemilihan beberapa kalimat tidak terlepas dari kaidah-kaidah
sebagaimana halnya dalam ilmu sintaksis, sehingga ketidaksesuaiannya dianggap
merupakan sebuah kesalahan. Sedangkan stilistik mengkaji fenomena bahasa
dengan melihat dan menjelaskan perubahan fenomena tersebut berdasarkan
maksud penutur dan kesan pembacanya tanpa menghakimi apakah fenomena
tersebut benar atau salah. Stilistik menggunakan dua teori yaitu pemilihan
(preferensi) dan penyimpangan terhadap kaidah umum tata bahasa (deviasi) di
mana pemilihan dan penyimpangan kalimat justru dapat diungkapkan.70
Sebagai ilustrasi adanya prinsip deviasi dalam al-Qur’an sebagaimana
terdapat dalam surat al-Fâtihat : 1: 7. Dalam ayat ini terdapat perpindahan struktur
kalimat dari ‫( ﺍﻨﻌﻤﺕ ﻋﻠﻴﻬﻡ‬Engkau telah berikan nikmat kepada mereka) ke ‫ﻏﻴﺭ‬
‫( ﺍﻝﻤﻐﻀﻭﺏ ﻋﻠﻴﻬﻡ‬bukan orang-orang yang dimurkai). Struktur pertama
menggunakan fi’il dan fâ’il, sementara pada struktur berikutnya menggunakan
isim maf’ûl. Jika alur kedua akan disesuaikan dengan yang pertama, maka ayat ini
akan berbunyi ‫ ﻤﺎﻏﻀﺒﺕ ﻋﻠﻴﻬﻡ‬. Namun al-Qur’an memilih susunan yang berbeda.
Preferensi kalimat ini justru menimbulkan efek terhadap makna tentang ajaran
sopan santun kepada Allah SWT, yakni sudah selayaknya hal-hal yang baik
(dalam konteks ayat ini pemberian nikmat) itu disandarkan kepada Allah, dan
tidak layak bagi manusia untuk menyandarkan yang jelek (dalam konteks ayat ini
adalah murka) kepada Allah, sekalipun baik dan jelek hakikatnya semuanya dari
Allah. Dengan demikian jelas, bahwa deviasi dalam al-Qur’an bukan asal berbeda

69
. Akhmad Muzakki, Kesusastraan Arab Pengantar Teori dan Terapan, (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2006), hlm. 122.
70
. Syukri Muhammad ‘Ayyad, Madkhal ilâ ‘Ilm Uslûb, (Riyadl: Dâr al-‘Ulûm, 1982),
hlm. 44-47.

37
dengan kaidah-kaidah konvensional, namun memanfaatkan kaidah tersebut secara
inovatif sehingga menimbulkan efek yang dikehendaki.71
Deviasi dalam bahasa sastra menurut Burhan Nurgiyantoro72 dapat dilihat
secara sinkronik yang berupa penyimpangan dari bahasa sehari-hari dan secara
diakronik yang berupa penyimpangan dari karya sastra sebelumnya. Unsur
kebahasaan yang dideviasi itu sendiri bentuknya bermacam-macam, misalnya
penyimpangan semantik, leksikal, struktur, dialek, grafologi dan lain-lain. Sang
pengarang melakukan penyimpangan kebahasaan tentunya bukan semata-mata
bertujuan ingin aneh, lain dari pada yang lain, melainkan dimaksudkan untuk
memperoleh efek estetika yang lain di samping juga ingin mengedepankan,
mengaktualkan (foreground) sesuatu yang dituturkan.
Praktek penyimpangan dari cara penuturan dalam bahasa sastra menurut
kaum formalis Rusia itu telah bersifat otomatis, rutin, biasa, dan wajar. Penuturan
dalam bahasa sastra selalu diusahakan dengan cara yang lain, cara baru, cara yang
belum (pernah) dipergunakan orang. Bahasa sastra mengutamakan keaslian
pengucapan, dan untuk memperoleh cara itu mungkin sampai pada penggunaan
berbagai bentuk deviasi kebahasaan. Unsur kebaruan dan keaslian merupakan
suatu hal yang menentukan nilai sebuah karya. Kaum formalis berpendapat bahwa
adanya penyimpangan dari sesuatu yang wajar itu merupakan proses sastra yang
mendasar.73
Istilah penyimpangan di atas akan lebih tepat diganti dengan istilah
penentangan. Sebab istilah penyimpangan dalam konteks ini lebih diartikan
sebagai penggunaan bahasa oleh orang yang tidak mempunyai kompetensi
linguistik yang baik, sehingga akan menimbulkan hal-hal yang salah atau
menyimpang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sementara

71
. Syihabudin Qalyubi, Stilistika dalam Orientasi Studi al-Qur’an, (Yogyakarta: Belukar,
2008), hlm. 91
72
. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2009), hlm. 274-275.
73
. A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1984), hlm. 131.

38
istilah penentangan itu dipakai dalam kaitan pemakai bahasa yang justru sangat
memahami bahasa dan mempunyai kompetensi linguistik yang baik. Pengarang
yang mempunyai kompetensi linguistik yang baik memungkinkannya untuk
memanipulasi penggunaan bahasa untuk tujuan tertentu, sekalipun penentangan
itu memperlihatkan penyimpangan dari tata bahasa formatif.
Sebenarnya, kajian stilistik tidak hanya terbatas pada ragam karya sastra
saja, tetapi juga dapat diterapkan dalam berbagai ragam pemakaian bahasa,
termasuk bahasa al-Qur’an. Hanya saja, pada umumnya kajian stilistik lebih
sering dikaitkan dengan ragam bahasa sastra. Dalam kajian sastra, biasanya
stilistik dimaksudkan untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi
artistik dan maknanya.74 Ragam aspek bahasa yang menjadi kajian dalam stilistik
al-Qur’an pada hakekatnya sama seperti ragam aspek dalam stilistik pada
umumnya, yaitu meliputi aspek fonologi, preferensi lafal dan kalimat, serta
deviasi.75
Apresiasi stilistik tiada lain merupakan suatu usaha untuk bisa memahami,
menghayati, mengaplikasi dan mengambil tepat guna dalam mencapai retorika,
agar dapat melahirkan efek artistik yang bernilai tinggi. Objek stilistik ini
mencakup peribahasa, ungkapan, aspek kalimat, gaya bahasa, plastik bahasa, dan
kalimat asosiatif.76 Kajian stilistik berguna juga untuk memudahkan menikmati,
memahami, dan menghayati sistem tanda yang digunakan dalam karya sastra yang
berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh
sang pengarang.
Hal yang menjadi penting dalam stilistik al-Qur’an adalah kenyataan
sejarah yang menunjukkan bahwa para sarjana muslim klasik berusaha untuk
menunjukkan eloquency al-Qur’an melalui stilistik. Di samping itu, diskursus
tentang teori makna dalam kesarjanaan klasik menunjukkan adanya relasi yang

74
. Geoffrey N. Leech and Michael H. Short, Style in Fiction: A Linguistic Introduction to
English Fictional Prose, (London: Longman, 1981), hlm. 13.
75
. Syihabudin Qalyubi, Stilistika dalam Orientasi Studi al-Qur’an, hlm. 63.
76
. S. Suparman Natawidjaja, Apresiasi Stilistik, (Bandung: PT. Intermasa, 1986), hlm. 3.

39
intens antara teori bahasa Arab dengan al-Qur’an sebagai teks. Wacana yang
berkembang dalam khazanah kesarjanaan klasik adalah hubungan antara kata
dengan makna kata serta antara kalimat dan makna kalimat. Sementara itu, dalam
kurun antara abad kedua sampai kelima hijriah, makna menjadi terminus
technicus yang khas dalam teorisasi bahasa, baik berkenaan dengan fungsi
leksikal bahasa, sintaktik, maupun stilistik.77

B. Gaya Bahasa Al-Qur’an


George Makdisi78 memberikan kontribusi pemikiran bahwa salah satu
mukjizat al-Qur’an itu terletak pada keindahan gaya bahasanya yang tak
tertandingi. Gagasan tentang nilai keindahan dan keluhuran tradisi sastra al-
Qur’an tidak hanya diakui dalam kerangka kajian sastra dan bahasa, namun telah
menjadi doktrin agama yang mendasar. Otentitas al-Qur’an didasarkan atas ajaran
ketidakmungkinan al-Qur’an dapat ditiru oleh siapapun, baik dari sisi
kandungannya maupun dari sisi keindahan gaya bahasanya. Itulah konsep i’jâz al-
Qur’an, kemukjizatan al-Qur’an yang tak tertandingi. Tidak ada seorangpun yang
bisa membuat ungkapan-ungkapan yang serupa dengan al-Qur’an. Al-Qur’an
sendiri dalam beberapa ayatnya mengajukan tantangan yang tegas kepada orang
yang memusuhi Nabi untuk membuat satu surat saja yang nilai keindahannya
setara dengan ayat-ayat al-Qur’an. Kajian mengenai i’jâz dalam pandangan Nashr
Hâmid Abû Zaid79 pada dasarnya kajian mengenai karakteristik teks yang
membedakannya dari teks-teks lain dalam kebudayaan, dan menjadikannya lebih
unggul dari pada teks-teks tersebut.
Lebih lanjut George Makdisi memandang, otentitas al-Qur’an sebagai
kata-kata Tuhan itu terletak pada keindahan dan kejelasan gaya bahasanya yang

77
. M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 158.
78
. George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and The Christian West,
(London and Oxford: Edinburgh University Press, 1990), hlm. 141-142.
79
. Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nash fî ’Ulûm al-Qur’ân , (Mesir: al-Hai’at al-
Mishriyyat al-’Âmmat li al-Kitâb, 1993), hlm. 155.

40
menjadi salah satu mukjizatnya.80 Karena itu menurut ’Abd Allah Darrâz,81 jika
diperhatikan secara seksama dalam al-Qur’an banyak terdapat rahasia
kemukjizatannya dari segi bahasa. Hal ini terletak dari segi keteraturan bunyinya
yang indah melalui nada-nada hurufnya, sewaktu berharakat dan sukûn, mad dan
ghunnat, fâshilat dan maqta’. Pemilihan kata dan penempatannya yang sangat
tepat, tidak kekurangan dan tidak kelebihan. Khitâb yang digunakan juga mampu
mencakup berbagai golongan manusia yang berbeda tingkat intelektualitasnya,
mereka dapat memahami sesuai dengan tingkat akalnya, sehingga masing-
masingnya merasa cocok dengan tingkat akal, baik orang ’awâm maupun orang
khawâs.
Ketrampilan dan keahlian sang pengarang dalam memanfaatkan bahasa
untuk menciptakan nada dan suasana yang tepat guna itu, dapat memukau hati
para pembaca. Ketrampilan dan keahlian ini merupakan salah satu modal utama
bagi sang pengarang. Berbagai gaya bahasa yang ada dapat dimanfaatkan oleh
sang pengarang untuk mencapai tujuan tertentu.82
Oleh karena itu, untuk mengekspresikan atau mengilustrasikan sesuatu
seorang pengarang atau pembicara akan menyampaikan bahasanya dengan cara
yang berbeda-beda. Juga dalam menyampaikan pikiran dan perasaan yang
terdapat dalam dirinya, seorang pengarang akan menggunakan bahasa dengan cara
yang berbeda-beda pula. Perbedaan cara berbahasa seseorang akan tampak dari
bagaimana ia menggunakan diksi, merangkai kata dalam kalimat,
mengekspresikan sesuatu dengan bahasa yang indah, mengungkapkan sesuatu
dengan pengertian dan bahasa yang hiperbolis, mengungkapkan sesuatu dengan
cara mengiaskan atau membandingkan benda yang lain dan sebagainya.
Sebagai kitab berbahasa Arab pertama, al-Qur’an menawarkan berbagai
inovasi stilistik yang pada gilirannya sangat mempengaruhi generasi yang datang
80
. George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and The Christian West,
hlm. 143.
81
. Muhammad ‘Abd Allah Darrâz, al-Naba’ al-‘Azhîm, (Kuwait: Dâr al-Qalam,1974),
hlm. 267-268.
82
. Henry Guntur Tarigan, Membaca Ekspresif, (Bandung: Angkasa, 1994), hlm. 75.

41
belakangan. Di antara yang paling menonjol dari trend yang dibawa al-Qur’an
adalah banyak digunakannya figure of speech untuk menggantikan kata-kata yang
sederhana. Al-Qur’an kerap kali memanfaatkan ilustrasi, perumpamaan, dan
metafora yang dapat menambah keindahan, pengalaman-langsung, dan nuansa
yang warna-warni pada kosakata biasa.83 Intensitas penggunaan figure of speech
dalam al-Qur’an ini telah menuntun, misalnya Sayyid Quthb, untuk
menyimpulkan bahwa penggunaan perumpamaan dan figure of speech adalah cara
ungkap yang paling disukai al-Qur’an.84
Leech dan Short85 mendefinisikan figure of speech sebagai sesuatu yang
umumnya tidak lagi mengandung sifat kontroversial, menunjuk pada cara
penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan
tertentu, dan seterusnya. Sementara Abrams86 menilai gaya bahasa mencakup apa
yang diungkapkan dan bagaimana teks itu diungkapkan (what it said and how it is
said) atau apa isi dan bagaimana bentuk teksnya (content and the form of a text).
Unsur ini menunjuk pada informasi, pesan, atau makna proporsional, sedangkan
bentuk merupakan variasi cara penyampaian yang berkualitas estetis, atau mampu
membangkitkan tanggapan emosional pembaca. Dalam pendapat lain juga
dipaparkan bahwa style adalah cara seorang pembicara atau penulis
mendayagunakan sumber-sumber kebahasaannya, pilihan yang ditempuhnya dan
penyusunan-penyusunan serta pola-pola yang teramati.87

83
. Sebagai contoh dari penggunaan gaya bahasa metafora (isti’ârat) dalam al-Qur’an
penulis sajikan salah satu ayat sebagaimana terdapat dalam surat Ibrâhîm: 14: 1 yakni ‫ﻩ‬ ‫ﺯﻝﹾﻨﹶﺎ‬  ‫ َﺃﻨﹾ‬‫ﻜﺘﹶﺎﺏ‬
‫ﺕ ِﺇﻝﹶﻰ ﺍﻝﻨﱡﻭﺭ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻅﹸﻠﻤ‬
‫ﻥ ﺍﻝ ﱡ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﺱ‬
 ‫ﺝ ﺍﻝﻨﱠﺎ‬
 ‫ﻙ ِﻝﹸﺘﺨﹾ ﹺﺭ‬
 ‫ ِﺇﹶﻝﻴ‬. Semua kata ‫ﺕ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻅﹸﻠﻤ‬
‫ ﺍﻝ ﱡ‬dan ‫ ﺍﻝﻨﱡﻭﺭ‬yang terdapat dalam al-
Qur’an merupakan bentuk peminjaman kata (isti’ârat). Kata ‫ﺕ‬  ‫ﺎ‬‫ﻅﹸﻠﻤ‬
‫ ﺍﻝ ﱡ‬dalam konteks ayat ini yang
dimaksud adalah ‫ ﺍﻝﻀﻼل‬dan ‫ﺍﻝﻜﻔﺭ‬. Dan kata ‫ ﺍﻝﻨﱡﻭﺭ‬yang berarti cahaya dimaksudkan sebagai
‫ ﺍﻝﻬﺩﻯ‬dan ‫ﺍﻹﻴﻤﺎﻥ‬. Kesesatan dan kekafiran disamakan dengan kegelapan. Sementara keimanan dan
dan petunjuk disamakan dengan cahaya. Lihat Badr al-Dîn Muhammad ibn ‘Abd Allâh al-
Zarkasyî, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2006), hlm. 899.
84
. Subhî Shâlih, Mabâhits fî ‚Ulûm al-Qur’ân, hlm. 319.
85
. Geoffry N. Leech dan Michael H. Short, Style in Fiction : A Linguistic Introduction to
English Fictional Prose, hlm. 10.
86
. M.H. Abrams, A Glossary of Literary Term, (New York: Holt, Rinehart and Winston,
1981), hlm. 245.
87
. Joseph A. De Vito, The Psychology of Speech and Language an Introduction to
Psycholinguistics, (New York: Random House Inc., 1970), hlm. 10.

42
Sementara gaya bahasa atau style dalam bahasa Arab disebut uslûb.
Muhammad Abdul Muthâllib88 memaparkan mengenai gaya bahasa atau uslûb
yakni sebuah metode untuk menulis, mengarang, memilih kata-kata (diksi) dan
menyusunnya untuk mengungkapkan makna supaya jelas dan berkesan. Senada
dengan opini di atas, style oleh Hartmann dan Stork didefinisikan sebagai gaya
perorangan yang ditempuh dalam menyampaikan ujaran maupun tulisan sesuai
dengan penguasaan bahasanya. Pilihan-pilihan penutur atau penulis akan sumber-
sumber fonologis, gramatik, dan leksikal bahasanya merupakan pokok
pembahasan bermacam pendekatan dalam stilistik.89
Oleh karena itu, maka gaya bahasa atau style menjadi sebuah bagian dari
diksi yang mempersoalkan cocok atau tidaknya penggunaan kata, frasa atau klausa
tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Karena itu, persoalan mengenai gaya
bahasa meliputi semua hirarki kebahasaan : pilihan kata secara individual, frasa,
klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan.
Bahkan nada yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula persoalan gaya
bahasa.90
Dengan demikian, pengungkapan fikiran dan perasaan itu sangat
bervariasi, baik variasi dalam menggunakan kosa kata, susunan kata atau
berbahasa yang berupa kalimat. Dengan kata lain, pengungkapan pikiran dan
perasaan dalam bentuk lisan maupun tulisan dalam berbahasa itulah yang disebut
dengan gaya bahasa. Jadi gaya bahasa adalah pemakaian ragam bahasa dalam
mewakili atau melukiskan sesuatu dengan pemilihan dan penyusunan kata dalam
kalimat untuk memperoleh efek tertentu yang sifatya lebih luas.

88
. Muhammad ‘Abd al-Muthallib, Al-Balâghat wa al-Uslûbiyyat, (Mesir: al-Syirkat al-
Mishriyyat al-‘Alamiyyat li al-Nasyr, 1994), hlm. 108-109. Lihat juga Muhammad ‘Abd al-Azhîm
al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, Juz II, (Kairo: Dâr al-Salâm, 1424 H.), hlm. 199.
89
. R.R.K. Hartmann and F.C. Stork, Dictionary of Language and Linguistics, (London:
Applied Science Publisher Ltd., 1972), hlm. 223 .
90
. Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002),
hlm. 112.

43
Setiap ide atau perasaan seseorang menurut Leo Spitzer pasti akan
terungkap melalui perantaraan kreasi bahasa. Kreatifitas akal dalam menjelajahi
berbagai makna harus dibarengi dengan kreatifitas dalam menciptakan bahasa.91
Karena itu gaya bahasa dan kosakata mempunyai relasi yang signifikan, relasi
yang timbal balik yang tidak boleh dilepaskan. Semakin kaya kosakata seseorang,
maka akan semakin beragam pula figure of speech yang dipergunakan dalam
mengekspresikan bahasanya. Baik bahasa tulis maupun bahasa lisan.
Al-Zarqânî memaparkan mengenai karakteristik gaya bahasa (figure of
speech) yang dipergunakan dalam al-Qur’an yaitu : pertama, keluasan lafadz al-
Qur’an yang tecermin dari struktur fonemnya serta estetika bahasanya. Kedua,
keluwesan bahasanya baik yang bersifat umum maupun khusus. Ketiga,
bahasanya bisa diterima oleh rasio dan hati, kebenaran dan keindahan secara
bersamaan. Keempat, koherensi unsur-unsurnya yang tinggi, baik unsur kalimat,
jumlah ayat serta suratnya. Kelima, keragaman cara ungkap al-Qur’an serta
keindahan seni ungkapnya telah mencengangkan para sastrawan serta tokoh
retorika. Keenam, kemampuan bahasa al-Qur’an untuk memadukan konsep
(mujmal) serta perinciannya (bayân) di sisi yang lain. Ketujuh, kemampuan lafadz
al-Qur’an untuk mencakup segala tuntutan makna.92
Lain halnya dengan Al-Rummânî, beliau hanya membahas panjang lebar
aspek Balâghat al-Qur’an yang didefinisikannya sebagai ”penyampaian makna
yang menggunakan bentuk-bentuk ungkapan yang terbaik”. Aspek Balâghat ini
memuat sepuluh elemen, yaitu pertama, îjâz (consicion), kedua, perumpamaan
(simile), ketiga, metafora, keempat, harmoni, kelima rima dan asonansi periodik,
keenam, paronomasia (permainan kata, word game), ketujuh, variasi, kedelapan,
implikasi, kesembilan, hiperbola, dan kesepuluh, rendisi (visual dan musikal,

91
. Graham Hough, Style and Stylistics, (London : TP, 1969), hlm. 3.
92
. Muhammad ‘Abd al-Azhîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfan fî Ulûm al-Qur’ân, hlm.
205-220.

44
husn al-bayân).93 Sementara itu menurut A. Muzakki dan Syuhadak dalam
bukunya mengungkapkan, bahwa seni gaya bahasa yang muncul dalam al-Qur’an
antara lain meliputi : majâz, tasybih (simile), isti’ârat (metafora), kinayat
(metonomia), tauriyyat (menampakkan makna lain), thibâq (antitesis), dan jinâs
(paronomasia).94
Dari uraian tersebut dapat penulis paparkan bahwa gaya bahasa (figure of
specch) yang dipergunakan dalam al-Qur’an antara lain sebagai berikut:
1. Majâz
Kontroversi pendapat mengenai eksistensi majâz dalam al-Qur’an terbagi
menjadi dua golongan. Golongan yang pertama, tidak mengakui eksistensi majâz
dalam al-Qur’an. Sebab majâz sangat terkait dengan kebohongan belaka (al-
kadzb), padahal al-Qur’an harus bersih dari sifat-sifat yang demikian. Alasan lain
adalah bahwa seorang pembicara (al-mutakallim) tidak mungkin menggunakan
majâz, kecuali kalau terpaksa, sedangkan yang demikian itu tidak mungkin terjadi
pada diri Tuhan. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah mayoritas
kelompok al-Dzâhiriyy, Ibn al-Qash dari kelompok al-Syafî’iyyat, Ibn Khuwaiz
dari kelompok Maliki.95 Sementara golongan kedua memberikan reaksi yang
sangat keras kepada golongan pertama dan menilainya sebagai pendapat yang
bâthil. Sebab jika majâz tidak terdapat dalam al-Qur’an hal ini sama halnya
menghilangkan aspek keindahan (sathr al-husn) dalam al-Qur’an.96 Dan pada
kenyataannya banyak bentuk-bentuk majâz yang terdapat dalam al-Qur’an.
Ibn Qutaibat (W.276H./889M.) dalam karyanya yang berjudul Ta’wîl
Musykil al-Qur’ân mengupas pembahasan tentang konsep majâz. Ia membagi

93
. Issa J. Boulatta, The Rhetorical Interpretation of the Qur’an: I‘jâz and Related
Topics”, dalam Andrew Rippin, Approaches to the Hstory of the Interpretation of the Qur’an,
(Oxford: Clarendon Press, 1988), hlm. 142.
94
. A. Muzakki dan Syuhadak, Bahasa dan Sastra dalam al-Qur’an, (Malang: UIN Press,
2006), hlm. 82-104.
95
. Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz II, (Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 2000), hlm. 71.
96
. Badr al-Dîn Muhammad ibn ‘Abd Allâh al-Zarkasyî, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
hlm. 475.

45
konsep majâz ke dalam dua kategori : lafzhî dan ma’nawî. Lafzhî berarti leksikal
dan makna struktural, sementara ma’nawî adalah teori makna. Ibn Qutaibat
mendefinisikan kata majâz sebagai bentuk-bentuk gaya bertutur atau seni
bertutur. Karena itu kata majâz mencakup majâz metafora (isti’ârat), resiprokal
(maqlûb), susunan balik (taqdîm wa ta’khîr), eliptik (hadzf ), ungkapan tidak
langsung (ikhfa’) ungkapan langsung (izhhâr) dan sebagainya yang masuk dalam
sistematika teori Balâghat.97
Terkait dengan kajian majâz, ulama ahli retorika Arab mengatakan bahwa
sesungguhnya tidak ada perbedaan yang sangat vital dengan isti’ârat. Perbedaan
keduanya hanya terletak pada segi relasi (’alâqat) antara makna dasar dengan
makna lainnya. Jika relasinya (’alâqat) terdapat kesesuaian (musyâbahat), maka
disebut isti’ârat. Sebalikanya jika relasinya (’alâqat) tidak ada kesesuaian (ghair
musyâbahat) disebut majâz mursal.98
2. Tasybîh (simile)
Secara etimologi kata tasybîh berarti perumpamaan atau perbandingan.
Sedangkan secara terminologi term tasybîh berarti menyerupakan sesuatu dengan
yang lain dalam suatu keadaan dengan menggunakan perangkat tertentu untuk
mencapai tujuan.99 Seni perbandingan ini harus memenuhi beberapa unsur
sebagaimana yang telah ditentukankan oleh para ahli Balâghat mengenai tasybîh
(simile) yaitu, pertama adanya sesuatu yang dibandingkan atau diserupakan (al-
musyabbah). Kedua, adanya sesuatu yang menjadi pembanding (al-musyabbah
bih). Kedua kriteria tersebut merupakan ujung pangkal tasybîh (simile) Ketiga,
adanya alat yang menyatakan perbandingan (adât al-tasybîh). Keempat, adanya
sifat yang sama yang dimiliki oleh keduanya (wajh al-syabbah).100 Persamaan

97
. Ibn Qutaibah, Ta’wîl Musykil al-Qur’ân, (Kairo: TP, 1973), hlm. 15-16.
98
. Ahmad al-Hâsyimî, Jawâhir al-Balâghat fi al-Ma’ânî al-Bayân wa al-Badî’ hlm. 291.
99
. Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, ‘Ulûm al-Balâghat al-Bayân wa al-Ma’ânî wa al-
Badî’, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1993), hlm. 213. Lihat juga ‘Alî al-Jârim, Mushthafâ
Amîn, Al-Balâghat al-Wâdlihat li Bayân wa al-Ma’ânî wa al-Badî’, (Beirut: Dâr al-Ma’ârif,
1977), hlm. 20.
100
. ‘Alî al-Jârim, Mushthafâ Amîn, Al-Balâghat al-Wâdlihat li Bayân wa al-Ma’ânî wa
al-Badî’, hlm. 20.

46
sifat yang dimiliki pembanding itu harus lebih kuat dan tampak pada daripada
yang dibandingkan.
Term tasybîh (simile) pertama kali bergulir para era al-Mubarrad
(W.286H./899M.) dan ibn Mu’tazz (W.296H./908M.), meskipun kata tersebut
sesungguhnya juga muncul pada era al-Farra’(W.210H./825M.) dan Abu ’Ubaidat
(W.207H./822M.), namun hanya sebatas sebagai tambahan penjelasan kebahasaan
saja dan belum sampai pada pengertian sebagai diskursus ’ilmu bayân. Al-Jâhiz
(W.255H./868M.) misalnya, meskipun dalam banyak karya ia tidak menjadikan
tasybîh (simile) sebagai objek kajian yang spesial, namun ia telah mengulas dan
mempergunakannya sebagai penopang argumentasinya akan keindahan serta
kesempurnaan ekspresi gaya bahasa al-Qur’an.101
Lebih lanjut al-Mubarrad (W. 286 H./899M.) mengatakan bahwa tasybîh
(simile) merupakan seni bertutur yang sering dipakai di kalangan orang Arab
dalam berbicara.102 Seni bertutur dengan menggunakan gaya bahasa tasybîh
(simile) memiliki tujuan tertentu yang beraneka ragam yang menurut Ahmad
Mushthafâ al-Marâghî103 sebagai berikut : pertama, menjelaskan kemungkinan
adanya musyabbah, penjelasan ini diberikan karena terdapat sesuatu yang aneh
dalam musyabbah. Kedua, menjelaskan keadaan musyabbah, penjelasan ini
diberikan jika musyabbah belum dikenal sebelum adanya tasybîh. Ketiga,
menjelaskan ukuran keadaan musyabbah. Keempat, untuk menghiasi musyabbah
yang umumnya orang memandang jelek. Kelima, untuk menjelekkan musyabbah
yang umumnya orang memandangnya baik. Keenam, menetapkan keadaan
musyabbah.

101
. Fadll Hasan ‘Abbas, Al-Balâghat Funûnuhâ wa Afnânuhâ, ‘Amman : Dâr al-Furqân,
1987, hlm. 18.
102
. Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz III, hlm.
128.
103
. Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, ‘Ulûm al-Balâghat al-Bayân wa al-Ma’ânî wa al-
Badî’, hlm. 234-236. Lihat juga ‘Alî al-Jârim, Mushthafâ Amîn, Al-Balâghat al-Wâdlihat li Bayân
wa al-Ma’ânî wa al-Badî’, hlm. 54-55.

47
Ekspresi kalimat yang mempergunakan bahasa kias jumlahnya relatif
banyak, namun barangkali hanya beberapa saja yang frekuensi kemunculannya
relatif tinggi. Pemilihan dan penggunaan bentuk bahasa kias sangat ditentukan
oleh selera, kebiasaan, kebutuhan dan kreativitas pengarang. Di antara bentuk-
bentuk pemajasan yang kerap digunakan adalah perbandingan dan persamaan,
yaitu yang membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain melalui ciri-ciri
kesamaan di antara keduanya, misalnya berupa ciri fisik, sifat, sikap, keadaan,
suasana, tingkah laku dan seterusnya.104
Menurut Ahmad Badâwî Ahmad gaya bahasa tasybîh (simile) itu berfungsi
untuk memperjelas makna serta memperkuat maksud dari sebuah ungkapan.
Sehingga orang yang mendengarkan pembicaraan bisa merasakan seperti
pengalaman psikologis si pembicara.105
Dalam persoalan yang berinteraksi dengan eskatologis, al-Qur’an
seringkali menggunakan bahasa metaforis yang diungkapkan dengan
menggunakan gaya bahasa tasybîh (simile). Karena bahasa metaforis memiliki
kekuatan yang bisa mempertemukan antara ikatan emosional dan pemahaman
kognitif, sehingga seseorang dimungkinkan mampu melihat dan merasakan
sesuatu yang berada jauh di belakang teks. Contoh bagaimana al-Qur’an
menggambarkan keadaan hari kiamat. Di situ ditampilkan suara derap pasukan
berkuda yang gagah yang siap melumatkan musuh dalam sekejap. Menurut
analisis psikolinguistik, metafora dan bahasa ikonografik yang disajikan al-Qur’an
sangat efektif untuk menghancurkan kesombongan masyarakat jahiliyah Arab
kala itu yang tingkat sastranya dikenal sangat tinggi.106
Meskipun demikian menurut Luxemburg sebagaimana dikutip oleh
Burhan Nurgiyantoro,107 penggunaan bahasa kias (simile) merupakan salah satu

104
. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 299.
105
. Ahmad Badâwî Ahmad, Min Balâghat al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Nahdlat, 1950), hlm.
190.
106
. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik,
(Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 83.
107
. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 274.

48
bentuk penyimpangan terhadap semantik, namun hal ini bukan merupakan ciri
khas bahasa sastra sebab dalam penuturan bahasa nonsastra pun banyak
dipergunakan. Namun, ia mempunyai perbedaan. Dalam penuturan sehari-hari
penggunaan bahasa kias mempunyai efek untuk mempercepat pengertian,
misalnya terlihat pada penggunaan ungkapan yang telah lazim. Sebaliknya,
pemakaian ungkapan konotatif pada bahasa sastra itu justru akan memperlambat
pemahaman seseorang dan berefek mengasingkan karena bentuk yang
dipergunakan baru atau lain dari yang telah biasa.
3. Isti’ârat (metafora)
Suatu gaya bahasa kerapkali menambahkan kekuatan tersendiri dalam
sebuah kalimat. Metafora misalnya, dapat menolong seorang pembicara atau
penulis untuk mengilustrasikan suatu gambaran yang jelas melalui komparasi atau
kontras. Metafora berasal dari bahasa Yunani metaphora yang berarti
memindahkan. Metaphora berasal dari kata meta yang berarti di atas ; melebihi
dan kata pheirin yang berarti ”membawa”. Metafora dipergunakan untuk
membuat perbandingan antara dua hal atau benda guna menciptakan suatu kesan
mental yang hidup walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit dengan penggunaan
kata-kata : seperti, laksana, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, penaka, serupa
seperti pada gaya bahasa perumpamaan.108
Dalam pandangan Jakobson, metofora itu bergantung pada sumbu
paradigma, sementara metonomi bergantung pada sumbu sintagma. Keduanya
mewakili dua prosedur yang berbeda. Prosedur yang pertama adalah penggantian
karena adanya kemiripan dan yang kedua penggantian dengan kontiguitas
(penularan).109

108
. Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), hlm.
15. Lihat juga Sheridan Baker, The Complete Stylist, (New York: Thomas Y. Crowell Company,
1968), hlm. 155.
109
. Umberto Eco, A Theory of Semiotics, alih bahasa Inyiak Ridwan Muzir, Teori
Semiotika, Signifikansi Komunikasi, Toeri Kode serta Toeri Produksi Tanda, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2009), hlm. 418.

49
Berkaitan dengan metafora Hussein Abdur Raof cenderung berpendapat
bahwa isti’ârat (‫ )ﺍﺳﺘﻌﺎﺭﺓ‬diambil dari kata kerja (‫ )ﺍﻋﺎﺭ‬sebagai peminjaman suatu
kata untuk dipergunakan dalam kata yang lainnya karena perbandingan atau
adanya faktor-faktor lain.110 Menurut pandangan Ibn Qutaibat, orang Arab
memang mempunyai kelaziman untuk ”meminjam kata” dan menempatkannya
untuk kata yang lain ketika ditemukan sebab ataupun alasan-alasan lain yang
memungkinkannya.111
Sedangkan al-Jurjânî yang nama lengkapnya adalah Abu Bakar ’Abd al-
Qâhir ibn ’Abd al-Rahmân ibn Muhammad al-Jurjânî (W.417H./1079M.) telah
memberikan penjelasan yang komprehensif dan menyeluruh mengenai konsep
isti’ârat. Menurut al-Jurjânî, isti’ârat merupakan peralihan makna dari kata
ataupun suku kata yang dalam penggunaan bahasa keseharian memiliki makna
dasar atau makna sesungguhnya, kemudian karena dan lain hal, baik oleh para
sastrawan maupun kalangan kebanyakan menjadi beralih ke makna lainnya yang
terkadang melampaui batas-batas leksikalnya.112 Lebih lanjut al-Jurjânî
mengemukakan bahwa isti’ârat seperti ini merupakan salah satu seni
perbandingan, yakni salah satu bentuk khusus dari tamtsîl, yang masing-masing
bisa dipersandingkan dan diperbandingkan untuk menghasilkan makna baru.113
Konsep isti’ârat sebenarnya berangkat dan bermuara dari bentuk gaya
bahasa tasybîh (simile). Jadi pada hakikatnya ekspresi gaya bahasa isti’ârat adalah
ekspresi bentuk gaya bahasa tasybîh (simile) yang bernilai paling tinggi. Munurut
Ahmad al-Hâsyimî dan para ahli retorika Arab (Balâghat) lainnya isti’ârat
mempunyai tiga unsur yang harus dipenuhi dalam uslûb majâzî : pertama,

110
. Hussein Abdur Raof, Arabic Rhetoric a Pragmatic Analysis, (London and New York:
Routledge, 2006), hlm. 218.
111
. Ibn Qutaibah, Ta’wîl Musykil al-Qur’ân, hlm. 103.
112
.‘Abd. Al-Qâhir ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad al-Jurjânî al-Nahwî, Asrâr al-
Balâghat, (Jeddat : Dâr al-Mudunî, 1954), hlm. 30.
113
. ‘Abd. Al-Qâhir ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad al-Jurjânî al-Nahwî, Asrâr al-
Balâghat, hlm. 37.

50
musta’ar lahu (musyabbah), kedua, musta’ar minhu (musyabbah bihi), ketiga,
musta’ar (kata yang dipinjam).114
4. Kinâyat (metonomia)
Moeliono sebagaimana dikutip oleh Henry Guntur Tarigan
mendeskripsikan bahwa gaya bahasa metonomia merupakan gaya bahasa yang
memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang,
atau hal, sebagai penggantinya. Seseorang dapat menyebut pencipta atau
pembuatnya jika yang seseorang maksudkan ciptaan atau buatannya ataupun
seseorang menyebut bahannya jika yang dimaksudkan adalah barangnya.115
Al-Mubarrad (W. 258 H.) merupakan sarjana bahasa yang melakukan
sistematisasi mengenai konsep kinâyat (metonomia). Dalam karyanya ”al-Kâmil”
al-Mubarrad menguraikan tiga model kinâyat beserta fungsinya yaitu : pertama,
menjadikan sesuatu lebih umum. Kedua, memperindah sebuah ungkapan. Ketiga,
untaian pujian. Namun al-Mubarrad tidak banyak mengulas pada model pertama
dan ketiga. Ia lebih menitikberatkan pada model yang kedua, yaitu kinâyat yang
dipergunakan sebagai penyempurna keindahan dalam sebuah ungkapan,
khususnya diambil dari ayat-ayat al-Qur’an.116
Sementara Imam al-Suyûthî (W. 1505 M.) dalam kitabnya memaparkan
bahwa tujuan ekspresi gaya bahasa kinâyat (metonomia) dalam al-Qur’an tidak
lain sebagai berikut : pertama, peringatan akan kebesaran Allah. Kedua,
meninggalkan penggunaan suatu ungkapan kepada ungkapan yang lebih baik dan
indah. Ketiga, menghindari kata-kata yang kotor atau jelek. Keempat, mempunyai
tujuan balâghat dan mubâlaghat (hiperbolis). Kelima, meringkas ungkapan.
Keenam, peringatan pada perilaku seseorang.117 Senada dengan opini tersebut di

114
. Ahmad al-Hâsyimî, Jawâhir al-Balâghat fi al-Ma’ânî al-Bayân wa al-Badî’, hlm.
304.
115
. Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, hlm. 123.
116
. A. Muzakki dan Syuhadak, Bahasa dan Sastra dalam al-Qur’an, hlm. 96-97.
117
. Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz III, hlm.
143-144.

51
atas, Imam al-Zarkasyî118 menjelaskan bahwa tujuan pengungkapan gaya bahasa
kinâyat (metonomia) dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut : pertama,
peringatan akan kebesaran Allah. Kedua, ujian keimanan seseorang. Ketiga,
meninggalkan suatu lafal menuju lafal yang lebih baik dan lebih indah. Keempat,
menghindarkan kata-kata yang tidak enak untuk didengar.
Penggunaan gaya bahasa kinâyat (metonomia) banyak dilakukan oleh Abu
Ubaidat (W.207H./822M.), al-Farrâ’ (W.210H./825M.) dan al-Jâhiz
(W.255H./868M.) dalam hubungannya dengan ayat-ayat al-Qur’an. Hanya saja,
pada mereka ini belum ditemukan penjelasan mendetail dan komprehensif,
khususnya terkait dengan ilmu dan kritik sastra Arab. Tampaknya para sarjana
tersebut masih sedikit menaruh perhatian pada level-level teoritis mengenai
konsep ini. Mereka mempergunakan kinayat sebagai medium penjelasan tanpa
memasuki atau menaruh perhatian kepada level-level teoritis. Penggunaan
terminus ini nampak seperti penggunaan kata majâz yang mencakup semua
ekspresi puitik seperti yang dilakukan Abu ’Ubaidat dan al-Farrâ’.119
5. Tauriyyat (menampakkan makna lain)
Dalam pandangan Ahmad al-Hâsyimî (W. 1362 H.), secara etimologis
tauriyyat berarti menyembunyikan sesuatu dan menampakkan yang lain.
Sedangkan secara terminologis tauriyyat berarti menyampaikan bahasa atau kata
dalam bentuk tunggal (mufrad) tetapi ia memiliki dua makna (ambigu), yaitu
makna dekat (denotatif) dan makna jauh (konotatif), meskipun demikian yang
dikehendaki dalam gaya bahasa ini adalah makna konotatifnya.120
Ilustrasi gaya bahasa tauriyyat dalam al-Qur’an sebagaimana terdapat
dalam surat al-An’am : 6 : 60121 yang berbunyi :

118
. Badr al-Dîn Muhammad ibn ‘Abd Allâh al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
hlm. 314-315.
119
. M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 247.
120
. Ahmad al-Hâsyimî , Jawâhir al-Balâghat fi al-Ma’ânî al-Bayân wa al-Badî’, hlm.
218.
121
. Artinya : Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan dia mengetahui apa
yang kamu kerjakan di siang hari. (Q.S. al-An’am : 6 : 60).

52
‫ﺎﺭ‬‫ ﺒﹺﺎﻝ ﱠﻨﻬ‬‫ﹸﺘﻡ‬‫ﺭﺤ‬ ‫ﺠ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻡ ﻤ‬ ‫ﹶﻠ‬‫ﻴﻌ‬ ‫ﻭ‬ ‫ل‬
ِ ‫ ﺒﹺﺎﻝﱠﻠﻴ‬‫ﻭﻓﱠﺎ ﹸﻜﻡ‬ ‫ﻴ ﹶﺘ‬ ‫ﻱ‬‫ﻭ ﺍﱠﻝﺫ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬
Kata ‫ ﹸﺘﻡ‬‫ﺭﺤ‬ ‫ﺠ‬
 memiliki makna dekat (denotatif) kamu kerjakan dan memiliki
makna jauh (konotatif) melakukan dosa yang bertumpuk-tumpuk.122 Tetapi yang
dikehendaki dalam konteks ayat ini adalah makna yang kedua yakni melakukan
dosa yang bertumpuk-tumpuk, karena dalam konteks ayat tersebut terkait dengan
umur dan pertanggungjawaban amal perbuatan.
6. Thibâq (Antitesis)
Variasi seni bertutur lain yang terdapat dalam al-Qur’an misalnya thibâq
(antitesis) yang menurut Ahmad al-Hâsyimî (W. 1362 H.) merupakan gaya
bahasa yang mengumpulkan atau menyandingkan dua kata yang saling
berlawanan makna dalam suatu kalimat.123 Thibâq yang dalam istilah
kontemporer disebut antitesis merupakan suatu gaya bahasa yang mengandung
gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok
kata yang saling berlawanan.124 Gambaran tersebut diperkuat oleh Henry Guntur
Tarigan bahwa antitesis secara etimologi berarti lawan yang tepat atau
pertentangan yang sungguh-sungguh. Namun secara terminologi antitesis berarti
gaya bahasa yang membuat komparasi atau perbandingan antara dua antonim.125
Ilustari gaya bahasa thibâq (antitesis) dalam al-Qur’an sebagaimana
terdapat dalam surat al-Taubat : 9 : 82 ‫ﺍ‬‫ﻴﺭ‬‫ﻜﹸﻭﺍ ﹶﻜﺜ‬‫ﻴﺒ‬ ‫ﻭﻝﹾ‬
 ‫ﻴﻠﹰﺎ‬‫ﺤﻜﹸﻭﺍ ﹶﻗﻠ‬
 ‫ﻴﻀ‬ ‫ ﹶﻓﻠﹾ‬. Kata ‫ﺤﻜﹸﻭﺍ‬
 ‫ﻴﻀ‬
yang berarti ”tertawa” disejajarkan dengan kata ‫ﻜﹸﻭﺍ‬‫ﻴﺒ‬ yang berarti ”menangis”.
Dua kata ini memiliki makna antonimi yang saling bertentangan satu dengan
lainnya. Tertawa menunjukkan suatu kegembiraan yang dialami oleh seseorang
dan menangis menunjukkan suatu keadaan yang menyedihkan, meskipun tidak
selamanya keduanya menunjukkan kondisi seperti itu.

122
. Ahmad al-Hâsyimî , Jawâhir al-Balâghat fi al-Ma’ânî al-Bayân wa al-Badî’, hlm.
218.
123
. Ahmad al-Hâsyimî , Jawâhir al-Balâghat fi al-Ma’ânî al-Bayân wa al-Badî’, hlm.
220.
124
. Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, hlm. 126.
125
. Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, hlm. 27.

53
7. Jinâs (Paronomasia)
Jinâs (paronomasia) oleh al-Suyûthî (W.1505M.) diistilahkan sebagai
gaya bahasa yang menggunakan dua kata yang sama bunyinya tetapi memiliki
makna yang berbeda.126 Sejalan dengan pendapat di atas jinâs (paronomasia)
merupakan sebuah kiasan yang mempergunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan
permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan
besar dalam maknanya.127 Dengan maksud yang sama, Henry Guntur Tarigan juga
mengatakan bahwa paronomasia (jinâs) merupakan gaya bahasa yang berisi
penjajaran kata-kata yang berbunyi sama tetapi bermakna lain.128
Dalam menguntai kalimatnya, al-Qur’an seringkali menggunakan gaya
bahasa (uslûb) jinâs (paronomasia), sebagaimana yang tersurat pada Q.S. al-Rûm
: 30 : 55129 meskipun terdapat sebagian ulama yang mengingkari keberadaan surat
ini menggunakan gaya bahasa jinâs (paronomasia).130 Ayat tersebut berbunyi
sebagai berikut :
‫ﺔ‬ ‫ﻋ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺭ ﺴ‬ ‫ﻏﻴ‬
‫ﺎ ﹶﻝ ﹺﺒﺜﹸﻭﺍ ﹶ‬‫ﻥ ﻤ‬
 ‫ﻭ‬‫ ﹺﺭﻤ‬‫ﻤﺠ‬ ‫ﻡ ﺍﻝﹾ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻴﻘﹾ‬ ‫ﻋ ﹸﺔ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻡ ﺍﻝﺴ‬ ‫ﻡ ﹶﺘﻘﹸﻭ‬ ‫ﻴﻭ‬ ‫ﻭ‬
Pada sampel ayat di atas tampak terdapat dua kata yang berbunyi sama tetapi
memiliki makna yang berbeda satu sama lain. Kata ‫ﻋ ﹸﺔ‬
 ‫ﺎ‬‫ ﺍﻝﺴ‬yang pertama memiliki
makna hari kiamat, sementara kata ‫ﺔ‬ ‫ﻋ‬
 ‫ﺎ‬‫ ﺴ‬yang kedua bermakna waktu atau
zaman.

C. Unsur Gaya Bahasa


Unsur-unsur yang terdapat dalam gaya bahasa (stylistic features)
sebagaimana dikemukakan oleh Abrams mencakup unsur fonologi, sintaksis,

126
. Jalâl al-Dîn ‘Abd. al-Rahmân al-Suyûthî, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz III, hlm.
271-273. Lebih lanjut al-Suyûthî memaparkan dengan jelas mengenai bentuk-bentuk gaya bahasa
jinâs (paronomasia) dalam al-Qur’an. Ia membaginya ke dalam tiga belas jenis jinâs
(paronomasia), namun hal ini tentunya berbeda dengan jinâs (paronomasia) yang berada pada
bahasa selain al-Qur’an.
127
. Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, hlm. 112.
128
. Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, hlm. 9-34.
129
. Artinya : Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang
berdosa; mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja). (Q.S. al-Rûm : 30 : 55).
130
. Jalâl al-Dîn al-Rahmân al-Suyûthî, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz III, hlm. 271.

54
leksikal, dan retorika yang berupa karakteristik penggunaan bahasa figuratif,
pencitraan dan sebagainya.131 Di pihak lain, Leech dan Short mengemukakan
bahwa unsur gaya bahasa (stylistics categories) terdiri atas unsur leksikal,
gramatikal, figures of speech, konteks dan kohesi.132 Dengan demikian terdapat
sedikit perbedaan antara pembagian Abrams dengan Leech. Abrams memasukkan
bahasa figuratif dan pencitraan ke dalam kelompok retorika, sementara Leech
hanya menyebut figure of speech yang cakupannya lebih terbatas dibandingkan
dengan retorika. Namun, Leech memasukkan unsur kohesi (dan konteks) sebagai
bagian style, sedang Abrams tidak memasukkannya.
1. Unsur Leksikal
Menurut pendapat Burhan Nurgiyantoro yang dimaksud dengan unsur
leksikal sama pengertiannya dengan diksi yaitu mengacu pada penggunaan kata-
kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. Mengingat bahwa karya sastra
adalah dunia dalam kata, komunikasi dilakukan dan diinterpretasikan melalui
kata-kata. Pemilihan kata-kata (diksi) tersebut harus melalui pertimbangan tertentu
untuk memperoleh efek ketepatan (estetis). Secara sederhana masalah ketepatan
itu dapat dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna, yakni apakah diksi mampu
mendukung tujuan estetika karya sastra, mampu mengkomunikasikan makna,
pesan, dan mampu mengungkapkan gagasan seperti yang dikehendaki oleh
pengarang.133 Oleh karena itu, seorang penulis harus berusaha secermat mungkin
untuk memilih kata-kata yang tepat guna mencapai maksud yang dikehendaki.
Contoh : Sekali merdeka tetap merdeka. Kalimat tersebut lebih menimbulkan
adanya efek artistik dari pada kalimat : Sekali kita merdeka, kita akan tetap
merdeka.

131
. M.H. Abrams, A Glossary of Literary Term, hlm.193.
132
. Geoffry N. Leech dan Michael H. Short, Style in Fiction : A Linguistic Introduction to
English Fictional Prose, hlm. 75-80.
133
. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 290. Lihat Ida Bagus Putrayasa,
Kalimat Efektif Diksi Struktur dan Logika, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 290.

55
2. Unsur Gramatikal
Dalam karya sastra seorang pengarang mempunyai kebebasan yang penuh
dalam mengkreasikan bahasa. Terdapatnya berbagai bentuk deviasi kebahasaan,
termasuk penyimpangan struktur kalimat, merupakan hal yang wajar dan sering
terjadi dalam bahasa sastra. Penyimpangan struktur kalimat itu dapat terjadi
dalam berbagai bentuk, misalnya berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan,
penghilangan unsur tertentu, dan lain-lain. Kesemuanya dimaksudkan untuk
mendapatkan efek estetis134 tertentu di samping itu juga untuk menekankan pesan
tertentu (foregrounding) sebagai salah satu ciri bahasa sastra.135
3. Retorika
Beretorika harus dapat dipertanggungjawabkan disertai dengan diksi yang
tepat dan nada bicara yang sesuai dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan siapa
lawan bicara yang dihadapi.136 Karena retorika itu berkaitan dengan
pendayagunaan semua unsur bahasa, baik yang menyangkut diksi dan ungkapan,
struktur kalimat, segmentasi, penyusunan dan penggunaan bahasa kias,
pemanfaatan bentuk citraan, dan seterusnya, yang disesuaikan dengan situasi dan
tujuan penuturan. Adanya unsur-unsur kekhasan, ketepatan dan kebaruan bentuk
pengungkapan -yang sangat bergantung pada kemampuan imajinasi dan kreatifitas
pengarang dalam menyiasati gagasan dan bahasa- akan menentukan keefektifan
wacana yang dihasilkan. Dalam konteks karya sastra, hal itu akan menentukan
kadar dan kualitas kesastraan karya bersangkutan.137

134
. Menurut Jossep T. Shipley dalam bukunya Dictionary of Word Origins sebagaimana
dikutip oleh Nyoman Kutha Ratna berpendapat bahwa secara etimologis estetika berasal dari
bahasa Yunani yaitu aistheta yang juga diturunkan dari aisthe yang berarti hal-hal yang dapat
ditanggapi oleh indra, tanggapan indra. Pada umumnya aisthe dioposisikan dengan noeta, dari akar
kata noein, nous yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan pikiran. Dalam pengertian yang lebih
luas berarti kepekaan untuk menanggapi suatu objek, kemampuan pencerapan indra, sebagai
sensivitas. Dalam bahasa Inggris menjadi aesthetics atau esthetics yang berarti studi tentang
keindahan. Lihat Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Budaya, hlm. 3-4.
135
. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 293. Lihat juga Syihabudin
Qalyubi, Stilistik dalam Orientasi Studi al-Qur’an, hlm. 60.
136
. Http://ngawieducation. blogspot. Com /2009 /02/ stilistik-unsur-retorika-gaya-
bahasa. html
137
. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 295-296.

56
Pemajasan
Setiap orang yang menggunakan bahasa dalam berkomunikasi, secara
implisit sesungguhnya ia telah menggunakan gaya berbahasa itu sendiri.
Pemakaian bentuk gaya bahasa mempunyai tujuan untuk membangkitkan suasana
dan kesan tertentu, tanggapan indera tertentu, dan juga dimaksudkan pula untuk
memperindah penuturan.138 Karena itu, jumlah gaya bahasa atau majas sangat
bervariasi ragamnya. Gaya berbahasa setiap orang tidak berbeda seratus presen,
tetapi ada kesamaannya. Berdasarkan kesamaan dalam pengungkapannya maka
dibuatlah ciri gaya berbahasa dan dibuatlah nama gaya dalam berbahasa.
Pembicaraan mengenai pengelompokkan jenis gaya bahasa atau style
menurut para ahli bahasa berbeda-beda klasifikasinya. Lain penulis lain pula
klasifikasinya. Henry Guntur Tarigan membagi sejumlah gaya bahasa ke dalam
empat kelompok besar yaitu ; gaya bahasa perbandingan139, gaya bahasa
pertentangan140, gaya bahasa pertautan141, dan gaya bahasa perulangan.
Penyiasatan Struktur
Bahasa memegang peranan dalam memanipulasi ciri-ciri etis karya sastra.
Melalui ciri-ciri metaforis konotatif, melalui aspek stilistik, pesan-pesan
disampaikan sedemikian rupa sehingga pembaca memahaminya semata-mata
sebagai keindahan, bukan sebagai aturan dan norma.142 Dalam kaitannya dengan
tujuan untuk mencapai efek retoris sebuah pengungkapan, peranan penyiasatan
struktur (rhetorical figures atau figure of speech) tampaknya lebih menonjol dari

138
. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 297.
139
. Ragam gaya bahasa perbandingan meliputi : perumpamaan, metafora, personifikasi,
depersonifikasi, alegori, antitesis, pleonasme, tautologi, perifrasis, antisipasi (prolepsis),
koreksio (epanortosis). Lihat http://endonesa.wordpress.com/2008/09/08/majas/URL. Lihat juga
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, hlm. 9-34.
140
. Ragam gaya bahasa pertentangan meliputi ; Hiperbola, litotes, ironi, oksimoron,
paronomosia, zeugma, silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, anti klimaks,
apostrof, anastrof atau inversi, apofasis, histeron proteran, hipalase, sinisme, sarkasme. Lihat
http://endonesa.wordpress.com/2008/09/08/majas/URL. Lihat juga Ernawati Waridah, EYD dan
Kebahasa-Indonesian, (Jakarta: Kawan Pustaka, 2008), hlm. 329-330.
141
. Ragam gaya bahasa pertautan meliputi ; Metonimia, sinekdoke, alusio, eufimisme,
eponim, antonomasia, epitet, erotesis, paralelisme, elipsis, gradasi, asindeton, polisindeton. Lihat
http://endonesa.wordpress.com/2008/09/08 / majas/URL.
142
. Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Budaya, hlm. 297.

57
pada pemajasan. Namun, keduanya pun dapat digabungkan. Pemajasan
disampaikan melalui struktur yang bervariasi, struktur yang disiasati, sehingga
dari segi ini pun akan terasa baru dan segar. Sebaliknya bangunan struktur kalimat
pun dapat untuk menekankan penyampaian pesan, baik yang bersifat langsung
maupun kiasan.143
Pencitraan
Penggunaan kata-kata dan ungkapan yang dapat membangkitkan
tanggapan indera manusia disebut sebagai pencitraan. Pencitraan merupakan suatu
gaya penuturan yang banyak dimanfaatkan dalam penulisan sastra. Ia dapat
dipergunakan untuk mengkongkretkan ekspresi gagasan-gagasan yang sebenarnya
abstrak melalui kata-kata dan ungkapan yang mudah membangkitkan tanggapan
imajinasi. Dengan perantaraan indera imajinasinya, pembaca akan dapat dengan
mudah membayangkan, merasakan dan menangkap pesan yang disampaikan oleh
pengarang.144 Citraan dalam karya sastra bisa berupa citraan penglihatan (visual),
pendengaran (auditoris), gerakan (kinestetik), rabaan (taktil termal), dan
penciuman (olfaktori). Contoh : Nabi Nuh dan umatnya berlayar dalam sebuah
gelombang yang menggunung. Kata menggunung merupakan citraan visual yang
bisa dirasakan oleh indera penglihatan manusia.
Kohesi
Penggabungan dua kata atau lebih dalam satu kalimat menuntut adanya
keserasian di antara unsur-unsur tersebut baik dari segi makna maupun dari segi
bentuk.145 Sudah tentu pemilihan kata-katanya juga harus tepat.146 Karena fungsi
tiap alenia adalah untuk mengembangkan sebuah gagasan tunggal, maka tidak
boleh terdapat unsur-unsur yang sama sekali tidak mempunyai pertalian dengan
maksud tunggal tadi. Penyimpangan-penyimpangan dari maksud tadi hanya akan

143
. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 301.
144
. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 304
145
. Hasan Alwi dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2003), hlm. 316.
146
. Sheridan Baker, The Complete Stylist, (New York: Thomas Y. Growell Company,
1966), hlm. 71.

58
mempersulit pembaca, dan mempersulit pula titik pertemuan antara gagasan
penulis dengan pembaca.147 Jika hal ini diterapkan dalam karya sastra yang
berorientasi untuk mendukung tujuan estetis, maka pemilihan makna atau
penggunaan bentuk-bentuk kohesi tersebut memerlukan adanya penyiasatan.148

D. Gaya Bahasa Sinekdoke


Menurut tradisi klasik gaya bahasa sinekdoke berbeda dengan gaya bahasa
metonimi. Istilah yang pertama yakni gaya bahasa sinekdoke dipakai sebagai
penggantian dalam kerangka isi konseptual. Sementara istilah yang kedua yakni
gaya bahasa metonimi merupakan sebuah penggantian dengan aspek lain dari
realitas sesuatu yang biasanya dikaitkan dengan tempat.149 Term sinekdoke berasal
dari bahasa Yunani synekdechesthai. Asal kata ini adalah syn berarti dengan + ex
berarti keluar + dechesthai berarti mengambil atau menerima yang secara
kalamiah berarti menyediakan atau memberikan sesuatu kepada apa yang baru
disebutkan. Dengan perkataan lain, sinekdoke merupakan gaya bahasa yang
mengatakan sebagian untuk pengganti keseluruhan atau keseluruhan sebagai
pengganti sebagian.150
Dalam pandangan Leonard Bloomfield perubahan makna pada bentuk
bahasa hanyalah akibat adanya perubahan dalam pemakaian bentuk lain yang
secara semantis berhubungan. Gaya bahasa sinekdoke misalnya, yang unsur
sebagiannya bisa membangun unsur keseluruhan atau sebaliknya mengungkapkan
unsur keseluruhan tapi yang dimaksud adalah unsur sebagian.151 Jika istilah
sinekdoke pars pro toto maupun totum pro parte ditarik ke dalam istilah ilmu

147
. Gorys Keraf, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa, (Jakarta: Nusa
Indah, 1994), hlm. 67.
148
. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 306.
149
. Umberto Eco, A Theory of Semiotics, alih bahasa Inyiak Ridwan Muzir, Teori
Semiotika, Signifikansi Komunikasi, Toeri Kode serta Toeri Produksi Tanda, hlm. 420.
150
. Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, hlm. 124.
151
. Leonard Bloomfield, Language, London : Compton Printing LTD., 1988, hlm. 425-
426.

59
Balâghat, maka secara semantis pada hakekatnya ia memiliki makna yang sama
dengan majâz mursal’alâqatuhu al- juz’iyyat dan al-kulliyyat.
Dalam sebuah karya sastra, elemen yang paling mendalam adalah
keindahan dari segi gaya bahasa. Dan al-Qur’an memiliki karakteristik ini.
Sehingga banyak orang yang beranggapan bahwa al-Qur’an adalah puisi atau
prosa. Meskipun masalah ini belum terselesaikan karena banyak yang
menengarahi bahwa al-Qur’an bukanlah merupakan puisi atau prosa. Dalam
perspektif ilmu al-Qur’an, al-Qur’an telah dinilai sebagai kitab klasik (firman
Allah) yang memiliki sisi keagungan sastra, bahkan karya sastra ideal itu sendiri.
Ia merupakan mukjizat yang letak kemukjizatannya tidak hanya terletak pada
isinya, tetapi juga pada keindahan bahasanya. Sehingga tidaklah mengejutkan jika
kepuitisan al-Qur’an menjadi objek kajian para pengkaji sastra Arab, dari masa
klasik hingga masa modern. Selain itu mengingat Balâghat lahir karena
dipengaruhi oleh al-Qur’an. Hal ini mengingat dalam al-Qur’an memang memuat
banyak sisi balâghat. Majâz mursal’alâqatuhu al-juz’iyyat (sinekdoke pars pro
toto) misalnya, yang terdapat pada Q.S. : 3 : 167, dan majâz mursal’alâqatuhu al-
kulliyyat (sinekdoke totum pro parte) Q.S. : 2 : 19 dan sebagainya.152
Gaya bahasa sinekdoke berperan penting dalam ekspresi puisi atau karya
sastra, sebab melalui gaya bahasa sinekdoke dapat mengajak kepada para pembaca
untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangkitan imajinasi dan daya penalaran
objek yang dimaksud oleh penyair atau pengarang.153 Bentuk gaya bahasa
sinekdoke terbagi menjadi dua macam yakni sinekdoke pars pro toto (majâz
mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat) dan sinekdoke totum pro parte (majâz
mursal’alâqatuhu al-kulliyyat).
1. Sinekdoke Pars Pro Toto (Majâz Mursal ‘Alâqatuhu al-Juz’iyyat)
Gaya bahasa sinekdoke pars pro toto yang dalam istilah ilmu Bayân
disebut sebagai majâz mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat didefinisikan oleh al-
152
. Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Klasik dan Modern, (Jakarta: Rajawali Press,
2009), hlm. 144-146.
153
. Siswantoro, Apresiasi Puisi-Puisi sastra Inggris, hlm. 39.

60
Hâsyimî sebagai suatu majâz dengan memanfaatkan kata kias yang mengandung
makna sebagian (juz’) tetapi mengacu kepada makna keseluruhan (kull).154
Sementara Ahmad Mushthafâ al-Marâghî mengatakan bahwa majâz
mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat yang dalam istilah kontemporernya disebut
sinekdoke pars pro toto merupakan suatu kata yang maknanya tercakup
(terkandung) oleh sesuatu yang lain.155Uslûb Arab memang sering kali menunjuk
pada satu bagian tertentu guna mengilustrasikan keseluruhan anggota yang
berkaitan dengan bagian itu. Bagian yang dipilih biasanya merupakan bagian yang
terpenting atau yang termulia. Misalnya dalam diri seseorang, indera mata, wajah,
atau dahi digunakan untuk menggambarkan totalitas manusia.156 Atau ruku’,
sujud, berdiri, dan membaca untuk menggambarkan totalitas ibadah shalat. Di
balik uslûb Arab tersebut biasanya tersimpan efek artistik atau estetika tertentu
yang hendak disampaikan pada pembaca atau pendengar.
Menurut banyak peneliti, karya Abû ‘Ubaidat al-Musannâ
(W.207H./822M.) yang berjudul Majâz al-Qur’ân dianggap sebagai karya paling
awal yang secara eksplisit memuat serta menggunakan kata majâz. Akan tetapi
yang dimaksud Abû ‘Ubaidat dalam karya tersebut tidak ada hubungannya secara
eksplisit dengan majâz dalam pengertian kajian sastra Arab modern. Menurutnya
yang termasuk dalam istilah majâz diantaranya adalah : kalimat susunan balik
(taqdîr wa ta’khîr), eliptik suku kata yang bervarian seperti ikhtisar maupun
mudlmar, pleonasme, metonomia.157
Sarjana klasik lain yang menggunakan derivasi kata majâz seperti Abî
Zakariyyâ Yahyâ Ibn Ziyâd al-Farrâ’ (W.210H/825M). Al-Farrâ’ tidak
menggunakan term majâz seperti halnya Abû ‘Ubaidat, tetapi ia menggunakan

154
. Ahmad al-Hâsyimî , Jawâhir al-Balâghat fi al-Ma’ânî al-Bayân wa al-Badî’, hlm.
179.
155
. Hussein Abdur Raof, Arabic Rhetoric a Pragmatic Analysis, hlm 227. Lihat juga
Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, ‘Ulûm al-Balâghat al-Bayân wa al-Ma’ânî wa al-Badî’, hlm. 304.
156
. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Volume 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 418.
157
. M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 187-188.

61
term tajawwuz (melampaui) semata-mata untuk penggunaan stilistik. Sebuah
kalimat hanya karena bangunan stilistik dan strukturnya bisa memiliki arti yang
melampaui batas-batas leksikal dan gramatikalnya, tidak lagi harus terpaku pada
makna haqîqî yang dimilikinya.158
Seni pengungkapan ayat al-Qur’an yang memiliki pengertian tajawwuz
sebagaimana terdapat dalam surat Âli ’Imrân : 3 : 113.159 Menurut Abî Zakariyyâ
Yahyâ Ibn Ziyâd al-Farrâ’ (W.210H./825M.) seorang linguis yang beraliran
Kuffah mengatakan bahwa kata sujud yang yang berasal dari kata sajada itu
menunjukkan arti shalat bukan hanya sujud. Pemaknaan seperti ini
memungkinkan adanya perluasan arti kata tersebut. Relasi (’alâqat) antara sujud
dengan shalat menurut al-Farrâ’, merupakan relasi antara cabang atau bagian
dengan keseluruhan, karena gerakan sujud merupakan bagian dari aktifitas shalat,
dan oleh karenanya bersujud mewakili shalat itu sendiri.160 Dengan istilah
kontemporer al-Farrâ’ menetapkan kata sujud sebagai sinekdoke pars pro toto.
Hubungan majâzî yang dimaksud al-Farrâ dalam kasus ini adalah penyebutan
bagian untuk menunjukkan makna keseluruhan (ta’bîr al-juz’ ’an kull). Dalam
kaitannya dengan ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sujud merupakan
bagian penting. Shalat yang berfungsi mengarahkan makna shalat dan bacaan ayat
al-Qur’an tidak diucapkan pada waktu sujud. Dengan demikian, makna yang
tersimpan dalam ungkapan tersebut menjadi jelas dan ungkapan itu merupakan
majâz.
Argumentasi yang telah dipaparkan oleh al-Farrâ’ di atas, menunjukkan
bahwa pandangan dan analisis al-Farrâ’ mengenai tajawwuz dalam ungkapan dan
kalimat-kalimat yang terdapat dalam al-Qur’an itu memiliki kesamaan dengan
pemikiran dan istilah majâz yang digulirkan oleh Abû ’Ubaidat.

158
. M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 188.
159
. Artinya “ Mereka itu tidak sama; di antara ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku
lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga
bersujud (sembahyang) ” (Q.S. Âli ’Imrân : 3 : 113).
160
. Abî Zakariyâ’ Yahyâ Ibn Ziyâd al-Farrâ’, Ma’ânî al-Qur’ân, Jilid I, (Kairo: ’Abd al-
Fattâh Tsalabî, 1955), hlm. 231.

62
2. Sinekdoke Totum Pro Parte (Majâz Mursal ’Alâqatuhu al-Kulliyyat)
Ahmad Mushthafâ al-Marâghî mengatakan bahwa majâz mursal
’alâqatuhu al-kulliyyat adalah penggunaan suatu majâz yang menyebutkan
keseluruhan tetapi yang dimaksud adalah sebagian.161 Senada dengan pendapat di
atas Ahmad al-Hâsyimî mendefinisikan gaya bahasa sinekdoke totum pro parte
yang dalam istilah ilmu Bayân disebut sebagai majâz mursal ’alâqatuhu al-
kulliyyat sebagai suatu bentuk majâz yang di dalamnya mengungkapkan
keseluruhan (kull) padahal yang dimaksud adalah sebagian (juz’).162 Sementara
ahli Balâghat lain semisal Ahmad Mathlûb mengatakan bahwa gaya bahasa
sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ’alâqatuhu al-kulliyyat) merupakan
sebuah kalimat yang menyebutkan keseluruhan, tetapi yang dimaksud adalah
sebagian dari keseluruhan yang ada.163
Argumentasi yang dipaparkan oleh para ahli di atas meskipun redaksinya
berbeda tetapi maksudnya sama, setidaknya bisa memberikan gambaran bahwa
yang dimaksud dengan gaya bahasa sinekdoke totum pro parte (majâz mursal
’alâqatuhu al-kulliyyat) merupakan sebuah gaya pengungkapan kalimat dengan
menggunakan kata keseluruhan (kull) tetapi yang dimaksud sebagian (juz’) saja.
Gaya bahasa semacam ini seringkali dipergunakan al-Qur’an dalam menguntai
kalimatnya. Ekspresi ini dipakai untuk memberikan estetika terhadap bahasa al-
Qur’an.

E. Kriteria Gaya Bahasa Sinekdoke


Baik sarjana muslim klasik semisal Abî Zakariyyâ Yahyâ Ibn Ziyâd al-
Farrâ’164 (W.210H./825M.), ’Abd al-Qâhir al-Jurjânî (W.471H./1078M.), maupun

161
. Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, ‘Ulûm al-Balâghat al-Bayân wa al-Ma’ânî, hlm.
304.
162
. Ahmad al-Hâsyimî , Jawâhir al-Balâghat fi al-Ma’ânî al-Bayân wa al-Badî’, hlm.
179.
163
. Ahmad Mathlûb, Funûn Balâghiyyat al-Bayân al-Badî’, Kuwait : Dâr al-Buhûts al-
’Ilmiyyat, 1975, hlm. 112.
164
. Abî Zakariyâ’ Yahyâ Ibn Ziyâd al-Farrâ’, Ma’ânî al-Qur’ân Jilid I, hlm. 14-15.

63
sarjana muslim modern semisal Ahmad Mathlûb dan Ahmad al-Hâsyimî
(W.1362H.)165 pada tataran karakteristik gaya bahasa sinekdoke mereka tidak
memberikan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam kategori gaya
bahasa sinekdoke. Mereka hanya memberikan penjelasan mengenai gaya bahasa
sinekdoke baik pars pro toto (majâz mursal’alâqatuhu al-juz’iyyat) maupun totum
pro parte (majâz mursal ’alâqatuhu al-kulliyyat) pada tataran definitif saja.
Sementara di kalangan ahli linguistik dan retorika Indonesia semisal
166
Henry Guntur Tarigan (L.1933M.) dan Gorys Keraf (L.1936 M.), mereka juga
tidak memberikan batasan-batasan persyaratan yang harus dimiliki gaya bahasa
sinekdoke baik pars pro toto maupun totum pro parte. Mereka hanya memberikan
penjelasan mengenai gaya bahasa sinekdoke hanya pada tataran definitif saja.
Gaya bahasa sinekdoke pars pro toto maupun totum pro parte termasuk
dalam kategori majâz mursal. Secara generik majâz mursal167 itu memiliki

165
. Ahmad al-Hâsyimî , Jawâhir al-Balâghat fi al-Ma’ânî al-Bayân wa al-Badî’, hlm.
179. Lihat ’Abd al-Qâhir al-Jurjânî, Asrâr al-Balâghat, hlm. 366. Lihat juga Ahmad Mathlûb,
Funûn Balâghiyyat al-Bayân al-Badî’, hlm. 112
166
. Meski keduanya merupakan ahli linguistik dan retorika tetapi ia tidak memberikan
kriteria secara jelas yang harus dipenuhi dalam gaya bahasa sinekdoke. Lihat Gorys Keraf, Diksi
dan Gaya Bahasa, hlm. 142. Lihat juga Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, hlm.
124.
167
. Majâz mursal itu memiliki relasi (‘alâqat) sebagai berikut : Al-Sababiyyat yaitu
makna yang dipindahkan itu merupakan sebab dan memberi pengaruh pada yang lainnya. Al-
Musabbabiyyat yaitu makna yang dipindahkan merupakan hal yang disebabkan dan akibat bagi
sesuatu yang lain. Al-Kulliyyat yaitu makna yang dipindahkan menyimpan hal yang dimaksudkan
dan lainnya. Al-Juz’iyyat yaitu lafadz yang disebutkan menyimpan makna sesuatu yang lain. Al-
Lâzimiyyat, yaitu sesuatu pasti terwujud di kala sesuatu yang lain terwujud. Al-Malzûmiyyat, yaitu
adanya wujud sesuatu mewajibkan sesuatu yang lain. Al-Âliyyat, yaitu adanya sesuatu merupakan
perantara atau alat untuk menyampaikan pengaruh sesuatu kepada lainnya. Al-Ithlâq yaitu adanya
sesuatu itu dilepaskan dari beberapa batasan. Al-Taqyîd yaitu adanya sesuatu dibatasi dengan
sesuatu batasan atau lebih banyak. Al-‘Umûm, yaitu adanya suatu lafadz yang menunjukkan
kepada yang umum (banyak) tetapi yang dimaksud adalah satu. Al-Khushûsh, yaitu adanya lafadz
memang khusus untuk suatu yang satu. I’tibâr mâ kâna, yaitu menyebutkan sesuatu yang telah
terjadi sedangkan yang dimaksud adalah sesuatu yang akan terjadi atau yang belum terjadi. I’tibâr
mâ yakûn, yaitu menyebutkan sesuatu dengan keadaan yang akan terjadi sedangkan yang
dimaksud adalah keadaan sebelumnya. Al-Hâliyyat, yaitu menyebutkan suatu keadaan padahal
yang dimaksud adalah yang menempatinya. Al-Mahaliyyat, yaitu menyebutkan tempat sesuatu
padahal yang dimaksud adalah yang menempatinya. Al-Badaliyyat, yaitu penggunaan kata yang
merupakan pengganti dari kata yang lain yang tidak disebut. Al-Mubaddaliyyat, yaitu penggunaan
suatu kata yang digantikan dengan kata yang lain. Al-Mujâwarat, yaitu penggunaan suatu kata
yang dalam realitasnya berdekatan dengan kata yang lain. Al-Ta’alluq al-Isytiqâqî, yaitu
mengungkapkan suatu bentuk (shighat) tetapi yang dimaksud adalah bentuk (shighat) yang lain.
Lihat Muhammad ‘Alî Sulthânî, Al-Mukhtâr min ‘Ulûm al-Balâghat wa al-‘Arûdl, (Suriat: Dâr al-

64
beberapa kriteria atau persyaratan yang harus dipenuhi dalam ungkapan yang
beruslûb majâzî. Persyaratan tersebut menggantungkan kepada yang lain, di mana
jika sesuatu yang pertama ada, maka yang kedua juga ada. Kriteria tersebut adalah
: pertama, adanya relasi (‘alâqat)168 antara makna haqîqî (denotasi) dengan
makna majâzînya (konotasi), namun relasi ini tidak ada keserupaan (ghair
musyâbahat), kedua, adanya indikator (qarînat)169 yang dapat menolak makna
haqîqî baik indikator itu bersifat tekstual (lafdziyyat) maupun yang bersifat
kontekstual (hâliyyat).
Dalam kaitannya dengan sinekdoke pars pro toto (majâz mursal
‘alâqatuhu al-juz’iyyat) dan sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu
al-kulliyyat), menurut penulis barang kali hanya Ahmad Mushtafâ al-Marâghî170
yang dalam bukunya menetapkan dua persyaratan yang memungkinkan
terjadinya relasi (‘alâqat) antara makna haqîqî dengan makna lain yang berupa
makna majâzî. Syarat adanya relasi tersebut adalah ; pertama, hendaknya
keseluruhan (kull) itu merupakan struktur atau relasi yang sesungguhnya, kedua,
penghilangan unsur sebagian (juz’) itu mengharuskan adanya penghilangan unsur
keseluruhan (kull) dan merupakan hasil dari konversi umum, bukan merupakan
rekayasa individu. Sebagaimana meniadakan ”leher” atau ”kepala” sama saja
dengan menafikan adanya manusia. Contoh seperti ini tidak bisa disamakan

‘Ashmâ’, TT.), hlm. 119-129. Lihat juga Hussein Abdur Raof, Arabic Rhetoric a Pragmatic
Analysis, hlm. 225-232.
168
. Ahmad al-Hâsyimî mendefinisikan ‘alâqat adalah adanya kesamaan atau kesesuaian
yang menghubungkan antara makna asal suatu kata (haqîqî atau denotasi) dengan makna sekunder
(majâzî atau konotasi), baik karena adanya keserupaan (musyâbahat) maupun tidak adanya
keserupaan (ghairu musyâbahat). Lihat Ahmad al-Hâsyimî, Jawâhir al-Balâghat fi al-Ma’ânî al-
Bayân wa al-Badî’, hlm. 291.
169
. Ahmad al-Hâsyimî berpendapat bahwa qarînat (indikator) adalah sesuatu yang
dijadikan sebagai faktor yang dapat memalingkan makna dasar (haqîqî atau denotasi) kepada
makna lainnya (majâzî atau konotasi). Indikator ini dapat mengubah pikiran pendengar/pembaca
sehingga tidak mengambil makna dasar (haqîqî atau denotasi). Indikator ini dapat berupa lafazh
(teks) juga dapat berupa keadaan (konteks). Lihat Ahmad al-Hâsyimî, Jawâhir al-Balâghat fi al-
Ma’ânî al-Bayân wa al-Badî’, hlm. 291.
170
. Ahmad Mushtafâ al-Marâghî, 'Ulûm al-Balâghat al-Bayân wa al-Ma'ânî wa al-Badî',
hlm. 304.

65
dengan ungkapan tidak adanya kuku atau telinga pasti tidak akan ada manusia,
sebab tanpa kuku dan telinga manusia itu bisa hidup.
Persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh Al-Marâghî di atas
menunjukkan bahwa ia benar-benar memiliki metodologi yang kuat untuk
mengkategorikan kata ke dalam gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz
mursal‘alâqatuhu al-juz’iyyat) maupun sinekdoke totum pro parte (majâz mursal
‘alâqatuhu al-kulliyyat).

66
BAB III
GAYA BAHASA SINEKDOKE PARS PRO TOTO
DALAM AL-QUR’AN

Central penelitian dalam tesis ini adalah bentuk gaya bahasa sinekdoke
pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) dan sinekdoke totum pro
parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) dalam al-Qur’an. Dalam bab ini,
penulis terlebih dahulu akan menyajikan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto
(majâz mursal‘alâqatuhu al-juz’iyyat), dalam al-Qur’an melalui telaah terhadap
relasi (‘alâqat) makna antara sebagian (juz’) dengan keseluruhan (kull)nya dengan
menggunakan parameter ilmu Balâghat. Sementara gaya bahasa sinekdoke totum
pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) dalam al-Qur’an akan penulis
sajikan pada bab berikutnya. Melalui parameter ilmu Balâghat diharapkan dapat
ditemukan keistimewaan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal
‘alâqatuhu al- juz’iyyat) yang terdapat dalam al-Qur’an.
A. Gaya Bahasa Sinekdoke Pars Pro Toto (Majâz Mursal ‘Alâqatuhu al-
Juz’iyyat) pada Ayat-Ayat Makkiyyat
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat dari totalitas surat yang ada, baik yang
turun di Mekkah dan sekitarnya maupun yang turun di Madinah dan sekitarnya.
Pada bab ini, penulis akan membatasi diri pada surat atau ayat yang turun di
Mekkah. Hal ini sangat penting, karena yang menjadi penelusuran dalam
pembahasan tesis ini adalah gaya sinekdoke pars pro toto dalam bidang teologi,
bidang shalat, bidang pahala (ajr) dan siksaan (‘adzab) di mana salah satu ciri
khas tema surat Makkiyyat sebagaimana dikemukakan oleh mayoritas ‘ulama
adalah ajakan kepada manusia untuk bertauhid, beribadah hanya kepada Allah,
pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan
hiruk-pikuknya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmatnya, argumentasi

67
terhadap orang-orang kafir dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-
ayat kauniyyat.
Untuk membedakan antara Makkiyyat dan Madaniyyat, maka para
‘ulama mempunyai tiga macam istilah atau pandangan yang menjadi ciri khas
keduanya. Pertama, dari segi waktu turunnya ayat. Makkiyyat adalah ayat atau
surat yang diturunkan sebelum nabi hijrah ke Madinah meskipun bukan turun di
Mekkah. Sementara ayat-ayat Madaniyyat adalah ayat atau surat yang diturunkan
sesudah nabi hijrah ke Madinah sekalipun tidak turun di Madinah. Kedua, dari
segi tempat turunnya. Makkiyyat adalah ayat atau surat yang turun di Mekkah dan
sekitarnya, seperti Mina, ‘Arafah dan Hudaibiyyah. Sementara ayat-ayat
Madaniyyat adalah ayat atau surat yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti
Uhud, Quba, dan Sil.171 Ketiga, dari segi sasarannya. Makkiyyat adalah ayat atau
surat yang seruannya ditujukan kepada penduduk Mekkah, dan Madaniyyat
seruannya ditujukan kepada penduduk Madinah.172 Berdasarkan pendapat ini,
maka para ulama menyatakan bahwa ayat al-Qur’an yang mengandung seruan ‫ﻴـﺎ‬
‫( ﺍﻴﻬﺎ ﺍﻝﻨﺎﺱ‬wahai manusia) termasuk dalam kategori Makkiyyat. Sedangkan yang
mengandung seruan ‫( ﻴـﺎ ﺍﻴﻬـﺎ ﺍﻝـﺫﻴﻥ ﺍﻤﻨـﻭﺍ‬wahai orang-orang yang beriman)
termasuk dalam kategori Madaniyyat.173
Batasan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai patokan harga mati yang
tidak bisa ditawar lagi, sebab melalui pengamatan yang cermat terhadap al-
Qur’an, masih saja terdapat ayat-ayat yang menggunakan ciri-ciri di atas tetapi
tidak masuk dalam kategori Makkiyyat atau Madaniyyat. Surat al-Baqarat : 2 :
21174 misalnya, yang oleh kebanyakan ‘ulama termasuk dalam kategori ayat

171
. Muhammad ‘Abd al-‘Adzîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz
1, (Beirut: Dâr al-Salâm, 1424 H.) hlm.195.
172
. Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz 1,
(Beirut: al-Maktabat al-‘Ashriyyat, 1988), hlm. 23.
173
. Badr al-Dîn Muhammad ibn ‘Abd Allâh al-Zarkasyî, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-
Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2006), hlm. 132.
174
.‫ﻥ‬ ‫ ﹶﺘﱠﺘﻘﹸﻭ‬‫ﻌﱠﻠ ﹸﻜﻡ‬ ‫ ﹶﻝ‬‫ﻠ ﹸﻜﻡ‬‫ ﹶﻗﺒ‬‫ﻤﻥ‬ ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺍﱠﻝﺫ‬‫ ﻭ‬‫ﺨﹶﻠ ﹶﻘ ﹸﻜﻡ‬
‫ﻱ ﹶ‬‫ﻡ ﺍﱠﻝﺫ‬ ‫ﺒ ﹸﻜ‬‫ﺭ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﺒﺩ‬ ‫ﺱ ﺍﻋ‬
 ‫ﺎ ﺍﻝﻨﱠﺎ‬‫ﻴﻬ‬‫ﺎ َﺃ‬‫ﻴ‬

68
Madaniyyat, tetapi ia didahului oleh ungkapan ‫ ﻴﺎ ﺍﻴﻬﺎ ﺍﻝﻨﺎﺱ‬. Kasus lain
sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Hajj : 22 : 77175 yang tergolong surat
Makkiyyat juga didahului dengan ungkapan ‫ﻴﺎ ﺍﻴﻬﺎ ﺍﻝﺫﻴﻥ ﺍﻤﻨﻭﺍ‬.
Hitungan mengenai jumlah surat Makkiyyat dan Madaniyyat di kalangan
‘ulama klasik terjadi perbedaan pendapat. Namun, dalam penulisan tesis ini
penulis berpijak pada pendapat yang dikemukan oleh Abû al-Hasan ibn al-
Hashshâr dalam kitab al-Nâsikh wa al-Mansûkh sebagaimana dikutip oleh al-
Suyûthî yang mengatakan bahwa jumlah bilangan surat Makkiyyat dan
Madaniyyat yang mendekati kebenaran adalah bahwa surat Madaniyyat
berjumlah dua puluh yakni surat : al-Baqarat, Âli ‘Imrân, al-Nisâ’, al-Mâ’idat, al-
Anfâl, al-Taubat, al-Nûr, al-Ahzâb, Muhammad, Fath, Hujurât, al-Hadîd, al-
Mujâdalat, al-Hasyr, al-Mumtahanat, al-Jumu’at, al-Munâfiqûn, al-Thalâq, al-
Tahrîm, dan al-Nashr.176
Sedangkan surat yang menjadi kontroversi antara Makkiyyat dan
Madaniyyat di kalangan para ‘ulama ada dua belas surat yakni : al-Fâtihat, al-
Ra’d, al-Rahmân, al-Shaff, al-Taghâbun, al-Tathfîf, al-Qadr, al-Bayyinat, al-
Zalzalat, al-Ikhlâs, al-Falaq, dan al-Nâs.177 Dengan demikian, selain surat-surat
yang telah disebutkan di atas, maka dikategorikan sebagai surat Makkiyyat yang
jumlahnya ada delapan puluh dua surat. Jika kedua surat antara Makkiyyat yang
berjumlah 82 dan Madaniyyat yang berjumlah 22, serta 12 surat yang merupakan
kontroversi antara Makkiyyat dan Madaniyyat itu digabungkan menjadi satu,

Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-
orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa (Q.S. al-Baqarat : 2 : 21).
175
. ‫ﻭﻥ‬‫ﻠﺤ‬‫ ﹸﺘﻔﹾ‬‫ﻌﱠﻠ ﹸﻜﻡ‬ ‫ﺭ ﹶﻝ‬
 ‫ﺨﻴ‬
‫ﻌﻠﹸﻭﺍ ﺍﻝﹾ ﹶ‬ ‫ﺍﻓﹾ‬‫ ﻭ‬‫ﺒ ﹸﻜﻡ‬‫ﺭ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﺒﺩ‬ ‫ﺍﻋ‬‫ﻭﺍ ﻭ‬‫ﺠﺩ‬
 ‫ﺍﺴ‬‫ﻭﺍ ﻭ‬‫ ﹶﻜﻌ‬‫ﻤﻨﹸﻭﺍ ﺍﺭ‬ ‫ َﺁ‬‫ﻴﻥ‬‫ﺎ ﺍﱠﻝﺫ‬‫ﻴﻬ‬‫ﺎ َﺃ‬‫ﻴ‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan (Q.S. al-Hajj : 22 : 77).
176
. Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz 1, hlm.
28. Lihat juga Muhammad ‘Abd al-‘Adzîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
hlm. 201. Lihat juga Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, alih bahasa
Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2007), hlm. 74.
177
. Muhammad ‘Abd al-‘Adzîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
hlm. 201. Lihat juga Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, alih bahasa
Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm. 74.

69
maka hitungan totalitas surat yang ada dalam al-Qur’an berjumlah 114 sesuai
dengan jumlah yang terdapat dalam rasm ‘utsmânî.178
Adapun urutan surat Makkiyyat yang menjadi objek penelitian dalam
penulisan tesis sesuai dengan kronologi turunnya surat adalah sebagai berikut : al-
‘Alaq, al-Qalm, al-Muzammil, al-Mudatstsir, al-Lahab, al-Takwîr, al-A’lâ, al-Lail,
al-Fajr, al-Dluhâ, al-Insyirah, al-‘Ashr, al-‘Âdiyât, al-Kautsar, al-Takâtsur, al-
Mâ’ûn, al-Kâfirûn, al-Fîl, al-Najm, ‘Abasa, al-Syams, al-Burûj, al-Tîn, Quraisy,
al-Qâri’at, al-Qiyâmat, al-Humazat, al-Mursalât, Qâf, al-Balad, al-Thâriq, al-
Qamr, Shâd, al-A'râf, al-Jinn, Yâsîn, al-Furqân, Fâthir, Maryam, Thâhâ, al-
Wâqi’at, al-Syu’arâ’, al-Naml, al-Qashash, al-Isrâ’, Yûnus, Hûd, Yûsuf, al-Hijr,
al-An’âm, Al-Shâffât, Luqmân, Saba’, al-Zumar, al-Mu’min, al-Dukhân,
Fushshilat, al-Syûrâ, al-Zukhruf, al-Jâtsiyat, al-Ahqâf, al-Dzâriyât, al-Ghâsyiyat,
al-Kahf, al-Nahl, Nûh, Ibrâhîm, al-Anbiyâ’, al-Mu’minûn, al-Sajdat, al-Thûr, al-
Mulk, al-Hâqqat, al-Ma’ârij, al-Naba’, Al-Nâzi’ât, al-Insyiqâq, al-Infithâr, al-
Rûm, dan al-‘Ankabût.179
Dalam mengeksperikan bahasanya, al-Qur’an ia seringkali menggunakan
ragam gaya bahasa (figure of speech) yang beraneka ragam baik untuk
memerintahkan sesuatu kepada manusia ataupun untuk melarangnya. Sekali ayat
al-Qur’an menggunakan perintah dengan tegas langsung pada sasarannya, dan di
lain tempat dengan menyatakannya sebagai suatu kewajiban yang harus
dilakukan. Sementara di tempat lain lagi ayat al-Qur’an melukiskannya sebagai
kebajikan, atau mewasiatkan, atau menjanjikan di mana pelakunya mendapatkan

178
. Rasm ‘Utsmânî adalah bentuk penulisan al-Qur’an yang disusun oleh tim Zaid ibn
Tsâbit yang ditemani tiga orang dari Quraisy lainnya. Mereka bernama : Abd ‘Allah ibn Zubair,
Sa’id ibn ‘Ash, ‘Abd al-Rahmân ibn al-Hârits ibn Hisyâm yang ditunjuk oleh kholifah ‘Utsmân
ibn ‘Affân saat itu. Adapun dialek yang dominan dipergunakan adalah dialek Quraisy, mengingat
Rusulullah adalah keturunan Quraisy. Lihat Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
(Riyâdl: Mansyûrat al-‘Ashr al-Hadîts, TT.), hlm. 128-129.
179
. Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz 1, hlm.
26-27.

70
ganjaran yang banyak.180 Baik yang diungkapkan dengan menggunakan gaya
bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat) maupun
totum pro parte (majâz mursal ’alâqatuhu al-kulliyyat).
Menurut Nashr Hâmid Abû Zaid (L. 1943 M.), pada umumnya gaya
bahasa pada surat-surat Makkiyyat itu lebih mengandalkan pada upaya persuasif ,
artinya banyak bertumpu pada penggunaan bahasa dengan gaya bahasa yang
mempesona dan mengesankan dan lebih banyak berkaitan dengan penggunaan
fâshilat. Gaya bahasa ini secara umum terdapat pada surat-surat pendek dan
semuanya adalah surat Makkiyyat.181
Eksplorasi mengenai ayat-ayat Makkiyyat yang terdapat dalam al-Qur’an
berjumlah 4550 ayat, semuanya tersebar dalam 82 surat dari totalitas yang ada.
Namun, ayat-ayat tersebut tidak semuanya menggunakan gaya bahasa sinekdoke
pars pro toto atau majâz mursal’alâqatuhu al-juz’iyyat yang secara lahir
mengungkapkan sebagian padahal yang dimaksud dalam teks adalah keseluruhan,
tetapi terdapat juga ayat-ayat yang menggunakan gaya bahasa (figure of speech)
yang lainnya.
Dalam hal ini, penulis akan mengambil bahasa al-Qur’an dari ayat-ayat
Makkiyyat yang menggunakan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal
’alâqatuhu al-juz’iyyat) khususnya yang berinteraksi dengan wacana dalam
bidang teologi, wacana dalam bidang shalat, dan wacana dalam bidang pahala
(ajr) serta hukuman (‘adzâb) sebagai bahan pembuktian bahwa gaya bahasa
sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat) itu makna katanya
tidak bisa diartikan secara haqîqî (denotatif) tetapi harus dimaknai secara majâzî
(konotatif). Hal ini dipengaruhi oleh adanya relasi (‘alâqat) antara cabang (juz’)
dengan keseluruhan (kull) dan dipengaruhi pula oleh adanya indikator (qarînat)

180
. M. Quraish Syihab, Mukjizat Al-Qur'an ditinjau dari Segi Keaspekan Isyarat Ilmiah
dan Pemberitaan Gaib, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 127.
181
. Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nash fî ’Ulûm al-Qur’ân , Mesir : al-Hai’at al-
Mishriyyat al-’Âmmat li al-Kitâb, 1993, hlm. 90-91.

71
yang mampu menghalanginya untuk menunjuk pada makna sesungguhnya. Di
samping itu, penulis akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengungkap nilai
balâghat yang muncul dalam gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal
’alâqatuhu al-juz’iyyat) yang terdapat dalam ayat-ayat Makkiyyat.

B. Gaya Bahasa Sinekdoke Pars Pro Toto (Majâz Mursal ’Alâqatuhu al-
Juz’iyyat) dan Relasi Maknanya
Terkait dengan kontroversi persepsi mengenai eksistensi majâz dalam
al-Qur’an muncul beberapa pendapat; kaum Mu’tazilah yang secara dogmatis
ajarannya banyak bersinggungan dengan majâz mereka menjadikan majâz
sebagai senjata untuk memberikan interpretasi terhadap teks-teks yang tidak
sejalan dengan pemikiran mereka. Zhâhiriyah, kelompok yang menolak
eksistensi majâz baik dalam bahasa secara keseluruhan maupun dalam al-
Qur’an, dan sebagai konsekuensinya ia juga menolak adanya ta’wîl.
Asy’ariyah, kelompok yang mengakui adanya majâz dalam kondisi tertentu di
bawah persyaratan yang begitu ketat. Berkaitan dengan itu, maka di bawah ini
penulis kemukakan interpretasi mereka mengenai makna majâzî dalam al-
Qur’an yang berinteraksi dengan bidang teologi.
1. Bidang Teologi
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu, bahwa bentuk gaya
bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat) banyak
terdapat dalam al-Qur’an yang maknanya tidak mungkin bisa dipahami secara
haqîqî (denotatif) karena terdapat relasi (‘alâqat)182 antara makna haqîqî

182
.’Alâqat (relasi) merupakan suatu kondisi yang menunjukkan adanya relasi antara
makna asal suatu kata (haqîqî /denotasi) dengan makna majâzî (konotasi) sehingga suatu kata
dapat dipindahkan maknanya dari makna pertama yang merupakan makna asal (haqîqî
/denotasi) kepada makna kedua yang merupakan makna bukan asli (majâzî /konotasi). Relasi
antara makna itu dapat terjadi karena adanya kesamaan antara kedua makna (‘alâqat
musyâbahat) atau karena tidak adanya kesamaan antara keduanya (‘alâqat ghairu
musyâbahat). Salah satu diantara hubungan itu harus selalu ada dalam uslûb majâzî. ’Alî al-

72
(denotasi) dengan makna majâzînya (konotasi), namun relasinya tidak ada
keserupaan (ghair musyâbahat). Di samping itu, terdapat indikator (qarînat)183
yang menolak makna haqîqî (denotasi)nya baik indikator itu bersifat tekstual
(lafdziyyat) maupun indikator yang bersifat kontekstual (‘aqliyyat atau
hâliyyat). Singkatnya, makna relasional semacam ini dalam prakteknya sangat
bergantung kepada konteks sekaligus relasi dengan kosa kata lainnya dalam
kalimat.184
Relasi antara makna denotasi (haqîqî) dan konotasi (majâzî) terletak
pada notasi atau rujukannya. Kedua-duanya mempunyai notasi yang sama
atau mirip sama, hanya saja yang satu dengan menggunakan de- dan yang
lainnya menggunakan ko-. Imbuhan de- berarti tetap dan wajar sebagaimana
adanya dan imbuhan ko- berarti bersama yang lain, ada tambahan yang lain
terhadap notasi yang bersangkutan. Dengan demikian, menurut John Lyons
denotasi (haqîqî) merupakan makna yang wajar, yang asli, yang muncul
pertama, yang diketahui pada awal mulanya, atau bisa dikatakan makna
sebagaimana adanya sesuai dengan kenyataannya.185 Sedangkan makna
konotasi (majâzî) merupakan makna wajar yang telah memperoleh adanya

Jârimî dan Mushthafâ Amîn, Al-Balâghat al-Wâdlihat al-Bayân al-Ma’ânî al-Badî’, (Kairo:
Dâr al- Ma'ârif, 1977), hlm. 71.
183
. Qarînat (indikator) merupakan suatu hal yang dapat memalingkan makna
pertama yang merupakan makna asal (haqîqî/denotasi) kepada makna kedua yang merupakan
makna majâzî (konotasi). Indikator itu dapat berbentuk hâliyyat (kontekstual) dan lafzhiyyat
(tekstual). Indikator hâliyyat (kontekstual) dapat dipahami melalui pemikiran akal dan
logisnya hubungan kalimat. Sementara indikator lafzhiyyat (tekstual) yaitu keterangan yang
diberikan dalam bentuk lafadz atau kalimat. ’Alî al-Jârimî dan Mushthafâ Amîn, Al-Balâghat
al-Wâdlihat al-Bayân al-Ma’ânî al-Badî’, (Kairo: Dâr al- Ma'ârif, 1977), hlm. 71.
184
. M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2005, hlm. 167.
185
. John Lyons, Semantics, Volume I, New York : Cambridge University Press,
1979, hlm. 206. Lihat juga Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, Jakarta : Rineka Cipta, 2001,
hlm. 98. Menurut Mansoer Pateda makna denotasi (denotative meaning) adalah makna kata
atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di
luar bahasa yang diterapi satuan bahasa ini secara tepat. Makna denotasi ini merupakan makna
polos, makna apa adanya yang bersifat objektif, didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada
sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan pada konvensi tertentu. Denotasi merupakan
hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas
memegang peranan penting di dalam ujaran.

73
tambahan perasaan tertentu, emosi tertentu, nilai tertentu, dan rangsangan
tertentu pula yang bervariasi dan tak terduga pula.186
Athur Asa Berger187 memberikan kontribusi pemikiran mengenai
makna kata, beliau berpendapat bahwa makna kata itu pada hakekatnya
bersifat relasional, artinya segala sesuatu itu baru bisa bermakna manakala
terdapat suatu relasi (‘alâqat) sejenis yang dilekatkannya (dimaknainya).
Hubungan atau relasi ini dapat bersifat tersurat (lafdziyyat) maupun yang
bersifat tersirat (hâliyyat), tetapi dengan satu atau lain cara bahwa hubungan
(relasi) itu pasti ada.
Adapun ayat yang berinteraksi dengan bidang teologi yang
diekspresikan dengan menggunakan gaya bahasa (figure of speech) sinekdoke
pars pro toto (majâz mursal‘alâqatuhu al-juz’iyyat) misalnya sebagaimana
terdapat dalam surat al-Qashash : 28 : 88 188
yang berbunyi ‫ ِﺇﻝﱠﺎ‬‫ﺎِﻝﻙ‬‫ﺀ ﻫ‬ ‫ﺸﻲ‬
‫ل ﹶ‬
‫ﹸﻜ ﱡ‬
‫ﻪ‬ ‫ـ‬‫ﻬ‬‫ﻭﺠ‬ . Yang dimaksud dengan kata ‫ـﻪ‬‫ﻭﺠ‬ (wajh) dalam ayat ini menurut
Muhammad Husain Salâmat189 dan al-Sayyid al-Jamîlî190 bukan merupakan
wajah secara fisik tetapi ‫ ﺫﺍﺕ‬Allah yang maha suci. Baik Muhammad Husain
Salâmat maupun al-Sayyid al-Jamîlî kedua-keduanya lebih condong ke arah
makna majâzî (konotasi). Ayat ini sangat menakjubkan bahwa meskipun
makna yang pasti adalah segala sesuatu di dunia ini akan musnah kecuali
Allah sendiri, namun kata yang dimunculkan oleh Allah dalam al-Qur’an
menggunakan kata kecuali wajah-Nya, yang memberikan kesan kepada
kesadaran pendengar atau pembacanya bahwa ‫ــﻪ‬‫ﻭﺠ‬ keagungan-Nya

186
. J.D. Parera, Teori Simantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 96.
187
. Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006),
hlm. 244.
188
. Artinya : Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya (Allah). (Q.S. al-
Qashash : 28 : 88).
189
. Muhammad Husain Salâmat, Al-I’jâz al-Balâghî fî al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo:
Dâr al-Âfâq al-‘Arabiyyat, 2002), hlm. 226.
190
. Al-Sayyid al-Jamîlî, Al-Balâghat al-Qur’âniyyat al-Mukhtârat min al-Ithqân wa
Mu’taraq al-Iqrân li al-Imâm al-Suyûthî, (Kairo: Dâr al-Ma’rifat, 1993), hlm. 42.

74
senantiasa mengawasi segala sesuatu yang pasti musnah, dan karena itulah Dia
menjadi satu-satunya dzât yang patut untuk disembah. Ayat ini selaras dengan
surat al-Rahmân : 55 : 27 yang berbunyi ‫ﺍﻡ‬‫ﺍﻝﹾـ ِﺈﻜﹾﺭ‬‫ل ﻭ‬
ِ ‫ﺠﻠﹶـﺎ‬
 ‫ﻙ ﺫﹸﻭ ﺍﻝﹾ‬
 ‫ﺒ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻭﺠ‬ ‫ﻘﹶﻰ‬‫ﻴﺒ‬ ‫ﻭ‬
(Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan)
di mana menurut al-Zamakhsyarî191 (W.538H./1144M.), sebagai seorang
tokoh Mu’tazilah yang lebih menonjolkan penguasaannya dalam bidang ilmu
bahasa dan ilmu tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata ‫ـﻪ‬‫ﻭﺠ‬

adalah ‫ ﺫﺍﺕ‬Allah, bukan bagian dari ‫ ﺫﺍﺕ‬Allah itu sendiri. Karena dalam
tradisi Arab kata wajh itu bisa diperuntukkan untuk untuk menunjuk makna
keseluruhan atau dzâ. Kedua ayat di atas menggunakan seni bertutur sinekdoke
pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) yang mengungkapkan
sebagian (juz’) saja akan tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan (kull).
Lebih lanjut menurutnya, penggunaan kosa kata ‫ـﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 ini sangat populer di
kalangan masyarakat Arab, bahkan sampai-sampai orang miskin di kalangan
kota Mekkah pun sering mengatakan kata ‫ـﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 sebagaimana ungkapan
berikut ini :
‫ﺍﻴﻥ ﻭﺠﻪ ﻋﺭﺒﻰ ﻜﺭﻴﻡ ﻴﻨﻘﺫﻨﻰ ﻤﻥ ﺍﻝﻬﻭﺍﻥ‬
“Manakah orang Arab dermawan yang dapat menyelamatkan aku
dari kehinaan“.192 Penafsiran mengenai ayat-ayat yang berkenaan dengan
sifat-sifat Allah ini secara transparan, merupakan bentuk interpretasi yang
telah dipengaruhi oleh pemikiran teologis, yakni teologi Mu’tazilah, sebuah

191
. Secara resmi al-Zamakhsyarî tidak banyak pengaruhnya dalam dunia Islam,
karena beliau termasuk kelompok teolog bid’ah yang dikenal sebagai kaum Mu’tazilah yang
memberikan lebih banyak kebebasan kepada kemauan manusia dari pada yang diberikan
kaum Sunnî dan menyangkal adanya sifat-sifat kemanusiaan ilahi. Namun pandangan
teologinya ini hanya dalam sedikit hal mempengaruhi penafsirannya mengenai teks al-Qur’an,
dan sebaliknya pengetahuannya yang mendalam tentang leksikologi dan tata bahasa serta
penilaiannya yang masuk akal merupakan nilai tambah yang sangat besar. Lihat keterangan
W. Mangoromery Watt and Richard Bell, Introduction to The Qur’an, (Edinburgh: University
Press, 1994), hlm. 169.
192
. Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî , al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl, Juz 4, hlm. 46.

75
kelompok pemikir yang bersifat rasional. Pemaknaan kata wajh yang
dilakukan oleh al-Zamakhsyarî dengan menggunakan makna dzât yang dalam
istilah ilmu Bayân itu termasuk dalam kategori pembahasan majâz mursal
dengan relasi juz’iyyat dengan cara menyebutkan sebagian saja tetapi yang
dimaksud adalah keseluruhan.
Berdasarkan pilihan kata (diksi) yang digunakan dalam berbahasa,
gaya bahasa memang mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai
untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat serta tepat tidaknya penggunaan
kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Dengan
kata lain, gaya bahasa itu mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam
menghadapi situasi-situasi tertentu.193
Pendapat al-Zamakhsyarî (W.538H./1144M.) di atas sejalan dengan
apa yang telah digulirkan oleh al-Râzî (W.604H./1210M.)194 dalam kitabnya
yang mengatakan bahwa penggunaan kosa kata ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬ dalam ayat ini
bukanlah merupakan makna haqîqî (denotasi), tetapi ia merupakan makna
majâzî (konotatif) yang dipakai untuk menunjukkan makna ‫ ﺫﺍﺕ‬,195 hal ini
karena kosa kata ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 diambil dari tradisi masyarakat Arab. Di samping itu,
kosa kata ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 juga biasa dipergunakan dalam arti totalitas sesuatu atau ‫ﺫﺍﺕ‬
nya. Dengan analogi, karena dengan melihat wajah walaupun seluruh anggota
badan lainnya tertutup rapat, seseorang dapat mengenal siapa sejatinya dia.
Sebaliknya, walaupun semua anggota badan seseorang terbuka tetapi

193
. Gorys Keraf, Diksi dan Gaya bahasa, (Jakarta: PT Gramedia, 1984), hlm. 117.
194
. Al-Râzî (W.604H./1210M.) seorang teolog yang muncul antara al-Zamakhsyarî
(W.538H./1144M.) dan al-Baidlawî (W.1286 atau 1291M.) yang antara lain menulis
penjelasan yang luas mengenai al-Qur’an. Ciri-ciri yang membedakan dari penjelasan ini
adalah bahwa ini mencakup pembahasan filsafat dan teologi mengenai banyak hal sesuai
dengan pendirian penulis, yaitu dari teologi filsafat Sunnî aliran al-Asy’arî. W. Mangoromery
Watt and Richard Bell, Introduction to The Qur’an, hlm. 169-170.
195
. Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Hasan ibn al-Husain al-Taimî al-
Râzî, Al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghaib, Juz 25, (Beirut: Dâr al- Fikr, 1985), hlm. 23.

76
wajahnya tertutup rapat, maka seseorang tidak akan dapat mengetahui atau
bahkan sangat sulit untuk mengetahui identitas yang bersangkutan.
Opini yang mendukung adanya makna majâzî (konotasi) pada kata
‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬ dalam kedua ayat di atas sangat bertentangan dengan apa yang digulirkan
oleh Ibn ‘Abbâs dan al-Tsaurî sebagaimana dikutip oleh Ibn al-Jauzî
(W.597H.), keduanya berpendapat bahwa kosa kata ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 sesungguhnya tidak
memiliki makna majâzî (konotasi), meskipun kosa kata ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 tersebut
merupakan cabang (juz’) tetapi tetap bermakna haqîqî (denotasi) yakni ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 .
Opini kontroversial ini selanjutnya dibantah oleh al-Dlahhâk dan Abû
‘Ubaidat di mana keduanya berpendapat bahwa kata ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 itu tetap memiliki
makna majâzî (konotasi) yang berarti ‫ ﺫﺍﺕ‬bukan menunjukkan makna ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬

secara haqîqî (denotatif).196
Berkenaan dengan ayat tersebut di atas, al-Alûsî (W.127H.) juga
berpendapat bahwa sesungguhnya ekspresi kedua ayat tersebut di atas
menggunakan ekspresi gaya bahasa majâz mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat
yang dalam istilah kontemporernya disebut dengan sinekdoke pars pro toto
yang mengungkap sebagian (juz’) saja tetapi yang dikehendaki adalah
keseluruhan (kull). Hal ini berpedoman bahwa kosa kata ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 menunjukkan
arti ‫ﺫﺍﺕ‬ namun demikian bukan merupakan cabang dari ‫ ﺫﺍﺕ‬itu sendiri.
Menurutnya, gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ’alâqatuhu
al-juz’iyyat) dalam kedua ayat di atas bertujuan untuk mengagungkan atau
memuliakan.197 Dengan demikian keberadaan Allah pada kedua ayat tersebut
di atas yang diekspresikan dengan menggunakan kata ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬ tidak lain
hanyalah untuk menunjukkan maksud keagungan diri di hadapan makhluk-
Nya.

196
. Abî al-Fajr Jamâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Jauzî, Zâd
al-Masîr, Juz 6, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1994), hlm. 124.
197
. Syihâb al-Dîn Mahmûd al-Sayyid al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân
wa al-Sab’ al-Matsânî, Juz 20, (Beirut: Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiyy, TT.), hlm. 130.

77
Kedua ayat di atas yang diekpresikan dengan menggunakan gaya
bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat) yang
direpresentasikan dengan kosa kata ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 memberikan interpretasi yang
kontroversial di kalangan teolog muslim (mutakallimîn). Masing-masing
mereka mengukuhkan pendapatnya dengan argumentasi yang saling
berlawanan antara satu dengan yang lain. Kaum anthropomorphisme
(tajsîm)198 berkeyakinan bahwa ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 Allah itu sebagaimana ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬ fisik
pada umumnya. Sementara kaum Mu’tazilah yang memberikan porsi akal
(rasio) sebagai daya yang begitu besar kekuatannya berpendapat bahwa ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬

Allah itu mengandung arti ‫ ﺫﺍﺕ‬Allah itu sendiri, bukan merupakan bagian dari
‫ﺫﺍﺕ‬199 mengingat dalam tradisi bahasa Arab sudah menjadi kelaziman bahwa
penggunaan kosa kata ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 200
itu bermaksud untuk menunjuk pada orang atau
siapa saja yang bersangkutan. Allah itu bersifat immaterial tidak sebagaimana

198
. Anthropomorphisme (tajsîm) adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa
Allah mempunyai sifat-sifat jasmani sebagaimana halnya sifat-sifat jasmani yang dimiliki oleh
manusia. Seperti ungkapan Allah mempunyai kedua tangan, wajah, mata dan lain-lain
sebagaimana yang dimiliki oleh manusia pada umumnya. Ayat-ayat yang berkenaan dengan
anthropomorphisme dalam ilmu kalam seperti Q.S. Thâhâ : 20 : 25, Q.S. Thâhâ : 20 : 39, Q.S.
al-Qashash : 28 : 88, Q.S. Shâd : 38 : 75, Q.S. al-Zumar : 39 : 67, Q.S. al-Rahmân :55 : 27.
Lihat ‘Abd al-Jabbâr ibn Ahmad al-Hamzanî, Syarh al-Ushûl al-Khamsat, (Kairo: Maktabat
Wahbah, 1965), hlm. 226-228. Paham anthropomorphis (tajsîm) dianut oleh kelompok Syi’ah
Ghaliyah. Mereka adalah orang yang berpandangan ekstrem mengenai imam-imam mereka.
Mereka melebihi batas-batas mereka selaku makhluk Allah dan memberikan sifat-sifat Allah
kepada manusia. Terkadang kelompok ini menyerukan seorang imam dengan Allah. Pada
waku yang lain mereka menyamakan Allah dengan manusia. Dengan demikian, berarti
mereka telah terjerumus ke dalam dua ekstrem. Ide-ide sesat kelompok Syi’ah Ghaliyah ini
berasal dari doktrin-doktrin yang dipegang oleh orang-orang yang percaya kepada inkarnasi
dan perpindahan roh-roh atau mereka yang memegang keyakinan-keyakinan kaum Yahudi
dan Nasrani sebab ummat Yahudi pun meyerukan Allah dgn manusia dan umat Kristen
menyamakan manusia dengan Allah. Ide-ide ini begitu dalam pengaruhnya terhadap pikiran-
pikiran kaum syi’ah yang ekstrem sehingga mereka mensifatkan sifat-sifat Allah kepada
sebagian imam mereka. Http://blog.re.or.id /Ghaliyah-Kelompok-Syi’ah-Ekstrem.htm.
199
. ‘Abd al-Jabbâr ibn Ahmad al-Hamzanî, Syarh al-Ushûl al-Khamsat, hlm. 227.
200
. Kata ‫ ﻭﺠﻪ‬memiliki arti yang beraneka ragam. Pada dasarnya wajah merupakan
bagian dari tubuh manusia, ia merupakan zhâhir badan manusia yang dapat terlihat oleh
pandangan. Di samping itu kata ‫ ﻭﺠـﻪ‬juga dipakai untuk menunjukkan dzât (esensi). Dan
bisa juga bermakna untuk menunjukkan arah atau tujuan yang hendak dicapai dalam
melakukan perilaku yang baik. Lihat Abî al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad al-Mufadldlal,
Mu’jâm Mufradât Alfâdz al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 2004), hlm. 584-585.

78
manusia yang bersifat material, oleh karena itu tidak mungkin dapat dikatakan
bahwa Allah mempunyai sifat-sifat jasmani seperti halnya manusia. Kaum
Mu’tazilah yang berpegang pada kekuatan rasio, menganut paham ini dan
menolak secara tegas anthropomorphisme (tajsîm). Bagi mereka ayat-ayat al-
Qur’an yang menggambarkan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat jasmani
laksana manusia harus diinterpretasikan secara majâzî (konotatif), bukan
secara haqîqî (denotatif).
Al-Qâdlî ’Abd al-Jabbâr (W.417H./1026M.) yang juga termasuk
teplog Mu’tazilah itu memposisikan bahasa sebagai bagian dari petunjuk akal.
Beliau mengidentifikasi pembeda lain dari bagian-bagian bahasa sebagai
petunjuk yang meliputi dua syarat : pertama, menempatkan kata-kata yang
disesuaikan dengan kata-kata sebelumnya; kedua, memperhatikan keadaan
orang yang berbicara dan maksud dari perkataan itu sehingga maksud dari
perkataannya dapat dipahami.201 Lebih lanjut Al-Qâdlî ’Abd al-Jabbâr
(W.417H./1026M.), menjelaskan bahwa dari sisi perkataan (kalâm) jika
perkataan itu berada dalam posisi yang tidak berhubungan dengan kata yang
lain, atau dalam posisi yang mempunyai hubungan dengan kata lain, tetapi
masih mempunyai makna yang sesungguhnya, secara otomatis kata tersebut
tetap diartikan sebagaimana arti haqîqî (denotasi)nya, tidak diartikan dengan
makna majâzî (konotasi), meskipun dengan alasan bentuk itu termasuk bagian
dari dalâlat.202 Namun demikian, pendapat ini tidak menunjukkan keniscayaan
pemaknaan al-Qur’an secara global, sebab pemaknaan itu tidak menunjuk
secara global pada kebenaran. Juga karena ada kemungkinan perluasan makna

201
. Nashr Hâmid Abû Zaid, Al-Ittijâh al-‘Aqlî fî al-Tafsîr Dirâsat fî Qadliyyat al-
Majâz ‘inda al-Mu’tazilat, alih bahasa Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan, Menalar
Firman Tuhan : Wacana Majas dalam al-Qur’an menurut Mu’tazilah, (Bandung: Mizan,
2003), hlm. 182.
202
. Nashr Hâmid Abû Zaid, Al-Ittijâh al-‘Aqlî fî al-Tafsîr Dirâsat fî Qadliyyat al-
Majâz ‘inda al-Mu’tazilat, alih bahasa Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan, Menalar
Firman Tuhan : Wacana Majas dalam al-Qur’an menurut Mu’tazilah, hlm. 186.

79
(majâz) dari kosa kata-kosa kata dalam al-Qur’an yang tidak menunjukkan
pada makna sesungguhnya.
Dalam istilah semantik, elemen bahasa yang mudah berubah itu
disebut dengan bahasa yang bersifat terbuka. Sementara elemen yang tidak
mudah berubah disebut dengan bahasa yang bersifat tertutup. Leksem-leksem
bahasa sebagai bagian dari sistem bahasa juga memiliki sifat terbuka atau
mudah berubah di mana secara sederhana perubahan makna kata dalam suatu
bahasa dapat dibedakan menjadi empat jenis yakni perubahan meluas,
perubahan menyempit, perubahan makna membaik (ameliorasi), dan
perubahan makna memburuk (peyorasi).203
Sebaliknya, kaum Asy’ariyah -aliran kalam tradisional yang
memberikan peluang porsi akal sebagai daya yang mempunyai kekuatan kecil
dan memberikan porsi wahyu sebagai daya yang mempunyai kekuatan besar-
berpendapat bahwa Dia sungguh-sungguh memiliki ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 . Menurut mereka
‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬ Allah merupakan sebuah sifat yang bertalian dengan esensi-Nya (shifat
al-dzât). Berdasarkan prinsip tanzîh (kemahasucian Allah) atau mukhâlafat li
al-hawâdits bahwa tidak ada sesuatu yang berlaku bagi makhluk boleh
dinisbatkan kepada Allah dalam pengertian yang sama.204 Kaum ‘Asy’ariyah
juga tidak menerima anthropomorphisme (tajsîm) dalam arti bahwa Allah
mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia.
Meskipun demikian, mereka tetap mengatakan bahwa Allah sebagaimana
disebut dalam al-Qur’an mempunyai mata, wajah, tangan dan sebagainya,
tetapi muka, mata, tangan dan sebagainya yang dimiliki oleh Allah itu tidak
sama dengan yang ada pada manusia. Mereka berpendapat bahwa kata-kata ini
tidak boleh diinterpretasikan lain, dan harus diterima sebagaimana makna

203
. I Dewa Putu Wijana dkk., Semantik Teori dan Analisis, (Surakarta: Yuma
Pustaka, 2008), hlm. 111.
204
. Muhammad Abdel Haleem, Understanding The Quran : Themes and Style,
(London, New York: I. B. Tauris, 2001), hlm. 110.

80
harfiahnya. Oleh sebab itu, Allah di mata mereka mempunyai mata, wajah,
dan tangan tetapi tidak bisa dideskripsikan bagaimana (bilâ kaif).205
Menanggapi kata ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 Allah dalam Q.S. al-Rahmân : 55 : 27, ‘Abd al-
Qâhir ibn al-Tamîmî, menyatakan bahwa kata ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 dalam konteks ayat ini
memiliki makna majâzî (konotasi) yakni menunjuk pada ‫ ﺫﺍﺕ‬Allah semata,
bukan menunjuk pada makna haqîqî (denotasi) nya.206 Lain halnya dengan
pendapat Muhammad ibn Shâlih yang menyatakan bahwa kata ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 dalam
ayat tersebut maknanya adalah ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 Allah dan bukan yang lainnya. Hanya
saja deskripsi mengenai bagaimana sejatinya ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 Allah itu sendiri tidak bisa
digambarkan, tetapi bagi seorang mukmin tentunya harus meyakini dan
mempercayai bahwa ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬ Allah merupakan sifat keluhuran dan
kemuliannya.207 Sebagaimana hal ini disebutkan dalam Hadis Nabi
Muhammad yang menjelaskan kata wajh.208
Surat al-Rahmân : 55 : 27 yang berbunyi ‫ل‬
ِ ‫ﺠﻠﹶﺎ‬
 ‫ﻙ ﺫﹸﻭ ﺍﻝﹾ‬
 ‫ﺒ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻭﺠ‬ ‫ﻘﹶﻰ‬‫ﻴﺒ‬ ‫ﻭ‬
‫ﺍﻡ‬‫ﺍﻝﹾِﺈﻜﹾﺭ‬‫( ﻭ‬Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan) termasuk dalam kategori ayat mutasyâbihat209 yakni ayat-ayat
yang masih bersifat mujmal (global), yang mu’awwal (masih memerlukan
ta’wîl), yang musykîl (sukar untuk dipahami). Sebab ayat-ayat yang mujmal
membutuhkan rincian, ayat-ayat yang mu’awwal baru bisa diketahui
maknanya setelah dita’wilkan, dan ayat-ayat yang musykil samar maknanya

205
. Abû Hasan ibn Isma’il al-‘Asy’arî, Al-Ibânat an Ushûl al-Dîniyyat, (Kairo:
Idârat al-Tibâ’at al-Munîriyyat, TT.), hlm. 35.
206
. Abî Manshûr ‘Abd al-Qâhir ibn al-Tamîmî, Ushûl al-Dîn, (Turki: Mathba’at al-
Daulat, 1928), hlm. 110.
207
. Muhammad ibn Shâlih al-‘Utsaimîn, Syarh al-‘Aqîdat al-Wasathiyyat, (Mesir:
Dâr al-Da’wat al-Islâmiyyat, 2001), hlm. 174.
.208 ‫ﻊ‬ ‫ ﹶﻓ‬‫ﻴﺭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻌ‬ ‫ ﹶﻓ‬‫ﻴﺭ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻁ‬
‫ ﹶ‬‫ﻘﺴ‬ ‫ﺽ ﺍﻝﹾ‬
 ‫ﻔ‬ ‫ﻴﺨﹾ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻴﻨﹶﺎ‬ ‫ﻪ َﺃﻥ‬ ‫ﻲ ﹶﻝ‬‫ﺒﻐ‬ ‫ﻴﻨﹾ‬ ‫ﻭﻝﹶﺎ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻴﻨﹶﺎ‬ ‫ل ﻝﹶﺎ‬
‫ﺠﱠ‬
 ‫ﻭ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﻋ‬
 ‫ﻪ‬ ‫ﻥ ﺍﻝﱠﻠ‬
 ‫ل ِﺇ‬
َ ‫ﹶﻓﻘﹶﺎ‬
‫ﺒﻜﹾ ﹴﺭ‬ ‫ﺔ َﺃﺒﹺﻲ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺍ‬‫ﻲ ﹺﺭﻭ‬‫ﻭﻓ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻪ ﺍﻝﻨﱡﻭ‬ ‫ﺒ‬ ‫ﺎ‬‫ﺤﺠ‬  ‫ل‬ ِ ‫ل ﺍﻝﱠﻠﻴ‬
ِ ‫ﻤ‬ ‫ﻋ‬
 ‫ل‬
َ ‫ﺎ ﹺﺭ ﹶﻗﺒ‬‫ل ﺍﻝﱠﻨﻬ‬ ُ ‫ﻤ‬ ‫ﻋ‬
 ‫ﻭ‬ ‫ﺎ ﹺﺭ‬‫ل ﺍﻝﱠﻨﻬ‬
ِ ‫ﻤ‬ ‫ﻋ‬
 ‫ل‬
َ ‫ل ﹶﻗﺒ‬
ِ ‫ل ﺍﻝﱠﻠﻴ‬
ُ ‫ﻤ‬ ‫ﻋ‬
 ‫ﻪ‬ ‫ِﺇﹶﻝﻴ‬
‫ﻪ‬ ‫ﻘ‬ ‫ﺨﻠﹾ‬
‫ ﹶ‬‫ﻤﻥ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ﺒ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻰ ِﺇﹶﻝﻴ‬‫ﺎ ﺍﻨﹾ ﹶﺘﻬ‬‫ﻪ ﻤ‬ ‫ ﹺﻬ‬‫ﻭﺠ‬ ‫ﺕ‬ ‫ﺎ ﹸ‬‫ﺒﺤ‬ ‫ﺴ‬ ‫ﺭ ﹶﻗﺕﹾ‬ ‫ﻪ ﹶﻝَﺄﺤ‬ ‫ﺸ ﹶﻔ‬
‫ ﹶﻜ ﹶ‬‫ﺭ ﹶﻝﻭ‬ ‫ﺍﻝﻨﱠﺎ‬
Lihat Imam Muslim, Shahîh Muslim Kitâb al-Imân Hadîts 263, Juz 1, (E.Book: al-
Maktabat al-Syâmilat), hlm. 419.
209
. Badr al-Dîn Muhammad ‘Abd Allâh al-Zarkasyî, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
hlm. 381.

81
dan sukar untuk dimengerti. Sebagai lawan dari ayat mutasyâbihat adalah ayat
muhkamat yaitu ayat yang terang maknanya serta lafadznya diletakkan untuk
suatu makna yang kuat dan cepat dipahami.210 Berkaitan dengan ayat
mutasyâbihat seperti yang terdapat pada Surat al-Rahmân : 55 : 27, kaum
salafi cenderung untuk memahami ayat tersebut dengan tidak mengambil
makna ta’wîl, sementara kaum kholafi memahami ayat tersebut dengan cara
ta’wîl.
Betapa kuat dan pengaruh ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 Allah dalam al-Qur’an. Ungkapan-
ungkapan al-Qur’an sesungguhnya dimaksudkan agar dapat memberikan
pengaruh kepada pikiran dan jiwa pendengar atau pembacanya. Al-Qur’an
diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia pada umumnya, bukan untuk
menjadi bahan polemik di kalangan para teolog skolastik. Pengaruh ungkapan-
ungkapnnya sama sekali tidak dimaksudkan hanya untuk ditolak oleh para
filosof atau kaum ahli debat Mu’tazilah. Pendapat Ahl Hadîts atau Asy’ariyah
sesunguhnya lebih meyakinkan dalam menerima ungkapan ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 Allah
sebagaimana adanya dengan memberikan makna haqîqî (denotasi) yakni
dengan cara meyakini bahwa wajah merupakan salah satu dari sifat Allah.
Bukan dengan cara mengingkarinya, tetapi hanya mengatakan bila kaif (tanpa
deskripsi tentang bagaimana bentuk sesungguhnya) dan memahaminya
sebagai sesuatu yang mengandung arti yang laik bagi keagungan-Nya.211
Bagaimanapun apa yang dikatakan mengenai ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬ Allah dengan
menggunakan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal‘alâqatuhu
al-juz‘iyyat) dalam al-Qur’an adalah benar-benar merupakan sesuatu yang laik
bagi keagungan dan kemulian Allah. Hal ini sesuai dengan tujuan stilistik atau

210
. Shubhî al-Shâlih, Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm. 260.
211
. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyat, Ijtimâ’ al-Juyûsy al-Islâmiyyat ‘alâ Ghazw al-
Mu’aththolat wa al-Jahamiyyat, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 86.

82
Balâghat yakni untuk mencapai efek artistik atau estetika kalimat yang
bernilai tinggi.

2. Bidang Shalat
Berangkat dari sebuah paradigma atas penafsiran atau pemahaman
terhadap al-Qur’an yang hanya dipahami secara literal tidak semuanya bisa
menyentuh pada pesan yang dikehendaki al-Qur’an, maka diperlukan adanya
pemahaman makna al-Qur’an secara majâzî (konotatif) selama kata tersebut
masih memiliki relasi (‘alâqat) antara sebagian dengan keseluruhan atau
sebaliknya, serta memiliki indikator (qarînat) baik tekstual maupun
kontekstual yang menolak makna tersebut kepada makna haqîqînya. Bidang
shalat misalnya, yang banyak sekali al-Qur’an mengekspresikan bahasanya
dengan menggunakan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal
‘alâqatuhu al-juz’iyyat). Jika ayat-ayat dengan gaya bahasa ini dipahami
secara literal, maka pesan (hidâyat) yang dikehendaki oleh al-Qur’an itu tidak
bisa akan tersentuh. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya pemaknaan secara
majâzî terhadap gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal
‘alâqatuhu al-juz’iyyat).
a. Eskpresi Sujud
Gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal‘alâqatuhu al-
juz’iyyat) tidak hanya bersinggungan dalam bidang teologi saja, tetapi ia juga
banyak bersinggungan dengan aspek lain semisal perintah shalat yang
diungkapkan dengan cara menyebutkan sebagian (juz’) saja dari rangkaian
rukun yang ada di dalamnya. Ada kalanya hanya dengan menyebutkan kata
sujud, ruku’, membaca, maupun berdiri saja yang kesemuanya itu merupakan
bagian dari rangkaian ritual shalat seseorang.

83
Penggunaan term ‫( ﺴﺠﻭﺩ‬sujud) dalam al-Qur’an sangat beraneka
ragam. Setidaknya terdapat dua kemungkinan mengenai arti ‫( ﺴﺠﻭﺩ‬sujud).
Pertama, ada yang bersifat material yang bermakna gerakan untuk
meletakkan dahi di atas tanah yang merupakan komponen dalam aktifitas
ibadah shalat. Kedua, ada pula yang bersifat immaterial yang berorientasi
pada suatu makna karakter atau perilaku.212 Sementara kata ‫( ﺭﻜﻭﻉ‬ruku’)
dalam kamus menunjukkan kemungkinan adanya makna menundukkan kepala
karena menghormat, atau dipergunakan untuk menyatakan kondisi tertentu
dalam ibadah shalat, dan terkadang term ini juga dipergunakan untuk
menunjukkan makna merendahkan diri baik dalam ibadah maupun yang
lainnya.213 Baik kata ‫ ﺴﺠﻭﺩ‬maupun kata ‫ ﺭﻜﻭﻉ‬, keduanya yang penulis
maksudkan dalam penulisan tesis ini adalah makna majâzî (konotasi) nya
yakni shalat yang banyak bermunculan dalam bentuk gaya bahasa sinekdoke
pars pro toto (majâz mursal‘alâqatuhu al-juz’iyyat).
Dalam perspektif semantik, Parera mengajukan pendapat bahwa
makna konotasi (majâzî) itu memiliki hak hidup yang sama dan seimbang
dengan makna denotasi (haqîqî). Sebagai sarana komunikasi, bahasa tidak
akan dapat melaksanakan tugas fungsinya secara lengkap tanpa adanya
bantuan dari makna konotasi. Bahasa yang hidup dan dinamis adalah bahasa
yang memiliki makna denotasi dan makna konotasi. Komunikasi antar sesama
manusia akan lebih hidup dan bermakna dengan kehidupan dan penghidupan
makna konotasi. Berbahasa tanpa memanfaatkan makna konotasi adalah
berbahasa tanpa garam, kecuali berbahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.214

212
. Muhammad ibn Mukram Ibn Mandzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirût: Dâr Shâdir, TT.)
hlm. 204. Lihat juga Abî al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad al-Mufadldlal, Mu’jâm
Mufradât Alfâdz al-Qur’ân, hlm. 251. Lihat juga Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, Shafwat al-
Tafâsîr, Juz 1, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1976), hlm. 50.
213
. Abî al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad al-Mufadldlal, Mu’jâm Mufradât Alfâdz
al-Qur’ân, hlm. 228.
214
. J.D. Parera, Teori Simantik, hlm. 97.

84
Untuk menyelesaikan persoalan makna majâzî (konotatif) yang
berinteraksi dengan kata ‫ ﺴﺠﻭﺩ‬, agaknya membutuhkan adanya eksplorasi
terhadap penggunaan kata ‫ ﺴﺠﻭﺩ‬yang masuk dalam kategori sujud yang
bermakna shalat. Terdapat fenomena ayat-ayat yang diekspresikan dengan
menggunakan gaya bahasa (uslûb) sinekdoke pars pro toto (majâz mursal
juz’iyyat) yang seringkali bermunculan di berbagai surat dalam al-Qur’an,
shalat misalnya yang banyak diungkapkan dengan kata sujud dalam gaya
215
bahasa ini. Di antaranya adalah sebagai berikut : surat al-‘Alaq : 96 : 9
yang berbunyi ‫ﺭﺏ‬
‫ﺍﻗﹾ ﹶﺘ ﹺ‬‫ ﻭ‬‫ﺠﺩ‬
 ‫ﺍﺴ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ﻁﻌ‬
 ‫ ﹶﻜﻠﱠﺎ ﻝﹶﺎ ﹸﺘ‬. Menurut Quraish Shihab, seorang
pakar tafsir Indonesia produk Timur Tengah, secara etimologis term ‫ﺠﺩ‬
 ‫ﺍﺴ‬
(sujud) berarti ketundukan dan kerendahan diri. Kata tersebut juga bisa
dipergunakan dalam arti menundukkan kepala, juga bisa diartikan untuk
mengarahkan pandangan pada sesuatu, tetapi pandangan yang mengandung
kelesuan dan kelemahan. Puncak dari ketundukan dan kerendahdirian
seseorang akan terefleksikan pada saat ia meletakan dahi di atas bumi (sujud)
yang merupakan salah satu bagian dari shalat.216
Menyikapi makna ayat itu, al-Zamakhsyarî (W.538H./1144M.),
seorang teolog Mu’tazilah yang ahli dalam bidang ilmu bahasa dan ilmu tafsir,
dalam kitabnya menginterpretasikan kata ‫ﺠﺩ‬
 ‫ ﺍﺴ‬sebagai kata yang memiliki
makna majâzî (konotasi). Pemaknaan ini memungkinkan adanya perluasan arti
kata tersebut. Relasi (‘alâqat) antara kata ‫ﺠﺩ‬
 ‫( ﺍﺴ‬sujud) dengan ‫ﺼﻼﺓ‬
(shalat) menurut al-Zamakhsyarî merupakan relasi (‘alâqat) yang terkait
antara bagian (juz’) dengan keseluruhan (kull). Karena bersujud merupakan
salah satu bagian dari rangkaian aktifitas shalat. Dengan demikian, kata ‫ﺠﺩ‬
 ‫ﺍﺴ‬
tidak bisa diartikan secara haqîqî (denotatif) karena kata bersujud

215
. Artinya : Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah
dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan). (Q.S. al-‘Alaq : 96 : 19).
216
. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Volume 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 417.

85
sesungguhnya sudah mewakili shalat itu sendiri.217 Sejalan dengan pemikiran
al-Zamakhsyarî, al-Alûsî (W.127H.) dan Ibn ‘Âsyûr juga menyatakan hal
sama bahwa makna sujud dalam ayat tersebut bukanlah merupakan makna
haqîqî (denotasi), tetapi menunjukkan makna majâzî (konotasi) yakni
shalat.218
Model gaya bahasa (uslûb) Arab seperti itu menurut Hussein Abdur
Raof memang sering kali bermunculan untuk menunjuk pada satu bagian
(juz’) tertentu guna mengilustrasikan keseluruhan (kull) anggota yang
berkaitan dengan bagian itu.219 Bagian yang dipilih untuk mengilustrasikan
biasanya merupakan bagian yang paling urgen atau yang termulia. Misalnya
dalam diri seseorang, indera mata, wajah, dahi dan tangan digunakan untuk
menggambarkan totalitas diri manusia. Kata sujud, ruku’, berdiri, dan
membaca digunakan untuk merepresentasikan totalitas shalat. Atas dasar
inilah, sementara ulama memahami arti kata ‫ﺠﺩ‬
 ‫ـ‬‫( ﺍﺴ‬sujud) pada ayat di atas
sebagai seluruh rangkaian dari pelaksanaan ibadah shalat, karena peletakan
dahi di atas bumi ketika shalat merupakan puncak pengejawantahan rasa
tunduk dan rendah diri di hadapan Allah di mana saat-saat tersebut merupakan
saat yang paling terdekat seorang hamba kepada-Nya. Sebagian ulama yang
lain memahami perintah sujud dalam ayat ini sesuai dengan pengertian awal
yang diletakkan oleh bahasa yaitu sebagai sikap tunduk, patuh yang disertai
dengan rasa kerendahan hati.220

217
. Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl, Juz 4, hlm. 272.
218
. Syihâb al-Dîn Mahmûd al-Sayyid al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-
‘Adzîm wa al-Sab’u al-Matsânî, Juz 30, hlm. 186-187. Lihat juga Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-
Tanwîr, Juz 16, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 337.
219
. Hussein Abdur Raof, Arabic Rhetoric a Pragmatic Analysis, London and New
York : Routledge, 2006, hlm. 227.
220
. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Volume 15, hlm. 418.

86
Perintah shalat yang diekspresikan dengan menggunakan gaya bahasa
sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) menurut Ibn
Hayyân (W. 754 H.)221 merupakan sebuah ungkapan yang sangat bijak.
Karena pada saat sujud, ketika seseorang meletakan dahi di atas bumi itulah
sebenarnya rasa tunduk dan rendah diri seseorang di hadapan Allah itu
terefleksikan. Sehingga dengan perilaku sujud akan lebih mendekatkan diri
pelaksana shalat dengan Allah sebagai Tuhannya.
J.D. Parera222 cenderung berpendapat bahwa makna konotasi (majâzî)
memang bersifat sebagai stimulus, dan menggugah pancaindera, perasaan,
sikap, penilaian, dan keyakinan serta keperluan tertentu. Stimulus itu
adakalanya bersifat individual dan adakalanya bersifat kolektif. Penggunaan
makna konotasi harus dilakukan secara hati-hati, karena penggunaan makna
konotasi dapat mengarah pada kekuatan retorika dan dapat pula mengarah
pada kelemahan-kelemahan tertentu. Penggunaan makna konotasi yang
berlebihan atau terlalu sering merupakan suatu kelemahan dari sebuah
retorika. Oleh karena itu, seorang penulis yang arif dan terampil dapat
memanfaatkan segi-segi yang kuat dalam perangsangan dan penggugahan
asosiasi pembaca dan pendengar.
Beberapa argumentasi mengenai sujud di atas, agaknya lebih tepat bila
memahami perintah sujud dalam surat surat al-‘Alaq : 96 : 19 ini dalam arti
majâzî (konotasi) yaitu melaksanakan shalat. Bukan saja karena gaya bahasa
yang dipakai dalam ayat tersebut menggunakan gaya bahasa sinekdoke pars
pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat), tetapi juga karena
dipengaruhi oleh perintah yang datang berikutnya dengan indikator kata ‫ﺭﺏ‬
‫ﺍﻗﹾ ﹶﺘ ﹺ‬
(dekatkanlah (dirimu pada Allah)) yang dirangkaikan dengan perintah sujud

221
. Abû Hayyân Muhammad ibn Yûsuf ibn ‘Alî ibn Yûsuf ibn Hayyân, Tafsîr al-
Bahr al-Muhît, Juz 8, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983), hlm. 492.
222
. J.D. Parera, Teori Simantik, hlm. 97-105.

87
tersebut, telah menggambarkan segala bentuk aktifitas manusia yang
bermotivasi pada pendekatan diri kepada Allah dan tentunya semua itu tidak
akan dapat tercapai tanpa adanya rasa ketundukan, kepatuhan yang disertai
dengan rasa kerendahan diri terhadap-Nya. Dengan demikian, jika ditinjau
dalam perspektif ilmu Bayân –sebuah ilmu yang berinteraksi dengan ekspresi-
ekspresi kalimat- , uslûb Arab dengan menggunakan pilihan kata (diksi) sujud
yang dipakai dalam ayat tersebut dapat memberikan efek estetika yang
bernilai tinggi.
Selanjutnya dalam surat al-Furqân : 25 : 60223 terdapat term sujud
yang tidak menunjukkan makna haqîqî (denotasi) tetapi menunjukkan makna
majâzî (konotasi) untuk memerintahkan ibadah shalat. Ayat tersebut
adalah‫ﺍ‬‫ ﹸﻨﻔﹸﻭﺭ‬‫ﻫﻡ‬
 ‫ﺩ‬ ‫ﺍ‬‫ﻭﺯ‬ ‫ﺭﻨﹶﺎ‬ ‫ﻤ‬ ْ‫ﺎ ﹶﺘﺄ‬‫ﺩ ِﻝﻤ‬ ‫ﺠ‬
 ‫ﻥ َﺃ ﹶﻨﺴ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﺭﺤ‬ ‫ﺎ ﺍﻝ‬‫ﻭﻤ‬ ‫ﻥ ﻗﹶﺎﻝﹸﻭﺍ‬
‫ﻤ ﹺ‬ ‫ﺭﺤ‬ ‫ﻭﺍ ﻝِﻠ‬‫ﺠﺩ‬
 ‫ﻡ ﺍﺴ‬ ‫ﻬ‬ ‫ل ﹶﻝ‬
َ ‫ﻴ‬‫ﻭِﺇﺫﹶﺍ ﻗ‬
. Dalam pandangan Abû Ja’far al-Thabarî (W.310H.),224 ayat ini merupakan
seruan kepada orang-orang yang menyembah selain Allah yang tidak mampu
mendatangkan manfaat dan madlarat (kerugian) kepada penyembahnya. Di
sisi lain, ia merupakan seruan untuk melaksanakan sujud (shalat) hanya
karena Allah dan bukan selain Allah. Abû al-Hasan225, ‘Abd Allâh ibn
Ahmad226 dan al-Samarqandî227 keduanya juga berpendapat bahwa ayat di
atas merupakan anjuran kepada kaum musyrik Mekkah untuk melakukan
sujud (shalat) kepada al-Rahmân, sebagai nama Allah yang tidak pernah

223
. Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujudlah kamu sekalian
kepada yang Maha Penyayang", mereka menjawab:"Siapakah yang Maha Penyayang itu?
Apakah Kami akan sujud kepada Allah yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-
Nya)?", dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman). (Q.S. al-Furqân : 25 :
60).
224
. Abû Ja’far al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz 19, (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1988), hlm. 28.
225
. Abû al-Hasan ‘Alî ibn Muhammad Ibn Habîb al-Bashrî, Al-Nukat wa al-‘Uyûn,
Juz 3, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 206. Lihat juga Ibn ‘Âdil, Tafsîr al-Lubbâb,
Juz 10, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 210.
226
. ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn Mahmûd Hâfidz al-Dîn Abû al-Barakât al-Nasafî,
Madârik al-Tanzîl wa Haqâ’iq al-Ta’wîl, Juz 2, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 452.
227
. Al-Samarqandî, Bahr al-‘Ulûm, Juz 3, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm.
250.

88
mereka kenal sebelumnya. Menurut al-Zamakhsyarî (W.538H./1144M.),
secara historis kata al-Rahmân memang tidak pernah dipakai dalam
percakapan mereka sehari-hari sebagaimana penggunaan kata al-Rahîm, al-
Rahûm dan al-Râhim.228 Saat itu yang mereka kenal dengan sebutan al-
Rahmân adalah Musailamat al-Kadzdzâb. Sehingga ketika kaum musyrik
Mekkah diperintahkan untuk sujud kepada-Nya mereka justru menanyakan
siapa al-Rahmân itu ?
Sebuah kosa kata memang tidak bisa dianggap atau dinilai sebagai
majâz tanpa melibatkan perhatian pada konteks dari seluruh kalimat yang
mempergunakan kosa kata tersebut. Bahkan menurut argumentasi ‘Abd al-
Qâhir al-Jurjânî (W.471H./1078M.) mengatakan bahwa derajat dan ukuran
sebuah ungkapan tidak bisa dilihat atau dilacak dalam kosa kata semata, sebab
kosa kata tersebut masih membutuhkan bahkan meniscayakan keterkaitan
dengan beberapa kosa kata lainnya dalam kalimat dan struktur tertentu, yang
pada gilirannya akan membentuk kesatuan makna. Tanpa ada kesinambungan
dan keselarasan dengan kosa kata lainnya, makna yang dikehendaki oleh si
penutur tidak dapat ditangkap.229 Makna kontekstual (contextual meaning)
atau makna situasional (situational meaning) muncul sebagai akibat relasi
antara ujaran dan konteks. Konteks tersebut berwujud dalam banyak hal. Salah
satunya adalah konteks kebahasaan, maksudnya hal-hal yang berhubungan
dengan kaidah bahasa yang bersangkutan akan turut mempengaruhi makna.
Dalam tulis menulis yang diperhatikan adalah tanda baca dan diksi, sedangkan
dalam komunikasi lisan yang perlu diperhatikan adalah unsur
susprasegmental.230

228
. Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl, Juz 3, hlm. 98.
229
. ‘Abd al-Qâhir ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad al-Jurjânî al-Nahwî, Asrâr
al-Balâghat, (Jeddah: Dâr al-Mudunî, 1954), hlm. 366.
230
. Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, hlm. 116-118.

89
Pendapat Abû al-Hasan, ‘Abd Allâh ibn Ahmad dan al-Samarqandî
serta al-Zamakhsyarî (W.538H./1144M.), berseberangan dengan apa yang
telah digulirkan oleh Ibn Âsyûr dalam bukunya yang mengatakan bahwa
sesungguhnya yang dimaksud dengan perintah sujud dalam ayat di atas
bukanlah sujud dalam arti melaksanakan shalat yang sebenarnya. Karena
menurut Ibn Âsyûr tidak ada gunanya menyuruh atau membebani sujud
(shalat) kepada orang yang belum masuk Islam. Lebih lanjutnya menurut Ibn
Âsyûr yang dimaksud dengan kata sujud di sini adalah sujud pengakuan
(‫ )ﺴﺠﻭﺩ ﺍﻻﻋﺘـﺭﺍﻑ‬akan keesaan Allah dan inilah yang merupakan syiar dalam
Islam. Karena praktek sujud itu tidak ada dalam praktek pelaksanaan ibadah
mereka. Yang mereka lakukan ketika beribadah kepada Tuhannya adalah
dengan cara mengelilingi berhala saja.231 Hal ini dipertegas dengan
keberadaan Hadis Nabi yang mengupas perihal tersebut sebagaimana
diriwayatkan oleh Mu’âdz ibn Jabal. 232
Meskipun demikian, Haqqî tetap berpandangan bahwa kata ‫ﻭﺍﹾ‬‫ﺠﺩ‬
 ‫ـ‬‫ﺍﺴ‬
yang diungkapkan dalam ayat di atas memiliki makna majâzî (konotasi)
shalat dan tidak bisa dipahami secara haqîqî (denotasi) dengan makna sujud
saja. Ungkapan ini menggunakan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz
mursal‘alâqatuhu al-juz’iyyat). Secara zhâhir ia diekspresikan dengan
menggunakan kata sujud, tetapi yang dikehendaki dengan kata sujud adalah
pelaksanaan shalat. Sujud merupakan cabang (juz’) dari rangkaian ibadah
shalat. Baginya ungkapan dengan menggunakan kata sujud untuk
231
. Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz 10, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat),
hlm. 109.
.232‫ﺃﻥ‬ ‫ﺀ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﺇﻝﻰ ﺍﻝﻴﻤﻥ ﻓﺄﻤﺭﻩ‬ ‫ﺤﺩﻴﺙ ﻤﻌﺎﺫ ﺒﻥ ﺠﺒل ﺤﻴﻥ ﺃﺭﺴﻠﻪ ﺍﻝﻨﺒﻲ‬
‫ﻬﻡ‬‫ﻠﻤ‬‫ ﻓﺈﻥ ﻫﻡ ﺃﻁﺎﻋﻭﺍ ﻝِﺫﻝﻙ ﻓﺄﻋ‬: ‫ ﺜﻡ ﻗﺎل‬، ‫ﻴﺩﻋﻭﻫﻡ ﺇﻝﻰ ﺸﻬﺎﺩﺓ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻝﻪ ﺇﻻ ﺍﷲ ﻭﺃﻥ ﻤﺤﻤﺩﹰﺍ ﺭﺴﻭل ﺍﷲ‬
‫ﺱ ﺼﻠﻭﺍﺕ ﻓﻲ ﺍﻝﻴﻭﻡ ﻭﺍﻝﻠﻴﻠﺔ‬  ‫ﺃﻥ ﺍﷲ ﺍﻓﺘﺭﺽ ﻋﻠﻴﻬﻡ ﺨﻤ‬
Artinya : Hadis dari Mu’adz ibn Jabal ketika Rasulullah mengutusnya untuk pergi
ke Yaman beliau memerintahkan kepada Mu’adz unutk mengajak kaum kafir menyaksikan
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kemudian Nabi
berkata : jika mereka mentaati maka ajarkanlah mereka bahwa sesungguhnya Allah
mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam.

90
merepresentasikan shalat merupakan satu keunggulan gaya bahasa tersendiri
yang menunjukkan bahwa aktifitas sujud dalam shalat merupakan rangkaian
rukun yang paling agung dalam pelaksanaan ibadah shalat.233 Dengan
demikian memang ada tujuan tertentu perihal pilihan kata (diksi) yang
dipergunakan oleh al-Qur’an dalam mengekspresikan bahasanya. Dalam ayat
ini, gaya bahasa dengan pilihan kata (diksi) untuk menyuruh shalat kepada
manusia dengan menggunakan kata sujud menunjukkan bahwasanya sujud
merupakan rangkaian rukun yang paling penting dalam ibadah shalat. Pada
posisi itulah kerendahan dan ketundukan manusia muncul di hadapan sang
pencipta.
Dalam surat al-Hijr : 15 : 98 234 juga disebutkan adanya perintah shalat
dengan menggunakan gaya bahasa (figure of speech) sinekdoke pars pro toto
(majâz mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat) yaitu ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ﻥ ﺍﻝﺴ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻭ ﹸﻜﻥ‬ ‫ﻙ‬
 ‫ﺒ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﺤﻤ‬
 ‫ ﹺﺒ‬‫ﺒﺢ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ ﹶﻓ‬.
Kosa kata ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻝﺴ‬bagi al-Alûsî (W. 127 H.) bukanlah merupakan kata yang
bermakna haqîqî (denotasi), tetapi merupakan kata yang bermakna majâzî
(konotasi). Sebab kata ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ﺍﻝﺴ‬ merupakan kata yang memiliki relasi
(’alâqat) antara cabang (juz’) dengan keseluruhan (kull). Di samping itu, ia
juga memiliki indikator kontektual (qarînat hâliyyat) yang bisa dipahami
melalui pemahaman hubungan kalimat.235 Sebagai orang yang ahli dalam
bidang bahasa dan tafsir, al-Zamakhsyarî (W.538H./1144M.) juga berpendapat
bahwa kata ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ﺍﻝﺴ‬ menunjukkan arti perintah untuk mengingat Allah
selamanya dan perintah untuk sujud atau shalat di hadapan Allah.236 Ini
berarti bahwa kosa kata ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻝﺴ‬menurut al-Zamakhsyarî (W.538H./1144M.)

233
. Haqqî, Tafsîr Haqqî, Juz 9, al-Maktabat al-Syâmilat, hlm. 260.
234
. Artinya : Maka bertasbihlah dengan memuji nama Allahmu dan jadilah engkau
di antara orang-orang yang bersujud (shalat). (Q.S. al-Hijr : 15 : 98).
235
. Syihâb al-Dîn Mahmûd al-Sayyid al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-
‘Adzîm wa al-Sab’u al-Matsânî, Juz 14, hlm. 87.
236
. Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî , al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl, Juz 2, hlm. 568.

91
bisa bermakna haqîqî (denotasi) dan juga bisa bermakna majâzî (konotasi).
Semua bergantung pada konteks kalimatnya. Al-Samarqandî juga berpendapat
bahwa kata ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻝﺴ‬dipahami sebagai perintah yang ditujukan kepada
manusia untuk menjadi orang-orang yang melaksanakan shalat.237 Jelas, bagi
beliau ungkapan kosa kata ini termasuk dalam ikatan gaya bahasa (uslûb)
sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat) yang hanya
mengungkapkan sebagian (juz’) tetapi yang dimaksud keseluruhan (kull).
Peralihan makna semacam ini bisa terjadi karena adanya alasan tertentu yang
dapat menghalangi kosa kata tersebut pada makna yang sesungguhnya.
Senada dengan opini di atas, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa
kata ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻝﺴ‬pada ayat ini dipahami sebagai orang-orang yang tekun lagi
khusyuk dalam menjalankan ibadah shalat, beliau berargumentasi bahwa
penggalan kata dalam ayat yang jatuh sesudahnya adalah perintah untuk
melakukan aneka ibadah lainnya yakni surat : al-Hijr 15 : 99 ‫ﺤﺘﱠﻰ‬
 ‫ﻙ‬
 ‫ﺒ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺒﺩ‬ ‫ﺍﻋ‬‫ﻭ‬
‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﻴﻘ‬ ‫ﻙ ﺍﻝﹾ‬
 ‫ﻴ‬ ‫ﺘ‬ ْ‫ﻴﺄ‬ .238 Argumentasi ini berbeda dengan interpretasi yang digulirkan
oleh para ulama di mana mereka menginterpretasikan kata ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻝﺴ‬sebagai
orang-orang yang patuh ibadah kepada Allah. Maka perintah beribadah yang
datang setelahnya terasa bagaikan pengulangan belaka. Penyebutan kata
‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻝﺴ‬sebagai perintah shalat secara khusus menunjukkan bahwa betapa
pentingnya ibadah shalat dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lain.
Perintah menjadi salah seorang dari kelompok ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻝﺴ‬itu lebih sulit daripada
dinyatakan dengan jadilah seorang yang bersujud, karena yang masuk dalam
kelompok tertentu harus mencapai tingkat tinggi agar dapat diterima dalam
kelompok itu.239 Perintah ini sejalan dengan Hadis Nabi Muhammad.240

237
. Al-Samarqandî, Bahr al-‘Ulûm, Juz 2, (E.Book : al-Maktabat al-Syâmilat), hlm.
455.
238
. Artinya : Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini
(ajal). (Q.S. al-Hijr : 15 : 99).
239
. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Volume 7, hlm. 170.

92
Opini di atas yang berkenaan dengan kata ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻝﺴ‬dalam surat al-Hijr
: 15 : 98 bertentangan dengan pendapat al-Khâzin (W. 725 H.) yang dalam
pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Husain ibn Mas’ûd al-Baghâwî
menyatakan bahwa kata ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻝﺴ‬sesungguhnya tidak menunjukkan arti majâzî
(konotasi) yakni shalat, tetapi menunjukkan arti haqîqî (denotasi) yakni ‫ﻭﻜﻥ‬
‫“ ﻤﻥ ﺍﻝﻤﺘﻭﺍﻀﻌﻴﻥ ﷲ‬jadilah orang-orang yang tunduk kepada Allah” dengan
pertimbangan bahwa kata yang jatuh sebelum kata ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻝﺴ‬adalah ‫ﺩ‬ ‫ﺤﻤ‬
 ‫ ﹺﺒ‬‫ﺒﺢ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﹶﻓ‬
‫ﻙ‬
 ‫ﺒ‬ ‫ﺭ‬ yang diartikan sebagai ‫ل ﺒﺄﻤﺭ ﺭﺒﻙ‬
‫“ ﻓﺼ ﱢ‬maka shalatlah atas dasar
perintah Tuhanmu”.241 Dengan kata lain, sujud yang dimaksud oleh al-Khâzin
(W. 725 H.) adalah sujud dalam tataran immaterial untuk menjadi hamba-
hamba Allah yang tunduk kepada-Nya. Sudah tentu ayat tersebut menurutnya
tidak termasuk dalam kategori gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz
mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat).
Dari beberapa pendapat para mufassir dan ahli retorika di atas, penulis
berkesimpulan bahwa kata ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ﺍﻝﺴ‬ dalam surat al-Hijr : 15 : 98
menggunakan gaya bahasa (uslûb) sinekdoke pars pro toto (majâz mursal
’alâqatuhu al-juz’iyyat) yang tidak bisa diartikan secara haqîqî atau tekstual
(denotasi). Karena kata ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻝﺴ‬itu memiliki relasi (‘alâqat) antara cabang
(juz’) dengan keseluruhan (kull). Disamping itu, ia juga mempunyai indikator
kontekstual (qarînat hâliyyat) yakni adanya ketidakmungkinan shalat itu
hanya dilakukan dengan cara bersujud saja tanpa ada rangkaian rukun lainnya
seperti berdiri, ruku’ dan membaca ayat al-Qur’an.

. 240 ‫ﺠﺩ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ﻭ ﺴ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺒ‬‫ﺭ‬ ‫ﻤﻥ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻌﺒ‬ ‫ﻥ ﺍﻝﹾ‬
 ‫ﻴﻜﹸﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺏ ﻤ‬
 ‫ﺭ‬ ‫ل َﺃﻗﹾ‬
َ ‫ﻡ ﻗﹶﺎ‬ ‫ﺴﱠﻠ‬
 ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻋﹶﻠﻴ‬
 ‫ﻪ‬ ‫ﺼﻠﱠﻰ ﺍﻝﱠﻠ‬
 ‫ﻪ‬ ‫ل ﺍﻝﱠﻠ‬
َ ‫ﻭ‬‫ﺭﺴ‬ ‫ﻥ‬
 ‫َﺃ‬
“Sesungguhnya Rasulullah bersabda : sedekat-dekat seorang hamba kepada Allah
adalah pada saat ia bersujud”. Lihat Imâm Muslim, Shahîh Muslim, Hadis 744, Juz 9,
(E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 29. Lihat juga Sunan Abî Daud, Sunan Abî Daud,
Hadis 741, Juz 3, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 41. Lihat juga Imâm Ahmad,
Musnad Ahmad, Hadis 9083, Juz 19, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 126.
241
. Al-Khâzin Abû al-Hasan Alî ibn Muhammad ibn Ibrâhîm ibn ‘Umar al-Syaikhî,
Lubbâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, Juz 3, (Beirut: Dâr al-Fikr, TT.), hlm. 104.

93
Ekspresi sujud yang menunjukkan makna majâzî (konotasi) shalat
dengan model gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ’alâqatuhu
al-juz’iyyat) tergambar pula dalam surat al-Furqân : 25 : 64242 yang
berbunyi ‫ﺎ‬‫ﺎﻤ‬‫ﻗﻴ‬ ‫ﻭ‬
 ‫ﺍ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺴ‬ ‫ﺒ ﹺﻬﻡ‬‫ﺭ‬ ‫ﻥ ِﻝ‬
 ‫ﻴﺒﹺﻴﺘﹸﻭ‬ ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺍﱠﻝﺫ‬‫ﻭ‬ . Ayat ini mengandung makna majâzî
yang tidak bisa di artikan secara haqîqî karena adanya relasi (‘alâqat) dan
indikator (qarînat) tertentu yang menghalangi makna haqîqî atau
sesungguhnya. Kata ‫ﺍ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺴ‬ merupakan bentuk jamak dari kata ‫ ﺴﺎﺠﺩﺍ‬yang
berarti orang yang sujud, sementara kata ‫ﺎ‬‫ﺎﻤ‬‫ﻗﻴ‬ merupakan bentuk jamak dari
kata ‫ ﻗﺎﺌﻡ‬yang berarti orang yang berdiri. Menurut Quraish Shihab,243 aktifitas
berdiri dan sujud dalam shalat keduanya merupakan rukun yang utama.
Karena itulah mayoritas ulama memahami gabungan kedua kata tersebut
dalam arti shalat bukan dalam arti yang haqîqî (denotasi). Karena aktifitas
berdiri dan sujud merupakan rangkaian rukun yang terdapat dalam ibadah
shalat. Adapula yang memahami ayat di atas lebih khusus lagi yakni shalat
tahajjud. Adapun mendahulukan kata ‫ﺍ‬‫ﺠﺩ‬
‫ﺴ‬ dari pada kata ‫ﺎ‬‫ﺎﻤ‬‫ﻗﻴ‬ bukan saja
untuk mempersamakan bunyi akhir masing-masing ayat sebelum dan
sesudahnya, tetapi yang lebih penting adalah untuk mengisyaratkan bahwa
betapa penting dan dekatnya seseorang kepada Allah saat sujudnya dalam
shalat.
Abû Su’ûd (W. 951 H.) cenderung mengintrpretasikan kata ‫ﺍ‬‫ﺠﺩ‬
 ‫ـ‬‫ﺴ‬
(sujud) dan ‫ـﺎ‬‫ﺎﻤ‬‫ﻗﻴ‬ dengan makna majâzî (konotasi) sebagai penjelas atas
kondisi hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang menghidupi malam-
malamnya dengan shalat. Adapun didahulukannya lafadz ‫ﺍ‬‫ﺠﺩ‬
 ‫ـ‬‫ﺴ‬ dengan
mengakhirkan kata ‫ـﺎ‬‫ﺎﻤ‬‫ﻗﻴ‬ menurut Abû Su’ûd adalah untuk memelihara akhir

242
. Artinya : Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri
untuk Allah mereka. (Q.S. al-Furqân : 25 : 64).
243
. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Volume 9, hlm. 531.

94
persajakan (fâshilat)244 ayat agar rimanya kelihatan lebih indah.245 Hal ini bisa
kita analisis pada rima persajakan yang terdapat pada satu ayat sebelumnya
dan tiga ayat yang jatuh sesudah surat al-Furqân : 25 : 64.246 Jika kata ‫ﺍ‬‫ﺠﺩ‬
 ‫ـ‬‫ﺴ‬
diakhirkan sementara kata ‫ـﺎ‬‫ﺎﻤ‬‫ﻗﻴ‬ didahulukan, maka rima persajakan ayat
tersebut akan rusak dan kelihatan tidak menarik lagi.
Menurut Richard Bradford seorang professor Inggris di Universitas
Ulster berpendapat bahwa sebenarnya memproduk bentuk persajakan dalam
sebuah puisi itu sangat rumit bagi seorang penyair. Sajak merupakan suatu
ikatan garis yang menjadi unit struktural yang lebih besar dalam puisi.247 Al-

Qur’an mempunyai karakteristik persajakan yang baik dalam menguntai

kalimatnya sehingga keindahan gaya bahasanya juga dapat dibuktikan

melalui bunyi kalimat-kalimatnya. Tak ayal jika banyak orang yang

beranggapan bahwa al-Qur’an itu merupakan puisi atau prosa. Meskipun

permasalahan ini masih menjadi sesuatu yang kontroversional, akan tetapi

pada kenyataannya memang banyak ayat-ayat al-Qur’an yang sangat puitis

akibat keserasian bentuk persajakan yang sering dimunculkan.248 Di tempat

244
. Fâshilat adalah beberapa huruf yang terangkai di akhir (ayat-ayat al-Qur’an)
yang membawa kebaikan paham terhadap maknanya. Lihat ‘Abd al-Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il
al-‘Ijâz, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm 64. Kebanyakan bentuk akhir kata
dalam al-Qur’an itu berupa huruf mad dan huruf lain yang diikuti dengan huruf nun. Lihat
Badr al-Dîn Muhammad ibn ‘Abd Allâh al-Zarkasyî, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm. 60.
245
. Abû Su’ûd Muhammad ibn Muhammad Mushthafâ al-‘Imâdî, Irsyâd al-‘Aql al-
Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur’ân al-Karîm, Juz 6, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî), hlm. 228.
246
. Untuk membuktikanya, perhatikan keselarasan bunyi akhir persajakan pada surat
al-Furqân : 25 : 63 adalah kata ‫ﺎ‬‫ﺴﻠﹶﺎﻤ‬  . Sementara pada ayat ke-64 akhir persajakannya adalah
kata ‫ﺎ‬‫ﺎﻤ‬‫ﻗﻴ‬ َ . Bunyi akhir persajakan pada ayat ke-65 adalah kata ‫ﺎ‬‫ﺭﺍﻤ‬
‫ﻏ‬‫ ﹶ‬. Bunyi akhir persajakan
pada ayat ke-66 adalah kata ‫ﺎ‬‫ﻤﻘﹶﺎﻤ‬ . Sedangkan bunyi akhir persajakan pada ayat ke-67 adalah
kata ‫ـﺎ‬‫ﺍﻤ‬‫ ﹶﻗﻭ‬. Andaikata pada akhir ayat ke-64 itu berbunyi ‫ﺍ‬‫ﺠﺩ‬  ‫ـ‬‫ ﺴ‬, maka secara otomatis
persajakan akhir surat al-Furqân itu akan rusak dan terasa tidak mengandung nilai estetika
rima kalimat. (Q.S.al-Furqân:25:63-67). Wajarlah jika terdapat sebagian pendapat yang
mengatakan bahwa al-Qur’an itu merupakan kitab sastra terbesar. Karena jika ditinjau dari
bentuk bunyi akhir persajakan al-Qur’an banyak sekali ditemukan ayat-ayat yang memiliki
karakteristik tersebut.
247
. Richard Bradford, Stylistics, (London and New York: Routledge, 1997), hlm. 16.
248
. Kusmana, Syamsuri (Ed.), Pengantar Ilmu al-Qur’an Tema Pokok Sejarah dan
Wacana Kajian, dalam tulisan Yusuf Rahman, Kritik Sastra dan Kajian al-Qur’an, (Jakarta:
Pustaka Alhusna Baru, 2004), hlm. 218.

95
249
lain, al-Qur’an juga memiliki makna estetika-sastra yang bernilai tinggi.

Sehingga wajar jika hal ini bisa menarik perhatian para pakar untuk

menyusun ’Ulûm al-Qur’ân. Riset kebahasaan al-Qur’an yang telah dilakukan

selama berabad-abad sebagai suatu bagian urgen dari ilmu ini menyentuh

berbagai aspek pengungkapan al-Qur’an baik mengenai gaya bahasa, tata

bahasa, retorika dan keindahan yang kepada semuanya para pakar dalam

ilmu al-Qur’an itu mengatributkan sesuatu yang lebih dari kehebatan

duniawi, dan mengajukannya sebagai bukti akan kemukjizatan al-Qur’an

yang tak tertirukan oleh tulisan apapun.250

Sejalan dengan argumentasi para mufassir di atas, al-Zamakhsyarî


(W.538H./1144M.) juga memahami kata ‫ﺍ‬‫ﺠﺩ‬
 ‫ـ‬‫( ﺴ‬sujud) dan ‫ـﺎ‬‫ﺎﻤ‬‫ﻗﻴ‬ (berdiri)
sebagai makna majâzî (konotasi) yakni sebagai perintah untuk melakukan
shalat. Hanya saja yang dimaksud dengan shalat di sini lebih spesifik lagi
yakni shalat sunah dua rakaat setelah shalat maghrib dan shalat isya’.
Pemahaman perluasan makna semacam ini bisa dianalisis melalui indikator
(qarînat) tekstual (lafdziyyat) yang muncul dalam kalimat tersebut yakni kata
‫ﻥ‬
 ‫ﻴﺒﹺﻴﺘﹸـﻭ‬ . Indikator (qarînat) inilah yang mampu menghalangi suatu kosa kata
untuk menunjukkan makna yang sesungguhnya (haqîqî) dan beralih ke makna
lain yang memiliki relasi (‘alâqat).251 Senada dengan pendapat di atas al-
Samarqandî juga berpendapat, bahwa pemaknaan kata sujûd dan qiyâm
bukanlah menunjukkan makna haqîqî (denotasi). Kata sujûd dan qiyâm yang

249
. Surat-surat dalam al-Qur’an yang berakhir dengan konsonan yang sama rata
serta pengulangan pada surat al-Rahmân dapat dianggap bermuatan estetika-sastra. Lihat M.
Yudie R. Haryono, Bahasa Politik Al-Qur’an Mencurigai Makna di Balik Teks, (Bekasi:
Gugus Press, 2002), hlm. 14.
250
. Faruq Sherif, A Guide to The Contents of The Qur’an, alih bahasa M.H. Assagaf
dan Nur Hidayah, Al-Qur’an Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1995),
hlm. 75.
251
. Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî , al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl, Juz 3, hlm. 99.

96
dalam konteks ayat ini menunjukkan makna majâzî (konotasi) untuk mereka
yang menjalankan shalat pada malam hari.252
Gaya bahasa (uslûb) yang dipergunakan dalam ayat dalam ini adalah
gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal juz’iyyat) yang hanya
mengemukakan sebagian (juz’) saja, tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan
(kull). Pemahaman seperti ini bisa dideteksi melalui penggunaan kosa kata
yang dipergunakan dalam menguntai kata-katanya. Kosa kata ‫ﺍ‬‫ﺠﺩ‬
 ‫ـ‬‫( ﺴ‬sujud)
dan ‫ـﺎ‬‫ﺎﻤ‬‫ﻗﻴ‬ (berdiri) dalam konteks ayat ini memiliki relasi (‘alâqat) dengan
kata yang lain yakni shalat. Penggunaan term ‫ﺍ‬‫ﺠﺩ‬
 ‫ـ‬‫ ﺴ‬yang lebih didahulukan
dari pada kosa karta ‫ـﺎ‬‫ﺎﻤ‬‫ﻗﻴ‬ (berdiri) dalam ayat ini tentu beralasan cukup kuat
yakni untuk menanamkan rasa tunduk atau rendah diri pada diri seseorang.
Perintah shalat dengan menggunakan gaya bahasa sinekdoke pars pro
toto (majâz mursal’alâqatuhu al-juz’iyyat) juga terdapat dalam surat Qâf : 50 :
39-40 253
‫ﺏ‬
‫ﻭ ﹺ‬‫ل ﺍﻝﹾ ﹸﻐﺭ‬
َ ‫ﻭ ﹶﻗﺒ‬ ‫ﺱ‬
‫ ﹺ‬‫ﺸﻤ‬
‫ﻉ ﺍﻝ ﱠ‬
‫ﻁﻠﹸﻭ ﹺ‬
‫ل ﹸ‬
َ ‫ﻙ ﹶﻗﺒ‬
 ‫ﺒ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﺤﻤ‬
 ‫ ﹺﺒ‬‫ﺒﺢ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻭ‬ ‫ﻥ‬
 ‫ﻴﻘﹸﻭﻝﹸﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﻤ‬
 ‫ ﹺﺒﺭ‬‫ﻓﹶﺎﺼ‬
‫ﻪ‬ ‫ﺒﺤ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ل ﹶﻓ‬
ِ ‫ﻥ ﺍﻝﱠﻠﻴ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻭﺩ‬‫ﺴﺠ‬
 ‫ﺭ ﺍﻝ‬ ‫ﺎ‬‫ﺒ‬‫ﻭَﺃﺩ‬ .
Ayat ini sesungguhnya menyeru kepada Muhammad untuk bersabar terhadap
apa yang disampaikan orang-orang kafir yang ingkar akan terutusnya Nabi.
Sabar tersebut diperintahkan oleh Allah dalam setiap kondisi apapun dengan
cara bertasbîh dan bertahmîd kepada Allah yakni melaksanakan shalat
sebelum terbit matahari (shalat shubuh), setelah terbenamnya matahari (shalat
dzuhur dan ashar) dan pada malam hari (maghrib dan isya’). Demikian pula
setelah selesainya sujud yakni setelah shalat fardlu. Menurut al-Zamakhsyarî
(W.538H./1144M.) yang dimaksud dengan ungkapan sujud dan ruku’ di sini

252
. Al-Samarqandî, Bahr al-‘Ulûm, Juz 3, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm.
252.
253
. Artinya : Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan
bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya).
Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai sembahyang. (Q.S. Qâf
: 50 : 39-40).

97
adalah shalat.254 Dalam istilah kontemporernya al-Zamakhsyarî menyebut
dengan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto, sementara dalam kajian ilmu
balâghat al-Zamakhsyarî menyebutnya dengan majâz mursal yang memiliki
relasi (‘alâqat) juz’iyyat.
Term tasbîh pada ayat di atas merupakan kata yang bermakna majâzî,
karena tasbîh merupakan cabang (juz’) yang masih mempunyai relasi (‘alâqat)
dengan keseluruhan (kull). Oleh karena itu, ia tidak bisa dimaknai dengan
tasbîh secara haqîqî, tetapi bermakna shalat. Bahkan menurut pakar tafsir Ibn
‘Atiyyat, para mufassir sepakat menggunakan kata tasbîh dalam arti shalat.255
Sementara al-Alûsî (W. 127 H.) menyebut struktur ayat di atas dengan istilah
majâz mursal‘alâqatuhu al-juz’iyyat, karena yang dikehendaki dari ayat itu
adalah keseluruhan dari sebagian yang diungkapkan yakni shalat.256
Jika dianalisis dari struktur kalimat yang muncul setelah kata tasbîh
yakni ‫ﺱ‬
‫ ﹺ‬‫ﺸﻤ‬
‫ﻉ ﺍﻝ ﱠ‬
‫ﻁﻠﹸﻭ ﹺ‬ َ ‫( ﹶﻗﺒ‬sebelum terbit matahari) maka dapat dipahami tasbîh
‫ل ﹸ‬
di sini menunjukkan arti shalat shubuh, dan kata ‫ﺏ‬
‫ﻭ ﹺ‬‫ل ﺍﻝﹾﻐﹸـﺭ‬
َ ‫ـ‬‫( ﹶﻗﺒ‬sebelum
terbenamnya) yang disandarkankan (’athaf) pada kata ‫ﺱ‬
‫ ﹺ‬‫ﻉ ﺍﻝﺸﱠـﻤ‬
‫ﻁﻠﹸـﻭ ﹺ‬
‫ل ﹸ‬
َ ‫ـ‬‫ﹶﻗﺒ‬
dipahami sebagai shalat dzuhur dan shalat ashar, sedangkan ‫ل‬
ِ ‫ ـ‬‫ﻥ ﺍﻝﱠﻠﻴ‬
 ‫ﻤ ـ‬
(sebagian malam) dipahami sebagai shalat maghrib, isya’ dan shalat al-lail.
Dengan demikian ketiga kata ‫ﺱ‬
‫ ﹺ‬‫ﺸﻤ‬
‫ﻉ ﺍﻝ ﱠ‬
‫ﻁﻠﹸﻭ ﹺ‬
‫ل ﹸ‬
َ ‫ ﹶﻗﺒ‬, ‫ﺏ‬
‫ﻭ ﹺ‬‫ل ﺍﻝﹾ ﹸﻐﺭ‬
َ ‫ ﹶﻗﺒ‬dan kata ‫ل‬
ِ ‫ـ‬‫ﻥ ﺍﻝﱠﻠﻴ‬
 ‫ﻤ‬
merupakan indikator (qarînat) dalam bentuk tekstual (lafdziyyat) yang mampu
menghalangi kata tasbîh pada makna yang sesungguhnya (haqîqî). Dengan
relasi dan indikator serta pemindahan makna ini, maka kata tasbîh
menunjukkan makna majâzî yakni shalat.

254
. Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî , al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl, Juz12, hlm. 12.
255
. Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz 14, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat),
hlm. 79.
256
. Syihâb al-Dîn Mahmûd al-Sayyid al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-
‘Adzîm wa al-Sab’u al-Matsânî, Juz 26, hlm. 193.

98
b. Ekspresi Ruku’
Gaya bahasa amr (perintah) dalam al-Qur’an untuk mengajak manusia
melaksanakan shalat tidak hanya diekspresikan dengan menggunakan kata
sujud saja, tetapi di tempat lain perintah shalat itu direpresentasikan dengan
menggunakan kata ruku’ yang maknanya secara majâzî menunjukkkan arti
shalat. Ilustrasi tersebut diungkapkan dalam surat al-Mursalât : 77 : 48257 yang
berbunyi ‫ﻥ‬
 ‫ﻭ‬‫ ﹶﻜﻌ‬‫ﻴﺭ‬ ‫ﻭﺍ ﻝﹶﺎ‬‫ ﹶﻜﻌ‬‫ﻡ ﺍﺭ‬ ‫ﻬ‬ ‫ل ﹶﻝ‬
َ ‫ﻴ‬‫ﻭِﺇﺫﹶﺍ ﻗ‬ . Secara historis, ayat ini sesungguhnya
mengajak kepada para pendurhaka untuk beriman kepada Allah, namun
mereka enggan untuk memenuhi panggilan beriman. Dan jika disuruh untuk
melakukan ruku’ (shalat) atau patuhlah kepada Allah, mereka juga tidak mau
ruku’.258 Muhammad Husain Salâmat berpendapat, bahwa ungkapan kata
‫ﻭﺍ‬‫ ﹶﻜﻌ‬‫ ﺍﺭ‬menghendaki makna shalat, peralihan makna ini terjadi karena ayat ini
memiliki relasi (alâqat) dengan kosa kata lain yang bisa dipahami secara
kontekstual. Menurutnya ayat tersebut termasuk dalam kategori pengungkapan
sebagian (juz’) tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan (kull).259
Al-Râzî (W.604H./1210M.) juga lebih cenderung untuk mengambil
makna kata ruku’ dengan menggunakan prinsip makna relasional yakni makna
majâzî (konotatif) yang dalam prakteknya sangat bergantung kepada konteks
sekaligus relasi dengan kosa kata lainnya. Makna kata ruku’ dalam ayat
tersebut menurutnya menunjukkan makna shalat. Karena ruku’ merupakan
bagian dari serangkaian ibadah yang tergabung dalam ibadah shalat. Pendapat
ini ditentang oleh minoritas ulama lain yang menanggapi kata ruku’ dalam
ayat tersebut bukan sebagai makna shalat, mereka lebih memahami dan lebih
memilih perintah ruku’ pada ayat tersebut secara haqîqî (denotasi) bukan pada

257
. Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: "ruku’lah, niscaya mereka
tidak mau ruku'. (Q.S. al-Mursalât : 77 : 48).
258
. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Volume 14, hlm. 695.
259
. Muhammad Husain Salâmat, Al-I’jâz al-Balâghî fî al-Qur’ân al-Karîm, hlm.
383

99
makna majâzî (konotatif) nya, karena yang dimaksud dengan ruku’ menurut
mereka adalah tunduk, merendahkan diri, dan khusyuk karena Allah, dan tidak
menyembah pada selainnya.260
Banyaknya penyebutan cabang (juz’) untuk mengarah pada makna
keseluruhan (kull) dalam gaya bahasa al-Qur’an yang berinteraksi dengan
ruku’ yang menunjukkan arti shalat menurut Muhammad al-Amîn berprinsip
untuk menguatkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu
merupakan hal yang penting untuk menegakkan tiang agama.261
Bagi Ibrâhîm ibn ‘Umar (W. 885 H.), ungkapan ‫ـﻭﺍ‬‫ ﹶﻜﻌ‬‫ ﺍﺭ‬tidak bisa
diartikan secara haqîqî (denotasi), tetapi harus diartikan secara majâzî
(konotasi) karena ia memiliki relasi (alâqat) dengan kata shalat. Perintah
shalat dengan menggunakan kata ruku’ bertujuan untuk mengarahkan
seseorang supaya tunduk dan taat kepada Allah. Karena esensi ibadah shalat
ini bermuara pada ketundukan dan rendah diri. Ungkapan ruku’ sebagaimana
halnya ungkapan sujud, keduanya menunjuk pada perintah shalat.262 Begitu
juga dengan Abû Zaid mengatakan hal yang sama dengan pendapat para
ulama, bahwa ayat tersebut menggunakan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto
(majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat). Karena yang diungkapkan dalam ayat
di atas hanya merupakan cabang (juz’) dari keseluruhan (kull) rangkaian rukun
shalat.263
Pernyataan di atas berbeda dengan apa yang telah dilontarkan oleh
Abû Sa’ûd (W. 951 H.), bahwa kata ‫ـﻭﺍ‬‫ ﹶﻜﻌ‬‫ ﺍﺭ‬tidak menunjuk pada makna
majâzî (konotasi), tetapi menunjukkan makna haqîqî (denotasi) yakni perintah

260
. Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Hasan ibn al-Husain al-Taimî al-
Râzî, Al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghaib, Juz 30, hlm. 284.
261
. Muhammad al-Amîn, Tatimmat Adlwâ’ al-Bayân fî îdlâh al-Qur’ân bi al-
Qur’ân, Juz 8, (Kairo: Maktabat ibn Taimiyyat, 1988), hlm. 692.
262
. Burhân al-Dîn ibn al-Hasan Ibrâhim ibn ‘Umar al-Biqâî’î, Nazdm al-Durar fî
tanâsub al-âyât wa al-Suwar, Juz 8, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1995), hlm. 292.
263
. Abû Zaid ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad Makhlûf al-Tsa’âlabî, al-Jawâhir al-
Hisân fî Tafsîr al-Qur’ân, Juz 4, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 194.

100
untuk taat kepada Allah serta tunduk kepada-Nya dengan cara menerima
wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad dan mengikuti agama
Allah. Dengan demikian kata ‫ـﻭﺍ‬‫ ﹶﻜﻌ‬‫ ﺍﺭ‬menurutnya tidak bisa diartikan sebagai
ruku’ yang merupakan bagian (juz’) dari rukun yang ada dalam shalat, ia
hanya diartikan sebagai arti tunduk dan rendah diri dengan menerima wahyu-
Nya dan mengikuti agama-Nya. Namun demikian, menurutnya ada juga
sebagian ulama yang mengartikan kata ‫ــﻮﺍ‬‫ﺭ ﹶﻛﻌ‬ ‫ﺍ‬ dengan makna majâzî
(konotasi).264
Surat di atas yang berinteraksi dengan perintah shalat pada hakekatnya
265
senada dengan apa yang terdapat dalam surat al-Hajj : 22 : 77 yang
berbunyi ‫ﻌﱠﻠﻜﹸـﻡ‬ ‫ﺭ ﹶﻝ‬ ‫ـ‬‫ﺨﻴ‬
‫ﻌﻠﹸﻭﺍ ﺍﻝﹾ ﹶ‬ ‫ﺍﻓﹾ‬‫ ﻭ‬‫ﺒ ﹸﻜﻡ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﺒﺩ‬ ‫ﺍﻋ‬‫ﻭﺍ ﻭ‬‫ﺠﺩ‬
 ‫ﺍﺴ‬‫ﻭﺍ ﻭ‬‫ ﹶﻜﻌ‬‫ﻤﻨﹸﻭﺍ ﺍﺭ‬ ‫ﻥ َﺁ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺎ ﺍﱠﻝﺫ‬‫ﻴﻬ‬ ‫ﺎ َﺃ‬‫ﻴ‬
‫ﻥ‬
 ‫ـﻭ‬‫ﻠﺤ‬‫ ﹸﺘﻔﹾ‬. Pada dasarnya ayat ini mencakup semua tuntutan Islam, dimulai dari
akidah yang ditandai dengan penamaan mereka yang diajak dengan sebutan
‫ﻤﻨﹸـﻭﺍ‬ ‫ﻥ َﺁ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺍﻝﱠـﺫ‬, selanjutnya dengan memerintahkan shalat dengan menyebut dua
rukunnya yang paling urgen yaitu ruku’ dan sujud. Penyebutan shalat secara
spesifik dalam ayat ini karena ibadah shalat merupakan tiang agama. Sehingga
siapa saja yang mendirikan shalat maka ia telah mendirikan agama. Dan siapa
yang meninggalkannya berarti ia telah meruntuhkannya. Setelah penyebutan
shalat secara spesifik dengan ekspresi ruku’ dan sujud, baru penyebutan aneka
ibadah yang mencakup banyak hal.266 Ungkapan ayat di atas, menggunakan
gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat)
karena konteks ayat ini menghendaki makna ‫ ﺼـﻠﻭﺍ‬atau shalatlah. Karena

264
. Abû Sa’ûd Muhammad ibn Muhammad Musthafâ al-‘Imâdî, Irsyâd al-‘Aql al-
Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur’ân al-Karîm, Juz 6, hlm. 82-83.
265
. Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (Q.S.
al-Hajj : 22 : 77).
266
. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Volume 9, hlm. 132.

101
rangkaian ruku’ dan sujud yang merupakan cabang (juz’) memiliki relasi
(‘alâqat) dengan keseluruhan (kull).267
Secara historis, ayat yang memerintahkan ruku’ dan sujud dalam
pelaksanaan shalat, karena pada permulaan masuk islamnya, mereka kadang-
kadang melakukan shalat dengan melakukan gerakan ruku’ tetapi tanpa
melakukan gerakan sujud, di lain waktu mereka juga melakukan shalat dengan
gerakan ruku’ tetapi tanpa melakukan gerakan sujud dalam shalat. Sehingga
ayat ini turun sebagai anjuran kepada orang-orang yang beriman untuk
melakukan kedua rukun ini yakni ruku’ dan sujud dalam shalat mereka.268
Dengan merujuk pada asbâb al-nuzûl atau latar belakang histori turunnya ayat
di atas, maka kata ruku’ dan sujud dalam konteks ayat ini tidak bisa diartikan
secara haqîqî (denotasi atau leksikal), tetapi harus diartikan secara majâzî
(konotasi). Penyebutan secara spesifik kedua rukun tersebut dalam shalat
menunjukkan akan arti penting dan utamanya esensi ruku’ dan sujud dalam
ibadah shalat. Pernyataan yang sama dengan pendapat di atas, juga
disampaikan oleh al-Râzî (W.604H./1210M.), bahwa penyebutan ruku’ dan
sujud yang merupakan bagian atau cabang (juz’) dalam pelaksanaan shalat
merupakan rukun yang paling mulia dari berbagai rukun yang lain.269
Menurut Ibrâhim ibn ‘Umar (W. 885 H.)270 sebagaimana ketika beliau
menanggapi surat al-Mursalât : 77 : 48, terdapat keistimewaan tersendiri
ketika al-Qur’an menunjuk perintah shalat secara spesifik dengan ekspresi
gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat)
yang terwakili oleh ungkapan kedua rukun dalam shalat yakni ‫ ﺍﺭﻜﻌـﻭﺍ‬dan

267
. Muhammad Husain Salâmat, Al-I’jâz al-Balâghî fî al-Qur’ân al-Karîm, hlm.
191.
268
. Syihâb al-Dîn Mahmûd al-Sayyid al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-
‘Adzîm wa al-Sab’u al-Matsânî, Juz 17 hlm. 149.
269
. Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Hasan ibn al-Husain al-Taimî al-
Râzî, Al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghaib, Juz 23, hlm. 72.
270
. Ibrâhim ibn ‘Umar ibn Hasan al-Ribât ibn ‘Alî ibn Abî Bakr, Nadzm al-Durar fî
Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar, Juz 5, hlm. 178.

102
‫ ﺍﺴـﺠﺩﻭﺍ‬padahal rukun dalam shalat itu tidak hanya terdiri dari kedua rukun
saja. Hal ini dikarenakan kedua rukun shalat yang berupa sujud dan ruku’
yang merupakan sikap tunduk, rendah diri dan penghormatan kepada Allah itu
berbeda dengan praktek penghormatan pada umumnya (kepada selain Allah).
Oleh karena itu, praktek pelaksanaannya kedua gerakan sujud dan ruku’ itu
diaplikasikan dengan cara menundukkan kepala pada saat melaksanakan
shalat sebagai bukti tunduk atau rendah diri di hadapan Allah.
Mencermati beberapa pendapat yang dipaparkan oleh para ahli di atas,
tampak bahwa kosa kata ruku’ yang terdapat dalam surat al-Mursalât : 77 : 48
dan surat al-Hajj : 22 : 77 makna katanya tidak bisa diartikan secara haqîqî
(denotatif atau leksikal), tetapi harus diartikan secara majâzî (konotatif).
Peralihan makna semacam ini dipengaruhi oleh adanya relasi (‘alâqat) antara
cabang (juz’) dengan keseluruhan (kull). Karena itu term ruku’ tersebut harus
diartikan sebagai shalat bukan sebagai ruku’ secara leksikal. Penyebutan
shalat dengan menggunakan term ruku’ secara spesifik tiada lain memiliki
nilai keistimewaan tersendiri bahwa pada hakekatnya akhir dari pelaksaan
ibadah shalat seseorang adalah untuk pembentukan pribadi muslim yang
tunduk dan rendah diri kepada siapa pun.

c. Ekspresi Membaca
Uslûb al-Qur’an yang berinteraksi dengan perintah untuk melakukan
shalat juga sering kali diekspresikan dengan menggunakan gaya bahasa
(figure of speech) sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ’alâqatuhu al-
juz’iyyat) yang diungkapkan dengan kata membaca sebagaimana terdapat
dalam surat al-Isrâ’ : 17 : 78 271

271
. Artinya : Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat). (Q.S. al-Isrâ’ : 17 : 78).

103
‫ﺍ‬‫ﻭﺩ‬‫ﻤﺸﹾﻬ‬ ‫ﻥ‬
 ‫ ﹺﺭ ﻜﹶﺎ‬‫ﻥ ﺍﻝﹾ ﹶﻔﺠ‬
 ‫َﺁ‬‫ﻥ ﹸﻗﺭ‬
 ‫ ﹺﺭ ِﺇ‬‫ﻥ ﺍﻝﹾ ﹶﻔﺠ‬
 ‫َﺁ‬‫ﻭ ﹸﻗﺭ‬ ‫ل‬
ِ ‫ﻕ ﺍﻝﱠﻠﻴ‬
‫ﺴ‬‫ﻏ‬
‫ﺱ ِﺇﻝﹶﻰ ﹶ‬
‫ ﹺ‬‫ﺸﻤ‬
‫ﻙ ﺍﻝ ﱠ‬
 ‫ﺩﻝﹸﻭ‬ ‫ﺼﻠﹶﺎ ﹶﺓ ِﻝ‬
 ‫ﻗ ﹺﻡ ﺍﻝ‬ ‫َﺃ‬
Dalam pandangan Muhammad Husain Salâmat -seorang yang ahli dalam
retorika Arab- mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ”membaca di waktu
fajar” dalam ayat ini adalah ”shalat shubuh”, karena membaca al-Qur’an
dalam hal ini adalah membaca surat al-Fâtihat yang merupakan salah satu
rukun dalam pelaksanaan ibadah shalat yang tanpanya shalat seseorang itu
tidak sah.272 Sama halnya dengan al-Zamakhsyarî (W.538H./1144M.) seorang
teolog Mu’tazilah yang ahli dalam bidang bahasa dan tafsir, beliau
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‫ﺭ‬‫ﻥ ﺍﻝﹾ ﹶﻔﺠ‬
 ‫َﺁ‬‫ َ ﹸﻗﺭ‬adalah shalat fajar
(shalat shubuh). Penyebutan ayat tersebut dengan menggunakan kata ‫ﻥ‬
 ‫َﺁ‬‫َ ﹸﻗﺭ‬
yakni membaca surat al-Fâtihat, karena ia merupakan rukun yang penting
dalam shalat sebagaimana penyebutan ruku’ dan sujud dalam pelaksanaan
shalat.273 Seni bertutur dengan model di atas, menurut al-Sayyid al-Jamîlî,
termasuk dalam kategori gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal
‘alâqatuhu al-juz’iyyat) yang mengungkapkan sebagian (juz’) tetapi yang
dimaksud adalah keseluruhan (kull).274
Sedangkan menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya mengatakan
bahwa secara etimologi ayat tersebut mempunyai makna “bacaan al-Qur’an
di waktu fajar“, tetapi karena ayat ini berbicara dalam konteks kewajiban
ibadah shalat, maka tidak ada bacaan wajib pada saat fajar kecuali hanya
bacaan surat al-Fâtihat ketika shalat shubuh. Karena itulah, semua penafsir
sunnah atau syi’ah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah di atas
adalah shalat shubuh. Penggunaan istilah khusus untuk shalat fajar ini karena
ia mempunyai keistimewaan tersendiri, bukan saja karena ia disaksikan oleh

272
. Muhammad Husain Salâmat, Al-I’jâz al-Balâghî fî al-Qur’ân al-Karîm, hlm.
165.
273
. Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî , al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl, Juz 2, hlm. 659.
274
. Al-Sayyid al-Jamîlî, Al-Balâghat al-Qur’âniyyat al-Mukhtârat, hlm. 42.

104
para malaikat, tetapi juga karena bacaan al-Qur’an pada semua rakaat shalat
shubuh dianjurkan untuk dilakukan secara jahr (suara yang terdengar juga
oleh selain pembacanya) di mana hal ini berbeda dengan shalat-shalat yang
lain. Di samping itu, shalat shubuh adalah salah satu shalat yang terasa berat
dilakukan oleh para munafik karena waktu shalat subuh dilaksanakan pada
saat kenyamaan tidur.275
Kesaksian malaikat yang dimaksud di atas untuk shalat fajar,
diperjelas oleh sebuah Hadits Nabi Muhammad276. Sementara itu, al-Zajjâj
sebagaimana dikuti oleh al-Jauzî (W. 597 H.) menangkap kesan dari istilah
ayat ini, bahwa gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal’alâqatuhu
al-juz’iyyat) yang terdapat dalam surat al-Isrâ’ : 17 : 78 yang hanya
mengungkapkan bacaan saja yakni membaca surat al-Fâtihat itu menunjukkan
adanya tujuan utama dari pengungkapan gaya bahasa tersebut yakni bahwa
semua shalat itu harus disertai dengan bacaan al-Qur’an, minimal surat al-
Fâtihat, karena ayat ini menamai shalat dengan sebutan Qur’ân.277
Menanggapi masalah ini, Ahmad sebagaimana dikutip oleh ‘Abd al-Wahhâb
menegaskan bahwa surat al-Fâtihat merupakan rukun yang memang harus ada
dalam setiap rakaat shalat.278 Hal ini juga menunjukkan bahwa tanpa

275
. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Volume 7, hlm. 526.
.276 ‫ﺼﻼﺓ ﺍﻝﺠﻤﺎﻋﺔ ﻋﻠﻰ ﺼﻼﺓ ﺃﺤﺩﻜﻡ ﻭﺤﺩﻩ ﺒﺨﻤﺴﺔ ﻭﻋﺸﺭﻴﻥ ﺠﺯﺀﺍ ﻭﺘﺠﺘﻤﻊ ﻤﻼﺌﻜﺔ ﺍﻝﻠﻴل‬
‫( ﻭﻗﺭﺁﻥ ﺍﻝﻔﺠﺭ ﺇﻥ ﻗﺭﺁﻥ ﺍﻝﻔﺠﺭ ﻜﺎﻥ ﻤﺸﻬﻭﺩﺍ) ﻭﻤﻼﺌﻜﺔ ﺍﻝﻨﻬﺎﺭ ﻓﻲ ﺼﻼﺓ ﺍﻝﻔﺠﺭ ﻭﺍﻗﺭﺅﻭﺍ ﺇﻥ ﺸﺌﺘﻡ‬
Artinya : “Keutamaan shalat berjamaah dibanding dengan shalat sendirian adalah
dua puluh lima derajat. Para malaikat yang bertugas di malam hari bertemu dengan malaikat
yang bertugas di siang hari pada saat shalat shubuh, maka bacalah jika kalian berkehendak,
dan (laksanakan pula shalat) shubuh, karena shalat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)“.
Lihat al-Nasâ’î, Al-Sunan al-Kubrâ, Hadis 461, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat),
hlm. 176. Lihat juga al-Baihaqî, Syu’b al-Îmân, Hadis 2706, Juz 6, (E.Book: al-Maktabat al-
Syâmilat), hlm. 349.
277
. Abû al-Fajr Jamâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Jauzî, Zâd
al-Masîr, Juz 5, hlm. 54.
278
. Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb, Âdâb al-Masy ilâ al-Shalât, Juz 1, (E.Book:
al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 5.

105
membaca surat al-Fâtihat dalam shalat, maka shalat seseorang itu tidak sah.279
Argumentasi yang mereka kemukakan ini didasarkan pada landasan sebuah
Hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh ‘Ubaidat ibn Shâmit.280
Dari sini, penulis melihat bahwa memang ada tujuan tertentu terkait
dengan gaya bahasa atau pilihan kata (diksi) yang dipergunakan dalam surat
al-Isrâ’ : 17 : 78 dalam perspektif ’ilmu al-Bayân, yaitu bahwa seruan shalat
yang diungkapkan dengan menggunakan kata ‫ﺭ‬‫ﻥ ﺍﻝﹾ ﹶﻔﺠ‬
 ‫َﺁ‬‫ ﹸﻗﺭ‬yang secara harfiah
berarti membaca di waktu pagi merupakan sinyalemen bahwa membaca surat
al-Fâtihat dalam setiap rakaat shalat merupakan suatu keharusan (harga mati)
yang tidak bisa ditawar lagi. Karena tanpanya, shalat seseorang itu tidak akan
sah. Itulah sebabnya al-Qur’an menggunakan gaya bahasa Arab (uslûb)
sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) secara spesifik
untuk menunjukkan akan urgennya surat al-Fâtihat dalam setiap pelaksanaan
ibadah shalat.
Di samping ayat tersebut di atas, ayat yang mensinyalir tentang shalat
yang diungkapkan dengan perintah membaca juga terdapat dalam surat al-
Muzammil : 73 : 20 281 yang berbunyi ‫ﺁَﻥ‬‫ﻥ ﺍﻝﹾ ﹸﻘﺭ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻴ‬ ‫ﺎ ﹶﺘ‬‫ﻭﺍ ﻤ‬‫ﺭﺀ‬ ‫ ﻓﹶﺎﻗﹾ‬. Muhammad
Husain Salâmat282 cenderung untuk mengatakan bahwa yang dikehendaki
dalam ayat ini adalah shalat, karena membaca surat al-Fâtihat dalam shalat
merupakan bagian dari rangkaian rukun shalat yang tidak bisa ditinggalkan.
Sehingga jika dirujuk dalam perspektif ilmu bayân maka ungkapan perintah
untuk membaca surat al-Fâtihat pada hakekatnya adalah menunjukkan arti

279
. Muhammad ibn Shâlih al-‘Utsaimîn, Majâlis Syahr Ramadlân, Juz 1, (E.Book:
al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 41.
280
.‫ﺕ‬‫ﺎﻤ‬‫ﻥ ﺍﻝﺼ‬
‫ ﹺ‬‫ﺩ ﹶﺓ ﺒ‬ ‫ﺎ‬‫ﻋﺒ‬
 ‫ﻋﻥ‬
 ‫ﺔ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ﺘ‬ ‫ﺭﺃْ ﹺﺒﻔﹶﺎ‬ ‫ﻴﻘﹾ‬ ‫ ﹶﻝﻡ‬‫ﻤﻥ‬ ‫ﺼﻠﹶﺎ ﹶﺓ ِﻝ‬
 ‫ﻡ ﻝﹶﺎ‬ ‫ﱠﻠ‬‫ﻭﺴ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻋﹶﻠﻴ‬
 ‫ﻪ‬ ‫ﺼﻠﱠﻰ ﺍﻝﱠﻠ‬
 ‫ﻲ‬
 ‫ﻪ ﺍﻝﱠﻨ ﹺﺒ‬ ‫ﹸﻠ ﹸﻎ ﹺﺒ‬‫ﻴﺒ‬
‫ﺏ‬
‫ﻜﺘﹶﺎ ﹺ‬ ‫ﺍﻝﹾ‬
Lihat Imam Muslim, Shohîh Muslim Bab Shalat, Hadits ke-595, Juz 2, (E.Book: al-
Maktabat al- Syâmilat), hlm. 349.
281
. Artinya : Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an. (Q.S.
al-Muzammil : 73 : 20).
282
. Muhammad Husain Salâmat, Al-I’jâz al-Balâghî fî al-Qur’ân al-Karîm, hlm.
375.

106
secara majâzî (konotatif) yakni shalat, karena membaca dianggap sebagai
bagian (juz’) yang memiliki relasi (‘alâqat) dengan keseluruhan (kull).
Sementara di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa ayat ini
memberikan isyarat adanya kekurangan-kekurangan yang dilakukan dalam
pelaksanaan shalat, karena itulah Allah meringankan sekaligus memaafkan.
Antara lain dengan memberikan alternatif sebagai pengganti dari shalat malam
yang tidak mampu dilaksanakan secara sempurna. Alternatif pengganti
tersebut adalah membaca apa yang mudah dari al-Qur’an. Membaca al-Qur’an
berarti menuntut pengetahuan, pembacaan yang sempurna adalah yang
berdasarkan pemahaman ayat-ayatnya, pemahaman tidak akan tercapai tanpa
bantuan ilmu-ilmu bantu dari berbagai disiplin ilmu umum maupun agama.283
Jika dicermati dalam perspektif gaya bahasa (figure of speech) yang
disajikan pada surat al-Muzammil : 73 : 20 maupun surat al-Isrâ’ : 17 : 78,
maka penulis berkesimpulan bahwa kedua ayat di atas menggunakan gaya
bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal’alâqatuhu al-juz’iyyat) yang
menghendaki makna majâzî (konotasi) yang sama yakni mengarah pada
makna shalat. Makna majâzî ini bisa dipahami dari kata perintah untuk
membaca surat al-Fâtihat yang merupakan rangkaian rukun dalam
pelaksanaan ibadah shalat, di mana menurut pandangan mayoritas ulama fiqih
unsur membaca surat al-Fâtihat tidak bisa ditinggalkan dalam shalat. Pilihan
kata (diksi) yang dipakai oleh al-Qur’an dalam mengkomunikasikan
bahasanya mengandung keistimewaan tersendiri untuk menekankan arti
pentingnya bacaan surat al-Fâtihat yang memang harus dilakukan oleh setiap
orang yang melakukan shalat, sebab tanpanya shalat seseorang itu tidak sah.

d. Ekspresi Berdiri

283
. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Volume 14, hlm. 539-540.

107
Berdiri dengan tegak juga merupakan rangkaian rukun dalam
pelaksanaan ibadah shalat. Ekspresi berdiri untuk perintah shalat dalam al-
Qur’an juga sering kali diungkapkan dengan menggunakan gaya bahasa
sinekdoke pars pro toto (majâz mursal’alâqatuhu al-juz’iyyat). Sebagaimana
terdapat dalam surat al-Muzammil : 73 : 2 284 yang berbunyi ‫ﻴﻠﹰـﺎ‬‫ل ِﺇﻝﱠﺎ ﹶﻗﻠ‬
َ ‫ ﹸﻗ ﹺﻡ ﺍﻝﱠﻠﻴ‬.
Menurut Fadlal Hasan ‘Abbâs, ahli retorika Arab, mengatakan bahwa
sesungguhnya ungkapan kata ‫ ﻗﻡ‬atau ‫ ﻗﻴـﺎﻡ‬merupakan representasi dari kata
‫ ﺍﻝﺼـﻼﺓ‬. Terjadinya perubahan makna dari makna haqîqî (denotasi) ke dalam
makna majâzî (konotasi) pada ayat tersebut, karena adanya alasan tertentu.
Tujuan penyebutan kata ‫ ﻗﻴـﺎﻡ‬atau “berdiri” dalam arti shalat, karena ‫ﻗﻴـﺎﻡ‬
merupakan salah satu rukun yang paling banyak dilakukan oleh seseorang
ketika menjalankan shalat dan dirasakan berat oleh pelaksana shalat. Di
samping itu, berdiri juga merupakan tempat yang dipakai seseorang untuk
membaca al-Qur’an dalam pelaksanaan shalat.285 Oleh karena itu, menurut al-
Sayyid al-Jamîlî, ayat ini termasuk dalam kategori gaya bahasa (uslûb)
sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) yang secara
kasat mata mengungkapkan sebagian (juz’), tetapi yang dimaksud adalah
keseluruhan (kull).286 Yakni dengan menyebutkan kata berdiri saja, tetapi
sebenarnya yang dimaksud adalah shalat.
Secara historis, ayat ini turun ketika kaum Quraisy Mekkah
berkumpul di sebuah gedung Dâr al-Nadwat untuk mencari solusi nama yang
tepat dan cepat bagi Muhammad supaya mudah dikenal orang. Di antara
mereka ada yang memberikan usulan dengan sebutan kâhin (dukun) bagi

284
. Artinya : Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit
(daripadanya) (Q.S. al-Muzammil : 73 : 2).
285
. Fadlal Hasan ‘Abbâs, Al-Balâghat Funûnuhâ wa Afnânuhâ ‘Ilmu al-Bayân wa
al-Badî’, (‘Ammân: Dâr al-Furqân, 1987), hlm. 222.
286
. Al-Sayyid al-Jamîlî, Al-Balâghat al-Qur’âniyyat al-Mukhtârat, hlm. 42. Lihat
juga Ahmad Mathlûb, Funûn Balâghiyyat al-Bayân al-Badî’, (Kuwait: Dâr al-Buhûts al-
’Ilmiyyat, 1975), hlm. 111.

108
Muhammad, ada pula yang berpendapat sâhir (tukang sihir), dan ada pula
yang berpendapat majnûn (orang gila). Berita ini terdengar sampai kepada
Muhammad, sehingga beliaupun menahan diri dengan berselimut dan
berkerudung. Maka datanglah Jibril untuk menyampaikan wahyu surat al-
Muzammil dan surat al-Mudatstsir.287
Dalam pandangan Quraish Shihab, term ‫ ﻗﻡ‬terambil dari kata ‫ ﻗﻭﻡ‬yang
kemudian kata tersebut berubah menjadi kata ‫ ﻗــﺎﻡ‬yang secara umum
dipergunakan oleh orang Arab sebagai melaksanakan sesuatu secara sempurna
dalam berbagai seginya. Menurutnya, perintah al-Qur’an dalam yang
diekspresikan dalam bentuk kata ‫ ﻗـﻡ‬hanya dapat ditemukan dua kali dalam
al-Qur’an. Masing-masing terdapat pada ayat kedua surat al-Muzammil dan
ayat kedua surat al-Mudatstsir. Sementara Sayyid Quthb memahami ayat ini
sebagai ajakan langit serta suara yang maha besar untuk bangkit dari tidur
untuk menghadapi persoalan yang besar yang menanti. Bangkit untuk bekerja
keras dan sungguh-sungguh.288
Lain halnya dengan Ibn al-Jauzî (W.597H.), beliau mengartikan kata
‫ ﻗﻡ‬pada ayat kedua ini menunjukkan arti shalatlah. Menurutnya kata ‫ ﻗـﻡ‬yang
terangkai dengan kata ‫ ﺍﻝﻠﻴـل‬sesungguhnya ia telah sangat populer dalam arti
shalat malam.289 Hal yang sama juga telah dikemukakan oleh para mufassir
lain semisal al-Syaukânî, al-Samarqandî, dan Abû Sa’ûd, mereka sepakat
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata ‫ ﻗﻡ‬adalah shalat bukan berdiri
semata.290 Bahkan menurut Abû Sa’ûd (W. 951 H.) kata ‫ـﻡ‬
‫ ﻗـ‬merupakan

287
. Shaleh, H.A.A.Dahlan dkk., Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya
Ayat-Ayat Al-Qur’an, (Bandung: Diponegoro, 2007), hlm. 606.
288
. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Volume 14, hlm. 514-515. Lihat juga Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz 4, (E.Book: al-
Maktabat al-Syâmilat), hlm. 149.
289
. Abû al-Fajr Jamâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Jauzî, Zâd
al-Masîr, Juz 8, hlm. 149.
290
. Lihat Al-Samarqandî, Bahr al-‘Ulûm, Juz 4, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat),
hlm. 388. Lihat Abû Sa’ûd Muhammad ibn Muhammad Musthafâ al-‘Imâdî, Irsyâd al-‘Aql

109
pinjaman dari kata shalat. Term ‫ ﻗﻡ‬tersebut dibaca dlommat atau fathat pada
huruf mîmnya. Ada juga yang mengkasrat huruf mîmnya, pembacaan seperti
ini karena didasarkan pada sebuah kaidah gramatika Arab yakni karena
bertemunya dua huruf yang mati menurut pendapat mayoritas ulama.291
Sedangkan yang mengartikan ‫ـﻡ‬
‫ ﻗـ‬dengan arti bangkit, menyatakan bahwa
dalam redaksi ayat kedua ini terdapat kata tersirat yaitu shalat sehingga secara
keseluruhan diartikan sebagai bangkitlah untuk shalat pada malam hari.292
Dari beberapa argumentasi yang telah dibangun oleh para sarjana di
atas, menunjukkan bahwa realitas sejarah membuktikan bahwa para sarjana
muslim klasik maupun modern berusaha semaksimal mungkin untuk
menunjukkan eloquency al-Qur’an melalui sudut pandang stilistik. Di samping
itu, diskursus teori mengenai makna dalam kesarjanaan muslim klasik maupun
modern menunjukkan adanya relasi (alâqat) yang intens antara teori bahasa
Arab dengan al-Qur’an sebagai teks. Dengan demikian jika mencermati
beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh mayoritas ulama di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa makna kosa kata ‫ ﻗﻡ‬itu memiliki relasi
(alâqat) dengan kata shalat. Karena itu kata ‫ ﻗـﻡ‬tidak bisa dimaknai dengan
makna secara haqîqî (denotatif) tetapi harus di maknai dengan makna majâzî
(konotatif). Penggunaan kata ‫ ﻗـﻡ‬dalam surat al-Muzammil : 73 : 2 karena
posisi manusia pada saat itu dalam kondisi sedang tidur sehingga perintah
untuk melaksanakan shalat tersebut diekspresikan dengan menggunakan kata
‫ ﻗﻡ‬bukan dengan menggunakan kata ‫ ﺼل‬secara eksplisit.

al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur’ân al-Karîm, Juz 6, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 397.
Lihat juga Al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Juz 7, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 335.
291
. Syihâb al-Dîn Mahmûd ibn ‘Abd Allâh al-Husainî al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî
Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa al-Sab’u al-Matsânî, Juz 21, (E.Book: al-Maktabat al-
Syâmilat), hlm. 370.
292
. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Volume 14, hlm. 515.

110
293
Sementara itu dalam surat al-Zumar : 39 : 9 disinyalir adanya
isyarat pelaksaan ibadah shalat dengan menggunakan term sujud dan berdiri.
‫ﻪ‬ ‫ـ‬‫ﺭﺒ‬ ‫ﻤ ﹶﺔ‬ ‫ﺭﺤ‬ ‫ﻭ‬‫ﺠ‬‫ﻴﺭ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺭ ﹶﺓ‬ ‫ﺨ‬
 ‫ﺭ ﺍﻝﹾ َﺂ‬ ‫ ﹶﺫ‬‫ﻴﺤ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻗﹶﺎ ِﺌﻤ‬ ‫ﺍ‬‫ﺠﺩ‬ ِ ‫ﺀ ﺍﻝﱠﻠﻴ‬ ‫ﻨﺕﹲ َﺁﻨﹶﺎ‬ ‫ﻭ ﻗﹶﺎ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻫﻡ‬ ‫ﺎ ﹺﺭ‬‫ﺩﻴ‬ . Ayat ini
‫ﺎ ﹺ‬‫ل ﺴ‬
menggambarkan sikap lahir dan batin siapakah orang yang tekun itu ? Sikap
lahir dalam ayat ini digambarkan dalam bentuk kata ‫( ﺴﺎﺠﺩﺍ‬sujud) dan ‫ﻗﺎﺌﻤـﺎ‬
(berdiri). Sedangkan sikap batinnya dilukiskan dengan ungkapan kalimat
takut kepada hari akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya.294
Mengomentari ayat ini, Ibn al-Jauzî (W. 597 H.)295 cenderung
mengambil makna kata ‫( ﺴـﺎﺠﺩﺍ‬sujud) dan ‫( ﻗﺎﺌﻤـﺎ‬berdiri) sebagai makna
majâzî (konotatif) yang dalam prakteknya sangat bergantung kepada konteks
sekaligus relasi (‘alâqat) dengan kosa kata lainnya dalam kalimat. Sehingga
makna kata ‫( ﺴـﺎﺠﺩﺍ‬sujud) dan ‫( ﻗﺎﺌﻤـﺎ‬berdiri) dalam konteks ini tidak bisa
diartikan sebagai makna haqîqî (denotasi). Begitu juga halnya dengan al-
Mahallî dan al-Suyûthî (W. 1505 M.)296 keduanya mengatakan hal yang sama
dengan apa yang telah digulirkan oleh Ibn al-Jauzî dengan memberikan makna
majâzî (konotasi) terhadap ayat ini.
Kata ‫( ﺴـﺎﺠﺩﺍ‬sujud) dan ‫( ﻗﺎﺌﻤـﺎ‬berdiri) menurut al-Dlahhâk dalam
perspektif gramatika Arab bisa dibaca rafa’ (dlammat) yakni ‫ ﺴـﺎﺠﺩ‬dan ‫ﻗـﺎﺌﻡ‬
yang berkedudukan sebagai khabar. Sedangkan menurut Abû Hayyân kata
‫( ﺴـﺎﺠﺩﺍ‬sujud) dan ‫( ﻗﺎﺌﻤـﺎ‬berdiri) berkedudukan sebagai na’at dari ‫ـﺕﹲ‬‫ ﻗﹶﺎﻨ‬.
Sementara wawu ( ‫ ) ﺍﻝﻭﺍﻭ‬berfungsi sebagai konjungsi untuk menggabungkan

293
. Artinya : Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang
yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada
(azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-
orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang
yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (Q.S. surat al-Zumar : 39 : 9).
294
. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Volume 12, hlm. 196.
295
. Abû al-Fajr Jamâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Jauzî, Zâd
al-Masîr, Juz 7, hlm. 44.
296
. Jalâl al-Dîn al-Mahallî dan al-Suyûthî, Tafsîr al-Jalâlain, Juz 9, (E.Book: al-
Maktabat al-Syâmilat), hlm. 65.

111
dua sifat. Adapun mendahulukan kata ‫ ﺍﻝﺴﺠﻭﺩ‬atas kata ‫ ﺍﻝﻘﻴﺎﻡ‬karena eksistensi
sujud itu merupakan aktifitas utama yang mengandung makna yang paling
penting dalam ibadah shalat. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama,
sebab keberadaan sujud sesungguhnya lebih utama dari pada kata berdiri. Hal
ini berdasarkan pada Hadits Nabi Muhammad ‫ﺃﻗﺭﺏ ﻤﺎ ﻴﻜﻭﻥ ﺍﻝﻌﺒﺩ ﻤﻥ ﺭﺒﻪ ﻭﻫﻭ‬
‫ ﺴﺎﺠﺩ‬.297

3. Bidang Pahala (Ajr) dan Hukuman (‘Adzâb)


Gaya bahasa (figure of speech) yang dipergunakan oleh al-Qur’an
dalam menyampaikan berita maupun kisah mengenai kondisi manusia di hari
kiamat itu sangat menakjubkan, al-Qur’an sering kali menggunakan gaya
bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat) ketika
menyebutkan roman wajah orang-orang yang mendapatkan pahala (ajr)
berupa kenikmatan di akhirat lantaran amal shalehnya yang ia tanam ketika
hidup di dunia dan menyebutkan roman wajah orang-orang yang mendapatkan
hukuman (‘adzâb) berupa siksaan di akhirat akibat sepak terjangnya saat ia
hidup di dunia. Akibat psikologis yang dialami oleh diri manusia semuanya
akan tercuat dan tergambar pada roman wajah yang merupakan bagian mulia
pada tubuh manusia. Menurut Angelita Neuwirth298 bahasa al-Qur’an selalu
menjajarkan situasi umat yang percaya kepada Allah di beri tempat dalam
taman surga dengan segala kenikmatan yang terpancar dari raut muka, lalu
mereka yang jahat akan menderita dalam kesengsaraan api neraka yang
terpancar dari raut muka juga.

297
. Syihâb al-Dîn Mahmûd ibn ‘Abd Allâh al-Husainî al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî
Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa al-Sab’u al-Matsânî, Juz 23, hlm. 246.
298
. Jane Dammen McAuliffe (Ed), The Cambridge Companion to The Qur’an,
dalam tulisan Angelika Neuwirth, Structural Linguistic and Literary Features, (New York:
Cambridge University Press, 2007), hlm. 104.

112
Pada uraian yang pertama, penulis akan memaparkan gambaran-
gambaran mengenai roman wajah orang-orang yang mendapatkan pahala (ajr)
kenikmatan di akhirat lantaran amal shalehnya yang ia tanam ketika hidup di
dunia yang selanjutnya akan diikuti dengan ilustrasi mengenai roman wajah
manusia yang mendapatkan hukuman (‘adzâb) di akhirat akibat sepak
terjangnya saat ia hidup di dunia. Ilustrasi tersebut kebanyakan diekspresikan
dalam bentuk gaya bahasa sinekdoke pars pro toto atau majâz mursal
’alâqatuhu al-juz’iyyat yang secara zhâhirnya hanya mengungkapkan
sebagian (juz’) saja, tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan (kull).

a. Bidang Pahala (Ajr)


Ilustrasi mengenai kenikmatan surga dan isinya yang dinantikan oleh
orang yang beriman dan beramal shaleh banyak dibicarakan dalam al-Qur’an.
Kenikmatan tersebut salah satunya diungkapkan dengan bahasa wajah yang
berseri-seri bagi orang yang mendapatkan kebahagian akhirat.299 Sebagaimana
terdapat dalam surat al-Ghâsyiyat : 88 : 8 300
yang berbunyi ‫ﻤﺔﹲ‬ ‫ﻋ‬
 ‫ﺫ ﻨﹶﺎ‬ ‫ﻤ ِﺌ‬ ‫ﻴﻭ‬ ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
menurut Muhammad al-Amîn bahwa penggunaan kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 dalam al-Qur’an
itu untuk menunjuk pada pemilik wajah atau orangnya. Karena pada umumnya
al-Qur’an sering menggunakan kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 sebagai tanda bagi diri seseorang
baik tanda sebagai orang yang bahagia maupun celaka.301 Begitu juga halnya
dengan ‘Abd Allâh ibn Ahmad berpendapat bahwa ungkapan kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 dalam
konteks ayat tersebut menunjuk pada makna pemilik wajah (orangnya).302
Sebab wajah merupakan salah satu komponen penting dari tubuh manusia

299
. Ahmad Ahmad Badâwî, Min Balâghat al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Nahdlat, 1950),
hlm. 302. Lihat juga Muhammad Abdel Haleem, Understanding The Quran : Themes and
Style, hlm. 103-104.
300
. Artinya : Banyak muka pada hari itu berseri-seri. (Q.S. al-Ghâsyiyat : 88 : 8).
301
. Muhammad al-Amîn ibn Muhammad al-Muhktâr, Tatimmat Adlwâ’ al-Bayân fî
îdlâh al-Qur’ân bi al-Qur’ân, Juz 9, (Kairo: Maktabat ibn Taimiyyat, 1988), hlm. 193.
302
. ‘Abd. Allâh ibn Ahmad ibn Mahmûd Hâfidz al-Dîn Abû al-Barakât, Madârik al-
Tanzîl wa Haqâ’iq al-Ta’wîl, Juz 4, al-Maktabat al-Syâmilat, hlm. 26.

113
yang dengan raut wajah itu sendiri dapat tergambar perasaan yang dialami
oleh dirinya.
Menurut Abdel Haleem303 dalam bukunya Understanding the Qur’an,
wajah merupakan bagian terpenting dan menjadi ciri paling khas dari seorang
manusia. Secara biologis dari, selain dahi, pipi, dagu, mata, hidung dan telinga
juga menjadi bagian dari wajah. Ini berarti bahwa indera pengelihatan,
pendengaran, penciuman dan pengecapan rasa terletak pada wajah manusia,
bersama dengan fungsi biologis berupa pernafasan dan pemasukan makanan,
serta fungsi-fungsi sosial dalam komunikasi verbal. Selanjutnya, wajah
memainkan peranan paling menonjol dalam penggunaan bahasa isyarat non-
verbal. Wajah mencerminkan apa yang diproyeksikan tentang dirinya sendiri.
Ekspresi wajah melengkapi dan memperkuat pembicaraan emosi seperti rasa
bahagia, rasa khawatir, rasa marah, rasa terkejut, dan sikap interpersonal
seperti like and dislike, rasa minder atau percaya diri, semua diperlihatkan
pada raut muka atau wajah. Organ-organ dan fungsi semacam itu secara
efektif dipadukan dalam sebuah tempat yang mudah dilihat di bagian depan
tubuh. Akibatnya, wajah menjadi bagian tubuh yang paling banyak
mendapatkan perhatian, mudah dikenal dan menjadi identitas seorang
manusia.
Karena itulah Mansoer Pateda menguraikan bahwa makna stilistika
berhubungan dengan pemakaian bahasa yang bisa menimbulkan efek,
terutama kepada pembaca. Itu sebabnya makna stilistika lebih dirasakan dalam
karya sastra. Sebuah karya sastra akan mendapatkan tempat jika kata-kata
yang dipergunakan mengandung makna stilistika yang bernilai tinggi. Ada
efek yang ditimbulkan dalam pemakaian kata dan gabungannya. Efek tersebut
lebih banyak bersinggungan dengan emosi dengan perasaan. Perasaan yang

303
. Muhammad Abdel Haleem, Understanding The Quran : Themes and Style,
London, New York : I. B. Tauris, 2001, hlm 107.

114
muncul berupa kata-kata gembira, jengkel, kasihan, menolak, sedih, setuju,
terharu, terkesima, dan lain-lain.304
Surat al-Ghâsyiyat : 88 : 8 ini merupakan perbandingan dari ayat
sebelumnya yang terdapat pada surat al-Ghâsyiyat : 88 : 2 yang
menggambarkan bahasa wajah orang celaka sebagai penduduk neraka.
Sementara pada surat al-Ghâsyiyat : 88 : 8 menggambarkan bahasa wajah
berseri-seri sebagai penduduk surga.305 Kedua ayat tersebut diekspresikan
dengan menggunakan gaya bahasa (uslûb) sinekdoke pars pro toto (majâz
mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) yang mengungkapkan sebagian (juz’), tetapi
yang dikehendaki dalam konteks tersebut adalah keseluruhan (kull). Sebab
ungkapan wajah merupakan representasi dari seluruh tubuh manusia yang
mampu menggambarkan kondisi yang sesungguhnya dialami oleh manusia
baik dalam kondisi bahagia maupun kondisi celaka yang dihadapinya.
Menurut Abu Sa’ûd (W. 951 H.),306 dan Muhammad Sayyid
Thanthâwî307, mendahulukan cerita bagi penghuni neraka dengan ilustrasi
bahasa wajah (‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 ) yang terhina dan mengakhirkan cerita bagi penghuni
surga dengan ilustrasi bahasa wajah (‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 ) yang berseri-seri, karena surat al-
Ghâsyiyat ini di dalamnya menggambarkan hari pembalasan manusia yang
sangat menakutkan. Sehingga bahasa untuk mengilustrasikan wajah (‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
)
yang terhina itu lebih didahulukan. Hal ini senada dengan apa yang
dipaparkan oleh Faruq Sherif, bahwa al-Qur’an memang sering
menggambarkan wajah dengan bahasa yang murung untuk penghuni neraka,

304
. Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, hlm.127.
305
. Muhammad Husain Salâmat, Al-I’jâz al-Balâghî fî al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo:
Dâr al-Âfâq al-‘Arabiyyat), hlm. 406. Lihat juga Taqiyy al-Dîn ibn Taimiyyat, Al-Tafsîr al-
Kabîr, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyat, TT.), hlm. 231. Lihat juga al-Samarqandî, Bahr al-
‘Ulûm, Juz 4, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 400.
306
. Abû Sa’ûd Muhammad ibn Muhammad Musthafâ al-‘Imâdî, Irsyâd al-‘Aql al-
Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur’ân al-Karîm, Juz 9, hlm.148.
307
. Muhammad Sayyid Thanthâwî, Al-Tafsîr al-Wasîth, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat
al-Syâmilat), hlm. 4494.

115
dan menggambarkan wajah dengan bahasa wajah yang berseri-seri dan mata
yang berbinar-binar untuk menggambarkan penghuni surga.308 Memang al-
Qur’an –sebagaimana diungkapkan oleh Mohammed Arkoun- mengandung
semua gaya bahasa wacana yang lazim serta mengandung pilihan kata (diksi)
yang tepat dengan menggunakan istilah-istilah yang paling sesuai untuk
mengungkapkan gagasan-gagasannya.309
Dalam tinjauan Ibn ‘Âdl (W. 880 H.), kosa kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 dalam konteks
pembicaraan ayat di atas, tidak bisa diartikan secara haqîqî (denotatif), tetapi
harus dimaknai secara majâzî (konotatif). Menurutnya, pengalihan makna
tersebut terjadi karena terdapat relasi (‘alâqat) antara makna haqîqî (denotasi
atau leksikal) dengan makna hasil peralihan. Kosa kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬ (wajah)
merupakan bagian (juz’) yang memiliki relasi (‘alâqat) dengan kosa kata ‫ﺃﻨﻔﺱ‬
(hati/jiwa). Dalam istilah kontemporer beliau menyebut dengan sinekdoke
pars pro toto.310 Bagi Nyoman Kutha Ratna, dengan kata wajah
sesungguhnya ia akan bisa menjadi ukuran bagi setiap perilaku dan tindakan
seseorang. Wajahlah yang merupakan agen utama dalam penampilan
seseorang. Wajah dapat merepresentasikan keseluruhan yang dirasakan oleh
tubuh, tetapi tidak sebaliknya tubuh bisa mewakili posisi wajah. Sehingga
untuk menunjukkan identitas pribadi seseorang dapat dilakukan dengan
menunjukkan potret wajah seseorang, tetapi yang jelas tidak bisa dilakukan
dengan cara menunjukkan potret badan saja tanpa kepala.311 Ini artinya,
bahwa hanya dengan cara menampilkan raut wajah seseorang, maka semua

308
. Faruq Sherif, A Guide to The Contents of The Qur’an, alih bahasa M.H. Assagaf
dan Nur Hidayah, Al-Qur’an Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001),
hlm. 189.
309
. Mohammed Arkoun, Lectures du Coran, alih bahasa Hidayatullah, Kajian al-
Qur’an Kontemporer, (Bandung: Pustaka, 1998), hlm. 164.
310
. Abû Hafs ‘Umar ibn ‘Alî ibn ‘Âdl , Al-Lubbâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, Juz 16,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1998), hlm. 290.
311
. Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), hlm. 263.

116
yang ada pada diri seseorang baik rasa bahagia dan celaka, suka maupun duka
akan bisa terefleksikan melalui tampilan wajah, sebuah anggota badan
seseorang yang paling mulia.
Jika dianalisis dalam perspektif ilmu Bayân peralihan makna yang
terjadi dalam ayat tersebut disebabkan oleh adanya pengaruh dari relasi
(‘alâqat) yang terjadi antara cabang (juz’) dengan keseluruhan (kull) serta
dipengaruhi oleh adanya indikator kontekstual (hâliyyat) yang bisa dipahami
melalui pemikiran akal dan logisnya hubungan kalimat. Sehingga dengan dua
hal ini mampu menghalangi kata tersebut pada makna yang sesungguhnya.
Kegembiraan yang dialami oleh manusia di akhirat yang
diekspresikan dengan bahasa wajah (‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 ) juga sebagaimana terdapat dalam
surat al-Qiyâmat : 75 : 22 312 yakni ‫ﺭﺓﹲ‬
‫ﻀ‬
 ‫ﺫ ﻨﹶﺎ‬ ‫ﻤ ِﺌ‬ ‫ﻴﻭ‬ ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬ . Menurut al-Zarkasyî313
dalam kitabnya berpendapat, bahwa penggunaan kosa kata wajah (‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
)
dalam ayat ini tidak bisa diartikan secara haqîqî (denotatif atau leksikal),
tetapi harus diartikan secara majâzî (konotatif), karena yang dimaksud dengan
kosa kata wajah (‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 ) dalam konteks ayat ini bukan hanya wajah semata,
melainkan semua yang ada dalam fisiknya. Peralihan makna semacam ini
terjadi karena kosa kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬ memiliki relasi (‘alâqat) dengan raga. Ia
merupakan anggota tubuh manusia yang paling tampak dalam diri seseorang.
Dalam bahasa Arab, uslûb semacam ini dinamakan dengan majâz mursal
’alâqatuhu al-juz’iyyat (sinekdoke pars pro toto) sebuah gaya bahasa yang
hanya mengungkapkan sebagian (juz’) saja, tetapi yang dimaksud adalah
keseluruhan (kull).

312
. Artinya : Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. (Q.S.
al-Qiyâmat : 75 : 22).
313
. Badr al-Dîn Muhammad ibn ‘Abd Allâh al-Zarkasyî, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-
Qur’ân, hlm. 481.

117
Ibrâhim ibn ‘Umar (W. 885 H.)314 dan Abû Bakr al-Juzâ’irî315
keduanya memberikan kontribusi terhadap pemaknaan kosa kata wajah
(‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 ). Keduanya berpendapat, kosa kata wajah (‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬ ) itu merujuk pada
pemilik wajah, bukan hanya wajah semata. Karena wajah tanpa anggota tubuh
yang lain, tentu tidak akan bisa hidup. Pemaknaan semacam ini merupakan
sebuah bentuk gaya bahasa sinekdoke pars pro toto atau majâz mursal
’alâqatuhu al-juz’iyyat yang dipergunakan oleh al-Qur’an untuk
menyebutkan sebagian (juz’) saja dari keseluruhan (kull) yang ada. Adanya
perubahan dari bentuk makna haqîqî (denotasi) ke makna majâzî (konotasi) itu
karena dipengaruhi oleh adanya relasi (‘alâqat) antara sebagian (juz’) dari
keseluruhan (kull).
Ekspresi wajah (‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 ) merupakan ungkapan yang merepresentasikan
seluruh anggota tubuh manusia. Wajah (‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 ) merupakan anggota tubuh yang
paling terkenal. Dalam konteks ayat ini, ia tidak bisa diartikan secara haqîqî
(denotasi) tetapi harus diartikan secara majâzî (konotasi). Dengan demikian,
tidaklah mungkin kata wajah (‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 ) diartikan sebagai wajah semata yang
tidak mempunyai relasi (‘alâqat) dengan anggota badan yang lainnya.316
Begitu juga menurut Athfîsy Ibâdlî, sesungguhnya yang dimaksud dengan
ungkapan kata wajah (‫ﺠﻭﻩ‬
 ‫ﻭ‬ ) adalah tubuh manusia yang terdiri dari berbagai
anggota yang lain. Konstruksi kalimat ini diekspresikan dengan menggunakan
ungkapan sebagian (juz’), tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan (kull).
Karena secara zhâhir anggota tubuh yang manusia yang paling mulia pada diri
manusia itu terletak pada wajah (face) yang dimilikinya. Adapun posisi kosa

314
. Ibrâhim ibn ‘Umar ibn Hasan al-Ribât ibn ‘Alî ibn Abî Bakr, Nadzm al-Durar fî
Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar, Juz 9, hlm. 405.
315
. Abû Bakr al-Juzâ’rî, Aisar al-Tafâsîr , Juz 4, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat),
hlm. 340. Lihat juga Abû Zaid ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad ibn Makhlûf al-Tsa’âlabî, al-
Jawâhir al-Hisân fî Tafsîr al-Qur’ân, Juz 4, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 179.
316
. Al-A’qam Zaidî, Tafsîr Al-A’qam, Juz 2, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat),
hlm. 258.

118
kata wajah (‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 ) dalam konteks ayat ini berkedudukan sebagai ‫ ﻤﺒﺘﺩﺃ‬yang
berbentuk ‫ ﻨﻜﺭﺓ‬dengan tujuan untuk mengagungkan atau mengutamakan.317
Sementara yang yang berkedudukan sebagai khabar (‫ )ﺨﺒﺭ‬menurut Ibn ‘Âdl
(W.880H.) adalah kosa kata ‫ﻨﺎﻀﺭﺓ‬. Terdapat juga ulama yang berpendapat
bahwa yang menjadi khabar dalam ayat ini adalah kosa kata ‫ﺭﺓﹲ‬
‫ﻅ‬
 ‫ ﻨﺎ‬sementara
kosa kata ‫ﺭﺓﹲ‬‫ ﻨﹶﺎﻀ‬berkedudukan sebagai na’at dari mubatada’ ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 .318
Argumentasi di atas senada dengan apa yang dilontarkan oleh al-
Syaukânî319 dan Ibn ‘Âsyur,320 diperbolehkannya kosa kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 yang
berkedudukan sebagai mubtada’ dalam bentuk nakirat, karena posisinya
berfungsi untuk menunjukkan kenekaragaman sifat-sifat yang dimiliki oleh
wajah manusia. Sehingga kedudukan mubtada’ yang berbentuk nakirat dalam
konstruksi kalimat seperti ini bisa dibenarkan. Lebih lanjut Ibn ‘Âsyûr
menganalogikan kedua ayat yang terdapat dalam surat al-Qiyâmat : 75 : 22
dan 24 yakni ‫ﺭﺓﹲ‬
‫ﻀ‬
 ‫ﺫ ﻨﹶﺎ‬ ‫ﻤ ِﺌ‬ ‫ﻴﻭ‬ ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬ (wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari
itu berseri-seri) sebagai ilustrasi orang yang bahagia dan ‫ﺭﺓﹲ‬
‫ﺴ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺫ ﺒ‬ ‫ﻤ ِﺌ‬ ‫ﻴﻭ‬ ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬ ‫ﻭ‬
(dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram) sebagai ilustrasi orang
yang celaka, keduanya dianalogikan dengan ayat yang terdapat dalam surat al-
Syûrâ : 42 : 7 yakni ‫ﺭ‬
‫ﻴ ﹺ‬‫ﺴﻌ‬
 ‫ﻲ ﺍﻝ‬‫ﻭ ﹶﻓﺭﹺﻴﻕﹲ ﻓ‬ ‫ﺔ‬ ‫ﺠ ﱠﻨ‬
 ‫ﻲ ﺍﻝﹾ‬‫( ﹶﻓﺭﹺﻴﻕﹲ ﻓ‬segolongan masuk surga,
dan segolongan lain masuk Jahanam). Sementara al-Samarqandî321
pendapatnya berbeda dengan Ibn ‘Âsyûr, beliau menganalogikan surat al-
Qiyâmat : 75 : 22 yakni ‫ﺭﺓﹲ‬ ‫ﻀ‬
 ‫ﺫ ﻨﹶﺎ‬ ‫ﻤ ِﺌ‬ ‫ﻴﻭ‬ ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬ (wajah-wajah (orang-orang
mukmin) pada hari itu berseri-seri) dengan surat al-Muthaffifîn : 24 yakni

317
. Athfîsy Ibâdlî, Tafsîr Athfîsy, Juz 12, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm.
36.
318
. Abû Hafs ‘Umar ibn ‘Alî ibn ‘Âdl , Al-Lubbâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, Juz 19, hlm.
562.
319
. Al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Juz 7, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 366.
320
. Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz 15, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat),
hlm. 445.
321
. Al-Samarqandî, Bahr al-‘Ulûm, Juz 4, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm.
349.

119
‫ﻴ ﹺﻡ‬‫ﺭ ﹶﺓ ﺍﻝ ﱠﻨﻌ‬ ‫ ﹶﻨﻀ‬‫ﻫ ﹺﻬﻡ‬ ‫ﻭ‬‫ﻭﺠ‬ ‫ﻲ‬‫ﻑ ﻓ‬
‫ ﹺﺭ ﹸ‬‫( ﹶﺘﻌ‬kamu dapat mengetahui dari wajah mereka
kesenangan mereka yang penuh kenikmatan).
Sehingga dengan demikian jelaslah bahwa penggunaan pilihan kata
(diksi) kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 dalam al-Qur’an yang hanya mengungkap sebagian atau
cabang (juz’) sejatinya dapat menggambarkan secara keseluruhan (kull).
Penggunaan kosa kata semacam ini sangat tepat dari pada diungkapkan
dengan menggunakan kosa kata yang bermakna tubuh manusia. Karena
sesungguhnya rasa kebahagian dan kenikmatan yang dirasakan oleh manusia
itu pada hakekatnya akan terpancar dari raut muka (wajah) yang ada pada diri
manusia. Melalui ekspresi tersebut terlihat adanya nilai estetika bahasa yang
dipergunakan oleh al-Qur’an.

b. Bidang Hukuman (‘Adzâb)


Setelah penulis menguraikan penghuni surga dengan wajah yang
berseri-seri dan bersuka ria yang diekspresikan dengan menggunakan gaya
bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat), maka
berikut ini penulis akan menguraikan roman wajah orang-orang yang
mendapatkan hukuman (‘adzâb) di akhirat akibat sepak terjangnya saat ia
hidup di dunia, wajah-wajah tersebut digambarkan oleh al-Qur’an dengan
wajah yang penuh debu dan penuh kegelapan. Ayat-ayat yang berkenaan
dengan tema ini banyak yang diekspresikan dengan menggunakan gaya bahasa
sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) dengan
menggunakan kosa kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 . Gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz
mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) ini merepresentasikan sebagian (juz’) dari
keseluruhan (kull) yang ada. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam surat
al-Ghâsyiyat : 88 : 2-3 322
yang berbunyi ‫ﺒﺔﹲ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ﻤﹶﻠﺔﹲ ﻨﹶﺎ‬ ‫ﺎ‬‫ﻌﺔﹲ ﻋ‬ ‫ﺸ‬
 ‫ﺫ ﺨﹶﺎ‬ ‫ﻤ ِﺌ‬ ‫ﻴﻭ‬ ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬ .

322
. Artinya : Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi
kepayahan. (Q.S. al-Ghâsyiyat : 88 : 8).

120
Dalam uslûb Arab, gaya bahasa ayat tersebut di atas merupakan ungkapan
yang menghendaki keseluruhan (kull) dari ungkapan sebagian (juz’) yang
terucap dalam kalimat (ithlâq al-juz’i wa irâdat al-kull). Menurut ahli retorika
Arab, terdapat berbagai alasan al-Qur’an menggunakan gaya bahasa sinekdoke
pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) dengan menggunakan
kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬ dari pada kata ‫ ﺃﺠﺴﺎﺩ‬salah satunya adalah bahwa gambaran
keletihan dan kesenangan (tana’um) yang ada dalam diri seseorang itu semua
akan tergambar dari pancaran raut wajah yang dimilikinya.323
Pada ayat ke-2 dan 3 surat al-Ghâsyiyat menurut al-Râzî
(W.604H./1210M.) merupakan gambaran bagi orang-orang kafir yang celaka
pada hari kiamat. Hal ini terlihat pada kalimat yang jatuh setelah kosa kata
 ‫ ﻨﹶﺎ‬, ‫ﻤﹶﻠﺔﹲ‬ ‫ﺎ‬‫ ﻋ‬, ‫ﻌﺔﹲ‬ ‫ﺸ‬
‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬ adalah kosa kata ‫ﺒﺔﹲ‬ ‫ﺼ‬  ‫ ﺨﹶﺎ‬merupakan ekspresi wajah yang
yang merunduk karena rasa malu, bekerja keras dan merasakan kepayahan
yang alaminya.324 Disebutkan dalam kitab lain, bahwa ayat ini sesungguhnya
menggambarkan kondisi orang yahudi dan nasroni.
Kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬ merupakan bentuk jamak (plural) dari kata bentuk
tunggal (singular) ‫ﻪ‬‫ﻭﺠ‬
 yang berarti muka. Bagian badan yang cukup jelas ini,
seringkali diartikan totalitas diri manusia, karena dengan melihat wajah,
seseorang dapat mengenal orang lain, walau seluruh badannya tertutup rapat.
Sebaliknya, kemungkinan besar seseorang tidak mengenal orang lain yang
tertutup wajahnya walaupun seluruh badannya terbuka. Di sisi lain, wajah
merupakan bagian badan manusia yang dinilai paling terhormat di antara
anggota yang lainnya. Di samping, itu biasanya wajah mencerminkan kondisi
batin yang sedang dialami oleh seseorang seperti rasa gembira, sedih, angkuh,

323
. Ahmad Ahmad Badâwî, Min Balâghat al-Qur’ân, (Kairo: Dâr Nahdlat Mishr,
1950) , hlm. 225.
324
. Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Hasan ibn al-Husain al-Taimî al-
Râzî, Al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghaib, Juz 31 , hlm. 151.

121
hina dan sebagainya.325 Karena itu menurut pandangan al-Syuyûthî (W. 1505
M.), gambaran atas rasa bahagia dan celaka cukup diungkapkan dengan
bahasa ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 dengan menggunakan alat bantu gaya bahasa sinekdoke pars pro
toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat), karena rasa bahagia dan celaka itu
semuanya bisa tergambar melalui tampilan raut wajah.326 Karena itulah al-
Qur’an tanpa harus menyebutkan bentuk keseluruhan tubuh manusia,
semuanya sudah terepresentasikan melalui bahasa ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 .
Al-Alûsî (W. 127 H.) berpendapat bahwa status kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬

berkedudukan sebagai ‫ﻤﺒﺘﺩﺃ‬ yang berbentuk ‫ ﻨﻜﺭﺓ‬. Dalam perspektif
gramatika Arab, bentuk semacam ini diperbolehkan selama ia menunjukkan
keanekaragaman jenis. Beliau menganalisis kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 dengan perkiraan kata
‫( ﺃﺼﺤﺎﺏ ﻭﺠﻭﻩ‬pemiliki wajah).327 Sejalan dengan pemikiran Al-Alûsî (W. 127
H.), Ibn ‘Asyûr juga mengatakan hal yang sama, bahwa kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 yang
berkedudukan sebagai ‫ﻤﺒﺘﺩﺃ‬ itu berbentuk ‫( ﻨﻜﺭﺓ‬isim yang masih umum)
dengan tujuan untuk mengungkapkan bahwa deskripsi tentang wajah
seseorang itu beraneka ragam jenisnya. Hal ini terbukti pada kata yang muncul
sesudahnya yang menggambarkan situasi wajah yang beraneka ragam pula
yaitu kata ‫ﺒﺔﹲ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ﻨﹶﺎ‬ , ‫ﻤﹶﻠﺔﹲ‬ ‫ﺎ‬‫ ﻋ‬, ‫ﻌﺔﹲ‬ ‫ﺸ‬ ‫ﺨﹶﺎ‬ di mana ketiga-tiganya merupakan ‫ﺨﺒﺭ‬
dari mubtada ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬ . Bagi Ibn ‘Asyûr ungkapan kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬ merupakan
kinayat dari pemilik wajah. Karena dari raut wajah akan tergambar rasa
kenikmatan, kemalangan dan kesengsaraan dalam diri seseorang.328

325
. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Volume 15, hlm. 228.
326
. Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz I,
(E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 270.
327
. Syihâb al-Dîn Mahmûd al-Sayyid al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-
‘Adzîm wa al-Sab’u al-Matsânî, Juz 22, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 383.
328
. Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz 16, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat),
hlm. 230.

122
Menanggapi ayat di atas, al-Khâzin (W.725H./1340M.) dan
Muhammad Sayyid Thanthâwî329 juga menyatakan hal yang sama bahwa
kedua ayat di atas menggunakan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz
mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat). Penggunaan kata wajah menunjukkan bahwa
wajah manusia merupakan sesuatu yang paling mulia pada diri manusia.
Dengan gambaran wajah manusia, maka semua yang ada pada diri manusia
baik yang mengalami kesusahan maupun yang gembira ria akan terlihat
melalui roman wajahnya. Hanya saja dalam konteks ayat ini yang
digambarkan oleh Allah adalah wajah-wajah kaum kafir yang sedang dalam
kondisi yang susah pada saat datangnya kiamat nanti. Dalam pandangan Ibn
‘Âdil330 konteks ayat ini sama halnya dengan apa yang terdapat dalam surat
al-Qiyâmat :75 : 24 yakni ‫ﺭﺓﹲ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺫ ﺒ‬ ‫ﻤ ِﺌ‬ ‫ﻴﻭ‬ ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬ dan surat al-Nâzi’ât331 di mana
keduanya menggambarkan kondisi orang-orang kafir yang susah pada saat
datangnya hari kiamat nanti.
Menurut Sayyid al-Jamîlî332 dan Muhammad Husain Salâmat
keduanya berpendapat bahwa kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 dalam surat al-Ghâsyiyat : 88 : 2-3 di
atas memiliki relasi (‘alâqat) dengan kata ‫ ﺃﺠﺴﺎﺩ‬. Karena sesungguhnya
perasaan senang dan susah serta terhina pada diri seseorang tentu dirasakan
oleh semua anggota badan manusia, tidak hanya wajah semata. Hanya saja
gaya bahasa (uslûb) al-Qur’an dalam mengungkapkan perasaan yang dialami

329
. Al-Khâzin Abû al-Hasan Alî ibn Muhammad ibn Ibrâhîm ibn ‘Umar al-Syaikhî,
Lubbâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, Juz 6, hlm. 371. Lihat juga Muhammad Sayyid
Thanthâwî, Al-Tafsîr al-Wasîth, Juz I, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 4492.
330
. Abû Hafs ‘Umar ibn ‘Alî ibn ‘Âdl , Al-Lubbâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, Juz 20, hlm.
289.
331
. Surat al-Qiyâmat :75:24 merupakan ayat yang mengandung gaya bahasa
sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) yang mengungkapkan
sebagian tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan. Lihat Muhammad Husain Salâmat, Al-
I’jâz al-Balâghî fî al-Qur’ân al-Karîm, hlm. 378. Lihat juga Al-Sayyid al-Jamîlî, Al-Balâghat
al-Qur’âniyyat al-Mukhtârat, hlm. 42.
332
. Al-Sayyid al-Jamîlî, Al-Balâghat al-Qur’âniyyat al-Mukhtârat, hlm. 42. Lihat
juga Ahmad Mathlûb, Funûn Balâghiyyat al-Bayân al-Badî’, (Kuwait: Dâr al-Buhûts al-
’Ilmiyyat, 1975), hlm. 112. Lihat juga Muhammad Husain Salâmat, Al-I’jâz al-Balâghî fî al-
Qur’ân al-Karîm, hlm. 405.

123
oleh manusia menggunakan kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 . Hal ini, karena perasaan manusia
baik susah maupun senang akan terekspresikan melalui raut wajahnya.
Argumentasi para mufassir dan ahli retorika Arab di atas
membuktikan bahwa gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal
‘alâqatuhu al-juz’iyyat) yang dipergunakan oleh al-Qur’an dalam
mengilustrasikan kondisi orang-orang kafir yang mengalami kesusahan pada
hari kiamat cukup diekspresikan dengan pemilihan ungkapan kata yang sangat
tepat yakni dengan menggunakan kosa kata ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 yang mewakili keseluruhan
tubuh manusia. Sebab dengan pemilihan kata (diksi) ‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺠ‬
 , maka secara
totalitas perasaan yang ada pada diri manusia bisa tergambar melalui raut
wajah. Sehingga jika ditinjau dalam perspektif stilistik Arab atau ilmu Bayân,
maka akan terlihat betapa tinggi nilai gaya bahasa yang dipergunakan oleh al-
Qur’an. Meskipun kelihatannya menimbulkan suatu kejanggalan dalam
berbahasa, tetapi justru menimbulkan efek artistik atau estetika kalimat yang
bernilai tinggi.
Kasus senada dengan ayat-ayat terdahulu, dalam ayat lain al-Qur’an
juga menyebutkan perihal penggunaan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto
(majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) yang menggambarkan hukuman
333
(’adzâb) bagi orang-orang kafir. Misalnya pada surat al-‘Alaq : 96 : 15-16
yang berbunyi ‫ﺔ‬ ‫ﻁﺌَـ‬
 ‫ﺔ ﺨﹶﺎ‬ ‫ـ‬‫ﺫﺒ‬ ‫ﺔ ﻜﹶﺎ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ﺔ ﻨﹶﺎ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ ﺒﹺﺎﻝﻨﱠﺎ‬‫ﻌﻥ‬ ‫ ﹶﻔ‬‫ﻪ ﹶﻝ ﹶﻨﺴ‬ ‫ﻴﻨﹾ ﹶﺘ‬ ‫ ﹶﻝﻡ‬‫ ﹶﻜﻠﱠﺎ ﹶﻝ ِﺌﻥ‬. Menurut
Quraish Shihab seorang pakar tafsir Indonesia, kata ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ــ‬‫ ﻨﹶﺎﺼ‬biasa
diterjemahkan sebagai ubun-ubun. Semula kata ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ـ‬‫ ﻨﹶﺎﺼ‬berarti rambut yang
berada pada dahi, tetapi dalam pemakaiannya lebih jauh ia diartikan sebagai
tempat tumbuhnya rambut tersebut. Term ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ـ‬‫ ﻨﹶﺎﺼ‬digunakan al-Qur’an dalam
konteks orang-orang yang berdosa di hari kiamat. Term ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ـ‬‫ ﻨﹶﺎﺼ‬bukan hanya

333
. Artinya : Ketahuilah, sungguh jika Dia tidak berhenti (berbuat demikian)
niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.
(Q.S. al-‘Alaq : 96 : 15-16)

124
terbatas jangkauannya pada pengertian secara etimologis saja yakni hanya
ubun-ubun, tetapi mencakup seluruh tubuh Abû Jahal atau siapa pun yang
melarang orang untuk melakukan pengabdian dirinya kepada Allah. Term
‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ ﻨﹶﺎ‬dipilih untuk mewakili seluruh tubuh manusia, karena dahi merupakan
lambang kemuliaan seseorang.334 Di mana ia termasuk dalam rangkaian
anggota wajah manusia yang amat mulia. Apa yang terekspresikan dalam ayat
ini adalah sebagian (juz’) saja, tetapi yang dikehendaki dalam ayat ini adalah
keseluruhan (kull) dari anggota tubuh yang dimiliki oleh manusia.
Begitu juga halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abû al-
Hasan, bahwa kosa kata ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺼـ‬
 ‫ ﻨﹶﺎ‬secara etimologi memang memiliki arti
rambut ubun-ubun atau jambul. Tetapi kosa kata ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ـ‬‫ ﻨﹶﺎﺼ‬dalam konteks ayat
ini makna katanya tidak bisa diartikan secara haqîqî (denotatif), ia memiliki
makna secara majâzî (konotatif). Karena itu, kosa kata tersebut dipakai untuk
mengungkapkan totalitas manusia secara menyeluruh.335 Peralihan makna
semacam ini dalam istilah ilmu Bayân (retorika Arab) disebut dengan majâz
mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat, yaitu sebuah majâz yang mengungkapkan
sebagian (juz’) tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan (kull). Dalam istilah
kontemporer Abû al-Hasan menyebut dengan sebutan gaya bahasa sinekdoke
pars pro toto.
Kedua pendapat di atas berbeda dengan Abû Ja’far al-Thabarî. Dalam
bukunya Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân beliau berpendapat bahwa
interpretasi dari kata ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ ﻨﹶﺎ‬yang terdapat dalam surat al-‘Alaq : 96 : 15-16
menurut Abû Ja’far al-Thabarî menunjukkan arti wajah secara keseluruhan,
bukan hanya menunjukkan arti ubun-ubun semata. Pemaknaan semacam ini,
memungkinkan adanya perluasan arti kata tersebut. Hubungan atau relasi

334
. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Volume 15, hlm. 413-414.
335
. Abû al-Hasan ‘Alî ibn Muhammad Ibn Habîb al-Bashrî, Al-Nukat wa al-‘Uyûn,
Juz 4, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 438.

125
antara ubun-ubun dengan wajah menurut Abû Ja’far al-Thabarî merupakan
relasi antara cabang atau bagian dengan keseluruhan (al-juz’ ‘alâ al-kull).
Karena ubun-ubun merupakan bagian dari anggota wajah. Oleh karena itu
ubun-ubun mewakili wajah itu sendiri. Beliau menganalogikan ayat ini dengan
surat al-Rahmân : 55 : 41 yakni ‫ﻲ‬‫ﺍﺼ‬‫ﺨ ﹸﺫ ﺒﹺﺎﻝﱠﻨﻭ‬
‫ﻴﺅْ ﹶ‬‫ ﹶﻓ‬‫ﻫﻡ‬ ‫ﺎ‬‫ﻴﻤ‬‫ﻥ ﹺﺒﺴ‬
 ‫ﻭ‬‫ ﹺﺭﻤ‬‫ﻤﺠ‬ ‫ﻑ ﺍﻝﹾ‬
‫ﺭ ﹸ‬ ‫ﻴﻌ‬
‫ﺍ ﹺﻡ‬‫ﺍﻝﹾ َﺄﻗﹾﺩ‬‫( ﻭ‬orang-orang yang berdosa dikenal dengan tanda-tandannya, lalu
dipegang ubun-ubun dan kaki mereka).336 Begitu juga halnya dengan Muhyî
al-Sunnat Abû Muhammad dan Abû Hayyân, beliau menganalogikan surat al-
‘Alaq : 96 : 15-16 ini dengan surat al-Rahmân : 55 : 41. Selanjutnya beliau
berpendapat bahwa kosa kata ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ ﻨﹶﺎ‬secara etimologi memang memiliki arti
rambut ubun-ubun, atau jambul. Tetapi dalam konteks ayat ini diartikan
sebagai orangnya (pemiliknya), bukan sebagai ubun-ubun semata.337
Lebih lanjut Abû Ja’far al-Thabarî mengemukakan, bahwa surat al-
‘Alaq : 96 : 16 ‫ﺔ‬ ‫ﻁﺌَـ‬
 ‫ﺔ ﺨﹶﺎ‬ ‫ﺒ‬ ‫ﺫ‬ ‫ﺔ ﻜﹶﺎ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺼ‬ ٍ ‫ـﻴ‬‫ ﻨﹶﺎﺼ‬yang
 ‫ ﻨﹶﺎ‬, dikhafdlkannya kosa kata ‫ﺔ‬
kedua yakni pada surat al-‘Alaq : 96 : 16 merupakan jawaban atau penolakan
atas kosa kata ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ـ‬‫ ﺍﻝﻨﱠﺎﺼ‬yang pertama yang dilakukan dengan cara mengulang.
Penggunaan kosa kata ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ـ‬‫ ﻨﹶﺎﺼ‬dalam ayat tersebut dipakai untuk menunjuk
makna pada orangnya, bukan pada ubun-ubun semata.338 Ini artinya gaya
bahasa yang dipergunakan untuk mengekspresikan ayat di atas menggunakan
gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa pemaknaan sebuah kata itu
bergantung pada pemahaman relasi makna (’alâqat) dan indikator (qarînat)

336
. Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghâlib al-Âmilî Abû Ja’far al-
Thabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Juz 30, hlm. 255.
337
. Muhyî al-Sunnat Abû Muhammad al-Husain ibn Mas’ûd al-Baghâwî, Ma’âlim
al-Tanzîl, Juz 8, al-Maktabat al-Syâmilat, hlm. 480. Lihat juga Abû Hayyân Muhammad ibn
Yûsuf ibn ‘Âlî ibn Yûsuf ibn Hayyân, Tafsîr al-Bahr al-Muhît, Juz 11, al-Maktabat al-
Syâmilat, hlm. 3.
338
. Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghâlib al-Âmilî Abû Ja’far al-
Thabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Juz 30, hlm. 255.

126
kalimat yang menyertainya. Tanpa pemahaman keduanya, akan dapat
menimbulkan kesalahan dalam menginterpretasikan makna sebuah kosa kata.
Sementara itu dalam kitab Tafsîr al-Kasysyâf, al-Zamakhsyarî
(W.538H./1144M.) sebagaimana mengutip pendapat ibn Mas’ûd mengatakan,
bahwa kosa kata ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ ﻨﹶﺎ‬yang terletak pada surat al-‘Alaq : 96 : 16 merupakan
badl (pengganti) dari kosa kata ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ ِﺍﻝﻨﱠﺎ‬yang terletak pada surat al-‘Alaq : 96 :
15. Diperbolehkannya kosa kata ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ـ‬‫ ﻨﹶﺎﺼ‬yang berbentuk nakirat (umum) pada
surat al-‘Alaq : 96 : 16 sebagai badl (pengganti) dari kosa kata ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ـ‬‫ ِﺍﻝﻨﱠﺎﺼ‬yang
berbentuk ma’rifat (khusus) pada surat al-‘Alaq : 96 : 15 adalah karena
berfaedah untuk menunjukkan arti meremehkan. Kedua kata ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ـ‬‫ ﻨﹶﺎﺼ‬dipakai
untuk mencaci maki.339 Demikian juga dengan Abû Hayyân berpendapat
bahwa kosa kata ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ـ‬‫ ﻨﹶﺎﺼ‬itu merupakan badl (pengganti) yang eksistensinya
berbentuk nakirat (umum) dari kata ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬ ‫ـ‬‫ ِﺍﻝﻨﱠﺎﺼ‬yang eksistensinya berbentuk
ma’rifat (khusus). Menurutnya lebih lanjut, para ’ulama Bashrat,
sesungguhnya tidak memberikan adanya persyaratan yang ketat bagi badl
(pengganti) yang eksistensinya berbentuk nakirat (umum) sebagai pengganti
yang kata yang eksistensinya berbentuk ma’rifat (khusus). Sementara menurut
Abû Hayât, Ibn Abî ’Abilat dan Zaid Ibn ’Alî, kata ‫ﺔ‬ ‫ﻁ َﺌ‬
 ‫ﺔ ﺨﹶﺎ‬ ‫ﺒ‬ ‫ﺫ‬ ‫ﺔ ﻜﹶﺎ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ ﻨﹶﺎ‬ketiga-
tiganya dinashabkan. Sedangkan menurut al-Kisâ’î ketiga-tiganya dirafa’kan
dengan memperkirakan kosa kata ‫ـﻰ‬
‫ ﻫـ‬sebagai mubtada’nya.340 Berbeda
dengan pendapat ’ulama Bashrat, menurut ’ulama Kuffat tidak membolehkan
kata yang berbentuk nakirat (umum) sebagai badl (pengganti) bagi kata yang
berbentuk ma’rifat (khusus).341

339
. Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî , al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl, Juz 4, hlm. 272.
340
. Abû Hayyân Muhammad ibn Yûsuf ibn ‘Alî ibn Yûsuf ibn Hayyân, Tafsîr al-
Bahr al-Muhîth, Juz 8, hlm. 495. Lihat juga Al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Juz 8, (E.Book: al-
Maktabat al-Syâmilat) , hlm. 30.
341
. Al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Juz 8, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 30.

127
Berpijak pada eksplanasi yang telah penulis paparkan dalam bab III di
atas, maka dapat diketahui bahwa sesungguhnya tidak sedikit ayat-ayat al-
Qur’an yang menggunakan ekspresi gaya bahasa sinekdoke pars pro toto
(majâz mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat) yang menyebutkan sesuatu secara
parsial (juz’), tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan (kull). Peralihan
makna relasional semacam ini, yakni dari makna haqîqî (denotasi) ke dalam
makna majâzî (konotasi) dalam perspektif ilmu Balâghat karena dipengaruhi
oleh adanya relasi (‘alâqat) antara cabang (juz’) dengan keseluruhan (kull). Di
samping itu, juga dipengaruhi oleh adanya indikator (qarînat) yang menolak
kata tersebut untuk menunjuk pada makna haqîqî (denotasi) nya, baik
indikator itu bersifat tekstual (lafdziyyat) yakni keterangan yang diberikan
dalam bentuk lafazh atau kalimat, maupun indikator kontekstual (‘aqliyyat
atau hâliyyat) yang dapat dipahami melalui pemikiran akal dan logisnya
hubungan kalimat. Serta dipengaruhi oleh adanya pemidahan makna itu
sendiri. Berkaitan dengan itu semua, maka ilmu Balâghat merupakan alat atau
pendekatan yang sangat baik jika digunakan sebagai parameter untuk
mengkaji terhadap keagungan sastra al-Qur’an.
Penggunaan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal
‘alâqatuhu al-juz’iyyat) yang telah penulis paparkan di atas, terkait dengan
bidang teologi, bidang shalat, bidang pahala (ajr) dan hukuman (‘adzâb).
Dalam bidang teologi al-Qur’an seringkali menggambarkan dzat Allah dengan
menggunakan kosa kata wajh (‫)ﻭﺠﻪ‬. Ekspresi ini dipakai untuk
menggambarkan keangungan-Nya yang senantiasa mengawasi segala sesuatu
yang pasti musnah. Dalam aspek shalat, al-Qur’an seringkali menggunakan
gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ’alâqatuhu al-juz’iyyat)
dengan pilihan kata (diksi) sujud, ruku’, membaca, dan berdiri. Namun,
proporsi ekspresi sujud dan ruku’ itu lebih mendominasi dari pada membaca,

128
dan berdiri. Gaya bahasa al-Qur’an ini menunjukkan bahwa betapa urgennya
makna sujud dan ruku’ dalam shalat. Sebab esensi dari pelaksanaan shalat
seseorang adalah untuk membentuk pribadi muslim yang tunduk dan rendah
diri di hadapan Allah sesuai dengan semantik sujud dan ruku’ itu sendiri.
Dalam bidang pahala (ajr) dan hukuman (‘adzâb), al-Qur’an seringkali
menggunakan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal‘alâqatuhu
al-juz’iyyat) dengan menggunakan diksi ‫ ﻭﺠﻭﻩ‬dan sebagainya ketika
menyebutkan orang-orang yang mendapatkan pahala (ajr) berupa kenikmatan
di akhirat lantaran amal shalehnya yang ia tanam ketika hidup di dunia, dan
menyebutkan orang-orang yang mendapatkan hukuman (‘adzâb) berupa
siksaan di akhirat akibat sepak terjangnya saat ia hidup di dunia. Ekspresi
‫ ﻭﺠﻭﻩ‬semacam ini dipergunakan al-Qur’an untuk menggambarkan totalitas
dari apa yang terdapat dalam diri manusia. Karena rasa bahagia dan celaka itu
tergambar pada roman wajah yang merupakan bagian mulia pada tubuh
manusia. Hal ini menunjukkan bahwa gaya bahasa (figure of speech) yang
dipergunakan oleh al-Qur’an dalam bentuk sinekdoke pars pro toto (majâz
mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) itu sungguh mengandung estetika bahasa yang
bernilai tinggi.

129
BAB IV
GAYA BAHASA SINEKDOKE TOTUM PRO PARTE
DALAM AL-QUR’AN

Setelah pada bab terdahulu dikemukakan mengenai gaya bahasa


sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juzi’yyat), maka pada bab IV
ini penulis akan menyajikan gaya bahasa sinekdoke totum pro parte (majâz
mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) dalam al-Qur’an melalui telaah terhadap relasi
(‘alâqat) makna antara keseluruhan (kull) dengan cabang (juz’)nya dengan
menggunakan parameter ilmu Balâghat.
C. Gaya Bahasa Sinekdoke Totum Pro Parte (Majâz Mursal ‘Alâqatuhu al-
Kulliyyat) pada Ayat-Ayat Madaniyyat
Gaya bahasa sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-
kulliyyat) merupakan kebalikan dari gaya sinekdoke pars pro toto (majâz mursal
‘alâqatuhu al-juz’iyyat). Gaya bahasa sinekdoke totum pro parte ini merupakan
gaya bahasa yang mengungkapkan keseluruhan (kull) tetapi yang dimaksud adalah
sebagian (juz’) saja. Ayat-ayat yang menjadi fokus penelitian dalam bab IV ini
adalah ayat-ayat Madaniyyat yang bersinggungan dengan tema-tema sebagai
berikut : bidang hukum (syarî’at) dan ilustrasi mengenai orang-orang kafir atau
munafik. Hal ini penting karena surat-surat Madaniyyat terkait dengan masalah
tersebut.
Menurut argumentasi Muhmûd Syalthûth342 surat-surat Madaniyyat
menguraikan tentang perilaku para penentang dan menjawab ahli kitab yang
bertetangga dengan Rasulullah di Madinah. Mereka membangkit-bangkitkan
berbagai keraguan serta kesesatan tentang risalah kerasulan. Surat Madaniyyat itu
juga menyuguhkan hal-hal yang khusus bertalian dengan kaum mukmin,

342
. Mahmûd Syalthûth, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, alih bahasa Herry Noer Ali, Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim Pendekatan Syalthûth Menggali Esensi Al-Qur’an, Juz 4, (Bandung:
Diponegoro, 1990), hlm. 924.

130
menguraikan hukum-hukum untuk mengatur berbagai urusan intern dan ekstern
mereka.
Al-Suyûthî (W.911H./1505M.) -cendekiawan muslim belakangan-
berpendapat bahwa ayat-ayat Madaniyyat menurut pandangan para ulama sholeh
klasik berjumlah dua puluh surat yang meliputi : al-Baqarat, Âli ‘Imrân, al-Nisâ’,
al-Mâ’idat, al-Anfâl, al-Taubat, al-Nûr, al-Ahzâb, Muhammad, al-Fath, al-
Hujurât, al-Hadîd, al-Mujâdalat, al-Hasyr, al-Mumtahanat, al-Jumu’at, al-
Munâfiqûn, al-Thalâq, al-Tahrîm, dan al-Nashr.343 Secara keseluruhan ayat-ayat
Madaniyyat terdiri atas 20 surat dan 1345 ayat. Namun, ayat-ayat tersebut tidak
semuanya diekspresikan dalam bentuk gaya bahasa sinekdoke totum pro parte
(majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat).
Surat-surat Madaniyyat pada umumnya panjang, sementara pada ayat-
ayat Makiyyat pendek-pendek. Tetapi sebenarnya kriteria panjang dan pendek itu
menurut Nashr Hâmid Abû Zaid (L. 1943 M.)344 dapat dibangun di atas dua
landasan dan dapat ditafsirkan pula dengan kedua landasan tersebut. Landasan
pertama, adanya pergeseran dakwah dari fase indzâr (tugas memberi peringatan)
ke fase risâlat (bertujuan membangun idoelogi masyarakat baru). Indzâr
mengandalkan sebuah upaya persuasif yang berarti bertumpu pada penggunaan
bahasa dengan gaya yang mempesona dan mengesankan. Gaya bahasa ini secara
umum berada pada surat-surat pendek. Sementara risâlat disisi lain berbicara
kepada penerima sambil membawakan muatan yang lebih luas dari pada sekadar
persuasif. Oleh karena itu diperlukan sebuah bahasa yang berbeda pada tataran
struktur. Dalam risâlat aspek transformasi informasi itu lebih dominan dari pada
aspek persuasi, meskipun aspek ini sama sekali tidak di buang. Dalam indzâr
persuasi menjadi prioritas, sementara aspek transformasi informasi tidak banyak.

343
. Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
(Kairo: Dâr al-Salâm, 1424 H.), hlm. 201.
344
. Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nash fî ’Ulûm al-Qur’ân , (Mesir: al-Hai’at al-
Mishriyyat al-’Âmmat li al-Kitâb, 1993), hlm. 90-91.

131
Menurut Abû ‘Ubaidat (W.207H./822M.) sebagaimana dikutip oleh
Nashr Hâmid Abû Zaid (L. 1943 M.) mengatakan bahwa majâz itu mencakup
semua pembahasan yang termasuk dalam kajian gaya bahasa (uslûb).345
Pembahasan yang mempunyai interaksi dengan persoalan gaya bahasa (figure of
speech) merupakan suatu kajian yang sangat terkait erat dengan dunia interpretasi,
meskipun kita melihat al-Rummânî (W.386H./996M.) berpendapat bahwa
interpretasi tersebut bukan merupakan tujuan yang hendak dicapai melalui
pendekatannya, melainkan sekadar sebagai suatu keharusan yang tidak dapat
dihindari saat melangsungkan kajian terhadap gaya bahasa al-Qur’an.346 Dan gaya
bahasa itu juga terkait dengan penggunaan diksi dalam struktur kalimat sehingga
interpretasinya pun sangat terkait dengan konteksnya.
Nashr Hâmid Abû Zaid (L. 1943 M.) dalam kitabnya sebagaimana
mengutip pendapat Abû ‘Ubaidat (W.207H./822M.) mengatakan bahwa untuk
menangkap pesan-pesan (risâlat) yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an agar
mendapatkan hidâyat dari al-Qur’an, maka diperlukan adanya penjabaran atau
penguraian makna sesuai dengan konteksnya –sebagaimana disebutkan dalam
penjelasan Abû ‘Ubaidat. Beliau mengetahui bahwa dalam ungkapan-ungkapan
al-Qur’an memang terkadang terdapat suatu ayat yang tidak lazim sehingga
membutuhkan penjelasan.347 Pada kenyataannya menurut ‘Abd al-Qâhir al-Jurjâni
(W.471H./1078M.) dalam struktur Arab memang tidak semua kata itu bisa
diartikan secara haqîqî (denotatif), tetapi ada pula kata yang membutuhkan
perluasaan makna, karena kata tersebut tidak menghendaki makna yang

345
. Nashr Hâmid Abû Zaid, Al-Ittijâh al-‘Aqlî fî al-Tafsîr Dirâsat fî Qadliyyat al-
Majâz ‘inda al-Mu’tazilat, alih bahasa Abdurrahman Kasdi dkk., Menalar Firman Tuhan :
Wacana Majas dalam al-Qur’an menurut Mu’tazilah, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 146.
346
. Nashr Hâmid Abû Zaid, Al-Ittijâh al-‘Aqlî fî al-Tafsîr Dirâsat fî Qadliyyat al-
Majâz ‘inda al-Mu’tazilat, hlm. 175.
347
. Nashr Hâmid Abû Zaid, Al-Ittijâh al-‘Aqlî fî al-Tafsîr Dirâsat fî Qadliyyat al-
Majâz ‘inda al-Mu’tazilat, hlm. 147.

132
sesungguhnya. Dalam hal ini adalah makna majâzî (konotatif) yang menjadi
tujuannya.348
Pada umumnya, penggunaan suatu makna haqîqî (denotasi) dan makna
majâzî (konotasi) baru dapat ditentukan setelah suatu lafadz itu dirangkai dalam
suatu kalimat atau dipergunakan dalam suatu pembicaraan. Untuk dapat
mengetahui makna haqîqî (denotasi) suatu lafadz bisa dilakukan dengan cara
simmâ’î, yaitu dengan cara mendengarkan bagaimana para ahli bahasa
mengartikannya. Sedangkan untuk makna majâzî (konotasi) hanya dapat diketahui
melalui penelitian terhadap indikator (qarînat) yang menyertainya dalam
kalimat.349 Tanpa melalui identifikasi pemahaman terhadap konteks suatu bahasa,
maka makna majâzî (konotasi) tersebut tidak akan bisa didapatkan.350 Termasuk
dalam kajian ini adalah majâz lughâwî yang salah satu di antaranya adalah
penamaan sesuatu yang bersifat juz’î (parsial) dengan cara penyebutan yang
bersifat kullî (global).351 Dalam istilah lain disebut dengan gaya bahasa sinekdoke
totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat).
Gaya bahasa yang bersifat majâzî (konotatif) banyak terdapat dalam
bahasa sastra. Karena itu bahasa sastra dicirikan sebagai bahasa yang mengandung
unsur emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan dari bahasa nonsastra
khususnya bahasa ilmiah, yang rasional dan denotatif. Bahasa sastra tidak
mungkin secara mutlak menyaran kepada makna konotatif tanpa melibatkan sama
sekali makna denotatif. Penuturan yang demikian akan memberi peluang kepada
pembaca untuk dapat memahaminya. Pemahaman pembaca, bagaimanapun akan
mengacu dan berangkat dari makna denotatif, atau paling tidak makna itu

348
. ‘Abd al-Qâhir al-Jurjâni, Dalâ'il al-I'jâz fî 'Ilmi al-Ma'ânî, (Kairo: Maktabat al-
Qâhirat, 1971), hlm. 86.
349
. Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 221.
350
. I Dewa Putu Wijana dkk., Semantik Teori dan Analisis, (Surakarta: Yuma Pustaka,
2008), hlm. 26.
351
. Shubhî al-Shâlih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Cet. ke-9, (Beirut: Dâr al-‘Ilm,
1977), hlm. 328.

133
dijadikan dasar pijakan. Sebaliknya, makna konotatif pun banyak dijumpai dan
dipergunakan dalam bahasa yang lain yang tidak tergolong karya kreatif, seperti
penggunaan bentuk-bentuk tertentu gaya bahasa metafora dan gaya bahasa yang
lain yang justru dapat memperjelas makna yang dimaksud dari pada bahasa lugas
(denotatif). Dengan demikian, berdasarkan pencirian ini, yang ada adalah masalah
kadar, kadar emosi dan makna konotasi pada bahasa sastra lebih dominan. Hal ini
disebabkan pengungkapan dalam sastra mempunyai tujuan untuk estetika.352
Dalam hal ini, penulis akan mengambil bahasa al-Qur’an dari ayat-ayat
Madaniyyat yang menggunakan gaya bahasa sinekdoke totum pro parte (majâz
mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) khususnya yang banyak berinteraksi dengan
wacana dalam bidang hukum (syâri’at), dan bidang ilustrasi mengenai orang-
orang kafir atau munafik sebagai bahan pembuktian bahwa gaya bahasa sinekdoke
totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) itu makna katanya tidak
bisa diartikan secara haqîqî (denotatif) tetapi harus dimaknai secara majâzî
(konotatif). Hal ini dipengaruhi oleh adanya relasi (‘alâqat) antara cabang (juz’)
dengan keseluruhan (kull) dan dipengaruhi pula oleh adanya indikator (qarînat)
yang menolak untuk menunjuk pada makna sesungguhnya. Di samping itu,
penulis akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengungkap nilai balâghat
yang muncul dalam gaya bahasa sinekdoke totum pro parte (majâz mursal
kulliyyat) yang terdapat dalam al-Qur’an.

D. Gaya Bahasa Sinekdoke Totum Pro Parte (Majâz Mursal ‘Alâqatuhu al-
Kulliyyat) dan Relasi Maknanya
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa surat-surat Madaniyyat itu
mengatur hukum-hukum berbagai urusan intern dan ekstern, maka pada
bagian pertama bab ini penulis akan mengemukakan gaya bahasa sinekdoke

352
. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2009), hlm. 273-274.

134
totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) yang terkait dengan
bidang hukum (syarî’at) sehingga dapat ditemukan kejelasan hukumnya dan
keistimewaan gaya bahasa (figure of speech) yang terkandung didalamnya.
1. Bidang Hukum (Syarî’at)
Penggunaan bahasa dalam sebuah karya sastra memang memiliki
spesifikasi tersendiri bila dibandingkan dengan penggunaan bahasa dalam
jaringan kamunikasi yang lainnya. Ciri khas tersebut adalah ciri khas yang
berkaitan dengan gaya atau style. Gaya tersebut dapat berupa gaya pemakaian
bahasa secara universal maupun pemakaian bahasa yang merupakan
kecirikhasan masing-masing pengarang. Namun yang jelas, baik pemakaian
bahasa sastra secara universal maupun secara individual, stilistika dalam
bahasa sastra selalu berusaha untuk mengungkapkan kadar suatu ucapan yang
maksimal (maximum foregrounding of utterance).353
Dalam menguntai kalimatnya, al-Qur’an seringkali menggunakan
seni bertutur (uslûb) dengan gaya bahasa sinekdoke totum pro parte yang
mengungkapkan keseluruhan (kull) tetapi yang dimaksud adalah sebagian
(juz’) saja. Dalam istilah ilmu Balâghat seni bertutur ini dikenal dengan
sebutan majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat. Majâz merupakan suatu
perkataan yang dipakai bukan pada makna aslinya karena terdapat relasi
(‘alâqat) serta adanya indikator (qarînat) yang melarang penggunaan makna
asal. Majâz (konotatif) merupakan kebalikan dari haqîqî (denotatif). Makna
haqîqî (denotatif) merupakan makna asal dari suatu lafal atau ungkapan yang
pengertiannya dipahami orang pada umumnya. Sedangkan makna majâzî
(konotatif) merupakan perubahan makna dari makna asal ke makna kedua.

353
. Zaenuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 2002), hlm. 25.

135
Makna ini lahir bukan untuk pengertian pada umumnya. Tetapi dalam makna
ini terdapat proses perubahan makna.354
Ungkapan yang mengandung makna majâzî (konotatif) ini sangat
disukai oleh bangsa Arab, sehingga dalam menghiasi pidato dan syair-
syairnya tidak sedikit di antara mereka yang mempergunakan kata-kata yang
bersifat majâzî (konotatif). Mereka menyukainya, karena dengan penggunaan
lafadz majâzî (konotatif) ini mereka lebih leluasa dalam melakukan
komunikasi atau pembicaraan. Satu lafadz tidak hanya terbatas menunjukkan
makna haqîqî (denotatif) saja, tetapi bisa menunjuk pada makna yang lain. Di
samping itu, lafadz yang menunjukkan makna majâzî (konotasi) itu lebih luas
diungkapkan dan mudah ditangkap, karena bersifat inderawi, sehingga lebih
mengena dalam hati pendengar.355 Statemen ini sebenarnya sesuai dengan apa
yang telah dikemukakan oleh Plato. Menurutnya, retorika yang baik

sesungguhnya merupakan sebuah senjata yang dapat digunakan untuk

mempengaruhi dan membawa pendengar puas dengan apa yang

disampaikan.356

Di bawah ini akan penulis paparkan mengenai gaya bahasa

sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) yang makna
katanya menghendaki sebagian (juz’) saja dari apa yang diekspresikan secara
keseluruhan (kull). Ayat-ayat Madaniyyat berikut ini berinteraksi dengan
bidang fiqh atau hukum yang mengatur urusan kaum muslimin.
Di antara ayat-ayat yang menggunakan ekspresi gaya bahasa
sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) ada yang
berinteraksi dengan bidang hukum (syarî’at) misalnya sebagaimana yang

354
. Mamat Zaenuddin, dkk., Pengantar Ilmu Bayan, (Bandung: Zein Al-bayan,
2006), hlm. 48
355
. Moh. Matsna HS, Orientasi Semantik al-Zamakhsyari Kajian Makna Ayat-Ayat
Kalam, (Jakarta: Anglo Media, 2006), hlm. 103.
356
. Richard Bradford, Stylistics, (London and New York: Routledge, 1997), hlm.
4.

136
terdapat dalam surat al-Mâidat : 5 : 6357 yaitu ‫ﺴﻠﹸﻭﺍ‬
 ‫ﺓ ﻓﹶﺎﻏﹾ‬ ‫ﺼﻠﹶﺎ‬
 ‫ ِﺇﻝﹶﻰ ﺍﻝ‬‫ ﹸﺘﻡ‬‫ِﺇﺫﹶﺍ ﹸﻗﻤ‬
‫ﻥ‬
‫ ﹺ‬‫ﺒﻴ‬ ‫ ِﺇﻝﹶﻰ ﺍﻝﹾ ﹶﻜﻌ‬‫ﺠﹶﻠ ﹸﻜﻡ‬
 ‫ﻭَﺃﺭ‬ ‫ﺴ ﹸﻜﻡ‬
 ‫ﻭ‬‫ﺭﺀ‬ ‫ﻭﺍ ﹺﺒ‬‫ﺴﺤ‬
 ‫ﺍﻤ‬‫ﻕ ﻭ‬
 ‫ﻓ‬ ‫ﺍ‬‫ﻤﺭ‬ ‫ ِﺇﻝﹶﻰ ﺍﻝﹾ‬‫ﻴ ﹸﻜﻡ‬ ‫ﺩ‬‫ﻭَﺃﻴ‬ ‫ﻫ ﹸﻜﻡ‬ ‫ﻭ‬‫ﻭﺠ‬ . Ayat
semacam ini dalam perspektif ilmu Bayân makna katanya tidak bisa diartikan
secara haqîqî (denotatif), tetapi harus dipahami secara majâzî (konotatif)
karena unsur keseluruhan (kull) itu memiliki relasi (‘alâqat) dengan unsur
sebagian (juz’). Di samping itu, ia juga memiliki indikator (qarînat) yang
menolak makna kata tersebut pada makna haqîqî (denotatif) nya. Menurut al-
Jâhidz (W.255H./868M.) sebagaimana dikutip oleh Farîd ‘Audl Haidar
penggunaan istilah majâzî (konotatif) yang merupakan makna bandingan dari
makna haqîqî (denotatif) hanya bisa dipergunakan untuk menunjuk pada
penggunaan lafadz di luar makna kata tersebut dengan maksud dan tujuan
untuk perluasan makna aslinya (haqîqî).358
Menurut al-Zarkasyî (W. 794 H.)359 dalam kitabnya menyatakan
bahwa kata ‫ﻱ‬
 ‫ﺩ‬ ‫( َﺃﻴ‬tangan) dalam surat surat al-Mâidat : 5 : 6 yang masih
bersifat generik. Kata tersebut pada hakekatnya menunjukkan makna dari
ujung jari tangan sampai ke bahu atau pundak (‫)ﺍﻝﻤﻨﻜﺏ‬. Dalam pandangannya,
ayat di atas merupakan konstruksi kalimat yang mengandung gaya bahasa
sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) yang
mengungkapkan keseluruhan (kull) tetapi yang dimaksud hanya sebagian
(juz’) saja. Sebab apa yang dikehendaki dari pemahaman teks, terdapat makna
kosa kata ‫ﻱ‬
 ‫ﺩ‬ ‫ َﺃﻴ‬yang masih memiliki relasi (‘alâqat) dengan kosa kata lainnya.
Adapun indikator (qarînat) yang bisa menghalanginya untuk menunjukkan
pada makna haqîqî (denotatif)nya adalah indikator tekstual (lafdziyyat) yang

357
. Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (Q.S. al-Mâidat : 5 : 6)
358
. Farîd ‘Audl Haidar, ‘Ilm al-Dilâlat Dirâsat Nadzariyyat wa Tathbîq, (Kairo:
Maktabat al-Adâb, 2005), hlm. 60.
359
. Badr al-Dîn Muhammad ibn ‘Abd Allâh al-Zarkasyî, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-
Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2006), hlm. 479.

137
berupa kata ‫ﻕ‬
 ‫ﻓ‬ ‫ﺍ‬‫ﻤﺭ‬ ‫ ﺍﻝﹾ‬. Karena itu, ayat tersebut tidak bisa dipahami secara
haqîqî tetapi harus dipahami secara majâzî.
Ibn ‘Asyûr (W.1393H./1973M.) memberikan kontribusi
pemikirannya perihal ayat di atas, beliau membatasi basuhan pada kata ‫ﻱ‬
 ‫ﺩ‬ ‫َﺃﻴ‬
itu hanya sampai pada batas kedua siku tangan lantaran terdapat indicator kosa
kata ‫ﻕ‬
 ‫ﻓ‬ ‫ﺍ‬‫ﻤﺭ‬ ‫ﺍﻝﹾ‬. Kosa kata ‫( ﺍﻝﻴﺩ‬tangan) tidak hanya menunjuk pada kedua siku
tangan saja, tetapi bisa juga menunjuk pada apa yang terdapat pada
daerah ‫( ﺍﻝﻜﻭﻉ‬tulang pergelangan tangan), ‫( ﺍﻝﻤﺭﻓﻕ‬siku tangan) sampai pada
daerah ‫( ﺍﻻﺒﻁ‬ketiak) manusia. Penyebutan secara global dalam berwudlu
menurut para ulama ahli Balâghat dan ulama Ushûl al-Fiqh bertujuan untuk
menunjukkan makna sigfikansi kesan (‫ )ﻝﻠﻤﺒﺎﻝﻐﺔ‬agar seseorang berhati-hati
dalam bersuci. Sementara dalam ayat yang merepresentasikan tentang
tayamum al-Qur’an tidak memaparkan secara terperinci mengenai usapannya
sebagaimana yang terdapat dalam praktek wudlu. Perihal ini bisa dibuktikan
pada lanjutan ayat ini dalam surat al-Mâidat : 5 : 6360 dan surat al-Nisâ’ : 4 :
43.361 Dua ayat ini menyebutkan kata ‫ﻱ‬
 ‫ﺩ‬ ‫ َﺃﻴ‬tanpa disertai dengan kata
‫ﻕ‬
 ‫ﻓ‬ ‫ﺍ‬‫ﻤﺭ‬ ‫ﺍﻝﹾ‬.362 Senada dengan pendapat yang dilontarkan oleh Ibn ‘Asyûr
(W.1393H./1973M.), Abû Zaid mengatakan bahwa kosa kata ‫ﺩ‬ ‫ﻴ‬ ‫ ﺍﻝ‬dipakai

360
. ‫ﻴ ﹸﻜﻡ‬‫ﺩ‬‫ﻭَﺃﻴ‬ ‫ﻫ ﹸﻜﻡ‬ ‫ﻭ‬‫ﻭﺠ‬ ‫ﻭﺍ ﹺﺒ‬‫ﺴﺤ‬
 ‫ﺎ ﻓﹶﺎﻤ‬‫ﻴﺒ‬‫ﻁ‬
‫ﺍ ﹶ‬‫ﻴﺩ‬‫ﺼﻌ‬
 ‫ﻭﺍ‬‫ﻤﻤ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺀ ﹶﻓ ﹶﺘ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﺍ ﻤ‬‫ﺠﺩ‬
‫ ﹶﺘ ﹺ‬‫ﹶﻓﹶﻠﻡ‬
Artinya : Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. (Q.S. al-Mâidat :
5 : 6).
‫ﻭﻝﹶﺎ‬ ‫ﻥ‬  ‫ﺎ ﹶﺘﻘﹸﻭﻝﹸﻭ‬‫ﻭﺍ ﻤ‬‫ﹶﻠﻤ‬‫ﺤﺘﱠﻰ ﹶﺘﻌ‬  ‫ﻯ‬‫ﺴﻜﹶﺎﺭ‬  ‫ﻭﺃَﻨﹾﹸﺘﻡ‬ ‫ﺼﻠﹶﺎ ﹶﺓ‬
 ‫ﻭﺍ ﺍﻝ‬‫ﺭﺒ‬ ‫ﻤﻨﹸﻭﺍ ﻝﹶﺎ ﹶﺘﻘﹾ‬ ‫ﻥ َﺁ‬ ‫ﻴ‬‫ﺎ ﺍﱠﻝﺫ‬‫ﻬ‬‫ﺎ َﺃﻴ‬‫ ﻴ‬.361
‫ﻁ‬
 ‫ﻥ ﺍﻝﹾﻐﹶﺎ ِﺌ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻤﻨﹾ ﹸﻜﻡ‬ ‫ﺤﺩ‬ ‫ﺀ َﺃ‬ ‫ﺎ‬‫ ﺠ‬‫ﺴ ﹶﻔ ﹴﺭ َﺃﻭ‬
 ‫ﻋﻠﹶﻰ‬
 ‫ﻰ َﺃﻭ‬‫ﻀ‬‫ﻤﺭ‬ ‫ ﹸﻜﻨﹾﹸﺘﻡ‬‫ﻭِﺇﻥ‬ ‫ﺴﻠﹸﻭﺍ‬  ‫ﺤﺘﱠﻰ ﹶﺘﻐﹾ ﹶﺘ‬  ‫ل‬ ٍ ‫ﺴﺒﹺﻴ‬ ‫ﺎ ﹺﺒﺭﹺﻱ‬‫ﺎ ِﺇﻝﱠﺎ ﻋ‬‫ﺠﹸﻨﺒ‬ 
‫ﻥ‬
 ‫ﻪ ﻜﹶﺎ‬ ‫ﻥ ﺍﻝﱠﻠ‬  ‫ ِﺇ‬‫ﻴ ﹸﻜﻡ‬‫ﺩ‬‫ﻭَﺃﻴ‬ ‫ﻫ ﹸﻜﻡ‬ ‫ﻭ‬‫ﻭﺠ‬ ‫ﻭﺍ ﹺﺒ‬‫ﺴﺤ‬
 ‫ﺎ ﻓﹶﺎﻤ‬‫ﻴﺒ‬‫ﻁ‬‫ﺍ ﹶ‬‫ﻴﺩ‬‫ﺼﻌ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﻤﻤ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺀ ﹶﻓ ﹶﺘ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﺍ ﻤ‬‫ﺠﺩ‬ ‫ ﹶﺘ ﹺ‬‫ﺀ ﹶﻓﹶﻠﻡ‬ ‫ﺎ‬‫ﻡ ﺍﻝﱢﻨﺴ‬ ‫ﹸﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﻝﹶﺎﻤ‬‫َﺃﻭ‬
‫ﺍ‬‫ﻏﻔﹸﻭﺭ‬ ‫ﺍ ﹶ‬‫ﻋ ﹸﻔﻭ‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga
kamu mandi dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang
air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (Q.S, al-Nisâ’ : 43).
362
. Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz 4, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat),
hlm. 150.

138
untuk menyatakan arti sebagai anggota badan yang terdiri dari batas daerah
‫ﺏ‬
‫ﻜ ﹺ‬ ‫ﻤﻨﹾ‬ ‫( ﺍﻝ‬bahu atau pundak) sampai pada ‫ﻑ ﺍﻷﺼﺎ ﹺﺒ ﹺﻊ‬
 ‫( ﺃﻁﺭﺍ‬ujung jari tangan).363
Sedangkan kata ‫ل‬
َ‫ﺠ‬
 ‫ َﺃﺭ‬itu merupakan bentuk jamak dari kata ‫ ﺭﺠل‬yang
menunjukkan arti kaki manusia dan lainnya. Dalam pandangan Abû Ishâq
bahwa kata ‫ ﺭﺠل‬menunjukkan arti bagian anggota tubuh manusia yang terdiri
dari ‫( ﻓﺨﺫ‬paha) sampai pada ‫( ﻗﺩﻡ‬telapak kaki).364
Sementara menurut Ibn ‘Âdil, batasan ‫ﻕ‬
 ‫ﻓ‬ ‫ﺍ‬‫ﻤﺭ‬ ‫ ﺍﻝﹾ‬-bentuk jama’ dari
kosa kata ‫ﻕ‬‫ﻓ‬‫ﻤﺭ‬ dengan harakat fathat pada huruf ‫ ﺍﻝﻤﻴﻡ‬nya dan kasrat pada
huruf ‫ ﺍﻝﻔﺎﺀ‬nya yang benar dalam perspektif bahasa- menunjuk pada makna
persendian yang terdiri atas anggota tubuh antara lengan atas dan pergelangan
tangan. Hanya saja yang menjadi kontroversi di kalangan para ulama sholeh
klasik adalah batas-batas pembasuhan kedua tangan maupun kedua kaki dalam
berwudlu yang terekspresikan dengan menggunakan gaya bahasa (uslûb)
sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat). Kontroversi
semacam ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan pemahaman para ulama
terhadap makna kosa kata ‫ ِﺇﻝﹶﻰ‬yang jatuh setelah kosa kata ‫ﻕ‬
 ‫ﻓ‬ ‫ﺍ‬‫ﻤﺭ‬ ‫ ﺍﻝﹾ‬dan kosa
kata ‫ﻥ‬
‫ ﹺ‬‫ﺒﻴ‬ ‫ﺍﻝﹾ ﹶﻜﻌ‬. Menurut Mayoritas ulama sepakat atas wajibnya membasuh
kedua tangan sampai pada kedua siku, begitu juga dengan pembasuhan kedua
kaki sampai dengan kedua mata kaki. Tetapi pendapat mayoritas ulama ini
ditentang oleh Mâlik, Syu’abî, Muhammad ibn Jarîr dan Zafîr dengan
argumentasi bahwa makna kosa kata ‫ ِﺇﻝﹶﻰ‬itu menunjukkan makna ‫ ﺍﻝﻐﺎﻴﺔ‬yang
berarti batas akhir atau maksimal. Sedangkan menurut anggapan mereka
bahwa batas (‫ )ﺤﺩ‬itu tidak termasuk dalam kategori perkara yang dibatasi
(‫)ﻤﺤﺩﻭﺩ‬. Oleh karena itu, kedua siku tangan dan kedua mata kaki menurut
anggapan mereka tidak wajib untuk dibasuh ketika berwudlu. Mereka

363
. Abû Zaid ‘Abd. Rahmân ibn Muhammmad ibn Makhlûf al-Tsa’âlabî, al-
Jawâhir al-Hisân fî Tafsîr al-Qur’ân, Juz 1, Juz 4, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm.
396.
364
. Ibn Mandzûr, Lisân al-‘Arab, (Kairo : Dâr al-Ma’ârif, TT), hlm. 1598.

139
menganalogikan ayat ini dengan surat al-Baqarat : 2: 187 yakni ‫ﻡ‬ ‫ﺎ‬‫ﺼﻴ‬
 ‫ﻭﺍ ﺍﻝ‬‫ﺘﻤ‬ ‫ﻡ َﺃ‬ ‫ﹸﺜ‬
‫ل‬
ِ ‫( ِﺇﻝﹶﻰ ﺍﻝﱠﻠﻴ‬Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam).365 Itu
artinya puasa hanya dilakukan dari terbit fajar sampai dengan tenggelamnya
matahari saja. Sementara itu malam harinya mereka tidak melakukan puasa.
Pernyataan kontroversial di atas bertentangan dengan apa yang
digulirkan oleh Ibn ‘Asyûr (W.1393H./1973M.)366 yang mempertegas bahwa
batas maksimal (‫ )ﺤﺩ‬dalam pembasuhan itu termasuk dalam kategori yang
dibatasi (‫)ﻤﺤﺩﻭﺩ‬. Oleh karena itu, menurutnya membasuh kedua siku tangan
dan kedua mata kaki hukumnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan dalam
berwudlu. Pernyataan ini didukung oleh Abû al-Fadâ’ Ismâ’îl367 dan Abû
Muhammad al-Husain dalam kitabnya,368 di mana keduanya berpendapat
bahwa kata ‫ ِﺇﻝﹶﻰ‬dalam ayat tersebut menunjukkan makna ‫( ﻤﻊ‬serta). Sudah
barang tentu, membasuh kedua siku tangan dan kedua mata kaki merupakan
hal yang wajib dibasuh dalam berwudlu sebagaimana mayoritas ulama
menyatakan perihal tersebut.
Meskipun demikian, argumentasi yang dikemukakan oleh Mâlik,
Syu’abî, Muhammad ibn Jarîr dan Zafir yang kontroversial ini juga
bertentangan dengan Hadis nabi yang diriwayatkan oleh Mûsâ mengenai
proses wudlu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Hadits tersebut
menunjukkan bahwa membasuh kedua siku tangan dalam berwudlu itu
hukumnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan.369

365
. Abû Hafs ‘Umar ibn ‘Alî ibn ‘Âdl , Al-Lubbâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, Juz 7,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1998), hlm. 220.
366
. Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz 4, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat),
hlm. 151.
367
. Abû al-Fadâ’ Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, Juz 3,
(E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 49.
368
. Abû Muhammad al-Husain ibn Mas’ûd al-Baghawî, Ma’âlim al-Tanzîl, Juz 3,
(E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 150.
‫ل‬
َ ‫ﺴَﺄ‬
 ‫ﻥ‬ ‫ﺴﹴ‬ ‫ﺤ‬ ‫ﻥ َﺃﺒﹺﻲ‬ ‫ﻭ ﺒ‬‫ﺭ‬‫ﻋﻤ‬  ‫ﺕ‬ ‫ ﹸ‬‫ﺸ ﹺﻬﺩ‬‫ﻪ ﹶ‬ ‫ َﺃﺒﹺﻴ‬‫ﻋﻥ‬  ‫ﺭﹴﻭ‬‫ﻋﻤ‬  ‫ﻋﻥ‬  ‫ﺏ‬‫ﻫﻴ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺩ ﹶﺜﻨﹶﺎ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ل‬ َ ‫ﻰ ﻗﹶﺎ‬‫ﻭﺴ‬‫ﺩ ﹶﺜﻨﹶﺎ ﻤ‬ ‫ﺤ‬  . 369
‫ﻲ‬
 ‫ﺀ ﺍﻝﱠﻨ ﹺﺒ‬ ‫ﻭ‬‫ﻭﻀ‬ ‫ﻬﻡ‬ ‫ﻀَﺄ ﹶﻝ‬
 ‫ﻭ‬ ‫ﺀ ﹶﻓ ﹶﺘ‬ ‫ﺎ‬‫ ﻤ‬‫ﻤﻥ‬ ‫ ﹴﺭ‬‫ﺎ ﹺﺒ ﹶﺘﻭ‬‫ﺩﻋ‬ ‫ﻡ ﹶﻓ‬ ‫ﺴﱠﻠ‬
 ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻋﹶﻠﻴ‬
 ‫ﻪ‬ ‫ﺼﻠﱠﻰ ﺍﻝﱠﻠ‬ ‫ﻲ‬  ‫ﺀ ﺍﻝﱠﻨ ﹺﺒ‬ ‫ﻭ‬‫ﻭﻀ‬ ‫ﻋﻥ‬  ‫ﺩ‬ ‫ﺯﻴ‬ ‫ﻥ‬ ‫ﻪ ﺒ‬ ‫ﺩ ﺍﻝﱠﻠ‬ ‫ﻋﺒ‬

‫ﺽ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻤﻀ‬ ‫ ﹺﺭ ﹶﻓ‬‫ﻲ ﺍﻝﱠﺘﻭ‬‫ﻩ ﻓ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻴ‬ ‫ل‬ َ‫ﺨ‬‫ ﹶ‬‫ﻡ َﺃﺩ‬ ‫ﻪ ﹶﺜﻠﹶﺎﺜﹰﺎ ﹸﺜ‬ ‫ﺩﻴ‬ ‫ﻴ‬ ‫ل‬
َ‫ﺴ‬ ‫ ﹺﺭ ﹶﻓ ﹶﻐ‬‫ ﺍﻝﱠﺘﻭ‬‫ﻤﻥ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﻴ‬  ‫ﻡ ﹶﻓَﺄﻜﹾ ﹶﻔَﺄ‬ ‫ﺴﱠﻠ‬
 ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻋﹶﻠﻴ‬
 ‫ﻪ‬ ‫ﺼﻠﱠﻰ ﺍﻝﱠﻠ‬ 

140
Menurut mayoritas ulama sebagaimana dikutip oleh Abû Sa’ûd (W.
951 H.), ungkapan ‫ﻕ‬
 ‫ﻓ‬ ‫ﺍ‬‫ﻤﺭ‬ ‫ ِﺇﻝﹶﻰ ﺍﻝﹾ‬‫ﻴ ﹸﻜﻡ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻭَﺃﻴ‬ mereka memahami bahwa meskipun
kosa kata ‫ﻱ‬
 ‫ﺩ‬ ‫ َﺃﻴ‬itu menggunakan gaya bahasa sinekdoke totum pro parte
(majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) tetapi tidak berarti yang harus dibasuh
ketika membasuh tangan adalah anggota badan dari ujung jari tangan sampai
ke daerah ketiak. Sebab dalam ungkapan itu terdapat indikator (qarînat)
tekstual (lafdziyyat) yakni kata ‫ﻕ‬
 ‫ﻓ‬ ‫ﺍ‬‫ﻤﺭ‬ ‫ ِﺇﻝﹶﻰ ﺍﻝﹾ‬yang dapat menghalangi kata ‫ﻱ‬
 ‫ﺩ‬ ‫َﺃﻴ‬
tersebut untuk menunjuk pada makna haqîqî (denotatif)nya, karena itulah ayat
tersebut harus dipahami secara majâzî (konotatif) yakni dengan cara
memaknai proses basuhan tangan itu hanya sampai pada batas kedua siku
tangan. Di samping itu, kata ‫ِﺇﻝﹶﻰ‬ dalam ungkapan tersebut menunjukkan
makna ‫ﻊ‬
 ‫ﻤ‬ (serta) sehingga kedua siku tangan itu juga wajib untuk dibasuh.
Beliau menganalogikan ungkapan ini dengan surat Hûd : 11 : 52 ‫ﻭ ﹰﺓ‬
 ‫ ﹸﻗ‬‫ ﹸﻜﻡ‬‫ﻴ ﹺﺯﺩ‬ ‫ﻭ‬
‫ﺘ ﹸﻜﻡ‬ ‫ﻭ‬ ‫( ﺇﻝﻰ ﹸﻗ‬dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu).370
Kontroversi mengenai pemaknaan terhadap gaya bahasa ayat
tersebut terjadi di kalangan mufassir. Hal ini sesuai dengan statemen yang
digulirkan oleh Nashr Hâmid Abû Zaid (L. 1943 M.), bahwa perdebatan
mengenai makna di sekitar al-Qur’an itu tidak hanya terjadi pada satu
kelompok saja, tetapi juga sering terjadi antar kelompok di kalangan kaum
muslim, bahkan lintas agama sekalipun, seperti yang terjadi di kalangan
Yahudi dan Nashrani.371

‫ﻡ‬ ‫ﻥ ﹸﺜ‬
‫ ﹺ‬‫ ﹶﻓ ﹶﻘﻴ‬‫ﻤﺭ‬ ‫ﻥ ِﺇﻝﹶﻰ ﺍﻝﹾ‬
‫ ﹺ‬‫ﺭ ﹶﺘﻴ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺩﻴ‬ ‫ﻴ‬ ‫ل‬ َ‫ﺴ‬‫ﻏ‬
‫ﻡ ﹶ‬ ‫ﻪ ﹶﺜﻠﹶﺎﺜﹰﺎ ﹸﺜ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻭﺠ‬ ‫ل‬َ ‫ﻩ ﹶﻓ ﹶﻐﺴ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻴ‬ ‫ل‬ َ‫ﺨ‬
‫ ﹶ‬‫ﻡ َﺃﺩ‬ ‫ﺕ ﹸﺜ‬  ‫ﺭﻓﹶﺎ‬ ‫ﻏ‬‫ﺙ ﹶ‬ ‫ﺭ ﹶﺜﻠﹶﺎ ﹶ‬ ‫ ﹶﺘﻨﹾ ﹶﺜ‬‫ﺍﺴ‬‫ﻕ ﻭ‬ ‫ﺸﹶ‬ ‫ ﹶﺘﻨﹾ ﹶ‬‫ﺍﺴ‬‫ﻭ‬
‫ﻥ‬
‫ ﹺ‬‫ﺒﻴ‬ ‫ﻪ ِﺇﻝﹶﻰ ﺍﻝﹾ ﹶﻜﻌ‬ ‫ﹶﻠﻴ‬‫ل ﹺﺭﺠ‬
َ‫ﺴ‬
‫ﻏ‬ ‫ﻡ ﹶ‬ ‫ﺩ ﹰﺓ ﹸﺜ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ﺍ‬‫ﺭ ﹰﺓ ﻭ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺒ‬ ‫ﻭَﺃﺩ‬ ‫ﺎ‬‫ل ﹺﺒ ﹺﻬﻤ‬
َ ‫ﺒ‬ ‫ﻪ ﹶﻓَﺄﻗﹾ‬ ‫ﺴ‬
 ْ‫ﺭﺃ‬ ‫ﺢ‬‫ﺴ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﻩ ﹶﻓ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻴ‬ ‫ل‬
َ‫ﺨ‬ ‫ ﹶ‬‫َﺃﺩ‬
Lihat keterangan mengenai proses pelaksanaan wudlu’nya Nabi Muhammad sebagaimana
yang dipaparkan dalam hadîts. Imam Bukhori, Shohîh Bukhârî, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat
al-Syâmilat), hlm. 317.
370
. Abû Sa’ûd Muhammad ibn Muhammad ibn Musthafâ al-‘Imâdî, Irsyâd al’Aql
al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur’ân al-Karîm, Juz 2, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 206.
371
. Nashr Hâmid Abû Zaid, Al-Ittijâh al-‘Aqlî fî al-Tafsîr Dirâsat fî Qadliyyat al-
Majâz ‘inda al-Mu’tazilat, alih bahasa Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan, Menalar
Firman Tuhan : Wacana Majas dalam al-Qur’an menurut Mu’tazilah, hlm. 141.

141
Argumentasi di atas menunjukkan bahwa, penggunaan kosa kata
‫ﻱ‬
 ‫ﺩ‬ ‫ َﺃﻴ‬dan ‫ل‬
َ‫ﺠ‬
 ‫ َﺃﺭ‬dalam surat al-Mâidat: 5: 6 perihal pelasanaan wudlu
sesungguhnya tidak bisa dimaknai secara haqîqî (denotatif), tetapi kedua kosa
kata tersebut harus di maknai secara majâzî (konotatif) yakni kosa kata ‫ﻱ‬
 ‫ﺩ‬ ‫َﺃﻴ‬
menunjuk pada bagian anggota tangan dari ujung jari sampai dengan sendi
kedua siku tangan. Sementara kata ‫ل‬
َ‫ﺠ‬
 ‫ َﺃﺭ‬menunjuk pada bagian anggota kaki
dari ujung jari kedua kaki sampai dengan kedua mata kaki. Ekspresi al-Qur’an
menggunakan gaya bahasa (uslûb) sinekdoke totum pro parte (majâz mursal
‘alâqatuhu al-kulliyyat) dalam ayat ini khususnya dalam bidang hukum (fiqh)
yang berinteraksi dengan wudlu ini bertujuan untuk signifikasi lebih (‫)ﻝﻠﻤﺒﺎﻝﻐﺔ‬,
artinya agar pelaksana wudlu itu senantiasa berhati-hati dalam membasuh
anggota badan yang harus dibasuhnya.
Perihal pemaknaan al-Qur’an menurut W. Mongomery Watt dan
Richard Bell372 memang telah jauh dilakukan, terutama sesudah bangsa Non
Arab menjadi muslim, dirasakan perlu adanya penjelasan interpretasi
mengenai ayat dan frase dari al-Qur’an yang maknanya belum / tidak jelas.
Perlu ditunjukkan makna yang tepat dari kata yang sudah usang atau cara yang
benar untuk mengartikan konstruksi gramatikal kalimat atau acuan lainnya.
Nama besar pertama dalam bidang penjelasan al-Qur’an dan pendiri disiplin
ini adalah Ibn ‘Abbâs saudara sepupu Nabi Muhammad. yang pada tahun 632
berusia sekitar sepuluh sampai lima belas tahun dan yang hidup sampai kira-
kira tahun 687. Yang selanjutnya adalah al-Thabarî (W.932M.) yang banyak
mengutip pendapat Ibn ‘Abbâs. Penjelasan lain yang oleh cendekiawan
modern dianggap makin berharga adalah munculnya al-Zamakhayarî dengan
karyanya “Al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzîl” dan generasi setelahnya.

372
. W. Mangoromery Watt and Richard Bell, Introduction to The Qur’an,
(Edinburgh: University Press, 1994), hlm. 167-168.

142
Kasus senada mengenai gaya bahasa (uslûb) al-Qur’an dalam bidang
hukum (fiqh) yang diekspresikan dengan menggunakan gaya bahasa sinekdoke
totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) juga sebagaimana
terdapat dalam surat al-Mâidat : 5 : 38.373 Ayat berikut ini berinteraksi dengan
hukum potong tangan bagi pencuri laki-laki maupun perempuan yaitu ‫ﻕ‬
‫ﺎ ﹺﺭ ﹸ‬‫ﺍﻝﺴ‬‫ﻭ‬
‫ﻴﻡ‬‫ﺤﻜ‬
 ‫ﻋﺯﹺﻴﺯ‬
 ‫ﻪ‬ ‫ﺍﻝﱠﻠ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ﻥ ﺍﻝﱠﻠ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﺎ ﹶﻨﻜﹶﺎﻝﹰﺎ‬‫ﺴﺒ‬
 ‫ﺎ ﹶﻜ‬‫ﺀ ﹺﺒﻤ‬ ‫ﺍ‬‫ﺠﺯ‬ ‫ﺎ ﹺﺭ ﹶﻗ ﹸﺔ ﻓﹶﺎﻗﹾ ﹶ‬‫ﺍﻝﺴ‬‫ ﻭ‬. Batasan
 ‫ﺎ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻭﺍ َﺃﻴ‬‫ﻁﻌ‬
mengenai kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫ َﺃﻴ‬dalam ayat ini masih bersifat generik, sebab kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫ َﺃﻴ‬itu
mempunyai beberapa makna yang menurut ‘Abd al-Wahhâb Khallâf meliputi;
pertama, dari ujung jari sampai bahu atau pundak. Kedua, dari ujung jari
sampai hasta tangan. Ketiga, dari ujung jari sampai pergelangan tangan.
Keempat, kata ‫ﻱ‬
 ‫ﺩ‬ ‫( َﺃﻴ‬tangan) juga dapat bermakna tangan kanan dan tangan
yang kiri374. Sementara menurut al-Râzî (W.604H./1210M.) mengatakan
bahwa, sebutan kata ‫ ﺍﻝﻴﺩ‬itu dipakai untuk menunjuk pada : pertama, jari-jari
tangan saja, kedua, jari-jari tangan sampai dengan telapak tangan, ketiga, jari-
jari, telapak tangan, hasta tangan, sampai siku tangan, keempat, jari-jari
sampai ke bahu.375 Zhâhir ayat tersebut, memang tidak terdapat satupun
petunjuk yang jelas terhadap penggunaan salah satu maknanya. Tetapi jika
ditinjau dalam perspektif ilmu Bayân, maka akan ditemukan bahwa kata ‫ﺍﻴﺩﻯ‬
hanya akan menunjuk pada makna majâzî (konotatif) saja dan bukan
menunjuk pada makna haqîqî (denotatif). Karena sejatinya ia memiliki relasi
(‘alâqat) dengan kosa kata yang lain yang disebut dengan relasi keseluruhan
(‘alâqat kulliyyat). Dan jika dirujuk pada beberapa Hadîts Nabi yang

373
. Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Mâidat : 5 : 38).
374
. ‘Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Qalam, 1978),
hlm. 180.
375
. Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Hasan ibn al-Husain al-Taimî
al-Râzî, Al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, Juz 11, (Beirut: Dâr al- Fikr, 1985), hlm.
230.

143
menjelaskan tentang perihal ini, tentunya akan diperoleh beberapa petunjuk
yang jelas terhadap penggunaan salah satu maknanya.376
Berkenaan dengan gaya bahasa tersebut di atas al-‘Khâzin (W. 725
H.) berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan kata ‫ ﺍﻝﻴﺩ‬di sini adalah ‫ﺍﻝﻴﻤﻴﻥ‬
(tangan kanan), bukan tangan kirinya. Hal ini didasarkan pada bacaan ‘Abd
Allâh ibn Mas‘ûd, yaitu: ‫ﺎ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﺎ ﹶﻨ‬ ‫ﻤ‬‫ﻭﺍ َﺃﻴ‬‫ﻁﻌ‬
‫( ﻓﹶﺎﻗﹾ ﹶ‬potonglah tangan kanannya).
Menurutnya, penggunaan ungkapan ‫ﺎ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺩ‬ ‫ َﺃﻴ‬dari pada kata ‫ ﻴﺩﻴﻬﻤﺎ‬dalam ayat
ini, karena ayat ini menghendaki tangan kanan pencuri laki-laki dan tangan
kanan pencuri perempuan, oleh karena itu ungkapan yang dipergunakan dalam
surat al-Mâidat : 5 : 38 ini adalah ungkapan ‫ﺎ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺩ‬ ‫ َﺃﻴ‬dalam bentuk jama’
bukan dalam bentuk ungkapan ‫ ﻴﺩﻴﻬﻤﺎ‬. Hal ini juga disebabkan, karena setiap
manusia hanya memiliki satu tangan kanan saja. Sementara itu dalam
gramatikal Arab dikatakan bahwa : setiap sesuatu (dari anggota tubuh
manusia) yang integral dalam diri manusia jika disandarkan pada dua sampai
ke atas, maka bentuknya harus dijamakkan. Menurut mayoritas ahli bahasa,
yang dimaksud dengan kosa kata ‫ ﺍﻝﻴﺩ‬adalah anggota tubuh dari ujung jari
sampai pada sendi pergelangan tangan. Oleh karena itu, batasan potongan
tangan bagi pencuri hanya dari ujung jari tangan sampai pada sendi
pergelangan tangan saja.377
Apa yang digulirkan oleh Al-Khâzin (W. 725 H.) jauh sebelumnya
telah dipaparkan oleh al-Farrâ’ (W.210H./825M.)378 dalam kitabnya Ma’ânî
al-Qur’ân, bahwa al-Qur’an menggunakan kata ‫ﻱ‬
 ‫ﺩ‬ ‫ َﺃﻴ‬dalam bentuk jama’

078 9:‫@>= ﺏ< ا?>= ﺏ< ﺏ‬A B‫= ا‬3C D‫ أﺏ‬E31‫ء أ‬0FG.‫ اﺏ< ا‬H7I‫ا‬2JKL‫ ا‬HMC <‫@>= ﺏ‬A <‫ ﺏ‬HMC <G@.‫ ا‬D‫( أﺏ‬01234‫)أ‬. 376
=‫ه‬0OA <C PQO1 H‫< اﺏ< أﺏ‬C =.04 <‫ ﺏ‬RMGA 078 ‫ى‬DAL‫= ا‬QSK <‫ ﺏ‬HQ@T <‫= ﺏ‬QSK 078 U10V3WL‫ ا‬0T2‫@>= ﺏ< زآ‬A <‫ ﺏ‬B‫= ا‬3C
- \:F7A ‫ وه]ا‬PQO1 H‫< اﺏ< أﺏ‬C 97QQC <‫ن ﺏ‬0QJK !‫^ روا‬.]‫( وآ‬0>V10>T‫ا ا‬DS:Y0Z 9Y‫ر‬0G.‫رق وا‬0G.‫د )وا‬DSGA <‫اءة اﺏ‬2Y UZ
‫رث‬0@.‫ ﺏ< ا‬2c‫ ﺏ‬D‫( أﺏ‬01234‫ )أ‬- (RV10>T‫\ ا‬:F` ‫ت‬0Y‫ر‬0G.‫ن وا‬DY‫ر‬0G.‫ )وا‬07`‫اء‬2Y UZ ‫ل‬0Y a1‫ ا‬L‫ ا‬USb7.‫ ا‬RQ‫اه‬2‫ اﺏ‬a.0Y ^.]‫وآ‬
‫ة‬2GA 078 \Q‫ وآ‬078 ‫ء‬0‫ رﺝ‬H‫@>= ﺏ< أﺏ‬A <‫ ا?>= ﺏ‬078 =C0W <‫ اﺏ‬078 ‫ن‬0Q? <‫@>= ﺏ‬A D‫ أﺏ‬E31‫ أ‬U10V3WL‫ا‬
Lihat al-Baihaqî, Al-Sunan al-Kubrâ, Juz 8, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 709.
377
. Al-Khâzin Abû al-Hasan Alî ibn Muhammad ibn Ibrâhîm ibn ‘Umar al-
Syaikhî, Lubbâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, Juz 1, (Beirut : Dâr al-Fikr), hlm. 455.
378
. Abî Zakariyyâ’ Yahyâ Ibn Ziyâd al-Farrâ’, Ma’ânî al-Qur’ân, Jilid I, (Kairo:
’Abd al-Fattâh Tsalabî, 1955), hlm. 306.

144
karena segala sesuatu yang menyatu pada diri manusia itu jika disandarkan
pada kata yang berbentuk tatsniyyat (dua) sampai hitungan di atasnya, maka
bentuk kata yang disandarkan tersebut harus dijama’kan. Seperti halnya kata
‫ﻱ‬
 ‫ﺩ‬ ‫ َﺃﻴ‬yang disandarkan pada dlomîr ‫ﺎ‬‫ﻫﻤ‬ yang kembali pada kata ‫ﻕ‬
‫ﺎ ﹺﺭ ﹸ‬‫ ﺍﻝﺴ‬dan
‫ﺎ ﹺﺭ ﹶﻗ ﹸﺔ‬‫ ﺍﻝﺴ‬. karena itulah kata ‫ ﺍﻝﻴﺩ‬bentuknya harus dijama’kan menjadi ‫ﻱ‬
 ‫ﺩ‬ ‫ َﺃﻴ‬.
Beliau menganalogikan ayat ini dengan surat al-Tahrîm : 4 ‫ﻪ ﹶﻓ ﹶﻘﺩ‬ ‫ﺎ ِﺇﻝﹶﻰ ﺍﻝﱠﻠ‬‫ ﹶﺘﺘﹸﻭﺒ‬‫ِﺇﻥ‬
‫ﺎ‬‫ﺒ ﹸﻜﻤ‬ ‫ﺼ ﹶﻐﺕﹾ ﹸﻗﻠﹸﻭ‬
 (Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya
hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan)). Kata ‫ ﻗﻠﺏ‬yang
berbentuk mufrad ketika disandarkan pada dlomir ‫ﺎ‬‫ ﹸﻜﻤ‬yang menunjukkan arti
dua ataupun yang di atasnya sebagaimana yang terdapat dalam contoh ayat di
atas, maka ia akan berubah performancenya menjadi bentuk jama’ yakni ‫ ﹸﻗﻠﹸﻭﺏ‬.
Lebih lanjut al-Farrâ’ (W.210H./825M.) mengungkapkan, bahwa
dipilihnya bentuk jama’ (makna banyak) dari pada bentuk tatsniyyat (makna
dua) sebagaimana yang terdapat dalam kata ‫ﻱ‬
 ‫ﺩ‬ ‫ َﺃﻴ‬pada surat al-Mâidat : 5 : 38
sangat beralasan. Karena mayoritas anggota tubuh manusia itu masing-
masing hampir terdiri dari dua pasang, seperti kedua tangan, kedua kaki,
kedua mata dan masih banyak anggota tubuh manusia lainnya yang saling
berpasangan. Kesemuanya itu jika disandarkan pada kata yang jatuh
setelahnya dan menunjukkan makna dua (tatsniyyat) sampai ke atas, maka
kata yang disandarkan tersebut bentuknya harus dijama’kan. Meskipun
demikian, terdapat juga pendapat yang memperbolehknnya dalam bentuk
tastniyyat (bentuk ganda).379
Fenomena di atas menunjukkan bahwa al-Farrâ’ (W.210H./825M.)
sesungguhnya telah mampu membuka cakrawala tentang gaya bahasa majâz
dan menghancurkan ambiguitas majâz yang belum bisa dipecahkan
sebelumnya. Dengan demikian, sesungguhnya beliau telah melancarkan jalan

379
. Abî Zakariyyâ’ Yahyâ Ibn Ziyâd al-Farrâ’, Ma’ânî al-Qur’ân, Jilid I, hlm. 307.

145
bagi generasi sesudahnya semisal al-Jâhidz (W.255H./868M.), ibn Qutaibat
(W.276H./889M.), dan al-Qâdli ‘Abd al-Jabbâr (W.417H./1026M.) yang
meneruskan proyek besar mereka dalam menginterpretasikan makna al-
Qur’an.380
Sementara Al-Zamakhsyarî (W.538H./1144M.)381 seorang teolog
Mu’tazilah yang ahli dalam bidang bahasa dan tafsir dalam kitabnya
menanggapi perihal kosa kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫ َﺃﻴ‬yang dipakai dalam surat al-Mâidat : 5 :
38, menurutnya ayat di atas tidak menunjuk pada makna haqîqî (denotatif),
tetapi ia lebih menunjuk pada makna majâzî (konotatif)nya yakni ‫ﺍﻝﺭﺴﻎ‬
(sendi pergelangan tangan). Karena kosa kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫ َﺃﻴ‬masih memiliki relasi
(‘alâqat) dengan kosa kata ‫ ﺍﻝﺭﺴﻎ‬. Sama halnya dengan argumentasi al-
Zamakhsyarî, al-Zarkasyî (W. 794 H.) juga memberikan penjelasan yang
sama mengenai surat al-Mâidat : 5 : 38 yang diekspresikan dengan
menggunakan gaya bahasa sinekdoke totum pro parte (majâz mursal
‘alâqatuhu al-kulliyyat). Beliau lebih mengambil prinsip relasi makna
(relational meaning). Menurutnya yang dimaksud dengan kosa kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫َﺃﻴ‬
adalah ‫( ﺍﻝﺭﺴﻎ‬sendi pergelangan tangan). Baginya kosa kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫ َﺃﻴ‬dianggap
masih memiliki relasi (‘alâqat) dengan kosa kata ‫ﺍﻝﺭﺴﻎ‬. Karena itulah al-
Zarkasyî tidak mengambil makna haqîqî dan memaknai kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫ َﺃﻴ‬dengan
makna majâzî.382 Dengan demikian, sesungguhnya ayat ini menghendaki
makna sebagian (juz’) saja dari keseluruhan (kull) yang dikemukakan dalam
ayat tersebut.

380
. Nashr Hâmid Abû Zaid, Al-Ittijâh al-‘Aqlî fî al-Tafsîr Dirâsat fî Qadliyyat al-
Majâz ‘inda al-Mu’tazilat, alih bahasa Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan, Menalar
Firman Tuhan : Wacana Majas dalam al-Qur’an menurut Mu’tazilah, hlm. 161.
381
. Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî , al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl, Juz 1, hlm. 612.
382
. Badr al-Dîn Muhammad ibn ‘Abd Allâh al-Zarkasyî, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-
Qur’ân, hlm. 479.

146
Menanggapi ayat ini, terdapat beberapa kelompok ulama’ yang
berbeda berpendapat dengan mayoritas madzhab, misalnya golongan Khawârij
yang mewajibkan memotong tangan dari ujung tangan sampai ke bahu, hal ini
didasarkan pada zhâhirnya ayat yang sama sekali tidak memberi batasan
tempat dipotongnya tangan pencuri, karena menurut golongan ini yang
dimaksud dengan tangan adalah dari ujung jari hingga bahunya. Di samping
itu, terdapat sebagian kelompok lain yang mengatakan bahwa yang dipotong
akibat perilaku mencuri adalah jari-jari saja, bukan tangan secara
keseluruhan.383 Sebagai ahli hukum, Imâm Syâfi’î juga mengatakan mengenai
ungkapan ‫ﺎ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺩ‬ ‫ َﺃﻴ‬menurutnya kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫ َﺃﻴ‬itu masih bersifat generik, tidak
menunjuk pada suatu hal tertentu, karena dalam khithâb ini tidak ada satu pun
kata yang menunjukkan spesifikasi atas sebagian (juz’) anggota tangan yang
dimaksud dalam ayat tersebut.384
Sementara dalam teks lain disebutkan pendapat kaum Khawârij
mengenai ayat tersebut, mereka memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud
dengan kosa kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫ َﺃﻴ‬bukanlah ‫( ﺍﻝﺭﺴﻎ‬sendi pergelangan tangan), tetapi kosa
kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫ َﺃﻴ‬dalam ayat itu menurutnya lebih mengacu pada kosa kata ‫ﺏ‬
‫ﻜ ﹺ‬ ‫ﻤﻨﹾ‬ ‫ﺍﻝ‬
(bahu atau pundak). Bagi mereka lanjutnya, hukuman potong tangan yang
diberlakukan bagi seorang pencuri itu sampai dengan batas bahu atau pundak.
Sedangkan kadar batasan seorang pencuri menerima hukum potong tangan
akibat ulahnya, menurut Imâm Abû Hanîfat apabila seorang pencuri telah
mencapai kadar sepuluh dirham dan seterusnya. Jika kurang dari batas
tersebut, baginya tidak berhak untuk mendapatkan hukuman potong tangan.
Pendapat ini bertentangan dengan apa yang digulirkan oleh Imâm Syâfi’î,
menurutnya potongan tangan yang dijatuhkan pada pencuri itu jika telah

383
. Ibn Rusyd al-Hafîd, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, Juz. 2,
tahqîq: Khâlid al-‘Aththâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), hlm. 371.
384
. Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Husain ibn al-Husain al-Taimî
al-Râzî, Al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghaib, Juz 11, hlm. 234-235.

147
mencapai kadar seperempat dinar.385 Jika kurang dari batasan itu, baginya
tidak berhak untuk mendapatkan hukuman potong tangan.
Adapun berkenaan dengan batas-batas kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫ َﺃﻴ‬dalam perihal
hukum potong tangan bagi pencuri menurut kebanyakan madzhab, yakni
madzhab Mâlikî, Syâfi‘î, Hanafî, dan Hanbalî mereka sepakat bahwa makna
kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫( َﺃﻴ‬tangan) dalam konteks ayat ini hanya merujuk pada makna ‫ﺍﻝﻜﻑ‬
(dari ujung jari sampai pergelangan tangan). Hal ini didasarkan pada beberapa
riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk
memotong tangan pencuri sampai pergelangan tangannya, lalu beliau bersabda
kepada para sahabatnya: ‫ﻩ‬ ‫ﻭ‬‫ﺴﻤ‬
 ‫( ﻓﺎﻗﻁﻌﻭﻩ ﺜﻡ َﺃﺤ‬potonglah, kemudian tutuplah
aliran darahnya). Disamping itu, mayoritas madzhab ini juga sepakat bahwa
yang dipotong pertama kali bagi pencuri adalah tangan kanannya. Hal ini
didasarkan pada bacaan ‘Abd Allâh ibn Mas‘ûd pada ayat ini, yaitu: ‫ﻭﺍ‬‫ﻁﻌ‬
‫ﻓﹶﺎﻗﹾ ﹶ‬
‫ﺎ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﺎ ﹶﻨ‬‫ﻤ‬‫( َﺃﻴ‬potonglah tangan kanannya).386 Argumentasi ini juga didukung oleh
pendapat al-Samarqandî yang mengatakan bahwa yang dimaksud ungkapan
‫ ﺃﻴﺩﻴﻬﻤﺎ‬adalah tangan kanan dari ujung jari tangan sampai ke tulang pangkal
jari-jari (‫)ﺍﻝﻜﺭﺴﻭﻉ‬.387
Namun demikian, mayoritas madzhab ini berbeda pendapat dalam
menghadapi problem bagi pencuri yang telah dipotong tangan kanannya.
Menurut madzhab al-Zhâhirî dan sebagian pengikutnya berpendapat bahwa
yang harus dipotong setelah tangan kanan adalah tangan kirinya, hal ini
didasarkan pada ayat di atas yang hanya menyebutkan tangan saja dan tidak
menyebutkan kaki. Sedangkan menurut keempat madzhab besar itu sepakat

385
. Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî , al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl, Juz 1, hlm. 612. Lihat juga
Syihâb al-Dîn Mahmûd al-Sayyid al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân wa al-Sab’ al-
Matsânî, Juz 6, hlm. 133.
386
. ‘Abd al-Rahmân al-Juzairî, Kitâb al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba‘at, Juz 5,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1996), hlm. 138.
387
. Al-Samarqandî, Bahr al-‘Ulûm, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat),
hlm. 473.

148
bahwa yang dipotong setelah tangan kanan adalah kaki sebelah kiri. Meskipun
demikian, keempat madzhab ini berbeda pendapat tentang pencuri yang telah
mencuri ketiga kalinya. Madzhab Hanafî berpandangan bahwa, andaikan
seseorang itu telah mencuri ketiga kalinya, setelah dia dipotong tangan
kanannya dan kaki kirinya, maka baginya hukuman potong itu harus
dihentikan dan pencuri itu tidak wajib lagi menjalani hukuman yang ketiga
kalinya. Berbeda dengan madzhab Mâlikî dan Syâfi‘î mereka berargumentasi,
bahwa jika seseorang telah mencuri ketiga kalinya, setelah dia dipotong
tangan kanannya dan kaki kirinya, maka pencuri itu dipotong tangan
kanannya, kemudian jika dia mencuri keempat kalinya, maka dia dipotong
kaki kirinya, dan jika masih mencuri kelima kalinya, maka pencuri itu ditahan
dan dipenjarakan.388
Ekspresi ayat di atas yang menggunakan kosa kata ‫ ﺍﻝﻴﺩ‬menurut Abû
Hayyân, untuk memperlihatkan adanya kesempurnaan anggota badan manusia
yang dilengkapi dengan ujung jari tangan, sendi pergelangan tangan,
pergelangan siku, dan bahu atau pundak tangan. Dengan demikian tidak ada
yang kurang dari komponen tangan manusia.389 Sebab manusia yang normal
pada umumnya hidup dengan berbekal kedua tangan dan berbagai komponen
lainnya. Karena itulah al-Qur’an dalam menguntai kalimatnya ia
menggunakan gaya bahasanya (uslûb) yang sangat mengagumkan. Ekspresi
tentang tangan selalu diungkapkan dengan menggunakan gaya bahasa
sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) yang
menunjukkan keseluruhan (kull) meskipun penggunaan kosa kata ‫ﺍﻝﻴﺩ‬
(tangan) dalam al-Qur’an seringkali menghendaki makna sebagian (juz’) saja

388
. Ibn Rusyd al-Hafîd, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, Juz. 2,
hlm. 371-372.
389
. Syihâb al-Dîn Mahmûd al-Sayyid al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân
wa al-Sab’ al-Matsânî, Juz 6, (Beirut : Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiyy, TT.), hlm. 133. Lihat juga
Nâshr al-Dîn Abû al-Khair ‘Abd Allah ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Baidlâwî, Nawwâr al-
Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, Juz 2, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 75.

149
dari keseluruhan yang ada. Dengan mencermati beberapa pendapat mayoritas
ulama, maka kosa kata ‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫ َﺃﻴ‬sesungguhnya tidak bisa diartikan secara haqîqî
(denotatif), kosa kata tersebut harus diartikan secara majâzî (konotatif).
Pemaknaan semacam ini diperlakukan karena ia memiliki relasi (’alâqat)
dengan kosa kata yang lain. Dalam hal ini relasinya adalah relasi antara
keseluruhan (kull) dengan cabang (juz’) nya. Di samping itu terdapat indikator
kontekstual (hâliyyat) yang menolak makna tersebut ke arah makna haqîqînya.
Berkaitan dengan bidang hukum (syarî’at), masih terdapat juga ayat
al-Qur’an yang menggunakan ekspresi bahasanya dengan gaya bahasa
sinekdoke totum por parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) sebagaiman
terdapat surat al-Baqarat : 2 : 185 yang berbunyi ‫ﻪ‬‫ﺼﻤ‬
 ‫ﻴ‬ ‫ﺭ ﹶﻓﻠﹾ‬ ‫ﺸﻬ‬
‫ﻡ ﺍﻝ ﱠ‬ ‫ﻤﻨﹾ ﹸﻜ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﺸ ﹺﻬ‬
‫ ﹶ‬‫ﻤﻥ‬ ‫ ﹶﻓ‬.
Dalam tinjauan ilmu Balâghat menurut Ahmad Mathlûb –ahli retorika Arab
kontemporer- ayat ini dikategorikan ke dalam gaya bahasa sinekdoke totum
pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) yang menghendaki makna
sebagian (parsial) saja dari yang diungkapkan secara global. Karena term
‫ﺭ‬‫( ﺍﻝﺸﱠـﻬ‬bulan) dalam konteks ayat ini dipakai untuk menunjukkan nama 30
malam. Sementara yang dikehendaki dari kata ‫ﺭ‬
 ‫ ﺍﻝﺸﱠـﻬ‬dalam konteks ayat ini
adalah sebagian saja.390
Argumentasi yang serupa juga dilontarkan oleh cendekiawan muslim
Al-Syuyûthî (W. 1505 M.), beliau berpendapat bahwa penggunaan kata ‫ﺭ‬
 ‫ﺸﻬ‬
‫ﺍﻝ ﱠ‬
(bulan) dalam ayat tersebut itu menunjuk pada makna parsial (juz’) saja dan
tidak bisa diartikan secara haqîqî (denotatif) dengan alasan bahwa, kosa kata
‫ﺭ‬ ‫ﺸﻬ‬
‫( ﺍﻝ ﱠ‬bulan) dalam konteks ayat ini hanya dipakai untuk menyatakan sebuah
nama yang menunjuk pada makna tiga puluh malam. Jika hal ini dipahami
secara haqîqî (denotatif) maka akan menimbulkan pengertian yang salah
terhadap awal wajibnya berpuasa, karena itulah beliau mengambil makna kosa

390
. Ahmad Ahmad Badâwî, Min Balâghat al-Qur’ân, (Kairo: Dâr Nahdlat Mishr,
1950), hlm. 224.

150
kata ini dengan makna majâzînya . Menanggapi perihal ini, al-Râzî
(W.604H./1210M.) menyatakan tentang problem mengenai gaya bahasa yang
masih bersifat global (kullî) padahal yang dikehendaki gaya bahasa tersebut
adalah hanya sebagian (juz’) saja dari yang diekspresikan. Jika ayat ini
dipahami secara haqîqî (denotatif), maka yang akan muncul adalah bahwa
hukum wajibnya berpuasa itu setelah lewat satu bulan penuh. Padahal
sinyalemen yang dimaksud dalam ayat itu tidak demikian. Karena itulah Alî
ibn ‘Abbâs dan Ibn ‘Umar menginterpretasikan ayat tersebut dengan makna
majâzî (konotatif) nya lantaran ungkapan yang diekspresikan dalam ayat
tersebut menggunakan gaya bahasa sinekdoke totum por parte (majâz mursal
‘alâqatuhu al-kulliyyat). Interpretasinya adalah “Siapa saja yang menyaksikan
awalnya bulan, maka berpuasalah satu bulan penuh walaupun ia dalam kondisi
bepergian di tengah-tengah bulan.391
Sementara itu al-Zarkasyî (W. 794 H.) juga mengemukakan
pendapatnya terkait dengan surat al-Baqarat : 2 : 185, beliau juga lebih
cenderung untuk menyatakan bahwa apa yang terdapat dalam ayat tersebut
adalah sangat terkait erat dengan penggunaan gaya bahasa sinekdoke totum
por parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat). Kerana itu beliau
mengambil makna kata ‫ﺭ‬
 ‫( ﺍﻝﺸﱠـﻬ‬bulan) sebagai makna yang harus dipahami
secara majâzî (konotatif) bukan secara haqîqî. Bahwa wajibnya orang
berpuasa Ramadlan itu dari awal bulan sampai keseluruhan bulan itu. Kata
‫ﺭ‬‫ﺸﻬ‬
‫ ﺍﻝ ﱠ‬mengacu kepada nama yang dipakai untuk menyatakan nama tiga puluh
hari. Karena itu peletakan kata ‫ﺭ‬
 ‫ ﺍﻝﺸﱠـﻬ‬dalam konteks ayat itu menghendaki
makna sebagian (juz’) yakni dari awal bulan. Statemen ini dipertegas dengan
adanya sebuah riwayat yang dikemukakan oleh sahabat ‘Ali.392

391
. Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz I,
hlm. 270.
‫ﻋﻥ ﻋﻠﻲ ﺭﻀﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺍﻥ ﺍﻝﻤﻌﻨﻲ ﻤﻥ ﺸﻬﺩ ﺍﻭل ﺍﻝﺸﻬﺭ ﻓﻠﻴﺼﻡ ﺠﻤﻴﻌﻪ ﻭﺍﻥ ﺍﻝﺸﺨﺹ‬. 392
. ‫ﻤﺘﻰ ﻜﺎﻥ ﻤﻘﻴﻤﺎ ﺍﻭﻓﻲ ﺍﻝﺒﺭ ﺜﻡ ﺴﺎﻓﺭ ﻴﺠﺏ ﻋﻠﻴﻪ ﺼﻭﻡ ﺍﻝﺠﻤﻴﻊ‬

151
Oleh karena itu, menurut Abdul Chaer memahami makna leksikal
dan makna gramatikal saja belum cukup untuk dapat memahami makna
sebuah ujaran, sebab untuk dapat memahami makna suatu ujaran harus pula
diketahui konteks dari terjadinya ujaran atau tempat terjadinya suatu ujaran
itu. Konteks ujaran ini dapat berupa konteks intra kalimat, antarkalimat,
bidang ujaran, atau juga situasi ujaran. Konteks ujaran, barang kali sudah
menjadi asumsi umum bahwa makna sebuah kata tergantung pada
kedudukannya di dalam kalimat, baik menurut letak posisinya di dalam
kalimat maupun menurut kata-kata lain yang berada di depan maupun di
belakangnya. Konteks antarkalimat, banyak ujaran dalam bentuk kalimat yang
baru bisa dipahami maknanya berdasarkan hubungannya dengan makna-
makna kalimat sebelum atau kalimat-kalimat sesudahnya. Sementara konteks
situasi berinteraksi erat dengan kapan, di mana, dan dalam suasana apa ujaran
itu diucapkan.393 Tampaknya model pemaknaan kosa kata semacam ini sejalan
dengan pemaknaan kata yang bersifat majâzî (konotatif) yang memang dalam
pemaknaan sebuah kosa kata itu harus mempertimbangkan konteks di mana
kata itu berada.

2. Ilustrasi Orang-Orang Kafir dan Munafik


Makna dalam karya sastra pada umumnya memang bukan menunjuk
pada makna yang pertama seperti yang dikonvensikan bahasa, melainkan lebih
bersifat second order semiotic system. Ia lebih menyaran pada system makna
tingkat kedua. Artinya ia tidak persis sama dengan makna konvensional.

Dari ‘Alî R.A, sesungguhnya makna (riwayat ini) adalah siapa saja yang melihat
awal bulan, maka berpuasalah satu bulan penuh, walaupun seseorang itu dalam kondisi
mukim, atau di darat, kemudia bepergian, maka wajib baginya untuk berpuasa penuh. Lihat
Badr al-Dîn Muhammad ibn ‘Abd Allâh al-Zarkasyî, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm.
479.
393
. Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoretik, (Jakarta: Reneka Cipta, 2003),
hlm. 285-287.

152
Melainkan lebih menyaran pada makna intensional, yakni sebuah makna yang
ditambahkan pada makna aslinya. Namun demikian, makna tersebut tetap
harus mendasarkan diri pada sistem makna yang primer dan yang
konvensional. Artinya ia hanya dapat dipahami dalam hubungannya atau
dalam pertentangannya dengan system konvensi bahasa itu.394 Termasuk juga
makna dalam al-Qur’an yang tidak semua ayatnya mengandung makna haqîqî
(denotatif), tetapi ada juga yang mengandung makna majâzî (konotatif)
meskipun eksistensinya dalam al-Qur’an itu menjadi problem yang
kontroversial di kalangan para ulama. Sebagian besar mereka mengakui
eksistensi makna majâzî (konotatif) dalam al-Qur’an, karena dengan makna
majâzî (konotatif) akan menambah keindahan gaya bahasanya. Sementara
sebagian yang lain dalam jumlah yang sangat minoritas mereka
mengingkarinya, karena menurut mereka makna majâzî (konotatif) hanyalah
merupakan kebohongan belaka.
Di bawah ini, akan penulis paparkan mengenai kondisi orang-orang
kafir maupun munafik yang diungkapkan dengan menggunakan gaya bahasa
sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) yang
memang dalam surat al-Baqarat yang tergolong dalam ayat-ayat Madaniyyat
menurut Mahmûd Syalthûth itu ekspresi bahasanya dimulai dengan
menyebutkan sifat orang-orang yang memanfaatkan al-Qur’an, kemudian
menyajikan mengenai sifat orang-orang yang menyatakan keingkarannya dan
orang-orang munafik yang ragu antara menjadi kaum mukmin atau menjadi
kaum kafir dengan keimanan mereka yang ada dalam zhâhirnya dan
kekufuran mereka yang ada dalam batinnya.395

394
. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 275.
395
. Mahmûd Syalthûth, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, alih bahasa Herry Noer Ali,
Tafsir al-Qur’an Karim Pendekatan Syalthuth dalam Menggali Esensi Al-Qur’an, (Bandung:
Diponegoro, 1990), hlm. 632-633.

153
Al-Qur’an banyak menggambarkan mengenai kondisi orang-orang
kafir maupun munafik dengan menggunakan gaya bahasa sinekdoke totum pro
parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) yang memiliki makna majâzî
(konotatif), semisal surat al-Baqarat : 5 : 19 396 yang berbunyi : ‫ﻥ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﺏ‬
‫ﻴ ﹴ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ ﹶﻜ‬‫َﺃﻭ‬
‫ﺭ‬ ‫ـ ﹶﺫ‬‫ﻕ ﺤ‬
‫ﻋ‬ ‫ﺍ‬‫ـﻭ‬‫ﻥ ﺍﻝﺼ‬
 ‫ـ‬‫ ﻤ‬‫ﻨ ﹺﻬﻡ‬ ‫ﻲ َﺁﺫﹶﺍ‬‫ ﻓ‬‫ﻬﻡ‬ ‫ﺎ ﹺﺒﻌ‬‫ﻥ َﺃﺼ‬
 ‫ﻌﻠﹸﻭ‬ ‫ﻴﺠ‬ ‫ﻕﹲ‬‫ﺒﺭ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺩ‬‫ﺭﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺎﺕﹲ‬‫ﻅﹸﻠﻤ‬
‫ﻪ ﹸ‬ ‫ﻴ‬‫ﺀ ﻓ‬ ‫ﺎ‬‫ﺴﻤ‬
 ‫ﺍﻝ‬
‫ﻥ‬
 ‫ﻓﺭﹺﻴ‬ ‫ﻴﻁﹲ ﺒﹺﺎﻝﹾﻜﹶـﺎ‬‫ﻤﺤ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺍﻝﱠﻠ‬‫ﺕ ﻭ‬
 ‫ﻤﻭ‬ ‫ﺍﻝﹾ‬. Dalam pandangan M. Quraish Shihab berkenaan
dengan ayat di atas mengenai ditutupnya telinga orang-orang kafir dengan
jari-jemarinya dalam surat al-Baqarat: 2: 19 ini, karena mereka mendengar
suara petir yang sahut menyahut akibat bertemunya awan bermuatan listrik
positif dan negatif. Mereka melakukan hal itu karena ada rasa takut akan
dijemput kematian. Sesungguhnya yang dilakukan oleh mereka adalah
menyumbat telinga hanya dengan ujung anak jari, tetapi agaknya ayat ini
menggunakan kata jari-jari secara keseluruhan (kull) untuk melukiskan betapa
enggannya mereka mendengar dan betapa keras upaya mereka untuk menutup
pendengaran masing-masing, sampai mereka menggunakan seluruh jari-jari
(‫ﻊ‬
 ‫ـﺎ ﹺﺒ‬‫ )َﺃﺼ‬mereka bukan hanya satu jari atau bahkan ujung jari, dan itupun
dengan memasukkan semua jari-jari ke dalam telinga, sehingga mereka
mengaharap tidak ada celah sedikitpun untuk masuknya suara.397 Menaggapi
ayat tersebut, Ibn ’Arafat juga berargumen bahwa tidak dipergunakannya
‫ ﺃﻨﺎﻤـل ﺃﺼـﺎﺒﻌﻬﻡ‬-yang menunjuk pada arti ujung jarinya saja- dalam surat al-
Baqarat : 2 : 19, merupakan isyarat atas ketakutan yang luar biasa yang
dialami oleh orang-orang kafir ketika mendengar suara petir. Sehingga al-
Qur’an mengekspresikan bahasa dalam surat tersebut dengan menggunakan
gaya bahasa sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ’alâqatuhu al-

396
. Artinya : Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit
disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya,
karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang
kafir (Q.S. al-Baqarat: 2: 19).
397
. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur'an, Volume I, hlm. 115-116.

154
kulliyyat), dengan harapan tidak ada satu pun suara yang bisa masuk ke dalam
telinganya.398
Sinyalemen keberadaan kisah orang-orang munafik ini tergambar
pula dalam kitabnya al-Thabarî (W. 310 H.) di mana Allah menjadikan dua
orang munafik yang ketika itu malarikan diri dari hadapan Rasulullah menuju
orang-orang musyrik sebagai perumpamaan bagi orang-orang munafik yang
berada di Madinah, di mana orang-orang munafik jika mendatangi majlis
Rasulullah SAW mereka menutupkan jari-jarinya ke dalam telinga mereka,
karena takut mendengar Rasulullah menitahkan sesuatu atas mereka atau cela
mereka dibeberkan lalu mereka dibunuh, seperti halnya dua orang munafik
yang keluar tadi, mereka menutupkan jari-jarinya ke telinga mereka.399 Tetapi
riwayat ini diragukan oleh al-Thabarî (W. 310 H.) karena sanadnya. Karena
sejak pertama Allah telah menginformasikan bahwa mereka telah menipu
Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman dengan mengaku
beriman kepada Allah, Rasul dan hari kiamat padahal kenyatannya tidak.
Peletakan jari ini dijadikan sebagai perumapamaan bagi ketakutan mereka
terhadap Rasul dan orang-orang yang beriman.400 Cerita ini menggambarkan
adanya ketakutan yang luar biasa yang dialami oleh orang-orang munafik,
sehingga al-Qur’an menggunakan bahasa yang hiperbolis untuk memaparkan
cerita ini dengan menggunakan ekspresi gaya bahasa sinekdoke totum pro
parte (majâz mursal ’alâqatuhu al-kulliyyat). Sebuah penggambaran bahasa
untuk menyatakan secara global tapi yang dimaksud parsial.
Dalam kasus ayat ini, yang menjadi persoalan adalah kosa kata ‫ﻊ‬
 ‫ﺎ ﹺﺒ‬‫َﺃﺼ‬
yang masih bersifat majâzî (konotatif). Dalam bahasa Arab kata ‫ﻊ‬
 ‫ــﺎ ﹺﺒ‬‫َﺃﺼ‬

398
. Ibn ‘Arafat, Tafsîr ibn ‘Arafat, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm.
33.
399
. Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghâlib al-Âmilî Abû Ja’far al-
Thabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Juz 1, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), hlm. 154.
400
. Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghâlib al-Âmilî Abû Ja’far al-
Thabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Juz 1, hlm. 156-157.

155
merupakan bentuk jama’ dari bentuk mufrad kata ‫ﺒﻊ‬ ‫ـ‬‫ﺍﺼ‬ِ yang berarti “jari-
jari”. Dilihat dari teks ayat di atas, tampak dalam pemikiran kita bahwa yang
dimasukkan dalam telinga orang-orang kafir adalah jari-jari tangan mereka
secara keseluruhan. Jika demikian halnya, maka dapat dikatakan bahwa
sangatlah mustahil jika mereka dapat memasukkan jari-jari tangan mereka ke
dalam telinga mereka, sementara lubang telinga yang mereka miliki tidak
mungkin cukup untuk dimasuki jari-jari mereka. Karena itulah menurut
Syihâb al-Dîn401 kosa kata ‫ﻊ‬
 ‫ﺎ ﹺﺒ‬‫ َﺃﺼ‬itu lebih cocok untuk diartikan secara majâzî
(konotatif) dan tidak cocok untuk diartikan secara haqîqî (denotatif) yakni
dengan mengambil arti ‫ﻊ‬
 ‫ﺎ ﹺﺒ‬‫( َﺃﺼ‬jari-jari) menjadi ‫( ﺍﻨﺎﻤل‬ujung jari). Interpretasi
semacam ini menurutnya lebih banyak dikemukakan oleh mayoritas ulama
dari pada membiarkan kata tersebut bermakna haqîqî (denotatif).
Setelah mencermati ayat di atas dengan seksama, Shubhî al-Shâlih
berpendapat ayat di atas mengandung gaya bahasa (uslûb) sinekdoke totum
pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) dengan menggunakan relasi
(‘alâqat) keseluruhan (kulliyyat). Apa yang telah dipaparkan dalam ayat di
atas adalah penggunaan kata jari-jari tangan (‫ﻊ‬
 ‫ـﺎ ﹺﺒ‬‫ )َﺃﺼ‬sebagai keseluruhan
(kull) sebagai penyumbat telinga, tetapi pada hakekatnya yang dimaksud
dengan kata ‫ﻊ‬
 ‫ـﺎ ﹺﺒ‬‫ َﺃﺼ‬di sini adalah ujung jari tangan (‫)ﺍﻨﺎﻤـل‬.402 Statement ini
sesuai dengan apa yang digulirkan oleh Shadîq Hasan Khân yang cenderung
memaknai ayat ini dengan prinsip relasi makna (relational meaning). Beliau
berkesimpulan bahwa kosa kata ‫ﻊ‬
 ‫ـﺎ ﹺﺒ‬‫ َﺃﺼ‬dalam konteks ayat ini merupakan
kosa kata yang dipakai untuk menunjukkan makna sebagian (juz’) saja dan
bukan menunjukkan makna keseluruhan (kull). Ekspresi ini merupakan
kategori ungkapan majâzî (konotatif) yang memiliki relasi (‘alâqat)

401
. Syihâb al-Dîn Mahmûd al-Sayyid al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân
wa al-Sab’ al-Matsânî, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 191.
402
. Shubhî al-Shâlih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-‘Ilm, 1977),
hlm. 329.

156
keseluruhan (kulliyyat) karena yang diungkapkan adalah jari-jari tangan
mereka, padahal yang dimaksud dengan jari-jari adalah hanya ujung jari saja
yang dimasukkan dalam telinga.403
Sejalan dengan argumentasi para ahli di atas, al-Sayyid al-Jamîlî juga
memberikan kontribusi pemikiran bahwa makna asli (haqîqî) dari kata ‫ﻊ‬
 ‫ﺎ ﹺﺒ‬‫َﺃﺼ‬
adalah jari-jari tangan. Namun yang dimaksud dalam konteks ayat tersebut
adalah ujung jemari (‫)ﺍﻨﺎﻤل‬. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan suatu
ketakutan yang luar biasa (extra ordinary) yang dialami oleh orang-orang
kafir hingga mereka seakan-akan menjadikan seluruh jari-jemarinya sebagai
penyumbat telinga ketika mereka mendengar petir dari langit.404
Sementara menurut al-Zamakhsyarî (W.538H./1144H.) -teolog yang
ahli dalam bidang tafsir dan bahasa- ketika menanggapi surat al-Baqarat : 2 :
19 yang menggunakan ekspresi gaya bahasa sinekdoke totum pro parte (majâz
mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) beliau menganalogikan ayat ini dengan apa
yang terdapat dalam surat al-Mâidat : 5 : 6 ‫ﻴ ﹸﻜﻡ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻭَﺃﻴ‬
 ‫ﻫ ﹸﻜﻡ‬ ‫ﻭ‬‫ﻭﺠ‬ ‫ﺴﻠﹸﻭﺍ‬
 ‫( ﻓﹶﺎﻏﹾ‬basuhlah
wajahmu dan kedua tanganmu) dan surat al-Mâidat : 5 : 38 ‫ﺎ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻭﺍ َﺃﻴ‬‫ﻁﻌ‬
‫ﻓﹶﺎﻗﹾ ﹶ‬
(potonglah kedua tangannya) di mana kedua konstruksi kalimat ini
menggunakan gaya bahasa sinekdoke totum pro parte (majâz mursal
‘alâqatuhu al-kulliyyat) yang hanya menghendaki sebagian (juz’) saja dari apa
yang diungkapkan secara keseluruhan (kull). Beliau mengemukakan,
penyebutan kata ‫ﻊ‬
 ‫ﺎ ﹺﺒ‬‫( َﺃﺼ‬jari-jari) dalam ayat ini dipakai untuk menunjukkan
signifikansi kesan (mubâlaghat). Karena itulah al-Qur’an tidak menggunakan
kata ‫( ﺍﻷﻨﺎﻤل‬ujung jari) dalam mengekspresikan kalimatnya, meskipun yang
dikehendaki dari ayat adalah sebagian (juz’) saja. Lebih lanjut al-Zamakhsyarî

403
. Shadîq Hasan Khân, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, (Beirut : Dâr al-
Fikr al-‘Arabî, TT.), hlm. 83.
404
. Al-Sayyid al-Jamîlî, Al-Balâghat al-Qur’âniyyat al-Mukhtârat min al-Ithqân
wa Mu’taraq al-Iqrân li al-Imâm al-Suyûthî, (Kairo: Dâr al-Ma’rifat, 1993), hlm. 43. Lihat
juga Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz II, hlm. 111.

157
menegaskan, bahwa penggunaan gaya bahasa sinekdoke totum pro parte
(majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) dengan cara menyebutkan kata yang
bersifat generik tidak menggunakan kata yang bersifat khusus dalam ayat ini
benar-benar mengandung nilai keindahan sastra al-Qur’an yang bernilai sangat
tinggi.405 Dalam istilah linguistik kosa kata ‫ﻊ‬
 ‫ﺎ ﹺﺒ‬‫ َﺃﺼ‬mengalami perubahan
makna dari makna yang sesungguhnya (denotatif) menjadi makna majâzî
(konotatif).
Praktek pemaknaan seperti ini juga dilakukan oleh Al-Râzî
(W.604H./1210M.) yang dalam kitabnya menyatakan bahwa ekspresi kata
‫ﻊ‬ ‫ﺎ ﹺﺒ‬‫ َﺃﺼ‬dalam surat al-Baqarat : 2 : 19 yang diungkapkan dengan gaya bahasa
sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) hanya
menghendaki makna sebagian (juz’) saja meskipun ayat yang diucapkan
adalah keseluruhan. Berbeda dengan al-Zamakhsyarî, dalam hal ini al-Râzî
(W.604H./1210M.) hanya menganalogikan surat al-Baqarat : 2 : 19 dengan
satu surat saja yakni surat al-Mâidat : 5 : 38 yakni ‫ﺎ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻭﺍ َﺃﻴ‬‫ﻁﻌ‬
‫( ﻓﹶﺎﻗﹾ ﹶ‬potonglah
kedua tangannya) yang dalam konteks ayat ini juga menghendaki makna
sebagian (juz’) saja, bukan makna keseluruhan (kull).406
Terhadap persoalan makna yang terdapat dalam surat al-Baqarat : 2 :
19, memang hampir mayoritas ulama sepakat mengenai makna majâzî
(konotatif) terhadap ayat tersebut. Mereka tidak memberikan makna haqîqî
(denotatif) karena adanya indikator (qarînat) kontekstual (hâliyyat) yang
menghalanginya pada makna yang sesungguhnya. Sungguh aneh jika ada
sebagian ulama yang mengingkari adanya makna majâzî dalam al-Qur’an
seperti golongan al-Dzâhiriyy, Ibn al-Qash dari kelompok al-Syafî’iyyat, Ibn
Khuwaiz dari kelompok Maliki. Mereka sangat meragukan adanya majâz

405
. Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî , al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl, Juz 1, hlm. 217.
406
. Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Hasan ibn al-Husain al-Taimî
al-Râzî, Al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghaib, Juz 2, hlm. 87-88.

158
dalam al-Qur’an. Sebab majâz dalam pandangan mereka sama saja dengan
kebohongan belaka.407 Tetapi bagi para ulama yang meresapi gaya bahasa
(figure of speech) justru hal itu akan menimbulkan keindahan al-Qur’an.
Berpijak pada eksplanasi yang dipaparkan oleh para ulama di atas,
maka penulis berkesimpulan bahwa kosa kata ‫ﻊ‬
 ‫ﺎ ﹺﺒ‬‫ َﺃﺼ‬dalam surat al-Baqarat :
2 : 19 pada hakekatnya memiliki makna majâzî (konotatif) dan tidak bisa
diartikan secara haqîqî (denotatif). Sebab, kiranya mustahil bagi orang-orang
munafik Mekkah andaikata menyumbat telinganya dengan menggunakan
semua jari yang mereka miliki karena takut akan masuknya bunyi guntur yang
mematikan. Karena itulah interpretasi kosa kata ‫ﻊ‬
 ‫ﺎ ﹺﺒ‬‫ َﺃﺼ‬yang masih bersifat
majâzî (konotatif) dan menyeluruh dalam ayat tersebut menunjukkan sebagian
saja dari ujung jari tangan yang mereka miliki. Pemahaman semacam ini,
berdasarkan konsep teori di atas disebut sebagai sinekdoke totum pro parte
(majaz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat), salah satu alasannya adalah karena
kosa kata tersebut memiliki relasi (‘alâqat) keseluruhan (kull) untuk
menyampaikan ungkapan dalam bentuk keseluruhan (kull), namun yang
dimaksudkan adalah sebagian (juz’) saja.
Apa yang dipaparkan dalam surat al-Baqarat : 2 : 19 dan
diinterpretasikan maknanya oleh para mufassir dan ahli retorika Arab yang
diungkapkan dengan menggunakan gaya bahasa sinekdoke totum pro parte
(majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) yang zhâhirnya mengungkapkan
keseluruhan (kull) tetapi yang dimaksud hanyalah sebagian (juz’) dari apa
yang diungkapkan, pada hakekatnya sejalan dengan apa yang termaktub dalam
surat Nûh : 71 : 7408 yang berbunyi ‫ﻬﻡ‬ ‫ﻌ‬ ‫ـﺎ ﹺﺒ‬‫ﻌﻠﹸﻭﺍ َﺃﺼ‬ ‫ﺠ‬
 ‫ﻬﻡ‬ ‫ﺭ ﹶﻝ‬ ‫ﻔ‬ ‫ ِﻝ ﹶﺘﻐﹾ‬‫ﻬﻡ‬ ‫ ﹸﺘ‬‫ﻋﻭ‬
 ‫ﺩ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭِﺇﻨﱢﻲ ﹸﻜﱠﻠﻤ‬

407
. Mushthafâ Shâdiq al-Râfi’î, Târîkh Âdâb al-’Arab, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
’Ilmiyyat, TT), hlm. 146.
408
. Artinya : Dan Sesungguhnya Setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman)
agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam
telinganya (Q.S. Nûh : 71 : 7)

159
‫ﻨﻬﹺـﻡ‬ ‫ـﻲ َﺁﺫﹶﺍ‬‫ﻓ‬. Menurut Muhammad ‘Alî Sulthânî ayat ini merupakan gambaran
bagi kaum nabi Nuh yang menerima ajakannya tetapi mereka menolaknya
dengan cara melakukan tindakan memasukkan jari-jari tangannya ke dalam
telinganya. Tindakan kaum nabi Nuh ini merupakan suatu hal yang tidak
mungkin terjadi. Karena bagaimana mungkin lubang telinga yang kecil itu
bisa dimasuki dengan seluruh jari yang ada. Sehingga penggunaan kosa kata
‫ﻊ‬ ‫ـﺎ ﹺﺒ‬‫ َﺃﺼ‬menurut Muhammad ‘Alî Sulthânî hanya merupakan ungkapan yang
harus dipahami secara majâzî (konotatif) yang tidak bisa dipahami dan
dimaknai secara haqîqî (denotatif), sebab yang dikehendaki dari kata ‫ﻊ‬
 ‫ﺎ ﹺﺒ‬‫َﺃﺼ‬
dalam konteks ayat ini adalah ‫ﻊ‬
 ‫ﺎ ﹺﺒ‬‫ﻻﺼ‬
‫( ﺍﻁﺭﺍﻑ ﺍ ﹶ‬pucuk jari-jari) yaitu ‫ﺍﻻﻨﺎﻤـل‬
(ujung jari) saja.409
Melihat konteks ayat ini, Quraish Shihab memberikan makna
terhadap kata ‫ﻊ‬
 ‫ـﺎ ﹺﺒ‬‫ َﺃﺼ‬juga dengan makna majâzî (konotatif)nya bukan dengan
makna haqîqî (denotatif). Menurutnya, kosa kata ‫ﻊ‬
 ‫ـﺎ ﹺﺒ‬‫ َﺃﺼ‬merupakan bentuk
jama‘ dari bentuk mufrad kata ‫ﺒﻊ‬ ‫ــ‬‫ﺍﺼ‬ِ yang memiliki makna jari-jari.
Sebenarnya mereka menyumbat telinga mereka itu hanya dengan
menggunakan ujung anak jari saja bukan dengan jari-jari secara keseluruhan,
tetapi agaknya ayat ini menggunakan kata jari-jari untuk melukiskan suatu
kondisi betapa enggannya mereka mendengar dan betapa keras upaya mereka
untuk menutup pendengaran mereka masing-masing, sampai mereka
menggunakan seluruh jari-jari mereka bukan hanya satu jari atau bahkan
ujung jarinya saja, dan itupun dengan memasukkan jari-jari ke dalam telinga
sehingga mereka mengharap tidak ada celah masuk buat suara.410
Ekspresi gaya bahasa sinekdoke totum pro parte (majâz mursal
‘alâqatuhu al-kulliyyat) yang dipakai al-Qur’an dalam menguntai ayat tersebut

409
. Muhammad ‘Alî Sulthânî, Al-Mukhtâr min ‘Ulûm al-Balâghat wa al-‘Arûdl,
(Suriat: Dâr al-‘Ashmâ’, TT.), hlm. 121.
410
. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur'an, Volume 14, hlm. 461.

160
di atas oleh Abû Hayyân bertujuan untuk menggambarkan sesuatu yang
hiperbolis (mubâlaghat) atas keengganan mereka terhadap ajakan yang diseru
oleh nabi Nuh.411 Tujuan ini sejalan dengan penggunaan gaya bahasa
sinekdoke totum pro parte yang digunakan untuk menyebutkan keseluruhan
(kull), tetapi yang dimaksud hanyalah sebagian (juz’) saja dari apa yang telah
diungkapkan.412
Terkait dengan makna, Wittgenstein memberikan kontribusi
pemikiran sebagaimana yang dikutip oleh Moh. Matsna, bahwa pemaknaan
suatu kata itu harus menganut pada teori kontekstual (al-nadzariyyat al-
siyâqiyyat) yakni sebuah teori semantik yang berasumsi bahwa sistem bahasa
itu saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya di antara unit-
unitnya. Dan hal ini selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Karena
itu dalam menentukan makna, diperlukan adanya penentuan berbagai konteks
yang melingkupinya. Teori yang dikembangkan oleh Wittgenstein ini
menegaskan bahwa makna sebuah kata itu akan dipengaruhi oleh empat
konteks yang tidak bisa dilepaskan, yaitu : pertama konteks kebahasaan,
kedua konteks emosional, ketiga konteks situasi dan kondisi, keempat konteks
sosio-kultural. Konteks kebahasaan berkaitan erat dengan struktur kata dalam
kalimat yang dapat menentukan makna kata yang berbeda-beda. Konteks
emosional dapat menentukan makna bentuk kata dan strukturnya dari segi
kuat dan lemahnya muatan emosional. Konteks situasi merupakan konteks
eksternal yang dapat membuat suatu kata berubah maknanya karena terdapat
perubahan situasi. Sedangkan konteks sosio-kultural merupakan nilai-nilai

411
. Abû Hayyân Muhammad ibn Yûsuf ibn ‘Alî ibn Hayyân, Tafsîr al-Bahr al-
Muhîth, Juz 8, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983), hlm. 332.
412
. Hussein Abdur Raof, Arabic Rhetoric a Pragmatic Analysis, (London and
New York: Routledge, 2006), hlm. 227. Lihat juga Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan
Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 264.

161
sosial dan kultural yang mengitari kata yang menjadikannya mempunyai
makna yang berbeda dari makna leksikal (haqîqî) nya.413
Sementara itu, Ibn ‘Âsyûr (W.1393H./1973M.) dalam kitabnya
menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ayat yang pada hakekatnya sama
dengan yang terdapat dalam surat al-Baqarat : 2 : 19. Ayat ini menggunakan
kata ‫ﻊ‬
 ‫ﺎ ﹺﺒ‬‫( َﺃﺼ‬jari-jari) sebagai ungkapan majâzî (konotatif) yang terdapat dalam
al-Qur’an, padahal yang dikehendaki dalam konteks ayat ini adalah kata ‫ﺍﻷﻨﻤﻠﺔ‬
(satu ujung jari) dan bukan kata ‫ ﺍﻷﺼﺒﻊ‬secara keseluruhan. Proses perubahan
makna semacam ini dalam ilmu Balâghat karena dipengaruhi oleh adanya
relasi (‘alâqat) antara keseluruhan (kull) dengan sebagian (juz’) sehingga
makna katanya tidak mungkin diartikan secara haqîqî (denotatif), tetapi harus
diartikan secara majâzî (konotatif). Di samping itu juga karena di pengaruhi
oleh adanya indikator (qarînat) yang menolak untuk bisa memunculkan
makna sesungguhnya. Indikator (qarînat) yang ada dalam ayat tersebut adalah
indikator tekstual yang berupa kata ‫ﻨﻬﹺﻡ‬ ‫َﺁﺫﹶﺍ‬. Lebih lanjut beliau mengemukakan,
ada tujuan tertentu dibalik penggunaan gaya bahasa sinekdoke totum pro parte
(majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) yang dipakai dalam menguntai
kalimatnya. Tujuan tersebut adalah untuk menampakkan sesuatu yang
hiperbolis (mubâlaghat).414 Demikian juga halnya dengan Sayyid Thanthawî
yang memberikan pemaknaan terhadap surat Nûh: 71: 7 yang menggunakan
gaya bahasa sinekdoke totum pro parte dalam mengungtai kalimatnya.
Menurutnya yang dimaksud dengan ungkapan jari-jari mereka adalah salah
satu ujung jari semata, bukan semua ujung jari.415 Karena hal ini sangat

413
. Moh. Matsna, Orientasi Semantik al-Zamakhsyari Kajian Makna Ayat-Ayat
Kalam, (Jakarta: Anglo Media, 2006), hlm. 21-22.
414
. Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz 15, (E.Book: al-Maktabat al-
Syâmilat), hlm. 333.
415
. Muhammad Sayyid Thanthâwî, Al-Tafsîr al-Wasîth, Juz 1, (E.Book: al-
Maktabat al-Syâmilat), hlm. 4239.

162
mustahil untuk dilakukan jika telinga yang berlubang kecil itu dimasuki
seluruh jari-jarinya.
Mencermati argumentasi yang telah dipaparkan oleh para ulama di
atas, dapat diambil sebuah konklusi bahwa selagi kosa kata itu masih memiliki
relasi (‘alâqat) dengan kata yang lain dalam hal ini adalah relasi antara
keseluruhan (kull) dengan cabangnya (juz’), maka ia tidak bisa dimaknai
secara haqîqî (denotatif), tetapi ia harus dimaknai secara majâzî (konotatif).
Di samping ayat-ayat yang telah penulis paparkan di atas sebagai
bukti tentang adanya relasi makna dengan menggunakan gaya bahasa
sinekdoke, masih terdapat juga ayat-ayat yang berinteraksi dengan ilustrasi
mengenai orang-orang kafir maupun munafik yang diungkapkan dengan
menggunakan gaya bahasa sinekdoke totum por parte (majâz mursal
‘alâqatuhu al-kulliyyat). Misalnya sebagaimana yang terdapat dalam surat Âli-
Imrân : 3 : 167416 yang berbunyi ‫ـﻲ ﹸﻗﻠﹸـﻭ ﹺﺒ ﹺﻬﻡ‬‫ﺱ ﻓ‬
 ‫ـﺎ ﻝﹶـﻴ‬‫ ﻤ‬‫ﻫ ﹺﻬﻡ‬ ‫ﻥ ﺒﹺـ َﺄﻓﹾﻭﺍ‬
 ‫ﻴﻘﹸﻭﻝﹸـﻭ‬ .
Penggunaan kata ‫ﻫ ﹺﻬﻡ‬
 ‫ َﺃﻓﹾﻭﺍ‬yang berarti mulut-mulut mereka dan bukan ‫ﺃﻝﺴـﻨﺘﻬﻡ‬
(lidah mereka) dalam ayat tersebut, untuk mengisyaratkan bahwa apa yang
mereka suarakan itu lebih dekat untuk dinamai suara binatang dari pada suara
manusia, yang memiliki akal dan lidah. Apa yang mereka katakan hanyalah
merupakan suara yang kosong dari makna dan hakekatnya. Karena itu
ditekankannya lagi dalam kata selanjutnya bahwa apa yang mereka katakan itu
sesungguhnya tidak terkandung dalam hati mereka.417
Dalam menyikapi ayat tersebut di atas, setelah al-Ashfahânî
melakukan eksplorasi yang begitu panjang dan teliti terhadap kata ‫ ﺃﻓـﻭﺍﻩ‬yang
ada dalam al-Qur’an yang merupakan bentuk jama’ dari kata ‫( ﻓـﻡ‬kata ‫ ﻓـﻡ‬itu
sendiri berasal dari kata ‫ ﻓـﻭﻩ‬yang berarti mulut), beliau berkesimpulan bahwa

416
. Artinya : Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung
dalam hatinya. (Q.S. Âli-Imrân : 167)
417
. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur'an, Volume 2, Tangerang : Lentera Hati, 2000, hlm. 258.

163
ternyata setiap kata ‫ـﻡ‬
‫ ﻓـ‬yang bersinggungan dengan perkataan (‫ـﻭل‬
‫ )ﻗـ‬itu
menunjukkan adanya sinyalemen yang sangat kuat bahwa sebenarnya apa
yang diutarakan dari mulut orang-orang kafir itu pada hakekatnya merupakan
sebuah bentuk kebohongan belaka, dan mengingatkan kepada kita bahwa
i’tikad yang dimilikinya itu tidak selaras dengan apa yang diutarakan dalam
mulutnya. Al-Ashfahânî mengambil sampel beberapa ayat al-Qur’an
mengenai kata ‫ ﻓـﻡ‬yang bersinggungan dengan perkataan yakni, pertama surat
al-Ahzâb: 33: 4 ‫ﻫ ﹸﻜﻡ‬
 ‫ﺍ‬‫ ﹺﺒ َﺄﻓﹾﻭ‬‫ﹸﻝ ﹸﻜﻡ‬‫ ﹶﻗﻭ‬‫ ﹶﺫِﻝ ﹸﻜﻡ‬, kedua surat : al-Kahfi : 18: 5 ‫ﺝ‬
 ‫ﺭ‬ ‫ﻤ ﹰﺔ ﹶﺘﺨﹾـ‬ ‫ﻠ‬‫ﹶﻜ‬
‫ﺎ‬‫ﺫﺒ‬ ‫ﻥ ِﺇﻝﱠﺎ ﹶﻜ‬
 ‫ﻴﻘﹸﻭﻝﹸﻭ‬ ‫ ِﺇﻥ‬‫ﻫ ﹺﻬﻡ‬ ‫ﺍ‬‫ َﺃﻓﹾﻭ‬‫ﻤﻥ‬ , ketiga surat al-Taubat: 9: 8 ‫ﻫ ﹺﻬﻡ‬ ‫ﺍ‬‫ ﹺﺒ َﺄﻓﹾﻭ‬‫ﻭ ﹶﻨ ﹸﻜﻡ‬‫ﻀ‬‫ﻴﺭ‬
‫ﻡ‬‫ﺒﻬ‬ ‫ﻰ ﹸﻗﻠﹸﻭ‬‫ﻭ ﹶﺘﺄْﺒ‬ , keempat surat Ibrâhim : 14 : 9 ‫ﻫ ﹺﻬﻡ‬ ‫ﺍ‬‫ﻲ َﺃﻓﹾـﻭ‬‫ ﻓ‬‫ﻬﻡ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻭﺍ َﺃﻴ‬‫ﺭﺩ‬ ‫ ﹶﻓ‬, kelima
surat al-Mâidat : 5 : 41 ‫ﻬﻡ‬ ‫ﺒ‬ ‫ ﹸﻗﻠﹸﻭ‬‫ﻤﻥ‬ ْ‫ ﹸﺘﺅ‬‫ﻭﹶﻝﻡ‬
 ‫ﻫ ﹺﻬﻡ‬ ‫ﺍ‬‫ﻤﻨﱠﺎ ﹺﺒ َﺄﻓﹾﻭ‬ ‫ﻥ ﻗﹶﺎﻝﹸﻭﺍ َﺁ‬
 ‫ﻴ‬‫ﻥ ﺍﱠﻝﺫ‬
 ‫ﻤ‬ dan keenam
surat Âli Imrân : 3 : 167 ‫ﻲ ﹸﻗﻠﹸﻭ ﹺﺒﻬﹺﻡ‬‫ﺱ ﻓ‬
 ‫ﺎ ﹶﻝﻴ‬‫ ﻤ‬‫ﻫ ﹺﻬﻡ‬ ‫ﻥ ﹺﺒ َﺄﻓﹾﻭﺍ‬
 ‫ﻴﻘﹸﻭﻝﹸﻭ‬ 418

Dalam kitab yang sama tetapi berbeda halaman, Al-Ashfahânî juga


memperjelas eksistensi kata ‫ ﻓـﻡ‬dalam al-Qur’an dengan cara menganalogikan
kepada ayat-ayat lain, bahwa penyebutan kata ‫ﻫ ﹺﻬﻡ‬
 ‫ﺍ‬‫ َﺃﻓﹾـﻭ‬dalam bentuk gaya
bahasa sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat)
merupakan peringatan bagi kita bahwa apa yang diutarakan melalui mulut-
mulutnya itu sesungguhnya merupakan bentuk kebohongan yang tidak sesuai
dengan kepercayaannya. Di samping analogi ayat-ayat di atas, beliau juga
menganalogikan ayat ini dengan eksplorasi ayat-ayat lain sebagaimana berikut
ini : pertama surat al-Baqarat: 2: 79, ‫ﻥ‬
 ‫ﻴﻘﹸﻭﻝﹸﻭ‬ ‫ﻡ‬ ‫ ﹸﺜ‬‫ﻴ ﹺﻬﻡ‬‫ﺩ‬‫ﺏ ﹺﺒ َﺄﻴ‬
 ‫ﻜﺘﹶﺎ‬ ‫ﻥ ﺍﻝﹾ‬
 ‫ﻭ‬‫ﻴﻜﹾ ﹸﺘﺒ‬ ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫لٌ ِﻝﱠﻠﺫ‬‫ﻭﻴ‬ ‫ﹶﻓ‬
‫ﺩ ﺍﻝﻠﱠﻪ‬ ‫ﻋﻨﹾ‬
 ‫ﻤﻥ‬ ‫ﻫﺫﹶﺍ‬ , kedua surat Yâsîn: 36: 7 ‫ﻤﻨﹸﻭﻥ‬ ْ‫ﻴﺅ‬ ‫ ﻝﹶﺎ‬‫ﻬﻡ‬ ‫ ﹶﻓ‬‫ﻫﻡ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ َﺃﻜﹾ ﹶﺜ ﹺﺭ‬
 ‫ل‬
ُ ‫ﻕ ﺍﻝﹾ ﹶﻘﻭ‬
‫ﺤﱠ‬ ‫ﹶﻝ ﹶﻘﺩ‬
, ketiga surat Yûnus: 10: 96 ‫ﻥ‬
 ‫ﻤﻨﹸﻭ‬ ْ‫ﻴﺅ‬ ‫ﻙ ﻝﹶﺎ‬
 ‫ﺒ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻤ ﹸﺔ‬ ‫ﻠ‬‫ ﹶﻜ‬‫ ﹺﻬﻡ‬‫ﻋﹶﻠﻴ‬
 ‫ﺤ ﱠﻘﺕﹾ‬
 ‫ﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﻥ ﺍﱠﻝﺫ‬
 ‫ِﺇ‬.419 Dari
sini tampak jelas, bahwa apa yang dikemukakan oleh Al-Ashfahânî dalam

418
. Al-Ashfahânî, Gharîb al-Qur’ân, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat),
hlm. 398. Keterangan lebih jelas mengenai penggunaan makna kata !‫ا‬DZ‫ ا‬dalam al-Qur’an lihat
juga kitab Abî al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad ibn al-Mufadldlal, Mu’jam Mufradât al-
Fâdz al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyat), hlm. 434.
419
. Al-Ashfahânî, Gharîb al-Qur’ân, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat),
hlm. 415.

164
memberikan ilustrasi terhadap makna kosa kata ‫ ﺃﻓﻭﺍﻩ‬yang terungkap dalam al-
Qur’an itu dilakukan dengan sangat hati-hati sehingga beliau dapat
menghasilkan kesimpulan makna kata yang sangat memuaskan.
Statemen ini dipertegas oleh al-Syaukânî yang mengatakan bahwa
sebagian cendekiawan itu berpendapat, Allah sama sekali tidak pernah
menyebutkan perkataan yang disertai dengan menyebutkan kosa kata mulut
dan lidah kecuali hanyalah untuk menunjukkan makna ucapan yang
mengandung kepalsuan belaka.420 Itu artinya bahwa semua bentuk perkataan
yang disertai dengan kosa kata yang menunjuk pada mulut dan lidah
merupakan kebohongan.
Idealnya gaya bahasa (figure of speech) yang baik ditampilkan
melalui adaptasi satu bahasa satu ide, setiap pembicara (sebagai manifestasi
retoris) dan pengarang (sebagai manifestasi stilistis) pasti menemukan cara
ekspresi itu yang secara pasti mewakili idenya. Jadi, tidak bisa satu diksi atau
frase tertentu mewakili dua hal yang sama, tidak ada aktualisasi gaya yang
sama. Meskipun demikian, pembaca tidak dengan sendirinya memahami
melalui pernyataan penulis, tidak secara langsung, sebab dalam kaitan ini
terjadi mediasi konotasi bahasa.421 Dan sudah tentu harus dipahami dengan
cermat.
Terkait dengan kosa kata ‫ـﻭﺍﻩ‬
‫( ﺃﻓـ‬mulut-mulut) hampir mayoritas
ulama memberikan makna majâzî (konotatif) kata tersebut, misalnya Nâshr al-
Dîn lebih cenderung untuk menggunakan makna majâzî (konotasi) dan
meninggalkan makna haqîqî (denotasi). Makna kata yang diambilnya adalah
kata lidah. Karena kosa kata ‫ ﺃﻓـﻭﺍﻩ‬itu memiliki relasi (‘alâqat) dengan kata
‫( ﻝﺴـﺎﻥ‬lidah). Relasi semacam ini disebut dengan relasi keseluruhan (‘alâqat

420
. Al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Juz 3, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm.
243.
421
. Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Budaya, hlm. 246.

165
kulliyyat). Penggunaan seni bertutur ini dalam ilmu Balâghat disebut dengan
majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat yakni sebuah gaya bahasa yang
menyebutkan keseluruhan (kull), tetapi yang dimaksud adalah sebagian (juz’).
Di balik penyandaran kalimat ‫ ﻝﻺﻴﻤـﺎﻥ‬‫ﻬﻡ‬ ‫ﻤﻨﹾ‬ ‫ﺏ‬
 ‫ﺭ‬ ‫ﺫ َﺃﻗﹾ‬ ‫ﻤ ِﺌ‬ ‫ﻴﻭ‬ ‫ ِﻝﻠﹾ ﹸﻜﻔﹾ ﹺﺭ‬‫ﻫﻡ‬ (mereka pada
hari itu lebih dekat pada kekafiran dari pada keimanan) kepada kata ‫ﺃﻓـﻭﺍﻩ‬
dalam ayat ini, menurutnya bertujuan sebagai penguat atas kebohongan apa
yang mereka ucapkan dan lebih bersifat ilustratif belaka.422 Begitu juga
dengan Al-Jashshâsh al-Hanafî, memandang bahwa makna yang tersingkap
dalam kata ‫ ﺃﻓـﻭﺍﻩ‬adalah sesuatu yang bersifat majâzî (konotatif) belaka,
sehingga pemaknaannya tidak boleh diartikan secara haqîqî (denotatif). Di
samping itu, penggunaan kata ‫ ﺃﻓـﻭﺍﻩ‬hanyalah berfungsi sebagai penguat dari
yang sesungguhnya tidak terjadi dalam hatinya.423
Dalam linguistik, memang makna sebuah kosa kata bisa mengalami
perubahan. Inovasi-inovasi yang mampu mengubah makna leksikal, makna
denotatif dan bukan fungsi gramatikal itu diklasifikasikan sebagai perubahan
makna. Karena bisa jadi suatu saat bentuk kata itu mempunyai makna yang
berbeda. Perubahan makna pada bentuk bahasa itu hanyalah akibat perubahan
dalam pemakaian bentuk itu dan bentuk-bentuk lain yang secara semantis
berhubungan.424
Karena itu, dengan menggunakan argumentasi yang serupa dalam
memberikan interpretasi terhadap makna ayat di atas, Ibn ‘Abbâs
menggunakan prinsip makna relasional (relational meaning). Di mana kosa
kata ‫( ﺃﻓـﻭﺍﻩ‬mulut-mulut) dalam konteks ayat ini sesunguhnya memiliki relasi
(‘alâqat) dengan kosa kata ‫( ﻝﺴﺎﻥ‬lidah). Beliau memberikan makna terhadap

422
. Nâshr al-Dîn Abû al-Khair ‘Abd Allah ibn ‘Umr ibn Muhammad al-Baidlâwî,
Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Tanzîl, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 411.
423
. Abû Bakr al-Râzî al-Jashshâsh al-Hanafî, Ahkâm al-Qur’ân, Juz 4,(E.Book:
al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 2.
424
. Leonard Bloomfield, Language, (London: Compton Printing LTD., 1988), hlm.
425-426.

166
kata ‫( ﺃﻓـﻭﺍﻩ‬mulut-mulut) dengan menggunakan makna majâzînya (konotatif)
dan meninggalkan makna haqîqî (denotatif)nya. Hal ini sangat beralasan
karena yang melakukan tindakan berkata untuk mengutarakan apa yang
terdapat dalam pikirannya itu pada hakekatnya adalah ‫( ﻝﺴﺎﻥ‬lidah) dan bukan
‫( ﺃﻓـﻭﺍﻩ‬mulut-mulut).425 Ungkapan yang berbeda dengan maksud yang sama
juga dikemukakan oleh al-Khâzin (W.725H./1340M.) beliau berargumentasi
bahwa pada hakekatnya seseorang yang melakukan komunikasi berbicara itu
tidak menggunakan alat mulut, tetapi ia menggunakan alat lidahnya (‫)ﻝﺴـﺎﻥ‬.
Anggota badan yang berupa lidah merupakan bagian dari mulut. Namun
dalam konteks ayat di atas, ekspresi ‫( ﺃﻓـﻭﺍﻩ‬mulut-mulut) tersebut sebenarnya
yang dikehendaki adalah lidah yang merupakan bagian dari mulut. Bentuk
kalimat seperti ini merupakan ekspresi majâz yang di dalamnya disebut bagian
yang lebih besar (keseluruhan), tetapi yang dimaksud adalah satu bagian dari
keseluruhan itu. Apa yang mereka katakan dari lidahnya tidaklah sesuai
dengan apa yang ada dalam hatinya.426
Pernyataan al-Khâzin (W.725H./1340M.) itu jauh sebelumnya telah
dinyatakan oleh seorang teolog Mu’tazilah yang bernama al-Zamakhsyarî
(W.538H./1144M.), beliau mengemukakan argumentasinya mengenai
penyebutan kata ‫ ﺃﻓـﻭﺍﻩ‬dalam bentuk gaya bahasa sinekdoke totum pro parte
(majaz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat) yang bersandingan dengan kata ‫ﺍﻝﻘﻠﻭﺏ‬
merupakan sebuah bahasa al-Qur’an yang mengilustrasikan atas kemunafikan
yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Di mana iman yang mereka ucapkan
427
hanyalah ada pada lidah semata dan kosong dalam hati sanubarinya. Sama

425
. Abû Thâhir ibn Ya’qûb al-Fairûz Âbâdî, , Tanwîr al-Miqbâs, (Beirut: Dâr al-
Fikr, 2001), hlm. 72.
426
. Al-Khâzin Abû al-Hasan Alî ibn Muhammad ibn Ibrâhîm ibn ‘Umar al-
Syaikhî, Lubbâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, Juz 1, hlm. 294.
427
. Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî , al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghiwâmidl al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl, Juz 1, hlm. 478.

167
halnya dengan pendapat al-Alûsî (W.127H.)428 dan al-Nasafî dalam
menanggapi masalah tersebut.429
Hampir mayoritas ulama menyatakan penggunaan kata ‫ ﺃﻓـﻭﺍﻩ‬untuk
menunjuk pada makna majâzînya bukan pada makna haqîqî (denotasi) nya.
Hal ini juga diyakini oleh Haqqî dalam tafsirnya berpendapat bahwa gaya
bahasa ayat ini merupakan gambaran atas ketidaksamaan apa yang
diungkapkan melalui lisannya dengan apa yang terdapat dalam hatinya.
Penggunaan kata ‫( ﺍﻓﻭﺍﻩ‬mulut-mulut) yang diungkapkan dengan menggunakan
gaya bahasa sinekdoke totum pro parte pada hakekatnya menunjuk pada kata
lisan yang dipahami secara kontekstual (hâliyyat), sebab yang melakukan
tindakan berbicara adalah lisan. Penyandaran kata ‫ ﺍﻝﻘﻭل‬dalam ayat ini kepada
kata ‫ ﺍﻓــﻭﺍﻩ‬berfungsi sebagai penguat dan bersifat ilustratif belaka.430
Sementara menurut Abû Su’ûd memiliki argumentasi yang serupa bahwa
bahasa al-Qur’an yang menyebutkan kata ‫ ﺃﻓـﻭﺍﻩ‬yang disertai dengan kata
‫ ﺍﻝﻘﻠـﻭﺏ‬memberikan ilustrasi kepada kita tentang adanya ketidakbenaran apa
yang diucapkan dengan apa yang sesungguhnya ada dalam hatinya. Melihat
bahasa al-Qur’an yang dipaparkan dengan menggunakan kosa kata ‫ ﺃﻓـﻭﺍﻩ‬,
maka beliau lebih cenderung untuk mengartikan kata tersebut sebagai lisan
bukan lagi mulut. Karena sejatinya yang menuturkan sesuatu itu adalah lidah
manusia dan bukan mulutnya. Dengan pemaknaan semacam ini, berarti beliau
mempergunakan makna majâzî (konotatif) nya dan bukan makna haqîqî
(denotatif) nya.431

428
. Syihâb al-Dîn Mahmûd ibn ‘Abd Allâh al-Husainî al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî
Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa al-Sab’u al-Matsânî, Juz 2, hlm. 331.
429
. ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn Mahmûd Hâfidz al-Dîn Abû al-Barakât al-Nasafî,
Madârik al-Tanzîl wa Haqâ’iq al-Ta’wîl, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 194.
430
. Haqqî, Tafsîr Haqqî, Juz 2, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm. 337.
431
. Abû Su’ûd Muhammad ibn Muhammad ibn Mushthafâ al-‘Imâdî, Irsyâd al-
‘Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur’ân al-Karîm, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat), hlm.
487.

168
Dengan berpijak pada fakta-fakta yang telah penulis paparkan dalam
bab IV di atas, membuktikan adanya ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan
ekspresi gaya bahasa sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu al-
kulliyyat) yang menyebutkan sesuatu dengan cara keseluruhan (kull), tetapi
yang dimaksud adalah sebagian (juz’). Peralihan makna relasional semacam
ini, yakni dari makna haqîqî (denotasi) ke dalam makna majâzî (konotatif)
dalam perspektif ilmu Balâghat karena dipengaruhi oleh adanya relasi
(‘alâqat) antara keseluruhan (kull) dengan cabang (juz’). Di samping itu, juga
dipengaruhi oleh adanya indikator (qarînat) yang menolak kata tersebut untuk
menunjuk pada makna haqîqî (denotatif)nya, baik indikator itu bersifat
tekstual (lafdziyyat) yakni keterangan yang diberikan dalam bentuk lafazh atau
kalimat, maupun indikator kontekstual (hâliyyat) yang dapat dipahami melalui
pemikiran akal dan logisnya hubungan kalimat. Berkaitan dengan itu semua,
maka ilmu Balâghat merupakan alat atau pendekatan yang sangat baik
digunakan sebagai parameter dalam mengkaji terhadap keagungan sastra al-
Qur’an. Penggunaan gaya bahasa sinekdoke totum pro parte dalam perspektif
ilmu Balâghat memiliki nilai estetika bahasa yang bernilai tinggi.

169
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagai penutup tesis ini, maka sudah menjadi kewajiban bagi penulis
untuk bisa menyampaikan hasil temuan dari seluruh rangkaian penelitian ini.
Kesimpulan yang hendak penulis sajikan dalam tesis ini merupakan respon yang
selaras atas rumusan masalah yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya.
Hal ini dimaksudkan agar dapat memudahkan untuk melacak serta memberikan
ruang bagi penelitian selanjutnya terhadap pertanyaan-pertanyaan lain yang
mungkin belum sempat terjawab dalam penelitian ini. Selanjutnya, penulis juga
akan memberikan beberapa saran yang sinkron dengan kesimpulan penulisan tesis
ini.
Secara substansial tesis ini memperkuat opini mayoritas ulama baik
klasik maupun modern yang mengakui eksistensi majâz dalam al-Qur’an antara
lain : Abû ’Ubaidat (W.207H./882M.), Abî Zakariyyâ’ Yahyâ Ibn Ziyâd Al-Farrâ’
(W.210/825M.), Ibn Qutaibat (W.276H./889M.), ’Abd al-Qâdli al-Jabbâr
(W.417H./1026M.), ’Abd al-Qâhir al-Jurjânî (W.471H. /1078M.), al-Bâqillânî
(W.403H./1013H.) al-Zamakhsyarî (W.538H. /1143M.), Mushthafâ Shâdiq al-
Râfî (W.1355H./1937M.), dan Sya’bân Muhammad Ismâ’il yang memberikan
kontribusi pemikiran bahwa bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab fushhâ yang
mengandung banyak arti (ma’nâ musytarak). Tesis ini sekaligus mengkritisi
terhadap opini yang tidak mengakui adanya majâz dalam al-Qur’an sebagaimana
yang dikemukakan oleh minoritas ulama yakni kaum dzâhiriyyat yang tidak
mengakui eksistensi majâz dalam al-Qur’an dan pendapat Muhammad Mutawallî
al-Sya‘râwî (W.1419H./1998M.) yang mengatakan bahwa : Hukum-hukum agama
yang ada dalam al-Qur’an diturunkan dengan sempurna dan jelas, tidak ada
kerancuan, penambahan, dan ambiguitas (menimbulkan banyak penafsiran).
Berdasarkan argumentasi yang telah dibangun oleh para ilmuwan dan
juga penelitian yang telah penulis lakukan melalui eksplorasi beberapa literatur

170
yang outoritatif, maka penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa
sinekdoke pars pro toto (majâz mursal‘alâqatuhu al-juz’iyyat) maupun sinekdoke
totum pro parte (majâz mursal‘alâqatuhu al-kulliyyat) yang muncul dalam al-
Qur’an makna katanya tidak bisa dipahami secara haqîqî, tetapi ia harus dipahami
secara majâzî. Dalam perspektif ilmu Bayân, hal itu karena dipengaruhi oleh
adanya relasi (‘alâqat) antara cabang (juz’) dengan unsur yang dapat membangun
keseluruhan (kull) ataupun antara keseluruhan (kull) dengan cabang (juz’)nya. Di
samping itu juga, karena dipengaruhi oleh adanya indikator (qarînat) yang
menolak kata tersebut untuk menunjuk pada makna haqîqî (denotatif)nya, baik
indikator itu bersifat tekstual (lafdziyyat) yakni keterangan yang diberikan dalam
bentuk lafazh atau kalimat, maupun indikator kontekstual (‘aqliyyat atau hâliyyat)
yang dapat dipahami melalui pemikiran akal dan logisnya hubungan sebuah
kalimat.
Eksplorasi perihal ekspresi gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz
mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) yang telah penulis lakukan pada ayat-ayat
Makkiyyat terkait dengan bidang teologi, bidang shalat, bidang pahala (ajr) dan
hukuman (‘adzâb). Hal ini penting, karena ayat-ayat Makkiyyat terkait dengan
ajakan kepada manusia untuk bertauhid, beribadah hanya kepada Allah,
pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan
hiruk-pikuknya, neraka dan siksaannya, surga dengan segala kenikmatannya.
Penggunaan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-
juz’iyyat) dalam bidang-bidang tersebut memiliki nilai estetika bahasa yang
tinggi.
Dalam bidang teologi, al-Qur’an seringkali menggambarkan dzat Allah
dengan menggunakan kosa kata wajah. Ekspresi ini dipakai untuk
menggambarkan keangungan-Nya yang senantiasa mengawasi segala sesuatu
yang pasti musnah. Dalam aspek shalat, al-Qur’an seringkali menggunakan gaya
bahasa sinekdoke pars pro toto (majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz’iyyat) dengan
pilihan kata (diksi) sujud, ruku’, membaca, dan berdiri. Namun proporsi ekspresi
sujud dan ruku’ itu lebih mendominasi dari pada membaca, dan berdiri. Gaya

171
bahasa al-Qur’an ini menunjukkan bahwa betapa urgennya makna sujud dan ruku’
dalam shalat. Sebab esensi dari pelaksanaan shalat seseorang adalah untuk
membentuk pribadi muslim yang tunduk dan rendah diri di hadapan Allah sesuai
dengan semantik sujud dan ruku’ itu sendiri. Dalam bidang pahala (ajr) dan
hukuman (‘adzâb), al-Qur’an seringkali menggunakan gaya bahasa sinekdoke
pars pro toto (majâz mursal‘alâqatuhu al-juz’iyyat) dengan menggunakan pilihan
kata (diksi) wajah (wujûh) dan sebagainya ketika menyebutkan orang-orang yang
mendapatkan pahala (ajr) berupa kenikmatan di akhirat lantaran amal shalehnya
yang ia tanam ketika hidup di dunia, dan ketika menyebutkan orang-orang yang
mendapatkan hukuman (‘adzâb) berupa siksaan di akhirat akibat sepak terjangnya
saat ia hidup di dunia. Ekpresi wajah (wujûh) semacam ini, dipergunakan al-
Qur’an untuk menggambarkan totalitas dari apa yang terdapat dalam diri manusia.
Karena sesungguhnya rasa bahagia dan celaka yang dialami oleh manusia itu
semua akan tergambar melalui roman wajah yang merupakan bagian mulia pada
tubuh manusia. Hal ini menunjukkan bahwa gaya bahasa yang dipergunakan oleh
al-Qur’an dalam bentuk sinekdoke pars pro toto (majâz mursal‘alâqatuhu al-
juz’iyyat) itu mengandung estetika bahasa yang bernilai tinggi.
Sementara pada gaya bahasa sinekdoke totum pro parte (majâz
mursal‘alâqatuhu al-kulliyyat) penulis mengambil sampel pada ayat-ayat
Madaniyyat yang terkait dengan bidang hukum (syarî’at) dan ilustrasi mengenai
orang-orang kafir dan munafik. Hal ini penting, karena pada ayat-ayat Madaniyyat
banyak menguraikan tentang perilaku para penentang Rasulullah di Madinah.
Mereka membangkit-bangkitkan berbagai keraguan serta kesesatan tentang risalah
kerasulan. Surat Madaniyyat itu juga menyuguhkan hal-hal yang khusus bertalian
dengan kaum mukmin, menguraikan hukum-hukum untuk mengatur berbagai
urusan interen dan ekstern mereka.
Dalam bidang hukum (syarî’at) tidak sedikit aya-ayat yang
menggunakan gaya bahasa sinekdoke totum pro parte (majâz mursal ‘alâqatuhu
al-kulliyyat). Penggunaan gaya bahasa sinekdoke yang disebutkan secara global
menurut para ulama ahli Balâghat dan ulama Ushûl Fikih bertujuan untuk

172
menunjukkan makna signifikansi kesan (mubâlaghat) seperti yang terjadi dalam
surat al-Mâidat : 5 : 6. Sementara pada bidang lain, al-Qur’an juga
mengilustrasikan kondisi orang-orang kafir atau munafik dengan gaya bahasa
sinekdoke totum pro parte (majâz mursal‘alâqatuhu al-kulliyyat) dengan tujuan
untuk menunjukkan adanya signifikansi kesan (mubâlaghat), meskipun secara
zhâhir terkadang ayat tersebut terkesan irrasional, tetapi justru benar-benar
mengandung nilai keindahan sastra al-Qur’an yang bernilai tinggi. Hal ini seperti
yang terjadi pada surat al-Baqarat : 2 : 19.

B. Saran dan Implikasi Penelitian


Dengan berpijak pada hasil temuan dalam penelitian ini, maka dapat
penulis ajukan saran-saran sebagai berikut : pertama, penelitian yang penulis
lakukan hanya difokuskan pada bidang teologi, bidang shalat, bidang pahala dan
hukuman yang diekspresikan dalam gaya bahasa sinekdoke pars pro toto.
Sementara gaya bahasa sinekdoke totum pro parte hanya terfokus dalam bidang
hukum (syarî’at) dan ilustrasi mengenai orang-orang kafir atau munafik, karena
itu penelitian lanjutan dalam bidang lainnya perlu ditindaklanjuti untuk mencari
peralihan makna serta keunggulan akan gaya bahasa sinekdoke yang terkandung
dalam al-Qur’an. Kedua, sehubungan dengan pembelajaran bahasa Arab terutama
dalam bidang ilmu Balâghat, sudah seyogyanya bagi tenaga edukatif untuk selalu
mengembangkan kapabilitasnya dalam ilmu kebahasaan. Salah satu ilmu
kebahasaan itu adalah semantik, yang memang dalam fakta empirisnya makna
sebuah kata itu tidak selalu menunjuk pada makna haqîqî (denotatif), tetapi
terkadang mengharuskan untuk lebih berpihak kepada perubahan semantik yakni
ke arah makna majâzî (konotatif)nya karena adanya relasi, pemindahan, dan
indikator tertentu yang dapat menolak makna haqîqî.

173
DAFTAR PUSTAKA

‘Abbâs, Fadll Hasan, Al-Balâghat Funûnuhâ wa Afnânuhâ ‘Ilmu al-Bayân wa al-


Badî’, (‘Ammân: Dâr al-Furqân, 1987)

‘Abd Allâh, Muhammad Hasan, Muqaddimat fi al-Naqd al-Adabî, (Kuwait: Dâr


al-Buhûts al-‘Ilmiyyat, 1975)

Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoretik, (Jakarta: Reneka Cipta, 2003)

Âbâdî, Abû Thâhir ibn Ya’qûb al-Fairûz, Tanwîr al-Miqbâs, (Beirut: Dâr al-Fikr,
2001)

Abrams, MH., A Glossary of Literary Term, (New York: Holt, Rinehart and
Winston, 1981)

Ahmad, Imâm, Musnad Ahmad, Hadîts 9083, Juz 19, (E.Book: al-Maktabat al-
Syâmilat)

Ainin, Moch., Metodologi Penelitian Bahasa Arab, (Pasuruan: Hilal Pustaka,


2007)

Al-Alûsî, Syihâb al-Dîn Mahmûd al-Sayyid, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân


wa al-Sab’ al-Matsânî, Juz 6, (Beirut: Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiyy, TT.)

Al-Ashfahânî, Gharîb al-Qur’ân, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Alwasilah, A. Chaedar, Pengantar Sosiologi Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1993)

___________________, Pokoknya Kualitatif Dasar-Dasar Merancang dan


Melakukan Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006)

Alwi, Hasan dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2003)

Amîn, Muhammad, Tatimmat Adlwâ’ al-Bayân fî îdlâh al-Qur’ân bi al-Qur’ân,


Juz 8, (Kairo: Maktabat ibn Taimiyyat, 1988)

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta:


Rineka Cipta, 1992)

Arkoun, Mohammed, Lectures du Coran, alih bahasa Hidayatullah, Kajian al-


Qur’an Kontemporer, (Bandung: Pustaka, 1998)

174
Al-‘Asy’arî, Abû Hasan ibn Isma’il, Al-Ibânat an Ushûl al-Dîniyyat, (Kairo:
Idârat al-Tibâ’at al-Munîriyyat, TT.)

‘Atha, ‘Abd al-Qâdir, ‘Adzamat al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyat,


1984)

‘Ayyâd, Syukri Muhammad, Madkhal ilâ ‘Ilm Uslûb, (Riyadl: Dâr al-‘Ulûm,
1982)

Badâwî, Ahmad Ahmad, Min Balâghat al-Qur’ân, (Kairo: Dâr Nahdlat Mishr,
1950)

Al-Baghâwî, Muhyî al-Sunnat Abû Muhammad al-Husain ibn Mas’ûd, Ma’âlim


al-Tanzîl, Juz 8, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Baidlâwî, Nâshr al-Dîn Abû al-Khair ‘Abd Allah ibn ‘Umr ibn Muhammad,
Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Tanzîl, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-
Syâmilat)

Al-Baihaqî, Al-Sunan al-Kubrâ, Juz 8, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

_________, Syu’b al-Îmân, Juz 6, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Baker, Sheridan, The Complete Stylist, (New York: Thomas Y. Crowell


Company, 1968)

Al-Biqâ’î, Burhân al-Dîn ibn al-Hasan Ibrâhim ibn ‘Umar, Nazdm al-Durar fî
tanâsub al-Âyât wa al-Suwar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1995)

Bloomfield, Leonard, Language, (London: Compton Printing LTD., 1988)

Boulatta, Issa J, The Rehetorical Interpretation of the Quran : I'jaz and Related
Topics, In Andrew Rippin, (Ed), Approaches to the History of the
Interpretation of the Quran, (New York: Clarendo Press Oxford, 1988)

_____________, I’jaz al-Qur’ân al-Karîm ‘Abra al-Târîkh, alih bahasa oleh


Bachrum dkk., Al-Qur’an yang Menakjubkan, (Jakarta: Lentera Hati,
2008)

Bradford, Richard, Stylistics, (London and New York: Routledge, 1997)

Bukhori Imâm, Shohîh Bukhârî, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Bungin, M. Burhan, Penelitian Kualitatif Komunikasi Ekonomi Kebijakan Publik


dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007)

175
Darrâz, Muhammad ‘Abd Allah, al-Naba’ al-‘Azhîm, (Kuwait: Dâr al-
Qalam,1974)

Daud, Abî, Sunan Abî Daud, Juz 3, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Eco, Umberto, A Theory of Semiotics, alih bahasa Inyiak Ridwan Muzir, Teori
Semiotika, Signifikansi Komunikasi, Toeri Kode serta Toeri Produksi
Tanda, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009)

Fananie, Zaenuddin, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah University Press,


2002)

Al-Farrâ’, Abî Zakariyâ’ Yahyâ Ibn Ziyâd, Ma’ânî al-Qur’ân, Jilid I, (Kairo:
’Abd al-Fattâh Tsalabî, 1955)

Haidar, Farîd ‘Audl, ‘Ilm al-Dilâlat Dirâsat Nadzariyyat wa Tathbîq, (Kairo:


Maktabat al-Adâb, 2005)

Haleem, Muhammad Abdel, Understanding The Quran : Themes and Style,


(London and New York: I. B. Tauris, 2001)

Hamzanî, ‘Abd al-Jabbâr ibn Ahmad, Syarh al-Ushûl al-Khamsat, (Kairo:


Maktabat Wahbah, 1965)

Haqqî, Tafsîr Haqqî, Juz 9, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Hartmann, R.R.K. and F.C. Stork, Dictionary of Language and Linguistics,


(London : Applied Science Publisher Ltd., 1972)

Haryono, M. Yudie R., Bahasa Politik Al-Qur’an Mencurigai Makna di Balik


Teks, (Bekasi: Gugus Press, 2002)

Al-Hâsyimî, Ahmad, Jawâhir al-Balâghat fi al-Ma’ânî al-Bayân wa al-Badî’,


(Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyat, 2006)

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik,


(Jakarta: Paramadina, 1996)

Hough, Graham, Style and Stylistics, (London: TP, 1969)

Http://endonesa.wordpress.com/2008/09/08/Majas/URL

Http://ngawieducation. blogspot. Com /2009 /02/ stilistik-unsur-retorika-gaya-


bahasa. Html

Http://blog.re.or.id /Ghaliyah-Kelompok-Syi-ah-Ekstrem.htm

176
Husain, Thaha, Fî al-Adab al-Jâhily, (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1926)

Ibâdlî, Athfîsy, Tafsîr Athfîsy, Juz 12, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Ibâdlî, Tafsîr Haimân al-Zâd, Juz 3, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Ibn ‘Arafat, Tafsîr ibn ‘Arafat, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz 4, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Ibn ‘Âdl, Abû Hafs ‘Umar ibn ‘Alî, Al-Lubbâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, Juz 16, (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1998)

Ibn Hayyân, Abû Hayyân Muhammad ibn Yûsuf ibn ‘Alî, Tafsîr al-Bahr al-
Muhîth, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983)

Ibn al-Jauzî, Abî al-Fajr Jamâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muhammad,
Zâd al-Masîr, Juz 6, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1994)

Ibn Jinni, Abû al-Fath ‘Utsmân, Al-Khashâish âla Ushûl al-‘Arabiyyat, (ed) M.
Rasyid Ridla, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1952)

Ibn Katsîr, Abû al-Fadâ’ Ismâ’îl ibn ‘Umar, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, Juz 3,
(E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Ibn Khaldûn, ‘Abd al-Rahmân, Muqaddimat Ibn Khaldûn, (Beirut: Dâr al-Fikr,
1406 H.)

Ibn al-Qayyim Al-Jauziyyat, , Ijtimâ’ al-Juyûsy al-Islâmiyyat ‘alâ Ghazw al-


Mu’aththolat wa al-Jahamiyyat, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-
Syâmilat)

Ibn Qutaibah, Ta’wîl Musykil al-Qur’ân, (Kairo: TP., 1973)

Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, tahqîq: Khâlid al-


‘Aththâr, juz 2, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995)

Ibn Taimiyyat, Taqiyy al-Dîn, Al-Tafsîr al-Kabîr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyat)

Ichwan, Nor, Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik,


(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)

Al-‘Imâdî, Abû Su’ûd Muhammad ibn Muhammad Mushthafâ, Irsyâd al-‘Aql al-
Salîm ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-
‘Arabî, TT.)

177
Ismâ’il, Sya’bân Muhammad, al-Qirâ’at Ahkâmuhâ wa Mashâdiruhâ, (Kairo: Dâr
al-Salâm, 1986)

Al-Jamîlî, Al-Sayyid, Al-Balâghat al-Qur’âniyyat al-Mukhtârat min al-Ithqân wa


Mu’taraq al-Iqrân li al-Imâm al-Suyûthî, (Kairo: Dâr al-Ma’rifat, 1993)

Al-Jârim, ‘Alî, Mushthafâ Amîn, Al-Balâghat al-Wâdlihat li Bayân wa al-Ma’ânî


wa al-Badî’, (Beirut: Dâr al-Ma’ârif, 1977)

Al-Jashshâsh, Abû Bakr al-Râzî, Ahkâm al-Qur’ân, Juz 4, tahqîq: Muhammad al-
Shâdiq Qamhâwî, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, 1405 H.)

Al-Jurjânî, ‘Abd al-Qâhir, Asrâr al-Balâghat, (Jeddat: Dâr al-Mudunî, 1954)

_____________________, Dalâ'il al-I'jâz fî 'Ilmi al-Ma'ânî, (Kairo: Maktabat al-


Qâhirat, 1971)

Al-Jurjânî, Muhammad Syarîf, Kitâb al-Ta’rîfât, (Kairo: Dâr al-Rosyâd, 1991)

Al-Juzâirî, Abû Bakr, Aisar al-Tafâsîr , Juz 4, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Al-Juzâirî, ‘Abd al-Rahmân, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘at, (Beirut:


Dâr al-Fikr, 1996)

Kamil, Sukron, Teori Kritik Sastra Klasik dan Modern, (Jakarta: Rajawali Press,
2009)

Keraf, Gorys, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2002)

___________, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa, (Jakarta:


Nusa Indah, 1994)

Khallâf, Abd al-Wahhâb, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Qalam, 1978)

Khân, Shadîq Hasan, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, , (Beirut: Dâr al-Fikr
al-‘Arabî, TT.)

Kushartanti dkk., Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik, (Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama, 2007)

Leech, Geoffrey N. and Michael H. Short, Style in Fiction: A Linguistic


Introduction to English Fictional Prose, (London: Longman, 1981)

_________________, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Terjemahan M.D.D. Oka,


(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993)

178
Lyons, John, Semantics, Volume I, (New York: Cambridge University Press,
1979)

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan


Paramadina, 2000)

Mahsun, M.S., Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi Metode dan


Tekniknya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)

Makdisi, George, The Rise of Humanism in Classical Islam and The Christian
West, (London and Oxford: Edinburgh University Press, 1990)

Mandzûr, Muhammad ibn Mukram Ibn, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr Shâdir, TT.)

Al-Marâghî, Ahmad Mushthafâ, ‘Ulûm al-Balâghat al-Bayân wa al-Ma’ânî wa


al-Badî’, (Kairo: Dâr al-âfâq, al-‘Arabiyyat, 2000)

Mathlûb, Ahmad, Funûn Balâghiyyat al-Bayân al-Badî’, (Kuwait: Dâr al-Buhûts


al-’Ilmiyyat, 1975)

Matsna, Moh. HS, Orientasi Semantik al-Zamakhsyari Kajian Makna Ayat-Ayat


Kalam, (Jakarta: Anglo Media, 2006)

Al-Mawardî, Ibn al-Hasan ’Ali ibn Muhammad ibn Habîb, Al-Nukat wa al-’Uyûn
Tafsîr al-Mâwardî, (Beirut: Dâr al-’Ilmiyyat, TT.)

McAuliffe, Jane Dammen (Ed), The Cambridge Companion to The Qur’an, dalam
tulisan Angelika Neuwirth, Structural Linguistic and Literary Features,
(New York: Cambridge University Press, 2007)

Al-Mufadldlal, Abî al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad, Mu’jâm Mufradât Alfâdz


al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 2004)

Muhammad ibn ‘Abd Al-Wahhâb, Âdâb al-Masy ilâ al-Shalât, Juz 1, (E.Book: al-
Maktabat al-Syâmilat)

Al-Muhdar, Yunus Ali, H. Bey Arifin, Sejarah Kesusasteraan Arab, (Surabaya:


PT Bina Ilmu, 1983)

Al-Muhktâr, Muhammad al-Amîn ibn Muhammad, Tatimmat Adlwâ’ al-Bayân fî


îdlâh al-Qur’ân bi al-Qur’ân, Juz 9, (Kairo: Maktabat ibn Taimiyyat,
1988)

Al-Munajjid, Muhammad Nûr al-Dîn, al-Isytirâk al-Lafzhi fî al-Qur’ân al-Karîm


baina al-Nazhariyyat wa al-Tathbîq, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998)

179
Muslim, Imâm, Shahîh Muslim, Juz 9, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Muslim, Mushthafâ, Mabâhits fî I’jâz al-Qur’ân, (Saudi Arabia: Dâr al-Manârat,


1988)

Al-Muthallib, Muhammad ‘Abd, Al-Balâghat wa al-Uslûbiyyat, (Mesir: al-Syirkat


al-Mishriyyat al-‘Alamiyyat li al-Nasyr, 1994)

Muzakki, A. dan Syuhadak, Bahasa dan Sastra dalam al-Qur’an, (Malang: UIN
Press, 2006)

__________, Kesusastraan Arab Pengantar Teori dan Terapan, (Jogjakarta: Ar-


Ruzz Media, 2006)

Al-Nasâ’î, Al-Sunan al-Kubrâ, Hadîts 461, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat al-


Syâmilat)

Al-Nasafî, ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn Mahmûd Hâfidz al-Dîn Abû al-Barakât,
Madârik al-Tanzîl wa Haqâ’iq al-Ta’wîl, Juz 1, (E.Book: al-Maktabat
al-Syâmilat)

Natawidjaja, S. Suparman, Apresiasi Stilistik, (Bandung: PT. Intermasa, 1986)

Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press, 2009)

Parera, J.D., Teori Simantik, (Jakarta: Erlangga, 2004)

Pateda, Mansoer, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001)

Pradopo, Rahmad Djiko, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gajah Mada University


Press, 1993)

Putrayasa, Ida Bagus, Kalimat Efektif Diksi Struktur dan Logika, (Bandung:
Refika Aditama, 2007)

Qalyubi, Syihabuddin, Stilistika dalam Orientasi Studi al-Qur'an, (Yogyakarta:


Belukar, 2008)

Al-Qathîfî, Muhammad al-‘Ubaidân, Durûs fî Tafsîr al-Qur’an al-Karîm: al-


Tafsîr wa al-Ta’wîl, http://www.obaidan.org/newx78.htm

Al-Qaththân, Mannâ’, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Riyadl: Mansyûrat al-‘Ashr


al-Hadîts, TT.)

180
Quthb, Sayyid, Fî Zhilâl al-Qur’ân, al-Juz al-Awwal, (Beirut: Dâr al-‘Arabiyyat,
TT.)

Al-Râfi’î, Mushthafâ Shâdiq, Târîkh Âdâb al-’Arab, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
’Ilmiyyat, TT.)

Al-Râfi'i Mushthafâ Shâdiq, I‘jâz al-Qur’ân wa al-Balâghat al-Nabawiyyat,


(Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyat, 2003)

Raof, Hussein Abdur, Arabic Rhetoric a Pragmatic Analysis, (London and New
York: Routledge, 2006)

Ratna, Nyoman Kutha, Estetika Budaya dan Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007)

Raya, Ahmad Thib, Rasionalitas Bahasa al-Qur’an Upaya Menafsirkan al-


Qur’an dengan pendekatan Kebahasaan, (Jakarta: Fikra, 2006)

Al-Râzî, Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Hasan ibn al-Husain al-
Taimî, Al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dâr al- Fikr,
1985)

Saenong, Ilham B., Hermeneutika Pembebasan Metodologi al-Qur’an menurut


Hassan Hanafi, (Jakarta: Teraju, 2002)

Al-Sakkâkî, Abû Ya’qûb Yusûf ibn Abî Bar Muhammad ibn ‘Ali, Miftâh al-
‘Ulûm, (Beirut: Dâr al-Kutub, al-‘Ilmiyyat, 1987)

Salâmat, Muhammad Husain, Al-I’jâz al-Balâghî fî al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo:


Dâr al-ffâq al-‘Arabiyyat, 2002)

Al-Samarqandî, Abû al-Laits, Bahr al-‘Ulûm, Juz 4, (E.Book: al-Maktabat al-


Syâmilat)

Sandell, Rolf, Linguistic Style and Persuation, (London and New York, Fransisco
: Academic Press, 1977)

Setiawan, M. Nur Kholis, Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ


Press, 2005)

Al-Shâbûnî, Muhammad ‘Alî, Shafwat al-Tafâsîr, Juz 1, (Beirut: Dâr al-Fikr,


1976)

Shaleh, H.A.A.Dahlan dkk., Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya


Ayat-Ayat Al-Qur’an, (Bandung: Diponegoro, 2007)

181
Shâlih, Shubhî, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Cet. ke-9, (Beirut: Dâr al-‘Ilm,
1977)

Sherif, Faruq, A Guide to The Contents of The Qur’an, alih bahasa M.H. Assagaf
dan Nur Hidayah, Al-Qur’an Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 1995)

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an


Volume I, (Jakarta: Lentera Hati, 2007)

_________________, Mukjizat Al-Qur'an ditinjau dari Segi Keaspekan Isyarat


Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, (Bandung: Mizan, 1998)

Sibawaihi, Kitâb Sibawaih, (Ed.) ‘Abd al-Salam Muhammad Hârûn, (Kairo:


Maktabat al-Khânjî,1988)

Siswantoro, Apresiasi Puisi-Puisi sastra Inggris, (Surakarta: UMS Press, 2000)

Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006)

Sudjiman dan Aart Van Zoest (ed), Serba-serbi Semiotika, (Jakarta: Gramedia,
1992)

Al-Sulthânî, Muhammad ‘Alî, Al-Mukhtâr min ‘Ulûm al-Balâghat wa al-‘Arûdl,


(Suriah: Dâr al-‘Ashmâ’, TT.)

Al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz II,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 2000)

Al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn al-Mahallî dan, Tafsîr al-Jalâlain, Juz 9, (E.Book: al-
Maktabat al-Syâmilat)

Al-Syaikhî, Al-Khâzin Abû al-Hasan Alî ibn Muhammad ibn Ibrâhîm ibn ‘Umar,
Lubbâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, Juz 3, (Beirut: Dâr al-Fikr, TT.)

Syalthûth, Mahmûd, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, alih bahasa Herry Noer Ali,
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Pendekatan Syalthûth Menggali Esensi Al-
Qur’an, Juz 4, (Bandung: Diponegoro, 1990)

Syamsuri, Kusmana (Ed.), Pengantar Ilmu al-Qur’an Tema Pokok Sejarah dan
Wacana Kajian, dalam tulisan Yusuf Rahman, Kritik Sastra dan Kajian
al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alhusna Baru, 2004)

Syaraf, Hafinî Muhammad, I’jâz al-Qur’ân al-Bayânî, (Lajnat ‘Ammât Li al-


Qur’ân wa al-Sunnat, 1970)

182
Al-Syarqâwi, ’Iffat, Ittijâhât al-Tafsîr fî Mishr fî ’Ashr al-Hadîts, (Kairo: TP.,
1972)

Al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Juz 8, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Tamîmî, Abî Manshûr ‘Abd al-Qâhir ibn, Ushûl al-Dîn, (Turki: Mathba’at al-
Daulat, 1928)

Tarigan, Henry Guntur, Membaca Ekspresif, (Bandung: Angkasa, 1994)

___________________, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985)

Teeuw, A., Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1984)

Al-Thabarî, Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghâlib al-Âmilî Abû
Ja’far, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Juz 1, (Beirut: Dâr al-Fikr,
1988)

Al-Thanthâwî, Muhammad Sayyid, Al-Tafsîr al-Wasîth, Juz 1, (E.Book: al-


Maktabat al-Syâmilat)

Al-Tsa’âlabî, Abû Zaid ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad ibn Makhlûf, al-Jawâhir
al-Hisân fî Tafsîr al-Qur’ân, Juz 4, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Turner, G.W., Stylistic, (England: Penguin Books Ltd., 1975)

Al-‘Utsaimîn, Muhammad ibn Shâlih, Majâlis Syahr Ramadlân, Juz 1, (E.Book:


al-Maktabat al-Syâmilat)

_______________________________, Syarh al-‘Aqîdat al-Wasathiyyat, (Mesir:


Dâr al-Da’wat al-Islâmiyyat, 2001)

Vito, Joseph A. De, The Psychology of Speech and Language an Introduction to


Psycholinguistics, (New York: Random House Inc., 1970)

Wansbrough, John, Qur’anic Studies Sources and Methods of Scriptural


Interpretation, (New York: Prometheus Books, 2004)

Watt, W. Mangoromery and Richard Bell, Introduction to The Qur’an,


(Edinburgh: University Press, 1994)

Waridah, Ernawati, EYD dan Kebahasa-Indonesian, (Jakarta: Kawan Pustaka,


2008)

183
Wijana, I Dewa Putu dkk., Semantik Teori dan Analisis, (Surakarta: Yuma
Pustaka, 2008)

Wild, Stefan, The Qur’an As Text, (Leiden, New York, Koln: Brill, 1996)

Zaenuddin, Mamat, dkk., Pengantar Ilmu Bayan, (Bandung: Zein Al-bayan,


2006)

Zaid, Nashr Hâmid Abû, Al-Ittijâh al-‘Aqlî fî al-Tafsîr Dirâsat fî Qadliyyat al-
Majâz ‘inda al-Mu’tazilat, alih bahasa Abdurrahman Kasdi dkk.,
Menalar Firman Tuhan : Wacana Majas dalam al-Qur’an menurut
Mu’tazilah, (Bandung: Mizan, 2003)

_____________________, Mafhûm al-Nash fî ’Ulûm al-Qur’ân , (Mesir: al-


Hai’at al-Mishriyyat al-’Âmmat li al-Kitâb, 1993)

Al-Zaidî, Al-A’qam, Tafsîr Al-A’qam, Juz 2, (E.Book: al-Maktabat al-Syâmilat)

Zain, Samit ‘Athif, Ushûl al-Fiqh al-Muyassar al-Muqaddimat li al-Mausû’at al-


Ahkâm al-Syarî’at fî al-Kitâb wa al-Sunnat, (Beirut: Dâr al-Kitâb, 1990)

Al-Zarkasyî, Badr al-Dîn Muhammad ibn ‘Abd Allâh, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-
Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2006)

Al-Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-Azhîm, Manâhil al-‘Irfan fi Ulûm al-Qur’ân,


Juz II, (Kairo: Dâr al-Salâm, 1424 H.)

184

Anda mungkin juga menyukai