Anda di halaman 1dari 177

KOLOKASI DALAM AL-QUR`AN

TESIS

Dimajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Memperoleh Gelar Magister Agama dalam
Bidang Pendidikan Bahasa Arab

Oleh:

Irfan Sidqon
NIM: 07.2.00.1.13.08.0045

Pembimbing,
Dr. Ahmad Dardiri, MA

Penguji:
Prof. Dr. Suwito, MA
Prof. Dr.H D. Hidayat, MA
Dr. Sukron Kamil, MA

KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
LEMBAR PERNYATAAN

1
Bahwa saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Irfan Sidqon

Nim : 07. 02.00.1.13.08.0045

Pekerjaan : Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif


Hidayatullah Jakarta

Agama : Islam

Menyatakan bahwa tesis yang berjudul Aplikasi Kolokasi Dalam al-


Qur`an merupakan hasil karya asli saya yang digunakan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 2 (Magister) di Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jika di kemudian hari
terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta berupa pencabutan gelar.

Jakarta, 8 Juli 2009

Irfan Sidqon

2
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Setelah memeriksa dan mengadakan perbaikan seperlunya atas tesis yang


berjudul Aplikasi Kolokasi Dalam al-Qur`an oleh saudara Irfan Sidqon NIM: 07.
02.00.1.13.08.0045, Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, maka kami dapat
menyetujuinya untuk diajukan dalam ujian tesis.

Jakarta, Juli 2009

Pembimbing,

Dr. Ahmad Dardiri, MA

3
PERSETUJUAN TIM PENGUJI

Tesis Irfan Sidqon (NIM. 07.2.00.1.13.08.0045) yang berjudul


KOLOKASI DALAM AL-QUR`AN telah diujikan dalam sidang Munaqasyah
Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta pada hari Kamis, tanggal 20 Agustus 2009, dan telah
diperbaiki sesuai saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

TIM PENGUJI

Ketua Sidang / Penguji, Pembimbing / Penguji,

Prof. Dr. Suwito, MA Dr. Ahmad Dardiri, MA


Tanggal: ... Agustus 2009 Tanggal: ... Agustus 2009

Penguji, Penguji,

Prof. Dr.H.D. Hidayat, MA Dr. Sukron Kamil, MA


Tanggal: ... Agustus 2009 Tanggal: ... Agustus 2009

4
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya perdebatan tentang kolokasi.
Sebagian ahli bahasa mengatakan bahwa kolokasi merupakan relasi kata,
sedangkan sebagian yang lainnya mengatakan bahwa kolokasi merupakan relasi
antar konstituen struktur kalimat. Kedua kolokasi ini mempunyai peran dalam
melahirkan makna. Makna kolokasi kata lahir karena adanya kesesuain dalam
relasi antar kata. kesesuaian relasi tersebut karena adanya polisemi, sinonim dan
antonim kata. Makna kolokasi struktur kalimat lahir karena adanya runtutan dan
fungsi kata dalam sebuah kalimat.
Oleh karena itu penelitian ini berusaha mengkombinasikan kedua teori
kolokasi tersebut dengan menggunakan metode penelitian teks. Teks yang
menjadi objek kajiannya adalah al-Qur`an. Teknik yang ditempuh dalam
penelitian ini dengan cara mengakomodasi berbagai teori kolokasi. Baik teori
kolokasi yang terjadi pada tataran kata maupun teori kolokasi yang terjadi pada
tataran struktur kalimat.
Kesimpulan dari akomodasi teori kolokasi dari berbagai tokoh linguistik
difungsikan sebagai potret untuk menganalisis kata dan bentuk struktur kalimat
yang masuk kedalam teori-teori kolokasi. Potret teori kolokasi dapat
menghasilkan empat klasifikasi kolokasi pada tataran kata dan tiga klasifikasi
kolokasi pada tataran struktur kalimat yang terdapat dalam al-Qur`an. Empat
klasifikasi kolokasi pada tataran kata adalah: kolokasi bebas, kolokasi terbatas,
kolokasi sinonim dan kolokasi antonim.
Kolokasi bebas memberikan pengertian tentang relasi kata tanpa dibatasi
oleh rumpun kata tertentu. Dalam al-Qur`an dapat ditemukan pada surat al-
Baqarah ayat 85 tentang relasi kata ِ َ َِ ْ ‫ َ ْ َم ا‬. Pada relasi kata tersebut yang
menjadi kata kuncinya adalah ‫ َ ْ َم‬. Kata tersebut bisa secara bebas berkombinasi
dengan kata apaun termasuk kata yang tidak serumpun dengan kata ِ َ َِ ْ ‫ا‬.
Kolokasi terbatas merupakan kombinasi dua kata atau lebih yang pada umumnya
ketersandingannya merupakan suatu kelaziman dan dibatasi oleh rumpun kata
tertentu. Ungkapan ‫ ر ر‬yang tercantum pada surat al-Baqarah ayat 16
merupakan kolokasi terbatas karena relasi antara kata ‫ ر‬yang berfungsi sebagai
fi`l terbatas hanya bisa berpasangan dengan kata ‫ رة‬sebagai fâ`ilnya ataupun
dengan kata yang lain yang memiliki sifat perdagangan. Kolokasi sinonim
mempunyai pengertian bahwa kata yang mempunyai makna yang sama akan
melahirkan kolokasi, seperti kata ‫ أة‬dan kata ‫وة‬. Perbedaan antara kata ‫وة‬
dengan kata ‫ أة‬inilah yang akan memunculkan kolokasi terbatas karena kata pada
ungkapan ِ‫ﺡ  َِ َو‬
َ ُ #َ ُ$ْ  tidak bisa diganti menjadi ‫ﺡ  أ‬
َ ُ #‫أ‬. Kolokasi antonim
mempunyai pengertian bahwa kelaziman munculnya kata yang berlawanan dalam
suatu kalimat. Dalam surat al-Baqarah ayat 16 contohnya terdapat kolokasi negatif
yang terdiri dari kata  % ‫ ا‬dengan kata ‫ا 'ي‬.
Penelitian ini juga menghasilalkan temuan Tiga klasifikasi kolokasi pada
tataran struktur kalimat yaitu: kolokasi gramatika lengkap, kolokasi reduksi
konstituen struktur kalimat, dan kolokasi afiks konstituen struktur kalimat.
Kolokasi gramatika lengkap terbagi dalam 2 macam yaitu: kolokasi invesi struktur
kalimat dan kolokasi anastrop struktur kalimat. Kolokasi invesi struktur kalimat
mengandung pengertian permutasian konstituen struktur kalimat, contohnya pada

5
ayat 2 surat al-’A`râf yang berbunyi: ‫*ر‬+$ + ‫'رك ﺡج‬. /0 12 0 3 ‫ل إ‬6#‫ب أ‬$‫آ‬
pada ayat tersebut secara normal runtutan konstituen struktur kalimatnya adalah
kata  ‫*ر‬+$ terletak setelah ungkapan 3 ‫ل إ‬6#‫ب أ‬$‫آ‬, namun kenyataannya kata ‫*ر‬+$
mendapatkan permutasian dan diletakan pada akhir ayat. Kolokasi anastrop
struktur kalimat mempunyai pengertian mendahulukan konstituen struktur kalimat
yang akhir dan mengakhirkan konstituen struktur kalimat yang awal contoh: ‫م‬7
/‫ ه‬ungkapan ini mengandung makna ‫م‬7 /‫ه‬.
Kolokasi reduksi konstituen struktur kalimat mempunyai pengertian
membuang salah satu konstituen struktur kalimat contoh: 9:ْ ‫ ن ; ا‬9+ ‫ذا‬, kata
9:ْ ‫ ا‬dibaca rafa` karena kata tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan ‫ذا‬
‫ ن‬9+ yang dibuang mubtadanya yang diperkirakan (ditakdirkan) berupa dhamir
‫ه‬. Kolokasi afiks konstituen struktur kalimat mempunyai pengertian adanya
penambahan konstituen struktur kalimat contoh: >?‫ا‬$ ‫ ا @> وا‬1 1 ‫ج‬A, kata 1
pada ayat tersebut merupakan konstituen tambahan (ziyadah) karena >@ ‫ ا‬1
>?‫ا‬$ ‫ وا‬sudah mengandung makna 1.

6
Abstract

This research is motivated by debate of collocation. Some linguists say that


kolokasi is related words, while some others say that the relation between a
constituent structure of sentences. Both collocation have a role in the birth of
meaning. Meaning of the word collocation due kesesuain born in relations
between words. suitability of these relationships because of polisemi, synonyms
and antonyms. The meaning of the sentence structure collocation born because of
the sequence and function of words in a sentence.
Therefore, this study tried to combine these two theories collocation using
research methods text. Text which is the object of study is al-Qur `an. The
techniques applied in this study by collocation accommodate various theories.
Both theory collocation happens at the level of words and theories collocation
happened at the level of sentence structure.
Conclusion collocation theory of accommodation from a variety of
linguistic function as a portrait to analyze words and sentence structures
collocation theories. Portrait collocation theory can produce four levels of
classification collocation on classification of words and three collocation at the
level of sentence structure contained in al-Qur `an. Four collocation at the level of
classification is the word: colloction free, limited collocation, collocation
synonyms and antonyms collocation.
Collocation free means related words without being limited by a grove of
certain words. In al-Qur `an can be found in the letter of al-Baqarah verse 85 of
 ‫  م ا‬related words. In relation to the word is the key word is ‫ م‬. The word can
be freely combined with the word what including words that are not allied with
 ‫ا‬. Collocation Limited is a combination of two or more words that generally
pairing is a common practice and is limited by a particular word family. ‫ر‬
‫ ر‬expression contained in the letter of al-Baqarah verse 16 is limited because
collocation relationship between the words that served as ‫ ر‬fi `l be limited
only by the word pairs as a fa`il ‫ رة‬or other words that have the nature of trade.
Collocation synonyms means that words have the same meaning to give birth
collokation, such as word and word ‫وة أة‬. The difference between the words
‫ وة أة‬words will trigger this collocation limited because the word in the phrase
‫ ﺡ و‬# $ can not be replaced ‫ ﺡ أ‬#‫أ‬. Collocation antonyms have the
emergence of the notion that the prevalence of the opposite word in a sentence. In
the letter al-Baqarah verse there are 16 examples of negative kolokasi consisting
of words with words ‫  ا 'ي‬% ‫ا‬.
The reseach findings also Three collocation classification at the level of
sentence structure: a complete grammatical collocation, constituent reduction
collocation sentence structure, and constituent affixes collocation sentence
structure. Complete grammatical collocation divided into 2 types, namely:
collocation inversi sentence structure and sentence structure collocation anastrop.
collocation inversi sentence structure implies mutation constituent sentence
structure, for example in paragraph 2 letter al-'A `raf, which reads: 0 3 ‫ل إ‬6#‫ب أ‬$‫آ‬
 ‫*ر‬+$ + ‫'رك ﺡج‬. /0 12 in sub-sequences such as normal constituent sentence
structure is located  ‫*ر‬+$ words after 3 ‫ل إ‬6#‫ب أ‬$‫ آ‬expression, but in fact the word

7
‫*ر‬+$ get mutation and placed at the end of paragraph. collocation anastrop means
put the constituents of the end of the sentence structure and sentence structure
mengakhirkan constituents of the early example of this expression ‫م‬7 /‫ ه‬implies
‫م‬7 /‫ه‬.
Collocation reduction sentences have constituent structure discard the
notion of constituent structure of a sample sentence: ; ‫ ن‬9+ ‫ ذا‬9: ‫ا‬, word rafa
` 9: ‫ ا‬read because words are the answer to the question of discarded ‫ ن‬9+ ‫ذا‬
mubtadanya estimated (destined) dhamir ‫ ه‬form. Affixes Kolokasi constituent
sentence structure has the notion of adding the constituent structure of sentences
for example: >?‫ا‬$ ‫ ا @> وا‬1 1 ‫ج‬A, said in paragraph 1 the additional
constituents (ziyadah) because >?‫ا‬$ ‫ ا @> وا‬1 1 already contains the meaning.

8
‫‪BA‬‬
‫ا 'ا‪ F0‬ا ‪ /‬ورود ه*ا ا ‪ CD‬ه ا‪G‬ﺥ‪$‬ف ﺡ ل ا ‪%$‬م‪ . .‬ول ‪ L:‬ا ‪ 1 K‬أن‬
‫ا ‪%$‬م ه ا ‪:‬ت ‪ 1‬ا ‪N2‬ت‪ ،‬ول ا‪P‬ﺥون أن ا ‪%$‬م ه ا ‪:‬ت ‪.+O 1‬‬
‫ا ‪ .;N‬و *‪ 1‬ا ‪ 1%$‬دور ‪ + /0‬ا ‪% /#: R ./#:N‬م ا ‪N2‬ت ‪ SN‬ا ‪:‬‬
‫‪ .+‬و‪ 3‬ا ‪ SN‬ﺝ د ‪':‬د ا ‪ ،T+:N‬وا ‪$N‬ادف‪ ،‬وا ‪%$‬د‪ .‬و‪% T#: R‬م ا ‪N‬‬
‫ ﺝ د ا ‪ >$‬و و‪ V?W‬ا ‪ T0 N2‬ا ‪.N‬‬
‫‪ ،3 *D0‬ﺽ ه*ا ا ‪ CD‬ا ‪ 1$R+‬ا ‪'A$7 1$Y‬ام ‪ ; X‬ا ‪ .B+‬أ‬
‫ا ‪@N‬در ا]‪* 77‬ا ا ‪ /0 CD‬ا ‪ @+‬ص ا [‪ .#‬وا ‪ +$‬ا ‪9$YN‬دة ‪ CD‬ه‪ /‬ﺝ‪FN‬‬
‫ا ‪R+‬ت ‪ 1O‬ا ‪%$‬م‪ ،‬إ آن ا ‪%$‬م ‪ T0‬ا ‪N2‬ت أو ‪ T0‬ا ‪.;N‬‬
‫وﺥ‪R# .‬ت ا ‪%$‬م ا ‪ T$‬أورده ا ‪  K‬ن ﺝ‪ :‬ا ‪D‬ﺡ‪ C‬أ‪;$ 77‬‬
‫ا ‪N2‬ت وا  ا‪ 'O‬ا ‪R# T0 % T$‬ت ا ‪%$‬م‪R# 1 ;@ .‬ت ا ‪%$‬م أر‪:‬‬
‫‪NN%‬ت ‪ T0‬ا ‪N2‬ت و ^^ ‪  T0‬ا‪ 'O‬ا ‪ N‬آ‪ N‬و‪ T0 F‬ا [ن‪ .‬وأر‪ :‬ا ‪NN%$‬ت ‪T0‬‬
‫ا ‪N2‬ت ه‪ /‬ا ‪%$‬م ا ‪ ،‬ا ‪%$‬م ا ‪'N‬ود‪ ،‬ا ‪$N‬ادف‪ ،‬وا ‪%$‬د‪.‬‬
‫ا ‪%$‬م ا  ه‪ O /‬ا ‪N2‬ت ‪'O F‬م '' ﺝ‪ .Y+‬وو‪ F‬ه*ا ا ‪ +‬ع ‪ 7 T0‬رة‬
‫ا ‪D‬ة‪ 1 ٨٥ :‬ا [ن ‪ O 1O‬ا ‪  " 1$N2‬م ا  "‪ .‬و‪ 1‬ا ‪ 1 :‬ا ‪1$N2‬‬
‫ا ‪. ،1$Y‬رت آ‪ " N‬ا  م " أ‪ .N 77‬ود ‪ 3 O‬ا ‪N2  N2‬ت ا]ﺥى‬
‫ﺡ‪ " N2 V$A C‬ا َِ َ ِ "‪ .‬أ ا ‪%$‬م ا ‪'N‬ود ه ﺽ آ‪f0 1$N‬آ‪ e‬ﺡ‪ C‬أن آن‬
‫ ‪$ O‬ز و'ودة ‪ g+‬ا ‪ N2‬ا ‪ .@$AN‬وﺝ‪ " N‬ر ر " آ‪ N‬و‪F‬‬
‫‪ 7 T0‬رة ا ‪D‬ة‪ ١٦ :‬ه‪ # /‬ع ا ‪%$‬م ا ‪'N‬ود ]ن ‪ O‬آ‪ " N‬ر " ه ا ‪ ;:9‬ا ‪'N‬ود‬
‫و‪ " N2 $S‬رة " وه‪ ،O0 /‬أو ا ‪N2‬ت ا]ﺥى ا ‪ T#:N N?N‬ا ‪$‬ر‪.‬‬
‫وا ‪$N‬ادف ه ا ‪ N2‬ا ‪ Y Tf T$‬اء ا ‪ ;@ T+:N‬ا ‪%$‬م‪ ;e ،‬آ‪ " N‬أة " و " وة‬
‫ َو ِ ِ‬
‫ﺡ  ِ َ‬
‫"‪ .‬ا ‪9‬ق ‪ 3 1‬ا ‪ ;@ 1$N2‬ا ‪%$‬م ا ‪'N‬ود‪  $7G ،‬ا'ال ﺝ‪َ ُ #َ ْ ُ$ْ َ " N‬‬
‫ﺡ  َِا َء ِ ِ "‪ .‬و‪:‬ف ا ‪%$‬د ‪f‬ن ازم ااز ا ‪N2‬ت ا ‪T0 Y2:+N‬‬ ‫" ‪َْ َ " N‬أ َ‪َ ُ #‬‬
‫ا ‪ .N‬وه*ا د ‪ 7 T0‬رة ا ‪D‬ة‪ 1 ١٦ :‬ا [ن ا ‪ ;e ،2‬ا ‪%$‬م ا ‪ TDY‬ا ‪ $ T$‬ى‬
‫‪ TO‬آ‪ " N‬ا ‪ "  %‬و " ا 'ي "‪.‬‬
‫و@; ا ‪ ^^ CD‬أ‪ #‬اع ‪NN%‬ت ‪  T0‬ا‪ 'O‬ا ‪ N‬وه‪% /‬م ا  ا‪ 'O‬ا ‪،;2‬‬
‫‪%‬م ﺡ*ف ‪  .+O‬ا‪ 'O‬ا ‪ ،N‬و ‪%‬م زدة ‪  .+O‬ا‪ 'O‬ا ‪%$ 0 .N‬م ا ‪;2‬‬
‫ا ‪*N‬آ ر ‪ $‬ى ‪% TO‬م ا ‪f$‬ﺥ وا ‪ .'$‬و‪%‬م ا ‪f$‬ﺥ أو ا ‪.+O > ;Nm '$‬‬
‫ا ‪ ،N2‬آ‪ N‬و‪ 7 T0 F‬رة ا]‪O‬ف‪ " ٢ :‬آ‪$‬ب أ‪6#‬ل إ ‪'. T0 12 0 3‬رك ﺡج ‪+‬‬
‫ ‪*+$‬ر  "‪ .‬و> ‪ .+O‬ا ‪ N‬ا ز ه‪ /‬آ‪*+$ " N‬ر " و‪ ': :‬ﺝ‪ " N‬آ‪$‬ب‬
‫أ‪6#‬ل إ ‪ ،" 3‬و‪ T0‬ا ا‪ F‬أن آ‪*+$ " N‬ر " آ‪ D+ #‬ووﺽ‪[ T0 :‬ﺥ ا‪ .P‬و‪%‬م‬
‫‪f‬ﺥ و' ‪ .+O‬ا ‪ N‬ه ﺝ‪ .+O ;:‬ا ‪ '$ N‬أو ‪f$‬ﺥا ‪ TO‬ا‪P‬ﺥ‪" ;e .‬‬
‫‪7‬م ه‪ ،" /‬و‪ 1N%$‬ه*‪ o‬ا ‪ " +: N‬ه‪7 /‬م "‪.‬‬
‫و‪%‬م ﺡ*ف ‪ .+O‬ا ‪ N‬ه ﺡ*ف أﺡ' ‪ .+O‬ا ‪ " ;e N‬ذا ‪ 9+‬ن ;‬
‫ا ‪0 ." 9:‬أ آ‪ " N‬ا ‪ #] O 0 " 9:‬ﺝ اب ‪ TO‬ا ‪pY‬ال " ذا ‪ 9+‬ن؟ "‪ .‬وﺡ*ف‬
‫‪'$D‬أه و'‪ " o‬ه "‪ .‬و‪%‬م زدة ‪  .+O‬ا‪ 'O‬ا ‪ N‬ه زدة أﺡ' ‪ @+O‬ر  ا‪'O‬‬
‫ا ‪A " ;e N‬ج ‪ 1 1‬ا @> وا ‪$‬ا?> "‪ 3 T0 " 1 " N20 ،‬ا‪ P‬زدة‪] ،‬ن‬
‫ا ‪ 1 " N‬ا @> وا ‪$‬ا?> " ' ﺽ‪" 1 " T+: 1N‬‬

‫‪9‬‬
KATA PENGANTAR

‫ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ‬

‫ ﻭﻋﻠﻴﻪ‬.‫ ﻭﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻰ ﺻﻔﻮﺗﻪ ﳏﻤﺪ ﻭﺁﻟﻪ ﺍﳌﻨﺘﺨﺒﲔ‬.‫ﺍﳊﻤﺪ ﷲ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺍﻟﻘﺪﱘ‬
.‫ﻭﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺃﲨﻌﲔ‬
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan kenikmatan
kepada hamba-hambanya baik yang beriman maupun yang tidak beriman.
Termasuk kenikmatan kesempatan penulis bisa belajar dibangku Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta. Kenikmatan yang tidak terhingga lagi penulis diberikan
banyak hidayah untuk bisa menyelesaikan penulisan tesis ini. Shalawat serta
Salam semoga senantiasa terlimpah pada Nabi Muhammad Saw. Semoga ajaran-
ajarannya akan senantiasa menjadi petunjuk dan pegangan bagi umat manusia
sampai hari kiamat.

Penulis kiranya perlu mengucapkan banyak terima kasih kepada banyak


pihak yang telah mendukung hingga terlaksannya proses belajar di Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta sampai selesai. Yang pertama penulis ucapkan terima
kasih kepada Bapak Menteri Agama RI sebagai pemegang kebijakan tertinggi
yang telah memberikan program bea siswa kepada para guru termasuk guru-guru
bidang studi bahasa Arab untuk Madrasah Aliyah (MA). Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Direktur Mapenda sebagai pelaksana kebijakan menteri
sehingga program bea siswa ini benar-benar terlaksana.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kakanwil Depag Kal-
Teng, Kakandepag Kota Palangkaraya dan juga kepada Kepala MAN Model
Palangkaraya, yang telah memberikan izin untuk mengikuti program bea siswa
ini. Kepada seluruh Dewan guru dan Karyawan Man Model Palangkaraya yang
telah turut memberikan do`a serta urusan administrasi sewaktu penulis
melaksanakan tugas belajar.

10
Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Tim Work in Progress, yaitu Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali dan
Dr. Yusuf Rahman, yang telah memberikan arahan-arahan terhadap penulisan
tesis dengan penuh kesabaran walaupun terkadang kelihatan gregetan melihat
hasil karya yang tidak mengglobal dan tidak mendunia. Kepada pembimbing Dr.
Ahmad Dardiri, MA yang dengan teliti dan cermat memberikan koreksi dan kritik
demi kebaikan dan kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kepada keluarga terutama kedua orang tua, Drs.H.Kaelani (Alm) dan Hj.
Ngalimah serta mertua Hj. Nasiroh yang telah bersedia mendampingi cucunya
sampai penulis menyelesaikan tugas belajar. Dan yang paling spesial penulis
berikan apresiasi yang paling dalam kepada Istri, Umi Umayah, S Pd yang siap
menjadi single parents selama penulis melaksanakan tugas belajar dan kepada
Nilna Syakira Widai (Nina) sebagai anak pertama yang tidak didampingi oleh
Bapaknya ketika lahir semoga menjadi anak yang sholehah.

Kepada teman-teman senasib dan seperjuangan di Sekolah Pascasarjana


UIN Syarif Hidayatullah, dan sahabat-sahabatku pada program beasiswa Depag
angkatan 2007 dari PBA dan PAI yang senantiasa memberikan semangat dan
waktu berdikusi untuk segera menyelesaikan Program Magister khususnya
penulisan Tesis ini. Dan, semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas
ini tanpa bisa disebutkan satu persatu.

Akhir kalam, semoga Tesis ini dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi
penulis sehingga terlimpah pahala yang tidak akan terputus, dan menambah
wawasan keilmuan dalam khazanah masyarakat ilmiah. Amin

Jakarta, Agustus 2009

Penulis,

Irfan Sidqon

11
PEDOMAN TRASLITERASI

A. Konsonan

Arab ‫ﺥ ﺡ ﺝ ﺙ ﺕ ﺏ ﺀ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﺫ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﺽ ﺹ ﺵ ﺱ‬

Latin ‘ b T Ts J H kh D Dz R Z S Sy Sh Dl

Arab ‫ﻝ ﻙ ﻕ ﻑ ﻍ ﻉ ﻅ ﻁ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻥ‬ ‫ﻱ ﻫـ ﻭ‬ ‫ﺓ‬

Latin th zh ` Gh f Q k l M N W H Y t

B. Vokal Pendek dan Panjang

Vokal Pendek Vokal Panjang Contoh

Arab ‫َـ‬ ِ‫ـ‬ ُ‫ـ‬ ‫ـَﺎ‬ ‫ﻲ‬ ‫ـ‬


ِ ‫ﻮ‬ ‫ـ‬
ُ ‫ﻗﺎﻋﺪﺓ‬ ‫ﻛﺜﲑ‬ ‫ﺳﺠﻮﺩ‬

Latin a I u  î û qâ’idah katsîr sujûd

C. Diftong

‫ﻭ‬ ‫ﹶﺃ‬ ‫ﻱ‬


 ‫ﹶﺃ‬ ‫ﺖ‬‫ﺑﻴ‬ ‫ﺀ‬‫ﺿﻮ‬

Arab

Latin au Ai bait dhau’

D. Pembauran

Arab
‫ﹶﺍ ﹾﻝ‬ ‫ﺍﳌﺪﻳﻨﺔ‬ ‫ﺍﻟﺮﲪﻦ‬

Latin al al-Madînah al-Rahmân

12
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
SURAT PERNYATAAN .................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ iii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI ......................................................................... iv
ABSTRAK .......................................................................................................... v
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
CD ‫ ا‬BA ............................................................................................................ ix
KATA PENGANTAR ......................................................................................... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... xii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Permasalahan ............................................................................................ 9
1. Identifikasi Masalah ............................................................................ 9
2. Pembatasan Masalah ........................................................................... 10
3. Perumusan Masalah ............................................................................ 11
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan .......................................................... 11
D. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 12
E. Signifikansi Penelitian ............................................................................. 13
F. Metode Penelitian ..................................................................................... 14
1. Jenis Penelitian ................................................................................... 14
2. Sumber Data ....................................................................................... 15
3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data ...................................... 16
4. Teknik Analisis Data ........................................................................... 16
5. Asumsi Dasar ...................................................................................... 16
6. Keterbatasan Penelitian ....................................................................... 17
G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 17

13
BAB II KOLOKASI MENURUT PARA LINGUIS ...................................... 19

A. Kolokasi Dalam Berbagai Perspektif ....................................................... 19


B. Pentingnya Kolokasi Dalam Pemaknaan .................................................. 24
C. Jenis dan Bentuk Kolokasi ....................................................................... 30
BAB III MAKNA RELASI KATA DALAM AL-QUR`AN .................... 48
A. Kolokasi Bebas ......................................................................................... 51
B. Kolokasi Terbatas .................................................................................... 70
C. Kolokasi sinonim kata .............................................................................. 77
D. Kolokasi antonim kata .............................................................................. 90

BAB IV MAKNA RELASI KONSTITUEN STRUKTUR KALIMAT DALAM


AL-QUR`AN ............................................................................................ 98
A. Kolokasi Gramatika Lengkap ................................................................... 104
1. Makna Inversi Struktur Kalimat ......................................................... 108
2. Makna Anastrop Struktur Kalimat ..................................................... . 110
B . Kolokasi Reduksi Konstituen Struktur Kalimat ...................................... . 116
1. Reduksi Mubtadâ’ .............................................................................. 118
2. Reduksi Khabar ................................................................................. 123
3. Reduksi Fâ’il ..................................................................................... 126
C. Kolokasi Afiks Konstituen Struktur Kalimat ........................................... 129
1. Afiksasi Pronomina (Dhamîr) ........................................................... 130
2. Afiksasi Nama Tempat (Zharf) ......................................................... 131
3. Afiksasi Kata Idz ............................................................................... 133
4. Afiksasi Huruf al-Kâf ........................................................................ 134
5. Afiksasi Huruf al-Bâ’ ........................................................................ 135
6. Afiksasi Huruf Min ............................................................................ 140
7. Afiksasi Huruf al-lâm al-Jâr ............................................................ . 143
8. Afiksasi Huruf lâm al-Tauk îd .......................................................... 144
9. Afiksasi Huruf Mâ ............................................................................ . 146
10. Afiksasi Huruf Lâ .............................................................................. 148
11. Afiksasi Huruf Wa .............................................................................. 152
12. Afiksasi Huruf In ............................................................................... 155

14
13. Afiksasi Huruf An .............................................................................. 157

BAB V KESIMPULAN .................................................................................. 159

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 163

LAMPIRAN

15
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kajian bahasa Arab mulai dirintis dan menjadi tradisi dikalangan bangsa
Arab sejak abad kedua hijriyah. Gagasan awal dan dasar-dasar terhadap kajian
bahasa Arab dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya, pekerjaan tersebut
dilanjutkan secara ekstensif oleh muridnya yang bernama Abu al-Aswad Al-
Dhualy1. Dalam satu riwayat disebutkan, bahwa Abu al-Aswad Al-Dhualy sebagai
pencinta dan pemerhati bahasa Arab yang tinggal di negeri Basrah (sekarang,
Irak) pernah menemukan seorang qori sedang mentilawahkan al-Qur an. Ketika
itu qori tersebut membaca kata rasûlihi yang terdapat dalam ayat innallâha barîun
min al-musyrikîn wa rasûluhu dengan berbaris bawah (kasrah) dengan maksud
meng`athaf kannya kepada kata al-musyrikîn2.
Penelitian dan penulisan kaidah bahasa Arab dari masa ke masa
mengalami perkembangan yang berarti. Kaidah tata bahasa Arab pada mulanya
ditulis untuk dijadikan sebagai pedoman dalam membaca atau memahami al-
Qur`an, terutama bagi kalangan `Ajam ( non Arab). Hal ini dapat dipahami karena
kaidah tata bahasa Arab itu berporos atau bersumber dari al-Qur`an dan sekaligus
didedikasi untuknya. Dengan kata lain, al-Qur`an merupakan sumber sekaligus
obyek kajian kaidah tata bahasa Arab.
Salah satu fungsi mempelajari kaidah bahasa adalah untuk meminimalisir
kesalahpahaman dan memudahkan dalam memberikan makna terhadap suatu teks,
sebagaimana yang dikatakan oleh Mildred L.Larson dalam bukunya yang berjudul
Meaning-Based Translation bahwa dengan tidak mengetahui tata bahasa akan sulit
1
Rihab Khudhar 'Akkawi, Mausu'ah 'Abaqirah al-Islam fi al-Nahwi, wa al-Lughah wa-
al-Fiqh, al-Mujallad al-Tsalits, Beirut: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1993, h. 9. lihat juga bukunya Sayid
Rizqi Al-Thawil yang berjudul Al-Khilaf Baina Al-Nahwiyyin, Makkah Al-Mukaramah, Al-
Maktabah Al-Faisaliyat, 1985 h.16. lihat juga bukunya Muhammad Thanthawi, Nas’at Al-Nahw
wa Tarikh Asyhar Al-Nuhat, Dar Al-Manar, 1991 h. 9
2
Dan dalam riwayat yang lain, suatu malam Abu Al-Aswad Al-Dhual sedang duduk di
balkon bersama putri kesayangannya, ketika sang putri melihat bintang-bintang di langit begitu
indah sekali dengan menimbulkan cahaya yang gemilang, sehingga timbul kekagumannya dan
mengatakan "ma ahsannus sama i" sebagai badal dari kalimat kagum (ta'ajjub) yang seharusnya
"ma ahsanasama a". Dan telah banyak ia mendengar keselahan-kesalahan masyarakat pada waktu
itu dalam berbicara, sehingga timbul kekhawatirannya akan rusaknya estetika gramatikal bahasa
arab dan merasa terpanggil untuk membuat kaidah bahasa Arab yang baku.

16
mengidentifikasi makna yang terkandung dalam teks3. Orang tidak hanya cukup
dengan mempunyai banyak kosa kata untuk bisa berbicara atau memahami sebuah
bahasa, akan tetapi mutlak harus ditunjang dengan tata bahasa. Selain itu juga
tanpa mengetahui makna leksikal maka seseorang tidak akan dapat mengguakan
bahasa dengan baik.
Pernyataan Mildred L.Larson dapat ditafsirkan bahwa tujuan dari kajian
bahasa adalah untuk memahami makna yang terkandung oleh sebuah ungkapan
baik lisan maupun tulisan. Kolokasi merupakan bagian dari kajian bahasa yang
berperan dalam memahami suatu makna bahasa melalui relasi antar kata. Namun
dalam praktisnya para tokoh linguis berbeda pendapat dalam memberikan
komentar terhadap peran kolokasi dalam melahirkan makna. Ada yang
mengatakan bahwa yang paling berperan dalam melahirkan makna adalah
kolokasi yang berupa relasi antar kata dengan kata yang lain. Pendapat ini
dikemukakan oleh Goddard (1998)4 yang menyatakan bahwa yang paling
menentukan dalam melahirkan makna adalah relasi hubungan antar kata.
Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Brinton dan Akimoto
(1999)5 yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan bidang kajian yang fokus
membahas kajian relasi kata yang terbatas yang akan membantu dalam
pemaknaan. Tokoh lain yang berpendapat senada dengan Housman adalah
Robbins (1989)6, menurutnya kolokasi merupakan relasi kata yang terjadi pada
tataran leksikal.
Para Linguis Indonesia dalam memahami kolokasi sependapat dengan
tokoh sebelumnya yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan relasi antar kata.
Diantara tokoh yang berpendapat demikian adalah Aminuddin. Menurutnya
kolokasi adalah asosiasi hubungan makna kata yang satu dengan yang lain yang
masing-masing memiliki hubungan ciri yang relatif tetap. Aminuddin

3
Larson,Mildred L Meaning Based Translation: A Guide to Cross Language
Equivalance. Amerika: University Press Of America. 1984
4
Goddard, Cliff, Sematics Anlysis, A Practical Introduction, London: Oxford University
Press, 1957
5
Brinton, Laurel J. and Minoji Akimoto, collocational and idiomatic Aspects of
Composite Predicates in The History of English, Amsterdam: John Bunyamins Publishing
Company, , 1999
6
Robins,R.H, General Linguistics, London and New york: Longman, , 1989

17
memberikan contoh kata pandangan berkolokasi dengan mata, bibir, dan
senyuman, serta kata menyalak memiliki hubungan dengan anjing7. Dari masing-
masing kata tersebut pun masih mempunyai kolokasi yang lain seperti anjing
berkoloksi dengan binatang, umpatan, najis dsb.
Kata bibir bisa berkolokasi dengan organ tubuh manusia, tepi jurang,
lipstik, pembicaraan, tutup botol dan lain sebagainya. Dengan kata lain kolokasi
ini akan memperjelas makna yang dimaksud apabila terletak pada suatu kalimat
dengan melihat pasangan kata yang ada. Contoh kata Anjing pada kalimat “Dasar
Anjing! tulang yang sudah ditempat sampahpun diambilnya”. Kata Anjing pada
kalimat ini yang berkolokasi dengan tulang dan tempat sampah tentu mempunyai
pengertian bahwa anjing yang dimaksud adalah Anjing binatang. Akan tetapi
berbeda dengan kata Anjing pada kalimat berikut: “Dasar Anjing kamu! Disuruh
membantu sebentar aja tidak mau”8. Pada kalimat ini kata Anjing tentu yang
dimaksud bukanlah Anjing binatang, namun sebuah umpatan kepada seseorang
yang dimintai bantuan tidak mau karena tidak mungkin seseorang minta bantuan
kepada Anjing.
Selain Aminuddin linguis Indonesia yang berbicara tentang kolokasi
adalah Abdul Chaer. Menurutnya kolokasi masuk pada makna asosiasi, sedangkan
makna asosiasi sendiri terdiri makna konotatif, makna stilistik, makna afektif, dan
makna kolokatif. Makna kolokatif menurut Abdul Chaer adalah makna yang
berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang dimiliki sebuah kata dari sejumlah
kata-kata yang bersinonim, sehingga kata tersebut hanya cocok untuk digunakan
berpasangan dengan kata tertentu lainnya9. Abdul Chaer dalam hal ini memberi
contoh kata tampan dan cantik, menurutnya kata tampan dan cantik mempunyai
sinonim yaitu indah namun masing-masing kata tersebut tidak akan pantas jika
dalam penerapannya tidak lazim sebagaimana biasanya, kata tampan lazim
berkolokasi dengan kata pemuda, kata cantik lazim berkolokasi dengan kata gadis.
Maka akan sangat tidak lazim seandainya kata tampan berkolokasi dengan kata
7
Aminuddin , Semantik (Pendekatan Studi tentang Makna), Bandung: Penerbit Sinar
Baru Algensindo, cet ke 3 tahun 2003
8
Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis Dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1984
9
Chaer, Abdul, Linguistik Umum, Jakarta: PT. Asdi Mahasatya,cetakan ke 2 tahun 2003

18
putri atau gadis, kata cantik tidak layak jika berkolokasi dengan kata pemuda atau
pangeran. Dengan demikian untuk memudahkan mengetahui makna yang
sebenarnya mengetahui kolokasi antar kata adalah suatu keharusan.
Tokoh yang lain berpendapat bahwa kolokasi dalam melahirkan makna
karena adanya relasi antar konstituen struktur kalimat atau sering diistilahkan
dengan makna gramatikal. Tokoh yang berpendapat demikian adalah Sabine
Bartsch (2004)10 yang menyatakan bahwa kolokasi disamping melahirkan makna
karena adanya kombinasi antar kata juga karena adanya relasi antar unsur-unsur
struktur. Dia lebih rinci lagi menyatakan yang dimaksud dengan kajian kolokasi di
bidang struktur adalah bukan lagi mengkaji relasi kata-perkata akan tetapi
mengakaji relasi unsur-unsur sintaksis. Pendapat ini sebelumnya telah
dikemukakan oleh tokoh bahasa yang lain. Diantara tokoh sebelumnya
menyatakan bahwa kolokasi terjadi juga pada tataran sintaksis pernyataan ini
antara lain dikemukakan oleh Benson (1985)11, Bahns (1993)12 Wouden (1997)13,
menurut ketiga tokoh ini, selain pada tataran kata kolokasi juga terjadi pada
tataran sintaksis. Artinya yang akan melahirkan sebuah makna tidak hanya karena
adanya relasi antar kata dengan kata yang lain, akan tetapi juga karena adanya
relasi antar unsur kalimat.
Pendapat Sabine senada dengan pandapat dari linguis Arab Tamâm
Hasân(2003) yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan relasi antar unsur
sintaksis yang masing-masing unsur tersebut keberadaannya sangat prediktibel.
Artinya kemunculan salah satu unsur sintaksis akan sangat mudah untuk
diprediksikan karena kemunculan unsur sintaksis yang lain. Tamâm Hasân sendiri
memberikan contoh apabila muncul hurf al-jar maka diprediksikan akan muncul
ism yang menjadi majrûrnya. Demikian juga dengan bahasa Inggris apabila ada
preposisi maka kata kerja yang terletak setelahnya berupa kata kerja bentuk
gerund.

10
Sabine Bartsch, Structural and Functional Properties of Collocations in English,
Gunter Narr Verlag, 2004
11
Benson, Collocational and Field of Discourse, Oxford: Pergamon Press Ltd, , 1985
12
Bahns, J., Lexical Collocations: contrastive view, Oxford: ELT Journal ( 30 Juni 1993)
13
Ton van der Wouden, Negative contexts: collocation, polarity and multiple negation,
Routledge, 1997

19
Sebagaimana diskusi diatas bahwa ada dua pendapat yang menyatakan
bahwa kolokasi merupakan relasi kata yang akan menghasilkan makna. Dari dua
pendapat tersebut ada yang mengatakan bahwa yang paling berperan dalam
menghasilkan sebuah makna ada yang mengatakan kolokasi dalam tataran relasi
kata dan ada juga yang berpendapat kolokasi dalam tataran relasi unsur struktur
kalimat.
Abû al-Aswad al-Duwali sendiri sebagai peletak ilmu nahwu, pertama kali
menyusun ilmu tersebut dilatar belakangi oleh kesalahan anak perempuannya
yang berkata kepadanya dengan maksud mengungkapkan ta`jub dengan ungkapan
 ‫ ُ' ا‬7‫  أ‬dengan merofa`kan huruf al-dâl, namun oleh ayahnya dijawab disangka
ungkapan tersebut merupakan pertanyaan akan tetapi kata anaknya dia bukan
bermaksud bertanya, hanya mengungkapkan keta`juban terhadap panas dimusim
itu. Maka dengan serta merta Abû al-Aswad menuju rumah Ali bin Abi Thalib
sebagai Amir al-Mukminin pada waktu itu untuk membicarakan tentang
kekacauan tata bahasa Arab14. Dari kisah ini penulis menafsirkan bahwa makna
dari sebuah struktur kalimat sangat penting dalam memberikan maksud dalam
suatu ungkapan.
Al-Suyûthî (w. 911 H )15 juga berpendapat dalam kitab al-Iqtirahnya
bahwa terciptanya ilmu nahwi karena rusaknya susunan bahasa yang
menyebabkan salah makna dalam suatu ungkapan. Kerusakan susunan bahasa
Arab itu menurut Al-Suyûthî karena terpengaruh oleh bahasa Asing. Al-Jurjânî
(w.471 H)16 memberikan pandangan yang lebih luas, yakni menurutnya bahwa
sebuah makna dihasilkan oleh relasi kata dengan yang tersusun dalam suatu
kalimat. Dari ungkapan Al-Jurjânî ini dapat diambil pengertian bahwa kata akan
menghasilkan makna jika tersusun dalam tataran sintaksis yang benar, dan
sintaksis tanpa adanya relasi kata maka masing-masing unsurnya tidak
mempunyai makna.

14
Jâd al-Karim, `Abd Allah Ahmad, al-Ma`na wa Nahwi, Kairo, Mesir: maktabah al-
Adab, 2002 h. 19
15
Al-Suyûthî, al-Iqtirah fi `Ilm Ushul al-Nahwi, ditahqiq oleh Ahmad Salim al-Khamsa
dan Muhammad Ahmad Qashim, cet I, 1988 h. 28
16
Abd Qâhir al-Jurjânî, Dalalil al-I`jaz, ditahqiq oleh Abd al-Mun`im khafaji, Kairo:
1977 h. 35

20
Abû al-Abbas (w.291H) menolak pendapat yang menyatakan bahwa
nahwu itu tidak mempunyai makna, ia mengatakan bahwa struktur kalimat tidak
akan merusak makna17. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh al-Farra
(w.207H)18 menurutnya struktur kalimat akan sesuai dengan maknanya dan
makna juga akan sesuai dengan struktur kalimat19. Jika strukturnya rusak maka
rusak pula maknanya dan jika maknanya rusak maka rusak pula strukturnya. Ibn
Jinnî (w. 392 H)20 juga menyepakati para tokoh linguistik sebelumnya yang
menyatakan bahwa antara struktur kalimat dengan makna saling mendukung.
Makna akan muncul jika relasi kata yang terdapat dalam struktur kalimat terjadi
secara benar. Artinya relasi antar kata dalam tataran sintaksis akan mempengaruhi
makna yang dimaksud oleh pengucap. Maka apabila salah dalam menyusun kata
yang terdapat dalam tataran sintaksis akan salah juga maksud yang ditangkap oleh
pendengar.
Dari kalangan yang mengatakan bahwa kolokasi bisa terjadi pada tataran
kata dan tataran sintaksis. Mereka mengungkapkanya dengan istilah kata terkunci
oleh makna dan sintaksis adalah kuncinya, ungkapan ini dikemukakan oleh Al-
Jurjânî(w.471 H). Dari ungkapannya dapat diambil kesimpulan bahwa kolokasi
yang merupakan relasi kata untuk melahirkan makna lebih didominasi oleh faktor
relasi struktur kalimat.
Tamâm Hasân (2003)21 juga berpendapat bahwa untuk menghasilkan
makna, sebuah kata tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya relasi dengan kata yang
lain. Ia juga mengatakan bahwa pada hakekatnya makna itu lahir setelah
terjadinya relasi antar kata dalam struktur yang benar22. Relasi antar kata itulah

17
Abû Bakar Muhammad Ibn al-Hasan al- Zubâidi Al-Andalusî, Thabaqât al-Nahwiyîn
wa lughawiyîn, pentahqiq Muhammad Abû al-Fadl Ibrahîm, Kairo, mesir: Dâr al-Ma‘ârif,: cet ke
2 h. 131
18
Nama lengkapnya adalah Abû zakariyâ` Yahya Ibn Ziyâd Ibn ‘Abd Allah Ibn
Manshûr al-Dailamî al-Farâ`.
19
Abû Bakar Muhammad Ibn al-Hasan al- Zubâidi Al-Andalusî, Thabaqât al-Nahwiyîn
wa lughawiyîn, pentahqiq Muhammad Abû al-Fadl Ibrahîm, Kairo, mesir: Dâr al-Ma‘ârif, , cet
ke 3 h. 131
20
Nama lengkapnya adalah Abû al-Fath Utsmân Ibn Jinnî, Al-Khashâish, ditahqiq oleh
Muhammad `Ali al-Najâr, Bairut: Dar al-Hudâ.
21
Tamâm Hasân, al-Lughah al-`Arabiyyah Ma`nâha wa mabnâha, Kairo: `Alim al-Kutb,
, 2003, h.178
22
Tamâm Hasân, al-Lughah. h. 182

21
yang akan melahirkan makna konteks tidak lagi makna dasar dari sebuah kata. Ia
mengambil istilah dalam bahasa Inggrisnya Context of Situation atau makna al-
dalâlî. Contohnya kata 1O yang berarti mata setelah mengadakan relasi dengan
kata yang lain dengan menempati posisi tertentu dalam struktur kalimat maka
akan menghasilkan makna yang baru.
Tamâm Hasân23 menyatakan bahwa sebagian kata dalam sutau bahasa
tidak akan bermanfaat jika tidak dikombinasikan dengan kata yang lain ataupun
tidak adanya kombinasi antar unsur kalimat, ia mengistilahkan saling
membutuhkanya konstituen struktur kalimat dengan istilah al-Iftiqâr. Tamâm
Hasân mencontohkan huruf jar tidak akan bermakna tanpa adanya ism yang
menjadi majrûrnya, yâ al-nidâ () tidak akan bermakna tanpa adanya ism yang
menjadi munâdanya, adât al-syarth tidak akan bermakna tanpa adanya ism yang
menjadi syarth dan fi`l yang menjadi jawabnya. Dan ia juga mengungkapkan
bahwa keterkaitan makna karena adanya kombinasi kata yang memerlukan
pasangan konstituen struktur kalimat yang khusus, ia mencontohkan kata 
menurutnya pasti akan masuk kepada fi`l mudharî`, harf al-jar akan masuk
kepada Ism dan huruf al-jazm pasti akan masuk kedalam fi`l. Saling
memerlukannya antar konstituen struktur kalimat dan kekhususan pasangan
konstituen yang masuk kedalam konstituen yang lain menurut Tamâm Hasân
disebut dengan kolokasi.
Tamâm Hasân dalam hal ini lebih cenderung mengatakan bahwa yang
paling berperan dalam melahirkan makna adalah kolokasi dalam tataran sintaksis.
Ia memberikan alasan bahwa susunan kata yang terdapat dalam suatu kalimat
sangat bergantung kepada susunan unsur kalimat. Karena peletakan kata yang
berbeda akan berpengaruh juga terhadap makna yang akan dilahirkan oleh kata
tersebut. Pendapat Tamâm Hasân ini banyak kesamaannya dengan pendapat
linguis Arab yang lainnya.
Tamâm Hasân sendiri mengklasifikasikan kolokasi dalam tataran struktur
kalimat menjadi empat macam yaitu kolokasi al-Talâzum, al-Istitâr, al-hadzf, dan

23
Tamâm Hasân, Ijtihâdât lughawiyyat, Kairo, Mesir: `Âlim al-Kutb, , 2007 h.340

22
al-Ikhtishash24. Yang dimaksud dengan kolokasi al-Talâzum indikasinya adalah
nampak secara konkrit sebagaimana harf al-jar yang menuntut adanya isim yang
dimajrurkan, fi`l menuntut adanya fa`il, mudhaf memerlukan mudhaf ilaihnya dan
seterusnya, sedangkan kolokasi al-Istitâr adalah kolokasi yang berbentuk ism
dhamîr yang seharusnya bersandar pada fi`l namun ism dhamîrnya tidak nampak
secara nyata, adapun kolokasi al-hadzf merupakan jenis kolokasi al-Talâzum yang
salah satu konstituennya dibuang karena mempunyai alasan makna, dan secara
gramatika konstituen tersebut sebenarnya ada hanya tidak dimunculkan. Dan yang
terakhir adalah kolokasi yang berbentuk Ikhtishash, kolokasi ini merupakan jenis
kolokasi yang kombinasi antar unsur struktur kalimat sudah menjadi pasangan
yang khusus, seperti kekhususannya huruf lam ( ) yang khusus masuk pada fi`l
mudharî`.
Pembahasan tentang relasi anatar konstituen struktur kalimat dalam bahasa
Arab sering disebut dengan ilmu nahwu yaitu ilmu yang secara khusus berbicara
tentang jabatan tiap unsur kalimat, dan secara umum berbicara tentang aturan
mengenai hubungan antar unsur tersebut. Dengan kata lain ilmu nahwu digunakan
untuk menganalisis makna sintaktik25. Dalam istilah klasik hubungan antara unsur
kalimat yang satu dengan yang lainnya disebut al-ta`liq26. Jadi ilmu nahwu
tidaklah hanya berbicara tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya, namun juga
mengatur tentang bagaimana cara yang baik dalam menyusun dan merangkai
kalimat dengan maksud agar mengetahui makna yang terkandung dalam teks
secara filosofi.
Hubungan antar unsur kalimat yang satu dengan unsur yang lainnya dalam
ilmu nahwu ada yang bersifat lazim dan ada yang tidak lazim. Hubungan yang
lazim menurut Tamam Hasan disebut dengan Tadhâm27. Istilah Tadhâm Tamam

24
Tamâm Hasân, Ijtihâdât lughawiyyat, h.345
25
Muhammad khamasah `Abd al-Latif, Bina al-Jumlah al-`Arabiyyah, Kairo: Dar Gharib
lil-Thaba`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzii` Syirkat dzat masuliyat mahdudat, 2003 hal-1
26
Hubungan kata yang terjadi antara unsur kalimat yang satu dengan yang lainnya, yang
masing –masing mempunyai tugas sesuai dengan posisi i`rabnya.
27
Tamam Hasan, Al-Lughah al-`Arabiyah Ma`naha wa Mabnaha, Kairo: Alimu al-kutub,
1998

23
Hasan ini dalam istilah linguistik Inggris disebut dengan collocation sedangkan
dalam bahasa Indonesia disebut dengan kolokasi.
Untuk membuktikan pendapat dari para ahli bahasa tentang kolokasi yang
mengundang adanya perbedaan dalam menafsirkannya, maka perlu kiranya untuk
mengadakan pembuktian secara obyektif dengan cara melakukan penelitian
terhadap teks yang sudah mapan. Dalam hal ini penelitiannya berupa aplikasi
langsung kolokasi tersebut ke dalam al-Qur`an.
B. PERMASALAHAN
1. Identifikasi Masalah
Setiap bahasa mempunyai spesifikasi kolokasi tersendiri, antara satu bahasa
dengan bahasa yang lainnya akan berbeda dalam penerapan kolokasi . Kolokasi
dalam bahasa Indonesia akan berbeda dengan kolokasi yang terdapat dalam
bahasa Arab, kolokasi dalam bahasa Arab akan berbeda dengan kolokasi yang
terdapat pada bahasa Inggris. Sehingga bagi pengguna bahasa yang bukan bahasa
aslinya sering terjadi kesalahan dalam menerapkan pasangan kata dalam bahasa
Asing.
Ranah penelitian kolokasi mencakup banyak persoalan yang sangat
kompleks. Namun secara garis besarnya dapat dikelompokkan kedalam tiga aspek
permasalahan mendasar. Pertama, kolokasi dari masing-masing bahasa akan
mengalami perbedaan, akan tetapi prinsip-prinsip yang terdapat dalam kolokasi
bisa diterapkan ke semua bahasa yang ada di dunia ini.
Kedua, kolokasi dalam bahasa Arab sudah banyak dibahas oleh para ulama
klasik, akan tetapi dalam memberikan istilah tersebut mereka sangat beragam.
Sedangkan konsep kolokasi dipopulerkan oleh Tamam Hasan dengan istilah
Tadham. Istilah kolokasi ini mengadopsi dari liguis Inggris yang bernama
J.R.Firth, sebagai guru dari Tamam Hasan Sendiri. J.R. Firth menemukan teori
kolokasi yang diterapkan untuk kata dan oleh Tamam Hasan diperluas lagi bahwa
medan kolokasi tidak hanya pada kata akan tetapi masuk juga pada struktur
kalimat.
Ketiga, kolokasi merupakan gejala bahasa yang merupakan hubungan
pasangan yang serasi baik pada tataran kata maupun struktur kalimat yang

24
merupakan suatu kelaziman pasangan tersebut, maka dengan mengetahui
pasangan kata atau unsur kalimat yang satu maka pasangan yang lainnya akan
mudah untuk dideteksi, dengan demikan akan memberikan kemudahan dalam
memahami makna yang terkandung dalam suatu kalimat. Oleh karena itu perlu
adanya aplikasi kolokasi ini terhadap teks yang telah mapan keberadaannya
seperti al-Qur`an.
2. Pembatasan Masalah
Penelitian tentang kolokasi dibatasi pada bentuk-bentuk kolokasi pada
tataran kata dan bentuk-bentuk kolokasi pada tataran struktur kalimat.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah tersebut, masalah utama
yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah apa bentuk-bentuk kolokasi pada
tataran kata dan apa bentuk-bentuk kolokasi pada tataran struktur kalimat.
C. PENELITIAN TERDAHULU YANG RELEVAN
Kajian kolokasi merupakan kajian kebahasaan yang di pelopori oleh ahli
bahasa yang berasal dari London yang bernama J.R.Firth. Dia menjelaskan bahwa
kolokasi adalah suatu abstraksi pada tingkatan sintagmatik dan tidaklah secara
langsung terkait dengan pendekatan konseptual atau gagasan terhadap arti kata.
Salah satu makna night adalah dapat berkolokasinya kata tersebut dengan dark,
dan tentu saja, makna dark dapat diketahui dengan mudah bila berkolokasi dengan
night.
Linguis setelahnya melihat kolokasi dengan aspek yang berbeda tetapi
sebetulnya masih berkaitan erat dengan kolokasi. Sinclair, misalnya, salah seorang
murid Firth di London University, melihat kolokasi sebagai berikut: Kolokasi
adalah kemunculan dua kata atau lebih secara bersamaan dengan kata lain dalam
sebuah teks dengan jarak yang tidak berjauhan.
Linguis Indonesia yang pernah membahas masalah kolokasi diantaranya
adalah Aminuddin. Menurutnya kolokasi adalah asosiasi hubungan makna kata
yang satu dengan yang lain yang masing-masing memiliki hubungan ciri yang
relatif tetap. Aminuddin memberikan contoh kata pandangan berkolokasi dengan
mata, bibir, dan senyuman, serta kata menyalak memiliki hubungan dengan

25
anjing28. Dari masing-masing kata tersebut pun masih mempunyai kolokasi yang
lain seperti anjing berkoloksi dengan binatang, umpatan, najis dsb29.
Linguis Arab yang berbicara mengenai kolokasi diantaranya adalah Ahmad
Muhammad Qadur, menurutnya kolokasi adalah hubungan kata dengan kata yang
lain, kemunculan kata tersebut dalam kalimat akan mengalami keterbatasan
karena adanya hubungan yang sudah lazim dengan kata tersebut. Contoh kata
@+ hanya bisa dihubungkan dengan kata: %9 ‫ا‬,>‫ ا *ه‬,‫س‬+ ‫ ا‬,'' ‫ ا‬dan tidak
bisa dihubungkan dengan kata tN ‫ ا‬,' ‫ ا‬,>YA ‫ ا‬,‫اب‬$ ‫ا‬.
Tesis mengenai kolokasi dalam bahasa Arab juga pernah ditulis oleh
mahasiswa University of Western Sydney yang bernama Brashi Abbas S dalam
tesisnya ia mengangkat masalah kesalahan kolokasi dalam bahasa Arab yang
menjadi bahasa kedua untuk menterjemahkan bahasa Inggris. Tesis ini ditulis
pada tahun 200530.
Para tokoh bahasa yang disebutkan di atas adalah tokoh yang berpendapat
bahwa kolokasi terjadi hanya pada tataran kata, sedangkan tokoh yang
menyatakan bahwa kolokasi bisa terjadi juga pada tataran struktur kalimat
diantaranya adalah Tamam Hasan dan Ahmad Mushthafa al-Maraghî. Menurut
mereka kolokasi mengharuskan salah satu unsur dari dua unsur kalimat untuk
menjelaskan/ menguraikan sesuai dengan aturan tata bahasa (secara nahwiyyah)
terhadap unsur yang lain. Atau mempertentangkan salah satu unsur kalimat
28
Aminuddin , Semantik (Pendekatan Studi tentang Makna), Bandung: Penerbit Sinar
Baru Algensindo, cet ke 3 tahun 2003
29
Selain Aminuddin linguis Indonesia yang berbicara tentang kolokasi adalah Abdul
Chaer. Menurutnya kolokasi masuk pada makna asosiasi, sedangkan makna asosiasi sendiri terdiri
makna konotatif, makna stilistik, makna afektif, dan makna kolokatif. Makna kolokatif menurut
Abdul Chaer adalah makna yang berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang dimiliki sebuah
kata dari sejumlah kata-kata yang bersinonim, sehingga kata tersebut hanya cocok untuk
digunakan berpasangan dengan kata tertentu lainnya

30
Brashi, Abbas S., Arabic language, collocations, comparative linguistics, terms and
phrases, English, Sydney: University of Western Sydney, College of Arts, Education and Social
Sciences, School of Languages and Linguistics; Australasian Digital Theses Program, University
of Western, 2005.

26
dengan yang lainnya sehingga tidak terjadi pertemuan makna antara kedua unsur
kalimat tersebut.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa kolokasi tidak
hanya terjadi pada tataran kata, akan tetapi terjadi juga pada tataran struktur
kalimat.
SIGNIFIKANSI PENELITIAN
Penelitian tentang kolokasi mempunyai signifikansi terhadap pemaknaan.
Kolokasi merupakan bagian dari kajian kebahasaan yang menampilkan teori
kombinasi kata. Kolokasi mempunyai peran penting dalam menyeleksi kombinasi
kata yang satu dengan kata yang lain. Penyeleksian kata tersebut dilakukan karena
adanya tuntutan yang harus tepat dalam pasangan masing-masing kata. Terutama
kata yang mengandung makna polisemi dan makna sinonim. Ketepatan pasangan
kata yang diakibatkan adanya polisemi dan sinonim tidak bisa diberi alasan yang
nyata31. Karena ketepatan pasangan kata tersebut hanya dapat dipraktekan melalui
intuisi. Penutur bahasa asli akan lebih mudah dalam memberikan ketepatan
pasangan kata karena intuisi bahasanya telah terlatih. Ketepatan pasangan kata itu
hanya bisa dianalisis dengan menggunakan kolokasi.
Kolokasi disamping merupakan kombinasi antar kata juga merupakan
relasi antara konstituen struktur kalimat. Para linguis sebagian besar berpendapat
bahwa kolokasi merupakan relasi antar kata yag akan menghasilkan makna. Akan
tetapi sebagian linguis ada yang berpendapat disamping merupakan relasi anatar
kata juga merupakan relasi antar konstituen struktur kalimat.
Kolokasi baik yang terjadi pada tataran kata ataupun yang terjadi pada
tataran struktur kalimat akan memberikan kemudahan dalam memahami makna
pada sebuah ujaran. Pendengar akan mendapat kemudahan dalam mencerna
makna ketika mendengar kata menggonggong, tentu kata tersebut akan dikelilingi
kata-kata sekitarnya yang berkaitan dengan Anjing.

31
Bartsch, Sabine, Structural and functional properties of collocations in English: a
corpus study of lexical and pragmatic constraints on lexical co-occurrence, Gunter Narr Verlag,
2004

27
Pembaca yang fimilier dengan teks Arabpun akan mendapatkan kemudahan dalam
memahami sebuah teks ketika mengetahui posisi dan fungsi kata yang terletak
pada sebuah kalimat. Contoh pada ayat:6 surat al-Fatihah yang berbunyi: َ#'ِ ‫ا ْه‬
َ ِ$َ Y
ْ Nُ ْ ‫ط ا‬
َ ‫@َا‬
v ‫ ا‬pada ayat tersebut pembaca akan memahmi makna ketika
mengetahui posisi dan fungsi kata-perkatanya.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian ini meliputi :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah jenis penelitian kualitatif karena
penelitan ini mempunyai ciri-ciri yang terdapat dalam Kriteria penelitian kualitatif
sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor dalam buku
metode penelitian kualitatif karya Lexy J.Moelong, metode penelitian kualitatif
dapat digunakan diantaranya apabila datanya berupa kata tertulis atau lisan.32. hal
ini sesuai dengan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu datanya berupa teks
tertulis yang berupa ayat-ayat al-Qur`an.
Penelitian ini juga menggunakan rancangan analisis isi atau contens
analisys. Alasan yang mendukung digunakannya analisis isi sebagai rancangan
dalam penelitian ini adalah karena sumber data dalam penelitian ini berupa
dokumen. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Consuelo G.Sevilla dkk, apabila
penyelidikan meliputi informasi melalui pengujian arsip dan dokumen, maka
metode yang digunakan adalah teknik analisis dokumen33. Dokumen yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah berupa ayat-ayat al-Qur`an.
Penelitian menggunakan metode analisis isi juga karena masalah yang
dianalisis adalah isi komunikasi. Noeng Muhadjir mengatakan bahwa analisis isi
berangkat dari aksioma bahwa studi tentang proses dan isi komunikasi itu
merupakan dasar bagi semua ilmu sosial.34seluruh ayat al-Qur`an merupakan isi

32
Moleong: Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya,
,2007 hal 4
33
Consuelo G. Sevilla dkk, Pengantar Metode Penelitian, alih bahasa Alimuddin Tuwu,
Jakarta: UI Press, 1993 hal 85- lihat juga buku Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,
Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, , 2007 hal 219-223
34
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif , Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000,
hal 68-71

28
komunikasi antara Allah sebagai pemilik redaksi kalimat dengan manusia sebagai
penerima kalimat.
2. Sumber Data
Yang menjadi data pada penelitian ini adalah semua bentuk kata dan kalimat
yang terdapat dalam Al-Qur`an, karena data penelitian ini berupa ayat-ayat al-
Qur`an maka sumber primer dalam penelitian ini berupa al-Qur`an mushaf
Utsmani.
Sedangkan Sumber Sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dapat
diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu:
a. Buku berbahasa Arab
• Al-lughah al-`Arabiyyah ma`naha wa mabnaha karya Tamam
Hasan.
• Mabadi` al-Lisâniyât karya Ahmad Muhammad Qadur.
b. Buku berbahasa Inggris
• Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-language
Equivalence karya Mildred L.Larson.
• The Language of Literature: A Stylistic Introduction to the Study
of Literature karya Michael Cummings & Robert Simmons.
c. Buku berbahasa Indonesia
• Linguistik Umum karya Abdul Chaer.
• Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna karya Aminuddin.
3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
Tehnik pengumpulan data menurut Bogdan & Biklen dalam buku
metodologi penelitian kualitatif karya Lexy J.Moelong adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data35, sedangkan langkah-langkah yang
harus ditempuh dalam rangka pengumpulan data adalah sebagi berikut: pertama
peneliti mengorganisirkan data dalam hal ini peneliti akan membaca al-Qur`an
surat.

35
Moleong: Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya,
2007 hal 248

29
Kemudian peneliti mengadakan unitisasi atau pemilahan menjadi satuan
yang dapat dikelola, dalam hal ini peneliti akan memisah-misahkan ayat-ayat yang
memuat batasan-batasan kolokasi, atau bisa dikatakan juga mengidentifikasi ayat-
ayat al-Qur`an surat yang mengandung indikasi kolokasi.
Selanjutnya peneliti mereduksi data, dalam mereduksi data ini peneliti akan
memilih dan memilah data yang relevan untuk dianalisis dan data yang kurang
relevan untuk dianalisis, dan data yang relevan dengan tujuan penelitian akan
dianalisis dan data yang kurang relevan dengan penelitian ini tidak dianalisis dan
disisihkan.
Dan yang terakhir peneliti mencari dan menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan apa yang dipelajari dan mengoperasionalkan pengetahuan
analisis tentang saling ketergantungan antara data dengan konteks. Dengan
demikian peneliti akan mengkaji ayat-ayat yang mempunyai indikasi kolokasi .
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
isi dengan menggunakan prinsip-prinsip kolokasi. Pendekatan kolokasi
digunakan untuk mengetahui proses pembentukan kolokasi baik pada tataran kata
maupun pada tataran struktur kalimat yang terdapat pada surat Al-Qur`an.
Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh untuk menganalisis data
adalah sebagai berikut: Pertama peneliti menentukan bentuk formal data yang
berupa kolokasi pada setiap ayat al-Qur`an. Kedua mengklasifikasikan atau
mengatagorikan wujud formal dari kolokasi yang terdapat pada al-Qur`an. Ketiga
menjelaskan wujud formal dari kolokasi yang terdapat pada setiap ayat al-Qur`an.
Keempat memberikan makna kepada kata yang mempunyai indikasi kolokasi.
Kelima peneliti melakukan validasi, yakni mengkaji ulang dari tahapan pertama
sampai tahapan keempat dengan tujuan agar ditemukan suatu pemaknaan yang
benar. Dan yang terakhir atau langkah yang keenam adalah peneliti mengambil
kesimpulan.
5. Asumsi Dasar
Kolokasi merupakan fenomena universal yang ada dalam setiap bahasa
dan memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda antara satu bahasa dan lainnya.

30
kolokasi merupakan hubungan sebuah kata atau lebih dengan unsur bahasa
lainnya yang muncul secara bersamaan dalam sebuah teks yang jarak antara kata
dan unsur bahasa lainnya itu tidak harus berdampingan tetapi dalam jarak yang
tidak terlalu jauh36.
Kolokasi terdapat dalam setiap bahasa termasuk bahasa Arab dan kolokasi
merupakan hubungan antar kata dan antar unsur struktur kalimat yang terdapat
dalam sebuah teks. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa kolokasi terdapat
dalam al-Qur`an yang merupakan sebuah teks yang bertuliskan dengan
menggunakan bahasa Arab.
Kolokasi yang terdapat dalam al-Qur`an tentu akan berbeda dengan
kolokasi yang terdapat pada teks-teks yang ditulis dengan menggunkan bahasa
non Arab, oleh karenanya untuk mengkaji kolokasi dalam al-Qur`an harus
menggunakan kaidah bahasa Arab.
6. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini mempunyai banyak keterbatasan diantaranya adalah dalam
hal penentuan objek kajian, obyek yang menjadi kajian adalah Al-Qur`an yang
mempunyai sangat banyak ayat. Oleh karena itu perlu dibatasi dalam penelitian
ini, peneliti mengungkap tema-tema yang banyak menjadi perdebatan linguis
Arab. Jika penelitian ini tidak dibatasi akan memungkinkan munculnya banyak
kendala yang dialami oleh peneliti diantaranya karena terbatasnya waktu
penelitian.
Penelitian ini pun terbatas pada masalah kolokasi yang terdapat dalam
bahasa Arab yang diaplikasikan terhadap al-Qur`an, maka hal ini memungkinkan
adanya kolokasi yang terdapat pada teks-teks Arab yang lainnya yang tidak
terkaver dalam penelitian ini.
SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memudahkan penulisan dalam penelitian ini, penulis susun dalam
lima bab. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab. Bab Pertama membahas
tentang pendahuluan yang berisi tentang persoalan yang melatar belakangi

36
Saifullah Kamalie, Kolokasi dalam Bahasa Arab Mengapa dan Bagaimana, Blog
Pribadi ditulis pada hari Sabtu,23 Juni 2007

31
penelitian ini. Dalam bab ini, penulis juga mengungkap permasalahan-
permasalahan yang menjadi dasar penelitian Kolokasi, kemudian dianalisis untuk
mendapatkan informasi yang akurat dari setiap permasalahan yang ditemukan.
Selain itu, penulis juga sajikan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini,
sehingga diharapkan dapat memberikan konstribusi berharga dalam kajian ini,
serta manfaat atau signifikansi yang akan diperoleh dari penelitian ini. Kemudian
pada bagian akhir dari bab ini, penulis kemukakan sistematika penulisan.
Bab Kedua membahas tentang landasan teori. Dalam bab ini, penulis
kemukakan tentang kajian kolokasi menurut linguis barat, linguis Indonesia dan
linguis Arab. Dalam kajian kolokasi Barat akan ditampilkan beberapa model teori
tentang kolokasi yang dikemukakan oleh orang barat dalam aplikasinya terhadap
bahasa mereka, kajian kolokasi Indonesia akan dibahas mengenai model kolokasi
yang dikemukakan para linguis Indonesia dengan aplikasi dalam bahasa
Indonesia, sedangkan kajian kolokasi dalam bahasa Arab juga akan menampilkan
teori kolokasi dan aplikasinya kedalam bahasa Arab.
Bab Ketiga membahas tentang analisis bentuk-bentuk formal kolokasi
pada tataran kata yang terdapat dalam al-Qur`an.
Bab Keempat membahas tentang analisis bentuk-bentuk formal kolokasi
pada tataran struktur kalimat yang terdapat dalam al-Qur`an.
Bab Kelima penutup. Dalam bab ini, peneliti akan menguraikan secara khusus
tentang hasil penelitian yang ditemukan dalam kajian kolokasi. Selain itu, peneliti
juga akan memberikan beberapa upaya untuk pengembangan kebahasaan,
khususnya penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.

32
BAB II
KOLOKASI MENURUT PANDANGAN PARA LINGUIS
A. KOLOKASI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF

Kolokasi dalam pandangan para ahli bahasa dapat diklasifikasi kedalam


dua kelompok besar. Kelompok pertama yang menyatakan bahwa kolokasi hanya
terjadi pada tataran kata. Tokoh yang menyatakan demikian diantaranya adalah
Nattingger (1992) menurutnya bahasa pada dasarnya merupakan komponen yang
terdiri dari kumpulan beberapa kata yang tergabung dalam satu ungkapan yang
mengandung makna37. Gabungan antar kata yang mengandung makna tersebut
disebut dengan kolokasi. Tokoh lain yang sependapat dengannya adalah De
Carrio(1993) menurutnya kolokasi merupakan pertalian kata yang satu sama
lainnya saling mengharapkan kemunculannya. Atau pertalian antar kata tersebut
bisa terjadi dengan kata yang sangat luas karena kata tersebut bisa muncul daam
berbagai teks38. Yang demikian juga menurut De Carrio disebut dengan kolokasi.
Dia memberikan contoh kata hood.
Senada dengan kedua tokoh diatas adalah Quirk (1985) dan Jakson (2000)
menurut ketiga tokoh bahasa ini kolokasi merupakan kelompok kata yang terjadi
dalam suatu frasa yang kemunculannya sering bersama-sama39. Kombimasi dari
kata-kata tersebut yang akan mengakibatkan lahirnya makna baru. Kombinasi dari
masing-masing bahasa akan berlainan.
Pendapat para tokoh diatas dibantah oleh tokoh yang menyatakan bahwa
kolokasi disamping terjadi pada tataran kata bisa juga terjaadi pada tataran
struktur kalimat. Tokoh yang berpendapat semacam ini adalah Benson(1985),
Bahns (1993) Kennedy (1990) dan Carter (2000). Keempat tokoh ini memberikan
contoh bahwa setelah adanya preposisi pasti akan muncul kata kerja bentuk ing,
seperti kalimat I avoid going to Malang, He can`t help laughing.

37
Nattingger: J.R, Lexikal Phrases and Language Teaching. London: Longman, 1992
h.76
38
J.S. De Carrico, Promoting Pragmatic Competence. London: Collins, 1993 h.21
39
Howard Jakson, Words, Meaning, and Vocabulary, Cambridge: Camridge University
Press, 1995 h. 56

33
Penulis sendiri berpendapat bahwa baik kolokasi dalam tataran kata
ataupun dalam tataran sintaksis keduanya mempunyai peran untuk melahirkan
makna, sebagaimana contoh kolokasi dalam tataran kata perlu kiranya
ditampilkan ungkapan sebagai perbandingan kalimat yang pertama berbunyi “pak
lurah makan kursi” dan “Pak lurah makan nasi” kedua kalimat ini secara struktur
benar akan tetapi kalimat yang pertama secara relasi kata tidak benar, karena
relasi kata makan lazimnya berkolokasi dengan kata makanan seperti roti, kue,
atupun nasi. Artinya relasi kata sangat berperan dalam melahirkan makna.
Demikian juga dengan relasi struktur kalimat. Pada kalimat kedua relasi kata dan
struktur kalimatnya benar akan tetapi jika relasi antar unsur sintaksisnya salah
maka akan melahirkan makna yang salah juga. Contoh kalimat kedua jika diubah
dengan “Nasi makan Pak Lurah” maka kalimat ini tidak melahirkan makna yang
dimaksud. Dengan demikian relasi struktur kalimatpun akan melahirkan makna.

Sedangkan kolokasi yang berkembang saat ini sudah jauh dari kemasan
yang dimaksudkan oleh pencetusnya yaitu J.R.Firth. Menurutnya kolokasi
merupakan asosiasi kemunculan kata yang dipakai dalam suatu lingkungan
kelompok tertentu, misalnya ada ungkapan yang melibatkan kata rumput, kerbau,
tanah lapang maka diasosiasikan akan muncul pula kata hijau muncul pula kata
kandang, kalau berbicara sekitar malam, sepi maka diasosiasikan akan muncul
kata gelap40. Menurut R.H.Robins pengertian kolokasi adalah asosiasi yang
biasanya diberikan pada sebuah kata dalam sebuah bahasa dengan kata-kata
tertentu lainnya dalam sebuah kalimat41, kolokasi merupakan telaah terhadap
setiap kata yang menjadi unsur leksikal yang muncul dan bersanding dengan kata-
kata yang lain sebagai unsur-unsur leksikal tersendiri.
Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Cliff Goddard yang
menyatakan bahwa istilah kolokasi berhubungan dengan sebuah kombinasi

40
Firth, J.R. Papers In Linguistics 1934-1951, London: Oxford University Press, cet ke 1,
1957 hal-194-214, lihat dan baca juga buku Semantic Analisis A Pratical Intoduction karya Cliff
Goddard, New York: Oxford University Press, 1998 hal-21. Lihat dan baca juga buku karya N.E.
Collinge, An Encylopedia Of Language, London: Routledge, cet ke-1, 1990, hal- 161
41
R.H.Robins, General Linguistics, London dan New York: Longman, 1989 cet ke 4
yang di terjemahkan oleh Soenarjati Djajanegara, Linguistik Umum: Sebuah Pengantar,
Yogyakarta: Kanisius, 1992

34
beberapa kata yang pada umumnya kemunculan kata-kata tersebut sering
bersama-sama42. Adanya kolokasi ini akan membantu dalam analisis semantik
terutama pada pemahaman terhadap sebuah kalimat yang terdapat di dalamnya
beberapa kata yang sering muncul secara bersama-sama.
Pada Oxford Collocations Dictionary for Student of English, kolokasi
mempunyai pengertian sebuah cara beberapa kata berkombinasi dalam sebuah
bahasa untuk memproduksi pendengaran yang alamiah secara ucapan ataupun
tulisan43. Contoh dalam bahasa Inggris dikatakan Strong wind dan heavy rain
untuk menggambarkan bahwa angin sangat kencang dan hujan sangat deras. Hal
ini akan terasa tidak normal apabila pasangan tersebut diubah menjadi Strong rain
dan heavy wind. Pasangan kata tersebut akan lebih cepat diterima oleh pelajar
baik tingkat lanjutan maupun tingkat dasar.
Menurut Dictionary of Selected Collocations, kolokasi mempunyai
pengertian kemungkinan kombinasi kata dengan beberapa kata yang berbeda-beda
ketika berbicara ataupun menulis44. Beberapa pasangan kata yang terjadi secara
bersama-sama ada yang sangat jarang dan ada yang sangat sering. Ketika muncul
satu kata dalam kalimat maka diharapkan kata yang biasa berpasangan akan
muncul. Kombinasi yang special ini disebut dengan kolokasi dan ini terjadi di
seluruh bahasa apapun termasuk didalamnya bahasa Inggris, bahasa Arab ataupun
bahasa Indonesia.
Berbeda dengan pendapat linguis Indonesia Mansoer Pateda, dia memberi
pengertian kolokasi merupakan kebiasaan hubungan kata dengan penggunaan
beberapa leksem di dalam lingkungan yang sama45. Mansoer memberikan contoh
kata ikan, garam, gula, sayur, tomat, terong dan sebagainya biasanya leksem-
leksem tersebut biasa berhubungan dengan lingkungan dapur. Kalau kata gergaji,

42
Goddard,Cliff, Semantic Analysis A Practical Introduction, New York: Oxford
University Press, 1998 hal-21
43
Oxford Collocations Dictionary for Students of English, Oxford University Press,
cetakan ke 4, 2003 hal-VII
44
Hill, Jimmie dan Michael Lewis, Dictionary of Selected Collocations, London:
commercial Colour Press Plc, 1999 hal-6
45
Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, Ende, Flores: Penerbit Nusa Indah, , cetakan I,
1986, hal-60

35
ketam, pahat, parang, tukul, paku, biasanya berhubungan dengan lingkungan
tukang kayu.
Istilah kolokasi pertama kali di cetuskan oleh J.R. Firth46 seorang linguis
dari Inggris ketika menyampaikan presentasi papernya yang berjudul Sinopsis of
Linguistic Theory. Dia menyatakan secara eksplisit bahwa kata yang terdapat pada
kalimat secara alamiah akan mengalami kolokasi dengan kata yang lain, dan ini
pun pernah disampaikan pada artikel yang berikutnya yang berjudul Made of
Meaning. J.R.Firth juga menyampaikan tehnik pemaknaan dengan menggunakan
kolokasi. Dia berkata bahwa pemakanaan dengan kolokasi merupakan abstaksi
pada tataran sintagmatik, secara tidak langsung teori kolokasi merupakan
kesesuain dengan konsep atau ide pendekatan terhadap pemakanaan kata.
Tokoh linguistik yang pertama kali dan paling berperan dalam
mengembangkan teori kolokasinya J.R.Firth adalah Halliday47 dan Sinclair,
menurut kedua tokoh ini kolokasi merupakan kekonsistenan bagi unsur-unsur
yang terdapat pada tataran leksikal. Kolokasi yang konsisten dari bagian leksikal
seperti pada umumnya kolokasi adjective-noun dan verb-noun merupakan bagian
teori leksikal.

46
J.R.Firth lahir tahun 1890 dan meninggal tahun 1960 di Inggris, dia menjadi professor
bahasa Inggris di Universitas Punjab Lahore dari tahun 1920-1928, menjadi dosen senior di
Universitas College London dari tahun 1928-1938, menjadi dosen senior, pembaca, dan profesor
linguistic disekolah orientalis dan studi afrika di Universitas London dari tahun 1938-956, dia
dikenal sebagai figure dasar linguistic di London, dia juga dikenal dengan teori fonologi dan
pemaknaan. J.R.Firth adalah seorang tokoh dijamannya. Dia lahir di Keighley, Yorkshire pada
akhir abad ke 19 di Inggris, ketika Inggris masi menjadi penjajah terbesar di dunia, karirnya
memberi tanda terhadap eksistensi penjajahan Inggris. Dia pergi ke India ketika masih menjadi
bagian dari jajahan Inggris untuk bekerja pada pelayanan pendidikan di India, dia juga menjadi
militer di India ketika perang dengan Afganistan dan Afrika. Dia kemabli ke Inggris pertama
hanya satu tahun(1926) kemudian kembali yang kedua dengan waktu yang panjang pada tahun
1928 sebagai kepala departemen fonetik di universitas college London.
47
Nama lengkapnya Michael Halliday, lahir pada tahun 1925, memperoleh gelar
kesarjanaan pertamanya dalam bidang kajian Cina dari Universitas London. Pendidikan lanjutan
dilakukannya di Peking dan Cambridge dengan menekuni bahasa Cina dan Inggris, dia mulai
mengembangkan model kebahasaan dari Firth yang menjadi gurunya. Haliday sebagai seorang
linguis dan juga pakar sinologi memberi andil besar dalam pengembangan aliran neo-Firthian
karena orientasi pengembangan pandangan kebahasaan Haliday selalu dikaitkan dengan unsure
tautan situasi social yaitu penutur, tempat, waktu, pokok bahasan dll, maka pandangannya
cederung disebut sebagai pandangan yang bersifat fungsional.

36
Lyons48 merupakan generasi berikutnya yang ikut mengembangkan teori
kolokasi namun dia mempertimbangkan definisi pemaknaannya J.R.Firth sebagai
sebuah yang komplek dalam hubungan kontekstual kata yang sangat
membingungkan dan dia mengkritik kekurang jelasan dari prinsip-prinsip
pemaknaan kelompok leksikal yang merupakan asosiasi dapat dipastikan atau
ditetapkan.
Linguis berikutnya yang turut berbicara tentang kolokasi adalah Crusie,
dengan menggunakan pendekatan semantiknya pada tahun 1977 dia melakukan
penelitian tentang hubungan makna sintagmatik antara bagian-bagian leksikal
dengan menggambarkan batasan-batasan kolokasi yang tetap seperti contoh: kick
the bucket.
Levenson49 pada tahun 1979 juga mengusulkan bahwa kolokasi
memberikan banyak terhadap kata depan dari unit-unit yang ada pada leksikal.
Dan penelitiannya memberikan kontribusi penting pada percaturan kebahasaan
yaitu dengan kolokasi akan lebih cepat untuk menguasai bahasa dan tahun
berikutnya untuk pengembangan kosa kata.
Peneliti kebahasaan yang membahasa kolokasi selanjutnya adalah Fayez
dan Husein, dia melaksanakan penelitian pada tahun 1990. Pada penelitiannya dia
melaporkan tentang kekurang pengetahuan kolokasi pada siswa tingkat lanjutan
bahasa Inggris50.
B. PENTINGNYA KOLOKASI DALAM PEMAKNAAN
Makna merupakan aspek penting dalam sebuah bahasa. Karena dengan
makna maka sebuah komunikasi dapat terjadi dengan lancar dan saling
dimengerti. Tetapi seandainya para pengguna bahasa dalam bertutur satu sama
48
Nama lengkapnya John Lyons lahir pada tahun 1932, dia adalah seorang ahli bahasa
Inggris, atau lebih dikenal sebagai ahli semantic, John Lyons belajar di St.Bede`s college,
Manchester dan Christ`s college, Cambidge dimana dia juga bekerja di sana dari tahun 1961
sampai tahun 1964. dari tahun 1964 sampai tahun 1984 dia menjadi professor di bidang linguistic
di Universitas Edinburgh dan Sussex. Selama 15 tahun dia menjadi penguasa di Trinity Hall,
Cambridge, sebelum mengundurkan diri pada tahun 2000. dia sekarang menjadi tenaga honorer di
beberapa perguruan tinggi. Pada tahun 1987 dia dinobatkan sebagai bangsawan.
49
Nama lengkapnya Edward Levenston seorang professor linguistic di Universitas
Hebrew, Yerusalam.
50
Husein, Riyad Fayez, collocation: The missing link in vocabulary acquisition amongst
EFL learners and Studies in Contrastive Linguistic, 1990

37
lain tidak saling mengerti makna yang ada dalam tuturannya, maka tidak mungkin
tuturan berbahasa bisa berjalan secara komunikatif. Di sini dituntut antara penutur
dan lawan tuturnya harus saling mengerti makna bahasa yang mereka tuturkan.
Kolokasi merupakan bagian dari kajian kebahasaan yang menampilkan
teori kombinasi kata. Kolokasi mempunyai peran penting dalam menyeleksi
kombinasi kata yang satu dengan kata yang lain. Penyeleksian kata tersebut
dilakukan karena adanya tuntutan yang harus tepat dalam pasangan masing-
masing kata. Terutama kata yang mengandung makna polisemi dan makna
sinonim. Ketepatan pasangan kata yang diakibatkan adanya polisemi dan sinonim
tidak bisa diberi alasan yang nyata51. Karena ketepatan pasangan kata tersebut
hanya dapat dipraktekan melalui intuisi. Penutur bahasa asli akan lebih mudah
dalam memberikan ketepatan pasangan kata karena intuisi bahasanya telah
terlatih. Ketepatan pasangan kata itu hanya bisa dianalisis dengan menggunakan
kolokasi.
R.H.Robins, dalam teorinya dia memberikan contoh makna kata putih
yang berkombinasi dengan kata-kata yang sering muncul dalam ungkapan-
ungkapan yang lazim kata-kata tersebut menjadi Baju Putih, Kulit Putih, Kain
Putih. Kata putih pada contoh tersebut merupakan kolokasi yang terjadi pada
tataran kata yang akan menghasilkan makna yang berbeda-beda. Dalam bahasa
Indonesia kata yang menyangkut warna bisa juga berkolokasi dengan kata yang
lain akan tetapi tidak mengandung arti warna yang sesungguhnya, contohnya
ungkapan Hitam di atas Putih, Berhati Putih, Anak masih Hijau dan masih
banyak contoh yang lainnya.Harimurti Kridalaksana, dalam tulisannya yang
termuat dalam buku Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik dia
mengemukakan teori kolokasi yang mengutip dari teorinya Chomsky, ia
menyampakain sebuah contoh pendampingan kata dalam bahasa Inggris sleep
dengan fariously dalam kalimat Colourless green ideas sleep fariously
menimbulkan tanda tanya bagi penutur asli bahasa Inggris, karena pendampingan

51
Bartsch, Sabine, Structural and functional properties of collocations in English: a
corpus study of lexical and pragmatic constraints on lexical co-occurrence, Gunter Narr Verlag,
2004

38
itu dirasa ganjil. Lain halnya bila kata sleep didampingkan dengan kata soundly.
Secara gramatikal kalimat di atas adalah kalimat yang betul karena subyek green
ideas adalah nomina plural sehingga predikatnya menyesuaikan diri. Keterangan
fariously pun merupakan bentuk yang betul karena mempunyai sufiks ly. Akan
tetapi kalimat tersebut secara logis ganjil atau tidak betul karena gabungan antara
sleep dengan fariously merupakan gabungan yang tidak lazim52.
Aminuddin mengulas makna yang terdapat dalam kolokasi mengambil
teorinya Trier yang memusatkan perhatiannya pada adanya asosiasi hubungan
kata secara paradigmatik. Ujaran seperti, menjelang pagi, perut saya lapar sekali
untung ada (.....). Titik-titik dalam kurung itu dapat diisi dengan kata roti, nasi,
tempe goreng, tahu, dan sebagainya53. Sejumlah kata tersebut dan sejumlah kata
lainnya dapat mengisi titik-titik karena menunjuk pada referen yang dapat
dimakan sehingga menanggulangi lapar. Pada sisi lain, pemilihan kata yang akan
dimasukan pada titik-titik tersebut melihat atau mengacu pada frase menjelang
pagi sehingga seseorang tidak akan memilih kata yang berhubungan dengan
makanan yang tidak layak dimakan diwaktu pagi hari seperti rujak ataupun
sambel. Begitu juga dengan kata saya harus diidentifikasikan karena bila saya
ternyata kakek atau nenek yang sudah ompong, tidak masuk akal bila titik dalam
kurung tersebut diisi dengan kata jagung goreng atau kacang.
Linguis Indonesia yang lain adalah Abdul Chaer dalam buku Kajian
Bahasa membagi makna kebahasaan dalam tiga macam yaitu makna leksikal,
makna gramatikal dan makna kontekstual. Menurutnya makna leksikal biasa
disebut dengan makna leksem yaitu makna yang dihasilkan oleh relasi kata,
sedangkan makna gramatikal adalah makna yang dihasilkan karena adanya relasi
antara unsur struktur kalimat.

52
Harimurti Kridalakana, Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik,
Penyunting Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2007 hal-141
53
Aminuddin , Semantik (Pendekatan Studi tentang Makna), Bandung: Penerbit Sinar
Baru Algensindo, cet ke 3 tahun 2003 hal-109

39
Abdul Chaer memberi contoh suatu ungkapan yang mengandung makna
leksikal dan juga makna gramatikal : Kucing menulis surat54. Secara gramatikal
kalimat tersebut merupakan kalimat yang benar, karena ada subyek ada predikat
dan ada obyek, akan tetapi secara semantik kalimat tersebut tidak dapat diterima,
sebab tidak ada hubungan sematik antara kata kerja menulis yang menjadi
predikat kalimat itu dengan kata benda kucing yang menjadi subyeknya. Kata
kerja menulis mengandung makna perbuatan yang biasa dilakukan oleh manusia
padahal kucing yang menjadi subyek kalimat tersebut bukan manusia. Berbeda
halnya kalau subyek kalimat tersebut diganti dengan kata benda lurah sehingga
kalimat tersebut menjadi: Lurah itu menulis surat, maka kalimat tersebut secara
gramatikal dan secara semantik bisa diterima. Lurah adalah kata benda manusia
yang biasa melakukan perbuatan menulis jadi ada hubungan semantik antara
subyek dengan predikat dalam kalimat tersebut.
Perlu diperhatikan juga contoh pada kedua kalimat berikut: kucing itu
makan ikan dan lurah itu makan ikan kedua kalimat tersebut bisa diterima
walaupun yang pertama subyeknya adalah kucing yang bukan manusia dan yang
kedua adalah lurah yang berupa manusia. Keterterimaan kedua kalimat itu adalah
karena kata kerja makan yang menjadi predikat pada kedua kalimat itu
mengandung makna perbuatan yang biasa dilakukan oleh makhluk hidup baik
manusia maupun binatang.
Pada kalimat berikut ini mempunyai analisis kalimat yang berbeda: kucing
itu makan kursi dan lurah itu makan kursi. Kedua kalimat tersebut secara
semantik tidak bisa diterima. Ketidak terterimanya adalah karena tidak adanya
hubungan semantik antara kata kerja makan yang menjadi predikat kalimat
tersebut dengan kata benda kursi yang menjadi obyeknya. Kursi adalah kata benda
yang tidak mengandung makna makanan yang tidak lazim untuk dimakan.
Tokoh linguis Arab yaitu Ibrahim Syam al-Din dalam bukunya yang
berjudul Marja` al-Thulab fi al-Insya juga menyajikan makna leksikal yang tidak
mengandung makna gramatikal. seperti pada contoh kalimat berikut:

54
Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Ilmu, 2000

40
٥٥
‫ب‬: ‫ ا‬/+$w' .١
' ‫ ا‬/0 ‫ ﺵة‬O‫ زر‬.٢
Y2#‫' إ‬: ‫ء‬#z‫ ا‬:‫ ر‬.٣
Sebenarnya dari segi sharaf dan nahw kalimat tersebut tidak salah akan tetapi dari
kolokasi kata terdapat kesalahan besar. Seperti pada contoh nomor satu kata ‫ب‬: ‫ا‬
fi`l yang tepat untuk bersanding dengannya adalah kata FY bukan ‫ 'غ‬walaupun
artinya sama-sama menyengat56. Letak perbedaan kata tersebut yaitu pada
penggunaannya kata FY digunakan untuk hewan yang menyengat dengan
menggunakan ekornya seperti lebah kalajengking dan yang sejenisnya. Sedangkan
kata ‫ 'غ‬digunakan untuk arti menyengat yang menggunakan mulut seperti ular
dan yang sejenesnya. Sedangkan pada kalimat contoh nomor dua kata ‫زرع‬
mempunyai sinonim dengan kata ‫س‬w dan kedua kata tersebut mempunyai
kesamaan arti yaitu menanam namun ada penggunaan yang berbeda, seperti pada
contoh nomor dua secara gramatikal betul dan bagi yang bukan pengguna bahasa
aslinya kalimat tersebut merupakan kalimat yang dirasa sah baik secara
gramatikal ataupun secara semantik, namun contoh nomor dua sebenarnya
bukanlah contoh yang tepat, karena untuk mengungkapkan kalimat menanam
pohon tidak menggunakan kata ‫ زرع‬tetapi menggunakan kata ‫س‬w, sedangkan
kata ‫ زرع‬digunakan untuk menanam yang berasal dari biji-bijian. Jadi kalimat
yang benar pada contoh nomor dua adalah ' ‫ ا‬/0 ‫ ﺵة‬7w.
Dalam teorinya ia menyatakan bahwa salah satu keharusan penutur bahasa
yang baik adalah mengetahui relasi kata yang satu denagn yang lainnya yang
merupakan kombinasi khusus57. Dalam menentukan kekhususan dalam pemakain
kata yang mengandung makna yang sama ataupun hampir sama inilah yang
disebut dengan kolokasi

55
al-Tsa`labi, Abi Manshur, Fiqh al-Lughah wa sir al-Arabiyyah, cet. Terakhir 1972
hal-43
56
al-Yusungi, Hendrikus, Faraid al-Lughah fi al-Furŭq, maktabah al-Tsaqafah al-
Diniyyah, 1999 hal- 336
57
Ibrahim Syam al-Din, Marja` al-Thuláb fi al-Insya, Bairut, Libanon: Dar al-Kitab al-
`Ilmiyah, 2000 hal-142

41
Pada contoh nomor tiga terdapat kesalahan kolokasi antara kata :‫ر‬
dengan kata ‫ء‬#z‫ ا‬karena kata :‫ ر‬yang mempunyai arti menambal tidak lazim
dipakai untuk menambal barang yang pecah yang berupa wadah atau tempat
sesuatu. Kata :‫ ر‬tepatnya berkolokasi dengan dengan kain seperti kain sarung,
baju, celana dan lain sebagainya. Sedangkan untuk wadah (‫ء‬#z‫ )ا‬kata ‫ رأب‬karena
dalam menambal menggunakan media cairan yang kental.
Adakalanya makna dari kolokasi itu dilanggar dengan sengaja untuk
memberi efek tertentu, misalnya dalam karya sastra atau humor. Kadang-kadang
diciptakan idiom baru dengan kolokasi yang baru juga untuk memberi efek
tertentu. Seperti pada contoh berikut:
1. Perilaku makhluk yang haus darah itu sangat menakutkan anak-anak
menontonnya.
2. Anak yatim piatu yang haus kasih sayang orang tua itu sungguh memilukan
keadaannya.
3. Saya sekarang sedang haus uang kata ketua panitia dana sosial yang sedang
mengumpulkan uang untuk membantu anak-anak sekolah di daerah yang
terkena bencana58.
Penggunaan kata haus darah dan haus kasih sayang pada contoh no 1 dan no 2
tidak merupakan bentuk yang ganjil dan sudah menjadi ungkapan yang lazim bagi
orang Indonesia, tetapi istilah yang ada pada no 3 haus uang bukanlah bentuk
yang lazim dalam bahasa Indonesia, namun penggunaan itu sah-sah saja karena
mempunyai maksud untuk berhumor yang bermaksud karena sangat
membutuhkan uangnya maka diistilahkan dengan haus uang.
Makna juga bisa diketahui karena adanya kolokasi pada tataran struktur
kalimat sebagaimana yang dipaparkan oleh linguis Arab Tamam Hasan.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa kolokasi oleh Tamam Hasan
diistilahkan dengan Tadhám. Menurutnya kolokasi (Tadhám) adalah kelaziman
salah satu unsur struktur kalimat menganalisa secara gramatikal terhadap unsur

58
Harimurti Kridalakana, Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik,
Penyunting Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2007 hal-141

42
yang lain. Ketika mengharuskan adanya salah satu unsur gramatikal sebagai
penganalisa dari unsur kalimat yang lain, maka sesungguhnya salah satu dari
unsur tersebut bisa nampak dengan cara menyebutkan unsur tersebut secara nyata
ataupun tidak menyebutkannya. Tidak disebutkan salah satu unsur tersebut karena
adanya kira-kira disebabkan karena dibuang atau karena disembunyikan59.
Kelaziman dari dua unsur kalimat yang seharusnya ada dalam sebuah
kalimat terkadang disebutkan unsur tersebut terkadang juga tidak disebut60. Unsur
kalimat yang tidak disebut maka tidak mempunyai tanda-tanda, kebanyakan
dalam pemakaiannya disebutkan indikator terhadap makna yang dimaksud
sebagai penyempurnaan dari sebuah kalimat.
C. JENIS DAN BENTUK KOLOKASI
Jenis-Jenis Kolokasi dalam tesis ini akan dibagi kedalam dua bagian yaitu
jenis kolokasi yang masuk pada tataran kata dan jenis kolokasi yang masuk pada
tataran struktur kalimat, jenis kolokasi yang masuk pada tataran kata terbagi
kedalam empat bagian sedangkan jenis kolokasi yang masuk pada tataran struktur
kalimat terbagi kedalam tiga bagian, adapun pemaparan adalah sebagai berikut:
Peter emery mengklasifikasikan kolokasi pada tataran kata kedalam empat
kategori, yaitu: kolokasi bebas, yang dimaksudkan dari kolokasi ini adalah
kombinasi antara dua kata atau lebih yang terjadi secara bersama-sama tanpa ada
hubungan yang khusus dan terikat antara kata-kata yang ada61. Kedua unsur kata
tersebut secara bebas bisa berhubungan dengan kata yang lain, masing-masing

59
Tamam Hasan, Al-Lughah al-`Arabiyah Ma`naha wa Mabnaha, al-Qahirah: Alimu al-
kutub, 1998 hal-217
60
Tamam Hasan memberikan contoh seperti kelaziman ‫ ل‬. N ‫ ا‬dengan ‫ ل‬. N ‫ ا‬., kata
‫ آ‬dan $‫ آ‬memerlukan /+e 0:  ‫ف ا‬%, '?: ‫ ا‬memerlukan F‫ ﺝ‬dan juga kelaziman  ‫ﺡف ا‬
membutuhkan ‫ور‬, DN ‫ ا‬memerlukan 6N dan seterusnya.
61
Kolokasi bebas ini dalam bahasa Inggris dapat dicontohkan kata have bisa berkolokasi
lebih dari sepuluh kata : have do make have a bath, have a drink, have a good time, have a haircut,
have a holiday, have a problem, have a relationship, have a rest, have lunch, have sympathy. Kata
bisa juga berkolokasi dengan beberapa kata seperti: do business, do nothing, do someone a
favour, do the cooking, do the ousework, do the shopping, do the washing up, do your best, do
your hair, do your homework. Dan kata make bisa berkolokasi dengan kata-kata sebagai berikut:
make a difference, make a mess, make a mistake, make a noise, make an effort, make furniture,
make money, make progress, make room, make trouble. Begitu juga dengan bahasa-bahasa yang
lain tentunya mempunyai gejala kebahasaan yang sama seperti dalam bahasa Arab kata ‫ﺥض‬, kata
ini bisa berkolokasi dengan kata lebih dari tujuh kata seperti ‫ء‬N ‫ ﺥض ا‬, ‫ﺥض ا ب‬, ,‫آ‬:N ‫ﺥض ا‬
‫اب‬m ‫ ﺥض ا‬,‫ت‬A$#z‫ ﺥض ا‬,+N ‫ ﺥض ا‬dan seterusnya.

43
dari kedua unsur tersebut dapat digunakan secara umum. Peter Emery memberi
contoh: ‫ ا ب‬$#‫ إ‬dan ‫'أت ا ب‬, dari kedua kolokasi ini masing-masing
unsurnya bisa berhubungan secara bebas dengan kata yang lain seperti kata $#‫إ‬
bisa berhubungan dengan kata ‫ ا 'رس‬,‫ ا @ م‬,;N: ‫ ا‬dan seterusnya begitu juga
dengan kata ‫ 'أت‬bisa juga berhubungan dengan kata-kata yang telah disebutkan
sebelumnya ataupun dengan kata-kata yang lainnya seperti kata ;‫ ا]آ‬,$2 ‫ ا‬,‫ا أة‬
dan lain sebagainya.
Kolokasi berikutnya adalah kolokasi terbatas yaitu kombinasi dua kata
atau lebih yang dipergunakan secara teratur, bukan merupakan makna idiom dan
mengikuti struktur bahasa baku, keterbatasan perubahan pasangan tidak hanya
terbatas pada strukur dan semantik akan tetapi juga pada penggunaannya. Seperti
pada contoh kata ,‫ ﺡب ﺽرّة‬dan kata ‫اء‬2# N‫ﺝ‬, kolokasi semacam ini sering
disebut juga dengan ungkapan62 contoh dalam bahasa Indonesia adalah bis kota.
Kata kota pada ungkapan bis kota akan membatasi kata bis sebagai ungkapan
yang sebelumnya merupakan kata umum, yaitu kendaraan roda empat yang
biasanya sebagai angkutan umum. Dengan adanya kata kota maka akan
membatasi bahwa kendaraan umum tersebut berjalan di kawasan perkotaan saja.
Klasifikasi kolokasi berikutnya adalah kolokasi terikat, kolokasi ini
merupakan jembatan antara kolokasi dengan idiom, salah satu unsurnya adalah
keunikan yang selektif dalam pemilihan kata sebagai pasangannya contoh kata
‫ق ا أس‬X‫ أ‬kombinasi kedua kata ini merupakan pasangan yang sudah paten dalam
bahasa Arab. Untuk mengungkapkan menundukan dengan obyek kepala adalah
menggunakan kata ‫ق‬X‫ أ‬tidak bisa menggunakan kata F‫ رآ‬karena kata F‫رآ‬
digunakan untuk membungkukan badan ataupun lutut. Demikian juga dengan

62
al-Ghulayani, Al-Musthafa dalam bukunya Jami` al-Durus al-`Arabiyyah memberi
contoh ungkapan '$N ‫* ا‬N$ ‫ا‬, kata *N$ ‫ ا‬yang mempunyai arti siswa mempunyai makna yang
sangat khusus yaitu orang yang sedang menuntut ilmu semuanya adalah siswa akan tetapi kata
*N$ ‫ ا‬tersebut dibatasi oleh sifat yang melekat pada dirinya yaitu '$N ‫ا‬, dengan adanya sifat yang
melekat pada diri *N$ ‫ ا‬maka maknanyapun akan berubah akan tetapi tidak berubah secara total
dan secara struktur kombinasi kedua kata tersebut tidak menyalahi aturan yang ada. Hal senada
juga diungkapkan oleh Muhammad Ibrahim `Ubadah dalam bukunya yang berjudul al-Jumlah al-
`Arabiyyah dia memberikan contoh: >‫ ﺥ ذه‬ungkapan tersebut terdiri dari kata ‫ ﺥ‬dan >‫ ذه‬, kata
‫ ﺥ‬dibatasi oleh kata >‫ ذه‬kolokasi atau kombinasi semacam ini dalam bahasa Arab disebut juga
dengan kolokasi idhafi.

44
bahasa Indonesiapun mempunyai keterbatasan penggunaan kata untuk
mengistilahkan sesuatu seperti untuk menundukan kepala dan membungkukan
badan tidak menundukan badan dan membungkukan kepala dan lain sebagainya.
Kolokasi terikat muncul karena adanya sinonim yang mempunyai arti
sama namun dalam pemakaianya berbeda. Kolokasi ini terdapat pada semua
bahasa seperti suara yang dikeluarkan oleh binatang dikatakan dengan ungkapan
yang berbeda, untuk merujuk bersuara misalnya kuda meringkik, kucing
mengeong, anjing menggonggong. Dalam bahasa sikka untuk konsep mencuci
dikatakan dengan dua kata, yakni bopo dan rasi. Misalnya bopo baju artinya
mencuci baju, bopo waeng artinya mencuci muka tetapi untuk mencuci piring dan
mencuci tangan menjadi rasi pigang dan rasi limang63. Kata indah dan kata cantik
dan dalam bahasa Indonesia bersinonim, tetapi pemakaiannya terikat oleh
kolokasi kata sebelumnya, kata indah sudah dihubungkan dengan alam, misalnya
pemandangan yang indah, sedangkan kata cantik dihubungkan dengan manusia
perempuan, misalnya gadis yang cantik.
Untuk mengungkapkan kata minum dalam bahasa Arab saja mempunyai
tempat tersendiri seperti minum untuk manusia menjadi ‫س‬+ ‫ﺵب ا‬, minum untuk
bayi menggunakan ungkapan ;9S ‫ ا‬F‫رﺽ‬, minum untuk binatang buas
menggunakan kata FDY ‫و ~ ا‬, ungkapan minum untuk unta menggunakan : ‫ﺝع ا‬,
ungkapan minum untuk burung dan sejenisnya menggunakan kata ?S ‫> ا‬O.
Demikian juga dengan ungkapan perkawinan, dalam bahasa Arab menggunakan
istilah tertentu untuk masing-masing makhluk seperti untuk manusia
menggunakan ungkapan ‫ن‬Y#z‫ ا‬t2#, untuk mengungkapakan perkawinan kuda
dengan kata ‫س‬9 ‫آم ا‬, untuk mengungkapkan perkawinan keledai dengan
menggunakan kata ‫ر‬N ‫ك ا‬, untuk mengungkapkan perkawinan unta dengan
menggunakan kata ;N ‫ع ا‬, untuk mengungkapkan perkawinan binatang buas
dengan menggunakan kata FDY ‫ا ا‬6#, untuk mengungkapkan perkawinan anjing
dengan menggunakan kata >2 ‫; ا‬WO, untuk mengungkapkan perkawinan burung

63
Parera, J.D., Teori Semantik, Jakarta: penerbit Erlangga, cet ke 2, 2004 hal-67 lihat pula
bukunya Jaya Sudarma, T. Fatimah, Semantik: Pernyataan kearah ilmu makna, Bandung: Refika
Aditma, 1999

45
menggunakan kata ?S ‫' ا‬97, dan untuk mengungkapkan perkawinan ayam dengan
menggunakan kata 3' ‫ ا‬N 64
dan seterusnya dapat dilihat pada buku Fiqh al-
Lughah wa sir al-`Arabiyyah hasil karya Abi Mansur al-sya`labi.
Pasangan kata yang telah dibatasi pemakainnya dan tidak menyalahi
struktur bahasa dan semantiknya oleh Peter Emery disebut dengan kolokasi
terikat, dengan mengetahui kolokasi terikat ini pengguna bahasa kedua akan
terbantu dalam memahami makna yang terkandung dalam teks baik tulis maupun
lisan seperti pada ayat al-Qur`an surat al-An`am ayat 7865 untuk mengungkapkan
kata terbit tidak menggunakan kata : X tetapi menggunakan kata w‫ ز‬. Kata
w‫ ز‬digunakan untuk menyatakan awal terbit baik matahari maupun bulan yang
sinarnya sudah mulai nampak di kaki langit.
Klasifikasi terakhir menurut Peter Emery adalah kolokasi yang berupa
Idiom. Menurutnya Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat
diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara
gramatikal66. Contohnya secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna yang
menjual mendapat uang dan yang membeli mendapatkan rumahnya, bentuk Guru
mengajar siswa bermakna guru menyampaikan materi pelajaran dan siswa
menerima informasi dari materi yang diberikan oleh guru. Berbeda dengan
ungkapan membanting tulang, membanting berarti memukulkan benda dengan
keras keatas tanah dan tulang adalah anggota tubuh manusia atau hewan sebagai
tumpuan organ yang lain bisa berdiri kokoh. Unsur-unsur dari ungkapan
membanting tulang secara gramatikal ataupun secara leksikal tidak dapat diartikan
secara jelas akan tetapi ungkapan tersebut mempunyai arti bekerja keras, makna
yang semacam ini dinamakan dengan makna idiomatikal. Contoh lain seperti meja
hijau, sudah bau tanah dan lain sebagainya.

64
al-Tsa`labi, Abi Manshur, Fiqh al-Lughah wa sir al-Arabiyyah, cet. Terakhir 1972 hal-
185
65
Bunyi ayat selengkapnya adalah /#‫ ل  م إ‬0‫ أ‬N0D‫ ه*ا أآ‬/‫ ل ه*ا ر‬w‫ ز‬gNm ‫ رأي ا‬N0
‫آ ن‬m N ‫ئ‬
66
Emery, Peter G, Collocations and Idioms in Arabic and English: A Contrastive Study,
University of Manchester, 1988

46
Idiom merupakan bahasa yang teradatkan artinya bahasa yang sudah biasa
dipakai oleh para penutur asli bahasa yang bersangkutan67. Walaupun terkadang
idiom itu terasa aneh, orang tidak lagi merasakan kejanggalan atau keanehannya,
misalnya orang Indonesia mengartikan naik daun dengan terkenal, apa hubungan
arti naik daun dengan terkenal. Apakah dengan naik daun menjadi terkenal dan
bagaimana orang bisa naik daun, tetapi tanpa memikirkan hubungan kata naik
daun dengan terkenal kalau ada ungkapan naik daun sang penerima informasi itu
akan langsung paham bahwa maksudnya adalah terkenal tanpa harus berdebat dan
bertanya naik daun yang mana.
Hal lain lagi mengapa orang menyebut bangsawan dengan berdarah biru,
benarkan bangsawan itu darahnya biru, adakah darah yang warnanya biru. Kalau
dicari-cari mungkin akan ketemu jawabannya tetapi pemakai bahasa tidak lagi
menghiraukannya. Para pengguna bahasa hanya tahu ungkapan begitu artinya
begini. Makna idiom dengan kata pembentukan sering tidak lagi jelas atau makna
itu bukanlah makna sebenarnya kata itu. Idiom tak dapat dialih bahasakan secara
harfiah ke dalam bahasa lain. Misalnya idiom duduk perut yang artinya hamil
tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan cara mencari dalam kamus
apa artinya duduk dan artinya perut kemudian digabungkan.
Menurut Muhammad Amin Al-khuli, Idiom adalah /+:N ‫ ا‬1O o+: V$A K
?‫ا‬6‫ ]ﺝ‬/2 ‫ ا‬suatu kontsruksi kata yang maknanya secara keseluruhan berbeda
dengan makna masing-masing unsurnya68. Sedangkan Harimurti Kridalaksana
memberikan pengertian idiom adalah a. Konstruksi dari unsur-unsur yang saling
memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena
bersama yang lain, b. Idiom adalah konstruksi yang maknanya tidak sama dengan
gabungan makna anggota-anggotanya69.
Dari teori yang disampaikan oleh kridalaksana maka pada pengertian yang
pertama dalam bahasa Arab akan menghasilkan konstruksi kata sebagai berikut:

67
Badudu, J.S., Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III, Jakarta: PT. Gramedia, 1993
hal-47
68
al-Khuli, Muhammad Ali, Dictionary of Theoretical Linguistic, Beirut: Libraire du
Liban, 1982 hal-125
69
Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik, PT.Gramedia, cet 2, 1983 hal-62

47
kata ‫  م‬mempunyai arti berdiri70, ketika bergabung dengan preposisi huruf jar
maka akan berubah maknanya sesuai dengan kebiasan pemakaian orang arab
berbicara. Kata ‫  م‬bergabung dengan huruf jar ‫ ب‬tidak bermakna berdiri dengan
tetapi bermakna melakukan atau melaksanakan71. Ketika ‫  م‬bergabung dengan
preposisi /O tidak bermakna berdiri di atas akan tetapi bermakna berdasarkan72.
Pada pengertian yang kedua idiom menurut kridalaksana mengacu pada
gabungan kata dengan kata lain dan akan merubah makna dari kedua unsur kata
yang ada seperti kata ‫ م‬yang berarti berdiri, ketika bergabung dengan kata lain
seperti kata ': yang bermakna duduk kemudian menjadi ':‫ م و‬tidak lagi berarti
duduk dan berdiri akan tetapi menjadi bermakna bingung, resah, gundah
gulana73. Demikan juga kata ‫ل‬7‫ أ‬yang bermakna mengalirkan, ketika bergabung
dengan kata D: yang bermakna air liurnya kemudian menjadi : ‫ل‬7‫ أ‬tidak
berarti mengalirkan air liurnya, tetapi menjadi menggiurkan74. Sebagaimana
contoh yang tercantum pada kalimat panjang sebagai berikut ‫ﺽ‬O ‫آ‬m ‫'م ' ا‬
‫ ا ل‬/0 ': ‫ ا‬F 0 BAm ‫ب ا‬: ‫ل‬7‫ أ‬artinya direktur perusahaan memberikan tawaran
yang menggiurkan orang itu, sehingga dia menandatangani kontrak saat itu juga.
Idiom dilihat dari unsur-unsurnya dapat dibagi menjadi dua yaitu idiom
penuh dan idiom sebagian75. Idiom penuh maksudnya adalah unsur-unsur yang
terdapat pada ungkapan idiom tersebut melebur menjadi satu kesatuan, sehingga
makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Bentuk-bentuk seperti
membanting tulang, meja hijau, sudah bau tanah termasuk contoh idiom penuh.
Sedangkan yang dimaksud dengan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu

70
Contoh kata ‫  م‬yang mempunyai arti berdiri ;@9 ‫* أم ا‬N$ ‫  م ا‬siswa itu berdiri di
depan kelas
71
Contoh kata ‫  م‬yang bergabung dengan preposisi ‫ ب‬yang mempunyai arti
melaksanakan o'‫ وﺡ‬m ‫ ا‬NN ‫ ا‬3$ VW N ‫  م ا‬pegawai melaksanakan tugas berat itu sendirian.
72
Contoh kata ‫  م‬yang bergabung dengan preposisi /O yang mempunyai arti
berdasarkan ‫ ري‬m ‫واة وا‬YN ‫'ا  و ا‬: ‫دئ ا‬D /O ‫م‬7z‫ ا‬/0 2 ‫ م ا‬. Hukum dalam Islam berdasarkan
berdasarkan prinsip keadilan, persamaan, dan musyawarah.
73
Contoh kata ‫ م‬yang bergabung dengan kata ': yang mempunyai arti bingung, resah,
gundah gulana adalah ‫ ب‬DN ‫ ا‬Y?‫ ط ر‬Y FN7 '+O ':‫> و‬:m ‫ ا‬3 ‫ م ذ‬bangsa itu bingung ketika
mendengar jatuhnya presiden yang mereka cintai.
74
Basuni Imamuddin dan Nashiroh Ishaq, Kamus Idiom Arab-Indonesia Pola Aktif,
P.T.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cet 1, 2005
75
Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: PT.Rineka Cipta, cet II, 2003 hal-296

48
unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya buku putih yang
bermakna buku yang memuat keterangan resmi mengenai suatu kasus, daftar
hitam yang bermakna daftar yang memuat nama-nama orang yang diduga atau
dicurigai berbuat kejahatan, koran kuning dengan makna koran yang memuat
berita sensasi. Pada contoh tersebut kata buku, daftar dan koran masih memiliki
makna leksikalnya.
Menurut J.S. Badudu penggabungan kata sambung yang sudah biasa
dipakai termasuk kedalam idiom76. seperti kata sesuai biasa digabung dengan kata
sambung dengan contohnya kalimat sesuai dengan keputusan pemerintah gaji
guru akan naik 20%. Kata terdiri biasa bergabung dengan dari contoh pada
kalimat Tiap kelompok terdiri dari tiga orang, kata berhubung biasa bergabung
dengan kata dengan, kata diperuntukan bergabung dengan kata bagi dan lain
sebagainya. Dalam bahasa Indonesia penggunaan kata sambung sering tidak
diperhatikan bahkan ditinggalkan,baik dalam bahasa Inggris maupun dalam
bahasa Arab penggunaan kata sambung didepan kata sebelumnya sangat
diperhatikan karena kata itu akan sangat menentukan arti contoh dalam bahasa
Inggris kata look bisa bergabung dengan bermacam-macam kata depan seperti
look at, look to, look out,look after,look towards, look up dan sebaginya.
Penambahan kata depan dalam bahasa Arabpun sering di jumpai sebagai
idiom, penambahan kata depan biasanya berupa huruf jar, contoh kata >w‫ ر‬bisa
bergabung dengan kata depan /0 bisa juga bergabung dengan kata depan 1O dari
penggabungan dua kata yang berbeda akan melahirkan arti yang berbeda pula.
Kata /0 >w‫ ر‬mempunyai arti cinta sedangkan 1O >w‫ ر‬mempunyai arti benci77.
Berarti pasangan kata depan itu sangat penting untuk diperhatikan karena salah
memberi pasangan akan salah arti.
Pada nama-nama bulan tahun hijriyah banyak terdapat makna idiomatik
yang secara asal usul makna sulit untuk dilacak oleh kalangan awam walaupun

76
J.S. Badudu, Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III, Jakarta: PT. Gramedia, 1993 hal-
48
77
Contoh 1O >w‫ ر‬dan /0 >w‫ ر‬terdapat surat al-Baqarah ayat 130 yang berbunyi: 1‫و‬
Y9# 97 1 G‫  إاه إ‬1O >w dan surat al-Taubah ayat 120 yang berbunyi: 1‫ و‬+'N ‫آن ]ه; ا‬
Y9# 1O Y9#f ‫ ا‬Dw G‫ ل ا و‬7‫ ر‬1O ‫ ا‬9A$ ‫اب أن‬O]‫ ا‬1  ‫ﺡ‬

49
bagi para ahli nama tersebut bisa mempunyai sejarah khusus seperi kata ,‫ ا]ول‬F‫ر‬
#e ‫دي ا‬N‫ ﺝ‬,/ ‫دي ا ‚و‬N‫ ﺝ‬,/#e ‫ ا‬F‫ ر‬kata-kata tersebut secara makna orang tidak
akan mempedulikannya, apabila disebutkan nama-nama bulan tersebut bukan
makna yang tergambar dalam pikirannya akan tetapi nama bulan kesekian dari
bulan hijriyah. Perbedaan antara kolokasi terikat dengan idiom adalah terletak
pada pelacakan makna dari unsur-unsur pembentukannya. Kolokasi terikat
maknanya dapat dilacak dari makna unsur-unsur pembentukannya sedangkan
idiom makna dari unsur-unsur pembentukannya tidak dapat dilacak karena
kombinasi kedua kata tersebut menjadikan makna baru yang tidak sesuai lagi
dengan makna asal kata. Demikian juga dengan kata V% ‫أ ا‬, secara makna kata
tersebut terbagi atas kata ‫ أ‬yang artinya bapak dan kata V% ‫ ا‬yang artinya tamu,
namun setelah bergabung kedua kata tersebut menjadi bermakna dermawan,
seperti pada kalimat o'@ 1 ;‫ آ‬:S ‫ آن‬#] V% ‫ ا‬/f $‫إﺵ‬.
Dalam al-Qur`an juga banyak ungkapan-ungkapan yang mengandung
makna idiomatik artinya penggabungan antar kata maknanya tidak sama dengan
makna yang terkandung pada masing-masing kata tersebut. Seperti yang
tercantum pada surat al-Maidah ayat: 64 dan surat al-Isra ayat: 29 yang masing-
masing berbunyi: ‫ء‬m V‫ آ‬9+ ‫ن‬$X YD o' ; dan YD G‫ و‬3+O / ‫  ا‬K ‫; 'ك‬: G‫و‬
Y ;‫آ‬, kata ‫ن‬$X YD o' mempunyai arti tangannya terbuka namun untuk ungkapan
pada ayat tersebut bermaksud dermawan demikian juga dengan ungkapan  K o'
2+O / ‫ا‬, mempunyai makna yang berbeda dari makna perkata, asal makna yang
sebenarnya adalah tangan terbelenggu pada leher namun arti yang terkandung
didalam ungkapan itu adalah kikir.
Jenis-jenis kolokasi pada tataran struktur kalimat akan mengambil teorinya
Tamam Hasan, menurutnya kolokasi terbagi kedalam tiga macam jenis kolokasi,
yaitu al-Talázum, al-Tanáfὶ dan al-Tawárud78. Al-Talázum menurut Tamam
Hasan merupakan keharusan adanya dua unsur struktur kalimat dalam sebuah
kalimat yang satu sama lain saling membutuhkan keberadaanya, salah satu unsur
kalimat tersebut keberadaanya akan diakui sebagai sebuah bagian dari kalimat
78
Tamam Hasan, Al-Lughah al-`Arabiyah Ma`naha wa Mabnaha, al-Qahirah: Alimu al-
kutub, 1998 hal-217

50
kalau unsur yang lain akan muncul sebagaimana ahli nahwu mengatakan bahwa
setiap ada fi`l pasti ada fa`il, maka jika fa`il tersebut tidak nampak berarti fa`il itu
merupakan dhamir mustatir. Setiap ada maushul harus ada shilah yang kembali
pada maushul, adanya ikatan mudhaf dengan mudhaf ilaih dan hubungan
keduanya merupakan kelaziman, huruf jar memerlukan isim yang dimajrurkan.
Dalam hal ini Hamasah `Abd al-Lathif menyatakan bahwa dalam sebuah
kalimat unsur-unsurnya pasti mempunyai pasangan dan pasangan tersebut satu
sama lain saling membutuhkan. Pada bukunya yang berjudul bina al-Jumlah al-
`Arabiyyah Muhammad Hamasah `Abd al-Lathif menyatakan bahwa kalimat pada
dasarnya terbagi dua yaitu jumlah ismiyah dan jumlah fi`liyah, pada masing-
masing jumlah tersebut unsur-unsurnya harus saling berpasangan, pada jumlah
ismiyah minal ada mubtada dan ada khabar, pada jumlah fi`liyah harus ada fi`l
dengan fa`ilnya79. Mubtada tidak mungkin berdiri sendiri tanpa adanya khabar dan
fa`il tidak mungkin dinamakan fa`il kalau tidak ada fi`lnya. Gejala kebahasaan
semacam ini dalam bahasa hampir terjadi pada setiap unsur kalimat seperti huruf
jar pasti membutuhkan pasangannya yaitu isim yang menjadi majrurnya, na`at
pasti akan mencari man`utnya dan sebagainya.
Jenis kolokasi kedua dalam tataran struktur kalimat menurut Tamam
Hasan adalah al-Tanafi80. Apabila al-Talazum indikasinya adalah nampak secara
konkrit sebagaimana huruf jar yang menuntut adanya isim yang dimajrurkan, fi`l
menuntut adanya fa`il, mudhaf memerlukan mudhaf ilaihnya dan seterusnya,
sedangkan al-Tanafi sebaliknya al-Talazum yaitu meniadakan adanya indikasi
yang nampak secara nyata. Al-Talazum menghendaki adanya susunan kalimat
yang serasi sedangkan al-Tanafi menjadikan susunan kalimatnya rusak. Seperti
contoh tarkib Idhafi '‫ب ز‬$‫ آ‬kata ‫ب‬$‫ آ‬pada tarkib tersebut tidak bisa digantikan
dengan fi`l, dhamir, adat syarthi, tanfis, tahqiq dan seterusnya, oleh karena itu
kata-kata tersebut tidak bisa menempati posisi ‫ب‬$‫آ‬. Seperti kata ; menempati
kata ‫ب‬$‫ آ‬menjadi '‫ ; ز‬dilihat dari makna kedua susunan ini mempunyai makna

79
Muhammad Hamasah `Abd al-Lathif, Bina al-Jumlah al-`Arabiyyah, Kairo, Dar al-
Gharib, , 2003 hal-57
80
Tamam Hasan, Ijtihadat lughawiyah, Kairo: `Alim al-kutub, 2007 hal-64

51
yang berbeda susunan yang pertama mempunyai makna kepemilikan sedangkan
makna yanng kedua memiliki makna peristiwa dan waktu.
Jenis kolokasi yang ketiga dalam tataran struktur kalimat adalah al-
Tawarud. Kolokasi jenis ini menurut Tamam Hasan adalah persandingan dua kata
dengan cara ikhtishash81 dan istighna82. Kolokasi ini menuntut adanya keindahan
struktur bahasa dan konteks kalimat. Al-tawarud juga merupakan pembentukan
gaya bahasa yang baru dari gaya bahasa biasanya karena mengalami perpindahan
struktur nahwiyah ke struktur balaghiyah seperti perpindahan kata ‫ إذ‬pada ayat
yang berbunyi +$'‫' إذ ه‬: +  ‫غ‬6 G +‫ ر‬secara nahwiyah ‫ إذ‬mempunyai makna ‫أن‬
masdariyah yang seharusnya menjadi +$'‫' أن ه‬: seperti perpindahan G‫ إ‬istisna ke
istidrak pada ayat yang berbunyi /mA 1N ‫ *آة‬G‫ إ‬/m$ ‫ ا أن‬3O + 6#‫  أ‬X kata G‫إ‬
mempunyai maksud 12 .
2. Bentuk-Bentuk Kolokasi
Muhammad Ibrahim `Ubadah membagi bentuk-bentuk kolokasi dalam
tataran kata bahasa Arab dalam buku al-Jumlah al-`Arabiyyah sebagai berikut:
Pertama Isnadi yaitu kolokasi yang terjadi antara dua isim yang salah
satunya menerangkan yang lainnya contoh ‫ ن إﺥ ة‬+pN ‫ا‬, dari kalimat tersebut kata
‫إﺥ ة‬menerangkan kata ‫ ن‬+pN ‫ا‬, tanpa kata ‫ إﺥ ة‬maka kata ‫ ن‬+pN ‫ ا‬belum
mempunyai arti yang spesifik namun setelah mendapat penjelasan dari kata ‫إﺥ ة‬
kata ‫ ن‬+pN ‫ ا‬mempunyai yang yang lebih jelas yaitu bahwa orang-orang mukmin
itu bersaudara, kolokasi semacam ini dalam ilmu nahwu atau gramatika bahasa
Arab disebut dengan al-Mubtada dan al-Khabar. Pada kolokasi inipun bisa terjadi
hubungan antara fi`l dengan isim, kolokasi semacam ini dalam gramatika bahasa
Arab sering disebut dengan Jumlah Fi`liyah cantohnya kalimat: ‫ ﺥج‬,'N ‫م‬
/9S@N ‫اا‬

81
Yang dimaksud dengan ikhtishash adalah kekhususan korelasi beberapa kata yang tidak
bisa diikuti oleh kata-kata yang lain seperti masuknya huruf naïf yang berupa  dan bukan kawan-
kawannya yang masuk pada fi`l mudhare`, `amil nawasih khusus masuk ke jumlah ismiyah,
kekhususan sebagian fi`l lazim dengan salah satu huruf jar yang berfungsi sebagai fi`l muta`adhi
kepada maf`ul bih.
82
Yang dimaksud dengan istighna adalah kesesuaian makna kata dalam hubungan kata
dengan kata yang lain baik secara gramatikal maupun secara semantic contoh: ‫* ا 'رس‬N$ ‫ ا‬0, kata
0 memerlukan fa`il yang secara konteks bisa diterima yaitu orang yang berakal sehat, maka 0
tidak bisa mempunyai fa`il yang berupa kata benda tidak berakal seperti ‫ء‬N ‫ ا‬0 ataupun ‫ ا  اء‬0.

52
Kedua Taqyidi, kolokasi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu: a. Kolokasi
yang terjadi antara dua isim, isim yang kedua menjadi pengendali terhadap isim
yang pertama, hubungan ini sering disebut juga dengan hubungan idhafi83 contoh:
‫ب ا ة‬, kata ‫ ا ة‬mengendalikan isim sebelumnya yaitu ‫ب‬. b. Kolokasi yang
terjadi antara dua isim, sedangkan isim yang kedua menjadi sifat dari isim yang
pertama contoh:'N ‫ > ا‬S ‫ز ا‬0, kata 'N ‫ ا‬menyifati kata > S ‫ا‬, hubungan semacam
ini dalam gramatikal Arab dikenal dengan istilah na`at dan man`ut84.
Ketiga Idhah, kolokasi ini terdiri dari enam bagian yaitu:a. Kolokasi yang
terjadi antara dua isim, isim yang pertama menerangkan dzat yang menujuk pada
isim yang pertama tersebut contoh: 'N ‫; أﺥ ك‬D‫أ‬, maka kata 'N berhubungan
dengan kata sebelumnya untuk menjelaskan dzat yang menunjuk pada kata ‫ أﺥ ك‬,
susunan kalimat semacam ini sering disebut dengan susunan `athaf bayan85. b.
Kolokasi yang terjadi dua isim, sedangkan isim yang kedua menjelaskan isim
yang pertama karena isim yang pertama merupakan isim yang belum jelas contoh:
$‫ آ‬1mO $‫إﺵ‬, maka kata 1mO merupakan jumlah bilangan yang belum jelas
untuk benda apa jumlah tersebut, setelah datang kata $‫ آ‬maka yang dimaksud
dengan 1mO sudah jelas yaitu jumlah dari kitab, jadi kata ‫ب‬$‫ آ‬disini untuk
memperjelas kata sebelumnya. Susunan kalimat semacam ini sering disebut
dengan susunan tamyiz86. c. Kolokasi yang terjadi antara ism, fi`l atau syibh al-fi`l,
isim disini merupakan masdar dari fi`l sebelumnya, hubungan masdar dengan fi`l
atau sibh fi`l adalah untuk menjelaskan derajat pembicaraan. Contoh: 6?9 ‫أآ ا‬

83
Hubungan idhafi ini merupakan hubungan dua isim yang diantara isim tersebut
ditakdirkan ada huruf jar yang mengantarainya seperti contoh: *N$ ‫ب ا‬$‫ ه*ا آ‬antara kata ‫ب‬$‫ آ‬dan
*N$ ‫ ا‬ada huruf ‫ ل‬yang mengandung makna kepemilikan, kata %0 ‫ ﺥ‬YD antara kata ‫ ﺥ‬dan %0
diperkirakan ada huruf jar berupa 1 yang mempunyai arti berasal dari. Pada kalimat ‫م‬. ;D G
1@AN ‫ ا‬1 G‫م ا ; إ‬G‫ر و‬+ ‫ ا‬ditakdirkan ada huruf /0 diantara kata ‫م‬. dengan kata ‫ر‬+ ‫ ا‬dan juga
antara kata ‫ م‬dengan kata ; ‫ا‬.
84
Pada bagian na`at dan man`ut ini isim yang datang kemudian fungsinya untuk
menerangkan keadaan isim yang datang sebelum isim yang bertugas menjadi penjelas. Menurut al-
Ghulayani kalau maushufnya berupa ma`rifat maka fungsi na`at sebagai penjelas sedangkan kalau
maushufnya berupa nakirah maka fungsi na`at sebagai takhsish.
85
athaf `at atau badal hanya perben `Athaf bayan mempunyai kriteria mirip dengan na`
NO B9‫  أ ﺡ‬Y‫ أ‬:bayan berupa isim jamid seperti contoh pada kalimat tersebut kata NO mejadi
`Athaf bayan bagi B9‫أ ﺡ‬
86
Tamyiz merupakan isim nakiroh yang berfungsi untuk menjelaskan isim yang masih
samar keberadaanya seperti Y9# '$N ‫ب ا‬X kata Y9# menerangkan kata '$N ‫ا‬, tamyiz mengandung
makna 1 seperti contoh diatas mempunyai makna Y9# ‫ ﺝ‬1 ‫ب‬X.

53
‫ء‬NR: ‫أوإآام ا‬NRO ‫إآا‬, dan hubungan ini sering disebut dengan maf`l mutlaq al-
mubayin li- alnau`87. d. Kolokasi yang terjadi antara kata karena hubungan
isnadiyah, yaitu antara musnad dan musnad ilaih contoh: ‫ق وﺝ‬m 'N hubungan
semacam ini sering disebut dengan tamyiz nisbah88. e. Kolokasi yang terjadi
antara ism, fi`l, atau sibh fi`l, ism disini berlaku sebagai masdar bagi fi`l
sebelumnya atau untuk menentukan jumlah mutsana atau jamak contoh: 'N '7
1'7, hubungan ini lebih dikenal dengan hubungan maf`l mutlaq al-mubayin li-
al`adad89. f. Kolokasi yang terjadi antara isim dengan dhamir sebelumnya untuk
menerangkan maksud dhamir tersebut contoh: ‫ب آء‬: ‫ ا‬1# hubungan ini lebih
dikenal dengan al-manshub `ala ikhtishash90.
Keempat Ibdal, hubungan dua isim atau dua fi`l, isim atau fi`l kedua
menempati isim atau fi`l pertama karena keduanya ada kesesuaian atau yang
kedua merupakan bagian dari yang pertama. Hubungan semacam ini sering
dikenal dengan badal91.
Kelima Ta`kid wa taqwiyah, Kolokasi semacam ini terdiri dari tiga macam
yaitu: a. Kolokasi yang terjadi antara dua ism, ism yang kedua merupakan
kesamaan dari ism yang pertama baik secara lafal maupun makna, hubungan

87
Maf`ul jenis ini adalah berupa masdar yang terletak setelah fi`I yang berfungsi sebagai
penjelas terhadap keadaan fi`l.
88
Tamyiz nisbah adalah isim nakiroh yang berfungsi untuk menjelaskan kalimat yang
masih samar sandarannya seperti contoh kalimat: ‫ ﺥ‬/O 1Y‫ ﺡ‬artinya si Ali baik akhlaknya dan
kalimat ‫ورا‬7 3D ‫ و‚ ا‬artinya Allah memenuhi hatimu dengan kegembiraan pada kalimat
pertama si Ali baik masih mengandung banyak penafsiran apanya yang baik, maka dengan adanya
kata ‫ ﺥ‬kesamaran dari kebaikan Ali terjawab. Begitu juga dengan kalimat Allah memenuhi
hatimu, kalimat ini masih mengandung pertanyaan, maka dengan datangnya kata ‫ورا‬7 terjawab
kesamaran yang terdapat pada kalimat tersebut.
89
Maf`ul jenis ini adalah berupa masdar yang terletak setelah fi`l yang berfungsi sebagai
penjelasan jumlah bilangan yang terkandung pada fi`l contoh: 1$9‫ و‬9‫و‬
90
Ikhtishash yaitu isim yang dibaca manshub karena adanya fi`l yang dibuang yang
diperkirakan adanya dalam sebuah kalimat. Dan isim ini ada terletak setelah dhamir untuk
menerangkan maksud darinya. Seperti pada contoh: V% ‫م ا‬2# ‫ب‬: ‫ ا‬1# pada contoh ini kata 1#
menjadi Mubtada dan jumlah V% ‫م ا‬2# menjadi khabar. Dan kata ‫ب‬: ‫ ا‬posisinya manshub
karena ada kekhususan pada fi`l yang dibuang yang diperkirakan keberadaanya. Dan jumlah fi`l
yang dibuang membatasi antara mubtada dan khabarnya.
91
Badal adalah lafal yang dimaksud berada bersebelahan dengan lafal yang diikuti tanpa
perantara seperti ungkapan /O ‫م‬z‫ ا‬+ ‫ ا‬F‫واﺽ‬, kata /O dalam i`rabnya mengikuti kata ‫م‬z‫ ا‬dan
yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah kata /O sedangkan kata ‫م‬z‫ ا‬perpanjangan dari kata
/O.

54
semacam ini dinamakan ta`kid lafdzi92. b. Kolokasi dua isim, isim kedua
menghendaki adanya kesempurnaan dari kata yang pertama, hubungan semacam
ini dikenal dengan ta`kid ma`nawi93 contoh: Y9# ‫ ا ز‬%‫ ﺡ‬,:N‫ون ﺝ‬0YN ‫د ا‬O. c.
Kolokasi antara isim, fi`l atau sibh fi`l, isim disini merupaka masdar dari fi`l
sebelumnya. Contoh: ‫@را‬$#‫@ا إ‬$+ '? ‫د ا‬O‫ و‬,‫@ا‬$#‫ إ‬g ‫@ ا‬$#‫ إ‬hubungan semacam
ini disebut dengan maf`l mutlaq mu`akad94.
Keenam dharfiyyah, kolokasi ini terdiri dari dua macam yaitu: a. Kolokasi
antara dharaf zaman atau dharaf makan dengan fi`l atau sibh fi`l, hubungan antara
keduanya menerangkan tempat atau waktu sebuah peristiwa. b. Hubungan antara
mustaq dan fi`l atau sibh fi`l, hubungan ini menyatakan keadaan yang sempurna
pada sebuah peristiwa. Pada umumnya sebagain ulama nahwu menyatakan hal
dengan maf`l fih95 contoh: D‫' راآ‬N ;D‫أ‬
Ketujuh Sababiyyah, hubungan ini terjadi antara ism, fi`l atau sibh fi`l,
isim disini merupakan masdar dari fi`l sebelumnya. Hubungan antara keduanya
merupakan ada sebab atau alasan dari peristiwa fi`l tersebut contoh: Dw‫س ر‬+ ‫ ا‬t@#‫أ‬
A ‫ ا‬/0 hubungan semacam ini dikenal dengan maf`ul li ajlih96.
Kedelapan Maf`uliyyah, hubungan ini terjadi antara isim dengan fi`l atau
sibh fi`l, hubungan antara keduanya merupakan penjelasan peristiwa yang terjadi
92
Ta`kid lafdzi maksudnya adalah pengulangan dalam penyebutan kata baik itu kata
sendiri yang diulang ataupun yang mempunyai sinonim dengannya. Ta`kid lafdzi ini bisa berupa
isim dhahir, isim dhamir, fi`l, huruf dan bisa juga jumlah sebagaimana masing-masing contohnya
adalah sebagai berikut: /O /O ‫ﺝء‬, #‫ﺝš أ‬, atau dalam al-Qur`an + ‫ ا‬3‫ وزوﺝ‬#‫ ا‬127‫ أدم ا‬, ‫ﺝء ﺝء‬
/O, YD  ‫ ا ح‬G,G, /O ‫ ﺝء‬/O ‫ﺝء‬, atau bisa juga yang merupakan sinonimnya seperti /O /‫ﺝء ا‬
dan seterusnya.
93
Ta`kid Ma`nawi biasanya di sertai dengan menyebutkan kata-kata berikut: ,1: ‫ او ا‬,g9+ ‫ا‬
$‫ او آ او آ‬,O ‫ او‬,FN‫ او ﺝ‬dengan menyandarkan pada dhamir yang sesuai dengan bilangan
muakad. Contoh ta`kid ma`nawi adalah: kata ,+O ;‫ ﺝء ا ﺝ‬tujuan dari ta`kid ma`nawi adalah
sebagai majaz.
94
Maf`ul Mutlaq Muakad ini bertujuan untuk menguatkan makna yang terkandung di
dalamnya seperti pada contoh: 1N : ‫ ا‬1 ‫ذ  أﺡ'ا‬O‫أ‬G *O  *O‫ أ‬/#œ0
95
Maf`ul fih biasa disamakan dengan dharaf yaitu ism yang dibaca manshub yang
diperkirakan mengandung huruf jar /0 karena untuk menerangkan waktu dan tempat. Jika isim
tersebut tidak mengandung perkiraan /0 atau dharaf maka isim itu berfungsi sebagaimana isim
biasa yang bisa menempati posisi layaknya isim pada umumnya, bisa menjadi Mubtada ataupun
Khabar sebagaimana contoh berikut: ':7 ‫  م‬+  dan bisa menjadi fa`il seperti contoh: ‫ﺝء  م‬
:N ‫ ا‬dan bisa juga maf`ul bih sebagaimana contoh berikut: 3D‫ أم ﺵ‬F% G dan bisa menjadi apa
saja sebagaimana isim bisa.
96
Maf`ul li ajlih yaitu masdar qalbi yang disebutkan sebagai alasan terhadap peristiwa
yang terjadi bersama fa`il seperti kata Dw‫ ر‬pada kalimat : ‫ ا‬/0 Dw‫ ر‬$w‫ إ‬kata Dw‫ ر‬merupakan
masdar yang mengandung alasan melakukan ‫ب‬$w‫إ‬, maka sesungguhnya sebab melakukan ‫ب‬$w‫إ‬
karena : ‫ ا‬/0 Dw‫ر‬.

55
pada isim tersebut contohnya: O 'N ‫أآم‬, hubungan semacam ini dikenal dengan
maf`ul bih97.
Bentuk-bentuk kolokasi pada tataran stuktur kalimat menurut Tamam
Hasan bisa diklasifikasikan sesuai dengan jenis-jenis kolokasi itu sendiri,
sebagaimana dipaparkan pada penjelasan sebelumnya bahwa jenis kolokasi dalam
tataran struktur kalimat menurut Tamam Hasan dibagi tiga macam yaitu: Talazum,
Tanafi dan Tawarud. Masing-masing jenis kolokasi tersebut mempunyai bentuk
kolokasi tersendiri. Hal ini akan diuraikan berdasarkan pengelompokan jenis
kolokasi, adapun penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut:
Jenis kolokasi Talazum memiliki empat bentuk yang terdiri dari al-hadzf,
al-fashl, istitar al-dhamir dan al-rutbah98. Masing-masing bentuk ini akan dibahas
sebagai berikut:
Bentuk kolokasi pada tataran struktur kalimat yang pertama adalah al-
hadzf, bentuk kolokasi ini dimana salah satu unsur dari kolokasi talazum tidak
muncul atau tidak disebutkan pada sebuah kalimat yang lazimnya struktur kalimat
tersebut berpasangan. Sebagaimana kolokasi talzum apabila ada mudhaf maka
akan membutuhkan mudhaf ilaih, namun tidak selamanya mudhaf disandingkan
secara nyata dan hanya ditakdirkan keberadaanya seperti:  ‫ل أ‬7‫ وأ‬pada
ungkapan ini ditakdirkan ada mudhaf yang dibuang yaitu kata ;‫ أه‬karena tidak
mungkin bertanya kepada desa yang bisa ditanya adalah penduduk desanya.
Demikian juga dengan membuang na`at sebagaimana contoh dalam ungkapan
berikut: D@w +97 ;‫ﺥ* آ‬f 3 ‫ وآن وراءه‬pada ungkpan tersebut kata +97
ditakdirkan mempunyai sifat  .. Dibuangnya sifat pada beberapa kalimat
adakalanya bertujuan untuk spesifikasi, pujian ataupun untuk sanjungan. Untuk
yang dua ini sifat ditampilkan hanya akan pemborosan dan memperpanjang
kalimat saja99. Pada contoh tersebut tanpa diberikan sifat akan diketahui bahwa
kapal yang bisa berjalan di laut adalah kapal yang masih bagus dari segi fisik.

97
Maf`ul bih ini merupakan isim yang terletak setelah ada fi`l, fa`il baik terjadi pada
kalimat positif maupun kalimat negative tidak akan merubah posisi maf`ul bih tersebut seperti
pada contoh kalimat berikut:  ‫  ا‬atau  ‫  ا‬.
98
Tamam Hasan, Ijtihadat lughawiyah, Kairo:`Alim al-kutub, cet 1, 2007, hal-62
99
Abdullah jad al-karim, al-Dars Nahwi fi al-Qurn al-`Isyrun, Kairo: Maktabah al-Adab,
cet 1, 2004 hal-254

56
Bentuk kolokasi yang kedua pada tataran sturktur kalimat menurut Tamam
Hasan adalah al-fashl. Bentuk kolokasi semacam ini merupakan kolokasi talazum
yang seharusnya struktur kalimat itu bersanding secara tertib namun karena
diperlukan maka kebesandingan struktur tersebut terkadang terpisah oleh struktur
yang lain seperti ‫ إن‬seharusnya dengan isimnya bersanding secara berurutan tanpa
adanya pemisah, namun hal ini bisa saja terjadi sebagaiman ‫ إن‬yang dipisahkan
dengan huruf jar100 dari isimnya seperti pada cantoh berikut: ‫'ا‬6 ‫ ا 'ار‬/0 ‫إن‬, pada
contoh ini ‫ إن‬terpisahkan dengan isimnya karena adanya huruf jar yang berfungsi
sebagai khabar mukadam dan secara strukturk hal ini sah-sah saja.
Bentuk kolokasi yang ketiga adalah istitar dhamir101, bentuk kolokasi ini
dhamir yang seharusnya bersandar pada fi`l tidak nampak secara nyata. Para ahli

100
Ibn Malik dalam Alfiahnya mengklasifikasikan huruf jar kedalam 8 kelompok, yaitu:1.
Huruf jar yang menjarkan isim dhahir dan isim dhamir huruf tersebut adalah: ,1O ,/ ‫ ا‬,/0 ,‫ رب‬,‫ل‬
1 ,/O 2. Huruf jar yang kadang-kadang dipakai alat istisna dengan menasabkan kepada
mustasnanya huruf tersebut adalah: ‫'ا‬O ,‫ ﺥ‬dan 7‫ ﺡ‬3. huruf yang menjarkan kepada  istifham
huruf tersebut adalah /‫ آ‬maka menjadi N‫ آ‬4. huruf /‫ آ‬yang menjarkan kepada jumlah fi`liyah
seperti: +A‫ أآم ﺵ‬/‫ ﺝš آ‬kata ‫ أآم‬dinasabkan oleh ‫ أن‬yang tersimpan pada kata /‫آ‬, kata ‫ أن‬dan fi`il
mudori` ditakwilkan masdar yang dijarkan oleh /‫آ‬, maka kalimat tersebut ditakdirkan sebagai
berikut: +A‫ إآام ﺵ‬/‫ﺝš آ‬. 5. Suku `uqel biasa menjarkan dengan kata ;: seperti pada kalimat: ;:
m +O 2%0 ‫ ا‬6. Suku Hudzel biasa menjarkan isim dengan menggunakan kata /$ seperti pada
kalimat berikut: žš# 1 %‫ ž ﺡ‬/$ :0 ^D ‫ء ا‬N 1‫ ﺵ‬7. Kata G menurut Sibaweh juga
merupakan huruf jar dan hanya bisa menjarkan isim dhamir saja seperti contoh: ‫ﺥ‬N ‫ك‬G ‫ك‬G
‫ك‬0G‫ ا‬8. Huruf yang khusus menjarkan isim dhahir huruf tersebut adalah: *+ ,* ,/$‫ ﺡ‬,‫ ك‬,‫ و‬,‫ رب‬dan
, kata ,* dan *+ menjarkan kepada isim zaman seperti contoh: +  * $‫ رأ‬atau '‫را * م ا]ﺡ‬
kata ‫ رب‬berfungsi untuk mengejarkan isim nakirah saja contoh: $‫  ا‬O ‫رب‬, huruf ‫ ب‬, dan ‫و‬
berfungsi untuk bersumpah seperti:  ,‫ وا‬,‫ا‬.
101
Dhamir terbagi atas dua macam yaitu: dhamir Bariz dan dahmir mustatir. Dhamir bariz
yaitu kata ganti orang yang penyebutannya nampak secara nyata, seperti pada kata D$‫ آ‬#‫ أ‬dai kata
tersebut terdapat dua dhamir bariz yaitu kata #‫ أ‬dan huruf ‫ ت‬yang berada setelah kata >$‫آ‬,
sedangkan dhamir mustatir yaitu dhamir yang terlintas pada pikiran dan merupakan bagian dari
kalimat akan tetapi tidak diungkapkan dalam kalimat tersebut, seperti kata '$ yang terdapat
dalam kalimat '$ ' ‫ﺥ‬, pada jumlah '$ tersusun dari fi`il mudhare` marfu` dan fa`il yang berupa
dhamir mustatir yang ditakdirkan adanya ‫ ه‬yang kembali kepada ' ‫ﺥ‬. Dhamir mustatir terbagi
atas dua macam yaitu: dhamir wajib mustatir dan dhamir jaiz mustatir. Dhamir wajib mustatir
menempati 4 tempat yaitu:
1. Dhamir mustatir yang disandarkan pada fi`l mudhare` mutakalim seperti kata
‫ أاء‬dan ‫اء‬#, fa`il pada kedua kata tersebut wajib mustatir yang ditakdirkan fa`ilnya #‫ أ‬dan 1#.
2. Dhamir mustatir yang disandarkan pada mukhatab mufrad baik fi`il mudhare`
maupun fi`l amr, contoh: $7‫ إ‬dan t, fa`il pada kedua kata tersebut adalah dhamir mustatir wajib
yang ditakdirkan fa`ilnya#‫ أ‬.
3. Dhamir mustatir yang disandarkan pada sighat ta`jub contohnya: ‫'ق أﺥك‬.‫ أ‬
fa`il pada dari kata ‫'ق‬.‫ أ‬adalah dhamir mustatir wajib yang ditakdirkan fa`ilnya ‫ ه‬yang kembali
kepada .
4. Dhamir mustatir yang disandarkan kepada istisna seperti: ,g ,‫ ﺡﺵ‬,‫'ا‬O‫ و‬,‫ﺥ‬
‫ ن‬2G . istisna tersebut berfungsi sebagai fi`l seperti pada contoh: N7 ‫'ا‬O ‫ق‬0 ‫ ا‬%‫ ﺡ‬pada kalimat
tersebut dhamir wajib mustatir yang ditakdirkan ‫ه‬.

57
nahwu membedakan antara Istitar dengan hadzf. Istitar hanya bisa terjadi pada
dhamir rafa` al-mutashilah saja. Para ahli nahwu menyatakan bahwa hadzf itu
ditujukan bagi tidak nampaknya dhamir rafa` al-munfashilah, dhamir nashab dan
jar, Isim dhahir dan beberapa fi`l. Sedangkan istitar bukan berarti tidak ada
namun keberadaanya disamarkan.
Bentuk kolokasi yang keempat adalah al-rutbah, bentuk kolokasi ini
merupakan keserasian struktur kalimat dalam bahasa Arab. Al-rutbah terbagi atas
dua macam yaitu: al-rutbah al-mahfudzah dan al-rutbah ghairu mahfudzah.
Rutbah mahfudzah adalah kelaziman pasangan struktur kalimat yang sudah
merupakan pasangan paten seperti fi`l dengan fa`il, fi`l dengan naib al-fa`il, al-
maushul dengan shilahnya, huruf jar dengan majrurnya dan seterusnya. Pasangan
yang tersebut itu merupakan pasangan yang sudah seharusnya ada pada suatu
kalimat. Sedangkan rutbah ghairu mahfudzah adalah hubungan antara struktur
kalimat keberadaanya tidak lazim harus ada seperti fa`il dengan maf`ul, atau
antara fi`l muta`adi dengan maf`ul lahnya.
Dari diskusi diatas penulis memberi kesimpulan bahwa kolokasi itu bisa
terjadi pada tataran kata. Artinya untuk menghasilkan suatu makna kata tersebut
harus berkombinasi dengan kata yang lain. Sebuah kata yang berdiri sendiri tidak
mengandung makna ataupun maksud. Demikian juga dengan struktur kalimat,
struktur kalimat sudah pasti harus berkombinasi dengan struktur yang lain. Seperti
diungkapkan diatas dalam bahasa Inggris kata kerja yang terletak setelah preposisi
maka harus menggunakan kata kerja bentuk gerund. Dan kata kerja yang terletak
setelah to be tentu kata kerja pasif ataupun kata kerja bentuk ing. Gejala kolokasi
pada tataran kata ataupun pada tataran struktur kalimat tidak hanya terjadi pada
bahasa Inggris akan tetapi juga pada bahasa-bahasa yang lain termasuk Bahasa
Arab.
Kolokasi dalam bahasa Arab bisa juga terjadi dalam tataran kata dan pada
tataran struktur kalimat. Hal ini juga dikemukakan oleh Tamam Hasan yang

Adapun dhamir jaiz mustatir yaitu dhamir yang disandarkan kepada ghaib mufrad atau
ghaibah mufradah seperti kata: >$2 3$‫ أﺡ‬,‫ أﺡ ك أ‬fa`il pada pada kata ‫ أ‬adalah dhamir jaiz
mustatir yang ditakdirkan ‫ ه‬yang kembali kepada ‫أﺡ ك‬, dan fa`il kata >$2 adalah dhamir jaiz
mustatir yang ditakdirkan /‫ ه‬yang kembali kepada 3$‫أﺡ‬

58
menyatakan bahwa untuk melahirkan makna suatu kata membutuhkan kombinasi
dengan kata yang lain. Demikian juga dengan unsur stuktur kalimat, untuk
mengasilkan sebuah makna perlu adanya unsur yang lainnya. Tamam Hasan
memberi contoh huruf jar agar bermakna memerlukan majrur, al-maushul
membutuhhkan jumlah shilat, ya Nida memerlukan munada dan seterusnya.
Penulis juga berpendapat bahwa kolokasi sangat berperan dalam efektifitas dan
efisiensi bagi pengguna bahasa tertentu dalam memberikan penafsiran terhadap
ungkapan yang dikemukakan oleh penutur bahasa tertentu. Artinya dengan
mengetahui kolokasi yang tepat baik itu kolokasi yang berupa relasi kata maupun
relasi unsur-unsur struktur kalimat akan memudahkan bagi pengguna bahasa
tertentu dalam memberikan makna suatu ujaran.

59
BAB III
MAKNA RELASI KATA DALAM AL-QUR`AN
Sebagaimana telah penulis jelaskan pada bab II bahwa para ahli bahasa
dalam memandang kolokasi terbagi menjadi dua yaitu ada yang berpendapat
bahwa kolokasi hanya terjadi pada tataran kata dan pendapat yang kedua yang
menyatakan bahwa kolokasi bisa juga terjadi pada tataran struktur kalimat.
Linguis yang menyatakan bahwa kolokasi hanya terjadi pada tataran kata
diantaranya adalah Bolinger (1968). Pernyataan ini diperkuat dengan argumennya
yang menyatakan bahwa yang paling menentukan makna dalam sebuah ungkapan
adalah relasi kata bukan relasi struktur102. Seseorang akan memahami sebuah
ungkapan ketika orang tersebut mengetahui makna kata dengan relasinya tanpa
harus mengetahui struktur bahasa yang baik dan benar. Sebaliknya orang yang
mengetahui struktur bahasa tanpa mengetahui makna kata maka struktur tersebut
tidak akan berarti sama sekali.
Pernyataan Bolinger sebenarnya untuk membantah kalangan strukturalisme
yang dipelopori oleh Noam Chomsky (1955) yang menyatakan bahwa struktur
kalimatlah yang paling menentukan terhadap makna dalam sebuah ungkapan103.
Menurut mereka struktur bahasa yang salah akan mengakibatkan kesalahan juga
pada makna yang dimaksud. Kelompok ini memberikan contoh John ate a
Sandwich. Pada contoh tersebut apabila struktur kalimatnya dirubah maka akan
berubah pula maknanya bahkan tidak bermakna sama sekali contoh Sandwich a
ate John dari contoh tersebut walaupun komponen katanya tetap akan tetapi
struktur kalimatnya berubah, maka berubah pula maksud yang ada dalam
ungkapan tersebut.
Sedangkan menurut penulis relasi kata dengan relasi struktur keduanya
saling mempengaruhi terhadap lahirnya makna. Karena pada dasarnya relasi kata
itu pula yang akan melahirkan relasi struktur. Seperti kata kering tanpa adanya

102
Dwight Bolinger, Apects of Language, New York: Harcourt Brace Jovanovich. INC,
cet II. 1975 h.101
103
Noam Chomsky, Three Model for The Discription of Language, Departement of
Modern Language and Resarch Laboratory of Electronic Messachussts Institute of Technology
Cambridge, Messachussts.

60
relasi dengan kata yang lain maka tidak akan menghasilkan makna, akan tetapi
setelah berkombinasi dengan kata kantong maka akan menghasilkan makna tidak
mempunyai uang, ataupun setelah berkombinasi dengan kata kedudukan maka
akan menghasilkan makna jabatan yang tidak banyak proyeknya. Demikian juga
dengan kata  pada bahasa Arab tidak akan mempunyai makna apabila tanpa
104
adanya fi`il mudhare` . Dengan demikian unsur struktur bahasa tidak akan
bermakna tanpa adanya pasangan yang sesuai, dan kedua unsur dalam struktur ini
saling membutuhkan.
Lebih lanjut Tamam Hasan (1918)mengatakan bahwa untuk mendapatkan
sebuah makna, baik kata ataupun struktur membutuhkan pasangan yang sudah
lazim terjadi dalam suatu kalimat. Saling membutuhkannya suatu kata dengan
kata yang lain ataupun unsur kalimat dengan unsur yang lain Tamam Hasan
memberi istilah dengan kolokasi Iftiqâr, artinya untuk menghasilkan suatu makna
yang dimaksud kedua unsur tersebut saling membutuhkan contoh kata 1O (`ain)
mempunyai arti mata105. Kata `ain ini untuk menghasilkan makna baru yang tidak
sekedar mata maka memerlukan kombinasi dengan kata yang lain dan
kemungkinan makna tersebut akan semakin jauh dari makna yang sebenarnya.
Para linguis Arab sendiri berbeda pendapat dalam memandang lahirnya
sebuah makna. Ada yang berpendapat bahwa makna itu lahir dari relasi kata dan
ada juga yang berpendapat bahwa makna lahir dari relasi struktur kalimat. Suyuthi
(w. 911H ) salah satunya yang berpendapat bahwa relasi kata itulah yang akan
melahirkan makna baru. Ia juga mengatakan bahwa untuk menghasilkan sebuah
makna perlu terkumpulnya beberapa kata dalam sebuah kalimat106. Berkumpulnya

104
Tamam Hasan, Ijtihadat Lughawiyat, Kairo: `Alam Kutub, cet-1, 2007 h.345
105
Kata 1O dengan turunannya dapat berkorelasi dengan kata yang lain menjadi ‫ اد‬7
1: ‫(ا‬bola mata), 1O '‫(ﺵه‬saksi mata), +O ‫م‬f(dengan matanya sendiri), 7‫ رأ‬/+:(dengan mata
kepala), ‫ر‬$‫ﺡ‬G‫ ا‬1:  ‫ ا‬R#( memandang remeh seseorang), :m ‫ ن ا‬O(puisi-puisi pilihan), g
‫ن‬O]‫(ا‬dewan senat), +O ‫ب‬DY (dengan alasan yang sama), 1: ‫ض ا‬0( kewajiban individual), 7‫ا‬
1: ‫(ا‬kata benda konkret), ‫ وا أس‬1: ‫ ا‬/O(sangat gembira), 1: ‫ ا‬/O 1: ‫ ا‬:(terjadi peperangan),
+O ‚(memuaskan seseorang), +:(secara pribadi), +: ‫( ه ه‬tidak lain kecuali dia), B‫ه ﺵ‬
+:(dia seorang yang sejati), 1O ': ^‫ ا‬o‫د‬O‫(أ‬merobohkan secara total), /+O 1 ‫ل‬6#(hilang rasa
hormat).
106
Al-Suyuthi, Al-Iqtirah fi `Ilmi Ushuli Nahwi, Dar al-Ma`arif al-Nidhamiyat, Haidhar
Abad, tt

61
kata yang terjadi merupakan hal yang sudah terbiasa dan lazim digunakan oleh
suatu bahasa.
Pernyataan Suyuthi dibantah oleh linguis modern Mahmud Fahmi Hijazi
dari Mesir dalam bukunya ia menyatakan bahwa kata itu tidak akan ada
manfaatnya apabila tanpa adanya struktur kalimat107.
Sedangkan menurut penulis pernyataan Hijazi terlalu terburu-buru karena
tanpa adanya relasi kata maka struktur itu tidak akan berfungsi. Karena
kemungkinan relasi struktrur benar akan tetapi belum tentu relasi katanya benar.
Dan bisa juga terjadi secara gramatikal benar akan tetapi secara semantik salah.
Contoh T72 ‫ ا‬2+7 ;‫آ‬f, kalimat tersebut secara struktur benar karena ada fi`l ada
fâ`il dan ada maf`ul akan tetapi secara semantik relasi kata yang ada tidak dapat
diterima karena kelaziman kata ;‫آ‬f akan mempunyai relasi kata sebagai
maf`ulnya yang berhubungan dengan makanan.
Dari pernyataan diatas maka penulis akan mengkhususkan pada bab III ini
untuk mengkaji kolokasi yang berupa relasi kata yang ada pada al-Qur`an.
Tentunya relasi kata yang akan dikaji tidak akan mencakup secara keseluruhan
akan tetapi penulis batasi melalui pengklisifikasian kolokasi yag akan dipaparkan
pada alinea-alinea berikut dengan menampilkan beberapa contoh.
Pengklasifikasian kolokasi dalam surat al-Qur`an penulis kelompokan
menjadi empat macam yaitu kolokasi bebas, kolokasi terbatas, kolokasi yang
berupa sinonim, kolokasi yang berupa antonim. Kolokasi bebas artinya kata
tersebut bisa berpasangan dengan beberapa kata yang lain yang tidak terpaku
dengan kata tertentu saja, maka dalam hal ini penulis klasifikasikan kata tersebut
sebagai kata yang berkolokasi bebas. Sedangkan kolokasi terbatas adalah relasi
antar kata dengan kata tertentu yang hanya bisa berpasangan dengan kata yang
sudah pasti dan tidak mungkin untuk berpasangan dengan kata yang lain,
kelaziman pasangan semacam ini tentu karena adanya beberapa faktor,
kemungkinan karena faktor fi`l yang menuntut adanya fâ`il yang sudah pasti dan

107
Mahmud Fahmi Hijazi, `Ilmu al-Lughat Yubayin al-Turats wa al-Manahij al-Hadits,
Kairo: Dar Gharib, tt

62
mungkin juga karena maf`ul yang harus menyertainya. Adapun kolokasi antonim
adalah kelaziman pasangan kata yang selalu muncul bersamaan karena merupakan
lawan kata yang selalu menyertainya, begitu juga dengan kolokasi sinonim,
kemunculan kata tersebut lazimnya karena ada kata yang mempunyai makna yang
sama atau hampir sama.
Pada bab ini akan membahas satu persatu dari masing-masing klasifikasi
kolokasi yang telah disebut diatas. Adapun pembahasannya akan disesuaikan
dengan tingkat keumuman kolokasi sampai kolokasi yang bersifat khusus.
I. KOLOKASI BEBAS
Menurut Izutsu (2003)108 pada umumnya kata mempunyai makna dasar
dan makna relasional109. Makna dasar kata adalah sesuatu yang melekat pada kata
itu sendiri, yang selalu terbawa di manapun kata itu diletakan. Pada masalah ini
Izutsu memberikan contoh kata ‫  م‬yang mempunyai arti hari. Kata ‫  م‬ini
diletakan dimanapun mempunyai arti hari. Makna dasar kata ‫  م‬itu netral tidak
mempunyai konotasi yang lain-lain. Namun kata ‫  م‬tersebut akan berubah
konotasi maknanya apabila telah berhubungan dengan kata yang lain yang
masing-masing konotasi tersebut mempunyai ekses pada pikiran manusia yang
mempunyai pengalaman bahasa tertentu. Seperti kata ‫  م‬berhubungan dengan
kata :N ‫ ا‬menjadi :N ‫  م ا‬maka orang Islam akan berkonotasi bahwa hari itu
adalah hari besar dimana orang muslim diwajibkan untuk melaksanakan sholat
jum`at. Bagi para pegawai di Indonesia dengan :N ‫  م ا‬berarti pulang cepat dari
kantor.
Relasi kata yang akan melahirkan makna baru tersebut oleh Anton M.
Moeliono110 disebut dengan konstruksi bangun sintaktik yang merupakan
penggabungan kata dasar yang dapat menempati posisi tertentu dalam suatu
108
Nama lengkapnya adalah Toshihiko Izutsu lahir tahun 1914 di Tokyo, Ia mendapat
gelar profesor pada Institut Kebudayaan dan Bahasa, Universitas Keio, Tokyo. Ia pernah menjadi
Profesor tamu di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada, dan mengajar
mata kuliah Teologi dan Filsafat Islam di Universitas tersebut.
109
Izutsu, Toshihiko, God and Man in The Qur`an, Semantics of The Qur`anic
Weltauschang, Kuala Lumpur: Academic Art & Printing Services, , 2002
110
Anton M. Moeliono adalah guru besar pada fakultas Sastra Indonesia; Kepala Pusat
Pembinaan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; memperoleh gelar Doktor Ilmu-
ilmu sastra Dari Universitas Indonesia tahun 1981

63
kalimat111. Konstruksi sintaktik ini merupakan penggabungan antar anggota
rumpun kata dengan anggota rumpun kata yang lain. Konstruksi bangun sintaktik
ini bisa terjadi antar anak rumpun dengan anak rumpun yang lain yang tidak
terbatas pada rumpun rumpun yang sama.
Kolokasi bebas yang dimaksud disini adalah relasi kata dengan kata yang
tidak dibatasi oleh rumpun kata. Keanggotaan rumpun kata inilah yang akan
menentukan kolokasi pada suatu ungkapan termasuk kolokasi bebas atau kolokasi
terbatas. Contoh kata menendang, kata ini akan terbatas berkombinasi dengan kata
yang menjadi subjeknya, karena kata yang tepat untuk menjadi subjek dari kata
menendang adalah rumpun kata yang berasal dari manusia. Maka bisa
diperkirakan kemunculan kata yang menjadi subyeknya adalah nama orang
ataupun kata ganti orang. Sedangkan relasi kata menendang dengan obyeknya
menjadi kolokasi bebas, karena kata yang akan muncul bisa dari berbagai anak
rumpun kata seperti menendang pintu, menendag bola, menendang pintu dan lain
sebagainya.
Pada bab ini akan membahasa tentang penggabungan antar rumpun yang
satu dengan yang lainnya yang tidak terbatas. Kelaziman penggabungan kata pada
bagian ini mempunyai pasangan yang sangat luas artinya kata tersebut bisa
berpasangan dengan beberapa kata yang berbeda-beda. Seperti kata X‫ أ‬bisa
berpasangan dengan beberapa kata. Sebagaimana bisa dilihat dalam contoh
berikut ini :
( Melepaskan, membebaskan) (Melepaskan tembakan) O X‫أ‬
‫ص‬. ‫ا‬
‫اﺡ‬7 X‫أ‬
X 1mO‫ إﺡ'ي و‬:0'N ‫ ا‬X‫أ‬ (Memberi nama) X‫أ‬
(Meluncurkan tembakan sebanyak N7‫ ا‬O
21 tembakan)
t 7 X‫أ‬ (Meluncurkan roket) X‫أ‬
(Siap menghadapi segala ‫روﺡ‬.

111
Anton M. Moeliono, Suatu Reorientasi Dalam Tata Bahasa Indonesia, dalam buku
Bunga Rampai Bahasa dan Sastra dan Budaya, Jakarta: Intermasa, 1988 cet pertama hal-3

64
kemungkinan)
$ X‫أ‬ (Bersedia dalam urusan) o' X‫أ‬
(Membiarkan tumbuh jenggotnya) ]‫ ا‬/0
Kata X‫ أ‬menurut Akhmad Muhamammad Qadur tidak bisa masuk pada
kata-kata berikut ini: /O NO  : ‫ ا‬X‫ أ‬,‫م‬:S ‫ ا‬/O tN ‫ ا ﺝ; ا‬X‫أ‬,‫ذ ﺽة‬$7]‫ ا‬X‫أ‬
‫س‬+ ‫ا‬. Oleh karena itu perlu ada penjelasan tentang penggunaan kata X‫ أ‬yang
tepat yang sesuai dengan konteks kalimat yang sedang dibicarakan112. Oleh karena
itu yang paling tahu tentang pasangan kata dari masing-masing kata adalah
penutur bahasa asli atau dengan cara menggunakan kamus kolokasi.
Dari definisi diatas bisa disimpulkan bahwa kolokasi bebas adalah satu
kata bebas berpasangan dengan kata yang lain113. Seperti kata ‫ ن‬+p yang
merupakan fi`l mudhare` dari kata 1‫ أ‬bisa berpasangan dengan bebas dengan
beberapa kata sebagai fâ`ilnya sebagaimana yang tercantum pada ayat yang ke 3
pada surat al-Baqarat fâ`ilnya adalah berupa huruf waw yang merupakan
manifestasi dari kata ‫ ن‬$N ‫ا‬, artinya konstruksi kata tersebut secara gramatikal
menjadi berbunyi ‫ ن‬$N ‫ ا‬1p. Dalam hal ini penulis ingin mengatakan bahwa kata
1‫ أ‬dan cabang-cabangnya bisa berpasangan dengan fâ`il lebih dari yang satu kata,
dan secara semantik tidak akan mempengaruhi kelogisan makna, hanya dalam
bahasa arab secara gramatikal fi`l harus menyesuaikan fâ`il dari tadzkir .
Pada konstruksi fi`l fâ`il struktur posisinya harus didahulukan fi`l dan
mengakhirkan fâ`ilnya114, dan secara gramatikal tidak bisa dibalik fâ`il
didahulukan dan fi`l diakhirkan menjadi ‫ ن‬+p ‫ ن‬$N ‫ا‬, seandainya peristiwanya
semacam ini maka tidak lagi dinamakna konstruksi fi`l fâ`il akan tetapi menjadi
mubtada khabar. Dari segi mufrad, mutsana dan jamak tidak diperkenankan fi`l
mengikuti fâ`il seperti contoh tidak boleh untuk menyatakan dua orang Taqwa itu
beriman dengan menggunakan ‫ن‬$N ‫ن ا‬+p dan tidak boleh juga mengatakan ‫ ن‬+p

112
Ahmad Muhammad Qadur, mabadi al-Lisaniyat, Damaskus: Darul Fikri, 1999
113
Ton Van Der Wouden, Collocation, Polarity and Multiple Negation, Routledge, 1997
hal-16
114
Al-Anshari, Ibn Hisyam, Tahdzib wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa bal al-shada,
ditahqiq oleh Adnan al-Adzamat dan Muhammad Ali sulthani, Damaskus: Dar al-`Ashama, Siria
1998 cet-1, hal-229

65
‫ ن‬$N ‫ ا‬untuk menyatakan jamak115. Konstruksi fi`l fâ`il ‫ ن‬$N ‫ ا‬1p dikategorikan
kedalam kolokasi bebas karena kata 1p -1‫ أ‬bisa berhubungan dengan berbagai
macam fâ`il yang akan menggantikan posisi kata ‫ ن‬$N ‫ا‬. Pada surat al-Baqarah
kata 1p -1‫ أ‬mempunyai fâ`il yang bervariasi seperti pada ayat yang ke 13 kata
tersebut mempunyai fâ`il ‫س‬+ ‫ ا‬dan ‫ء‬9Y ‫ا‬, pada ayat ke 285 mempunyai fâ`il
‫ ل‬7 ‫ا‬.
Kolokasi bebas tidak hanya terjadi pada konstruksi fi`l fâ`il saja, namun bisa
juga terjadi pada konstruksi Idhâfî. Dalam surat al-Baqarah kolokasi bebas yang
terkonstruksi dalam Idhâfî seperti tertera pada ayat yang ke 39 yang berbunyi
‫ر‬+ ‫ب ا‬.‫أ‬, konstruksi ini termasuk idhâfat mahdhah yang bermakna ‫م‬G‫ ا‬atau
kepemilikan dan idhâfat ini mempunyai makna ‫ر‬+ ‫ب‬.‫أ‬116. Kata kunci dari
konstruksi ini adalah ‫ب‬.‫ أ‬kata ini bisa berpasangan secara bebas dengan 7‫إ‬
yang lain, seperti kata >$2 ‫ب ا‬.‫ أ‬,/#:N ‫ب ا‬.‫أ‬, ‫ﺝ‬:N ‫ب ا‬.‫أ‬, ‫' ا‬DO ‫ب‬.‫ أ‬dan
seterusnya. Konstruksi idhâfat ‫ر‬+ ‫ب ا‬.‫ أ‬dalam ayat ini menduduki posisi
i`rabnya sebagai khabar mubtada yang dibaca marfu` dengan ditandai harakat
dhamah pada akhir huruf kata ‫ب‬.‫أ‬117.
Pada ayat yang lain terdapat idhâfat yang memiliki makna 1 yang berbunyi
‫ب‬$2 ‫ ا‬L:D konstruksi idhâfat ini mengandung makna ‫ب‬$2 ‫ ا‬1 L:D, idhâfat ini
termasuk kedalam idhâfat ma`na (/#:N ‫ ا‬0‫ﺽ‬z‫ )ا‬karena dalam konstruksi ini ada
tuntutan makna yang terkandung didalamnya118. Idhâfat maknawi ini bisa terjadi
antara ism nakirah yang diidhafatkan kepada ism makrifat ataupun ism nakirah
diidhâfatkan kepada ism nakirah, maka dari konstruksi yang ada menjadi L:D
‫ب‬$‫آ‬. Konstruksi Idhâfat ini termasuk kedalam kolokasi bebas karena kata L:

115
al-Hasyimi, Ahmad, Al-Qawaid al-Asasiyyah li al-lughat al-Arabiyyah, Bairut
Libanon: Dar al-kutub al-ilmiyyah, hal-114
116
al-Anshari, Ibn Hisyam, Tahdzibu wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa Bal al-Shada,
ditahqiq oleh `Adnan al-`Adzmah dan Muhammad Ali al-Syulthani, Dar al-`Ashamai, cet-1, 1998
hal-315
117
Shalih,`Abd al-Wahid, al-I`rab al-Mufashal li al-kitab Allah al-Muratal jilid 1, Dar al-
Fikr, Amman Jordan, cet-2, 1998 hal-52
11 al-Anshari, Ibn Hisyam, Tahdzibu wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa Bal al-Shada,
ditahqiq oleh `Adnan al-`Adzmah dan Muhammad Ali al-Syulthani, Dar al-`Ashamai, cet-1, 1998
hal-344

66
sebagai kata kuncinya memungkinkan berpasangan dengan ism yang lain119,
seperti contoh: ‫ ا‬v ‫ ﺡ‬L:,  ‫ رﺝ‬L: 1O ّ2$0, 9:‫ ﺝ‬/‫ آم أ‬L: ;# ; dan lain
sebagainya.
Contoh kolokasi bebas yang terdapat pada surat al-Baqarah yang merupakan
bentuk konstruksi idhâfat yang berikutnya adalah kata  ‫ م ا‬, konstruksi idhâfat
ini mengandung makna 1 artinya  ‫ ا‬1 ‫ م‬120. Dan kolokasi ini disebut dengan
kolokasi bebas karena kata ‫  م‬sebagai kata kuncinya dapat berpasangan dengan
ism yang lain secara bebas tanpa ada ikatan yang lain contoh: 1' ‫ م ا‬, :N ‫ م ا‬, ‫ م‬
''‫ﺝ‬, ‫ن‬9 ‫ م ا‬. Dan lain sebagainya, idhâfat ini posisi i`rabnya dalam ayat 85
kedudukannya sebagai dharaf zaman121.
Idhâfat menurut Abu Bakar Muhammad Ibn al-Syaraj122 dibagi dua yaitu:
Idhâfat Mahdhah dan Idhâfat Ghairu Mahdhah123. Idhâfat Mahdhah sendiri
terbagi dalam dua bagian yaitu: Idhâfat Ism dengan Ism yang mempunyai makna
al-lam(‫م‬G‫ )ا‬atau kepemilikan, dan idhâfat ism dengan ism yang bermakna min (1)
artinya dari124. Idhâfat yang mengandung makna al-lam mempunyai arti
kepemilikan seperti contoh yang terdapat pada ayat 12 surat al-Ahqaf yang
berbunyi: ً Nَ ‫ﺡ‬
ْ ‫ ِإًَ َو َر‬Tَ7 ُ ‫ب‬
ُ َ$‫ِ ِ ِآ‬Dْ َ ْ1ِ ‫ َو‬. Adapun idhâfat yang bermakna min (1)

119
Emery, Peter G, Collocations and Idioms in Arabic and English: A Contrastive Study,
University of Manchester, 1988
120
al-Farahidi, Al-Khalil Ibn Akhmad, al-Jumal fi al-Nahwi, pentahqiq Fakhr al-Din
Qibawah, cet ke-5, 1995 hal-194
121
Thanthawi, Muhammad Sayid Mu`jam I`rab Alfadz al-Qur`an al-Karim, al-Azhar
Islamic Reseach Academy General Departemen, 1994, hal-17
122
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn al-suri ibn sahl, dia lebih dikenal
dengan nama ibn saraj al-Nahwi al-baghdadi, menurut pentahqiq kitab ini belum menemukan
literatur yang menerangkan waktu dan tempat lahir. akan tetapi menurut al-Murzabani bahwa dia
hidup di Baghdad dan meninggal juga di Baghdad pada hari Ahad tanggal 3 dzulhijjah tahun 316
H. Dan menurut al-Syuyuti dia meninggal ketika masih muda. Namun menurut al-Syayuthi lebih
jelas bahwa al-syaraj meninggal kurang lebih berumur 20 tahun dan meninggal pada tahun pada
tahun 285 berarti dia lahir berkisar antara tahun 260-265.
123
Abu Bakar Muhammad ibn al-Syaraj, Al-Mu`jin fi al-Nahwi, pentahqiq Musthafa al-
Syuwaimi ibn Salim Darmiji, A. Badran, Bairut Libanon, 1965 hal-60
124
Menurut Al-Anshari, Ibn Hisyam Idhafah mempunyai tiga makna yaitu makna /0
idhafah ini terjadi bila ism diidhafahkan kepada dharaf, baik itu dharaf zaman ataupun dharaf
makan seperti contoh: 'YN ‫ة ا‬. idhafah ini bermakna 'YN ‫ ا‬/0 ‫ة‬., yang kedua idhafah yang
mengandung makna 1 seperti contoh ''‫ﺥ ﺡ‬, idhafah ini mempunyai makna ''‫ ﺡ‬1 ‫ﺥ‬, dan
yang ketiga idhafah yang mempunyai makna ‫م‬G‫ ا‬atau kepemilikan seperti contoh: /‫آ> ا ﺽ‬
idhafah ini mempunyai makna /‫آ> ﺽ‬

67
mempunyai arti dari seperti contoh surat al-An`am ayat 59 yang berbunyi: oُ 'َ +ْ O
ِ ‫َو‬
َ ‫َ ِإ  ُه‬Nُ َ:ْ َ َ >
ِ ْ Kَ ْ ‫ ا‬t
ُ ِ َ9َ .
Idhâfat yang kedua adalah idhâfat ghairu mahdhat, idhâfat ini terbagi 4
macam yaitu: a. Idhâfat yang terdiri dari ism fâ`il yang idhâfatkan kepada ism,
seperti contoh: 1
ِ v' ‫ َ ْ ِم ا‬3
ِ َِ, konstruksi idhâfat ini mengandung makna 3N(yang
memiliki),b. Idhâfat yang terdiri dari sifat yang diidhâfatkan kepada ism contoh:
‫ت‬
ِ ْ Nَ ْ ‫ﺡ َ* َر ا‬
َ ِO
ِ ‫@ َا‬
 ‫ ا‬1
َ ِ konstruksi idhâfat ini terdiri dari sifat yang berupa kata ‫ﺡ َ* َر‬
َ
yang diidhafahkan kepada ism yang berupa kata ‫ت‬
ِ ْ Nَ ْ ‫ا‬, c. Idhâfat yang terdiri dari
wazan ;:0‫ أ‬yang diidhâfatkan kepada ism seperti contoh: ً‫'َا َوة‬O
َ ‫س‬
ِ + ‫ﺵ ' ا‬
َ ‫ن َأ‬
 'َ 
ِ $َ َ
konstruksi idhâfat ini terdiri dari ism yang mengandung wazan ;:0‫ أ‬yang
diidhafahkan kepada ism, d. Idhâfat yang terdiri dari ism yang diidhâfatkan
kepada sifat contoh yang terdapat pada surat al-Maidah ayat 65 yang berbunyi:
ِ ِ:+ ‫ت ا‬
ِ +‫ﺝ‬
َ ْ‫َ ُه‬+ْ ‫ﺥ‬
َ ْ‫د‬fَ َ‫ َو‬, idhâfat ini terdiri dari ism yang berupa kata ‫ت‬+‫ ﺝ‬yang
diidhafatkan kepada sifat yang berupa kata ِ ِ:+ ‫ا‬. Konstruksi idhafat ini
mengandung makna :+ ‫( ا‬sifat) artinya surga yang penuh kenikmatan.
Kolokasi bebas juga bisa terjadi pada kosntruksi sifat maushuf seperti yang
tertera pada ayat yang ke 221, sifat maushuf itu terdiri dari kata 'DO dan kata 1p,
kata 'DO sebagai kata yang bertugas untuk disifati sedangkan kata 1p berfungsi
sebagai kata yang menyifati 'DO. Konstruksi 1p 'DO dikategorikan kedalam
kolokasi bebas karena kedua kata posisinya bisa digantikan oleh kata yang
lainnya125, seperti kata 'DO yang berfungsi sebagai maushuf bisa digantikan dengan
kata ‫ذ‬$7‫ أ‬,;‫ رﺝ‬,*N dan lain sebagainya, demikian pula dengan kata 1p yang
berfungsi sebagai sifat bisa digantikan dengan kata sifat yang lain seperti kata
0‫ آ‬,'$ ,t@ dan lain sebagainya. Kata 1p oleh Ibn `Ushfur al-Isybali126
diklasifikan kedalam sifat yang berasal dari ism mustaq127, artinya kata tersebut
bukan merupakan sifat asli akan tetapi sifat tersebut merupakan ism yang

125
Wouden, Ton Van Der Collocation, Polarity and Multiple Negation, Routledge, 1997
hal-8
126
Nama lengkapnya adalah `Ali ibn Mu`min ibn Muhammad ibn `Ali ibn `Ushfur al-
Asybili, dia dilahirkan di Isbiliyat tahun 597 Hijriyyah.
127
Al-Isybali, Ibn `Ushfur Syarh al-Jumal al-zijaji juz 1, yang ditahqiq oleh Shahib Abu
Janah, Kairo Mesir, 1971, hal- 193

68
diturunkan dari bentuk dasar verba. Ibn `Ushfur al-Isybali sendiri
mengklasifikasikan sifat kedalam 2 bentuk yaitu: Sifat yang berupa ism mustaq128
dan sifat yang berupa ism jamid. Sifat yang berbentuk ism mustaq sendiri terbagi
menjadi 4 macam yaitu: Sifat yang berasal dari ism fâ`il, ism maf`ul, ism
musyabahat, ism tafdhil129.
Konstruksi sifat maushuf yang terjadi antara ism sebagai maushuf dengan
ism sifat sebagai sifatnya130 seperti contoh kata L‫ب أ‬$‫ آ‬,‫ة @ة‬SY ,; X ;‫ رﺝ‬,
kata ‫ة‬SY ,;‫ رﺝ‬dan ‫ب‬$‫ آ‬merupakan ism atau kata benda yang mendapat sifat
berupa ism sifat @ ,; X dan L‫أ‬. Sifat maushuf yang memiliki karakter ini
banyak ditemukan dalam surat al-Baqarah seperti pada ayat 114 pada akhir ayat
terdapat frase yang berbunyi RO ‫*اب‬O, pada akhir ayat 115 terdapat frase yang
berbunyi O F7‫إن ا وا‬, baik pada akhir ayat 114 ataupun akhir ayat 115 keduanya
terdiri dari ism sebagai maushuf dan ism sifat sebagai sifat, pada ayat 114
maushufnya adalah kata ‫*اب‬O yang mendapat sifat kata RO, fungsi dari sifat
tersebut adalah untuk memberikan kejelasan tentang ism yang disifati karena
sebelum adanya sifat masih bersifat general atau umum, sedangkan kata O pada
akhir ayat 115 berfungsi sebagai pujian kepada Allah131, selain kedua fungsi
tersebut sifat juga bisa berfungsi sebagai celaan, penguat dan merendahkan diri
sebagaimana masing-masing contohnya sebagai berikut: ‫ن ا ﺝ‬Sm ‫ ا‬1  ‫ ذ‬O‫أ‬,
‫ واﺡ'ة‬A9# ‫ ا @ ر‬/0 ¡9# ‫œذا‬0, 12YN ‫'ك ا‬DO ‫ا  إرﺡ‬.
Konstruksi sifat maushuf juga bisa terjadi antara ism dengan ism fâ`il seperti
contoh o ‫ رت ﺝ; ? أ‬,‫ رأ رﺝ; ﺽرب‬,'O ;‫ وه*ا رﺝ‬,? ;‫رت ﺝ‬, contoh sifat
yang berupa ism fâ`il ini diambil dari kata yang mengikuti wazan ;O0 seperti ,?
,‫ ﺽرب‬,'O, namun demikian ism fâ`il yang bisa menjadi sifat tidak hanya yang
berwazan namun dari semua wazan ism fâ`il bisa berfungsi sebagai sifat

128
Ism Mustaq adalah ism yang diturunkan dari bentuk dasar verba atau sering disebut
ism mu`rab, artinya harakat huruf akhir dapat berubah.
129
Al-Hasyimi, Ahmad al-Qawaid al-Asasiyah li al-lughat al-`Arabiyyah, Bairut
Libanon, Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, hal-242
130
Al-Syaraj, Abu Bakar Muhammad, Al-Mu`jin fi al-Nahwi, pentahqiq Musthafa al-
Syuwaimi ibn Salim Darmiji, A. Badran, Bairut Libanon: 1965 hal-62
131
al-Zamahsari, Abi al-Qasim Mahmud Ibn Umar, al-Mufashal fi al-Ilm al-Lughat,
Bairut Libanon: Dar Ihya al-Ulum, hal-143

69
sebagaimana contoh: ‫ا @'ق‬, 2 ‫ ا‬66: ‫ا‬, kata ‫ @'ق‬dan 66O pada frase contoh
tersebut posisi keduanya berfungsi sebagai sifat dan kedua kata tersebut
merupakan ism fâ`il yang masing-masing mengikuti wazan ;:9 dan wazan ;:0132.
Sifat dalam linguistik Arab sering diungkapkan dengan istilah al-na`t atau
dalam linguistik inggris dikenal dengan adjetive. Ibn Hisyam al-Anshari membagi
jenis al-na`t kedalam dua macam yaitu: na`t haqiqi dan na`t sababi133. Na`t
haqiqi adalah na`t yang mengikuti man`utnya secara lafal dan maknanya, artinya
dari segi lafal baik ma`rifat nakirahnya dan harakat i`rabnya na`t tersebut
mengikuti kepada man`utnya, dan dari segi makna tadzkir ta`nits serta mufrad,
mutsana dan jama`nya mengikuti man`utnya. Sedangkan na`t sababi adalah na`t
yang mengikuti man`ut secara lafal saja.
Kolokasi bebas juga terjadi pada konstruksi al-Badal134. Al-Badal ini
merupakan relasi ism dengan ism seperti contoh: ‫ م ز' أﺥ ك‬pada contoh ini
tergabung dua ism yaitu kata '‫ ز‬dan kata ‫ أﺥ ك‬, kata ‫ أﺥ ك‬ini berfungsi sebagai
penjelas kata sebelumnya yaitu ‫ أﺥ ك‬disini dikatakan bahwa al-badal berfungsi
sebagai penjelas dari ism sebelumnya, hal ini bisa dibedakan dengan kalimat yang
berbunyi ‫و‬NO‫ م ز' و‬bahwa terkumpulnya kata ‫و‬NO dengan '‫ ز‬tidak berfungsi
untuk menjelaskan akan tetapi keberadaan ‫و‬NO untuk menjelaskan kata ‫ م‬bahwa
yang berdiri tidak hanya '‫ ز‬akan tetapi juga ‫و‬NO, sedangkan kata ‫ أﺥ ك‬berfungsi
untuk menjelaskan kata '‫ ز‬karena dianggapnya kata tersebut belum jelas
keberadaannya.
Dalam surat al-Baqarah frase yang merupakan kolokasi bebas yang berupa
al-badal bisa ditemukan pada ayat yang ke 133 yang berbunyi 3
َ ?ِ َ[َ َ َ‫ َوِإ‬3
َ َ َ‫ ُ' ِإ‬Dُ :ْ #َ ‫َ ُ ا‬
َ ِ‫ ِإ َْاه‬kata ‫ إاه‬pada akhir kalimat merupaka al-badal yang menjelaskan kata
sebelumnya yaitu 3š‫ أ‬dengan tidak disebutkan kata ‫ إاه‬maka kata 3?‫ أ‬masih
sangat umum, referensi yang dituju sangat luas. Kedua kata 3?‫ إ‬dan ‫إاه‬

132
Moch. Anwar, Ilmu Sharaf, Sinar Baru Algensindo, Bandung, cet ke 11, 2005, hal-52
133
Al-Anshari, Ibn Hisyam , Tahdzibu wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa Bal al-Shada,
ditahqiq oleh `Adnan al-`Adzmah dan Muhammad Ali al-Syulthani, Dar al-`Ashamai, cet-1, 1998
hal-348
134
Al-Isybali, Ibn `Ushfur, Syarh al-Jumal al-zijaji juz 1, yang ditahqiq oleh Shahib Abu
Janah, Kairo Mesir: 1971, hal- 279

70
merupakan kolokasi bebas karena posisi kedua kata tersebut bisa digantikan
dengan kata yang lain135 seperti kata ‫ إاه‬pada konsruksi tersebut bisa diganti
dengan kata ‫ق‬7‫ إ‬,;ON7‫ إ‬dan kata-kata yang lain.
Ungkapan ‫ إاه‬3?‫ أ‬merupakan kolokasi bebas yang berupa badal kul min
kul artinya kata ‫ إاه‬mewakili sepenuhnya kata 3?‫أ‬, wujud dari 3?‫ أ‬itulah ‫إاه‬,
sedangkan menurut al-Anshari sendiri membagi badal kedalam 4 macam yaitu
badal kul min kul, badal ba`dh min kul, badal al-Isytimal, dan badal al-ghalath136.
Badal ba`dh min kul artinya kata yang kedua yang mewakili kata pertama tidak
mewakili sepenuhnya akan tetapi hanya mewakili sebagian saja sebagaimana
contoh dalam surat Ali Imran ayat 98 yang berbunyi: ‫ع‬S$7‫ ا‬1 D ‫س ﺡž ا‬+ ‫ ا‬/O ‫و‬
D7  ‫ ا‬pada kalimat tersebut badal ba`dhu min kulnya adalah berupa kata 1
‫ع‬S$7‫ ا‬yang mewakili kata ‫س‬+ ‫ا‬, pada ungkapan ayat tersebut diwajibkan manusia
untuk berhaji, namun kewajibannya sebatas bagi manusia yang mampu dan tidak
semua manusia dan manusia yang mampu hanyalah sebagian dari manusia.
Sedangkan badal istimal adalah kata yang mengikuti kata sebelumnya
dengan menampilkan sifat yang melekat pada kata tersebut137 seperti contoh: /+:9#
NO :N ‫ ا‬kata :N ‫ ا‬terwakili oleh kata NO dan yang sesungguhnya bisa memberi
manfaat pada kalimat tersebut adalah ilmu bukan manusiannya. Dan pada surat al-
Baqarah badal semacam ini terdapat pada ayat yang ke 217 yang berbunyi: 3# fY
0 ‫ل‬$ ‫ ا ام‬m ‫ ا‬1O pada ayat tersebut kata ‫ل‬$ adalah sifat yang melekat pada
kata ‫ ا ام‬m ‫ا‬. Dan jenis badal yang terakhir menurut al-Ansyari adalah badal
ghalath yaitu kata yang diucapkan untuk menggantikan kata yang dianggap salah
dalam pengucapan sebelumnya138 seperti contoh kata: N‫ رﺡ‬9‫ﺵ‬ $‫ إﺵ‬pada
ungkapan tersebut kata N‫ رﺡ‬merupakan kata pengganti kata 9‫ ﺵ‬karena yang

135
Nesselhauf, Nadja, Collocations in a Learner Corpus, John Benjamins Publishing
Company, 2004 hal-21
136
al-Hasyimi, Ahmad, al-Qawaid al-Asasiyah li al-lughat al-`Arabiyyah, Dar al-Kutb al-
Ilmiyyah, Bairut Libanon, hal-292
137
Al-Anshari, Ibn Hisyam , Tahdzibu wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa Bal al-Shada,
ditahqiq oleh `Adnan al-`Adzmah dan Muhammad Ali al-Syulthani, Dar al-`Ashamai, cet-1, 1998
hal-368
138
Al-Anshari, Ibn Hisyam , Tahdzibu wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa Bal al-Shada,
ditahqiq oleh `Adnan al-`Adzmah dan Muhammad Ali al-Syulthani, Dar al-`Ashamai, cet-1, 1998
hal-368

71
dimaksudkan sebenarnya adalah N‫ رﺡ‬namun yang terucap kata 9‫ﺵ‬, sebagian besar
badal ghalath ini berbentuk kolokasi bebas karena kesalahan ucap bisa saja terjadi
dengan kata apapun tidak mesti yang satu jenis.
Kolokasi bebas juga bisa terjadi pada konstruksi mubtada khabar, artinya
relasi kata yang mendudukui posisi mubtada bisa secara bebas berkolokasi dengan
kata apa saja yang menduduki posisi khabar, Wouden mencontohkan kolokasi
bebas ini dengan kata murder kata ini bisa berhubungan secara bebas dengan kata
lain seperti: execute of murder, carry out of murder, do a murder, perform a
murder139. Kebebasan pasangan kata tersebut bisa saja terjadi pada konstruksi
mubtada dengan khabarnya seperti contoh: ‫ ز' آ‬kata '‫ ز‬sebagai mubtada bisa
mempunyai khabar selain kata ‫آ‬, posisi kata ‫ آ‬bisa diganti dengan ,‫ن‬Y‫آ‬
‫ذ‬$7‫ أ‬,'$ dan lain sebagainya.
Dalam hal ini yang dimungkinkan mubtada bisa secara bebas berpasangan
dengan khabarnya tidak hanya terjadi pada nama orang akan tetapi bisa juga tejadi
mubtada yang berasal dari ism sharih dan muawal. Ism sharih sendiri bisa berasal
dari ism isyarat, ism dhamir, ism jamid, dan ism mustaq sedangkan mubtada
muawal adalah mubtada yang bukan berasal dari ism sharih namun ditakdirkan
kedalam ism sharih sebagaimana contoh yang tercantum pada surat al-Baqarah
ayat 184 yang berbunyi: 2 ‫وأن @  ا ﺥ‬, pada kalimat tersebut mubtadanya
adalah ‫ أن @  ا‬yang ditakdirkan atau ditakwilkan 2 . atau 2..
Mubtada yang berasal dari ism isyarat yang merupakan kolokasi bebas
dapat ditemukan dalam beberapa ayat pada surat al-Baqarah, salah satu contohnya
tertera pada ayat yang kedua yang berbunyi 1$N ‫ ه'ي‬0 >‫ ر‬G ‫ب‬$2 ‫ ا‬3 ‫ذ‬. Mubtada
yang berupa isim isyarah 3 ‫ ذ‬bisa berkolokasi dengan khabar yang berbeda-beda
ternyata kata tersebut sangat tergantung dari kata kunci penjelasnya. Dalam hal ini
penjelas dari isim isyarah 3 ‫ ذ‬adalah ‫ب‬$2 ‫ ا‬yang dapat menghasilkan khabar
>‫ر‬G140. Dengan munculnya kata ‫ب‬$2 ‫ ا‬setelah isim isyarah maka akan melahirkan
khabar yang bermacam-macam yang tidak terikat dan bebas tidak menuntut

139
Wouden, Ton Van Der, Collocation, Polarity and Multiple Negation, Routledge, 1997
hal-10
140
Al-Mahali dan Suyuti, Tafsir Jalalain, Mauqi` al-Tafasir.

72
khabarnya sudah paten dengan kata tertentu seperti pada kalimat selanjutnya kata
‫س‬+ ‫ه'ى‬ bisa menjadi khabar tanpa harus ada kata 0 >‫ر‬G maka kalimat
lengkapnya akan menjadi ‫س‬+ ‫ب ه'ى‬$2 ‫ ا‬3 ‫ ذ‬ataupun bisa berupa kalimat yang lain
seperti ‫ب  رة‬$2 ‫ ا‬3 ‫ذ‬.
Kata 3 ‫ ذ‬walaupun sebagai mubtada tidak akan berarti tanpa munculnya kata
penjelas seperti ‫ب‬$2 ‫ ا‬ataupun kata yang lain, karena dengan tidak adanya penjelas
kalimat itu tidak mengandung makna yang jelas seperti kalimat 0 >‫ر‬G 3 ‫ ذ‬atau
kalimat ‫س‬+ ‫ ه'ى‬3 ‫ذ‬. Kedua contoh tersebut tidak akan memberikan informasi
yang jelas kepada pembaca karena secara sintaksis sudah benar sedangkan secara
semantiknya tidak benar141. Berbeda dengan kalimat ‫ب‬$2 ‫ ا‬yang muncul dan 3 ‫ذ‬
yang dibuang maka akan menjadi kalimat 0 >‫ر‬G ‫ب‬$2 ‫ ا‬atau menjadi ‫ب ه'ى‬$2 ‫ا‬
‫س‬+ maka kedua kalimat tersebut secara sintaksis ataupun secara semantiknya
bisa diterima.
Pada kasus ini akan lebih jelas jika ditampilkan lagi contoh ism isyarat yang
berfungsi sebagai mubtada yang penjelasnya(badal) atau bukan berupa kata ‫ب‬$2 ‫ا‬
seperti pada ayat 253 yang berbunyi L
ٍ :ْ َ TَO
َ ُْ %
َ :ْ َ َ+ْ %
 0َ ;
ُ7ُ £ ‫ ا‬3
َ ْ ِ , pada tersebut
mubtadanya adalah ism isyarah 3 namun kata 3 itu mempunyai penjelas atau
badal berupa ;7 ‫ ا‬maka yang akan menentukan khabar sebagai kolokasi mubtada
bukan kata 3 namun kata ;7 ‫ا‬. Artinya sangat tidak jelas secara makna jika kata
3 ‫ ذ‬tidak disertai dengan kata penjelas ‫ب‬$2 ‫ا‬, atau kata 3 tanpa adanya kata ;7 ‫ا‬.
Berarti kata kunci yang sangat menentukan kolokasi dari mubtada isim isyarah 3 ‫ذ‬
yang mempunyai badal atau penjelas adalah penjelasnya itu sendiri bukannya ism
isyarahnya.
Berbeda dengan ism isyarah yang berdiri sendiri tanpa dibayang-bayangi
oleh penjelas atau badal seperti pada ayat 178 surat al-Baqarah yang berbunyi 3 ‫ذ‬
N‫ ورﺡ‬2ّ‫ ر‬1 V9A. Pada konstruksi contoh tersebut sangat berbeda dengan contoh
yang ada pada ayat 1 surat al-Baqarah yang berbunyi 0 >‫ر‬G ‫ب‬$2 ‫ ا‬3 ‫ذ‬. Pada
kalimat N‫ ورﺡ‬2ّ‫ ر‬1 V9A 3 ‫ ذ‬yang menjadi kata kuncinya adalah 3 ‫ ذ‬maka bisa

141
Hasan Alwi Soenjono dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia,Jakarta: Balai
Pustaka, 2003

73
dikatakan kata 3 ‫ ذ‬itulah yang akan menentukan kolokasi kata sebagai khabarnya.
Kata 3 ‫ ذ‬sangatlah bebas untuk menentukan kolokasi kata sebagai khabarnya
seperti pada ayat yang berbunyi 142
+ ‫ آ* ا‬1* ‫; ا  م ا‬e 3 ‫ذ‬. Dan masih banyak
lagi ataupun sebagai khabar.
Selain ism isyarat yang bisa menempati posisinya sebagai mubtada adalah
ism dhamir. Ism dhamir yang bisa berfungsi sebagai mubtada menurut al-
Ghulayaini adalah ism dhamir munfashil143, seperti contoh: D ‫ ا‬/0 1#, kata 1#
pada kalimat tersebut berfungsi sebagai mubtada artinya kata 1# merupakan
pokok kalimat yang perlu mendapatkan penjelasan dari khabar, tanpa adanya kata
D ‫ ا‬/0 kata 1# tidak mempunyai makna struktural dan makna semantik dan ia
hanya mempunyai makna dasar. Ism dhamir merupakan mubtada yang tidak bisa
berdiri sendiri tanpa adanya acuan yang harus mengarah kepada keterwakilan ism
dhamir tersebut seperti contoh sebelumnya kata 1# yang mempunyai makna kita
atau kami pada kalimat tersebut masih samar karena 1# ini mengacu kepada
siapa, sekelompok orang akan mengucapkan 1# jika ia sepakat dalam aktifitas
yang sama. Acuan daripada ism dhamir bisa berpindah pindah bergantung kepada
siapa yang menjadi pembicara.
Dalam surat al-Baqarah banyak mubtada yang berasal dari ism dhamir.
Mubtada yang berupa ism dhamir #‫ أ‬dalam surat al-Baqarah terdapat pada dua
ayat yang yaitu yang tertera pada ayat yang ke 116 yang berbunyi ‫ ّاب ا ّﺡ‬$ّ ‫ ا‬#‫وأ‬
pada ayat tersebut mubtanya berbentuk ism dhamir #‫ أ‬yang mengacu pada persona
pertama tunggal144, dalam hal ini pembicara adalah Allah. Dan Ism dhamir #‫أ‬
yang kedua terdapat pada ayat yang ke 257 yang berbunyi ‫ وأ‬/‫ أﺡ‬#‫ أ‬.
Ism dhamir #‫ أ‬yang berfungsi sebagai mubtada akan mendapatkan pasangan
kata sebagai khabarnya sangat bervariatif karena acuan yang akan menjadi
rujukannya berbeda beda. Pada ayat yang ke 116 dengan ayat yang ke 257 khabar
dari mubtada ism dhamir #‫ أ‬memiliki sifat yang sama bahwa kata tersebut adalah

142
QS. Al-A`raf ayat 167
143
Al-Ghulayaini, Musthafa, Jami` al-Durs al-`Arabiyyah, Dar al-Hadits, Kairo Mesir,
2005 hal-58
144
Hasan Alwi, Soenjono Dardjowidjoyo, Hans Lapoliwa, Anton M.Moeliono, Tata
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, edisi ke 3, 2003 hal-251

74
sifat yang harus dimiliki oleh Tuhan, padahal acuan dari kata #‫ أ‬pada kedua ayat
tersebut berbeda, acuan pada ayat yang pertama merujuk kepada Allah, sedangkan
acuan pada ayat yang kedua merujuk kepada Namrud yang merupakan jawaban
dari pertanyaan nabi Ibrahim tentang ketuhanan. Maka Namrud mengatakan
bahwa dialah yang menghidupkan dan yang mematikan. Secara gramatikal
kalimat tersebut benar akan tetapi secara normatif kalimat tersebut salah karena
yang bisa menghidupkan dan mematikan hanya Allah.
Ism dhamir lain yang menduduki posisi mubtada diantaranya adalah ism
dhamir 1#, ism dhamir 1# yang menduduki posisi mubtada pada surat al-
Baqarah tercatat sebanyak 9 kali diantaranya pada ayat yang ke 11 yang berbunyi
‫ @ ن‬1#‫ و‬pada ayat ini ism dhamir 1# mengacu kepada orang-orang kafir
yang apabila ditegur jangan membuat kerusakan dimuka bumi mereka menjawab
‫ @ ن‬1#‫و‬. Ism dhamir baik yang berupa #‫أ‬, 1# ataupun ism dhamir lainnya
ketika menjadi mubtada mempunyai kolokasi yang sangat bebas sekali dengan
khabarnya, tidak memandang ism dhamir itu merujuk kepada siapa, seperti yang
tertera pada contoh pertama ism dhamir #‫ أ‬baik yang merujuk kepada Allah
ataupun yang merujuk kepada Namrud khabarnya bisa saling tukar dengan tidak
mengurangi kesalahan dalam kelogisan bahasa145. Atau bisa dikatakan bahwa ism
dhamir termasuk jenis mubtada yang mempunyai kolokasi terbebas dalam
menentukan khabarnya. Dan untuk mendeteksi khabar yang lazim bersanding
dengan ism dhamir tersebut haruslah melihat acuan yang menjadi rujukan bagi
ism dhamir tersebut.
Hampir seluruh dhamir munfashil bisa berfungsi sebagai mubtada. Selain
kata #‫ أ‬dan 1# bisa ditemukan juga kata ‫ ه‬yang berfungsi sebagai mubtad dalam
surat al-Baqarah dari masing-masing ism dhamir tersebut memiliki acuan yang
berbeda-beda, seperti pada ayat yang ke 163 yang berbunyi ‫ ا ّﺡ‬1N‫ ه ا ّﺡ‬pada
kalimat tersebut kata ‫ ه‬mengacu kepada Allah, sehingga kata yang menduduki
posisi khabar yang akan mendampingi mubtada lazimnya menyesuaikan dengan

145
Badudu, J.S, Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar III, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1993 hal-26

75
kata yang menjadi acuan ism dhamir itu sendiri. Tidak mungkin khabar dari kata
‫ ه‬yang mengacu kepada Allah dengan menggunakan kata ;‫ا ه‬, artinya
kebebasan berkolokasi kata yang menjadi khabar akan sangat bergantung kepada
nomina yang menjadi acuannya146.
Kolokasi bebas juga terjadi pada konstruksi maf`ul muthlaq. Dalam surat al-
Baqarah jenis kolokasi bebas yang berbentuk maf`ul muthlaq dapat dilihat pada
ayat yang ke 35 yang berbunyi ‫'ا‬w‫ ر‬+ ‫ وآ‬yang menjadi maf`ul muthlaq pada
kalimat tersebut adalah kata ‫'ا‬w‫ ر‬kata tersebut berkolokasi dengan kata ‫وآ‬147,
maf`ul muthlaq yang terjadi pada kolokasi kata 'w‫ ر‬dengan kata ‫ وآ‬termasuk
bentuk maf`ul muthlaq pengganti masdar yang memiliki sifat karena kata ‫'ا‬w‫ر‬
pada dasarnya adalah sifat dari kata ‫ اآ‬yang semestinya menjadi maf`ul
muthlaqnya, namun tanpa kehadiran kata ‫ أآ‬yang diwakili oleh sifatnya ‫'ا‬w‫ر‬
secara gramatikal benar dan secara makna bisa dipahami. Relasi antara kata ‫'ا‬w‫ر‬
dengan kata ‫ وآ‬termasuk kolokasi bebas artinya relasi tersebut secara bebas bisa
berganti-ganti pasangan, seperti kata ‫'ا‬w‫ ر‬bisa diganti dengan sifat yang lain
seperti kata ‫ ﺵاه‬atau kata N# atau dengan kata yang lainnya, demikian juga
dengan kata ‫ وآ‬bisa juga diganti kata seperti Y‫ واﺝ‬atau # dan lain sebagainya.
Kolokasi dalam bentuk maf`ul muthlaq dapat ditemukan dalam beberapa
ayat pada surat al-Baqarah, seperti halnya yang tercantum pada ayat yang ke 88
yang berbunyi 0 ‫ه‬92 ‫ ا‬+: ;, maf`ul muthlaq pada ayat tersebut adalah
berupa kata  maf`ul muthlaq semacam ini merupakan maf`ul muthlaq sifat
yang menggantikan masdar yang ditakdirkan adanya kata 0 #N‫إ‬. Sedangkan
kolokasi bebas yang berupa maf`ul muthlaq tidak hanya terjadi pada sifat yang
ditakdirkan menggantikan posisi masdar. Akan tetapi bisa juga terjadi pada kata
;‫ آ‬atau L: 148
, kedua kata ini bisa menjadi maf`ul muthlaq apabila disandarkan
kepada masdar yang posisinya menjadi maf`ul muthlaq seperti contoh yang

146
E. Zaenal Arifin dan Junaiyah H.M, Sintaksis untuk Mahasiswa Strata Satu Jurusan
Bahasa atau Linguistik dan Guru Bahasa Indonesia SMA/SMK, Grasindo, 2006 hal-22
147
Shalih, `Abd al-Wahid , al-I`rab al-Mufashal li al-kitab Allah al-muratal, jilid 1 cet 2,
Dar al-Fikr, 1998 hal-47
148
Al-Anshari, Ibn Hisyam , Tahdzibu wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa Bal al-Shada,
ditahqiq oleh `Adnan al-`Adzmah dan Muhammad Ali al-Syulthani, Dar al-`Ashamai, cet-1, 1998
hal-282

76
termuat pada surat al-Nisa ayat 129: ;N ‫ ا آ; ا‬N 0 atau yang ada pada surat al-
haqah ayat 44: ;‫ ا]و‬L: +O ‫ و  ل‬dari kedua contoh tersebut hakikatnya yang
menjadi maf`ul muthlaqnya adalah kata ;N ‫ ا‬dan kata ;‫ ا]و‬namun karena
sebelum kedua kata tersebut terdapat kata yang disandarkan kepadanya dan
meruakan bagian darinya maka yang memangku posisi menjadi maf`ul muthlaq
adalah kata ;‫ آ‬dan kata L:.
Maf`ul muthlaq bisa berupa bilangan yang ditaqdirkan keberadaanya
mewakili posisi masdar pada suatu kalimat, seperti contoh pada surat al-Nur ayat
4: ‫ ﺝ'ة‬1#N^ ‫ﺝ ده‬0 pada ayat tersebut kata yang menjadi maf`ul muthlaqnya
adalah kata 1#N^ kata tersebut ditakdirkan menempati posisi masdar kata o‫'د‬O yang
berkolokasi dengan kata ‫ﺝ ده‬0, tanpa kehadiran kata o‫'د‬O kalimat tersebut secara
gramatikal dan secara semantik bisa diterima. Relasi antara kata ‫ﺝ ده‬0 dengan
kata 1#N^ merupakan kolokasi bebas karena kedua kata tersebut dapat digantikan
oleh kata yang lain.
Jenis kolokasi bebas bisa juga berbentuk maf`ul li ajlih149, bentuk kolokasi
ini banyak terdapat dalam surat al-Baqarah diantaranya terdapat pada ayat yang ke
19 yang berbunyi ‫ ت‬N ‫ ﺡ*ر ا‬O‫ ا @ّ ا‬1 #‫ [َذا‬/0 :.‫ ن أ‬: pada ayat tersebut
yang menjadi maf`ul liajlih adalah kata ‫ﺡ*ر‬, ungkapan ‫ ﺡ*ر‬adalah alasan untuk
melakukan menutup telinga atau :.‫ ن أ‬: dan begitu juga sebaliknya ‫ ن‬:
:.‫ أ‬juga karena alasan ‫ﺡ*ر‬. hubungan kata yang menempati posisi fi`il
dengan kata yang menempati posisi maf`ul li ajlih pada ayat tersebut termasuk
kolokasi bebas karena kedua kata tersebut bisa diganti dengan kata yang lain150
seperti kata ُ:َ ِ َ.‫ن َأ‬
َ ُ:َ 
ْ َ bisa dengan kata ‫ ت‬N ‫م ﺡ*ر ا‬N ‫ ا‬/@ demikian juga
sebaliknya dengan kata ‫ ت‬N ‫ ﺡ*ر ا‬bisa juga diganti dengan kata /0 :.‫ ن أ‬:
N.‫ أ‬O‫ ا @ّ ا‬1 #‫[ذا‬. Ma`ful liajlih mengandung makna antara kegiatan dengan
alasan melakukan kegiatan dalam waktu yang bersamaan. Pada ayat diatas waktu
149
Maf`ul liajlih adalah masdar yang mengandung makna alasan untuk mengerjakan
sesuatu, contoh ‫ا‬2‫ ﺝ' ﺵ‬kata ‫ا‬2‫ ﺵ‬adalah masdar dari kata ‫ا‬2‫ ﺵ‬yang mengandung makna alasan
mengerjakan untuk berbuat baik atau '‫ ﺝ‬dan berbuat baik atau '‫ ﺝ‬juga alasan untuk melakukan
syukur atau ‫ا‬2‫ﺵ‬
150
John Sinclair, Susan Jones, and Robert Daley, English collocation studies: the OSTI
report, Continuum International Publishing Group, 2004 hal-17

77
:.‫ ن أ‬: bersamaan dengan waktu ‫ ت‬N ‫ ﺡ*ر ا‬, waktu menutup telinga
bersamaan waktu karena takut mati.
Jika waktunya tidak bersamaan maka harus dibubuhkan huruf al-lam (‫م‬G‫)ا‬151
seperti contoh: ‫'ا‬w 1' ‫ ا‬F0' ‫ ا  م‬3$š‫ ﺝ‬peristiwa pada kalimat tersebut tidak
bersamaan karena kedatangannya hari ini dan membayar hutangnya besok hari.
Maf`ul li ajlih semacam ini bisa ditemukan dalam surat al-Isra ayat 78 yang
berbunyi: gNm ‫ أ ا @ة ' ك ا‬dalam kalimat tersebut peristiwa ‫ أ ا @ة‬dengan
gNm ‫ ' ك ا‬tidak bersamaan yang dikehendaki dari kegiatan ‫ أ ا @ة‬adalah
setelah peristiwa gNm ‫ ' ك ا‬.
Kolokasi yang dalam ayat tersebut termasuk kolokasi bebas karena
hubungan antara kata ‫ أ‬dengan kata ‫ ' ك‬masing-masing tidak ada keterikatan
dalam pemakaianannya, dan masing-masing kata tersebut bisa berganti-ganti
dengan pasangan kata yang lain seperti contoh kata ‫ ' ك‬yang berfungsi sebagai
maf`ul li ajlih bisa diganti dengan kata ‫ ا‬N‫ء آ‬Oz maka akan menjadi kalimat ‫أ‬
‫ ا‬N‫ء آ‬Oz ‫ ا @ة‬dan begitu juga dengan kata ‫ أ ا @ة‬bisa diganti dengan kata
yang lain seperti contoh: gNm ‫وا ' ك ا‬S0‫أ‬. Kombinasi masing-masing kata
tersebut akan mempengaruhi makna sesuai dengan konteksnya152. Kata ‫أ ا @ة‬
dalam konteks ayat tersebut mempunyai makna shalat dhuhur, `Ashar, Maghrib
dan Isya153, berbeda dengan makna ‫ أ ا @ة‬pada kalimat ‫ ا‬N‫ء آ‬Oz ‫أ ا @ة‬
pada kalimat ini kata ‫ أ ا @ة‬mempunyai makna semua shalat baik itu shalat
wajib waupun shalat yang sunat.
Kolokasi bebas bisa juga terjadi pada maf`ul bih154. Dalam surat al-Baqarah
kolokasi dalam bentuk ini dapat ditemukan dalam beberapa ayat diantaranya pada
ayat yang ke 30 yang berbunyi V‫ ا]رض ﺥ‬/0 ;O‫ ﺝ‬/ّ#‫ إ‬2?N 3ّ‫ وإذ ل ر‬, pada ayat
tersebut kata yang berfungsi sebagai maf`ul bih adalah kata 9‫ﺥ‬. Kata 9‫ ﺥ‬pada
ayat tersebut merupakan kata yang kehadirannya lazim adanya karena tanpa

151
Muhammad Ali Sulthani, Al-Syawahid al-Nahwiyyah Juz 4, Dar al-Ashma, Damaskus
Syria, 2001
152
Mona Baker, In Other Words a coursebook on translation, Routledge, 1992 hal-53
153
Suyuthi, Tafsir jalalain h. 106
154
Sa`id al-Afghani, al-Mūjiz fi al-Qawaid al-Lughah al-`Arabiyyah, Dar al-Fikr, al-
kutub al-iliktroniyat. Maf`ul bih adalah ism yang terletak setelah adanya fi`l dan fa`il dan maf`ul
bih merupakan obyek dari hasil kegiatan yang dilakukan oleh fa`il.

78
adanya kata 9‫ ﺥ‬menjadikan kalimat tersebut tidak jelas dan pesan yang akan
disampaikan tidak sempurna. Pada ayat tersebut relasi kata antara 9‫ ﺥ‬dengan
kalimat ;O‫ ﺝ‬/#‫ إ‬adalah bentuk kolokasi, artinya relasi tersebut merupakan
kelaziman yang mesti ada, tanpa kehadiran salah satu darinya maka kalimat
tersebut tidak bermakna155, contoh, apabila kata tersebut dihilangkan kata /#‫إ‬
berarti hanya 9‫ ا]رض ﺥ‬/0 ;O‫ ﺝ‬kalimat tersebut masih dipertanyakan siapa
pelakunya, dan jika dibuang kata ;O‫ ﺝ‬kalimat tersebut mempunyai arti yang
sempurna akan tetapi pesan yang disampaikan berbeda dari semula, berbeda jika
yang dibuang kata ‫ ا]رض‬/0 maka kalimat tersebut masih memuat pesan yang
sama hanya kehilangan keterangan tempat.
Bentuk kolokasi maf`ul bih tidak hanya terjadi pada ism dhahir saja namun
bisa juga terjadi pada ism dhamir156 seperti contoh ‫ ن‬9+ ‫ه‬+‫ رز‬N‫و‬, maf`ul bih
pada kalimat tersebut adalah ism dhamir ‫ه‬. Kolokasi antara fi`il ‫رزق‬, fâ`il # dan
maf`ul bih ‫ ه‬akan menghasilkan makna baru yang lahir karena konteks dari pada
kalimat tersebut, fi`l ‫ رزق‬melahirkan makna memberikan rizki, fâ`il # melahirkan
makna kita yang mengacu nominanya kepada ‫ ا‬sedangkan maf`ul bih ‫ه‬
mempunyai makna mereka yang mengacu kepada orang-orang mukmin. Jika kata
itu tidak saling berkorelasi maka kata tersebut tidak mempunyai makna demikian
dan hanya memiliki makna dasar157 saja seperti kata ‫ رزق‬hanya memiliki makna
memberi rizki, huruf # hanya akan melahirkan makna kita dan dhamir ‫ ه‬hanya
akan melahirkan makna mereka. Oleh karena itu menurut Mona Baker tidak dapat
disangkal bahwa sebuah kata dalam sebuah kalimat akan mempunyai makna
masing-masing walaupun kata itu sama158, contoh kata kering, kata ini akan
melahirkan makna yang berbeda-beda jika berada pada tempat yang berlainan,
walaupun arti dasar kering adalah bebas dari air namun setelah kata tersebut

155
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia:Pendekatan Semantik terhadap Tuhan,
diterjemahkan oleh Agus Fachri Husein, Supriyanto Abdullah, dan Amirudin, PT. Tiara Wacana,
Yogyakarta, cet-2, 2003 hal-10
156
Ibn `Ushfur al-Isybali, Syarh al-Jumal al-zijaji juz 1, yang ditahqiq oleh Shahib Abu
Janah, Kairo Mesir, 1971, hal- 127
157
Makna dasar oleh izutsu diartikan sebagai sebuah makna yang selalu dibawa
bersamanya dimanapun kata itu berada dan selalu merupakan inti konseptual kata tersebut.
158
Mona Baker, In Other Words a Coursebook on Translation, Routledge, 1992 hal-53

79
berkorelasi dengan kata yang lain akan melahirkan makna baru, seperti contoh:
Baju kering, badan kering, tenggorokan kering. Baju kering mempunyai makna
bahwa baju tersebut tidak berair lagi, badan kering mempunyai makna kurus dan
tenggorakan kering mempunyai makna haus.
Kolokasi bebas juga bisa terjadi dalam bentuk al-hal159, kolokasi semacam
ini dalam surat al-Baqarah terdapat pada ayat yang ke 25 yang berbunyi ‫ ا ه*ا‬
m$  ‫; وأ ا‬D 1 +‫ ا ّ*ي رز‬pada ayat tersebut al-halnya adalah kata m$
sedangkan shahibul halnya adalah dhamir muthashil ‫ا ء‬, al-hal pada ayat tersebut
adalah al-hal yang berbentuk ism fâ`il yang mengikuti wazan ;O9$ yang
merupakan turunan dari verba ;w9, sedangkan shahibul halnya merupakan ism
ma`rifat yang merupakan ism dhamir. Menurut Zamakhsari al-hal selain berupa
ism fâ`il bisa juga berupa ism sifat160, seperti contoh pada ayat yang ke 29: ‫ه ا ّ*ي‬
:N‫ ا]رض ﺝ‬/0  2 ‫ﺥ‬, pada ayat tersebut al-halnya adalah berupa kata :N‫ﺝ‬
sedangkan shahibul halnya adalah kata ‫ ا]رض‬, al-hal bisa juga berupa ism tafdhil
dan ism musyabahat.
Kolokasi kata pada ayat ke 25 antara al-hal dengan shahibul hal merupakan
kolokasi bebas karena kata yang menjadi al-hal bisa dipasangkan pada kata yang
lain dalam posisi yang berbeda seperti contoh: ً:N‫; ﺝ‬N: ‫ ا [ن وا‬+N:$0 , demikian
juga dengan shahibul hal juga dapat dipasangkan dengan kata yang lain.
Dengan demikian penulis dapat mengatakan bahwa dalam suatu kalimat
mesti adanya kombinasi antar kata yang akan melahirkan makna. Tanpa adanya
kombinasi antar kata maka bahasa akan menjadi mati. Kombinasi antar kata ada
yang sifatnya predictible atau bisa diduga kemunculan kata berikutnya ada juga
yang tidak dapat diduga. Kemunculan kata yang kemunculannya dapat diduga
itulah yang disebut dengan kolokasi.

2. KOLOKASI TERBATAS

159
Al-Hal adalah sifat yang berupa ism fa`il, ism maf`ul sifat musabahat atau ism tafdhil
yang berupa ism nakirah yang kehadirannya merupakan penjelasan tentang keadaan shahibul al-
hal.
160
Abi al-Qasim Mahmud Ibn Umar al-Zamahsari, al-Mufashal fi al-Ilm al-Lughat, Dar
Ihya al-Ulum, Bairut Libanon, hal-78

80
Kolokasi terbatas merupakan kombinasi dua kata atau lebih yang pada
umumnya ketersandingannya merupakan suatu kelaziman161. Kelaziman relasi
antar kata merupakan kombinasi yang terjadi secara teratur, tidak mengandung
makna idiomatik dan masih mengikuti ketentuan struktur bahasa yang berlaku,
serta keterbatasan. Kemunculan kata yang menjadi bagian dari kolokasi ini dapat
diramalkan karena penggunaannya yang terbatas, dan ada beberapa kata yang
kemunculannya sangat terbatas sekali162 seperti penggunaan kata spick dalam
bahasa Inggris dapat diramalkan akan muncul juga kata span karena kata tersebut
muncul khusus pada ungkapan spick-and-span.
Sinonim atau kata yang mempunyai kedekatan makna juga akan
mempengaruhi dalam penggunaan kolokasi terbatas163 seperti kata raya, besar,
agung. Kata-kata ini mempunyai persamaan dan kedekatan makna akan tetapi
dalam penggunaannya tidak bisa sembarangan, pada satu sisi kata-kata tersebut
lazim untuk berpasangan dengan kata yang sama akan tetapi lain sisi kata-kata
tersebut harus tepat dalam pemakainnya, seperti ungkapan jalan raya dengan
jalan besar secara semantik bisa diterima akan tetapi berbeda dengan ungkapan
jalan Agung ungkapan ini tidak lazimnya dipakai dalam berbahasa yang benar.
demikian juga dengan sinonim dan kata yang mempunyai kedekatan makna dalam
bahasa Arab memiliki penempatan yang lazim dalam suatu ungkapan. Seperti kata
%N% dengan kata %A%‫ ﺥ‬kedua kata ini untuk menunjukan gerakan air, akan
tetapi kelaziman dalam mengungkapkan perlu penempatan yang tepat, kata
%N% digunakan untuk mengungkapkan gerakan air yang ada dalam mulut
sedangkan kata %A%‫ ﺥ‬digunakan untuk mengungkapkan gerakan air yang
berada dalam wadah164. Maka lazimnya mengatakan N0 /0 ‫ء‬N ‫ ا‬LN% dan LA%‫ﺥ‬

161
Nesselhauf, Nadja, Collocations in a Learner Corpus, John Benjamins Publishing
Company, 2004 hal-12
162
Laurel J.Brinton dan Minoji Akimoto, collocational and Idiomatic Aspects of
Composite Predicates in the History of English, John Benjamins Publishing Company, Philadepia
Amst John Benjamins Publishing Company, Philadepia Amsterdam, 1999 hal-8
163
Soedjito, Kosa Kata Bahasa Indonesia, PT Gramedia, Jakarta, 1989 hal-81
164
Ibrahim Syamsu al-Din, Marja` al-Thulab fi al-Insya, Dar al-kutub al-`Ilmiyyah,
Bairut Libanon, 2000 hal-164

81
‫ ب‬2 ‫ ا‬/0 ‫ء‬N ‫ ا‬dan ungkapan tersebut tidak bisa dibalik dengan ‫ ب‬2 ‫ ا‬/0 ‫ء‬N ‫ ا‬LN%
dan N0 /0 ‫ء‬N ‫ ا‬LA%‫ﺥ‬.
Bentuk kolokasi dari masing-masing bahasa akan berbeda-beda. Kolokasi
dalam bahasa Indonesia menurut E.zaenal Arifin dan Junaiyah H.M.
mengklasifikasikan kolokasi kedalam 2 bentuk165 yaitu kolokasi yang terjadi
antara nomina dengan adjektif contohnya: anak cerdas, orang sabar, iklan
penting. Kedua kolokasi yang terjadi antara adjektif dengan nomina contohnya:
biru laut, hangat-hangat kuku, kuning langsat dan seterusnya. Sedangkan
kolokasi dalam bahasa inggris menurut Dwight Bolinger terbagi kedalam 7
bentuk166 yaitu kolokasi yang terjadi antara verb dengan noun atau pronoun,
contohnya reach a verdict, Launch a missile, kolokasi yang terjadi antara
adjective dengan noun contohnya strong tea bukan mighty tea, kolokasi yang
terjadi antara noun dengan verb, verb disini berfungsi sebagai nama sebuah aksi
seseorang atau sesuatu yang menunjukan pada noun contohnya bees buzz, boms
explode, kolokasi yang terjadi pada unit yang diasosiasikan dengan noun contoh a
school of whales, an act of violence, kolokasi yang terjadi antara adverb dengan
adjective contoh deeply absorbed, keenly aware, dan kolokasi yang terjadi antara
verb dengan adverb contohnya affect deeply, appreciate sicerely.
Bentuk kolokasi terbatas dalam surat al-Baqarah dapat diklasifikasikan
menjadi 11 tipe yaitu:
a. Kolokasi yang terjadi antara noun dengan verb.
Noun disini berfungsi sebagai subyek, atau lebih tepat disebut dengan
konstruksi fi`l fâ`il contohnya: ‫ر ر‬167,kolokasi semacam ini disebut
dengan kolokasi terbatas karena relasi antara kata ‫ ر‬yang berfungsi sebagai fi`l
terbatas hanya bisa berpasangan dengan kata ‫ رة‬sebagai fâ`ilnya168 ataupun
dengan kata yang lain yang memiliki sifat perdagangan, akan tetapi kata ‫ر‬
165
E. Zaenal Arifin dan Junaiyah H.M, Sintaksis Untuk Mahasiswa Strata Satu Jurusan
Bahasa atau Linguistik dan Guru Bahasa Indonesia SMA/SMK, Grasindo, Jakarta hal-29
166
Dwight Bolinger, Aspects of Language, Harcout Brace Jovanovich, inc, United State
of America, 1975 hal-114
167
QS: 2: 16
168
Kinga Devenyi, Collocation in Arabic (MSA) and treatment of Collocations in Arabic
Dictionaries, makalah ini dipresentasikan pada acara Proceedings of the Colloquium on Arabic
and Lexicography, Etvs Lorand University & Csoma de Krs Society, Budapest, 2007

82
setelah diderivasikan menjadi kata benda bisa berpasangan beberapa kata yang
lain yang masih berhubungan dengan perdagangan seperti contoh: t‫ ر‬,Y ‫ ا‬t‫ر‬
t ‫ ﺡ' ا‬,t ‫ د ; ا‬,D% ‫; ا‬D t ‫ ا‬,‫دى‬: ‫ ا‬t ‫ ا‬,‫ ا @ف‬t‫ ر‬,/ N‫ إﺝ‬dan seterusnya.
Sedangkan kata ‫ رة‬sendiri selain bisa menjadi fâ`il bisa juga berpasangan
dengan kata yang lain dengan posisi i`rab yang bermacam-macam contoh: ‫رة‬
‫رة‬$ ‫ ﺡ ا‬77 ,  ‫ا‬.
Kolokasi terbatas yang posisinya fi`l fâ`il selain konstruksi ‫رة‬$ ‫ر ا‬
adalah kata '‫ أ‬D$‫آ‬169 relasi antara kata D$‫ آ‬sebagai fi`l dan kata '‫ أ‬sebagai
fâ`ilnya memiliki keterbatasan pada penggunaan D$‫ آ‬karena yang melakukan
kegiatan menulis pasti tangan dan tidak ada anggota badan atau benda apapun
yang melakukan kegiatan menulis, meskipun fâ`il tersebut diganti dengan kata
yang lain maka maksud konteksnya mengacu kepada tangan contoh: ‫*ة‬N$ ‫ ا‬D$‫آ‬
‫ ا 'رس‬dari contoh ini kata ‫*ة‬N$ ‫ ا‬dalam melakukan D$‫ آ‬menggunakan tangan.
Keterbatasan kolokasi kata >$‫ آ‬tidak memungkinkannya kata tersebut
mempunyai fâ`il selain manusia170, contoh ‫ ا  س ا 'رس‬D$‫ آ‬secara gramatikal
susunan kalimat tersebut benar karena ada fi`l ada fâ`il dan ada maf`ul bih namun
secara semantik kalimat tersebut tidak benar karena tidak mungkin seekor kerbau
menulis pelajaran, sedangkan kata kerja menulis mengandung perbuatan yang
biasa dilakukan oleh manusia.
Kolokasi terbatas dalam surat al-Baqarah yang berupa fi`l fâ`il diantarnya
lagi berupa susunan kalimat 171
‫ر‬#]‫ ا‬+ ّ9$. Pada susunan gramatikal kalimat
tersebut fi`lnya adalah berupa kata 9$ dengan fâ`il kata ‫ر‬#]‫ا‬, susunan fi`l fâ`il
antara kata 9$ dengan kata ‫ر‬#]‫ ا‬merupakan kombinasi kata sebagai bagian dari
kolokasi terbatas, artinya fi`l 9$ yang paling lazim untuk mendampinginya
sebagai fâ`ilnya adalah berupa kata yang berkaitan dengan air. Contoh kalimat
yang menggunakan kata 9$ adalah ungkapan ‫د‬: ‫ وا‬Vّ ‫ّ ا  ض ا‬9$172. Fâ`il
dari pada kalimat tersebut adalah kata ‫ ا  ض‬yang mempunyai arti kolam, yang
tentunya kolam yang dimaksudkan disini adalah kolam yang mengandung air.
169
QS: 2: 79
170
Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, PT. Rineka Ilmu, Jakarta, 2000
171
QS : 2 : 74
172
Muhammad Ibn Mukaram Ibn Mandzur al-Afriki, Lisan al-`Arab, Dar Shadir, Bairut
Libanon, 1996.

83
b. Kolokasi yang terjadi antara noun dengan verb
Kolokasi yang terjadi antara noun dengan verb yang kedua ini berbeda
dengan kolokasi yang pertama, pada kolokasi yang kedua noun berfungsi sebagai
obyek (maf`ul bih) contohnya ' ‫أﺡز‬, konstruksi tersebut terjadi antara fi`l yang
berupa kata ‫ أﺡز‬dan kata ' sebagai maf`ulnya. Dalam surat al-Baqarah terdapat
beberapa kata yang termasuk kedalam kolokasi terbatas yang terjadi antara noun
dengan verb dimana noun berfungsi sebagai obyek contoh: ‫ ا ا @ّة‬N‫أ‬173
kombinasi antara kata ‫ ا‬N‫ أ‬dengan kata ‫ ا @ة‬merupakan kolokasi terbatas karena
relasi kata tersebut hanya berhubungan dengan kata yang mengandung makna
tuntutan yang harus dikerjakan dengan wajib yang pelaksanaannya dengan
melakuakan tindakan fisik. Contoh kalimat lain yang menggunakan kata ‫ ا‬N‫أ‬
terdapat pada atsar yang berbunyi: N‫وﺽ‬0 ‫ و‬N‫ ا ﺡ'وده‬N‫أ‬174 pada ungkapan ini
kata ‫ ا‬N‫ أ‬mengandung tuntutan yang harus dilakukan berupa hukuman-hukuman
dan kewajiban-kewajibannya. Contoh lainnya berupa ungkapan ‫ ا‬N‫ وأن أ‬,1' ‫ ا ا‬N‫أ‬
20 9. ‫ ا‬N‫ أ‬,'Y ;‫' آ‬+O 2‫ وﺝ ه‬dari contoh-contoh yang ada semuanya
mengandung makna bahwa kegiatan yang dilakukan berupa kegiatan fisik.
Berbeda dengan ungkapan ‫آة‬6 ‫[َ ا ا‬, ungkapan ini juga menekankan untuk
melaksanakan kewajibannya yaitu membayar zakat, perbedaan dari kata ‫ ا‬N‫أ‬
dengan ‫ أ ا‬adalah fâ`il yang mesti bersanding dengannya. Kata ‫ ا‬N‫ أ‬lazimnya
mempunyai fâ`il berupa aktivitas yang melibatkan fisik sedangkan ‫ أ ا‬akan
memiliki variasi makna apabila bersanding fâ`il yang berbeda-beda contoh: ‫ ا‬2Yf0
T7  ‫ أ ا‬T$‫ﺡ‬175 kata ‫ أ ا‬bersanding dengan kata T7  tidak lagi mempunyai arti
membayar akan tetapi datang, ‫ أ ا‬bersanding dengan kata @‫ ﺵ‬mempunyai arti
membekali176.
c. Kolokasi yang terjadi antara verb + preposition+noun

173
QS : 2 : 43
174
Al-Atsar yang diriwatkan oleh Ahmad.
175
Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Katsir Ibn Ghalib al-Amali Abu Ja`far al-Thabari,
Tafsir al-Thabari, Majma` al-Malak fahd li al-Thaba`at al-Mushaf al-Sharif, 2000
176
Muhammad Ibn Mukaram Ibn Mandzur al-Afriki, Lisan al-`Arab, Dar Shadir, Bairut
Libanon, 1996. Lihat juga Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-
Indonesia, Multi Karya Grafika, Pondok Krapyak.

84
Noun disini berfungsi sebagai obyek tidak langsung yang datang setelah
preposisi contoh: ‫ض‬: ,;?‫ 'ا‬1 ‫ر‬$‫ اﺥ‬,‫ض‬w / ‫ ا‬/:7 ,% 1O ‫*ر‬$O‫ ا‬,' 1O DO
XAN . dalam surat al-Baqarah dapat dilihat pada beberapa ayat yang
mengandung kolokasi yang terdiri atas verb+preposisi+noun contohnya:  1‫أ‬177
konstruksi kalimat tersebut terdiri dari kata 1‫ أ‬sebagai verbnya digabung dengan
preposisi huruf al-ba(‫ء‬D ‫ )ا‬yang digabung dengan kata ‫ أ‬sebagai noun yang
berfungsi sebagai obyek.
Kolokasi yang terjadi antara kata 1‫ أ‬yang diantarai dengan noun ‫أ‬
merupakan kolokasi terbatas karena kombinasi yang terjadi antara kata 1‫ أ‬dengan
noun yang menjadi obyeknya kemunculannya sudah dapat diprediksi yaitu
berkisar ,‫ ل ا‬7 1[ ,‫ا  م ا]ﺥ‬ 178
kolokasi yang konstruksi susunannya terdiri
dari verb+preposisi+noun tidak terbatas pada verb tertentu ataupun preposisi
tertentu pula seperti contoh: ‫ء‬NY ‫ ا‬1 ‫ل‬6#‫أ‬ kombinasi antara kata ‫ل‬6#‫ أ‬yang
diantarai dengan preposisi 1 diprediksikan akan mempunyai obyek yang berupa
kata yang posisinya diatas seperti AYN ‫ درﺝ ا‬1 ‫ل‬6#‫أ‬179‫ ا @دق‬$‫ آ‬1 ‫ل‬6#‫أ‬180.
d. Kolokasi yang terjadi antara noun dengan adjective
Kolokasi semacam ini lebih dikenal dengan konstruksi sifat maushuf atau
na`at man`ut contoh: 6‫ ﺡﺝ‬, % ,  ‫ت‬O ,S Dw‫ أ‬,A‫ ﺝ' ﺽ‬,/‫ء ذا‬9$‫اآ‬
/Y9#, dari contoh-contoh yang ada merupakan kolokasi terbatas karena menurut
Devenyi kata  ,  , S ,‫ ﺽ‬,/‫ذا‬, dan kata /Y9# merupakan kata yang
menyifati kata yang menjadi maushufnya secara reguler dan kemunculan kata
tersebut sebagai sifat pada kata yang disifati dapat diprediski dalam otak pembaca
atau pendengar.
Kolokasi yang semacam ini dalam surat al-Baqarah dapat dilihat dalam
beberapa ayat seperti RO ‫*اب‬O pada ungkapan tersebut kata RO merupakan sifat
dari kata ‫*اب‬O, kombinasi dari kedua kata tersebut menurut Abdulmoneim

177
QS : 2 : 8
178
Kinga Devenyi, Collocation in Arabic (MSA) and treatment of Collocations in Arabic
Dictionaries, makalah ini dipresentasikan pada acara Proceedings of the Colloquium on Arabic
and Lexicography, Etvs Lorand University & Csoma de Krs Society, Budapest, 2007
179
Kalimat ini diambil dari buku, Futuhat al-Makah, yang mengandung makna keadaan
yang sederajat dengan raja.
180
Contoh ini dikutip dari buku, Khuliyat al-Auliya yang ditulis oleh Abu Nu`aim al-
Ashabani.

85
Mahmoud181 merupakan tipe kolokasi terbatas karena dengan adanya kata ‫*اب‬O
maka sifat yang akan muncul dapat diprediksi yaitu berkisar kata ‫*اب‬O , ‫*اب أ‬O
''‫*اب ﺵ‬O ,1D ‫*اب‬O ,1. Menurut Mohammad Abdelwali182 kolokasi semacam ini
tidak bisa dipaksakan karena pasangan kata tersebut sudah merupakan suatu
kebiasaan183.
e. Kolokasi yang terjadi antara noun dengan noun
Kolokasi yang terjadi antara noun dengan noun dalam susunan kaidah
bahasa Arab lebih dikenal dengan istilah Idhâfat, yakni kata yang kedua berfungsi
sebagai penjelas bagi kata yang pertama, dan pada konstruksi tersebut
didalamnya mengandung huruf jar min (1), lam (‫م‬G‫)ا‬, fi (/0) ataupun huruf al-kaf
tasbih (‫ف‬2 ‫)ا‬184 contoh: F' ‫ ا‬p p ,; ‫ ا‬7 ,*N ‫ب‬$‫ آ‬,>‫ ار ذه‬7 dari contoh yang ada
bisa diklasifikasikan bahwa contoh yang pertama yang berbunyi >‫ ار ذه‬7
merupakan bentuk idhâfat yang ditakdirkan mengandung huruf jar 1 atau
selengkapnya bisa menjadi >‫ ذه‬1 ‫ ار‬7, dan contoh yang kedua yang berbunyi
* ‫ب‬$‫ آ‬pada contoh ini ditakdirkan mengandung huruf jar ‫م‬G‫ ا‬atau selengkapnya
menjadi *N$ ‫ب‬$‫ آ‬sedangkan contoh yang ketiga yang berbunyi ; ‫ ا‬7
ditakdirkan mengandung huruf jar /0 atau selengkapnya menjadi ; ‫ ا‬/0 7 dan
contoh yang keempat ditakdirkan mengandung huruf jar ‫ف‬2 ‫ ا‬atau selengkapnya
menjadi F' ‫ آ‬p p .
Kolokasi terbatas yang berbentuk idhâfat dalam surat al-Baqarah dapat
dilihat pada beberapa ayat seperti contoh konstruksi 185
‫ ت‬N ‫ﺡ*ر ا‬, kombinasi kata
‫ ﺡ*ر‬dengan ‫ ت‬N ‫ ا‬merupakan idhâfat yang ditakdirkan mengandung huruf jar Min
atau ungkapan lengkapnya menjadi ‫ ت‬N ‫ ا‬1‫ﺡ*ر‬. Kombinasi antara kata ‫ﺡ*ر‬
dengan ‫ ت‬N ‫ ا‬menurut Bolinger termasuk kedalam kolokasi terbatas karena dengan

181
Abdulmoneim Mahmoud, Collocation Errors Made Arab Learners of English,
Teachers Articles, Agustus 2005 hal-2
182
Mohammad Abdelwali adalah lahir di Irbid yordania utara, dia mendapat gelar BA
dalam bidang bahasa Inggris, kemudian mendapat gelar MA dari Universitas Yarmouk Yordania
pada bidang penerjemahan dan tafsir pada tahun 2002 kemudian mendapat gelar PhD pada tahun
2006 dari Universitas Purdue India.
183
Mohammad Abdelwali, The Loss in The Translation of the Qur`an, Translation
Journal, Volume 11 no.2 April 2007
184
Al-Ghulayaini, Musthafa, Jami` al-Durs al-`Arabiyyah, Dar al-Hadits, Kairo Mesir,
2005 hal-584
185
QS : 2 : 19

86
adanya kata ‫ ﺡ*ر‬sebagai kata kuncinya menuntut sebuah kata yang sudah dapat
diprediksi kemunculanya sebagai pendamping ketika akan dijadikan susunan
idhâfat186, seperti halnya kata ‫اب‬K ‫ ﺡ*ر ا‬1 > ‫ر ا‬S0, ataupun kata  : ‫ﺡ*ر ا‬.
f. Kolokasi yang terjadi antara verb dengan adverb
Kolokasi yang terjadi antara verb dengan adverb dalam gramatikal bahasa
Arab bisa diklasifikasikan menjadi beberapa istilah yaitu: maf`ul Muthlaq, maf`ul
li Ajlih, maf`ul fih, dan al-hal. Kata yang masuk kedalam kolokasi maf`ul muthlaq
adalah berupa masdar dari fi`l itu sendiri yang berfungsi sebagai penguat aktivitas
yang dikerjakan contoh: N2 T7  ‫وآ ا‬187 pada kalimat tersebut yang menjadi
maf`ul muthlaqnya adalah kata N2 yang berfungsi sebagai penguat “ Ta`kid “
kata ‫آ‬, disamping itu maf`ul muthlaq juga berfungsi sebagai penjelas jumlah
bilangan terhadap kegiatan yang dilakukakan contoh: 1$9‫ و‬9‫و‬, dan maf`ul
muthlaq juga berfungsi sebagai penjelas dari sifat kegiatan yang dilakukan
contoh: ‫ء‬: ‫ ا‬7 ‫ت‬7.
Dalam surat al-Baqarah yang termasuk bagian dari kolokasi terbatas dari
jenis maf`ul muthlaq contohnya adalah ‫ ا‬KD. dari konstruksi kata tersebut yang
menjadi maf`ul muthlaq adalah kata KD. sedangkan madlulnya adalah kata .......
g. kolokasi yang terjadi antara adjective dengan adverb
contoh: K >:. ,.. ‫ ب‬7 ;
ّ ‫ أ‬,K ‫'ود‬
h. kolokasi yang terjadi antara noun+preposition+noun
contoh: 29$ ‫ ا‬/0 ‫ ب‬7‫ أ‬,SY ‫ ا‬TO ‫اع‬. ,‫ار‬$7‫ ا‬TO S‫ ﺥ‬,‫ق‬S ‫ ا‬1 2D‫ﺵ‬,
i. kolokasi yang terjadi antara adjective dengan noun
contoh: ‫ق‬S+ ‫ ا‬F7‫ وا‬,‫ت‬Y+ ‫'د ا‬:$ , ‫ ﺵ'' ا‬,;‫ﺝ‬G‫ @ ا‬,‫ ا 'ارة‬0‫ و‬,6$ ‫ ا‬1Y‫ﺡ‬,
3. Kolokasi Yang Berupa Sinonim
Pada pembahasan kolokasi sinonim ini penulis perlu kiranya untuk
menampilkan prinsip-prinsip sinonim, hal ini penting untuk dikemukakan disini
dengan alasan sebagai pijakan untuk menganalisa kata yang terdapat pada surat al-
Baqarah yang termasuk bagian dari kolokasi, karena sinonim sendiri bagi

186
Dwight Bolinger, Aspects of Language, Harcout Brace Jovanovic, Inc, United State of
America, cet ke 2,1975 hal-101
187
QS : 4 : 164

87
kalangan linguis mengandung perdebatan yang cukup ketat sehingga penulis perlu
mengambil sikap sinonim yang seperti apa yang dimaksudkan dalam kolokasi ini.
Ada dua pendapat yang menyikapi tentang keberadaan sinonim dalam sebuah
bahasa. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa sinonim ini ada dan yang
kedua menyatakan bahwa sinonim itu tidak ada. Pendapat yang menyatakan
bahwa sinonim tidak ada beralasan bahwa walaupun kata itu mempunyai makna
yang sama namun disisi lain mempunyai perbedaan.
a. Tokoh linguis yang menolak sinonim
Salah satu diantara tokoh linguistik yang menolak adanya sinonim adalah
Abu Hilal al-`Askari188 yang menyatakan bahwa sinonim dalam bahasa Arab itu
tidak ada dan ia sendiri mengemukakan segala perbedaan yang muncul dari kata-
kata yang dianggap memiliki kesamaan dan kemiripan makna, hal ini dituangkan
dalam bukunya yang berjudul al-Furuq al-Lughawiyyah189. Buku ini secara tegas
menyatakan bahwa sinonim dalam bahasa Arab itu tidak ada sekaligus
menerangkan perbedaan-perbedaan dari masing-masing kata yang dianggap
bersinonim dan memiliki kemiripan makna. Dalam bukunya Abu Hilal
memberikan contoh perbedaan antara al-khayat dengan al-Namau190, perbedaan
antara al-khayat dengan al-ruh191, perbedaan antara al-Khayat dengan al-‘Isyu192.
Demikian juga dengan Akhmad Ibn al-Faris dalam kitabnya yang berjudul al-
Shahibi fi fiqh al-Lughah. Dia memberikan contoh dalam bab pemberian nama.

188
Nama lengkapnya adalah al-Hasan Ibn `Abd Allah ibn sahl ibn Sa`id ibn Yahya ibn
Mahran al-`Askari , dia lahir didaerah Askari yaitu daerah antara Bashrah dan paris maka namanya
dinisbahkan kesana, menurut Suyuthi dia meninggal kira-kira setelah tahun 400 H, Abu Hilal
pernah belajar ilmu Hadits, fiqh, Sastra dan Ilmu Bahasa akan tetapi dia seorang ahli sastra dan
syair.
189
Abu Hilal al-`Askari, al-Furuq fi al-Lughah, Dar al-Afaq al-Jadidah, Bairut Libanon,
1979 h. 14
190
Menurut Abu Hilal al-khayat cenderung pertumbuhan yang sifat berjumlah besar
seperti firman Allah SWT :   ': ‫  ا]رض‬1‫ﺡ‬f0 sedangkan al-Namau cenderung pertumbuhan
yang sifatnya sedikit demi sedikit yang terjadi pada tumbuhan bukan pada benda mati, sedangkan
kalau tumbuhnya pada benda mati dengan cara sedikit demi sedikit menggunakan istilah al-
Ziyadat.
191
Al-Ruh adalah sesuatu yang berhubungan dengan al-Khayat dan jika al-ruhnya hilang
maka al-khayat tetap ada namun tidak berfungsi lagi sedangkan al-khayat adalah zat yang nampak
yang menjadi sandaran al-ruh.
192
Abu Hilal juga membadingkan kata al-khayat dengan al-ma`isyat, menurutnya
ma`isyat adalah nama yang menjadikan sebab adanya al-khayat contoh minum, makan, tidur,
istirahat. Kegiatan-kegiatan itulah yang disebut dengan al-ma`isyat yang akan membawa kepada
kelangsungan al-khayat.

88
Pada bab tersebut ia menyebutkan bahwa pedang mempunyai banyak nama
seperti al-Syaif, al-Khusam ataupun al-Muhanad menurutnya pada dasarnya
nama-nama tersebut adalah nama yang satu yaitu al-Syaif sedangkan yang
lainnya merupakan nama pengganti ataupun sifatnya.
Ahli bahasa lain yang menolak adanya sinonim adalah Abu al-Baqa al-Kafwi
yang mengarang kitab al-Kuliyyat193. Dalam kitabnya ini ia menerangkan
perbedaan kata-kata yang dianggap bersinonim. Contohnya adalah perbedaan
antara itsm dan wizr, dzamb dan ma`shiyyah, Jarm, dzambu dan `ishyan.
Ibn Durstuwaih berkata, tidak mungkin kata af`ala dan fa`ala memiliki kata
makna yang sama, begitu juga pada dua buah kata yang berbeda, kecuali itu
berasal dari dialek yang berbeda. Adapun jika itu berasal dari dialek yang sama
maka sebuah kemustahilan dua kata memiliki makna yang sama. Sebagaimana
diyakini oleh sebagian besar ahli bahasa, hal itu disebabkan karena ketidak tahuan
tentang perbedaan diantara kedua kata tersebut. Selain tokoh linguis diatas masih
banyak lagi yang menyatakan bahwa sinonim secara mutlak itu tidak ada. Tokoh
yang berpendapat semacam ini adalah Abu `Abdillah Muhammad Ibn Ziad al-
`Arabi (w.231H), Abu al-`Abas Ahmad Ibn Yahya Tsa`lab (w.291 H), Abu
Muhammad `Abdullah Ibn Ja`far Ibn Durstuwiyyah (w.330 H) Abu `Ali al-Farisi
(w.377.H)194.
Pendapat yang senada juga sampaikan oleh linguis modern Mohammad
Abdelwali yang menyatakan bahwa kata Nazzala dengan kata Anzala tidak
mungkin memiliki makna yang sama. Dari masing-masing kata itu mempunyai
penempatan yang berbeda. Dia mencontoh perbedaan kedua kata tersebut pada
QS: al-Nisa: 3 yang brbunyi ;#z‫ رة وا‬$ ‫ل ا‬6#‫ ' وأ‬1 N '@   ‫ب‬$2 ‫ ا‬3O ‫ل‬6#
pada ayat tersebut walapun antara kata ‫ل‬6# dengan ‫ل‬6#‫ أ‬mempunyai makna yang
sama yaitu menurunkan akan tetapi dalam penerampannya berbeda. Kata ‫ل‬6#
menurut Abdelwali mengandung makna menurunkan dengan cara bertahap atau
berangsur-angsur, sedangkan ‫ل‬6#‫ أ‬mengandung makna menurunkan dengan cara

193
Ahmad Mukhtar Umar, `Ilmu al-Dalalah, Kuwait: Maktabah Dar al-Urubah, 1982
h.219
194194
Farid `Ibad Haidar, Ilmu al-Dilalah Dirasat Nadriyat wa Tatbiqiyat, maktabat al-
Adab, Kairo, Mesir, 2005 hal-122

89
sekaligus sebagaimana yang tercantum dalam ayat tersebut bahwa al-Qur`an turun
dengan cara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun, sedangkan injil dan
taurat diturunkan secara sekaligus.
Pendapat yang menyatakan menolak adanya sinonim tidak saja terjadi pada
linguis Arab saja namun juga pendapat yang senada muncul pada linguis Inggris
salah satu diantaranya adalah Bloomfield. Ia menyatakan bahwa sinonim mutlak
tidak pernah ada karena setiap bentuk kebahasaan pada dasarnya selalu memiliki
ketetapan dan kekhususan makna sehigga pembedaan fonem pun mengakibatkan
adanya perbedaan makna195.
Palmer juga termasuk linguis Inggris yang menyatakan menolak adanya
sinonim mutlak, dengan alasan tidak ada dua kata yang mempunyai kesamaan
makna dan terus menerus bisa dapat silih berganti untuk menggantikan posisi
kata yang bersinonim tersebut kecuali karena persamaan kata yang berasal dari
dialek yang berbeda196. Untuk menguji kebenaran bersinonimnya kata dengan
kata lain, Ullman mengatakan: ”Ubahlah struktur kalimat, gantilah satu sinonim
dengan yang lain yang dianggap memiliki kesamaan makna, maka keseluruhan
efek kalimat itu akan hancur karena kerancuan makna, dengan demikian diketahui
bahwa makna antara kata yang dianggap bersinonim adalah beda197. Seperti kata
wafat yang mempunyai sinonim dengan mati tidak akan begitu saja bisa saling
menggantikan. Pada kalimat seorang tokoh masyarakat telah wafat tadi malam
kalimat tersebut secara sosial dapat diterima, akan tetapi apabila subyek pada
kalimat tersebut diganti dengan tikus seekor tikus telah wafat tadi maka secara
sosial tidak akan diterima.
b. Tokoh linguis yang menerima sinonim
Tokoh linguis Arab yang menerima adanya sinonim diantaranya adalah Ibn
al-Khaluwaih (w.324) yang berkeyakinan bahwa sinonim itu benar adanya,
bahkan mereka bangga dengan sinonim bahasa Arab yang banyak sekali
jumlahnya. Ia menilai bahwa sinonim merupakan bukti keluasan dan kekayaan
195
Leonard Bloomfield, Language, Bahasa, diterjemahkan oleh Sutikno, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1995
196
F.R. Palmer, Semantics, Cambridge University Press, Cambridge, 1983
197
Stephen Ullmann, Semantics, An Introduction to the Science of Meaning, diadaptasi
oleh: Sumarsono dalam, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2007), h. 175.

90
kosa kata bahasa Arab198. Tokoh lain yang berpendapat adanya sinonim
diantarnya adalah al-Fairuz Abadi (w.817), ia menulis kamus al-mukhith yang
berisikan tentang al-Taradhuf . menurut Fairuz didalam kitabnya menyatakan
bahwa kata al-`asal (madu) mempunyai 80 nama199. Selain kedua tokoh diatas
yang menyatakan bahwa adanya sinonim adalah Abu al-Hasan `Ali Ibn `Isa al-
Rummani(w.384 H), dan al-Fakhr al-Razi(w.666 H).
Para lingus yang mendukung adanya sinonim dalam memperkuat
argumennya, bersandar pada riwayat hadits dan kisah yang diantarnaya adalah
ketika Abu Hurairah bersama Rasullah, jatuhlah sebilah pisau dari tangan
Rasullah. Kemudian Rasullah bersabda: ‫  أ هة‬12Y ‫ ا‬/+ # hai Abu Hurairah,
ambilkan al-sikkin. Abu Hurairah menoleh kekiri dan kekanan karena tidak faham
dengan maksud Rasullah. Setelah tiga kali Rasullah mengulang kalimat tersebut,
Abu Hurairah mencoba menjawab: ' 'N ‫ ا‬apakah yang Rasullah maksud al-
Mudyah, Rasullah menjawab: ya ! riwayat ini menunjukan bahwa al-sikkin dan
al-mudyah adalah sinonim200.
Alasan kedua dalam memperkuat argumennya mereka menggunakan sebuah
kisah yang diriwayatkan oleh Zaid bin Abdullah Bin Darim201 yang mendapat
cerita dari kepala suku Himyar yang bercerita bahwa dulu ada seorang laki-laki
yang datang kesalah satu kepala suku Himyar kemudian kepala suku itu
mengajaknya ketempat berburu, setelah itu ketua suku mengatkan kepadanya >^

198
Khaluwaih sendiri berceritera di majlis syaifu al-Daulah bahwa dirinya hafal 500 nama
pedang. Dia sendiri menyusun kitab al-Taradhuf yang berisikan salah satunya adalah nama-nama
ular dan nama-nama harimau.
199
Nama-nama madu yang dimaksud adalah: ،>ِ%  ‫ وا‬،ََ %
 ‫ وا‬،‫ْب‬%
 ‫ وا‬،;َY:َ ‫ا‬
،ْšv ‫ وا‬،َْ ّ ‫ وا‬،‫ذوَاب‬z‫ وا‬،ُ‫ وا]رْي‬،‫ وا َ رْس‬،gْ ‫ وا‬،‫ُ ت‬N ْ $ ‫ وا‬،ِN
َ ‫ وا‬،‫ وا *وْب‬،‫ ْب‬m  ‫وا‬
،'ْm £ ‫ وا‬،'ْm ‫ وا‬،‫َر‬m9ْ $َ Y
ْ Nُ ‫ وا‬،‫ر‬m9$7' ‫ وا‬،َْS v ‫ وا‬،‫ام‬S ‫ وا‬،‫م‬vS ‫ْم وا‬S  ‫ وا‬،َِY+ ‫ وا‬،;ِY+ ‫وا‬
،‫ ْت‬+Y v ‫ وا‬،‫ ت‬£+Y  ‫ وا‬،Dَ ‫ وا‬،vDِ ‫ وا‬،ّ1S  ‫ وا‬،1£S ‫ وا‬،ِ‫ذ‬N ‫ وا‬،ّ‫ ِذي‬N ‫ وا‬،‫ُ ان‬9+ْ :ُ ‫ وا‬،َ0َ9:ُ ‫ وا‬،‫َان‬ْ Nِ ‫وا‬
‫ ورُﺽب‬،‫ﺽَب‬£ ‫ وا‬،ِ; ْ + ‫ب ا‬ ُ َ: ُ‫ و‬،‫ْج‬6Nِ ‫ وا‬،ُ‫ْج‬6Nَ ‫ وا‬،>ِD@ ‫ وا‬،£‫]س‬ َ ‫ وا‬،‫َب‬Kَ ‫ وا‬،‫اب‬m ‫ وا‬،‫ ة‬+Y ‫وا‬
،ُ¤0ِ  ‫ وا‬،ُ‫ َاب‬e ‫ وا‬،;ْ+ ‫ وُج ا‬،‫ْ ى‬Y  ‫ وا‬،‫ ْر‬m ‫ وا‬،#6 ‫ ُء ا‬/َ‫ و‬،;+ ‫ و ِر ْ ُ ا‬،;+ ‫ ا‬T+َ‫ وﺝ‬،;ْ+ ‫ا‬
،‫ ْ َان‬Y£ ‫ وا‬،#‫ْ ا‬Y£ ‫ وا‬،'ِ:ْ َ ‫ وا‬،/ِ97 ُ ْ2ُ ‫ وا‬، ِY ‫ وا‬،‫ وا  َاص‬،#N ‫ وا‬،‫ء‬9vm ‫ وا‬،;ْ%  ‫ وا‬،1]‫وا‬
،£ A
ُ ‫ وا‬،ِA ‫ وا‬،‫ء‬Dْ@  ‫ وا‬،£C ُ ‫ وا‬،N@ ‫ وا‬،‫و‬m ‫ وا‬،‫و‬Y ‫ وا‬،َ0£Y ‫ وا‬،‫ف‬£Y ‫ وا‬،Tَ+ َ ‫ وا‬،ُV‫ﺥ‬ْ  ‫وا‬
،;+ ‫ وا‬،ُDِ 2ْ :ِ ‫ وا‬،>َ َ ‫ وا‬،>N ‫ وا‬،£žNَ ‫ وا‬،‫ُ ت‬N@  ‫ وا‬،‫ﺡق‬ َ £ ‫ وا‬، ِ‫ وا ﺡ‬،‫'َى‬Y  ‫ وا‬،ž% ‫وا‬
.#D.]‫وا‬
200
Akhmad Mukhtar Umar, `Ilm al-Dalalah, Maktabah Dar al-`Urubah, Kuwait, 1982
h.216
201
Abû al-Husîn Ahmad bin Zakariyâ Ibn Fâris, al-ὶâhibî fî Fiqh al-Lughat, Tahqîq:
Syihabuddin Abu ‘Amr, Beirut: Dar al-Fikr, 1999

91
yang maksudnya duduklah, kemudian seorang laki-laki tersebut menjawab, baik
tuan saya akan patuh kepadamu, kemudian ia meloncat dari bukit tempat berburu
itu dan terluka cukup parah. Lalu kepala suku itu bertanya, apa yang kamu
lakukan, aku kemudian diberitahukan tentang kesalah pahaman orang itu. Dengan
kejadian diatas, kepala suku itu memerintahkan untuk siapa saja yang memasuki
daerah Himyar, sebaiknya mempelajari bahasa Himyariyyah sebelumnya.
Ketiga adalah surat-surat Nabi saw. Kepada beberapa suku yang
menggunakan kata-kata asing bagi kaumnya. Karena kata-kata itu sebetulnya
terdapat pula dalam dialek suku Quraisy. Dengan demikian kata-kata itu
merupakan sinonim. Salah satunya adalah surat Nabi saw. Kepada wail bin Hajar
salah satu kepala suku di Himyar yang berbunyi: >mN ‫  وا]رواع ا‬D: ‫ ا]ل ا‬/ ‫“ إ‬
kepada para ketua suku yang mulia, kekuasaanya langgeng dan cerdas.
Dari dua pendapat diatas yaitu ada yang menerima keberadaan sinonim dan
ada yang menolak adanya sinonim maka dapat disimpulkan bahwa kedua
kelompok tersebut masing-masing mempunyai pendapat diantaranya adalah:
1. Yang mengakui adanya sinonim menyatakan bahwa diperlukannya sebuah
sinonim dalan suatu bahasa karena beberapa kata dalam bahasa akan saling
menafsirkan satu sama lain, para ahli bahasa sepakat untuk menafsirkan kata
al-lub maka mereka menafsirkannya dengan menggunakan kata al-`Aql.
2. Sedangkan bagi yang menolak adanya sinonim mereka beralasan bahwa
walaupun kata-kata itu ada yang memiliki makna yang sama namun dalam
penerapan dan penggunaan kata tersebut mempunyai perbedaan. Ketepatan
dalam penggunaan kata yang bersinonim dalam sebuah kalimat dalam kajian
bahasa modern yang dipelopori oleh Prof. Inggris J.R. Firth, dia
mengistilahkan dengan kolokasi.
3. Sinonim menurut linguis modernPara ahli bahasa modern bersepakat bahwa
untuk semua bahasa manusia didunia mempunyai beberapa sinonim akan tetapi
mereka syarat-syarat yang harus terpenuhi, menurut Haidar syarat-syarat yang
harus dipenuhi antara lain adalah202:

202
Farîd ‘Aud Haidar, ‘Ilm al-Dilâlah Dirâsah Nazhriyyah wa Tathbîq, Mesir: Maktabah
al-Nahdhah al-Misriyyah, 1999

92
a. Adanya kesamaan yang sempurna didalam maknanya minimal kesamaan itu
dapat diketahui dan dimengerti oleh masyarakat umum tempat bahasa itu
berkembang dalam suatu wilayah. Seperti kata jalasa dengan Qa`ada orang
Arab dapat memahami perbedaan antara kedua kata tersebut walaupun kata
tersebut memiliki makna yang berdekatan. Kasus yang semacam ini menurut
kesepakatan linguis modern ini bukanlah sinonim.
b. Adanya kesamaan tempat kebahasaanya yaitu dua kata tersebut harus berasal
dari satu dialek. Yang mana seseroang dapat dengan leluasa menggunakan
kedua kata itu dalam makna yang sama serta dalam saat yang bersamaan ia
tidak mengetahui perbedaan diantara keduanya kecuali dalam batas-batas yang
wajar. Tidak dikatakan sinonim antara kata sleep dengan tidur ataupun dengan
‫ م‬+ ‫ ا‬karena ketiga kata tersebut berbeda tempat kebahasaanya.
c. Adanya kesamaan masa atau waktu penggunaan kata tersebut, karena
perkembangan jaman sudah pasti membawa perkembangan makna baru. Untuk
melihat makna kata dari waktu dan jamannya diperlukan penelitian dengan
menggunakan metodologi sinkronis sedangkan untuk mengetahui
perkembangan makna arti kurun waktu sampai kurun waktu tertentu
menggunakan metodologi penelitian diakronis.
d. Salah satu kata yang bersinonim bukanlah akibat dari perkembangan bunyi
bahasa dari kata yang lain. Seperti kata Jatsl dan jafl yang bermakna naml.
Kata Jatsl merupakan hasil dari perubaan atau perkembangan bahasa yang
pada dasarnya kata tersebut merupakan perubahan dari kata naml atau Jafl.
Dalam bahasa Indonesia dapat dicontohkan kata belut, welut dan walut. Ketiga
kata tersebut merupakan sebuah nama binatang yang hidup di air. Dari masing-
masing kata tersebut mempunyai makna yang sama hanya berbeeda dalam
pengucapannya saja, belut adalah bentuk ungkapan dalam bahasa Indonesia
sedangkan welut dan walut merupakan bahasa daerah yang masing-masing
berasal dari bahasa jawa dan bahasa Banjarmasin.
Dari beberapa pendapat tentang sinonim yang dikemukakan oleh berbagai
tokoh bahasa maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pada dasarnya
sinonim itu ada hanya perlu ada syarat-syarat sebagaimana yang telah dijelaskan

93
diatas agar batasan-batasan sinonim itu jelas, dan juga walaupun sinonim ada
namun dalam banyak hal tidak selamanya bisa menggantikan baik secara makna
maupun secara strukturnya. Sebagaimana contoh dalam bahasa Indonesia kata
melihat mempunyai banyak sinonim diantaranya adalah kata melirik, mengintip
dan mengawasi. Dari ketiga kata tersebut walupun saling bersinonim namun tidak
bisa saling menggantikan dalam penerapan disebuah kalimat contoh: Bayi yang
baru lahir sudah bisa melihat benda dengan jarak 40cm. Dari kalimat tersebut
akan terasa janggal jika kata melihat diganti dengan kata sinonimnya seperti kata
melirik menjadi Bayi yang baru lahir sudah bisa melirik benda dengan jarak
40cm. Kalimat tersebut secara stuktur benar akan tetapi secara makna tidak dapat
diterima.
Aplikasi sinonim dalam pembahasan kolokasi ini dapat dibagi menjadi
dua:
Pertama: Sinonim yang dimaksud disini adalah kata yang mempunyai
makna yang dekat atau hampir sama yang dalam pemakaiannya sewaktu-waktu
bisa saling menggantikan dan dilain waktu tidak bisa saling menggantikan contoh
dalam bahasa Indonesia kata raya dengan kata besar203. Pada satu sisi kedua kata
ini dapat saling menggantikan namun disisi yang lain tidak bisa saling
menggantikan bahkan jika kata tersebut ditukar akan terasa janggal maknanya
contoh ini dapat dilihat pada kalimat “Jakarta merupakan kota terbesar di
Indonesia”. Kata terbesar pada kalimat tersebut tidak bisa digantikan dengan kata
teraya. Berbeda dengan kalimat berikut Setiap hari saya harus melewati jalan
raya. Kata raya dalam kalimat tersebut bisa digantikan dengan kata besar.
Bentuk kolokasi model ini dalam surat al-Baqarah dapat dilihat pada ayat
yang kedua204. Pada ayat kedua terdapat kata >‫ر‬G yang menurut Ibn Faris kata
tersebut merupakan sinonim dari kata 3‫ﺵ‬G, oleh karena itu kedua kata ini tidak
bisa saling menggantikan satu sama lain. Sebagaimana diungkapakan oleh

203
J.D. Parera, Teori Semantik, penerbit Erlangga, Jakarta, cet ke 2, 2004 hal-67 lihat
pula bukunya Jaya Sudarma, T. Fatimah, Semantik: Pernyataan kearah ilmu makna, Refika
Aditma, Bandung, 1999
204
1$N ‫ ه'ى‬0 >‫ر‬G ‫ب‬$2 ‫ ا‬3 ‫ذ‬

94
Hendrikus kata >‫ر‬G tidak bersinonim dengan kata 3‫ﺵ‬G205. Kedua kata ini
menurutnya masing-masing mempunyai perbedaan makna, oleh karenanya dari
masing-masing kata tersebut tidak dapat saling menggantikan.
Menurut penulis kedua kata tersebut merupakan sinonim akan tetapi dalam
penggunaannya ada kekhasnya masing-masing. Walaupun menurut Ibrahim Anis
kata >‫ر‬G dengan 3‫ﺵ‬G yang muncul dalam al-Qur`an masing-masing sebanyak
tujuh belas kali dan lima belas kali dalam berbagai surat dapat saling
menggantikan. Anis juga berpendapat bahwa kedua kata tersebut adalah kata yang
sepadan dan saling berterimaan dalam semua ayat206. Dengan demikian Anis
mengganggap kedua kata tersebut merupakan sinonim mutlak.
Namun kalau dicermati secara seksama kata 3‫ ﺵ‬G mengandung keraguan
yang harus memilih seperti yang tertera pada surat Ibrahim ayat 10 yang berbunyi:
‫رْض‬fَ ْ ‫ت وَا‬
ِ ‫َوَا‬NY
 ‫ ِ ا‬X
ِ َ0 3
¥‫ﺵ‬
َ ِ  ‫ ا‬/ِ0‫ُ ُْ َأ‬7
ُ ‫ ََ ْ ُر‬pada ayat tersebut ada tawaran dari para
Rosul yang harus dijawab, adakah keraguan atau tidak jawabanya mungkin ragu
mungkin juga tidak walaupun sebenarnya pertanyaan yang ada pada ayat tersebut
bukan merupakan pertanyaan yang harus dijawab, tidak lain pertanyaannya hanya
sekedar penguat saja. Sebagai perbandingan dapat dilihat juga ayat yang memuat
kata >‫ر‬G : ِ ِ0 >
َ ْ ‫س ِ َ ْ ٍم َ َر‬
ِ + ‫ ا‬Fُ ِ َ‫ ﺝ‬3
َ #‫َ ِإ‬+‫ َر‬pada ayat tersebut pengungkapan kata َ
>
َ ْ ‫ َر‬tidak menampakan adanya pilihan yang arus dilalui.
Sinonim yang mengharuskan adanya kolokasi terbatas selanjutnya adalah
kata # $ yang terdapat pada ayat yang ke 121. Pada ayat tersebut terdapat kata
ِ ِ ‫ﺡ  َِ َو‬
َ ُ #َ ُ$ْ َ , kata yang bergaris bawah masing-masing mempunyai sinonim
dengan kata ‫ أ‬dan ‫أة‬, namun sinonim dari kedua kata tersebut dari satu sisi bisa
saling menggantikan namun disisi yang lain tidak bisa saling menggantikan.
Menurut Hendrikus perbedaan kedua kata ini adalah kata ‫ أ‬ataupun kata ‫أة‬
mempunyai fungsi yang lebih umum dalam penggungkapan sebuah kalimat207.

205
Kata >‫ر‬G mempunyai makna tidak ada keraguan yang berhubungan dengan
keyakinan, sedangkan kata 3‫ ﺵ‬G berhubungan dengan kebimbangan dalam menentukan salah satu
pilihan karena ada beberapa pilihan.
206
Ibrâhîm Anîs, fî al-lahjât al-`Arabiyyah, Maktabah al-Anjlul, Mesir, 1965 h.181
207
Hendrikus, Faraid al-Lughah fi al-Furuq, h.46

95
Sedangkan kata $ atau ‫ وة‬mempuyai fungsi yang lebih spesifik208. Kata ‫وة‬
menurut Hendrikus hanya bisa digunakan untuk membaca kitab-kitab suci
sedangkan kata ‫ أة‬berfungsi untuk membaca segala yang bisa dibaca termasuk
membaca alam seperti pada ayat pertama sutat al-`Alaq ‫“ اأ‬bacalah” .
Perbedaan antara kata ‫ وة‬dengan kata ‫ أة‬inilah yang akan memunculkan
kolokasi terbatas karena kata pada ungkapan ِ‫ﺡ  َِ َو‬
َ ُ #َ ُْ َ tidak bisa diganti
menjadi ‫ﺡ  أ‬
َ ُ #‫أ‬, konstruksi semacam ini bagi non Arab mungkin terasa
biasa naun bagai orang Arab ungkpan semacam ini menjadi janggal.
Selanjutnya Kolokasi terikat yang muncul karena adanya sinonim yang
mempunyai arti sama namun dalam pemakaianya berbeda terdapat pada ayat yang
ke 24. Pada ayat tersebut terdapat ungkapan yang berbunyi ‫َ َر ُة‬
ِ ْ ‫س وَا‬
ُ + ‫َوُ ُدهَ ا‬
kata َ‫ َوُ ُده‬mempunyai sinonim dengan kata >S‫ ﺡ‬yang artinya kayu bakar. Para
pakar bahasa Arab membedakan kedua kata ini. Menurut Ibrahim kata >S‫ﺡ‬
merupakan kayu bakar yang berasal dari kayu ataupun pohon yang kering,
sedangkan ‫ َوُ د‬adalah api nyala tanpa adanya kayu bakar dari kayu ataupun
pohon209. Maka pada ayat yang ke 24 tidak menggunakan kata >S‫ ﺡ‬akan tetapi
menggunakan kata ‫ َوُ د‬karena bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu yang
bukan terbiasa menjadi bahan bakar.
Menurut Suyuthi ‫ َوُ د‬adalah api yang menyala sangat panas sekali yang
tidak sama dengan api dunia yang bahan bakarnya berasal dari kayu210. Lebih
lanjut Suyuthi mengatakan bahwa yang dimaksud bahan bakarnya dari batu
adalah berhala yang disembah orang kafir termasuk menjadi bahan bakarnya juga.
Sedangkan menurut Hendrikus membedakan antara kata ‫ َوُ د‬dengan kata
>S‫ ﺡ‬dilihat dari segi kekhususan dalam pemakaian kata >S‫ﺡ‬. Menurutnya kata
‫ و د‬adalah segala yang menjadi sebab munculnya api, tidak memandang itu kayu
ataupun benda yang lain. Sedangkan >S‫ ﺡ‬adalah munculnya api dari kayu211.

208
Menurut Hendrikus kata ‫ وة‬punya makna membaca yang disertai dengan
pemahaman dan pendalaman terhadap materi yang sedang dibacanya. Sedangkan ‫ أة‬mengandung
makna membaca hanya selintas tanpa harus memahaminya.
209
Ibrahim Syams al-Din, Marja` al-Thulab fi al-Insya, dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, Bairut
Libanon, 2000 h.122
210
Suyuthi, Tafsir Jalalain, h.30
211
Hendrikus, Faraid al-Lughah fi al-Furuq, h. 69

96
Dengan demikian pada hakekatnya ketiga tokoh diatas sependapat dengan
perbedaan kedua kata ini.
Selanjutnya kata yang merupakan kolokasi terbatas yang berupa sinonim
adalah kata A ‫ ا‬. Kata ini terdapat pada ayat yang ke 187 1
َ ِ L
ُ َ ْ fَ ْ ‫ ا‬
ُ ْ A
َ ْ ‫ ُ ا‬2ُ َ 1
َ Dَ $َ َ
‫ َ ِد‬7
ْ fَ ْ ‫ ا‬
ِ ْ A
َ ْ ‫ ا‬kata A ‫ ا‬bersinonim dengan kata YN ‫ا‬, kedua kata ini mempunyai arti
benang namun masing-masing mempunyai kekhususan dalam pemakaian. A ‫ا‬
adalah benang yang digunakan untuk menjahit mutiara atau lainnya termasuk
pakaian sedangkan YN ‫ ا‬berarti benang yang digunakan untuk menjahit khusus
mutiara yang berkilauan. Pada ayat tersebut tidak menggunakan kata YN ‫ ا‬karena
dalam keadaan apapun mutiara akan tetap kelihatan212. Oleh karena itu tidak bisa
membedakan antara sudah terang dengan masih gelap. Sedangkan maksud dari
ungkapan pada ayat tersebut adalah sebagai tanda bahwa nampak benang putih
dan hitam sebagai permulaan dan selesainya puasa.
Dari uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa sinonim secara mutlak
tidak ada karena dari masing-masing kata mempunyai penempatan yang tidak
selamanya bisa menggantikan posisi kata yang menjadi sinonimnya. Walaupun
dalam waktu yang lain kata-kata yang bersinonim bisa slaing menggantikan dalam
suatu ungkapan. Uraian diatas merupakan contoh sebagian kecil kolokasi terbatas
yang berasal dari kata yang mempunyai kedekatan makna.
Kedua: Sinonim yang muncul secara beriringan dalam suatu kalimat.
Menurut Ullman kolokasi sinonim yang muncul secara beriringan berfungsi
sebagai penjelas dan penegas makna213. Kolokasi semacam ini sering dijumpai
pada kalimat retorika dan sastra seperti contoh yang tercantum pada puisi milik
Chairil Anwar: Pecah Pencar, Legah Lapang, Sama Gandengan, Ria Bahagia,
ataupun kata Mandi Basahkan Diri214.

212
Hendrikus, Faraid al-Lughah fi al-Furuq, h. 130
213
Stephen Ullman, Semantic an Intoduction to The Science of Meaning, Basil Blackwall,
Oxford, 1977.
214
Gejala kolokasi sinonim yang muncul secara bersamaan disamping dipakai oleh
kalangan sastrawan juga dipakai dalam percakapan sehari-hari contohnya: aman sejahtera, arif
bijaksana, basah kuyup, cantik jelita, cerah ceria, gagah berani, gelap gulilta, indah jelita, kering
kerontang, kosong melompong, lemah gemulai, malang melintang, muda belia, pecah belah, siap
siaga, siap sedia, sunyi senyap, terang benderang.

97
Dalam surat al-Baqarah kolokasi yang berupa sinonim yang muncul secara
beriringan dapat dilihat pada beberapa ayat diantaranya terdapat pada ayat 19215,
pada ayat tersebut terdapat dua kata yang bersinonim yang muncul secara
bersamaan yaitu kata ٌ‫'ٌ َو َْق‬O
ْ ‫( َر‬petir dan kilat) kedua kata ini bersinonim. Arti
kedua kata ini sebenarnya tidak sama, namun kedua kata ini identik dalam
kemunculan dalam suatu ungkapan, kedua kata ini saling menguatkan dan saling
menjelaskan untuk suatu peristiwa yang dahsyat.
Dalam beberapa ungkapan bahasa Arab kedua kata tersebut saling
berdampingan satu sama lain seperti contoh yang diungkapkan oleh Rasulullah
SAW.
# S ‫ ﺥرج‬1 ‫ ا ت ى‬0 ‫ ت‬D ‫ آ‬# S ‫  م‬TO ‫ "وأ‬:‫ ل‬." O‫ ا‬.‫' وق و‬O‫œذا ر‬0
‫' وق‬O‫ ذا ر‬7 e t‫@ر ر‬OG‫ا‬
šm+ /0 N#] ‫' وق‬O‫ ر‬0 ‫وآ*ا‬
O‫ ا @ ا‬1 ‫' وق وﺥ ف‬O‫ ر‬F NR  /0 ‫ء‬NY ‫ أﺥ* ا‬1 ‫ول‬
Pasangan sinonim yang muncul secara berdampingan dalam surat al-
Baqarah adalah kata 'O dengan kata e kedua kata ini mempunyai arti yang
sama yaitu perjanjian. Dalam beberapa ungkapan bahasa Arab kedua kata ini
sering muncul secara berdampingan contoh:
1.   V
ِ َ ْ 0َ D ‫َة‬N^ 1 e‫ َ' ا و‬O TSO‫ أ‬1N0
2. e‫' ا و‬O 07‫ أ‬C2# 1 ‫ رة‬Y ‫ ا‬o*‫ أول ه‬/0 ‫'أ *آه‬$‫ ا‬1* ‫ا‬
3. o': 1‫ و‬T7  'O TO + ‫ق‬eN  ^‫ وا‬1 ;‫آ‬
4. ‫ق‬e‫' و‬O 1 ‫  ﺵء‬o SOf0
5. 2$# G‫ أ‬e‫' ا و‬O 2 ‫و‬
Pasangan sinonim berikutnya yang sering muncul secara bersamaan adalah
kata ‫ ﺥ ف‬dengan kata ‫ ن‬#6A. Kedua kata ini mempunyai arti yang berdekatan
yaitu takut dan sedih. Secara makna tidak terlalu dekat akan tetapi secara konteks
kata takut dengan sedih merupakan keidentikan dari kedua kata ini, kalau ada
takut akan muncul rasa sedih, rasa sedih muncul karena ada rasa takut. Pasangan

215
‫ﻕ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﺑ‬‫ﻭ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻪ ﹸﻇﹸﻠﻤ‬ ‫ﻴ‬‫ﺎ ِﺀ ﻓ‬‫ﺴﻤ‬
 ‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺐ‬
‫ﻴ ﹴ‬‫ﺼ‬
 ‫ﻭ ﹶﻛ‬ ‫ﹶﺃ‬

98
kedua kata ini muncul 6 kali dalam surat al-Baqarah dalam ungkapan yang sama
yaitu ‫ ن‬#6 ‫ ه‬G‫ و‬O ‫ ﺥ ف‬0
Kata yang bersinonim selanjutnya adalah kata ‫ ا‬9.‫ اوا‬9O0. Menurut
Hendrikus kedua kata ini bersinonim namun terdapat perbedaan. Menurutnya
perbedaan dari kedua kata ini terletak pada kedalaman ketika memberikan ma`af.
Kata ‫ ا‬9.‫ ا‬mempunyai makna lebih dalam dari pada ‫ ا‬9O0 216
karena terkadang
ada orang yang memberikan ‫ ا‬9O0 tetapi tidak melakukan ‫ ا‬9.‫ ا‬sedangkan kalau
melakukan ‫ ا‬9.‫ا‬ sudah pasti melakukan ‫ ا‬9O0 ketersandingan dua kata ini
terdapat pada ayat yang ke 109217.
Gejala kolokasi model sinonim yang muncul secara bersamaan hampir
bisa dikatakan ada dalam seluruh bahasa termasuk dalam al-Qur`an. Menurut
penulis kemunculan kolokasi model ini mempunyai dampak pada suatu ungkapan.
Yang pertama berfungsi untuk memperindah suatu bahasa, kedua mempertegas
suatu dan memperjelas suatu makna.
4. Kolokasi Yang Berupa Antonim
Palmer218 menggunakan istilah antonim untuk menerangkan pertentangan
makna. Ia membagi antonim kedalam empat macam yaitu: antonimi contohnya
panas dingin, tua-muda, komplementer contohnya, maskulin-feminim, relasional,
membeli-menjual, dan temporal contohnya meminta-memberi. Sedangkan tokoh
linguistik lain yang berbicara tentang antonim adalah Aitchison.
Aitchison merumuskan antonim sebagai pasangan yang menunjukan
pertentangan, pertentangan yang dimaksudkan oleh Aitchison adalah untuk
menunjukan penyangkalan terhadap yang lain seperti contoh jika tidak mati
berarti hidup dan jika tidak hidup berarti mati219.
Leech mengatakan bahwa kata woman bukan merupakan antonim akan
tetapi merupakan pertelingkahan dari kata man dan girl. Leech membagi antonim

216
Hendrikus, Faraid al-Lughah fi al-Furuq,h.159
217
oِ ِ ْ fَِ ُ  ‫ ا‬/
َ ِ ْfَ T$‫ﺡ‬
َ ‫ُ ا‬9َ .
ْ ‫ُ ا وَا‬9O
ْ َ0
218
Palmer, Semantik, Cambridge University Press, Cambridge, 1983 h. 83
219
Aitchson, Word .h.95

99
menjadi antonim taksonomi biner, taksonomi ganda, oposisi polar, oposisi relasi,
oposisi inverse, dan oposisi hierarki220.
Lyons memberikan telaah terhadap relasi antonim dengan membagi
menjadi tiga macam yaitu keantoniman, pertentangan komplementer dan
konversif.

Para linguis Arab klasik terbilang beragam dalam melihat makna al-
Taὶâd/antonim. Sebagain ada yang mengingkari adanya Taὶâd/antonim dan
sebagian lagi ada yang mengakui adanya Taὶâd/antonim.
Diantara tokoh yang mengingkari adanya Taὶâd/antonim adalah Tsa`lab
(w.291)221 menurutnya dalam bahasa Arab tidak ada Taὶâd/antonim, jika
Taὶâd/antonim itu ada maka suatu yang mustahil, karena satu kata yang sama
yang berasal dari timabangan yang berbeda akan menghasilkan arti yang
berbeda, ia mencontohkan kata ‫زة‬9 yang berasal dari ٍِ‫ ّز‬0 mempunyai arti
orang mati, sedangkan kata ‫زة‬9 yang berasal dari ‫ ز‬9 ‫ ا‬mempunyai arti yang
optimis seperti kesalamatan dll. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh
linguis Arab klasik. Mereka adalah Ibn Darastumiyah, al-Qali, Ibn Duraid, al-
Jawaliqi dan Ibn Faris.
Ibn Darastawiyah memberikan contoh kata ‫ ء‬+ ‫ ا‬sebagian kaum mengatakan
bahwa kata tersebut mempunyai arti bintang terbit dan sebagian kaum lagi
mengartikan bintang terbenam, maka menurut Darustuwiyah hal ini tidak
mungkin bisa berlawanan222. Al-Qali memberi contoh kata @ ‫ا‬, menurutnya
kata ini sendiri mengandung pertentangan makna yakni, pergantian waktu dari
malam ke siang dan dari siang ke malam, maka menurutnya tidak mungkin kata
ini memmpunyai perlawanan kata.
Sementara tokoh linguis Arab yang menerima adanya Taὶâd/antonim adalah
Ibn al-Anbari. Ia menyatakan bahwa penggunaan Taὶâd/antonim berfungsi
untuk makna-makna yang terlalu sastrawi dan menghindari kesalahan.

220
Leech, Semantics, h.99
221
Al-Suyuthi, al-Muzhir fi al `Ulum al-Luhat wa Anwa`iha, h. 120
222
Farid `Aud khaidar, `Ilmu al-Dilalah Dirasat Nadzriyat wa Tathbiqiyat, Maktabat al-
Adab, Kairo, 2005 h.146

100
Taὶâd/antonims lebih sering digunakan ketika percakapan dan tidak dipakai
ketika mengungkapkan bahasa-bahasa yang sastrawi.
Tokoh yang sependapat dengan Ibn al-Anbari adalah al-Mubarrid (w. 285 H)
dan al-Rummânî (w. 384 H) al-Taὶâd adalah “lafal yang berbeda karena
perbedaan motivasi makna”.223 al-Mubarrid memberi contoh: ،>‫ وذه‬،g‫ وﺝ‬،‫م‬
‫وﺝء‬. al-Suyûṭî mengatakan bahwa antonim merupakan bagian dari homonim;
yakni “dua kata yang homonim dalam aspek kontratradiktif makna maupun
relasi makna.”224 Aspek pertama, seperti kata LA ‫‘ ا‬al-khaiὶ’ (haid) dan S ‫ا‬
‘al-ὶuὶr’ (suci); keduanya menunjukkan makna ‫‘ ا ء‬al-quru`’, namun tidak
akan terjadi pada waktu bersamaan. Sedangkan aspek kedua, seperti kata ‫م‬: ‫ا‬
‘al-‘âmm’ (umum) dan ‫ص‬A ‫ا‬ ‘al-khâὶὶ’ (khusus). Contoh kata yang
berantonim antara lain; ;‫‘ ا ﺝ‬al-rajul’ (laki-laki) dengan ‫أة‬N ‫‘ ا‬al-Mar`ah’
(perempuan); ;N ‫‘ ا‬al-jamal’ (unta jantan) dengan + ‫‘ ا‬al-nâqah’ (unta
betina); ‫‘ ا  م‬al-yaum’ (siang) dengan  ‫‘ ا‬al-lailaὶ’ (malam); ‫‘ م‬qâma’
(berdiri) dengan ': ‘qa’ada’ duduk; 2 ‘takallama’ (berbicara) dengan 27
‘sakata’ (diam).225 Dan diantara fungsi antonim adalah untuk menjelaskan
pemaknaan suatu kata dengan kata yang berlawanan arti dari kata yang
dijelaskan itu.
Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa yang menyatakan ketidak
adaanya Taὶâd/antonim bisa terjadi pada beberapa kata yang memiliki makna
ganda yang saling berlawanan dan untuk mencari Taὶâd/antonim tidak
memungkinkan lagi, akan tetapi kata yang lain masih memungikan adanya
Taὶâd/antonim. Oleh karena itu penulis sependapat dengan kelompok yang
mengatakan bahwa Taὶâd/antonim itu ada. Dengan alasan bagaiman dengan
mengatakan Taὶâd/antonim dari kata yang hanya mempunyai makan satu
contohnya kata tinggi tentu rendah atau pendek.

223
al-Mubarrid, al-Muqtaὶib, h. 11
224
Lihat: al-Suyûṭî, al-Muzὶir, h. 387
225
Lihat: al-Suyûṭî, al-Muzὶir, h. 389

101
Dapat disimpulkan juga bahwa Taὶâd/antonim dapat diklasifikasikan menjadi
empat macam yaitu: Taὶâd/antonim kembar, Taὶâd/antonim kebalikan dan
Taὶâd/antonim bertingkat.
a. Taὶâd/antonim kembar biasanya perlawanan kata yang terdiri dari dua kata
saja contoh: pria-wanita, jantan-betina, perjaka perawan.
b. Taὶâd/antonim kebalikan merupakan dua kata yang mengandung unsur
perlawanan. Contoh: pulang-pergi, guru murid, utara-selatan.
c. Taὶâd/antonim bertingkat merupakan perlawanan dua kata yang menunkan
derajat. Contoh besar-kecil, tinggi-rendah, mahal-murah.
d. Taὶâd/antonim bersaudara merupakan hubungan antara kata-kata dalam
sistem klasifikasi. Contoh: red ‘merah’ dan blue ‘biru’.
Taὶâd/antonim sering muncul dalam suatu ungkapan. Kemunculan
pasangan kata yang saling berlawanan ini bisa diperkirakan. Sehingga akan
memungkinkan bagi pembaca ataupun bagi pendengar akan secara cepat dapat
menangkap makna yang terkandung dalam suatu kaliamat. Kemunculan yang bisa
dipredikisakn tersebut dinamakan dengan kolokasi antonim226. Contoh kolokasi
model ini adalah sebagai berikut:
a. Pertunjukan konser dangdut dikunjungi oleh muda dan mudi.
b. Rapat akbar dilapangan senayan dihadiri oleh golongan tua dan muda.
Kata muda dan mudi pada kalimat pertama dan kata tua dan muda pada
kalimat kedua adalaha merupakan kolokasi antonim. Pasangan kedua kata yang
berlawanan ini kemunculannya sangat predictible dapapt diperkirakan.
Gejala kolokasi semacam ini muncul dalam semua bahasa termasuk dalam
bahasa Arab. Oleh karena itu termasuk dalam al-Qur`an yang merupakan teks
yang bertuliskan dalam bahasa Arab dimungkinkan sekali akan muncul kolokasi
negatif. Dalam surat al-Baqarah ayat 16 contohnya terdapat kolokasi negatif yang
terdiri dari kata  % ‫ ا‬dengan kata ‫ ا 'ي‬menurut al-Ashfahani (w.503) kedua kata
ini berlawanan makna227. Menurutnya kata  % ‫ ا‬merupakan penyimpangan dari

226
Contohnya tua muda kaya miskin, tinggi rendah, baik buruk, besar kecil
227
Al-Raghib al-Ashfahani, Mu`jam Mufradât al-Alfâd al-Qur`ân, pentahqiq Ibrahim
Syams al-Din, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2004, h. 327

102
jalan yang lurus yang menjadi lawan dari kata ‫ا 'ا‬. Sedangkan kata ‫ا 'ي‬
merupakan merupakan bentuk jamak dari kata ‫ا 'ا‬. Sedangkan menurut Fairuz
Abadi228  % ‫ ا‬mempunyai sinonim dengan kata  G‫( ز‬tergelincir), menurutnya
kata ini juga mempunai antonim dengan kata ‫ا 'ي‬. Menurut Ibn Mandzur229 kata
 % ‫ ا‬merupakan antonim dari kata ‫ا ُ'َى وا ﺵد‬.
Pasangan kata ini muncul dua kali dalam surat al-Baqarah yaitu pada ayat
16 dan pada ayat 175230. Dari kedua ayat ini mengandung pengertian yang sama
akan tetapi sasaran dari ungkapan ‫ََ َ ِ ْ ُ َ'ى‬%
 ‫ َوُا ا‬$َ ‫ﺵ‬
ْ ‫ ا‬berbeda. Pada ayat 16 sasaran
yang akan dijadikan objeknya adalah orang-orang munafik yang menampakan
keimanan dengan pakaian hidayat didepan orang-orang mukmin, tetapi ketika ia
bergabung dengan orang-orang kafir ia berbalik menukar pakaiannya dengan
pakaian kesesatan231. Dapat disimpulkan bahwa apabila ada pertukaran kesesatan
maka munculah kata petunjuk. Begitu sebaliknya apabila yang ditukar itu
petunjuk maka maka dapat diprediksikan kata yang kan muncul adalah kata
kesesatan.
Pada ayat 175 menurut Ibn Katsir (224-310 H)232 sasaran yang menjadi
obyeknya adalah orang yang suka terhadap kehidupan dunia dengan menjual
agama dengan harga yang sedikit. Sedangkan harta yang dihasilkan dari menjual
agama tersebut akan menjadi isi perut dineraka. Dan orang-orang tersebut
membeli siksa dengan ampunan.
Pasangan kata yang berupa antonim dalam surat al-Baqarah adalah kata
‫ء‬NY ‫ ا‬yang berpasangan dengan kata ‫ا]رض‬. Pasangan kata ini terdapat pada ayat
22. Pasangan kata ini terjadi dalam beberapa versi. Adanya yang menggunakan
bentuk tunggal dan ada juga yang berbentuk jamak. Pasangan dalam bentuk
tunggal dalam surat al-Baqarah terjadi 3 kali yaitu pada ayat 22, dua kali terdapat
pada ayat 164. Sedangkan dalam bentuk jamak terjadi dalam delapan ayat yaitu
dua kali pada ayat 255 dan sekali pada ayat 33, 107, 116, 117, 164, dan ayat 284.

228
fairuszi Abadi, al-Kamus al-Mukhith, jilid 3 h. 65
229
Ibn Mandzur, Lisan al-`Arab, jilid 11 h.390.
230
‫ََ َ ِ ْ ُ'َى‬%
 ‫ َوُا ا‬$َ ‫ﺵ‬
ْ ‫ا‬1
َ ِ* ‫ ا‬3
َ šِ َ‫أُو‬
231
M. Qurash Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur`an,
Penerbit Lentera Hati, Ciputat, 2000 h. 109
232
Ibn Katsir, Jami` al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an, jilid 1 h. 483

103
Menurut Palmer (1983)233 pasangan kata ‫ء‬NY ‫ ا‬dengan ‫ ا]رض‬merupakan
bentuk antonim komplementer, pendapat yang sama juga dikemukakan oleh
Lyons234. Menurutnya yang khas dari antonim komplementer adalah bahwa
penyangkalan yang satu menginplikasikan pembenaran yang lain dan pembenaran
yang satu mengimplikasikan penyangkalan yang lain. Sebagaimana yang
terungkap pada ayat 22 dinyatakan bahwa Allah menjadikan bumi sebagai
hamparan dan langit sebagai atapnya. Dari ungkapan tersebut mengimplikasikan
bahwa langit tidak bisa menjadi hamparan dan bumi sebagai atap. Linguistik
Indonesia Mansoer Pateda (2000)235 yang banyak mengambil pemikiran Lyons
juga menganggap bahwa pasangan kata ‫ء‬NY ‫ ا‬dengan ‫ ا]رض‬merupakan antonim
komplementer.
Menurut linguistik Indonesia lainnya Parera (1991)236 menganggap bahwa
pasangan kata ‫ء‬NY ‫ ا‬dengan ‫ ا]رض‬merupakan pertentangan tempat. Sedangkan
menurut linguistik Indonseia lainnya Abdul Chaer (1994)237 memasukan pasangan
kata ‫ء‬NY ‫ ا‬dengan ‫ ا]رض‬merupakan antonim majemuk, yaitu pasangan antonim
yang kemungkinan pasangan kedua kata ini berbeda-beda.
Pasangan antonim kata ‫ء‬NY ‫ ا‬dengan ‫ ا]رض‬merupakan kolokasi yang
kemunculan kedua kata ini sudah perdictible (dapat diprediksikan). Dengan
demikian akan semakin mudah untuk mengetahui makna dalam suatu ungkapan
yang mengandung pertentangan, karena dengan mengetahui satu kata yang
muncul dimungkinkan akan muncul kata yang berlawanan.
Kombinasi kata selanjutnya yang mengandung makna pertentangan dalam
surat al-Baqarah adalah berupa kata ‫ اﺡآ‬dengan ‫ ا ات‬pertentangan kedua kata
233
Palmer, Semantics, Cambridge University Press, Cambridge, 1983 h. 83
234
Lyons, Introductional to Theoritical Linguistics. H.460
235
Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, Rhieneka Cipta, Jakarta, 2000 h. 207
236
J.D. Parera, membagi antonim menjadi lima macam yaitu: antonim kenasaban contoh:
suami-istri, kakak-adik, antonim berbalasan yaitu pertentangan yang menuntuk balasan contoh:
tanyb-jawab, jual-bei, antonim tempat yaitu pertentangan yang menunjukan arah atau tempat
contoh: utara selatan, atas bawah, dan antonim jenjang yaitu pertentangan yang menunjukan
suatu hierarki contohnya: mayor-letnan-kolonel, atau januari-pebruari-,maret, Teori Semantik,
Erlangga, Jakarta, 1991 h.299
237
Abdul Chaer membagi antonim menjadi lima macam yaitu: antonim mutlak, (hidup
dan mati) antonim relatif atau bergradasi ( besar dan kecil), antonim relasional (membeli dan
menjual), antonim hierarki (tamtama dan bintara, gram dan kilogram) dan jenis antonim yang
terakhir adalah antonim majemuk yaitu antonim yang memilikipasangan lebih dari satu contohnya
kata berdiri bisa berantonim dengan duduk, tidur, tiarap, jongkok ataupun bersila.

104
ini bisa berupa kata benda ( 7z‫ )ا‬dan kata kerja ( ;:9 ‫)ا‬, pertentangan makna kedua
kata ini yang berasal dari kata benda dalam surat al-Baqarah terdapat pada ayat 28
dan ayat 154. Sedangkan yang berupa kata kerja terjadi pada ayat 28 dan ayat 258.
Pertentangan makna antara kata ‫ اﺡآ‬dengan ‫ ا ات‬baik yang berupa kata
kerja ataupun kata benda menurut para ahli linguistik merupakan pertentangan
mutlak, pendapat ini dikemukakan oleh seluruh ahli bahasa, baik bahasa Arab,
bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Ahli bahasa Arab yang menyebutkan
pertentangan antara kata ‫ اﺡآ‬dengan ‫ ا ات‬merupakan pertentangan mutlak
adalah Ahmad Mukhtar Umar (1982)238. Ia mengatakan bahwa /‫ ﺡ‬dengan ‫ ت‬
merupakan contoh dari pertentangan mutlak, karena kedua kata ini tidak bisa
dipertentangkan dengan kata yang lain239. Linguis Inggris yang mengatakan
bahwa pertentangan antara kata ‫ اﺡآ‬dengan ‫ ا ات‬diantaranya adalah Lyons,
menurutnya selain kata ‫ اﺡآ‬dengan ‫ ا ات‬pertentangan mutlak bisa berupa kata
laki-laki dengan perempuan, kawin dengan bujang. Contoh kata-kata tersebut
merupakan pertentangan mutlak karena kata-kata tersebut tidak bisa
dipertentangkan dengan kata yang lain. Kata bujang tidak bisa dipertentangkan
dengan setengah bujang atau yang lainnya. Demikian juga dengan kata laki-laki
tidak bisa dipertentangkan dengan kata selain perempuan ataupun wanita.
Kata berikutnya yang merupakan pasangan Taὶâd/antonim adalah kata
‫آ ا واﺵ ا‬. Pasangan dari Taὶâd/antonim dalam surat al-Baqarah muncul dua
kali yaitu pada ayat yang 60 dan ayat 187. Kedua kata ini menurut Chaer (1981)
merupakan pasangan Taὶâd/antonim majemuk karena kedua kata ini tidak
mutlak dengan pasangan tersebut. Bisa juga pasangan kata makan atau minum
dengan kata merokok. Namun dalam kolokasi kedua kata ini merupakan
pasangan yang sering muncul secara beriringan. Dalam bahasa Indonesiapun
sering muncul ungkapan makan minumlah sesuai kadar perut masing-masing.
Dari pemaparan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa kolokasi yang
terjadi dalam pasangan Taὶâd/antonim tidak menuntut adanya Taὶâd/antonim
238
Ahmad Muhammad Umar, `Ilm al-Dilalat, Maktabah al-Aurabah, Kuwait, 1982 h. 191
239
Ahmad Muhammad Umar membagi antonim ini menjadi empat macam yaitu: antonim
mutlak contohnya: /‫ ﺡ‬dengan ‫ ت‬, antonim bertingkat contohnya ‫ ا  ا ر‬dengan ‫رد‬D ‫ا  ا‬,
antonim konversif contohnya: ‫ ع‬dengan ‫ى‬$‫ إﺵ‬dan antonim direksional yaitu pertentangan yang
posisi, keadaan, tempat dan arah yang berbeda contoh: ‫ ب‬+‫ ﺝ‬dengan ‫ل‬N‫ﺵ‬

105
yang mutlak saja. Namun bisa juga berupa antonim yang terdiri dari pasangan
Taὶâd/antonim kekerabatan, Taὶâd/antonim majemuk, ataupun
Taὶâd/antonim bertingkat.
Kesimpulan dari bab III ini adalah bahwa relasi kata dengan kata yang lain
akan melahirkan makna baru. Lahirnya makna itu karena adanya keserasian
pasangan dari masing-masing pasangan. Setiap kata mempunyai pasangan sendiri
dalam berkombinasi dengan kata yang lain. Oleh karena itu kolokasi kata akan
melahirkan makna apabila dalam mengkombinasikan kata mengetahui makna
polisemi, makna sinonim, makna kontradiksi (antonim).
Kombinasi antar kata tersebut bisa terjadi secara bebas dan ada yang secara
terbatas. Kombinasi yang terjadi secara bebas karena kata tersebut secara natural
bagi pengguna bahasa asli bisa berkombinasi dengan kata yang lain, contoh kata
berjalan, kata ini akan memerlukan pelaku secara bebas bisa berupa binatang,
manusia bahkan benda matipun berjalan, akan tetapi berbeda dengan kata
berbicara, kata ini memerlukan pelaku hanya terbatas pada manusia tidak
mungkin kata berbicara mempunyai pelaku berupa binatang ataupun benda mati
yang lain. Relasi antara kata berbicara dengan pelaku manusia inilah yang disebut
dengan kolokasi terbatas.

106
BAB IV
MAKNA DALAM RELASI KONSTITUEN STRUKTUR KALIMAT
Bab IV akan membahas tentang makna yang dihasilkan oleh relasi antar
konstituen struktur kalimat yang terdapat dalam al-Qur`an. Sebagaimana
dijelaskan pada bab II bahwa kolokasi mempunyai peran yang besar dalam
memberikan kontribusi terhadap pemaknaan terhadap suatu teks. Pembahasan ini
untuk membuktikan bahwa yang bisa melahirkan suatu makna tidak hanya karena
adanya relasi kata dengan kata, akan tetapi relasi antar unsur struktur kalimat juga
akan menghasilkan makna.
Pembahasan ini untuk membantah pernyataan yang dikemukakan oleh
Goddard (1998)240 yang menyatakan bahwa yang paling menentukan dalam
melahirkan makna adalah relasi hubungan antar kata. Pendapat yang senada juga
dikemukakan oleh Brinton dan Akimoto (1999)241 yang menyatakan bahwa
kolokasi merupakan bidang kajian yang fokus membahasa kajian relasi kata yang
terbatas yang akan membantu dalam pemaknaan. Tokoh lain yang berpendapat
senada adalah Housman dan Robbins (1989)242, menurutnya kolokasi merupakan
relasi kata yang terjadi pada tataran leksikal. Pendapat dari para tokoh diatas
karena dipengaruhi pemikiran oleh pencetus kolokasi pertama yaitu Firth
(1957)243, dan juga pengikutnya Halliday(1966)244 dan Sincalir (1966)245.
Pendapat para tokoh ini dibantah oleh Sabine Bartsch (2004)246 yang
menyatakan bahwa kolokasi disamping menampilkan kajian bidang leksikal juga

240
Cliff Goddard, Sematics Anlysis, A Practical Introduction, Oxford University Press,
London 1957 h. 197
241
Laurel J. Brinton and Minoji Akimoto, collocational and idiomatic Aspects of
Composite Predicates in The History of English, John Bunyamins Publishing Company,
Amsterdam, 1999 h. 8
242
R.H. Robins, General Linguistics, Longman, London and New york, 1989, h. 79
243
J.R. Firth, Papers in Linguistics, Oxford University Press, London and New York
Toronto, 1957 h. 195
244
Nama lengkapnya Michael Halliday lahir tahun 1925, memperoleh gelar kesarjanaan
pertamanya dalam bidang kajian Cina dari Universitas London, kemudian melanjutkan
pendidikannya di Peking dan Camridge dengan menekuni kajiannya dibidang bahasa Cina dan
Inggris.
245
John Sinclair, Susan Jones and Robert Daley, English Lexical Studies:Report to OSTI
on Project C/LP/08, Departement of English, University of Birmingham, 1970 h. 34
246
Sabine Bartsch, Structural and Functional Properties of Collocations in English,
Gunter Narr Verlag, 2004 h. 11

107
menampilkan kajian tentang struktur bahasa. Dia lebih rinci lagi menyatakan yang
dimaksud dengan kajian kolokasi di bidang struktur adalah bukan lagi mengkaji
relasi kata-perkata akan tetapi mengakaji relasi unsur-unsur sintaksis. Pendapat ini
sebelumnya telah dikemukakan oleh tokoh bahasa yang lain. Diantara tokoh
sebelumnya menyatakan bahwa kolokasi terjadi juga pada tataran sintaksis
pernyataan ini antara lain dikemukakan oleh Benson (1985)247, Bahns (1993)248
Wouden (1997)249, menurut ketiga tokoh ini, selain pada tataran kata kolokasi
juga terjadi pada tataran sintaksis. Artinya yang akan melahirkan sebuah makna
tidak hanya karena adanya relasi antar kata dengan kata yang lain, akan tetapi juga
karena adanya relasi antar unsur kalimat.
Pendapat Sabine senada dengan pandapat dari linguis Arab Tamâm
Hasân(2003) yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan relasi antar unsur
sintaksis yang masing-masing unsur tersebut keberadaannya sangat prediktibel.
Artinya kemunculan salah satu unsur struktur kalimat akan sangat mudah untuk
diprediksi karena kemunculan unsur struktur kalimat yang lain. Tamâm Hasân
sendiri memberikan contoh apabila muncul hurf al-jar maka diprediksikan akan
muncul ism yang menjadi majrûrnya. Demikian juga dengan bahasa Inggris
apabila ada preposisi maka kata kerja yang terletak setelahnya berupa kata kerja
bentuk gerund.
Sebagaimana diskusi diatas bahwa ada dua pendapat yang menyatakan
bahwa kolokasi merupakan relasi kata yang akan menghasilkan makna. Dari dua
pendapat tersebut ada yang mengatakan bahwa yang paling berperan dalam
menghasilkan sebuah makna ada yang mengatakan kolokasi dalam tataran relasi
kata dan ada juga yang berpendapat kolokasi dalam tataran relasi unsur struktur
kalimat.
Penulis sendiri berpendapat bahwa baik kolokasi dalam tataran kata
ataupun dalam tataran sintaksis keduanya mempunyai peran untuk melahirkan
makna, sebagaimana contoh kolokasi dalam tataran kata perlu kiranya
247
Benson, Collocational and Field of Discourse, Pergamon Press Ltd, Oxford, 1985
248
J. Bahns, Lexical Collocations: contrastive view, ELT Journal Oxford ( 30 Juni 1993)
h.65
249
Ton van der Wouden, Negative contexts: collocation, polarity and multiple negation,
Routledge, 1997 h. 13

108
ditampilkan ungkapan sebagai perbandingan kalimat yang pertama berbunyi “pak
lurah makan kursi” dan “Pak lurah makan nasi” kedua kalimat ini secara struktur
benar akan tetapi kalimat yang pertama secara relasi kata tidak benar, karena
relasi kata makan lazimnya berkolokasi dengan kata makanan seperti roti, kue,
atupun nasi. Artinya relasi kata sangat berperan dalam melahirkan makna.
Demikian juga dengan relasi struktur kalimat. Pada kalimat kedua relasi kata dan
struktur kalimatnya benar akan tetapi jika relasi antar unsur sintaksisnya salah
maka akan melahirkan makna yang salah juga. Contoh kalimat kedua jika diubah
dengan “Pak Nasi Lurah makan” maka kalimat ini tidak melahirkan makna yang
dimaksud. Dengan demikian relasi struktur kalimatpun akan melahirkan makna.
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa makna yang lahir
dari kolokasi struktur kalimat karena posisi dan fungsi kata yang terdapat pada
suatu kalimat. Makna kolokasi struktur kalimat dapat diwujudkan dalam
hubungan sintagmatik unsur-unsur leksikal sebagai pembentuk sebuah kalimat
dengan menetapkan runtunan posisi dan fungsi kata tersebut. Kata yang sama
akan menghasilkan makna yang berbeda ketika posisi dan fungsinya berbeda juga.
Pada bab III telah penulis paparkan tentang makna yang dilahirkan oleh
relasi antar kata, dan pada bab IV ini akan dipaparkan tentang makna yang
dihasilkan oleh relasi antar unsur sintaksis. Makna yang dihasilkan oleh relasi
unsur sintaksis pada kalangan linguis Arab bukanlah hal yang baru. Hal ini bisa
dilihat dari awal penyusunan Ilmu nahwu sebagai ilmu yang membahas struktur
kalimat dalam bahasa Arab.
Abû al-Aswad al-Duwali sendiri sebagai peletak ilmu nahwu, pertama kali
menyusun ilmu tersebut dilatar belakangi oleh kesalahan anak perempuannya
yang berkata kepadanya dengan maksud mengungkapkan ta`jub dengan ungkapan
 ‫ ُ' ا‬7‫  أ‬dengan merofa`kan huruf al-dâl, namun oleh ayahnya dijawab disangka
ungkapan tersebut merupakan pertanyaan akan tetapi kata anaknya dia bukan
bermaksud bertanya, hanya mengungkapkan keta`juban terhadap panas dimusim
itu. Maka dengan serta merta Abû al-Aswad menuju rumah Ali bin Abi Thalib
sebagai Amir al-Mukminin pada waktu itu untuk membicarakan tentang

109
kekacauan tata bahasa Arab250. Dari kisah ini penulis menafsirkan bahwa makna
dari sebuah struktur kalimat sangat penting dalam memberikan maksud dalam
suatu ungkapan.
Al-Suyûthî (w. 911 H )251 juga berpendapat dalam kitab al-Iqtirahnya
bahwa terciptanya ilmu nahwi karena rusaknya susunan bahasa yang
menyebabkan salah makna dalam suatu ungkapan. Kerusakan susunan bahasa
Arab itu menurut Al-Suyûthî karena terpengaruh oleh bahasa Asing. Al-Jurjânî
(w.471 H)252 memberikan pandangan yang lebih luas, yakni menurutnya bahwa
sebuah makna dihasilkan oleh relasi kata dengan yang tersusun dalam suatu
kalimat. Dari ungkapan Al-Jurjânî ini dapat diambil pengertian bahwa kata akan
menghasilkan makna jika tersusun dalam tataran sintaksis yang benar, dan
sintaksis tanpa adanya relasi kata maka masing-masing unsurnya tidak
mempunyai makna.
Abû al-Abâs (w.291H) menolak pendapat yang menyatakan bahwa nahwu
itu tidak mempunyai makna, ia mengatakan bahwa struktur kalimat tidak akan
merusak makna253. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh al-Farrâ’
(w.207H)254 menurutnya struktur kalimat akan sesuai dengan maknanya dan
makna juga akan sesuai dengan struktur kalimat255. Jika strukturnya rusak maka
rusak pula maknanya dan jika maknanya rusak maka rusak pula strukturnya. Ibn
Jinnî (w. 392 H)256 juga menyepakati para tokoh linguistik sebelumnya yang
menyatakan bahwa antara struktur kalimat dengan makna saling mendukung.

250
`Abd Allah Ahmad Jâd al-Karim, al-Ma`na wa Nahwi, maktabah al-Adab, Kairo,
Mesir, 2002 h. 19
251
Al-Suyûthî, al-Iqtirah fi `Ilm Ushul al-Nahwi, ditahqiq oleh Ahmad Salim al-Khamsa
dan Muhammad Ahmad Qashim, cet I, 1988 h. 28
252
Abd Qâhir al-Jurjânî, Dalalil al-I`jaz, ditahqiq oleh Abd al-Mun`im khafaji, Kairo,
1977 h. 35
253
Abû Bakar Muhammad Ibn al-Hasan al- Zubâidi Al-Andalusî, Thabaqât al-Nahwiyîn
wa lughawiyîn, pentahqiq Muhammad Abû al-Fadl Ibrahîm, Dâr al-Ma‘ârif, Kairo, mesir, cet ke
2 h. 131
254
Nama lengkapnya adalah Abû zakariyâ` Yahya Ibn Ziyâd Ibn ‘Abd Allah Ibn
Manshûr al-Dailamî al-Farrâ’.
255
Abû Bakar Muhammad Ibn al-Hasan al- Zubâidi Al-Andalusî, Thabaqât al-Nahwiyîn
wa lughawiyîn, pentahqiq Muhammad Abû al-Fadl Ibrahîm, Dâr al-Ma‘ârif, Kairo, mesir, cet ke
3 h. 131
256
Nama lengkapnya adalah Abû al-Fath Utsmân Ibn Jinnî, Al-Khashâish, ditahqiq oleh
Muhammad `Ali al-Najâr, Dar al-Hudâ, Bairut,

110
Makna akan muncul jika relasi kata yang terdapat dalam struktur kalimat terjadi
secara benar. Artinya relasi antar kata dalam tataran sintaksis akan mempengaruhi
makna yang dimaksud oleh pengucap. Maka apabila salah dalam menyusun kata
yang terdapat dalam tataran sintaksis akan salah juga maksud yang ditangkap oleh
pendengar.
Dari kalangan yang mengatakan bahwa kolokasi bisa terjadi pada tataran
kata dan tataran sintaksis. Mereka mengungkapkanya dengan istilah kata terkunci
oleh makna dan sintaksis adalah kuncinya, ungkapan ini dikemukakan oleh Al-
Jurjânî(w.471 H). Dari ungkapannya dapat diambil kesimpulan bahwa kolokasi
yang merupakan relasi kata untuk melahirkan makna lebih didominasi oleh faktor
relasi struktur kalimat.
Tamâm Hasân (2003)257 juga berpendapat bahwa untuk menghasilkan
makna, sebuah kata tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya relasi dengan kata yang
lain. Ia juga mengatakan bahwa pada hakekatnya makna itu lahir setelah
terjadinya relasi antar kata dalam struktur yang benar258. Dari relasi antar kata
itulah yang akan melahirkan makna konteks tidak lagi makna dasar dari sebuah
kata. Ia mengambil istilah dalam bahasa Inggrisnya Context of Situation atau
makna al-dalâlî. Contohnya kata 1O yang berarti mata setelah mengadakan relasi
dengan kata yang lain dengan menempati posisi tertentu dalam struktur kalimat
maka akan menghasilkan makna yang baru.
Tamâm Hasân259 menyatakan bahwa sebagian kata dalam sutau bahasa
tidak akan bermanfaat jika tidak dikombinasikan dengan kata yang lain ataupun
tidak adanya kombinasi antar unsur kalimat, ia mengistilahkan saling
membutuhkanya konstituen struktur kalimat dengan istilah al-Iftiqâr. Tamâm
Hasân mencontohkan huruf jar tidak akan bermakna tanpa adanya ism yang
menjadi majrûrnya, yâ al-nidâ () tidak akan bermakna tanpa adanya ism yang
menjadi munâdînya, adât al-syarth tidak akan bermakna tanpa adanya ism yang
menjadi syarth dan fi`l yang menjadi jawabnya. Dan ia juga mengungkapkan

257
Tamâm Hasân, al-Lughah al-`Arabiyyah Ma`nâha wa mabnâha, `Alim al-Kutb, Kairo,
2003, h.178
258
Tamâm Hasân, al-Lughah. h. 182
259
Tamâm Hasân, Ijtihâdât lughawiyyat, `Âlim al-Kutb, Kairo, Mesir, 2007 h.340

111
bahwa keterkaitan makna karena adanya kombinasi kata yang memerlukan
pasangan konstituen struktur kalimat yang khusus, ia mencontohkan kata 
menurutnya pasti akan masuk kepada fi`l mudharî`, harf al-jar akan masuk
kepada Ism dan huruf al-jazm pasti akan masuk kedalam fi`l. Saling
memerlukannya antar konstituen struktur kalimat dan kekhususan pasangan
konstituen yang masuk kedalam konstituen yang lain menurut Tamâm Hasân
disebut dengan kolokasi.
Tamâm Hasân dalam hal ini lebih cenderung mengatakan bahwa yang
paling berperan dalam melahirkan makna adalah kolokasi dalam tataran sintaksis.
Ia memberikan alasan bahwa susunan kata yang terdapat dalam suatu kalimat
sangat bergantung kepada susunan unsur kalimat. Karena peletakan kata yang
berbeda akan berpengaruh juga terhadap makna yang akan dilahirkan oleh kata
tersebut. Pendapat Tamâm Hasân ini banyak kesamaannya dengan pendapat
linguis Arab yang lainnya.
Tamâm Hasân sendiri mengklasifikasikan kolokasi dalam tataran struktur
kalimat menjadi empat macam yaitu kolokasi al-Talâzum, al-Istitâr, al-hadzf, dan
al-Ikhtishash260. Yang dimaksud dengan kolokasi al-Talâzum indikasinya adalah
nampak secara konkrit sebagaimana harf al-jar yang menuntut adanya isim yang
dimajrurkan, fi`l menuntut adanya fa`il, mudhaf memerlukan mudhaf ilaihnya dan
seterusnya, sedangkan kolokasi al-Istitâr adalah kolokasi yang berbentuk ism
dhamîr yang seharusnya bersandar pada fi`l namun ism dhamîrnya tidak nampak
secara nyata, adapun kolokasi al-hadzf merupakan jenis kolokasi al-Talâzum yang
salah satu konstituennya dibuang karena mempunyai alasan makna, dan secara
gramatika konstituen tersebut sebenarnya ada hanya tidak dimunculkan. Dan yang
terakhir adalah kolokasi yang berbentuk Ikhtishash, kolokasi ini merupakan jenis
kolokasi yang kombinasi antar unsur struktur kalimat sudah menjadi pasangan
yang khusus, seperti kekhususannya huruf lam ( ) yang khusus masuk pada fi`l
mudharî`.
Menurut pendapat penulis klasifikasi yang ditawarkan oleh Tamâm Hasân
kurang sistematis karena dari masing-masing jenis kolokasi tersebut sebagian ada

260
Tamâm Hasân, Ijtihâdât lughawiyyat, h.345

112
yang secara kelasnya dapat digabung dan ada yang perlu dirinci lebih luas lagi
namun Tamâm Hasân tidak melakukan hal itu, sebagaimana contoh menurut
penulis kolokasi al-Istitâr menurut hemat penulis pembahasannya masuk pada
kolokasi al-hadzf, oleh karena itu penulis mengklasifikan kolokasi struktur
kalimat kedalam tiga macam yaitu kolokasi Gramatika Lengkap, kolokasi reduksi
konstituen struktur kalimat dan kolokasi affiks. Pengklasifikasian kolokasi ini
penulis mengikuti pemikiran para tokoh linguis baik yang modern maupun yang
klasik.
A. Kolokasi Gramatika Lengkap
Penulis menggunakan istilah kolokasi gramatika lengkap. untuk mengawali
pembahasan kolokasi pada tataran struktur kalimat dengan maksud agar
pembahasan kolokasi-kolokasi berikutnya akan mengacu kepadanya atau bisa
juga diistilahkan dengan kolokasi normal karena pada kolokasi ini relasi antar
konstituennya secara normal tanpa adanya pengurangan ataupun penambahan.
Mengacu kepada tokoh linguistik Tamâm Hasân bahwa kolokasi gramatika
lengkap ini diistilahkan dengan kolokasi al-Talâzum261 yaitu merupakan kolokasi
yang terdiri dari hubungan antara unsur kalimat yang satu dengan yang lainnya
yang merupakan suatu kelaziman dalam kemunculannya. Menurut Hamâsah
(2003)262 konstituen yang merupakan suatu kelaziman dalam kalimat bahasa Arab
mencakup dua unsur yaitu unsur Musnad ( '+Y) dan unsur musnad ilaih ( ‫' ا‬+Y).
Kedua unsur ini merupakan tiang yang harus ada dalam setiap kalimat. Kedua
unsur itu adalah mubtadâ’ dengan khabr apabila kalimat itu adalah Jumlat
Ismiyyat dan fi`l dengan fâ`il apabila kalimat itu berbentuk jumlat fi`liyat.
Kelaziman munculnya musnad dan musnad ilaih merupakan kelaziman yang
harus ada dalam kalimat sempurna atau jumlat mufîdat.
Kelaziman munculnya konstituen struktur kalimat tidak mesti harus muncul
dalam kalimat sempurna, bisa juga dalam bentuk frase. Para linguis Arab
mengklasifikasikan konstituen yang mesti muncul secara beriringan baik kalimat
sempurna ataupun frase menggunakan istilah yang berbeda-beda. Ibrahim
261
Tamâm Hasân, al-Lughah. h. 218
262
Hamâsah `Abd al-Lathîf, Binâ` al-Jumlah al-Arabiyyah, Dâr Gharîb, Kairo, Mesir,
2003 h. 33

113
`Ubadah (2001)263 mengklasifikasin menjadi membagi delapan bagian yaitu
kelaziman yang berupa al-isnadi, al-Taqyidi, al-Idhah, al-Ibdal, Ta`kid wa
Taqwiyah, al-Dharfiyyah, sababiyyah dan al-Ilat, dan yang terakhir adalah relasi
yang berbentuk al-Maf`uliyyah. Pengklasifikasian `Ubadah nampak berbeda
dengan pengklasifikasian yang dikemukakan oleh Hamasah (2003)264 yang
menyatakan bahwa dalam struktur kalimat mesti ada relasi antar konstituen yang
tidak bisa tidak harus ada dalam kalimat tersebut. Menurut Hamasah konstituen
struktur yang mesti ada dalam suatu kalimat diklasifikasikan dalam dua bentuk
yaitu kelaziman yang mesti ada dalam kalimat sempurna dan kelaziman yang
mesti ada dalam bentuk frase.
Kelaziman yang mesti ada dalam kalimat sempurna Hamasah
mengistilahkan dengan isnadi yang terdapat di dalamnya adalah fi`l dengan fa`il
atau mubtada dengan khabarnya, sedangkan kelaziman yang mesti ada dalam
bentuk frase terdiri dari enam macam yaitu: frase yang berbentuk Taqyîd,
Tab`iyah, Ta`adud, Ta`âqub,Taratub, dan frase yang berbentuk I`tiradat.
Al-Ghulayaini (2005)265 dalam bukunya mengklasifikasikan kelaziman
munculnya unsur struktur kalimat kedalam enam macam yaitu: Isnadi, idhafi,
`Athfi, Bayani, Maszji, dan `Adadi.
Penulis berpendapat apapun istilahnya dan bagaimapun cara para tokoh
linguis Arab mengklasifikan kombinasi antar konstituen struktur kalimat. Menurut
penulis bahwa tanpa adanya kombinasi antar unsur struktur kalimat maka unsur
yang lain tidak akan bermakna, contohnya man`ut tidak akan bermakna tanpa
berkombinasi dengan na`atnya, dan tidak muncul makna konteksnya dari man`ut
tanpa diiringi dengan munculnya na`at, maka na`at akan membantu untuk
mengetahui makna man`ut. Menurut Sibawaih(w. 180.H)266 apabila suatu kata

263
Muhammad Ibrahim `Ubadah, al-Jumlah al-`Arabiyyah, Makunâtuha- Anwâ`uha-
Tahlîluhâ.
264
Hamâsah `Abd al-Lathîf, Binâ` al-Jumlah al-Arabiyyah, Dâr Gharîb, Kairo, Mesir,
2003
265
Musthafa Al-Ghulayaini, Jami` al-Durs al-`Arabiyyah, Dar al-Hadits, Kairo Mesir,
2005 hal-584
266
Sîbawaih, al-Kitâb, ditahqîq oleh `Abd al-Salâm Muhammad Hârûn, Maktaba al-
Khânji, Kairo Mesir,jilid 2 cet ke 3 1988 h. 78

114
telah mengadakan relasi dengan kata yang lain dalam satu struktur kalimat
tertentu maka seolah-olah telah menjadi satu kata.
Para ahli nahwu berbeda pendapat dalam menentukan media yang akan
melahirkan makna pada suatu kalimat. Ada yang mengatakan bahwa yang
menentukan makna adalah i`râb dan ada yang mengatakan tertibnya posisi dari
masing-masing unsur kalimat. Hubungan kedua media ini sebenarnya saling
mendukung, dengan adanya i`râb maka akan memperkuat untuk mengetahui
makna yang akan menentukan makna terkandung dalam jumlah mufidah yang
telah jelas posisi urutan dari masing-masing unsur struktur kalimat, demikian juga
dengan diketahui posisi urutan dari masing-masing unsur struktur kalimat akan
lebih mudah diketahui maknanya jika disertakan juga i`râbnya.
Ahli nahwu yang mengatakan bahwa i`râb dan tertibnya posisi unsur-
unsur struktur kalimat akan menentukan makna adalah Ibn al- syarâj(w.312 H)267,
menurutnya dengan mengetahui tanda i`râb walaupun urutan unsur kalimatnya
tidak sebagaimana tata bahasa yang standar, kalimat tersebut akan diketahui
maknanya. Dan posisi unsurnya bisa diTaqdîm dan dita`khirkan, namun jika kata
tersebut merupakan kata yang tidak bisa diketahui tanda i`râbnya maka konstituen
struktur kalimatnya tidak boleh diubah posisinya. Ia memberikan contoh jumlah
mufidah yang mengandung kata yang bisa diketahui tanda i`râbnya yaitu : ‫ﺽب‬
‫و‬NO ‫ ز'ا‬pada contoh tersebut dapat diketahui maknanya dari tanda i`râb yang ada
namun pada kalimat contoh yang lain tidak bisa karena kata yang menjadi
konstituen dari jumlah mufidah tersebut merupakan kata yang tidak bisa diketahui
tanda i`râbnya contohnya: T7  TYO ‫ﺽب‬. Menurut Ibn al- syarâj apabila kata
TYO menjadi fa`ilnya maka posisi urutan fa`il dengan maf`ulnya tidak boleh
diTaqdîm dan dita`khirkan, dengan tujuan agar pembaca tidak salah tafsir.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibn Jinî(w.392 H)268 bahwa
unsur kalimat yang mengandung kata yang tanda i`râbnya tidak bisa diketahui

267
Nama lengkapnya adalah Abû Bakar Muhammad Ibn al-sarâj, al-ushûl fi al-Nahwi,
ditahqiq oleh `Abd al-Husain al-Fatlâ, al-Risalat, 1985
268
Ibn Jinnî, Al-Khashâish, ditahqiq oleh Muhammad `Ali al-Najâr, Dar al-Hudâ, Bairut,
jilid 1 h.300

115
maka maknanya dapat diketahui melalui urutan posisi kata tersebut dalam kalimat.
Ibn Jinî memberi contoh :‫ى‬m T ‫ ﺽب‬.
Menurut penulis antara i`râb dengan tertibnya konstituen yang terdapat
dalam struktur kalimat keduanya memberikan kontribusi dalam melahirkan
makna. Oleh karena itu makna akan diketahui jika i`râbnya jelas. Jika i`râbnya
tidak diketahui maka bisa dilihat dari urutan konstituen struktur kalimat. Hanya
pada teks-teks yang telah mapan ataupun urutan konstituen struktur kalimat tidak
selamanya tertib sebagaimana kaidah yang telah ditentukan, kadangkala yang
semestinya didepan ternyata diakhirkan dan begitu sebaliknya. Pada kasus yang
semacam ini untuk menentukan makna maka yang berperan adalah i`râb.
Menurut Ibn Ya`îs(w.643H.)269 makna dari mubtada muncul ketika
disandarkan pada khabar, tanpa adanya khabar maka mubtada tidak memiliki
makna. Menurutnya khabar adalah tempat lahirnya makna, oleh karena itu jumlah
ismiyah mau tidak mau harus ada dua komponen mubtada dan khabarnya. Masih
menurut Ya`is bahwa mubtada dan khabar tidak mesti nampak secara dhahir,
namun bisa juga salah satunya bisa dibuang dengan alasan karena kalimat tersebut
bisa dipahami tanpa kehadirannya walaupun menurut para ahli nahwu pada
hakekatnya konstituen tersebut ada. Kehadiran kedua unsur tersebut dimaksudkan
untuk penjelas makna saja dan jika makna sudah bisa dipahami tanpa
kehadirannya maka cukup salah satu unsur saja. Contoh: '‫ ؟ ز‬D ‫ ا‬/0 1 pada
kalimat yang menjadi jawaban tidak perlu lagi menggunakan khabar karena tanpa
adanya khabar sudah dapat dipahami. Menurut ahli nahwu ungkapan jawaban dari
pertanyaan pada contoh mengandung khabar D ‫ ا‬/0.
1. Makna Inversi Konstituen Struktur Kalimat
Sibawaih berpendapat bahwa susunan stuktur kalimat akan mempengaruhi
berbagai aspek termasuk didalamnya aspek makna dan aspek yang lainya270.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh al-Mubarad(w. 285 H.)271 tentang relasi
susunan struktur kalimat dengan makna, sebagaimana dikutip oleh al-Zujâj bahwa

269
Ibn Ya`îs, Syarh al-Mufashl, maktabah al-Mutanabi, Kairo tt.
270
Sîbawaih, al-Kitâb jilid 1 h.55
271
Nama lengkapnya Abu `Abas Muhammad Ibn Yazid al-Mubarad, al-Muqtadhab,
ditahqiq oleh Muhammad `Abd al-Khaliq `Adhimat, 1979

116
al-Mubarad membedakan antara ungkapan ‫ ز'ًا‬
ُ ‫ ﺽ‬dengan ُ$‫ز ُ' ﺽ‬. Ungkapan
‫ ز'ًا‬
ُ ‫ ﺽ‬mengandung makna berita tentang dirinya dan peristiwa kejadianya.
Sedangakan pada ungkapan ُ$‫ ز ُ' ﺽ‬mengandung makna berita tentang '‫ز‬.
Inversi struktur kalimat mengandung permutasian susunan konstituen
kalimat yang akan menghasilkan makna yang dimaksud. Contohnya pada ayat 2
surat al-’A`râf yang berbunyi: ‫*ر‬+$ + ‫'رك ﺡج‬. /0 12 0 3 ‫ل إ‬6#‫ب أ‬$‫آ‬
menurut al-Farrâ’(w.207 H)272 kata  ‫*ر‬+$ terletak dibelakang mempunyai makna
penekanan terhadap kata ‫ل‬6#‫أ‬. Pendapat ini didukung oleh tokoh yang lain seperti
al-Akhfasy(w.211 H)273 dan al-Zujâj(w.310 H)274. Relasi antara fi`l pertama (‫ل‬6#‫) أ‬
dengan fi`l kedua ( ‫*ر‬+$ ) merupakan relasi sababiyah, maka ayat tersebut tidak
akan bisa dipahami apabila salah satu dari fi`l tersebut tidak ada.
Ayat diatas mengandung makna kolokasi inversi struktur kalimat. Artinya
secara normal runtutan konstituen struktur kalimat dari ayat tersebut adalah kata
 ‫*ر‬+$ terletak setelah ungkapan 3 ‫ل إ‬6#‫ب أ‬$‫آ‬. Alasannya karena kata ‫*ر‬+$
merupakan korelasi dari kata ‫ل‬6#‫أ‬ maka seharusnya posisinya saling
berdampingan. Sedangkan ungkapan + ‫'رك ﺡج‬. /0 12 0 merupakan alasan
untuk melakukan ‫*ر‬+$ . Oleh karena itu normalnya ayat tersebut berbunyi ‫ل‬6#‫ب أ‬$‫آ‬
+ ‫'رك ﺡج‬. /0 12 0  ‫*ر‬+$ 3 ‫إ‬.
Menurut al-Farrâ’(w.207 H.)275 relasi sababiyah menuntut adanya sebab
yang harus muncul dalam satu jumlah mufidah, tanpa adanya sebab maka tidak
akan menghasilkan makna. Contoh ayat 2 surat al-’A`râf yang berbunyi: َ+ْ َ‫ﺥ‬
َ #‫ِإ‬
‫ً َ@ًِا‬:ِN7
َ oُ َ+ْ :َ 
َ 0َ ِ ِ$َ Dْ #َ ‫ج‬
ٍ َmْ ‫ ٍ َأ‬9َ S
ْ #ُ ْ1ِ ‫ن‬
َ َY#ْ œِ ْ ‫ ا‬kata ِ ِ$َ Dْ #َ mengandung makna ً:ِN7
َ oُ َ+ْ :َ 
َ 0َ
ِ ِ$َ Dْ +َ ‫ َ@ِ ًا‬. Penekanan makna pada ayat tersebut terletak pada kata ِ ِ$َ Dْ +َ ,
sedangkan kalimat‫ً َ@ًِا‬:ِN7
َ oُ َ+ْ :َ 
َ 0َ ‫ج‬
ٍ َmْ ‫ ٍ َأ‬9َ S
ْ #ُ ْ1ِ ‫ن‬
َ َY#ْ œِ ْ ‫َ ا‬+ْ َ‫ﺥ‬
َ #‫ ِإ‬merupakan

272
Nama lengkapnya adalah Abû zakariyâ` Yahya Ibn Ziyâd Ibn ‘Abd Allah Ibn
Manshûr al-Dailamî al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 ditahqîq oleh Ahmad Yûsuf Najâtî dan
Muhammad `Ali al-Najâri, 1980 h. 201
273
Nama lengkapnya adalah Abû al-Hasan sa`îd Ibn mas`adat al-Akhfasy, ma`ânî al-
Qur`an, ditahqîq oleh Fâ`iz Fâris al-Hamd, Kuwait, 1979 jilid 2 h. 480
274
Nama lengkapnya adalah Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Sahl, ma`ânî al-Qur`ân wa I`râbuhu,
ditahqîq oleh `Abd Jalîl `Abduh Syalbî, penerbit `Alim al-Kutub, 1988 jilid 5 h.257
275
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 3 ditahqîq oleh Muhammad `Ali al-Najâri, dar al-
Mishriyat, 1972 h. 214

117
pengantar, oleh karena itu al-Farrâ’ meletakan kata ِ ِ$َ Dْ +َ pada akhir kalimat. Dan
menurutnya al-Farrâ’ ayat ini mengandung kaidah Taqdîm Ta`khir.
Al-Nuhâs membantah pendapat al-Farrâ’, menurut al-Nuhâs(w.338 H) 276
penekanan ayat diatas bukan pada kata ِ ِ$َ Dْ +َ yang diTaqdîm akan tetapi susunan
struktur kalimat tersebut merupakan sebab adanya fi`l yang pertama maka muncul
fi`l yang kedua. Logika al-Nuhâsa dari ayat ini adalah bahwa manusia diciptakan
karena akan mendapatkan ujian maka perlu pembekalan berupa akal yang
diperoleh melalui pendengaran dan penglihatan. Konteks stressing dari ayat diatas
bukan pada /‫م آ‬G akan tetapi pada konteks perhatian Allah atas nikmat yang
diberikan kepada manusia oleh karena-Nya sekaligus memberikan petunjuk cara
memanfa`atkannya.
Al-Nuhâs277 melarang repetisi struktur kalimat dengan alasan yang
dikemukakan oleh al-Farrâ’, karena makna fungsional dari makna huruf al-
fâ’(‫ء‬9 ‫ )ا‬merupakan makna struktural. Sedangkan makna logis dari kata ‫ً َ@ًِا‬:ِN7
َ
menggugurkan tanggung jawab, karena hasil dari pendengaran dan penglihatan
menghasilkan akal yang berbeda-beda.
Inversi susunan struktur kalimat terkadang berfungsi untuk menjelaskan
bentuk-bentuk maknawi seperti kembalinya dhamir kepada akhir kalimat contoh:
‫ن‬
َ ُِ 
ْ Nُ ْ ‫ُ ِ ِ ُ ا‬#‫ْ ُذ‬1O
َ ‫ل‬
ُ fَY
ْ ُ َ ‫ َو‬menurut al-Farrâ’278 lazimnya susunan struktur kalimat
ayat tersebut adalah D#‫ ذ‬1O ‫م‬N ‫ل ا‬fY G. Sedangkan al-Akhfasy279 memberikan
pendapat yang sama juga dengan memberikan contoh ayat 18 surat Muhammad
yang berbunyi ‫  إذا ﺝء ذآاه‬/#f0 menurut al-Akhfasy ayat ini mempunyai
makna OY ‫  ذآاه إذا ﺝء ا‬/#f0
Dari uraian diatas penulis ingin mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur`an
tersebut mengandung makna kolokasi Inversi Konstituen Struktur Kalimat.
Artinya runtutan konstituen struktur kalimat tidak umum sebagai struktur kalimat
normal. Posisi dari masing-masing konstituennya bisa bertukar.

276
Nama lengkapnya adalah Abû Ja`far Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ismâ`îl al-Nuhâs,
I`rab Al-Qur`an, ditahqîq oleh zuhair Ghâzî Zâhid, `Âlim al-Kutub wa al-Nahdlat al-`Arabiyat,
1985 jilid ke 5 h.96
277
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, jilid 5 h.96
278
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 2 h. 211
279
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 480

118
2. Anastrop Struktur Kalimat
Menurut kaidah yang normal posisi mubtada terletak diawal kalimat,
namun dilain waktu mubtada bisa juga terletak setelah khabar. Pertukaran posisi
unsur struktur kalimat ini dalam kaidah bahasa Arab merupakan hal yang wajar,
karena ada hal-hal yang menuntut adanya permutasian tersebut. Tuntutan yang
mengarah kepada pertukaran posisi ini mengandung makna kolokasi anastrop.
Artinya Posisi konstituen struktur kalimat yang normal mengalami pertukaran
tempat dengan cara mendahulukan yang akhir dan mengakhirkan yang awal.
Al-Khuli menggunakan istilah taqdîm ta`khir dengan anastrop280. Menurut
Finoza anastrop ini berfungsi untuk mengalihkan kejenuhan dalam penggunaan
bahasa281 sebgaimana contoh sebagai berikut: Di kawasan kampus ditanami
pohon perindang, kalimat tersebut bisa dipindahkan poisisinya menjadi ditanami
pohon perindang di kawasan kampus.dari contoh tersebut penulis mengambil
kesimpulan bahwa pemindahan posisi konstituen struktur kalimat dalam bahasa
Indonesia tidak akan mengubah makna, hanya untuk mengalihkan kejenuhan bagi
pembicara sendiri ataupun bagi pendengarnya, sedangkan dalam bahasa Arab
perubahan posisi konstituen struktur kalimat masing-masing para ahli berbeda
pendapat ada yang mengatakan bahwa perubahan tersebut akan membawa
terhadap perubahan makna dan ada juga yang mengatakan hanya memberikan
stresing ataupun penekanan dan ada juga ada yang mengatakan bahwa perubahan
posisi tersebut tidak berpengaruh apaun baik makna ataupun stresing terhadap
makna.
Para ahli bahasa Arab membolehkan kelaziman dalam susunan struktur
kalimat mendahulukan yang akhir dan mengakhirkan yang awal. Contoh dari
kasus ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Syibawaih282
mendahulukan khabar dan mengakhirkan mubtada misalnya kalimat: '‫ ? ز‬, kata
? posisinya adalah sebagai khabar yang semestinya terletak berada setelah
mubtada namun dalam hal ini kata ? diletakan sebelum mubtada. Namun
280
Muhammad al-Khuli, A Dictionary of Theoretical Linguistics English-Arabic, penerbit
Libanon, 1982 h. 344
281
Lamuddin Finoza, Kemahiran Berbahasa Indonesia, Maawar Gempita, Jakarta, cet ke
4 1997 h. 103
282
Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 2 h. 127

119
menurut para ahli bahasa juga hal ini bisa juga posisinya bisa dibalik yaitu ?
sebagai mubtada dan kata '‫ ز‬sebagai khabar atau sebagai fa`il.
Perbedaan anastrop dengan inversi terletak pada permutasian kata dan
permutasian unsur struktur kalimat. Ketika permutasian itu hanya berkisar pada
pertukaran posisi kata maka disebut dengan inversi. Apabila permutasiannya itu
karena pertukaran konstituen stuktur kalimat maka disebut dengan anastrop.
Secara rinci anastrop dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Taqdim al-Khabar dan Ta`khir al-Mubtada
Menurut Syibawaih283 dan al-Khalil mendahulukan khabar dan
mengakhirkan mubtada hukumnya boleh bahkan ada yang wajib sebagaimana
ungkapan '‫? ز‬, pada ungkapan ini kata ? posisi i`rabnya merupakan khabar
yang semestinya berada setelah mubtada namun pada kesempatan ini khabar
tersebut diletakan lebih dahulu dibandingkan mubtadanya. Menurut kedua tokoh
ini hukumnya boleh, akan tetapi dianggap jelek apabila kata ? dikatakan sebagai
mubtadanya dan kata '‫ ز‬sebagai khabar atau sebagai fa`il dari kata ?. Pendapat
yang sama juga dikemukakan oleh al-Mubarad284 dan Ibn Jinni285 yang
menyatakan bahwa sah dan boleh mendahulukan khabar atas mubtada sebagaiman
contoh: 3D‫ﺡ‬. ‫ ا 'ار‬/0 ,‫? أﺥ ك‬.
Pendapat para tokoh diatas dibantah oleh Al-Anbâry (w.577 H)286 yang
berpendapat dalam kitab al-Inshaf bahwa menurut ulama kufah mendahulukan
khabar dan mengakhirkan mubtada tidak boleh baik mufrad ataupun jumlah,
sebagaimana dalam ungkapan ‫و‬NO >‫ ذاه‬,'‫ ? ز‬sebagai contoh mufrad dan dalam
ungkapan ‫و‬NO >‫ ذاه‬o ‫ أﺥ‬,'‫ ? ز‬o ‫ أ‬sebagai contoh bentuk jumlah. Argumen dari
ulama kufah tidak boleh mendahulukannya khabar dari mubtada dan tidak boleh
mengakhirkan mubtada karena sebelum ism dhahir telah didahului oleh dhamir.
Seperti pada ungkapan '‫ ? ز‬setelah kata ? terdapat dhamir baru kemudian kata
'‫ ز‬demikian juga dengan ungkapan dalam bentuk jumlah '‫ ? ز‬o ‫ أ‬huruf al-Hâ`
(‫ )ا ء‬pada kata o ‫ أ‬merupakan dhamir yang berfungsi sebagai mubtada dan tidak
283
Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 2 h. 127
284
al-Mubarad, al-Muqtadhab, jilid 4 h. 127
285
Ibn Jinnî, Al-Khashâish, jilid 2 h. 282
286
Al-Anbâry, al-Inshaf fi masail al-khilaf, dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut Libanon,
1998 h. 68

120
ada perbedaan pendapat bahwa mubtada yang berasal dari dhamir tidak bisa
diakhirkan.
Sedangkan Ulama Bashrah berpendapat bahwa mendahulukan khabar dan
mengakhirkan mubtada hukumnya boleh karena dalam ungkapan bahasa Arab,
syair Arab dan ayat al-Qur`an banyak yang mendahulukan khabar dan
mengakhirkan mubtada.
Menurut penulis sendiri pada hakekatnya ungkapan '‫ ? ز‬merupakan
khabar yang didahulukan dan mubtada yang diakhirkan,demikian juga dengan
ungkapan '‫ ? ز‬o ‫أ‬. Dengan alasan bahwa pada ungkapan '‫ ? ز‬yang menjadi
pokok kalimatnya adalah kata '‫ ز‬sedangkan kata ? berfungsi sebagai
keterangan. Demikian juga dengan ungkapan '‫ ? ز‬o ‫ أ‬yang menjadi pokok
kalimatnya adalah kata '‫ز‬.
Al-Akhfasy287 memberikan perhatian terhadap masalah taqdîm takhir ini
pada ayat-ayat al-Qur`an diantaranya adalah ayat 5 surat al-Qadar yang berbunyi
/‫م ه‬7 menurutnya ungkapan ini mengandunng makna ‫م‬7 /‫ه‬. Al-Nuhâs288 juga
memberikan perhatian terhadap Taqdîm ta`khir dalam al-Qur`an diantara
contohnya adalah surat al-Anbiya ayat 3:   ‫ه‬G ungkapan ini mempunyai
makna ‫ه‬G  .
Ibn Khâlawih (w.370 H)289 menampilkan banyak contoh dalam hal taqdîm
ta`khir dalam al-Qur`an beberapa contohnya adalah ayat 6 surat al-Ghasyiyah
yang berbunyi: ‫م‬:X  g , menurutnya ayat ini mengandung makna  ‫م‬:X g
kata  pada ayat tersebut berfungsi sebagai khabar. Demikian juga pada ayat 5
surah al-Masad yang berbunyi: 'Y 1 ;D‫ ﺝ'ه ﺡ‬/0 menurut ulama Bashrah kata ;D‫ﺡ‬
dibaca marfu` karena berfungsi sebagai mubtada karena mengandung makna
taqdîm ta`khir.
Makna dari taqdîm ta`khir menurut al-Khâlawih290 mempunyai makna
yang sama sebagaimana contoh yang dikemukakan pada ungkapan  'N ‫ ا‬akan

287
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 542
288
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 5 h. 268
289
Nama lengkapnya adalah Abu `Abd Allah al-Khusain Ibn Akhmad al-khalawih, I`rab
Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, ditashih oleh al-Syayid `Abd al-Rahim Mahmud, Dar al-
kutub, Mesir, 1931 h.68
290
al-khalawih, I`rab Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, h. 14

121
mempunyai makna yang sama apabila khabarnya didahulukan menjadi 'N ‫ ا‬.
Contoh yang sama juga dikemukakan pada kalimat  *š  ]‫ وا‬apabila khabar
pada ayat ini didahulukan maka akan menjadi *š  ]‫و ا‬. Kasus yang sama
terjadi juga pada ayat yang berbunyi ': 1 ‫; و‬D 1]‫  ا‬maka apabila
mubtadanya didahulukan menjadi ': 1 ‫; و‬D 1 ]‫ ا‬mempunyai makna yang
sama.
Mendahulukan khabar kâna daripada mubtadanya menurut Syibawaih291
mengandung makna yang berbeda dalam penekannya, contoh: N‫آن ز' ﺡ‬
berbeda dengan '‫ ز‬N‫ آن ﺡ‬, apabila '‫ آن ز‬maka makna mubtada telah diketahui
tinggal menunggu kabarnya, dan ketika N ‫ آن ﺡ‬maka penekanan makna
diketahui melalui khabarnya.
b. Taqdim maf`ul bih
Konstituen struktur kalimat dalam bahasa Arab yang berbentuk jumlah
fi`liyah unsur pokoknya adalah fi`il, fa`il dan maf`ul bih yang pada lazimnya
tersusun secara tertib. Namun dalam kondisi tertentu susunannya tidak selamanya
tertib sebagaimana lazimnya. Terkadang maf`ul yang lazimnya terletak paling
akhir maka bisa jadi berada paling awal atau yang lebih dikenal dalam istilah
taqdîm maf`ul bih. Pada bagian ini akan dibahas tentang taqdîm maf`ul bih.
1) Wajib Taqdim maf`ul bih
Al-Ghulayani292 mengklasifikasikan maf`ul bih didahulukan dari pada fa`il
kedalam tiga tempat yaitu a) Maf`ul bih yang berfungsi sebagai ism istifham, b)
Maf`ul bih yang berfungsi sebagai ism syarat c) Ketika ada fa`il yang berbentuk
ism dhamir yang menghendaki untuk kembali kepada maf`ul.
a) Maf`ul bih yang berfungsi sebagai ism istifham
Struktur kalimat yang berbentuk jumlah fi`liyah yang konstituennya terdiri
dari fi`l, fa`il dan maf`ul bih yang berupa ism istifham, maka wajib hukumnya
mendahulukan maf`ul daripada fi`l dan fa`ilnya dengan alasan bahwa apabila
istifham terletak sebelum atau sesudah fi`l dan fa`ilnya maka istifham itu tidak

291
Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 1 h. 45
292
Musthafa al-Ghulayaini, Jami` al-Durus al-`Arabiyat, Dar al-Hadits, Kairo, 2005 h.
436

122
mempunyai makna. Oleh karena itu tidak boleh mendahulukan fi`l dan
mengakhirkan istifham.
Dalam surat al-Mu`min ayat 81 yang berbunyi: ‫ون‬2+ ‫ي ات ا‬f0 pada ayat
ini al-Nuhâs293 berpendapat bahwa kata ‫ أ‬posisi i`râbnya menjadi ma`ful yang
dinasabkan oleh kata ‫ون‬2+ demikian juga dengan ayat 227 surat al-Syu`ara yang
berbunyi: ‫ ن‬D+ >+ ‫وا اي‬9‫ آ‬1* ‫ ا‬:7‫ و‬pada ayat ini al-Zujâj294 mengatakan
bahwa kata ‫ أي‬dibaca mansub karena berfungsi menjadi maf`ul dari fi`l ‫ ن‬D+
bukan dari kata :7 dengan alasan bahwa istifham tidak berfungsi untuk kalimat
sebelumnya.
`Abd al-Wahid295 juga memberikan contoh pada surat al-Baqarah ayat 215
yang berbunyi: ‫ ن‬9+ ‫ ذا‬3# šY pada ayat ini ia mengatakan bahwa kata ‫ذا‬
berfungsi sebagai maf`ul bih yang secara i`râb dibaca mansub oleh fi`l ‫ ن‬9+
bukan oleh 3# šY alasannya karena kata ‫ ذا‬merupakan kata tersendiri yang
ditakdirkan mempunyai makna sesuatu.
Dari pemaparan diatas menurut penulis wajib mendahulakan maf`ul yang
berupa ism istifham karena menuntut adanya berita yang datang setelah fi`l.
b) Maf`ul bih yang berfungsi sebagai ism syarat.
Al-Zujâj296 memberikan contoh kasus ini dalam surat al-Qashash ayat 28
yang berbunyi /
ّ O ‫'وان‬O 0 % 1‫ ا]ﺝ‬Nّ‫ أ‬menurutnya kata ‫ أي‬posisi sebagai
maf`ul yang diperkirakan (ditakdirkan) dibaca mansub oleh fi`l %. Demikian
juga dengan al-Nuhâs297 mengatakan bahwa yang menjadi permulaan kalimat
dalam ayat tersebut adalah kata ‫ أي‬sedangkan maushul  bukan merupakan bagian
dari awal kalimat.
c) Ketika ada fa`il yang berbentuk ism dhamir yang menghendaki untuk
kembali kepada maf`ul.

293
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 4 h. 44
294
Nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim Ibn Sahl al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa
I`rabuhu, di tahqiq oleh `Abd al-Jalil `Abduh Syalbi, Penerbit Bairut, 1972 jilid 4 h. 105
295
`Abd al-Wahid al-Shalih, al-I`rab al-Mufashal li al-Kitab Allah al-Muratal, Dar al-
Fikr, Amman Yordania, cet ke 2, 1999 h. 279
296
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 4 h. 142
297
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 2 h. 226

123
Al-Ghulayani298 memberikan contoh: w ‫'ا‬:7 ‫ أآم‬kata ‫'ا‬:7 pada kalimat
ini wajib didahulukan karena berfungsi sebagai rujukan dari dhamir yang posisi
i`râbnya menjadi fa`il. Dalam surat al-Baqarah ayat 124 yang berbunyi: T$‫وإذ ا‬
‫ت‬N2 ّ‫ إاه ر‬kasusnya sebagaimana contoh sebelumnya yaitu maf`ul wajib
didahulukan daripada fa`ilnya alasanya fa`il dari ayat tersebut berupa dhamir yang
mesti rujukannya kembali kepada maf`ulnya. Kasus pada ayat ini ism istifham
maf`ul wajib didahulukan karena apabila maf`ulnya diakhirkan pembaca tidak
bisa memahami kemana dhamir itu akan kembali. Al-Qathân299 lebih tegas lagi
mengatakan bahwa setiap dhamir memerlukan tempat kembali (marja`) atau
penjelas, yaitu kata-kata yang digantikannya, dan menurut kaidah bahasa tempat
kembali itu harus mendahuluinya.
Ibn Malik memberikan alasan bahwa dhamir mutakalim dan dhamir
mukhatab telah dapat diketahui maskudnya secara jelas melalui keadaan yang
melingkupinya, tidak demikian halnya dengan dhamir gha`ib. Karena itu menurut
kaidah ini tempat kembali dhamir tersebut harus mendahuluinya agar apa yang
dimaksud dengannya dapat diketahui lebih dahulu. Itulah sebabnya para ahli
nahwu menetapkan dhamir gha`ib tidak boleh kembali kepada kata terkemudian
dalam pengucapan.
Dari pemaparan diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa maf`ul yang
berfungsi sebagai tempat kembali (marja`) dari dhamir maka wajib didahulukan.
Logikanya tanpa adanya tempat kembali maka dhamir akan kehilangan rumah.
2) Boleh mendahulukan maf`ul bih
Maf`ul bih boleh didahulukan daripada fi`l dan fa`ilnya dengan alasan
isytighal contohnya oY ;DY ‫`( ^ ا‬Abasa:20) menurut al-Farrâ’300 ayat ini
mengandung makna ;DY oY ^ sedangkan menurut al-Akhfasy301 mengandung

298
Musthafa al-Ghulayaini, Jami` al-Durus al-`Arabiyat, Dar al-Hadits, Kairo, 2005 h.
437
299
Al-Qathan, Mabâhis fi `Ulum al-Qur`an, Mansyurâh al-`Ashr al-hadits, Riyadh, 1973
h.196
300
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 3 h. 237
301
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 528

124
makna S ‫ ا‬o‫ ه'ا‬dan menurut al-Syuyuthi(w.911 H)302 mengandung makna X
‫ أ‬1S 1 ‫ ﺥوﺝ‬menurut ketiga tokoh tersebut kata ;DY ‫ ا‬dibaca mansub karena
menjadi maf`ul dari kata oY. Demikian juga dengan ayat +6‫ ﺝ‬3 ‫ ذ‬menurut al-
Farrâ’303 kata 3 ‫ ذ‬posisi i`râbnya menjadi maf`ul yang diperkirakan (ditakdirkan)
dibaca mansub oleh kata +6‫ﺝ‬.
B. KOLOKASI REDUKSI KONSTITUEN STRUKTUR KALIMAT
Ibn Hisyam (w.761 H)304 berpendapat bahwa pangkal dari kalimat bahasa
Arab ada dua yaitu mubtada dan khabar pada jumlah ismiyah dan fi`il dengan fa`il
pada jumlah fi`liyah, atau menurut Syibawaih305 dan para ahli balaghah
menggunakan istilah musnad dan musnad ilaih. Kedua unsur pokok tersebut
saling mengikat, karena merupakan hubungan yang saling menyandarkan. Kedua
unsur yang pertama menerangkan tentang pokok pikiran dari makna yang
dimaksud sedangkan makna yang kedua menerangkan tentang makna yang
dihasilkan dari hubungan kedua unsur tersebut. Contoh apabila ada kalimat yang
berbunyi: ‫ ا @ن ي‬maka dalam pikiran terdapat dua bayangan ‫ ا @ن‬dan
bayangan ‫ ي‬dan setelah digabungkan kedua kata tersebut maka akan
mempunyai bayangan yang berbeda lagi yaitu ‫( ا @ن ي‬kuda berlari).
Bayangan tentang ungkapan ‫ ا @ن ي‬itulah yang disebut dengan makna yang
dihasilkan oleh hubungan antar konstituen struktur kalimat.
Ibn Burhan (w.456 H)306 juga sependapat bahwa jumlah ismiyah mufidah
terdiri dari mubtada dan khabar. Mubtada berfungsi sebagai sandaran bagi khabar
dan khabar berfungsi untuk melahirkan makna dari mubtada. Makna akan lahir
apabila kedua unsur tersebut berkumpul dalam sebuah kalimat. Ibn Ya`îs307
berkata bahwa mubtada dan khabar bisa mendapatkan fungsi apabila keduanya
berkumpul dalam suatu kalimat. Menurutnya mubtada dalam kalimat berfungsi

302
Nama lengkapnya adalah Jalal al-Din `Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al- suyuthi, al-
Itqan fi ulum al-Qur`an, al-Buhuts al-`Ilmiyah, Kuwait, 1980.
303
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 2 h. 359
304
Ibn Hisyam, Syarah Qathr al-Nada wa Bal al-Shada, ditahqiq oleh Muhammad
muhyi al-Din `Abd al-Hamid, Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, Riyadh, tt, h. 160
305
Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 1 h. 120
306
Ibn Burhan al-`Ukbari, Syarh al-Luma`, ditahqiq oleh Faiz Faris, al-silsilah al-
Turatsiyyah, Kuwait, 1984 h. 33
307
Ibn Yâ`is, Syarah Ibn Yâ`is `Ala al-Mufashal li al-Zamahsari, jilid 1 h.94

125
sebagai sandaran untuk mencapai maksud dari sebuah ungkapan dan khabar
berfungsi sebagai tempat untuk mencapai maksud. Oleh karena itu kedua unsur itu
wajib adanya kecuali ada relasi kata atau keadaan yang cukup tanpa kehadiran
dari salah satu unsur yang dimaksud, maka boleh atau wajib untuk membuang
salah satunya. Karena kehadiran kata dalam sutau kalimat fungsinya adalah untuk
menunjukan makna, jika kalimat tersebut dapat dipahami tanpa kehadirannya
maka boleh dibuang.
Chomsky (1965)308 dalam hal ini memberikan istilah dengan transformasi
delesi, proses ini menggambarkan penghilangan sesuatu dalam struktur kalimat.
Contohnya: Bill couldn`t hear you, but I could hear you. Dari ungkapan ini terasa
terlalu panjang dan memungkinkan untuk dibuang sebagian unsur kalimat dengan
tidak mengurangi dan mengubah makna yang terkandung didalamnya. Maka bisa
disimpelkan kalimatnya menjadi Bill couldn`t hear you, but I could.
1. Reduksi Mubtada
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa mubtada merupakan salah satu
pangkal dari kalimat sempurna dalam bahasa Arab. Artinya apabila kalimat tanpa
kehadirannya maka bisa dikatakan kalimat tersebut tidak akan bisa memiliki
makna.
Ibn Ya`îs309 berpendapat bahwa apabila makna yang terdapat dalam
ungkapan telah memiliki isyarat makna lafal atau memiliki makna kontekstual
atau memiliki makna yang lain yang bisa memberikan pemahaman terhadap
pembaca ataupun pendengar maka menurutnya mubtda boleh dibuang. `Abd
Qahir Al-Jurjânî(w. 474 H)310 menegaskan bahwa membuangnya mubtada melihat
dari konteks kedua unsur tersebut yakni mubtada dan khabar dan juga melihat
keadaan situasi bahasanya.
Menurut penulis membuang mubtada bertujuan untuk efektif dalam
pengucapan dan juga berfungsi untuk lebih komunikatif antara pembicara dengan
pendengar ataupun pembaca. Seperti contoh dalam sebuah jawaban dari
308
Noam Chomsky, Aspects of The Theory of Syntax, The M.I.T. Press, Cambridge, 1965
h.164
309
Ibn Yâ`is, Syarah Ibn Yâ`is `Ala al-Mufashal li al-Zamahsari, jilid 1 h.94
310
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr `Abd al-Qahir Ibn `Abd al-Rahman Ibn
Muhammad al-Jurjani, Dalail al-I`jaz, ditahqiq oleh Mahmud muhammad Syakir, 1983

126
pertanyaan. ‫؟‬3$+ dari pertanyaan ini maka akan lebih efektif dan lebih
komunikatif apabila jawabannya tanpa diikutkan mubtadanya atau dengan kata
lain mubtadanya dibuang, maka cukup dengan mengungapkan jawaban ‫ذ‬$7‫أ‬
secara makna sudah cukup bisa dipahami dan secara strukturpun sudah benar
hanya karena kata ‫ذ‬$7‫ أ‬merupakan khabar dari mubtada yang keberadaanya
ditakdirkan (diperkirakan) dengan kata #‫ أ‬maka logika bahasa Arab mengatakan
bahwa mubtadanya dibuang.
a. Boleh membuang Mubtada
Sebagaimana dijelaskan pada alinea sebelumnya bahwa kalimat sempurna
bahasa Arab pangkal pokoknya adalah mubtada dengan khabar apabila itu jumlah
ismiyah atau fi`l dengan fa`il apabila itu jumlah fi`liyah. Namun dalam keadaan
tertentu unsur pokok tersebut sewaktu-waktu bisa dibuang dengan alasan
kebahasaan yang jelas tanpa merusak makna.
1) Membuang mubtada pada jawaban
Menurut Syibawaih (w. 180 H)311 membuang mubtada bertujuan untuk
memperjelas tempat berhentinya ungkapan. Demikian juga diperjelas oleh al-
Farrâ’ (w.208 H)312 yang menyatakan bahwa mubtada bisa dibuang diantarnya
adalah pada jawaban dari sebuah pertanyaan. Ia mencontohkan dengan ungkapan
‫؟‬3N7‫  ا‬jawaban dari pertanyaan ini bisa cukup dengan hanya menyebut nama
orang bisa Ali, Ahmad, Hasan, Syarif atau yang lainnya bisa juga dengan
menambahkan kalimat lengkap dengan mengungkapkan frase /N7‫ إ‬menjadi /N7‫ا‬
/O atau yang lainnya. Menurut Ibn `Aqil (w.769)313 membuang mubtada pada
jawaban dari sebuah pertanyaan hukumnya boleh. Artinya mubtadanya bisa
muncul bisa juga dibuang yang secara perkiraan keberadaannya ada.

311
Abû Basyar `Umar Ibn Utsman Ibn Qanbari Syibawaih, al-Kitâb, ditahqiq oleh Abd
al-Salam Harun, al-Haiah, al-Misriyah li al-Kitâb, 1977 juz 2 h. 418
312
Abû Zakariyâ yahyâ Ibn Ziyâd al-Dailami al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu,
ditahqiq oleh Ahmad Yusuf Najâti dan Muhammad Ali al-Najâr, al-Haiat, al-`Amah li al-Kitâb,
juz 1, 1980 h. 196
313
Menurut Ibn `Aqil dalam, Syarh Ibn `Aqil `Ala `Alfiyyah Ibn Malik, yang ditahqiq oleh
Muhyi al-Din `Abd al-Hamid , Dar-al-Turats, Kairo, 1980 juz 1 h 244 menyatakan bahwa
membuang mubtada hukumnya ada dua macam yaitu boleh dan wajib.

127
Pada surat al-Baqarah contohnya terdapat pada ayat 21٩ yang berbunyi: ‫ذا‬
9:ْ ‫ ن ; ا‬9+ kata 9:ْ ‫ ا‬menurut al-Ahfasy (w. 211 H.)314 dan al-Zujâj (w. 310 H.)315
dibaca rafa` karena menurutnya kata tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan
‫ ن‬9+ ‫ ذا‬yang membuang mubtadanya yang diperkirakan (ditakdirkan) berupa
dhamir ‫ ه‬sedangkan menurut al-Farrâ’ (w.208.)316 Abû `Ubaidah (w. 210 H.)317,
dan al-Nuhâs (w.338 H.)318 kata 9:ْ ‫ ا‬dibaca mansub karena diperkirakan
(ditakdirkan) menjadi maf`ul bih dari kata َ 9: ‫ ا ا‬9#‫أ‬
Contoh yang sama juga terdapat pada surat al-Haj ayat 72 yang berbunyi ;
‫ر‬+ ‫ ا‬2 ‫ ذ‬1 m 2šّD#ُf0‫ أ‬menurut al-Farrâ’319 dan Abû `Ubaidah320 kata ‫ر‬+ ‫ا‬
merupakan jawaban dari pertanyaan 2 ‫ ذ‬1 m 2šّD#ُf0‫ ; أ‬yang dibaca marfu`
dengan alasan sebagai khabar yang terputus dengan mubtada dan juga karena
sebagai khabar pada permulaan kalimat sedangkan mubtadanya dirahasiakan.
Pendapat kedua tokoh ini berbeda dengan pendapatnya al-Zujâj321 dan al-
Nuhâs322, menurutnya kata ‫ر‬+ ‫ ا‬merupakan khabar dari mubtada yang diperkirakan
mubtada itu dibuang. Demikian pula al-Zujâj dan al-Nuhâs memperkirakan
(mentakdirkan) dibuangnya mubtada senada dengan ayat sebelumya yaitu pada
surat al-Maidah ayat 60 yang lain yang berbunyi:‫' ا‬+O  e 3 ‫ ذ‬1 ّ m 2šّD#ُ‫; ه; أ‬
menurutnya seolah-olah pembica mengatakan: 3 ‫ ذ‬1 maka jawabannya adalah
‫ ا‬+: 1 ‫ه‬.
Pada ayat yang diawalil dengan ‫ك‬
َ ‫ َ َأدْرَا‬sebagaiman yang terdapat pada
surat al-Balad ayat 12-13 yang berbunyi: ٍ Dَ َ ‫ َر‬3
£ 0َ , ُ Dَ َ :َ ْ ‫ك َ ا‬
َ ‫ َوَ َأدْرَا‬para ahli bahasa

314
Abû Hasan Sa`îd Ibn Mus`adah al-Akhfasy, Ma`ânî al-Qur`ân yang ditahqiq oleh
Fâiz Fâris al-Hamd, Kuwait, 1979 Juz 1 h. 172
315
Abû Ishaq Ibrahim Ibn Sahl al-Zujâj, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, ditahqiq leh
`Abd al-Jalil `Abduh Syalbi, `Alim al-Kutub, 1972 Bairut juz 1 h.285
316
Abû Zakariyâ yahyâ Ibn Ziyâd al-Dailami al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu,
ditahqiq oleh Ahmad Yusuf Najâti dan Muhammad Ali al-Najâr, al-Haiat, al-`Amah li al-Kitâb,
juz 1, 1980 h. 196
317
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, ditahqiq oleh Muhammad Fuad Sazkin, 1962 juz 1 h.
73
318
Al-Nuhas, nama lengkapnya adalah Abû Ja`far Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ismail al-
Nuhas, I`rab al-Qur`an, ditahqiq oleh Zuhair Ghazi Zahid, `Alim Al-Kutub wa al-Nahdhah al-
`Arabiyah, 1985 juz 1, h. 210
319
al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 1 h. 230
320
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 54
321
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 2 h. 206
322
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 3 h. 105

128
berbeda pendapat dalam memperkirakan (mentakdirkan) mubtada yang dibuang
dalam kalimat jawaban hasil dari pertanyaan pada ayat sebelumnya. Al-Ahfasy323
memperkirakan bahwa mubtada yang dibuang adalah berupa kata ُ Dَ َ :َ ْ ‫ ا‬sedangkan
al-Nuhâs324 memperkirakan bahwa mubtadanya adalah berupa dhamir ‫ ه‬dan Ibn
Khâlawih325 memperkirakan mubtada yang dibuang adalah sama dengan ayat
sebelumnya. Sedangkan al-Farrâ’ dan Abû `Ubaidah tidak mengemukakan
pendapat yang konkrit terhadap masalah dibuangnya mubtada pada ayat ini.
Menurut penulis sendiri berkaitan dengan memperkirakan (mentakdirkan)
membuang mubtada dalam suatu ungkapan jawaban dari pertanyaan adalah
sebuah logika yang berlebihan karena tanpa membuang mubtada jawaban dari
pertanyaan sudah mengandung makna yang jelas. Apalagi dengan memperkirakan
kata yang belum tentu benar keberadaanya dalam suatu kalimat.
2) Membuang mubtada setelah fa (‫ )اء‬jawab
Para ahli bahasa memperkirakan bahwa setelah fa (‫ء‬9 ‫ )ا‬jawab dalam jumlah
syartiah mengandung mubtada. Contohnya yang terdapat surat al-Taubah ayat: 11
yang berbunyi: 1ّ' ‫ ا‬/0 2#‫œﺥ ا‬0 ‫آة‬6 ‫œن  ا وأ ا ا @ّة و[ ا ا‬0 . menurut al-Ahfasy326,
Abû `Ubaidah327 dan al-Zujâj328 semua tokoh tersebut memperkirakan
(mentakdirkan) setalah fa (‫ء‬9 ‫ )ا‬jawab mengandung dhamir ‫ ه‬sehingga
diperkirakan kalimat lengkapnya adalah 2#‫ إﺥ ا‬0.
Al-Farrâ’329 sebenarnya ragu-ragu terhadap ayat ini karena kemungkinan
bisa ditakdirkan dengan mubtada dan bisa juga ditakdirkan dengan fi`l. Ia juga
memberi contoh yang sama pada surat al-Maidah ayat 118 yang berbunyi: ّ*: ‫إن‬
‫دك‬D:0 menurut qira`ah Abdullah. Al- Fara berpendapat bahwa jumlah setelah fa
(‫ء‬9 ‫ )ا‬jawab bisa berupa mubtada bisa juga berupa fi`l, maka ungkapan
323
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 3 h. 538
324
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 5 h. 321
325
al-khalawih, I`rab Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, h. 164
326
Abû Hasan Sa`îd Ibn Mus`adah al-Akhfasy, Ma`ânî al-Qur`ân yang ditahqiq oleh
Fâiz Fâris al-Hamd, Kuwait, 1979 Juz 1 h. 17٣
327
Nama lengkapnya adalah Mu`amar Ibn Mutsana Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân,
ditahqiq oleh Muhammad Fuad Sazkin, 1962 juz 1 h. ٢٥٢
328
Abû Ishaq Ibrahim Ibn Sahl al-Zujâj, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, ditahqiq leh
`Abd al-Jalil `Abduh Syalbi, `Alim al-Kutub, 1972 Bairut juz 1
329
Abû Zakariyâ yahyâ Ibn Ziyâd al-Dailami al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu,
ditahqiq oleh Ahmad Yusuf Najâti dan Muhammad Ali al-Najâr, al-Haiat, al-`Amah li al-Kitâb,
juz 1, 1980 h. 1٤١

129
lengkapnya bisa menjadi ‫دك‬DO 0 ّ*: ‫ إن‬atau ‫دك‬DO #œ0 ّ*: ‫إن‬. Ia
memperkirakan (mentakdirkan) dengan mubtada dengan maksud bahwa yang
menjadi khabarnya bersifat abadi dan berkelanjutan. Sedangkan jika setelah fa
(‫ء‬9 ‫ )ا‬jawab berupa fi`l maka yang dimaksudkan tidak abadi dan bersifat
sementara, sebagaimana yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 239 yang
berbunyi: #D‫ أورآ‬G‫ﺝ‬0 $9‫œن ﺥ‬0. Pada potongan ayat tersebut terdapat sesuatu yang
tidak abadi yaitu ketika takut, sifat takut itu bisa berubah-ubah dalam waktu yang
relatif tidak bisa ditentukan maka dalam hal ini al-Farrâ’ memperkirakan
(mentakdirkan) ungkapan yang terletak setelah fa (‫ء‬9 ‫ )ا‬jawab adalah fi`l, oleh
karena itu ungkapan lengkapnya adalah #D‫ أورآ‬G‫@ ا رﺝ‬0 $9‫œن ﺥ‬0.
Al-Zujâj330 memperkirakan (mentakdirkan) mubtada yang terletak setelah fa
(‫ء‬9 ‫ )ا‬jawab pada ayat 196 dan 229 dari surat al-Baqarah yang masing-masing
bunyinya: ‫ي‬
ِ ْ'َ ْ ‫ ا‬1
َ ِ َ Y
َ ْ $َ 7
ْ ‫َ ا‬N0َ dan ‫ف‬
ٍ ‫ُو‬:ْ Nَ ِ ٌ‫َك‬Yْ œِ0َ ‫ن‬
ِ َ َ ‫ق‬
ُ َS
 ‫ ا‬dengan kata O >‫ا اﺝ‬
maka dipekirakan ungkapan lengkapnya adalah ‫ي‬
ِ ْ'َ ْ ‫ ا‬1
َ ِ َ Y
َ ْ $َ 7
ْ ‫ َ ا‬O >‫ اﺝ‬0 dan
‫ف‬
ٍ ‫ُو‬:ْ Nَ ِ ٌ‫َك‬Yْ ‫ ِإ‬O >‫ اﺝ‬0 sedangkan `Abd al-Wahid Shalih331 pada ayat 196
memperkirakan (mentakdirkan) setelah fa (‫ء‬9 ‫ )ا‬jawab berupa frase 2O yang
posisi i`râbnya menjadi khabar Muqadam sedangkan huruf  adalah ism maushul
yang posisi i`râbnya menjadi Mubtada Muakhar. Ayat 229 `Abd al-Wahid332
memperkirakan (mentakdirkan) mubtadanya adalah berupa kata 1A$ ‫ا‬.
3) Membuang mubtada setelah kata ‫ا
ل‬
`Abd al-Wahid Salih333 berpendapat tentang ayat 58 surat al-Baqarah ia
menyatakan bahwa kalimat S‫ و ا ﺡ‬mengandung mubtada yang dibuang yang
diperkirakan (ditakdirkan) berupa kata S‫ أك ﺡ‬dan jumlah ismiyah dari mubtada
dan khabar posisi i`râbnya dibaca mansub karena menjadi maf`ul bih. Sedangkan
menurut al-Zujâj pada kalimat S‫ و ا ﺡ‬mengandung i`râb mansub dengan
perkiraan (ditakdirkan) $#‫ أ‬dan bisa juga i`râb marfu dengan perkiraan
(ditakdirkan) mubtadanya berupa kata +$ fY.
4) Membuang mubtada diawal kalimat

330
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 256
331
`Abd Wahid Shalih, al-I`rab al-Mufashal li al-Kitab Allah al-Muratal, jilid 1, h. 254
332
`Abd Wahid Shalih, al-I`rab al-Mufashal li al-Kitab Allah al-Muratal, jilid 1, h. 301
333
`Abd Wahid Shalih, al-I`rab al-Mufashal li al-Kitab Allah al-Muratal, jilid 1, h. 65

130
Sikap para ulama terhadap i`râb awal ayat 147 surat al-Baqarah tidak
terdapat perbedaan pendapat. Seperti al-Farrâ’334 berkata bahwa pada awal ayat
tersebut terdapat mubtada yang dibuang yang diperkirakan (ditakdirkan) berupa
kata ‫ ه‬menurutnya kalimat lengkap diperkirakan berupa kalimat 1  ‫' ه ا‬N 
3‫ ر‬. Abû `Ubaidah335 lebih tegas lagi mengatakan bahwa pada ayat tersebut
disamping sebagai kalimat baru ataupun kalimat yang terpotong dari kalimat
sebelumnya maka harus menjadi kalimat sempurna yang mesti ada mubtada dan
ada khabar walaupun itu hanya diperkirakan (ditakdirkan). Demikian juga dengan
`Abd al-Wahid336 berpendapat bahwa pada awal ayat 147 perlu ada mubtada yang
diperkirakan (ditakdirkan) berupa kata ‫ ه‬karena kata  ‫ ا‬bagi para tokoh
merupakan khabar yang mubtadanya dibuang.
2. Reduksi Khabar
Ahli Nahwu membagi dua hukum dalam hal membuang khabar yaitu wajib
dan boleh, yang pertama akan membahas tentang wajibnya membuang khabar.
a. Wajib membuang khabar
1) Membuang khabar setelah kata (
)
Al-Nuhâs337 berkata bahwa pada ayat 64 surat al-Baqarah yang berbunyi
‫; ا‬%0 G 0 mengandung khabar yang dibuang setelah kata G dan menurut
Sibawaih kata ;%0 dibaca rafa` karena berfungsi sebagai mubtada sedangkan
khabarnya dibuang. Demikian juga `Abd al-Wahid Salih.
2) Wajib membuang khabar Qasam Sharih
Menurut al-Farrâ’338 khabar yang terletak setelah Qasam Sharih
diperkirakan (ditakdirkan) tidak dibuang dengan alasan bahwa kalimat yang
terletak setelah jawab qasam adalah kalimat yang independen. Sedangkan
menurut al-Nuhâs339 memperkirakan bahwa khabar yang terletak setelah Qasam
wajib dibuang sebagaiman Ia mencontohkan dalam ayat 72 surat al-Khijr yang
berbunyi: ‫ ن‬N: 27 /9 ّ#‫ك إ‬N: , pada ayat ini al-Nuhâs memperkirakan

334
al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 1 h. 39
335
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 1 h. 95
336
`Abd Wahid Shalih, al-I`rab al-Mufashal li al-Kitab Allah al-Muratal, jilid 1, h. 197
337
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 2 h. 247
338
al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 1 h. 39
339
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 2 h. 387

131
(mentakdirkan) yang menjadi mubtadanya adalah kata ‫ك‬N: dan khabarnya
dibuang dengan perkiraan (ditakdirkan) berupa kata /NY.
b. Boleh membuang khabar
1) Boleh membuang khabar setelah fa (‫ )اء‬Jawab
Tokoh bahasa semuanya sependapat bahwa setelah fa (‫ء‬9 ‫ )ا‬Jawab khabar
boleh dibuang. Contoh pada 196 surat al-Baqarah yang berbunyi: N0 @‫œن أﺡ‬0
Y$7‫ا‬, menurut al-Syuyuthi, al-Farrâ’, al-Akhfasy, al-Nuhâs dan termasuk tokoh
bahasa Arab kontemporer juga menyatakan bahwa khabar yang terletak setelah fa
(‫ء‬9 ‫ )ا‬dibuang dan diperkirakan (ditakdirkan) berupa kata O.
2) Boleh membuang khabar karena `athaf kepada mubtada sebelumnya
Khabar boleh dibuang ketika khabar itu merupakan ungkapan yang sama
pada mubtada yang pertama. Karena makna yang terkandung telah dipahami oleh
pendengar atau pembaca. Contoh: ^^ 1
ّ ّ':0 $D‫ إن ار‬2?Y# 1 LN ‫ ا‬1 1Yš /?ّ ‫وا‬
1%  /? ‫ أﺵ وا‬pada ayat ini ungkapan ‫ ^^ أﺵ‬merupakan khabar dari
mubtada 1
ّ ّ':0 dan ungkapan 1%  /? ‫ وا‬merupakan mubtada juga yang di
`Athafkan kepada ungkapan 1
ّ ّ':0 maka menurut para tokoh linguis seperti al-
Farrâ’340 dan al-Zujâj341 mengatakan bahwa khabar dari ungakapan 1%  /? ‫وا‬
dibuang yang diperkirakan (ditakdirkan) sama dengan khabar pada ungkapan
1
ّ ّ':0 yaitu ‫ ^^ أﺵ‬namun menurut para tokoh linguistik karena tanpa
dihadirkannya khabar pada mubtada yang kedua pembaca atau pendengar
dianggap telah memahami maksud dari sebuah pernyataan.
3) Boleh membuang khabar pada Tanazu`
Khabar boleh dibuang karena menghindari pengulangan dalam penyebutan
dari dua `Amil yang menghendaki adanya khabar yang sama. Syibawaih dalam
hal ini memberikancontoh pada ayat 62 surah al-Taubah yang berbunyi:  7‫وا ور‬
‫أن ﺽ‬ ‫أﺡ‬. al-Zujâj342 memperkirakan (mentakdirkan) khabar yang dibuang
adalah ungkapan yang sama dengan khabar pada mubtada yang pertama, maka
kalimat yang semestinya adalah ‫ وا أﺡ أن ﺽ‬dan ‫  أﺡ أن ﺽ‬7‫ ور‬. Pendapat
yang senada juga dikemukakan oleh al-Nuhâs dan al-Syuyuthi.
340
al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 1 h. 282
341
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 258
342
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 256

132
4) Boleh membuang khabar apabila berbentuk Syibh al-Jumlah
Ada perbedaan pendapat dikalangan tokoh linguis Arab dalam membahas
masalah khabar yang berupa syibh al-Jumlah seperti al-dharf, atau Jar Majrur.
Satu pihak mengatkan bahwa apabila Jumlah Ismiyah itu terdiri dari Mubtada dan
khabar yang terdiri dari Syib al-Jumlah maka pada hakekatnya yang menjadi
khabar adalah khabarnya dibuang yang ditakdirkan dengan jumlah fi`liyah,
sedangkan pendapat yang satu lagi mengatakan bahwa Syibh al-Jumlah itulah
yang menjadi khabarnya.
Al-Akhfasy343 memperkirakan (mentakdirkan bahwa khabar yang berupa
syibh al-jumlah pada hakekatnya khabarnya berupa jumlah fi`liyah yang dibuang.
Ia memberi contoh pada surah al-Rahman ayat 5 yang berbunyi: ‫ن‬DY N ‫ وا‬gNm ‫ا‬
menurut al-Akhfasy khabar dari ayat ini adalah jumlah fi`liyah yang berupa kata
‫ن‬, maka kalimat lengkapnya adalah ‫ن‬DY ‫ ن‬N ‫ وا‬gNm ‫ا‬.
Al-Zujâj344 memperkirakan pada ayat 78 surat al-Baqarah yang berbunyi:
/#‫ أ‬G‫ب إ‬$2 ‫ ن ا‬N:G ‫ أ ن‬+‫و‬. Menurutnya kata +‫ و‬merupakan khabar yang
dibuang yang semestinya ada jumlah fi`liyah sebelumnya. Al-Zujâj mentakdirkan
jumlah yang menjadi perkiraannya adalah kata $7‫ا‬.
3. Membuang Fa`il
Jumlah mufidah dalam bahasa Arab baik berupa jumlah ismiyah ataupun
jumlah fi`liyah, sudah semestinya ada unsur-unsur yang menjadi pangkal pokok
suatu jumlah tersebut. Dalam jumlah ismiyah pangkal pokoknya adalah mubtada
dengan khabar, maka jika jumlah ismiyah tidak mengandung kedua unsur tersebut
maka belum bisa dikatakan jumlah mufidah. Begitu juga dengan jumlah fi`liyah
pangkal pokoknya adalah fi`l dengan fa`il, maka apabila salah satu dari kedua
unsure ini tidak Nampak pada suatu jumlah maka belum bisa dikatan dengan
jumlah fi`liyah. Namun dalam keadaan tertentu baik mubtada ataupun khabar
sewaktu-waktu tidak muncul karena ada alasan yang mendasarinya. Demikian
pula dengan fi`l dan fa`il dalam sebuah jumlah terkadang tidak muncul karena
adanya sebab.

343
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 490
344
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 132

133
Tidak adanya mubtada dan khabar dalam suatu jumlah telah dibahas
sebelumnya dan sekarang ini akan dibahas tentang dibuangnya fa`il dalam sebuah
jumlah. Menurut al-Mubarad (w. 285 H)345 bahwa setiap fi`l itu pasti ada fa`ilnya
karena tidak mungkin fi`l itu berdiri sendiri tanpa kehadiran fa`il. Namun
menurutnya terkadang fa`il itu dibuang karena dirasa cukup dengan alasan adanya
dua fi`l atau lebih yang memerlukan satu fa`il saja.
Al-Mubarad memberikan contoh ‫' أﺥ ك‬:‫ م و‬pada contoh ini tidak lagi
diperlukan kemunculan fa`il dari kata ‫ م‬dan fa`il dari kata ': karena kedua fi`l
tersebut dapat diwakili dengan satu fa`il saja. al-Mubarad dalam hal ini
membedakan antara membuang(al-hadzf) dengan dhamir (kata ganti). Pendapat
yang senada juga dikemukakan oleh al-Zarkasyi (w. 794 H)346 bahwa perlu
adanya pembeda antara al-Hadf (membuang) dengan al-idhmar(kata ganti), karena
perbedaan keduanya terletak pada syarat yang melekat pada dhamir yaitu apabila
dhamir( kata ganti) ada keabadian perkiraan (takdir) yang melekat pada fi`l.
Sedangkan membuang (al-Hadf) tidak bersifat abadi. Ibn Jinnî (w.392 H)347 dalam
hal ini memberikan contoh ayat 171 surat al-Nisa yang berbunnyi: 2 ‫ ا ﺥا‬$#‫إ‬. Ia
memperkirakan pada kata ‫ ا‬$#‫ إ‬terdapat dhamir yang menjadi fa`il dan bukan
merupakan fa`il yang dibuang.
Al-Kasai berpendapat berbeda bahwa pada kata ‫ ا‬$#‫ إ‬sebenarnya dibolehkan
juga berargumen fa`ilnya dibuang karena ada sebab. Pendapatnya juga didukung
oleh Ibn Madha sebagaimana tertulis dalam kitabnya yang berisi tentang
pendapatnya al-Kasai. Sedangkan Ibn Hisyam lebih tegas lagi menyatkan bahwa
pada hakekatnya dalam jumlah Fi`liyah tidak ada istilah hadf al-fa`il karena fa`il
merupakan unsur utama dalam jumlah fi`liyah. Apabila membuang fa`il sama
dengan membuang bagian dari jumlah fi`liyah.

345
Nama lengkapnya Abû `Abas Muhammad Ibn Yazid al-Mubarad, al-Muqtadhab,
ditahqiq oleh Muhammad `Abd al-Khaliq Ghadimah, al-Majils al-A`la al-Islamiyyah, li Janah Ihya
al-Turats, 1989 jilid 4 h. 50
346
Nama lengkapnya Badr al-Din Muhammad ibn Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi al-
`Ulum al-Qur`an, ditahqiq oleh Muhammad Abi al-fadl Ibrahim, Dar al-Jim, Bairut, 1988, jilid 4
h. 77
347
Nama lengkapnya adalah Abû al-Fath Utsman, al-Khashaish, ditahqiq oleh
Muhammad `Ali al-Najâr, Dâr al-Kutub Mesir

134
Para tokoh bahasa Arab silang pendapat terhadap analisis ayat 32 surat Shad
yang berbunyi: ‫  رت  ب‬/$‫ ﺡ‬pada ayat ini fa`il dari fi`l ‫  رت‬belum nampak
secara nyata maka inilah yang menimbulkan sebab dari perbedaan dalam
memberikan perkiraan (takdir) apa berupa fa`il yang dibuang atau dhamir (kata
ganti) mustatir. Menurut Abû `Ubaidah348 bahwa fa`ilnya adalah dhamir mustatir
yang diperkirakan berupa kata gNm ‫ ا‬sedangkan menurut al-Zujâj349 bahwa fa`il
dari kata ‫  رت‬adalah kata gNm ‫ ا‬yang dibuang karena pada hakekatnya fa`ilnya
bisa disebutkan. Dan mengapa kedua tokoh ini menyebutkan bahwa fa`ilnya
berupa kata gNm ‫ ا‬karena ayat diatas mengarah pada gNm ‫ ا‬yang dihubungkan
dengan ayat sebelumnya yang berbunyi /
ّ m:  O ‫ض‬O ‫ إذ‬manurutnya kata /
ّ m: ‫ا‬
mempunyai makna sebelum tergelincirnya matahari.
Menurut Abû Hayân(w. 745 H)350 Fa`il dari ayat diatas adalah berupa kata
‫ت‬+0@ ‫ ا‬yang mempunyai makna ;A ‫ ا‬maka dhamir pada ayat ini ditolak karena
pada ayat yang lain dimungkinkan fa`ilnya akan berbeda mungkin berupa kata
;A ‫ ا‬dan mungkin juga berupa kata gNm ‫ ا‬dan mungkin juga kata yang lain.
Dari contoh ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa untuk
menentukan apakah fa`il dari fi`l itu berupa dhamir mustatir atau ism dhahir yang
dibuang merupakan hal yang sangat relatif dan kontekstual. Sebagaimana fa`il
pada kata N‫ت آ‬D‫ آ‬dengan $ D‫ آ‬dari kedua ayat ini mempunyai fi`l yang sama
yaitu kata D‫ آ‬, secara arti kata keduanya mempunyai arti yang sama yaitu besar
akan tetapi secara konteks masing-masing mempunyai fa`il yang berbeda. Pada
ayat 3 surat al-Shaf diperkirakan (ditakdirkan) fa`ilnya dibuang yang yang
semestinya berupa kata ‫اء‬6 ‫ ا‬3 ‫ ذ‬D‫ آ‬sedangkan pada ayat 5 dari surah al-Kahfi
fa`ilnya diperkirakan (ditakdirkan) dibuang yang semestinya berupa kata ‫ت‬D‫آ‬
$ .
Al-Zujâj ketika mengi`râb ayat 94 dari surat al-An`am yang berbunyi: ْ'َ َ
ْ2ُ +َ ْ َ Fَ S
 َ َ menyatkan bahwa fa`il dari kata Fَ S
 َ َ merupakan fa`il yang dibuang yang
diperkirakan mempunyai makna ْ2ُ +َ ْ َ ‫آ‬m ‫ ا‬1 0 $+‫ آ‬Fَ S
 َ َ ْ'َ َ sedangkan menurut

348
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 182
349
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 4 h. 331
350
Nama lengkapnya adalah Atsir al-Din Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayan, Bahr al-
Muhith, Dar al-Fikr , 1983 jilid 7 h.396

135
Ibn Jinnî kata Fَ S
 َ َ mempunyai fa`il dhamir mustatir yang diperkirakan berupa
kata ]‫ ا‬atau ': ‫ ا‬atau ‫ ا د‬atau kata yang semakna dengannya.
Penulis memberikan kesimpulan dari diskusi para tokoh diatas bahwa pada
dasarnya dalam bahasa Arab sebuah kalimat semestinya mengandung unsur pokok
dari sebuah jumlah. Baik yang berbentuk jumlah ismiyah maupun yang berbentuk
jumlah fi`liyah. Dari jumlah ismiyah tidak bisa tidak harus terdapat unsur
mubtada dan unsur khabarnya adapun pada realitasnya tidak muncul salah satu
dari unsur tersebut menurut para tokoh itu bukan berarti tidak ada akan tetapi
keberadaanya tidak ditampakan ataupun dihilangkan. Demikian juga dengan
jumlah fi`lilyah yang terdiri dari fi`l dan fa`il maka pada dasarnya kedua unsur ini
mesti ada dalam sebuah kalimat. Keharusan munculnya unsur-unsur pokok inilah
yang disebut dengan kolokasi adapun ada unsur yang dibuang maka kolokasi ini
disebut dengan kolokasi reduksi.
C. KOLOKASI AFFIKS
Kolokasi affiks merupakan kebalikan dari kolokasi redukasi. Dimana
kolokasi ini dalam struktur kalimatnya terdapat tambahan konstituen yang secara
makna tidak berpengaruh secara signifikan. `Abduh Râjahî351 memberikan
kesimpulan dari para pendapat para tokoh linguis Arab dalam pembahasan
masalah ini bahwa masuk dan keluarnya konstituen dalam struktur bahasa Arab
tidak mempengaruhi terhadap makna yang terkandung dalam struktur kalimat
tersebut.
Para ahli bahasa Arab berbeda pendapat dalam pembahasan masalah
afiksasi konstituen struktur kalimat, ada yang berpendapat bahwa penambahan
konstituen dalam struktur kalimat ini tidak memberikan efek terhadap makna dan
ada yang berpendapat mempunyai pengaruh terhadap makna. Diantara tokoh yang
menyatakan bahwa afiksasi konstituen struktur kalimat akan berpengaruh
terhadap makna adalah al-Farrâ’352, Abû `Ubaidah353 dan al-Akhfasy354 sedangkan

351
`Abduh Râjahî, al-Nahw al-`Arabî wa al-Dars al-Hadîts, al-nahdlat al-`Arabiyat,
Bairut, 1979 h. 152
352
al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 4 h. 255
353
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 1 h. 11
354
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 219

136
yang berpendapat bahwa afikasi tidak memberikan makna adalah al-Zujâj355
menurutnya pada dasarnya afiksasi merupakan hal yang tanpa efek makna baik itu
membuang ataupun mempertahankannya, namun tidak dikatakan salah dalam
struktur kalimat tersebut, demikian juga dengan al-Nuhâs356 merupakan tokoh
yang menyatakan bahwa afiksasi tidak berpengaruh terhadap makna. Ia
memberikan contoh dalam menafsirkan ayat 55 surat al-Qashash yang berbunyi:
+O ‫ﺽ ا‬O‫ أ‬K ‫ ا ا‬:N7 ‫ وإذا‬ia hanya menafsirkan dengan kata-kata mencegah dari
kebaikan dan mengajak kepada kejahatan.
Dari pemaparan para linguis diatas maka penulis perlu membahas tentang
penambahan konstituen dalam struktur kalimat bahasa Arab yang merupakan
bagian dari kajian kolokasi yang perlu dianalisis baik secara struktur maupun
secara makna.
1. Afiksasi pronomina pemisah
Pronomina (Dhamir) dalam struktrur bahasa Arab terkadang muncul
mengantarai mubtada dan khabar, kemunculan dhamir tersebut menurut para
linguis Arab tidak mempengaruhi maksud dan makna dari sebuah ungkapan. Ada
dan tidak adanya dhamir dari sebuah kalimat mengandung makna yang sama.
Contoh: VR ‫ آن ز' ا‬pada kalimat tersebut kata VR ‫ ا‬posisi i`râbnya dapat
dikatakan menjadi sifat dari kata *‫ز‬, maka apabila ungkapan tersebut mendapat
tambahan pronomina (dhamir) ‫ ه‬maka menjadi VR ‫ آن ز'ه ا‬makna dari
ungkapan tersebut tidak berbeda dengan sebelumnya. Demikian juga dengan
ungkapan 3+ ‫ ز*ا ه ﺥا‬DY‫ﺡ‬, ungkapan ini dapat dibandingkan maknanya
dengan menghilangkan pronomina (dhamir) menjadi 3+ ‫ ز*ا ﺥا‬DY‫ﺡ‬, bisa juga
dibandingkan dengan ayat 6 surat al-Syaba yang berbunyi: ‫ ا *ي‬: ‫ أو ا ا‬1* ‫وي ا‬
 ‫ ه ا‬3‫ ر‬1 3 ‫ل إ‬6#‫ أ‬ayat tersebut menurut para linguis Arab dikatakan
seandainya dihilangkan pronominal (dhamir) ‫ ه‬maka tidak merubah makna dan
i`râbnya.

355
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 2 h. 222
356
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 4 h. 59

137
Al-Farrâ’357 memberikan i`râb kata 1N R ‫ ا‬pada ayat 76 surat al-Zuhruf
yang berbunyi: 1N R ‫ ا ه ا‬#‫ آ‬12 ‫ه و‬+NW ‫ و‬dengan dua versi, versi yang pertama
bahwa kata tersebut bisa dibaca dengan 1N R ‫ ا‬dengan alasan bahwa pronomina
(dhamir) ‫ ه‬merupakan huruf pemisah maka kata 1N R ‫ ا‬i`râbnya dibaca mansub
karena berfungsi sebagai khabar dari ‫ آن‬sedangkan versi kedua dibaca marfu`
dengan argumen pronomina (dhamir) ‫ ه‬merupakan mubtada sedangkan kata
‫ ن‬N R ‫ ا‬berfungsi sebagai khabar dari ‫ه‬.
Abû `Ubaidah358 memberikan menganalisis makna dari ayat 11 surat al-
Baqarah yang berbunyi: ‫' ا ه ﺥا‬+O o‫ 'و‬dengan ‫' ا ﺥا‬+O o‫ 'و‬dengan
menghilangkan dhamir. Sedangkan al-Akhfasy359 memberikan batasan bahwa
penambahan dhamir al-Fashl memberikan makna taukid. Dan memberikan isyarat
bahwa bahasa Bani Tamim kata yang terletak setelah dhamir ‫ ه‬selalu dibaca
marfu` sebagaimana dikemukakan oleh syibawaih360 kebanyakan orang Arab
mengungkapkan kata yang terletak setelah pronomina (dhamir) dibaca dengan
marfu` contohnya: 3+ ‫ ز'اه ﺥ‬1W‫ أ‬dan kebanyakan orang Arab membaca ayat
‫ ن‬N R ‫ ا ه ا‬#‫ آ‬12 ‫ه و‬+NW ‫ و‬dibaca marfu tidak dibaca mansub dengan alasan
karena kata ‫ ن‬N R ‫ ا‬merupakan khabar dari mubtada ‫ه‬.
Menurut penulis dengan menghadirkan dhamir fashl dalam kalimat akan
tidak berpengaruh terhadap makna akan tetapi dalam i`râb kadang bisa
berpengaruh dan kadang juga tidak berpengaruh. Dhamir fashl dalam pemaknaan
hanya berfungsi dalam penekanan makna saja.
2. Afiksasi nama tempat (dharaf)
a. Afiksasi kata 1
Al-Farrâ’361 menganalisis kata 1 pada ayat 7 surat al-Thariq yang
berbunyi: >?‫ا‬$ ‫ ا @> وا‬1 1 ‫ج‬A, menurutnya kata 1 merupakan konstituen
tambahan (ziyadah) karena >?‫ا‬$ ‫ ا @> وا‬1 sudah mengandung makna 1.
Pendapat ini seirama dengan pendapat para ahli nahwu kufah yang menyatakan

357
al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 3 h. 37
358
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 274
359
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 321
360
Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 2 h. 392
361
al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 3 h. 255

138
bahwa >?‫ا‬$ ‫ ا @> وا‬1 telah mengandung makna 1 dan sebaliknya >@ ‫ ا‬1
>?‫ا‬$ ‫ وا‬mengandung makna 1.
Sedangkan pendapat yang lain menyatakan bahwa kata 1 pada ungkapan
tersebut bukan merupakan tambahan karena pada kata 1 mengandung DDY ‫ ا‬1
dan tambahan disini mengandung pengertian tamabahan fungsional bukan
tambahan dalam struktur kalimat. Pernyataan ini dikemukakan oleh al-Nuhâs362.
Menurut penulis sendiri kata 1 pada ayat tersebut mempunyai stresing yang lebih
kuat terhadap pada makna yang terkandung didalamnya.
b. Afiksasi kata ‫ ق‬0
Al-Akhfasy363 memberikan analisis kata ‫ ق‬0 yang teradapat pada ayat12
surat al-Anfal yang berbunyi: ‫ق‬+O]‫ ق ا‬0 ‫ﺽ ا‬0 mempunyai makna ‫ق‬+O]‫ﺽ ا ا‬0
dilihat dari semantiknya makna yang terdapat pada ayat tersebut mempunyai
makna yang sama dengan analisis al-Farrâ’ ketika membahas tamabahan dharaf
Baina (1).
Sedangkan pernyataan Al-Akhfasy dibantah oleh pendapat al-Nuhâs364
dengan menukil dari argumen al-mubarad365 yang menyatakan bahwa dharaf
mengandung makna sesuatu yang lebih spesifik. Sebagaimana dalam bahasa
Indonesia ungkapan yang menyatakan bahwa “ Amin memukul sapi” ungkapan
ini tentu tidak mengandung anggota badan secara keseluruhan akan tetapi
mungkin bagian kepala sapi atau bagian belakang sapi ataupun anggota tubuh
yang lainnya.Maka menurutnya tidak bisa dikatakan kata ‫ ق‬0 pada ayat tersebut
diatas sebagai tambahan (ziyadah).
Pendapat dari para tokoh lain sebagaimana dinukil oleh al-Thabari(w.310
H)366 bahwa kata tersebut bukan merupakan kata tambahan (ziyadah) karena
dengan adanya kata ‫ ق‬0 maka obyek dari perbuatan itu mempunyai makna yang
luas. Apabila hanya menampilkan ungkapan ‫ق‬+O]‫ﺽ ا ا‬0 maka obyek dari

362
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 5 h. 200
363
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 319
364
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 2 h. 180
365
Lihat al-Mubarad, al-Muqtadhab, jilid 4 h. 328
366
Nama lengkapnya adalah Abu ja`far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Jami` al-Bayan
fi al-Tafsir al-Qur`an, Penerbit Dar al-Sya`b, jilid 13 h. 429

139
perbuatan sangat spesifik. Dengan demikian maka para mufasir berbeda pendapat
dalam menganalisis ayat ini.
Abi Waqi` menafsirkan ayat tersebut dengan ‫ق‬+O]‫ﺽ ا ا‬0 sedangkan
Mas`ud yang sanadnya sampai kepada Rasulullah menyatakan bahwa rasul tidak
mengutus untuk menyiksa lebih berat dari siksa Allah, dia hanya menyatakan
dengan kata-kata ‫' ا َ ^َق‬v ‫ق وﺵ‬+O]‫ب ا‬% berbeda lagi dengan tafsir dari ibn faraj
yang menyatakan bahwa maksud dari ungkapan tersebut adalah apa yang dekat
dengan bagian leher. Dan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa ungkapan
tersebut adalah kepala.
Secara nahwiyah menurut penulis kata ‫ ق‬0 pada ayat tersebut merupakan
tambahan (ziyadah) karena tanpa adanya kata ‫ ق‬0 makna sudah dapat difahami
dan secara konteks makna tersebut sangat relatif, tidak tekstual dalam
penerapanya.
c. Afiksasi kata ‫إذ‬
Al-Thabari memberikan analisis bahwa kata ‫ إذ‬pada ayat 22 surat Shad
yang berbunyi: ‫ دَا ُو َد‬TَO
َ ‫ﺥُ ا‬
َ ‫ ِإذْ َد‬merupakan tambahan (ziyadah) dengan alasan
karena kata ‫ إذ‬sebelumnya telah disebutkan sekali dalam ayat 21 ‫ب‬
َ ‫َا‬
ْ Nِ ْ ‫  رُوا ا‬Y
َ َ ْ‫ِإذ‬.
Ia berpendapat bahwa kedua ungkapan ini mengandung makna yang sama karena
kegiatan ‫  رُوا‬Y
َ َ dengan kegiatan ‫ﺥُ ا‬
َ ‫ َد‬merupakan satu kegiatan. kata ‫  رُوا‬Y
َ َ yang
mempunyai makna masuk tanpa melalui pintu ketika itu juga sang pelaku masuk
menemui Dawud. Oleh karena itu menurut ahli nahwu bisa cukup dengan
mengucapkan ‫ دَا ُو َد‬TَO
َ ‫ب‬
َ ‫َا‬
ْ Nِ ْ ‫  رُوا ا‬Y
َ َ ْ‫ِإذ‬.
Al-Farrâ’367 dalam menganalisis ayat tersebut diatas sependapat dengan
para ahli nahwu yang lainnya hanya dalam memberikan makna al-Farrâ’
memberikan perkiraan (takdir) bahwa kata ‫ إذ‬yang kedua bisa diganti dengan kata
N sehingga bisa diungkapkan dengan lengkap sebagai berikut: N ‫ب‬
َ ‫َا‬
ْ Nِ ْ ‫  رُوا ا‬Y
َ َ ْ‫ِإذ‬
‫ دَا ُو َد‬TَO
َ ‫ﺥُ ا‬
َ ‫َد‬

d. Afiksasi kata ‫ف‬2 ‫ا‬

367
al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 2 h. 401

140
Ayat 259 surat al-Baqarah yang berbunyi: ٍ َ َْ TَO
َ  َ ‫ آَ *ِي‬dari kalangan
lingusi Arab mendapat perhatian dalam membahas huruf ‫ف‬2 ‫ا‬, apakah huruf
tersebut merupakan tambahan atau merupakan pelengkap. Menurut al-Akhfasy368
huruf ‫ف‬2 ‫ ا‬merupakan huruf tambahan (ziyadah) karena ayat ini `athaf terhadap
awal ayat sebelumnya. Pada awal ayat pertama yang berbunyi: ‫ج‬
 َ‫ ا *ِي ﺡ‬Tَ ‫َأَ ْ َ َ ِإ‬
ِ v‫ َر‬/ِ0 َ ِ‫ ِإ َْاه‬mempunyai makna ‫ ه; رأ‬maka ayat yang di`athafkan tersebut harus
memiliki keseimbangan dengan ayat yang menjadi ma`thufnya. Pendapat yang
senada juga dikemukakan oleh ulama Nahwu Basrah yang menyatakan bahwa
ayat tersebut merupakan `Athaf terhadap awal ayat sebelumnya maka akan
menjadi ٍ َ َْ TَO
َ  َ ‫ ِ او ا *ِي‬v‫ َر‬/ِ0 َ ِ‫ج ِإ َْاه‬
 َ‫ ا *ِي ﺡ‬Tَ ‫َأ َْ َ َ ِإ‬.
Menurut analisis al-Zujâj369 ayat yang di`athafkan kepada ayat sebelumnya
itu ditakdirkan mengandung makna ‫ رأ‬oleh karenanya huruf ‫ف‬2 ‫ ا‬pada ayat
yang kedua bukan merupakan huruf tambahan (ziyadah) akan tetapi merupakan
taukid. Demikian juga dengan ayat 11 surat al-Syura yang berbunyi: ‫ء‬/‫ ﺵ‬eN‫ آ‬g
pada ayat tersebut huruf ‫ف‬2 ‫ ا‬yang bergabung dengan kata e mempunyai makna
yang sama, dengan penggabungan makna yang sama tersebut bukan berarti yang
satu dianggap sebagai tambahan (ziyadah), artinya apabila tanpa hadirnya salah
satu unsur tersebut dianggap makna telah cukup dipahami. Akan tetapi menurut
al-Zujâj dengan hadirnya kedua unsur tersebut ungkapan ini mempunyai makna
yang besar.
Dari diskusi diatas dapat disimpulkan bahwa huruf ‫ف‬2 ‫ ا‬memiliki
perbedaan pendapat bagi kalangan ulama nahwi ada yang menyatakan bahwa
huruf ‫ف‬2 ‫ ا‬merupakan tambahan artinya sewaktu-waktu huruf tersebut tidak ada
maka maknanya sama. Sebagian ulama lagi menyatakan bahwa huruf ‫ف‬2 ‫اا‬
merupakan taukid maka dengan tidak adanya huruf tersebut stresing maknanya
akan berkurang walaupun makna telah dapat dipahami.

e. Afiksasi huruf ‫ء‬D ‫ا‬

368
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 1 h. 185
369
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 342

141
Huruf ‫ء‬D ‫ ا‬menurut Syibawaih370 bisa hadir dalam suatu kalimat dengan
tanpa memberikan makna dan tidak berpengaruh terhadap i`râb. Menurut para ahli
bahasa Arab al-Qur`an huruf ‫ء‬D ‫ ا‬ziyadah ini bisa masuk kedalam mubtada,
khabar, fa`il, naib fa`il ataupun maf`ul bih. Syibawaih memberikan contoh kata
‫ ه*ا‬3DY ungkapan ini dapat juga diungkapkan dengan kalimat ‫ ه*ا‬3DY‫ ﺡ‬dengan
tanpa mengurangi makna dan i`râbnya.
Kasus seperti ini ahli nahwu al-Qur`an menganalisis ayat 6 surat al-Qalam
yang berbunyi: ‫ ن‬$9N ‫ ا‬2f awal kalimat tersebut adalah mubtada yang diawali
dengan huruf ‫ء‬D ‫ ا‬menurut Abû-`Ubaidah371 tanpa kehadiran huruf tersebut makna
dan i`râbnya tidak berubah demikian juga dengan pendapat yang dikemukakan
oleh al-Akhfasy372. Sedangkan menurut al-Zujâj373 huruf ‫ء‬D ‫ ا‬pada ayat tersebut
hukumnya boleh ada dan boleh tidak ada, artinya dengan adanya huruf ‫ء‬D ‫ا‬
didepan kalimat tidak mempengaruhi dari segi makna maupun dari segi
gramatika. Oleh karena itu para ahli nahwu menyatakan bahwa huruf ‫ء‬D ‫ا‬
dikategorikan kedalam huruf tambahan (ziyadah).
Penambahan huruf juga bisa terjadi pada khabar sebagaimana al-
Akhfasy374 menganalisis ayat 27 surat yunus yang berbunyi: eN š7 ‫اء‬6‫ﺝ‬, huruf
‫ء‬D ‫ا‬ yang terletak pada kata eN merupakan huruf tambahan yang tidak
mempengaruhi terhadap makna dan i`râbnya. Posisi i`râb kata eN menjadi
khabar dari mubtada ‫اء‬6‫ﺝ‬. Pada ayat yang lain terdapat kesamaan kata-kata dan
posisi i`râbnya namun dalam memaparkan khabar yang berupa kata e tanpa
membubuhkan huruf ‫ء‬D ‫ ا‬didepannya, kasus ini terjadi pada surat al-Syura ayat 40
yang berbunyi: e ٌ š7 ٍ š7 ‫اء‬6‫ﺝ‬
Penambahan huruf ‫ء‬D ‫ ا‬pada khabar menurut al-Syibawaih375 banyak
dijumpai dalam al-Qur`an yang secara makna tidak terlalu berpengaruh. Al-
Nuhâs376 juga berpendapat sama bahwa terdapat penambaan huruf ‫ء‬D ‫ ا‬pada

370
Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 3 h. 225
371
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 264
372
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 505
373
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 5 h. 205
374
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 343
375
Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 1 h. 67
376
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 2 h. 81

142
khabar yang tidak berpengaruh terhadap makna dan terkadang berfungsi sebagai
taukid. Al-Nuhâs memgemukakan contoh dari ayat 89 surat al-An`am yang
berbunyi: 102  ‫ ا‬Y huruf ‫ء‬D ‫ ا‬yang kedua merupakan taukid. Pendapat yang
sama juga dikemukakan oleh Ibn al-Khâlawih377 dengan mengemukakan contoh
surat al-Ghasyiyah ayat 22 yang berbunyi: S@N O Y kata S@N dibaca
majrur oleh huruf ‫ء‬D ‫ ا‬ziyadah yang posisi i`râbnya mansub karena menjadi khabar
dari g . Kasus ayat ini sama halnya dengan kalimat yang berbunyi: ? '‫ ز‬g
kalimat ini bisa juga diungkapkan dengan kalimat N? '‫ ز‬g dengan tanpa
mengurangi dan menambah makna yang terkandung dalam kalimat tersebut. Oleh
karena itu tanpa hendak merubah lafal al-Qur`an secara nahwu ayat 22 surat al-
Ghasyiyah bisa juga dikemukakan dengan ‫ا‬S@ O Y .
Dalam surat al-Baqarah ayat 177 yang berbunyi: 2‫أن  ا وﺝ ه‬D ‫ ا‬g
menurut Ibn Jinnî378 ada dua versi cara membacanya ada yang menambahkan
huruf ‫ء‬D ‫ ا‬pada kata ‫ أن‬dan ada yang menghilangkan. Penambahan huruf ‫ء‬D ‫ا‬
bukan karena diQiyaskan dengan ayat yang lain. Menurut al-Qurtubi (w. 671
H.)379 dan Abû Hayan (w.745 H.)380 yang membaca kata ‫ أن‬dengan menambahkan
huruf ‫ء‬D ‫ ا‬adalah qira`ah Ibn Mas`ud.
Penambahan huruf ‫ء‬D ‫ ا‬juga terjadi pada khabar ma nafiyah (), menurut
al-Zujâj penambahan huruf ba ‫ء‬D ‫ ا‬mempunyai makna taukid, sehingga stressing
pada pengungkapan kalimat akan sangat menekankan pada kenegatifan kalimat
tersebut. Seperti pada surat al-Baqarah ayat 8 yang berbunyi: 1+pN ‫ و ه‬menurut
al-Zujâj381 penekanan terhadap makna negatifnya sangat kuat dibandingkan
dengan tanpa kehadiran huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬walaupun secara makna keduanya sudah
dapat difahami. Perbandingan rasa bahasanya dapat dilihat dari contoh yang
sederhana ‫  ز' أﺥ ك‬dengan 3‫ﺥ‬f '‫  ز‬. contoh semacam ini juga dikemukakan
oleh Ibn Khâlawih382 surat al-Mujadalah ayat 2 menurut versi bacaan Ibn mas`ud

377
al-khalawih, I`rab Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, h. 132
378
Ibn Jinnî, al-Muhtasab, jilid 1 h. 117
379
Nama lengkapnya adalah Syams al-Din Abdullah Ibn Muhammad al-Qurthubi, Tafsir
al-Qurthubi, Juz 2 h. 238
380
Nama lengkapnya adalah Asyir al-Din Muhammad Ibn Yusuf Abû Hayan, Tafsir Bahr
al-Muhith , Dar al-Fikr, 1983, juz 2 h. 154
381
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 50
382
al-khalawih, I`rab Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, h. 52

143
dengan menambahkan huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬pada khabar ma nafiyah () f +‫و ه‬
ayat ini dalam bacaannya banyak versi ada yang membaca dengan merafa`kan
seperti bacaan hijaz ada yang menashabkan menurut bacaan Tamim dan ada
menjarkan menurut bacaan Ibn mas`ud.
Penambahan huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬ketika menjadi khabar dari ‫ إن‬sebagaimana
yang terdapat pada surat al-Ahqaf ayat 33 yang berbunyi: ‫ن ا ّ ا ّ*ي ﺥ‬
ّ ‫أو  وا أ‬
1
َ A /:  ‫وات وا]رض و‬NّY ‫ ا‬menurut al-Farrâ’383 penambahan huruf ba (‫ء‬D ‫)ا‬
karena adanya huruf nafi  yang berfungsi sebagai taukid terhadap nafi sedangkan
menurut al-Thabari384 huruf pada ayat tersebut mempunyai makna lam juhud ( ‫م‬G
‫ )ا  د‬atau karena adanya fi`l yang menuntut adanya dua maf`ul seperti ungkapan
N? 3+W‫  أ‬dan apabila tidak terdapat huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬maka maf`ul kedua dibaca
mansub sehingga ungkapan lengkapnya adalah N? 3+W‫ أ‬.
Huruf ba ( ‫ء‬D ‫ )ا‬bisa juga masuk kepada fa`il sebagaimana yang tercantum dalam
ayat 14 surat al-Isra yang berbunyi: DY‫ ﺡ‬3O ‫ ا  م‬3Y9+ T9‫ آ‬kata merupakan fi`l
madhi dengan fa`il kata 3Y9+. Menurut al-Alusi385 dan al-Syaukani386 huruf ba (
‫ء‬D ‫ )ا‬merupakan huruf tambahan (ziyadah) yang tidak mengandung makna. Pada
hakekatnya fa`il itu dibaca marfu` namun karena ada huruf ba ( ‫ء‬D ‫ )ا‬maka dibaca
majrur. Sehingga ayat tersebut mempunyai makna 3Y9# T9‫آ‬.
Menurut al-Farrâ’387 masuknya ba (‫ء‬D ‫ )ا‬terhadap fa`il mempunyai makna
pujian dan sanjungan sebagaimana contoh: 3Y9+ /9‫ وآ‬, /9‫ وآ‬,3 /9‫وآ‬. Adapun
pada ayat 29 surat Yunus yang berbunyi: ‫ ِ ﺵ'ا‬T9َ ‫ َو َآ‬huruf ba pada ayat tersebut
merupakan huruf tambahan yang tidak memberikan makna maka ayat tersebut
sama dengan ungkapan ‫ ا ﺵ'ا‬Tَ9‫ َو َآ‬. Sedangkan menurut al-khalil388 huruf ba
(‫ء‬D ‫ )ا‬pada ayat tersebut merupakan taukid yang berfungsi sebagai penguat
terhadap kata sebelumnya. Dan pada ungkapan 3 /9‫ وآ‬, Tَ9‫ َو َآ‬diseluruh ayat
dalam al-Qur`an dengan menggunakan ziyadah huruf ba (‫ء‬D ‫)ا‬.

383
al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 3 h. 56
384
al-Thabari, Jami` al-Bayan fi al-Tafsir al-Qur`an, jilid 22 h. 142
385
Nama lengkapnya adalah Syihab al-Din Mahmud Ibn `Abd Allah al-Husaini al-Alusi,
Ruh al-Ma`ani fi Tafsir al-Qur`an, Jilid 10 h. 394
386
Syaukani, Fath al-Qadir, jilid 4 h. 288
387
al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 2 h. 119
388
Al-Khalil Ibn Ahmad al-Farahidi, al-Jumal fi al-Nahwi, ditahqiq oleh Fahr al-Din
Qubawat, cet ke 5, 1995 h. 334

144
Penambahan (ziyadah) huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬juga terjadi pada naib fail
sebagaimana yang terdapat pada ayat 13 surat al-Hadid yang berbunyi: + %0
‫ ر‬Y ayat ini menurut al-Akhfasy389 bermakna ‫ ر‬7 + %0 dengan
menghilangkan huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬yang terdapat pada awal kata ‫ ر‬7 yang posisi
irabnya menjadi na’ib fa`il. Sedangkan pada ayat 43 surat al-Nur yang berbunyi:
‫  *ه> ]@ر‬+7 ‫َد‬2 menurut bacaan (qira`at) Abi ja`far kata >‫ *ه‬merupakan
fi`l mabni majhul dengan membaca dhamah pada huruf ya (‫ )ا ء‬dan membaca
kasrah pada huruf ha (‫)ا ء‬. Para ulama berbeda pendapat dalam mengomentari
ayat ini sebagaimana dikutip Oleh al-Nuhâs390 bahwa huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬bisa
merupakan huruf tambahan yang berada pada fail bisa juga menjadi na`ib fa`il
tetapi bisa juga karena kesalahan ucap bagi orang non Arab (lahn).
Ziyadah huruf ba (‫ء‬D ‫ ) ا‬juga terjadi pada maf`ul bih sebagaimana yang
dicontohkan oleh Syibawaih dan al-Khalil391 sebagai berikut: o‫ @'ر‬+m‫ ﺥ‬kata
‫ا @'ر‬ pada kalimat tersebut posisi i`râbnya menjadi maf`ul bih yang dibaca
mansub, maka ‫ ا @'ر‬mempunyai makna nashab, sedang menurut al-Farrâ’392
maf`ul yang mendapat tambahan (ziyadah) huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬pada dasarnya fi`l itu
merupakan fi`l lazim yang dimuta`adikan oleh huruf jar ba (‫ء‬D ‫)ا‬. Gejala semacam
ini terdapat pada surat al-Baqarah ayat 2 yang berbunyi: >K  ‫ ن‬+p 1*ّ ‫ ا‬kata
kerja ‫ ن‬+p merupakan kata kerja lazim yang tidak memerlukan obyek393, maka
apabila memerlukan obyek menurut kaidah bahasa Arab harus ditambah dengan
huruf jar. Masing-masing kata kerja lazim untuk dimuta`adikan memerlukan
pasangan huruf jar yang berbeda-beda. Oleh Karena itu pada ayat tersebut diatas
mengandung makna >
َ K ‫ ن ا‬+p 1*ّ ‫ ا‬kata >
َ K ‫ ا‬disini berfungsi sebagai maf`ul bih
maka ditakdirkan dibaca mansub. Ayat lain yang mempunyai kasus yang sama
terjadi pada ayat 15 surat al-Haj yang berbunyi: ‫ء‬NّY ‫ ا‬Tَ ‫> إ‬DY ‫'د‬N0 ayat ini
mempunyai makna ‫ء‬NّY ‫ ا‬Tَ ‫ إ‬DD7 ‫'د‬N0. Pada ayat 25 surat al-Haj yang berbunyi:
‫ œ د‬0 ‫ د‬1‫ و‬menurut analisis al-Farrâ’394 huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬pada kata ‫ د‬z‫ا‬

389
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 495
390
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 3 h. 142
391
Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 1 h. 92
392
al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 2 h. 165
393
Musthafa Al-Ghulayaini, Jami` al-Durus, Dar al-Hadits, Kairo, 2005 h. 39
394
al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 2 h. 223

145
merupakan huruf tambahan (ziyadah) yang diperkirakan mengandung makna ‫أن‬
' .Adapun menurut Abû `Ubaidah395, al-Akhfasy396, al-Zujâj397 berpendapat
bahwa huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬pada ayat 195 surat al-Baqarah yang berbunyi: 2'f ‫و َ  ا‬
َ2$ ‫ ا‬Tَ ‫ إ‬merupakan ba (‫ء‬D ‫ )ا‬tambahan (ziyadah) sehingga ayat tersebut
mengandung makna ِ 2َ ُْ $ ‫ ا‬Tَ ‫ْ ِإ‬2ُ َ 'ِ ْ ‫ َو َ ُ ُْ ا َأ‬dengan menghilangkan huruf ba dan
membaca mansub kata 2'‫أ‬.
f. Afiksasi huruf 1
Menurut ahli bahasa penambahan min (1) dapat menempati tiga tempat
yaitu: pada fa`il, maf`ul bih dan mubtada yang disyaratkan merupakan kalimat
nafi, nahi ataupun kalimat tanya dengan majrur nakirah. Al-Ghulayaini398
memberikan contoh ayat 271 surat al-Baqarah yang berbunyi: 2šّ7 1 2+O ّ92َ ‫و‬
kata 1 pada ayat ini mengandung makna sebagian akan tetapi sebagian ahli
nahwu mengatakan bahwa kata 1 pada ayat tersebut merupakan tambahan
(ziyadah) yang mengandung makna 2َšّ7 2+O ّ92َ ‫و‬. Selain pada ayat tersebut ada
juga kata min (1) yang terdapat pada ayat yang lain yang pada hakekatnya
merupakan huruf tambahan mutlak seperti yang terdapat pada ayat 43 surat al-
Nur: ‫ْ َ َ ٍد‬1ِ َِ0 ‫ل‬
ٍ َD‫ﺝ‬
ِ ْ1ِ ‫َ ِء‬NY
 ‫ ا‬1
َ ِ ‫ل‬
ُ 6v +َ ُ ‫ َو‬. Pada ayat ini tidak diragukan lagi bahwa kata
min (1) yang berkombinasi dengan kata ‫ د‬merupakan huruf tambahan karena
tidak ada lagi kandungan makna selain dari kata ‫ د‬.
Penambahan huruf min (1) mempunyai dua makna: yang pertama yaitu
untuk melahirkan makna umum seperti contoh: ;‫ رﺝ‬1 ‫ ا 'ار‬/0  kata min (1)
disini menutup kemungkinan-kemungkinan yang akan menghadirkan makna yang
lebih dari satu atau makna yang lain. Sebagaimana ungkapan ;‫ ا 'ار رﺝ‬/0  makna
dari ungkapan ini akan berekses pada kemungkinan makna yang lain bisa jadi
akan muncul makna ‫ ا 'ار رﺝ; ; رﺝن‬/0  al-Nuhâs399 mengecualikan gejala ini
dalam ayat 35 surat maryam yang berbunyi: 'َ ‫ و‬1 *Aّ$ ‫  آَن  أن‬kata min (1)
pada ayat ini merupakan huruf tambahan (ziyadah) yang berfungsi sebagai taukid

395
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 5
396
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 402
397
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 3 h. 421
398
Musthafa Al-Ghulayaini, Jami` al-Durs al-`Arabiyyah, h. 578
399
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 3 h. 152

146
bahwa Allah sekali-kali tidak mengambil seorang anak yang berarti juga tidak
mengambil dua ataupun lebih.
Sebagai perbandingan penulis kemukakan ungkapan sebagai berikut 
70 $‫ إﺵ‬ungkapan ini mengandung makna tidak membeli satu kuda akan tetapi
akan menghadirkan kemungkinan makna membeli dua kuda atau lebih. Apabila
ungkapan 170 $‫  إﺵ‬maka akan mengandung makna tidak membeli dua kuda,
akan tetapi bisa jadi dengan tidak membeli dua kuda namun membeli satu kuda,
tiga kuda atapun lebih dari itu. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
penambahan (ziyadah) huruf min (1) selain merupakan huruf tambahan juga
mempunyai makna taukid.
Makna yang kedua yaitu mentaukidkan makna umum, penjelasannya
adalah huruf min (1) masuk kepada ism nakirah yang mempunyai makna umum
dan akan memiliki makna khusus ketika adanya huruf nafi. Contoh: '‫ أﺡ‬1 ‫ م‬
penambaan huruf min (1) pada ungkapan tersebut semata-mata hanya untuk
taukid dengan alasan bahwa kata '‫ أﺡ‬merupakan kata yang mengandung makna
yang umum artinya semua orang tanpa pandang bulu masuk dalam bagian kata
tersebut dan akan dikuatkan lagi dengan masuknya huruf min (1) sehingga lebih
kuat lagi bahwa benar-benar tidak ada seorangpun yang berdiri.
Ahli nahwu Bashrah dan Syibawai400 memberikan dua syarat tentang
penambahan (ziyadah) huruf min (1): yang pertama yaitu kalimat sebelumnya
berupa kalimat yang mengandung istifham, nahi, dan nafi. Syarat yang kedua
yaitu ism yang dimajrûrkan berupa ism nakirah. Menurut ulama kufah bahwa
penambahan huruf min bisa juga terjadi pada kalimat biasa.
Abû `Ubaidah401 menganlisis surat Thaha ayat 112 yang berbunyi: 1
َ ِ ْ;Nَ :ْ َ 1َ‫َو‬
‫ ا @ ت‬kata min (1) pada ayat tersebut menurutnya merupakan huruf tambahan
(ziyadah), namun pada tema yang sama ia mengatakan bahwa penambahan
tersebut bukan merupakan hal yang wajib karena apabila ada ungkapan 1 ‫'ي‬+O 
‫م‬:X 1 ‫'ك‬+O ;‫ وه‬,‫ ﺥ‬1 ‫'ك‬+O ‫ و‬,‫ء‬/‫ ﺵ‬apabila penambahan huruf min pada
ungkapan-ungkapan tersebut sebagai penambahan wajib maka menafikan tidak

400
Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 4 h. 225
401
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 1 h. 31

147
mempunyai apapun dari ungkapan diatas padahal yang dimaksudkan dari
ungkapan-ungkapan tersebut adalah: :X ‫'ي‬+O  dan seterusnya.
Al-Akhfasy402 berpendapat dengan tegas bahwa penambahan huruf min
(1) tidak hanya berlaku pada kalimat nafi atupun istifham saja akan tetapi bisa
juga pada kalimat positif sebagaimana yang tercantum pada surat al-Baqarah ayat
61 yang berbunyi: ?ّe‫  و‬1 ‫ ا]َرض‬D+ ّN + ‫ج‬A. Menurutnya kata min (1)
merupakan huruf tambahan yang mempunyai makna litab`id, maka apabila
penambahan huruf min (1) hanya berlaku pada kalimat nafi dan istifham maka
menurutnya salah karena selain pada ayat tersebut ada juga ayat lain yang
mengandung huruf min (1) sebagai huruf tambahan yang tidak terdapat pada
kalimat nafi maupun kalimat istifham yaitu pada surat al-Baqarah ayat 271 yang
berbunyi: 2šّ7 1 2+O ّ92َ ‫و‬.
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh al-Mubarad403 dengan
menganilisis surat al-Baqarah ayat 105 yang berbunyi: 2ّ‫ ر‬1 ‫ ﺥ‬1 2O ‫ل‬6+ ‫أن‬
huruf min pada ayat ini menurutnya merupakan huruf tambahan (ziyadah) bisa
juga huruf taukid yang masuk kepada kalimat positif . Demikian juga dengan al-
Zujâj404 mengatakan bahwa pada konteks tersebut huruf min (1) berfungsi
sebagai ziyadah dan taukid yang masuk pada kalimat positif. Abû Hayan405
menjelaskan bahwa kalimat positif tersebut secara dhahir memang kalimat positif
akan tetapi secara makna mengandung kalimat negatif oleh kalimat sebelumnya
yang hubungan tidak nampak secara langsung. Al-Zarkasî (w. 794 H)406
berpendapat bahwa penambahan huruf min (1) terletak pada kalimat nafi atau
yang serupa dengan nafi seperti kalimat nahi dan kalimat tanya. Contohnya َ‫َو‬
َNُ َ:ْ َ  ‫ْ َو َر َ ٍ ِإ‬1ِ 
ُ ُ Y
ْ َ (al-An`am: 59) makna dari ayat tersebut adalah  ‫ َو َر َ ٌ ِإ‬
ُ ُ Y
ْ َ َ‫َو‬
َ Nُ َ:ْ َ kombinasi antara kata 1 dengan ٌ َ ‫ َو َر‬pada ayat tersebut posisi i`râbnya
adalah sebagai fa`il yang menurut al-Zarkasyî pengungkapanya bisa hanya
dengan menampilkan kata ٌ َ ‫ َو َر‬tanpa disertai dengan huruf 1.

402
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 1 h. 98
403
al-Mubarad, al-Muqtadhab, jilid 3 h. 52
404
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 166
405
Abû Hayan, Tafsir Bahr al-Muhith , jilid1 h. 340
406
al-Zarkasyi, al-Burhan fi al-`Ulum al-Qur`an,h. 668

148
Dari diskusi diatas dapat disimpulkan bahwa penambahan huruf min (1)
bisa masuk kepada mubtada, ism kana, naib fa`il, khabar , maf`ul bih, fa`il.
g. Afiksasi huruf lam jar (‫م ا ر‬G‫)ا‬
Al-Farrâ’407 menganalisis huruf lam tambahan (ziyadah) dengan
mengambil contoh surat al-Naml ayat 72 yang berbunyi: ْ2ُ َ ‫ف‬
َ ‫ن َر ِد‬
َ ُ2َ ْ‫ َأن‬TَYO
َ ْ;ُ
‫ن‬
َ ُ
ِ :ْ $َ Y
ْ َ ‫ ا *ِي‬L
ُ :ْ َ . Huruf lam yang berkombinasi dengan dhamir ‫ آ‬pada ayat
tersebut merupakan huruf tambahan (ziyadah) karena secara makna menurut al-
Farrâ’ kata ‫ف‬
َ ‫ َر ِد‬bisa langsung digabungkan dengan dhamir ‫ آ‬sehingga menjadi
20‫رد‬. Al-Farrâ’ memberikan contoh yang sama dengan surat al-Haj ayat 26 yang
berbunyi: ‫اه‬G #‫واذ  أ‬. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-
Akhfasy408 yang menganalisis bahwa kata ْ2ُ َ ‫ف‬
َ ‫ َر ِد‬mempunyai makna ْ2ُ 0َ ‫َر ِد‬
dengan menyandarkan dhamir ‫ آ‬kepada fi`l sebelumnya, menurut al-Akhfasy
kasus ini sama dengan surat Yusuf ayat 43 yang berbunyi:‫ن‬
َ ‫ُو‬Dُ :ْ َ َْ‫ؤ‬£ ِ ْ$ُ +ْ ‫ ِإنْ ُآ‬huruf
lam pada ayat tersebut merupakan huruf tambahan yang masuk kepada maf`ul bih
muqadham yang mempunyai makna ‫ن‬
َ ‫ُو‬Dُ :ْ َ َْ‫ؤ‬£ ‫ْ ا‬$ُ +ْ ‫ ِإنْ ُآ‬contoh yang lain al-
Akhfasy mengemukakan surat al-A`raf ayat 154 yang berbunyi: ‫ ن‬D‫  ه‬.
Al-Zujâj409 memahami pendapat al-Farrâ’ bahwa makna dari kata 2 ‫ردف‬
adalah 2 ;O (menyegerakan bagimu) yang secara bahasa memliki makna 20‫رد‬
atau juga 2D‫( رآ‬akan datang dalam waktu dekat). Menurut al-Nuhâs penambahan
(ziyadah) bisa juga berkombinasi dengan masdar sebagaimana penambahan
(ziyadah) huruf ba (‫ء‬D ‫)ا‬.
Dari diskusi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa para tokoh linguis
Arab saling berbeda pendapat dengan memberikan argumennya masing-masing
ada yang mengatakan bahwa penambahan huruf lam (‫م‬G‫ )ا‬merupakan huruf
tambahan (ziyadah) murni yang mempunyai makna fi`l yang lain sebagaimana
yang dikemukakan oleh al-Farrâ’, ada juga yang berpendapat bahwa penambahan
huruf lam (‫م‬G‫ )ا‬mempunyai fungsi memuta`adikan fi`l sebagaimana pendapat al-
Akhfasy, dan ada yang berpendapat bahwa penambahan huruf lam (‫م‬G‫ )ا‬bisa

407
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 2 h. 299
408
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 431
409
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 4 h. 128

149
berkombinasi dengan masdar sebagaimana pendapat al-Nuhâs sebagaimana
contoh 1+pN 1p‫  و‬1p.
h. Afiksasi huruf lam taukid ('‫ آ‬$ ‫م ا‬G)
Penambahan lam taukid ('‫ آ‬$ ‫م ا‬G) para tokoh nahwu sering juga
mengistilahkan dengan lam al-Ibtida (‫'اء‬$z‫م ا‬G) atau lam muzahliqat (‫ﺡ‬6N ‫م ا‬G‫)ا‬
yaitu lam yang masuk kepada mubtada, khabar, ataupun ism nawasyih. Ibn al-
Khâlawih410 memberikan analisis terhadap surat al-Dhuha ayat 4 yang berbunyi
Tَ ‫ُو‬f ْ ‫ ا‬1
َ ِ 3
َ َ ٌْ ‫ﺥ‬
َ ‫ﺥ َ ُة‬
ِ ­َْ َ‫ َو‬menurutnya huruf lam yang terdapat pada kata ‫ﺥ َ ُة‬
ِ ­َْ َ‫َو‬
merupakan huruf lam taukid, sedangkan kata ‫ﺥ َ ُة‬
ِ ­َ ْ ‫ ا‬dibaca marfu` karena posisi
i`râbnya menjadi mubtada, dengan kata lain huruf lam yang berkombinasi dengan
kata ‫ﺥ َ ُة‬
ِ ­َ ْ ‫ ا‬merupakan huruf tambahan yang memiliki makna taukid.
Abû `Ubaidah411 memberikan analisis terhadap surat yusuf ayat 91 yang
berbunyi 1
َ ِšX
ِ َA َ +‫ َوِإنْ ُآ‬menurutnya ayat tersebut mengandung makna 1ِšX
ِ َ‫ ﺥ‬+‫َوِإنْ ُآ‬
dimana kata 1ِšX
ِ َ‫ ﺥ‬posisi i`râbnya menjadi khabar yang mendapat tambahan huruf
lam (‫م‬G‫ )ا‬yang secara makna tidak mengalami perubahan dengan ada dan tidak
adanya huruf tersebut hanya berpengaruh terhadap stresing. Lam taukid juga
masuk kepada khabar shibh Jumlah sebagaimana yang terdapat pada surat al-
Baqarah ayat 198 yang berbunyi: 1
َ v % ‫ ا‬1
َ Nِ َ ِ ِDْ َ ْ1ِ ْ$ُ +ْ ‫ َوِإنْ ُآ‬. Konstruksi kalimat 1
1 % ‫ ا‬merupakan khabar yang berbentuk syibh jumlah yang terdiri dari jar dan
majrur. Huruf jar yang berfungsi sebagai khabar tersebut berkombinasi dengan
huruf lam (‫م‬G‫ )ا‬yang berfungsi sebagai taukid, artinya huruf lam tersebut tidak
mempengaruhi terhadap makna sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Zujâj412.
Menurutnya taukid disini berfungsi sebagai taukid amr (perintah) kalimat
sebelumnya.
Huruf lam taukid juga masuk kepada ism ina ( ‫ن‬z‫ ا‬7‫ )ا‬sebagaimana yang
Abû `Ubaidah413 menganalisis surat Ali Imran ayat 78 yang berbunyi: ‫ﺝًا‬
ْ fَ َ َ+ َ ‫ن‬
 ‫ِإ‬.
Pada ayat tersebut kata ‫ﺝًا‬
ْ ‫ َأ‬posisi i`râbnya adalah menjadi ism Ina muakhar yang
mendapat huruf tambahan (ziyadah) yang menurut Abû `Ubaidah tambahan huruf

410
al-khalawih, I`rab Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, h. 20
411
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 1 h. 318
412
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 263
413
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 1 h. 225

150
lam pada kata ‫ﺝًا‬
ْ ‫ َأ‬tidak mengandung makna hanya akan lebih memberikan
penekanan atau stressing. Kasus yang sama terdapat pada surat al-lail ayat 12
yang berbunyi: ‫َ َ ْ ُ'َى‬+ْ َO
َ ‫ن‬
 ‫ ِإ‬kata ‫ ا ْ ُ'َى‬pada ayat tersebut berfungsi sebagai ism dari
ina yang berkombinasi dengan huruf lam sebagai taukid menurut Abû `Ubaidah
ayat tersebut mempunyai makna ‫َ ا ْ ُ'َى‬+ْ َO
َ ‫ن‬
 ‫ِإ‬.
Al-Zujâj414 juga menganggap bahwa huruf lam yang masuk kepada ism
inna mempunyai fungsi sebagai taukid dan tidak mempunyai makna sebagaimana
ia menganalisis surat Ali Imran ayat 78 yang berbunyi: ُْ $َ +َ Y
ِ ْ ‫ن َأ‬
َ ‫ًِ َ ْ ُو‬9َ َ ُْ +ْ ِ ‫ن‬
 ‫َوِإ‬
‫ب‬
ِ َ$2ِ ْ ِ menurutnya huruf lam pada ayat tersebut merupakan huruf tambahan
(ziyadah) yang berfungsi sebagai taukid. Para tokoh lain yang mengatakan bahwa
huruf lam pada ayat tersebut merupakan huruf ziyadah yang mempunyai fungsi
sebagai taukid adalah Ibn al-Khâlawih dan al-Nuhâs menurut mereka masuk dan
keluarnya huruf tersebut berfungsi kepada stresing pesan yang dikandung dalam
ayat tersebut.
Kesimpulan dari diskusi para tokoh diatas secara keseluruhan menyatakan
bahwa tambahan huruf lam taukid tidak melahirkan makna baru hanya berfungsi
untuk memberikan stresing pesan yang disampaikan dari sebuah ungkapan.
i. Afiksasi huruf mâ ()
Al-Zarkasyi415 menempatkan huruf mâ () sebagai tambahan kedalam
lima tempat setelah huruf jar yaitu terletak setelah huruf min (1) dan setelah
huruf `An (1O). Huruf mâ () yang terletak setelah kedua huruf tersebut beramal
tidak secara sempurna, sedangkan huruf mâ () yang terletak setelah huruf al-kaf
(‫ف‬2 ‫)ا‬, ruba (‫ )رب‬dan al-ba` (‫ء‬D ‫ )ا‬bisa beramal secara sempurna dan kadang tidak
beramal secara sempurna.
Para ulama nahwu dalam hal ini berbeda pendapat tentang mâ () yang
berkombinasi dengan kata yang lain, apakah mengandung makna dan bisa
beramal kepada kata yang lain apa hanya sekedar huruf tambahan biasa. Abû
`Ubaidah416 menganalisis surat al-Qashash ayat 28 yang berbunyi: 
ُ ْ %
َ َ 1
ِ ْ َ‫ﺝ‬
َ fَ ْ ‫َ ا‬N‫َأ‬
‫ن‬
َ ‫'ْوَا‬O
ُ َ0َ pada ayat tersebut menurutnya huruf mâ () merupakan tambahan yang
414
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 442
415
al-Zarkasyi, al-Burhan fi al-`Ulum al-Qur`an, h.668
416
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 102

151
dikiaskan tidak adanya huruf tersebut sehingga maknanya 1‫ أي ا]ﺝ‬dan ayat yang
senada dengan ayat tersebut adalah sebagai berikut: ‫ب‬
ِ ْ
َ ْ ‫ ا‬/ِ0 ُْ + 9َ َ eْ َ œِ0َ ayat ini
dikiaskan menghilangkan huruf mâ () menjadi ُْ +9َ َ eْ َ ‫œِن‬0َ . Pendapat yang senada
juga dikemukakan oleh al-Akhfasy417 dengan mengemukakan contoh surat al-Isra
ayat 110 yang berbunyi:‫ ا‬O' ‫ ا‬dengan mengkiaskan huruf mâ () hilang
menjadi ‫ ا‬O' ‫ ا‬.
Al-Nuhâs418 berpendapat bahwa penambahan huruf mâ () yang terletak
setelah in Syartiyah (Xm ‫ )إن ا‬berfungsi sebagai taukid, sedangkan menurut Ibn
Khâlawih419 apabila terletak setelah huruf istifham aina (1‫)ا‬ maka
penambahan(ziyadah) tersebut merupakan tambahan murni yang tidak berekses
terhadap makna, ia memberikan contoh dengan surat al-Fajr ayat 15 yang
berbunyi: ُ £‫ َر‬oُ َ$َ ْ ‫ن ِإذَا َ ا‬
ُ َY#ْ œِ ْ ‫ ا‬fَ0َ menurutnya ayat ini mempunyai pengertian ‫ ِإذَا‬fَ0َ
ُ £‫ َر‬oُ َ$َ ْ ‫ َ ا‬dengan tidak mencantumkan kata ‫ن‬
ُ َY#ْ œِ ْ ‫ا‬, ataupun dengan menampilkan
kata ‫ن‬
ُ َY#ْ œِ ْ ‫ ا‬dan meniadakan huruf .
Para tokoh yang lain juga menganalisis tentang penambahan huruf mâ ()
pada surat Ali Imran ayat 159 yang berbunyi: ُْ َ 
َ +ْ ِ ِ  ‫ ا‬1
َ ِ ٍ Nَ ‫ﺡ‬
ْ ‫َ َر‬NDِ 0َ , al-Farrâ’420,
al-Akhfasy421, dan al-Zujâj422 menganalisis bahwa huruf mâ () pada ayat ini
merupakan huruf tambahan sehingga ayat tersebut bisa mempunyai makna tanpa
dengan kehadiran huruf mâ () hanya yang diperlukan adalah stresingnya saja,
ayat lain yang dinyatakan mengandung huruf mâ () tambahan (ziyadah) surat al-
Mu`minun ayat 40 yang berbunyi: 1
َ ِ‫َ ِد‬# 1
ُ Dِ @
ْ ُ َ ;
ٍ َِ NO
َ huruf mâ () yang
berkombinasi dengan huruf jar `An (1O) merupakan huruf tambahan yang tidak
berimplikasi terhadap makna.
Al-Farrâ’423 menggabungkan dua fungsi huruf mâ (), menurutnya bahwa
posisi huruf mâ () bisa merupakan huruf syarat dan bisa juga menjadi huruf
tambahan yang terletak setelah huruf jar sebagaimana yang terdapat pada surat

417
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 192
418
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 3 h. 121
419
al-khalawih, I`rab Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, h. 79
420
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 h. 244
421
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 1 h. 220
422
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 397
423
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 3 h. 189

152
Nuh ayat 25 yang berbunyi: ‫َرًا‬# ‫ﺥُ ا‬
ِ ْ‫د‬fُ0َ ‫ ُِ ا‬w
ْ ‫ِšَ ِ ِْ ُأ‬S‫ﺥ‬
َ Nِ menurutnya huruf mâ ()
bisa berfungsi sebagai huruf syarat dengan jawab syaratnya adalah kata ‫ ُِ ا‬w
ْ ‫ ُأ‬dan
bisa juga berfungsi sebagai huruf tambahan (ziyadah) berarti mempunyai makna
ِْ ِ َšِS‫ﺥ‬
َ 1ِ.
Para ulama nahwu sepakat bahwa penambahan (ziyadah) huruf mâ ()
bisa juga terjadi antara badal dan badal minhu sebagaimana yang tertera pada
surat al-Baqarah ayat 26 yang berbunyi: ً ‫ﺽ‬
َ ُ:َ َ ًeَ َ kata ًeَ َ posisi i`râbnya
sebagai maf`ul bih yang menjadi mubdal minu dari kata ً ‫ﺽ‬
َ ُ:َ , antara mubdal
minhu dan badalnya terdapat huruf mâ () yang mengantarinya yang secara
makna tidak mempengaruhi terhadap relasi kedua kata tersebut.
j. Afiksasi huruf lâ (G)
- Afiksasi huruf lâ (G) sebagai pengulangan kalimat negatif
Penambahan huruf lâ (G) para ahli nahwu berbeda dalam memberikan
analisis terhadap pengulangan ungkapan negative apakah huruf tersebut
merupakan huruf tambahan (ziyadah) atau huruf tersebut sebagai huruf yang
mempunyai makna. Menurut al-Zarkasyi424 penambahan huruf lâ (G) yang berupa
pengulangan kalimat negatif bisa terletak setelah huruf wa (‫ )و‬sebagaimana yang
tercantum dalam surat Fushilat ayat 34 yang berbunyi ُ šَ vY
 ‫ ُ َو َ ا‬+َ Y
َ
َ ْ ‫ ِي ا‬$َ Y
ْ َ َ ‫ َو‬pada
ayat tersebut kata ‫ ي‬$7‫ ا‬menuntut adanya dua fi`l karena kata tersebut merupakan
kata yang mengandung perbandingan, oleh karenanya perbandingan mestilah
minimal ada dua yang secara makna tidak mungkin bertemu. Pada ayat diatas
yang menjadi perbandingannya adalah kata ُ +َ Y
َ
َ ْ ‫ ا‬dengan kata ُ šَ vY
 ‫ ا‬atau dengan
kata lain kata ُ +َ Y
ََ ْ ‫ ا‬tidak mungkin mengandung makna ُ šَ vY
 ‫ ا‬dan kata ُ šَ vY
 ‫ ا‬tidak
mungkin mengandung makna ُ +َ Y
ََ ْ ‫ ا‬oleh karenanya menurut al-Zarkasyi ayat
tersebut mempunyai makna ُ šَ vY
 ‫ ُ َو ا‬+َ Y
ََ ْ ‫ ِي ا‬$َ Y
ْ َ َ ‫ َو‬namun dengan adanya huruf lâ
(G) setelah huruf wa (‫ )و‬berfungsi untuk meyakinkan bahwa benar-benar tidak
sama antara kebaikan dan kejelakan dan sebaliknya kejelekan juga benar-benar
tidak sama dengan kebaikan.

424
al-Zarkasyi, al-Burhan fi al-`Ulum al-Qur`an, h. 670

153
Pada kasus diatas al-Farrâ’425 menganalisis surat al-khasyr ayat 20 yang
berbunyi: ِ +
َ ْ ‫ب ا‬
ُ َ.
ْ ‫ ِر َوَأ‬+ ‫ب ا‬
ُ َ.
ْ ‫ ِي َأ‬$َ Y
ْ َ َ menurutnya versi bacaan Abdullah
setelah huruf wa (‫ )و‬terdapat huruf lâ (G) nafi yang berfungsi sebagai taukid, jika
memang benar adanya maka huruf lâ (G) merupakan huruf tambahan (ziyadah).
Menurut al-Farrâ’426 apabila huruf lâ (G) masuk kepada kalimat yang terdiri dari
pengingkaran baik diawal ataupun diakhir kalimat maka huruf lâ (G) tersebut
merupakan huruf tambahan sebagaimana yang terdapat pada surat al-Hadid ayat
29 yang berbunyi ‫ن‬
َ ‫ َ ْ ِ'رُو‬Gَ‫ب أ‬
ِ َ$2ِ ْ ‫; ا‬
ُ ‫َ َ َأ ْه‬:ْ َ َš ِ pada pernyataan kalimat akhir
merupakan pernyataan pengingkaran oleh karena itu huruf lâ (G) pada awal ayat
merupakan huruf tambahan (ziyadah) sehingga ayat tersebut menurut Abû
`Ubaidah427, al-Akhfasy428, dan Ibn Jinnî429 mempunyai makna ‫ب‬
ِ َ$2ِ ْ ‫; ا‬
ُ ‫َ َ َأ ْه‬:ْ َ .
Menurut analisis al-AKhfasy430 surat al-Fathir ayat 21 yang berbunyi َ ‫َو‬
‫ُو ُر‬
َ ْ ‫; َو َ ا‬
£Rv ‫ ا‬huruf lâ (G) yang kedua merupakan huruf tambahan (ziyadah)
karena ayat tersebut diserupakan dengan ungkapan '‫ ز‬G‫و و‬NO ‫ ي‬$YG yang
mengandung makna '‫و و ز‬NO ‫ ي‬$YG dari pengkiasan ungkapan tersebut sehingga
al-Akhfasy memberikan kesimpulan bahwa makna pada ayat tersebut adalah َ ‫َو‬
‫ُو ُر‬
َ ْ ‫; َو ا‬
£Rv ‫ ا‬dan ayat tersebut mempunyai makna yang sama dengan surat Fushilat
ayat 34. Berbeda dengan pendapat al-Zujâj431, al-Nuhâs432, dan al-Farrâ’433 yang
menyatakan bahwa penambahan huruf lâ (G) mempunyai makna taukid dengan
menggunakan pengulangan lafal nafi tersebut. Sehingga makna yang terkandung
adalah meyakinkan bahwa benar-benar tidak sama antara yang teduh dengan yang
panas.
Para ahli nahwu berbeda pendapat ketika menganalisis surat al-Fatihah
ayat 7 yang berbunyi 1
َ v % ‫َ ْ ِْ َو َ ا‬O
َ ‫ب‬
ِ ُ%Kْ Nَ ْ ‫ ْ ِ ا‬w
َ . Menurut al-Farrâ’434 huruf lâ (G)
mengandung makna ِ ْ w
َ bukan merupakan kata tambahan (ziyadah) karena

425
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 3 h. 147
426
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 h. 137
427
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 254
428
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 495
429
Ibn Jinnî, Al-Muhtasab, jilid 1 h. 116
430
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 447
431
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 4 h. 386
432
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 4 h. 403
433
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 3 h. 137
434
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 h. 7

154
ungkapan 1
َ v % ‫ َ ا‬yang menunjukan kalimat negatif di`athafkan kepada kalimat
negaitf sebelumnya yang menggunakan kata ْw
َ , sedangkan menurut Abû
`Ubaidah435 huruf lâ (G) pada ayat tersebut mengandung makna taukid nafi yang
menekankan bahwa benar-benar bukan orang yang sesat. Al-Nuhâs436
menganalisis ayat ini dengan menghadirkan dua madzhab yaitu madzhab kufah
dan madzhab bashrah. Menurut madzhab bashrah huruf lâ (G) merupakan huruf
tambahan (ziyadah) sedangkan menurut madzhab kufah huruf lâ (G) pada ayat
tersebut mempuyai makna ْw
َ.
Penulis mengambil kesimpulan dari diskusi para tokoh diatas bahwa pada
hakekatnya huruf lâ (G) merupakan huruf tambahan (ziyadah) karena dengan
tanpa mengahadirkan huruf lâ (G) tersebut makna dari ayat diatas sudah
mengandung makan negatif dari ungkapan sebelumnya.
- Afiksasi huruf lâ (G) yang terletak sebelum huruf qasam
Ada beberapa ayat yang mengandung huruf lâ (G) yang terletak sebelum
huruf qasam diantaranya adalah surat al-Waqi`ah ayat 75 yang berbunyi ُ Y
ِ ْ ‫َ ُأ‬0َ
‫ُ ِم‬+£ ‫ ا‬Fِ ِ ‫ َا‬Nَ ِ , al-Haqah ayat 38 yang berbunyi ‫ن‬
َ ‫@ُو‬
ِ Dْ ُ َNِ ُ Y
ِ ْ ‫َ ُأ‬0َ , surat al-Ma`arij ayat
40 yang berbunyi ‫ق‬
ِ ‫َ ِر‬mNَ ْ ‫ب ا‬
v َ ِ ُ Y
ِ ْ ‫َ ُأ‬0َ , surat al-Qiyamat ayat 1-2 yang berbunyi َ
ِ ْ ‫ ُأ‬dan ِ َ ‫ ا  ا‬g
ِ َ َِ ْ ‫ ُ ِ َ ْ ِم ا‬Y ِ 9ْ + ِ ُ Y
ِ ْ ‫ َو َ ُأ‬, surat al-Takwir ayat 15 yang berbunyi ُ Y
ِ ْ ‫َ ُأ‬0َ
g
ِ +A
ُ ْ ِ, surat al-Insyiqaq ayat 16 yang berbunyi ِ 9َ m
 ِ ُ Y
ِ ْ ‫َ ُأ‬0َ , dan yang terakhir
surat al-Balad ayat 1 'ِ َDَ ْ ‫ ُ ِ َ*َا ا‬Y
ِ ْ ‫ َ ُأ‬.
Al-Farrâ’437 berpendapat bahwa sebagian besar ahli nahwu menganggap
huruf lâ (G) yang terletak sebelum huruf qasam merupakan huruf silah
(penghubung). Al-Farrâ’ lebih lanjut mengatakan bahwa tidak ada sebuah kalimat
yang diawali dengan kata-kata negatif. Ia mengemukakan contoh perbandingan
kalimat  ‫ ل‬7 ‫ وا إن ا‬dengan kalimat  ‫ ل‬7 ‫وا إن ا‬G. Pada kalimat pertama
seolah-olah kalimat tersebut merupakan berita biasa sedangkan kalimat yang
kedua merupakan kalimat untuk menyangkal pernyataan yang diungkapkan oleh
orang yang tidak percaya dengan keberadaan Rasul. Pendapat al-Farrâ’ tentang
ayat diatas terbagi menjadi tiga macam yang pertama lâ (G) tambahan (ziyadah)
435
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 1 h. 26
436
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 1 h. 176
437
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 3 h. 297

155
kedua lâ (G) sebagai penyangkal terhadap ungkapan bagi orang yang ingkar
terhadap hari kebangkitan dan hari perhitungan, yang ketiga lâ (G) sebagai huruf
ibtida bukan huruf nafi.
Abû `Ubaidah438 menganggap bahwa huruf lâ (G) pada surat al-Waqi`ah
dan al-qiyamah merupakan huruf tambahan (ziyadah), sedangkan al-Zujâj
mengatakan bahwa huruf lâ (G) pada kedua surat tersebut merupakan huruf
tambahan (ziyadah) sekaliagus huruf taukid. Al-Nuhâs menganggap bahwa huruf
lâ (G) pada surat al-Haqah, al-Ma`arij dan al-Takwir merupakan huruf tambahan
(ziyadah).
Para tokoh nahwu diatas sepakat bahwa huruf lâ (G) pada beberapa surat
yang telah disebutkan merupakan lâ (G) tambahan (ziyadah) kecuali kata yang
langsung menunjukan kepada ungkapan Y‫ أ‬G bukan merupakan huruf tambahan
karena menurut mereka tidak membolehkannya ungkapan negatif di awal kalimat.
Kesepakatan ahli nahwu dalam menentukan bahwa huruf lâ (G) pada ungkapan G
Y‫ أ‬bukan merupakan huruf tambahan tidak dibarengi dengan alasan yang sama
karena dari masing-masing tokoh mempunyai alasan sendiri-sendiri. Al-Zujâj439
memberikan alasan bahwa pada hakekatnya ayat yang diawali dengan ungkapan G
Y‫ أ‬bukan merupakan kalimat negatif karena ayat tersebut mengandung makna
yang positif yaitu  ‫  م ا‬Y‫أ‬, sedangkan sebagian tokoh mengatakan bahwa
pada hakekatnya huruf tersebut bukan merupakan huruf yang pertama dengan
alasan bahwa al-Qur`an merupakan satu kesatuan maka antara ayat yang satu
dengan yang lainnya saling terkait sehingga mereka menafsirkan bahwa itu bukan
merupakan huruf pertama melainkan bagian dari ayat-ayat sebelumnya. Alasan
dari pendapat yang ketiga adalah bahwa huruf lâ (G) bukan menggunakan huruf lâ
(G) nafi melainkan dengan menggunakan huruf lâ (G) qasam dan taukid, maka
ayat tersebut berbunyi 'D ‫ *ا ا‬Y]. Pendapat yang terakhir ini merupakan
pendapat yang paling lemah karena merupakan bagian dari qira`ah yang dipakai
oleh kaum yang jauh dipedalaman. Secara ilmu nahwu alasan tersebut juga tidak
dapat diterima karena huruf lâ (G) qasam tidak bisa masuk kedalam fi`l mudhare.

438
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 252
439
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 5 h. 115

156
k. Afiksasi huruf wa (‫)و‬
Ada beberapa tempat kolokasi yang mengandung afiksasi huruf wa (‫)و‬.
Penulis mengklasifikasikan kolokasi afiksasi huruf wa (‫)و‬menjadi 3 macam
tempat. Pengklasifikasian ini berdasarkan penelusuran dari beberapa teori para
ahli nahwu baik yang klasik maupun yang modern. Tiga tempat afiksasi huruf wa
(‫ )و‬adalah sebagai berikut:
- Afiksasi huruf wa (‫ )و‬yang terletak setelah hamzah Istifaham (‫) أ‬
Para ahli nahwu berbeda pendapat dalam membahas tentang
penambahan(ziyadah) huruf wa (‫ )و‬yang terletak setelah hamzah Istifaham, ada
yang mengatakan bahwa huruf wa (‫ )و‬merupakan huruf tambahan(ziyadah) murni
yang tidak mengandung makna dan ada pula yang mengatakan bahwa huruf wa
(‫ )و‬tersebut merupakan huruf `athaf.
Menurut al-Farrâ’440 huruf wa (‫ )و‬yang terletak setelah hamzah Istifaham,
ia mengkiaskan dengan huruf fa (‫ )ف‬yang terletak setelah hamzah istifham,
sebagaimana yang terdapat pada surat al-A`raf ayat 63 yang berbunyi $DO‫ او‬huruf
wa (‫ )و‬tersebut merupakan huruf `athaf yang maknanya sama dengan huruf fa (‫)ف‬
sehingga ayat tersebut bermakna $D:0‫ا‬. Pendapat yang sama juga dikemukakan
oleh Abû `Ubaidah441 huruf wa (‫ )و‬yang menganggap bahwa huruf wa (‫ )و‬tersebut
merupakan huruf `athaf yang berkesinambungan bukan `athaf yang mempunyai
makna memindahkan sesuatu kepada yang lainnya ataupun `athaf yang
mempunyai makna ‫ ام‬sehingga kedua tokoh tersebut mengatakan bahwa huruf wa
(‫ )و‬tersebut berfungsi untuk menghubungkan dengan peristiwa sebelumnya.
Al-Akhfasy442 dalam hal ini menganalisis surat Ali Imran ayat 160 yang
berbunyi ٌ Dَ ِ@ُ ْ2ُ $ْ َ َ.‫ َأ‬N َ‫ َأ َو‬menurutnya bahwa huruf wa (‫ )و‬merupakan huruf
`athaf. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Zujâj443 yang mengatakan
bahwa kasus seperti ini sama dengan ungkapan: ‫*ا وآ*ا‬2 10 2 kemudian yang
lain menjawab dengan ungkapan: 3 ‫  ل ذ‬1N ‫اوه‬.

440
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 h. 383
441
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 133
442
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 1 h. 220
443
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 503

157
Al-Zujâj menganalisis surat al-Baqarah ayat 100 yang berbunyi ‫َ َه'ُوا‬O َN‫َأ َو ُآ‬
‫ ْ'ًا‬O
َ dengan ayat 87 yang berbunyi ُ 2ُ Y
ُ 9ُ #ْ ‫َ َ َ ْ َى َأ‬Nِ ٌ‫ُ ل‬7‫َ ﺝَ َء ُآْ َر‬N2ُ 0َ ‫ َأ‬. Ia mengatakan
bahwa huruf wa (‫ )و‬dan huruf fa (‫ )ف‬yang terletak setelah huruf hamzah istifham
keduanya merupakan huruf tambahan(ziyadah) yang tidak mengandung makna
sebagaimana orang yang berkata ‫  م‬0‫أ‬. Al-Nuhâs444, al-Akhfasy445 dan al-Kasyai
berpendapat bahwa huruf huruf wa (‫ )و‬dan huruf fa (‫ )ف‬keduanya merupakan
huruf `athaf dengan di`atahfkan kepada fi`l yang dibuang yang diperkirakan
berupa kata ‫ت‬+D ‫وا ]ت ا‬9‫اآ‬.
- Afiksasi huruf wa (‫ )و‬pada kalimat syarath dan jawab
Perdebatan tentang afiksasi huruf wa (‫ )و‬pada kalimat syarath para tokoh
nahwu berbeda pandangan ada yang mengatakan bahwa huruf tersebut merupakan
huruf `athaf dan ada yang mengatakan bahwa huruf tersebut merupakan huruf
tambahan(ziyadah) yang mempunyai perkiraan dalam makna, sebagaiman al-
Farrâ’ menganilisis surat Ali Imran ayat 152 yang berbunyi /ِ0 ْ$ُ O
ْ ‫َ َز‬+َ ‫ْ َو‬$ُ ْ m
ِ 0َ ‫ ِإذَا‬T$‫ﺡ‬
َ
ِ ْ fَ ْ ‫ ا‬pada ayat tersebut huruf wa (‫ )و‬dianggap sebagai huruf tambahan(ziyadah)
yang tidak mempunyai makna, karena ayat tersebut merupakan struktur muqadam
muakhar sehingga ayat tersebut mempunyai makna $m0 ]‫ ا‬/0 $O‫ز‬+‫ إذا‬Tّ$‫ﺡ‬,
sedangkan menurut Thanthawi446 huruf wa (‫ )و‬merupakan huruf `athaf.
Al-Farrâ’447 juga mengemukakan beberapa ayat yang mengandung huruf
wa (‫ )و‬pada jawab syarath, sebagaimana yang terdapat pada surat al-Shafat ayat
103-104 yang berbunyi oُ َ+ْ ‫َ َد‬#‫ َو‬1
ِ ِD
َ ْ ِ ُ َ ‫َ َو‬Nَ7
ْ ‫ َأ‬Nََ0 huruf wa (‫ )و‬yang terdapat pada
ayat tersebut merupakan huruf tambahan(ziyadah) yang tidak mempunyai makna
maka makna yang terkandung dari ayat tersebut adalah oُ َ+ْ ‫َ َد‬# 1
ِ ِD
َ ْ ِ ُ َ ‫َ َو‬Nَ7
ْ ‫ َأ‬Nَ0َ ,
demikian juga dengan surat al-Anbiya ayat 96 yang berbunyi ‫ج‬
ُ ُ‫ْﺝ‬fَ ْ
َ $ِ 0ُ ‫ ِإذَا‬T$‫ﺡ‬
َ
‫ن‬
َ ُY
ِ +ْ َ ‫ب‬
ٍ 'َ ‫ﺡ‬
َ ;
v ‫ْ ُآ‬1ِ ْ‫ج َو ُه‬
ُ ُ‫ْﺝ‬fَ ‫ َو‬huruf wa (‫ )و‬yang terdapat dalam ayat tersebut
merupakan huruf tambahan(ziyadah) yang tidak mempunyai makna. Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa huruf wa (‫ )و‬yang berada pada kalimat syarat
jawab merupakan huruf(ziyadah) dan apabila huruf wa (‫ )و‬berada pada kalimat

444
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 1 h. 252
445
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 1 h. 141
446
Muhammad sayid Thanthawi, Tafsir al-Wasit, jilid 3 h. 154
447
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 h. 238

158
syarat yang beriringan maka huruf wa (‫ )و‬merupakan huruf `athaf, sebagaimana
yang terdapat pada surat al-Insyiqaq ayat 1-2 yang berbunyi ْ#َ ‫ ْ َوَأ ِذ‬m
َ #ْ ‫َ ُء ا‬NY
 ‫ِإذَا ا‬
ْ ‫ﺡ‬
ُ ‫َ َو‬vَ ِ karena syarat yang banyak tersebut hanya memerlukan satu jawab yang
seolah-olah jawabnya adalah berupa kalimat Y‫ ﺡ‬/ *š 0 .
- Afiksasi huruf wa (‫ )و‬setelah kata ila (G‫)ا‬
Al-Farrâ’448 membolehkan membubuhkan dan membuang huruf wa (‫)و‬
yang terletak setelah kata ila (G‫ )ا‬dengan syarat apabila diikuti oleh ism nakirah
sebagaimana yang terdapat pada surat al-Hijr ayat 4 yang berbunyi ٍ َ َْ ْ1ِ َ+2ْ َ‫َوَ َأ ْه‬
ٌ‫ُ م‬:ْ َ ٌ‫َب‬$‫ِإ  َوَ َ ِآ‬, menurutnya huruf yang terletak setelah kata ila (G‫ )ا‬bisa
ditampilkan dan bisa juga tidak karena huruf tersebut merupakan huruf tambahan
(ziyadah) yang tidak mempengaruhi terhadap makna, demikian juga ia
mengatakan bahwa syarat ditampilkannya huruf wa (‫ )و‬apabila kalimat yang
terletak setelah kata ila (G‫ )ا‬berupa kalimat sempurna dan apabila kalimat yang
terletak sebelum kata ila (G‫ )ا‬berupa kalimat tidak sempurna(naqis) maka tidak
boleh menghadirkan huruf wa (‫ )و‬setelah kata ila(G‫ )ا‬sebagaimana contoh ‫ آن‬
? ‫ وه‬G‫رﺝ; ا‬.
Al-Nuhâs449 berpendapat tentang penambahan huruf wa (‫ )و‬yang terdapat
pada surat al-Hijr ayat 4 menyatakan bahwa apabila bukan dalam al-Qur`an huruf
wa (‫ )و‬tersebut boleh saja dibuang karena menurutnya huruf tersebut merupakan
huruf tambahan(ziyadah) yang tidak berpengaruh terhadap makna antara ada dan
tiadanya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Farrâ’ dengan alasan
karena pada surat al-Syu`ara ayat 208 huruf wa (‫ )و‬tidak disebutkan namun
maknanya sama.

l. Afiksasi huruf In (‫)إن‬


Al-Farrâ’450 berpendapat bahwa penambahan(ziyadah) huruf In (‫)إن‬
mempunyai makna sebagai taukid terhadap kalimat negatif. Ia menggunakan surat
al-Ahqaf ayat 26 yang berbunyi ‫آ‬+2 ‫ إن‬N0 ‫ه‬+2 ' ‫ و‬sebagai bahan analisis.
448
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 2 h. 83
449
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 2 h. 377
450
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 2 h. 218

159
Menurutnya huruf In (‫ )إن‬pada ayat tersebut mengandung makna taukid nafi.
Sedangkan menurut al-Zujâj451 huruf In (‫ )إن‬pada ayat tersebut bukan merupakan
huruf tambahan(ziyadah) melainkan penggunaan huruf diluar kebiasaan (`udul)
yang semestiya In (‫ )إن‬berupa huruf ma nafiah, karena untuk membedakan antara
ma maushulah dengan ma nafiah maka ma nafiyah yang mengalah dengan
digantikan huruf In (‫)إن‬. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Nuhâs452.
Al-Zarkasyi453 dalam memandang perdebatan ini lebih cenderung kepada huruf
nafiyah dengan alasan pada surat al-An`am ayat 6 setelah huruf ma maushulah
berupa huruf nafi lam, dengan alasan inilah ia mengambil sikap bahwa huruf In
(‫ )إن‬pada surat al-Ahqaf ayat 26 diperkirakan(ditakdirkan) mempunyai makna
nafi.
454
Al-Farrâ’ membolehkan berkumpulnya dua huruf nafi antara huruf
ma() nafiyah dengan in(‫ )إن‬sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Naml
ayat 81 versi bacaan `Abdullah yang berbunyi /
ِ Nْ :ُ ْ ‫ َوَ إنْ 'ِي ا‬pada ayat tersebut
berkumpul dua huruf nafi yaitu huruf ma nafiayah dan huruf in yang bermakna
nafi juga. Menurut al-Nuhâs455 huruf in(‫ )إن‬pada ayat tersebut mengandung makna
ziyadah taukidiyah. Sedangkan menurut Ibn Hisyam(w. 761 H)456 in (‫ )إن‬yang
terletak setelah huruf ma() berfungsi sebagai nafi, maushul ataupun bisa menjadi
masdariyah dan menurut al-Haruwi in(‫ )إن‬berfungsi sebagai nafi yang mempunyai
makna hina(1‫)ﺡ‬.
Dari perdebatan masalah letak huruf in(‫ )إن‬setelah ma(‫ )م‬maushulah
merupakan huruf ziyadah yang mempunyai makna nafi.
m. Afiksasi huruf An (‫)أن‬
Al-Zarkasyi457 memandang bahwa afiksasi huruf An (‫ )أن‬terletak pada
setelah huruf lama(N ) dharfiyah sebagaimana yang tercantum pada surat al-
`AnkAbût ayat 33 yang berbunyi ِْ ِ ‫ َء‬/ِ7 ًX ُ َ+ُ7
ُ ‫ َأنْ ﺝَ َءتْ ُر‬N َ‫ َو‬menurutnya huruf

451
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 3 h. 56
452
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 3 h. 90
453
al-Zarkasyi, al-Burhan fi al-`Ulum al-Qur`an, h. 668
454
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 2 h. 300
455
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 2 h. 221
456
Nama lengkapnya adalah Jamal al-Din Ibn Yusuf Ibn Hisyam al-Anshari, Mughni
Labib, jilid 1h. 25
457
al-Zarkasyi, al-Burhan fi al-`Ulum al-Qur`an, h. 668

160
An (‫ )أن‬merupakan afiksasi, dengan alasan huruf lama(N ) merupakan dharaf
zaman yang tidak menerima tanwin yang tidak bisa disandarkan kepada mufrad
sedangkan huruf An (‫ )أن‬pada ayat tersebut menta`wilkan fi`l sesudahnya
mengandung makna mufrad. Demikian juga dengan al-Ghulayaini458 yang
berpendapat bahwa huruf lama(N )merupakan dharaf yang menuntut adanya dua
jumlah. Jumlah yang pertama akan melahirkan jumlah yang lainnya atau sering
diistilahkan dengan jumlah syarat jawab. Kedua jumlah tersebut disyaratkan
berupa jumlah fi`liyah yang diawali dengan fi`l madhi.
Al-Akhfasy459 menganilisis afiksasi huruf An (‫ )أن‬pada surat yusuf ayat 96
yang berbunyi ُ ِmDَ ْ ‫ َأنْ ﺝَ َء ا‬Nَ0َ menurutnya huruf An (‫ )أن‬pada ayat tersebut
merupakan huruf tambahan(ziyadah) karena makna dari ayat tersebut adalah Nَ0َ
ُ ِmDَ ْ ‫ ﺝَ َء ا‬selain ia juga menganalisis surat Ibrahim ayat 12 yang berbunyi  ‫َ َأ‬+ َ َ‫َو‬
ِ  ‫ ا‬TَO
َ ;
َ ‫ َ آ‬$َ #َ menurutnya juga huruf An (‫ )أن‬yang tergabung dengan huruf G
merupakan huruf tambahan(ziyadah) namun hal ini dibantah oleh al-Zarkasyi460
karena huruf An (‫)أن‬ pada ayat tersebut bukan merupakan huruf
tambahan(ziyadah) melainkan huruf masdariyah yang berfungsi untuk
menashabkan fi`l sesudahnya.
Al-Farrâ’461 dalam menganalisis afiksasi huruf An (‫ )أن‬dengan
membandingkan beberapa ayat al-Qur`an, diantaranya adalah surat al-Baqarah
ayat 246 yang berbunyi ;# G‫ ا‬+ ‫ و‬pada ayat tersebut terdapat huruf An (‫)أن‬
sedangkan pada surat al-Hadid ayat 8 yang berbunyi ِ  ِ ‫ن‬
َ ُ+ِ ْpُ َ ْ2ُ َ َ‫ َو‬tidak
disertakan huruf An (‫ )أن‬menurut al-Farrâ’ kedua ayat ini mempunyai makna yang
sama akan tetapi dari pandangan bahasa Arab kalimat yang membuang huruf An
(‫ )أن‬merupakan kalimat yang asli yang tanpa harus menggunakan alasan-alasan
tertentu untuk mengungkapkan makna. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
huruf An (‫ )أن‬pada surat al-Baqarah ayat 246 merupakan afikasasi yang tidak
memberikan makna.

458
Musthafa Al-Ghulayaini, Jami` al-Durs al-`Arabiyyah, h. 622
459
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 1 h. 180
460
al-Zarkasyi, al-Burhan fi al-`Ulum al-Qur`an, h. 668
461
al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 h. 163

161
Dari uraian bab IV ini dapat disimpulkan bahwa kolokasi pada tataran
struktur kalimat terdapat 3 klasifikasi yaitu: kolokasi struktur normal, kolokasi
reduksi, dan kolokasi Afiksasi. Dari ketiga kolokasi tersebut terdapat relasi
konstituen struktur kalimat yang akan melahirkan makna-makna yang
dikehendaki oleh penutur bahasa tersebut, maka menurut penulis sendiri bahwa
dengan mengetahui kolokasi struktur kalimat ini akan memudahkan bagi para
pembaca untuk bisa menganlisis makna dari suatu tuturan termasuk dalam
memberikan makna teks al-Qur`an. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kajian kolokasi ini akan memberikan sumbangan terhadap ilmu pemaknaan
(semantik).

162
BAB V
KESIMPULAN
Tesis ini untuk membantah teori yang dikemukakan oleh Goddard yang
menyatakan bahwa yang paling menentukan dalam melahirkan makna adalah
relasi hubungan antar kata. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Brinton
dan Akimoto yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan bidang kajian yang
fokus membahasa kajian relasi kata yang terbatas yang akan membantu dalam
pemaknaan. Tokoh lain yang berpendapat senada dengan Goddard adalah Robbins
menurutnya kolokasi merupakan relasi kata yang terjadi pada tataran leksikal.
Tesis ini juga untuk mengkombinasaikan dua teori yang berlawanan yaitu
kolokasi pada tataran kata dengan kolokasi pada tataran struktur kalimat. Selain
kolokasi pada tataran kata para ahli linguistik juga banyak yang mengemukakan
bahwa kolokasi bisa juga terjadi pada sebagaimana dikemukakan oleh Sabine
Bartsch yang menyatakan bahwa kolokasi disamping menampilkan kajian bidang
semantik juga menampilkan kajian tentang struktur bahasa. Dia lebih rinci lagi
menyatakan yang dimaksud dengan kajian kolokasi di bidang struktur adalah
bukan lagi mengkaji relasi kata-perkata akan tetapi mengakaji relasi unsur-unsur
sintaksis. Pendapat ini sebelumnya telah dikemukakan oleh tokoh bahasa yang
lain. Diantara tokoh sebelumnya menyatakan bahwa kolokasi terjadi juga pada
tataran sintaksis pernyataan ini antara lain dikemukakan oleh Benson Bahns
Wouden, menurut ketiga tokoh ini, selain pada tataran kata kolokasi juga terjadi
pada tataran sintaksis. Artinya yang akan melahirkan sebuah makna tidak hanya
karena adanya relasi antar kata dengan kata yang lain, akan tetapi juga karena
adanya relasi antar unsur kalimat.
Pendapat Sabine senada dengan pandapat dari linguis Arab Tamâm Hasân
yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan relasi antar unsur sintaksis yang
masing-masing unsur tersebut keberadaannya sangat prediktibel. Artinya
kemunculan salah satu unsur sintaksis akan sangat mudah untuk diprediksikan
karena kemunculan unsur sintaksis yang lain. Tamâm Hasân sendiri memberikan
contoh apabila muncul hurf al-jar maka diprediksikan akan muncul ism yang

163
menjadi majrûrnya. Demikian juga dengan bahasa Inggris apabila ada preposisi
maka kata kerja yang terletak setelahnya berupa kata kerja bentuk gerund.
Gejala kolokasi baik pada tataran kata maupun pada tataran struktur
kalimat keduanya akan terjadi pada semua bahasa manusia diseluruh dunia
termasuk didalamnya adalah bahasa Arab. Oleh karena itu tidak mustahil apabila
dalam al-Qur`an yang nota benenya merupakan kitab suci yang tertulis dalam
bahasa Arab akan banyak kolokasi-kolokasi yang terdapat didalamnya kedua jenis
kolokasi tersebut.
Kesimpulan ini untuk menjawab pertanyaan tesis yang menyatakan bahwa
kolokasi sebagai kajian tentang pemaknaan tidak hanya karena adanya relasi antar
kata akan tetapi juga karena adanya relasi antar konstituen struktur kalimat.
Pada tesis ini penulis tidak mengemukakan secara keseluruhan kolokasi
yang terdapat dalam al-Qur`an dan terbatas pada pengklasifikasian jenis-jenis
kolokasi yang muncul didalamnya mengingat kata dan kalimat yang terdapat
dalam al-Qur`an ini tidak sedikit, maka dari itu memungkinkan sekali bagi penulis
sendiri ataupun para akademisi yang lain untuk bisa mengkaji lebih jauh lagi
terutama dalam penyusunan kamus kolokasi al-Qur`an.

164
BAB V
KESIMPULAN
Tesis ini untuk membantah teori yang dikemukakan oleh Goddard yang
menyatakan bahwa yang paling menentukan dalam melahirkan makna adalah
relasi hubungan antar kata. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Brinton
dan Akimoto yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan bidang kajian yang
fokus membahasa kajian relasi kata yang terbatas yang akan membantu dalam
pemaknaan. Tokoh lain yang berpendapat senada dengan Goddard adalah Robbins
menurutnya kolokasi merupakan relasi kata yang terjadi pada tataran leksikal.
Tesis ini juga untuk mengkombinasikan dua teori yang berlawanan yaitu
kolokasi pada tataran kata dengan kolokasi pada tataran struktur kalimat. Selain
kolokasi pada tataran kata para ahli linguistik juga banyak yang mengemukakan
bahwa kolokasi bisa juga terjadi pada sebagaimana dikemukakan oleh Sabine
Bartsch yang menyatakan bahwa kolokasi disamping menampilkan kajian bidang
semantik juga menampilkan kajian tentang struktur bahasa. Dia lebih rinci lagi
menyatakan yang dimaksud dengan kajian kolokasi di bidang struktur adalah
bukan lagi mengkaji relasi kata-perkata akan tetapi mengakaji relasi unsur-unsur
sintaksis. Pendapat ini sebelumnya telah dikemukakan oleh tokoh bahasa yang
lain. Diantara tokoh sebelumnya menyatakan bahwa kolokasi terjadi juga pada
tataran sintaksis pernyataan ini antara lain dikemukakan oleh Benson Bahns
Wouden, menurut ketiga tokoh ini, selain pada tataran kata kolokasi juga terjadi
pada tataran sintaksis. Artinya yang akan melahirkan sebuah makna tidak hanya
karena adanya relasi antar kata dengan kata yang lain, akan tetapi juga karena
adanya relasi antar unsur kalimat.
Pendapat Sabine senada dengan pandapat dari linguis Arab Tamâm Hasân
yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan relasi antar unsur sintaksis yang
masing-masing unsur tersebut keberadaannya sangat prediktibel. Artinya
kemunculan salah satu unsur sintaksis akan sangat mudah untuk diprediksikan
karena kemunculan unsur sintaksis yang lain. Tamâm Hasân sendiri memberikan
contoh apabila muncul hurf al-jar maka diprediksikan akan muncul ism yang

165
menjadi majrûrnya. Demikian juga dengan bahasa Inggris apabila ada preposisi
maka kata kerja yang terletak setelahnya berupa kata kerja bentuk gerund.
Gejala kolokasi baik pada tataran kata maupun pada tataran struktur
kalimat keduanya akan terjadi pada semua bahasa manusia diseluruh dunia
termasuk didalamnya adalah bahasa Arab. Oleh karena itu tidak mustahil apabila
dalam al-Qur`an yang nota benenya merupakan kitab suci yang tertulis dalam
bahasa Arab akan banyak kolokasi-kolokasi yang terdapat didalamnya kedua jenis
kolokasi tersebut.

Berdasarkan uraian pembahasan penelitian ini dapat penulis simpulkan


bahwa kolokasi kata dan kolokasi struktur kalimat keduanya mempunyai peran
dalam melahirkan makna. Kata tidak akan menghasilkan makna tanpa adanya
relasi dengan kata yang lain. Relasi kata tersebut merupakan kombinasi yang
sudah lazim digunakan oleh penutur bahasa aslinya. Penutur bahasa asli akan
secara alamiah mengkombinasikan kata yang sudah lazim dengan menggunakan
intuisi yang sudah terlatih. Ketepatan dalam mengkombinasikan pasangan kata
tersebut oleh para ahli bahasa disebut dengan kolokasi.
Kolokasi pada tataran kata dalam al-Qur`an ini menghasilkan makna
polisemi. Artinya setiap kata dalam al-Qur`an mempunyai makna yang banyak
yang menuntut adanya relasi antar kata dengan kombinasi yang serasi. Karena
dari masing-masing kata mempunyai ketepatan dalam penggunaan pada sebuah
kalimat. Contoh kata 'N ‫ا‬, kata ini searti dengan kata ‫'ح‬N ‫ ا‬dan juga kata ‫ء‬+e ‫ا‬.
Ketiga kata ini mempunyai makna pujian dan penghargaan terhadap suatu
keindahan, kenikmatan atau lainnya yang bersifat immaterial. Sebagai ungkapan
pujian kepada Allah kombinasi kata yang tepat dari ketiga kata tersebut adalah
menggunakan kata 'N ‫ا‬. Kata 'N ‫ ا‬juga mengandung makna 2m ‫ا‬, akan tetapi
penggunaan kata 'N ‫ ا‬hanya dipergunakan untuk mengungkapkan rasa syukur
kepada Allah, sedangkan untuk mengungkapkan syukur kepada makhluk dengan
menggunakan kata 2‫ﺵ‬.
Perbedaan makna kolokasi pada tataran struktur kalimat dengan kolokasi
pada tataran kata adalah pada posisi dan fungsi kata yang terletak pada runtutan

166
struktur kalimat. Posisi dan fungsi kata pada kalimat itulah yang akan
menghasilkan makna kolokasi struktur kalimat. Makna kolokasi struktur kalimat
dapat diwujudkan dalam hubungan sintagmatik unsur-unsur leksikal pembentuk
sebuah kalimat. Untuk menguji apakah hubungan sintagmatik bermakna dan
fungsional atau tidak, dilakukan uji dan teknik permutasian pertukaran posisi. Jika
terdapat pertentangan makna atau perbedaan makna karena adanya pergantian
posisi maka dapat dikaidahkan bahwa kolokasi tersebut merupakan kolokasi
struktural.
Pada hakekatnya kedua kolokasi tersebut saling mendukung dan saling
melengkapi. Kolokasi kata akan menghasilkan makna ketika masuk sebagai
bagian dari unsur kalimat. Kolokasi struktur kalimat tidak akan mempunyai
makna apabila tidak didasarkan kepada kata. Jadi makna sebuah kalimat
merupakan kombinasi antara makna kolokasi leksikal dan makna kolokasi
struktural. sebagaimana ayat berikut: َ ِ$َ Y
ْ Nُ ْ ‫ط ا‬
َ ‫@َا‬
v ‫َ ا‬#'ِ ‫ ا ْه‬pada ayat tersebut terdapat
relasi antara kata َ#'ِ ‫ا ْه‬, ‫ط‬
َ ‫@َا‬
v ‫ا‬, dan ِ$َ Y
ْ Nُ ْ ‫ا‬. Apabila relasi ketiga kata tersebut
dianalisis dengan kolokasi kata, maka akan melahirkan makna bahwa kata َ#'ِ ‫ا ْه‬
yang mempunyai makna sinonim ‫رﺵد‬z‫ ا‬tidak bisa saling menggantikan satu sama
lain. Dalam satu waktu mungkin bisa menggantikan akan tetapi dilain waktu tidak
bisa. Kata ‫ط‬
َ ‫@َا‬
v ‫ ا‬mempunyai makna ‫د‬.N ‫ ا‬, S ‫ ا‬,;DY ‫ا‬. Kata-kata tersebut
mempunyai arti yang sama yatu jalan, akan tetapi dalam penggunaannya tidak
selamanya bisa saling menggantikan. Keempat kata tersebut mempunyai
ketepatan untuk berkombinasi dengan kata yang lain yang masih dalam kontek
jalan. Ketepatan dalam penggunaan kata-kata tersebut karena adanya makna
kolokasi yang menuntut adanya keserasian relasi kata yang sudah lazim
digunakan oleh penutur bahasa tersebut.
Untuk membuktikan bahwa kolokasi struktur juga mempunyai peran
dalam melahirkan makna, maka perlu analisis juga terhadap ayat 6 surat al-
Fatihah. Metode yang digunakan dalam analisis kolokasi struktur yaitu dengan
cara permutasian unsur struktur kalimat. Ayat 6 surat al-Fatihah terdiri dari kata
َ#'ِ ‫ا ْه‬, ‫ط‬
َ ‫@َا‬
v ‫ا‬, dan ِ$َ Y
ْ Nُ ْ ‫ا‬. Masing-masing kata tersebut mempunyai posisi yang

167
berbeda-beda. Kata َ#'ِ ‫ ا ْه‬terdiri dari fi`l Amr yang berfungsi sebagai do`a dan
huruf # merupakan maf`ul dari kata َ#'ِ ‫ا ْه‬. Sedangkan kata ‫ط‬
َ ‫@َا‬
v ‫ ا‬posisi dalam
kalimat tersebut sebagai maf`ul kedua dari kata َ#'ِ ‫ ا ْه‬dan kata ِ$َ Y
ْ Nُ ْ ‫ ا‬merupakan
sifat dari kata ‫ط‬
َ ‫@َا‬
v ‫ا‬.
Untuk membuktikan bahwa kolokasi struktur kalimat bisa juga melahirkan
makna, maka dari kata-kata yang terdapat pada ayat 6 surat al-Fatihah posisinya
perlu diadakan permutasian. Apabila permutasian itu tidak mempengaruhi makna,
maka dianggap kolokasi struktur kalimat tidak berpengaruh terhadap lahirnya
makna. Akan tetapi apabila berpengaruh terhadap perubahan makna dan bahkan
mengakibatkan hilangnya makna maka kaidah ini berlaku bahwa kolokasi struktur
kalimat berpengaruh terhadap lahirnya makna. Secara sederhana kata-kata yang
terdapat pada ayat 6 surat al-Fatihah apabila posisinya dirubah maka akan
mengakibatkan perubahan makna dan bahkan tidak bermakna sama sekali
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat dari Goddard dan
yang lainnya yang menyatakan bahwa kolokasi hanya terjadi pada tataran kata
terbantahkan. Karena dengan runtutan posisi unsur kalimat yang benar juga akan
melahirkan makna. Runtutan unsur-unsur struktur kalimat tersebut terjadi karena
merupakan kelaziman. Kelaziman runtutan konstituen struktur kalimat itulah yang
disebut dengan kolokasi struktur kalimat.

168
DAFTAR PUSTAKA

`Abd al-Lathîf, Hamâsah, Binâ` al-Jumlah al-Arabiyyah, Kairo, Mesir: Dâr


Gharîb, 2003
`Abd al-Latif, Muhammad khamasah, Bina al-Jumlah al-`Arabiyyah, al-Qahirah:
Dar Gharib lil-Thaba`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzii` Syirkat dzat masuliyat
mahdudat, 2003
`Ubadah, Muhammad Ibrahim, al-Jumlah al-`Arabiyyah, Makunâtuha-
Anwâ`uha-Tahlîluhâ.
Abadi, fairuszi, al-Kamus al-Mukhith, jilid 3
al-Shalih, Abd al-Wahid, al-I`rab al-Mufashal li al-Kitab Allah al-Muratal,
Amman Yordania: Dar al-Fikr, cet ke 2, 1999
al-Jurjânî, Abd Qâhir, Dalalil al-I`jaz, ditahqiq oleh Abd al-Mun`im khafaji,
Kairo: 1977
Abdelwali, Mohammad, The Loss in The Translation of the Qur`an, Translation
Journal, Volume 11 no.2 April 2007
al-Zamahsari, Abi al-Qasim Mahmud Ibn Umar, al-Mufashal fi al-Ilm al-Lughat,
Bairut Libanon: Dar Ihya al-Ulum, tt
al-Tsa`labi, Abi Manshur, Fiqh al-Lughah wa sir al-Arabiyyah, cet. Terakhir
1972
Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, ditahqiq oleh Muhammad Fuad Sazkin, 1962
Abû al-Fath Utsman, al-Khashaish, ditahqiq oleh Muhammad `Ali al-Najâr,
Mesir: Dâr al-Kutub
Al-Andalusî, Abû Bakar Muhammad Ibn al-Hasan al- Zubâidi, Thabaqât al-
Nahwiyîn wa lughawiyîn, pentahqiq Muhammad Abû al-Fadl Ibrahîm,
Kairo, mesir: Dâr al-Ma‘ârif,.
Al-Andalusî, Abû Bakar Muhammad Ibn al-Hasan al- Zubâidi, Thabaqât al-
Nahwiyîn wa lughawiyîn, pentahqiq Muhammad Abû al-Fadl Ibrahîm,
Kairo, mesir: Dâr al-Ma‘ârif,
Abu Bakar Muhammad ibn al-Syaraj, Al-Mu`jin fi al-Nahwi, pentahqiq Musthafa
al-Syuwaimi ibn Salim Darmiji, A. Badran, Bairut Libanon.

169
Abû Basyar `Umar Ibn Utsman Ibn Qanbari Syibawaih, al-Kitâb, ditahqiq oleh
Abd al-Salam Harun, al-Haiah, al-Misriyah li al-Kitâb, 1977
al-Akhfasy, Abû Hasan Sa`îd Ibn Mus`adah, Ma`ânî al-Qur`ân yang ditahqiq
oleh Fâiz Fâris al-Hamd, Kuwait, 1979
Abû Hayan, Tafsir Bahr al-Muhith , Dar al-Fikr, 1983
al-`Askari, Abu Hilal, al-Furuq fi al-Lughah, Dar al-Afaq al-Jadidah, Bairut
Libanon, 1979
Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Sahl, ma`ânî al-Qur`ân wa I`râbuhu, ditahqîq oleh `Abd
Jalîl `Abduh Syalbî, penerbit `Alim al-Kutub, 1988
al-Ashabani, Abu Nu`aim Khuliyat al-Auliya
al-Farâ’, Abû Zakariyâ yahyâ Ibn Ziyâd al-Dailami, Ma`ani al-Qur`an wa
I`râbuhu, ditahqiq oleh Ahmad Yusuf Najâti dan Muhammad Ali al-Najâr,
al-Haiat, al-`Amah li al-Kitâb, juz 1, 1980.
al-Hasyimi, Ahmad, al-Qawaid al-Asasiyah li al-lughat al-`Arabiyyah, Bairut
Libanon: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah,
Ahmad Jâd al-Karim, `Abd Allah, al-Dars Nahwi fi al-Qurn al-`Isyrun, Kairo:
Maktabah al-Adab, , cet 1, 2004
Ahmad Jâd al-Karim, `Abd Allah, al-Ma`na wa Nahwi, maktabah al-Adab, Kairo,
Mesir: 2002
al- suyuthi, al-Itqan fi ulum al-Qur`an, Kuwait: al-Buhuts al-`Ilmiyah, 1980.
al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, ditahqîq oleh Fâ`iz Fâris al-Hamd, Kuwait: 1979
al-Alusi, Ruh al-Ma`ani fi Tafsir al-Qur`an,
Al-Anbâry, al-Inshaf fi masail al-khilaf, Bairut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1998
al-Anshari, Mughni Labib,
al-Farâ`, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 ditahqîq oleh Ahmad Yûsuf Najâtî dan
Muhammad `Ali al-Najâri, 1980
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
Multi Karya Grafika, Pondok Krapyak.
Al-Khuli, Ali, Muhammad, A dictionary Theorietical Linguistics English-Arabic
with An Arabic-English Glossary, librarie Du Liban, 1982

170
al-Jurjani, Dalail al-I`jaz, ditahqiq oleh Mahmud muhammad Syakir, 1983
al-Farahidi, Al-Khalil Ibn Ahmad, al-Jumal fi al-Nahwi, ditahqiq oleh Fahr al-
Din Qubawat, cet ke 5, 1995
al-Khalwiyah, I`rab Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, ditashih oleh al-
Syayid `Abd al-Rahim Mahmud, Mesir: Dar al-kutub, 1931
Al-Mahali dan Suyuti, Tafsir Jalalain, Mauqi` al-Tafasir.
al-Mubarad, al-Muqtadhab, ditahqiq oleh Muhammad `Abd al-Khaliq `Adhimat,
1979
Al-Musthafa al-Ghulayani Jami` al-Durus al-`Arabiyyah
al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, ditahqîq oleh zuhair Ghâzî Zâhid, `Âlim al-Kutub wa
al-Nahdlat al-`Arabiyat, 1985
Al-Qathan, Mabâhis fi `Ulum al-Qur`an, Mansyurâh al-`Ashr al-hadits, Riyadh,
1973
al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,
Al-Raghib al-Ashfahani, Mu`jam Mufradât al-Alfâd al-Qur`ân, pentahqiq Ibrahim
Syams al-Din, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2004
Al-Suyûthî, al-Iqtirah fi `Ilm Ushul al-Nahwi, ditahqiq oleh Ahmad Salim al-
Khamsa dan Muhammad Ahmad Qashim, Dar al-Ma`arif al-Nidhamiyat,
Haidhar Abad. cet I, 1988
Al-Suyuthi, al-Muzhir fi al `Ulum al-Luhat wa Anwa`iha,
al-Thabari, Jami` al-Bayan fi al-Tafsir al-Qur`an, Penerbit Dar al-Sya`b,
Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjoyo, Hans Lapoliwa, Anton M.Moeliono, Tata
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, edisi ke 3, 2003
al-Zarkasyi, al-Burhan fi al-`Ulum al-Qur`an, ditahqiq oleh Muhammad Abi al-
fadl Ibrahim, Dar al-Jim, Bairut, 1988
al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, di tahqiq oleh `Abd al-Jalil `Abduh
Syalbi, Penerbit Bairut, 1972
Aminuddin , Semantik (Pendekatan Studi tentang Makna), Bandung, Penerbit
Sinar Baru Algensindo, cet ke 3 tahun 2003
Anwar, Moch., Ilmu Sharaf, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet ke 11, 2005

171
Arifin, E. Zaenal dan Junaiyah H.M, Sintaksis untuk Mahasiswa Strata Satu
Jurusan Bahasa atau Linguistik dan Guru Bahasa Indonesia SMA/SMK,
Grasindo, 2006
Badudu, J.S., Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III, PT. Gramedia, Jakarta,
1993
Bahns, J., Lexical Collocations: contrastive view, ELT Journal Oxford ( 30 Juni
1993)
Baker, Mona, In Other Words a Coursebook on Translation, Routledge, 1992
Bartsch, Sabine, Structural and Functional Properties of Collocations in English,
Gunter Narr Verlag, 2004
Benson, Collocational and Field of Discourse, Pergamon Press Ltd, Oxford, 1985
Bloomfield, Leonard, Language, Bahasa, diterjemahkan oleh Sutikno, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995
Bolinger, Dwight, Apects of Language, Harcourt Brace Jovanovich. INC, New
York, cet II. 1975
Brashi, Abbas S., Arabic language, collocations, comparative linguistics, terms
and phrases, English, University of Western Sydney, College of Arts,
Education and Social Sciences, School of Languages and Linguistics;
Australasian Digital Theses Program, University of Western Sydney,2005.
Brinton, Laurel J. and Minoji Akimoto, collocational and idiomatic Aspects of
Composite Predicates in The History of English, Amsterdam: John
Bunyamins Publishing Company, 1999
Chaer, Abdul, Linguistik Umum, PT.Rineka Cipta, Jakarta, cet II, 2003 hal-296
Chaer, Abdul, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta, PT. Rineka Ilmu,
2000
Chomsky, Noam, Aspects of The Theory of Syntax, Cambridge: The M.I.T. Press,
, 1965
Chomsky, Noam, Three Model for The Discription of Language, Departement of
Modern Language and Resarch Laboratory of Electronic Messachussts
Institute of Technology Cambridge, Messachussts.

172
Collinge, N.E., An Encylopedia Of Language, London: Routledge, , cet ke-1,
1990
De Carrico, J.S., Promoting Pragmatic Competence. Collins, London, 1993
Devenyi, Kinga, Collocation in Arabic (MSA) and treatment of Collocations in
Arabic Dictionaries, makalah ini dipresentasikan pada acara Proceedings of
the Colloquium on Arabic and Lexicography, Etvs Lorand University &
Csoma de Krs Society, Budapest, 2007
Emery, Peter G, Collocations and Idioms in Arabic and English: A Contrastive
Study, University of Manchester, 1988
Fahmi, Mahmud Hijazi, `Ilmu al-Lughat Yubayin al-Turats wa al-Manahij al-
Hadits, Kairo: Dar Gharib,
Finoza, Lamuddin, Kemahiran Berbahasa Indonesia, Jakarta: Maawar Gempita,
cet ke 4 1997
Firth, J.R., Papers in Linguistics, Oxford University Press, London and New York
Toronto, 1957
Goddard, Cliff, Sematics Anlysis, A Practical Introduction, Oxford University
Press, London 1957
Hamasah, Muhammad `Abd al-Lathif, Bina al-Jumlah al-`Arabiyyah, Kairo: Dar
al-Gharib, 2003
Hasan, Tamam, Ijtihadat lughawiyah, Kairo: `Alim al-kutub, , cet 1, 2007
Hasan, Tamam, Al-Lughah al-`Arabiyah Ma`naha wa Mabnaha, al-Qahirah:
Alimu al-kutub, 1998
al-Yusungi, Hendrikus, Faraid al-Lughah fi al-Furŭq, maktabah al-Tsaqafah al-
Diniyyah, 1999
Hill, Jimmie dan Michael Lewis, Dictionary of Selected Collocations, London:
commercial Colour Press Plc, 1999
Hornby, AS, Oxford Advanced Learner`s Dictionary of Current English, Oxford
University Press, New York, cet ke 5, 1995
Husein, Riyad Fayez, collocation: The missing link in vocabulary acquisition
amongst EFL learners and Studies in Contrastive Linguistic, 1990

173
Ibn `Aqil dalam, Syarh Ibn `Aqil `Ala `Alfiyyah Ibn Malik, yang ditahqiq oleh
Muhyi al-Din `Abd al-Hamid , Dar-al-Turats, Kairo, 1980
al-Isybali, Ibn `Ushfur, Syarh al-Jumal al-zijaji juz 1, yang ditahqiq oleh Shahib
Abu Janah, Kairo Mesir, 1971
Ibn al-sarâj, al-ushûl fi al-Nahwi, ditahqiq oleh `Abd al-Husain al-Fatlâ, al-
Risalat, 1985
al-`Ukbari, Ibn Burhan, Syarh al-Luma`, ditahqiq oleh Faiz Faris, al-silsilah al-
Turatsiyyah, Kuwait, 1984
al-Anshari, Ibn Hisyam, Tahdzibu wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa Bal al-Shada,
ditahqiq oleh `Adnan al-`Adzmah dan Muhammad Ali al-Syulthani, Dar al-
`Ashamai, cet-1, 1998
Ibn Hisyam, Syarah Qathr al-Nada wa Bal al-Shada, ditahqiq oleh Muhammad
muhyi al-Din `Abd al-Hamid, Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, Riyadh, tt.
Ibn Jinnî, Al-Khashâish, ditahqiq oleh Muhammad `Ali al-Najâr, Dar al-Hudâ,
Bairut,
Ibn Katsir, Jami` al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an,
Ibn Malik, Alfiahnya.
Ibn Mandzur, Lisan al-`Arab, jilid 11 h.390.
Ibn Yâ`is, Syarah Ibn Yâ`is `Ala al-Mufashal li al-Zamahsari,
Ibrâhîm Anîs, fî al-lahjât al-`Arabiyyah, Maktabah al-Anjlul, Mesir, 1965
Ibrahim Syams al-Din, Marja` al-Thulab fi al-Insya, dar al-Kutub al-`Ilmiyyah,
Bairut Libanon, 2000
Imamuddin, Basuni dan Nashiroh Ishaq, Kamus Idiom Arab-Indonesia Pola Aktif,
P.T.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cet 1, 2005
Izutsu, Toshihiko, God and Man in The Qur`an, Semantics of The Qur`anic
Weltauschang, Kuala Lumpur: Academic Art & Printing Services, , 2002
Jakson, Howard, Words, Meaning, and Vocabulary, Camridge University Press,
Cambridge, 1995
Kamalie, Saifullah, Kolokasi dalam Bahasa Arab Mengapa dan Bagaimana, Blog
Pribadi ditulis pada hari Sabtu,23 Juni 2007

174
Khaidar, Farid `Aud, `Ilmu al-Dilalah Dirasat Nadzriyat wa Tathbiqiyat,
Maktabat al-Adab, Kairo, 2005
Khudhar, Rihab 'Akkawi, Mausu'ah 'Abaqirah al-Islam fi al-Nahwi, wa al-
Lughah wa-al-Fiqh, al-Mujallad al-Tsalits, Beirut: Dar al-Fikr al-'Arabi,
1993
Kridalakana, Harimurti, Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik,
Penyunting Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder, Jakarta,
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007
Larson, Mildred L., Meaning Based Translation: A Guide to Cross Language
Equivalance. Amerika: University Press Of America. 1984
Leech, Semantics,
Lyons, Introductional to Theoritical Linguistics.
M. Moeliono, Anton, Suatu Reorientasi Dalam Tata Bahasa Indonesia, dalam
buku Bunga Rampai Bahasa dan Sastra dan Budaya, Intermasa, Jakarta,
1988
Mahmoud, Abdulmoneim, Collocation Errors Made Arab Learners of English,
Teachers Articles, Agustus 2005
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya, 2007
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif , Yogyakarta: Rake Sarasin, ,
2000
Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Katsir Ibn Ghalib al-Amali Abu Ja`far al-
Thabari, Tafsir al-Thabari, Majma` al-Malak fahd li al-Thaba`at al-Mushaf
al-Sharif, 2000
Muhammad Ibn Mukaram Ibn Mandzur al-Afriki, Lisan al-`Arab, Bairut Libanon:
Dar Shadir, 1996.
Al-Ghulayaini, Musthafa, Jami` al-Durs al-`Arabiyyah, Kairo Mesir: Dar al-
Hadits, 2005
Nadja Nesselhauf, Collocations in a Learner Corpus, John Benjamins Publishing
Company, 2004

175
Nattingger, J.R., Lexikal Phrases and Language Teaching. London: Longman,
1992
Oxford Collocations Dictionary for Students of English, Oxford University Press,
cetakan ke 4, 2003
Palmer, F.R., Semantics, Cambridge: Cambridge University Press, 1983
Palmer, Semantics, Cambridge University Press, Cambridge, 1983
Parera, J.D., Teori Semantik, penerbit Erlangga, Jakarta, cet ke 2, 2004
Pateda, Mansoer, Semantik Leksikal, Ende, Flores: penertbit Nusa Indah, cetakan
I, 1986
Purwo, Bambang Kaswanti, Deiksis Dalam Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 1984
Qadur, Ahmad Muhammad, mabadi al-Lisaniyat, Darul Fikri, Damaskus, 1999
Râjahî, `Abduh, al-Nahw al-`Arabî wa al-Dars al-Hadîts, al-nahdlat al-`Arabiyat,
Bairut, 1979
Al-Thawil, Rizqi, Sayid, Al-Khilaf Baina Al-Nahwiyyin, Makkah Al-Mukaramah:
Al-Maktabah Al-Faisaliyat, 1985
Robins,R.H, General Linguistics, Longman, London dan New York, 1989 cet ke
4 yang di terjemahkan oleh Soenarjati Djajanegara, Linguistik Umum:
Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius, , 1992
al-Afghani, Sa`id, al-Mūjiz fi al-Qawaid al-Lughah al-`Arabiyyah, Dar al-Fikr, al-
kutub al-iliktroniyat.
Sevilla, Consuelo G. dkk, Pengantar Metode Penelitian, alih bahasa Alimuddin
Tuwu, UI Press, Jakarta, 1993
Shihab, M. Qurash, Tafsir Al-Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur`an,
Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000
Sîbawaih, al-Kitâb, ditahqîq oleh `Abd al-Salâm Muhammad Hârûn, Kairo Mesir:
Maktaba al-Khânji, jilid 2 cet ke 3 1988
Sinclair, John, Susan Jones and Robert Daley, English Lexical Studies:Report to
OSTI on Project C/LP/08, Departement of English, University of
Birmingham, 1970
Soedjito, Kosa Kata Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1989

176
Sudarma, Jaya, T. Fatimah, Semantik: Pernyataan kearah ilmu makna, Refika
Aditma, Bandung, 1999
Sulthani, Muhammad Ali, Al-Syawahid al-Nahwiyyah Juz 4, Damaskus Syria: Dar
al-Ashma, 2001
Sumarsono, Pengantar Semantik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2007
Syaukani, Fath al-Qadir, jilid 4
Thanthawi, Muhammad Sayid, Mu`jam I`rab Alfadz al-Qur`an al-Karim, al-
Azhar Islamic Reseach Academy General Departemen, 1994
Thanthawi, Muhammad Sayid, Tafsir al-Wasit,
Thanthawi, Muhammad, Nas’at Al-Nahw wa Tarikh Asyhar Al-Nuhat, Dar Al-
Manar, 1991
Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Ullman, Stephen, Semantic an Intoduction to The Science of Meaning, Oxford:
Basil Blackwall, , 1977.
Umar, Ahmad Muhammad, `Ilm al-Dilalat, Maktabah al-Aurabah, Kuwait, 1982
Wouden, Ton Van Der, Collocation, Polarity and Multiple Negation, Routledge,
1997

177

Anda mungkin juga menyukai