Anda di halaman 1dari 6

*NYEPI-NYEPI YANG DIRATAKAN DI BALI*

— Oleh: Sugi Lanus

Di Bali dikenal bukan hanya sebuah Nyepi, tapi ada beragam tradisi Nyepi, diantaranya:

1. Nyepi Abian (sehari dilarang ke kebun).

2. Nyepi Subak (sehari sampai 3 hari dilarang bekerja di sawah)*

3. Nyepi Desa (beberapa desa merayakan ruawatan khusus setelahnya tidak


boleh ada aktivitas di desa bersangkutan)

4. Nyepi Luh — Nyepi Muani

5. Nyepi Pasih/ Laut/ Sagara

6. Nyepi Saka Warsa (perayaan tahun baru Śaka)

Tiga Nyepi di atas berbeda lokasi dan hari, kadang bersifat sangat lokal. Hanya Nyepi
menyambut tahun baru Śaka yang paling umum dikenal dan menjadi hari libur nasional.
Airport di Bali bahkan ditutup dstnya. Nyepi Danu, Nyepi Luh-Muani dll yang masuk
“ragam Nyepi Desa” yang ada tidak diurai, secara prinsip Nyepi tersebut bagian dari
Nyepi wilayah desa pakraman tertentu.

*Kenapa ada berbagai tradisi Nyepi?*

Tradisi Nyepi tidak berdiri sendiri. Nyepi adalah persyaratan dari sebuah upakara āgama
yang bersifat magi. Upakara yang mensyaratkan penyepi adalah upakara yang memakai
sesaji (banten) Pangresikan, Prayascita, Durmanggala dan berabagai banten Caru atau
Tawur.
Kalau diibaratkan ‘mencuci’ maka ‘nyepi’ ini adalah sehari merendam cucian dan
membiarkan berbagai ramuan pemutih-pengharum-pelembut pakaian bekerja/menyusup,
agar luntur kekotoran pakaian secara tuntas tanpa terganggu.

‘Ruwatan bumi’ (Tawur) untuk desa-desa dan bumi, ‘permohonan kesuburan’


(penyiwian) untuk perkebunan, ‘ritual mengalau hama’ (Nangluk Mrana) untuk
persawahan/subak, ‘ritual penyucian’ (Prayascita) untuk berbagai leteh/kekotoran niskala
adalah ritual Tantrik yang mengunakan mantra-stava dan berbagai sarana sesaji yang
dipercaya punya daya magi yang bisa bekerja secara gaib. Ritual-ritual ini bukan hanya
ritual yang bersifat simbolik, tapi bekerja secara magis. Dipercaya dari berabab-abad
lampau punya daya magis menyucikan dan mengembalikan tatatan seseimbangan kosmik.
Pengembalian gaib ini dikenal dengan istilah ‘somya’.

Agar ‘ruwatan bumi’, ‘permohonan kesuburan’, ‘ritual mengalau hama’, ‘ritual


prayascita’ dll yang dilakukan secara gaib mampu bekerja secara efektif maka harus ada
ruang tenggang atau ruang jeda dari masa ‘nyomia’ (proses penyucian) selama sehari.
Selanjutnya setelah tenggang sehari penuh hening dan semua doa-mantra-stava-sesaji
berkerja secara gaib, dilanjutkan dengan memulai kerja nyata.

*– Nyepi Abian*

Krama Subak Abian di Desa Belatungan, Tabanan, memilik ‘Nyepi Abian’ yaitu tidak
melakukan aktivitas pertanian, atau semua petani pantang datang bekerja ke kebun
selama satu hari penuh. Nyepi Abian merupakan rangkaian ‘Upacara Nyiwi’ yang di Pura
Subak yang ada di desa setempat. Dalam upakara ini Krama Subak memohon Tirta untuk
dibawa ke rumah yang selanjutnya digunakan pada saat persembahyangan penyucian di
kebun masing-masing. Upakara ini ditandai dengan sesaji ‘Tipat Sai’ (Ketupat Sai)
dihaturkan di tempat pemujaan di kebun masing-masing petani (atau disebut Pelinggih
Abian). Tujuannya memohon kesuburan.

*– Nyepi Subak/Sawah*
1. Desa Pakaraman Bangal Kecamatan Selemadeg Barat Kabupaten Tabanan
melaksanakan ‘Nyepi Subak’ karena merupakan persyaratan setelah ‘Upakara Metabuh’
harus ada sehari Nyepi. ‘Tabuh’ adalah upakara ruwat sekaligus memohon kesuburan
pertiwi.

2. Nyepi Sawah di Krama Subak Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel,


Kabupaten Tabanan, kalau tidak salah, disebutkan ada dua versi. Jika petani menanam
padi Bali yakni padi beras merah, krama melaksanakan Nyepi selama tiga hari. Sebelum
Nyepi, digelar upacara ‘Nangluk Merana’. Jadi ‘penyepian’ adalah persyaratan dari
Upakara Nangkluk Mrana (memohon terbebas dari hama). Warga dan petani dilarang
masuk areal persawahan atau subak.

*– Nyepi Desa*

1. Nyepi Desa di Desa Pakraman Kintamani adalah rangkaian dari pujawali di


Pura Dalem Pingit Desa Pakraman Kintamani. Nyepi Desa ini menjadi momentum
penyucian desa dengan mengajak semua warga desa tidak berpergian ke luar desa dan
berdoa sepanjang hari Nyepi Desa.

2. Tiga desa pakraman di Karangasem (Desa Pakraman Tanah Ampo,


Manggis, Karangasem dan Desa Datah) melakukan penyepian desa terkait ‘Ngusaba
Segeha’ serta ‘Ngusaha Dalem’ di ketiga desa itu. ‘Ngusaba’ tersebut adalah upakara
penyucian desa dari segala macam hal buruk.

3. Desa Banyuning, Buleleng, melakukan penyepian sehari setelah Upakacara


Pecaruan di Catus Pata Desa Banyuning. Desa ditutup selama sehari sekalipun jalan
nasional masih diijinkan dilewati kendaraan, namun krama/warga setempat melakukan
Catur Brata Penyepian: Amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau
menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan
amati lelanguan (tidak mencari hiburan).

Beberapa desa dan subak yang melakukan penyepian tersebut di atas hanyalah ilustrasi
bagaimana sebenarnya ‘penyepian’ itu adalah persyaratan dari ritual ‘ruwatan bumi’,
‘permohonan kesuburan’, ‘mengalau hama’, ‘prayascita’ dll.

*— Nyepi Luh-Muani*

Nyepi yang terhitung sangat khas dan unik, tidak dirayakan umumnya di desa lain,
adalah Nyepi  Luh ( Predana) dan Nyepi Muani (Purusa) yang wajib dilaksanakannya
oleh warga desa adat Ababi, kabupaten Karangasem.
Muani = laki dan Luh = perempuan. Pelaksanaan kedua Nyepi Purusa dan Nyepi Luh juga
berlangsung setiap tahun sekali, tetapi waktu pelaksanaannya berbeda hari, selisih
sebulan.

Nyepi Luh dilaksanakan pada hari tilem kapitu (bulan glapp ketujuh perhitungan Bali)
terkait dengan upacara agama di Pura Kedaton Desa Adat Ababi. Nyepi Muani
dilaksanakan dalam tempo waktu sebulannya kemudian, tepatnya pada hari tilem kaulu
(bulan glapp kedelapan perhitungan Bali). Pelaksanaan hari Nyepi Luh baru di
berlakukan keesokan harinya setelah puncak upacara piodalan di Pura Kedaton Desa 
adat Ababi. Perempuan melaksanakan amati karya yaitu: tidak boleh bekerja, libur total,
tidak boleh ada aktivitas atau kerja sehari–hari di rumah, tidak berpergian, dan ada
larangan kerns untuk tidak mengendarai kendaraan bermotor, berlaku 12 jam dimulai
pada pagi hari sampai jam 5 sore. Kulkul (kentongan) Pura Puseh dipukul ini tanda mulai
dan berakhirnya Nyepi.

*— Nyepi Sagara atau Laut*

Segara/Pasih berarti pesisir pantai, laut maupun pasih. Nyepi Segara = tidak adanya aktivitas
dan hening, sipeng di pesisir pantai dan laut .

Tradisi ini ada di Nusa Penida, dilakukan dalam rangka upacara Ngusaba Agung Penyejeg Jagat,
dilaksanakan setahun sekali, setiap Punamaning Kapat sekitar bulan Oktober. Sehari setelah
upacara pengusaban dilaksanakan upacara mepekelem. Keesokan harinya dilakukan Nyepi
Segara selama 1 hari penuh, pukul 06.00 pagi sampai pukul 06.00 pagi keesokan harinya.

Tidak boleh ada kegiatan di laut, seperti: Bertani rumput, memancing, penyeberangan, memanen
rumput laut. Semuanya dihentikan dalam sehari.

*— Nyepi Saka Warsa (perayaan tahun baru Śaka)*

Nyepi ini adalah yang paling umum diketahui di Bali dan Indonesia, perayaan TAWUR
AGUNG atau penyucian jagat pada bulan gelap (tilem) ke-9 seusai kalender Bali, ini
sebabnya disebut TAWUR KASANGA. Bertepatan setelah Nyepi, dirayakan pergantian
tahun Śaka yang terkait dengan tradisi tahun yang dipakai oleh Kerajaan-Kerajaan
Hindu-Buddha di Nusantara dari awal berdirinya kerajaan-kerajaan dengan system
pemerintahan yang berbasis teori kenegaraan Hindu.
*Upakara apa yang mengamanatkan penyepian?*

Dalam Hindu Bali, sebenarnya, masih ada beberapa ritual lainnya mensyaratkan
‘penyepian’ sepanjang ritual tersebut memakai sesaji atau banten sebagai berikut:

– Banten Biakaon

– Banten Pangresikan

– Banten Prayascita

– Banten Durmanggala

– Berbagai Banten Caru atau Tawur

Sebagai contoh, di masa lalu, sepasang pengantin yang menjalani upakara ‘biakaon’
diwajibkan untuk melakukan salah satu ‘brata penyepian’ yaitu tidak diperbolehkan
bepergian ke lain desa, harus berdiam di rumah selama 3 hari setelah menjalani upakara
‘biakaon’ tersebut.

Saya sendiri di masa kecil pernah ‘mabrata nyepi diri’ tidak boleh ke dapur selama 3 hari
dan semua makanan diambilkan oleh ibu saya setelah menjalani ‘upakara Tubah’
(Matubah). ‘Tubah’ adalah semacam ‘prayascita alit’ (penyucian buana alit) ditujukan
bagi orang Bali yang hari kelahirannya tergolong ‘berat’.

Berdiam diri di rumah (amati lelungan) diiringi doa serta ikhtiar penyucian diri itu
disebut masekeb (mengurung diri secara lahir batin), bisa juga disebut sebagai ngeka-
brata (Eka Brata).

Begitulah ‘panyepian’, ia adalah ‘ruang terbuka’ yang memberikan ‘instrumen magi’ bisa
bekerja dengan ‘efektif’. Secara filosofis ini adalah ruang atau jeda untuk merenung.
Ruang dimana kita khusuk-masuk ke dalam kontemplasi diri.
Brata penyepian tahun baru Śaka, disamping menjadi jeda untuk bekerjanya magi dari
upakara Tawur dan Caru, diharapkan juga menjadi ruang kontemplasi bersama
merenungkan diri sendiri, lingkungan dan Ibu Pertiwi. (SL)

— *Catatan Harian Sugi Lanus, 27 Maret 2017*.

Anda mungkin juga menyukai