Di Bali dikenal bukan hanya sebuah Nyepi, tapi ada beragam tradisi Nyepi, diantaranya:
Tiga Nyepi di atas berbeda lokasi dan hari, kadang bersifat sangat lokal. Hanya Nyepi
menyambut tahun baru Śaka yang paling umum dikenal dan menjadi hari libur nasional.
Airport di Bali bahkan ditutup dstnya. Nyepi Danu, Nyepi Luh-Muani dll yang masuk
“ragam Nyepi Desa” yang ada tidak diurai, secara prinsip Nyepi tersebut bagian dari
Nyepi wilayah desa pakraman tertentu.
Tradisi Nyepi tidak berdiri sendiri. Nyepi adalah persyaratan dari sebuah upakara āgama
yang bersifat magi. Upakara yang mensyaratkan penyepi adalah upakara yang memakai
sesaji (banten) Pangresikan, Prayascita, Durmanggala dan berabagai banten Caru atau
Tawur.
Kalau diibaratkan ‘mencuci’ maka ‘nyepi’ ini adalah sehari merendam cucian dan
membiarkan berbagai ramuan pemutih-pengharum-pelembut pakaian bekerja/menyusup,
agar luntur kekotoran pakaian secara tuntas tanpa terganggu.
*– Nyepi Abian*
Krama Subak Abian di Desa Belatungan, Tabanan, memilik ‘Nyepi Abian’ yaitu tidak
melakukan aktivitas pertanian, atau semua petani pantang datang bekerja ke kebun
selama satu hari penuh. Nyepi Abian merupakan rangkaian ‘Upacara Nyiwi’ yang di Pura
Subak yang ada di desa setempat. Dalam upakara ini Krama Subak memohon Tirta untuk
dibawa ke rumah yang selanjutnya digunakan pada saat persembahyangan penyucian di
kebun masing-masing. Upakara ini ditandai dengan sesaji ‘Tipat Sai’ (Ketupat Sai)
dihaturkan di tempat pemujaan di kebun masing-masing petani (atau disebut Pelinggih
Abian). Tujuannya memohon kesuburan.
*– Nyepi Subak/Sawah*
1. Desa Pakaraman Bangal Kecamatan Selemadeg Barat Kabupaten Tabanan
melaksanakan ‘Nyepi Subak’ karena merupakan persyaratan setelah ‘Upakara Metabuh’
harus ada sehari Nyepi. ‘Tabuh’ adalah upakara ruwat sekaligus memohon kesuburan
pertiwi.
*– Nyepi Desa*
Beberapa desa dan subak yang melakukan penyepian tersebut di atas hanyalah ilustrasi
bagaimana sebenarnya ‘penyepian’ itu adalah persyaratan dari ritual ‘ruwatan bumi’,
‘permohonan kesuburan’, ‘mengalau hama’, ‘prayascita’ dll.
*— Nyepi Luh-Muani*
Nyepi yang terhitung sangat khas dan unik, tidak dirayakan umumnya di desa lain,
adalah Nyepi Luh ( Predana) dan Nyepi Muani (Purusa) yang wajib dilaksanakannya
oleh warga desa adat Ababi, kabupaten Karangasem.
Muani = laki dan Luh = perempuan. Pelaksanaan kedua Nyepi Purusa dan Nyepi Luh juga
berlangsung setiap tahun sekali, tetapi waktu pelaksanaannya berbeda hari, selisih
sebulan.
Nyepi Luh dilaksanakan pada hari tilem kapitu (bulan glapp ketujuh perhitungan Bali)
terkait dengan upacara agama di Pura Kedaton Desa Adat Ababi. Nyepi Muani
dilaksanakan dalam tempo waktu sebulannya kemudian, tepatnya pada hari tilem kaulu
(bulan glapp kedelapan perhitungan Bali). Pelaksanaan hari Nyepi Luh baru di
berlakukan keesokan harinya setelah puncak upacara piodalan di Pura Kedaton Desa
adat Ababi. Perempuan melaksanakan amati karya yaitu: tidak boleh bekerja, libur total,
tidak boleh ada aktivitas atau kerja sehari–hari di rumah, tidak berpergian, dan ada
larangan kerns untuk tidak mengendarai kendaraan bermotor, berlaku 12 jam dimulai
pada pagi hari sampai jam 5 sore. Kulkul (kentongan) Pura Puseh dipukul ini tanda mulai
dan berakhirnya Nyepi.
Segara/Pasih berarti pesisir pantai, laut maupun pasih. Nyepi Segara = tidak adanya aktivitas
dan hening, sipeng di pesisir pantai dan laut .
Tradisi ini ada di Nusa Penida, dilakukan dalam rangka upacara Ngusaba Agung Penyejeg Jagat,
dilaksanakan setahun sekali, setiap Punamaning Kapat sekitar bulan Oktober. Sehari setelah
upacara pengusaban dilaksanakan upacara mepekelem. Keesokan harinya dilakukan Nyepi
Segara selama 1 hari penuh, pukul 06.00 pagi sampai pukul 06.00 pagi keesokan harinya.
Tidak boleh ada kegiatan di laut, seperti: Bertani rumput, memancing, penyeberangan, memanen
rumput laut. Semuanya dihentikan dalam sehari.
Nyepi ini adalah yang paling umum diketahui di Bali dan Indonesia, perayaan TAWUR
AGUNG atau penyucian jagat pada bulan gelap (tilem) ke-9 seusai kalender Bali, ini
sebabnya disebut TAWUR KASANGA. Bertepatan setelah Nyepi, dirayakan pergantian
tahun Śaka yang terkait dengan tradisi tahun yang dipakai oleh Kerajaan-Kerajaan
Hindu-Buddha di Nusantara dari awal berdirinya kerajaan-kerajaan dengan system
pemerintahan yang berbasis teori kenegaraan Hindu.
*Upakara apa yang mengamanatkan penyepian?*
Dalam Hindu Bali, sebenarnya, masih ada beberapa ritual lainnya mensyaratkan
‘penyepian’ sepanjang ritual tersebut memakai sesaji atau banten sebagai berikut:
– Banten Biakaon
– Banten Pangresikan
– Banten Prayascita
– Banten Durmanggala
Sebagai contoh, di masa lalu, sepasang pengantin yang menjalani upakara ‘biakaon’
diwajibkan untuk melakukan salah satu ‘brata penyepian’ yaitu tidak diperbolehkan
bepergian ke lain desa, harus berdiam di rumah selama 3 hari setelah menjalani upakara
‘biakaon’ tersebut.
Saya sendiri di masa kecil pernah ‘mabrata nyepi diri’ tidak boleh ke dapur selama 3 hari
dan semua makanan diambilkan oleh ibu saya setelah menjalani ‘upakara Tubah’
(Matubah). ‘Tubah’ adalah semacam ‘prayascita alit’ (penyucian buana alit) ditujukan
bagi orang Bali yang hari kelahirannya tergolong ‘berat’.
Berdiam diri di rumah (amati lelungan) diiringi doa serta ikhtiar penyucian diri itu
disebut masekeb (mengurung diri secara lahir batin), bisa juga disebut sebagai ngeka-
brata (Eka Brata).
Begitulah ‘panyepian’, ia adalah ‘ruang terbuka’ yang memberikan ‘instrumen magi’ bisa
bekerja dengan ‘efektif’. Secara filosofis ini adalah ruang atau jeda untuk merenung.
Ruang dimana kita khusuk-masuk ke dalam kontemplasi diri.
Brata penyepian tahun baru Śaka, disamping menjadi jeda untuk bekerjanya magi dari
upakara Tawur dan Caru, diharapkan juga menjadi ruang kontemplasi bersama
merenungkan diri sendiri, lingkungan dan Ibu Pertiwi. (SL)