Anda di halaman 1dari 26

KAJIAN TEORETIK DAN PRAKTIS

PEMIDANAAN KORPORASI
DALAM RANGKA PENGEMBALIAN ASET

O
L
E
H

SURYA JAYA

Disampaikan Dalam Diskusi


Pendidikan dan Pelatihan Hakim Tindak Pidana Korupsi
Angkatan XVII Hakim Tingkat Pertama dan Banding
Lingkungan Peradilan Umum dan Militer
Megamendung Bogor 2016
A. Latarbelakang
- Subjek hukum pidana menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana adalah natuurlijke persoon yaitu
manusia (orang perseorangan). KUHPidana belum
mengenal dan mengancam sanksi hukum bagi
rechts person (badan hukum ), melainkan
tanggungjawab pidana hanya dibebankan kepada
pengurus (vide Pasal 59 dan Psal 398, 399
KUHidana). Fungsi hukum pidana belum bersifat
instrumental.
- Badan hukum sebagai subjek hukum dalam sistem
hukum nasional diakui sejak tahun 1951 melalui UU
Penimbunan Barang. Sedangkan melalui UU Tipikor
korporasi diterima sebagai subjek hukum/pelaku
tindak pidana pada tahun 1999.
- Sudah puluhan UU khusus menempatkan korporasi
sebagai pelaku/pembuat tindak pidana, sekaligus
sebagai pihak yang diperkaya atau diuntungkan (vide
Pasal 2 dan 3 UU Tipikor ), dalam rangka
menampung hasil tindak pidana (TPPU). Namun
korporasi yang diproses hukum masih sangat
terbatas. Timbul kesan korporasi kebal hukum.
- Melahirkan tren atau modus baru tindak pidana, yaitu
korporasi digunakan untuk melakukan tindak pidana
dan menjadi tameng guna melindungi hasil tindak
pidana yang dialirkan korporasi.
- Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengurus /
pengendali / directing mind yang bertindak untuk dan
atas nama korporasi dan terbukti memperkaya /
menguntungkan korporasi trilyun rupiah, namun
korporasi yang diajukan untuk proses hukum masih
dalam hitungan jari ?
Berbagai permasalahan berkaitan pemidanaan
korporasi yang antara lain : syarat Indentitas korporasi,
pengajuan korporasi (dipisah atau disatukan dalam 1
berkas perkara ), korporasi sebagai pelaku dan
sekadar diuntungkan atau diperkaya, (korporasi tidak
terkait dengan perbuatan materil pelaku). Sebagai
perbandingan dalam perkara pajak korporasi yang tidak
bayar pajak dijatuhi sanksi denda, tanpa diajukan
sebagai tersangka.

- Sehubungan dengan hal tersebut dengan


diterimannya korporasi sebagai subjek tindak pidana
maka dengan sendirinya pertanggungjawaban
pidana korporasi (corporate criminal liability)
merupakan suatu keniscayaan dalam upaya
pengembalian kerugian keuangan Negara.
B. PENGERTIAN SUBJEK HUKUM
- Pelaksana atau pendukung hak dan
kewajiban. Subjek hukum terdiri dari
Manusia dan Korporasi : Terdiri dari
badan hukum dan bukan badan
hukum.
- Konstruksi hukum korporasi dalam
kedudukan sebagai subjek hukum :
Semua ketentuan yang berlaku
terhadap subjek manusia juga
berlaku terhadap subjek korporasi,
kecuali menyangkut pidana penjara
atau perampasan kemerdekaan.
Korporasi sebagai subjek hukum tidak
kebal hukum.
SUBJEK HUKUM KUHPIDANA
 Adalah manusia sebagai orang perorangan
atau individu (Natural Person / natuurlijke
persoon ).
 Rumusan KUHPidana hanya mengancam
hukuman bagi manusia, dan belum mengatur
ancaman pidana bagi korporasi. Contoh
Pasal 59 , Pasal 398 dan Pasal 399 KUH
Pidana, hanya mengancam pengurus
korporasi.
 Sudah mengenal Perseroan dan koperasi
namun belum mengenal pertanggungjawaban
/ pidana bagi perseroan/koperasi.
 Sistem pemidanaan : Perseroan berbuat
pengurus bertanggungjawab. Pengurus
berbuat pengurus bertanggungjawab.
 Tangggungjawab pidana berdasarkan
kesalahan personal/individu (individual guilt).
 APA ITU KORPORASI
 Kumpulan orang yang terorganisasi,
mempunyai kekayaan tersendiri, baik yang
terpisah maupun yang tidak terpisah dengan
harta kekayaan pengurusnya, dan terhimpun
dalam suatu perusahaan bentuk badan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum
 Pasal 1 angka 1 UU Tipikor : Korporasi adalah
kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisir baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
 Korporasi : sebagai kumpulan orang dan atau
kekayaan yang terorganisasi , baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum
(Muladi).
 Eksistensi atau kelahiran korporasi sebagai suatu
subjek hukum awalnya didasarkan pada “ Fiksi
Hukum”.
PERKEMBANGAN SUBJEK
HUKUM PIDSUS
 Tidak saja manusia sebagai orang
perorangan atau individu (Natural
Person).
 Tetapi juga korporasi : yaitu terdiri dari
perusahaan berbadan hukum (misalnya
PT, Perum,Perjan dsb) dan tidak berbadan
hukum ( CV, NV atau Firma dsb) .
 Pertanggungjawaban pidana tidak hanya
manusia, tetapi juga korporasi.
 Sistem pemidanaan : pengurus dan
korporasi sebagai pelaku maka keduanya
bertanggungjawab dan dipidana.
 kesalahan individual dipertanggungjawab
secara kolektif.
SANKSI PIDANA KORPORASI
 Pidana pokok berupa : Pidana denda
 Pertanyaaan , apakah korporasi dapat
dijatuhkan pidana tambahan : contoh, (1)
pembayaran uang pengganti, (2)
penutupan seluruh atau sebagian
perusahaan untuk waktu paling lama 1
tahun, (3) pencabutan seluruh atau
sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu yang dapat diberikan
pemerintah kepada terpidana.
 Sanksi Denda pada korporasi tidak efektif.
 Pidana subsidair / penganti denda dalam
TPK tidak dapat dijatuhkan terhadap
korporasi dan pengurus ( kecuali dalam
UU TPPU ).
HAMBATAN PEMIDANAAN
KORPORASI

 Tangggungjawab pidana tidak dapat


dialihkan/ diwarisan kepada pihak lain.
 Adagium Universitas Delinguare Non
Potes ( badan hukum tidak dapat
dipidana ).
 Adagium / maxim : Geen straf zonder
schuld, Keine straf ohne schuld.
Artinya tidak ada pidana tanpa
kesalahan atau mens rea / sikap batin
dalam bentuk yaitu dolus atau culpa.
ALASAN KORPORASI DAPAT DIMINTAI
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
- Sebagai subjek / pembuat delik mempunyai
actus reus dan mens rea, pengurus, directing
mind, pengendali dsb, bertindak untuk dan atas
nama korporasi ( AD / ART).
- Mempunyai harta kekayaan sendiri, terpisah
dengan harta kekayaan pengurusnya.
- Pemisahan tanggungjawab korporasi dan
pengurus.
- Melakukan perbuatan pidana dalam : tender
proyek, perj. Kredit dsb, untuk memperoleh
keuntungan secara melawan hukum, tempat
menyembunyikan dan menampung hasil tindak
pidana.
- Korban tindak pidana korporasi bersifat masif
dan merusak sendi-sendi perekonomian dan
berskala multidimensional.
- Berada pada taraf meresahkan dan
membahayakan kepentingan bangsa/Negara.
Ajaran Pertanggungjawaban pidana
Korporasi
1. Doctrine Of Strict Liability / Absolute Liability :
Doctrine ini disebut “ pertanggungjawaban absolute
“, artinya tidak lagi mempersolkan mens rea/sikap
batin pembuat sebagai syarat pemidanaan.
Pembuat dihukum tanpa disyaratkan bagi aparat
hukum untuk membuktikan kesalahan. Dengan kata
lain pertanggungjawaban pidana dibebankan
kepada pembuat tanpa disyaratkan untuk
membuktikan mens rea pelaku. Mengandung
makna bahwa kesalahan (dolus dan culpa )
pembuat tidak perlu dibuktikan. Bahwa sudah
cukup apabila actus reus ( aktif dan pasif) pembuat
dibuktikan bahwa telah melanggar perbuatan yang
diancam dalam ketentuan pidana. Contoh : perkara
pencemaran, pelanggaran lalu lintas, pelanggaran
rambu jalan. Doctrine ini untuk melindungi
kepentingan umum, bangsa dan Negara.
Kritikan terhadap ajaran ini yaitu tidak sejalan
dengan prinsip hukum pidana “ geen straf zonder
schuld “, tidak ada pidana tanpa kesalahan.
2. Doctrine Of Vicarious Liability :
Pengalihan pertanggungjawaban pidana kepada orang lain
( pimpinan / majikan ). Majikan/atasan bertanggungjawab
atas perbuatan orang lain. Korporasi bertanggungjawab
atas perbuatan yang dilakukan oleh para pegawai /
pengurus, kuasanya atau mandatarisnya atau yang
mewakili dan atau mempunyai hubungan kerja dengan
korporasi untuk atas nama korporasi. Menurut doctrin ini,
tanggungjawab seorang ditentukan oleh perbuatan orang
lain. Misalnya bawahan yang bertindak dan bersalah,
maka atasan yang mengambil atau ikut ,turut
bertanggungjawab. Tanggungjawab pidana dialihkan
kepada pihak lain ( korporasi ) sepanjang berdasarkan
perintah dan pengetahuan dari otoritas yang sah. Dengan
demikian korporasi dapat bertanggungjawab atas
perbuatan orang lain berdasarkan kegiatan Intra Vires,
sebaliknya apabila bersifat Ultra Vires korporasi tidak
bertanggungjawab . Doktrin ini bertentangan dengan
adagium “ siapa yang berbuat dia yang bertanggunjawab”.

3. Doctrine Of Delegation :
Menurut doctrin ini, untuk membebankan tanggungjawab
kepada korporasi atas perbuatan yang dilakukan oleh
pegawai, pengurus didasarkan pada pendelegasian
kewenangan. Berdasarkan pendelegasian tersebut, maka
perbuatan yang dilakukan oleh pegawai dialihkan /
diatributkan kepada korporasi .

4. Doctrine Of Identification
Untuk membebankan tanggungjawab kepada korporasi
maka kesalahan dan perbuatan pidana yang dilakukan
oleh orang yang berada pada kedudukan tertinggi dalam
pengambilan keputusan dianggap mewakili kekuasaan
atau otoritas korporasi, atau merupakan “directing mind”
dari korporasi, adalah merupakan lingkup tanggungjawab
atasan/korporasi. Ini berarti, mens rea dan actus reus
yang dilakukan oleh “directing mind “ diatributkan pada
korporasi. Dengan kata lain kesalahan pengurus,
pengendali adalah sebagai atribut atau diidentifikasi
sebagai kesalahan korporasi . Menurut Muladi kehendak
dari kekuasaan direksi/maneger korporasi yang
mempunyai otoritas tertinggi dianggap mewakili
kehendak/kekuasan korporasi.

5. Doctrine Of Aggregation
Menurut doctrine ini, korporasi bertanggungjawab atas
kesalahan karyawan atau sejumlah pegawai dan secara
kumulatif memenuhi persyaratan delik. Artinya
pemenuhan unsur delik (actor reus dan mens rea ) tidak
bersifat individual. Dengan kata aggregasi atau kombinasi
kesalahan dari sejumlah orang, diatributkan pada
korporasi sehingga korporasi dibebani pertangungjawaban
pidana. Semua perbuatan dan kesalahan dari sekelompok
orang yang berhubungan signifikan dengan korporasi
dianggap dilakukan oleh satu orang saja.

6. The Corporate Culture Model


Menurut doctrine ini, pembebanan tanggungjawab pada
korporasi , sudah cukup apabila seorang yang termasuk
dalam jajaran pengurus memberi kewenangan sehingga
terbukti terjadi suatu tindak pidana. Bahwa tidak
mensyaratkan lagi harus ditemukan pelaku / orang yang
melakukan dan yang paling bertanggungjawab dalam hal
terjadinya tindak pidana. Korporasi harus
bertanggungjawab atas perbuatan tersebut, selain orang
itu sendiri.

Catatan : Hukum pidana (khusus ) doctrine yang relavan


untuk digunakan adalah doctrine Strict Liability dan doctrine
identification atau teori pelaku fungsional ( functionele
dader), serta doctrine vicarious mengandung artinya :
Korporasi ikut mengambil beban tanggungjawab atas
perbuatan pengurus. Pengurus melakukan delik, maka
yang turut bertanggungjawab adalah korporasi sehingga
yang dipidana pengurus dan korporasi.

IDENTITAS TERDAKWA DALAM


SURAT DAKWAAN

1. Terdakwa 1

Nama : PT/CV/Yayasan

Tempat/ Tanggal lahir : Nomor dan tanggal akta


Pendirian korporasi beserta
Perubahannya

Kebangsaan : Asing, multinasional / Indonesia

NPWP :

Pekerjaan : Bidang / jenis Usaha

Izin Usaha :

Tempat kedudukan / alamat :

Bertindak untuk dan atas nama mewakili terdakwa, oleh pengurus


korporasi atau kuasanya yaitu:
2. Terdakwa II Pengurus

Nama :

Tempat/Tanggal Lahir :

Umur :

Jenis Kelamin :

Kebangsaan :

Agama :

Pekerjaan :

Pendidikan :
MODEL DAKWAAN / PENUNTUTAN
KORPORASI DALAM PRAKTEK

1.Dalam praktek, dakwaan / penuntutan JPU


diajukan secara terpisah, terlebih dahulu
mendakwa pengurus baru kemudian korporasi,
artinya menunggu putusan perkara pengurus
kemudian menjadi dasar mengajukan dakwaan
korporasi (bandingkan Putusan No.936 K /
Pidsus/2009 dan Putusan No. 812 / pidsus
/2010 / PN.Bjm Jo. Putusan No. 04 /
pidsus/2011/ PT. Bjm ).

2.Sebaiknya ( Ius Konstituendum ) : Penuntutan


korporasi diajukan tidak terpisah dengan
pengurusnya , tidak displitsing, malainkan
perkara pengurus dan perkara korporasi
diajukan secara bersama-sama dalam satu
nomor registrasi berkas perkara.
3.Manfaatnya : Pengurus yang diperiksa sebagai
terdakwa dipersidangan sekaligus bertindak
mewakili korporasi (vide Pasal 20 ayat (3) UU
Tipikor).Kebaiknya korporasi tidak diwakili
orang lain, meskipun hal ini dimungkinkan
menurut Pasal 20 ayat (4) UU Tipikor. Kalau
sekiranya korporasi diwakili oleh orang lain,
Hakim dapat memerintahkan agar pengurus
datang menghadap sendiri atau dibawa ke
sidang pengadilan mewakili korporasi (Pasal 20
ayat (5) UU Tipikor).

4.Untuk mewujudkan peradilan cepat, murah dan


sederhana.

5. Lebih efektif dan efisien.

6. Perbuatan materil pengurus sangat berkaitan dan


merupakan satu kesatuan perbuatan korporasi ,
maka sejogyanya dalam dakwaan dijelaskan peran
dan kedudukan korporasi berdasarkan Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHPidana, apakah sebagai turut serta
atau sebagai pelaku, pembujuk , ataukah sebagai
orang yang membantu melakukan tindak pidana
( Pasal 56 ayat (1) KHPIdana).

KELEMAHAN DAKWAAN KORPORASI YANG


DIAJUKAN SECARA TERPISAH .

- Harta kekayaan korporasi berpotensi dibawa kabur,


dialihkan atau dipindah tangankan .

- Berkas perkara dapat diperiksa oleh majelis hakim


yang berbeda , sehingga berpeluang menimbulkan
dispratitas dan pertentangan putusan. di majelis
yang satu korporasi dihukum sedangkan di majelis
lain pengurusnya dibebaskan atau sebaliknya.

- Bisa terhambat : Prinsip hukum Kadaluwarsa


Penuntutan dan asas Ne bis in Idem.
RUANGLINGKUP PERBUATAN
KORPORASI SEBAGAI PEMBUAT DELIK
DALAM PERTANGGUNHJAWABAN
PIDANA.

- Dilakukan oleh (1) pengurus, (2) termasuk orang


yang secara de fakto memiliki kewenangan dan (3)
orang yang ikut memutus kebijakan korporasi yang
bersifat delik, orang yang berdasarkan hubungan
kerja, berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkup untuk kepentingan dan atas nama korporasi
(Pasal 20 ayat (1) dan penjelasan, ayat (2) UU
Tipikor).
- Dilakukan oleh pengendali atau diperintah oleh
personil pengendali untuk tujuan dan kepentingan
korporasi sesuai tugas dan fungsi pelaku/pemberi
perintah (Pasal 6 UUTPPU ).
- Mr. Nico Keijzer : (1) dilakukan oleh pemegang
kendali, (2) pemberi perintah atas tindak pidana
tersebut.
- Dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan
kerja atau berdasarkan hubungan lain, termasuk
penanggungjawab usaha/ kegiatan, orang yang
member perintah, bertindak sebagai pemimpim,
bertindak dalam lingkup untuk dan atas nama
koporas (Pasal 34 dan 35 serta Pasal 45 dan Pasal 46
UU No. 23 Tahun 1997 ).
- Dilakukan oleh penanggungjawab perbuatan /
pengurus baik perorangan maupun bersama-sama,
bertindak untuk kepentingan dan atas nama
korporasi ( Pasal 78 angka 14 Jo. Pasal 80 ayat (1) UU
Kehutanan ).
- Dakwaan JPU harus menguraikan dengan jelas
keterkaitannya dan kepentingan korporasi serta
perbuatan materil yang berkaitan tindak pidana yang
terjadi termasuk aliran dana ke korporasi.
Catatan : Dalam perkara lingkungan terdapat alasan
yang dapat menghapuskan pertanggngjawaban pidana
pengurus ( Pasal 35 ayat (2) UU Lingkungan ). Misalnya
Penanggungjawab membuktikan bahwa ada bencana, ada
keadaan memaksa di luar kemampuan manusia, tindakan
pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran.

BAGAIMANA PRAKTEK PEMIDANAAN


KORPORASI Di INDONESIA

- Praktek perkara pajak : Badan hukum/


korporasi dihukum tanpa harus diajukan
sebagai tersangka / terdakwa. Pengurus dan
korporasinya dapat dijatuhi denda baik
sendiri –sendiri maupun bersama-sama.
- Praktek perkara Korupsi (1) Perkara
diajukan secara terpisah, artinya pengurus
diperiksa lebih dahulu baru kemudian
korporasinya diajukan belakangan.
Beberapa perkara, korporasi tidak
didakwakan cukup dibuktikan bahwa
korporasi mendapat keuntungan dan aliran
dana dari pengurus/ direksi, korporasi
dihukum untuk membayar uang pengganti.
- Perkara Lingkungan : PT. Newmont
Minahasa didakwa/dituntut sebagai
terdakwa I sedangkan Direktur ( Richard
Bruce Nees terdakwa II dalam satu berkas
perkara.
Simpulan dan Saran :

1. Kesetaraan dan kesamaan antara subjek perorangan


dengan korporasi membawa konsekuensi hukum :
segala ketentuan yang berlaku terhadap subjek manusia
seharusnya berlaku pula terhadap subjek korporasi.
2. Untuk mendorong agar sanksi pidana denda dan
pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan kepada
korporasi dapat efektif, maka penyidik sebaiknya
melakukan penyitaan terhadap asset atau kekayaan
korporasi, dengan tujuan (1) agar supaya tidak
dialihkan (2) untuk menjamin pemenuhan kewajiban
pembayaran denda dan pengembalian kerugian
keuangan Negara.
3. Dalam perkara korupsi penjatuhan pidana denda bagi
korporasi tidak efektif. Saksi pidana denda hanya
menjadi macan kertas saja. Berbeda halnya pengaturan
saksi pidana denda korporasi dalam UUTPPU, sudah
cukup memadai.
4. Keterkaitan korporasi dalam suatu tindak pidana
disebabkan karena perannya sebagai “ pelaku atau
turut serta Pasal 55 KUHPIdana atau membantu
melakukan Pasal 56 KUHPidana “ dengan mendasarkan
pada pemikiran bahwa actus reus maupun mens rea
korporasi bersumber dari pengurus / pengedali
(doctrine identification), maka sebaiknya proses
pengajuan tersangka dilakukan secara bersama-sama
dalam satu berkas, dan jangan diajukan terpisah
(splitsing ).
5. Korporasi sebagai pembuat delik harus diajukan
sebagai tersangka /terdakwa, sedangkan korporasi
sebagai sebagai pihak yang diuntungkan atau diperkaya,
sepanjang tidak terkait perbuatan materil, tidak perlu
diajukan , sehingga harta yang diperolehnya dapat disita
dan dirampas.

Saran :
1. Pengaturan sanksi pidana bagi korporasi dalam
beberapa UU harus disempurnakan.
2. Untuk mengefektifkan pidana denda sebaiknya ( ius
kontituendum ) dilakukan penyitaan terhadap harta
kekayaan terpidana tidak sekadar mengedepankan
pidana subsidair pengganti denda.
3. Untuk mengefektipkan denda tidak harus digantungkan
pada pidana subsidairmelainkan upaya aparat hukum
untuk melakukan penyitaan harta kekayaan
terdakwa/terpidana.

---------------------SJ-----------------------

Anda mungkin juga menyukai