Anda di halaman 1dari 50

FUNGSI PROTEKTIF HUKUM PIDANA

DAN TEORI PEMIDANAAN

Oleh : DR. Artidjo Alkostar, SH, LLM


Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI

I. Proses Penegakan Hukum Pidana Korupsi.


Proses penegakan hukum selalu terkait dengan
beberapa variabel yaitu substansi hukum, hukum
acara, kondisi sosial politik, tingkat kesadaran hukum
masyarakat, para aparat hukumnya, tersedianya
fasilitas bantuan hukum. Peradilan pidana suatu
negara, termasuk di Indonesia mencerminkan
kewibawaan bagi negara, baik secara nasional
maupun di mata internasional. Misi perangkat hukum
pidana, tidak akan memiliki daya penjeraan dan
pencegahan atau prevensi (umum dan khusus) bagi
masyarakat luas, jika pejabat negara dan warga
masyarakat yang mempunyai potensi melakukan
tindak pidana korupsi masih memiliki persepsi
bahwa proses penegakan hukum di Indonesia rentan
diintervensi. Baik intervensi kekuasaan pengaruh
maupun kekuatan uang suap dengan bebagai modus
operandi-nya. Terutama dalam kasus-kasus pidana
yang berdimensi transnasional dan membahayakan
negara, baik secara ekonomi, poltik, dan sosial
budaya. Termasuk tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh warga negara asing yang sistemik.
Juga tindak pidana korupsi yang berdampak pada
1
menurunnya daya saing sumberdaya manusia
Indonesia yang langsung maupun tidak langsung
mempunyai hubungan kausal dengan kewibawaan
negara dan martabat bangsa Indonesia.

Kejahatan transnasional dapat menjadi kendala struktural


dalam upaya mencapai visi bangsa Indonesia__masyarakat
yang aman dan sejahtera dalam bingkai kedaulatan
hukum. Untuk selanjutnya mencapai dataran idaman
masyarakat yang adil dan makmur. Proses pencapaian
masyarakat yang berkeadilan dan berkemakmuran
berprasyarat adanya perubahan sistem hukum dan sistem
pendistribusian kekayaan negara. Tidak semua warga
negara dan rakyat Indonesia menyadari kewajiban negara
untuk membangun pilar-pilar tegaknya kewibawaan
negara tersebut. Pilar tersebut adalah__negara harus
1.member makan rakyatnya;
2.harus menyediakan pelayanan kesehatan dan sarana
transportasi bagi rakyatnya;
3.harus menegakkan keadilan bagi segenap warga
negara,
4. negara harus dapat menjaga territorial wilayahnya.
Tanpa bisa menegakkan 4 pilar tersebut, negara akan
kehilangan kewibawaannya di mata rakyatnya dan
masyarakat dunia internasional. Ideologi pembangunan
pemerintahan orde baru, tidak ternyata dapat menegakkan
keadilan dan menegakkan kadaulatan hukum dan
kemandirian ekonomi, sehingga harus membayar mahal
atas inequality yang mengakibatkan timbulnya krisis
2
ekonomi-politik dan era reformasi.

Dalam perspektif perangkat hukum, meskipun telah ada


perubahan dalam ranah konstitusi (Kosmos) yaitu
dijaminnya hak-hak asasi warga negara dalam
hubungannya dengan penegakan hukum, tetapi
KUHP_hukum materiel (nomologos) dan KUHAP_hukum
formiel (teknologos), masih selalu menuntut konsistensi
dan persistensi dalam praktek penerapannya.

Hubungan antara Chaos, Cosmos, Logos, Teknologos


dan Aneka Realita Kehidupan
Chaos
- revolusi sosial politik/perang kemerdekaan
- reformasi l998.

Cosmos - konstitusi
UUD l945dan amandemennya

Logos - UU No.20 tahun 2001 perubahan atas UU No. 31


tahun 1999.

Technologos - KUHAP UU no. 8 tahun l981


- bagaimana cara melaksanakan UU no. 20 tahun 2001
perubahan atas UU no. 31 tahun 1999.

Real everyday life - kenyataan: banyak tindak pidana korupsi.


Kaya aneka

Tegaknya keadilan sebagai kebutuhan pokok rokhaniah


bagi rakyat dan Negara RI, menuntut ketegasan perangkat
3
hukum korupsi sebagai tindak pidana khusus. Karena
paradigma KUHAP belum berubah, sehingga belum
mengadopsi prinsip Restorative Justice, Whistler Blower,
Justice collaborator, Plea bargaining, CrownWitness.

Dari struktur dan korelasi perangkat perangkat hukum


yang ada terlihat bahwa fungsi protektif UU no. 20
tahun 2001 sebagai perubahan atas UU no. 31 tahun
1999, harus ditransformasi ke ranah praxis penegakan
hukum sehingga rakyat atau masyarakat miskin karena
korupsi yang rentan secara ekonomi dapat memperoleh
keadilan hukum (access to justice) dan tidak terdesak oleh
pemilik modal. Keadilan sejatinya merupakan perekat
kohesi sosial dan menjadi elemen determinan dalam
proses pembangunan yang inklusif.

Restorative Justice telah diupayakan diterapkan


diberbagai Negara di dunia, seperti di United Kingdom,
Austria, Finlandia, Jerman, Amerika Serikat, Kanada,
Australia, Afrika Selatan, Gambia, Jamaika, dan
Kolombia. Di Austria misalnya dalam mediasi,
disyaratkan beberapa prasyarat, yaitu:
1. The victim has to agree
2. The violence has to stop
3. The perpetrator has to take responsibility
4. The perpetrator is the only one to blame-not to victim
5. The process only goes ahead with the agreement of the
victim.
Martabat kemanusiaan dari korban kejahatan pada
proses mediasi dalam rangka Restorative Justice harus
4
menjadi prioritas. Harga diri kemanusiaan korban tidak
boleh dikesampingkan dengan alasan demi cepatnya
proses mediasi. Martabat kemanusiaan menjadi nilai
yang sakral yang tidak boleh digantikan dengan materi.

Mediasi melibatkan proses spiritual untuk


membangkitkan rasa percaya diri korban. Pulihnya cidera
bathin menjadi potensi moral harus berlangsung tanpa
intimidasi dan tekanan dalam bentuk apapun. Makin bebas
suasana mediasi akan semakin berkualitas hasil yang
dicapai. Mutu hasil mediasi dalam Restorative Justice
berkolerasi juga dengan tingkat keikhlasan para pihak
yang berkepentingan baik korban maupun pelaku
kejahatan.

5
Faktor-faktor yang Terlibat dalam Proses
Penegakan Hukum

Kondisi Sosial Politik - Bantuan Hukum bagi


- Partisipasi Masyarakat korban korupsi
Masyarakat
Psl 41

Hukum
- UU No.20 Keadilan
Tahun 2001
Penegakan Hukum

Hukum Acara Penegak Hukum


- KUHAP - knowledge
- Penyidik - skill
- moral integrity

Dar
i konstelasi tujuan untuk mencapai keadilan bagi negara
dan rakyat Indonesia, terlihat bagaimana misi yuridis
yang ada dalam ranah substansi hukum yaitu adanya
politik kriminal yang termuat dalam UU No. 20 tahun
6
2001 perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 dapat terwujud
dalam penerapannya. Lebih dari itu, menuntut pula adanya
budaya hukum berupa kesadaran kolektif bangsa yang
sejatinya merupakan perangkat lunak (software) sistem
hukum. Begitu pula struktur hukum, perlu memberikan
fasilitas lorong keadilan bagi segenap warga negara.
Apalagi dimensi keadilan semakin bertambah, antara lain:
Total Justice, Global Justice, Cosmic Justice, sesuai
dengan fenomena global masyarakat modern dewasa ini.

1).Tantangan penegakan hukum.

Proses penegakan hukum dituntut untuk memenuhi


variabel-variabel secara positif, dalam arti substansi hukum
harus bersukma keadilan dan berspirit kerakyatan, hukum
acara dituntut untuk dapat memenuhi hak-hak konstitusianal
rakyat, mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal dan
meratifikasi konvensi-konvensi internasional, kondisi
sosial politik harus kondusif bagi pemenuhan hak-hak
strategis rakyat dan perlindungan kedaulatan negara.

Dalam perkara tindak pidana perikanan yang ajukan ke


pengadilan, menuntut penanganan yang professional, dan
harus dapat mengikis skeptisisme masyarakat. Pengadilan
yang berintegritas harus dapat memulihkan defisit
kewibawaan penegakan hukum tindak pidana korupsi, dan
jangan sampai menimbulkan kabut diskriminasi hukum.

Masyarakat madani yang berspirit kerakyatan perlu


7
dipupuk bagi rakyat lemah dalam menuju keadilan (access
to justice) dan mampu menghilangkan kendala-kendala
penegakan hukum, Masyarakat tidak boleh terpojok menjadi
pengeluh yang kronis. Potensi intelektual, moral dan
spiritual para pecinta keadilan harus selalu digerakkan dan
diefektifkan dalam posisi sosial bersama dengan stakeholder
(pemangku kepentingan) tegaknya keadilan sosial-ekonomi.
Ruang gerak pelaku tindak pidana Korupsi, akan semakin
sempit, jika sikap kritis dan spirit para pecinta keadilan
selalu terhubung dengan gelombang sinyal bathin martabat
rakyat miskin yang menderita secara sosial-ekonomi akibat
korupsi politik. Alangkah malangnya republik ini, jika
penegak hukum dan masyarakat (LSM, ORMAS, PERS,
PERGURUAN TINGGI) kalah pintar dari pelaku TINDAK
PIDANA KORUPSI.

DALAM HUBUNGAN INI FUNGSI PENCEGAHAN


DITEKANKAN dengan melibatkan stakeholder dan
masyarakat.

Senjata insan pecinta keadilan dan anti-korupsi, LSM


lainnya adalah kebenaran moral dan konsistensi dan
persistensi sikap menentang segala bentuk ketidakadilan.
Pelaku tindak pidana kotupsi sangat takut dengan cahaya
kebenaran transparansi, kecaman publik dan sanksi hukum
yang tegas.

Penegak hukum yang bervisi bahwa tindak pidana korupsi


menimbulkan kemiskinan bagi rakyat banyak, harus merasa
8
memiliki kesamaan misi dengan segenap pemangku
kepentingan (stakeholder) pemberantasan tindak pidana
korupsi seperti Ormas, LSM, Mass Media, perguruan tinggi,
tokoh masyarakat. Untuk itu, di negara kita saat ini perlu ada
komitmen dan contoh positif pemberantasan korupsi , maka
pemangku kepentingan pemberantasan tindak pidana korupsi,
termasuk penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi dan
putusan pengadilan korupsi harus tetap berkomitmen
menjaga marwah atau martabat diri bangsa agar terus
menyalakan obor memburu pelaku tindak pidana korupsi.
Negara kita harus dijaga jangan sampai menjadi kumuh
secara sosial politik. karena banyak pelaku korupsi yang
berkeliaran di ranah kekuasaan politik dan berkolaborasi
dengan kekuatan ekonomi. Kewibawaan hukum harus dapat
mengembalikan arah pendulum kedaulatan hukum kepada
rakyat yang menjadi korban tindak pidana perikanan karena
korupsi vertikal merupakan kejahatan yang beradampak
multi dimensi yang merampas hak-hak sosiakl ekonomi
rakyat dan beroperasi secara sistemik dan meluas,
sehingga menjadi kejahatan luar biasa __ Extra Ordinary
Crime. Sedangkan Hak Asasi Manusia (HAM) harus selalu
dijaga dan dilindungi melalui __ RALA (Regulasi,
Advokasi,Litigasi, dan Adjudikasi).

Regulasi

Advokasi
AKSES KEADILAN

9
Litigasi

Adjudikasi
Akses terhadap keadilan memerlukan penguatan bidang
regulasi, advokasi, litigasi dan adjudikasi___yang mengarah
kepada perlindungan dan peningkatan martabat kemanusiaan
rakyat yang masih lemah secara sosial-ekonomi, sehingga
hukum harus memainkan fungsi dan peran protektifnya
bagi kewibawaan dan kedaulatan negara dan melindungi
sumber daya alam agar dapat dipergunakan bagi
kemakmuran rakyat.

Penegakan hukum harus mencerminkan perwujudan nilai-


nilai kebenaran dan keadilan, karena di dalam hukum selalu
ada ruang The Golden Rule atau akal semesta yang dapat
menyinari masyarakat yang senantiasa berupaya menggapai
kemajuan peradabannya.
Tegaknya keadilan selalu menuntut adanya bahan bakar sinar
keadilan yaitu kejujuran, keberanian, dan dan persistensi
(ketekunan).

2).Masuknya hukum Internasional menjadi hukum nasional.

Ada dua aliran negera-negara di dunia dalam


menghadapi konvensi-konvensi internasional, yaitu ada yang
menganut aliran monism yaitu yang menganggap bahwa
konvensi internasional otomatis berlaku di negaranya
10
manakala konvensi tersebut telah disahkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Di pihak lain aliran dualism berpendapat
bahwa konvensi internasional baru berlaku di Negara
nasionalnya, jika telah diratifikasi dan diundangkan oleh
negaranya.
Pintu masuk konvensi atau hukum internasional menjadi
hukum nasional, antara lain :
a. Ratifikasi, yaitu persetujuan dan penandatangan
konvensi internasional dari Negara, kemudian
diundangkan menjadi undang-undang nasional.

b. Adopsi, pengambilan satu atau beberapa pasal


konvensi interenasional lalu dicantumkan dalam
hokum nasional, meskipun konvensi internasional
tersebut belum diratifikasi. Misalnya konvensi
internasional tentang genosi dan adan perbudakan
belum pernah diratifikasi oleh Pemerintah RI. Tetapi
substansinya telah dicamtumkan dan UU No. 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.
26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak asasi
Manusia.

c. Costumary International law, diterima menjadi


hukum nasional karena telah menjadi hukum
kebiasaan dalam tata pergaulan internasional.

struktur rokhaniah suatu masyarakat. Suatu masyarakat


memiliki gambaran tentang mana yang patut dan tidak
patut, mana yang benar dan yang salah, kendatipun dalam
masyarakat tersebut tidak ada undang-undang tertulisnya.

11
3). Dinamika dan Spirit Hukum

Kosmos
Sosial

Yuridis Formal

Nilai:
Sosial Logis Etis Ekonomi
Estetis

Politik

Hukum yang mencakup pengertian undang-undang


memiliki hubungan sentrifugal (bergerak ke luar) dengan faktor
sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Hukum juga memiliki
hubungan sentripetal (bergerak ke dalam) dengan nilai logis
(kebenaran), etis (keadilan), dan estetis (keindahan). Hukum
dalam tekstur (susunan) tersebut tidak hanya bersifat yuridis
formal dan tidak seperti peti kemas kosong (empty container),
tetapi hukum tersebut memiliki spirit nilai-nilai kehidupan
komunitas manusia.

*Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa


*The Spirit of Laws--- Montesquieu
12
*Kaedilan adalah hal yang ada dalam metanorm
*In the morality of law, Prof. Fuller has explored the ethical root
of legal ordering as well as the links between legal morality and
traditional American values. (Stuart A Scheingold: l974 : 53).

Arena berpikir penerapan hukum

Nilai logis=kebenaran
Nilai etis=keadilan
Nilai=keindahan, harmoni

NILAI

Ne bis in idem
ASAS Presumption of innovence

- Konstruksi hipotesis
- Formulasi kategori
UU20/2001 4545/2009

13
4. Karakteristik Putusan Pengadilan (Yurisprudensi)

Setiap Hakim memiliki latar belakang keluarga, pendidikan, usia,


lingkungan pergaulan, universitas, dan panutan pendidik yang
berbeda, sehingga bisa menimbulkan konsekuensi perbedaan sistem
nilai (ideologi) diantara para Hakim.

1. Yurisprudensi Pengertian
Proses penerapan hukum dipandang sebagai tindakan kognitif
murni atau pengenalan murni dan penyelesaian kasus konkrit
dipandang sebagai proses silogisme.
*Proses Kognitif: proses berpikir---proses logika penalaran.

2. Yurisprudensi Asas
Proses penerapan hukum didasarkan kepada asas-asas atau
prinsip-prinsip dasar hukum yang memiliki persamaan hakiki,
seperti prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the
law), orang tidak bisa diadili untuk yang kedua kali dalam kasus
yang sama (non bis in idem), dan lain sejenisnya.

3. Yurisprudensi Volitief
Putusan pengadilan bukan sekedar pengenalan murni atau
mengetahui bunyi undang-undang kemudian menerapkan dalam
situasi konkrit, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan tindakan
kehendak (volitief) berdasarkan pertimbangan nilai-nilai yang
dapat menuntun Hakim dalam memecahkan masalah yuridis.
*Proses Konatif: proses bersumber pada hati nurani, menyangkut
proses kimiawi dalam tubuh.

JUDICIAL ACTIVISM

14
Pengadilan di Indonesia berbeda dengan pengadilan di Negara
lain yang sekuler, karena dengan adanya irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, berarti memiliki dimensi
Ilahiyah. Pengadilan di Indonesia tidak “Demi Ratu”, pengadilan di
Indonesia bukan pengadilan rakyat. Pengadilan di Indonesia adalah
pengadilan negara yang kemerdekaannya berkat Rahmat Allah yang
Maha Kuasa, mengakui dan mengikatkan diri kepada Allah Yang
Maha Adil. putusan pengan dilan menyangkut KEBENARAN dan
KEADILAN.

Demi Keadilan atau atas nama keadilan dalam proses


penegakkan hukum, dikandung makna bahwa undang-undang yang
diterapkan merupakan hukum yang bersukma keadilan.
 Hakim tidak bisa melihat atau menunjuk jiwa seseorang pelaku
kejahatan.
 Penegakan keadilan melibatkan hal-hal yang meta yuridis.

Dimensi Kebenaran dalam Putusan Pengadilan

1. Teori Keherensi atau Konsistensi


-yang membuktikan adanya bukti yang satu yang saling
berhubungan dengan bukti yang lain alat bukti pasal 184 KUHAP
Hubungan bersifat rasional a priori.

2. Teori Korespondensi
Jika ada fakta-fakta persidangan yang saling bersesuaian.
Misalnya persesuaian antara keterangan saksi dengan norma
atau ide. Jika keterangan saksi Mr X menyatakan bahwa
pembangunan Kantor DPRD yang dilaksanakan oleh Mr Y tidak
melalui proses lelang tetapi hanya dengan penunjukan langsung
15
PT Nilep, sehingga tidak melaksanakan fungsinya sesuai dengan
Keppres No. 18 Tahun 2000 pasal8 ayat (1) dan (2) Hubungan
fakta persidangan ini bersifat empiris a posteriori

3. Teori Utilitas
- progmatik, kegunaan yang bergantung pada :
a). manfaat (utility)
b). yang dapat dikerjakan (workability)
c). hasil yang memuaskan (satisfactory result)

Note:
*Unus testis nullus testis
*Salah satu dimensi kebenaran adalah pembenaran (Verification)
*Semakin banyak jumlah bukti yang obyektif/mandiri/ independen,
akan semakin tinggi derajat kebenaran tentang kejadian kasus yang
sebenarnya.

5).Tujuan putusan pengadilan


a. Harus merupakan solusi autoritatif
Independence Judiciary – Perserikatan Bangsa-bangsa
b. Harus mengandung efisiensi
Justice delayed is justice denied
c. Harus sesuai dengan tujuan undang-undang
d. Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu ketertiban sosial dan
ketentraman masyarakat.
e.Harus ada fairness yaitu memberi kesempatan yang sama bagi
pihak yang berperkara.

16
Note:
* Ada 3 komponen Legal Reasoning : a) Rules, b) Facts, c)
Jurisprudence/pecedence/Stare Decisis.

17
Posisi Hakim

1. Terdakwa / Penasehat Hukum


Pandangan subyektif dari posisi yang subyektif.

2. Jaksa Penuntut Umum


Pandangan subyektif dari posisi yang obyektif (mewakili
kepentingan negara / masyarakat).

3. Hakim
Pandangan obyektif dari posisi yang obyektif.

Dari posisi yang subyektif tersebut tidak terlalu berat beban


Terdakwa/Penasehat Hukum karena sebagai pihak berhak untuk
berada dalam posisi memenangkan perkara. Sedangkan Hakim
dituntut untuk bersikap obyektif sehingga tercapai keadilan.

Dalam hubungan dengan pemenuhan keutuhan hakikat


keberadaan hukum dan proses peradilan--- Alan M Dershowitz
menyatakan bahwa dalam proses peradilan pidana, kebenaran
bukanlah satu-satunya tujuan (vide peradilan O.J. Simpson).

Tanpa pertimbangan yang komprehensip, proses peradilan dapat


tergelincir ke dalam peradilan yang bias, dan menimbulkan The
Death of Justice (matinya keadilan) serta memunculkan The
Death of Common Sense (matinya akal sehat).

TRUTH versus JUSTICE vide buku Robert I Rotberg & Dennis T.

18
Keuangan Negara.
Secara yuridis, dalam penjelasan atas Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 ditegaskan tentang keuangan negara
yaitu seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,
yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di
dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak
dan kewajiban yang timbul karena : a) berada dalam
penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah; b) berada dalam penguasaan, pengurusan
dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan
hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara,
atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.

Dalam pasal 1 (1) UU No. 17 tahun 2003 (Keuangan


Negara), ditentukan tentang keuangan nagara: Semua
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.
Pasal 2 menjabarkan isi pasal 1 (1) :
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman.
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas
layanan umum pemerintahan negara dan membayar
tagihan pihak ketiga;
19
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran daerah;
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat
berharga, piutang barang, serta hak-hak lain dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan
daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah
dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan
dan/atau kepentingan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan
menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa keuangan


negara mencakup seluruh kekayaan negara termasuk
uang dan sesuatu yang berharga. Dalam hubungannnya
dengan tindak pidana korupsi, yang harus dibuktikan
adalah adanya kerugian keuangan negara yang
mempunyai hubungan kausal dengan perbuatan
terdakwa. Dalam kacamata teori, hubungan kausal dapat
dilihat dari adanya hubungan 1) dari Sebab ke Akibat (A
Priori), misalnya perbuatan Bupati yang
mempergunakan uang APBD untuk kepentingan pribadi
mengakibatkan kerugian keuangan negara; 2) dari Akibat
ke Sebab (A Posteriori), misalnya bangunan sekolah
ambruk disebabkan oleh perbuatan penanggungjawab
20
pembangunan yang mengambil sebagian anggaran
pembangunan sekolah untuk kepentingan pribadi; dan
dari Akibat ke Akibat, yaitu dengan banyaknya uang
negara yang dikorupsi juga mengakibatkan banyak anak
usia sekolah tidak dapat melanjutkan sekolah karena
biaya sekolah mahal.

Dalam perspektif Hakim, pembuktian adanya kerugian


keuangan negara akan didasarkan pada hal-hal yang
relevan secara yuridis yang muncul secara sah di
persidangan, antara lain perhitungan atau hasil audit
investigasi dari pihak yang berkompeten misalnya BPK,
BPKP atau institusi resmi yang memiliki keahlian dalam
hal menentukan kerugian keuangan negara. Bukti atau
keterangan yang bersifat instansional akan lebih
meyakinkan dibandingkan dengan yang bersifat
personal.

Praktek Penerapan Kerugian Keuangan Negara.


Dalam putusan Mahkamah Agung No. 2027 K/Pid/2005
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, antara lain
dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan:
Terdakwa selaku Pimpinan Proyek bersama-sama
dan bersepakat dengan SAH selaku Direktur
pelaksana Pekerjaan/Kontraktor dan Ir. SAB
Konsultan Pengawas telah menyatakan proyek suah
selesai 100% padahal telah diketahui pelaksanaan
pekerjaan baru 11,970 %

21
Atas dasar Berita Acara kemajuan pekerjaan dan
laporan, Terdakwa mengajukan Permintaan
Pembayaran ke KPKPN untuk termijn 100% dan
retensi 5 % padahal Terdakwa mengetahui pekerjaan
baru 11,970 % sesuai laporan Ir. SBH.
Atas dasar permintaan Terdakwa tersebut KPKPN
telah menerbitkan SPM sebesar Rp.1.387.784.543 ke
rekening Giro atas nama PT SAP, padahal seharusnya
ia hanya berhak atas pembayaran 11,970% sebesar
Rp.379.031.974 tersebut;
Adanya surat dari Menteri Tenaga Kerja dan Nota
Dinas Irjen Depnaker Trans tentang tidak adanya
kerugian keuangan negara proyek telah selesai 100 %
tidak menghilangkan sifat melawan hukum perbuatan
Terdakwa dan bukan merupakan alasan pembenar.
Seperti halnya juga kasus Adelin Lis, Surat Menteri
tidak dapat dijadikan dasar membebaskan terdakwa.
Harus dihindari terjadinya kesesatan relevansi---
argumentum ad verecundiam/auctoritatis.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum


di atas maka unsur memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, telah
terpenuhi, sehingga dengan demikian seluruh unsur
dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) b
yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-
Undang No.20 Tahun 2001 jo Pasasl 64 ayat (1)
KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP telah terpenuhi
22
dan oleh karenanya Terdakwa dinyatakan telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi.

Dengan pertimbangan hukum tersebut di atas


judex Juris membatalkan putusan Judex Facti,
mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi
Jaksa/ Penuntut Umum dan mengadili sendiri :
Menyatakan Terdakwa Ir. SE terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi.
Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Ir.SE
dengan pidana penjara selama 5 tahun dikurangi
selama Terdakwa dalam tahanan dengan perintah agar
ditahan;
Menghukum Terdakwa membayar denda sebesar
Rp.200.000.000,- dengan ketentuan apabila denda
tersebut tidak dibayar, diganti dengan kurungan
selama 6 bulan;
Menghukum Terdakwa membayar uang
pengganti sebesar Rp.830.109.606 ditanggung
bersama-sama oleh Terdakwa Ir. SE, Ir. SAB dan
SAH, jika Terdakwa tidak membayar uang pengganti
paling lama satu bulan sesudah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka
harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang
untuk menutupi uang pengganti tersebut dan jika
Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang

23
mencukup untuk membayar uang pengganti tersebut
maka dipidana penjara 2 tahun.
Dari putusan tersebut di atas terlihat bahwa
kerugian keuangan negara dihitung berdasarkan
kerugian yang timbul sebagai akibat dari perbuatan
Terdakwa yaitu Rp.1.387.784.543 kemudian
dikurangai jumlah biaya proyek yang telah
dilaksanakan yaitu 11,970 % sebesar Rp.379.031.794.
Karena subyek hukum yang mengakibatkan keuangan
negara itu terdiri dari 3 orang, maka kewajiban
membayar uang pengganti tersebut harus ditanggung
oleh ketiga orang tersebut. Hal ini sesuai dengan
posisi peran dan porsi kerugian keuangan negara yang
menjadi tanggungjawabnya.

Posisi kasus dan kedudukan Terdakwa.


Dalam putusan Mahkamah Agung No.1116
K/PId/2007, pertimbangan hukumnya antara lain:
Pengadilan Tingkat Banding berwenang mengambil
alih pertimbangan putusan Pengadilan Tingkat
Pertama dan tidak salah menerapkan hukum
pembuktian, mengingat alasan-alasan sebagai berikut:
bahwa tentang janji 5 % pemberian uang dari nilai
kontrak sebagai perbuatan melawan hukum. Pemohon
kasasi tidak cermat membaca putusan Judex Facti
yang jelas-jelas telah dapat membuktikan bahwa telah
terjadi pemberian uang oleh Terdakwa kepada Panitia
24
Lelang BRKP 5 % dari nilai proyek. Keterangan para
saksi jelas menunjukan Terdakwa telah melakukan
perbuatan melawan hukum formiel (formiele
wederrechttelijk) sebagaimana dakwaan Penuntut
Umum.
bahwa in casu Judex Facti berdasarkan alat-alat
bukti yang sah telah menyatakan bahwa unsur
memperkaya diri sendiri atau orang lain telah terbukti,
yaitu dengan Terdakwa telah memberikan dana
kepada para saksi dari Panitia Lelang sebesar 5 % dari
nilai proyek karena itu putusan Judex Facti sudah
tepat.
bahwa berdasarkan alat bukti yang sah di
persidangan Judex Facti telah menyatakan terbukti
kedudukan atau posisi Terdakwa dalam kasus a quo
bahwa ia adalah doenpleger, karena saksi LB tidak
dapat mengikuti aanwijzing di BRKP tanpa memiliki
surat kuasa dari Terdakwa jelas dan telah dibuktikan
oleh Judex Facti telah terbukti memenuhi unsure
"setiap orang" dari tindak pidana dalam dakwaan
primair .
bahwa unsur-unsur pasal 5 ayat (1) b UU No. 20
Tahun 2001 telah ternyata dan dapat dibuktikan oleh
Judex Facti, karena terbukti dengan sah bahwa
perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur dari tindak
pidana yang didakwakan oleh Penuntut Umum, in
casu Terdakwa telah membarikan uang kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan
25
dengan
kewajiban pegawai negeri tersebut.
Bahwa mengenai uang pengganti, Mahkamah
Agung berpendapat bahwa oleh karena keuntungan
yang diperoleh Terdakwa didapat dengan cara
melawan hukum maka nilai tersebut tidak sah dan
bukan hak terdakwa melainkan merupakan
kerugian yang dialami
oleh negara. Karena itu, jumlah tersebut harus
dibebankan kepada Terdakwa (pemohon kasasi)
sebagai uang pengganti setelah dikurangi Rp
360.000.000 yang terlebih dahulu berhasil disita
sehingga jumlahnya adalah Rp 2.259.021.290,-
Atas dasar pertimbangan sebagaimana tersebut
diatas
Mahkamah Agung memberikan putusan :
Menyatakan Terdakwa WT tersebut di atas
terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah
melakukan tindak pidana korupsi
Menghukum oleh karena itu Terdakwa tersebut
dengan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana
denda sebesar Rp 500.000.000 dengan ketentuan
apabila pidana denda tersebut tidak dibayar diganti
dengan pidana kurungan selama 5 bulan;
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani
Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan;
Memerintahkan supaya Terdakwa tetap ditahan;
Menghukum pula Terdakwa untuk membayar
uang pengganti sebesar Rp 2.259.021.290,- dengan
ketentuan apabila uang pengganti tersebut tidak
26
dibayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan ini
mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta benda
milik Terdakwa disita untuk dilelang, dan apabila
harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar
uang pengganti tersebut diganti dengan pidana penjara
selama 2 tahun.
Uang pengganti harus berfungsi mengembalikan
kerugian keuangan negara yang konotasinya
menembalikan uang rakyat dan harus dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan spirit mengembalikan keuangan negara


UU No. 31 tahun l99 sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 20 tahun 2001, memberikan ruang
untuk mekanisme proses perdata. Seperti ditentukan
dalam :
1. pasal 32 ayat (1)---gugatan thdp tersangka.
2. pasal 32 ayat (2)---gugatan thdp bekas terdakwa.
3. pasal 33--- ada kemungkinan terdakwa meninggal
dunia.
4. pasal 34---terdakwa meninggal dunia pada saat
pemeriksaan di sidang pengadilan.
5. pasal 38C---setelah putusan pengadilan (pidana)
masih ada harta benda terpidana yang belum
dikenakan perampasan. Gugatan thdp terpidana
dan/atau ahli warisnya.
Dalam hal terdakwanya terdiri dari beberapa orang,
sesuai dengan asas pertanggungjawan hukum pidana
sesuai dengan posisi dan porsi peran masing-masing,
sehingga uang pengganti tidak mungkin diterapkan
tanggung renteng sebagai mana dikenal dalam hukum
27
perdata, karena dalam hukum pidana berlaku
tanggungjawab individual.

Dalam perkara korupsi bisa terjadi berkaitan dengan


masalah Prae Judicial Geschil dengan mengacu pada
pasal 81 KUHP, karena pasal 81 KUHP berlaku bagi
pidana umum yang merupakan hukum pidana warisan
Belanda, maka jika ada perkara perdata dalam kasus
perkara pidana korupsi tidak perlu dipertimbangkan
untuk menunda pemeriksaan perkara korupsi, karena
perkara korupsi merupakan pidana khusus yang
berkualifikasi extra ordinary crime.
Dari contoh-contoh penerapan Uang Pengganti (UP)
dan menentukan kerugian keuangan negara,
parameter yang diterapkan adalah dengan
mempertimbangkan rumusan pasal 18 ayat (1)b UU
No. 31 Tahun l999 yang menentukan: pembayaran
uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-
banyaknya sama dengan yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi.
 Total loss----kerugian total ?.
 Net loos------kerugian bersih ?.
a. Pengembalian Uang Negara Sebanyak -
banyaknya (PUNS) yang diperolah.
b. Posisi dan Porsi Terdakwa (PPT)
c. Variabel (V)
Jadi parameter yang dapat dipedomani adalah :
UP = PUNS + PPT+V
28
Dengan menggunakan parameter tersebut di atas,
maka spirit undang-undang anti korupsi dengan
perangkat hukum lainnya yang berhubungan
dengan upaya pemberantasan korupsi yang
berkeinginan agar tidak terjadi kerugian keuangan
negara dapat terwujud.
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi (=elemen
PUNS) merupakan substansi dari pasal 18 ayat (1) b
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
Elemen PPT patut dipertimbangkan dalam hal pelaku
korupsi dalam suatu kasus lebih dari satu orang,
sehingga perlu dipertimbangkan apakah dia seorang
menteri, gubernur, atau bupati, sedangkan terdakwa
lainnya bawahannya atau kontraktor yang berbeda
posisi peran dan berbeda pula jumlah uang yang
diperolehnya dari kasus korupsi tersebut.
Variabel (V) adalah faktor-faktor lain yang bersifat
fleksibel atau hal-hal yang bervariasi, misalnya
sebagian uang yang dikorupsi berhasil disita oleh
yang berwenang atau terdakwa telah mengembalikan
sebagian uang yang diperoleh dari korupsi.
Parameter adalah variabel yang konstan. Dengan
adanya parameter diharapkan penerapan uang
pengganti terhadap adanya kerugian keuangan negara
sebagai akibat dari perbuatan terdakwa, dapat kembali
kepada negara secara maksimal dan tidak terjadi
disparitas antara perkara korupsi yang satu dengan
29
yang lainnya.
Jika ada fakta hukum di persidangan berupa hasil
audit investigasi dari instansi yang berwenang
misalnya dari BPKP akan menjadi pedoman bagi
Hakim untuk menentukan jumlah kerugian keuangan
negara yang harus ditanggung oleh terpidana. Bisa
saja jumlah kerugian uang negara hanya muncul
dalam surat dakwaan tanpa hasil audit investigasi.
Tidak tertutup kemungkinan
jumlah kerugian keuangan negara secarajelas muncul
di persidangan dan dapat meyakinkan Hakim.
Fakta-fakta hukum yang muncul secara sah di
persidangan akan menjadi dasar pertimbangan hukum
(legal reasoning) bagi Hakim yang berada dalam
domain Judex Facti untuk menentukan amar
putusannya.
Saksi Mahkota (Crown Witness)_--- pasal 168
KUHAP- pasal 169 KUHAP dan pasal 35 UU no. 31
tahun 1999 yang telah diubah dengan UU no. 20 tahun
2001. Korupsi dengan banyak terdakwa dan terdakwa
diperiksa secara terpisah dan seorang terdakwa
dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan
dakwaannya dipisah. Asas universal Non Self-
Incriminatioan, seseorang tidak boleh dipaksa untuk
menyalahkan dirinya sendiri. Seperti yang diatur
dalam pasal 14 ayat (3) g UU no. 12 th 2005
pengesahan tentang ICCPR (international Covenant
on Civil and Political Rights) yang menyatakan hak
setiap orang untuk tidak dipaksa memberikan
kesaksian yang memberatkan dirinya,atau dipaksa
30
mengakui kesalahannya. Dalam hubungannya juga
dengan pasal 28D UUD 1945 tentang hak
perlindungan dan kepastian hukum serta pasal
28G UUD 1945 tentang rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat dan tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi manusia. Karena tidak ada
mekanisme Plea Bargain dalam KUHAP, maka perlu
ada pedoman perlakuan hukum yang adil bagi orang
yang berkualifikasi Wistle Blower dan Justice
Collaborator.
Prinsip umum tentang exclusionary rule perlu
diperhatikan dalam proses penegakan hukum, agar
terjadi proses yang fair dalam upaya penegakan
keadilan substantif.
Pengadilan memeriksa perkara berdasarkan Surat
Dakwaan. Tidak ada dasar hukum yang member
kepada kewenangan kepada Hakim untuk untuk
mengubah Surat dakwaan.
Putusan Pengadilan:
1. Unanimous yaitu putusan pengadilan yang diputus
berdasarkan suara bulat dari para Hakim yang
mengadili perkara tersebut.
2. Concurring Opinion yaitu apabila pendapat seorang
Hakim mengikuti dan sependapat dengan pendapat
Hakim yang mayoritas tentang amar putusan
misalnya setuju koruptor tersebut dihukum 6 tahun,
tetapi dia hanya menyatakan berbeda dalam
31
pertimbangan hukum (legal reasoning) nya.
3. Dissenting Opinion yaitu apabila seorang Hakim
berbeda pendapat Hakim yang mayoritas, baik
tentang pertimbangan hukum maupun amar
putusannya. Pendapat Hakim yang dissenting
opinion tersebut dimuat dalam putusan secara
lengkap dan diletakkan sebelum amar putusan. __

Semakin jernih nalar dan runtut logika pertimbangan


hukum suatu putusan akan semakin berkualitas
putusan tersebut. Metode berpikir Judex Facti bersifat
induktif yaitu berdasarkan fakta-fakta persidangan
lalu berujung pada putusan. Jika pertimbangan hukum
dari Pengadilan Tingkat Pertama tidak tepat, tidak
lengkap mempertimbang- kan hal-hal yang relevan
secara yuridis yang muncul di persidangan, maka akan
dengan mudah difalsifikasi oleh pihak yang
berperkara, Advokat, Penuntut Umum, Pengadilan
Tingkat Banding, dan/atau Mahkamah Agung selaku
Judex Juris di Tingkat Kasasi.Mahkamah Agung di
Tingkat Kasasi berwenang membatalkan putusan
Judex Facti apabila Judex Facti salah menerapkan
hukum atau kurang mempertimbangkan (Onvoldoende
Gemotiveerd) hal-hal yang relevan secara yuridis yang
muncul di persidangan. Dalam yang demikian, Judex
Juris mempergunakan metode berpikir deduktif. Lain
halnya jika Mahkamah Agung memeriksa perkara
Peninjauan Kembali (PK), karena memeriksa fakta-
fakta atau bukti-bukti baru (Novum) dituntut
32
mempergunakan metode berpikir induktif, sehingga
dalam putusannya berbunyi mengadili kembali
sebagai yang pertama dan terakhir.

Dalam proses mencapai kebenaran berdasarkan hal-hal


yang muncul secara sah di persidangan para Hakim
akan mempertimbangkan 1) adanya alat-alat bukti
yang saling berhubungan antara alat bukti yang satu
dengan yang lainnya, sehingga terlihat adanya
konsistensi atau koherensi yang dikenal dengan
rasional-a priori. 2) adanya korespondensi atau
persesuaian antara misalnya Keputusan Presiden
Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan
pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah dengan
alat bukti yang menjadi fakta persidangan yang
dikenal dengan empiris a posteriori; dan 3)
memperguna-kan pendekatan pragmatik dengan mem-
pertimbangkan utilitas (kegunaan) atau adanya
satisfactory results (konsekuensi yang emuaskan),
misalnya sebagian dana untuk perbaikan jalan sebesar
Rp. 2,500.000 di pergunakan untuk membantu
masyarakat banyak yang menjadi korban banjir.

Korupsi merupakan delik formiel, karena dalam


pasal 2 ayat (1), diformulasikan dengan kata
DAPAT, sehingga dalam perbutan korupsi tidak
harus telah menimbulkan akibat kerugian
33
keuangan negara. Dan penembalian keuangan
negara oleh pelaku korupsi tidak menghapuskan
tindak pidana korupsi yang dilakukan.

Pasal 2 intinya, MELAWAN HUKUM,


memperkaya, mengakibatkan kerugian keuangan
negara.

Pasal 3 intinya, MENYALAHGUNAKAN


KEWENANGAN, menguntungkan,
mengakibatkan kerugian keuangan negara.

34
Konvensi Internasional tentang Tindak Pidana Korupsi

II. UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST


CORRUPTION (UNCAC).

1. Postulat moral.

Keprihatinan negara-negara dan masyarakat internasional


mengenai berat dan seriusnya masalah-masalah dan ancaman-
ancaman yang ditimbulkan oleh praktek korupsi, terhadap
stabilitas dan keamanan masyarakat yang menghancurkan
lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan
keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan
supremasi hukum.

Pencegahan dan pemberantasan korupsi merupakan


tanggungjawab semua negara yang mengharuskan untuk saling
bekerjasama, dengan dukungan dan keterlibatan perorangan dan
kelompok di luar sector public, seperti masyarakat madani, LSM,
organisasi masyarakat, agar upaya pemberantasan korupsi
menjadi efektif.

Terdiri dari 8 bab dan 71 pasal.

I. Ketentuan umum.

Tujuan konvensi:

35
a. Meningkatkan dan memperkuat upaya-upaya untuk
mencegah dan memberantas korupsi secara lebih
efisien dan efektif.

b. Meningkatkan, memfasilitasi dan mendukung


kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi,
termasuk dalam pengembalian asset;

c. Meningkatkan integritas, akuntabilitas dan


pengelolaan yang baik atas urusan-urusan publik
dan kekayaan publik. (psl 1).

RUANG LINGKUP
1, Pencegahan, 2. Penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan korupsi, 3. Pembekuan, penyitaan,
perampasan, 4. Pengembalian hasil-hasil kejahatan.
(psl 3).

II. PENCEGAHAN:

*mengembangkan kebijakan-kebijakan anti korupsi,


meningkatkan partisipasi masyarakat dan
mencerminkan supremasi hukum.(psl 5).

*keberadaan badan-badan pencegahan korupsi dan


kemandirian badan tersebut,(psl 6).

*kemandirian peradilan.(psl 11)


36
*pentingnya kerjasama dengan sektor swasta (12).

*tindakan-tindakan mencegah pencucian uang (14).

Bab III, Kriminalisasi.

*penyuapan pejabat publik. (15).

*penyuapan pejabat publik asing. (16).

*memperdagangkan atau menyalahgunakan pengaruh,

(18)

*memperkaya diri secara tidak sah_illicit enrichment


(20).

*pencucian hasil kejahatan_money laundring (23).

*menghalang-halangi proses peradilan.(25).

*tanggungjawab badan hukum.

*menetapkan jangka waktu daluarsa lebih panjang atau

memberikan penangguhan daluarsa. (29).

*keseimbangan yang wajar antara imunitas atau hak


istimewa pejabat public dan kepentingan penyidikan,
37
penuntutan dan proses pengadilan. (30).

*perlindungan saksi, ahli dan korban, (32)

*perlindungan pelapor. (33).

IV, Kerjasama internasional.

*saling membantu dalam penyidikan dan proses peradilan,


memperhatikan dual/double criminality. (43)

*Ekstradisi__double criminality, double jeopardy.(44).

*bantuan hukum timbal balik. (46).

V. Pengembalian Aset.

*saling memberikan kerjasama dan bantuan seluas-


luasnya.

38
Pemeriksaan di Muka Persidangan.
Pengadilan memeriksa perkara berdasarkan SURAT
DAKWAAN, sesuai dengan jenis-jenis Dakwaan dan Surat
Dakwwan dususun berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) yang dibuat oleh Penyidik.
III. Corporate Criminal Responsibility
(Corporate Criminal Liability)
Pertanggungjawaban (Pidana) Korporasi

Adegium atau Maxim


 Tiada Pidana tanpa Kesalahan.
 Geen Straaf Zonder Schuld.
 An act does not make a man guilty of a crime, unless his
mind be also guilty.
 Actus no facit reum, nisi mens sit rea.
 Keine Straf Ohne Schuld.

Perbuatan Pidana____ alam lahir, jasmaniah


Pertanggungjawaban pidana___alam bathin, rokhani.
Sikap bathin
State of Mind

Perbuatan (actus reus)= act (commission,komisi)


+
omission(omisi)

Perbuatan pidana = actus reus (perbuatan)


+
mens rea (kesalahan)

39
Exclusionary Rule = this rule commands that where
evidence has been obtained in violation of the search and
seizure protections guaranteed by the Constitution, the
illegally obtained evidence cannot be used at the trial.

Kejahatan Korporasi (Corporate Crime) :


Tindakan yang secara sosial merugikan dan tidak patut yang
menimbulkan kerugian finansial, penderitaan fisik atau kerusakan
lingkungan, yang dilakukan oleh korporasi dan perusahaan
terhadap para pekerjanya, masyarakat umum, lingkungan,
korporasi dan perusahaan lain, pemerintah atau negara lain.
Kontributor dari kejahatan tersebut adalah korporasi.

Kekerasan (kekejaman) korporasi (Corporate Violence).


Salah satu aspek dari kejahatan korporasi yang berakibat kerusakan
fisik terhadap para pekerjanya, masyarakat umum (baik di dalam
maupun di luar negeri), atau merusak lingkungan termasuk tanah,
udara, air, binatang dan tumbuhan.

Dalam kejahatan KORUPSI ____tidak dapat diberlakukan


RESTORATIVE JUSTICE, karena yang menjadi korban dalam
kejahatan korupsi adalah negara dan rakyat banyak pemegang
kedaulatan yang tersebar di seluruh negara.

Pertanggungjawaban Korporasi:

Korporasi____separate legal person (tidak memiliki eksistensi


jasmani), konsekuensi yuridisnya korporasi dapat dimintai
pertanggungjawaban kepada mereka yang bekerja di dalam
korporasi, yang bertindak sebagai kuasa (agent) yaitu orang
(natural person) yang ada hubungan hukum dengan korporasi.

40
Korporasi dalam hukum perdata adalah subyek hukum yang
berwenang melakukan perbuatan hukum (misalnya : melakukan
kontrak, dll) adalah badan hukum (legal person).
Sedangkan dalam hukum pidana, tidak hanya badan hukum tetapi
juga (firma, CV, persekutuan,) yang tidak berbadan hukum atau
sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan
melakukan perbuatan hukum. Sebagaimana antara lain ditentukan
dalam UU No. 31 Tahun l999 yang telah diubah dengan UU No.
20 Tahun 2001 yang menyebutkan: korporasi adalah kumpulan
orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum atau bukan badan hukum.

Perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban terhadap orang


dan/atau Korporasi yang melakukan secara mutlak____Strick
Liability, liability without fault__ pertanggungjawaban tanpa
kesalahan.

Meskipun yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah


pengurus atau orang yang bekerja di korporasi, tetapi memberikan
pembebanan pertanggungjawaban kepada korporasi__Vicarious
Liability .

Perbuatan hukum korporasi dapat berkorelasi dengan hukum


administrasi negara, hukum perdata, atau hukum pidana. Dalam
hal tertentu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi
merupakan perbuatan kelalaian atau perbuatan yang tidak disadari.
Hukum pidana akan merespon pelanggaran hukum tersebut dengan
dua tujuan sesuai dengan politik kriminal atau strategi
penanggulangan perbuatan pidana, yaitu pencegahan (deterrence)
dan pemidanaan (retribution). Pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh korporasi (corporate violation) banyak yang berkualifikasi
regulatory offenses (pelanggaran peraturan) dan kurang bersifat
41
pelanggaran moral. Regulatory offenses lebih bersifat illegal
daripada immoral, perbuatan tersebut dpersalahkan karena ada
peraturan yang mengatur bukan karena ada niat jahat dan hal yang
demikian disebut mala quia prohibita.

Sesuai dengan pasal 20 UU no 31 tahun 1999___ (1)Dalam hal


tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan
terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. (2) Tindak pidana
korupsi dilakukan oleh korporasi, apabila dilakukan orang-orang
berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak
dalam lingkungan korporasi, baik sendiri-sendiri maupun bersama-
sama. (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi,
maka korporasi diwakili oleh pengurus. (4) Pengurus yang
mewakili korporasi dapat diwakili orang lain. (5) Hakim dapat
memerintahkan supaya supaya pengurus menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tsb
dibawa ke siding pengadilan. (6) Dalam hal tuntutan pidana
dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap
dan penerahan surat panggilan tsb disampaikan ke pengurus di
tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. (7)
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya
pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3
(sepertiga).

Pertanggungjawaban hukum KORPORASI menurut Mardjono


Reksodiputro:
1. Pengurus Korporasi sbg Pembuat __Pengurus
bertanggungjawab.
2. Korporasi sbg Pembuat__Pengurus bertanggungjawab.
3. Korporasi sbg Pembuat__Korporasi bertanggungjawab.

42
Pertanggungjawaban dalam hubungannya Orang yang
menjalankan tugas yang ada hubungannya dengan misi
Korporasi.

Untuk melacak dasar tuntutan pertanggungjawaban


korporasi_dapat melihat Anggaran Dasar/Anggran Rumah
Tangga, Undang-Undang Perseroan Terbatas (PT), Undang-
Undang Yayasan, dlsb yang memuat tujuan dan misi
korporasi.

Kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai


tindak pidana korupsi dipertanggungjawabkan kepada
pengurus korporasi yaitu organ korporasi yang menjalankan
kepengurusan.

Dalam putusan No. 931K/Pid.Sus/2013, dengan terdakwa


Benny setiawan Mahkamah Agung menjatuhkan pidana
denda Rp 9.840.177.108, terhadap PT.TUBS Development
dan pidana penjara I tahun bagi terdakwa selaku Direktur
PT.TUBS Development.

Pidana pokok terhadap korporasi hanya denda. Sedangkan


pidana tambahan sesuai pasal 18 ayat (1) a, c, bagi terpidana
yaitu perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak
berwujud barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan
milik terpidana …Penutupan usaha atau sebagian perusahaan
untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun, Penutupan seluruh
atau sebagian perusahaan adalah pencabutan izin usaha atau
penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai putusan
pengadilan.

43
Dalam pasal 51 KUHP Belanda;
6. Pelaku pidana ada 2 kategori, yaitu ; orang dan badan
hukum.
7. Apabila tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, maka
tuntutan pidana dan hukuman pidana, dapat dikenakan;
d. Terhadap badan hukum; atau
e. Terhadap yang member perintah tindak pidana komisi,
dan terhadap yang memegang kendali atas tindakan
melawan hukum; atau
f. Terhadap pihak yang disebutkan point (1) dan (2)
secara bersama.
8. Dalam penerapan bagian-bagian sebelimnya, yang
disebutkan berikut ini dianggap setara dengan badan
hukum, yaitu: badan usaha non-badan hukum, firma,
perusahaan pemipik kapal dan dana khusus.

*. Butir-butir pokok.

a. Kualifikasi sesuatu pemberian sesuatu kepada pegawai


negeri atau penyelenggara negara merupakan gratifikasi
atau suap berkorelasi dengan adanya upaya aktif
penerima untuk melaporkan kepada KPK dalam tenggat
waktu 30 hari.

b. Gratifikasi ada yang dilakukan sebelum selesainya


perbuatan yang diperjanjikan, ada yang sedang berlangsung,
dan ada yang terjadi setelah perbuatan pokok telah selesai.

b. Tanggungjwab pidana bagi korporasi bersifat


mutlak(strickt liability), dalam arti tidak perlu dibuktikan
unsur kesengajaan atau kealpaan jika korporasi tersebut
mempunyai hubungan kausal dengan akibat hukum yang
44
timbul dalam tindak pidana korupsi, misalnya PT atau
CV atau korporasi yang terlibat atau dipergunakan dalam
melakukan tindak pidana korupsi, atau memiliki
kebijakan (korporasi) yang dapat dikualifikasikan sebagai
tindak pidana korupsi.

c. Tanggungjawab pidana antara pengurus dengan korporasi


bersifat alternatif komulatif, sehingga penjatuhan
pidananya bisa dikenakan secara kolektif (vicarious
liability) disamping dikenakan kepada pengurus juga
secara bersamaan terhadap korporasinya.

45
Dalam pasal 3 ayat (2) (3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan Kehakiman dengan jelas ditentukan bahwa bahwa
segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di
luar kekuasaan kehakiman dilarang; dan setiap orang yang dengan
sengaja melanggar dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Dalam era globalisasi dewasa ini telah banyak konvensi-


konvensi internasional yang sudah diratifikasi oleh negara
Indonesia hal ini mengisyaratkan bahwa paradigma hukum
Indonesia terutama hukum pidana dituntut untuk mampu
berinteraksi dengan nilai-nilai hukum internasional. Terutama
yang menyangkut fenomena global seperti terorisme, hak asasi
manusia, korupsi, narkotika, lingkungan hidup, pencucian uang,
perdagangan manusia, pembalakan hutan. Pada saat yang sama,
wawasan hukum para Hakim di Indonesia dituntut untuk untuk
selalu ditingkatkan. Untuk memenuhi tantangan ini, Mahkamah
Agung Indonesia telah mengadakan pelatihan-pelatihan pada para
hakim secara berkala dan berlanjut, termasuk sertifikasi Hakim
yang menangani perkara korupsi, pengadilan Anak, hak asasi
manusia, terorisme, dan segera akan dilakukan pelatihan adalah
Hakim yang akan menangani perkara lingkungan hidup.

Sejatinya tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi


martabat kemanusiaan setiap orang, termasuk koban
kejahatan dan pelaku kejahatan.

III. TEORI PEMIDANAAN

46
Kekuasaan dalam menjatuhkan pidana tidak lepas dari
faktor moral, politik, dan dasar kontitusional. Pada
dasarnya dalam kehidupan bermasyarakat terdapat alas an
pragmatis untuk menjaga ketertiban adan keamanan,
sehingga menuntut adanya otoritas kekuasaan Negara
untuk memberikan sanksi dan tidak tepat untuk diserahkan
kepada korban kejahatan.

Peran otoritas negara dan korban dalam pemidanaan


menjadi kajian teori dalam upaya mencapai keadilan dan
ketertiban dalam masyarakat. Bagaimana fungsi
pemidanaan yang meniadakan pembalasan swasta, serta
peran proporsionalitas atau keadilan serta proses peradilan
sampai pada tahap pemidanaan.

Dalam bukunya Jackson’s Machinery of Justice, J.R.


Spencer mengelaborasi A more modern view is that the
object of the criminal law is the protection of the
community. As regards people who have already
committed offences, that purpose can be served in three
main ways. First, if offender can be reformed 0R
Rehabilitated he will no longer be a menace. Secondly, he
may be prevented from further harmful acts by being kept
in custody. Thirdly, the thought of having to endure
punishment may deter the person who has offended and
deter other people from committing offences.

Banyak teori tentang pemidanaan dan banyak pakar


mengajukan teori tentang pembalasan, pencegahan, antara
lain dalam buku Fundamentals Of Sentencing Theory yang
editornya Andrew Ashworth and Martin Wasik memarkan
beberapa pendapat antara lain Neil Maccormick and David
47
Garland, John Gardner, Anthony Bottoms, etc. yang
memaparkan tentang teori pemidanaan yang pada
dasarnya menyangkut Retribution dan Prevention. Juga
teori yang dikemukakan Herbert L.Packer yang menyebut
3 teori pemidanaan yaitu Retribution, Utilitarian
Prevention, dan Behavioral prevention. Di beberapa
negara untuk menghindari disparitas diberlakukan
Sentencing Guideline atau Pedoman Pemidanaan.
1. Retribution___berasaskan balas dendam, pembenaran
pemidaan terletak pada perbuatan itu sendiri. Pelaku
harus dhukum karena melanggar hukum yang berakibat
merugikan masyarakat dan mendatangkan penderitaan
pada orang lain.
2. Utilitarian Prevention___efek pencegahan pidana yang
dijatuhkan diharapkan terjadi setelah pemidanaan.
3. Behavioral Prevention__pendekatan berdasarkan
perilaku manusia sejalan dengan perkembangan
pengetahuan, seperti psikologi, sosiologi, dan
kriminologi khususnya perilaku yang melanggar
hokum.

Pada dasarnya tujuan pemidanaan adalah untuk


menerapkan keadilan berdasarkan kebenaran fakta hukum
yang terbukti di persidangan, sehingga pidana yang
dijatuhkan setimpal dengan sifat berbahayanya kejahatan
yang dilakukan pelaku. Pidana yang proporsional atau
setimpal akan memiliki dimensi prevensi khusus bagi
pelaku agar tidak melakukan lagi dan prevensi umum agar
orang lain tidak melakukan perbuatan serupa.

48
Kepustakaan:

Alkostar, Artidjo, Korupsi Politik Di Negara Modern, FH. UII


Press, Yogyakarta, 2008.

Alatas, Syed Hussein, Sosiologi Korupsi, LP3ES, Jakarta,


1987.

Barron, Jerome A & Deines, C. Thomas, Constitutional Law,


West Publishing Co, St. Paul, Minnessota, 1983.

Black, Donald & Mileski, Maureen (editor), The Social


Organization of Law, Seminar Press, New York, 1973.

Burns, James Mac Gregor, The Deadock of Democracy,


Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs, N.J, 1963.

Crouch, Harold, The Army and Politics in Indonesia, Cornell


University Press, Ithaca, 1988.

Dye, Thomas R & Zeigler, L Harmon, The Irony of


Democracy, Duxbury Press, Calofornia, 1081.

Elliot, Kimberly Ann, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan


Obor Indonesia, 1999.

49
Friedman, Lawrence M, Total Justice, Beacon Press, Boston,
1985.

Gibbons, Edward, The Decline and Fall of the Roma Empire,


Wordsworth Classics of World Literature, 1998.

Howard, Philip K, The Daed of Common Sense, Warner Books


Inc, New York, 1996.

Inciardi, James a, Ciminal Justice, harcourt brace Javanovich,


New York, 1987.

50

Anda mungkin juga menyukai