Anda di halaman 1dari 20

JOURNAL READING

A RANDOMIZED CONTROLLED TRIAL OF INTRAVENOUS


HALOPERIDOL VS. INRAVENOUS METOCLOPRAMIDE FOR ACUTE
MIGRAINE THERAPY IN THE EMERGENCY DEPARTMENT

Disusun untuk Memenuhi Syarat Ujian Kepaniteraan Pendidikan Klinik


Bagian Saraf

Disusun oleh :
Fatihah Arifah Rahmawati
18712075

Dokter Pembimbing :
dr. Agung Nugroho, Sp.S

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI
2020
Haloperidol Intravena dibandingkan Metoklopramid Intravena Untuk Terapi
Migrain Akut di Instalasi Darurat
Matthew E. Gaffigan, MD,* David I. Bruner, MD,† Courtney Wason, BS,* Amy Pritchard, DO,‡ and
Kenneth Frumkin, MD, PHD*
*Naval Medical Center Portsmouth, Portsmouth, Virginia, †Naval Medical Center San Diego, San Diego, California, and
‡Naval Hospital Camp Pendleton, Camp Pendleton, California
Reprint Address: David I. Bruner, MD, Naval Medical Center San Diego, 8022 Paseo del Ocaso, La Jolla, CA 92037

Abstrak
Pasien dengan sakit kepala di Instalasi Darurat biasanya diobati dengan antiemetik
neuroleptik seperti metoklopramid. Haloperidol terbukti efektif untuk pengobatan
migrain.
Tujuan Penelitian : Penelitian ini membandingkan penggunaan Metoklopramid dengan
Haloperidol untuk mengobati pasien dengan migrain di Instalasi Darurat.
Metode Penelitian : Uji coba prospektif, double blind, percobaan acak terkontrol pada
64 orang dewasa dengan usia 18-50 tahun dengan nyeri kepala migrain dan tidak
adanya faktor risiko pemanjangan gelombang QT. Haloperidol 5mg atau
metoklopramid 10 mg yang diberikan secara intravena setelah pemberian
Difenhidramin 25 mg. Nyeri, mual, gelisah dan sedasi dinilai dengan skala visual
analog 100-mm (VAS) dilakukan pada awal dan setiap 20 menit hingga maksimal 80
menit. Kebutuhan akan obat-obatan darurat, efek samping dan kepuasan subjek dicatat.
Interval gelombang QT diukur sebelum dan sesudah perawatan. Pengawasan/ Follow
up dilakukan via telepon setelah 48 jam untuk menilai kepuasan dan adanya
perngulangan gejala atau menetapnya gejala.
Hasil : Tiga puluh satu subjek menerima haloperidol dan tiga puluh tiga
metoklopramid. Kelompok-kelompok itu serupa pada semua pengukuran VAS, efek
samping dan kepuasan mereka dengan terapi. Penghilang nyeri rata-rata bernilai 53
mm diukur dengan VAS pada kedua kelompok, dengan waktu yang sama
menimbulkan perbaikan. Subjek yang menerima pengobatan haloperidol jarang
membutuhkan pengobatan penyelamatan (3% vs. 24%). Rata rata gelombang QT sama
dan normal pada kedua kelompok dan tidak berubah setelah dilakukan pengobatan.
Ketika dilakukan follow-up via telepon, 90% subjek mengatakan mereka senang
dengan obat yang telah diterima dengan subjek yang menerima pengobatan haloperidol
mengalami lebih banyak kegelisahan (43% vs. 10%).

1
Kesimpulan : Haloperidol intravena dengan metoklopramid intravena sama dalam
keamanan dan keefektifan untuk pengobatan nyeri kepala migrain di instalasi darurat
dengan frekuensi kebutuhan lebih sedikit untuk pengobatan penyelamatan.
Kata Kunci : migrain, haloperidol, managemen nyeri

PENGANTAR
Latar Belakang
Pasien dengan nyeri kepala pada kunjungan di Gawat Darurat menyumbang
sekitar 2-5% dan merupakan keluhan kelima di Instalasi Gawat Darurat. Terapi lini
pertama di IGD biasanya termasuk antagonis reseptor dopamin seperti proklorperazin
atau metoklopramid yang sering dikombinasikan dengan difenhidramin. Penelitian
menunjukkan obat-obatan ini aman dan lebih efektif daripada opiat, NSAID, dan
sumatriptan. Haloperidol adalah antagonis reseptor dopamin yang patut
dipertimbangkan dari kelas butyrophenon. Seperti antiemetik neuroleptik lainnya,
haloperidol dilaporkan efektif untuk pengobatan mual dan nyeri kepala migrain.
Ketika neuroleptik digunakan sendiri, efek samping (yang paling sering akathisia)
dapat membatasi manfaatnya. Penambahan dipenhidramin intravena dapat membantu
mengurangi efek samping diatas.

Kepentingan
Beberapa tahun terakhir, kekurangan antiemetik adalah karena memiliki
kisaran terapi yang terbatas yang tersedia di IGD untuk mengobati nyeri kepala.
Tingkat terjadinya alergi obat, rekomendasi kuat menghindari penggunaan opiat untuk
menghilangkan sakit kepala semakin membatasi pilihan terapi. Pilihan baru yang
tersedia, aman dan efektif untuk mengobati migrain di IGD berpotensi menguntungkan
banyak pasien.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan efektifitas Haloperidol
intravena dengan metoklopramid intravena (keduanya di kombinasi dengan
dipenhidramin) untuk pengobatan nyeri kepala migrain akut di IGD. Hasil utamanya
adalah sebagai penghilang rasa nyeri diukur menggunakan skala analog visual (VAS).
Perbedaan sebagai penghilang nyeri jika diukur dengan VAS adalah 13 mm antara
kedua kelompok, dan diangap belum signifikan secara klinis.

2
Sedangkan untuk hasil sekunder dari penelitian antara lain waktu maksimal
sebagai penghilang nyeri, penggunaan obat penyelamatan, pengukuran VAS mual,
sedasi dan tingkat kecemasan/kegelisahan (akathisia), interval gelombang QT pada
EKG sebelum dan sesudah pengobatan dan respon pasien ketika dilakukan follow-up
melalui telepon.

Desain Penelitian dan Pengaturan


Penelitian dilakukan prospektif, double blind , acak, dan uji coba terkontrol
pada sampel dengan pasien yang datang ke IGD pada Juni 2013 hingga Februari 2014
dengan keluhan utama nyeri kepala migrain. Dewan Peninjau dari Institusi Pusat
Peneliti Medis menyetujui penelitian ini. Desain dan analisisnya mirip dengan Kostic
et al., yang membandingkan proklorperazin dengan sumatriptan untuk menghilangkan
migrain di IGD.
Tempat yang digunakan untuk penelitian adalah IGD Rumah sakit pendidikan
Departemen Pertahanan AS dengan 360 tempat tidur dengan dokter IGD dan sensus
tahunan terdapat 75.000 pasien.
Tabel 1. Kriteria Inklusi
Kriteria Inklusi
Usia 18-50 tahun
Minimal memiliki 2 kriteria, sebagai berikut :
Lokasi unilateral
Berdenyut
Nyeri memburuk dengan aktivitas rutin
Intensitas sedang hingga berat
Setidaknya memiliki satu dari beberapa berikut :
Mual atau muntah
Fotofobia atau fonofobia

Pemilihan Sampel
Pasien dewasa berusia 18-50 tahun dengan gejala nyeri kepala migrain yang
khas, diidentifikasi oleh perawat triase atau mereka yang ditugaskan penyedia sebagai
subjek potensial. Mereka yang memenuhi kriteria Modified International Headache
Society for migraine (Tabel 1) ditawarkan berpartisipasi oleh dokter yang merawat
mereka atau koordinator penelitian. Kriteria eksklusi tercantum dalam Tabel 2.

3
Intervensi
Semua subjek dalam penelitian telah memberikan persetujuan secara tertulis.
Pasien yang menolak diikutkan dalam penelitian menerima terapi migrain standar
seseuai dengan kebijaksanaan dokter yang merawat. Setelah dilakukan inform concern
masing masing pasien dilakukan pemasangan infus dengan kateter intravena periver
kemudian diberikan infus 1000 mL saline normal. Pemeriksaan elektrolit, darah
lengkap, monitor jantung dan EKG sudah dilakukan. Untuk pasien wanita dilakukan
pemeriksaan sampel urin untuk tes kehamilan. Kemudian 25 mg Difenhidramin
diberikan sevara intravena, diikuti oleh obat yang akan dilakukan penelitian. Semua
pihak tidak mengetahui obat yang diberikan : metoklopramid 10 mg iv atau
haloperidol 5 mg iv. Keduanya diberikan lebih dari 2 menit. Subjek penelitian
dilakukan pengacakan yang dilakukan oleh pihak farmasi. Obat studi diberikan dalam
jarum suntik berkode identik. Tanda vital seperti tekanan darah, denyut nadi, laju
pernafasan, suhu oral dan saturasi oksigen dinilai secara triase selama perawatan
menggunakan protokol IGD dari sebelum dan setelah perawatan. Perprotokol, subjek
penelitian harus tetap menggunakan monitor jantung selama perawatan di IGD dan
EKG ulang harus diselesaikan sebelum pasien pulang.

Tabel 2. Kriteria Eksklusi


Kriteria Eksklusi
- Diketahui hipersensitivitas terhadap Haloperidol, Metoklopramid atau dipenhidramin
- Riwayat Penyakit Jantung Gagal Jantung Kongestif (CHF), Infark Miokard, Penyakit
Arteri Koroner, Atrial FIbrilasi, Kardiomiopati
- Kelainan elektrolit pada pengujan IStat (didefinisikan sebagai diluar rentan referensi)
- Penggunaan obat-obatan prodysrhythmic : quinidine, disopytamid, flecainide,
propafenone, moricizine, amiodarone, dofetilide, sotalol, dronedarone
- Interval QT yang lama pada skrinning EKG (>450 ms)
- Riwayat Hipertensi tidak terkontrol dengan tekanan diastolik lebih dari 100mmHg
- Penggunaan derifat ergotamin, triptan atau dopamine blocking antiemetic dalam 24 jam
terakhir
- Hipotiroidisme
- Pemberian bersamaan atau dalam 2 minggu setelah penghentian MAOI inhibitor
- Managemen bersama dari hemiplegi atau migrain basilar atau gangguan neurologik
- Gangguan hepar berat
- Kehamilan
- Menyusui
- Riwayat kanker (kecuali kanker kulit nonmelanoma)
- Keterlibatan sebelumnya dalam penelitian ini
- Demam hingga 38,0 derajad celcius (100,5 F) atau lebih tinggi

4
- Indikasi untuk evaluasi diagnosis lebih lanjut dari nyeri kepala mereka (seperti pungsi
lumbal atau CT scan)
- Mengaku nyeri kepala berbeda dari nyeri kepala migrain normal.

Metode Pengukuran
Waktu penberian obat studi dianggap sebagai waktu-0. Nyeri, mual, gelisah
(akathisia) dan sedasi masing-masing dinilai dengan 100mm VAS yang dilakukan
pada menit ke 0, 20, 40, 60 dan 80. Sisi kiri garis tidak menunjukkan gejala sedangkan
ujung garis kanan mewakili gejala terbutuk yang pernah didapatkan sampel. Adanya
empat skala untuk setiap interval waktu berada dalam satu halaman bersama dengan
pertanyaan ya atau tidak :
Apakah anda mengalami mual? Ya Tidak
Apakah anda mengalami gelisah, atau cemas? Ya Tidak
Apakah anda merasa mengantuk? Ya Tidak
Apakah anda memiliki nyeri dada, berat atau sesak? Ya Tidak

Pada akhir kunjungan, subjek akan diberi pertanyaan apakah mereka


menginginkan obat yang sama lagi untuk meredakan migrain yang dialami. Jika subjek
mengatakan kepuasan sebagai penghilang rasa sakit dan subjek diizinkan untuk keluar
sebelum 80 menit. Setelah 80 menit, subjek dipulangkan kerumah ketika nyeri sudah
mereda atau ditawarkan terapi penyelamatan sesuai dengan kebijakan dokter yang
merawat. Penggunaan obat-obatan penyelamatan yang digunakan dicatat untuk melihat
efek samping obat tersebut. Sebelum dipulangkan, dilakukan EKG kedua untuk
menilai perubahan dalam interval QT.
Subjek akan dihubungi oleh peneliti utama dalam 48 jam setelah dipulangkan
dari IGD dan diberikan pertanyaan standar. Subjek ditanya apakah mereka senang
dengan obat yang diterima, apakah mereka memiliki gejala berulang atau gejala
menetap, khususnya sakit kepala, mengantuk, gelisah, agitasi, mual, muntah atau nyeri
dada. Jika subjek tidak dapat dihubungi dalam 48 jam, maka follow-up melalui telepon
dilakukan lagi pada 72 jam, 96 jam, 7 hari dan 2 minggu, dengan total 4 kali upaya
follow-up. Jika tidak dapat menindaklanjuti subjek melalui telepon maka peneliti akan
memeriksa database Departemen Pertahanan untuk melihat apakah ada kunjungan
kembali ke IGD atau penyedia perawatan utama.

5
Hasil Pengukuran
Hasil pengukuran utama adalah perbaikan nyeri yang dilaporkan dengan VAS
dalam 80 menit setelah terapi. Perbedaan skor VAS 13 mm dianggap mutlak atau lebih
signifikan secara klinis. Sedangkan pengukuran data sekunder adalah ada tidaknya
efek mual, gelisah, sedasi, kebutuhan akan obat penyelamatan maupun efek samping
merugikan serta perubahan interval QT. Data sekunder dilakukan dengan panggilan
ulang pada subjek untuk menilai kepuasan mereka dengan obat yang digunakan dan
adanya gejala menetap.

Analisis Data Primer


Enam puluh dua subjek diperlukan (31 per kelompok) untuk mendeteksi
adanya perbedaan VAS antar kelompok dengan kekuatan 81%. Perbedaan antara
kelompok dihitung dengan uji T-test. Perbedan proporsi dinilai menggunakan analisis
chi-square.

HASIL

Karakteristik Subjek Penelitian


Data subjek yang digunakan dalam penelitian dirincikan pada Gambar 1.
Sebanyak 138 pasien datang selama waktu penelitian dengan keluhan utama nyeri
kepala migrain. Kandidat potensial akan diidentifikasi oleh perawat triase, perawat
utama atau penyedia kemudian disaring. Sebanyak 64 pasien terdaftar dalam penelitian
ini, dengan 31 secara acak menerima Haloperidol dan 33 menerima metoclopramid.
Protokol penelitian mempertahankan analisis intention to treat. Karakteristik
demografis subjek dapat dilihat pada Tabel 3. Subjek dari kedua kelompok tidak
berbeda dalam usia dan jenis kelamin.

6
Gambar 1. Data subjek yang digunakan dalam penelitian
Tabel 3. Data Demografis
Karakteristik Haloperidol Metoklopramid
Subjek (n = 31) (n = 33)
Wanita (%) 27 (87%) 25 (76%)
Rata-rata usia dalam tahun (SD) 29 (8) 29 (8)

Hasil Utama
Skala VAS untuk rasa nyeri, mual, gelisah dan sedasi dinilai dari subjek pada
waktu 0 (“Pra”) dan setiap 20 menit hingga pengukuran terakhir yang dicatat dalam
waktu 80 menit (“Post”). Ketika pengumpulan data pada suatu individu subjek belum
mencapai 80 menit (biasanya meminta pemulangan), pengukuran variabel yang
terakhir di catat digunakan untuk perbandingan pre-post. Hasilnya disajikan pada
Gambar 2.

Gambar 2. Rata-rata Visual Analog Scale (VAS) dalam mm dengan CI 95%

Primary Outcome
Rata-rata pengurangan rasa nyeri dari awal hingga akhir yang diukur dengan
skala VAS 100 mm secara statistik dan klinis signifikan untuk kedua kelompok yang
diobati dengan haloperidol dan metoclopramide: 57 mm untuk kelompok haloperidol
dan 49 mm untuk mereka yang diobati dengan metoclopramide (p<0,01 untuk setiap
perbandingan). Ketika dibandingkan satu sama lain, skor nyeri dengan VAS untuk
kelompok Haloperidol dan Metoklopramid tidak berbeda pada awal penggunaan, pada
akhir penelitian atau dalam besarnya perubahan pra-post perawatan (p>0.05). Kedua

7
obat tersebut juga setara dalam waktu untuk mencapai penghilang rasa nyeri
maksimum (didefinisikan sebagai interval pengukuran rata-rata di mana subyek skor
VAS terendah pertama kali dicatat): 55 menit untuk metoklopramid, 56 menit dengan
haloperidol (p> 0,05; VAS - Gambar 2)

Secondary Outcomes
Mual. Secara keseluruhan, dua obat tersebut efektif untuk mengobati mual,
ketika ada, sengan pengurangan skor VAS 27 mm untuk Metoklopramid dan 31 mm
untuk Haloperidol (p<0,01 untuk keduanya). Tidak ada perbedaan yang signifikan
antara kedua kelompok (Metoklopramid : Haloperidol) baik sebelum maupun sesudah
pengobatan (Gambar 2).
Gelisah. Dalam kedua kelompok tidak ada satupun obat yang menghasilkan
perubahan signifikan dalam kegelisahan subjek. Tidak ada perbedaan dalam
kegelisahan antara kelompok sebelum atau sesudah perawatan (p>0.05).
Sedasi. Subjek dalam kedua kelompok mencatat tingkat sedasi dasar yang
tidak berubah secara statistik dalam setiap kelompok setelah pengobatan, dan yang
tidak berbeda pada awal atau penyelesaian studi antara kelompok (semua p> 0,05).

Kebutuhan Obat Penyelamatan (Rescue Medication)


Delapan dari 33 subjek dalam kelompok metoklopramid (24%) diberikan obat
penyelamatan sedangkan pada kelompok Haloperidol hanya 1 dari 31 subjek (3%)
yang menerima obat penyelamatan. Pada kelompok Metoklopramid, 7 pasien
menerima Ketorolac intravena dan 1 pasien menerima morfin intravena. Sedangkan 1
pasien dalam kelompok Haloperidol menerima Ketorolak dan metilprednisolon
intravena sebagai obat penyelamatan. Kemudian satu pasien di kelompok
metoklopramid membutuhkan lebih banyak dipenhidramin.

Pelepasan Dini
Tidak ada perbedaan dalam jumlah subyek yang melaporkan penghilang nyeri
yang adekuat dan meminta pulang sebelum 80 menit (35% pada kelompok haloperidol
dan 21% pada kelompok metoklopramid, p> 0,05).

Kepuasan Pasien

8
Ketika ditanya pada akhir masa tinggal mereka di IGD, 92% dari 24 subyek
kelompok haloperidol (dan 75% dari 28 subyek kelompok metoclopramide) akan
menginginkan pengobatan yang sama lagi (p> 0,05, chisquare).

Efek Samping / Kejadian Buruk


Subjek diberikan pertanyaan secara khusus tentang adanya mual, gelisah, rasa
mengantuk maupun nyeri dada pada awal dan setiap 20 menit setelah dilakukan
pengobatan bersamaan dengan penilaian skala VAS. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel
4. Tabel ini mencantumkan proporsi subyek dalam dua kelompok yang merespon
dengan baik pada awal (sebelum pemberian obat-studi), atau yang melaporkan gejala
indeks setidaknya sekali mulai setelah intervensi. Penyebutnya adalah jumlah subyek
dalam setiap kelompok perlakuan. Rasa mengantuk dan mual merupakan kelihan yang
banyak dilaporkan. Bahkan sebelum pemberian obat, baik mual maupun rasa
mengantuk dikeluhan dua-pertiga dari semua subjek. Setelah obat studi diberikan,
terdapat 22% tambahan pasien yang mengeluh mengantuk. Hanya 1 subjek yang
mengeluhkan mual setelah perawatan. Rasa kantuk secara statistik lebih umum pada
kelompok yang menerima Haloperidol. Tidak ada perbedaan lain antara kelompok
dalam pertanyaan efek samping lainnya yang diajukan.
Tabel 4. Efek samping
Haloperidol (n = 31) Metoklopramid (n = 33)
Setelah Setelah
Baseline (Time diberikan Baseline diberikan
Efek Samping 0) (%) Haloperidol (%) (Time 0) (%) Haloperidol (%)
Rasa Kantuk 25 (81)* 5 (16) 17(52) 9 (27)
Mual 22 (71) 0 (0) 20 (61) 1 (3)
Gelisah 10 (32) 10 (32) 13 (39) 4 (12)
Nyeri dada 0 (0) 2 (6) 2 (6) 0 (0)
* p <0,02, chi-squared, pengukuran awal: Haloperidol vs Metoclopramide. Semua perbandingan
berpasangan lainnya (Haloperidol vs Metoclopramide, baseline, atau obat poststudy) tidak signifikan
(p> 0,05, chi-squared).

EKG dan Interval QT


Subjek harus tetap dilakukan monitor jantung selama mereka berada di IGD.
Interval QTc diperoleh dari EKG yang dicetak. Hasil EKG sebelum pengobatan pada
semua subjek tidak ada kelainan. Elektrokardiogram (EKG) pasca pengobatan
dilakukan pada 45% dari subyek. Interval QTc sebelum dan sesudah perawatan
disajikan pada Tabel 5. Rata-rata QTc adalah sama dan normal pada kedua kelompok

9
dan tidak berubah setelah perawatan untuk kedua kelompok. Tidak ada disritmia yang
dilaporkan. Empat subjek yang mengeluh nyeri dada dievaluasi kembali dan dilakukan
EKG ulang, dan kemudian, mereka merasa tidak memerlukan evaluasi jantung lebih
lanjut. Tidak ada subjek yang mengeluhkan berdebar-debar, disritmia yang relevan
secara klinis, atau memiliki keluhan pada jantung selama pengobatan.

Tabel 5. Rata-rata Interval QT pada EKG (ms)


Haloperidol (H) Metoklopramid (M) p (H vs. M)
Pretreatment 422 428 NS
Post treatment 426 440 NS
p (pre vs. Post) NS NS

Folluw-Up
Dari 64 subjek yang terdaftar, 43 subjek dihubungi untuk wawancara lanjutan
melalui telepon. Secara keseluruhan 90% menjawab mereka senang dengan
pengobatan yang diberikan di IGD. Enam puluh persen dari subjek yang diobati
dengan metoklopramid dan 48% dari subjek yang diobati dengan Haloperidol
melaporkan adanya nyeri kepala setelah mereka pulang. Tiga subjek dari kelompok
metoklopramid kembali ke IGD. Sedangkan gejala lain, sejak di IGD, rasa mengantuk
adalah yang paling umum dilaporkan, memengaruhi 40% dan 52% dari kelompok
Metoklopramid dan Haloperidol. Satu-satunya perbedaan yang signifikan secara
statistik adalah efek samping antara kelompok perlakuan adalah rasa gelisah yang
dilaporkan. Empat puluh tiga persen dari kelompok Haloperidol, tetapi hanya 10% dari
kelompok Metoklopramid. Agitasi dan mual jarang dilaporkan dan tidak ada subjek
yang dihubungi mengalami muntah atau nyeri dada (Tabel 6).

Tabel 6. Panggilan Ulang melalui Telepon : Positif (Ya) Respon


Haloperidol Metoklopramid
Respon (n = 31) (n = 33)
Nomor yang dapat dihubungi (%) 23/31 (74%) 20/33 (61%)
Senang dengan pengobatan* 91% 89%
Nyeri Kepala Berulang (%)* 48% 60%
Rata-rata intensitas Nyeri Kepala (1-10)** 4/1 5/3
Kembali ke IGD dengan keluhan Nyeri 0% 15%
Kepala*
Rasa Mengantuk* 52% 40%
Gelisah*** 43% 10%
Agitasi* 22% 15%

10
Mual* 4% 2%
Muntah* 0% 0%
Nyeri dada* 0% 0%
*p > 0.05, chi-squared
**p > 0.05, t-test
***p < 0.015 chi-squared

PEMBAHASAN

Perbandingan acak pertama, perbandingan double blind, Haloperidol intravena


(5mg) setara dengan Metoklopramid intravena (10mg) dalam keberhasilan terapi untuk
pengobatan nyeri dan mual pada migrain di IGD. Tingkat pengurangan rasa nyeri rata-
rata hingga 53 mm dihitung dengan VAS pada kedua kelompok. Serta waktu yang
dibutuhkan untuk menghilangkan rasa nyeri adalah sama. Sembilan puluh persen dari
semua subjek yang dihubungi “senang dengan obat” yang mereka terima. Hasil ini
lebih baik dibandingkan dengan penelitian lain tentang antiemetik neuroleptik pada
migrain. Haloperidol lebih unggul daripada metoklopramid dalam menghindarkan
perlunya obat penyelamat. Hanya satu subjek dalam kelompok Haloperidol yang
membutuhkan penyelamatan (3%), sementara 8 (24%) dari kelompok
MetoKlopramide membutuhkan kontrol nyeri lebih lanjut. Temuan ini tercermin dalam
data kepuasan kunjungan : lebih dari 90% pada kelompok Haloperidol akan
mengambil pengobatan yang sama dibandingkan dengan 75% dari kelompok
Metoklopramid.
Tidak ada perbedaan efek samping saat di IGD, dengan kecenderungan lebih
gelisah pada kelompok haloperidol (NS, p <0,051). Sementara ada beberapa laporan
yang mengkuantifikasi efek samping haloperidol dalam pengobatan migrain, lebih
mungkin meningkatkan terjadinya akathisia daripada neuroleptik lain. Ketika
Haloperidol (tanpa diphenhydramine) berhasil diberikan untuk migrain, setengah dari
subyek melaporkan akathisia, dengan 16% mempertimbangkan efek samping “tidak
dapat ditoleransi”. Sebaliknya, ketika Metoclopramide digunakan sendiri (untuk mual),
akathisia ditemukan pada 12%. Pengalaman kami sendiri yang tidak dipublikasikan
dengan dosis diphenhydramine yang lebih tinggi (50 mg) dan dosis haloperidol (2,5
mg) yang lebih rendah mendukung penelitian formal tentang penyesuaian dosis
tersebut sebagai cara untuk membatasi gejala ini lebih lanjut.

11
Haloperidol lebih banyak dikaitkan dengan gejala kegelisahan ketika dilakukan
penggilan ulang kepada subjek (43% pada kelompok Haloperidol vs. 10% pada
kelompok Metoklopramid).
Enam puluh persen dari subjek yang diobati dengan Metoklopramid dan 48%
dari subjek yang diobati dengan Haloperidol dilaporkan kembali mengalami nyeri
kepala setelah keluar dari IGD. Tingkat kekambuhan nyeri kepala ini mendukung
rekomendasi untuk secara rutin mengkonsumsi kortikosteroid sebagai terapi standar di
IGD pada migrain yang gagal terapi.
Sejauh pengetahuan kami, ini merupakan studi pertama terapi migrain akut
yang secara langsung membandingkan Haloperidol dengan Metoklopramid.
Metoklopramid intravena adalah salah satu obat pertama di kelas
neuroleptik/antiemetik yang terbukti aman dan efektif untuk migrain. Ini telah
digunakan sebagai standar perbandingan dalam studi agen lain. Studi ini
menambahkan Haloperidol ke daftar terapi nyeri kepala di IGD yang aman dan efektif,
yang mungkin sangat membantu dalam pengaturan kekurangan obat saat ini.
Penghilang rasa nyeri dan mual pada kedua kelompok penelitian adalah substansial,
dan tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam waktu atau tingkat efek
pengobatan antar kelompok.
Interval QTc tidak terpengaruh oleh salah satu obat yang digunakan. Interval
diukur, subjek dipantau, dan mereka yang memiliki faktor risiko untuk perpanjangan
QT (QTP) dikeluarkan (Tabel 2). Dalam ulasan mereka tentang bukti di balik
kekhawatiran Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS 2007 untuk QTP dan torsades
de pointes dengan Haloperidol intravena, Meyer-Massetti et al. mencatat kelangkaan
peristiwa tersebut (70 kasus dalam lebih dari satu dekade), dan hubungan mereka,
dalam 97% kasus, dengan faktor risiko tambahan untuk QTP atau torsades de pointes
(penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya, ketidakseimbangan elektrolit, obat-
obatan prodysrhythmic yang bersamaan, dan ventilasi mekanik). Penelitian lain dalam
kombinasi dengan data QTc kami, menunjukkan bahwa pengukuran EKG dan QTc,
elektrolit, dan pemantauan jantung tidak diperlukan ketika menggunakan Haloperidol
untuk sakit kepala pada populasi yang sama.

Keterbatasan

12
Penelitian ini cukup berpengaruh. Ada kemungkinan bahwa sampel yang lebih
besar mungkin telah memungkinkan beberapa tren yang diamati mencapai signifikansi
statistik: misalnya, 92% (Haloperidol) vs 75% (Metoklopramide) kepuasan subjek
dengan terapi mereka; kegelisahan setelah keluar lebih umum dengan Haloperidol
(32% vs 12%, Tabel 4, p = 0,0515); 3 subjek dalam kelompok metoklopramid kembali
ke IGD (vs 0, p <0,054). Signifikansi statistik dalam salah satu tren ini tidak akan
mengubah kesimpulan kami. Fakta bahwa 28% dari subyek memilih untuk pergi ketika
gejalanya terkontrol menghalangi perolehan beberapa titik data. Sementara
penggunaan sampel praktis tidak pernah optimal, karakteristik demografis dari
kelompok subjek kami serupa, dan fakta bahwa beberapa penyedia dapat mendaftarkan
pasien yang mereka lihat memungkinkan lebih banyak akuisisi subjek malam dan akhir
pekan daripada studi yang mengandalkan ketersediaan koordinator penelitian
sendirian.
Sementara mual sebelum pengobatan yang diamati adalah gejala yang
diharapkan ketika terjadi sakit kepala migrain, sedasi yang tercatat pada awal sebanyak
dua pertiga dari semua subjek, kemungkinan merupakan pengaruh dari pemberian
diphenhydramine dengan protokol. Waktu yang tepat dari interval obat studi
diphenhydramine tidak dipantau. Sementara obat studi dikirim dari apotek,
diphenhydramine tersedia di IGD. Sesuai protokol, semua subjek menerima
diphenhydramine, sebelum dilakukan pengukuran awal (Waktu 0, bertepatan dengan
pemberian obat studi). Tidak jelas mengapa kantuk pada awal lebih tinggi pada
kelompok untuk menerima Haloperidol.
Pemantauan EKG berkelanjutan tidak konsisten dilakukan. EKG setekag
pengobatan diberikan pada 45% subjek tanpa perubahan QTc. Tidak ada kejadian
jantung yang terdeteksi secara klinis terjadi.
Ini adalah studi pusat-tunggal, dan sebagaimana dicatat dalam Tabel 3, ini
adalah populasi penelitian yang relatif muda dengan persentase besar subjek
perempuan. Kriteria eksklusi kami dirancang untuk membatasi kemungkinan
perpanjangan QT yang merugikan juga, dan studi masa depan atau aplikasi klinis harus
mencatat kriteria eksklusi.
Persentase pasien yang dihubungi untuk tindak lanjut telepon (67%) adekuat,
namun tidak besar. Tingkat tindak lanjut ini lebih baik daripada beberapa penelitian,
tetapi kurang dari yang dilakukan di lembaga kami. Tak satu pun dari subjek yang

13
kami gagal dihubungi kembali ke IGD kami atau fasilitas medis militer lain selama 2
minggu setelah pendaftaran mereka.

14
Kesimpulan
Singkatnya, Haloperidol setidaknya sama aman dan efektifnya dengan
Metoklopramid untuk perawatan sakit kepala migrain di IGD, dengan lebih sedikit
kebutuhan untuk obat penyelamatan. Meskipun terjadi peningkatan terjadinya
kegelisahan dengan Haloperidol, kepuasan pasien tinggi untuk kedua terapi.

15
PICO DAN CRITICAL APPRAISAL

Judul : A Randomized Controlled Trial of Intravenous Haloperidol vs.


Intravenous Metoclopramide for Acute Migrain Therapy in The
Emergency Department
Penulis : Matthew E. Gaffigan, MD,* David I. Bruner, MD,† Courtney
Wason, BS,* Amy Pritchard, DO,‡ and Kenneth Frumkin, MD, PHD*
Tahun : 2015
Analisis PICO
P Patient and Clinical Pasien dengan Nyeri Kepala Akut di IGD
Problem
I Intervention Pengobatan dengan Metoklopramid
C Comparison Pengobatan dengan Haloperidol
O Outcome Haloperidol setidaknya sama aman dan efektifnya
dengan Metoklopramid untuk perawatan sakit
kepala migrain di IGD, dengan lebih sedikit
kebutuhan untuk obat penyelamatan.

16
Jawab : Ya. Penelitian ini membahas masalah dengan fokus, baik dari segi populasi yang diteliti,
intervensi yang diberikan komparator yang diberikan dan hasil penelitian. Seacara singkat dapat
dibaca pada bagian abstrak. (Halaman 1)

Jawab : Ya. Pengacakan dilakukan oleh pihak farmasi, dengan menggunakan pengacakan acak
pada meja/ tempat pemeriksaan (subbab intervensi-halaman 2).

Jawab : Ya. Semua hasil atau respon yang timbul pada pasien dicatat walaupun tidak mengetahui
intervensi apa yang diberikan. Dan dianalisis berdasarkan kelompok penelitian pada akhir
penelitian.

Jawab : Tidak diceritakan siapa saja yang buta terhadap intervensi yang diberikan. Hanya
dijelaskan bahwa pengacakan/ obat yang diberikan sudah diberikan kode khusus oleh petugas
farmasi (dijelaskan pada subbab intervensi)
Jawab : Ya. Penelitian ini dilakukan pada total 68 orang dewasa dengan usia 18-50 tahun. Dan
mayoritas memiliki jenis kelamin wanita (hampir sama pada masing-masing kelompok). Dapat
dilihat pada tabel persebaran demografis.

Jawab : Ya. Setiap orang diberikan perlakuan yang sama sesuai dengan kelompok peneltiannya.
Hal ini dijelaskan dalam subbab intervensi.

Jawab : Hasil dari penelitian ini adalah tidak ada perbedaan yang signifikan antara penggunaan
Haloperidol dan Metoklopramid. Hasil yang diukur adalah keefektifan penggunaan obat tersebut
sebagai penghilang rasa nyeri pada penderita migrain akut di IGD. Serta keamanan dari kedua
obat tersebut yang dijelaskan pada bab Hasil (baik primary outcome maupun secondary
outcomes) (Halaman 4).

Pengukuran dilakukan menggunakan Skala VAS 100mm dengan CI 95%.


Jawab : Bisa. Walaupun jenis kelamin dalam penelitian ini lebih banyak wanita, namun tidak
terdapat perbedaan signifikan terkait dengan keefektifan maupun keamanan antar kedua obat.

Jawab : Ya. Data sekunder dan hasil penelitian sekunder yang mencatat efek samping yang
timbul pada penggunaan kedua obat patut dipertimbangkan. Seperti adanya rasa mual, rasa
mengantuk, gelisah dan nyeri dada.

Tidak dijelaskan.

Anda mungkin juga menyukai