Anda di halaman 1dari 8

NAMA : NI’MATUL MAULABIBI

NIM : P20005

KELAS : P20A

A. Primary Survey.
Primary survey adalah suatu proses melakukan penilaian keadaan korban gawat
darurat dengan menggunakan prioritas ABCDE untuk menentukan kondisi patofisiologis
korban dan pertolongan yang dibutuhkan dalam waktu emasnya. Penilaian keadaan
korban gawat darurat dan prioritas terapi dilakukan berdasarkaan jenis perlukaan,
stabilitas tanda - tanda vital.

Adapun prioritas ABCDE yaitu :

1. Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spinecontrol)


Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan
membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat
darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan
nafas.
Teknik-teknik mempertahankan airway :
a. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala
pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase
lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan
satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas.
Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke
belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi
bertekanan positif secara intermittena (Alkatri, 2007).
b. Chin lift.

Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian
secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari
tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu
jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara
bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh
menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena
tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau
mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera
spinal.

c. Jaw thrust.

Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula,
jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari
tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu
jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke
atas melewati molar pada maxila (Arifin, 2012).

d. Oropharingeal Airway (OPA).

Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada


pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Kene, davis, 2007).

Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien lurus dengan
tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini
dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak
telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan kanan,
lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan ke dalam
rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180
drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari
tangan menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai
bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan
fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas. Fiksasi pipa oro-faring
dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester
sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012).

e. Nasopharingeal Airway.

Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal


lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih
kecil kemungkinannya merangsang muntah (ATLS, 2004). Teknik yang dapat
dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa
naso-faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari
lubang hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin
dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-
faring dengan cara memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan,
lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga
hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas.

f. Airway definitive.

Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa


nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan
pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara
lain (ATLS, 2004):

 Adanya apnea.
 Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara
yang lain.
 Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah /
vomitus.
 Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway.
 Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8).
 Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah.

Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering


digunakan. Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang
harus diperhatikan pada pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor
yang paling menentukan dalam pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal
adalah pengalaman dokter. Kedua teknik tersebut aman dan efektif apabila
dilakukan dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan
indikasi yang jelas untuk melakukan airway surgical.

Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa
dengan cara (Haffen, Karren, 1992) :

 Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan
dinding dada yang adekuat.
 Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
 Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.

2. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi.

Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam
aliran darah ke seluruh tubuh (Smith, 2007). Airway yang baik tidak dapat menjamin pasien
dapat bernafas dengan baik pula (Dolan, Holt, 2008). Menjamin terbukanya airway
merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen. Apabila pernafasan tidak
adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-face-mask merupakan cara yang
efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari
salah satu petugas dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (ATLS, 2004).
Cara melakukan pemasangan face-mask (Arifin, 2012):Posisikan kepala lurus dengan tubuh.

 Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka
dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran).
 Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut).
 Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari
manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang
dan memfiksasi sungkup muka.
 Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien.
 Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan.
 Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri
memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama).
 Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa).
 Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka,
sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir
sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).

Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya airway, penyebab


lain harus dicari. Penilaian harus dilakukan dengan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi pada toraks.

3. Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrage control) .


Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt, 2008). Oleh
karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni
dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi (ATLS,2004).

- Tingkat kesadaran.
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
- Warna kulit .
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan
tanda hipovolemia.

- Nadi.

Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis


dan a. karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.

Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita dapat
memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren, 1992):

a. Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg sistol.
b. Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol.
c. Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol.
d. Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60 mmHg sistol.

4. Disability, status neurologis.

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis


secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-
tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spina. Cara cepat dalam mengevaluasi status
neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale)
merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat
dilakukan pada saat survey sekunder.

Adapun AVPU adalah :

A : Alert

V : Respon to verbal
P : Respon to pain

U : Unrespon

B. Secondary Survey.
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara
head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah
kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah
mulai membaik.

1. Anamnesis.

Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang


merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan
utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial,
dan sistem. Pengkajian riwayat pasien secara optimalharus diperoleh langsung dari
pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya,usia, dan cacat atau kondisi pasien yang
terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama
kali melihat kejadian. Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari
pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):

- A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,


makanan)
- M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
- P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
- L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode
menstruasi termasuk dalam komponen ini)
- E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Selain itu apat dilakukan pengkajian PQRST saat pasien mengeluhkan nyeri,
adapun pengkajian PQRS adalah :

- P (Provokes/palliates) : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat


nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang
anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat
tidur?
- Q (Quality) : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya? apakah seperti
diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas?
(biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
- R (Radiates) : apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah
nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?  S (Severity) : seberapa parah
nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri dan 10 adalah
nyeri hebat  T (Time) : kapan nyeri itu timbul? Berapa lama nyeri itu
timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul? apakah pernah
merasakan nyeri ini sebelumnya? apakah nyerinya sama dengan nyeri
sebelumnya atau berbeda?

Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-


tanda vital.

2. Pemeriksaan fisik.

a. Inspeksi.

Cara pemeriksaan :

- Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri


- Bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka
- Bandingkan bagian tubuh yang berlawanan (kesimetrisan) dan abnormalitas
b. Palpasi.
Palpasi adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan perabaan dan penekanan
bagian tubuh dengan menggunakan jari atau tangan. Tangan dan jari adalah
intrumen yang sensitif digunakan untuk mengumpulkan data.
c. Perkusi.
- Posisi pasien dapat tidur, duduk, atau berdiri.
- Pastikan pasien dalam keadaan rileks.
- Minta pasien untuk nafas dalam agar meningkatakan relaksasi otot.
- Kuku jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering.
- Lakukan perkusi secara seksama dan sistematis.
- Bandingkan atau perhatikan bunyi yang dihasilkan oleh perkusi. Bunyi
timpani mempunyai intensitas keras, nada tinggi, waktu agak lama dan
kualitas seprti drum (lambung). Bunyi resonan mempunyai intensitas
menengah, nada rendah, waktu lama, kualitas bergema (paru normal). Bunyi
hipersonar mempunyai intensitas amat keras, waktu lebih lama, kuaalitas ledakan
(empisema paru). bunyi pekak mempunyai intensitas lembut sampai menengah,
nada tinggi, waktu agak lama, kualitas seprti petir (hati).

d. Auskultasi.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan suara yang
dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan stetoskop. Hal – hal yang di
dengarkan adalah bunyi jantung, suara nafas, dan bising usus.

a. Tingkat kesadaran

Anda mungkin juga menyukai