Anda di halaman 1dari 61

MODUL I :

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

BAB I
PENDAHULUAN

PENGANTAR
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan terhadap obyek pajak berupa
bumi dan/atau bangunan. Pajak ini merupakan pajak pusat dimana persentase
pembagian hasilnya sebgaian besar dialokasikan ke daerah.
Salah satu alasan mengapa Bumi dan Bangunan harus dikenai pajak adalah
sebagaimana tersebut di dalam memori penjelasan Undang-undang Pajak Bumi dan
Bangunan ini, yang mengatakan bahwa bagi mereka yang memperoleh manfaat dari
bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, karena mendapat sesuatu hak
dari kekuasaan negara, wajar menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang
diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak.

SEJARAH PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


SEBELUM KEMERDEKAAN
 Masa Penjajahan Inggris
Awal abad 19 (tahun 1811 – 1816) mulai dikenal adanya ‘Landrent’ dengan
ketentuan:
- Semua tanah milik Pemerintah
- Rakyat membayar sewa (rent) kepada Pemerintah
- Biaya sewa dibebankan kepada desa, dan besarnya
berkisar antara ¼ s.d ½ hasil bumi

1
 Masa Penjajahan Belanda

Antara tahun 1816 – 1941, adanya landrent yang merupakan penerusan dari
kebijakan yang dilakukan oleh Inggris. Pada periode ini dibuat berbagai peraturan
dalam organisasi landrent dengan ordonansi-ordonansi misalnya ordonansi landrent
tahun 1939. Yang menjadi Objek Pajak adalah tanah milik adat, sehingga pada
waktu itu tanah dibedakan menjadi tanah milik adat dan tanah hak barat sehingga
dikenal adanya Verponding dan Verponding Indonesia.
Sistem pajak yang berlaku adalah:
1. Hasil bersih per tahun
2. Klasifikasi tanah
3. Persentase pajak
4. Dikenakan per bidang tanah

 Masa Penjajahan Jepang


Antara tahun 1941 – 1945
Pada periode ini dikenal adanya pajak yang merupakan penerusan kebijakan
landrent ordonansi tahun 1939.

SETELAH KEMERDEKAAN
Pada periode ini dapat dibedakan menjadi beberapa periode yaitu:
1. Periode 1945 - 1949
Pada periode ini dikenal adanya pajak bumi yang merupakan penerusan
kebijakan pajak sebelumnya.
2. Periode 1949 - 1951
Pada periode ini wilayah RI dihapus dan wilayah federal diteruskan.
3. Periode 1951 - 1959
Pada periode ini ada mosi komunis, dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun
1951 dihapus mengenai Pajak Bumi dan diganti dengan Pajak Penghasilan Atas
Pertanian, jawatannya tetap dan tugas administrasi tanah dilakukan oleh Jawatan
Pendaftaran dan Pajak Penghasilan Milik Indonesia.
4. Periode 1959 - 1994
Pada periode ini maka kita kembali ke Undang-undang Dasar 1945. Dengan
Undang-undang Nomor 11 Pro Tahun 1959 tanggal 26 September 1959 juncto
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 Pajak Bumi dihidupkan lagi dengan nama
Pajak Hasil Bumi (PHB). Pada tahun 1960 lahirlah Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), pada periode ini tidak ada
dualisme hak tanah, semua tanah hanya tunduk/diatur dalam satu hukum. Pada
tahun 1965 nama PHB diganti menjadi IPEDA (Iuran Pendapatan Daerah)

2
Berdasarkan SK Presidium Kabinet Ampera Nomor 87/U/Kep/4/67 tanggal 10
April 1967 Verponding Indonesia dibekukan pemungutannya dan dialihkan ke
IPEDA.
Setelah tahun 1967 IPEDA berkembang menjadi 5 sektor, yakni:
1. Pedesaan
2. Perkotaan
3. Perkebunan
4. Pertambangan
5. Kehutanan
Dengan demikian maka masalah yang timbul berikutnya adalah:
a. Sistem pajak kebendaan tidak sesuai dengan tingkat kehidupan sosial
ekonomi masyarakat
b. Satu bidang tanah/bangunan dikenakan berbagai jenis pajak, terjadi
pemungutan pajak yang tumpang tindih dan tidak jelas
c. Beban ganda/memperberat beban masyarakat
d. Pelaksanaannya tidak efektif
Berdasarkan semua alasan tersebut di atas, maka pada tahun 1985 lahirlah
undang-undang mengenai Pajak Bumi dan Bangunan, yakni Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1985 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1986. Berdasarkan
undang-undang tersebut diatas, maka hanya ada satu-satunya pajak yang
dikenakan terhadap bumi dan bangunan.
Oleh karena itu, Pajak Bumi dan Bangunan sebenarnya disusun sebagai
pengganti:
 Ordonansi Pajak Rumah Tangga Tahun 1906
 Ordonansi Verponding Indonesia 1923
 Ordonansi Verponding 1928
 Ordonansi Pajak Kekayaan 1932
 Ordonansi Pajak Jalan 1942
 Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum
Pajak Daerah. Pasal 14 huruf j, k, dan l
 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1959
tentang Pajak Hasil Bumi
5. Periode 1994 – sekarang
Dengan tujuan untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan, serta
menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju kemandirian bangsa dalam
pembiayaan pembangunan, pemerintah menyempurnakan Undang-undang No. 12
Tahun 1985 dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1994. Dengan ketentuan
Undang-undang ini maka Pajak Bumi dan Bangunan merupakan satu-satunya
pajak yang dikenakan tehadap bumi dan bangunan.

3
OBJEK DAN SUBJEK PBB
OBJEK PAJAK
Yang menjadi Objek Pajak adalah bumi dan atau bangunan.
Bumi
adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman, serta laut
wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Bangunan
adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah atau
perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan yang dapat dikenakan pajak adalah:
 Bangunan tempat tinggal (rumah)
 Gedung kantor
 Hotel
 Pabrik
 Emplasemen dan lain-lain.
Semua ini merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut diatas,
seperti:
 Jalan lingkungan pabrik dan emplasemennya
 Hotel
 Kolam renang
 Tempat penampungan/kilang minyak, air, dan gas, juga pipa
minyak, fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Dengan definisi di atas maka kita dapat membuat kesimpulan bahwa bangunan yang
menjadi obyek PBB ini adalah yang bersifat permanen atau tetap, sehingga dengan
demikian bangunan yang sifatnya non permanen atau semi permanen tidak menjadi
obyek PBB.

Objek Pajak yang Tidak Dikenakan PBB


Namun demikian adapula jenis obyek PBB yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan
Bangunan. Yang tidak termasuk obyek PBB adalah:
1. Tanah atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani
kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.

1. Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan


adalah bahwa obyek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan
nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui
antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan

4
yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan
kebudayaan nasional tersebut. Contoh : pesantren atau sejenis dengan itu;
madrasah; tanah wakaf; rumah sakit umum.
2. Tanah atau bangunan yang digunakan untuk kuburan umum, peninggalan
purbakala, atau yang sejenis dengan itu, seperti museum.
3. Tanah atau bangunan yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan
wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah
negara yang belum dibebani suatu hak. Termasuk pengertian ini adalah hutan
wisata milik Negara sesuai Pasal 2 Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kehutanan Negara sesuai Pasal 2 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan.
4. Tanah atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik atau
konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. Artinya bila tanah/gedung
perwakilan RI di negara tertentu tidak dikenai PBB, hal yang sama kita perlakukan
terhadap tanah/gedung negara tersebut yang ada di negara kita.
5. Tanah atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan organisasi internasional
yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Sedangkan obyek pajak yang dimiliki/dikuasai/digunakan oleh negara baik melalui
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan, dikecualikan pengenaan pajaknya dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan bumi dan/atau bangunan milik perorangan dan/atau badan yang
digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang
diadakan.

SUBJEK PAJAK
Yang menjadi subjek pajak adalah orang/badan yang:
 Mempunyai hak atas bumi dan atau
 Memperoleh manfaat atas bumi dan atau
 Memiliki atau menguasai bangunan dan atau
 Memperoleh manfaat atas bangunan
Pada umumnya setiap orang atau badan yag secara nyata mempunyai salah satu dari
empat hal di atas dapat dikenai kewajiban membayar PBB, atau dapat disebut sebagai
wajib pajak. Namun dalam hal atas suatu obyek pajak belum jelas diketahui wajib
pajaknya, atau terdapat lebih dari satu subyek pajak, maka Dirjen Pajak dapat
menetapkan subyek pajak yang menjadi wajib pajak apabila tidak ada perjanjian
mengenai masalah tersebut. Contoh :

5
1. Subjek pajak bernama A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi
dan/atau bangunan milik orang lain bernama B bukan karena sesuatu hak
berdasarkan undang-undang atau bukan karena perjanjian maka dalam hal
demikian A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan
tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak .
2. Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka
orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan objek pajak tersebut
ditetapkan sebagai wajib pajak.
3. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada diluar wilayah letak objek pajak,
sedang untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan,
maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak.

Tanda pembayaran/pelunasan pajak, Surat Tagihan Pajak maupun penunjukan sebagai


wajib pajak oleh Direktur Jenderal Pajak dan sebagainya hanyalah semata-mata untuk
keperluan pajak dan bukanlah merupakan bukti pemilikan hak.
Wajib Pajak PBB adalah subjek pajak yang berkewajiban membayar PBB.

TAHUN, SAAT, DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK TERUTANG

Sehubungan dengan pelaksanaan PBB, maka Wajib Pajak perlu memperhatikan tahun
pajak, saat, dan tempat yang menentukan pajak terutang atau yang harus dibayar.
 Tahun Pajak pada PBB adalah jangka waktu satu tahun takwim. Tahun
takwim adalah masa dari tanggal 1 Januari sampai 31 Desember.
 Saat menentukan pajak terutang adalah menurut keadaan objek pada
tanggal 1 Januari. Dengan demikian segala mutasi atau perubahan atas objek pajak
yang terjadi setelah tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun berjalan
akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
 Tempat pajak terutang adalah:
i. Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta
ii. Untuk daerah lainnya, di wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II atau Kotamadya Daerah Tingkat II yang meliputi
letak objek pajak.

6
BAB II
SISTEM MANAJEMEN INFORMASI OBYEK PAJAK
(SISMIOP)

Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) adalah sistem yang terintegrasi
untuk mengolah informasi/data obyek dan subyek PBB dengan bantuan komputer.
Pelaksanaan SISMIOP Pajak Bumi dan Bangunan dilakukan melalui kegiatan :
1. Pengumpulan data
2. Pemberian Identitas Obyek Pajak dengan Nomor Obyek Pajak
3. Perekaman data
4. Pencetakan hasil keluaran (SPPT, STTS, dsb)
5. Pemantauan penerimaan dan pelaksanaan penagihan PBB
6. Pelayanan kepada wajib pajak melalui Pelayanan Satu Tempat (PST)
Dari kegiatan-kegiatan yang menunjang dari SISMIOP ini, yang perlu diketahui secara
mendalam oleh wajib pajak adalah kegiatan yang pertama yaitu pengumpulan data
yang secara langsung maupun tidak akan beririsan dengan wajib pajak.

UNSUR-UNSUR POKOK SISMIOP


1. NOMOR OBJEK PAJAK (NOP)
1) Pengertian NOP
NOP adalah nomor identifikasi Objek Pajak (termasuk Objek Pajak yang
dikecualikan sebagaimana Pasal 3 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985) yang
mempunyai karakteristik unik, permanen, standar dengan satuan blok dalam
satu wilayah administrasi pemerintahan desa/kelurahan yang berlaku secara
nasional.

2) Susunan NOP terdiri dari 18 digit

 Kode Dati I (2 digit)


 Kode Dati II (2 digit)
 Kode Kecamatan (3 digit)
 Kode Desa/Kelurahan (3 digit)
 Nomor Blok (3 digit)
 Nomor Urut Objek (4 digit)

7
 Kode Khusus (1 digit)

3) Maksud dan Tujuan


 Menciptakan identitas yang standar bagi semua Objek PBB secara nasional
 Menertibkan administrasi Objek PBB dan menyederhanakan administrasi
pembukuan
 Membentuk Master File PBB yang saling berkaitan, dengan kunci dasar NOP
(Primary Key)

4) Spesifikasi NOP
a. Unik
Artinya satu Objek PBB memperoleh satu NOP dan berbeda dengan NOP
untuk Objek PBB lainnya.
b. Tetap/Permanen
Artinya NOP yang diberikan kepada satu Objek PBB tidak berubah (secara
tetap) dalam jangka waktu yang relatif lama.
c. Standar
Artinya hanya satu sistem pemberian NOP yang berlaku secara nasional.

5) Kegunaan NOP
 Memudahkan mengetahui letak/lokasi Objek Pajak.
 Memudahkan pemantauan penyampaian/pengembalian SPOP,
sehingga dapat diketahui objek yang sudah/belum terdaftar.
 Sebagai alat untuk mengintegrasikan data atributik dan grafis (peta)
PBB.
 Mengurangi kemungkinan adanya ketetapan ganda.
 Memudahkan penyampaian SPPT, sehingga dapat diterima Wajib
Pajak tepat waktu.
 Dengan NOP, Wajib Pajak akan mendapatkan identitas atas setiap
objek yang dimiliki/dikuasainya.

2. BLOK
Blok adalah zona geografis yang terdiri dari sekelompok objek pajak yang dibatasi
oleh batas alam dan atau buatan manusia yang bersifat permanen/tetap, seperti
jalan, selokan, sungai, dan sebagainya untuk kepentingan pengenaan PBB dalam
satu wilayah administrasi pemerintahan desa/kelurahan.
Penentuan batas blok tidak terikat RT/RW, tetapi tidak diperkenankan melampaui
batas desa/kelurahan. Blok ditetapkan menjadi suatu areal pengelompokan bidang
tanah terkecil untuk digunakan sebagai penunjuk lokasi objek pajak yang unik dan
permanen. Di dalam satu blok dirancang untuk dapat menampung kurang lebih 200
objek pajak atau luas sekitar 15 hektar. Kecuali dalam hal yang luar biasa, seperti
perubahan wilayah administrasi, blok tidak boleh diubah karena blok berkaitan
dengan semua informasi yang ada dalam basis data.

8
3. ZONA NILAI TANAH (ZNT)
ZNT adalah zona geografis yang terdiri dari sekelompok objek pajak yang
mempunyai Nilai Indikasi Rata-rata (NIR) sama dan dibatasi oleh batas
penguasaan/pemilikan objek pajak dalam satu wilayah administrasi pemerintahan
desa/kelurahan.
NIR adalah nilai pasar wajar rata-rata yang dapat mewakili nilai tanah dalam suatu
zona nilai tanah.
Penentuan suatu ZNT didasarkan kepada tersedianya data pendukung (data pasar)
yang dianggap layak dapat mewakili nilai tanah atas objek pajak yang ada pada
ZNT yang bersangkutan. Karena pada umumnya batas ZNT bersifat imajiner, maka
penentuan batas ZNT mengacu kepada batas penguasaan/pemilikan atas bidang
objek pajak. Penentuan batas ZNT tidak terkait kepada batas blok dan batas wilayah
administrasi pemerintahan dalam satu desa/kelurahan.

4. DAFTAR BIAYA KOMPONEN BANGUNAN (DBKB)


DBKB adalah daftar yang dibuat untuk memudahkan perhitungan nilai bangunan
berdasarkan pendekatan biaya yang terdiri dari biaya komponen utama dan atau
biaya komponen material bangunan dan biaya komponen fasilitas bangunan.
Nilai Jual Objek Pajak Bangunan dihitung berdasarkan biaya pembuatan baru
untuk bangunan tersebut dikurangi dengan penyusutan.

5. PROGRAM KOMPUTER
Program Komputer adalah aplikasi komputer yang dibangun untuk dapat
mengolah dan menyajikan basis data SISMIOP yang telah tersimpan dalam format
digital.
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan untuk lebih meningkatkan
kinerja dan untuk mencapai kemajuan yang lebih baik dalam mengolah basis data,
maka aplikasi SISMIOP sejak tahun 1997 telah dimulai program pengembangan
aplikasi SISMIOP dalam perangkat lunak basis data Oracle.

PENDAFTARAN
1. Dengan sistem self assesment yang diterapkan pada pajak pusat di negara kita,
maka PBB pun mengenal sistem ini terutama dalam hal Pendaftaran objek Pajak
Bumi dan Bangunan. Di mana pendaftaran ini dilakukan sendiri oleh subjek Pajak
dengan cara mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Sebelum dikenal
kewajiban PBB atas suatu objek, terlebih dahulu harus ditentukan siapa Wajib Pajak
atau subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak. Subjek Pajak PBB
adalah mereka (orang atau badan) yang:
1) Mempunyai hak atas bumi/tanah, dan atau

9
2) Memperoleh manfaat atas bangunan, dan atau
3) Memiliki, menguasai atas bangunan, dan atau
4) Memperoleh manfaat atas bangunan.
Orang atau Badan inilah yang harus mendaftarkan diri sebagai subjek pajak atau
Wajib Pajak. Pendaftaran dilakukan di Kantor-kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan, yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan yang
dimiliki, dikuasai atau dimanfaatkan oleh orang atau badan tersebut dengan
menggunakan suatu formulir yang telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
2. Kewajiban Subjek Pajak pada Pelaksanaan Pendaftaran
1) Mengambil formulir SPOP yang disediakan dan dapat diperoleh dengan
cuma-cuma di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau di tempat-
tempat lain yang ditunjuk
SPOP adalah sarana atau alat untuk mendaftarkan subjek pajak atau objek
pajak.
Hal ini harus dilakukan oleh wajib pajak apabila :
 obyek pajaknya belum terdaftar
 obyek pajak sudah terdaftar tetapi tidak lengkap atau tidak sesuai dengan
kenyataan
 terjadi mutasi obyek pajak, seperti jual-beli, hibah, waris dan lain-lain
 obyek pajak mengalami perubahan peruntukkan atau perubahan Nilai Jual
Obyek Pajak, misalnya dari tanah kosong menjadi pemukiman
dilakukan pendataan ulang secara menyeluruh disatu wilayah administrasi
kelurahan atau desa.
2) Mengisi formulir SPOP
Mengisi SPOP dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani dan
disampaikan ke Kantor Pelayanan PBB yang wilayah kerjanya meliputi letak
objek pajak, bila perlu dilengkapi dengan data pendukung, dengan jelas, benar
dan lengkap yaitu:
1. Jelas, maksudnya adalah bahwa penulisan data yang diminta dalam
SPOP harus sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir
yang dapat merugikan negara atau Wajib Pajak sendiri.
2. Benar, artinya data yang menyangkut luas tanah dan atau bangunan,
tahun direnovasi, letak tanah dan atau denah bangunan-bangunan, serta
peruntukkan dan penggunaannya, yang dilaporkan/dituliskan dalam SPOP
harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
3. Lengkap, artinya bahwa semua kolom dalam SPOP, baik yang
menyangkut subjek pajak/Wajib Pajak maupun data tanah dan atau
bangunan harus diisi sesuai dengan keadaan sebenarnya. Kemudian SPOP

10
tersebut harus diberi tanggal pengisian SPOP dan ditandatangani oleh
Wajib Pajak. Apabila seorang Wajib Pajak karena sesuatu hal menyerahkan
pengisian SPOP-nya kepada orang dimaksud dengan membuatkan surat
kuasa diatas meterai Rp 6.000,-
4. Tepat Waktu, artinya SPOP yang sudah diisi oleh Wajib Pajak dengan
jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani harus dikembalikan ke
Kantor Pelayanan PBB tersebut diatas selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak. Pengembalian
SPOP oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan PBB dapat dilaksanakan
dengan cara:
 Menyerahkan langsung ke Kantor Pelayanan PBB, atau
 Mengirimkan melalui pos tercatat.
3) Dalam hal yang menjadi objek pajak adalah badan hukum, maka yang
menandatangani SPOP adalah pengurus/direksi.
4) Dalam hal SPOP ditandatangani oleh bukan subjek pajak yang bersangkutan,
maka harus dilampiri Surat Kuasa dari Subjek Pajak.
5) Mengembalikan formulir SPOP yang sudah diisi ke Kantor Pelayanan PBB
setempat, baik langsung ataupun melalui pos tercatat, selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya SPOP.

PENDATAAN
Pendataan objek dan subjek PBB dilaksanakan oleh KP PBB atau pihak lain yang
ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak, dan selalu diikuti kegiatan penilaian.
Pendataan dilakukan dengan menggunakan formulir SPOP dan dilakukan sekurang-
kurangnya untuk satu wilayah administrasi desa/kelurahan dengan cara sebagai
berikut:
Pendataan objek dan subjek Pajak Bumi dan Bangunan dilakukan oleh Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan menuangkan hasilnya dalam formulir
SPOP. Pendataan objek dan subjek Pajak Bumi dan Bangunan dapat dilakukan dengan
alternatif :
 Penyampaian dan pemantauan pengembalian SPOP
Kegiatan ini hanya dapt dilakukan pada daerah yang pada umumnya
merupakan belum ada petanya, daerah terpencil atau potensi PBBnya relatif
kecil, dapat dilakukan secara perorangan maupun kolektif Kegiatan ini
dilaksanakan oleh petugas PBB bekerja sama dengan aparat Pemerintah Daerah
dan atau instansi lainnya dengan cara menyampaikan SPOP kepada para Wajib

11
Pajak, serta memantau dan menerima kembali SPOP yang telah diisi dan
ditandatangani oleh para Wajib Pajak untuk digunakan sebagai bahan
penetapan besarnya pajak terutang sebagai ketentuan yang berlaku.
 Identifikasi objek pajak
Metode ini digunakan pada daerah atau wilayah yang sudah mempunyai peta
garis/foto yang dapat menentukan posisi obyek pajak tetapi tidak mempunyai
data administrasi pembukuan PBB.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh petugas PBB bersama aparat Pemerintah Daerah
dan atau instansi lainnya atau dilaksanakan oleh pihak ketiga
(disubkontrakkan) dengan cara mencocokkan informasi grafis yang ada pada
Peta Kerja dengan keadaan Objek PBB di lapangan.
 Verifikasi data objek pajak
Metode ini digunakan pada daerah atau wilayah yang sudah mempunyai peta
garis/foto yang dapat menentukan posisi obyek pajak dan mempunyai data
administrasi pembukuan PBB hasil pendataan tiga tahun terakhir
Kegiatan ini dilaksanakan oleh petugas PBB bekerja sama dengan aparat
Pemerintah Daerah dan atau instansi lainnya dengan cara mencocokkan data
Objek dan Subjek PBB yang sudah terdaftar pada administrasi PBB dengan
keadaan Objek dan Subjek PBB yang sebenarnya di lapangan, untuk
dipergunakan sebagai bahan, penetapan besarnya pajak terutang.
Dalam kegiatan verifikasi data Objek dan Subjek PBB kepada Wajib Pajak
diberikan SPOP Perorangan bila ternyata data grafis yang tergambar dalam Peta
Desa, Peta Garis, maupun Peta Foto tidak banyak mengalami perubahan.
Bilamana data grafis seperti Batas Desa/Kelurahan, Batas Persil, atau Bidang
Objek PBB, maka dilakukan pengukuran teristris dan penggambaran kembali
pada bagian peta tersebut dengan menggunakan Buku Identifikasi Objek dan
Subjek PBB.
 Pengukuran bidang objek pajak
Alternatif ini dapat dilaksanakan pada wilayah yang mempunyai sket peta
desa/kelurahan (baik dari BPS maupun instansi lain) dan/atau peta garis/foto
tetapi belum dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif obyek pajak.

P E N I L A I A N

1. PENGERTIAN PENILAIAN

12
Penilaian Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah kegiatan Direktorat Jenderal
Pajak untuk menentukan NJOP yang akan dijadikan dasar pengenaan pajak,
dengan menggunakan pendekatan data pasar, pendekatan biaya, dan pendekatan
kapitalisasi pendapatan.
Yang dimaksud dengan penilai obyek PBB adalah adalah kegiatan yang dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk menentukan Nilai Jula Obyek Pajak sebagai
dasar pengenaan pajak, dengan pendekatan data pasar, biaya, dan kapitalisasi
pendapatan.
Penilaian objek Pajak Bumi dan Bangunan dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan baik secara massaI maupun secara individual dengan
menggunakan pendekatan penilaian yang telah ditentukan.

Hasil penilaian objek pajak digunakan sebagai dasar penentuan Nilai JuaI Objek
Pajak (NJOP). Khusus hasil penilaian objek bumi, sebelum ditetapkan oleh Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak perlu dikonfirmasikan terlebih dahulu
kepada Pemerintah Daerah untuk mendapatkan pertimbangan.

2. JENIS-JENIS OBJEK PAJAK


1) Objek Pajak Umum
Objek Pajak Umum adalah objek pajak yang memiliki konstruksi umum dengan
keluasan tanah berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Objek pajak umum terdiri
atas:
a. Objek Pajak Standar
Objek Pajak Standar adalah objek-objek pajak yang memenuhi kriteria-
kriteria sebagai berikut:
Tanah :  10.000 m2
Banguan : Jumlah lantai  4
Luas bangunan :  1.000 m2

b. Objek Pajak Non Standar


Objek Pajak Non Standar adalah objek-objek pajak yang memenuhi salah satu
dari kriteria-kriteria sebagai berikut:
Tanah :  10.000 m2
Bangunan : Jumlah lantai  4
Luas bangunan :  1.000 m2

2) Objek Pajak Khusus


Objek Pajak Khusus adalah objek pajak yang memiliki jenis konstruksi khusus
baik ditinjau dari segi bentuk, material pembentuk maupun keberadaannya

13
memiliki arti yang khusus seperti: lapangan golf, pelabuhan laut, pelabuhan
udara, jalan tol, pompa bensin dan lain-lain.

3. PENDEKATAN PENILAIAN
Pendekatan Penilaian ada tiga yaitu:
Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach)
Pendekatan data pasar dilakukan dengan cara membandingkan objek pajak
yang akan dinilai dengan objek pajak lain yang sejenis yang nilai jualnya sudah
diketahui dengan melakukan penyesuaian yang dipandang perlu. Persyaratan
utama yang harus dipenuhi dalam penerapan pendekatan ini adalah tersedianya
data jual-beli atau harga sewa yang wajar. Pendekatan data pasar terutama
diterapkan untuk penentuan NJOP bumi, dan untuk objek tertentu dapat juga
dipergunakan untuk penentuan NJOP bangunan.
Pendekatan Biaya (Cost Approach)
Pendekatan biaya digunakan untuk penilaian bangunan yaitu dengan cara
memperhitungkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membuat bangunan
baru objek yang dinilai, dikurangi penyusutan. Perkiraan biaya dilakukan
dengan cara menghitung biaya setiap komponen utama bangunan, material dan
fasilitas lainnya.
Pendekatan Kapitalisasi Pendapatan (Income Approach)
Pendekatan Kapitalisasi Pendapatan dilakukan dengan cara menghitung atau
memproyeksikan seluruh pendapatan sewa/penjualan dalam satu tahun dari
objek pajak yang dinilai dikurangi dengan kekosongan, biaya operasi dan atau
hak pengusaha. Selanjutnya dikapitalisasikan dengan suatu tingkat kapitalisasi
tertentu.
Pendekatan ini pada umumnya diterapkan untuk objek-objek komersial, yang
dibangun untuk menghasilkan pendapatan seperti hotel, apartemen, gedung
perkantoran yang disewakan, pelabuhan udara, pelabuhan laut, tempat rekreasi,
dan lain sebagainya. Dalam penentuan NJOP, penilaian berdasarkan
pendekatan kapitalisasi pendapatan dipakai juga sebagai alat penguji terhadap
nilai yang dihasilkan dengan pendekatan lainnya.

4. CARA PENILAIAN
Mengingat jumlah objek pajak yang sangat banyak dan menyebar di seluruh
wilayah Indonesia, sedangkan jumlah tenaga penilai dan waktu yang tersedia
sangat terbatas, maka pelaksanaan penilaian dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1) Penilaian Massal
Dalam sistem ini NJOP bumi dihitung berdasarkan NIR yang terdapat pada
setiap ZNT, sedangkan NJOP bangunan dihitung berdasarkan DBKB.

14
Perhitungan penilaian massal dilakukan terhadap objek pajak konstruksi umum
dengan menggunakan program komputer (Computer Assisted Valuation/CAV).
2) Penilaian Individu
Penilaian individu diterapkan untuk objek pajak yang bernilai tinggi (tertentu),
baik objek pajak khusus ataupun objek pajak umum yang telah dinilai dengan
CAV, namun hasilnya tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya karena
keterbatasan aplikasi program. Proses penilaiannya adalah dengan
memperhitungkan seluruh karakteristik dari objek pajak tersebut.

P E M E L I H A R A A N B A S I S D A T A

Pemeliharaan basis data SISMIOP dilakukan dengan cara:


 Pasif, yaitu kegiatan pemeliharaan basis data yang dilakukan oleh petugas
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan laporan yang diterima
dari wajib pajak dan atau pejabat/instansi terkait pelaksanaannya sesuai
prosedur Pelayanan Satu Tempat (PST).
 Aktif, yaitu kegiatan pemeliharaan basis data yang dilakukan oleh Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan cara mencocokkan dan
menyesuaikan data objek dan subjek pajak yang ada dengan keadaan
sebenarnya di lapangan atau mencocokkan dan menyesuaikan nilai jual objek
pajak dengan rata-rata nilai pasar yang terjadi di lapangan, pelaksanaannya
sesuai dengan prosedur pembentukan basis data.
Dalam melakukan kegiatan pendaftaran, pendataan, dan penilaian objek dan subjek
Pajak Bumi dan Bangunan dalam rangka pembentukan dan atau pemeliharaan basis data
SISMIOP, KP PBB dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah, Kantor Pertanahan,
dan/atau instansi lain yang terkait, dan dapat pula dilakukan oleh pihak ketiga yang
memenuhi persyaratan teknis yang ditentukan.

15
BAB III
MENGHITUNG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG


Sebelum kita mulai melakukan perhitungan PBB terutang, sehubungan dengan
pemungutan PBB, maka perlu diperhatikan tahun pajak, saat dan tempat terutangnya
PBB.
 Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim, yaitu dari 1 Januari
sampai dengan 31 Desember.
 Saat yang menentukan pajak yang terhutang adalah menurut keadaan obyek
pajak pada tanggal 1 Januari (awal tahun pajak). Karenanya setiap perubahan yang
terjadi atas obyek pajak antara tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember akan
berdampak pada pengenaan pajak tahun berikutnya.
Contoh :
a. Obyek pajak pada tanggal 1 Januari 2004 berupa tanah dan bangunan. Pada
tanggal 10 Januari 2004 bangunannya terbakar, maka pajak yang terhutang tetap
berdasarkan keadaan obyek pajak pada tanggal 1 Januari, yaitu keadaan
sebelum bangunan tersebut terbakar;
b. Obyek pajak pada tanggal 1 Januari 2004 berupa sebidang tanah tanpa
bangunan di atasnya. Pada tanggal 25 Agustus 2004 dilakukan pendataan,
ternyata di atas tanah tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak yang
terhutang untuk tahun 2004 tetap dikenakan pada tanahnya saja. Sedangkan
bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 2005.
 Tempat pajak yang terhutang :
a. untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
b. untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau Kotamadya
Daerah Tingkat II;
yang meliputi letak obyek pajak.

DASAR PENGENAAN PBB

Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)

16
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), yang besarnya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan perkembangan daerahnya, bukan
sebagaimana persepsi masyarakat yang mengidentikkan NJOP ini dengan nilai
jual/transaksi wajar atau harga pasar. Pasal 1 Undang-undang Pajak Bumi dan
Bangunan dengan tegas memberikan batasan pengertian NJOP ini yaitu:
“Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang
terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak
ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan
baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti”

Besaran NJOP
Pada dasarnya penetapan nilai jual obyek pajak adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun
demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan
mengakibatkan kenaikan nilai jual obyek pajak cukup besar, maka penetapan nilai jual
ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai ini, Menteri Keuangan mendengar
pertimbangan Gubernur serta memperhatikan asas self assessment.
Berdasar Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 16/PJ.6/1998 yang berlaku sejak
tahun pajak 1999, ketentuan NJOP diatur sebagai berikut:

1. NJOP sektor Pedesaan/Perkotaan


Sektor Pedesaan dan Perkotaan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang
meliputi kawasan pertanian, perumahan, perkantoran, pertokoan, industri serta
objek khusus perkotaan. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak Sektor
Pedesaan dan Perkotaan ditentukan sebagai berikut :
a. Objek Pajak berupa tanah adalah sebesar nilai konversi setiap Zona Nilai Tanah
(ZNT) kedalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual permukaan
bumi (tanah) sebagaimana diatur pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
523/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998.
b. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan
baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan
metode penilaian kedalam klasifikasi, penggolongan, dan ketentuan nilai jual
bangunan sebagaimana diatur pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
523/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998.

17
2. NJOP sektor Perkebunan
Sektor Perkebunan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal
pengusahaan benih, penanaman baru, perluasan, perubahan jenis tanaman,
penganekaragaman jenis tanaman termasuk sarana penunjangnya. Besarnya Nilai
Jual Objek Pajak atas Objek Pajak Sektor Perkebunan ditentukan sebagai berikut :
a. Areal kebun adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah
ditambah dengan Jumlah Investasi Tanaman Perkebunan sesuai dengan Standar
Investasi menurut umur tanaman.
b. Areal emplasemen dan areal lainnya dalam kawasan perkebunan, adalah
sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian
seperlunya.
c. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya
pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik
berdasarkan metode penilaian kedalam klasifikasi, penggolongan, dan
ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur pada Keputusan Menteri
Keuangan Nomor : 523/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998.

3. NJOP sektor Kehutanan


Sektor Kehutanan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal
pengusahaan hutan dan budidaya hutan. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas
Sektor Kehutanan ditentukan sebagai berikut :
a. Areal hutan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah
ditambah dengan Jumlah Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri
menurut umur tanaman.
b. Areal emplasemen dan areal lainnya dalam Kawasan Hutan Tanaman
Industri, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan
penyesuaian seperlunya.
c. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya
pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik
berdasarkan metode penilaian kedalam klasifikasi, penggolongan, dan
ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur pada Keputusan Menteri
Keuangan Nomor : 523/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998.

4. NJOP sektor Pertambangan

18
Sektor Pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang
meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua
golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan
galian lainnya. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak
Sektor Pertambangan ditentukan sebagai berikut :
No Pertambangan Areal Produktif Areal Belum Produktif Bangunan
9,5 x hasil penjualan minyak nilai konversi
1 Migas dan gas dalam satu tahun biaya
sebelum tahun pajak berjalan. Areal belum produktif, pembangunan
9,5 x hasil penjualan energi tidak produktif serta baru setiap jenis
Energi Panas panas bumi/listrik dalam emplasemen dan areal bangunan setelah
2
Bumi satu tahun sebelum tahun lainnya didalam atau dikurangi
pajak berjalan diluar wilayah kuasa penyusutan fisik
angka kapitalisasi tertentu pertambangan, adalah berdasarkan
Non Migas dikalikan hasil bersih galian sebesar Nilai Jual Objek metode penilaian
3
Galian C tambang dalam satu tahun Pajak berupa tanah sebagaimana
sebelum tahun pajak berjalan. sekitarnya dengan diatur pada
penyesuaian Keputusan
9,5 x hasil bersih galian
seperlunya Menteri Keuangan
4 Non 1 - 4 tambang dalam satu tahun
Nomor :
sebelum tahun pajak berjalan
523/KMK.04/1998

5. NJOP Usaha Bidang Perikanan


Usaha bidang perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum yang
memiliki ijin usaha untuk menangkap atau membudidayakan sumberdaya ikan,
termasuk semua jenis ikan dan biota perairan lainnya serta kegiatan menyimpan,
mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak usaha bidang perikanan dibagi
menjadi dua kategori, yaitu:
Perikanan laut:
a. Areal penangkapan ikan adalah sebesar 10 x hasil bersih ikan dalam satu
tahun sebelum tahun pajak berjalan.
b. Areal pembudidayaan ikan adalah sebesar 8 x hasil bersih ikan dalam satu
tahun sebelum tahun pajak berjalan.
c. Areal emplasemen dan areal lainnya adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak
berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.

19
d. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya
pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik
berdasarkan metode penilaian kedalam klasifikasi, penggolongan, dan
ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur pada Keputusan Menteri
Keuangan Nomor : 523/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998.
Perikanan darat:
a. Areal pembudidayaan ikan darat adalah sebesar nilai jual Objek Pajak
berupa tanah disekitarnya dengan penyesuaian seperlunya ditambah standar
biaya investasi tambak menurut jenisnya.
b. Areal emplasemen dan areal lainnya adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak
berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
c. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya
pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik
berdasarkan metode penilaian kedalam klasifikasi, penggolongan, dan
ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur pada Keputusan Menteri
Keuangan Nomor : 523/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998.

6. NJOP Obyek Pajak yang bersifat Khusus


Objek Pajak khusus adalah objek pajak yang memiliki jenis kontruksi khusus baik di
ditinjau dari segi bentuk, material pembentuk maupun keberadaannya memiliki arti
yang khusus seperti : Jalan Tol; Pelabuhan laut/sungai/udara; Lapangan Golf;
Industri Semen/Pupuk; PLTA, PLTU dan PLTG; Pertambangan; Tempat Rekreasi;
dan lain-lain yang sejenis.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak yang bersifat khusus ditentukan
sebagai berikut :
a. Areal tanah adalah sebesar nilai jual Objek Pajak berupa tanah disekitarnya
dengan penyesuaian seperlunya.
b. Areal perairan untuk kepentingan pelabuhan, industri, lapangan golf serta
tempat rekreasi adalah sebesar nilai jual yang ditentukan berdasarkan korelasi
garis lurus kesamping dengan klasifikasi nilai jual Objek Pajak permukaan bumi
berupa tanah sekitarnya.
c. Areal perairan untuk kepentingan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)
adalah sebesar 10 x (10% dari Hasil bersih dalam satu tahun sebelum tahun
pajak berjalan).

20
d. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya
pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik
berdasarkan metode penilaian kedalam klasifikasi, penggolongan, dan
ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur pada Keputusan Menteri
Keuangan Nomor : 523/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak yang bersifat khusus atau objek
lainnya dapat ditentukan berdasarkan penilaian individual yang dilaksanakan oleh
pejabat fungsional penilai.

NILAI JUAL OBYEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK (NJOPTKP)

Dalam menghitung dasar pengenaan pajak ini, Menteri Keuangan berwenang


memberikan batas Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dan mengubah
besarannya dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta
perkembangan harga umum objek pajak setiap tahunnya.
Ciri dari NJOPTKP ini adalah:
1. Besarnya bisa berubah-ubah sesuai perkembangan, untuk NJOPTKP yang
berlaku sampai sekarang berdasar Keputusan Menteri Keuangan No.
201/KMK.04/2000 adalah sebesar setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah) dan bersifat regional
2. NJOPTKP diberikan untuk setiap wajib pajak, baik atas bumi dan/atau
bangunan.
3. Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, yang diberikan
NJOPTKP hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya terbesar, sedangkan Objek
Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.
Contoh:
1. CV. Amin & Andi. mempunyai Objek Pajak berupa bumi
dengan Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp. 10.000.000,00, sedangkan Nilai Jual Objek
Pajak Tidak Kena Pajak Rp. 12.000.000,00. Karena Nilai Jual Objek Pajak berada
dibawah Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak, maka Objek Pajak tersebut tidak
dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
2. Ny. Mahmudah mempunyai dua objek Pajak berupa bumi
dan/atau bangunan pada satu wilayah dengan nilai sebagai berikut :
NJOP
Obyek Total NJOP Keterangan
Bumi (Tanah) Bangunan

21
I 6.000.000 4.000.000 10.000.000
II 11.000.000 - 11.000.000 Lebih tinggi
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak Obyek II:
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp 11.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 12.000.000,00
Karena Nilai Jual Objek Pajak berada dibawah Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena
Pajak, maka Objek Pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak Obyek I:
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp 6.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp 4.000.000,00 (+)
- Nilai Jual Objek Pajak (dasar pengenaan) Rp 10.000.000,00
3. Teuku Syafrizal mempunyai dua Objek Pajak berupa
bumi dan bangunan masing-masing di Desa A dan di Desa B dengan nilai sebagai
berikut :
NJOP
Lokasi Total NJOP Keterangan
Bumi (Tanah) Bangunan
Desa A 18.000.000 14.000.000 32.000.000 Lebih tinggi
Desa B 15.000.000 10.000.000 25.000.000
Karena NJOP di Desa A lebih tinggi, maka NJOPTKP dikurangkan dalam
perhitungan NJOP Desa A, sedangkan obyek pajak di desa B tidak berhak
NJOPTKP lagi.
Desa A
Nilai jual Objek Pajak Untuk Penghitungan Pajak :
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp 18.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp 14.000.000,00 (+)
- Nilai Jual Objek Pajak Rp 32.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 12.000.000,00 (-)
- Nilai Jual Objek Pajak (Penghitungan Pajak) Rp 20.000.000,00
Desa B
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak :
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp 15.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp 10.000.000,00 (+)
- Nilai Jual Objek Pajak (Penghitungan Pajak) Rp 25.000.000,00

22
DASAR PENGHITUNGAN PBB

Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) atau assessment value
yang mempunyai pengertian:
“nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase
tertentu dari nilai jual sebenarnya”
Undang-undang menetapkan NJKP ini serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen)
dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari nilai jual obyek pajak.
Contoh :
1. Nilai Jual suatu obyek pajak sebesar Rp. 100.000.000,00 Persentase Nilai
Jual Kena Pajak misalnya 20% maka besarnya nilai jual kena pajak 20% x Rp.
100.000.000,00 = Rp. 20.000.000,00
2. Nilai jual suatu obyek pajak sebesar Rp. 1000.000.000,00 Persentase Nilai
Jual Kena Pajak misalnya 50% maka besarnya nilai jual kena pajak 50% x Rp.
1000.000.000,00 = Rp. 500.000.000,00.
Besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2002 yang berlaku mulai tahun pajak
2002, besarnya Nilai Jual Kena Pajak sebagai dasar penghitungan pajak yang terutang
ditetapkan sebagai berikut:
 sebesar 40% (empat puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak untuk:
a. Objek Pajak Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan
b. Objek Pajak lainnya yang mempunyai NJOP sama dengan
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau lebih;
 sebesar 20% (dua puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak untuk Nilai Jual
Objek Pajak yang bernilai kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

CARA MENGHITUNG PBB

Besarnya pajak yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan
Nilai Jual Kena Pajak.
Tarif pajak yang dikenakan atas obyek PBB sesuai Pasal 5 Undang-undang PBB adalah
sebesar 0,5% (lima persepuluh persen).

PBB = Tarif X NJKP


= 0.5% X 20% X NJOP
= 0.5% X 40% X NJOP

23
CARA MENGHITUNG:
NJOP TANAH = XXXX
NJOP BANGUNAN = XXXX
NJOP TANAH & BANGUNAN = XXXX
NJOPTKP = XXXX
NJOP DASAR PERHITUNGAN PBB = XXXX
NJKP (20% ATAU 40%) = XXXX
PBB TERUTANG (0,5%) = XXXX

Contoh : Amir Mahmud mempunyai obyek pajak berupa :


 Tanah seluas 800 m2 dengan NJOP Rp. 300.000/m2;
 Bangunan seluas 400m2 dengan NJOP Rp. 350.000/m2;
 Taman mewah seluas 200 m2 dengan NJOP Rp. 50.000/m2;
Apabila NJOPTKP diketahui Rp 10.000.000,00, besarnya pajak yang terhutang adalah:
NJOP tanah : 800 x Rp. 300.000,00 = Rp 240.000.000,00
NJOP bangunan
a. Bangunan 400 x Rp. 350.000,00 = Rp140.000.000,00
b. Taman Mewah 200 x Rp. 50.000,00 = Rp 10.000.000,00
= Rp150.000.000,00
NJOP tanah dan bangunan = Rp390.000.000,00
NJOPTKP = Rp 10.000.000,00
NJOP untuk perhitungan PBB = Rp380.000.000,00
NJKP (20%) = Rp. 76.000.000,00
PBB terutang (0,5%) = Rp. 380.000,00

BAB IV
MENAGIH PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DASAR PENAGIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


Dasar penagihan pajak PBB ada tiga yaitu:
1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT),
2. Surat Ketetapan Pajak (SKP), dan

24
3. Surat Tagihan Pajak (STP).

Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT),


Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada wajib pajak.

Dasar Penerbitan SPPT


 Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)
berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP)
 Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dapat diterbitkan berdasarkan data
obyek pajak yang telah ada pada Direktorat Jenderal Pajak.

Waktu Pelunasan SPPT


Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang harus dilunasi
selambat-lambatnya enam bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang oleh wajib pajak. Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret
2004, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Agustus 2004.
Namun dalam pelaksanaannya, Direktorat Jenderal Pajak membuat penyeragaman
penerbitan SPPT agar memudahkan dalam mekanisme pemungutan PBB, sehingga
tanggal jatuh tempopun menjadi sama untuk para wajib pajak.

Surat Ketetapan Pajak (SKP)


Dasar Penerbitan SKP
Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal:
 Surat Pemberitahuan Obyek Pajak tidak disampaikan dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Obyek Pajak
oleh wajib pajak dan setelah ditegor secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana
ditentukan dalam Surat Tegoran
 apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah
yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan Surat
Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak.

Waktu Pelunasan SKP

25
Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak harus dilunasi selambat-
lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak oleh wajib
pajak. Apabila SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 2004, maka jatuh tempo
pembayarannya adalah tanggal 31 Maret 2004.

Jumlah Pajak yang terhutang dalam SKP


a. Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan
karena pengembalian Surat Pemberitahuan Obyek Pajak melewati jangka waktu 30
(tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya adalah pokok pajak ditambah dengan
denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.
Contoh:
Wajib Pajak “X” tidak menyampaikan SPOP walaupun telah ditegor. Berdasarkan
data yang ada di Direktur Jenderal Pajak (KP PBB), diterbitkan SKP yang berisi :
 pokok pajak = Rp. 1.000.000,00
 Sanksi administrasi 25% x Rp. 1.000.000,00 = Rp. 250.000,00
 Jumlah pajak yang terhutang dalam SKP = Rp. 1.250.000,00
b. Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak yang disebabkan
hasil pemeriksaan atau keterangan lain adalah selisih pajak yang terhutang
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terhutang
yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak ditambah denda
administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terhutang.
Contoh:
Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT = Rp. 1.000.000,00
Berdasarkan pemeriksaan (seharusnya) = Rp. 1.500.000,00
Selisih = Rp. 500.000,00
Denda administrasi 25% x Rp. 500.000,00 = Rp. 125.000,00
Jumlah pajak terhutang dalam SKP = Rp. 625.000,00

Surat Tagihan Pajak (STP)


Surat Tagihan Pajak merupakan surat untuk melakukan tagihan PBB yang tidak atau
kurang dibayar setelah lewat saat jatuh tempo pembayaran dan denda administrasi.

Dasar Penerbitan STP

26
 Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam SPPT
yaitu melampaui batas waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh
Wajib Pajak.
 Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam SKP
yaitu melampaui batas waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh
Wajib Pajak.
 Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang setelah tanggal jatuh tempo tetapi
pembayaran denda administrasinya tidak dilunasi.

Besarnya Denda Administrasi dalam STP


Denda administrasi karena wajib pajak terlambat membayar pajaknya adalah sebesar
2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari
pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Contoh:
SPPT sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) jatuh tempo tanggal 31 Agustus 2004
dibayar pada tanggal 1 September 2004. Maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan
denda administrasi sebesar 2% (dua persen) yakni : 2% x Rp. 1.000.000,00 = Rp.
20.000,00. (ditagih dengan STP)

Saat Jatuh Tempo STP


Saat jatuh tempo Surat Tagihan Pajak adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya
Surat Tagihan Pajak oleh wajib pajak. Jika STP diterima Wajib Pajak tanggal 1 Juli 2004
maka jatuh tempo pembayarannya adalah 31 Juli 2004

27
BAB V
HAK BAGI WAJIB PAJAK

Ada beberapa jenis hak yang dimiliki oleh wajib pajak dalam hal merasa pengenaan
PBB terhadap obyek pajaknya tidak sesuai ketentuan. Hak tersebut antara lain:

PENGURANGAN
Menteri Keuangan dapat memberikan pengurangan pajak yang terhutang :
a. karena kondisi tertentu obyek pajak yang ada hubungannya dengan subyek
pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya;
Kondisi tertentu obyek pajak yang ada hubungannya dengan subyek pajak dan
sebab-sebab tertentu lainnya, berupa lahan pertanian yang sangat terbatas,
bangunan yang ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki oleh golongan wajib
pajak tertentu, lahan yang nilai jualnya meningkat sebagai akibat perubahan
lingkungan dan dampak positif pembangunan serta pemanfaatannya belum sesuai
dengan peruntukan lingkungan.
b. dalam hal obyek pajak terkena bencana alam (gempa bumi, banjir, tanah
longsor) atau sebab lain yang diluar biasa (kebakaran, kekeringan, wabah penyakit
tanaman, dan hama tanaman).
Selain itu atas permintaan wajib pajak Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan
denda administrasi karena hal-hal tertentu.
Lebih lanjut Ditjen Pajak mengelurkan ketentuan mengenai pengurangan pajak
terutang. Pengurangan pajak terutang kepada wajib pajak dapat diberikan:
1. setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima persen) dari besarnya pajak
terutang, dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan kondisi serta penghasilan
wajib pajak kepada:
a. wajib pajak orang pribadi karena kondisi tertentu objek pajak yang ada
hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu
lainnya, seperti:

28
 objek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan
yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan
oleh wajib pajak orang pribadi;
 objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib
pajak orang pribadi:
a. yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat
akibat adanya pembangunan atau perkembangan lingkungan;
b. yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan,
sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;
c. yang berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya sulit
dipenuhi;
d. veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela
kemerdekaan termasuk janda/dudanya
b. wajib pajak Badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya
dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya, seperti objek
pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak badan
yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun,
sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan.
2. setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari besarnya pajak terutang,
dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan yang wajar dan obyektif dengan
mengingat persentase kerusakan kepada wajib pajak orang pribadi dalam hal objek
pajak terkena bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah Iongsor, gunung
meletus dan sebagainya serta sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran,
kekeringan, wabah penyakit dan hama tanaman

Tata Cara Pengajuan Pengurangan


1. Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia
kepada Kantor Pelayanan PBB yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan
mencantumkan besarnya persentase pengurangan yang dimohonkan beserta bukti
yang diperlukan.
2. Dalam hal permohonan pengurangan diajukan terhadap SKP, maka pemberian
pengurangan PBB hanya dapat diberikan atas pokok ketetapan pajak terutang.

29
3. Permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterima SPPT/SKP atau
sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.
4. Permohonan pengurangan PBB secara kolektif dapat diajukan sebelum SPPT
diterbitkan selambat-lambatnya tanggal 10 Januari untuk tahun pajak yang
bersangkutan melalui Pemerintah Daerah setempat (kepala Desa/Lurah dan
diketahui Camat), atau Organisasi Legiun Veteran RI, untuk anggota veteran.

Keputusan Pengurangan
1. Keputusan dimaksud dapat berupa mengabulkan seluruh,
sebagian atau menolak permohonan.
2. Keputusan diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak
tanggal diterimanya permohonan pengurangan dari wajib pajak
3. Apabila jangka waktu di atas telah lewat dan keputusan belum
diterbitkan, maka permohonan pengurangan tersebut dianggap dikabulkan dan
diterbitkan keputusan sesuai dengan permohonan pengurangan dari Wajib Pajak.

KEBERATAN
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak karena :
a. Wajib Pajak merasa besar pajak terutang dalam SPPT maupun SKP dari Ditjen
Pajak tidak sesuai dengan keadaan obyek pajak sebenanya, yang bisa
disebabkan antara lain karena kesalahan pada luas obyek pajak, klasifikasi
maupun pengenaan pajaknya.
b. Terdapat perbedaan penafsiran mengenai peraturan perundang-undangan yang
berlaku tentang PBB antara wajib pajak dengan fiskus, misalnya dalam hal
penetapan status subyek atau wajib pajak, pengecualian dari obyek pajak PBB,
maupun pengenaan jatuh tempo pembayaran.

Syarat pengajuan Keberatan


1. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
menyatakan alasan secara jelas.
2. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak
tanggal diterimanya SPPT atau SKP, kecuali apabila force majour.

30
3. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak
4. Diajukan kepada Kepala KP PBB yang menerbitkan SPPT/SKP oleh
wajib pajak yang bersangkutan, apabila dikuasakan harus dilampiri surat kuasa.
5. Keberatan terhadap SPPT dan SKP harus diajukan masing-masing dalam
satu surat keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak, kecuali yang diajukan
kolektif oleh Kepala Desa atau Lurah
6. Wajib Pajak harus dapat mengemukakan alasan-alasan, yang dilampiri
bukti yang mencatumkan perhitungan PBB menurut wajib pajak dan apabila
merasa ketetapan Ditjen Pajak salah harus dapat membuktikan ketidakbenaran
ketetapan pajak tersebut.

Apabila keberatan yang diajukan tidak memenuhi syarat maka tidak dianggap sebagai
Surat Keberatan, akan tetapi apabila masih dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan, KP
PBB dapat meminta Wajib Pajak untuk melengkapi Surat Keberatannya tersebut.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya
atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang, yang
harus dikeluarkan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
Surat Keberatan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut
dianggap diterima.

BANDING
Wajib pajak dapat mengajukan permasalahan keberatannya ke tingkat banding, yaitu
kepada Pengadilan Pajak, di Jakarta apabila pengajuan keberatannya ditolak oleh
Kepala Kanwil Pajak atau Kepala KP PBB.
Permohonan Banding ini tidak berdasarkan ketentuan Undang-Undang PBB melainkan
mengacu pada ketentuan yang terdapat pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000
tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak. Putusan Banding dari Pengadilan Pajak berlaku mengikat,
serta mempunyai kepastian dan ketentuan hukum kepada kedua belah pihak..

31
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 72/KMK.04/1991,
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia kepada Direktur Jenderal Pajak / Kepala KP PBB
2. Tanda penerimaan surat permohonan atau tanda terima
pengiriman surat melalui pos tercatat merupakan bukti penerimaan surat
permohonan
3. Dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak saat diterimanya surat permohonan, KP PBB menerbitkan: Surat Keputusan
Kelebihan Pembayaran PBB (SKKP PBB), Surat Pemberitaan (SPb) atau Surat
Ketetapan Pajak (SKP)
4. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak
saat diterimanya surat permohonan, KP PBB tidak menerbitkan keputusan, maka
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak jatuh tempo di atas, Kepala KP PBB harus
menerbitkan SKKP PBB

PEMBETULAN
Pembetulan Surat Ketetapan Pajak (SKP) berdasarkan Pasal 16 UU KUP, dilakukan
dalam hal terjadi kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam
penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam SKP.
Pembetulan dapat dilakukan baik atas permintaan Wajib Pajak maupun tidak (secara
jabatan). Termasuk dalam pengertian Surat Ketetapan Pajak meliputi SPPT, SKP
maupun STP.
Pembetulan SKP berdasarkan Pasal 16 UU KUP dapat mengakibatkan pajak terutang
menjadi sama, lebih kecil, atau lebih besar dari ketetapan semula. Pembetulan tersebut
dapat dilakukan tanpa batas waktu. Tetapi apabila pembetulan tersebut mengakibatkan
jumlah pajak yang terutang menjadi lebih besar dari semula, pembetulan tersebut
hanya dapat dilakukan sepanjang hak untuk menetapkan pajak belum daluwarsa.

PENGURANGAN ATAU PEMBATALAN


Pengurangan jumlah pajak yang terutang atau pembatalan SPPT/SKP/STP PBB yang
tidak benar berdasar Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP dilakukan dalam hal
SPPT/SKP/STP PBB yang bersangkutan mengandung kesalahan yang tidak tergolong
kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan penerapan undang-undang

32
perpajakan, tetapi mengandung kesalahan/kekeliruan yang sifatnya material mengenai
objek pajak.
Wajib Pajak sebenarnya telah disediakan prosedur hukum yaitu keberatan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU KUP jo Pasal 15 UU No. 12/1994, tetapi
apabila upaya tersebut tidak atau tidak dapat dilakukan oleh Wajib Pajak, misalnya
karena persyaratan formal tidak terpenuhi, batas waktu pengajuan keberatan
terlampaui, maka Wajib Pajak dapat meminta pengurangan atau pembatalan.
Walaupun Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan,
apabila ketetapan pajak itu tidak benar sehingga Wajib Pajak dibebani pajak secara
tidak adil, maka untuk memenuhi unsur keadilan fiskus dapat secara jabatan
mengurangkan atau membatalkan SPPT/SKP/STP PBB yang secara material tidak
benar tersebut. Yang tergolong ketidakbenaran material mengenai objek pajak, antara
lain luas tanah/bangunan, dan lain sebagainya.
SPPT/SKP/STP yang dapat dibatalkan secara jabatan antara lain:
a. Objek pajaknya tidak ada
b. Hak subjek pajak terhadap objek pajak dinyatakan batal berdasarkan keputusan
pejabat yang berwenang atau keputusan hakim yang sudah berlaku secara tetap
c. Objek pajak digunakan untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) dan (2) UU No. 12 Tahun 1994
d. Subjek pajak yang tercantum dalam SPPT/SKP PBB berdasar keputusan
pembatalan penetapan sebagai Wajib Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (5) UU No. 12 Tahun 1994

33
BAB VI
TATA CARA PEMBAYARAN, PENAGIHAN,
DALUWARSA DAN PEMBAGIAN HASIL PBB

PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


Pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan dapat dilakukan melalui:
1. Bank-bank yang ditujuk sebagai tempat pembayaran
2. Kantor Pos yang ditunjuk sebagai tempat pembayaran
Seiring dengan perkembangan pada dunia teknologi pada perbankan di Indonesia,
Direktorat Jenderal Pajak telah menjalin kerja sama dengan Bank-bank Pemerintah
maupun swasta tempat pembayaran PBB untuk melakukan kemudahan transaksi
pembayaran PBB melaui perbankan elektronik seperti ATM, phone Banking, internet
banking dan fasilitas perbankan elektronik lainnya.

PENAGIHAN DAN DALUWARSA PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


Apabila utang pajak PBB, baik secara sengaja maupun tidak sampai dengan jatuh
temponya tidak dilunasi, maka Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan langkah-
langkah penagihan. Tindakan penagihan yang dilakukan mengacu pada ketentuan
yang sama dengan pelaksanaan penagihan untuk jenis pajak yang lainnya, yaitu
berlandaskan pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa, dengan urutan:
1. Surat Teguran
2. Surat Paksa
3. Surat Perintah Melakukan Penyitaan
4. Pelaksanaan Penyitaan
5. Permintaan/pengajuan jadual waktu dan tempat pelelangan
6. Pengumuman Lelang
7. Pelaksanaan Lelang
Apabila wajib pajak di dalam proses penagihan sebagaimana di atas mempunyai itikad
baik dan melunasi utang pajaknya, maka secara otomatis tindakan penagihan
berikutnya akan dibatalkan demi hukum.

34
Utang pajak PBB itu sendiri terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu utang pajak yang tertuang
dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), dan/atau utang pajak yang
tertuang dalam Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Adapun daluwarsa PBB atau hapusnya hak negara untuk menetapkan PBB yang
terutang adalah karena lampaunya waktu setelah 10 (sepuluh) tahun sejak saat
terutangnya PBB.
Sedangkan daluwarsa penagihan PBB adalah hapusnya hak negara untuk melakukan
penagihan dengan Surat Paksa berdasar Undang-undang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa atas PBB, berikut bunga, denda, kenaikan dan biaya penagihannya.
Hak untuk melakukan penagihan ini gugur setelah dilampauinya jangka waktu
sepuluh tahun ini, kecuali:
1. Dalam jangka waktu setelah 10 (sepuluh) tahun tersebut wajib pajak melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan (PBB) yang penagihannya telah daluwarsa
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
2. Telah dikeluarkan Surat Teguran dan Surat Paksa
3. Adanya pengakuan wajib pajak secara langsung ataupun tidak, dengan cara
antara lain:
 melakukan pembayaran pajak yang terutang
 melakukan permohonan penundaan/angsuran pembayaran pajak
dalam hal seperti ini, daluwarsa penagihan piutang pajak dihitung dari saat
terjadinya peristiwa tersebut.

PEMBAGIAN HASIL PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


Imbangan pembagian hasil penerimaan pajak PBB diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Adapun Peraturan Pemerintah yang berlaku sekarang mengenai hal ini
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 16 TAHUN 2000 dan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 522/KMK.03/2002, dengan ketentuan hasil penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan dibagi untuk Pemerintah Pusat dan Daerah dengan imbangan sebagai
berikut:
1. Sebesar 10% (sepuluh persen) dari penerimaan PBB dialokasikan untuk
Pemerintah Pusat, yang akan dibagikan kepada seluruh Daerah Kabupaten/Kota
secara merata, dengan ketentuan:

35
 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh
Daerah Kabupaten/Kota;
 35% (tiga puluh lima per seratus) dibagikan sebagai insentif kepada Daerah
Kabupaten/Kota yang realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor
pedesaan dan perkotaan pada Tahun Anggaran sebelumnya
mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan.
2. Sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari penerimaan PBB dialokasikan untuk
Daerah, dengan ketentuan:
 10% (sepuluh persen) dari alokasi untuk Daerah ini atau efektif sebesar
9% (sembilan per seratus) dari penerimaan PBB untuk biaya pemungutan yang
dibagikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Daerah.
 90% (delapan puluh persen) dari alokasi untuk Daerah akan dibagi
untuk pemerintah daerah tingkat I (propinsi) dan II (kabupaten/kota) sebesar:
a. 20% (dua puluh persen) untuk Daerah Propinsi yang
bersangkutan atau efektif sebesar 16,2% (enam belas koma dua persen) dari
penerimaan PBB (Perhitungan: 20% x 90% x 90%);
b. 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan atau efektif sebesar 64,8% (enam puluh empat koma delapan
persen) dari penerimaan PBB (Perhitungan: 80% x 90% x 90%);

Ketentuan Khusus
Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, ada ketentuan tambahan seiring
dengan pemberian otonomi khusus propinsi ini, dengan ketentuan 90% (sembilan
puluh persen) dari hasil penerimaan PBB yang merupakan bagian Daerah dibagi
dengan ketentuan alokasi khusus 30% (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan disalurkan melalui rekening khusus dana
pendidikan dari hak Porvinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota di NAD

36
Lampiran IA Keputusan Menteri Keuangan
Nomor : 523/KMK.04/1998
Tanggal : 18 Desember 1998

Klasifikasi, Penggolongan dan Ketentuan Nilai Jual Permukaan Bumi (Tanah)


Kelompok A
Nilai Jual
Penggolongan
Klas Permukaan Bumi (Tanah)
Nilai Jual Permukaan Bumi (Tanah) (Rp/M2)
(Rp/M2)
1 2 3
1 > 3.000.000 s/d 3.200.000 3.100.000
2 > 2.850.000 s/d 3.000.000 2.925.000
3 > 2.708.000 s/d 2.850.000 2.779.000
4 > 2.573.000 s/d 2.708.000 2.640.000
5 > 2.444.000 s/d 2.573.000 2.508.000
6 > 2.261.000 s/d 2.444.000 2.352.000
7 > 2.091.000 s/d 2.261.000 2.176.000
8 > 1.934.000 s/d 2.091.000 2.013.000
9 > 1.789.000 s/d 1.934.000 1.862.000
10 > 1.655.000 s/d 1.789.000 1.722.000
11 > 1.490.000 s/d 1.655.000 1.573.000
12 > 1.341.000 s/d 1.490.000 1.416.000
13 > 1.207.000 s/d 1.341.000 1.274.000
14 > 1.086.000 s/d 1.207.000 1.147.000
15 > 977.000 s/d 1.086.000 1.032.000
16 > 855.000 s/d 977.000 916.000
17 > 748.000 s/d 855.000 802.000
18 > 655.000 s/d 748.000 702.000
19 > 573.000 s/d 655.000 614.000
20 > 501.000 s/d 573.000 537.000
21 > 426.000 s/d 501.000 464.000
22 > 362.000 s/d 426.000 394.000
23 > 308.000 s/d 362.000 335.000
24 > 262.000 s/d 308.000 285.000
25 > 223.000 s/d 262.000 243.000
26 > 178.000 s/d 223.000 200.000
27 > 142.000 s/d 178.000 160.000
28 > 142.000 s/d 142.000 128.000
29 > 91.000 s/d 114.000 103.000
30 > 73.000 s/d 91.000 82.000
31 > 55.000 s/d 73.000 64.000
32 > 41.000 s/d 55.000 48.000
33 > 31.000 s/d 41.000 36.000
34 > 23.000 s/d 31.000 27.000
35 > 17.000 s/d 23.000 20.000
36 > 12.000 s/d 17.000 14.000
37 > 8.400 s/d 12.000 10.000
38 > 5.900 s/d 8.400 7.150
39 > 4.100 s/d 5.900 5.000
40 > 2.900 s/d 4.100 3.500
41 > 2.000 s/d 2.900 2.450
42 > 1.400 s/d 2.000 1.700
43 > 1.050 s/d 1.400 1.200
44 > 760 s/d 1.050 910
45 > 550 s/d 760 660
46 > 410 s/d 550 480
47 > 310 s/d 410 350
48 > 240 s/d 310 270
49 > 170 s/d 240 200
50 < 170 140
Lampiran IB Keputusan Menteri Keuangan

37
Nomor : 523/KMK.04/1998
Tanggal : 18 Desember 1998

Klasifikasi, Penggolongan dan Ketentuan Nilai Jual Permukaan Bumi (Tanah)


Kelompok B
Nilai Jual
Penggolongan
Klas Permukaan Bumi (Tanah)
Nilai Jual Permukaan Bumi (Tanah) (Rp/M2)
(Rp/M2)
1 2 3
1 > 67.390.000 s/d 69.700.000 68.545.000
2 > 65.120.000 s/d 67.390.000 66.255.000
3 > 62.890.000 s/d 65.120.000 64.000.000
4 > 60.700.000 s/d 62.890.000 61.795.000
5 > 58.550.000 s/d 60.700.000 59.625.000
6 > 56.440.000 s/d 58.550.000 57.495.000
7 > 54.370.000 s/d 56.440.000 55.405.000
8 > 52.340.000 s/d 54.370.000 53.355.000
9 > 50.350.000 s/d 52.340.000 51.345.000
10 > 48.400.000 s/d 50.350.000 49.375.000
11 > 46.490.000 s/d 48.400.000 47.445.000
12 > 44.620.000 s/d 46.490.000 45.555.000
13 > 42.790.000 s/d 44.620.000 43.705.000
14 > 44.000.000 s/d 42.790.000 41.895.000
15 > 39.250.000 s/d 41.000.000 40.125.000
16 > 37.540.000 s/d 39.250.000 38.395.000
17 > 35.870.000 s/d 37.540.000 36.705.000
18 > 34.240.000 s/d 35.870.000 35.055.000
19 > 32.650.000 s/d 34.240.000 33.445.000
20 > 31.100.000 s/d 32.650.000 31.875.000
21 > 29.590.000 s/d 31.100.000 30.345.000
22 > 28.120.000 s/d 29.590.000 28.855.000
23 > 26.690.000 s/d 28.120.000 27.405.000
24 > 25.300.000 s/d 26.690.000 25.995.000
25 > 23.950.000 s/d 25.300.000 24.625.000
26 > 22.640.000 s/d 23.950.000 23.295.000
27 > 21.370.000 s/d 22.640.000 22.005.000
28 > 20.140.000 s/d 21.370.000 20.755.000
29 > 18.950.000 s/d 20.140.000 19.545.000
30 > 17.800.000 s/d 18.950.000 18.375.000
31 > 16.690.000 s/d 17.800.000 17.245.000
32 > 15.620.000 s/d 16.690.000 16.155.000
33 > 14.590.000 s/d 15.620.000 15.105.000
34 > 13.600.000 s/d 14.590.000 14.095.000
35 > 12.650.000 s/d 13.600.000 13.125.000
36 > 11.740.000 s/d 12.650.000 12.195.000
37 > 10.870.000 s/d 11.740.000 11.305.000
38 > 10.040.000 s/d 10.870.000 10.455.000
39 > 9.250.000 s/d 10.040.000 9.645.000
40 > 8.500.000 s/d 9.250.000 8.875.000
41 > 7.790.000 s/d 8.500.000 8.145.000
42 > 7.120.000 s/d 7.790.000 7.455.000
43 > 6.490.000 s/d 7.120.000 6.805.000
44 > 5.900.000 s/d 6.490.000 6.195.000
45 > 5.350.000 s/d 5.900.000 5.625.000
46 > 4.840.000 s/d 5.350.000 5.095.000
47 > 4.370.000 s/d 4.840.000 4.605.000
48 > 3.940.000 s/d 4.370.000 4.155.000
49 > 3.550.000 s/d 3.940.000 3.745.000
50 > 3.200.000 s/d 3.550.000 3.375.000
Lampiran IIA dan II B Keputusan Menteri Keuangan
Nomor : 523/KMK.04/1998

38
Tanggal : 18 Desember 1998

Klasifikasi, Penggolongan dan Ketentuan Nilai Jual Bangunan


Kelompok A
Nilai Jual
Penggolongan Nilai Jual Bangunan
Klas Bangunan
(Rp/M2)
(Rp/M2)
1 2 3
1 > 1.034.000 s/d 1.366.000 1.200.000
2 > 902.000 s/d 1.034.000 968.000
3 > 744.000 s/d 902.000 823.000
4 > 656.000 s/d 744.000 700.000
5 > 534.000 s/d 656.000 595.000
6 > 476.000 s/d 534.000 505.000
7 > 382.000 s/d 476.000 429.000
8 > 348.000 s/d 382.000 365.000
9 > 272.000 s/d 348.000 310.000
10 > 256.000 s/d 272.000 264.000
11 > 194.000 s/d 256.000 225.000
12 > 188.000 s/d 194.000 191.000
13 > 136.000 s/d 188.000 162.000
14 > 128.000 s/d 136.000 132.000
15 > 104.000 s/d 128.000 116.000
16 > 92.000 s/d 104.000 98.000
17 > 74.000 s/d 92.000 83.000
18 > 68.000 s/d 74.000 71.000
19 > 52.000 s/d 68.000 60.000
20 < 52.000 50.000

Klasifikasi, Penggolongan dan Ketentuan Nilai Jual Bangunan


Kelompok B
Nilai Jual
Penggolongan Nilai Jual Bangunan
Klas Bangunan
(Rp/M2)
(Rp/M2)
1 2 3
1 14.700.000 s/d 15.800.000 15.250.000
2 13.600.000 s/d 14.700.000 14.150.000
3 12.550.000 s/d 13.600.000 13.075.000
4 11.550.000 s/d 12.550.000 12.050.000
5 10.600.000 s/d 11.550.000 11.075.000
6 9.700.000 s/d 10.600.000 10.150.000
7 8.850.000 s/d 9.700.000 9.275.000
8 8.050.000 s/d 8.850.000 8.450.000
9 7.300.000 s/d 8.050.000 7.675.000
10 6.600.000 s/d 7.300.000 6.950.000
11 5.850.000 s/d 6.600.000 6.225.000
12 5.150.000 s/d 5.850.000 5.500.000
13 4.500.000 s/d 5.150.000 4.825.000
14 3.900.000 s/d 4.500.000 4.200.000
15 3.350.000 s/d 3.900.000 3.625.000
16 2.850.000 s/d 3.350.000 3.100.000
17 2.400.000 s/d 2.850.000 2.625.000
18 2.000.000 s/d 2.400.000 2.200.000
19 1.666.000 s/d 2.000.000 1.833.000
20 1.366.000 s/d 1.666.000 1.516.000

39
MODUL II :
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH
DAN/ATAU BANGUNAN

BAB I
PENGERTIAN & PERHITUNGAN BPHTB

PENDAHULUAN
Pada masa lalu ada pungutan pajak terhadap setiap perjanjian hak atas harta tetap,
yaitu barang – barang yang tetap dan hak kebendaan atas tanah, yang ada diwilayah
Indonesia, termasuk pengalihan harta karena hibah karena wasiat. Pajak ini dinamakan
Bea Balik Nama dan diatur berdasarkan Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad Nomor
291.

Dengan diundangkannya Undang – undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok – pokok, Agraria, hak – hak kebendaan yang dimaksud di atas tidak berlaku lagi
karena sudah diganti dengan hak-hak yang baru yang diatur dalam undang – undang
tersebut. Dengan demikian sejak di undangkannya Undang – undang Nomor 5 tahun
1960, Otomatis Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak kebendaan atas tanah tidak
di pungut lagi.

Dengan pertimbangan tersebut di atas, maka diundangkanlah Nomor 21 tahun 1997


yang diubah terakhir dengan Undang – undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai pengganti Bea Balik Nama atas hak
harta atas tanah yang tidak di pungut lagi sejak diundangkannya Undang – undang
tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria.

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan, yaitu perbuatan atau peristiwa Hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.

40
OBYEK PAJAK
Obyek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, BPHTB dikenakan
kepada peristiwa hukum atau perubahan hukum atas transaksi / peralihan haknya
yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru.

Pemindahan hak, terjadi karena


a. Jual beli
b. Tukar menukar
c. Hibah
d. Hibah Wasiat
Yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan
atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku
setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
e. Waris
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
Yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan
kepada Perseroan Terbatas dan badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal
pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
Yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.
h. Penunjukkan pembeli dalam lelang
Yaitu penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana tercantum
dalam Risalah Lelang.
i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
Sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, terjadilah peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai
salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
j. Penggabungan usaha
Yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap
mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha
lainnya yang menggabung.
k. Peleburan usaha

41
Yaitu penggabungan dari dua badan atau lebih badan usaha dengan cara
mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan – badan usaha yang
bergabung tersebut.
l. Pemekaran usaha
Yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan
cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva
kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha
tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama;
m. Hadiah.
Yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau
bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima
hadiah.

Pemberian hak baru, terjadi karena


a. Kelanjutan pelepasan hak
Yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara
atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
b. Di luar pelepasan hak
Yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari
Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang – undangan
yang berlaku.

Obyek Pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah obyek pajak yang diperoleh:
a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum yaitu tanah/bangunan untuk
penyelenggaraan pemerintah baik pusat maupun daerah dan kegiatan yang semata
– mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan misalnya, untuk instansi
pemerintah, rumah sakit pemerintah dan jalan umum.
c. Badan atau perwakilan organisasi internasional, baik pemerintah maupun non
pemerintah, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan
atau perwakilan organisasi tersebut;

42
d. Orang pribadi atau badan karena hak atau karena perbuatan hukum lain dengan
tidak adanya perubahan nama. Konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama
menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan
hak oleh Pemerintah., contoh:
 Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik tanpa adanya perubahan
nama;
 Bekas tanah hak milik adat ( dengan bukti surat Girik atau
sejenisnya ) menjadi hak baru.
 Perbuatan hukum lain, misalnya memperpanjang hak atas tanah
tanpa adanya perubahan nama, misalnya perpanjangan Hak Guna Bangunan
(HGB) yang dilaksanakan baik sebelum maupun setelah berakhirnya HGB.
e. Orang pribadi atau badan karena wakaf yaitu perbuatan hukum orang pribadi
badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya berupa hak milik tanah
dan atau bangunan dan melembagakan untuk selama-lamanya untuk kepentingan
peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun
f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Hak atas tanah meliputi :


a. Hak milik, yaitu hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang pribadi atau badan – badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh
Pemerintah;
b. Hak guna usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang telah ditentukan oleh
perundang-undangan yang berlaku;
c. Hak guna bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang
ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 dengan Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria;
d. Hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain sesuai perjanjian,
yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan - peraturan yang berlaku;

43
e. Hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat
bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan;
f. Hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya antara lain,
berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk
keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian – bagian dari tanah tersebut
kepada pihak ketiga atau bekerjasama dengan pihak ketiga.

SUBYEK PAJAK
1. Yang menjadi Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.
2. Subyek pajak yang dikenakan berkewajiban membayar pajaklah yang
menjadi Wajib Pajak.

TARIF PAJAK
Tarif BPHTB merupakan tarif tunggal yaitu 5% (lima persen)

DASAR PENGENAAN
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP).
Nilai Perolehan Obyek Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 20 tahun 2000
adalah sebagai berikut :

44
Harga Transaksi Nilai Pasar Keterangan
a. tukar menukar
Jual Beli b. hibah Apabila NPOP tidak
c. hibah wasiat diketahui atau NPOP
d. waris lebih rendah dari NJOP
HARGA YANG e. pemasukan dalam PBB, maka yang
TERCANTUM DALAM perseroan atau badan digunakan sebagai
RISALAH LELANG hukum lainnya dasar pengenaan adalah
f. putusan hakim yang NJOP PBB
mempunyai kekuatan
Penunjukan pembeli dalam hukum tetap
lelang g. pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan
h. pemberian hak baru atas
tanah sebagai kelanjutan
dari pelepasan hak
i. pemberian hak baru atas
tanah diluar pelepasan
hak,
j. penggabungan, peleburan
& pemekaran usaha.
k. hadiah

Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOKP) adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak
(NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOTKP).

Besarnya Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Menteri
Keuangan melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat untuk
setia kabupaten/kota berdasarkan usulan dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan
kepada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat paling lambat satu bulan
sebelum tahun pajak dimulai, dengan mempertimbangkan perkembangan
perekonomian regional.

45
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan,
menetapkan besarnya Nilai Perolehan Obyek Pajak secara regional dengan ketentuan :
a. Perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi
yang masih dalam keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas
atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri.
Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling tinggi Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
b. Untuk perolehan lainnya. NPOP-TKP paling tinggi Rp. 60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah).

Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan
Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak, yaitu sebagai berikut.

BPHTB = 5% X ( NPOP – NPOPTKP)

BPHTB = 5% X ( NJOP – NPOPTKP)

Perolehan hak karena waris atau hibah wasiat berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
111 tahun 2000 pengenaan pajaknya diatur sebagai berikut :
 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang
 Terutang sejak tanggal pendaftaran peralihan hak ke Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Perolehan hak karena hak pengelolaan berdasar Peraturan Pemerintah No. 112 tahun
2000 pengenaan pajaknya diatur sebagai berikut :
 0% (nol persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang, dalam hal penerima Hak
Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah non Departemen,
lembaga pemerintah lainnya dengan Perum Perumnas.
 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang, untuk
penerima Hak Pengelola lainnya.

SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG

Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah sebagai
berikut:

JENIS PEROLEHAN SAAT TERUTANG

46
 Jual beli
 Tukar menukar
 Hibah
 Hibah wasiat
 Pemasukan dalam perseroan atau badan Sejak tanggal dibuat dan
hukum lainnya. ditandatanganinya akta
 Pemberian hak baru atas tanah sebagai
kelanjutan dari pelepasan hak
 Pemberian hak baru atas tanah diluar
pelepasan hak,
 Penggabungan, peleburan, & pemekaran
usaha
 Hadiah
 Waris Sejak tanggal pendaftaran
 Hibah wasiat peralihan hak
 Putusan hakim yang mempunyai Sejak tanggal putusan pengadilan
kekuatan hukum tetap yang tetap
 Lelang Sejak tanggal penunjukan
pemenang lelang
 Pemberian hak baru atas tanah sebagai Sejak tanggal diterbitkannya surat
kelanjutan dari pelepasan hak keputusan pemberian hak
 Pemberian hak baru atas tanah
pelepasan

Tempat terutang pajak adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang
meliputi letak tanah dan atau bangunan.

47
BAB II
ADMINISTRASI PEMBAYARAN, PENETAPAN,
PENAGIHAN & ALOKASI HASIL BPHTB

PEMBAYARAN
Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada
adanya surat ketetapan pajak. Hal ini berarti bahwa pada dasarnya system pemungutan
BPHTB adalah self assessment, dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk
menghitung dan membayar dirinya sendiri pajak terutang dengan menggunakan Surat
Setoran BPHTB (SSB).

Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan
Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan di wilayah Kabupaten./kota yang meliputi letak
tanah dan atau bangunan

Kewajiban membayar sebagaimana tersebut diatas dilaksanakan sebelum :


a. akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan ditandatangani oleh
PPAT/Notaris.
b. Risalah Lelang untuk pembeli ditandatangani oleh Pejabat Lelang.
c. Dilakukan pendaftaran hak oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam hal :
1. Pemberian hak baru
2. Pemindahan Hak karena pelaksanaan putusan hakim, hibah wasiat atau
waris.
Dalam hal BPHTB yang seharusnya terutang adalah nihil, maka Wajib Pajak tetap
mengisi SSB dengan keterangan nihil. SSB nihil ini cukup diketahui oleh
PPAT/Notaris/Pejabat Lelang /Kepala Pertanahan. SSB Nihil lembar 2,3, dan 4
disampaikan ke KP PBB dalam jangka waktu 7 hari sejak tanggal pembayaran atas
perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Fungsi SSB antara lain adalah :


a. Digunakan untuk melakukan pembayaran/penyetoran BPHTB yang terutang.

48
b. Sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan
c. sebagai Surat Pemberitahuan Obyek Pajak Bumi dan Bangunan (SPOP PBB)

PENETAPAN PAJAK
Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar (SKBKB)
a. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang bayar.
b. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Keputusan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutang pajak
sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar.

Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT)


a. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru
atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah
pajak yang terutang setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.
b. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
kekurangan pajak tersebut, kecuali Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum
dilakukan tindakan pemeriksaan.

Surat Tagihan BPHTB (STB)


a. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak
atas Tanah Bangunan (STB) apabila :
1. pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;

49
2. dari hasil pemeriksaan kantor Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat
salah tulis dan atau salah hitung;
3. Wajib Pajak dikenakan sanksi berupa denda dan atau bunga.
b. Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam STB
ditambah dengan sanksi administrasi dikenakan berupa bunga sebesar 2 % (dua
persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak
saat terutangnya pajak.
c. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga penagihannya
dapat dilanjutkan dengan Surat Paksa.

PENAGIHAN PAJAK
Dasar penagihan pajak meliputi Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (STB), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan
maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah.
Jangka waktu pelunasan pajak yang harus dibayar tersebut adalah paling lama 1 (satu)
bulan sejak diterima Wajib Pajak.
Jumlah pajak yang terutang berdasarkan hal diatas, apabila tidak atau kurang dibayar
pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa, yaitu surat perintah membayar pajak
dan tagihan yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan peraturan perundang –
undangan yang berlaku (UU NO. 19 Th. 2000)

PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN


Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara dan harus disetor seluruhnya
ke kas negara.
Hasil penerimaan BPHTB dibagi untuk Pemerintah Daerah dengan imbangan sebagai
berikut :
a. 20 % (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat untuk kemudian dibagikan secara
merata kepada Pemerintah Kabupaten / Kota untuk biaya administrasi.

50
b. 80 % (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah yang bersangkutan untuk
dibagikan kembali dengan imbangan sebagai berikut:
 Pemerintah Propinsi sebesar 16 % (enam belas persen), atau 20% dari
80%.
 Pemerintah Kabupaten / Kotamadya 64% (enam puluh empat persen),
atau 80% dari 80%.
Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dari alokasi Propinsi dan
Kabupaten/Kota sebesar 30% (tiga puluh persen) dikhusukan untuk biaya pendidikan
di Provinsi tersebut dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan

51
BAB III
HAK WAJIB PAJAK

KEBERATAN
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
(SKBKB)
b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan (SKBKBT)
c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar
Tambahan (SKBKLB)
d. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil (SKBN)

Syarat pengajuan keberatan:


1. Keberatan diajukan kepada Kepala KP.PBB yang menerbitkan SKBKB, SKBKBT ,
SKBLB dan SKBN.
2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah
pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan –
alasan yang jelas dan melampirkan bukti – bukti yang diperlukan.
3. Diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterimanya surat ketetapan, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan
bahwa jangka waktu tersebut dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya,
misalnya sedang sakit atau sedang kena musibah.
4. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai Surat
Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
5. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal – hal yang
menjadi dasar pengenaan pajak.
6. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.

Keputusan Keberatan
a. Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas keberatan dalam jangka
waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima
52
b. Sebeluml surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan
tambahan dan penjelasan tertulis.
c. Keputusan Direktur Jenderal Pajak dapat berupa
 Mengabulkan seluruhnya
 Mengabulkan sebagian
 Menolak, atau
 Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang
d. Jika tidak ada keputusan hingga jangka waktu tersebut lewat , keberatan
dianggap dikabulkan

BANDING
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Peradilan Pajak
terhadap keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.
Ketentuan mengenai Banding
a. Permohonan banding diajukan tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai
alasan – alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak
keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan surat keputusan tersebut.
b. Permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak.
c. Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua
puluh empat ) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan
atau Putusan Banding.

PENGURANGAN
Ketentuan yang berkaitan dengan Permohonan Pengurangan
a. Permohonan pengurangan diajukan dalam bahasa Indonesia disertai dengan
alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 bulan sejak saat terutangnya BPHTB.
b. Direktur Jenderal Pajak harus memberikan jawaban atas pengajuan permohonan
Wajib Pajak dalam jangka waktu 3 bulan, apabila jangka waktu tersebut terlampau
maka permohonan pengurangan dianggap diterima.

53
c. Keputusan Direktur Jenderal Pajak dapat berupa mengabulkan seluruhnya,
sebagian atau menolak.
Sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 87/KMK.03/2002, atas
permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan oleh
Menteri Keuangan dikarenakan kondisi-kondisi sebagai berikut :

NO KONDISI WAJIB PAJAK BESAR


1. Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya
dengan Obyek Pajak, yaitu Wajib Pajak orang pribadi 25% dari pajak
yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang terutang
Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Susun Sederhana
(RSS) yang diperoleh langsung dari pengembang dan
dibayar secara angsuran
2. a. Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada
hubungannya dengan Obyek Pajak, yaitu : 50% dari pajak
- Wajib Pajak yang memperoleh hak baru selain hak yang terutang
pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau
bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun yang
dibuktikan dengan surat pernyataan Wajib Pajak
dan keterangan dari Pejabat Pemerintah Daerah
Setempat.
- Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah
dari orang pribadi yang mempunyai hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat ke atas atau satu derajat ke bawah
b. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya
dengan sebab-sebab tertentu, yaitu:
- Wajib Pajak yang memperoleh
hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti
rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah
Nilai Jual Obyek Pajak.
- Wajib Pajak yang memperoleh
hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang
dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan

54
umum yang memerlukan persyaratan khusus.
- Wajib Pajak melakukan
Penggabungan Usaha (merger) atau peleburan
usaha (konsolidasi) dengan atau tanpa terlebih
dahulu mengadakan likuidasi dan telah
memperoleh keputusan persetujuan dan
penggunaan nilai buku dalam rangka
penggabungan atau peleburan usaha dari Direktur
Jenderal Pajak.
- Wajib Pajak yang memperoleh
hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak
berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana
alam atau sebab – sebab lainnya yang terjadi dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak
penandatanganan akta, seperti kebakaran, banjir,
tanah, longsor, gempa bumi, gunung meletus.
c. Tanah atau bangunan digunakan untuk
kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata
tidak untuk mencari keuntungan. Misalnya tanah dan
atau bangunan yang digunakan, antara lain, untuk
panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu,
pesantren, sekolah yang tidak ditujukan mencari
keuntungan, rumah sakit swasta, pelayanan sosial
masyarakat.
3. a. Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya
dengan Obyek Pajak yaitu: Wajib Pajak orang pribadi 75% dari pajak
yang memperoleh hak baru melalui program yang terutang
pemerintah di bidang pertanahan dan tidak
mempunyai kemampuan secara ekonomis.
b. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan
sebab-sebab tertentu, yaitu
- Wajib Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi
dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan
perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus

55
melakukan restrukturisasi usaha atau utang usaha
sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah
- Wajib Pajak yang melakukan Penggabungan Usaha
(merger) atau peleburan usaha dan moneter yang
berdampak luas pada kehidupan perekonomian
nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan
restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai
dengan kebijaksanaan pemerintah
- Wajib Pajak orang pribadi Veteran, PNS,
TNI/POLRI berikut pensiunan atau purnawirawan
atau janda dudanya yang memperoleh hak atas
tanah dan atau bangunan rumah dinas pemerintah
4. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan
sebab – sebab tertentu yaitu Wajib Pajak Bank Mandiri 100% dari pajak
yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Bank yang terutang
Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan
Indonesia, dan Bank Ekspor Impor dalam rangkaian
proses penggabungan usaha (merger).

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN


Pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB dapat diberikan dalam hal :
a. Pajak yang dibayar lebih besar dari pada yang seharusnya terhutang
b. Pajak yang dibayar tidak seharusnya terutang
c. Permohonan pengurangan pajak yang terutang dikabulkan
d. Pengajuan keberatan atas surat ketetapan pajak dikabulkan sebagian atau
seluruhnya
e. Permohonan banding atas keputusan keberatan dikabulkan sebagian atau
seluruhnya
f. Perubahan peraturan
Untuk memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB, Wajib Pajak harus
mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak u.p Kepala KP. PBB yang
wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia dengan menyebutkan jumlah kelebihan pembayaran disertai alasan yang
56
jelas dan melampirkan dokumen pendukung. Permohonan yang tidak disertai alasan
yang jelas dan melampirkan dokumen pendukung. Permohonan yang tidak memenuhi
syarat tidak dianggap sebagai permohonan sehingga tidak dipertimbangkan oleh
Kepala KP.PBB.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
diterimanya permohonan harus memberi keputusan, dapat berupa kurang bayar
dengan menerbitkan SKBKB atau berupa lebih bayar dengan menerbitkan SKBLB atau
berupa lebih bayar dengan menerbitkan SKBLB atau berupa lebih bayar dengan
menerbitkan SKBLB atau mengukuhkan pajak terutang tetap dengan menerbitkan
SKBN.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan lapangan ataupun kantor,
menerbitkan :
a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar (SKBLB)
apabila jumlah pajak yang dibayar ternyata lebih besar dari pada jumlah pajak
yang terutang atau dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang;
b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil (SKBLN),
apabila jumlah pajak yang terutang.
c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
(SKBKB), apabila jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah yang dibayar
Wajib Pajak.
Permohonan kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan apabila jangka waktu
12 (dua belas) bulan terlampaui. SKBLB harus diterbitkan dalam jangka waktu 2 (dua)
bulan, Direktur Jenderal Pajak memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.

57
SOAL – SOAL LATIHAN

PAJAK BUMI BANGUNAN


1. Mas Agung memiliki sebuah rumah di kawasan Rawamangun, dari data
PBB tahun sebelumnya diketahui luas tanah 700 m2 dengan Nilai Jual Rp
800.000/m2, sedangkan luas bangunan 300 m2 dengan Nilai Jual Rp 900.000/m2.
Pada bulan Mei 2006 Mas Agung menambah luas bangunan sebesar 100 m2 dengan
perkiraan Nilai Jual yang sama dengan bangunan lainnya. Hitung PBB tahun 2006
untuk tanah dan bangunan tersebut!
2. Ardiansyah, seorang PNS memiliki dua obyek PBB di Cinere dan Bintaro.
Sesuai data penilaian yang dilakukan petugas fungsional penilai diperoleh data
sebagai berikut:
Tanah Bangunan
Lokasi
Luas Nilai Jual/m2 Luas Nilai Jual/m2
Cinere 800 m2 Rp 950.000 350 m2 1.455.000
Bintaro 400 m2 Rp 1.550.000 300 m2 898.500
Hitung PBB tahun 2006 yang harus dilunasi oleh Ardiansyah!
3. Pada tanggal 17 Maret 2006 Sdr. Ramli menerima SPPT PBB atas rumah
yang terletak di Villa Jombang Indah, Ciputat, dengan jumlah pajak terutang
sebesar Rp 925.000. beberapa waktu kemudian dilakukan pemeriksaan lapangan
dan diperoleh pajak terutang seharusnya adalah 1.150.000,- hasil pemeriksaan ini
dituangkan dalam SKP yang diterima Sdr. Ramli pada tanggal 13 September 2006.
hitunglah pajak beserta sanksinya, apabila Sdr. Ramli melunasi SPPT dan SKP
tersebut tanggal 10 Oktober 2006!
4. Rumah susun yang berlokasi di daerah Jakarta Pusat mempunyai
spesifikasi teknis sebagai berikut:
Luas Tanah 5.000 m2 (Nilai Jual Rp 800.000,-/m2)
Luas Rusun 10.200 m2 (Nilai Jual Rp 300.000,-/m2), terdiri atas:
 Tipe Studio “A” (21 m2) sebanyak 200 unit = 4.200 m2
 Tipe Gerry “B” (36 m2) sebanyak 100 unit = 3.600 m2
 Tipe Lux “C” (48m2) sebanyak 50 unit = 2.400 m2
Fasilitas (gang, tangga, ruang pertemuan, dll) = 750m2 (Nilai Jual Rp 300.000,-/m2)

58
Lingkungan (jalan, taman, tempat parkir, dll) = 1.200m2 (Nilai Jual Rp
500.000,-/m2)
Hitunglah PBB yang terutang untuk tiap-tiap unit bangunan!
5. PT ANEKA KAYU suatu perusahaan usaha bidang tanaman industri
(HPHTI) di Kalimantan, memiliki/menguasai/mendapat manfaat dari bumi dan
bangunan dengan rincian sebagai berikut:
A. Tanah
Areal Menghasilkan Belum Luas Kelas
Produktif Rotan 400 Ha A.39
Rotan th. 2 300 Ha A.39
Rotan th. 3 200 Ha A.39
Log Ponds 25 Ha A.38
Log Yards 20 Ha A.40
Emplasemen 30 Ha A.40
B. Bangunan
Pabrik, kantor, perumahan dan lain-lain = 10.000m2 (NJOP Rp 225.000/m2)
Penggolongan Wilayah dan Besarnya Standar Biaya Pembangunan
HTI per-hektar (dalam rupiah)
No Jenis Pembagian Wilayah
Tanaman I II III IV V
2 Rotan
s.d th ke 1 813.200
s.d th ke 2 1.031.200
s.d th ke 3 1.231.200
Menghasilkan 1.414.200

Perhitungan Besarnya Nilai Jual Pajak Perairan untuk Pelabuhan, Industri,


Lapangan Golf dan Tempat Rekreasi Kelompok A
Nilai Jual Permukaan Nilai Jual Permukaan
Kelas
Bumi/Tanah (Rp/m2) Bumi/Perairan (Rp/m2)

37 …………. ………….
38 7.150,- 100,-
39 5.000,- 71,-
40 3.500,- 50,-
41 2.450,- 35,-
42 ………. …….

Hitung PBB untuk PT ANEKA KAYU


Keterangan : Kalimantan = Wilayah V

59
1 Ha = 10.000 m2

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU


BANGUNAN

1. Nyonya Rahayu, SH adalah seorang pengacara yang membuka kantor


Lawyer “LBH NUKE” di daerah Jakarta. Pada tahun 2006 dia melakukan penjualan
tanah di kawasan Cimanggis, Depok dengan harga jual Rp 212.000.000,00 kepada
sepupunya (NJOP diketahui Rp 240.000.000,00), hasil penjualan tersebut digunakan
untuk membeli sebuah rumah yang terletak di Kebayoran Baru dengan harga Rp
560.000.000. Diketahui NJOP PBB tahun 2006 atas rumah tersebut adalah sebesar Rp
490.000.000
Pada tahun yang sama, Ny. Rahayu mendapatkan hibah wasiat berupa tanah seluas
3.000 m2 dari pamannya. Diketahui bahwa nilai pasar atas tanah tersebut adalah Rp
630.000.000, sedangkan NJOP PBB-nya adalah sebesar Rp 660.000.000,
Hitunglah BPHTB yang terutang atas kejadian – kejadian tersebut di atas!

2. Tentukan perlakuan BPHTB atas kejadian-kejadian dibawah ini


a. Tanggal 27 Januari 2005, WAWAN membeli tanah 100 m 2, melalui PPAT,
dengan harga transaksi Rp. 1.000.000 / m2, dan telah membayar BPHTBnya.
b. Tanggal 8 September 2005, dilakukan pemeriksaan ternyata harga transaksi
yang benar adalah Rp. 1.500.000/m2, atas kesalahan ini KP PBB setempat
menerbitkan SKBKB.
c. Tanggal 16 Maret 2006, atas kesadaran sendiri WAWAN melapor secara tertulis
kepada KP PBB setempat bahwa tanah yang dibelinya itu seluas 120 m2 .
Berapa WAWAN harus membayar BPHTB-nya pada :
a. Tanggal 27 Januari 2005
b. Tanggal 8 September 2005
c. Tanggal 16 Maret 2006

3. Ir. JAYANTO tinggal di daerah Tangerang melakukan pembelian


sebidang tanah di daerah Kartosuro. BPHTB telah dilunasi pada saat perjanjian di
depan notaris. Beberapa waktu kemudian, pada saat pembuatan akta jual beli,
ternyata penjual melakukan pembatalan transaksi ini secara sepihak. Dengan

60
kondisi ini apa yang seharusnya dilakukan oleh Ir. JAYANTO, bagaimana caranya
dan syarat-syaratnya?

61

Anda mungkin juga menyukai