Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH

ULUM AL-QUR’AN
Disusun untuk memenuhi Tugas UAS (Ujian Akhir Semester)
pada Mata Kuliah “Ulum Al-Qur’an”
Dosen Pengampu : Dr.Hj.Ummi Kultsum,M.A

Di susun oleh :
Tubagus Ma’ruf Anshori NIM : 211210051

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI


SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKUKTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya, saya
dapat menyelesaikan tugas UAS (Ujian Akhir Semester) dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas ujian akhir semester pada Mata
Pelajaran Ulumul Qur’an. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan
tentang kajian ilmu Nasikh Mansukh, kajian Ayat-ayat Muhkam dan
Mutasyanihat, kajian munasabtul ayat, dan kajian Ilmu Ijaz Al-Qur’an, Qashash
Al-Qur’an, Jadl Al-Qur’an.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr.Hj.Ummi Kultsum,M.A
selaku dosen Mata Kuliah Ulumul Qur’an. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini. Saya
menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Pandeglang, 9 Desember 2021

Tubagus Ma’ruf Anshori

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………….…2

DAFTAR ISI………………………………………………………………………3

BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………………...5
A. Latar Belakang………………………………………………………5
B. Rumusan Masalah…………………………………………………...6
C. Tujuan Pembuatan…………………………………………………..6

BAB II
ILMU NASIKH MANSUKH…...…....…………………………………………...7
A. Pengertian nasikh Mansukh……………………………………........7
B. Syarat-syarat terjadinya nasikh mansukh…………………………...8
C. Macam-macam nasikh beserta contohnya…………………………..9
D. Manfaat Ilmu Nasikh Mansukh Bagi Kehidupan………………….13

BAB III
KAJIAN AYAT-AYAT MUHKAM DAN MUTASYABIHAT…......................14
A. Pengertian muhkam dan mutasyabihat…………………………….14
B. Sikap Ulama dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Mutasyabihat ………16
C. Huruf Al Muqotto`ah Dalam Pandangan Ulama…………………..18
D. Macam-macam Muhkam dan Mutasyabihat……………………….19
E. Karakteristik Al Muhkam dan Al Mutasyabihat…………….……..19
F. Hikmah Adanya Ayat-Ayat Mutasyabihat…………………………20
G. Contoh Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabihat……………………21

3
BAB IV
KAJIAN MUNASABATUL AYAT…………………………………………….23
A. Pengertian Munasabatul Ayat………….. …………….…………..23
B. Bentuk-Bentuk Munasabatul Ayat……………...…………………24
C. Cara Mengetahui Munasabah……………………………………...27
D. Urgensi Dan Kegunaan Mempelajari Munasabah...………………28
E. Contoh Munasabatul Ayat Dalam Al-Qur’an ………..……………31

BAB V
KAJIAN ILMU IJAZ AL-QUR’AN, QASHASH AL-QUR’AN, JADL AL-
QUR’AN…………………………………………………………………………32
A. Ilmu Ijaz Al-Qur’an……..…………………………………………32
B. Ilmu Qashash Al-Qur’an….…….…………………………………37
C. Ilmu Jadl Al-Qur’an……………………………………………….39

BAB VI
PENUTUP………………………………………………………………………..42
A. SIMPULAN………………………………………………………..42

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………....43

4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al Quran adalah Kitab Suci yang diturunkan Allah melalui Jibril kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai Kitab Suci yang terakhir dan suatu ringkasan
dari Kitab-Kitab Suci yang pernah diturunkan Allah. Bahkan al Quran acapkali
diseru oleh seluruh penganutnya untuk mengesahkan berbagai macam prilaku,
memotivasi berbagai perjuangan, melandasi berbagai aspirasi, mensugesti
dalam memenuhi segudang harapan dan memperteguh jati diri manusia yang
meyakininya dalam menghadapi berbagai tantangan perkembangan zaman.
Bahkan bila dilihat pendapat Muhammad Abduh yang selaras dengan
tendensi rasionalitasnya di bidang tafsir bahwa kemukjizatan al Quran
menunjukkan adanya ketidakberdayaan zaman untuk menggugurkan apapun
darinya. Ia juga menegaskan bahwa hanya al Quranlah satu-satunya kitab yang
memuat berbagai masalah alam, secara empiris maupun sosial (Abdussalam,
1999: 132). Oleh karena itu al Quran adalah salah satu naskah atau risalah yang
berjangkauan universal yang sering diperbincangkan dan didiskusikan, meski
demikian kurang kita pahami secara keseluruhan.
Mengingat penjelasan pesan-pesan Allah dan segala hikmahnya itu masih
menjadi misteri bagi kebanyakan manusia. Sehingga kaum muslimin harus
menakwilkannya dan harus mengeluarkan dari seluruh fenomenanya untuk
disesuaikan dengan berbagai fenomena dan tradisi atau teori sains. Sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan manusia sesuai dengan realitasnya yang
benar-benar riil dalam al Quran.
Misalkan dalam permasalahan muhkam dan mutasyabih yang terdapat
dalam ayat-ayat al Quran. Bila umat Islam tidak memahami dengan baik dan
benar keduanya, tentunya akan menimbulkan permasalahan yang mendasar
dalam memahami al Quran. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan secara terinci
hal-hal yang berkaitan dengan kedua permasalahan tersebut di bawah ini.

5
B. Rumusan Masalah
• Bagaimana Pengertian Nasikh Mansukh ?
• Bagaimana Syarat-syarat terjadinya nasikh mansukh?
• Bagaimana Macam-macam nasikh beserta contohnya?
• Bagaimana Manfaat Ilmu Nasikh Mansukh Bagi Kehidupan?
• Bagaimana Contoh-Contoh Nasilkh Mansukh ?
• Bagaimana Pengertian muhkam dan mutasyabihat?
• Bagaimana Sikap Ulama dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Mutasyabihat?
• Bagaimana Huruf Al Muqotto`ah Dalam Pandangan Ulama?
• Bagaimana Macam-macam Muhkam dan Mutasyabihat?
• Bagaimana Karakteristik Al Muhkam dan Al Mutasyabihat?
• Bagaimana Hikmah Adanya Ayat-Ayat Mutasyabihat?
• Bagaimana Contoh Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabihat?
• Bagaimana Pengertian Munasabatul Ayat?
• Bagaimana Bentuk-Bentuk Munasabatul Ayat?
• Bagaimana Cara Mengetahui Munasabatul Ayat?
• Bagaimana Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah?
• Bagaimana Ilmu Ijaz Al-Qur’an?
• Bagaimana Ilmu Qashash Al-Qur’an?
• Bagaimana Ilmu Jadl Al-Qur’an?
C. Tujuan Pembuatan
Adapun tujuan saya dalam menyusun makalah ini adalah memenuhi tugas
Ujian Akhir Semester agar semua mahasiswa atau mahasiswi tidak terjadi
ketimpangan dalam memahami kajian ilmu nasikh mansukh, kajian ilmu ayat-
ayat muhkan dan mutasyabihat, kajian munasabatul ayat, dan kajan ilmu ijaz
al-qur’an, ilmu qashash al-qur’an, ilmu jadl al-quran.

6
BAB II
ILMU NASIKH MANSUKH

A. Pengertian Ilmu Nasikh Mansukh


Nasikh menurut bahasa mempunyai beberapa makna yaitu : Menghapus,
merubah, membatalkan atau menggantikan hukum syara’ dengan yang lainnya.
Adapun makna Nasikh menurut para Ulama’ ada empat (4) yaitu :[2]
1. Izalah (menghilangkan), seperti dalam ayat berikut :

َّ ‫سو ٍل َو ََل نَبِي ٍ إِ ََّل إِذَا ت َ َمنَّى أ َ ْلقَى ال‬


َ ‫ش ْي‬
ُ‫طان‬ َ ‫َو َما أ َ ْر‬
ُ ‫س ْلنَا ِمن قَ ْب ِلكَ ِمن َّر‬
ُ‫َّللا‬ َّ ‫طانُ ث ُ َّم يُحْ ِك ُم‬
َّ ‫َّللاُ آيَا ِت ِه َو‬ َ ‫ش ْي‬
َّ ‫َّللاُ َما يُ ْل ِقي ال‬ َ ‫فِي أ ُ ْمنِيَّتِ ِه فَيَن‬
َّ ‫س ُخ‬
‫ع ِلي ٌم َح ِكي ٌم‬
َ
Artinya :
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun, melainkan
apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-
godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan
oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha
Mengetahui Lagi Maha Bijaksna.”(Qs.Al-hajj : 52)
2. Tabdil (penggantian), seperti dalam ayat berikut :

‫ّللاُ أ َ ْعلَ ُم ِب َما يُنَ ِ هز ُل قَالُواْ ِإنَّ َما أَنتَ ُم ْفت َ ٍر‬ َ ‫َوإِذَا بَ َّد ْلنَا آيَةً َّمك‬
‫َان آيَ ٍة َو ه‬
َ ‫بَ ْل أ َ ْكث َ ُر ُه ْم الَ يَ ْع َل ُم‬
‫ون‬
Artinya :
“Dan Apabila kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya,
mereka berkata, ‘Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan
saja’. Bahkan, kebanyakan mereka tiada mengetahui.”(QS. An-Nahl: 101)
3. Tahwil (memalingkan), seperti tanasukh Al-mawarist, artinya memalingkan
pusaka dari seseorang kepada orang lain.
4. Naql (memindahkan dari satu tempat ketempat yang lain)
Seperti nasakhtu Al-Kitaaba, yakni mengutip atau memindahkan isi kitab
tersebut berikut lafazh dan tulisannya. Sebagian ulama’ menolak makna

7
keempat ini, dengan alasan bahwa si-nasikh tidak dapat mendatangkan lafazh
yang di-mansukh itu, tetapi hanya mendatangkan lafazh lain.
Sedangkan, Mansuhk menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus atau
dihilangkan atau dipindah atau disalin atau dinukil. Sedangkan menurut istilah
para ulama’ ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang sama, yang
belum diubah dengan di batalkan dan diganti dengan hukum syara’ yang baru
yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansuhk itu adalah berupa ketentuan hukum syara’
pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya
perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian
hukum tadi.

B. Syarat-syarat terjadinya Nasikh dan Mansukh


1. Yang dinasakh (mansukh) itu hukum syara (ketentuan Allah & sunnah
Rasulullah), bukan sesuatu yang dzatnya memang diwajibkan.[5] Seperti
wajib iman kepada Allah, dan juga bukan sesuatu yang diharamkan karena
dzatnya, seperti kufur. Karena kewajiban beriman kepada Allah dan
larangan kufur itu tidak akan dinaskh.
2. Yang menghapus (Nasikh) harus dalil-dalil syara, kalau bukan dalil syara
tidak dapat disebut nasakh.
3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakahirnya waktu
pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa
tidak berarti di nasikh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4. Nasikh, harus lebih kuat dari mansukhnya atau sekurang-kurangnya sama,
jangan kurang dari itu, karena yang lemah tidak akan dapat menghapuskan
yang kuat. Karena itu hadits mutawatir dapat menaskh (menghapus) hadits
ahad, tetapi sebaliknya hadits ahad tidak dapat menasakh hadits mutawatir.
5. Nasikh harus munfasil (terpisah) dari mansukhnya dan datangnya
terkemudian dari mansukhnya, sebab kalau berturut-turut seperti, sifat dan
istisna tentu bukan naskh, tetapi takhsis.[6]

8
Antara dua dalil nasikh dan mansukh atau antara dalil yang pertama dan dalil
yang ke dua ada pertentangan, sehingga tidak dapat dikompromikan

C. Macam-macam Naskh beserta contohnya


Berdasarkan kejelasan dan cakupanya, naskh dalam Al-Qur’an dibagi
menjadi empat macam yaitu:
1. Naskh Sharih
Yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat
yang terdahulu. Misal ayat tentang perang pada ayat 65 surat Al-Anfal yang
mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir :

‫علَى ا ْل ِقتَا ِل ِإن َيكُن ِمن ُك ْم‬ َ َ‫ض ا ْل ُم ْؤ ِم ِنين‬ ِ ‫َيا أ َ ُّي َها ال َّن ِب ُّي َح ِر‬
‫صا ِب ُرونَ يَ ْغ ِلبُواْ ِمئَت َ ْي ِن َو ِإن يَكُن ِمنكُم ِمئ َةٌ يَ ْغ ِلبُو ْا‬ َ َ‫ِعش ُْرون‬
َ‫أ َ ْلفًا ِمنَ الَّ ِذينَ َكفَ ُرو ْا ِبأ َ َّن ُه ْم قَ ْو ٌم َلَّ يَ ْف َق ُهون‬
Artinya :
“Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika
ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang
sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-
orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti.“ ( QS.Al-Anfal : 65 )

Dan menurut jumhur ulama’ ayat ini di-naskh oleh ayat yang
mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66
dalam surat yang sama:

َ ٌ‫ض ْعفًا فَ ِإن يَكُن ِمنكُم ِمئ َة‬


ٌ‫صابِ َرة‬ َ ‫ع ِل َم أَنَّ فِي ُك ْم‬ َ َّ‫اآلنَ َخف‬
َ ‫ف َّللاُ عَن ُك ْم َو‬
ِ ‫ف يَ ْغ ِلبُواْ أَ ْلفَ ْي ِن بِ ِإ ْذ ِن‬
‫َّللا َوَّللاُ َم َع‬ ٌ ‫يَ ْغ ِلبُواْ ِمئَت َ ْي ِن َوإِن يَكُن ِمن ُك ْم أ َ ْل‬
َ‫صابِ ِرين‬
َّ ‫ال‬

Artinya :

9
“ Sekarang Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa
kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang
yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan
jika diantar kamu terdapat seribu orang (yang sabar), mereka akan dapat
mengalahkan dua ribu orang kafir.” ( QS.Al-Anfal : 66 )
2. Naskh dhimmy
Yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan, tidak bisa
dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama,
serta keduanya diketahui waktu turunya, ayat yang datang kemudian
menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya ayat tentang kewajiban wasiat
kepada ahli waris yang dianggapmansukh oleh ayat waris.
3. Naskh kully
Yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.
Contohnya, ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah:
“orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari..”,[9] di-naskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun
pada ayat 240 “dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara
kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya,
(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah
(dari rumahnya)...”, dalam surat yang sama.
4. Naskh juz’i
Yaitu menghapus hukum umum yang berlaku pada semua individu dengan
hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum
yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum
dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi
pada surat An-Nur (24) ayat 4: “ dan orang-orang yang menuduh wanita-
wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan
empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”, dihapus oleh

10
ketentuan li’an, bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika sipenuduh
suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama “ dan orang-orang
yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah
empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah
Termasuk orang-orang yang benar.

Berdasarkan jenis penghapusannya, maka dapat di klasifikasikan sebagai


berikut:
a. Al-qur’an menasakhkan Al-qur’an.
Contoh: QS al-anfal: 65

‫علَى ْال ِقتَا ِل ا ِْن َّي ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِع ْش ُر ْونَ صٰ ِب ُر ْونَ َي ْغ ِلب ُْوا‬ َ َ‫ض ْال ُمؤْ ِم ِنيْن‬ ِ ‫ٰ ٰٓياَي َها ال َّن ِبي َح ِر‬
َ‫ِمائَتَي ِْن َوا ِْن َّي ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِمائَة َّي ْغ ِلب ُْٰٓوا ا َ ْلفًا ِمنَ الَّ ِذيْنَ َك َف ُر ْوا ِبا َ َّن ُه ْم َق ْوم َّّل َي ْفقَ ُه ْون‬
Artinya
Wahai Nabi (Muhammad)! Kobarkanlah semangat para mukmin untuk
berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus
orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan
seribu orang kafir, karena orang-orang kafir itu adalah kaum yang tidak
mengerti.

Yang dinasakhkan oleh ayat berikutnya 66.

َ ‫ض ْعفًا فَا ِْن َّي ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِمائَة‬


‫صا ِب َرة َّي ْغ ِلب ُْوا‬ َ ‫ع ِل َم ا َ َّن ِف ْي ُك ْم‬
َ ‫ّللاُ َع ْن ُك ْم َو‬ ٰ ‫ف‬ َ َّ‫ا َ ْل ٰـنَ َخف‬
َ‫ص ِب ِريْن‬ ٰ ‫ّللاُ َم َع ال‬ ِ ٰ ‫ِمائَتَي ِْن َوا ِْن َّي ُك ْن ِم ْن ُك ْم ا َ ْلف َّي ْغ ِلب ُْٰٓوا ا َ ْلفَي ِْن ِب ِا ْذ ِن‬
ٰ ‫ّللا ۗ َو‬
Artinya
Sekarang Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui bahwa
ada kelemahan padamu. Maka jika di antara kamu ada seratus orang yang
sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (orang musuh); dan
jika di antara kamu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat

11
mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Allah beserta orang-
orang yang sabar.

b. Al-qur’an menasakhkan As-sunah.


Contoh: Perbuatan nabi dan para sahabat menghadap Baitul Maqdis dalam
shalat dinasakhkan oleh ayat QS: al-baqarah:
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka
sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu
berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya...”.[10]
c. As-sunnah menasakhkan As-sunnah.
Contoh: “aku telah melarangmu menziarahi kubur, maka (sekarang)
ziarahilah
d. As-sunnah menasakhkan Al-qur’an (imam Syafi’i menolak).
Contoh: QS al-Baqarah: 180

‫ص َّيةُ ِل ْل َوا ِلدَي ِْن‬


ِ ‫ض َر أ َ َحدَ ُك ُم ْال َم ْوتُ ِإن ت ََركَ َخي ًْرا ْال َو‬
َ ‫علَ ْي ُك ْم ِإذَا َح‬
َ ‫ب‬ َ ‫ُك ِت‬
َ‫َواأل ْق َر ِبين‬
َ‫علَى ْال ُمتَّقِين‬ ِ ‫ِب ْال َم ْع ُر‬
َ ‫وف َحقًّا‬
Artinya
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
dinasakhkan dengan hadits mutawatir “ketahuilah, tidak ada wasiat untuk
ahli waris”

12
D. Manfaat Ilmu Nasikh Mansukh bagi Kehidupan
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat
besar bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufasir dan ahli ushul, agar
pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Oleh sebab itu,
terdapat banyak atsar [perkataan shahabat dan atau tabi’in] yang mendorong
agar mengetahui masalah ini.
Pengetahuan mengenai ayat-ayat yang pertama kali dan terakhir kali
diturunkan itu mempunyai banyak manfaat, yang terpenting di antaranya:
a) Menjelaskan perhatian yang diperoleh al-Qur’an guna menjaganya dan
menentukan ayat-ayatnya. Para shahabat telah menghayati al-Qur’an ini ayat
demi ayat.
b) Mengetahui rahasia perundang-undangan Islam menurut sejarah sumbernya
yang pokok. Ayat-ayat al-Qur’an dapat mengatasi persoalan kejiwaan manusia
dengan petunjuk ilahi, dan mengantarkannya dengan cara-cara yang bijaksana
dan menempatkan mereka ke tingkat kesempurnaan. Ia dapat bertahan dalam
menetapkan hukum-hukum, sehingga dengan demikian cara hidup mereka
menjadi benar dan urusan masyarakat berada pada jalan yang lurus.
c) Membedakan yang nasikh dan mansukh. Kadang terdapat dua ayat atau lebih
dalam satu masalah, tetapi ketentuan hukum dalam satu ayat berbeda dengan
ayat lain. Apabila diketahui mana yang pertama diturunkan dan mana yang
kemudian, maka ketentuan hukum dalam ayat yang diturunkan kemudian
menasakh [menghapus] ketentuan ayat yang diturunkan sebelumnya.

13
BAB III
KAJIAN AYAT-AYAT MUHKAM DAN MUTASYABIHAT

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabihat


Berasal dari kata ihkam yang secara bahasa berarti kekukuhan,
kesempurnaan, keseksamaan dan pencegahan. Akan tetapi semua pengertian
tersebut kembali pada arti dasarnya yaitu pencegahan. Seperti pada kalimat
ahkam al Amr yang berarti Dia menyempurnakan suatu hal dan mencegahnya
dari kerusakan (Syadali, 1993: 199). Sedangkan kata mutasyabih berasal dari
kata tasyabuh secara etimologis berarti keserupaan dan kesamaan yang
biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal (Syadali, 1993: 199).
Seperti dalam ayat-ayat al Quran yang menggunakan kedua kata tersebut:

ٌ ‫ا ٓلر ِك ٰت‬
‫ب أُحْ ِك َمتْ َءا ٰيتُهُ ث ُ َّم فُ ِصلَتْ ِمنَ الَّ ُد ْن َح ِك ْي ٍم َخبِ ْي ٍر‬
Artinya :
“Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang
Maha Bijaksana lagi Maha tahu” (QS Hud: 1).

ً ‫ث ِك ٰتبا ً ُّمت َ ٰش ِبها‬ َ ْ‫َّللاُ نَ َّز َل أَح‬


ِ ‫سنَ آ ْل َح ِد‬ َّ
Artinya :
“Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al Quran
yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang...” (QS al Zumar:
23).
Kedua contoh ayat di atas terkesan menimbulkan pemahaman yang berbeda.
Untuk itu, Ibnu Habib an Naisaburi berpendapat bahwa al Quran seluruhnya
muhkam berdasarkan ayat pertama, dan al Quran seluruhnya adalah
mutasyabih berdasarkan ayat kedua. Menurutnya ayat pertama adalah
muhkamnya al Quran adalah kesempurnaannya dan tidak adanya pertentangan
antara ayat-ayatnya. Sedangkan maksud mutasyabih pada ayat selanjutnya

14
adalah menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat Quran dalam kebenaran kebaikan
dan kemukjizatannya.
Pendapat itu juga sama seperti yang dilontarkan oleh M. Hasbi Ash
Shiddieqy bahwa al Quran semuanya muhkamah, jika dimaksudkan dengan
kemuhkamannya, dilihat dari komposisi lafadnya dan nilai estetika nadhamnya
sungguh sangat sempurna. Ia juga mengatakan bahwa seluruh al Quran
mutasyabih, jika dikehendaki kemutasyabihannya yaitu kemutamastilan serupa
atau sebanding ayat-ayatnya baik dari aspek balaghohnya maupun i’jaznya
(Hasbi, 1993: 166).
Oleh karena itu baik muhkam dan mutasyabih dengan memandang
pengertian secara mutlak sebagaimana diatas tersebut tidak menafikan satu
Muhammad Anwar Firdausi 83 Ulul Albab Volume 16, No.1 Tahun 2015
dengan yang lain, sehingga pernyataan al Quran itu seluruhnya muhkan adalah
maksudnya itqon (kokoh, indah) artinya ayat-ayatnya serupa dan sebagiannya
membenarkan sebagian yang lain. Sedangkan pengertian muhkam dan
mutsyabih secara terminologi, di kalangan ulama banyak berbeda pendapat.

Seperti al Suyuti telah mengemukakan delapan belas definisi, dan al Zarkoni


juga telah mengemukakan sebelas definisi pula. Dari seluruh definisi tersebut
yang sering dipergunakan ialah sebagai berikut:
a) Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasyabih
hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.
b) Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang
mutasyabih mengandung banyak wajah.
c) Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat deketahui secara langsung,
tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian, ia
memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain (al Qotton,
1994: 304).
d) Muhkam ialah ayat yang jelas ma’nanya dan tidak masuk kepadanya isykal
(kepelikan). Mutasyabih ialah lawannya muhkam atas ismism musytarok
dan lafalnya mubhamah (samar-samar) (Hasbi, 1993: 202). Dari uraian

15
diatas dapat diketahui dua hal penting yang perlu dicermati yaitu pertama,
dalam memperbincangkan muhkam kita tidak banyak mengalami kesulitan
yang berarti. Sedangkan kedua tentang mutasyabihah ternyata tidak sedikit
menimbulkan masalah yang kiranya perlu dibahas lebih lanjut.

B. Sikap Ulama dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Mutasyabihat


Ayat-ayat mutasyabihat timbul karena sifatnya yang mujmal (global) dan itu
tentunya memerlukan takwil. Disisi lain sebagian besar ulama berpendapat,
bahwa ayat-ayat mutasyabihah tidak diketahui takwilnya kecuali oleh Allah.
Sementara orang-orang yang berilmu akan berhenti pada kalimat “dan
orangorang yang berilmu mendalam“, kalimat tersebut mengindikasikan para
ulama ada yang mengetahui takwilnya.
Upaya mencari jalan tengah antara ulama yang berpendapat bahwa ayat
mutasyabih tidak bisa ditakwilkan dengan ulama yang membolehkan takwil,
oleh Raghib al Asfahani mengambil jalan tengah melalui pembagian ayat
mutasyabih menjadi tiga bagian (al Saleh, 2002: 373).
1. lafadh atau 84 Membincang Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih Ulul
Albab Volume 16, No.1 Tahun 2015 ayat yang sama sekali tidak dapat
diketahui hakekatnya. Seperti tentang waktu kiamat dan hal-hal ghaib
lainnya …
2. Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian
dan pengkajian. Seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul
akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya.
3. Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama
tertentu dan bukan semua ulama. Maksudnya yang demikian adalah makna-
makna yang tinggi yang memenuhi hati orang-orang yang jernih jiwanya
dan mujtahid.
Para ulama berbeda dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat. Sebagian
mereka cenderung memahaminya secara leterlek (harfiah) dan sebagian yang
lain melihatnya sebagai isyarat kepada takwil. Dalam hal ini sangat ditentukan

16
oleh persepsi mereka dalam melihat ayat-ayat itu, apakah ia dapat ditafsirkan
(ditakwilkan) atau tidak.
Dalam pandangan Subhi As Shalih, ia membedakan pendapat ulama dalam
dua madzhab.
a. Madzhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan meyakini sifat-
sifat mutasyabih dan menyerahkan hakekatnya kepada Allah sendiri (al
Saleh, 1995: 211). Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui
hakekat maksud ayat-ayat mutasyabihat kepada Allah. Oleh karenanya,
mereka disebut Mufawidah atau Tafwid. Sistem penafsiran tersebut
secara umum digunakan Madzhab Salaf dalam memahami ayat-ayat
mutasyabihah. Dalam aplikasinya mereka menggunakan argumen aqli
dan naqli.
b. Madzhab Khalaf yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna
lahirnya mustahil dengan makna yang sesuai dan laik untuk dzat Allah.
Oleh sebab itu mereka disebut Muawwilah atau Madzhab Takwil. Seperti
mereka memaknakan istiwa dengan ketinggian yang abstrak, berupa
pengendalian Allah terhadap alam. Kedatangan Allah diartikan dengan
kedatangan perintahnya. Allah berada diatas hamba-Nya dengan Allah
Maha Tinggi, bukan berada suatu tempat. Sisi Allah dengan hak Allah.
Wajah dengan dzat mata dengan pengawasan, tangan dengan kekuasaan
dan diri dengan siksa.
Di samping kedua madzhab diatas masih ada lagi madzhab ketiga seperti
yang dikemukakan oleh as Suyuti bahwa Ibnu Daqiq berpendapat jika takwil
itu dekat dari bahasa arab, maka tidak dipungkiri dan jika takwil itu jauh maka
kita tawakkuf (tidak memutuskannya). Jadi kita meyakini maknanya menurut
cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari sesuatu yang tidak laik
bagi-Nya. Seperti sesuatu yang maknanya lafalnya nyata serta bisa dipahami
dari percakapan orang arab kita terima yang demikian tanpa tawakkuf, Dari
ketiga madzhab tersebut, masing–masing mempunyai argumentasi sendiri dan
bisa dikompromikan. Sebab mereka percaya makna yang diambil dari hasil
penakwilan dan penafsiran, bukanlah merupakan makna yang pasti bagi ayat-

17
ayat mutasyabihat itu, dan tak seorang pun bisa menjamin bahwa itulah makna
yang sebenarnya, dan mereka menyerahkan maknanya kepada Allah, sehingga
pada akhirnya semua pihak bisa menerimanya.

C. Huruf Al Muqotto’ah Dalam Pandangan Ulama


Dalam pandangan as Suyuti huruf al muqotto’ah dikategorikan sebagai ayat-
ayat mutasyabihat (Syadali dkk, 1997: 186). Oleh karena itu para ulama
berbeda pandangan dalam menakwilkannya dan menafsirkannya sebagai
berikut :
1. Az Zamaksyari dalam tafsirnya al Qasysyaf, bahwa huruf-huruf itu
maknanya ada tiga yaitu merupakan nama surat, sumpah Allah dan agar
menarik perhatian orang yang mendengarkannya.
2. Al Quwaibi mengatakan bahwasanya kalimat itu merupakan tanbih bagi
Nabi. Maksudnya ketika Nabi dalam kondisi sibuk, Allah mengutus Jibril
untuk memberikan perhatian terhadap apa yang disampaikan kepadanya.
3. As Sayyid Rasyid Ridha tidak membenarkan al Quwaibi, karena Nabi
senantiasa dalam keadaan sadar dan senantiasa menanti kedatangan wahyu.
4. Ulama Salaf berpandangan bahwa fawatih as suwar atau huruf al
muqotto’ah telah tersusun sejak zaman azali.
5. As Suyuti menukilkan pendapat Ibnu Abbas tentang huruf tersebut sebagai
berikut (Syadali dkk, 1997: 196):
‫ انا اهلل اعلم‬berarti ‫الم انااهلل‬
‫ أعلم وأفصل‬berarti ‫املص انا اهلل‬
‫ أرى‬berarti ‫الر‬

18
D. Macam-Macam Ayat Muhkam dan Mutasyabihat
Menurut Abdul Jalal, macam-macam ayat Mutasyabihat ada tiga macam:
1. Ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat
manusia, kecuali Allah SWT.
2. Ayat-ayat yang Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang
denganBanyaknya perbedaan pendapat mengenai muhkan dan mutasyabih,
menyulitkan untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk muhkan
dan mutasyabih. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah yang menuntut
penelitian. Jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Seperti
pencirian mujmal, menentukan mutasyarak, mengqayyidkan yang mutlak,
menertibkan yang kurang tertib.
3. Ayat-ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu
dan sains, bukan oleh semua orang, apa lagi orang awam. Hal ini termasuk
urusan-urusan yang hanya diketahui Allah SWT dan orang-orang yang
rosikh (mendalam) ilmu pengetahuan.

E. Karakteristik Al-Muhkam dan Mutasyabihat


J.M.S Baljon mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat barwa yang
termasuk kriteria ayat-ayat muhkam adalah apabia ayat-ayat tersebut
berhubungan dengan hakikat (kenyataan). Sedangkan ayat-ayat mutasyabih
adalah yang menuntut penelitian.
Ar-Raghib al-Ashfihani memberikan kriteria ayat-ayat muhkam dan
mutasyabih sebagai berikut :
1. Muhkam
a) Yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat yang lain
b) Ayat-ayat yang menghalalkan atau membatalkan ayat-ayat lain.
c) Ayat-ayat yang mengandung kewajiban yang harus diimani dan
diamalkan.
2. Mutasyabih
a) Yakni ayat-ayat yang tidak diketahui hakikat maknanya seperti tibanya
hari kiamat.

19
b) Ayat-ayat yang dapat diketahui maknanya dengan sarana bantu baik
dengan hadits atau ayat muhkam.
c) Ayat yang hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya,
sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rosululloh untuk ibnu Abbas “Ya
Alloh, karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan
limpahkanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya,”.

F. Hikmah Adanya Ayat-Ayat Mutasyabihat.


Allah menciptakan segala sesuatu pasti ada hikmahnya, begitu juga dengan
keberadaan ayat-ayat mutasyabihat memiliki hikmah sebagai berikut:
1. Sebagai rahmat Allah kepada manusia agar mereka selalu berpikir. Allah
merahasiakan banyak hal, agar mereka mencari dan berupaya mendapatkan
serta membuka misteri-misteri itu. Maka dengan adanya ayat-ayat
mutasyabihat manusia tidak bergantung secara terus menerus pada
penjelasan Allah, tetapi mereka bisa bergerak sendiri untuk mencari
kebenaran dengan bantuan cahaya ayat-ayat Allah.
2. Sebagai cobaan dari Allah. Maksudnya dengan adanya ayat-ayat
mutasyabihat, manusia diuji keimanannya, apakah mereka tetap percaya dan
tunduk kepada ayat-ayat Allah atau berpaling dan cenderung memperalat
ayat-ayat Allah untuk kepentingan pribadi (mengikuti hawa nafsu)
3. Sesuai dengan perkataan Fakhr ar Raziy, ayat-ayat al Quran ditujukan
kepada semua manusia. Oleh karena itu ia diformulasikan dalam bahasa
yang universal dan mengandung berbagai kemungkinan untuk ditakwilkan.
Didalamnya mengandung berbagai isyarat dan ketentuan-ketentuan yang
pasti. Dengan demikian ayat-ayat mutasyabihat adalah konsekuensi yang
tidak dapat dielakkan untuk menjaga keutuhan dan universalitas al Quran itu
sendiri.
4. Untuk menjadi bukti kelemahan manusia atas kebesaran Allah dan
ketinggian ayat-ayat-Nya. Dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat, manusia

20
dijadikan tunduk terhadap ketentuan-Nya dan menghancurkan
kesombongannya terhadap ketetapan-ketetapan Allah. Selanjutnya ayat-ayat
mutasyabihat menunjukkan keterbatasan manusia yang harus mereka sadari
setiap saat.
5. Untuk memberikan kebebasan kepada manusia untuk berbeda dalam 88
Membincang Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih Ulul Albab Volume 16,
No.1 Tahun 2015 penafsiran dalam rangka menjadikan mereka lebih
terbuka dan toleran. Sekiranya semua ayat adalah muhkamat, maka yang
terjadi adalah kebekuan dan statis, madzhab hanya satu, dan manusia tidak
lagi berkompetisi dalam mencari kebenaran (Zarqony, 1998: 272).

G. Contoh Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabihat


1. Contoh ayat Muhkam
a) Q.S Hud : 1

ٌ ‫ا ٓلر ِك ٰت‬
‫ب أُحْ ِك َمتْ َءا ٰيتُهُ ث ُ َّم فُ ِصلَتْ ِمنَ الَّ ُد ْن َح ِك ْي ٍم َخ ِب ْي ٍر‬
Artinya :
“Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan
rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah)
yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu” (QS Hud: 1).
b) Q.S AZ-Zumar : 23
ً ‫ث ِك ٰتبا ً ُّمت َ ٰش ِبها‬ َ ْ‫َّللاُ نَ َّز َل أَح‬
ِ ‫سنَ آ ْل َح ِد‬ َّ
Artinya :
“Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al Quran
yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang”(QS al Zumar:
23).
c) Q.S Yunus : 1

ِ ‫ب ا ْلح ِك‬
‫يم‬ ِ ‫الر ۚ تِ ْلك آيات ا ْل ِكتا‬
Artinya :

21
“Alif laam raa. Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah.“
d) Q.S Al-Ikhlas : 4

‫ول ْم يك ْن لَّه كف ًوا احد‬


Artinya :
"Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”

e) Q.S Asy-Syura ayat 11

َّ ‫ل ْيس ك ِمثْ ِله ش ْيء وهو ال‬


‫س ِم ْيع ا ْلب ِص ْير‬
Artinya :
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha
Mendengar, Maha Melihat."
2. Contoh ayat Mutasyabihat
a) Q.S At-Thaha/20 : 110

‫ِيه ْم وما خ ْلفه ْم ول ي ِحيطون ِب ِه ِع ْل ًما‬


ِ ‫ي ْعلم ما ب ْين أ ْيد‬
Artinya :
“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di
belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya”
[Thahaa/20 : 110]
b) Q.S Al-An’am/6 :103
ُ ‫يف ْال َخ ِب‬
‫ير‬ ُ ِ‫ار ۖ َوه َُو اللَّط‬
َ ‫ص‬َ ‫ار َوه َُو يُد ِْركُ ْاْل َ ْب‬
ُ ‫ص‬َ ‫َّل تُد ِْر ُكهُ ْاْل َ ْب‬
Artinya ;
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia dapat melihat
segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha
Mengetahui” [Al-An’am/6 : 103]
c) Q.S At-Thaha/20 : 5
‫علَى ْال َع ْر ِش ا ْست ََو ٰى‬
َ ُ‫الر ْح ٰ َمن‬
َّ
Artinya :
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy”
[Thahaa/20 : 5]

22
BAB IV
MUNASABATUL AYAT
A. PENGERTIAN MUNASABAH
Secara etimologi, munâsabah berasal dari akar kata ‫; نسب‬mengandung arti
satu, berdekatan, mirip, menyerupai. Menurut Zarkasyi-az Imam. ‫فُالَنً يُنَاسِبُ فُالَنًا‬
ungkapan itu karena mengartikan ungkapan tersebut dengan dua orang yang
mempunyai kemiripan atau kedekatan. Kata terdekat lain nâsib memiliki arti
ada hubungan dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu dan semacamnya.
Jika keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka disebut
kerabat (qarabah). Di dalam buku berbahasa Indonesia dipakai beberapa istilah
yang bervariasi sebagai sinonim dari munâsabah, seperti kesesuaian, hubungan,
korelasi, kaitan, pertalian, tanasub, relevansi, dan di antaranya tetap memakai
istilah munâsabah itu sendiri.
Imam al-Alma’i mendefinisikan al-munâsabah dengan pertalian antara dua
hal dalam aspek apapun dan dari berbagai aspeknya. Begitu juga Manna’ al-
Qaththan yang mengartikan al-munâsabah dengan adanya aspek hubungan
antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat
dengan ayat lain dalam himpunan beberapa ayat, ataupun hubungan surat satu
dengan surat yang lain. Pengertian al-munâsabah yang dikemukakan dua ulama
ini sangat luas sekali, dan ketika diterapkan dalam ayat dan surat al-Qur'an
dapat dikatakan bahwa al-munâsabah adalah suatu ilmu al-Qur’an yang
menyajikan segala hubungan (keterikatan) yang terdapat dalam kalimat (dalam
satu ayat) antar ayat dan antar surat dalam al-Qur'an. Imam as-Suyuthi sendiri
menemukan aspek munâsabah sebanyak tiga belas point. Yang menyiratkan al-
munâsabah ialah almusyakalah (menyerupai) dan al-muqarabah (berdekatan).
Yaitu al-munâsabah yang dapat dilihat dari dua segi: makna dan kepastian
hubungan dalam analogi. Dari segi makna seperti makna ‘am dan khas atau
aqli dan hissi atau khayali; dan dari segi analogi seperti sebab dan akibat
(kausalitas), ‘illat dan ma ̒ lul, dua hal yang serupa atau dua hal yang
berlawanan.

23
Adapun secara terminologi atau istilah yang diberikan para ulama,
munâsabah adalah ilmu yang mengaitkan bagian-bagian awal ayat dan
akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan khusus atau hubungan antar ayat yang
terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan
(ta’aruḍ) dan sebagainya. Sebegitu eratnya hubungan antara bagian satu
dengan bagian yang lain dalam al-Qur’an dari unsur paling terkecil hingga
menjadi seperti bangunan yang kukuh, utuh, sempurna dan - sesuai istilah
imam az-Zarkasy- bagian-bagiannya tersusun harmonis. Lebih jauh lagi az-
Zarkasyi menempatkan ilmu munâsabah adalah satu dari sekian banyaknya
segi kemukjizatan al-Qur’an (i’jaz al-Qur’an). Dari sudut ini, ilmu munâsabah
berkaitan erat dengan kajian akan mekanisme teks yang khusus, yang
membedakannya dari teks-teks yang lain dalam kebudayaan.

B. BENTUK-BENTUK MUNASABATUL AYAT


Al-Munaasabah Antar Ayat yaitu “Persesusaian antara ayat dengan ayat
dalam satu surat”. Munasabah model ini akan kelihatan jelas pada surat
surat pendek yang mengandung satu tema pokok. Sebagai contoh Surat al-
Ikhlas; terdapat munasabah antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu surat.
Masing-masing ayat dalam surat itu menguatkan tema pokoknya yaitu keesaan
Allah. Dapat diperhatikan ayat-ayat pada awal surat al-Baqarah mulai ayat 1-
20. Ayat-ayat tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: a)
keimanan, merupakan ayat 1-5; b) kekufuran, perhatikan ayat 6-7; dan c)
kemunafikan dari ayat 8-20. Dalam membedakan ketiga kelompok tersebut
secara jelas dengan menarik hubungan antara ayat-ayat tersebut. Misalnya
dengan menyebut sifat-sifat mukmin, kafir dan munafik secara runtun dan
berdekatan maka akan memberikan pemahaman yang lebih gamblang dan
utuh tentang watak ketiga golongan itu. Oleh karenanya akan amat masuk akal
ketika ketiga golongan tersebut disebut secara berurutan, sehingga
memudahkan dalam menyerap informasi. Adapun bentuk-bentuk Al-
Munaasabah antar ayat adalah sebagai berikut:

24
1. Al-Tandzir (membandingkan)
Al-Tandzir yaitu Membandingkan dua hal yang sebanding menurut
kebiasaan orang yang berakal. Contohnya ayat 5. Surat Al-Anfal:

)5( َ‫ق َواِنَّ فَ ِر ْيقًا ِمنَ ا ْل ُم ْؤ ِمنِ ْينَ لَ ٰك ِر ُه ْون‬ ْۢ


ِ ِّۖ ‫َك َما ٓ ا َ ْخ َر َجكَ َربُّكَ ِم ْن بَ ْيتِكَ ِبا ْل َح‬
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan
kebenaran, padahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman
itu tidak menyukainya”.
Di sini ada dua keadaan yang sebanding, Allah memerintahkan
kepada Rasul-Nya untak membagikan harta rampasan perang, padahal ada
beberapa sahabat yang tidak senang. Kondisi sahabat seperti itu sama
dengan kondisi mereka pada saat diajak keluar untuk berperang. Ayat-ayat
tersebut memberi petunjuk agar mereka dapat mengambi pelajaran, harus
taat menjalankan segala apa yang diperintahkan kepada mereka dan
mengendalikan hawa nafsu.
2. Al-Mudladat (perlawanan)
Contohnya berda pada ayat 6, Surat Al-Baqarah:

َ ‫س َو ۤا ٌء‬
)6( َ‫ع َل ْي ِه ْم َءا َ ْنذَ ْرت َ ُه ْم ا َ ْم لَ ْم ت ُ ْنذ ِْر ُه ْم ََل يُ ْؤ ِمنُ ْون‬ َ ‫اِنَّ الَّ ِذ ْينَ َكفَ ُر ْوا‬
Terjemahan:
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri
peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan
beriman”.
Ayat ini menerangkan watak orang kafir, sedangkan di awal surat
Allah menerangkan watak orang-orang mukmin serta sitat-sifat mereka
yang membawa keberuntungan. Gunanya untuk memperjelas perbedaan
antara dua kelompok sosial dalam menerima petunjuk Allah SWT.
3. Al-Takhallus (peralihan)
Al-Takhallus yaitu Peralihan sebagaimana istithrad, akan tetapi
takballus (peralihan) disini adalah peralihan yang terus menerus dan tidak
kembali lagi kepada pembicaraan pertama. Contohnya berada pada ayat 17
sampai 20, suratA1-Ghasyiyah :

25
َ ‫اء َك ْي‬
)18( ْ‫ف ُرفِعَت‬ َّ ‫) َوإِلَى ال‬17( ْ‫ف ُخ ِلقَت‬
ِ ‫س َم‬ ِ ْ ‫ظ ُرونَ إِلَى‬
َ ‫اْلبِ ِل َك ْي‬ ُ ‫أَفَ ََل يَ ْن‬
)20( ْ‫س ِط َحت‬ ُ ‫ف‬ ِ ‫) َو ِإلَى ْاْل َ ْر‬19( ْ‫ف نُ ِص َبت‬
َ ‫ض َك ْي‬ َ ‫َو ِإلَى ا ْل ِج َبا ِل َك ْي‬
Terjemahan:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung- gunung
bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”
Ayat ini mengandung materi pembicaraan yang beralih terus dimulai
dari unta, langit, gunung dan bumi. Al-Zarkasyi menunjukan adanya
munasabah antara ayat-ayat tersebut, dengan menyatakan bahwa masyarakat
badui yang hidup primitive pada waktu turunnya Al-Qur’an, binatang unta
adalah sangat penting untuk kehidupan mereka dan unta itu memerlukan air.
Itulah sebabnya mereka selalu memandang ke langit untuk mengharapkan
hujan turun. Mereka juga memerlukan tempat aman untuk berlindung. Dan
tempat itu tiada lain kecuali gunung-gunung. Kemudian mereka selalu
berpindah- pindah dari satu tempat ke tempat
yang lainnya untuk kelangsungan hidup Mereka (nomaden).
4. Munaasabah antara Fashilat (penutup ayat) dengan isi ayat
Munaasabah dalam bentuk ini sebagaimana diungkap oleh Az-
Zarkasyi, mengandung tujuan-tujuan tertentu. Diantara tujuan itu adalah
tamkin (memperkokoh), artinya fashilat yang ada dalam ayat itu digunakan
untuk menguatkan makna yang terkandung di dalamnya. Contohnya berada
pada ayat 25 surat Al-Ahzab:

َ‫َّللاُ ا ْل ُم ْؤ ِم ِنينَ ا ْل ِقتَا َل َوكَان‬


َّ ‫َّللاُ الَّ ِذينَ َكفَ ُروا ِبغَ ْي ِظ ِه ْم لَ ْم يَ َنالُوا َخ ْي ًرا َو َك َفى‬
َّ ‫َو َر َّد‬
ً ‫َّللاُ قَ ِويًّا ع َِز‬
)25( ‫يزا‬ َّ
Terjemahan:
“Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan
mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan
apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan .
Dan Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.

26
Dalam ayat ini tanpa fashilat, dapat memberi pemahaman bahwa Tuhan
menghindarkan orang-orang mukmin dari berperang disebabkan kelemahan
mereka lantaran datangnya angin kencang. Pemahaman yang tidak lurus ini
diluruskan dengan fashilat yang artinya Allah Maha Kuasa lagi Maha
Perkasa. Gunanya agar orang-orang mukmin bertambah kuat keyakinan
mereka dan merasa merekalah yang akan menang. Tujuan lain dari fashilat
adalah al-iqhal, yaitu penjelasan tambahan yang sifatnya mempertajam
makna ayat, meskipun kandungan ayat sudah dapat dipahami.
5. Munaasabah antara awal uraian surah dengan akhir uraian surah
Misalnya Surat Al-Qashash, Permulaan surat menjelaskan tentang
perjuangan Nabi Musa menghadapi kekejaman Fir‘aun. Atas perintah Allah
dan pertolongan-Nya Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir. Di akhir surah
Allah menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang
menghadapitekanan dari kaumnya dan Allah juga menjanjikan akan
mengembalikannya ke Mekah lagi. Kemudian jika di awal surat dikatakaan
bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang yang berbuat dosa, maka di
akhir surat Nabi Muhammad dilarang menolong orang-orang kafir.
Munaasabahnya terletak pada keamanan situasi yang dihadapi Nabi Musa
dan Nabi Muhammad, dan keduanya sama-sama mendapat jaminan dari
Allah, akan memperoleh kemenangan.

C. CARA MENGETAHUI MUNASABAH


Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat
ijtihadi. Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihad karena
tidak ditemukan riwayat, baik dari Nabi maupun dari sahabatnya. Oleh karena
itu, tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al-
Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian dan
peristiwa yang ada. Menurut Syekh Izzudin bin Abdus Salam bahwa seseorang
mufassir terkadang seorang musafir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan
yang lainnya dan terkadang tidak menemukan. Jika tidak menemukan
keterkaitan keterkaitan, mufassir tidak diperkenankan memaksakan diri, karena

27
jika memaksakan berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya. Jadi
dalam hal ini dibutuhkan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. Kalaupun
itu terjadi, ia mengaitkannya hanya dengan ikatan-ikatan lemah yang
pembicaraan yang baik saja pasti terhindar darinya, apalagi kalam yang terbaik.
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dalam surah (munasabah) dalam
Al-Qur’an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi
menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan
munasabah ini, yaitu :
1. Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi obyek
pencarian.
2. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas
dalam surat.
3. Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau
tidak.
4. Dalam mengambil kesimpulannya hendaknya memperhatikan ungkapan-
ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.

D. URGENSI DAN KEGUNAAN MEMPELAJARI MUNASABAH


Kajian tentang munasabah sangat penting dalam penafsiran al-Qur’an yang
berfungsi untuk menunjukkan keserasian antara satu surah dengan surah
berikutnya, keserasian antara kalimat dengan kalimat dalam satu ayat, dan juga
keserasian antara satu ayat dengan ayat berikutnya. Ketika kita menemukan
ayat-ayat yang nampaknya tidak punya kaitan sama sekali, sebagian orang
yang tidak memahami munasabah akan langsung mempertanyakan kenapa
penyajian Al-Qur'an melompat-lompat dari satu tema ke tema yang lain atau
dari satu masalah ke masalah lain secara tidak sistematis. Setelah mengetahui
munasabah, orang menyadari betapa al-Qur'an tersusun dengan sangat serasi
dan sistematis, tetapi tentu saja sangat berbeda dengan sistematika penyusunan
dan penulisan buku-buku serta karya ilmiah buatan manusia saat ini.

28
Menurut al-Suyuti, ilmu munasabah adalah ilmu yang sangat penting dalam
proses penafsiran al-Qur'an, namun hanya sedikit di antara para mufassir yang
memberikan perhatiannya karena ilmu ini dinilai sangat memerlukan ketelitian
dan kejelian bagi orang menafsirkan al-Qur’an. Di antara mufassir yang
banyak memberikan perhatian terhadap ilmu munasabah adalah Imam
Fakhruddin al-Razi. Menurut Al-Razi bahwa sebagian besar rahasia yang
tersembunyi dari al-Qur'an tersimpan dalam persoalan urutan surah dan ayat
serta kaitan antara satu dengan yang lainnya. Khusus tentang Surah al-Baqarah
misalnya, al-Razi menyatakan bahwa siapa saja yang memperhatikan rahasia
susunan ayat-ayat dalam surah ini akan mengetahui bahwa al-Qur'an, tidak
hanya mukjizat dari segi kefasihan lafal-lafal dan kehebatan isinya, namun juga
mukjizat dari segi susunan surah dan ayat-ayatnya.
Para ulama sepakat bahwa Al-Qur’an yang diturunkan dalam jangka waktu
20 tahun lebih yang mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yang
berbeda-beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan
erat, sehingga tidak perlu mencari asbab Nuzulnya, sebab pertautan satu ayat
dengan ayat lainnya sudah bisa mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu pulalah,
Az-Zarkasyi mengatakan bahwa lebih utama mengemukakan munasabah jika
tidak terdapat asbab An-Nuzul.
Adapun kegunaan mempelajari Ilmu Munasabah dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-
Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya.
Contohnya terhadap firman Allah dalam surah Al-Baqarah/2:189:

‫س ا ْلبِ ُّر بِا َ ْن‬ ِ ‫اس َوا ْل َح‬


َ ‫ج ۗ َولَ ْي‬ ِ َّ‫۞ يَسـَٔلُ ْونَكَ ع َِن ْاَلَ ِهلَّ ِة ۗ قُ ْل ِه َي َم َواقِيْتُ ِللن‬
ِّۖ ‫ظ ُه ْو ِر َها َو ٰل ِكنَّ ا ْلبِ َّر َم ِن اتَّ ٰق ۚى َوأْتُوا ا ْلبُيُ ْوتَ ِم ْن ا َ ْب َوا ِب َها‬
ُ ‫تَأْتُوا ا ْل ُبيُ ْوتَ ِم ْن‬
ََ ‫َّللا لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْون‬
َ ‫َواتَّقُوا ه‬
Terjemahnya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan

29
bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi
kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar
kamu beruntung”.
Orang yang membaca ayat tersebut pasti akan bertanya: Apakah hubungan
atau korelasi antara pembicaraan bulan sabit dengan pembicaraan mendatangi
suatu rumah. Dalam menjelaskan munasabah antara kedua pembicaraan itu,
Az-Zarkasy menjelaskan: “Sudah diketahui bahwa ciptaan Allah mempunyai
hikmah yang jelas dan mempunyai kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya,
maka tinggalkan pertanyaan tentang hal itu, dan perhatikanlah sesuatu yang
engkau anggap sebagai kebaikan, padahal sama sekali bukan merupakan
sebuah kebaikan.”
2. Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian al-Qur’an, baik
antara kalimat atau antar-ayat maupun antar-surah, sehingga lebih
memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Qur’an dan
memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3. Dapat mengetahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa al-Qur’an dan
konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta
persesuaian ayat atau surah yang satu dari yang lain.
4. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an setelah diketahui
hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.

30
E. CONTOH MUNASABATUL AYAT DALAM AL-QUR’AN
Contohnya terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 245 dengan surat Ali Imran

ayat 181.

ُ ‫ّللاُ َي ْق ِب‬
‫ض‬ ْ َ ‫ُض ِعفَه لَ ٰٓه ا‬
ٰ ‫ضعَافًا َك ِثي َْرة ً ۗ َو‬ ٰ ‫س ًنا فَي‬ ً ‫ّللا قَ ْر‬
َ ‫ضا َح‬ َٰ ‫ض‬ ُ ‫ي يُ ْق ِر‬ ْ ‫َم ْن ذَا الَّ ِذ‬
َ‫ط َواِلَ ْي ِه ت ُ ْر َجعُ ْون‬ُ ۖ ‫ْص‬
ُ ‫َو َيب‬
Artinya :
“Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah
melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan
melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”(Q.S Al-
Baqarah: 245)

‫ب َما قَالُ ْوا َوقَ ْتلَ ُه ُم‬ َ ۘ ‫ّٰللا فَ ِقي ٌْر َّونَحْ ُن ا َ ْغ ِن َي ۤا ُء‬
ُ ُ ‫س َن ْكت‬ َ ‫ّٰللاُ قَ ْو َل الَّ ِذيْنَ قَالُ ْْٓوا ا َِّن ه‬
‫س ِم َع ه‬َ ‫لَقَ ْد‬
ِ ‫اب ْال َح ِر ْي‬
‫ق‬ َ َ ‫عذ‬ َ ‫ْاْلَ ْۢ ْن ِب َي ۤا َء ِبغَي ِْر َح ٍّۙق َّو َنقُ ْو ُل ذُ ْوقُ ْوا‬
Artinya :
“Sungguh, Allah telah mendengar perkataan orang-orang (Yahudi) yang
mengatakan, “Sesungguhnya Allah itu miskin dan kami kaya.” Kami akan
mencatat perkataan mereka dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa
hak (alasan yang benar), dan Kami akan mengatakan (kepada mereka),
“Rasakanlah olehmu azab yang membakar!”

Untuk memahami mengapa Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat
181 maka ayat tersebut harus dikorelasikan dengan surat Al-Baqarah ayat 245.
Dari penjelasan tersebut menunjukkan bahwasanya untuk memahami surat Al-
Baqarah ayat 245 dan surat Ali Imran ayat 181 maka harus dimunasabahkan
keduanya.

31
BAB V
KAJIAN ILMU IJAZ AL-QUR’AN, QASHASH AL-QUR’AN
DAN JADL AL-QUR’AN

A. ILMU IJAZ
1. PENGERTIAN ILMU IJAZ
Pengertian I’jaz AI-Qur’an Secara etimologis kata ‫ (‘اعجاز‬jaz( berasal
dari akar kata ‫ (’عجز‬ajun (artinya tidak mampu/kuasa. Kata ‫ عجز‬adalah jenis
kata yang tidak memiliki muatan aktifitas (pasif). Kemudian kata ini dapat
berkembang menjadi kata kerja aktif supaya dengan wajan (af’ala) ‫يعجز‬
‫ )اعجز‬a`jaza-yu’jizu) berarti melemahkan, dengan demikian, Al-Qur`an
sebagai mukjizat bermakna bahwa AI-Qur`an merupakan sesuatu yang
mampu melemahkan tentang menciptakan karya yang serupa dengannya.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, “kata mukjizat” diartikan sebagai
kejadian yang luar biasa yang sukar dijangkau oleh akal pikiran manusia.
Pengertian ini punya muatan yang berbeda dengan pengertian i`jaz dalam
perspektif islam.
I`jaz sesungguhnya menetapkan kelemahan ketika mukjizat telah
terbukti, maka yang nampak kemudian adalah kemampuan atau “mu`jiz”
[yang melemahkan], oleh sebab itu i`jaz AI-Qur`an menampakan kebenaran
Muhammad SAW dalam pengakuannya sebagai rosul yang memperlihatkan
kelemahan manusia dalam menandingi mukjizatnya.
Kemukjizatan menurut persepsi ulama harus memenuhi keriteria 5 syarat
sebagai berikut:
1. Mukjizat harus berupa sesuatu yang tidak di sanggupi oleh makhluk
sekalian alam.
2. Tidak sesuai dengan kebiasaan dan tidak berlawanan dengan hukum
islam.
3. Mukjizat harus berupa hal yang dijadikan saksi oleh seorang mengaku
membawa risalah ilahi sebagai bukti atas kebenaran dan kebesarannya.

32
4. Terjadi bertepatan dengan penagakuan nabi yang mengajak bertanding
menggunakan mukjizat tersebut.
5. Tidak ada seorang pun yang dapat membuktikan dan membandingkan
dalam pertandingan tersebut.
Sedang yang di maksud dengan i`jaz secara terminology ilmu AI-Qur`an
sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli sebagai berikut:
1. Menurut Manna’ Khalil Al-Qhatan I`jaz adalah menampakkan kebenaran
nabi SAW dalam pengakuan orang lain sebagai rasul utusan Allah SWT
dengan menampakan kelemahan orang-orang Arab untuk menandinginya
atau menghadapi mukjizat yang abadi. Yaitu AL Qur`an dan kelemahan-
kelemahan generasi sesudah mereka.
2. Menurut Ali Al-Shabuni I`jaz ialah menetapkan kelemahan manusia baik
secara kelompok maupun bersama-sama untuk menandingi hal yang
serupa dengannya, maka mukjizat merupakan buktiyang datangnya dari
Allah SWT yang di berikan kepada hamba-Nya.

2. MACAM-MACAM MUKJIZAT AL-QUR’AN


Macam-macam Ijaz al-Qur’an Secara garis besarnya, i'jaz dapat dibagi ke
dalam dua bagian pokok, yaitu:
1. Mu’jizat material inderawi Mukjizat para nabi terdahulu sebelum Nabi
Muhammad saw. semuanya merupakan jenis ”Mukjizat material
inderawi”. Mukjizat yang dimiliki oleh para nabi tersebut, dapat langsung
disaksikan oleh mata telanjang atau dapat ditangkap oleh indera mata,
tanpa perlu dianalisa. Namun peristiwa tersebut hanya ada dan terbatas
pada kaum (masyarakat) di mana seorang nabi tersebut diutus.
2. Mu’jizat immaterial logis dan kekal Adapun mukjizat yang diberikan
kepada Nabi Muhammad Saw yaitu mu’jizat yang bersifat immaterial
logis dan kekal, yaitu berupa al-Qur’an. Hal ini dimaksudkan bahwa
Nabi Muhammad diutus kepada seluruh umat manusia hingga akhir
zaman. Al-Qur’an sebagai bukti kebenaran ajarannya, ia harus siap untuk

33
disajikan kepada semua orang, kapanpun, tanpa mengenal batas waktu,
situasi, dan kondisi apapun.

Dr. Abd. Rozzaq Naufal, membagi i’jaz al-Qurân menjadi empat macam,
yaitu:
1. Al-I`jaz al-Balaghy, yaitu kemukjizatan segi sastra balaghah-nya, yang
muncul pada masa peningkatan mutu sastra Arab.
2. Al-I`jaz al-Tashri`iy, yaitu kemukjizatan dalam segi pensyariatan hukum-
hukum ajarannya, yang muncul pada masa penetapan hukum hukum
syariat Islam.
3. Al-I’jaz al-Ilmy, yaitu kemukjizatan dalam segi ilmu pengetahuan, yang
muncul pada masa kebangkitan ilmu dan sains di kalangan umat Islam.
4. Al-I’jaz al-Adadi, yaitu kemukjizatan segi kuantiti atau
matematis/statistik, yang muncul pada abad ilmu pengetahuan dan
teknologi canggih.

3. SEGI-SEGI KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN


a) Segi Kebahasaan
Kendatipun Al-Qur’an,hadits qudsi dan hadits nabawi sama-sama
keluar dari mulut Nabi tetapi uslub atau susunan bahasanya sangat jau
berbeda. Al-Qur’an muncul dengan uslub yang begitu indah. Uslub
bahasa Al-Qur’an jauh lebih tinggi kualitasnya bila di bandingkan
dengan lainnya. Dalam Al- Qur’an, banyak ayat yang maenagandung
tasybih (penyerupaan) yang di susun dalam bentuk bahasa yang sangat
indah lagi mempesona, jauh lebih indah dari pada apa yang di buat oleh
penyair dan sastrawan.
Kemukjizatannya Al-Qur’an dari segi bahasanya bisa kita liat dari tiga
hal yaitu :
a. Nada dan lagamnya

34
b. Singkat dan padat
c. Memuaskan para pemikir kebanyakan orang

b) Segi Hukum Illahi yang Sempurna


Al-Qur’an menjelaskan pokok akidah, norma-norma keutamaan,
sopan-santun undang-undang, ekonomi, politik, sosial, dan
kemasyarakatan, serta hukum-hukum ibadah. Apabilah kita
memperhatikan pokok-okok ibadah, kita akan memperoleh kenyataan
bahwa islam telah memperluasnya dan menganekaragamkan serta
meramunya menjadi ibadah amaliyah, seperti zakat dan sedekah. Ada
juga yang berupa ibadah amaliyah sekaligus ibadah badaniyah, seperti
berjuang di jalan Allah.
c) Segi Gaya Bahasa
Gaya bahasa Al-Qur’an membuat orang Arab pada saat itu merasa
kagum dan terpesona. Al-Qur’an secara tegas menentang semua
sastrawan pada orator Arab untuk menandingi ketinggian Al-Qur’an baik
bahasa maupun susunanya. Setiap kali mereka mencoba menandingi,
mereka mengalami kesulitan dan kegagalan dan bahkan mencapat
cemoohan dari masyarakat. Diantara pendusta dan musyrik Arab pada
saat itu yang berusaha untuk menandingi ialah musailimah Kadzazab dan
tokohtokoh masyarakat Arab lain pada waktu itu yang ingin menandingi
kalam Allah itu, namun selalu mengalami kegagalan.

4. TUJUAN MEMPELAJARI ILM IJAZ


a) Membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW yang membawa mukjizat
kitab Alquran itu adalah benar-benar seorang Nabi/Rasul Allah.
b) Membuktikan bahwa kitab Alquran itu adalah benar-benar wahyu Allah
SWT, bukan buatan Malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi Muhammad
SAW.

35
c) Menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghah bahasan manusia,
karena terbukti pakar-pakar pujangga sastra dan seni bahasa Arab tidak
ada yang mampu menandingi Alquran.
d) Mendefinisikan I’jaz dan Mu’jizat.
e) Menjelaskan dan menyebutkan syarat-syarat mu’jizat.
f) Menjelaskan tujuan dan peranan mu’jizat.
g) Menyebutkan dan menjelaskan pembagian mu’jizat.
h) Menyebutkan dan menjelaskan saja unsur-unsur mu’jizat.
i) Menjelaskan sisi-sisi kemu’jizatan Al – Qur’an.
j) Menjelaskan mu’jizat bi Al-Sharfah.
k) Menyebutkan dan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan
kegagalan dan ketidakmampuan bangsa Arab dalam menandingi al-
Qur’an
5. Manfaat Ilmu Ijaz Al-Qur’an
a) Kita dapat mengetahui lebih dalam tentang kemukjizatan Al-Qur’an,
bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang universal yakni tidak
mengkhususkan pembicaraannya kepada bangsa tertentu, seperti kaum
muslimin tetapi ia berbicara kepada seluruh manusia.
b) Kita dapat mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang sempurna,
yang tidak ada satupun kitab yang bias menandingi Al-Qur’an baik dari
aspek bahasanya maupun yang lainnya, bahkan tidak ada seorangpun
yang dapat membuat satu kalimat seindah Al-Quran.
c) Dapat meningkatkan keimanan dan keyakinan kita, bahwasanya Al-
Qur’an adalah mukjizat yang nyata dari Allah yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad untuk dijadikan pedoman bagi umat manusia.
d) Kita dapat menyadari bahwa mutu sastra dan balaghah Bahasa manusia
sangat lemah jika dibandingkan dengan Bahasa Al-Qur’an.
e) Kita bias mengetahui kelemahan daya upaya dan rekayasa manusia.

36
B. ILMU QASHASH AL-QUR’AN
1. Pengertian Ilmu Qashash Al-Qur’an
Secara bahasa kata al-qashshu berarti mengikuti jejak atau
mengungkapkan masa lalu. Al-Qashash adalah bentuk mashdar dari
qashsha-yaqushshu-qashshan, sebagaimana yang diungkapkan dalam Al-
Qur'an:
ٰٓ ‫قَا َل ٰذ ِل َك ما ُكنَّا ن َۡبغ ۖۗ فَ ۡارتَدَّا‬
‫صا‬
ً ‫ص‬ ِ َ ‫ع ٰلى ٰاث‬
َ َ‫ار ِه َما ق‬ َ ِ َ
Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari'. Lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula. (QS Al-Kahfi [18]: 64)

‫ّللا لَ ُه َو ْالعَ ِزي ُْز‬ ٰ ‫ص ْال َحق َو َما ِم ْن ا ِٰله ا َِّّل‬


َ ٰ ‫ّللاُ َوا َِّن‬ َ َ‫ا َِّن ٰهذَا لَ ُه َو ْالق‬
ُ ‫ص‬
‫ْال َح ِك ْي ُم‬
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs Ali-Imran [3]: 62)
2. Macam-Macam Qashash Al-Qur’an
Adapun macam-macam qashash Al-Qur'an ada tiga, yaitu:
a) Kisah para Nabi terdahulu. Cerita ini mencakup dakwah mereka pada
kaumnya, mu'jizat mereka, sikap penentang para Nabi, fase dakwah dan
perkembangannya, balasan terhadap orang-orang kafir dan para pendusta,
seperti cerita Nabi Nuh , Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad Saw.,
dan lainnya.
b) Kisah Al-Qur'an yang berkaitan dengan kejadian masa lalu, cerita tentang
seseorang yang belum ditetapkan kenabiannya seperti Thalut, Jalut, dua
putra Nabi Adam, Ahlul Kahfi, Dzul Qarnain, Qarun, Ashab as-Sabti,
Maryam, Ashabul Uhdud, Ashabul Fil, dan lainnya.
c) Kisah yang berkaitan dengan kejadian yang terjadi pada masa Rasulullah
seperti Perang Badar, Uhud, dalam surah Ali Imran, Perang Hunain,
Tabuk dalam surah At-Taubah, perang Al-Ahzab dalam surah Al-Ahzab,
Hijrah, Al-Isra', dan semacamnya.

37
3. Manfaat Qashash Al-Qur’an
a) Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menerangkan pokok-
pokok syari’at yang dibawa oleh para Nabi
b) Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umat Muhammad atas agama
Allah, memperkuat keyakinan orang mukmin tentang menangnya
kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan dan para
pembelanya.
c) Membenarkan para Nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap
mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya.
d) Menampakkan kebenaran Muhammad dalam dakwahnya dengan apa
yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu, sepanjang
kurun dan generasi.
e) Membuka tabir kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membeberkan
keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menantang
mereka denga nisi kita mereka sendiri sebelum kitab itu diubah dan
diganti.
f) Menanamkan Pendidikan akhlak yang mulia, karena kisah-kisah teladan
dapat meresap dalam hati nurani, mendidik kita supaya meneladani
kisah-kisah yang baik dan tidak meniru sikap yang buruk yang
diperagakan oleh orang-orang kafir, munafik dan musyrik dalam kisah-
kisah tersebut.

38
C. ILMU JADL AL-QUR’AN
1. Pengertian Ilmu Jadl Al-Qur’an
Jadal secara Bahasa, berasal dari kata ً‫ يَجدُ ُل – ُجدُوّل‬- ‫ َجدَ َل‬yang
artinya “Kusut”, dan menurut Istilah yakni perdebatan dalam suatu
masalah dan berargumen untuk memenangkan perdebatan (menemui
kebenaran ).
Adapun secara istilah Jadal atau Jidal adalah bertukar pikiran dengan
cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan. Manna’ al Qathan
di dalam Mabahits fi ‘Ulumil Qur`an berkata: Jadal atau jidal adalah
bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan
lawan.
Dalam bahasa Indonesia, Jadal dapat diartikan dengan debat. Debat
adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan
memberikan dengan saling memberikan alasan untuk
mempertahankan pendapat masing-masing
2. Metode Jadal yang ditempuh Al-Qur’an
Pada dasarnya, para ulama sama saja dalam menentukan metode
jadalyang digunakan al-Qur’an, walaupun terdapat sedikit
perbedaan dalampengelompokkan suatu jadal ke dalam metode ataupun
macam/jenis dari jadaltersebut. Yang dimasukkan ke dalam macam-
macam jadal al-Qur’an oleh AbuZahrah dan Al-Qaththan misalnya, oleh
Al-Maa’iy sebagiannya dimasukkan kedalam metode jadal al-Qur’an.
Dalam hal ini, kedua kecenderungan tersebutdigabung dalam
pembahasan tentang prosedur yang ditempuh dalam jadal al-Qur’an,
yakni :
a) Al-Ta’rifat
Bahwa Allah SWT secara langsung memperkenalkan dirinya
dan ciptaan-Nya sebagai pembuktian akan wujud dan ke- Maha
Kuasaan-Nya. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah SWT yang
tertera pada QS. al-An’am(6): 95-100:

39
b) Al-Istifham al-Taqriry
Dalam bentuk ini Allah SWT mengajukan pertanyaan
langsungdengan penetapan jawaban atasnya. Pertanyaan tentang
hal yang memangsudah nyata, diangkat lagi lalu disertai dengan
jawaban yang merupakanpenetapan atas kebenaran yang sudah
pasti. Prosedur ini dipandang ampuhsekali oleh para ahli ulum al-
Qur’an, karena dapat langsung membatalkanjidal atau argumen
para pembantah
c) At-Tajzi’at
Dengan prosedur ini, Allah SWT mengungkapkan bagian-
bagiandari suatu totalitas, secara hierarki atau kronologis, yang
sekaligus sebagaiargumentasi dialektis untuk melemahkan
lawan dan menetapkan suatukebenaran. Masing-masing
dapat berdiri sendiri untuk membuktikankebenaran yang
dimaksudkan. Prosedur jadal seperti ini dapat dilihat padafirman
Allah SWT QS. an-Naml (27): 54-64
d) Qiyas al-Khalf
Atau disebut juga “analogi berbalik”. Dengan prosedur
ini,kebenaran ditetapkan dengan membatalkan pendapat
lawan yangberbalikkan/berlawanan. Sebab dalam realitas
kehidupan tidak dapatberkumpul dua hal yang berlawanan.
Tentang metode jadal seperti ini, dapatdilihat pada firman Allah
SWT QS. al-Anbiya’ (21): 21-22
e) Al-Tamtsil
Allah mengungkapkan perumpamaan bagi suatu hal
denganmaksud agar kebenaran dapat dipahami secara lebih cepat
dan lebih mudah,lalu lebih melekat di sanubari “lawan”.
f) Al-Muqabalat
MuqabalatYaitu mempertentangkan dua hal yang salah satunya
memiliki efekyang jauh lebih besar dibanding dengan yang
lainnya. Seperti halnyamempertentangkan antara Allah SWT

40
dengan berhala yang disembah orang-orang musyrik. Sebagaimana
firman Allah SWT pada QS. al-Waqi’ah (56):57-59:
3. Tujuan mempelajari Jadal Al-Qur’an
a) Sebagai jawaban atau untuk mengungkapkan kehendak Allah dalam
rangka penetapan dan pembenaran aqidah dan qaidah syari’ah dari
persoalan-persoalan yang dibawa dan dihadapi para Rasul, Nabi dan
orang-orang shaleh.
b) Sebagai bukti-bukti dan dalil-dalil yang dapat mematahkan dakwaan dan
pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kalangan umat manusia, sehingga
menjadi jelas jalan dan petunjuknya kea rah yang benar.
c) Sebagai layanan dialog bagi kalangan yang memang benar-benar ingin
tahu, ingin mengkaji sesuatu persoalan secara nalar yang rasional, atau
melalui ibarat maupun melalui doa.
d) Untuk menangkis dan melemahkan argumentasi-argumentasi orang kafir
yang sering mengajukan pertanyaan atau permasalahan dengan jalan
menyembunyikan kebenaran yang memang disinyalir dalam al-Qur’an
Wajadiluu bi al Baathil liyudhiduu bihi al haq (Q.S Al-Mukmin [40] : 5).
4. Manfaat Ilmu Jadl Al-Qur’an
a) Memperkuat iman kita, karena dengan adanya perdebatan-perdebatan
dalam Al-Qur’an mampu membuka cakrawala kita tentang kebenaran
Allah, kitab Allah dan para Rosul-Nya.
b) Menambah pengetahuan kita bahwa Allah dan kebenaran Al-Qur’an
tidak terbantahkan.
c) Mengemukakan dalil-dalil bahwa Allah adalah tempat Kembali
d) Mendidik dan menanamkan ke dalam hati manusia bahwa sungguh mulia
Islam dengan cara membantah lawan bicaranya dengan cara yang baik
sehingga orang lain tertarik kepada Islam.
e) Mengalahkan lawan dengan cara menjelaskan bahwa tuduhan yang
diajukannya itu tidak seorangpun yang mengetahuinya.

41
BAB VI
PENUTUP

A. Simpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa al-Qur’an ini adalah
mukjizat terbesar dari Allah yang di berikan kepada Nabi muhammad SAW.
Kita ketahu bahwa setiap Nabi diutus Allah selalu dibekali dengan mukjizat
untuk meyakinkan manusia yang ragu dan tidak percaya terhadap pesan atau
misi yang di bawa oleh Nabi. Sedangkan kisah-kisah dalam Al-Qur’an menjadi
bagian tak terpisahkan dari isi al-Qur’an yang menjadi referensi utama bagi
orang-orang beriman, bahkan juga ummat manusia di dunia. Meski demikian,
bukan berarti al-Qur’an itu merupakan buku sejarah, sunggup pun kisah-kisah
dalam al-Qur’an tidak terlepas dari bukti-bukti sejarah yang dapat disaksikan
hingga saat ini. Dan Jaddal Qur’an adalah bertukar pikiran dengan cara
bersaing dan berlomaba-lomaba untuk mengalahkan lawan Mengingat kedua
belah pihak yang berdebat itu mengokohkan pendapatnya masing-masing dan
berusaha menjatuhkan lawan dari pendirian yang dipegangnya. Allah telah
menyatakan dalam al-Qur’an bahwa jadal atau berdebat merupakan salah satu
tabiat manusia, tujuannya antara lain untuk menetapkan aqidah tentang wujud
dan wahdaniyah Allah serta petunjuk dan syari’ah bagi yang membutuhkan.

42
Daftar Pustaka
Abdussalam, Abdul Majid. 1997. Visi dan Paradigma Tafsir Al Quran
Kontemporer. Bangil: al Izzah
Al Qotton, Manna Khalil. 1994. Studi Ilmu-Ilmu Al Quran. Bogor: Litera Antar
Nusa
Al Saleh, Subhi. 1995. Membahas Ilmu-Ilmu Al Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al Farmawi, Abd.Hayy. 2002. Metode Tafsir Maudhu’iy. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. 1993. Ilmu-Ilmu Al Quran. Jakarta: Bulan Bintang.
Al Zarqony. 1998. Manahil al Irfan fi Ulumil al Quran. Beirut Lebanon: Darul
Kitab al Arobi.
Syadali, Ahmad dan Rofi’I, Ahmad. 1997. Ulumul Quran I. Bandung: CV.Pustaka
Setia.
https://osf.io/qdz6c
al-Qahthan, M. K. (1977). Mabdhitsfi ulum al-qur'an. beirut , 298.
Ash-Shiddieqy, T. H. (1972). Ilmu-Ilmu Al-Qur'an. Bulan Bintang, 176.
Hanafi. (1983). Segi-Segi Kesusasteraan pada Kisah-Kisah Qur'an. Pustaka al-
Husna.
Intan, K. (2017). Jadal atau Perdebatan dalam Islam.
Izzan, A. (2005). Telaah Tektualitas dan Kontektualitas Al-Qur'an. Tafakur, 224.
Jalal, A. (2000). Ulumul Qur'an. Dunia Ilmu, 267.
Manna 'Khalil al-Qaththan. (n.d.). Mahabits fi Ulum Al-Qur'an. masyurah, 306.
Muhammad, C. (1998). Al-Qur'an dan Ulumul Qur'an. PT Dana Bhakti Prima
Yasa.
Rofi'i, H. A. (2000). Ulumul Qur'an II. Pustaka Setia, 27.
Usman. (2009). Ulumul Qur'an. Teras, 285-300.
http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/1541/3/094211009_Skripsi_Bab2.pdf
https://www.scribd.com/embeds/396068052/content?strat_page=1&view_mode=s
croll&access_key=key-fFexxf7r1bzEfWu3HKwf
https://paramithaluthfiyaulfa.files.wordpress.com/2014/06/ul-qur-1-print.pdf
file:///C:/Users/user/Downloads/KUMPULAN%20ULUMUL%20QURAN.pdf

43
Shihab, Quraish, 1992, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan.
http://scarmakalah.blogspot.com/nasikh-mansukh-studi-al-quran.html.
http://nactavyanawa.blogspot.com/makalah-ulumul-quran-tentang-nasikh-
wal.html.
http://alislamu.com/kisah-tabiin/6278-nasikh-dan-mansukh-dalam-al-quran.html
http://bulletinalqalam.blogspot.com/2010/04/kedudukan-naskh-masalah-naskh-
bukanlah.html
http://www.slideshare.net/kinantiwening/nasakh-nasikh-mansukh
Mohamad Nor Ichwan, 2008, Ranah Ilmu-ilmu Sosial Agama dan Interdisipliner,
Jakarta: Rasail Media Group.
http://www.slideshare.net/kinantiwening/nasakh-nasikh-mansukh

44

Anda mungkin juga menyukai