Tentu saja hal tersebut harus menjadi pertimbangan, tetapi kebutuhan
santri ketika akan bermasyarakat juga harus menjadi perhatian utama bagi pesantren. Untuk menghatamkan Alfiyah, seorang santri harus menghafalkan 1000 bait syair, yang bisa memerlukan waktu yang panjang sementara tuntutan kekinian membutuhkan metodologi pembelajaran yang efektif dan efisien dari sisi waktu. Maka lahirlah metode Amsilati dan sejumlah metode lain yang mirip yang mampu mengajarkan tata bahasa Arab secara cepat, tetapi banyak pesantren masih menggunakan kitab klasik dengan alasan keberkahan tersebut. Tafsir tentang perempuan yang ada dalam berbagai kitab kuning juga menjadi tantangan besar dalam konteks kehidupan sosial saat ini. Tentu saja saat kitab tersebut ditulis, kondisi sosial, ekonomi, pendidikan, keamanan, dan lainnya berbeda jauh dengan keadaan saat ini. Belum lagi ketika mempertimbangkan faktor budaya dan kondisi alam antara Indonesia dan Timur Tengah di mana kitab-kitab tersebut di tulis. Pada abad pertengahan, perempuan tidak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan, kondisi lingkungan yang tidak aman, dan sejumlah tantangan lain yang menghambat kemajuannya. Institusi negara yang kuat dan stabil juga telah mampu menjaga keamanan relatif baik dibandingkan dengan abad pertengahan. Saat ini perempuan memiliki kesempatan meraih pendidikan tinggi, yang dari situ membuka kesempatan menjadi pemimpin berbagai institusi negara atau mengelola lembaga-lembaga yang memiliki peran penting dalam masyarakat. Dengan demikian perempuan harus keluar rumah untuk bisa menjalankan berbagai aktifitas tersebut atau melakukan berbagai aktifitas yang tidak terbayangkan dilakukan oleh para perempuan abad pertengahan. Tafsir klasik menempatkan perempuan harus tinggal di dalam rumah atau jika ingin keluar rumah harus disertai dengan muhrim yang menemaninya menjadi pertanyaan akan kontekstualitasnya saat ini. Ada jarak yang jauh dari apa yang diajarkan dan realitas yang dijalani dalam kehidupan sehari-hari.