Demikian juga dalam hal tafsir agama terhadap perilaku ekonomi.
Dalam kitab klasik, yang wajib dibayar zakatnya hanya hasil-hasil pertanian tertentu saja karena basis ekonomi masyarakat saat itu memang pertanian. Saat ini, ketika basis ekonomi sudah beralih ke sektor industri atau jasa sementara sektor pertanian kontribusinya sudah sangat berkurang maka perlu ada tafsir baru tentang pembayaran zakat. Jika yang digunakan referensi adalah kitab klasik untuk menentukan pembayaran zakat, maka profesi-profesi saat ini dengan gaji besar tidak ada kewajiban membayar zakat, sedangkan sektor pertanian yang kini merupakan profesi marginal, diwajibkan membayar zakat. Ini tentu sebuah ketidakadilan. Jika Imam Syafii semasa hidupnya saja memiliki kaul jadid dan kaul kadim karena ia melihat adanya perubahan kondisi sosial, tentu menjadi sangat relevan untuk memperbaharui kurikulum di pesantren karena pesantren juga harus melayani masyarakat, maka pesantren harus benar-benar memahami masyarakat, bukan hanya saat ini saja, tetapi mengantisipasi perubahan masyarakat di masa mendatang dan menyiapkan para santri sebagai pemandu masyarakat dalam bidang keagamaan dalam perubahan tersebut. Di sini, Rabithal Ma’ahid Islamiyah (RMI) lah yang paling pas mendampingi. Banyak pula para intelektual NU yang sudah mengglobal dan mengetahui berbagai praktik pengajaran Islam di berbagai negara Muslim. Kita dapat mengambil praktik-praktik terbaik dari berbagai negara untuk diaplikasikan di pesantren. Kita berharap pesantren bukan hanya mampu bertahan dalam kehidupan, tetapi mampu mewarnai peradaban Muslim di masa mendatang.