Anda di halaman 1dari 210

POLITIK ISLAM Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab Editor: M.

Fakhry Ghafur
ISBN 978-602-496-072-8
POLITIK ISLAM
ARAB SAUDI, KUWAIT,
UNI EMIRAT ARAB
Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh atau sebagian
dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit.

© Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang No. 28 Tahun 2014

All Rights Reserved


LIPI Press
© 2019 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Pusat Penelitian Politik

Katalog dalam Terbitan (KDT)


Politik Islam di Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab/Muhammad Fakhry Ghafur (Ed.)−
Jakarta: LIPI Press, 2019.

xiv hlm. + 194 hlm.; 14,8 × 21 cm

ISBN: 978-602-496-072-8 (cetak)


978-602-496-073-5 (e-book)

1. Politik 2. Islam (religion)


3. Negara islam/negara teluk
297.272

Copy editor : Risma Wahyu Hartiningsih dan M. Sidik


Proofreader : Sarwendah Puspita Dewi dan Anggun Dian Puspita
Penata isi : Vidia Cahyani A. dan Rahma Hilma Taslima
Desainer sampul : Meita Safitri
Bahan Sampul : Nostalgiawan Wahyudhi

Cetakan Pertama : Desember 2019

Diterbitkan oleh:
LIPI Press, anggota Ikapi
Gedung PDDI LIPI, Lantai 6
Jln. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta 12710
Telp.: (021) 573 3465
E-mail: press@mail.lipi.go.id
Website: lipipress.lipi.go.id
LIPI Press
@lipi_press
DAFTAR ISI

Pengantar Penerbit ........................................................................................ vii


Kata Pengantar...................................................................................................ix
Prakata.............................................................................................................. xiii

BAB 1 Kekuatan Politik Islam di Arab Saudi, Kuwait,


dan Uni Emirat Arab
Indriana Kartini dan Muhammad Fakhry Ghafur.....................1
BAB 2 Problematika Kekuatan Politik Islam di Arab Saudi
Nostalgiawan Wahyudhi.................................................................17
BAB 3 Problematika Kekuatan Politik Islam di Kuwait
Muhammad Fakhry Ghafur...........................................................67
BAB 4 Problematika Kekuatan Politik Islam di Uni Emirat
Arab
M. Hamdan Basyar....................................................................... 101
BAB 5 Dinamika Politik Islam di Arab Saudi, Kuwait, dan
Uni Emirat Arab: Catatan Penutup
Dhurorudin Mashad..................................................................... 133

Daftar Singkatan............................................................................................ 187


Indeks.............................................................................................................. 189
Biografi Editor................................................................................................ 191
Biografi Penulis.............................................................................................. 193

|v
PENGANTAR PENERBIT

Sebagai penerbit ilmiah, LIPI Press mempunyai tanggung jawab


untuk menyediakan terbitan ilmiah yang berkualitas. Penyediaan
terbitan ilmiah yang berkualitas merupakan salah satu perwujudan
tugas LIPI Press untuk ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, LIPI Press melalui
salah satu terbitan ilmiahnya berjudul Politik Islam di Arab Saudi,
Kuwait, dan Uni Emirat Arab berupaya untuk menjelaskan fenomena
gerakan Islam di Timur Tengah. Sebagai negara-negara Teluk yang
selamat dari kudeta militer meskipun tidak terlepas dari goncangan
dinamika islam politik, sejarah mencatat bahwa ketiga negara ini
memberikan realitas yang berbeda dalam merespons gelombang
gerakan Islam.
Analisis menarik mengenai eksistensi dan hubungan antara
gerakan Islam dan negara di Timur Tengah disajikan dalam buku
ini. Kiprah tiga negara tersebut dalam konstelasi politik regional dan
global adalah hal yang turut disoroti. Kajian yang dilakukan cukup
mendalam dan mampu memberikan gambaran secara komprehen-
sif dalam menjelaskan fenomena gerakan Islam di Timur Tengah,
khususnya di tiga negara Semenanjung Arabia tersebut.
Hadirnya buku ini diharapkan dapat menambah literatur baru
berbahasa Indonesia mengenai kekuatan politik Islam di tengah sistem

| vii
politik yang sudah mapan yang masih sangat kurang selama ini. Akhir
kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu proses penerbitan buku ini.

LIPI Press

viii |
KATA PENGANTAR

Islam merupakan aspek penting dalam melihat perubahan politik


di Timur Tengah. Imperialisme Barat telah mengubah sistem dan
struktur politik di Timur Tengah. Saat Timur Tengah memasuki
era modern, pengaruh Barat menjadi dominan. Ini terjadi karena
kolonialisasi Barat tidak hanya bertujuan untuk menguasai sumber
daya alam, tetapi juga melemahkan sistem politik di Timur Tengah
agar sejalan dengan kepentingan Barat.
Pada awal kemerdekaan negara mereka, para penguasa Timur
Tengah tidak hanya pro-Barat, tetapi juga berusaha menerapkan
sekularisme secara radikal. Akibatnya, demi mempertahankan
kekuasaan mereka, para rezim menjadi otoriter dan tidak memberi-
kan ruang kebebasan kepada rakyat mereka. Rakyat Timur Tengah
hidup terkekang, mengalami kemunduran ekonomi, sementara para
penguasa menikmati kehidupan mewah.
Kegagalan rezim-rezim di Timur Tengah yang pro-Barat dalam
memberikan kesejahteraan kepada rakyat mereka mendorong ge­
ra­kan oposisi massa. Gerakan-gerakan oposisi biasanya dipelopori
oleh kelompok sosialis dan Islam. Kedua kelompok ini menjadi
ancaman serius bagi para rezim di Timur Tengah. Kelompok sosialis
menyoroti kondisi rakyat yang tertindas dan diabaikan hak-haknya,
sementara kelompok Islam memandang sistem sekuler telah gagal
memberikan manfaat bagi rakyat. Gerakan Islam muncul sebagai
gerakan politik dan menawarkan Islam sebagai solusi alternatif.
Dampaknya, kemunculan gerakan Islam yang termanifestasi dalam
kegiatan politik menjadi sumber masalah serius bagi para rezim

| ix
yang berkuasa. Respons para rezim di Timur Tengah beragam dalam
menghadapi kemunculan gerakan Islam yang menuntut perubahan
komprehensif. Para penguasa mendapatkan tekanan untuk me­
lakukan perubahan. Jika tidak, kekuasaan mereka akan terancam.
Beberapa gerakan Islam di Timur Tengah yang berhasil melakukan
perubahan politik melalui proses kudeta, antara lain adalah Iran
pada tahun 1979 dan Sudan pada tahun 1989. Di Mesir, gerakan
Islam Ikhwanul Muslimin membantu militer di bawah pimpinan
Jenderal Nadjib dan Gamal Abdul Nasser dalam melakukan kudeta
ter­hadap Raja Farouk pada tahun 1952. Di beberapa negara lain,
seperti Irak, Suriah, dan Libya, kelompok sosialis bersama dengan
militer melakukan kudeta terhadap para penguasa yang pro-Barat.
Uniknya, negara-negara Teluk yang kaya minyak terhindar dari
guncangan politik yang berakibat pada kudeta militer. Kudeta itu
dapat dihindari oleh negara-negara Teluk karena mereka diselamat-
kan oleh berkah minyak yang melimpah di kawasan ini. Eksplorasi
minyak dimanfaatkan untuk memberikan kesejahteraan kepada
rakyat sehingga tidak memunculkan gerakan protes secara besar-be-
saran di kawasan yang kaya dengan minyak ini. Karena kawasan
Teluk dan Semenanjung Arabia kaya akan minyak, secara otomatis
mereka mendapatkan perlindungan dari Barat, terutama Amerika
Serikat. Hubungan simbiosis mutualisme antara rezim berkuasa
dan kekuatan adidaya menjadikan negara-negara monarki ini relatif
lebih stabil. Namun, bukan berarti kawasan ini luput dari dinamika
Politik Islam.
Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab memberikan realitas
yang berbeda dalam merespons gelombang gerakan Islam. Di Arab
Saudi, gelombang islamisme yang merongrong kekuasaan Dinasti
Saud terjadi setelah munculnya Revolusi Iran pada tahun 1979 dan
setelah Perang Teluk 1991. Iran dicurigai ikut mendalangi pembe­
rontakan yang dilakukan oleh Juhaiman Al-Uthaibi yang berhasil
menduduki Masjidil Haram pada tahun 1979. Kritik kelompok
Islam menguat kembali, terutama setelah Perang Teluk ketika
Kerajaan Arab Saudi bersekutu dengan Amerika Serikat guna mem-

x|
bendung ancaman agresi Irak yang dipimpin oleh Saddam Hussein.
Saudi tidak memberikan ruang sedikit pun dan cenderung bersifat
represif pada kelompok-kelompok oposisi yang dimotori oleh ge­
rakan Islam. Politik Islam tidak mendapatkan ruang dan dijadikan
sebagai musuh negara.
Kondisi di Kuwait agak berbeda. Walaupun monarki Kuwait
cenderung menunjukkan sikap waspada terhadap munculnya ge­
rakan Islam, pihak istana cenderung dapat mengakomodasi kekuatan
politik Islam. Gerakan Islam di Kuwait diwadahi dalam kekuatan
politik yang dikenal dengan sebutan The Kuwait Islamic Constitutional
Movement (ICM) yang memiliki tujuan untuk melakukan reformasi
hukum secara konstitusional. Karena tidak memiliki tujuan dalam
mengubah sistem monarki, gerakan ini secara umum mendapatkan
penerimaan dari kalangan istana. Citra ICM menjadi semakin baik di
mata istana ketika membentuk gerakan Pemuda Perlawanan Kuwait
menentang agresi Irak ke Kuwait pada tahun 1991. Politik Islam
mendapatkan tempat di Kuwait karena dapat bekerja sama dengan
kalangan istana dan tidak membahayakan eksistensi monarki.
Agak berbeda dengan kondisi di Kuwait, gerakan Islam di Uni
Emirat Arab menunjukkan dinamika yang unik. Gerakan Islam
diwakili oleh Jam’iyah Al-Islah yang memiliki tujuan mengubah sis-
tem dan rezim yang berkuasa. Kehadiran gerakan yang menargetkan
negara sebagai sasaran perubahan ini dihadapi oleh pihak istana den-
gan penuh kecurigaan. Walaupun awalnya berdiri sebagai organi­
sasi sosial keagamaan, dalam perkembangannya, ia bertransformasi
menjadi gerakan politik. Al-Islah dianggap memiliki hu­ bungan
dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Pada tahun 1994, semua
jajaran direksi organisasi Al-Islah dipecat oleh pemerintah dan para
aktivisnya dilarang menduduki jabatan publik di Uni Emirat Arab.
Kebijakan ini dilakukan karena imbas dari dukungan kelompok
Ikhwan terhadap Irak yang melakukan invasi ke Kuwait. Al-Islah
dianggap tidak sejalan dengan agenda pemerintah dan aktivitasnya
sangat dibatasi di Emirat Arab.

| xi
Tampaknya, eksistensi gerakan Islam yang memiliki tujuan
politik sangat bergantung pada hubungannya dengan para pengua-
sa. Ketika gerakan Islam dianggap mengancam keberadaan monar-
ki, tentu keberadaannya tidak dapat dipertahankan. Sebaliknya,
kemampuan untuk bekerja sama dengan pihak istana menjadi
kunci kesuksesan sebuah gerakan. Gerakan Islam akan diakomodasi
dalam istana selama tidak menginginkan terjadinya perubahan sis-
tem politik monarki. Sebaliknya, politik Islam akan mendapatkan
penindasan bahkan pembubaran apabila memiliki potensi ancaman
bagi rezim yang berkuasa. Kelompok oposisi dari gerakan Islam yang
mengancam eksistensi monarki ini akan mudah dilabeli sebagai
musuh negara, bahkan dicap sebagai teroris.
Buku berjudul Politik Islam di Arab Saudi, Kuwait, dan Uni
Emirat Arab ini memberikan analisis menarik berkaitan dengan
eksistensi dan hubungan antara gerakan Islam dan negara di Timur
Tengah. Kajian yang dilakukan cukup mendalam dan mampu
memberikan gambaran secara komprehensif dalam menjelaskan
fenomena gerakan Islam di Timur Tengah. Bagi para pembaca yang
menginginkan informasi secara mendetail mengenai dinamika di
Timur Tengah, khususnya berkaitan dengan islamisme di ketiga
negara ini, saya merekomendasikan untuk memiliki buku ini. Buku
ini diharapkan dapat menambah literatur-literatur baru berbahasa
Indonesia yang masih sangat kurang selama ini.

Depok, 25 Desember 2019


Yon Machmudi, Ph.D.

Ketua Prodi Kajian Timur Tengah dan Islam


Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia

xii |
PRAKATA

Diskursus hubungan antara Islam dan politik dalam konteks politik


Timur Tengah kontemporer menarik untuk dikaji, terutama de­
ngan semakin menggeliatnya tuntutan terhadap demokratisasi dan
terbukanya aspirasi rakyat. Agama dan politik pun seolah menjadi
bagian tidak terpisahkan yang saling menautkan diri serta menjadi
bagian penting dalam kehidupan sosial-politik di Timur Tengah.
Menguatnya identitas keislaman yang terjadi dalam realitas
politik Timur Tengah tidak lepas dari keinginan masyarakat yang
selama ini terpinggirkan untuk menunjukkan eksistensinya di te­
ngah kekacauan sistem, sosial, politik, dan ekonomi. Oleh karena
itu, menurut Esposito, Islam saat ini bukanlah sebuah keyakinan
semata, melainkan sebagai kekuatan yang mampu mentransformasi-
kan nilai-nilai teologis dalam kehidupan sosial-politik suatu negara.
Berbagai aktivitas sebagai bentuk pengukuhan terhadap eksistensi
keislaman dapat dilihat dengan semakin maraknya masyarakat
yang berusaha mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam ranah
politik praktis, seperti pendirian organisasi politik ataupun gerakan
sosial-kemasyarakatan. Bahkan, dalam konteks bernegara, peme­
rintah di beberapa negara mencoba mendekatkan simbol agama
untuk melegitimasi kebijakannya, baik dalam sosial-politik, hukum,
maupun ekonomi. Di sisi lain, aktivisme keagamaan yang semakin
berkembang telah mendorong tumbuh suburnya gerakan Islam yang
menghendaki adanya perubahan yang komprehensif dalam berbagai
bidang. Atas nama reformasi Islam, kelompok Islam muncul sebagai
gerakan oposisi yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.

| xiii
Buku yang ada di tangan pembaca ini mengulas realitas yang
terjadi dalam dinamika sosial-politik di Arab Saudi, Kuwait, dan
Uni Emirat Arab dengan menitikberatkan pada fokus kajian seputar
kekuatan politik Islam dengan beragam problematikanya. Di sam­
ping itu, juga menjelaskan peran kekuatan politik Islam di tengah
sistem politik yang sudah mapan. Selain itu, kiprah tiga negara ka-
jian dalam konstelasi politik regional dan global juga dibahas secara
lebih komprehensif.
Penulisan buku ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan
dari berbagai pihak. Karena itu, sudah sepantasnya kami mengucap-
kan terima kasih yang tidak terhingga kepada para penulis, lembaga
pemerintah dan non-pemerintah yang secara langsung ataupun
tidak langsung turut berkontribusi dalam penyusunan buku ini.
Terima kasih juga kepada Dr. Rahmat Aming Lasem (Kepala
Konsuler KJRI Jeddah) beserta seluruh staf KJRI Jeddah, Dr.
Elly Warti Maliki (Pendiri Sekolah Daarul Ulum Jeddah), Herika
Muhammad Taqi, M.Si. (Ketua PPMI Jeddah), Syekh Nasruddin
Al-Palembangi (World Muslim League), Syekh Ismail Al-Harby
(Yayasan Al-Haramain), Syekh Ibrahim Sulthon (Wakil Kepala Biro
Urusan Alumni Bidang Hubungan Internasional), Ustaz Mubarok
Ainul Yaqin, M.A. (Ketua PPMI Makkah), Ustaz Muhammad Isa
Abdullah, Ustaz Muhammad Ayyub, Ustaz Fakhruddin (Mahasiswa
Universitas Islam Madinah), Ustaz Ahmad Nahid Silmi, M.A.
(Kandidat Doktor Universitas Islam Madinah), Ustaz Imam Khairul
Annas (Mantan Ketua PPMI Arab Saudi), dan semua narasumber
yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu.
Akhir kata, buku ini tidak lepas dari berbagai kekurangan di
dalamnya. Karena itu, kami mengharapkan adanya kritik ataupun
saran membangun untuk memperbaiki hasil penelitian kami pada
masa depan. Teriring doa, semoga buku ini dapat turut memper-
kaya khazanah pemikiran politik Timur Tengah kontemporer di
Indonesia dan dunia Islam pada umumnya.

Jakarta, Desember 2019


Editor

xiv |
Bab

1
Kekuatan Politik Islam di Arab Saudi,
Kuwait, dan Uni Emirat Arab
Indriana Kartini dan Muhammad Fakhry Ghafur

A. Persoalan Politik Islam di Arab Saudi, Kuwait,


dan Uni Emirat Arab
Dalam beberapa dekade terakhir, agama dan politik menjadi
diskursus yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian politik Timur
Tengah dan dunia Islam pada umumnya. Berbagai aktivitas untuk
mengukuhkan agama, dalam hal ini Islam, dalam ranah politik
demokrasi muncul di sejumlah negara yang berusaha untuk
mengimplementasikan Islam dalam kehidupan bernegara, baik di
negara republik maupun mo­narki, di lingkungan masyarakat yang
homogen ataupun majemuk, baik di negara maju maupun berkem-
bang. Oleh karena itu, menurut Huntington, realitas semacam itu

|1
akan senantiasa terjadi ketika agama kerap menautkan diri dalam
semua aspek kehidupan.1
Kemunculan politik berbasis agama yang terjadi di se­jumlah
negara Timur Tengah setelah Arab Spring2, tidak lepas dari peran
kelompok Islam untuk menunjukkan eksis­tensinya di tengah ke-
gagalan sistem politik, sosial, dan ekonomi yang dibangun rezim.
Oleh karena itu, dalam wacana politik Timur Tengah kontemporer,
Islam dipandang sebagai sebuah keyakinan yang mengilhami berb-
agai lapisan masyarakat serta berhasil mentransformasikan nilai-nilai
sosial, politik, dan ekonomi dalam kehidupan bernegara. Bahkan,
sejumlah pemerintahan monarki tertarik menggunakan Islam untuk
melegitimasi kebijakannya, baik dalam politik, hukum, maupun
ekonomi. Hal inilah yang kita saksikan da­lam realitas politik di
dunia Arab saat ini. Para penguasa di Arab Saudi, Qatar, Kuwait,
Uni Emirat Arab, dan negara Teluk lainnya, berusaha mendekatkan
simbol Islam untuk melegitimasi kekuasaan. Contohnya, monarki
dan ulama Wahabi sebagai dua kekuatan yang saling mendukung di
Arab Saudi. Demikian pula di Kuwait, pada pertengahan abad ke-
20, monarki membangun kekuatan dengan kelompok Islam untuk
membentuk dinasti Kuwait modern.
Dinamika relasi antara agama dan kehidupan bernegara di
sejumlah negara Timur Tengah, menarik untuk dikaji, terutama
di tengah geliat aktivisme Islam dalam berbagai dimensi kehidup­
an. Semangat untuk menegakkan Islam pun tumbuh mewarnai

1
Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late 20th Century
(Oklahoma: University of Oklahoma Press, 1991).
2
Arab Spring atau yang dikenal dengan Musim Semi Arab merupakan gelombang
revolusi yang terjadi pada penghujung 2010 yang ditandai dengan runtuhnya
sejumlah rezim di beberapa negara Timur Tengah. Arab Spring bermula di Tunisia
ketika seorang pedagang buah bernama Mohamed Bouazizi melakukan aksi bakar
diri sebagai bentuk protes terhadap kesewenang-wenangan rezim. Aksi tersebut
memicu demonstrasi besar yang mengarah pada pengunduran diri rezim Zine El
Abidin Ben Ali. Dampak dari pergolakan politik di Tunisia merambah ke negara
sekitar, seperti Mesir, Libya, Yaman, Bahrain, dan Suriah yang saat ini masih
bergejolak.

2 | Politik Islam di Arab Saudi ...


sepanjang sejarah politik di dunia Arab yang kemudian melahirkan
konsep Ad-Din wa Ad-Daulah dalam arti kehidupan bernegara yang
berdasarkan nilai-nilai agama. Melalui paradigma ini, peme­rintahan
monarki menjadikan Islam sebagai agama resmi sekaligus sebagai
sebuah sistem sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika Imarah memandang bahwa kolaborasi
antara agama dan negara telah melahirkan fenomena revivalisme
Islam yang secara definitif dapat diartikan sebagai kebangkitan poli-
tik Islam.3
Di sisi lain, aktivisme keagamaan yang semakin berkembang
di sejumlah negara monarki tersebut telah mendorong tumbuh su­
burnya gerakan Islam yang menginginkan transformasi komprehen-
sif dalam kehidupan sosio-politik dan ekonomi. Atas nama reformasi
Islam, kelompok politik Islam muncul sebagai gerakan oposisi yang
mengkritik berbagai kebijakan pemerintah.
Berdasarkan pemahaman tersebut, buku ini akan mengkaji se-
cara lebih mendalam kekuatan politik Islam di Arab Saudi, Kuwait,
dan Uni Emirat Arab dengan segala problematikanya.

1. Oposisi Gerakan Islam terhadap Pemerintahan


Monarki Arab Saudi
Arab Saudi merupakan negara monarki absolut hingga 1992, otori-
tas kerajaan memperkenalkan konstitusi negara pertama dengan
sistem hukum yang didasarkan pada hukum Islam (syariat). Sejak
terjadinya Perang Teluk 1991 dan dimulainya Operasi Badai Gu-
run oleh Amerika Serikat, Kerajaan Arab Saudi harus berhadapan
dengan tumbuhnya gerakan Islam yang menginginkan adanya
perubahan dalam berbagai segi kehidupan. Melalui gerakan refor-
masi ke­agamaan, kekuatan politik Islam seperti gerakan As-Sahwah
Al-Islamiyyah merupakan representasi dari kelompok Ikhwanul
Muslimin yang menunjukkan diri mereka sebagai kelompok oposisi

3
Muhammad Imarah, Al-Ushuliyyah Baina Al-Gharb wa Al-Islam. (Kairo: Daar
Asy-Syaruq, 1998).

Kekuatan Politik Islam ... | 3


yang mengkritik pemerintah dan bahkan mempertanyakan legiti-
masi keislaman pihak kerajaan.
Meskipun fenomena kebangkitan Islam sebagai sebuah protes
terhadap otoritas negara sekuler telah menjadi pola yang berpe­
ngaruh dalam politik kontemporer di dunia Arab, khusus di Arab
Saudi gerakan protes dari kelompok Islam ditujukan langsung
kepada pemerintahan monarki Islam. Dalam hal ini, Islam telah
dijadikan sebagai sumber legitimasi bagi kerajaan sekaligus sebagai
medium protes bagi kelompok oposisi. Kendati pada masa lalu,
Saudi berhasil mengatasi tantangan dari kelompok oposisi muslim
militan, kemunculan gerakan Islam baru telah menjadi perhatian
serius bagi monarki dan para pendukungnya di kawasan. Oleh kare-
na itu, penting untuk memahami gerakan Islam di Saudi, termasuk
orientasi ideologis, basis sosial, dan para pendukungnya.4
Secara historis, simbiosis antara kekuatan kerajaan dan ge­
rakan Islam terjadi sejak abad ke-18 yang memberikan motivasi
bagi pasukan Raja Abdul Aziz bin Saud untuk menaklukkan dan
menyatukan Jazirah Arab antara tahun 1912 hingga 1925. Meski
didasarkan pada ideologi pemikiran Syekh Muhammad bin Abdul
Wahhab, monarki tetap harus menghadapi tantangan dari kelompok
militan Islam lainnya.5 Tantangan pertama muncul dari kelompok
suku-suku fanatik yang tergabung dalam pasukan kerajaan sendiri,
yang dikalahkan dalam Perang Sabala pada tahun 1929. Kemudian,
terjadi gerakan protes kaum puritan pimpinan Pangeran Khalid bin
Musa’id pada pertengahan 1960-an, yang melawan kebijakan Raja
Faisal mengenai modernisasi. Aksi lebih serius adalah pengambil­
alihan Masjidilharam di Makkah pada November 1979 oleh kelom-
pok Juhaiman al-‘Utaibi al-Ikhwan, yang kemudian diusir dari Kota
Suci dengan kekuatan bersenjata.

4
R. Hrair Dekmejian, “The Rise of Political Islam in Saudi Arabia”. Middle East
Journal. 48, No. 4 (1994): 627.
5
James P. Piscatori, “Ideological Politics in Saudi Arabia”, dalam Islam in the
Political Process, ed. James P. Piscatory (Cambridge: Cambridge University Press,
1983), 56–63.

4 | Politik Islam di Arab Saudi ...


2. Oposisi Kelompok Reformis Islam terhadap Monarki
Kuwait
Sistem politik di Kuwait adalah monarki konstitusional yang
berlaku sejak 1962.6 Meski realitas politik parlemen memiliki
sedikit kekuasaan dibandingkan monarki, gerakan oposisi dapat
berkembang dan berperan cukup signifikan dalam kancah politik
Kuwait. Salah satu kekuatan terpenting dalam mendorong reformasi
Islam adalah The Kuwait ­Islamic Constitutional Movement (ICM)
yang didirikan pada 30 Maret 1991. Kelompok ini berbeda dengan
gerakan Islam lainnya karena bertujuan untuk melakukan islamisasi
melalui reformasi konstitusional. Gerakan Islam militan cenderung
bertujuan menggulingkan pemerintah, ­sedangkan ICM bertujuan
melakukan reformasi pemerintahan secara legal. Perbedaan men-
dasar ini menjadikan ICM sebagai pilihan yang dapat diterima oleh
kalangan yang menginginkan reformasi Islam dalam pemerintahan
dan aturan hukum tanpa kekerasan.7
ICM merupakan sayap resmi dari kelompok Ikhwanul Muslimin
Kuwait yang memiliki ikatan formal dengan organisasi induknya
di Mesir dengan fungsi utama di bidang sosial dan amal. Namun,
kelompok ini juga terjun ke ranah politik, terutama ketika terjadi
pembubaran parlemen pada 1976 akibat ketidakpercayaan monarki
terhadap parlemen. Ketika parlemen kembali diaktifkan pada tahun
1981, ­kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) memperoleh beberapa
kursi. Capai­an politik terbesar kelompok ini diperoleh pada 1990
tatkala Saddam Hussein menginvasi Kuwait, yang mengantarkan
ICM pada posisi lebih kuat. Pada saat itu, angkatan muda IM
tetap tinggal di Kuwait dan membentuk gerakan perlawanan ICM.
Kelompok ini memutuskan ikatan dengan IM dari luar Kuwait

6
Helen Ziegler and Associates, Political System of Kuwait.
7
Nathan J Brown. “Pushing Toward Party Politics? Kuwait’s Islamic Constitutional
Movement,” Carnegie Endowment for International Peace (January 2007): 3–20,
http://carnegieendowment.org/2007/02/13/pushing-toward-party-politics-
kuwait-s-islamic-constitutional-movement-pub-19016.

Kekuatan Politik Islam ... | 5


dengan alasan tidak adanya bantuan dari kelompok IM lain untuk
membebaskan Kuwait dari invasi Irak.8
Meskipun belum ada gerakan Islam yang cukup kuat untuk
memenangkan kursi mayoritas di parlemen, gerakan Islam dan ICM
khususnya bersifat instrumental dalam membentuk kelompok ma­
yoritas reformis yang terpilih dalam pemilu parlemen 2016. Oleh
sebab itu, tatkala Raja Kuwait wafat dan terjadi perebutan kekuasaan
di antara keluarga kerajaan pada 2006, ICM menggunakan situasi
ini untuk memperoleh dukungan dari rakyat dan gerakan kiri untuk
membentuk koalisi reformis.9

3. Oposisi Kelompok Islam terhadap Pemerintahan


Monarki Uni Emirat Arab
Uni Emirat Arab (UEA) merupakan negara federal di Timur Tengah
yang terdiri dari tujuh keemiran (emirates) di bawah pimpinan seorang
amir, yakni Abu Dhabi, Ajman, Dubai, ­Fujairah, Ras Al-Khaimah,
Sharjah, dan Umm Al-Quwain. Berdasarkan konvensi, pemimpin
Abu Dhabi adalah ­Presiden UEA dan pemimpin Dubai adalah
Perdana Menteri UEA. Sebagai negara kaya dengan penduduk yang
makmur, Uni Emirat Arab tidak lepas dari aktivisme politik Islam
seperti halnya yang terjadi di negara-negara Arab. Kelompok oposisi
Islam terbesar di UEA adalah Al-Islah yang bertujuan melakukan pe-
rubahan rezim. Jamiyyat Al-Islah (Al-Islah Society), terdaftar sebagai
lembaga swadaya masyarakat (LSM) di UEA pada tahun 1974. Ak-
tivitas awal organisasi ini berkaitan dengan bidang olahraga, budaya,
amal, dan aktivitas sosial. Sebagai organisasi kemasyarakatan yang
mendapat lisensi dari Kementerian Tenaga Kerja dan Sosial, Al-Islah
memiliki hubungan baik dengan pegawai peme­rintah selama dua

8
Rudman dkk. “Domestic Dynamics of Political Islam in the Greater Middle East:
Case Studies of Jordan, Egypt, Kuwait and Turkey”. Cornell International Affairs
Review, 1 No.1 (2007), 3–4.
9
Brown, “Pushing Toward Party Politics,” 3–20.

6 | Politik Islam di Arab Saudi ...


dekade terakhir. Selama periode itu, kelompok Al-Islah tidak pernah
menggunakan cara-cara kekerasan ataupun agresif.10
Dalam perkembangannya, organisasi tersebut mengembangkan
agenda reformasi paralel dengan agenda sosialnya. Pola ini juga di-
gunakan oleh gerakan politik Islam lain di dunia Arab. Terinspirasi
oleh nilai-nilai politik Islam moderat, Al-Islah bertujuan untuk
menyediakan petunjuk moral dan reformasi politik bagi warga ne-
gara UEA, termasuk anggota legislatif. Organisasi ini serupa dengan
Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir ataupun An-Nahdhah di Tunisia
meski terdapat perbedaan dalam tujuan dan bentuk gerakannya.11
Pada tahun 1994, pemerintah memecat seluruh dewan direksi
organisasi Al-Islah dan melarang para anggotanya terlibat dalam
jabatan publik. Sejak saat itu, peran Al-Islah dalam kancah politik
UEA mengalami kemunduran. Mereka yang memegang jabatan
penting di media, akademik, ataupun di bidang industri langsung
diberhentikan. Ketua Al-Islah, Syekh Sultan bin Kayed Al-Qasimi,
termasuk dalam daftar orang yang ditahan setelah menyampaikan
petisi reformasi pada Maret 2011.
Respons represif pemerintah UEA secara efektif telah menutup
organisasi Al-Islah dan membungkam seruan organisasi untuk me­
lakukan reformasi politik.12 Pemerintah UAE mengklaim bahwa Al-
Islah merupakan ancaman ke­amanan nasional dan kegiatan kelom-
pok tersebut dianggap subversif. Banyak para pemimpin kabilah
dan pelaku ekonomi yang mengkhawatirkan terjadinya instabilitas
politik dengan langkah represif pemerintah.
Politik Islam—dengan karakteristiknya masing-masing—ber-
pengaruh sangat kuat dalam pasang surut p ­ ergolakan politik di Arab

10
Pekka Hakala, “Opposition in the United Arab Emirates”. Quick Policy Insight,
Directorate-General for External Policies, Policy Department, European Parliament
(November 2012): 2–3, http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/briefing_
note/join/2012/491458/EXPO-AFET_SP%282012%29491458_EN.pdf.
11
Hakala, “Opposition,” 2–3.
12
Christopher Davidson. “Fear and Loathing in Emirates,” diakses pada Februari
2017, https://carnegieendowment.org/sada/49409.

Kekuatan Politik Islam ... | 7


Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab. Dalam konteks Arab Saudi,
Perang Teluk 1991 menjadi katalis perubahan dalam kebijakan in-
ternal dan eksternal Arab Saudi. Gerakan protes para pendukung
mereka terjadi selama dan setelah perang, yang menuntut perubahan
di Arab Saudi. Upaya reformasi yang dilakukan oleh Raja Fahd pada
awal 1990-an menjadi langkah awal transformasi gradual dalam ke-
hidupan politik kerajaan dan membentuk upaya pencarian stabilitas
pada dekade selanjutnya.
Di Kuwait, sejarah politik di negara tersebut tidak memberi-
kan ruang bagi oposisi terhadap pemerintah. Pemerintah Kuwait
memiliki cara tersendiri untuk membungkam dan menutup ruang
oposisi. Terbentuknya kelompok ICM yang bersikap oposisi ter­
hadap pemerintah telah menarik IM ke dalam proses politik untuk
melakukan reformasi politik. Selain itu, ICM melakukan aliansi
dengan kelompok liberal dan politisi populis, yang dalam orientasi
politiknya cende­rung bersikap waspada terhadap kelompok Islam.
Hal ini menjadi tantangan bagi ICM untuk memperoleh penga­ruh
politik yang lebih luas dalam konstelasi politik Kuwait.
Sementara itu, pemerintah UEA memandang kelompok opo-
sisi sebagai ancaman keamanan nasional dan bersikap represif. Pada
Maret 2011, aktivis politik mengeluarkan petisi yang ditujukan
kepada Presiden Federasi UEA agar membentuk Majelis Pemilu
Nasional karena pemerintah UEA melarang pembentukan partai
politik dan tidak menginginkan proses politik terbuka. Petisi terse-
but pada akhirnya menimbulkan reaksi keras dari pemerintah dan
aparat keamanan. Tujuh warga negara UEA yang menandatangani
petisi ditahan dan dicabut kewarganegaraannya.
Berdasarkan permasalahan tersebut, buku ini menjawab bebe­
rapa pertanyaan berikut: 1) Faktor-faktor apakah yang menyebab-
kan tumbuhnya kekuatan politik Islam secara signifikan di Arab
Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab?; 2) Bagaimanakah peran
kekuatan politik Islam dalam dinamika sosio-politik di tiga negara?;
3) Bagaimanakah implikasi peran kekuatan politik Islam terhadap
kehidupan bernegara di tiga negara tersebut?

8 | Politik Islam di Arab Saudi ...


B. Politik Islam: Aspek Teoretis
Politik Islam merupakan konsep modern dalam ­wacana politik
yang muncul setelah Perang Dunia I13 dan masih di­perdebatkan
oleh berbagai kalangan akademisi. Perdebatan tentang politik Islam
sering diartikan dan dikaitkan secara sempit dengan wacana funda-
mentalisme, radikalisme, dan terorisme Islam meskipun hal tersebut
masih dalam lingkup dan menjadi salah satu aspek kajian politik
Islam. Bahkan, kesimpulan ini juga mengarah pada generalisasi yang
keliru bahwa Islam sebagai agama politik, agama radikal, dan agama
yang fundamentalis.
Olivier Roy memandang politik Islam sebagai gaya baru dari
gerakan fundamentalisme Islam modern dan memiliki tujuan spesi-
fik untuk menciptakan purwarupa masyarakat Islam yang sebenar­
nya, yang tidak diwujudkan melalui pendekatan tradisional dengan
menegakkan syariat Islam, tetapi mendirikan negara Islam melalui
jalur politik yang dia kategorikan sebagai neofundamentalisme.14
Roy berangkat dari asumsi yang hampir sama dengan ­Mohammed
Ayoob yang memandang Islam bukan sekadar agama, me­lainkan
sebagai sebuah ideologi politik yang menjadi alat untuk mencapai
tujuan politik yang terefleksi dari pengguna­an simbol dan konsep
yang islami di ranah publik.15
Namun, pendekatan yang definitif yang menganggap po­litik
Islam sebagai ideologi politik harus dipisahkan ­de­ngan aspek faktual
yang lebih kultural. Graham Fuller ber­­­pen­­dapat bahwa politik Islam
bukanlah faktor ideologis, melain­kan kombinasi aspek religiosi-
tas-kultural-politik yang sangat ber­kaitan dengan isu-isu dan memi-
liki tujuan politis sehingga mendorong masyarakat muslim untuk
aktif di dalamnya. Islam merupakan aspek integral dari ­keyakinan
(body of faith) yang membentuk semua aspek sosial masya­rakat dan

13
Nazih N. Ayubi. Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (London:
Routledge, 1993).
14
Olivier Roy, The Failure of Political Islam. (Cambridge: President and Fellows of
Harvard College, 1994).
15
Ayoob, Many Faces of Political Islam, 2–3.

Kekuatan Politik Islam ... | 9


memiliki aspek solutif dari kompleksitas permasalahan masyarakat
modern.16
Berdasarkan analisis kritis dapat disimpulkan dari tu­lisan Ayubi
bahwa permasalahan ini harus didudukkan kem­bali. Pertama, Islam
tersusun atas kolektivitas hukum, doktrin, dan nilai moral sebagai
agama yang tidak bisa ­dibatasi dengan definisi agama yang bersifat
politis. Kedua, dalam konteks legitimasi politik dan apa yang secara
faktual terjadi dalam negara-negara mayoritas muslim, politik Islam
sering diartikan sebagai bentuk politisasi agama (Islam) yang dilaku-
kan oleh penguasa untuk mendapatkan legitimasi politik. Ketiga,
politik Islam tidak bisa dipaksakan untuk dilihat dari perspektif
negara sekuler atau dalam bahasa Ayubi “religiously-neutral states”
yang menjurus pada penyimpulan yang “mengadili”.17
Penggunaan konsep politik Islam (political Islam) secara bertu-
karan sering disamakan dengan islamisme (Islamism) yang berawal
dari asumsi bahwa Islam bukan sekadar agama (sebagai aspek priva-
si), melainkan ideologi, nilai (values), dan doktrin yang memberikan
fondasi bagi gerakan sosial (social actions). Denoux berpendapat
bahwa politik Islam merupakan hasil dari proses “instrumentalisasi”
ideologi, nilai, dan doktrin Islam dalam sebuah organisasi gerakan
Islam untuk mencapai tujuan politik (political objectives) sebagai
respons terhadap tantangan dan persoalan dalam kehidupan sosial
masyarakat Islam terkini.18
Muhammad Imarah memandang bahwa munculnya kekuatan
politik Islam merupakan sebuah fenomena yang disebut As-Sahwah
Al-Islamiyyah yang secara definitif diartikan sebagai revivalisme
Islam.19 Perbedaan mendasar definisi revivalisme Islam dan politik
Islam adalah sudut pandang yang memperdebatkan posisi agama

16
Graham E. Fuller. The Future of Political Islam (New York: Palgrave Macmillan,
2004).
17
Ayubi, Political Islam, 91–95.
18
Denoeux Guilain, “The Forgotten Swamp: Navigating Political Islam”. Middle East
Policy, IX, No.2 (2002), 61–62.
19
Imarah, Al-Ushuliyyah Baina.

10 | Politik Islam di Arab Saudi ...


dalam k­ ehidupan politik (negara). Politik Islam merupakan sebuah
gerakan agama (Islam) yang bersifat privat yang memasuki ranah
politik (publik). Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah pemisahan
agama dan negara sebagaimana diungkapkan oleh Ayubi sebagai
“religiously-neutral states”.
Revivalisme Islam didasarkan pada konteks sejarah asal
perkembangan politik dalam dunia Islam yang tidak memisahkan
keberadaan negara dan agama. Revivalisme adalah upaya politis
untuk mengembalikan dan merevitalisasi Islam dalam ranah poli-
tik dalam masyarakat muslim. Revivalisme Islam ditandai dengan
pengimplikasian ajaran Islam dalam kehidupan sosial-politik, bu-
daya, dan kehidupan ekonomi. Tujuan dari revivalisme Islam adalah
terciptanya Islam kafah dalam berbagai sektor kehidupan.
Menurut Antony Bubalo, kebangkitan Islam memiliki beberapa
bentuk, antara lain, kesadaran masyarakat untuk bertindak sesuai
dengan ajaran Islam.20 Di sisi lain, Dekmeijan memandang bahwa
fenomena revivalisme Islam ditandai dengan menguatnya aktivi-
tas keagamaan yang meliputi partai politik, kelompok-kelompok
pergerakan, dan masyarakat Islam militan. Kelompok ini memiliki
kesadaran tinggi dalam memperjuangkan Islam sehingga kerap
berseberangan dengan pemerintah dan institusi-institusinya. Para
pemikir Islam terdahulu, seperti Hasan Al-Banna, Al-Maududi,
Sayyid Qutb, Khomeini, Muhammad Baqi Sadr, dan Said Hawa,
banyak memberikan landasan ideologi bagi kebangkitan Islam kon-
temporer. Gerakan yang mereka usung bertujuan untuk melakukan
perubahan sistem sosial politik ke arah kehidupan Islami. Gerakan
ini mempunyai pandang­an bahwa Islam adalah ya’lu wala yu’la ‘alaih
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang dapat menandinginya”.
Terdapat lima prinsip utama dari gerakan kebangkitan Islam.
Pertama, Ad-din (agama) dan Ad-daulah. Berdasarkan kon­sep ini,
Islam merupakan sebuah ajaran yang bersifat uni­versal (syumuliyah

20
Antony Bubalo, Middle East, Islamism dan Indonesia (New South Wales: Low
Institute for International Politics, 2005).

Kekuatan Politik Islam ... | 11


Al-Islam) yang mengatur tatanan kehi­dupan sosial-ekonomi dan
politik umat Islam. Kedua, pene­rapan Al-Qur’an dan Sunnah secara
kafah. Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Keempat, kedaulat­
an dan hukum Allah berdasarkan syariat. Kelima, komitmen kuat
mewujudkan tatanan Islam (an-nizam al-Islami). Menurut pandang­
an gerakan ini, Islam harus menghancurkan tatanan jahiliah dan
kekuasaan melalui jihad.21
Berdasarkan lima prinsip tersebut, tuntutan ­pelaksanaan syariat
Islam menjadi agenda politik gerakan keagamaan di Timur Tengah
yang dipelopori oleh Ikhwanul Muslimin. Kehadiran IM diikuti
kelompok Islam lainnya seperti, Hizbut Tahrir, Hizbu Ad-Da’wah,
Hizbullah, Jihad Islam, Jama’at Al-Muslimun At-Takfir, dan organi­
sasi Islam lainnya. Gerakan-gerakan Islam tersebut menjadi peng-
gerak perjuangan politik Islam di Timur Tengah dengan berperan
aktif dalam politik praktis.
Berdasarkan uraian tersebut, buku ini secara lebih menda­lam
menggali tentang problematika kekuatan politik Islam di tiga ne-
gara (Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab) dengan berbagai
aspeknya yang meliputi, Bab I: Catatan Pendahuluan. Bab ini
menjelaskan latar belakang dan permasalahan. Dalam bab ini, di-
jelaskan problematika kekuatan politik Islam di tiga negara, yaitu
Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab. Di tiga negara tersebut,
kekuatan politik Islam tumbuh sesuai dengan karakteristik­nya di
­tengah sistem politik yang ada.
Bab II: Problematika Kekuatan Politik Islam di Arab Saudi. Bab
ini mengkaji berbagai faktor penyebab t­ umbuhnya kekuatan politik
Islam, membahas peran kekuatan politik Islam dalam dinamika so-
sio-politik, dan menganalisis implikasi peran kekuatan politik Islam
di Arab Saudi. Dalam konteks politik Saudi, kekuatan politik Islam
muncul melalui gerakan reformasi keagamaan, seperti gerakan As-
Sahwah Al-Islamiyyah yang merupakan representatif dari kelompok

21
Sayyid Qutb, Ma’alim fi Ath-Thariq. Penerj. Darul Uswah (Yogyakarta: Penerbit
Darul Uswah, 2011).

12 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Ikhwanul Muslimin (IM). Kelompok ini kerap mengkritik kebijak­
an pemerintah monarki Islam. Karakteristik ini berbeda dengan
kelompok politik Islam lainnya di dunia Arab yang mengkritik
rezim otoriter-sekuler.
Bab III: Problematika Kekuatan Politik Islam di Kuwait. Bab
ini mengkaji berbagai faktor penyebab t­ umbuhnya kekuatan politik
Islam, membahas peran kekuatan politik Islam dalam dinamika
sosio-politik, dan menganalisis implikasi peran kekuatan politik
Islam di Kuwait. Sebagai negara yang menjadi role model demokrasi
di kawasan Teluk, gerakan politik Islam dapat berkembang dan
berperan besar dalam kancah politik Kuwait. Salah satu kekuatan
politik Islam terpenting adalah the Kuwait Islamic Constitutional
Movement (ICM) yang merupakan sayap politik IM. Kelompok ini
berbeda dengan gerakan Islam lainnya di dua negara kasus lainnya
karena bertujuan untuk melakukan islamisasi melalui reformasi
konstitusional. Karakteristik ini menjadikan ICM menjadi pilihan
yang dapat diterima oleh berbagai kalangan yang menginginkan
reformasi Islam dalam pemerintahan dan aturan hukum tanpa ke-
kerasan.22
Bab IV: Problematika Kekuatan Politik Islam di Uni Emirat
Arab. Bab ini mengkaji berbagai faktor penyebab tumbuhnya
kekuatan politik Islam, membahas peran kekuatan politik Islam
dalam dinamika sosio-politik serta menganalisis implikasi peran
kekuatan politik Islam di Uni Emirat Arab. Kekuatan politik Islam
terbesar di UEA adalah Jamiyyat Al-Islah (Al-Islah Society) yang
memiliki kesamaan karakter dengan IM. Tujuan pembentukan or-
ganisasi ini adalah untuk aktivitas sosial. Kedekatan Al-Islah dengan
pemerintah dalam dua dekade terakhir mendorong Al-Islah pada
puncak kejayaannya. Namun, dalam perkembangannya, kelompok
ini mendapat tekanan rezim yang menjadikannya terpuruk di te­
ngah pusaran dominasi monarki.

22
Brown, “Pushing Toward Party Politics,” 3–20.

Kekuatan Politik Islam ... | 13


Bab V: Penutup dan Kesimpulan. Politik Islam di tiga negara
kasus (Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab) memiliki ka­
rakteristik masing-masing sesuai dengan dinamika politik yang
terjadi. Demikian halnya dengan hu­bungan antara Islam dan negara
yang kerap mengalami pasang surut sebagai imbas dari pergolakan
politik yang terjadi meski pada tataran tertentu di tiap-tiap negara
kasus, agama dan negara saling menautkan diri dan tidak dapat
dilepaskan dalam kehidupan sosial-politik. Terdapat ­beberapa poin
yang dapat dijadikan kesimpulan. Pertama, di Arab Saudi, pemerin-
tah di bawah pimpinan raja memiliki kekuasaan yang sangat besar
dan mutlak, pendirian organisasi Islam hanya bisa terwujud dalam
bentuk organisasi formal yang mendapat legitimasi raja. Berbeda
dengan Kuwait yang konstitusinya telah memberikan ruang, baik
bagi faksi maupun organisasi politik untuk berkembang. Adapun
dalam kasus UEA, kelompok Islam berkesempatan tampil dalam
kancah politik meski pada akhirnya rezim melakukan pembatasan
terhadap gerakan. Kedua, kekuatan politik Islam di Arab Saudi
diawasi dengan cukup ketat sehingga gerakan Islam lainnya tidak
berhasil terlembagakan. Meskipun demikian, pe­ ngaruh dunia
pendidikan dan organisasi Islam internasional yang masuk telah
menginfiltrasi masyarakat terpelajar Saudi. Sementara di Kuwait,
pengaruh kekuatan politik Islam menga­lami pasang surut imbas
dari budaya politik yang berkembang. Adapun di Kuwait, politik
Islam yang semula berkembang telah mendapat tekanan akibat
dominasi kader gerakan dalam bidang pendidikan dan peradilan
negara. Terakhir, gerakan politik Islam di Arab Saudi dipengaruhi
oleh kelompok Wahabi, baik secara domestik maupun inter­nasional.
Pendidikan di Arab Saudi yang semula banyak dipengaruhi IM pada
akhirnya digantikan oleh dominasi pemikiran Wahabi. Dalam kasus
Kuwait, gerakan politik Islam begitu dominan dalam masyarakat,
baik di perkotaan maupun suku, bahkan kelompok ini mampu
memasukkan nilai Islam dalam konstitusi. Sementara itu, di UEA
kekuatan politik Islam yang semula kuat pada akhirnya dapat di­
berangus melalui berbagai kebijakan emir.

14 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Daftar Pustaka
Ayoob, Mohammed. The Many Faces of Political Islam: Religion and Politics in
the Muslim World. Ann Arbor: The University of Michigan Press, 1993.
Ayubi, Nazih N. Political Islam: Religion and Politics in the Arab World. Lon-
don: Routledge, 1993.
Brown, Nathan J. “Pushing Toward Party Politics? Kuwait’s Islamic Constitu-
tional Movement”. Carnegie Endowment for International Peace. No.79
(January 2007): 3–20. http://carnegieendowment.org/2007/02/13/
pushing-toward-party-politics-kuwait-s-islamic-constitutional-move-
ment-pub-19016.
Bubalo, Antony. Middle East, Islamism and Indonesia. New South Wales: Low
Institute for International Politics, 2005.
Davidson, Christopher. “Fear and Loathing in Emirates”. (September 2018).
Diakses pada Februari 2017, http://carnegieendowment.org/sada/49409.
Dekmejian, R. Hrair. “The Rise of Political Islam in Saudi Arabia”. Middle
East Journal 48, No. 4 (1994): 627–643.
Esposito, John L. Islam: The Straight Path. Oxford, UK: Oxford University
Press, 2011.
Fuller, Graham E. The Future of Political Islam. New York: Palgrave Macmil-
lan, 2004.
Guilain, Denoeux. “The Forgotten Swamp: Navigating Political Islam”. Mid-
dle East Policy IX, No. 2 (2002): 56–81.
Hakala, Pekka. “Opposition in the United Arab Emirates”. Quick Policy
Insight, Directorate-General for External Policies, Policy Department, Eu-
ropean Parliament, (November 2012): 1–4. http://www.europarl.europa.
eu/RegData/etudes/briefing_note/join/2012/491458/EXPO-AFET_
SP%282012%29491458_EN.pdf.
Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in The Late 20th
Century. Oklahoma: University of Oklahoma Press, 1991.
Imarah, Muhammad. Al-Ushuliyyah Baina Al-Gharb wa Al-Islam. Kairo: Daar
Asy-Syaruq, 1998.
Piscatori, James P. “Ideological Politics in Saudi Arabia”. Dalam Islam in the
Political Process, diedit oleh James P. Piscatori, 56. Cambridge: Cam-
bridge University Press, 1983.

Kekuatan Politik Islam ... | 15


Qutb, Sayyid. Ma’alim fi Ath-Thariq. Diterjemahkan oleh Penerbit Darul
Uswah. Yogyakarta: Penerbit Darul Uswah, 2011.
Roy, Olivier. The Failure of Political Islam. Cambridge: President and Fellows
of Harvard College, 1994.
Rudman, Amanda, dkk. “Domestic Dynamics of Political Islam in the Greater
Middle East: Case Studies of Jordan, Egypt, Kuwait and Turkey”. Cornell
International Affairs Review 1. No. 1 (2007): 3–4.
Ziegler, Helen and Associates. "Political System of Kuwait." Diakses pada Ja­
nuari 2017. https://www.hziegler.com/articles/political-system-of-kuwait.
html.

16 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Bab

2
Problematika Kekuatan Politik Islam
di Arab Saudi
Nostalgiawan Wahyudhi

A. Arab Saudi dan Fenomena Arab Spring


Sebelum menjadi negara yang paling sentral di Timur Tengah, baik
secara politik, sosial, ekonomi, maupun keagamaan, Arab Saudi
merupakan negara yang dikelola secara minimalis. Hingga pada
tahun 1952, negara sederhana tersebut hanya ditopang oleh tiga ke-
menterian, yaitu kementerian keuangan yang dibentuk pada tahun
1932, kementerian luar negeri yang dibentuk pada tahun 1933, dan
kementerian dalam negeri yang berdiri pada tahun 1944. Sebagai
negara, Arab Saudi nyaris tidak memiliki anggaran yang cukup
untuk hadir dengan program-program pembangunan di tengah

| 17
masyarakat, tetapi melanggengkan status keluarga kerajaan yang
secara politik dan sosial merupakan ahli waris wilayah tersebut.1
Sebagai penguasa Hijaz dan Najd, cikal bakal entitas politik
Arab Saudi, keluarga Saud diuntungkan oleh faktor “given” sebagai
pelayan Haramain (dua kota suci di wilayahnya), Makkah dan
Madinah, dua tanah suci bagi umat Islam. Mereka menikmati sta-
tusnya yang disegani, baik secara internal maupun secara eksternal,
terutama di dunia Islam. Penetrasi pengaruh sosial politik keluarga
Saud diperkuat dengan identifikasi secara politis ajaran Wahabi yang
memiliki pengaruh kuat di masyarakat sebagai aliran keislaman res­
mi yang dianut negara. Oleh karena itu, wajar jika Saudi sangat
selektif dengan gerakan Islam lainnya. Hal ini secara signifikan
memengaruhi dan menentukan arah kebijakan internal dan politik
luar negeri keluarga Saud ke depan, baik secara nasional, regional,
maupun internasional.
Gelombang Arab Spring pada tahun 2011 yang melanda Jazirah
Arab, muncul sebagai simbol perlawanan dan pembebasan terhadap
keterbelakangan ekonomi dan sistem politik otoritarian yang menye-
bar dari Afrika Utara (Tunisia) ke negara-negara Timur Tengah.
Gelombang demokratisasi ini bahkan didukung dan dimotori oleh
salah satu gerakan politik Islam yang dilarang di Saudi, seperti
Ikhwanul Muslimin. Pergantian rezim pun tidak dapat dielakkan
seperti halnya yang terjadi di Mesir. Keluarga Saud yang menganut
sistem pemerintahan monarki absolut tentu merasa sangat terancam
dengan gelombang ini. Sejauh mana Arab Spring berdampak pada
stabilitas ekonomi dan politik di Arab Saudi? Bagaimana dampak-
nya terhadap pertumbuhan kekuatan politik Islam di Arab Saudi?
Bagaimana pula gerakan politik Islam memengaruhi kehidupan
sosial, politik, dan ekonomi Arab Saudi?

1
Tim Niblock dan Monica Malik, The Political Economy of Saudi Arabia. (New
York: Routledge, 2007), 32–33.

18 | Politik Islam di Arab Saudi ...


B. Dinamika Ekonomi, Sosial, dan Politik
Arab Saudi merupakan negara terluas di kawasan Timur Tengah
yang mencapai 2.149 juta kilometer persegi, hanya sedikit lebih
luas dari Iran, tetapi hanya memiliki 1% lahan produktif. Selebih-
nya, wilayah Arab Saudi diselimuti oleh gurun pasir yang gersang
sehingga sebaran penduduk di negara ini tidak merata.2 Sebaran
penduduk Saudi terkonsentrasi pada wilayah perkotaan dan pusat
pertumbuhan ekonomi dengan laju urbanisasi yang tinggi, baik
warga negara Saudi maupun non-Saudi. Kota-kota seperti Riyadh,
Makkah, dan wilayah timur mengalami pertumbuhan penduduk
yang cukup tinggi karena banyak lapangan pekerjaan dan proyek
infrastruktur yang dikerjakan pemerintah.3
Arab Saudi terletak di tengah-tengah Jazirah Arab yang memi-
liki posisi strategis dari akses darat, laut, dan udara. Negara tersebut
memiliki luas perbatasan darat sepanjang 4.272 kilometer yang
berbatasan langsung dengan 7 (tujuh) negara, yaitu Irak (sepanjang
811 km), Yordania (sepanjang 731 km), Kuwait (sepanjang 221
km), Oman (sepanjang 658 km), Qatar (sepanjang 87 km), UEA
(sepanjang 457 km), dan Yaman (sepanjang 1.307 km). Panjang
perbatasan lautannya mencapai 2.640 kilometer.

2
Central Intelligence Agency, “Saudi Arabia”, CIA World Fact Book, (Oktober
2017), 1–2, https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/
sa.html.
3
Asharaf AbdulSalam, “Population and Household Census, Kingdom of Saudi
Arabia 2010: Facts and Figures”. International Journal of Humanities and Social
Science, 3 No. 16 (2013), 258–263.

Problematika Kekuatan Politik ... | 19


Gambar 2.1 Peta Arab Saudi4

1. Ekonomi
Secara geopolitik, selain berada di jantung Jazirah Arab, Arab Saudi
diapit oleh dua jalur laut tersibuk di seluruh d
­ unia, yaitu Laut Persia
dan Laut Merah menuju Terusan Suez. Perbatasan laut Arab Saudi
di sebelah timur berhadapan langsung dengan rival politiknya, Iran,
dan hanya dibatasi oleh Teluk Persia yang menjadi jalur perdagangan
minyak tersibuk dunia dengan produksi mencapai 1.412,4 juta barel
yang merupakan pemasok 32,4% produksi minyak dunia.
Perubahan signifikan pada ekonomi Arab Saudi terjadi ketika
negara monarki absolut tersebut memulai debut pertamanya dalam
mengekspor minyak. Sentralitas Arab Saudi sebagai produsen mi­
nyak dunia menguat sejak negara tersebut menjadi pemasok ke
­negara-negara Eropa dan Amerika pada tahun 1948. Pembangunan

4
University of Texas Libraries, “Saudi Arabia Pol 2003”, September 2017 http://
www.lib.utexas.edu/maps/middle_east_and_asia/saudi_arabia_pol_2003.jpg.

20 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Trans-Arabian Pipeline oleh Aramco (sekarang) sepanjang 1.214 kilo-
meter dari Pelabuhan Dammām di Arab Saudi melewati Yordania,
bagian selatan Suriah dan berujung di terminal minyak di Sidon,
Lebanon, merupakan revolusi pertama distribusi minyak ke Eropa.
Namun, pipa minyak bersejarah ini dihentikan oleh Saudi pada
tahun 1990 saat perang Irak sehingga harga minyak melambung
saat itu.5

Sumber: Chronicle Fanack (2014)


Gambar 2.2 Distribusi Minyak Arab Saudi

5
Encyclopedia Britannica, “Trans Arabian Pipeline,” diakses 8 Agustus 2017 https://
www.britannica.com/topic/Trans-Arabian-Pipeline.

Problematika Kekuatan Politik ... | 21


Untuk memotong jalur perdagangan minyak dan gas ke Eropa
sekaligus menguasai perdagangan minyak, Saudi membuat pipa
minyak dan gas yang melintasi Dammam (di pesisir timur Teluk
Persia) bergerak menuju terminal minyak dan gas Yanbu di Madinah,
pesisir barat Laut Merah. Hal ini secara signifikan memotong jalur
perdagangan minyak menuju pusat perdagangan minyak dan gas
di Teluk Persia. Proyek ini dipercayakan atas pendanaan Aramco
(62,5%) dan Sinopec (37,5%). Dalam perkembangannya, terminal
minyak di Yanbu bukan hanya untuk perdagangan minyak mentah
(crude oil), tetapi juga dibangun penyulingan minyak dan gas (oil
and gas full conversion refinery) kualitas terbaik yang rendah sulfur
untuk memenuhi standar produk Eropa. Terminal ini akan mening-
katkan 30% kapasitas produksi dan varian distribusi perdagangan
minyak Arab Saudi.6
Pada tahun 2016, Arab Saudi ternyata tidak lagi menjadi pro-
dusen minyak terbesar di dunia. Saudi memproduksi sekitar 12,3
juta barel per hari, meningkat sekitar 3% dari tahun 2015. Namun,
Saudi merupakan pemasok 13,4% kebutuhan minyak dunia dan
menguasai 38,8% produksi minyak Timur Tengah. Jumlah ini
sedikit di bawah produksi minyak Amerika yang mencapai 12,4 juta
barel per hari. Sebenarnya, sejak tahun 2014, produksi minyak Arab
Saudi sudah berada di bawah produksi minyak Amerika. Diprediksi
hingga bertahun-tahun ke depan, produksi minyak Amerika tetap
menempati posisi tertinggi di dunia meskipun pada tahun 2016
terjadi penurunan produksi sebanyak 3,2%.7
Dengan tingkat produksinya yang tinggi, konsumsi mi­nyak
untuk keperluan dalam negeri Arab Saudi hanya sekitar 28,6% se­
hingga ekonomi Saudi sangat diuntungkan dengan surplus ekonomi

6
“Saudi Aramco Yanbu Refinery,” Hydrocarbons Technology, diakses 12 Juni 2016
http://www.hydrocarbons-technology.com/projects/aramco-yanbu/.
7
Centre for Energy Economics Research and Policy, BP Statistical Review of World
Energy (London: Heriot-Watt University, 2017), https://www.bp.com/content/
dam/bp-country/de_ch/PDF/bp-statistical-review-of-world-energy-2017-full-
report.pdf.

22 | Politik Islam di Arab Saudi ...


dari produksi minyaknya. Dengan pengha­silan di sektor minyak
yang menjadi komoditas utama, Arab Saudi dan juga mayoritas ne-
gara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), terjebak dalam rentier state,
yaitu ketergantungan negara pada sektor yang tidak produktif dari
sistem rente. Ketergantungan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Arab Saudi terhadap sektor minyak cukup tinggi
hingga mencapai 43%. Angka ini sebenarnya lebih aman dari Qatar
yang mencapai 51%. Namun, sangat rentan dengan fluktuasi harga
minyak di pasaran, terlebih beberapa tahun ini harga minyak mulai
turun.8
Dalam sektor gas, Arab Saudi memiliki 4,5% cadangan gas du­
nia. Produksi gas Saudi tergolong cukup besar, mencapai 109,4 juta
kubik pada tahun 2016. Angka ini sekitar 40% lebih kecil daripada
produksi gas Qatar. Namun, sektor gas tidak mendukung pasokan
ke APBN karena Saudi tidak memperdagangkan sektor gas untuk
kebutuhan ekspor. Semua hasil dari produksi gas dipergunakan un-
tuk kebutuhan dalam negeri Arab Saudi.9
Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Arab Saudi menca-
pai 20.029 dolar pada tahun 2016. Namun, jumlah ini menurun
sejak tahun 2012. Sebagai rentier state, penu­runan PDB per kapita
Saudi ini disinyalir seiring dengan turunnya harga minyak dunia.
Harga minyak dunia pernah naik t­ajam pada tahun 2011 karena
gelombang Arab Spring. Harga mi­nyak (crude oil) saat itu mencapai
106,18 dolar per barel naik dari harga 78,6 dolar per barel pada
tahun 2010. Karena penga­ruh kenaikan harga minyak ini pula, PDB
per kapita Saudi pernah mencapai puncaknya pada tahun 2012 di
level 25.303 dolar.10 Dengan fluktuasi harga minyak yang cenderung
turun dan tidak stabil, kondisi perekonomian Arab Saudi ke depan

8
Centre for Energy Economics Research and Policy, BP Statistical Review.
9
Centre for Energy Economics Research and Policy, BP Statistical Review.
10
"GDP per capita (current US$)," World Bank National Accounts Data, and OECD
National Accounts Data Files, The World Bank IBRD-IDA, 15 Juli 2017, https://
databank.worldbank.org/reports.aspx?source=2&type=metadata&series=NY.
GDP.PCAP.CD.

Problematika Kekuatan Politik ... | 23


pun diperkirakan masih labil karena harga minyak pada tahun 2016
sudah terjun bebas menyentuh angka 41,19 dolar per barel.11
Perekonomian Saudi diperburuk dengan peningkatan angka
pengangguran yang mencapai 12,7%. Lebih dari 70% di antaranya
adalah pencari kerja dari golongan perempuan. Lesunya perekono-
mian Arab Saudi belakangan ini berdam­pak juga pada pembelanjaan
pemerintah yang menurun dan tekanan terhadap pekerja imigran
dan ekspatriat yang semakin ketat. Di sisi lain, nahasnya peningkatan
jumlah pekerja kebangsaan Saudi juga tidak tampak. Sebenarnya,
setiap tahun tercipta 433.000 lapangan kerja, tetapi ­mayoritas yang
mengambil kesempatan itu adalah pekerja asing. Di sisi lain, sirkula-
si ekonomi dari sektor bisnis, hotel dan restoran turun hingga 0,8%
per tahun dan pertumbuhan ekonomi dijangkakan akan berada di
bawah level 1%.12
Keterpurukan ekonomi Saudi akibat harga minyak yang turun
membuat Visi 2030 mendapatkan momen. Pada Visi 2030, Arab
Saudi berkomitmen untuk menekan angka pengangguran pada
level 7%.13 Di sisi lain, Visi 2030 tersebut menetapkan target-target
yang sangat ambisius, seperti meningkatkan keterlibatan perem­
puan dalam lapangan pekerjaan hingga mencapai 30%, menggenjot
pertumbuhan UKM pada PDB hingga 35%, dan menumbuhkan
sektor ekonomi nonmigas seperti sektor pariwisata dan jasa. Putra
Mahkota Saudi, Pangeran Muhammad bin Salman, juga meren-
canakan menjual 5% kepemilikan saham Aramco kepada publik
meskipun hingga saat ini pendapatan dari Aramco masih mendomi-
nasi pembiayaan di APBN Saudi. Muhammad beranggapan bahwa
minyak adalah candu yang berbahaya, sedangkan Visi 2030 ini tidak

11
Centre for Energy Economics Research and Policy, BP Statistical Review.
12
Dominic Dudley, “Is Saudi Arabia Heading For A Recession?” (Juli 2016),
https://www.forbes.com/sites/dominicdudley/2016/07/12/­saudi-recession/2/
#6834a0d26330.
13
“Saudi Arabia unemployment rate climbs to 12.7 percent,” (Juli 2017), http://
www.aljazeera.com/news/2017/07/saudi-arabia-unemployment-rate-climbs-127-
percent-170730163025234.html.

24 | Politik Islam di Arab Saudi ...


menginginkan harga minyak yang tinggi, tetapi justru menjadikan
Saudi yang dapat hidup tanpa minyak.14
Dari program ini, tampaknya Arab Saudi ingin mengejar keter­
tinggalan ekonominya dari Uni Emirat Arab dan Qatar yang terlebih
dahulu mengembangkan potensi ekonomi di sektor nonmigas, teru-
tama jasa dan pariwisata. Ketergantungan APBN yang sangat tinggi
pada sektor migas membuat ekonomi Saudi lunglai ketika harga
minyak turun. Keberhasilan UEA yang disusul oleh Qatar menye-
babkan pengaruh Saudi secara ekonomi politik di kawasan mulai
terkikis. Pertumbuhan kedua negara tersebut sebagai hub di kawasan
sebenarnya menjadi ancaman bagi Saudi. Karena banyaknya jemaah
umrah dan haji menggunakan rute Dubai atau Doha, ikon Jeddah
ataupun Riyadh sebagai hub tidak begitu menonjol di kawasan.

2. Sosial-Budaya
Menurut data resmi pemerintah, populasi penduduk di Arab Saudi
per pertengahan 2016 mencapai 31,79 juta jiwa. Jumlah ini berbeda
dengan data yang dikeluarkan Bank Dunia yang mencapai 32,28
juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 36,8% di antaranya merupakan imi-
gran yang bekerja di berbagai sektor, seperti infrastruktur, pelayanan
publik, pendidikan, kesehatan, hingga pembantu rumah tangga.
Mayoritas para imigran itu berasal dari negara-negara Asia dan Arab,
seperti India, Mesir, Bangladesh, Srilanka, Filipina, Indonesia, dan
Pakistan. Namun, menurut data dari Human Right Watch, Saudi
memiliki banyak kasus, terutama di sektor pekerja domestik (pem-
bantu rumah tangga).
Sebaran penduduk Saudi tidak merata. Mayoritas mere­ka me­
ngumpul di daerah perkotaan. Oleh karena itu, tidak mengheran-
kan bila tingkat urbanisasi Saudi mencapai 85%. Faktor tipografi
wilayah, cuaca/suhu, dan ekonomi/­pekerjaan menjadi daya tarik
utama bagi penduduk Saudi untuk melakukan urbanisasi.
14
“Saudi Arabia Approves Ambitious Plan to Move Economy Beyond Oil,” The
Guardian, (April 2016), https://www.theguardian.com/world/2016/apr/25/saudi-
arabia-approves-ambitious-plan-to-move-economy-beyond-oil.

Problematika Kekuatan Politik ... | 25


Arab Saudi merupakan gabungan dari dua wilayah ­utama, Najd
dan Hijaz. Najd merupakan wilayah yang membentang di tengah
jantung Arabia mulai dari perbatasan Irak dan Yordania hingga
ke wilayah selatan yang berbatasan langsung de­ngan Oman dan
Yaman. Di sebelah timur Najd, terbentang kawasan yang subur dan
berbatasan langsung dengan Teluk Persia, sedangkan sebelah barat
merupakan wilayah pegunungan yang langsung berbatasan dengan
Hijaz di sepanjang Laut Merah. Dengan wilayah yang seperti itu,
Najd dihuni oleh banyak suku nomaden yang menyediakan jasa
penunjuk arah dengan menyediakan kendaraan unta dan keledai
untuk mengangkut barang dagangan bagi kafilah-kafilah yang
melintas di padang pasir. Selain itu, terdapat suku-suku yang me­
netap dengan beternak unta dan domba, dan hidup di kawasan oasis
berkebun yang menjadi tempat singgah dan istirahat bagi kafilah
yang melintas.15

Sumber: Stamp Word History (2018)


Gambar 2.3 Hijaz, Najd, dan Al-Hasa

15
David Commins, Islam in Saudi Arabia, (London and New York: I.B. Tauris,
2015).

26 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Hijaz merupakan wilayah barat Arab Saudi yang membentang
sepanjang pesisir Laut Merah. Di sepanjang sisi sebelah timur, Hijaz
berbatasan langsung dengan Najd. Di sebelah utara dan selatan, Hijaz
bersinggungan langsung dengan daratan Yordania dan Yaman. Hal
yang membuat Hijaz begitu istimewa adalah di wilayahnya terdapat
dua kota suci bagi umat Islam, yaitu Makkah dan Madinah. Oleh
karena itu, pendudukan Turki Utsmani hingga tahun 1918 sangat
pen­ting. Meskipun wilayah ini tidak memiliki banyak ­sumber keka-
yaan alam, secara politis penguasaan wilayah ini memiliki dampak
legitimasi yang kuat bagi Turki Utsmani di dunia Islam.16
Wilayah yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan
sebagai referensi kondisi sosial politik Arab Saudi adalah Al-Hasa,
bagian timur Arab Saudi di sepanjang pantai Teluk Persia. Komposisi
kependudukan di wilayah Al-Hasa lebih majemuk dibandingkan
wilayah Saudi lainnya. Kawasan ini merupakan hub bagi berbagai
etnis Arab, Persia, Baluchi, Asia Selatan, dan Afrika. Sejak abad
ke-17, penganut Syiah menjadi mayoritas wilayah ini. Sebagaimana
penganut Syiah dari Irak dan Iran, sebagian beranggapan bahwa
Al-Hasa merupakan perluasan wilayah Syiah Itsna Asyariyah. Sejak
kekuasaan keluarga Saud pada tahun 1913 atas wilayah Al-Hasa,
Abdul Aziz menghadapi dilema antara keinginan untuk menda­
patkan dukungan dan legitimasi di wilayah mayoritas Syiah ini atau
berpegang pada pendiriannya ingin menegak­kan pengaruh ajaran
Wahabi di setiap jengkal wilayah kekuasaannya.17
Hingga kini, Arab Saudi belum bisa menggeser populasi Syiah
dari negaranya. Belum pernah ada data resmi dari pemerintah
yang merilis secara pasti jumlah penganut Syiah di negara tersebut.
Berbagai data berspekulasi bahwa penganut Syiah di Saudi ada pada
level 10% dari populasinya. Mereka tidak hanya dari kalangan imi-
gran, mayoritas mereka adalah penduduk asli Saudi yang memang
sudah menganut Syiah secara turun-temurun. Berdasarkan konteks

16
Commins, Saudi Arabia, 8–9.
17
Commins, Saudi Arabia, 7–8.

Problematika Kekuatan Politik ... | 27


sejarah, mayoritas penganut Syiah berada di pesisir tmur dekat de­
ngan Teluk Persia, sebagian lagi berada di selatan Saudi berbatasan
dengan Yaman.
Penganut Syiah di Saudi tidaklah tunggal. Itsna Asyariyah
(Syiah Imamiyah) merupakan aliran yang paling banyak dianut oleh
kelompok Syiah di Saudi. Jumlahnya bisa mencapai sekitar 2 (dua)
juta jiwa yang terkelompok dalam Al-Baharna, Nakhawila, Bani
Husaini, Bani Ali (Harb), dan Bani Juhaynah. Etnis Al-Baharna
awalnya merupakan imigran dari berbagai tempat yang menetap
sejak masa kekuasaan Bani Umayyah dan Abbasiyah. Kelompok
etno-religius Syiah Al-Baharna sebagian besar berada di pesisir timur
yang terkonsentrasi di Kota Qatif dan Dammam yang berada di seki-
tar Pelabuhan King Abdul Aziz dan dekat dengan Bahrain. Penganut
Syiah ini memiliki kesamaan etnis dengan mayoritas penganut Syiah
di Bahrain. Sebagian lagi terkonsentrasi di wilayah Al-Ahsa yang
dekat dengan perbatasan Oman yang dahulu meru­pakan oasis kecil
yang terkenal dengan perkebunan kurmanya.
Nakhawila merupakan kelompok sosial menengah ke bawah
yang menganut Syiah Imamiyah. Mereka menetap di sekitar Kota
Madinah, Wadi Al-Fara. Kebanyakan di antara mereka dulu meru-
pakan petani dan buruh perkebunan kurma yang berada di sekitar
Madinah. Menurut Hamzah Hasan, pengikut Nakhawila sering
mendapatkan diskriminasi dan tekanan, terutama sejak penghan-
curan situs pemakaman Al-Baqi’ yang berada di samping Masjid
Nabawi yang disakralkan oleh penganut Syiah.18 Di daerah Hijaz
juga terdapat tiga keluarga yang menganut Syiah Imamiyah, yaitu
sebagian kecil dari Bani Hussaini yang merupakan keluarga dari
Syarif Hussein yang menguasai Hijaz pada periode penguasaan
Turki Utsmani, Bani Ali dan Bani Juhaynah. Ketiga keluarga ini
merupakan suku yang nomaden di wilayah Hijaz. Sebagian besar
dari mereka telah menganut ajaran Wahabi sejak keluarga Bani Saud
menguasai Arab Saudi.

18
Raihan Ismail, Saudi Clerics and Shi’a Islam. (New York: Oxford University Press,
2016).

28 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Penganut Syiah Ismailiyah juga terdapat di Arab Saudi. Mereka
singgah di sebelah barat daya Arab Saudi di Lem­bah Najran yang
merupakan pusat perkembangan sekte Sulaimaniyah dari Syiah
Ismailiyah sejak abad ke-16. Najran menjadi kiblat bagi penganut
Syiah Ismailiyah yang berasal dari Yaman, Pakistan, dan India. Di
sepanjang perbatasan Saudi dengan Yaman juga terdapat penganut
Syiah Zaidiyah yang berpusat di Yaman. Relasi interpersonal secara
kesukuan, kultural, dan kedekatan geografis membuat perkem­
bangan Syiah di daerah ini berjalan secara dinamis meskipun secara
entitas politik mereka terpisah antara dua negara.
Saudi sering membuat kebijakan publik ekstrem yang disandar-
kan pada prinsip-prinsip ajaran Wahabi. Beberapa pelarangan, yaitu
larangan menyetir mobil bagi perempuan, kewajiban menggunakan
abaya dan cadar, sensor terhadap iklan-iklan dengan model perem­
puan, kewajiban membawa mahram bagi perempuan, dan sebagai­
nya berlaku untuk seluruh wilayah negara. Penerapan peraturan ini
di Saudi secara khusus menggunakan polisi syariat. Namun, pelaksa­
naan peraturan tersebut tidak sama di tiap-tiap d ­aerah. Untuk
dae­rah pesisir timur Saudi yang lebih majemuk dan metropolis,
yaitu Riyadh, Dahran, Dammam, dan kota-kota lainnya penerapan
hukum syariat tidak seketat di Makkah dan Madinah.

3. Politik Arab Saudi


Arab Saudi merupakan negara yang menganut sistem mo­ narki
absolut. Dalam hal ini, sentralitas kekuasaan secara dominan ada di
tangan raja. Raja dan putra mahkota d ­ iangkat melalui sebuah forum
baiat keluarga kerajaan (Hay’at al-Bay‘ah) sebagai simbol pengakuan
dan ketundukan anggota keluarga kerajaan terhadap raja dan putra
mahkota yang dipilih. Dalam prosesi baiat ini, rakyat diperbolehkan
mengikuti sesi seremonial yang diadakan oleh kerajaan.
Dalam keluarga Bani Saud, ada kelompok pangeran yang memi-
liki kekuatan dominan yang terkenal dengan sebutan faksi Sudairi.
Sebutan ini berasal dari nama istri Raja Abdul Aziz, Ratu Husna
Sudairi, putri dari klan paling kuat di Najd. Kelompok keturunan

Problematika Kekuatan Politik ... | 29


ini terdiri dari tujuh pangeran dengan Raja Fahd merupakan anak
pertamanya. Meskipun kuat, sebenarnya hanya dua dari keturun-
an Sudairi yang menjadi raja, yaitu Fahd dan Salman. Raja-raja
sebelum­nya, seperti Raja Saud, Faisal, Khalid, dan Abdullah bukan
dari keturunan Sudairi.19
Faksi dan ketegangan politik sering terjadi di antara pangeran-­
pangeran Saudi. Terlebih keturunan Sudairi me­mang terkenal lebih
suka berpolitik dibandingkan para pangeran lain yang fokus dalam
dunia bisnis. Oleh sebab itu, Raja Abdullah sendiri harus berkoalisi
dengan keturunan Sudairi untuk memastikan keamanan pemerin-
tahannya. Setelah Raja Salman menduduki kekuasaan Saudi, dia
melakukan reorganisasi kekuatan Sudairi dengan mengangkat pu-
tranya sendiri, yaitu Muhammad bin Salman sebagai putra ­mahkota
setelah putra Pangeran Nayef, Muhammad bin Nayef dilengserkan
dari posisi­nya.20
Keputusan politik merupakan hak prerogratif raja yang melaku-
kan konsultasi dengan keluarga penting kerajaan dan ulama Wahabi.
Di sisi lain, konstitusi negara berdasarkan pada Al-Qur’an dan hukum
syariat. Meskipun begitu, pada tahun 1992, Raja Fahd menerbitkan
Undang-Undang Dasar Pemerintah (Niẓām Al-Asāsī lī Al-Ḥukm),
undang-undang tentang pemerintahan hak dan wewenang raja dan
warga negara. Hal ini mempertegas Raja Saudi sebagai kepala negara
dan kepala pemerintahan yang berkuasa penuh. Dalam hal ini, raja
tidak hanya menjadi penguasa eksekutif, tetapi juga berperan sebagai
legislatif dan yudikatif.21

19
Patrick Martin, “Why Saudi king spurned half-brother and restored the
Sudairi Seven royal lineage,” The Globe and Mail, (April 2015). https://beta.
theglobeandmail.com/news/world/saudi-arabias-royal-overhaul-signals-riyadhs-
assertive-foreign-policy/article24178168/?ref=http://www.theglobeandmail.com.
20
“King Salman Reasserts Sudairi Seven, Key Abdullah Advisor Removed,” Middle
East Eye, (Februari 2015). http://www.middleeasteye.net/news/king-salman-
reasserts-­sudairi-seven-key-abdullah-advisor-removed-496423196.
21
Encyclopedia Britannica. “Government and Society of Saudi Arabia,” Diakses pada
8 Agustus 2017, https://www.britannica.com/place/Saudi-Arabia/Government-­
and-society.

30 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Dalam menjalankan pekerjaannya, raja dibantu oleh Majelis
Menteri (Majlis Al-Wuzaraa) yang tersusun atas dua wakil perdana
menteri yang biasanya merupakan putra mahkota kerajaan dan 23
menteri dengan portofolio serta lima menteri negara. Majelis Menteri
sebenarnya merupakan forum menteri kabinet yang membantu tu-
gas-tugas raja dalam fungsi eksekutif, memberikan pertimbangan
dan masukan kepada raja dalam forum tersebut. Namun, otoritas
­tertinggi penetapan kebijakan ada di tangan raja. Sebagian besar
menteri ini merupakan pangeran dari keluarga kerajaan. Menteri
pertahanan merupakan jabatan yang paling prestisius dan strategis
setelah raja. Biasanya, posisi ini dirangkap oleh wakil perdana men-
teri yang dijabat oleh putra mahkota. Posisi seperti ini sangat wajar
bagi negara-negara yang menganut sistem monarki, termasuk di
negara-negara Teluk. Menteri pertahanan merupakan jabatan yang
­strategis di tengah sistem monarki yang rawan akan kudeta dari
lingkaran dalam keluarga kerajaan itu sendiri.
Pemerintahan di Arab Saudi dibagi dalam 13 wilayah (Manaatiq
Al-Idaariyya) yang bisa kita persepsikan sebagai provinsi. Provinsi
yang terluas merupakan provinsi yang sering bergejolak, Wilayah
Timur (Provinsi Asy-Syarqiyyah) yang sedikit lebih luas daripada
Wilayah Riyadh. Struktur di bawah wilayah terdiri dari beberapa
kegubernuran (Al-Muhafadzat) yang merupakan pemerintah
daerah setingkat kabupaten/kota yang membawahi beberapa sub-­
kegubernuran/kecamatan (Al-Markaz). Dalam pengelolaannya,
pemerintah provinsi dan kabupaten ini biasanya ditunjuk dan didu­
duki­oleh keluarga kerajaan Bani Saud. Sementara itu, anggota untuk
dewan daerah (semacam DPRD) di tiap-tiap provinsi sebagian di
antaranya ditunjuk langsung oleh gubernur dan hanya separuhnya
dipilih melalui pilkada langsung.
Arab Saudi tidak mengenal sistem politik kepartaian. Tidak
ada satu pun organisasi politik yang boleh berdiri meskipun hanya
organisasi independen biasa. Untuk mengakomodasi aspirasi, Saudi
memiliki semacam lembaga legislatif (Dewan Syura) yang bertugas
sebagai fungsi konsultatif yang dapat mengajukan rancangan un-

Problematika Kekuatan Politik ... | 31


dang-undang, tetapi tidak memiliki wewenang legislasi. Tidak ada
mekanisme check and balance dalam fungsi eksekutif dan legislatif
karena semua berada di tangan raja. Terlebih, lembaga legislatif ini
beranggotakan 150 orang yang semuanya ditunjuk oleh raja.
Imajinasi politis dan historis dari sistem politik di Arab Saudi
merujuk pada penguasaan daratan Arabia menjadi mi­lik keluarga
Bani Saud. Oleh sebab itu, wewenang keluarga ke­rajaan terhadap
daratan Arabia sangat mutlak. Untuk mem­­ per­tegas legitimasi
dan wewenangnya di tengah masya­­rakat Saudi, keluarga kerajaan
berkolaborasi dengan lembaga u ­ lama ­senior yang semuanya dari
kalangan Wahabi dan dikepalai oleh Mufti Agung, Abdul Aziz bin
Abdullah Al-Syeikh. Selain memegang kuasa penuh dalam persoalan
­agama, lembaga ulama ini juga memiliki akses langsung kepada raja,
terutama dalam fungsi konsultasi dan pertimbangan terhadap hal-
hal strategis. Oleh karena itu, pengaruh lembaga ulama ini sangat
besar dalam politik dalam dan luar negeri Saudi yang sangat kental
dengan misi Wahabi.
Saudi memiliki sejarah dalam penyelenggaraan pilkada, tetapi
tidak pernah menyelenggarakan pemilu nasional. Pilkada pertama
dilakukan oleh raja pertama Saudi, Abdul Aziz, untuk membangun
pemerintah daerah yang baru menggantikan kelembagaan yang
dibentuk oleh Turki Utsmani. Pilkada tersebut hanya untuk bebera­
pa provinsi utama saja untuk mendapatkan legitimasi. Sementara
itu, ­pilkada di daerah-daerah lain dilakukan pada masa Raja Saud.
Pilkada berikutnya sempat mati dalam beberapa kali per­gantian
pemerintahan. Di bawah pemerintahan Raja Abdullah, pilkada
dilaksanakan lagi pada tahun 2005 dan 2011. Sayangnya, pilkada
di Saudi tidak dilaksanakan secara konsisten dan periodik. Pilkada
2011 sebenarnya merupakan penundaan pilkada yang seharusnya
dilakukan pada tahun 2009 karena ketidaksiapan kelengkapan
pemilu. Uniknya, dalam semua pemilu lokal ini, Saudi hanya mem-
berikan hak memilih dan dipilih bagi kaum laki-laki. Sistem sosial
politik Saudi masih belum memberikan ruang bagi perempuan
untuk berkecimpung dalam politik.

32 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Pada masa pemerintahan Raja Faisal dan Abdullah, politik Saudi
mulai menuju ke arah keterbukaan. Mereka sebenarnya reformis
Saudi di tengah tekanan keluarga ­kerajaan dan para ulama Wahabi.
Isu tentang hak perempuan sering dibangkitkan pada masa mereka,
termasuk hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk meniti karier
dan bekerja, dan hak untuk mengendarai mobil. Perubahan mendasar
sebenarnya terjadi pada masa pemerintahan Raja Abdullah, tepatnya
pada tahun 2011. Ketika itu, untuk kali pertama kali, raja di depan
Dewan Syura memperbolehkan perempuan untuk mendapatkan
posisi di lembaga tersebut dan memiliki hak memilih dan dipilih
dalam pemilu lokal 2015. Untuk menjembatani hukum syariat di
kerajaan tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyediakan
tempat dan petugas khusus yang dikelola oleh perempuan.22

C. Wahabi dan Jatuh Bangunnya Arab Saudi


Kemudahan keluarga Saud dalam menguasai Arab Saudi tidak
terlepas dari relasi yang terbentuk antara keluarga kerajaan itu
dengan ulama Wahabi, Muhammad bin ­Abdul Wahab, pada tahun
1840-an. Syekh Muhammad bin ­Abdul Wahab merupakan ulama
terkenal yang lahir di Kota Al-Huraymilah sekitar tahun 1700-an.
Dia merupakan ­keluarga besar Bani Tamim yang lahir dari seorang
kepala kadi dan ulama di Kota Al-Uyaynah, Abdul Wahab bin
Sulayman al-­Musharraf. Abdul Wahab memiliki dua orang anak
yang sangat rajin menuntut ilmu, yaitu Sulayman dan Muhammad
yang mendirikan Wahabi. Namun, Abdul Wahab sang ayah dan
Sulayman saudaranya sering memiliki pemikiran keagamaan yang
berseberangan dengan Muhammad. Muhammad bin Abdul Wahab
menuntut ilmu di berbagai kota metropolis yang menjadi pusat
keilmuan, seperti Makkah, Madinah, Kairo, Damaskus, Basrah, dan
Baghdad.23

22
“Women in Saudi Arabia to vote and run in elections,” BBC News, (September
2011), http://www.bbc.com/news/world-us-canada-15052030.
23
DeLong-Bas, Wahabi Islam.

Problematika Kekuatan Politik ... | 33


Pada masa itu, para ulama masyhur lumrah menuntut ilmu di
Hijaz, Mesir, Suriah, dan Irak untuk mendapatkan ilmu dan studi
yang otoritatif tentang Islam. Namun, hal tersebut tidak menjadi
benang merah yang mengarahkan mereka menjadi pengikut Wahabi
karena para ulama masa itu fokus pada studi fikih sehingga per-
bedaan mazhab di wilayah Najd waktu itu merupakan kewajaran.
Meskipun sebagian besar ulama Najd merupakan pengikut Hanbali
dan sebagian lagi menganut mazhab Syafi’i dan Maliki, mereka tetap
diklasifikasikan dalam semacam perhimpunan yang terkenal dengan
jaringan ulama Al-Musharraf. Ayah Syekh Muhammad bin Abdul
Wahab merupakan salah satu pemimpinnya. Lingkungan religius
di Al-Uyaynah ini yang membentuk spirit keagamaan bagi Syekh
Muhammad.24
Lahirnya Wahabi merupakan hasil studi yang sangat menda-
lam dari Syekh Muhammad yang berbeda dengan sebagian besar
ulama di Najd. Dia lebih berfokus tentang studi tauhid, akidah,
dan keesaan Tuhan, seperti dalam bukunya yang menjadi rujukan
utama pengikut Wahabi, Kitab Al-Tawhid. Oleh karena itu, pengi-
kut Wahabi sangat berfokus dengan pemurnian ajaran Islam dan
melakukan penekanan yang sangat ketat terhadap praktik syirik,
bidah, dan khurafat.
Sebenarnya, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab s­angat
memahami perbedaan pemikirannya dengan sang ayah yang menja-
di kepala kadi di Al-Uyaynah. Oleh karena itu, dia cenderung diam
karena tidak ingin membuat pertentangan dengan ayahnya. Namun,
sepe­ninggal ayahnya pada tahun 1740-an, Syekh Muhammad mulai
aktif menyebarkan pemikiran­nya. Dia semakin mendapatkan pen-
garuh yang kuat dari masyarakat kota kelahirannya, Al-Huraymilah,
dan kota sekitarnya, Al-Arid. Karena seruannya yang sangat ketat
tentang praktik-praktik keislaman yang telah tercampur dengan bu-
daya sekitar, kehadirannya mendapatkan penentangan dari penguasa
dan sebagian suku-suku, hingga dia memutuskan untuk pindah ke
Al-Unaynah.

24
Mutawa, “The Ulama of Nadj”.

34 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Pada awal kepindahannya, dia mendapatkan dukungan dari
amir setempat, Ustman bin Mu’ammar. Bahkan, dia men­dapatkan
izin untuk menghancurkan makam Zayd bin Khattab, adik Khalifah
Umar bin Khattab, dan berperan untuk menerapkan hukum syariat
di kota tersebut. Namun, ketika Syekh Muhammad menentang
kebijakan pajak yang telah berjalan di kota tersebut, Amir Utsman
mengusirnya dari Kota Al-Uyaynah.
Pengusiran ini menjadi titik pertemuan antara Syekh
Muhammad bin Abdul Wahab dan keluarga Muhammad bin Saud
yang memimpin kota oasis kecil di Al-Dir’iyah. Kedua pihak sepa-
kat untuk saling mendukung untuk menyebar­kan purifikasi ajaran
Islam sepanjang Syekh Muhammad bin Abdul Wahab mendukung
kekuasaan Bin Saud. Kesepakatan kedua belah pihak ini ternyata
berdampak panjang dalam konstelasi regional dan global hingga
berabad-abad menda­tang. Ajaran Wahabi terus meluas seiring me­
nguatnya ke­kua­saan Saud di Najd.
Penyebaran ajaran Wahabi yang dilakukan oleh Syekh
Muhammad bukan berarti tanpa pertentangan dan kritik dari ulama
lain. Terlebih pada saat itu pusat ke­ilmuan terdekat di Hijaz (Kota
Makkah dan Madinah) masih dalam kekuasaan Turki Utsmani yang
sudah dianggap kafir oleh kelompok Wahabi. Ulama seperti Syekh
Sulayman bin Suhaym dan saudara kandungnya, Syekh Sulayman
bin Abdul Wahab, yang melanjutkan estafet ayahnya menjadi kadi di
Al-Uyaynah, sangat menentang ajaran Syekh Muhammad. Bahkan,
dalam beberapa seri risalah, dua bersaudara ini s­ a­ling membuat risa-
lah bantahan yang membenarkan alasan masing-masing.
Penentangan para ulama terhadap ajaran Syekh Muham­mad
terjadi di setiap wilayah yang dikuasai oleh ke­luarga Saud, termasuk
tempat reproduksi ulama paling produktif yang juga menjadi ru­
jukan kelompok ulama Al-Musharraf, Al-Ushayqir, di sebuah kota
di sebelah utara Al-Arid. Ulama dari kota-kota utama, seperti Sudayr,
Harma, Ta’if, dan Qasim pun menentang awal mula masuknya aja-
ran Wahabi ke sana. Penguasaan Bani Saud atas wilayah-wilayah
ini membuat para ulama yang tidak setuju dengan ajaran Wahabi

Problematika Kekuatan Politik ... | 35


ber­migrasi ke berbagai tempat, seperti Al-Hasa, Al-Unayza (­bagian
utara yang belum dikuasai Bani Saud), Al-Zubayr, dan sebagian yang
bermigrasi ke Kuwait menjadi kadi pertama kali di sana.
Pengaruh Bani Saud dan Wahabi semakin kuat di Najd. Ekspansi
ke wilayah lain, terutama Hijaz, merupakan target utama kekuasaan
Bani Saud. Jatuhnya Kota Makkah dan Madinah pada tahun 1803
dan 1805 merupakan titik awal masuknya ajaran Wahabi ke Hijaz.
Sepanjang penguasaan Bani Saud di Hijaz, banyak makam-makam
dan situs sejarah dihancurkan, prosesi ibadah haji dilarang kecuali
mengikuti prosedur yang ditetapkan, dan merokok juga dilarang di
sepanjang prosesi haji. Kekuasaan Bani Saud semakin kuat ketika
suku Bedouin menerima ajaran Wahabi dan ikut menguasai Kota
Madinah.
Namun, itu merupakan titik awal padamnya kekuasaan Bani
Saud hingga hampir satu abad ke depan. Untuk kali pertama, kekua-
saan Bani Saud berkonflik dengan Turki Utsmani-Mesir pada tahun
1913. Masuknya Turki Utsmani ke daratan Arabia disebabkan oleh
dua faktor. Pertama, menguasai dua kota suci, Makkah dan Madinah,
penting bagi penegakan legitimasi Turki di dunia Islam. Kedua, sikap
ulama Wahabi yang mengafirkan dan menentang kekuasaan Turki
Utsmani merupakan bibit ancaman di daratan Arabia. Konflik
dengan pasukan Turki Utsmani-Mesir membuat generasi pertama
Dinasti Saud tumbang.
Pada konflik antara Emir Mesir dan Turki Utsmani, wilayah
Hijaz dan Najd jatuh ke dalam kekuasaan Mesir. Pada tahun-tahun
ini, Dinasti Saud di bawah Emir Turki (1823–1834) dan Faisal
(1834–1865) kurang beruntung. Emir Turki sendiri lengser kare-
na pembunuhan, sedangkan kekuasaan Emir Faisal juga berada di
­pengasingan karena sepanjang tahun itu Mesir menguasai Riyadh
dan sekitarnya. Pada titik ini, Emir Faisal bersikap pragmatis, me­
nyatakan loyalitasnya kepada Turki Utsmani untuk mempertahankan
diri sehingga hubungannya dengan ulama Wahabi sedikit renggang.
Setelah Emir Faisal meninggal, terjadi perang sipil dan perebutan
kekuasaan internal keluarga antara Emir Abdullah, Abdurrahman,

36 | Politik Islam di Arab Saudi ...


dan Saud yang justru membuat kekuasaan Bani Saud di Najd me-
lemah. Najd jatuh ke tangan Abdullah bin Rasheed (Rashidi), Emir
Jabbal Sammar, yang berkoalisi dengan beberapa kabilah pada tahun
1786.
Berbeda dengan Dinasti Saud yang hancur, di bawah kekua-
saan Rashidi, ulama Wahabi mendapatkan tempat. Ajaran Wahabi
mendapatkan momentum menyebar di luar Arabia. Berbeda dengan
Turki Utsmani yang menganggap Wahabi sebagai khawarij baru,
Rashidi tidak menganggap Wahabi sebagai ancaman. Di bawah
kekuasaan Rashidi, perkembangan Wahabi semakin kuat dan
­mengakar di Najd. Selain di daerah Qasim, Rashidi tetap memperta-
hankan ulama-ulama Wahabi menjadi kadi di seluruh wilayah Najd.
Hal ini yang membuat pengaruh Wahabi sedemikian luas di seluruh
Najd di bawah kekuasaan Rashidi.25
Setelah Rashidi menguasai daerah Riyadh, keluarga Saud de­
ngan perlindungan suku Bedouin yang berasal dari daerah selatan
Arab Saudi melarikan diri ke daerah Qatar, Bahrain, dan akhirnya
menetap di Kuwait. Dari daerah Kuwait inilah Abdul Aziz muda
membangun kembali dinasti ketiga Bani Saud dan menaklukkan
kembali Kota Riyadh dari Dinasti Rashidi yang didukung oleh Turki
Utsmani pada tahun 1902–1906. Pada tahun 1912, Abdul Aziz ber-
hasil menguasai penuh daerah Najd dan kawasan timur Arab Saudi.
Atas persetujuan dari ulama-ulama Wahabi, Abdul Aziz membentuk
pasukan militer berbasis Wahabi, Al-Ikhwan, untuk melakukan
penaklukan-penaklukan wilayah.
Ketika Perang Dunia I, Dinasti Saud menandatangani
Perjanjian Darina26 yang berisi kerja sama dengan Kerajaan Inggris

25
David Commins, The Wahabi Mission and Saudi Arabia, (London and New York:
I.B. Tauris, 2006).
26
Perjanjian Darina berisi tentang kesepakatan antara keluarga Saud dan Pemerintah
Inggris untuk mendukung posisi keluarga Saud dan menjamin kedaulatan Qatar,
Kuwait, dan Trucial States (sekarang UEA). Abdul Aziz menjamin untuk tidak
menyerang wilayah protektorat Inggris, tetapi Abdul Aziz tidak menjamin jika dia
tidak akan menyerang kekuasaan Syarif Hussain di Hijaz. Sebagai gantinya, Abdul
Aziz bersedia menjadi sekutu Inggris dalam perang melawan Turki Utsmani.

Problematika Kekuatan Politik ... | 37


untuk melawan kekuasaan Rashidi. Inggris diuntungkan karena
mereka berkepentingan untuk memecah kekuatan Turki Utsmani
di Jazirah Arab, sedangkan kekuasaan keluarga Saud akan dilindungi
oleh Inggris. Dengan bantuan Al-Ikhwan, keluarga Saud berhasil
­menguasai Najd pada tahun 1921 dan mengambil alih kekuasaan
Hijaz dari Syarif Hussain pada tahun 1926. Mulai saat itu, Abdul
Aziz memproklamasikan diri menjadi raja dan memerintah dua ke­
rajaan yang terpisah Hijaz dan Najd. Pada tahun 1927, Abdul Aziz
dan Inggris menandatangani Perjanjian Jeddah sebagai perjanjian
baru yang menggugurkan Perjanjian Darina. Perjanjian Jeddah me­
rupakan bentuk dukungan politis dan pengakuan kedaulatan dari
Inggris bahwa keluarga Saud menjadi penguasa dua wilayah terse-
but. Setelah tahun 1932, Abdul Aziz menyatukan kedua kerajaan itu
menjadi entitas tunggal Kerajaan Arab Saudi.
Setelah Bani Saud mendapatkan kekuasaan penuh sebagai
­penguasa Najd dan Hijaz, kolaborasi antara keluarga raja dan ulama
Wahabi terus berlanjut hingga kini. Aliansi Bani Saud dan Wahabi
telah sintas dari berbagai invasi, perang sipil, dan perebutan kekua-
saan oleh suku-suku lain di daratan Arabia selama hampir 200 tahun.
Oleh karena itu, hubungan ketergantungan dan ­menguntungkan
antara keduanya tidak bisa dinafikan. Perkembangan Wahabi terus
menguat menjadi satu-satunya ajaran yang diterima oleh negara.
Meskipun pada kenyataannya Syiah juga masih tetap ada di negara
tersebut, pengaruh Wahabi di Arab Saudi sangat dominan dalam
relasi internal maupun eksternal. Ambisi Saudi-Wahabi untuk
menyebarkan ajarannya di kawasan dan seluruh dunia menempa-
ti posisi prestisius, terutama dalam aksi filantropi yang didukung
oleh Kerajaan Saudi. Dalam posisi inilah Saudi menjadi pemimpin
negara-­negara Arab dan menjadi garda depan yang membentengi
politik luar negeri Iran di kawasan.

38 | Politik Islam di Arab Saudi ...


D. Wahabi dan Tantangan Gerakan Islam yang
Lain
Relasi yang monolitik antara kekuasaan Bani Saud dan Wahabi
menyebabkan kehadiran gerakan-gerakan Islam nyaris tidak
mendapatkan tempat. Penerapan yang absolut dari ajaran Wahabi
membuat pemerintah sangat selektif terha­dap masuknya aliran-­
aliran Islam ke Saudi. Pada titik ini, Saudi lebih ekstrem dengan
melarang semua bentuk organisasi dan institusi independen di negara
tersebut. Segala bentuk aktivitas keislaman dimonopoli oleh negara
melalui peranan ulama-ulama Wahabi. Ada dua keuntungan yang
terbentuk dari relasi ini, yaitu monopoli ini mengurangi kelompok
oposisi yang menentang kekuasaan Bani Saud; dan di sisi lain, ulama
Wahabi menikmati keistimewaan sebagai otoritas keagamaan yang
tunggal di Saudi.
Relasi yang terbentuk secara formal antara p ­ emerintah Saudi
dan ulama diwujudkan melalui pelembagaan ulama dalam Hai’ah
Kibar Al-Ulama Lil-Buhuts wal-Ifta’ (Lembaga Ulama Senior untuk
Riset dan Fatwa). Lembaga ini merupa­kan lembaga fatwa resmi
Saudi yang ­ disempurnakan oleh Raja Fadh menyusul wafatnya
Mufti Saudi Abdul Aziz bin Baz (sering disebut sebagai Bin Baz)
pada tahun 1999. Kekosongan ini sempat membuat Raja Fadh
ragu karena tidak ada regene­rasi yang cukup baik dengan ­kehadiran
ula­
­ ma pengganti setelah Bin Baz. Pengangkatan ulama Sahwa
­pernah ada dalam pemikiran Raja Fadh. Namun, karena curiga ter-
hadap Ikhwanul Muslimin (IM), dia ­mengurungkan niatnya. Dia
mengangkat Abdul Aziz bin Abdullah Al-Syeikh sebagai mufti dan
juga mengepalai lembaga fatwa ulama senior ini pada tahun 1999
untuk menggantikan Bin Baz.
Lembaga ulama semacam ini sebenarnya bukanlah tradisi baru
di Arab Saudi. Pada tahun-tahun sebelumnya, lembaga ini secara
informal terbentuk dan bekerja di bawah pimpinan mufti yang di-
angkat oleh raja. Hingga tahun 2009 keanggotaan lembaga ulama
ini hanya diisi oleh ulama dari mazhab Hanbali. Perubahan terjadi

Problematika Kekuatan Politik ... | 39


sejak masa kepemim­pinan Raja Abdullah yang menyertakan ulama
dari tiga mazhab lainnya, yaitu Maliki, Hanafi, dan Syafi’i dengan
meleng­kapinya menjadi 21 anggota ulama.
Fungsi lembaga ulama ini sangat sentral dalam pemerin­tahan
Saudi. Mereka secara resmi digaji oleh pemerintah. Mereka memiliki
tugas untuk memberikan nasihat dan pertimbangan terhadap kebi-
jakan yang diambil berkaitan dengan masalah keagamaan. Lembaga
ini merupakan otoritas tunggal yang berwewenang untuk membuat
fatwa bagi permasalahan individu, atau permasalahan publik yang
ber­kaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah (sosial). Namun, di
luar otoritas itu, lembaga ulama senior ini sangat mewarnai politik
dalam dan luar negeri Saudi yang sangat anti-Syiah dan Iran yang
menganut Itsna Asyariyah.

1. Geliat Syiah di Tengah Lautan Wahabi


Pertentangan pertama antara ulama-ulama Wahabi dan kelompok
Syiah terjadi di Karbala, di sebelah selatan Irak, pada tahun 1802.
Kelompok Wahabi melakukan pembunuh­ an terhadap ribuan
penganut Syiah. Peristiwa ini menjadi ingatan sejarah yang tidak
dapat dilupakan dan menjadi akar konflik teologis antara Wahabi
dan Syiah. Pada kondisi politik kontemporer, akar ketegangan yang
terjadi di kawasan antara Arab Saudi dan Iran tidak terlepas dari
sejarah yang berdarah ini.27
Saat terjadi ledakan harga minyak yang membuat ekonomi
Saudi mengalami surplus, pembangunan besar-besaran terjadi di
Saudi. Namun, kesenjangan ekonomi antara penduduk Sunni dan
Syiah di Saudi semakin melebar. Pembangunan rumah sakit, sekolah,
penampungan air, jalan, dan infrastruktur lain berjalan besar-besaran
hanya di wilayah Sunni. Hal ini menyebabkan kecemburuan sosial
dan ekonomi yang memicu gelombang demonstrasi yang akhirnya
mencuri perhatian Riyadh.

27
Commins, The Wahabi Mission, 3.

40 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Kelompok oposisi Syiah terbesar di Saudi sebenarnya merujuk
pada ulama yang sangat berpengaruh dari Irak, Muhammad Mahdi
Al-Shirazi. Kelompok ini di Saudi dipimpin oleh Syekh Hasan
­Al-Saffar yang menuntut ilmu di Irak dan Iran, dan bertemu Shirazi
di Kuwait pada tahun 1974. Setelah pertemuan itu, Hasan berse­
mangat menghimpun anggota, terutama dari kalangan pemuda
hingga ­akhirnya mendirikan Organization of Islamic Revolution
(OIR) pada tahun 1979. Momentum revolusi Iran membuat orga­
nisasi ini semakin aktif melakukan kritik dan menggelar demonstrasi
di wilayah timur Saudi. Di akhir ketegangan ini, banyak anggotanya
dipenjara dan ditangkap oleh aparat Saudi.28
Pada tahun-tahun berikutnya, OIR menjadi organisasi no-
maden yang menyetir kegiatannya dari Iran, Suriah, dan Inggris.
Organisasi ini sangat aktif untuk mengampanyekan korupsi di ka­
langan keluarga kerajaan. Saudi sendiri menganggap kegiatan OIR
yang sangat aktif sebagai bagian dari politik luar negeri Iran untuk
mendiskreditkan Saudi di kawasan. Saudi memecah kelompok OIR
dengan membuat kebijakan yang lebih akomodatif. Pemimpin
OIR, Hasan al-Saffar, diundang ke rumah pribadi Bin Baz. Hal ini
membuat OIR lebih moderat dan berganti nama menjadi Reform
Movement.29
Akhir-akhir ini, friksi antara Wahabi dan Syiah kembali meng-
hangat. Penyerangan Saudi terhadap kelompok Syiah Houti di sela-
tan Yaman membuat friksi di dalam negeri Saudi memanas. Stigma
pemerintahan Wahabi yang anti-Syiah semakin menguat. Ulama
Syiah yang baru, Syekh Nimr Al-Nimr dari Provinsi Syarqiyyah,
sangat kritis kepada pemerintahan Saud. Dia mengusulkan adanya
pemilu terbuka dan pernah mengusulkan Provinsi Syarqiyyah me-
misahkan diri jika hak-hak kaum Syiah tidak dipenuhi. Perlawanan
keras Nimr membuat Pemerintah Saudi melaku­kan penangkapan.
Demonstrasi besar-besaran terjadi sepanjang tahun 2011 hingga

28
Commins, Islam in Saudi Arabia, 141.
29
Commins, Islam in Saudi Arabia, 105.

Problematika Kekuatan Politik ... | 41


tahun 2016. Hukuman mati terhadap Syekh Nimr, 4 ulama Syiah,
dan 43 orang pengikut Sunni pada tahun 2016 tidak menyurutkan
kelompok Syiah untuk menghentikan protes. Kelompok militan
Syiah mulai mengebom kantor intelijen Saudi di Qatif.30
Hal ini membuka babak baru konflik dalam negeri antara
Wahabi dan Syiah. Gerakan protes terjadi besar-besaran dan pem-
bunuhan terhadap polisi Saudi dilakukan oleh milisi Syiah daerah
Awwamiyah sebelah timur Qatif sebagai bentuk perlawanan. Aksi
ini ternyata berbuntut panjang karena Saudi menganggap mereka
sebagai kelompok teroris hingga akhirnya Saudi membombardir
wilayah itu pada bulan Mei 2017. Setidaknya, 23 rakyat sipil me­
ninggal dan 20.000 orang menjadi pengungsi ke wilayah lain yang
lebih aman.31

2. Ikhwanul Muslimin
Pembunuhan terhadap pemimpin Ikhwanul Muslimin (IM), Hasan
Al-Banna, oleh polisi Mesir pada tahun 1949 mengawali perlawanan
yang keras dari gerakan tersebut kepada pemerintahan Gamal Abdul
Nasser. Pemerintah Mesir pada tahun 1950-an hingga 1960-an mulai
melakukan pembersihan dan melarang gerakan IM dengan menang-
kap dan menyiksa para pengikut dan pemimpinnya. Pengerasan
sikap IM semakin mengental dengan ideologi yang dilahirkan oleh
Sayyid Qutb yang mengarang buku dan membuat tafsir Fii Dhilal
Al-Qur’an. Dalam kondisi Mesir yang tidak kondusif ini banyak
di antara aktivis IM menjadi diaspora dan mengungsi ke berbagai
negara, termasuk Arab Saudi.32

30
“Inside the Saudi town that’s been under siege for three months by its own
government”, Independent, (Agustus 2017), http://www.independent.co.uk/news/
world/middle-east/saudi-arabia-siege-town-own-citizens-government-kingdom-
military-government-awamiyah-qatif-a7877676.html.
31
Mohammed Al-Sulami, "Three men Wanted by Saudi Security Forces Killed
in Qatif, Saudi Security Forces," 2017, http://www.arabnews.com/tags/saudi-
security-forces.
32
Stephane Lacroix,  Awakening Islam: The Politics of Religious Dissent in Contemporary
Saudi Arabia, penerj. George Holoch, (Cambridge: Harvard University Press,
2011), 39.

42 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Perkenalan Arab Saudi dengan gerakan IM sebenarnya sudah
berlangsung sejak sebelumnya. Ketika kondisi ling­kungan sosial dan
politik dunia Arab yang berada dalam pengaruh dan kolonialisme
bangsa Eropa, IM menawarkan formula atas bangsa Arab bahwa
satu-satunya cara untuk menghentikan dominasi politik, ekonomi,
dan budaya dari penjajah Eropa atas bangsa Arab adalah mengemba-
likan nilai-nilai Islam dalam kehidupan pribadi dan diejawantahkan
dalam kehidupan bermasyarakat. Formula yang diprakarsai oleh
Hasan Al-Banna sangat berkesan bagi bangsa Arab. Kantor-kantor
cabang IM berdiri di luar Mesir dan menjadi ideologi yang sangat
cepat menyebar ke Sudan, Suriah, Yordania, dan Yaman pada tahun
1950-an, tetapi lambat di Arab Saudi.33
Hal ini terjadi karena Arab Saudi merupakan satu-satunya ne-
gara yang menolak berdirinya organisasi Islam independen apapun
di negaranya, termasuk Ikhwanul Muslimin. Sebelum sepeninggal-
nya, Hasan Al-Banna dalam beberapa kali kunjungan haji secara
langsung menemui Raja Abdul Aziz pada tahun 1946 untuk me-
minta izin pembukaan kantor resmi IM di wilayahnya.34 Menilik
sejarah panjang relasi Saudi dengan ulama Wahabi, permintaan
ini sebenarnya sangat mustahil. Saudi telah terbiasa memonopoli
otoritas keagamaan dengan dukungan penuh para ulama Wahabi.
Kehadiran organisasi baru di luar kontrolnya tentu sangat meng-
ganggu. Indikasi ini jelas terlihat dari penolakan Abdul Aziz yang
menegaskan bahwa ketika Islam telah menjadi napas bagi rakyat
Saudi, kehadiran organisasi apa pun tidak diperlukan lagi.
Penolakan yang berlanjut oleh negara-negara nasionalis Arab,
seperti Mesir dan Suriah terhadap aktivisme IM, membuat ­pengungsi
IM semakin banyak di Arab Saudi. Peluang relasi yang saling
­menguntungkan terbentuk melalui Raja Faisal ketika Saudi menya-
dari bahwa mayoritas pengungsi IM merupakan kalangan intelektual
dan terdidik yang dibutuhkan SDM-nya bagi ­pengembangan sektor

33
Lacroix, Awakening Islam, 38.
34
Lacroix, Awakening Islam, 40–41, 62.

Problematika Kekuatan Politik ... | 43


pendidikan Arab Saudi yang masih tradisional. Mereka dilibatkan
dalam peletakan fondasi kurikulum dan sistem pendidikan Saudi.
Sebagian dari mereka memiliki andil dalam pendirian sekolah-­
sekolah dan menjadi guru bagi anak-anak Saudi. Yang paling nyata
adalah keterlibatan Manna’ Al-Qattan, anggota IM dari Mesir yang
memiliki posisi penting di Kementerian Pendidikan Saudi. Dia me­
rancang kebijakan pendidikan dan kurikulum Saudi yang sebagian
besar masih diterapkan hingga saat ini.35
Ketika Arab Saudi mulai mengembangkan pendidikan ting-
gi, gelombang kedua kedatangan intelektual IM terjadi. Sebagai
contoh, kedatangan Muhammad Qutb adik Sayyid Qutb dosen di
Institute of Sharia, untuk memodernisasi pendidikan Islam yang
belakangan ­menjadi Universitas Ummul Quro memberikan dampak
yang signifikan bagi pertemuan ajaran Wahabi dan IM. Dalam
karangan-­karangannya, Muhammad Qutb menegaskan tidak ada
pertentangan Wahabi dan IM. Ketika Wahabi mene­kan­kan aspek
teologis yang sepenuhnya diterima, IM memberikan warna da-
lam aktivisme sosial dan politik. Karangan Muhammad Qutb ini
memberi inspirasi bagi berdirinya ge­rakan As-Sahwa Al-Islamiyah
(Kebangkitan Islam) di Arab Saudi.36
Pada perkembangan selanjutnya, ketika Universitas Islam
Madinah didirikan oleh Pemerintah Saudi pada tahun 1961 sebagian
besar staf dan pengajarnya merupakan pengikut IM. Masuknya IM
dalam sendi-sendi pendidikan memperkuat pengaruh IM kepada
generasi muda terpelajar di Saudi. Keterbukaan Universitas Islam
Madinah terhadap mahasiswa-mahasiswa dari luar juga memberikan
peluang terhadap penyebaran ajaran IM dalam skala internasional.
Beberapa organisasi Islam yang didukung penuh oleh Saudi juga
menjadi saluran yang dikuasai oleh para aktivis IM. Berdirinya Liga
Muslim Dunia pada tahun 1962 ­menjadi program Saudi bagi penye-
baran Islam dan memperkuat keberadaan institusi pendidikan Islam

35
Lihat Panduan Educational Policy in the Kingdom of Saudi Arabia. Lacroix, Awakening
Islam, 46.
36
Lacroix, Awakening Islam, 43.

44 | Politik Islam di Arab Saudi ...


di seluruh dunia. Sepuluh tahun berikutnya berdiri Majelis Pemuda
Muslim Dunia yang merupakan saluran bagi aktivis IM di Saudi
dalam memperluas pengaruh dan jaringan di kalangan kaum muda
di seluruh dunia dan diaspora muslim di Eropa dan Amerika.37
Kedekatan IM secara politis dengan Kerajaan Arab Saudi teruta-
ma terjadi pada masa pemerintahan Raja Faisal ketika Perang Dingin
menjadi isu utama dalam lingkungan politik internasional. Dalam
hal ini, Raja Faisal tidak menganggap IM sebagai ancaman. Dia
memanfaatkan potensi IM untuk mengampanyekan gerakan me-
nentang sosialisme, komunisme, dan pemerintahan sekuler (Nasser/
Mesir) untuk menggalang solidaritas dunia Islam demi kepentingan
politik luar negeri Arab Saudi. IM menjadi mesin propaganda Raja
Faisal yang efektif melalui koran, majalah, dan radio.38
Meskipun menguasai banyak sektor strategis, terutama di
bidang pendidikan dan organisasi, IM tidak bisa memasuki lem-
baga tradisional ulama Arab Saudi yang dikuasai oleh ulama-ulama
Wahabi, seperti Peradilan Syariat dan Majelis Ulama Senior Arab
Saudi. Namun, di sisi lain gerakan IM bersinggungan langsung
di wilayah dominasi Wahabi, dengan menyebarkan buku, buklet,
dan selebaran tentang pemikiran IM di sekitar Masjidilharam.39

37
Salah satu hasil sebaran pemikiran IM melalui saluran Arab Saudi adalah Ust.
Hilmy Aminudin, pendiri gerakan Tarbiyah yang bergerak di bawah tanah pada
masa rezim Soeharto; dia juga merupakan petinggi PKS. Selain itu, Ust. Hidayat
Nur Wahid yang merupakan lulusan almamater yang sama dengan Hilmy,
Universitas Islam Madinah; dia pernah menjadi Ketua MPR dari PKS. Berikutnya,
Ust. Yusuf Supendi yang juga generasi awal pendiri gerakan Tarbiyah merupakan
lulusan Universitas Ibnu Saud, Riyadh. Pada generasi pertama pendirian LIPIA
di Jakarta, kebanyakan para dosen di sana memiliki pemikiran yang berafiliasi
ke IM, termasuk Dr. Salim Segaf Aljufri. Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika lulusan LIPIA, seperti Anis Matta, Aunurrofiq, Jazuli Juwaini, Muhammad
Syamlan, dan Bakrun Syafii merupakan murid Dr. Salim yang menjadi tokoh
gerakan Tarbiyah di Indonesia. Lihat M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS:
Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen (Yogyakarta: LKIS, 2008) hlm. 31, 110.
38
Lacroix, Awakening Islam, 40–42.
39
Wawancara dengan Syekh Ismail Harbi, wakil direktur Yayasan Haramain, 30
Maret 2017.

Problematika Kekuatan Politik ... | 45


Sebenarnya, Kerajaan Arab Saudi diuntungkan dengan kondisi ini.
Di satu sisi, kerajaan mendapatkan dukungan politis dari ulama-­
ulama Wahabi. Di sisi lain, Saudi diuntungkan dengan SDM IM
untuk membangun pendidikan dan kelembagaan Saudi.
IM secara institusional merupakan organisasi yang dilarang
berdiri di Saudi sehingga IM berkembang di Saudi secara infor-
mal. Seperti halnya yang terjadi di Mesir dan Aljazair, IM di Saudi
berkembang melalui klub-klub perkumpulan pemuda, seperti hobi,
olahraga, ruangan kelas, perkemahan pelajar, aksi solidaritas, dan
perkumpulan penghafal Al-Qur’an. Mereka terhubung dengan
jaringan informal yang bernama Jama’at. Melalui metode ini, IM
cukup mengakar di masyarakat Saudi pada tahun 1970-an.
Pada perkembangannya, percampuran Wahabi dan IM ini
menuai perpecahan. Di antara pengikut IM yang ­memiliki kecen­
derungan seperti ulama Suriah, Syekh Muhammad Surur, mereka
memiliki keengganan untuk menentang, berkonfrontasi, dan meng-
kritik pemerintah, seperti halnya tipikal Wahabisme. Kelompok ini
terkenal dengan sebutan Sururi. Sementara itu, kelompok lain, ter-
utama generasi muda IM Saudi yang telah mengenyam pendidikan
di Barat dan bersentuhan dengan iklim politik yang demokratis dan
penuh keterbukaan, cenderung tergabung dalam As-Sahwa al-Islam-
iyah atau sering disebut Sahwa.
Gerakan As-Sahwa Al-Islamiyah yang dipimpin oleh Safar
­Al-Hawali dan Salman Al-Awdah ini merupakan peng­ga­bungan
antara Wahabi dan IM. Berbeda dengan IM dari negara asalnya,
gerakan ini masih mengadopsi sufisme, tetapi sama-sama memiliki
tendensi politik yang kuat. Sahwa pernah melakukan protes keras
terhadap ­Pemerintah Saudi yang meminta bantuan pada negara
nonmuslim ­ketika Perang Irak-Kuwait. Saat itu, sekitar 500.000
pasukan inter­nasional, terutama dari Amerika, memasuki wilayah
Saudi. Belum lagi kasus adanya tentara perempuan Amerika me­
lakukan aktivitas yang dilarang, yaitu mengemudi mobil tempur di
kota-kota Saudi, sehingga sekitar 50 perempuan Saudi melakukan
protes dengan mengendarai mobil di sekitar Kota Riyadh. Kejadian

46 | Politik Islam di Arab Saudi ...


ini mengundang gerakan Sahwa untuk mulai berani mengkritik
pemerintah untuk melayangkan Surat Permintaan pada tahun 1991
agar Pemerintah Saudi kembali kepada pijakan Islam yang benar.40
Gerakan protes Sahwa mengundang kecaman dari Raja Fahd
dan para ulama Wahabi dengan memvonis ulama dan pengikut
Sahwa yang telah melenceng. Hal ini memicu perlawanan yang lebih
berani. Akibatnya, banyak aktivis Sahwa yang dibekuk oleh aparat.
Kejadian ini memicu aktivis Sahwa untuk membentuk Committee
for the Defence of Legitimate Rights (CDLR)/Lajnah Ad-Difa ‘an
Al-Huquq Asy-Syar’iyyah; /Komite
Pertahanan Hak-Hak Sah. Mereka menyebarkan rekaman kaset
berisi petisi dan kritik terhadap pemerintahan Saudi. Dengan
demikian, tindakan keras dari Pemerintah Saudi tidak terelakkan.
Aktivis Sahwa ditangkap, disiksa, dan dipenjara termasuk pemimpin
mereka, Syekh Safar Al-Hawali dan Syekh Salman Al-Awdah.
Syekh Muhammad Al-Mas’ari dan Sa’ad Al-Faqih memindah-
kan kepemimpinan gerakan CDLR ke Inggris. Dari luar negeri,
mereka terus menyuarakan protes atas ­kebijakan Raja Fahd. Untuk
meredam efeknya di dalam negeri, Raja Fahd mengutus dua ulama
ahli hadis dari Universitas Islam Madinah untuk meredam suasana
dan mengerahkan u ­ lama-ulama Wahabi guna memperkecil dampak
aksi Sahwa dalam setiap ceramah mereka. Kejadian ini menginspi-
rasi Dekrit Raja pada tahun 1993 untuk membentuk Kementerian
Urusan Islam, Wakaf, Dakwah, dan Penyuluhan yang melakukan
kontrol ceramah dan otoritas ulama-ulama Saudi agar loyal pada
keluarga kerajaan dan mengganti ulama-ulama Sahwa di semua po-
sisi mereka.41 Raja Fahd melakukan pembersihan syekh yang diduga
berafiliasi dengan IM dengan mengusir Syekh Muhammad Qutb
dari Universitas Ummul Quro. Bahkan, Menteri Dalam Negeri

40
Commins, The Wahabi Mission, 144–145; 179–180.
41
Commins, The Wahabi Mission, 145–147.

Problematika Kekuatan Politik ... | 47


Saudi, Pangeran Nayef secara terbuka menuduh IM sebagai sumber
dari semua petaka di Kerajaan Arab Saudi.42
Hubungan pemerintah dengan Sahwa berangsur membaik ke-
tika Mufti Saudi Abdul Aziz bin Baz meninggal pada tahun 1999.
Kekosongan profil ulama yang mumpuni membuat Raja Fahd ingin
menjadikan ulama-ulama Sahwa sebagai penopang Kerajaan Saudi
dengan syarat mereka berkomitmen untuk tidak menentang dan
mengkritik pemerintahan Saudi. Saudi juga ingin mendapatkan le-
gitimasi dari ulama Sahwa untuk menentang Al-Qaeda yang banyak
digandrungi pemuda Saudi. Namun, relasi ini berubah di bawah
kepemimpinan Raja Abdullah. Beriringan dengan bangkitnya isu
Arab Spring, para ulama Sahwa kembali mengajukan petisi kepada
Kerajaan Saudi. Mereka mengajukan proporsi yang adil antara hak
negara dan berorganisasi yang ditandatangani sepuluh ulama Sahwa,
termasuk Salman al-Awdah.43
Melihat geliat pergantian rezim di Mesir, Sahwa juga menun-
tut reformasi pemerintahan dan mengajukan surat terbuka kepada
rezim. Namun, para ulama Sahwa ­menentang rencana demonstra-
si besar-besaran 11 Maret 2011 di Riyadh yang gagal terlaksana.
Kebangkitan Sahwa menghangatkan kembali ingatan rezim yang
menganggap Sahwa sebagai ancaman. Dukungan Pemerintah Saudi
terhadap kudeta Jenderal As-Sisi menuai kritikan dari dalam negeri,
­terutama dari para ulama Sahwa. Pada 8 Agustus 2013, sebanyak 56
ulama turut menentang kebijakan Saudi. Politik dalam negeri Saudi
juga menjadi memanas. Berbagai narasi disampai­kan, di antaranya,
larangan untuk turut mendukung penghancuran terhadap sesama
pemerintahan muslim, dan juga larangan untuk menentang peme­
rintahan muslim yang dipilih oleh rakyatnya.44 Hal ini sebenarnya

42
Lacroix, “Saudi Arabia’s Muslim Brotherhood Predicament,” The Washington
Post, (Maret 2014), https://www.washingtonpost.com/news/monkey-cage/
wp/2014/03/20/saudi-arabia-muslim-brotherhood-predicament/?utm_term=.
f3b04fe78fc2.
43
Lacroix, “Saudi Arabia’s Muslim Brotherhood Predicament.”
44
Lacroix, “Saudi Arabia’s Muslim Brotherhood Predicament.”

48 | Politik Islam di Arab Saudi ...


mengingatkan penentangan kelompok Al-Qaeda terhadap upaya
rezim Saud dalam menjatuhkan pemerintahan Saddam Hussein.
Kewaspadaan terhadap IM menguat pada pemerintahan Raja
Salman. Pada 4 Februari 2017, Salman mengeluarkan dekrit yang
berisi: pertama, menyatakan organisasi IM yang berbasis di Mesir
sebagai organisasi teroris; kedua, melarang segala bentuk ekspresi
dukungan terhadap IM; ketiga, hal ini juga berlaku kepada semua
organisasi yang berafiliasi terhadap IM, termasuk Sahwa dan juga
Sururi.45 Dekrit ini menjadikan IM sebagai organisasi terlarang di
negara tersebut dan memberi wewenang kepada penguasa untuk
memberangus setiap gerakan IM yang muncul di negara tersebut.

3. Gerakan Salafi
Gerakan yang lebih keras di Arab Saudi dipicu dengan munculnya
Salafi yang terinspirasi dari pemikiran ahli hadis, Syekh Nashirudin
Al-Bani. Syekh Al-Bani memiliki pemikiran yang lebih tegas tentang
Al-Qur’an dan hadis. Menurutnya, Wahabi sudah berada pada jalan
yang benar tentang konsep teologisnya, kurang tepat jika ia merujuk
pada mazhab Hanbali. Menurut Syekh Al-Bani, fikih merupakan
ilmu yang datang belakangan, bukan tradisi yang memang sudah
ada sejak zaman Nabi Muhammad. Seharusnya, umat Islam hanya
merujuk secara murni kepada Al-Qur’an dan hadis.46
Konsep dari Al-Bani menginspirasi berdirinya gerakan baru
Salafi untuk melakukan sweeping dan perusakan pada tahun 1965
terhadap toko yang menampilkan gambar w ­ anita di Kota Madinah.
Mereka pada perkembangan berikutnya meminta dukungan dari
­ulama Wahabi Syekh Bin Baz agar memperkuat posisi dan keberadaan
mereka. Bin Baz mem­berikan wewenang kepada pemimpin mereka
untuk menjadi pengawas syariat di masyarakat. Dengan legitimasi
yang didapatkan, kelompok Salafi semakin kuat dan menjadi ge­
rakan yang militan.47
45
Commins, Islam in Saudi Arabia.
46
Commins, Islam in Saudi Arabia, 138–141.
47
Commins, Islam in Saudi Arabia, 138–141.

Problematika Kekuatan Politik ... | 49


Kepercayaan diri kelompok Salafi yang dipimpin Juhaiman
al-Utaibi menguat seiring pengultusan dirinya sebagai Imam Mahdi.
Mereka mulai berani mengkritik ke­ luarga Kerajaan Saudi yang
hidup berfoya-foya, terlibat da­lam beberapa skandal moral, dan
tidak mengamalkan h ­ ukum Islam. Mereka juga mengkritik praktik
pemerintahan yang memperbolehkan riba. Pertentangan antara
kelompok Salafi dan Pemerintah Saudi tidak bisa ditengahi oleh
Bin Baz. Akhirnya, dengan persenjataan lengkap mereka mela­kukan
kudeta dengan menduduki Masjidilharam pada 20 November 1979.
Pemerintah Saudi akhirnya menumpas kudeta kelompok Salafi de­
ngan tank-tank yang merangsek ke dalam Masjidilharam.48

4. Al-Qaeda Arabian Peninsula (QAP)


Al-Qaeda ditegakkan oleh tiga tokoh utama, yaitu A ­ badullah al-­
Azzam, Osama bin Laden, dan Ayman al-Zawahiri yang memiliki
latar belakang gerakan IM. Sosok yang paling berpengaruh sebagai
ideolog dan the father of jihad bagi Al-­Qaeda adalah Abdullah
Al-Azzam, seorang doktor Universitas Al-Azhar, Mesir, berkebang-
saan Palestina. Sejak kecil, dia hidup di lingkungan pengikut IM di
Asy-Syawahinah, Kota Jenin, Palestina, dan termasuk generasi awal
Hamas. Dia datang ke Arab Saudi berbarengan dengan mayoritas
anggota IM yang mulai menguasai sektor pendidikan. Pada sekitar
tahun 1970-an, Azzam menjadi dosen di Universitas King Abdul Aziz
di Jeddah dan bertemu dengan seorang mahasiswa anak pengusaha
konstruksi yang kaya raya, ­Osama bin Laden. Pertemuan mereka
menjadi sangat sentral di mana dari situlah Al-Qaeda terbentuk.
Meskipun aktivitas mereka banyak dilakukan di Afghanistan
dan Pakistan, keluarga Bin Laden di Saudi me­rupakan penyandang
dana terbesar bagi aktivisme Al-Qaeda. Setelah peristiwa 9/11, Al-
Qaeda mulai menyebarkan sayap gerakannya ke berbagai belahan
dunia. Sebenarnya, sebelum itu pada tahun 1995 Al-Qaeda juga
pernah melakukan serangkaian serangan bom truk di kamp latihan

48
Yaroslav Trofimov, Kudeta Mekkah: Sejarah yang tak Terkuak (Ciputat: Pustaka
Alvabet, 2007).

50 | Politik Islam di Arab Saudi ...


tentara Amerika di Saudi. Al-Qaeda Arabian Peninsula (QAP) tidak
memusuhi Pemerintah Saudi, tetapi menentang keberadaan Amerika
di negara Saudi. Namun, ketika Perang Teluk terjadi, Osama mulai
mengkritik kebijakan Saudi yang sangat pro-Amerika.
Pengerahan pasukan Amerika secara besar-besaran di Saudi
dianggap sesuatu yang berlebihan. Setidaknya ada beberapa alasan
penolakan QAP terhadap kebijakan Saudi. Pertama, kehadiran pasu-
kan nonmuslim Amerika secara berlebihan dianggap menodai ke­
sucian tanah Saudi yang terdapat dua kota suci di dalamnya. Kedua,
Saudi tidak la­yak menyediakan tanah bagi pasukan nonmuslim yang
akan menghancurkan kepemimpinan negara Islam yang berdaulat
seberapa pun kesalahannya. Ketiga, rencana untuk menyedia­kan
tempat bagi rencana Amerika yang membangun pangkalan militer
di tanah Saudi menyakiti hati umat Islam. Dia beranggapan, hal itu
merupakan bagian dari rencana Amerika untuk menguasai Jazirah
Arab.49
Osama beranggapan bahwa penguasaan terhadap Jazirah Arab
memiliki arti yang berbeda dengan daerah lain. Selain sebagai simbol
kesucian karena terdapat dua kota suci umat Islam, Jazirah Arab
me­rupakan tanah utama tempat dua kiblat pertama umat Islam,
Al-Aqsa di Yerusalem dan Palestina serta Makkah, Arab Saudi
yang merupakan simbol pemersatu umat Islam. Pendudukan ter-
hadap Makkah me­rupakan titik akhir kehilangan terbesar umat
Islam setelah Al-Aqsa dikuasai oleh Israel. Target Al-Qaeda untuk
memerangi kehadiran pasukan Amerika di tanah Saudi merupakan
satu-kesatuan dengan upayanya untuk menurunkan Dinasti Saud
di Jazirah Arab.50
Selain kepada kekuasaan Bani Saud, Osama juga me­layang­
kan kritik kepada Wahabi yang muftinya, Bin Baz, mengeluarkan
fatwa memperbolehkan rencana pembuatan pangkalan militer

49
Thomas Hegghammer, Jihad, (Cambridge: Cambridge University Press, 2010),
103–105.
50
Hegghammer, Jihad, 105–107.

Problematika Kekuatan Politik ... | 51


Amerika di Tanah Suci. Dia juga membe­rikan kritik pedas tentang
fatwa Bin Baz yang mendukung perundingan damai negara-negara
Arab dengan Israel. Bagi Osama, sikap Wahabi ini tidak lebih dari
pelayan fatwa terhadap sang majikan, keluarga Saud. Hal ini yang
membuat Osama dan Al-Qaeda mendeklarasikan perang terhadap
pen­dudukan Amerika di dua Kota Suci.51
Persengketaan Pemerintah Saudi dengan Al-Qaeda semakin
mengeras ketika kerajaan tersebut melakukan penangkapan se-
cara besar-besaran sekitar 800–900 orang di sekitar Makkah yang
berkaitan dengan jaringan Al-Qaeda dan diduga akan melakukan
penyerangan terhadap Saudi. Pada tahun 1999, dua tahun sebelum
penyerangan 9/11, pihak intelijen Saudi sudah memberikan peri­
ngatan kepada Amerika akan rencana penyerangan dari Al-Qaeda.
Menghadapi kegentingan ini, Pangeran Turki Al-Faisal juga pernah
mengunjungi Khandahar, Afghanistan, untuk melobi Mulla Omar
agar mau melakukan ekstradisi terhadap Osama bin Laden.52
Berdasarkan pengakuan Khaled Shaikh Muhammad, pemimpin
senior Al-Qaeda, dari seluruh pelatihan militer Al-Qaeda terhadap
orang-orang Arab di Afghanistan, hampir 70% di antaranya adalah
orang Saudi. Namun, untuk menuju jumlah ini tidaklah mudah.
Awalnya, keanggotaan milisi Al-Qaeda kebanyakan hanya dari war-
ga negara Mesir dan negara-negara Afrika utara lainnya, terutama
Aljazair. Pada tahun 1996, upaya pertama Al-Qaeda untuk merekrut
warga Saudi berujung gagal, diduga karena status sosial warga Saudi
sangat tinggi. Osama mengutus warga keturunan Afghanistan, Abu
Zubayda, yang secara keturunan kurang meyakinkan bagi Saudi.
Rekrutmen itu berhasil mencapai puncaknya pada tahun 2001 ke­
tika Osama mengutus ­anggota senior Al-Qaeda, Nashir Bahri, warga
negara Saudi.53
QAP di Jazirah Arab dipimpin oleh Yusuf Al-Uyayri, orang
kepercayaan dan bodyguard Osama bin Laden ketika dia di Sudan.

51
Commins, The Wahabi Mission, 187–188.
52
Hegghammer, Jihad, 114–115.
53
Hegghammer, Jihad, 117–118.

52 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Dia bergabung dengan Al-Qaeda sejak tahun 2000. Sebelumnya,
dia lebih dekat dengan jaringan Bosnia, Kosovo, dan Chechnya
meskipun dia mengikuti pelatihan militer kali pertama di Kamp
Faruq, Afghanistan, saat berumur 18 tahun. Dia pernah dipenjara
dalam kasus salah tangkap ketika pengeboman yang dilakukan oleh
kelompok Syiah di provinsi timur dan aktif melakukan pelatihan
militer terhadap calon kombatan di wilayah Dammam. Di antara
muridnya yang menjadi orang penting Al-Qaeda adalah Khaled Hajj
dan Abdul Aziz Al-Muqrin.54
Yusuf Al-Uyayri merupakan kunci keberhasilan QAP di Saudi.
Perannya tidak tersiar luas secara internasional, tetapi sangat fun-
damental dalam merekrut SDM dan menjaring pendanaan untuk
Al-Qaeda. Secara sosial, sosoknya disegani karena dia memiliki
­hubungan dekat dengan ulama-ulama konservatif di Al-Burayda.
Selain itu, dia memiliki hubungan khusus dengan ulama Sahwa
Syekh Salman Al-Awda dan menikah dengan salah satu putri ­ulama
senior yang disegani dari Bani Al-Saq’abi, Syekh Sulayman Al-
Ulwan.55
Sistem rekrutmen yang dilakukan oleh Yusuf pada saat itu sa­
ngat sederhana. Dia memanfaatkan teknologi yang saat itu sedang
booming dan digandrungi oleh kaum muda seperti internet. Tim
rekrutmen Yusuf sangat aktif menggunakan media ini untuk me­
lakukan komunikasi dan koordinasi internal serta sebagai alat pro­
paganda eksternal. Selain itu, Yusuf menggunakan video dan kamera
digital yang lebih murah, mudah, dan meyakinkan dalam merekrut
generasi muda.56
Melalui internet, Yusuf memaksimalkan fungsi lembaga Centre
for Islamic Studies and Research (CISR, Markaz Al-Buhuts wa
Al-Dirasaat Al-Islamiyyah) yang didirikannya. CISR merupakan
lembaga propaganda yang memproduksi materi virtual untuk

54
Roel Meijer, “Yusuf al-Uyairi and the Making of Revolutionary Salafy Praxis”, Die
Welt des Islams, 47 (2007).
55
Hegghammer, Jihad, 121.
56
Hegghammer, Jihad, 123–124.

Problematika Kekuatan Politik ... | 53


kepentingan Al-Qaeda yang ditulis oleh Yusuf sendiri. Materi-
materi yang ditulis oleh Yusuf menya­sar kewaspadaan kalangan
muda tentang jihad global. Yusuf merupakan generasi jihadis yang
mampu membuat tulisan yang berpengaruh meskipun tidak lulus
SMA. Ada tiga tulisan Yusuf yang sangat fenomenal, yaitu The Truth
of the New Crusade, Crusade on Iraq Series, dan The Future of Iraq and
the Arabian Peninsula after the Fall of Baghdad. Selain itu, dia juga
menulis tentang banyak hal, seperti Iraqi Jihad: Hopes and Dangers
yang terinspirasi dari bom Madrid dan Camp of Sabre tentang strate-
gi dan pelatihan militer. Beberapa film juga diproduksi oleh Yusuf,
seperti Martyrs of the Confrontation, Badr of Riyadh, dan The Quds
Squadron.57
Salah satu situs yang mendapatkan respons cepat di ka­langan
muda adalah www.alneda.com (an-Nida/panggilan). Situs ini
memuat segala aktivitas para mujahidin di seluruh dunia, teruta-
ma di Afghanistan, buku, artikel, dan fatwa yang menjadi rujukan
­utama dari Al-Qaeda. An-Nida memiliki akses kepada Al-Qaeda dan
mendapatkan perhatian khusus dari Osama bin Laden. Beberapa
pernyataan Osama sering dirilis langsung melalui situs tersebut,
­seperti Qa’idat al-Jihad. Beberapa forum diskusi dalam situs tersebut,
seperti Al-Sahat dan Al-Ansar, menjadi forum alumni yang meng-
hubungkan para veteran mujahidin, terutama dari Afghanistan.58
Ketika Madani Al-Tayyib (atau Abu Fadl al-Makki), ke­pala
keuangan perusahaan Bin Laden, dan Sa’id Sayyid Salama, warga
Mesir yang menjadi kepala keuangan dan distribusi paket dari
­Al-Qaeda, ditangkap oleh pemerintah Saudi, sistem kerja ­Yusuf
al-Uyayri dalam mencari jaringan pendanaan di Saudi terungkap.
Yusuf menggunakan ­saluran ulama-ulama yang disegani di Najd,
seperti mertuanya sen­diri, Syekh Sulayman al-Ulwan dan ulama-­
ulama Sahwa, dalam mengumpulkan dana dari individu ataupun
dana CSR dari perusahaan besar seperti Bin Laden.59

57
Hegghammer, Jihad, 171–173, 176–177.
58
Hegghammer, Jihad, 171–172.
59
Hegghammer, Jihad, 124.

54 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Salah satu sel Yusuf al-Uyayri yang paling aktif a­dalah
Abdulrahim Al-Nashiri. Dia merupakan otak dari pengeboman
terhadap Kapal Perang USS Cole pada tahun 2000. Dia juga meren-
canakan penyerangan terhadap kapal i­nduk di Port Rashid (UEA),
dan kapal perang asing di Selat Hormus dan Pelabuhan Dubai, serta
kapal tanker yang melalui Selat Gibraltar. Selain Al-Nashiri, yang
tidak kalah penting adalah peran sahabatnya, Walid bin Attash, yang
merupakan perekrut jihadis yang membajak pesawat di Bandara
Heathrow.60 Untuk kasus di dalam negeri Saudi, penyerangan,
pembunuhan, penculikan, dan pengeboman oleh QAP dilakukan
dengan sangat intens dan brutal. Dalam kurun waktu dua tahun
saja, tahun 2003 hingga 2005, kasus terorisme mencapai 50 kali
insiden, tetapi tidak terlalu diungkap oleh media Saudi.61
Pencekalan akses terhadap keuangan Bin Laden Group dan kon-
frontasi terbuka dengan Pemerintah Saudi merupakan pengalaman
pahit bagi gagalnya ekspansi jihad global. Kegagalan QAP ternyata
berdampak besar bagi melemahnya Al-Qaeda karena terputusnya
pasokan sumber dana terbesar bagi kelompok itu. Hal yang kurang
terungkap ke kalangan internasional adalah bagaimana politik da-
lam negeri Saudi sangat dipusingkan dengan kehadiran QAP. Citra
tentang Saudi yang pasif terhadap Al-Qaeda dan sebagai sponsor
utama gerakan terorisme merupakan dampak dari minimnya
Pemerintah Saudi untuk memublikasikan huru-hara yang terjadi di
dalam negeri.

5. ISIS
Kemunculan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pada tahun 2014
menguncang stabilitas kawasan. Pada tahun 2015, ISIS melakukan
pengeboman masjid di daerah Asir, Arab Saudi. Hal ini sangat
mengejutkan karena lebih dari 2.000 pejuang ISIS merupakan warga
negara kebangsaan Saudi. Menteri Dalam Negeri Saudi mengkha-
watirkan babak baru ketidakstabilan dalam negeri akan berlanjut

60
Hegghammer, Jihad, 166–169.
61
Hegghammer, Jihad, 203–217.

Problematika Kekuatan Politik ... | 55


setelah berbagai pengeboman dan penyerangan yang dilakukan oleh
pendahulu­nya, Al-Qaeda.
Penyerangan ISIS di Saudi berlanjut di Qatif dan Dammam
yang banyak dihuni oleh kelompok Syiah. Serang­an itu menewas-
kan 25 orang dan 106 di antaranya luka-­luka. Penyerangan yang
dilakukan oleh ISIS juga merambah wilayah tengah Saudi, di titik
pemeriksaan polisi di Riyadh. ISIS juga mendeklarasikan diri sebagai
pelaku pembunuhan terhadap 12 anggota SWAT Saudi di dalam
masjid. Bom bunuh diri dan penembakan terhadap polisi juga ter-
jadi sepanjang tahun 2015. Serentetan dengan kasus ini, Peme­rintah
Saudi juga menangkap beberapa pelaku yang menggunakan bendera
ISIS.62
Pada tahun 2016, serangan ISIS berupa bom mobil terjadi di
tempat parkir Masjid Nabawi, Madinah, ­menewaskan empat polisi
Saudi dan melukai beberapa orang lainnya. Serangan ini dilakukan
oleh simpatisan ISIS, Talie bin Salem Al-Syaya’ari, yang merupakan
warga Saudi yang pernah kuliah di Selandia Baru. Serangan serupa
terjadi di dekat Masjidilharam bertepatan pada bulan Ramadan
2017, yang menghancurkan sebuah apartemen. Serangan tersebut
di­ren­canakan dilakukan di dalam Masjidilharam sebagai simbol
perlawanan terhadap Pemerintah Saudi yang dianggap korup.63
Sebenarnya serangan ini sudah bisa diduga. ISIS pernah
mendeklarasikan niatnya untuk melakukan teror di Saudi. Organisasi
tersebut mengklaim sudah memiliki sel yang kuat di wilayah Bahrain,
wilayah Hijaz, dan wilayah Najd. Melihat serangan-­serangan yang
dilakukan, sebenarnya target yang disasar oleh ISIS bukanlah tem-
pat, melainkan aparat ke­amanan Saudi sebagai simbol representasi

62
“ISIL claims deadly attack on Saudi forces at mosque”, Al-Jazeera, (Agustus 2015).
http://www.aljazeera.com/news/2015/08/suicide-attack-mosque-saudi-arabia-
southwest-150806110739697.html.
63
“Saudi Arabia thwarts huge terror attack on world’s largest Mosque ahead
of Ramadan finale,” Express, (Juni 2017). http://www.express.co.uk/news/
world/820778/Ramadan-2017-Saudi-Arabia-thwarts-huge-terror-attack-Grand-
Mosque-Mecca-ISIS.

56 | Politik Islam di Arab Saudi ...


pemerintah dan kelompok Syiah yang berada di Saudi. Meskipun
Pemerintah Saudi sudah mengklaim menangkap beberapa sel ISIS
di negaranya, rantai jaringan ini masih belum bisa diputus dan ter-
deteksi.64
Upaya ISIS menyasar Pemerintah Saudi tidak lepas dari peran
serta militer Saudi yang berkomitmen untuk terlibat lebih jauh da-
lam penyerangan udara terhadap ISIS, melakukan pelemahan sel-sel
ISIS, baik dalam wilayah domestik maupun di Irak dan Suriah.65
Narasi yang dikembangkan ISIS sebenarnya tidak berbeda dengan
apa yang dilakukan oleh Al-Qaeda. Mereka menganggap Saudi
menjadi bagian dari musuh karena kedekatan dan sikap akomodatif
Saudi terhadap Amerika.

E. Politik Saudi Terkini di Kawasan


Semenjak ledakan penjualan minyak Saudi (Arab Petroleum Boom)
pada era tahun 1970-an, Saudi merangkak menjadi polisi di k­ awasan.
Hal ini dipicu dengan adanya keberhasilan Revolusi Iran meng­
gulingkan Rezim Shah pada tahun 1979 oleh Ayatullah Khameini.
Riuhnya dukungan kebangkitan Iran ini di kawasan Timur Tengah
dan di dunia Islam pada umumnya disimbolkan sebagai kemenang­
an Islam atas Barat. Hal ini membuat negara-negara Arab, terutama
Saudi, khawatir karena bisa menjadi momentum penyebaran re­
volusi ajaran Syiah di dunia Islam.
Kekuasaan Saudi di kawasan semakin dominan dengan ter-
bentuknya GCC, persatuan negara-negara pengekspor migas di
kawasan Teluk. Hal ini memungkinkan Saudi untuk membentuk
sekutu dan mendapatkan legitimasi yang lebih kuat untuk melaku-

64
“ISIS Threatens Saudi Arabia with Major Attacks, Says ‘We Will Strike You In Your
Homes,” Newsweek, (September 2017), http://www.newsweek.com/isis-threatens-
saudi-arabia-attacks-says-its-turn-will-come-after-tehran-623715.
65
“Saudi Arabia took part in weekend air strikes against Islamic State: Pentagon”.
Reuters, (Februari 2016), http://www.reuters.com/article/us-mideast-crisis-
saudiarabia-airstrikes/saudi-arabia-took-part-in-weekend-air-strikes-against-
islamic-state-pentagon-idUSKCN0VP2FM.

Problematika Kekuatan Politik ... | 57


kan kebijakan yang konfrontatif dengan Iran di kawasan, terutama
dengan kebijakan pemerintah Saudi yang anti-Syiah, baik secara
domestik maupun internasional yang sangat mewarnai peta politik
dunia. Selain itu, kebijakan Saudi yang agresif terhadap IM juga
memberi konsekuensi tersendiri terhadap kestabilan politik di
­kawasan. Dalam berbagai kasus terkini seperti dampak Arab Spring,
dukungan terhadap kudeta berdarah Jenderal A ­ s-Sisi di Mesir dan
blokade politik terhadap Qatar merupakan dampak dari kebijakan
ini.
Konfrontasi Saudi dengan Iran membuat polarisasi yang besar
di kawasan Timur Tengah sejak Revolusi Iran 1979. Saudi menda­
pat dukungan dari Amerika, sedangkan Iran mendapat sekutu dari
Rusia dan Suriah. Melalui GCC, Saudi mempererat kubunya de­
ngan Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA), bahkan Saudi pernah
mengajukan proposal agar GCC menjadi pakta pertahanan baru
yang ditolak keras oleh Uni.66 Munculnya Qatar sebagai negara yang
memiliki fondasi ekonomi kuat dan semakin berpengaruh di Timur
Tengah dan GCC menjadi ancaman tersendiri bagi Saudi. Label
fenomena new Saudi Arabia sangat dilekatkan pada Qatar sebagai
kekuatan alternatif pada era pos-Saudi Arabia.67 Terlebih kebijakan
Qatar sejak Syekh Hamad Khalifa Al-Thani dan penerusnya, Syekh
Tamim bin Hamad Al-Thani sering berseberangan dengan Saudi,
terutama dalam kasus Arab Spring, IM, blokade diplomatik terhadap
Qatar, dan dukungan terhadap kudeta berdarah Jenderal As-Sisi di
Mesir.68
Kewaspadaan Saudi terhadap IM dengan dekrit yang dikeluarkan
oleh Raja Salman pada 4 Februari 2017 berdampak besar ­terhadap
ketegangan regional. Saudi bersama sekutu dekatnya, Bahrain dan

66
“Saudi-Qatari tensions and implications for the Persian Gulf,” Yemen Times,
(April 2014). http://www.yementimes.com/en/1768/opinion/3672/Saudi-Qatari-
tensions-and-implications-for-the-Persian-Gulf.htm.
67
Lina Khatib, “Qatar’s Foreign Policy: The Limits of Pragmatism”, International
Affairs, 89, 2 (2013), 417–431.
68
James M. Dorsey, “Wahabism vs Wahabism: Qatar Challenges Saudi Arabia”. RSIS
Working Paper, 262 (2016): 2–10.

58 | Politik Islam di Arab Saudi ...


UEA, harus melakukan sanksi diplomatik yang keras terhadap Qatar
dengan menarik duta besarnya karena Qatar dianggap me­langgar
prinsip “unified destiny” yang membuat iklim politik teluk Persia
tegang. Ketiga negara tersebut sangat tidak nyaman dengan poli-
tik luar negeri Qatar yang mencerminkan keberpihakan ter­hadap
IM dan dianggap negara teroris oleh Saudi dan UEA. Kasus ini
berlanjut pada sanksi yang lebih keras berupa blokade diplomatik
terhadap batas laut, darat, dan udara terhadap Qatar.69 Dekrit ini
juga mengandung konsekuensi politis, yaitu politik luar negeri Saudi
cenderung bertentangan dengan negara-negara yang dianggap dekat
dengan IM yang lain, seperti Turki.
Selain masalah IM, stabilitas politik dalam negeri Saudi me­
manas akibat gelombang Arab Spring yang dipropagan­dakan oleh
Qatar melalui saluran televisi Al Jazeera. Pembe­ritaan Al Jazeera yang
sering menyudutkan pemerin­tahan Saudi, baik dalam hal kebijakan,
ekonomi, maupun sistem politik yang otoritarian, menjadikan ke-
bijakan yang keras terhadap Qatar sebagai pilihan. Hanya berselang
satu bulan dari dekrit itu, Saudi menarik duta besarnya dari Qatar
dan berlanjut memblokade negara tersebut. Selain ketiga negara
tersebut, Mesir juga pernah menarik duta besarnya dari Qatar karena
politik luar negeri yang agresif. Ketegangan Qatar dan Saudi Arabia
dalam jangka panjang berpotensi memecah negara-negara teluk
karena Saudi hingga saat ini masih menjadi pemimpin di kawasan.
Manuver Saudi untuk menjadi poros kekuatan negara-negara
Islam dengan mendirikan Aliansi Militer Islam yang diikuti oleh
34 negara-negara mayoritas muslim membuat ketegangan negara
itu dengan Iran dan kelompok Syiah menguat.70 Aliansi tersebut
melakukan beberapa manuver militer untuk menyerang kelompok

69
Madawi Al-Rasheed, “Saudi-Qatar tensions divide GCC”. A ­ lmonitor, (Maret
2014), http://www.al-monitor.com/pulse/originals/2014/03/saudi-­qatar-gcc-ten­
sions-islamist.html.
70
“Saudi Arabia Announces 34-state Islamic military alliance against terrorism,”
Reuters, (Desember 2015), https://www.reuters.com/article/us-saudi-security/
saudi-arabia-announces-34-state-islamic-military-alliance-against-terrorism-
idUSKBN0TX2PG20151215.

Problematika Kekuatan Politik ... | 59


oposisi bersenjata Syiah Houti di Yaman Selatan dan kelompok
ISIS di Irak dan Suriah. Kekhawatiran Iran meningkat karena Saudi
memang memiliki kebijakan yang tidak berpihak pada sekutunya di
Suriah, Bashar Al-Asad.
Kejatuhan rezim Husni Mubarak dan kemenangan IM dalam
pemilu demokratis di Mesir di tengah geliat Arab Spring membuat
rezim keluarga Saud terancam. Pengaruh itu tampak pada kondisi
politik dalam negeri Saudi yang memanas. Oleh karena itu, tidak
mengerankan jika Kerajaan Saudi membendung gerakan tersebut
dan sangat menentang kekuasaan Muhammad Mursi di Mesir serta
memberikan dukungan, baik secara politis maupun material, ter­
hadap kudeta yang dilakukan Jenderal As-Sisi yang mengakibatkan
pertumpahan darah yang besar di Tahrir Square.
Dukungan Pemerintah Saudi terhadap kudeta Jenderal As-Sisi
menuai kritik dari dalam negeri, terutama dari para ulama Sahwa
dan juga dari masyarakat internasional. Keputusan Saudi yang berse-
berangan dengan kehendak sebagian besar ulama dan rakyatnya
menunjukkan ­kegusaran atas kekuasaannya. Dukungannya terhadap
kudeta dan pelemahan kekuatan IM di Mesir mengandung beberapa
konsekuensi. Pertama, Saudi menggelontorkan miliaran dolar untuk
mendukung pemerintahan baru As-Sisi. Kedua, Saudi harus lebih
aktif melemahkan kekuatan Sahwa di dalam negeri. Kedua upaya ini
secara aktif dilakukan oleh pemerintahan Saudi. Untuk kali pertama,
pemerintahan Saudi melarang buku-buku IM dan menggagalkan
berbagai acara ceramah yang dilakukan oleh ulama-ulama Sahwa.

F. Masa Depan Arab Saudi Pasca-Arab Spring


Gelombang Arab Spring tidak berdampak secara signifikan terhadap
ekonomi Saudi, justru kenaikan harga minyak akibat Arab Spring
menguntungkan perekonomian Saudi. Namun, aspek politik,
stabilitas, dan keamanan dalam negeri Saudi sangat terancam. Arab
Spring memicu bangkitnya kelompok yang selama ini terpinggirkan,
baik secara sosial, politik maupun ekonomi, seperti kelompok Syiah
di wilayah Timur dan kelompok Sahwa.

60 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Namun, Arab Spring bukan faktor utama bagi menguatnya ge­
rakan perlawanan terhadap pemerintahan Saudi. Sikap Pemerintah
Saudi yang diktator dan korup, ketimpangan ekonomi, pemasungan
terhadap kebebasan berorganisasi, tersumbatnya saluran penyam-
paian aspirasi, dan ketergantungannya dengan Amerika, menjadi
penyebab utama tumbuhnya kekuatan oposisi terhadap Pemerintah
Saudi, seperti yang terlihat pada Al-Qaeda, ISIS, dan Syiah. Secara
keagamaan, kolaborasi politis antara keluarga Saud dan para ulama
Wahabi yang memonopoli kehidupan keagamaan membuat tafsir
negara itu terhadap aliran keagamaan terlalu monolitik sehingga
negara tidak bisa menerima konsekuensi pluralitas yang ada. Hal ini
seperti IM yang pernah menguntungkan Saudi dalam membangun
fondasi pendidikannya dan Syiah yang memang sudah sejak lama
menjadi bagian dari masya­rakat Al-Hasa.
Menguatnya kekuasaan Sudairi dalam tampuk kepemimpinan
Saudi dengan melihat manuver politik yang terjadi akhir-akhir ini,
baik penyerangan terhadap Houti di Yaman, blokade diplomatik
terhadap Qatar, maupun tendensi yang mudah menggunakan
aksi militer, masa depan damai, baik dalam lingkungan domestik
maupun kawasan, masih jauh dari kenyataan. Gerakan Islam yang
tidak sepaham dengan Wahabi akan senantiasa bergerak di bawah
permukaan, dan potensi konflik fisik akan tetap terbuka lebar hingga
bebe­rapa dekade ke depan jika Saudi tidak mengubah pendekatan
politiknya. Yang pasti, harapan akan tumbuhnya demokrasi masih
jauh dari harapan.

Daftar Pustaka
Al-Rasheed, Madawi. “Saudi-Qatar tensions divide GCC”. ­Almonitor, 6 Ma-
ret 2014, diakses pada Agustus 2017. http://www.al-monitor.com/pulse/
originals/2014/03/saudi-­qatar-gcc-tensions-islamist.html.
Al-Sulami, Mohammed. "Three men Wanted by Saudi Security Forces Killed
in Qatif, Saudi Security Forces," 2017. http://www.arabnews.com/tags/
saudi-security-forces.
Bank Dunia. “Saudi Arabia”, diakses pada 15 Juli 2017. https://data.world-
bank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.CD?locations=SA.

Problematika Kekuatan Politik ... | 61


Batrawi, Aya. “Women win 17 seats in Saudi Arabia’s first elections with
female candidates”, Independent, 13 Desember 2015. http://www.
independent.co.uk/news/world/middle-east/a-woman-has-been-elected-
in-saudia-arabias-elections-a6771161.html.
Centre for Energy Economics Research and Policy. BP Statistical Review of
World Energy. London: Heriot-Watt University, June 2017. https://www.
bp.com/content/dam/bp-country/de_ch/PDF/bp-statistical-review-of-
world-energy-2017-full-report.pdf.
Central Intelligence Agency. “Saudi Arabia”, CIA World Fact Book, diakses
pada 4 Oktober 2017. https://www.cia.gov/library/publications/the-
world-factbook/geos/sa.html.1
Commins, David. Islam in Saudi Arabia. London and New York: I.B. Tauris,
2015.
Commins, David. The Wahabi Mission and Saudi Arabia. London and New
York: I.B. Tauris, 2006.
Cook, Michael. “On the Origins of Wahabism”. Jurnal of the Royal Asiatic
Society, 2, issue 2 (1992).
DeLong-Bas, Natana J. Wahabi Islam: From Revival and Reform to Global
Jihad. New York: Oxford University Press, 2004.
Dorsey, James M. “Wahabism vs Wahabism: Qatar Challenges Saudi Arabia”.
RSIS Working Paper, S. Rajaratnam School of International Studies, No.
262 (2016).
Dudley, Dominic. “Is Saudi Arabia Heading For A Recession?” Forbes, 12 Juli
2016. https://www.forbes.com/sites/dominicdudley/2016/07/12/­saudi-
recession/2/#6834a0d26330.
“Economy of Saudi Arabia”, Chronicle Fanack, diakses pada 28 Agustus 2017.
https://chronicle.fanack.com/wp-content/uploads/sites/5/2014/10/in-
frastructure_sa_map_infrastructure_0001_05_19e3a68b4f.jpg.
Encyclopedia Britannica. “Government and Society of Saudi Arabia”. https://
www.britannica.com/place/Saudi-Arabia/Government-­a nd-society.
Diakses pada 8 Agustus 2017.
Encyclopedia Britannica. “Trans Arabian Pipeline”. Diakses pada 8 Agustus
2017 https://www.britannica.com/topic/Trans-Arabian-Pipeline.
Hegghammer, Thomas. Jihad in Saudi Arabia. Cambridge: Cambridge Uni-
versity Press, 2010.

62 | Politik Islam di Arab Saudi ...


“Inside the Saudi town that’s been under siege for three months by its own
government”, Independent, 4 Agustus 2017. http://www.independent.
co.uk/news/world/middle-east/saudi-arabia-siege-town-own-citi-
zens-government-kingdom-military-government-awamiyah-qat-
if-a7877676.html.
“ISIL claims deadly attack on Saudi forces at mosque”, Al-Jazeera, 7
Agustus 2015. http://www.aljazeera.com/news/2015/08/suicide-at-
tack-mosque-saudi-arabia-southwest-150806110739697.html.
“ISIS suspected of planning attack on Grand Mosque in Mecca as Saudi
leaders condemn ‘evil and corrupt’ plot which failed after terrorist
blew himself up in gunfight”, Mail Online, 24 Juni 2017. http://www.
dailymail.co.uk/news/article-4635870/ISIS-suspected-planning-attack-
Grand-Mosque-Mecca.html.
“ISIS Threatens Saudi Arabia with Major Attacks, Says ‘We Will Strike You
In Your Homes’”, Newsweek, 6 September 2017. http://www.newsweek.
com/isis-threatens-saudi-arabia-attacks-says-its-turn-will-come-after-
tehran-623715.
Ismail, Raihan. Saudi Clerics and Shi’a Islam. New York: Oxford University
Press, 2016.
Khatib, Lina. “Qatar’s Foreign Policy: The Limits of Pragmatism”, Internatio­
nal Affairs 89, No. 2 (2013): 417–431.
“King Salman reasserts Sudairi Seven, key Abdullah advisor removed.”
Middle East Eye, 13 Februari 2015. http://www.middleeasteye.net/
news/king-salman-reasserts-­s udairi-seven-key-abdullah-advisor-
removed-496423196.
Lacroix, Stephane. Awakening Islam: The Politics of Religious Dissent in Con-
temporary Saudi Arabia. trans. by George Holoch. Cambridge: Harvard
University Press, 2011.
Lacroix, Stéphane. “Saudi Arabia’s Muslim Brotherhood Pre-
dicament”. The Washington Post, 20  Maret 2014. https://
www.washingtonpost.com/news/monkey-cage/wp/2014/03/20/
saudi-arabias-muslim-brotherhood-predicament/?utm_term=.f3b-
04fe78fc2.
Martin, Patrick. “Why Saudi king spurned half-brother and restored the Su-
dairi Seven royal lineage.” The Globe and Mail, 29 April 2015. https://
beta.theglobeandmail.com/news/world/saudi-arabias-royal-overhaul-sig-
nals-riyadhs-assertive-foreign-policy/article24178168/?ref=http://www.
theglobeandmail.com.

Problematika Kekuatan Politik ... | 63


Meijer, Roel. “Re-Reading al-Qaeda Writing of Yusuf al-Ayiri”, ISIM Review,
No. 18 (Autum 2006).
Meijer, Roel. “Yusuf al-Uyairi and the Making of Revolutionary Salafy Praxis”,
Die Welt des Islams, 47 (2007): 3–4.
Mutawa, Abdullah M., “The Ulama of Nadj from the Sixteenth Century to
the Mid-Eighteenth Century”. PhD Dissertation, University of Califor-
nia, 1989.
Niblock, Tim dan Malik, Monica. The Political Economy of Saudi Arabia. New
York: Routledge, 2007.
Rahmat, M. Imdadun. Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung
Parlemen. Yogyakarta: LKIS, 2008.
Salam, Asharaf Abdul. “Population and Household Census, Kingdom of Sau-
di Arabia 2010: Facts and Figures”. International Journal of Humanities
and Social Science, 3, No. 16 (2013), 258–263.
“Saudi Arabia announces 34-state Islamic military alliance against terror-
ism”. Reuters, 15 Desember 2015. https://www.reuters.com/article/
us-saudi-security/saudi-arabia-announces-34-state-islamic-military-alli-
ance-against-terrorism-idUSKBN0TX2PG20151215.
“Saudi Arabia Approves Ambitious Plan to Move Economy Beyond Oil”. The
Guardian, 25 April 2016. https://www.theguardian.com/world/2016/
apr/25/saudi-arabia-approves-ambitious-plan-to-move-economy-be-
yond-oil.
“Saudi Arabia Thwarts Huge Terror Attack on World’s Largest Mosque Ahead
of Ramadan Finale”, Express, 24 Juni 2017. http://www.express.co.uk/
news/world/820778/Ramadan-2017-Saudi-Arabia-thwarts-huge-terror-
attack-Grand-Mosque-Mecca-ISIS.
“Saudi Arabia Took Part in Weekend Air Strikes Against Islamic State: Pen-
tagon”. Reuters, 17 Februari 2016. http://www.reuters.com/article/
us-mideast-crisis-saudiarabia-airstrikes/saudi-arabia-took-part-in-week-
end-air-strikes-against-islamic-state-pentagon-idUSKCN0VP2FM.
“Saudi Arabia unemployment rate climbs to 12.7 percent”, Al Jazeera, 31 Juli
2017. http://www.aljazeera.com/news/2017/07/saudi-arabia-unemploy-
ment-rate-climbs-127-percent-170730163025234.html.
“Saudi Aramco Yanbu Refinery”, Hydrocarbons Technology. Diterbitkan
Januari 2016 http://www.hydrocarbons-technology.com/projects/aram-
co-yanbu/.

64 | Politik Islam di Arab Saudi ...


“Saudi protesters fire-bomb intelligence building in Qatif ”, Middle East Eye,
11 Januari 2016. http://www.middleeasteye.net/news/saudi-protest-
ers-fire-bomb-intelligence-building-qatif-843608836.
“Saudi-Qatari tensions and implications for the Persian Gulf ”, Yemen Times,
1 April 2014. http://www.yementimes.com/en/1768/opinion/3672/
Saudi-Qatari-tensions-and-implications-for-the-Persian-Gulf.htm.
dsfisher Bid dumb Map nerd. "Stamp World History Maps." Diakses 28 Agus-
tus 2018.https://www.deviantart.com/dsfisher/art/Nejd-761454262.
Trofimov, Yaroslav. Kudeta Mekkah: Sejarah yang tak Terkuak. Ciputat: Pusta-
ka Alvabet, 2007.
University of Texas Libraries. “Saudi Arabia Pol 2003.” Diakses
pada 12 September 2017. http://www.lib.utexas.edu/maps/
middle_east_and_asia/saudi_arabia_pol_2003.jpg.
“USA Remains Largest Producer of Petroleum and Natura Gas Hydrcarbons”,
US Energy Information Administration, 23 Mei 2016. https://www.eia.
gov/todayinenergy/detail.php?id=26352.
“Wahabi Makar: Parade Tauhid HUT RI Ke-70 malah Mengibarkan
Bendera Arab Saudi”, diakses pada 8 Agustus 2017. https://www.
kaskus.co.id/thread/574ef438ded7704d288b456b/wahabi-makar-pa-
rade-tauhid-hut-rike-70-malah-mengkibarkan-bendera-arab-saudi/6,
dikutip dari Stamp World History.
Wawancara dengan Syekh Ismail Harbi, wakil direktur Yayasan Haramain, 30
Maret 2017.
“Women in Saudi Arabia to vote and run in elections”. BBC News, 25 Sep-
tember 2011. http://www.bbc.com/news/world-us-canada-15052030.
World Bank National Accounts Data, and OECD National Accounts Data
Files, The World Bank IBRD-IDA. GDP per capita (current US$). 15
Juli 2017. https://databank.worldbank.org/reports.aspx?source=2&-
type=metadata&series=NY.GDP.PCAP.CD

Problematika Kekuatan Politik ... | 65


66 | Politik Islam di Arab Saudi ...
Bab

3
Problematika Kekuatan Politik Islam di
Kuwait
Muhammad Fakhry Ghafur

A. Gambaran Singkat Politik Kuwait


Dibandingkan negara-negara Teluk lainnya atau yang tergabung
dalam Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), Kuwait merupakan negara
yang relatif maju dalam hal pelaksanaan demokrasi dan partisipasi
politik masyarakatnya. Kemajuan politik demokrasi di Kuwait mulai
terlihat setelah kemerdekaan dari Inggris pada 19 Juni 1961. Sejak
itu, Kuwait berusaha menjadi negara maju yang berdaulat dengan
membentuk sebuah negara monarki konstitusional yang berpegang
pada prinsip-prinsip demokrasi. Konstitusi 1962 menyebutkan bah-
wa Kuwait adalah “negara Arab yang merdeka sepenuh­nya dengan

| 67
sistem pemerintahan demokratis, di mana ke­dau­latan berada di
tangan rakyat yang merupakan sumber kekua­saan”.1
Sejak saat itu, Kuwait menjadi negara monarki konsti­tusional
di dunia Arab yang menjalankan sistem politik demokratis yang
disertai dengan berkembangnya kebebasan berpendapat, terbuka­
nya ruang bagi organisasi sosial kemasyarakatan, serta menguatnya
partisipasi politik warga. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
banyak kalangan memandang bahwa Kuwait pada masa awal ber-
dirinya merupakan role model dalam pelaksanaan prinsip demokrasi
di dunia Arab.
Ada beberapa hal yang menyebabkan demokrasi dapat berkem-
bang di Kuwait. Pertama, setelah kemerdekaan, rezim monarki ber­
usaha untuk keluar dari keterpurukan dengan memperkuat kembali
negara melalui penegakan prinsip-prinsip demokrasi Kuwait yang
tertuang dalam konstitusi 1962. Konstitusi tersebut mendorong rak-
yat Kuwait untuk dapat menikmati kebebasan dan partisipasi politik
yang luas dibandingkan negara teluk lainnya. Hal itu dapat dilihat
dari berkembangnya gerakan oposisi yang terdiri dari kalangan Islam
ataupun liberal yang berperan signifikan serta semakin meningkat-
nya partisipasi politik perempuan dalam b­ eberapa dekade terakhir.
Kedua, perubahan sosial dan budaya yang begitu cepat, terutama
setelah Perang Teluk 1991 yang telah memengaruhi dan meningkat-
kan cara pandang masyarakat Kuwait dalam berdemokrasi.
Kualitas pendidikan masyarakat, terutama para pemuda dan
kelas menengah, semakin meningkat. Tercatat sekitar 70% warga
berusia di atas 29 tahun telah berkontribusi dalam mendorong
munculnya kekuatan sosial baru di Kuwait. Banyak kalangan pemu-
da yang melanjutkan kuliah di perguruan tinggi ternama, baik di
Eropa maupun Amerika, dan sukses menjadi tokoh sentral yang
ber­pengaruh dalam kancah politik dan ekonomi Kuwait. Selain
itu, banyak dari kalangan kelas menengah yang semakin sadar akan

1
“Kuwait’s Constitution of 1962,” Reinstated in 1992, Diakses pada Agustus 2017,
https://www.constituteproject.org/constitution/Kuwait_1992.pdf?lang=en, 3–20.

68 | Politik Islam di Arab Saudi ...


kesalah­an monarki dalam mengelola pemerintahan yang menurut
mereka perlu direformasi, terutama di tengah maraknya isu korupsi
dan kesenjangan sosial yang tinggi.
Meski politik di Kuwait dalam beberapa dekade terakhir relatif
stabil, sejak tahun 2011 tepatnya setelah Arab Spring, perlahan-­lahan
politik Kuwait mengalami sedikit guncangan. Persoalan sosial-­
politik yang semakin merebak imbas dari fenomena Arab Spring
dan pengaruh krisis politik dalam negeri, seperti dominasi monarki
dalam pemerintahan, isu korupsi, minimnya transparansi pengelo-
laan ­keuangan negara, diskriminasi terhadap suku, ataupun imigran,
meng­akibatkan maraknya gerakan protes yang dimotori kelompok
oposisi yang berkomitmen pada reformasi di Kuwait. Tuntutan
reformasi itu berkaitan dengan sistem pemberantasan korupsi,
penyelenggaraan pemilu yang lebih representatif, berdirinya partai
politik, serta partisipasi rakyat yang lebih luas dalam pemerintahan.
Sebenarnya, reformasi politik melalui pelaksanaan de­mok­rasi
sudah berlangsung di Kuwait dalam beberapa periode, yaitu se-
jak periode 1961–1990 yang disebut sebagai masa pembentukan
­konstitusi, kemudian disusul periode 1991–2010 sebagai pelaksana­
an semi-demokrasi Kuwait. Pada periode ini, demokrasi di Kuwait
berlangsung ­ dengan sangat dinamis melalui diselenggarakannya
beberapa kali pemilu parlemen, yaitu pada tahun 1996, 1999, 2003,
2006, 2008, 2009, dan 2012. Gejolak politik pun terjadi pada masa
itu yang mengakibatkan laju demokrasi melambat. Saat itu, terjadi
serangkaian krisis yang berulang antara parlemen dan pemerintah
yang berujung pada pembubaran parlemen dan pemberhentian
kabinet. Puncaknya pada Juni 2012, Mahkamah Konstitusi Kuwait
membubarkan parlemen hasil Pemilu 2012 dengan alasan ketidak-
absahan pembubaran parlemen hasil Pemilu 2009 serta seruan Emir
Syeikh As-Sabah untuk pemilu parlemen baru pada Desember 2012.
Banyak kalangan memandang bahwa kebijakan Emir dalam
mendorong pemilu baru adalah upaya untuk menje­gal kelompok
oposisi dan membentuk parlemen yang pro-­monarki. Namun, tidak
sedikit pula yang memandang bahwa langkah Emir tersebut meru-

Problematika Kekuatan Politik ... | 69


pakan bagian dari upaya pelaksanaan reformasi politik yang tengah
berlangsung di Kuwait. Lantas, bagaimana prospek demokrasi
Kuwait ke depan serta implikasinya dalam kehidupan sosial-politik
masyarakat Kuwait dan bagaimana peran kelompok oposisi t­ erutama
kekuatan politik Islam dalam kehidupan politik di Kuwait?
Tulisan ini mengkaji dinamika sosial-politik di Kuwait dan
­peran kekuatan politik Islam beserta problematikanya dalam kancah
politik Kuwait. Selain itu, tulisan ini juga menganalisis bagaimana
kelompok oposisi yang terdiri dari kekuatan politik Islam, liberal,
dan suku terlibat dalam proses demokratisasi di tengah dominasi
monarki dan intervensi negara-negara regional pendukung monarki.

B. Dinamika Sosial-Politik
Kuwait merupakan negara kecil di kawasan Teluk yang terletak
di ujung bagian barat laut Jazirah Arab dengan luas sekitar
17.818 km2. Terdiri dari wilayah daratan dengan ibu kota Kuwait
City, ­sembilan pulau kecil tidak berpenghuni, dan enam daerah
­administratif ­(provinsi), antara lain Al-Kuwait, Al-Jahra, ­Al-Ahmadi,
Al-Farwaniyah, Hawalli, dan Mubarak Al-Kabir. Berbatasan
­
langsung dengan dua negara kaya minyak, yaitu Irak di utara (195
km2) dan Arab Saudi di Selatan (495 km2).2
Oleh karena posisinya yang strategis, berada di jalur perlintasan
mi­nyak, Kuwait menjadi negara yang kerap diperebut­kan bangsa-­
bangsa besar di dunia. Tercatat sepanjang sejarah­, wilayah Kuwait
silih berganti berada di bawah kekuasa­ an banyak dinasti yang
berlangsung selama berabad-abad, seperti Dinasti Buyid dari Persia
pada abad ke-10, Dinasti Seljuk dari Turki pada abad ke-11, bangsa
Mongol pada awal abad ke-14, dan Turki Utsmani pada abad ke-17.
Dari sini dapat dilihat meskipun wilayahnya kecil, banyak kelompok
etnis dari luar yang ingin menetap untuk menguasai wilayah Kuwait

2
“Cultural Orientation Arab Kuwait,” Defense Language Institute Foreign Language
Centre, diakses pada Agustus 2017, https://www.dliflc.edu/cultural-orientation-
arabic-kuwait/, 1–2.

70 | Politik Islam di Arab Saudi ...


yang makmur. Oleh karena itu, banyak orang, terutama dari Turki
yang menyebut wilayah ini dengan sebutan “Kuwait” atau benteng
kecil sebagai tempat berlindung dan mencari penghidupan.3
Sementara itu, cikal bakal terbentuknya Kuwait sebagai sebuah
negara bermula pada awal abad ke-18. Saat itu, banyak orang dari
suku Arab Badui yang nomaden dan tinggal di wilayah pedalaman
Najd atau wilayah tengah Arab Saudi yang terpaksa berimigrasi aki-
bat kekeringan ke daerah Kuwait Selatan. Mereka berasal dari suku
Bani Utub cabang konfederasi dari Kabilah Anizah yang mendapat
perlindungan dari Bani Khalid yang telah lebih dahulu ada dan ber-
hasil merebut wilayah Kuwait Selatan dari tangan Turki Utsmani.4
Mereka pun mulai membangun pemukiman dan benteng ke-
cil “Kuwait” di sana sebagai tempat bertahan dan berlindung dari
serangan musuh. Seiring berjalannya waktu, sejumlah suku yang
terdiri dari Suku As-Sabah, Al-Khalid, dan Al-Ghanim membuat
kesepakatan bersama untuk bekerja sama berdasarkan aliran kesuku-
annya dalam membangun sebuah komunitas sosial. Suku As-Sabah
diberi mandat untuk mengelola pemerintahan dan kemasyarakatan,
sementara suku Khalid dan Al-Ghanim diberi kepercayaan untuk
menangani sektor perdagangan. Meskipun demikian, dalam praktik­
nya, selama bertahun-tahun relasi ketiga suku ini lebih mengarah
pada pembentukan komunitas pebisnis kerajaan yang kemudian
dipim­pin oleh As-Sabah.5

3
Shafeeq Ghabra, “Kuwait at the Crossroads of Change or Political Stagnation,”
Middle East Institute Policy paper Series. (Washington: Middle East Institute, 2014).
4
Naser AlFozaie, “Tribalism in Kuwait: Impacts on the Parliament,” Master Thesis
2016, Department of International Environment and Development Studies,
(Oslo: Norwegia), diakses pada Agustus 2017. https://core.ac.uk/download/
pdf/154672692.pdf.
5
David E. Long, Bernard Reich, dan Mark Gasiorowski, ed., The Government and
Politics of the Middle East and North Africa, (Colorado: Westview Press, 2010).

Problematika Kekuatan Politik ... | 71


Sumber: Scholastic (16 April 2016)
Gambar 3.1 Peta Kuwait

Pada awal abad ke-19, keturunan Dinasti As-Sabah, yaitu


Mubarak As-Sabah, berhasil memperluas pengaruh Kuwait dan
masuk ke dalam negara-negara ekspatriat yang dilindungi Inggris.
Wilayah ini pun mengalami perubahan yang cukup drastis seiring
dengan ditemukannya sumber minyak oleh perusahaan Gulf Oil
dan eksplorasinya oleh British Petroleum pada tahun 1938. Kuwait
yang kaya akan sumber daya minyak pun menjadi perebutan negara-­
negara sekitarnya sampai akhirnya memperoleh kemerdekaan pada
19 Juni 1961.6
Sebagai negara yang baru merdeka, Kuwait banyak mengalami
ujian dan ancaman dari negara lain. Pada tahun 1973, Irak meng-
klaim kedaulatan atas Kuwait dan berhasil menguasai sebagian besar
wilayah perbatasan, tetapi melalui perjanjian yang telah disepakati,
Inggris dapat melindungi Kuwait hingga krisis yang terjadi saat
itu dapat teratasi. Meskipun demikian, Irak kembali mengklaim
pulau-pulau kecil Kuwait, yaitu Pulau Warbah dan Bubiyan yang
­diiringi dengan bentrokan militer di perbatasan Kuwait.7 Kemudian,
6
Michael S. Casey, The History of Kuwait, (Westport, CT: Greenwood Press, 2007).
7
Casey, The History of Kuwait, 5–15.

72 | Politik Islam di Arab Saudi ...


peristiwa ini menjadi awal meletusnya konflik Irak-Kuwait yang
terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Memang sejak awal
kemerdekaan, hubungan kedua negara mengalami pasang surut,
bahkan kerap dilanda konflik sampai dapat berakhir seiring dengan
kejatuhan Saddam Hussein pada 2003.
Setelah kemerdekaan, pemerintah monarki berusaha untuk
memperkuat negara dari ancaman disintegrasi m ­ ela­
lui sistem
monarki konstitusional yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam Konstitusi 1962, disebutkan “Sistem pemerintahan Kuwait
adalah demokrasi, yang di dalamnya kekuasaan berada di tangan
rakyat, sumber semua kekuasaan. Kekuasaan harus dijalankan ­sesuai
dengan cara yang diatur oleh Konstitusi.”8 Kemudian, pasal ini men-
jadi landasan bagi Kuwait dalam menjamin kebebasan warganya
untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan melaksa­nakan
ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika di Kuwait tumbuh berbagai macam sekte dan
aliran keagamaan yang mewarnai sepanjang perjalanan sejarahnya.
Mayoritas penduduk Kuwait adalah muslim dari total pen-
duduk sekitar 4.398.000 jiwa.9 Sekitar 75%-nya bermazhab Sunni
Maliki dan Hanbali yang cukup berpengaruh dalam kehidupan
warganya, baik itu pada taraf masyarakat kelas menengah, ulama,
maupun keluarga elite monarki. Sementara itu, sisanya sekitar 15%
adalah ­penganut Syiah. Kelompok Syiah dapat dibedakan dalam dua
kelompok besar, yaitu Syiah Arab atau Syiah Kuwaiti, sedangkan
sisanya adalah Syiah yang berasal dari Persia.10
Orang Persia telah menetap di Kuwait selama berabad-abad
sejak Dinasti Buyud menguasai Kuwait pada abad ke-10. Meskipun
kebanyakan­mereka adalah ekspatriat yang secara turun-temurun
mempraktikkan ajaran Syiah dari berbagai mazhab yang b­ erkembang

8
“Kuwait’s Constitution of 1962.” Reinstated in 1992. Diakses pada Agustus 2017,
https://www.constituteproject.org/constitution/Kuwait_1992.pdf?lang=en, 3–20.
9
“Kuwait Population 2017.” Central Statistical Bureau. https://www.csb.gov.kw/
Default_EN. January 2017.
10
Casey, The History of Kuwait, 9–10.

Problematika Kekuatan Politik ... | 73


di Iran, pada umumnya mereka cenderung setia pada Kuwait
sebagaimana kebanyakan ekspatriat lainnya. Kendati demikian,
pemerintahan rezim monarki tetap menaruh curiga pada kelom-
pok ini hingga mengakibatkan terjadinya friksi dalam kehidupan
sosial-politik di Kuwait.
Sebagian besar kelompok Sunni adalah penganut mazhab
Hanbali yang sebagiannya beraliran Wahabi, khususnya dalam ling-
kungan elite kerajaan. Relasi antara monarki dan aliran Wahabi d
­ apat
dirunut sejak abad ke-18, ketika Kuwait di bawah per­lindungan
Bani Khalid dapat dikalahkan kaum Wahabi Najd. Di bawah
pimpinan Muhammad bin Abdul Wahab, gerakan ini mengajarkan
pemaham­an Islam radikal yang melarang kemewahan, pesta, musik,
dan tarian di lingkungan kerajaan dan masyarakat luas. Hal ini men-
dorong Raja Abdullah I yang menguasai Kuwait saat itu menjalin
­hubungan dengan Turki Utsmani dan menjadi protektorat Inggris
untuk mendapatkan perlindungan yang lebih kuat dari serangan
kelompok Wahabi.11 Meskipun demikian, pengaruh ajaran Wahabi
tetap membekas dalam kehidupan warga Kuwait sampai saat ini.
Dengan pengaruh Islam yang sedemikian kuat, wajar kiranya
bila rakyat dan penguasa Kuwait menjadikan Islam sebagai agama
resmi dan Syariat Islam sebagai sumber utama hukum negara, se-
bagaimana tertera dalam konstitusi pasal 2, “Agama negara ini ada-
lah Islam dan Syariat Islam adalah sumber hukum utama.”12 Dengan
demikian, berdasarkan teks konstitusi tersebut, agama resmi negara
adalah Islam dan pemerintah harus mengarahkan umat Islam pada
jalur yang benar sesuai syariat, hingga dapat diterima pada setiap
aspek kehidupan masyarakat Kuwait.
Dalam hal aktivitas keagamaan, misalnya, pemerintah mem-
bentuk Komite Penasihat Negara atau Dewan Fatwa yang terdiri dari
para ulama untuk memberikan ­pemahaman terhadap masyarakat
dalam pelaksanaan syariat Islam di Kuwait. Selain itu, pemerintah

11
Casey, The History of Kuwait, 37–38.
12
“Kuwait Constitution”, Diwan of HH the Prime Minister.

74 | Politik Islam di Arab Saudi ...


mengontrol langsung ter­hadap aktivitas lembaga keagamaan, ­seperti
menunjuk imam dan muazin, memantau khotbah Jumat, serta
membiayai pembangunan dan aktivitas masjid. Dalam beberapa
kasus yang terjadi, para imam yang melanggar saat khotbah dan
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan diskors dan diberi-
kan sanksi.13
Pengaruh Islam di Kuwait tidak hanya terlihat pada kebijakan
pemerintah saja, tetapi juga tecermin dalam kehidupan publik,
­misalnya, perempuan Kuwait dianjurkan untuk memakai hijab, teta-
pi juga tetap diberikan ruang untuk berkecimpung dalam kehidup­an
sosial-politik. Begitu juga saat bulan Ramadan, baik muslim maupun
nonmuslim, dituntut untuk tidak makan, minum ataupun merokok
di tempat umum, bagi yang melanggar akan dikenakan denda sebe-
sar US$360. Pada hari Jumat, setiap muslim wajib menghadiri salat
Jumat dan menutup toko atau aktivitas bisnisnya tanpa kecuali.14
Meskipun Islam merupakan agama resmi negara, Pemerintah
Kuwait melalui konstitusi 1962 tetap menjamin kebebasan
­beragama. Artinya warga ekspatriat yang nonmuslim dapat dengan
bebas menjalankan ajaran agamanya. Orang-orang Kristen ekspatri-
at membentuk kelompok persatuan umat Kristen terbesar dengan
jumlah anggota mencapai 450.000 orang. Demikian halnya dengan
penganut Katolik yang membentuk kelompok tersendiri dengan
jumlah penganutnya mencapai 300.000 orang, diikuti kelompok
Ortodoks Koptik dan Protestan. Meski dapat dengan bebas beriba-
dah, ­ konstitusi Kuwait melarang kelompok nonmuslim untuk
menyebarkan ajarannya di ruang umum serta memberlakukan
­peraturan yang ketat dalam hal pendirian tempat ibadah sesuai de­
ngan hukum yang ditetapkan Kementerian Urusan Wakaf Kuwait.
Untuk memperkuat hubungan antar-umat beragama, terutama

13
“Focus Group Discussion (FGD),” dengan narasumber Tatang Budie Utama
Razak, Duta Besar RI untuk Kuwait, di Pusat Penelitian Politik LIPI, 20 Juli 2017.
14
Casey, The History of Kuwait, 20–30.

Problematika Kekuatan Politik ... | 75


Islam dan Kristen, umat Islam dan Kristen sepakat membentuk
Islamic Christian Relations Council (ICRC) pada tahun 2009.15
Selain komunitas keagamaan yang berkembang, tribalisme
atau kesukuan merupakan suatu hal yang menonjol di Kuwait.
Jika ditelusuri, kelompok suku Arab Badui adalah orang pertama
yang mendiami wilayah Kuwait. Seiring berjalannya waktu dan
ditemukannya sumber minyak, pada era modern Kuwait menjadi
tempat singgah berbagai etnis, terutama dari Asia Selatan dan Timur
Tengah untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika hasil sensus pemerintah Kuwait pada
2016 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kuwait adalah pe­
kerja ekspatriat dengan jumlah mencapai 55%. Sementara itu, warga
Kuwaiti atau orang Kuwait asli adalah minoritas di negeri sendiri
yang jumlahnya mencapai 45%. Mereka pada umumnya mendiami
wilayah perkotaan atau Kuwait City.16
Berdasarkan Gambar 3.2, terlihat bahwa orang Arab non-­Kuwait
merupakan etnis terbesar kedua di Kuwait yang terdiri dari sejumlah
etnis dari kawasan Jazirah Arab dan Afrika Utara. Kehadiran etnis
Arab berawal setelah kemerdekaan 1961. Pada saat itu banyak warga
dari Palestina dan Yordania yang berimigrasi ke Kuwait dan berpin-
dah kewarganegaraan hingga menjadi kelompok etnis Arab non-Ku-
wait yang tersebar luas. Selain untuk mencari pekerjaan, mereka juga
banyak direkrut menjadi tentara atau polisi di Kuwait. Namun, saat
Perang Teluk, banyak di antara mereka yang dideportasi dan dicabut
kewarganegaraannya karena dukungan mereka terhadap Irak serta
upaya mereka dalam memfasilitasi para pengungsi Irak. Mereka pun
dituduh melakukan upaya pembunuhan terhadap Emir Al-Jabar Al-
Ahmad As-Sabah.17

15
Ghabra, “Kuwait at the Crossroads”, 24–25.
16
Ghabra, “Kuwait at the Crossroads”, 25–27.
17
Ghabra, “Kuwait at the Crossroads”, 30–40.

76 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Other
Iranian 7%
4%

South Asian
9%

Kuwait
45%

Arab
35%

Kuwait Arab South Asian Iranian Other

Sumber: Kuwait Ethnic Groups (2002)


Gambar 3.2 Persentase Penduduk Kuwait

Memang, Perang Teluk telah mengancam stabilitas kawasan


hingga mengakibatkan semakin maraknya imigran dari negara te-
tangga terutama Irak dan Palestina. Kuwait pun memberlakukan
sistem administrasi kewarganegaraan secara ketat sehingga banyak
warga etnis Arab non-Kuwait pada saat itu yang tidak mempunyai
­kewarganegaraan dan dianggap sebagai imigran gelap atau “Bidun”18.
Pemerintah monarki mengklaim bahwa Bidun adalah warga nega-
ra ­asing yang masuk ke Kuwait secara ilegal, di antaranya adalah
orang kelahiran Kuwait atau orang Arab yang menyembunyikan

18
Bidun merupakan sebutan untuk status suku dan kelas sosial tertentu di Kuwait
yang tidak mempunyai kewarganegaraan. Kebanyakan dari mereka adalah
keturunan Arab non-Kuwait yang tidak mendapatkan pengakuan kewarganegaraan
dari pemerintah dan diklaim sebagai imigran gelap. Mereka tidak mendapatkan
hak sosial ataupun politik, seperti asuransi kesehatan, pendidikan, akta kelahiran,
kartu identitas, serta tidak dapat berpartisipasi dalam pemilu.

Problematika Kekuatan Politik ... | 77


kewarganegaraannya. Belum lama ini dikabarkan bahwa Pemerintah
Kuwait telah mengungkap ribuan Bidun yang berasal dari Arab
Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya.
Sebenarnya, kedatangan warga negara asing non-Kuwait dari
berbagai negara tidak lepas dari semakin berkembangnya pere-
konomian Kuwait, terutama setelah ­pengoperasian kilang minyak
utama di daerah Al-Ahmadi yang telah menyumbangkan 90% dari
total pendapatan ekspor dan devisa negara. Tercatat PDB Kuwait
meningkat tajam sebesar 51% pada tahun 2010 yang kemudian
semakin meningkat pada tahun setelahnya hingga mencapai sekitar
US$28.756 atau 72.675 US Dollar sesuai PDB PPP.19 Dengan PDB
yang tinggi tersebut wajar kiranya ekonomi Kuwait begitu kuat se-
hingga memengaruhi stabilitas negara.
Di samping berkembangnya etnisitas, kondisi perpoli­ tikan
Kuwait pun relatif stabil. Sepanjang sejarahnya tidak ada kudeta
pemimpin ataupun pergolakan politik yang memicu pertum­
pahan darah. Posisi Emir atau kepala n ­ egara silih berganti secara
turun-­temurun, diwariskan pada anak dan cucu pewaris tahta yang
merupakan keturunan dua putra Mubarak As-Sabah, yaitu As-Salim
dan Al-Jabir. Saat ini, Kuwait dipimpin oleh Emir Sabah Al-Ahmad
Al-Jabir As-Sabah yang dilantik pada 29 Januari 2006, setelah
mendapatkan persetujuan Majelis Nasional untuk menggantikan
ayahnya, Syekh Ahmad Al-Jabir As-Sabah. Untuk menjalankan
roda pemerintahan, Emir menunjuk perdana menteri dan wakilnya
yang didukung oleh struktur kabinet yang tunduk dan patuh pada
ke­bijakan Emir. Dengan demikian, sesuai konstitusi, Emir sebagai
kepala negara berhak untuk menunjuk, mengangkat, dan member-
hentikan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan struktur
kabinet. Selain itu, Emir juga mempunyai kewenangan untuk mem-
bubarkan parlemen dan membekukan konstitusi.

19
“IMF World Economic Outlook 2016”. Oktober 2016, https://www.imf.org/
en/Publications/WEO/Issues/2016/12/31/Subdued-Demand-Symptoms-and-
Remedies. Diakses pada Juli 2017.

78 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Sementara itu, Sistem legislatif di Kuwait ­diwujudkan dengan
adanya parlemen yang disebut dengan Majelis Ummah atau Majelis
Nasional. Pencapaian terbesar Majelis Nasional terwujud setelah ke-
merdekaan dengan membentuk anggota konstituante yang bertugas
menyusun undang-undang dan menyelenggarakan pemilu. Pada
tahun 1963, pemilu pertama diselenggarakan dan berhasil memilih
50 anggota Majelis Nasional baru. Dalam perjalanannya, Kuwait
pun sukses menyelenggarakan beberapa kali pemilu langsung un-
tuk memilih 50 anggota Majelis Nasional di 5 daerah pemilihan
(dapil), seperti pemilu tahun 1996, 1999, 2003, 2006, 2008, dan
2009. Dengan sistem politik dan ekonomi yang sedemikian kuat,
wajar kiranya banyak orang yang berkata, “Kami sangat ingin men-
jadi seperti Kuwait” dan menjadikannya contoh dalam pelaksanaan
demokrasi di Timur Tengah.20
Dukungan warga Kuwait terhadap demokrasi pun terus me­
ningkat. Hal itu terlihat dari semakin tingginya peran masyarakat
dalam berdemokrasi, terutama dari kalangan perempuan serta se-
makin menggeliatnya organisasi sosial ataupun faksi sosial yang ter-
libat dalam politik praktis. Di Kuwait, persentase perempuan cukup
signifikan hingga mencapai 51% dari jumlah populasi Kuwait. Oleh
karena itu, pemerintah sesuai dengan konstitusi memberikan hak
bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Konstitusi
Kuwait menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan setara dalam
hukum dan mempunyai hak yang sama, baik dalam pendidikan
maupun pekerjaan. Meskipun secara hukum perempuan diberi hak
politik, pada kenyataannya Undang-Undang Pemilu masih belum
memberikan ruang yang luas bagi perempuan untuk memilih dan
dipilih. Hingga pada tahun 2005, Emir mengeluarkan dekrit agar
perempuan diberikan hak penuh untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Pada Pemilu 2008, jumlah pemilih dari kalangan perempuan pun

20
“Kuwait Study Group: The Experience of Parliamentary Politics in the GCC,”
(London: Chatham House, 2012).

Problematika Kekuatan Politik ... | 79


meningkat hingga mencapai 55,43% dari total pemilih dengan jum-
lah kandidat sebanyak 27 orang dari 275 kandidat yang bersaing.21
Selain meningkatnya jumlah pemilih dari kalangan perem­
puan, dinamika politik demokrasi di Kuwait juga diwarnai dengan
­hubungan­yang kuat antara rakyat yang majemuk dan organisasi
sosial atau faksi politik yang bertarung dalam pemilu. Meskipun
konsti­tusi Kuwait melarang berdirinya partai politik, rakyat dapat
me­nyalurkan aspirasi melalui organisasi sosial atau faksi politik yang
dapat mewakili pandangan politik kelompok sosial, suku ataupun
sektenya. Relasi antara rakyat dan organisasi sosial atau faksi politik
inilah yang menyatukan rakyat dengan organisasi politik pilihannya,
baik melalui serangkaian pertemuan maupun kongres umum yang
disebut Diwaniyyah dengan tujuan untuk menyampaikan program
dan gagasan yang berkaitan dengan kehidupan sosial, politik, dan
ekonomi Kuwait.
Menurut Hiramatsu, setidaknya ada tiga faktor yang me­
latarbelakangi kuatnya relasi antara rakyat dan kelompok atau faksi
politik tertentu di Kuwait, yaitu ideologi Islam, tribalisme, dan kelas
menengah dari para pengusaha.22 Pertama, faktor ideologi keislaman
yang banyak memengaruhi kehidupan sosial politik umat Islam
Kuwait. Ghabra menyatakan bahwa peran faksi politik t­ erutama dari
kelompok Islam, seperti Islamic Constitutional Movement (ICM),
sangat dirasakan dalam kehidupan sosial dan politik Kuwait, tidak
hanya di parlemen, tetapi juga di sektor lain, seperti pendidikan dan
dakwah.23
Kurikulum pendidikan Islam yang kerap diajarkan, baik di se-
kolah maupun universitas di Kuwait tidak lepas dari peran kelompok
Islam dalam mengawal dan mengontrol dunia pendidikan agar tetap
selaras dengan prinsip Syariat Islam. Demikian halnya aktivitas sosial

21
Muhamad S. Olimat, “Women and Politics in Kuwait,” Journal of International
Women’s Studies, 11, 2 (September 2009), 199–212.
22
Hiramatsu, “The Changing Nature”, 62–73.
23
Shafeeq Ghabra, “Balancing State and Society: The Islamic Movement in Kuwait,”
Middle East Policy Council, 5, 2 (1997), 58–72.

80 | Politik Islam di Arab Saudi ...


dan dakwah, kelompok Islam dapat berperan cukup besar sehingga
mampu memengaruhi berbagai kalangan di Kuwait. Oleh karena
itu, wajar kiranya kelompok Islam dapat meraih dukungan dan
­suara yang signifikan dari warga Kuwait pada setiap penyelenggaraan
pemilu. Namun, dominasi monarki yang kuat dalam politik dan
ekonomi menjadikan kelompok ini lebih fokus dalam hal reformasi
konstitusi, isu korupsi, dan aktivitas sosial kemanusiaan, ketimbang
melakukan perlawanan untuk mereformasi struktur kepemimpinan
di Kuwait.
Kedua, faktor tribalisme (kesukuan) yang sudah mendarah da­
ging dalam kehidupan warga Kuwait. Meskipun Kuwait merupakan
negara kecil nan makmur dengan indeks pembangunan manusia
yang tinggi dan politik demokratis yang berkembang, tribalisme be-
gitu dominan dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Kuwait.
Sejarah Kuwait pun tidak lepas dari pertalian yang kuat antara tiga
suku besar (As-Sabah, Al-Khalid, dan Al-Ghanim) yang berimigrasi
dari Najd ke wilayah pesisir Kuwait untuk mencari penghidupan.
Pertalian ketiga suku tersebut menjadi cikal bakal terbentuknya
negara Kuwait modern.
Di Kuwait, suku dapat berperan sebagai partisan atau pendukung
organisasi politik tertentu tanpa campur tangan pemerintah. Dalam
hal ini, kepala suku mengarahkan pengikutnya untuk memilih atau
mendukung faksi tertentu yang sesuai dengan ideologi politiknya.
Terdapat sejumlah suku yang berpengaruh dengan basis dukungan
yang cukup kuat di Kuwait, antara lain Al-Mutairi, Ar-Rashidi,
­Al-Enizi, As-Shammari, Ad-Dhaferi, dan Al-Ajmi.24
Terakhir adalah faktor kelas menengah yang tengah berkembang
di Kuwait beberapa tahun terakhir. Menurut Etheridge, sedikitnya
terdapat sekitar 1,1 juta orang Kuwait atau sebesar 25% dari total
penduduk Kuwait yang dikategorikan sebagai kelas me­ nengah.
Kebanyakan mereka adalah ekspatriat yang berprofesi s­ebagai

24
AlFozaie, “Tribalism in Kuwait”.

Problematika Kekuatan Politik ... | 81


­ engusaha.25 Meskipun tidak begitu nampak dan diperhitungkan
p
dalam percaturan politik, kelas menengah di Kuwait, terutama dari
kalangan pengusaha muda, telah mendorong banyak perubahan
dalam kehidupan ekonomi dan sosial.

C. Kekuatan Politik di Kuwait: antara Dominasi


Monarki, Islam, dan Tribalisme
Dinamika politik di Kuwait tidak dapat dilepaskan dari per­
singgungan yang kuat antara pemerintah monarki dan komunitas
sosial-politik yang tumbuh pada pertengahan abad ke-20 seiring
dengan dibentuknya negara Kuwait modern. Sepanjang sejarahnya,
politik Kuwait pun kerap diwarnai oleh relasi yang kuat di satu
sisi dan pertentangan di sisi lainnya antara Dinasti As-Sabah dan
komunitas suku ataupun dengan kelompok oposisi yang dipelopori
oleh kelompok Islam. Pergulatan antara aktor politik di Kuwait
dapat dilihat dari dinamika politik di parlemen yang banyak ter-
jadi perbedaan pandangan dalam menentukan sebuah kebijakan.
Menurut Ghabra, terdapat tiga kelompok utama yang menjadi aktor
dalam kancah politik Kuwait, antara lain elite monarki, komunitas
suku, dan kelompok oposisi dari kalangan Islam dan liberal. Dalam
perjalanannya, elite monarki dan kelompok oposisi kerap bertarung
memperebutkan pengaruh di Kuwait.
Dalam sistem monarki Kuwait, Emir adalah simbol negara
yang mempunyai kewenangan mengangkat dan memberhenti-
kan dewan menteri serta membubarkan parlemen sesuai dengan
keputusan konstitusi. Emir secara turun-temurun berasal dari
generasi Mubarak As-Sabah yang ber­kuasa setelah mengambil alih
kekuasaan pada akhir abad ke-19. Sementara itu, perdana menteri
yang ­mengendalikan kabinet dan pemerintahan berasal dari unsur
monarki yang dijabat oleh putra mahkota atau pangeran. Namun,
atas desakan publik, sejak 2003, posisi perdana menteri menjadi

25
Jamie Etheridge, “Hallmarks of Kuwait’s Middle Class,” Kuwait Times, (Juni
2014). http://news.kuwaittimes.net/hallmarks-kuwaits-middle-class/.

82 | Politik Islam di Arab Saudi ...


terpisah dari struktur monarki meski posisinya tetap ditunjuk oleh
Emir Dinasti As-Sabah.26
Kemudian, kepemimpinan monarki beralih pada Dinasti Al-
Jabir di bawah pimpinan Syekh Jabir Al-Ahmad As-Sabah. Penguasa
baru ini mempertahankan tradisi politik dinasti sebelumnya, yaitu
melaksanakan konstitusi 1962, memegang teguh prinsip-prinsip
demokrasi melalui menyelenggarakan pemilu. Hanya saja keang-
gotaan Majelis Nasional terbatas pada segelintir kelompok, yaitu
pedagang kelas menengah, ekspatriat, kalangan intelektual, dan elite
As-Sabah. Pada saat itu perempuan belum diberikan ruang yang luas
untuk memilih dan dipilih sampai keluarnya dekrit Emir pada 2005.
Di lingkungan kerajaan sendiri terkadang terjadi pertentangan
antara elite muda dan tua yang berujung pada terpecah­nya elite di
tubuh kerajaan, antara kelompok moderat dan konservatif. Konflik
internal dalam elite monarki berakar sejak masa awal pascamerdeka
dan berlanjut setelah Perang Teluk 1991. Dinasti Al-Jabir As-Sabah
dan As-Salim kerap bersaing dalam kancah politik, seperti pada
Pemilu 2003 yang menjadi medan pertempuran keduanya dalam
mempere­butkan pengaruh. Pada tahun 2003, muncul sebuah manu-
ver dari kalangan moderat monarki di bawah pimpinan putra tertua
Emir yang menyerukan supaya ada regenerasi k­ epemimpin­an dalam
kerajaan. Namun, upaya tersebut tidak didukung oleh ka­lang­an
konservatif yang juga sekutu utama Arab Saudi dan menganggapnya
sebagai ancaman terhadap persatuan monar­ki.
Pergantian kepemimpinan pun terjadi pada tahun 2006 ketika
pencalonan emir dan putra mahkota ­dimusyawarahkan di parlemen.
Saat itu, terjadi persaingan antara Sa’ad As-Salim As-Sabah dari
­generasi As-Salim dan Sabah Al-Ahmad Al-Jabir As-Sabah Al-Jabir,
sampai pada ­akhirnya, generasi Al-Jabir As-Sabah dapat terpilih dan
menunjuk saudaranya Nawaf Al-Ahmad sebagai putra mahkota.27

26
Kristin Smith Diwan, New Generation Royals and Succession Dynamics in the Gulf
State, (Washington: Arab Gulf Institute, 2017).
27
Diwan, New Generation Royal.

Problematika Kekuatan Politik ... | 83


Sementara itu, isu suksesi pun berlanjut pada kancah politik
yang lebih luas, terutama pada setiap p­ enyelenggaraan pemilu yang
pada akhirnya menimbulkan krisis politik ber­kelanjutan yang tidak
hanya terjadi di internal kerajaan, tetapi juga dalam kancah politik
parlemen. Krisis tersebut berujung pada persaingan perebutan kursi
perdana menteri ­antara Nasir Muhammad Al-Jabir dari kalangan
konservatif ­dan Ahmad Al-Fahd dari generasi muda monarki yang
ber­akhir dengan ditunjuknya Nasir Muhammad Al-Jabir sebagai
Perdana Menteri. Upaya elite muda untuk merebut ­takhta tampak­
nya gagal setelah Emir Al-Jabir As-Sabah lebih memilih dari kalangan
konservatif untuk menempati jabatan strategis di kerajaan. Sebagian
kalangan memandang bahwa kegagalan manuver Ahmad Al-Fahd
karena posisinya dianggap membahayakan bagi keberlangsungan
sistem monarki, tidak hanya di Kuwait, tetapi juga di sejumlah
negara monarki Timur Tengah lainnya.28
Pada akhirnya, kedua kubu membentuk faksi-faksi yang saling
berhadapan di parlemen dengan pendukungnya masing-masing,
yaitu faksi Al-Jabir dan faksi As-Salim.29 Perbedaan pendapat yang
kerap terjadi antara dua kubu tersebut serta persaingan antarfaksi
menimbulkan krisis politik yang berujung pada pembubaran parle-
men seperti yang terjadi pada 2006 sampai krisis terbuka pada 2011.
Pada titik ini, dapat disimpulkan bahwa ketidakstabilan politik
disebabkan oleh adanya persaingan yang kuat di antara para elite
kerajaan untuk memperebutkan kekuasaan di samping perbedaan
pandangan yang kerap terjadi antara faksi parlemen. Namun,
terpilihnya Nasir Al-Ahmad As-Sabah sebagai perdana menteri
membawa harapan baru akan berakhirnya persaingan di lingkungan
istana. Pada tahun 2011, Nasir Al-Ahmad As-Sabah dari kalangan
konservatif kerajaan dipaksa mengundurkan diri, sampai ­akhirnya
digantikan oleh saudaranya, Syekh Jabir Al-Mubarak Al-Ahmad
­As-Sabah.

28
Diwan, New Generation Royal.
29
Diwan, New Generation Royal.

84 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Menurut Ghabra, salah satu slogan yang muncul dalam gerakan
protes pemuda di Kuwait saat itu seirama dengan Arab Spring yang
berlangsung di sejumlah negara Timur Tengah lainnya, yaitu “Asy-
Sya’bu Yurid Isqaat Nizam” atau rakyat menginginkan lengsernya
rezim.30 Hal ini menunjukkan bahwa keinginan suksesi tidak ha-
nya bergulir di lingkung­an istana dan parlemen, tetapi juga pada
tataran masyarakat luas seiring dengan tuntutan adanya reformasi
politik dan regenerasi kepemimpinan di sejumlah wilayah. Memang
sejak 2006 gerakan protes yang melibatkan kalangan pemuda kerap
menuntut terjadinya reformasi politik dan partisipasi masyarakat
yang luas. Puncaknya pada 2011 ketika banyak aktivis dan pemu-
da yang terlibat dalam gerakan protes bertajuk “Nabiha Khamsa”
melalui media sosial yang menuntut lengsernya Perdana Menteri
Nasir Muhammad A ­ l-Ahmad As-Sabah melalui semboyan “As-
Sya’bu Yurid Isqaat Nasir” atau rakyat ingin Nasir turun. 31 Pada 28
November 2011, akhirnya Syekh Nasir mengundurkan diri dan di-
gantikan oleh Syekh Jabir Al-Mubarak Al-Ahmad As-Sabah. Rakyat
pun menaruh banyak harapan kepada Syekh Jabir karena dianggap
mewakili kalangan moderat kerajaan. Pada masa itu, diselengga­
rakan pemilu ke-14, tepatnya pada 2 Februari 2012 setelah Emir
membubarkan Majelis Nasional pada 5 Desember 2011 karena
memburuknya situasi politik dalam negeri.
Selain kekuatan monarki dengan segala persoalan di dalamnya,
konstelasi politik juga diwarnai oleh persaingan sejumlah faksi poli-
tik, seperti kelompok oposisi Islam yang terdiri dari kalangan Islamic
Constitutional Movement (ICM), Salafi, kelompok independen dari
kalangan suku, ataupun dari kalangan nasionalis liberal dan Syiah.

30
Ghabra, “Kuwait at the Crossroads,” 1–3.
31
Fatiha Dazi Heni, “The Arab Spring Impact on Kuwait ‘Exceptionalism’,”
International Journal of Archaeology and Social Sciences in the Arab Peninsula.
(Chatillon: Arabian Humanities, 2015), 1–78.

Problematika Kekuatan Politik ... | 85


Tabel 3.1 Organisasi dan Faksi Politik di Kuwait32
Organisasi Politik Ideologi
Aliansi Demokratik Nasional Liberalisme Nasional
Blok Aksi Populer Nasionalisme
Blok Islamis (ICM dan Salafi) Sunni
Aliansi Islam Nasional Syiah
Aliansi Keadilan dan Perdamaian Syiah Moderat

Pemilu 2012 menjadi babak baru dari persaingan antar-­kekuatan


politik untuk memperebutkan 34 kursi dari total 50 kursi parlemen.
Pada Pemilu ini, kelompok oposisi Islam memperoleh suara terba­
nyak dengan 23 kursi yang di antara­nya diperoleh dari kelompok
ICM dan Salafi. Sementara itu, kelompok liberal memperoleh sem-
bilan kursi, adapun dari kalangan perempuan pada pemilu kali ini
sama sekali tidak mendapatkan kursi.33
Pada 20 Juni 2012, Mahkamah Konstitusi Kuwait mengeluar­
kan keputusan pembatalan hasil pemilu pada Februari 2012 dan
memulihkan kembali keanggotaan parlemen hasil Pemilu 2009.
Emir Kuwait pun memutuskan untuk mengadakan pemilu baru,
yaitu pada 1 Desember 2012. Pembubaran parlemen ini merupakan
puncak dari pertarungan politik yang sengit sejak diselenggarakan-
nya pemilu antara rezim monarki dan kelompok oposisi Islam.
Keputusan pemerintah membubarkan parlemen akhirnya menda­
patkan penolakan keras dari oposisi dan menuduh adanya rekayasa
pemerintah dalam pemilu. Mereka pun sepakat untuk memboikot
pemilu baru tersebut serta melakukan aksi gerakan protes menolak
keputusan Emir.
Meskipun parlemen hasil Pemilu Desember 2012 dikuasai
kelompok pro-monarki, pertarungan antara kelompok oposisi dan
rezim monarki terus berlanjut. Kelompok oposisi tetap eksis melaku-
kan serangkaian gerakan protes di luar parlemen. Hingga pada akhir

32
Diolah dari berbagai sumber.
33
“Kuwait Study Group”.

86 | Politik Islam di Arab Saudi ...


tahun 2012 terjadi perubahan peta persaingan antara eksekutif dan
anggota legislatif pendukung kelompok oposisi, baik yang ­berada di
dalam maupun luar parlemen.
Ada beberapa faktor yang mendorong kemenangan kelompok
oposisi pada Pemilu 2012 sehingga mereka bisa tetap eksis mengawal
demokrasi dan mendapat dukungan masyarakat. Di antaranya ada-
lah faktor keislaman dan aktivitas sosial yang kuat yang berpengaruh
dalam kehidupan masyarakat, terutama di daerah pedalaman yang
didominasi para suku serta sepak terjangnya sebagai garda depan
gerakan protes menentang dominasi rezim monarki.
Memang, Islam memberikan pengaruh yang signifikan dalam
membentuk identitas sebuah kelompok masyarakat di Kuwait.
Kebanyakan suku, misalnya termotivasi untuk meningkatkan iden-
titas keislamannya melalui aktivitas sosial kemasyarakatan daripada
harus terlibat langsung dalam kehidupan politik praktis. Komunitas
suku yang kritis tidak ragu untuk mendukung kelompok Islam fun-
damentalis, se­perti Salafi ataupun dengan kelompok reformis dari
kalangan oposisi ICM selama dapat memperjuangkan kepentingan
mereka.34 Lebih dari itu, komunitas suku di pesisir Kuwait kerap
terlibat protes untuk perubahan dan berkontribusi dalam proses
demokratisasi, terutama menentang pengaruh dominasi rezim da-
lam setiap aspek kehidupan. Kesadaran politik kelompok suku yang
tumbuh dari hasil interaksi dengan gerakan Islam ataupun kelom-
pok pemuda, terutama di daerah pesisir, telah sukses menghasilkan
karakter baru mereka yang lebih kritis dan terbuka terhadap dina-
mika politik Kuwait, sebagian mereka bahkan terlibat dalam politik
praktis dan menjadi anggota parlemen. Seperti yang diungkapkan
Ghabra bahwa gerakan protes yang terjadi di Kuwait pada 2011
secara tidak langsung berasal dari perubahan sosial dan politik yang
meluas di antara generasi muda suku.

34
Yagoub Al-Kandari, Tribalism, Sectarianism, and Democracy in Kuwaiti Culture.
(Kuwait: Kuwait University Press, 2014).

Problematika Kekuatan Politik ... | 87


Perubahan ini juga memperluas persaingan antara kekuatan
politik monarki dan aktivis politik muda yang sebagian besar b­ erasal
dari daerah pedalaman, baik yang berhaluan Islam maupun nasional
sekuler. Kelompok ini memprotes kebijakan ekonomi pemerintah
yang tidak sesuai dengan Visi Kuwait 2035 dan buruknya pengelo-
laan negara akibat korupsi yang akut.35
Pertarungan antara kelompok kembali terlihat pada Pemilu
Parlemen 2013, setelah Mahkamah Konstitusi me­nge­luarkan pu-
tusan yang membatalkan parlemen hasil Pemilu 1 Desember 2012
dan menyerukan penyelenggaraan pemilu baru. Pemerintah pun
memberlakukan sistem baru, yaitu satu orang satu suara dari yang
sebelumnya menggunakan sistem satu orang empat suara. Dalam
pemilu yang diselenggarakan pada 25 Juli 2013 terjadi perubahan
suara parlemen. Kelompok Syiah mengalami penurunan suara secara
signifikan dengan hanya memperoleh delapan kursi dibandingkan
pemilu sebelumnya yang mencapai 17 kursi. Kelompok liberal me­
ngalami peningkatan suara yang sebelumnya hanya mendapat satu
kursi menjadi sembilan kursi. Adapun kelompok muslim Sunni
memperoleh suara terbanyak dengan 30 kursi. Kelompok perem­
puan hanya memperoleh dua kursi di parlemen.
Pada Agustus 2013, PM Syekh Mubarak Al-Jabir As-Sabah me-
netapkan keanggotaan dewan kabinet. Meskipun a­ nggota parlemen
adalah kelompok pro-pemerintah, ketidak­percayaan terhadap ka-
binet tetap terjadi. Hubungan antara rezim monarki dan parlemen
pun semakin tidak harmonis karena masih adanya kelompok oposisi
yang masuk di parlemen. Puncaknya terjadi pada Desember 2013
menyusul terjadinya permohonan permintaan pendapat kepada
beberapa menteri, bahkan kepada perdana menteri sendiri. Pada
akhirnya, krisis ini mendorong pengunduran diri seluruh jajaran
kabinet 2013. Pada 6 Januari 2014, Emir mengeluarkan dekrit yang

35
Ghabra, “Kuwait at the Crossroads”.

88 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Sumber: Diwan (2017)
Gambar 3.3 Silsilah Dinasti As-Sabah

menetapkan struktur kabinet baru di bawah pimpinan PM Syekh


Al-Jabir Al-Mubarak As-Sabah.36
Meskipun sepanjang tahun 2016 kondisi sosial politik Kuwait
relatif stabil, dalam taraf tertentu ketidakharmonisan antara eksekutif
dan legislatif kerap saja terjadi. Perseteruan itu mencapai puncaknya
dengan dibubarkannya kembali parlemen hasil Pemilu 2013. Pada
16 Oktober 2016, Perdana Menteri Syekh Al-Jabir Al-Mubarak
mengadakan rapat tertutup dengan Emir As-Sabah mengenai pem-
bubaran Majelis Nasional. Berdasarkan pendapat dari PM Al-Jabir,
Emir menyetujui pembubaran tersebut dan mengeluarkan Dekrit
276 Tahun 2016 tentang Pembubaran Parlemen. Terlepas dari segala
persoalan yang memicu pembubaran parlemen, perseteruan antara
rezim monarki dan kelompok oposisi telah menaikkan harga bahan
bakar minyak (BBM) sehingga memicu terjadinya mosi tidak percaya
para anggota legislatif terhadap pemerintah terkait dengan kenaikan

36
Jane Kinninmont, “Kuwait’s Parliament: An Experiment in Semi-democracy,”
briefing paper, Chatham House, No. 03/2012, Middle East and North Africa
Programme, (Agustus 2012), 1–16.

Problematika Kekuatan Politik ... | 89


BBM dan pelanggaran finansial lainnya. Krisis ini berujung pada
pembubaran Parlemen hasil Pemilu 2013 yang dilanjutkan dengan
diselenggarakannya pemilu parlemen baru.
Pada pemilu kali ini kelompok oposisi yang memboikot pemilu
sebelumnya turut bersaing memperebutkan ­kursi par­lemen. Sekitar
70% pemilih yang memenuhi syarat memi­lih telah memberikan
suaranya. Hasil perolehan suara menun­juk­kan bahwa kelompok
oposisi memperoleh 24 kursi dari 50 kursi yang diperebutkan.
Separuh dari kursi anggota parlemen oposisi tersebut berasal dari
kelompok ICM sayap Ikhwanul Muslimin dan Salafi. Sepertiga dari
kursi ­parlemen diduduki oleh anggota baru dari kalangan pemuda,
sedangkan kelompok Syiah dan suku mengalami penurunan suara
menjadi 6 kursi dibandingkan pemilu sebelumnya yang mendapat
9 kursi.37 Setelah terpilih, sebagian besar anggota parlemen berjanji
akan melakukan langkah-langkah menen­tang penghematan yang
dilakukan pemerintah untuk menaikkan pendapatan nonminyak.
Dari dinamika politik yang terjadi sepanjang tahun 2006–2016,
dapat kita saksikan bahwa dari tahun ke tahun perseteruan antara
legislatif dan eksekutif semakin meningkat. Tercatat sebanyak lima
kali penyelenggaraan pemilu baru terdapat enam kali pembubaran
parlemen, yaitu pada 2006, 2008, 2009, 2010, 2012, dan 2016.
Menurut Ghabra, krisis politik yang berkelanjutan tersebut menun-
jukkan dinamika hangat politik Kuwait dalam beberapa tahun ter-
akhir, di samping semakin menurunnya tingkat kepercayaan rakyat
terhadap pemerintah.

D. Peta Kekuatan Politik Islam


Meskipun monarki Kuwait melarang pembentukan partai politik,
organisasi sosial-politik nonresmi diperbolehkan dan berkembang
dengan sangat dinamis. Para aktivisnya sangat aktif dan berperan
cukup signifikan dalam kancah politik Kuwait. Dalam konteks

37
K. Katzman, Kuwait: Governance, Security, and U.S. Policy, (Washington:
Congressional Research Service, 2016).

90 | Politik Islam di Arab Saudi ...


politik nasional, kelompok oposisi dapat dibagi dalam tiga kekuatan
utama, yaitu kelompok oposisi Islam, gerakan populer yang terdiri
dari Forum Demokrasi Kuwait, Aliansi Demokrasi Nasional, dan
Gerakan Progresif Kuwait. Sementara itu, kelompok independen,
kebanyakan terdiri dari para aktivis, baik intelektual, pemuda mau-
pun suku yang mempunyai pandangan kritis terhadap pemerintah.38
Meskipun ketiga kelompok ini mempunyai tujuan yang sama
dalam hal reformasi politik, terdapat perbedaan yang menonjol di
antara mereka, terutama terkait dengan masalah kebijakan sosial-­
politik, agama, dan kebijakan luar negeri. Menurut Tetreault, secara
ideologis, aktivisme politik Kuwait didominasi oleh beberapa arus,
di antaranya adalah kelompok pedagang liberal yang berhaluan
nasionalis yang terinspirasi pemikiran Nasserisme dan Ba’tsisme,
kelompok ini berkembang sekitar tahun 1970-an, kemudian kelom-
pok yang berhaluan Islam, seperti Ikhwanul Muslimin (IM) dan
Salafi. Pada bagian ini, akan dikaji secara lebih mendalam tentang
kekuatan politik Islam yang perannya dirasa signifi­kan dalam kancah
politik Kuwait. Menurut Katzman, kelompok politik Islam sesuai
afiliasinya dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu kelompok
oposisi Islam yang terdiri dari faksi politik Islamic Constitutional
Movement (ICM) dan Salafi. Sementara itu, kelompok pro-monarki
terdiri dari kalangan Syiah dengan beragam alirannya.39
Gerakan ICM merupakan sayap politik IM yang cukup ber-
pengaruh dalam kehidupan sosial-politik masyarakat Kuwait. Hal
itu dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang simpati dengan
aktivitas sosial-politik ICM serta banyak dari anggota IM yang men-
calonkan diri menjadi anggota legislatif.40

38
S. Awadh, “Islamic Political Groups in Kuwait: Roots and Influences”. Unpublished
Doctoral Thesis, (Portsmouth: University of Portsmouth, 1999), 10–15.
39
Courtney Freer, “The Rise of Pragmatic Islamism in Kuwait’s Post Arab Spring
Opposition,” Project on U.S. Relations with the Islamic World at Brookings.
(Washington: Brookings Institution, 2015), 1–2.
40
Freer, “The Rise of Pragmatic Islamism”, 15–20.

Problematika Kekuatan Politik ... | 91


Secara historis, Gerakan IM dapat tersebar luas berkat persing-
gungan antara Ikhwanul Muslimin di Mesir dan kelompok Islam
Kuwait yang terjadi pada pertengahan abad ke-19 setelah pemimpin
gerakan Abdul Aziz Ali Al-Matu’ bertemu dengan Hassan Al-Banna
di Makkah. Pertemuan ini menginspirasi berdirinya jaringan perta-
ma Ikhwanul Muslimin di Kuwait pada tahun 1952 dengan nama
Jamiyyah Al-Irsyad Al-Islami yang kemudian berganti nama menjadi
Jamiyyah Al-Islah Al-Ijtimai. Atas saran Al-Banna jugalah Al-Matu’
menjadi anggota Majelis Konstituante Ikhwanul Muslimin. Melalui
majelis ini, Al-Matu’ banyak menjalin hubungan dengan jaringan
IM Mesir dan para pendukung Al-Banna, bahkan sebagian di an-
taranya ada yang mengikuti Al-Matu’ ke Kuwait untuk menyebarkan
paham IM di sana. Kondisi politik Mesir pada era 1954 yang represif
terhadap IM telah mengakibatkan eksodus besar-besaran sejumlah
tokoh dan aktivis IM ke sejumlah negara Teluk, termasuk Kuwait.41
Seiring berjalannya waktu, generasi pengikut Al-Mutu’ kemudian
menjadi pencetus lahirnya organisasi politik reformis ICM.
ICM didirikan sebagai gerakan politik Islam gaya baru di
Kuwait yang didirikan pada 30 Maret 1991 dengan ­tujuan untuk
melakukan reformasi pemerintah secara legal di sam­ping perannya
dalam bidang sosial dan amal. Menurut Islam Hassan dalam ar-
tikel Muslim Brotherhood in Kuwait, ke­munculan ICM di Kuwait
dilatarbelakangi oleh ­kekecewaan sebagian anggotanya terhadap IM
Internasional yang se­akan-akan diam dan membiarkan Irak melaku-
kan invasi ke Kuwait pada Agustus 1990. Oleh karena itu, gerakan
ini memutus hubungan dengan IM internasional, padahal sebelum-
nya IM Kuwait merupakan garda depan pendukung aktivisme IM

41
Nathan J. Brown, “Pushing Toward Party Politics? Kuwait’s Islamic Constitutional
Movement”. Carnegie Endowment for International Peace, No. 79, (Januari 2007),
http://carnegieendowment.org/2007/02/13/pushing-toward-party-politics-
kuwait-s-islamic-constitutional-movement-pub-19016.

92 | Politik Islam di Arab Saudi ...


internasional, seperti gerakan perlawanan melawan Israel dan perang
melawan sejumlah rezim Timur Tengah.42
Setelah Perang Teluk, ICM tumbuh dengan d ­ orongan sebagian
anggotanya untuk terus memperjuangkan reformasi melalui Social
Reformation Society (SRS) yang bergerak dalam bidang sosial dan
amal. Seiring berjalannya waktu, IM Kuwait mengalami perpecahan
tepatnya pada tahun 2003 dengan munculnya dua kubu kepemim­
pinan IM sehingga pada Pemilu 2003 kelompok tersebut mengalami
­kekalahan dan harus kehilangan tiga dari lima jatah kursi IM di
­parlemen.43
Setelah kekalahan pada pemilu, ICM melakukan restrukturisasi
organisasi secara drastis dengan ­menciptakan Majelis Umum ICM
yang beranggotakan 70 orang di samping perombakan struktur
ICM yang beranggotakan 21 orang untuk mengisi jabatan di kantor
urusan politik ICM. Menurut sebagian kalangan, restrukturisasi ini
dimaksudkan untuk membentuk organisasi atau faksi politik guna
menggalang kekuatan dalam menghadapi pemilu baru. ICM pun
merombak jajaran pimpinannya dengan memprioritaskan anggota
yang lebih muda dan moderat dibandingkan kalangan yang lebih
tua. Terbukti dengan perombakan pada masa awal tersebut, bebe­
rapa kali ICM dan kelompok yang tergabung dalam blok oposisi
memperoleh suara yang signifikan, seperti pada pemilu baru 2012,
2014, dan 2016. Di parlemen, ICM berkoalisi dengan kelompok
Islam lainnya untuk bekerja sama dalam merumuskan undang-­
undang dan kebijakan politik.
Sementara itu, gerakan Salafi di Kuwait dapat dibagi dalam
dua kelompok, yaitu Salafi puritan dan aktivis. Kaum Salafi puritan
lebih kuat dan berkembang di dalam negeri, sedangkan Salafi yang

42
Islam Hassan, “The Muslim Brotherhood in Kuwait: A Historical Analysis of
the Islamic Movement,” Munich, GRIN Verlag, 1–12, https://www.grin.com/
document/301286.
43
Ghabra, “Balancing State and Society,” 58–60.

Problematika Kekuatan Politik ... | 93


aktivis lebih banyak menggalang dukungan di luar negeri.44 Salafi
puritan cenderung kurang politis dan lebih memilih untuk fokus
pada ­penguatan keagamaan dan penegakan nilai Islam yang sesuai
dengan As-Salaf As-Salih. Sementara itu, Salafi yang aktivis sejak
lama terlibat dalam politik praktis di Kuwait. Bahkan, dalam Pemilu
Parlemen 2012, kelompok ini memperoleh suara yang signifikan
dan sempat mendominasi kursi parlemen. Hanya saja, dominasi dan
sikap represif monarki menjadikan kelompok ini terpinggirkan.
Kemunculan Salafi menjadi organisasi yang tertata pada per­
tengahan abad ke-19 adalah ketika sejumlah kalangan pemuda yang
mengikuti dakwah Salafi berkumpul dan menyusun program untuk
mengingatkan kembali masyarakat Kuwait akan pentingnya Islam
yang bersumber dari ajaran Rasul dan para sahabat. Mereka memu-
tuskan untuk tidak banyak berkecimpung dalam kancah politik,
tetapi lebih fokus pada bidang pendidikan dan amal.
Pada masa awal berdirinya negara Kuwait modern, orang Salafi
mendapatkan banyak pengikut di Kuwait dan mulai terjun ke d ­ unia
politik, khususnya dari kalangan pebisnis. Organisasi kelompok
Salafi yang pertama kali muncul adalah Revival of Islamic Heritage
Society (RIHS) di bawah pimpinan syekh dari Mesir, Abdurrahman
Abdul Khaliq. Tujuannya adalah agar RIHS dapat menjadi
kendaraan politik bagi kaum Salafi, terutama bagi para ulama dan
aktivis. Meskipun kelompok ini kerap dirugikan rezim, keberadaan-
nya di Kuwait ­sangat diuntungkan dan menikmati dukungan dari
­pengusaha Arab Saudi sebagai sekutu dekat monarki.
Selain RIHS, faksi Salafi lainnya yang juga ber­peran dalam
kancah politik Kuwait adalah Asosiasi Salafi Islam ­(At-Tajammu’
Al-Islami As-Salafi) yang didirikan pada tahun 1991 dengan tujuan
membangun moralitas masyarakat Kuwait setelah konflik yang
berkepanjangan dengan Irak. Isu yang kerap dide­ngungkan kelompok

44
Zoltan Pall, “Kuwait Salafism and Its Growing Influence in the Levant,” Carnegie
Endowment for International Peace (Washington: Carnegie Endowment for
International Peace, 2014), 1–38.

94 | Politik Islam di Arab Saudi ...


ini di parlemen adalah berkaitan dengan hukum Islam (syariat) dan
menjadikan syariat sebagai satu-satunya sumber hukum, melarang
minuman keras, dan perjudian. Di parlemen, Asosiasi Salafi Islam
merupakan kelompok Salafi terbesar yang dekat dengan kelompok
pro-monarki. Kelompok ini harus ber­saing untuk mendapatkan
pengaruh dari kalangan elite urban atau “Hadar” dengan ICM yang
juga mendapatkan dukungan signifikan dari kalangan urban.
Kemudian, yang terakhir adalah Partai Al-Ummah (Hizb Al-
Ummah) yang merupakan sayap politik dari kelompok Salafi. Faksi
ini didirikan pada tahun 2005 dengan sebagian besar anggotanya
berasal dari komunitas Arab Badui yang terinspirasi dari pemikiran
Syekh Al-Mutairi. Para pemimpin kelompok ini berusaha mendorong
gerakan Salafi di seluruh Kuwait agar dapat bertransformasi menjadi
kekuatan politik yang diperhitungkan. Di parlemen, pendukung
faksi ini kerap menyerukan kedaulatan rakyat dan pelaksanaan
demokrasi di parlemen. Karena pandangannya yang lebih moderat,
wajar kiranya jika banyak aktivis Salafi dari Partai Al-Ummah tidak
disukai oleh kalangan Salafi konservatif.
Jika melihat di antara kekuatan politik Islam yang tumbuh di
Kuwait, tampaknya, ICM merupakan kelompok yang paling siap
dalam menghadapi terpaan krisis dan dominasi kuat monarki karena
ICM lebih mengedepankan reformasi damai dalam aksinya ketim-
bang harus menempuh cara-cara kekerasan. Hal ini berbeda dengan
kelompok lain, seperti Syiah yang sudah terfragmentasi secara politis
dengan menjadi kelompok pro-monarki sehingga tidak memiliki
­organisasi politik yang cukup baik di tengah semakin meningkatnya
krisis politik Kuwait.

E. Kuwait dalam Dinamika Politik Regional dan


Global
Selain sebagai negara yang cukup dinamis dalam hal sosial-politik,
Kuwait merupakan negara yang mencoba mengedepankan politik
“high profile” dalam setiap kebijakan luar negerinya. Dalam konteks
politik regional, Kuwait kerap menunjukkan sikap pro-aktifnya dan

Problematika Kekuatan Politik ... | 95


menempatkan diri sebagai salah satu negara yang menjadi mediator
dalam berbagai persoalan dan krisis yang melanda sejumlah negara
Timur Tengah. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya Kuwait untuk
menjadi negara penyeimbang di kawasan Timur Tengah. Belum lama
ini, misalnya, Kuwait menjadi negara yang memfasilitasi pertemuan
antara Qatar dan Arab Saudi, serta sejumlah negara lain yang terlibat
konflik, seperti Yaman, Suriah, dan Libya.
Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, Kuwait menjadi
negara yang banyak terlibat aktif dalam hal pemberian bantuan ke-
manusiaan di daerah konflik dan mengatasi persoalan dunia, seperti
halnya isu Palestina-Israel. Sebagai negara yang terlibat dalam GCC,
Liga Arab, dan OKI, hubungan Kuwait dengan negara-negara Islam
yang terlibat konflik sangat kuat, terlebih dukungannya terhadap
perdamaian dan keamanan dunia. Belum lama ini, Kuwait menjadi
salah satu negara yang memprakarsai proposal damai Palestina-
Israel, serta rekonsiliasi antara kelompok Hamas dan Fatah. Karena
posisi­nya tersebut, wajar kiranya sebagian kalangan memandang
bahwa Kuwait bertindak sebagai penyeimbang kekuatan di tengah
krisis diplomatik antara Qatar dan GCC yang dimotori Arab Saudi.
Sebagai negara yang tergabung dalam aliansi anti-terorisme
yang digagas Arab Saudi. Persoalan terorisme di ­kawasan menja-
di salah satu isu penting yang kerap didengungkan Kuwait pada
sejumlah kesempatan. Bahkan, belum lama ini, sejumlah negara
menuduh bahwa beberapa menteri dan kerabat dekat monarki mu-
lai membantu dan mendanai kelompok yang terlibat aksi teror di
Suriah dan Irak. Akibatnya, pada Agustus 2016 lalu, AS menjatuh­
kan sanksi pembekuan aset terhadap pejabat Kementerian Urusan
Wakaf dan Islam Kuwait. Dukungan Kuwait terhadap kelompok
yang dianggap teroris tampaknya cukup beralasan, berhubung di
­antara negara Timur Tengah lainnya, Kuwait adalah rumah yang
aman bagi perkembangan gerakan Islam moderat ataupun funda-
mentalis, seperti Ikhwanul Muslimin dan Salafiyah.
Ada beberapa alasan yang mendorong Kuwait untuk menunjuk-
kan “high profile” dan banyak terlibat aktif dalam kebijakan politik

96 | Politik Islam di Arab Saudi ...


luar negerinya. Antara lain, kemampuan militer dan meningkatnya
ekonomi Kuwait dalam beberapa tahun terakhir melalui pendapatan
dan ekspor minyak telah memicu negara ini untuk banyak terlibat
aktif sebagai penyeimbang kekuatan di tengah mulai pudarnya
­pengaruh Qatar dan Arab Saudi di kawasan. Di samping itu, sebagai
sekutu dekat Saudi, Kuwait di bawah Emir Al-Jabir As-Sabah mem-
punyai posisi tawar yang begitu kuat untuk menyelesaikan berbagai
persoalan dan konflik yang melanda Timur Tengah saat ini.

F. Politik Islam dalam Bingkai Demokrasi Kuwait


Pengalaman Kuwait dalam berdemokrasi, terutama sejak masa
pascakemerdekaan, menjadikan Kuwait sebagai role model dalam
pelaksanaan politik demokrasi di kawasan terlepas dari kekurangan
yang melatarbelakanginya. Pengalaman demokrasi tersebut telah
memberikan ruang yang luas bagi warga dengan berbagai macam
kecenderungan politiknya, baik islamis, nasional-sekuler maupun
sosialis untuk terlibat aktif dalam proses demokratisasi yang ber-
langsung, khususnya melalui penyelenggaraan pemilu parlemen dan
peran aktif warga di media sosial.
Di antara gerakan atau organisasi politik terbesar yang meman-
faatkan momentum perkembangan demokrasi di Kuwait adalah
ICM atau Islamic Constitutional Movement yang merupakan
­afiliasi dari kelompok Ikhwanul Muslimin Kuwait. Seiring dengan
berjalannya waktu, ICM melakukan reorganisasi besar-besaran
melalui agenda reformasi dan memunculkan kepemimpinan baru
di tubuh orga­ nisasinya, terutama dari kalangan pemuda. Sejak
saat itu, po­ pularitas organisasi dan pengaruh politik semakin
meningkat, bahkan salah seorang petinggi ICM diangkat sebagai
menteri di kabinet yang baru terbentuk, kemudian tradisi tersebut
terus berlangsung sampai sekarang. Dari sini dapat dilihat bahwa
ICM mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya memajukan
demokrasi di Kuwait dengan terlibat langsung dalam pemerintahan.
Dengan kata lain, ICM adalah gerakan yang paling populer dan
kompromistis di­bandingkan kelompok Salafi yang tergabung dalam

Problematika Kekuatan Politik ... | 97


Revival of Islamic Heritage Society (RIHS) yang lebih reaksioner
ataupun dengan Asosiasi Kelompok Liberal dan Syiah yang kurang
populer di kalangan masyarakat perkotaan dan suku tradisional.
Berkembangnya gerakan maupun organisasi politik di Kuwait
tidak lepas dari tiga faktor pendukung yang melatarbelakanginya,
yaitu faktor Islam, tribalisme (kesukuan), dan kelas menengah.
Ketiga faktor inilah yang menjadikan kuatnya relasi antara warga
dan faksi politik tertentu. Meski dalam beberapa tahun t­erakhir
tren demokrasi Kuwait mengalami peningkatan, lambat laun
pada ­akhirnya Kuwait mengalami guncangan sebagai imbas dari
pengaruh dinamika politik regional, terutama setelah terjadinya
Arab Spring yang meluluhlantakkan sejumlah negara. Dalam hal
ini, dominasi rezim di Kuwait justru semakin kentara, isu korupsi
dan ­perebutan kekuasaan di lingkungan kerajaan serta diskrimina-
si terhadap kelompok suku dan imigran mengakibatkan semakin
maraknya aksi protes yang berujung pada penangkapan para aktivis
pro-reformasi, khususnya dari kalangan kelompok Islam. Namun,
banyak kalangan memandang bahwa demokrasi Kuwait ke depan
akan semakin berkembang, terlebih pemerintah monarki yang akan
memberlakukan kebebasan berpolitik bagi seluruh komponen warga
melalui sejumlah amendemen konstitusi serta peran Kuwait dalam
kancah politik internasional yang mengedepankan politik “high
profile” dalam setiap kebijakan luar negerinya.

Daftar Pustaka
AlFozaie, Naser. “Tribalism in Kuwait: Impacts on the Parliament.” Master
Thesis, Department of International Environment and Development
Studies, Norwegian University of Life Sciences, (Oslo: Norwegia,
2016). Diakses pada Agustus 2017. https://core.ac.uk/download/
pdf/154672692.pdf.
Al-Kandari, Yagoub. Tribalism, Sectarianism, and Democracy in Kuwaiti Cul-
ture. Kuwait: Kuwait University Press, 2014.

98 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Awadh, S. “Islamic Political Groups in Kuwait: Roots and Influences”.
Unpublished Doctoral Thesis, Portsmouth: University of Portsmouth,
1999, 10–15.
Brown, Nathan J. “Pushing Toward Party Politics? Kuwait’s Islamic Constitu-
tional Movement”. Carnegie Endowment for International Peace, No.79,
January 2007, 3–20, diakses pada 15 Mei 2017. http://carnegieendow-
ment.org/2007/02/13/pushing-toward-party-politics-kuwait-s-islam-
ic-constitutional-movement-pub-19016.
Casey, Michael S. The History of Kuwait. Westport, CT: Greenwood Press,
2007.
Defense Language Institute Foreign Language Centre. "Cultural Orientation
Arab Kuwait." Diakses pada Agustus 2017. https://www.dliflc.edu/cul-
tural-orientation-arabic-kuwait/.
Diwan, Kristin Smith. New Generation Royals and Succession Dynamics in the
Gulf State. Washington: Arab Gulf Institute, 2017.
Don Peretz. State of Kuwait. Diakses 16 April 2016. https://www.scholastic.
com/teachers/articles/teaching-content/state-kuwait/.
Etheridge, Jamie. “Hallmarks of Kuwait’s Middle Class”. Kuwait Times,
13 Juni 2014. http://news.kuwaittimes.net/hallmarks-kuwaits-mid-
dle-class/.
Freer, Courtney. “The Rise of Pragmatic Islamism in Kuwait’s Post Arab Spring
Opposition”. Project on U.S. Relations with the Islamic World at Brookings.
Washington: Brookings Institution, 2015, 1–2.
“Focus Group Discussion (FGD)”. Narasumber Tatang Budie Utama Razak,
Duta Besar RI untuk Kuwait, Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 20
Juli 2017.
Ghabra, Shafeeq “Balancing State and Society: The Islamic Movement in
Kuwait”. Middle East Policy Council, 5 No. 2 (1997), 58–60.
Ghabra, Shafeeq. “Kuwait at the Crossroads of Change or Political Stagna-
tion”. Middle East Institute Policy paper Series. Washington: Middle East
Institute, 2014, 1–3.
Hassan, Islam. “The Muslim Brotherhood in Kuwait: A Historical Analysis of
the Islamic Movement”, Munich, GRIN Verlag,1–12, https://www.grin.
com/document/301286.

Problematika Kekuatan Politik ... | 99


Heni, Fatiha Dazi. “The Arab Spring Impact on Kuwait ‘Exceptionalism’.
International Journal of Archaeology and Social Sciences in the Arab Penin-
sula. Chatillon: Arabian Humanities, 2015, 1–78.
Hiramatsu, A. “The Changing Nature of the Parliamentary System in Kuwait:
Islamists, Tribes, and Women in Recent Elections.” Kyoto Bulletin of
Islamic Area Studies 4 No. 1&2 (2011).
International Monetary Fund, World Economic Outlook, October 2016,.
Diakses pada Juli 2017. https://www.imf.org/en/Publications/WEO/
Issues/2016/12/31/Subdued-Demand-Symptoms-and-Remedies.
Katzman, K. 2016. Kuwait: Governance, Security, and U.S. Policy. Washing-
ton: Congressional Research Service, 2016.
"Kuwait’s Constitution of 1962," Reinstated in 1992. Diakses pada Agustus
2017. https://www.constituteproject.org/constitution/Kuwait_1992.pd-
f?lang=en.
Kuwait Ethnic Groups, Global Connections the Middle East. 2002. https://
www.pbs.org/wgbh/globalconnections/mideast/maps/demotext.html.
“Kuwait Population 2017”. Diakses pada September 2017. http://countryme-
ters.info/en/Kuwait.
Kuwait Population 2017, Central Statistical Bureau. https://www.csb.gov.kw/
Default_EN. January 2017.
“Kuwait Study Group: The Experience of Parliamentary Politics in the GCC”.
London: Chatham House, 2012.
Kinninmont, Jane. “Kuwait’s Parliament: An Experiment in Semi-democ-
racy”, Briefing paper, Chatham House, No.03/2012, Middle East and
North Africa Programme, August 2012, 1–16.
Long, David E., Bernard Reich, dan Mark Gasiorowski, ed. The Government
and Politics of the Middle East and North Africa (6th Edition) 6th (sixth)
Revised Edition. Colorado: Westview Press, 2010.
Olimat, Muhamad S. “Women and Politics in Kuwait”. Journal of Internatio­
nal Women’s Studies, 11 No. 2 (September 2009), 199–212.
Pall, Zoltan. “Kuwait Salafism and Its Growing Influence in the Levant”.
Carnegie Endowment for International Peace. Washington: Carnegie
­Endowment for International Peace, 2014, 1–38.

100 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Bab

4
Problematika Kekuatan Politik Islam
di Uni Emirat Arab
M. Hamdan Basyar

A. Gambaran Umum Uni Emirat Arab


Uni Emirat Arab (UEA) merupakan negara federal di Timur Tengah
yang terdiri dari tujuh keemiran (emirates). Ketujuh Emirat itu
adalah Abu Dhabi, Dubai, Sharjah, Ajman, Umm al-Qaiwain, Ras
al-Khaimah, dan Fujairah.1 Abu Dhabi adalah ibu kota federasi Uni

1
“Ras al-Khaimah” masuk menjadi wilayah Uni Emirat Arab berdasarakan
Keputusan Dewan Tinggi Federal ( ) No. 2/1972, setelah
Ras al-Khaimah bergabung ke dalam negara Uni Emirat Arab. Lihat United Arab
Emirates Constitution, Pasal 1. Sebelumnya, Pasal 1 berbunyi, “The Federation is
composed of the following Emirates: Abu Dhabi, Dubai, Sharjah, Ajman, Umm
al-Quwain, and Fujairah.”

| 101
Emirat Arab dan merupakan wilayah terbesar dari tujuh emirat yang
tergabung dalam UEA. Negara ini terletak di perbatasan dengan
Kerajaan Arab Saudi, Kesultanan Oman, dan Teluk Arab. UEA ter-
diri dari 200 pulau dan memiliki garis pantai sejauh 700 kilometer.
Sebelum menjadi negara merdeka, UEA merupakan wilayah
kekuasaan Inggris. Kemudian, ada kesepakatan yang dicapai antara
penguasa setempat dari enam negara Emirat (Abu Dhabi, Dubai,
Sharjah, Umm al-Qaiwain, Fujairah, dan Ajman) untuk memben-
tuk sebuah negara. Secara resmi, negara Uni Emirat Arab didirikan
pada 2 Desember 1971. Emirat ketujuh, Ras al-Khaimah, masuk ke
dalam federasi UEA pada tahun 1972. Sejak terbentuknya negara
UEA, mereka berusaha membentuk identitas nasional yang berbeda
dengan negara di sekitarnya. Sistem politik UEA dirancang untuk
mempertahankan warisan lama yang disesuaikan dan digabungkan
dengan struktur pemerintahan modern.
Secara ekonomi, negara federal ini mengalami ­perubahan yang
signifikan. Sebelum ditemukannya minyak, kawasan ini bergantung
pada ekonomi sederhana, terutama pada pertanian nomaden, budi
daya tanaman kurma, perikanan, mutiara, dan pelayaran. Namun,
penemuan minyak pada tahun 1930-an telah mengubah kehidupan
sosial dan ekonomi di UEA. Dalam waktu singkat, produk domestik
bruto (PDB) negara Emirat meningkat 236 kali lipat lebih, yaitu
dari 6,5 miliar dirham Uni Emirat Arab (AED) pada tahun 1971
menjadi 1.540 miliar AED pada tahun 2014.2
 Pemerintah Uni Emirat Arab mengklaim bahwa mere­ka memi-
liki cadangan minyak terbesar ke-7 di dunia. Diperkira­kan cadangan
minyak yang dimiliki UEA adalah 97,8 miliar barel, sedangkan
cadangan gas bumi sebesar 215 triliun kaki kubik. Ini berarti UEA
memiliki 4% cadangan minyak dunia dan 3,5% cadangan gas bumi.3

2
“AED adalah dirham Uni Emirat Arab (mata uang resmi Uni Emirat Arab)”,
diakses pada 7 Maret 2017, http://government.ae/en/economy.
3
“Cadangan minyak UEA adalah ke-8 di dunia”, diakses pada 7 Maret 2017,
http://government.ae/en/economy dan http://geab.eu/en/top-10-countries-with-
the-worlds-biggest-oil-reserves/, diakses pada 16 Oktober 2017. Ada sumber

102 | Politik Islam di Arab Saudi ...


  Dengan limpahan minyak dan gas bumi, pemerintah UEA
dapat membangun fisik dan kehidupan sosial kemasya­ rakatan.
Mereka melakukan perubahan yang signifikan di bidang industri
dan infrastruktur. Dengan cara itu, p ­ enguasa UEA mengusahakan
masyarakatnya untuk maju dan sejah­tera.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa dinamika sosial-politik di
Uni Emirat Arab tidak lepas dari aktivitas politik Islam seperti halnya
yang terjadi di negara-negara Arab. Kelompok oposisi Islam terbesar
di UEA adalah Al-Islah yang bertujuan melakukan perubah­an rezim.
Al-Islah (the Reform and Social Guidance) terdaftar sebagai LSM di
UEA pada tahun 1974. Aktivitas awal organisasi ini adalah berkaitan
dengan bidang olah raga, budaya, amal, dan aktivitas sosial. Sebagai
organisasi kemasyarakatan yang mendapat lisensi dari Kementerian
Tenaga Kerja dan Sosial UEA, Al-Islah memiliki hubungan baik de­
ngan pegawai pemerintah selama dua dekade sejak awal berdirinya.
Selama periode itu, kelompok Al-Islah tidak pernah menggunakan
cara-cara kekerasan dan agresif.4
Dalam perkembangannya, organisasi tersebut mengembang-
kan agenda reformasi paralel dengan agenda sosialnya. Aktivitas ini
banyak digunakan oleh gerakan politik Islam lain di dunia Arab.
Terinspirasi oleh nilai-nilai politik Islam moderat, Al-Islah ­bertujuan

lain menyebutkan cadangan minyak UEA adalah terbesar ke-8 di dunia, http://
explorationanddevelopment.energy-business-review.com/news/top-ten-countries-
with-worlds-largest-oil-reserves-5793487, diakses pada 16 Oktober 2017 dan
http://www.worldatlas.com/articles/the-world-s-largest-oil-reserves-by-country.
html, diakses pada 16 Oktober 2017. Di dalam Organisasi Pengekspor Minyak
(OPEC), cadangan minyak Uni Emirat Arab menduduki peringkat ke-6, setelah
Venezuela (302,25 miliar barel), Arab Saudi (266,21 miliar barel), Iran (157,20
miliar barel), Irak (148,77 miliar barel), dan Kuwait (101,50 miliar barel). Lihat
http://www.opec.org/opec_web/en/data_graphs/330.htm, diakses pada 16
Oktober 2017.
4
Pekka Hakala, “Opposition in the United Arab Emirates”. Quick Policy Insight,
(November 2012). http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/briefing_
note/join/2012/491458/EXPO-AFET_SP%282012%29491458_EN.pdf.

Problematika Kekuatan Politik ... | 103


menyediakan petunjuk moral dan reformasi politik bagi warga nega-
ra UEA dan para anggota legislatif.5
Bagian tulisan ini ingin mengkaji bagaimana kelompok Islam
berkiprah di Uni Emirat Arab. Untuk memahami hal tersebut, akan
dijelaskan terlebih dahulu bagaimana sejarah kehidupan negara
emirat, kepolitikan yang ada di sana, juga keadaan sosial ekonomi
masyarakat emirat.

B. Sejarah dan Dinamika Sosial-Politik


Pada periode pra-Islam dan awal Islam, wilayah UEA kurang mena­
rik untuk dijadikan hunian. Sepanjang pantai Abu Dhabi sampai ke
sebagian pedalaman, tanahnya merupakan “dataran garam” (sabkha).
Daerah itu relatif kosong. Pantainya sangat tidak ramah dan tidak
menarik untuk segala bentuk permukiman karena sebagian besar
wilayahnya adalah sabkha. Ketika hujan, sabkha ini hampir tidak
dapat dilalui oleh pelancong. Selanjutnya, laut lepas pantai sering
kali sangat dangkal sehingga kapal sulit untuk berlabuh. Akibatnya,
pada periode pra-Islam dan Islam, wilayah sebelah barat Abu Dhabi
sampai ke Semenanjung Qatar jarang dihuni oleh manusia. Seba-
liknya, di sebelah timur Abu Dhabi, yakni di Dubai dan Sharjah,
pelabuhannya lebih sering dikunjungi.6
Pada perkembangan berikutnya, wilayah Uni Emirat yang per-
batasan maritimnya berada di wilayah Teluk Arab, telah menarik para
migran dan pedagang dari tempat lain. Pada abad ke-18, Portugal
dan Belanda sempat memperluas kepemilikan mereka ke wilayah
tersebut, tetapi kemudian mundur seiring dengan pertumbuhan
kekuatan Angkatan Laut Inggris di sana. Wilayah itu tidak hanya
menarik pendatang dari Eropa, tetapi juga menarik para pedagang
dari India dan China.

5
Hakala, “Opposition”.
6
Geoffrey R. King, “The Coming of Islam and the Islamic Period in the UAE,”
dalam United Arab Emirates: A New Perspective, ed. Ibrahim Al Abed dan Peter
Hellyer, (London: Trident Press Ltd., 2001), 70.

104 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Pada abad ke-19, Inggris menandatangani serangkaian kesepa-
katan dengan para penguasa di emirat. Kesepakatan itu menghasilkan
wilayah yang dikenal sebagai “Negara-negara Trucial” (disebut juga
sebagai “Trucial Oman” atau “Trucial Syeikhdoms”). Penguasa emirat
setuju untuk menyerahkan wilayahnya kepada Inggris. Mereka juga
tidak akan melakukan hubungan dengan pemerintah asing mana
pun selain Inggris. Bila mereka akan bekerja sama dengan pemerin-
tah lain, perlu persetujuan terlebih dahulu dari Inggris. Sebagai im-
balannya, Inggris berjanji untuk melindungi pantai wilayah emirat
dari semua agresi melalui laut dan memberikan bantuan jika terjadi
serangan di wilayah darat.7
Setelah Perang Dunia II, negara-negara yang tergabung dalam
“Trucial Syeikhdoms” memperoleh kemerdekaan. Bahrain me­
nyatakan merdeka pada 15 Agustus 1971; Qatar mendeklarasikan
kemerdekaan pada 3 September 1971. Kemudian, enam keemiran
bergabung dalam Uni Emirat Arab (UEA) dan menyatakan merdeka
pada 2 Desember 1971. Wilayah UEA bertambah besar setelah Ras
al-Khaimah ikut bergabung pada tahun 1972. Posisi wilayah UEA
berada di pantai Teluk Arab. Di wilayah daratan, UEA berbatasan
dengan Arab Saudi dan Oman.
Pada tahun 2017, diperkirakan jumlah penduduk UEA adalah
9.423.740 jiwa. Dari jumlah tersebut, hanya 10% yang menjadi
warga negara UEA dan sisanya terdiri dari ekspatriat.8 UEA memi-
liki tingkat migrasi bersih tertinggi ke-7 di dunia. Menurut un-
dang-undang di sana, setiap ekspatriat diperbolehkan mengajukan
diri menjadi warga negara UEA setelah mereka tinggal di negara
tersebut selama 20 tahun dengan syarat mereka tidak pernah di-

7
Lihat, “United Arab Emirates,” diakses pada 24 Oktober 2017, https://www.
britannica.com/place/United-Arab-Emirates; http://www.uae-embassy.org/about-
uae/history, diakses pada 29 September 2017.
8
Lihat, “United Arab Emirates Population”, diakses pada 30 Oktober 2017, http://
worldpopulationreview.com/countries/united-arab-emirates-population/. Lihat ju­
ga wawancara dengan Ubaidillah, Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Uni
Emirat Arab. Wawancara dilaksanakan di Makkah, Arab Saudi, pada 6 April 2017.

Problematika Kekuatan Politik ... | 105


hukum karena mela­kukan kejahatan dan mereka dapat berbicara
bahasa Arab. Penduduk ekspatriat terbesar di UEA berasal dari Asia
Selatan (58%), diikuti oleh orang Asia lainnya (17%), dan ekspatriat
Barat (8,5%). UEA juga memiliki ketidakseimbangan gender ter­
tinggi di dunia, dengan rasio laki-laki/perempuan adalah 2,20 atau
2,75 untuk kelompok usia 15–65 tahun.9
Secara formal, negara Uni Emirat Arab menganut agama Islam.
Hal itu sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi UEA, pasal 7,
yang menyebutkan, “Islam adalah agama resmi Uni. Syariat Islam
merupakan sumber hukum utama dalam Uni. Bahasa resmi Uni
adalah bahasa Arab.”10 Tidak ada kepastian berapa jumlah penduduk
muslim di UEA. Beberapa sumber menyebutkan penduduk muslim
di UEA dengan jumlah berbeda. Ada yang menyebutkan jumlah
muslim di sana adalah 96% dari seluruh penduduk UEA;11 ada
juga menyebut 76%;12 atau ada juga yang menyebutkan jumlah
penduduk muslim di UEA adalah 62%.13 Yang jelas di UEA ada
penganut agama selain Islam. Menurut sumber resmi pemerintah
UEA, di sana ada toleransi yang cukup tinggi. Mereka mengklaim:
“Toleransi adalah sifat baik dan bagian tidak terpisahkan dari kebu-
dayaan Islam. Hal tersebut mencakup semua lingkup kehidupan:
pribadi, organisasi, dan negara. Dengan lebih dari 200 kewargane-
garaan yang hidup rukun dan sukses, UEA adalah contoh nyata
negara yang toleran dan inklusif. Pemerintah Federal dengan kuat
mendukung terciptanya rasa setia kawan dan saling memahami
sebagai nilai-nilai inti dalam masyarakat.”14

9
“United Arab Emirates Population”, 1–2.
10
“United Arab Emirates’ Constitution of 1971 with Amendments through 2004,”
(New York : Oxford University Press, 2017). http://www.constituteproject.org.
11
“Religious Beliefs and Spirituality in United Arab Emirates,” Diakses pada 1
Agustus 2019, https://www.studycountry.com/guide/AE-religion.htm.
12
“United Arab Emirates People,” diakses pada 20 November 2017, https://theodora.
com/wfbcurrent/united_arab_emirates/united_arab_emirates_people.html.
13
Jill Ann Crystal and J.E. Peterson. “United Arab Emirates: languages and Religion,”
Encyclopedia Britanica. Diakses pada 8 Agustus 2019, https://www.britannica.
com/place/United-Arab-Emirates/Languages-and-religion.
14
“Government of Future”.

106 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Sumber: Country Watch (2014)
Gambar 4.1 Peta Uni Emirat Arab

Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, masyarakat di wilayah


Teluk itu hidup dari industri mutiara. Banyak penduduk yang semi
nomaden. Pada musim panas, mereka di pantai dan mengembangkan
produk mutiara. Namun, pada musim dingin, mereka berpindah ke
wilayah tengah. Kemudian, kehidupan mereka kurang membaik ke-
tika ada depresi ekonomi dunia pada akhir 1920-an dan awal 1930-
an. Usaha mutiara mereka menjadi lesu, apalagi ditambah d ­ engan
penemuan mutiara budi daya Jepang yang ikut merusak industri
mutiara mereka.
Pada awal 1930-an, tim perusahaan minyak pertama melakukan
survei geologi di Emirat. Sekitar tiga puluh tahun kemudian, 1962,
sudah ada hasil minyak mentah yang diekspor dari Abu Dhabi.
Kondisi itu mendorong peningkatan ekonomi dari sektor minyak.
Pada tahun 1966, Syekh Zayed bin Sultan Al-Nahyan terpilih se-
bagai penguasa Abu Dhabi. Di bawah kepemimpinan Syekh Zayed,

Problematika Kekuatan Politik ... | 107


pendapatan minyak terus membaik. Mereka dapat melakukan
perbaikan infrastruktur dengan pembangunan sekolah, perumahan,
rumah sakit, dan jalan-jalan di seluruh wilayah Abu Dhabi.
Sementara itu, Syekh Rashid bin Saeed Al-Maktoum, pengua-
sa Dubai sejak 1939, menggantikan pendapatan mutiara dengan
mendirikan industri perkapalan. Pada tahun 1969, saat Emirat
Dubai mulai mengekspor minyak, Syekh Rashid memusatkan
perhatiannya pada pengembangan program untuk meningkatkan
kualitas hidup rakyatnya dengan pendapatan minyak yang semakin
membaik.
Pada bulan Januari 1968, Pemerintah Inggris mengumumkan
untuk mengakhiri hubungan perjanjiannya dengan “Negara-negara
Trucial,” dan dengan dua Syeikhdom lainnya di Teluk (Bahrain dan
Qatar) pada akhir 1971. Sejak saat itu, keluarga penguasa di tujuh
Emirat, bersama dengan Bahrain dan Qatar, terlibat dalam serang-
kaian pertemuan dan negosiasi yang panjang untuk membentuk
suatu kesepakatan bersama. Awalnya, ada keinginan untuk bersatu
dalam struktur politik bernegara setelah penarikan Inggris dari sana.
Negosiasi ini untuk membentuk formasi federasi sembilan wilayah
(termasuk Bahrain dan Qatar). Negosiasi difasilitasi oleh Kuwait dan
Arab Saudi. Akhirnya, mereka hanya berhasil menyatukan tujuh
wilayah keemiran karena Bahrain dan Qatar sudah terlebih dahulu
mendeklarasikan kemerdekaan.15
Sejak penemuan minyak, ekonomi Emirat lebih banyak dito-
pang oleh sektor minyak dan gas alam. Awal 1970-an, pertumbuhan
ekonomi Uni Emirat sangat fenomenal. Indust­ri minyak dan gas
dikelola dengan baik menggunakan teknologi terba­ru. Hal ini diper-
tahankan terus untuk meningkatkan efisiensi produksi.

15
Diskusi dan negosiasi pembentukan negara Uni Emirat Arab lebih rinci dapat
dilihat pada Ibrahim Al Abed, “The Historical Background and Constitutional
Basis to the Federation”. Dalam United Arab Emirates: A New Perspective, diedit
oleh Ibrahim Al Abed dan Peter Hellyer (London: Trident Press Ltd., 2001), 121–
144.

108 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral UEA,
kapasitas produksi minyak harian maksimum Emirat adalah 2 juta
barel per hari. Kapasitas produksi terpasangnya lebih dari 3 juta barel
per hari. Pada tahun 2000, cadangan minyak Emirat adalah 98,8
miliar barel. Di dunia Arab, jumlah itu menempatkan UEA di posisi
ketiga setelah Arab Saudi dan Irak. Cadangan minyak di Emirat
diperkirakan hampir 10% dari cadangan minyak dunia yang telah
terbukti pada bulan Juni 2000. Berdasarkan produksi minyak harian
saat ini sebesar 2,2 juta barel per hari, diperkirakan cadangan minyak
di UEA akan bertahan selama lebih dari 122 tahun.16
Sementara itu, cadangan gas Emirat diperkirakan mencapai 6
triliun meter kubik pada tahun 2000. UEA diperkirakan memiliki
cadangan gas alam setara dengan 4% gas dunia. UEA memegang
cadangan gas alam terbesar keempat di dunia. Produksi gas hari-
an diperkirakan pada tahun 1999 menjadi 2.940 juta kaki kubik.
Cadangan gas Emirat diperkirakan akan bertahan lebih dari 60
tahun.17 Oleh karena itu, UEA memiliki cadangan minyak dan gas
yang besar, yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi
jangka panjang.
Terdapat tiga kategori sumber daya mineral lainnya di Emirat,
yaitu batuan, pasir dan tanah, serta logam. Eksploitasi mineral ter-
utama terbatas pada batuan dan pasir. Batu dan kerikil digunakan
untuk konstruksi. Batu kapur, pasir, marl, dan gipsum digunakan
untuk pembuatan semen. Ada juga pertambangan mineral kromit
skala kecil di wilayah Fujairah.
UEA memiliki salah satu ekonomi paling terbuka di dunia.
Tradisi menyambut bisnis dan perdagangan itu bisa kembali ke
sejarah awal wilayah Teluk Arab ketika kapal-kapal berlayar dari
Eropa ke India. UEA terus menjadi pusat strategis dengan zona
bebas yang ramah bisnis dan ekonomi yang tumbuh dengan cepat.
Negara ini telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Pertumbuhan PDB rata-rata selama 2000 sampai 2006 di Emirat

16
Shihab, “Economic Development”, 250.
17
Shihab, “Economic Development”, 5–10.

Problematika Kekuatan Politik ... | 109


sekitar 8,4%. Ini tertinggi di antara negara anggota Dewan Kerja
Sama Teluk (GCC) yang rata-rata 6,5%. Produk Domestik Bruto
(PDB) Emirat untuk tahun 2014 adalah 419 miliar dolar.18
Ekspor minyak Emirat mencapai sekitar 30% dari total PDB
negara Teluk tersebut. Melihat kondisi harga minyak yang t­erus
turun, UEA memangkas produksi minyak 139 ribu barel per
hari.19 Selain itu, UEA melakukan penata layanan energi, untuk
mengembangkan dan mendiversifikasi ekonominya, mempercepat
pengembangan cadangan tambahan hidrokarbon yang diharapkan
dapat berkontribusi pada pengembangan dan implementasi sumber
energi alternatif.
Perubahan kebijakan pemerintah Emirat tentang pengelolaan
minyak itu untuk menanggapi keadaan harga minyak dunia yang
tidak stabil. Dalam sepuluh tahun terakhir, harga minyak dunia
cenderung mengalami penurunan. Apabila pada pertengahan
2008, harga minyak mencapai 140 dolar Amerika per barel, pada
pertengaha­n­2017, harga minyak dunia berkisar 50 dolar Amerika
per barel. Kondisi saat ini lebih baik dibandingkan pada awal tahun
2016 ketika harga minyak dunia sampai di bawah 40 dolar Amerika
per barel.20 Gambar 4.2 menunjukkan naik turunnya harga minyak
dunia selamat 10 tahun terakhir.
Untuk mengatasi ketergantungan pada minyak, UEA melun-
curkan program diversifikasi dan liberalisasi ekonomi. Mereka ingin
mengubah ekonominya dari ekonomi konvensional padat tenaga
kerja menjadi ekonomi yang berdasarkan pengetahuan, teknologi,
dan tenaga kerja terampil. Pemerintah federal dan pihak swasta
Emirat telah banyak berinvestasi di berbagai sektor, seperti produksi

18
“UAE Economy,”diakses pada 29 September 2017, http://www.uae-embassy.org/
about-uae/uae-economy.
19
“Uni Emirat Arab Pangkas Produksi Minyak 139 Ribu Barel,” (Oktober
2017), diakses pada 24 Oktober 2017, https://www.cnnindonesia.com/ekono
mi/20171002092931-85-245486/uni-emirat-arab-pangkas-produksi-minyak-
139-ribu-barel/.
20
“Markets Crude Oil”.

110 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Sumber: "Crude Oil" (2017)
Gambar 4.2 Grafik Harga Minyak West Texas Intermediate dalam Sepuluh
Tahun (2007–2017)

aluminium, pariwisata, penerbangan, perdagangan, dan telekomu-


nikasi.
Visi Ekonomi Abu Dhabi 2030 dan Rencana Strategis Dubai
2015 adalah bagian usaha untuk menuju diversifikasi ekonomi.
Strategi tersebut adalah untuk meningkatkan investasi di sektor
industri dan sektor yang berorientasi ekspor lainnya, termasuk
industri berat, transportasi, petrokimia, pariwisata, teknologi infor-
masi, telekomunikasi, energi terbarukan, penerbangan dan ruang
angkasa, serta layanan minyak dan gas. Banyak yang telah dicapai
di bidang ini, terutama di bidang satelit dan telekomunikasi, sektor
penerbangan, dan energi terbarukan.21
Sementara itu, pemerintah federal, meluncurkan Visi 2021
yang bertujuan untuk menempatkan inovasi, penelitian, sains, dan
teknologi di pusat ekonomi berbasis ilmu pengetahuan. Mereka
berharap akan mencapai ekonomi yang produktif dan kompetitif
21
“UAE Economy”.

Problematika Kekuatan Politik ... | 111


pada saat ulang tahun emas berdirinya Uni Emirat Arab pada tahun
2021. Secara umum, visi tersebut ingin menjadikan UAE sebagai
salah satu ­negara terbaik di dunia pada peringatan 50 tahun Emirat.
Untuk menerjemahkan visi itu menjadi kenyataan, ada pilar-pilar
yang dipetakan ke dalam enam prioritas nasional. Hal itu merupa-
kan sektor fokus utama tindakan pemerintah UEA.22
Pariwisata berperan besar dalam keberhasilan diversifi­ kasi
ekonomi. Pada tahun 2014, ada 156 hotel berbintang di Abu Dhabi
yang mencatat tahun terbaik mereka dalam hal jumlah pengunjung.
Di Dubai, ada 634 hotel yang juga mengalami peningkatan signifi-
kan dalam menerima tamu pengunjung. Dua maskapai penerbangan
kelas dunia UEA, yaitu Ettihad dan Emirates, telah ikut memainkan
peran utama dalam kemajuan industri pariwisata. Pemerintahan
Dubai mengharapkan industri penerbangan akan menyumbang
32% terhadap PDB-nya pada tahun 2020.23

C. Peta Kekuatan Politik


Secara ekonomi, UEA melakukan berbagai terobosan perubahan
dengan Visi 2021 atau rencana perubahan yang lainnya. Namun, se-
cara politik, UEA nyaris tidak melakukan perubahan. Memang, pola
sistem politik UEA dirancang untuk mempertahankan warisan lama
yang disesuaikan dan digabungkan dengan struktur pemerintah­an
modern. Konstitusi mereka yang ada sejak merdeka, kemudian di­
buat permanen pada tahun 1996. Menurut Konstitusi UEA, bentuk
pemerintahannya adalah “monarki federal”.24 Presiden dan wakil
presiden dipilih dari para emir yang berkuasa di tujuh emirat.

22
Visi 2021 Uni Emirat Arab (UEA) diluncurkan pada penutupan sidang Kabinet
tahun 2010, oleh Syekh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, Wakil Presiden dan
Perdana Menteri UEA, Penguasa Dubai. Secara lengkap visi 2021 itu dapat dilihat
pada situs www.vision2021.ae
23
“UAE Economy”.
24
“Monarki federal” adalah gabungan beberapa monarki dalam satu negara dengan
satu raja sebagai kepala negara federasi, tetapi tiap-tiap negara bagian memper-
tahankan monarki yang berbeda. Lihat, https://ipfs.io/ipfs/QmXoypizjW3W-
knFiJnKLwHCnL72vedxjQkDDP1mXWo6uco/wiki/Federal_monmonar.html,

112 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Uni Emirat Arab (UEA) mengenal lima kelompok kekuasaan.
Pertama, kelompok kekuasaan tertinggi adalah apa yang disebut
sebagai “Dewan Tinggi Federal atau Federal Supreme Council—
FSC ( )”. Dewan ini terdiri dari tujuh emir
dari tujuh keemiratan yang tergabung dalam UEA. FSC adalah
badan konstitusional tertinggi di UEA. Dewan ini menetapkan
kebijakan umum dan sanksi undang-undang federal. FSC juga
memilih Presiden (dan Wakil Presiden) dari para emir tujuh emirat.
Pertemuan ini dilaksanakan setiap lima tahun untuk mengukuhkan
kembali presiden petahana atau memilih yang baru. Di antara para
emir, dua emir, yaitu Emir Abu Dhabi dan Emir Dubai memiliki
hak veto dalam pemilihan presiden.25
Kedua, jabatan presiden dan wakil presiden ( ).
Dalam sejarah UEA yang menjabat presiden adalah Emir Abu Dhabi
dan yang menjabat wakil presiden adalah Emir Dubai. Presiden
menunjuk anggota kabinet. Presiden juga menunjuk perdana
­menteri dan wakil perdana menteri. Ketiga, jabatan dewan menteri
­( ). Dewan menteri ini dipimpin oleh perdana men-
teri yang dirangkap oleh wakil presiden. Keempat, kekuasaan legislatif,
ada Dewan Nasional Federal atau Federal National Council—FNC
( ). Dewan ini memiliki 40 anggota, yang ter­
bagi menjadi dua bagian. Setengah anggota FNC (20 orang) ditun-
juk oleh tujuh emir mewakili wilayahnya dan setengah (20 orang)
anggota yang lainnya dipilih langsung oleh rakyat. Masa jabatan
mereka adalah empat tahun. Pasal 68 Konstitusi UEA menyebutkan
bahwa 40 kursi anggota FNC itu didistribusikan ke tiap-tiap emirat
dengan komposisi berikut: wilayah Abu Dhabi mendapatkan 8 kur-
si, Dubai 8 kursi, Sharjah 6 kursi, Ras al-Khaimah 6 kursi, Ajman
4 kursi, Umm al-Quwain 4 kursi, dan Fujairah 4 kursi.26 Kelima,

diakses pada 19 Januari 2018. Dalam kaitan kajian ini, UEA adalah gabungan
beberapa emirat dalam satu negara dengan kepala negara yang disebut presiden.
25
Country Watch, “United Arab Emirates,” 63.
26
Sebelum Ras al-Khaimah bergabung ke dalam UEA, jumlah anggota FNC adalah
34 orang. Kemudian, berdasarkan Keputusan Dewan Tinggi Federal (FSC) No. 3

Problematika Kekuatan Politik ... | 113


kekuasaan yudikatif ( ). Sistem hukum UEA didasar-
kan pada sistem syariat dan pengadilan sipil. Independensi peradilan
dijamin oleh Konstitusi UEA. Hakim ditunjuk oleh presiden.
Presiden UEA saat ini adalah Syekh Khalifah bin Zayed Al-
Nahyan yang bertakhta sejak tahun 2004. Dia adalah penguasa
Abu Dhabi. Wakil Presiden dijabat oleh Syekh Muhammad bin
Rashid Al-Maktoum. Dia adalah Emir Dubai. Syekh Muhammad
Al-Maktoum juga menjabat Perdana Menteri. Kemudian, wakil per-
dana menteri dijabat oleh Saif bin Zayed Al-Nahyan (sejak 2009)
dan Mansur bin Zayed Al-Nahyan (sejak 2009).
Di UEA, partai politik dilarang. Pemilu dilaksanakan dengan
memilih langsung nama kandidat anggota parlemen yang diusulkan
secara independen. Sampai tahun 2017 ini, Uni Emirat Arab sudah
melaksanakan tiga kali pemilihan umum (pemilu) anggota FNC.
Pemilu pertama diadakan pada Desember 2006. Pemilu kedua pada
September 2011. Pemilu ketiga pada 3 Oktober 2015. Dalam Pemilu
2011, ada 129.274 pemilih yang berhak. Pada waktu itu, ada 469
kandidat (termasuk 85 wanita) untuk 20 kursi yang diperebutkan di
FNC. Pemilu 2015 diikuti oleh 330 kandidat (termasuk 74 wanita).
Dibandingkan Pemilu 2011, pada pemilu terakhir ada penurunan
peserta calon anggota legislatif. Pada November 2008, masa tugas
anggota FNC diperpanjang dari dua tahun menjadi empat tahun,
durasi masa kerja ini dianggap lebih sesuai dengan parlemen lainnya
di dunia.
Menurut Pasal 69 Konstitusi UEA, disebutkan bahwa setiap
emirat bebas untuk menentukan metode pemilihan warga negara
yang akan menduduki anggota FNC. Artinya, setiap emirat boleh
menggunakan cara apa saja untuk memilih perwakilan mereka di
FNC. Akan tetapi, sebelum diadakan Pemilu 3 Oktober 2015, Ketua
Komite Pemilu Nasional (The National Election Committee—
NEC), Dr. Anwar Mohammed Gargash, mengeluarkan petunjuk
operasional kepemiluan. Aturan ini dibuat agar pelaksanaan ber­

Tahun 1972, jumlah tersebut diubah menjadi 40 orang.

114 | Politik Islam di Arab Saudi ...


bagai tahap proses pemilihan mempunyai tingkat transparansi dan
profesionalisme yang tinggi. Dia juga menjelaskan bahwa NEC ingin
meningkatkan kinerja dengan mengelola proses pemilihan untuk
kali ketiga di UEA itu dengan efisiensi dan standar organisasi yang
lebih baik. Lebih lanjut disebutkan bahwa NEC akan melaksanakan
proses pemilihan sesuai dengan visi kepemimpinan negara emirat
untuk mempromosikan partisipasi politik dan meningkatkan peran
FNC sebagai lembaga yang lebih efektif dan representatif.27
Salah satu aturannya adalah sistem pemungutan suara baru
yang disebut “Suara Tunggal”. Artinya, pemilih hanya memilih satu
kandidat dari emiratnya masing-masing. NEC akan melakukan
pendaftaran pemilih di dalam dan luar negeri dan memasukkannya
dalam daftar pemilih. Pemungutan suara dilakukan secara elektronik
sebagai mekanisme pemungutan suara bersatu, baik di dalam mau-
pun di luar negeri. Pasal 29 petunjuk operasional pemilu yang dike-
luarkan oleh NEC menyatakan bahwa pemilih harus memberikan
suara mereka melalui sistem pemungutan suara elektronik di tempat
pemungutan suara. Artinya, tidak ada lagi praktik penggunaan surat
suara dalam pemungutan suara.
NEC juga mengenalkan apa yang disebut sebagai “Komite
Penghitungan”. Komite ini dipimpin oleh Ketua NEC dengan
anggota para ahli yang berkompeten. Tugasnya adalah menghitung
suara dengan menggunakan sistem pemungutan suara elektronik,
mengumumkan hasilnya, dan mengidentifikasi daftar anggota ca-
dangan di tiap-tiap emirat. Nama dalam daftar anggota cadangan
dapat menggantikan urutan calon terpilih dalam daftar urutan jadi.
Petunjuk operasional yang dikeluarkan NEC menyebutkan adanya
“Komite Banding”. Komite itu dipimpin oleh seorang hakim de­
ngan dua orang anggota yang memiliki pengalaman dan kompetensi
untuk memeriksa semua keberatan/aduan pemilihan, baik yang
berkaitan dengan pencalonan kandidat, proses pemungutan suara,

27
“UAE Government Federal National Council Elections 2015,” diakses pada 29
September 2017, http://gulfnews.com/news/uae/government/federal-national-
council-elections-2015-to-be-held-on-october-3-1.1501183.

Problematika Kekuatan Politik ... | 115


maupun penetapan hasilnya. Komite Banding melaporkan penda­
pat hukumnya kepada NEC.
Mengenai aturan kandidat anggota FNC, disebutkan dalam
Pasal 70 Konstitusi UEA bahwa anggota FNC adalah warga salah
satu emirat dan tinggal permanen di emirat yang diwakilinya. Dia
berumur minimal 25 tahun pada saat pemilihannya. Dia juga
berperilaku baik dan tidak sedang dalam hukuman. Kandidat juga
harus memiliki pengetahuan membaca dan menulis yang memadai.
Setiap kandidat boleh berkampanye untuk meyakinkan pemilih dan
mempromosikan platform pemilihan mereka secara bebas, asalkan
sesuai dengan peraturan dan perundangan. Dana kampanye dibatasi
maksimal 2 juta AED.28
Pada Pemilu 2015, terdapat 79.157 pemilih (48.330 pria dan
30.827 wanita) yang menggunakan hak pilih. Jumlah itu merupa-
kan 35,29% dari 224.279 jumlah pemilih terdaftar (48% wanita).
Jumlah suara yang masuk di tiap-tiap keemiratan adalah Abu Dhabi
35.046 suara, Dubai 11.760, Sharjah 9.585 suara, Ajman 2.965
suara, Umm al-Qaiwain 2.882 suara, Ras al-Khaimah 11.444 suara,
dan Fujairah 5.475 suara.29 Dengan suara tersebut, 20 kandidat yang
terpilih menjadi anggota FNC sebagaimana tercantum dalam Tabel
4.1.
Naema Abdullah adalah satu-satunya perempuan yang terpilih
dalam Pemilu 2015.30 Dia mewakili wilayah Emirat Ras al-Khaimah.
Melihat hasil Pemilu 2015 di UEA, selisih hasil suara antarkandidat
tidak terlalu lebar. Di Abu Dhabi, misalnya, yang memilih empat
orang kandidat, selisih suara antara kandidat keempat dan kelima

28
“UAE Government”, 1–2.
29
“Emirates FNS Elections 2015,” diakses pada 29 September 2017, http://
www.emirates247.com/news/emirates/fnc-elections-2015-the-winners-
are-2015-10-04-1.605457.
30
Pada pemilu sebelumnya juga pernah terpilih anggota parlemen perempuan, yaitu
Dr. Amal Al Hubaisy. Dia menjadi perempuan pertama ketua sidang parlemen.
Lihat wawancara dengan Ubaidillah, Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Uni
Emirat Arab. Wawancara dilakukan di Makkah, Arab Saudi, pada 6 April 2017.

116 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Tabel 4.1 Anggota Parlemen (FNC) Hasil Pemilu 2015
Emirat Anggota Parlemen
Mattar bin
Khalifa Suhail Al Saeed Saleh Al Saleh Mubarak
Abu Dhabi Omaira Al
Mazrouei Rumaithi bin Othaith
Shamsi
Marwan Ahmed Jamal
Hamad Ahmed Al Khalid Ahmed
Dubai bin Ghalita Al Mohammed
Rahoumi Ali bin Zayed
Muhairi Mattar Al Hai
Jassim Abdullah Salem Obaid Al Mohammed Ali
Sharjah -
Al Naqbi Shamsi Saif Al Ketbi
Hamad Abdullah Salem Abdullah
Ajman Saeed Abdullah Hamad Rashid - -
Ghalita Al Ghafli Al Shamsi
Khalfan Abdullah Obaid Hassan
Umm al-
Salem Humaid Humaid bin - -
Qaiwain
Al Ali Rakad Al Ali
Ahmed
Mohammed
Mohammed
Fujairah Mubarak - -
Ahmed Al Yamahi
Abdullah Al
Hammodi
Ahmed Yousef Naema
Ras al- Salem Ali Ahmed
Mohammed Al Abdullah Saeed -
Khaimah Ali Al Shehhi
Nuaimi Al Sharhan
Sumber: Emirates FNS Elections 2015; “Nata’iju al-firaz al-‘ulia” (2017)

hanya tujuh suara. Saleh Mubarak bin Othaith memperoleh 1.382


suara dan Salem Muhammad Salem Bal-Humail memperoleh
1.375 suara.31 Saleh Mubarak terpilih dan Salem Muhammad harus
­tersingkir. Namun, memang begitu aturannya. Semua perolehan
suara diurutkan dari yang terbanyak sampai yang tersedikit di
­
tiap-tiap Emirat. Kemudian, sesuai dengan jatah kursi di tiap-tiap
Emirat, dipilihlah kandidat secara berurutan.
Mereka yang terpilih dalam pemilu hanyalah setengah dari
jumlah anggota parlemen emirat (FNC) yang berjumlah 40 orang.
Setengahnya yang lain (20 orang) ditunjuk oleh emir tiap-tiap e­ mirat.

31
“Nata’iju al-firaz al-‘ulia li-‘imarati Abi Dhabi,” diakses pada 29 September 2017,
https://www.uaenec.ae/ar/result-list/abudhabi.

Problematika Kekuatan Politik ... | 117


Terlihat bahwa sistem perwakilan rakyat tidak seluruhnya dipilih
oleh rakyat. Kondisi ini menimbulkan protes dari masyarakat. Para
wakil terpilih juga tidak menunjukkan keterwakilan aliran politik
atau partai politik tertentu karena partai politik dilarang di UEA.
Mereka hanya mewakili wilayah tinggal dari tiap-tiap keemiran.
Secara nasional, kekuatan politik di UEA didominasi oleh
kekuasaan para emir. Kekuatan tertinggi disimbolkan dengan ada­
nya “Dewan Tinggi Federal atau Federal Supreme Council—FSC
( )”. Dewan yang beranggotakan tujuh emir itu
bertugas untuk membuat kebijakan umum negara Uni Emirat.
Dewan ini juga yang memilih Presiden dan Wakil Presiden UEA.
Di antara tujuh anggota FSC, yang paling dominan berkuasa adalah
Emir Abu Dhabi dan Emir Dubai. Mereka berdua yang menduduki
posisi strategis dalam UEA.
Selain kekuatan politik nasional, di UEA ada pemerintahan
lokal dari tiap-tiap emirat. Tujuh emirat yang ada di sana, tidak
sama persis dalam menerapkan kehidupan pemerintah lokalnya.
Mekanisme mereka berbeda antara satu emirat dengan emirat lain,
bergantung pada faktor-faktor seperti populasi, luas, dan tingkat
perkembangan.
Emirat terbesar dan terpadat, Abu Dhabi, memiliki organ
pengatur pusat sendiri, dewan eksekutif. Dewan ini d
­ ­iketuai
oleh Putra Mahkota Abu Dhabi, Syekh Mohammed bin Zayed
­Al-Nahyan. Di dalam dewan itu, ada sejumlah departemen terpisah
yang setara dengan kementerian. Sejumlah lembaga otonom juga
ada, seperti Badan Lingkungan Abu Dhabi, Otoritas Pariwisata dan
Kebudayaan Abu Dhabi, Otoritas Kebudayaan dan Warisan Abu
Dhabi; dan Otoritas Kesehatan Abu Dhabi. Wilayah Emirat Abu
Dhabi dibagi menjadi dua bagian, yaitu Al-Gharbia (Wilayah Barat)
dan Asy-Syarqiyyah (Wilayah Timur). Kota besar Abu Dhabi dan
Al-Ain masing-masing dikelola oleh dewan kotamadya. Abu Dhabi

118 | Politik Islam di Arab Saudi ...


juga memiliki dewan konsultasi yang beranggotakan 60 orang.
Mereka dipilih dari kalangan suku dan keluarga utama emirat.32
Dewan Eksekutif Dubai, yang didirikan pada tahun 2003,
memiliki fungsi serupa dengan yang ada di Abu Dhabi. Dewan
Eksekutif Dubai ini dipimpin oleh Putra Mahkota Dubai, Syekh
Hamdan bin Mohammed bin Rashid Al-Maktoum. Emirat Sharjah
dan Ajman juga memiliki dewan eksekutif. Selain dewan eksekutif,
Sharjah telah mengembangkan dewan konsultatif sendiri.
Hubungan kekuasaan berbagai lembaga federal dan institusi
lokal mengalami perubahan dengan mengikuti per­ kembangan
waktu. Menurut ketentuan konstitusi, para pe­nguasa emirat dapat
melepaskan kewenangan tertentu kepada Pemerintah Federal. Hal
itu, misalnya, diterapkan untuk menyatukan seluruh angkatan
bersenjata di emirat. Dalam Konstitusi UEA, setiap emirat diizin-
kan untuk ­menjadi anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor
Minyak (OPEC) dan Organisasi Negara-Negara Arab Pengekspor
Minyak (OAPEC). Namun, mereka tidak melakukannya. Bahkan,
Abu Dhabi melepaskan keanggotaannya di OPEC dan OAPEC
untuk mendukung kekuatan negara Uni Emirat Arab pada tahun
1971.
Selain kekuasaan formal, baik federal maupun lokal, secara
tradisional ada tokoh-tokoh informal yang ­ berpengaruh dalam
­masyarakat. Mereka adalah para syekh yang menjadi pemimpin
suku. Hal itu sangat wajar, mengingat negara tidak dapat secara
langsung berhubungan dengan ­masyarakat. Luas­nya wilayah, ba­
nyaknya masyarakat, dan l­ingkungan eko­nomi itu akan menyulit-
kan peran negara. Melalui to­koh-tokoh informal itu (para syekh),
negara berusaha menye­jah­terakan rakyatnya.

32
“UAE Political System,” diakses pada 7 Maret 2017, http://www.uaeinteract.com/
government/political_system.asp.

Problematika Kekuatan Politik ... | 119


D. Kebangkitan Kekuatan Politik Islam
Seperti telah disebutkan, Uni Emirat Arab (UEA) melarang ke-
beradaan partai politik. Walaupun ada anggota parlemen, mereka
dipilih tanpa melalui partai politik. Apa yang disebut sebagai
kekuatan politik Islam di UEA adalah sekumpulan masyarakat yang
membawa ide-ide keislaman dalam kiprah kehidupannya. Salah satu
yang menonjol adalah Ikhwanul Muslimin (IM). Kiprah kelompok
Islam yang berasal dari Mesir itu pernah dijelaskan oleh Courtney
Freer dalam salah satu tulisannya.33
Ikhwanul Muslimin (IM) di Uni Emirat Arab (UEA) berbeda
dengan IM di negara lain. Hal ini bisa jadi ­berkaitan dengan karakter
negara emirat yang unik. Kiprah IM di wila­yah Teluk Arab telah
ada sejak sebelum negara Uni Emirat Arab lahir. Pada tahun 1950-
an dan 1960-an, ketika Mesir dikuasai oleh Gamel Abdel Nasser,
banyak anggota IM yang melarikan diri dari sana. Sebagian dari
mereka memilih wilayah Teluk Arab untuk singgah. Mereka adalah
individu berpendidikan, profesional, dan kalangan yang mempu-
nyai mobilitas tinggi. Mereka bekerja di sektor publik dan swasta,
termasuk sektor peradilan dan pendidikan.34
Kemudian, secara resmi IM pertama kali didirikan di Dubai
pada tahun 1974. Pendirian IM waktu itu mendapat dukungan dari
pemimpin Dubai yang juga menjabat Wakil Presiden negara UEA,
Syekh Rashid bin Saeed Al-Maktoum. Terlihat ada sinyal dukungan
pemerintah untuk menggunakan kelompok Islam sebagai benteng
melawan nasionalisme Arab. Syekh Rashid juga memberikan kon-
tribusi pada pendirian cabang-cabang IM di Ras Al-Khaimah dan
Fujairah. Sementara itu, Presiden UEA yang juga penguasa Abu
Dhabi, Syekh Zayed bin Sultan Al-Nahyan, pada mulanya mau
menyedia­kan lahan untuk pendirian cabang IM di Abu Dhabi, pada
akhir tahun 1970-an, tetapi akhirnya IM tidak mendapatkan izin

33
Courtney Freer, “Rentier Islamism”, 11–13.
34
Sultan Al-Qassemi, “The Brothers and the Gulf,” Foreign Policy, (Desember 2012).
http://foreignpolicy.com/2012/12/14/the-brothers-and-the-gulf/.

120 | Politik Islam di Arab Saudi ...


untuk membuka cabang di Abu Dhabi. Di wilayah Sharjah, IM juga
tidak memiliki cabang. Tampaknya, di kedua wilayah itu arabisme
dan nasionalisme Arab lebih merata dibandingkan sikap islamisme.
Sementara itu, di wilayah Ajman, keberadaan IM diposisikan di
bawah Irsyad (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Sosial).35 Tampak
ada tarik-menarik antara kepentingan “islamisme” dan “arabisme”.36
Kiprah IM di UEA adalah menangani kegiatan sosial dan
budaya. Bila kita membaca majalah kelompok IM, Al-Islah, akan
terlihat topik yang paling sering dibahas adalah menyangkut
perkembangan pendidikan Islam, penyensoran terhadap informasi
yang berasal dunia Barat, seperti tulisan di majalah atau program
televisi, pembatasan penjualan alkohol, masalah korupsi di peme­
rintahan, dan perambahan bisnis dan budaya asing (terutama Barat)
dalam masyarakat emirat. Memang, IM ingin mengembangkan
sebuah agenda reformasi politik melalui kegiatan dan program so-
sial. Mereka juga mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan
yang mengarah pada distribusi kekayaan yang lebih merata.37 Pada
awal Maret 1979, Dewan Al-Islah Emirat, menulis sebuah surat
kepada penguasa setempat menjelang pertemuan Al-Majlis Al-A’la
lil-Ittihadi (Dewan Penguasa Tertinggi), yang mendukung usaha pe-
merintah untuk mengurangi korupsi dan untuk menghabiskan uang

35
Mansur Al-Noqaidan, “Al-Ikhwan al-Muslimun fi al-Imarat: Al-Tamaddad wa-
l-Inhisar”. Al-Ikhwan al-Muslimun fi al Khalij, ed. oleh Al-Mesbar Studies and
Research Centre (Dubai: Al-Mesbar Studies and Research Centre, 2012), 61.
36
“Islamisme” adalah ideologi yang menginginkan Islam sebagai sistem totalistik
untuk mengatur kehidupan politik, budaya, hukum dan ekonomi. Lihat, antara
lain, Uğur Kömeçoğlu, “Islamism, Post-Islamism, and Civil Islam,” dalam Current
Trends In Islamist Ideology, Vol. 16 (Washington: Hudson Institute, March 2014),
16–32. Sementara itu, “Arabisme” atau “nasionalisme Arab” adalah ideologi yang
menginginkan identitas kearaban. Mengutip pendapat Ibrahim M. Abu-Rabi,
Peter Seeberg menjelaskan bahwa nasionalisme Arab dapat dibagi ke dalam empat
fase. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Peter Seeberg, “The weakening
of the Arab States: Pan-Arabism re-revisited after the invasion of Iraq,” dalam
Working Paper Series, No. 11 (Denmark: Centre for Contemporary Middle East
Studies, University of Southern Denmark, May 2007), 12–13.
37
Hakala, “Opposition”.

Problematika Kekuatan Politik ... | 121


minyak dengan cara “saleh”.38 Pada tahun 1982, majalah Al-Islah
lebih eksplisit menjelaskan posisi mereka dalam menentang larangan
pemerintah terhadap majalah Islam. Mereka menganggap Islam
dapat menyelesaikan berbagai masalah. Katanya, “Dengan Islam,
kita membebaskan tanah Islam, kita menghentikan ketidakadilan
terhadap Islam. Tiran takut kepada kita karena Islam.”39
Pada awal 1990-an, sektor peradilan dan pendidikan UEA
seakan-akan menjadi “negara dalam negara” (a state within a state).
Bidang itu dikuasai oleh pengikut IM. Kelompok itu akan memas-
tikan bahwa mereka yang memenuhi syarat untuk mendapatkan
beasiswa pendidikan dan hibah adalah anggota Ikhwanul Muslimin,
afiliasi, atau simpatisan mereka. Dalam waktu singkat, dewan ma-
hasiswa dan asosiasi profesional—seperti serikat ahli hukum dan
guru—berubah menjadi pos terdepan bagi kepentingan Ikhwanul
Muslimin.40 Melihat perkembangan demikian, penguasa Emirat
mulai membatasi ruang gerak kelompok IM.
Pasca pemberhentian sejumlah Dewan Direksi, pemimpin
Al-Islah berpaling kepada penguasa Ras Al-Khaimah, Syekh Saqr
bin Muhammad al-Qasimi, yang mengizinkan mereka untuk secara
legal mendirikan IM di emirat tersebut. Bahkan, Al-Qasimi menun-
juk saudaranya, Syekh Sultan bin Kayed Al-Qasimi41 sebagai Ketua
Cabang IM Ras Al-Khaimah. Mereka juga membuka cabang lain di
Fujairah sekitar waktu itu.
Namun, pada perkembangan berikutnya, penguasa UEA
merasa ada ancaman terhadap stabilitas nasional dan regional.
Apalagi, setelah peristiwa Serangan 9/11 tahun 2001,42 dua orang
UEA dituduh terlibat dalam peristiwa itu. Sejak itu, otoritas UEA

38
Al-Noqaidan, “Al-Ikhwan al-Muslimun fi al-Imarat,” 65–66.
39
Abdullah Abu Al-Hadi, “Why Ban Islamic Magazines?”The Roots of Conspiracy
Against the UAE 2. (Dubai: Al Mezmaah Studies and Research Centre, 2013), 172.
40
Al-Qassemi, “The Brothers”.
41
Syekh Sultan bin Kayed al-Qasimi dihukum 10 tahun penjara setelah Arab Spring.
42
Serangan 11 September 2001 terhadap gedung World Trade Center (WTC) di
New York, Amerika Serikat.

122 | Politik Islam di Arab Saudi ...


memutuskan untuk mereformasi sistem pendidikan dan kurikulum
sekolah. Para pengkhotbah diwajibkan untuk mematuhi khotbah
yang telah disetujui sebelumnya oleh Kementerian Kehakiman dan
Urusan Islam UEA. Pengawasan juga dilakukan kepada orang-orang
yang dicurigai berpartisipasi dalam kegiatan Islam untuk mencegah
penyebaran ideologi yang dianggap radikal.43
Ada ratusan orang yang dianggap radikal, ditahan oleh Amn
Al-Daulat (Aparat Keamanan Negara). Selain itu, beberapa k­ alangan
yang dianggap mempunyai kaitan dengan Al-Islah (pengacara,
hakim, guru, dan profesor di universitas) dibatasi ruang geraknya.
Bahkan, ada yang dilarang berpartisipasi dalam seminar atau acara
publik. Ada juga yang diancam izin profesional mereka akan dicabut.
Nasib yang sama dialami pula oleh ratusan pegawai Kementerian
Pendidikan UEA. Sebagian guru dipaksa untuk pindah profesi
atau pensiun dini.44 Dengan demikian, ruang kebebasan semakin
menyempit. Penguasa UEA berusaha membatasi ruang gerak kelom-
pok yang berafiliasi dengan Al-Islah.
Gerakan oposisi di UEA tampaknya sudah ada sebelum muncul
Arab Spring (2011). Pada tahun 2009, sejumlah aktivis, termasuk
mahasiswa dan narablog, meluncurkan situs www.uaehewar.net un-
tuk berdiskusi.45 Situs tersebut menarik perhatian masyarakat UEA.
Ribuan pengguna internet yang berbasis di UEA segera memenuhi
situs itu dan berdiskusi di sana. Situs itu dengan cepat mendapat-
kan reputasi sebagai tempat terbaik untuk mengemukakan keluhan,
menantang pihak berwenang, dan mendiskusikan masa depan ne-
gara UEA.46 Dalam beberapa pekan, perdebatan seru terjadi pada

43
Marta Saldana, “Rentierism and Political Culture in the United Arab Emirates:
The Case of UAE Students”. Ph.D. Dissertation, (Exeter: University of Exeter,
2014), 139–140.
44
Saldana, “Rentierism and Political Culture”, 140–145.
45
Situs itu sudah tidak dapat diakses lagi.
46
Christopher Davidson, “Fear and Loathing in the Emirates,” diakses pada 23
Oktober 2017, http://carnegieendowment.org/sada/49409.

Problematika Kekuatan Politik ... | 123


sejumlah isu, termasuk kekayaan pribadi keluarga yang berkuasa dan
keberlanjutan proyek investasi dan prestise luar negeri UEA.
Pada Januari 2010, terjadi debat publik paling kontroversial
dalam situs tersebut. Melalui dunia maya situs itu, ribuan ­pengguna
internet di UEA mengomentari pembebasan hukuman anggota
keluarga penguasa Abu Dhabi yang telah dituduh melakukan
­
­penyiksaan dan sodomi. Sebagian besar masyarakat UEA meng-
khawatirkan penerapan hukum yang tidak adil tersebut akan ber-
dampak bagi reputasi internasional UEA. Diskusi itu begitu intens
dan berbagai komentar memenuhi laman situs tersebut. Akhirnya,
penguasa UEA merasa tersudutkan. Pada perkembangan berikut­
nya, situs www.uaehewar.net tidak dapat diakses. Bila ada pengguna
internet yang akan mengunjungi situs diskusi tersebut, akan disam-
but pesan “server problem”.47 Namun, penguasa UEA tidak dapat
memblokir situs tersebut dari akses di luar negeri. Situs masih dapat
bertahan sampai tahun 2011. Dengan menggunakan mirror web itu,
masyarakat UEA di dalam negeri dapat mengaksesnya. Maka, ketika
muncul Arab Spring, mereka masih dapat berdiskusi dan membahas
revolusi di Tunisia dan Mesir.
Penggulingan penguasa di Tunisia dan Mesir memberikan
inspirasi bagi masyarakat UEA untuk menilai pemimpin mereka.
Parlemen UEA yang dianggap kurang dapat mewakili kepentingan
rakyat dikritik. Kekurangan penguasa UEA juga dibahas dalam
diskusi. Pada Maret 2011, pendiri situs www.uaehewar.net, bersama
dengan sejumlah aktivis lain, menyebarkan petisi yang ditujukan ke
Emir Abu Dhabi. Salah satu tuntutan dalam petisi yang ditanda­
tangani oleh 130 intelektual itu adalah agar seluruh anggota par-
lemen dipilih langsung oleh rakyat. Petisi juga meminta agar UEA
menjadi negara monarki konstitusional yang berkomitmen terhadap
hak ­asasi manusia dan prinsip dasar lainnya.
Ada empat organisasi masyarakat (ormas) UEA yang ikut
menandatangani petisi tersebut sebagai institusi. Empat ormas

47
Davidson, “Fear and Loathing”, 1–2.

124 | Politik Islam di Arab Saudi ...


itu terdiri dari asosiasi para ahli hukum, guru, para profesionalis
nasional, dan dosen universitas. Keikutsertaan empat ormas itu
menambah bobot nilai dan tuntutan petisi. Para pemrakarsa dan
penanda tangan petisi memublikasikan pernyataan bersama mereka
dengan mengatakan, “Masyarakat sipil UEA memandang bahwa
telah tiba waktunya untuk memastikan hak partisipasi politik setiap
warga melalui pemilihan dewan langsung dengan pengawasan penuh
Pemerintah Federal dan wewenang legislatif.” Petisi juga menuliskan,
“Kurangnya keterlibatan warga negara untuk memilih perwakilan
mereka selama puluhan tahun setelah pembentukan negara.”48
Penguasa Emirat menanggapi petisi itu dengan menangkap
lima tokoh penanda tangan petisi. Pada awal April 2011, lima orang
itu yang kemudian disebut sebagai “UEA 5” dijemput dari rumah
masing-masing. Kelima aktivis tersebut adalah Ahmed Mansoor,
seorang insinyur dan narablog; Nasser bin Ghaith, seorang ekonom
dan dosen universitas di Sorbonne Abu Dhabi; dan aktivis daring,
Fahad Salim Dalk, Ahmed Abdul-Khaleq, dan Hassan Ali al-Khamis.
Mereka mulai disidang secara terbuka pada 14 Juni 2011. Kelima
orang tersebut dikenai tuduhan atas Pasal 176 Undang-Undang
Pidana UEA. Mereka dituduh menghina pejabat publik dengan
menggunakan situs daring terlarang (www.ueahewar.net).49

E. Kebijakan Luar Negeri Emirat


Pasal 12 Konstitusi Uni Emirat Arab (UEA) menyebutkan bah-
wa kebijakan luar negeri mereka diarahkan untuk mendukung
kepentingan Arab dan Islam, dalam rangka kerja sama internasional
dengan semua bangsa, berdasarkan prinsip-prinsip Piagam Perseri-
katan Bangsa-Bangsa (PBB).50 Dengan prinsip itu, penguasa UEA

48
Davidson, “Fear and Loathing”, 1–2.
49
“UAE: Investigate Threats against ‘UAE 5’,” diakses pada 23 Oktober 2017,
https://www.hrw.org/news/2011/11/25/uae-investigate-threats-against-uae-5.
Lihat juga FGD di LIPI pada 20 Juli 2017 dengan narasumber Wisnu Suryo
Hutomo, mantan Staf KBRI Abu Dhabi, UEA.
50
Constituteproject, United Arab Emirates's Constitution of 1971 with Amendments

Problematika Kekuatan Politik ... | 125


berusaha mengarahkan negaranya untuk berkiprah dalam forum
internasional. Sedapat mungkin, mereka tidak mencampuri urusan
dalam negeri suatu negara. Mereka akan terlibat dalam penyelesaian
sengketa suatu negara. Mereka juga ingin memperkuat institusi
internasional, seperti PBB dan OECD.
Di wilayah Teluk Arab dan dunia Arab, UEA berusaha me­
ningkatkan kerja sama dan penyelesaian perselisihan melalui dialog.
UEA menempati posisi strategis di Teluk Arab, wilayah di mana
hampir se­perempat dari minyak dunia diproduksi. Saat ini, UEA
menyediakan akses pasukan dan wilayah bagi PBB, AS, Uni Eropa,
dan NATO.
UEA telah bergabung dalam koalisi untuk mendukung perang
global melawan terorisme. Mereka juga telah membekukan re­kening
para teroris yang diduga sebagai tempat pencucian uang. Untuk
mendukung hal itu, UEA telah memberlakukan peraturan anti-­
pencucian uang. Mereka juga memperkenalkan undang-undang dan
peraturan pembiayaan kontra-teror baru.
Secara regional, UEA berpartisipasi dalam koalisi yang di­
pimpin oleh Arab Saudi untuk mendukung legitimasi Pemerintah
Yaman. Keterlibatan UEA merupakan tanggapan atas permin­
taan dari Presiden Abd Rabbu Mansour Hadi untuk memberikan
dukungan yang diperlukan dalam memerangi oposisi ekstremis dan
menyelamatkan orang-orang Yaman. UEA menganggap faksi Al-
Houthi dan Al-Qaeda telah menyebabkan kekacauan dan ketidak-
stabilan di wilayah itu. UEA mendukung solusi politik di Yaman
melalui konsensus dan kesepakatan semua pihak. UEA mendukung
Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2216 (2015) tentang penyel-
esaian konflik Yaman. Resolusi tersebut, antara lain, berisi tuntutan
kepada kelompok Houthi untuk mengakhiri penggunaan kekeras-
an, meninggalkan wilayah yang dikuasainya, termasuk Ibu Kota
Sana’a, mengakhiri rekrutmen anak-anak dalam perang, dan lain

through 2004 (Oxford University Press, 2017), 5.

126 | Politik Islam di Arab Saudi ...


sebagainya.51 Selain itu, UEA juga berkomitmen untuk memberikan
bantuan kemanusiaan bagi rakyat Yaman.
Sementara itu, menyikapi kondisi yang terjadi di Suriah, UEA
mengecam rezim di sana yang dianggap telah melakukan kejahatan
terhadap rakyatnya sendiri. Menurut UEA, solusi untuk mengatasi
krisis adalah masalah politik. UEA berusaha mengatasi masalah
pengungsi Suriah dengan mem­berikan bantuan asing kepada orang-
orang Suriah dan negara-negara tetangga yang menerimanya. UEA
sendiri telah menerima lebih dari 100.000 orang pengungsi Suriah.
Sejak dimulainya krisis Suriah pada tahun 2011, UEA telah menye-
diakan 700 juta dolar untuk membantu pengungsi Suriah.52
Ketika terjadi kudeta militer di Mesir, 3 Juli 2013, penguasa
UEA mendukung pihak militer yang dianggap akan menyelamat-
kan negaranya. UEA percaya bahwa militer akan menjaga stabilitas
dan kemakmuran Mesir. UEA juga memuji Lembaga Al-Azhar atas
komitmen jangka panjangnya dalam memerangi ideologi ekstremis.
Untuk itu, UEA berkomitmen untuk membantu rakyat Mesir me­
lalui reformasi ekonomi dan melalui penciptaan lapangan kerja dan
peluang ekonomi lainnya.53
Politik luar negeri Uni Emirat banyak yang mengikuti “saudara
tuanya”, yakni Arab Saudi. Pada Juni 2017, tiba-tiba Uni Emirat
Arab bersama Arab Saudi dan didukung oleh Mesir, Bahrain, dan
Yaman, memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Mereka
mengucilkan Qatar dengan memutuskan hubungan darat, udara,
dan laut. Mereka juga mengusir warga Qatar dari negara-negara
tersebut. Saudi dan sekutunya mengklaim bahwa Qatar terlibat
dalam mendukung terorisme meskipun Qatar adalah salah satu

51
United Nations Security Council, Resolution 2216 (2015). Adopted by the Security
Council at its 7426th meeting, on 14 April 2015. Dokumen no. S/RES/2216
(2015).
52
“Foreign Policy”.
53
“Foreign Policy”, 1–5.

Problematika Kekuatan Politik ... | 127


koalisi longgar negara-negara Sunni yang mendukung pasukan yang
memusuhi Iran di Suriah dan Yaman.54
Tampaknya, UEA alergi terhadap gerakan politik Islam, seperti
yang diperankan oleh Ikhwanul Muslimin. Pemutusan hubungan
dengan Qatar dan dukungannya terhadap kudeta militer Mesir
telah menunjukkan bahwa UEA berusaha menghilangkan eksistensi
Ikhwanul Muslimin. Hal itu berhubungan dengan perkembangan
Ikhwanul Muslimin di dalam negeri UEA sendiri. Sejak pertengah­
an 1990-an, penguasa UEA merasa terganggu dengan eksistensi
IM di sana walaupun pada awalnya Emir Dubai menyambut baik
kehadiran para aktivis IM.

F. Kiprah Politik Islam di UEA: Catatan Penutup


Uni Emirat Arab (UEA) merupakan satu negara Teluk Arab yang
pada mulanya menerima baik aktivitas kekuatan yang memper-
juangkan Islam (Ikhwanul Muslimin). Bahkan, Emir Dubai meres-
tui berdirinya organisasi itu di wilayah Dubai, pada 1974. Awalnya,
kelompok itu berkiprah di bidang kegiatan sosial dan budaya. Dalam
perkembangannya, kelompok IM menguasai sektor peradilan dan
pendidikan UEA. Kedua bidang yang penting itu banyak dijabat
oleh pengikut dan simpatisan IM. Maka, timbul istilah “negara
dalam negara” (a state within a state).
Melihat perkembangan itu, penguasa UEA mulai membatasi
kegiatan kelompok IM. Beberapa pejabat yang terindikasi mempu-
nyai afiliasi ke IM akan dipecat, dimutasi, ataupun dibatasi ruang
geraknya. Hal itu sudah dimulai pada tahun 1990-an. Kemudian,
setelah peristiwa 11 September 2001 di World Trade Center
(WTC) Amerika Serikat, kelompok IM semakin diawasi. Penguasa
UEA mengadopsi kebijakan anti-teroris yang ingin menyingkirkan

54
Patrick Cockburn, “Qatar Crisis: This is why Saudi Arabia and its allies have
suddenly cut ties to their Sunni Arab neighbour,” Independent. Diakses pada 6
Juni 2017, http://www.independent.co.uk/news/world/middle-east/qatar-crisis-
saudi-arabia-uae-bahrain-donald-trump-ties-severed-egypt-yemen-patrick-
cockburn-a7774266.html.

128 | Politik Islam di Arab Saudi ...


kelompok radikal. Selanjutnya, setelah terjadi peristiwa Arab Spring,
kelompok IM di UEA semakin sulit bergerak.

Daftar Pustaka
Al Abed, Ibrahim dan Peter Hellyer (ed.). United Arab Emirates: A New Per-
spective. London: Trident Press Ltd., 2011.
Al Abed, Ibrahim. “The Historical Background and Constitutional Basis to
the Federation”. Dalam United Arab Emirates: A New Perspective, diedit
oleh Ibrahim Al Abed dan Peter Hellyer. London: Trident Press Ltd.,
2001.
Al-Hadi, Abdullah Abu. “Why Ban Islamic Magazines?”. Al-Islah 30/50
(1982), dikutip dalam Salem Humaid, The Roots of Conspiracy Against the
UAE 2. Dubai: Al Mezmaah Studies and Research Centre, 2013.
Al-Mesbar Studies and Research Centre (ed.). Al-Ikhwan al-Muslimun fi al
Khalij Dubai: Al-Mesbar Studies and Research Centre, 2012.
Al-Noqaidan, Mansur. “Al-Ikhwan al-Muslimun fi al-Imarat: Al-Tamaddad
wa-l-Inhisar”. Dalam Al-Ikhwan al-Muslimun fi al Khalij, diedit oleh
Al-Mesbar Studies and Research Centre. Dubai: Al-Mesbar Studies and
Research Centre, 2012.
Al-Qassemi, Sultan. “The Brothers and the Gulf ”. Foreign Policy, 14 Desember
2012. Diakses pada 18 Oktober 2018/2017. http://foreignpolicy.
com/2012/12/14/the-brothers-and-the-gulf/.
Cockburn, Patrick. “Qatar Crisis: This is why Saudi Arabia and its allies have
suddenly cut ties to their Sunni Arab neighbour”. Independent. Diakses
pada 6 Juni 2017. http://www.independent.co.uk/news/world/middle-
east/qatar-crisis-saudi-arabia-uae-bahrain-donald-trump-ties-severed-
egypt-yemen-patrick-cockburn-a7774266.html.
Constituteproject. United Arab Emirates's Constitution of 1971 with Amend-
ments through 2004. Oxford: Oxford University Press, 2017.
“Crude Oil”. Diakses pada 25 Oktober 2017. http://www.nasdaq.com/mar-
kets/crude-oil.aspx?timeframe=10y.
Crystal, Jill Ann and J.E. Peterson. “United Arab Emirates: languages and
Religion,” Encyclopedia Britanica. Diakses pada 8 Agustus 2019. https://
www.britannica.com/place/United-Arab-Emirates/Languages-and-reli-
gion.

Problematika Kekuatan Politik ... | 129


Davidson, Christopher, “Fear and Loathing in the Emirates” Diakses pada 23
Oktober 2017 dari http://carnegieendowment.org/sada/49409.
“Emirates FNS Elections 2015”. Diakses pada 29 September 2017. http://
www.emirates247.com/news/emirates/fnc-elections-2015-the-winners-
are-2015-10-04-1.605457.
FGD dengan narasumber Wisnu Suryo Hutomo, mantan Staf KBRI Abu
Dhabi, UEA, 20 Juli 2017 di Pusat Penelitian Politik LIPI.
Freer, Courtney. “Rentier Islamism: The Role of the Muslim Brotherhood in
the Gulf ”. LSE Middle East Centre Paper Series, 9 November 2015.
“Government of Future”. Diakses pada 20 November 2017. https://gov-
ernment.ae/about-the-uae/the-uae-government/government-of-future/
tolerance-in-the-uae.
Hakala, Pekka. “Opposition in the United Arab Emirates”. Quick Policy
Insight, Directorate-General for External Policies, Policy Department,
European Parliament, 15 November 2012. Diakses pada 31 Januari
2017. http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/briefing_note/
join/2012/491458/EXPO-AFET_SP%282012%29491458_EN.pdf.
King, Geoffrey R. “The Coming of Islam and the Islamic Period in the UAE”.
Dalam United Arab Emirates: A New Perspective, diedit oleh Ibrahim Al
Abed dan Peter Hellyer. London: Trident Press Ltd., 2001.
Kömeçoğlu, Uğur. “Islamism, Post-Islamism, and Civil Islam”. Dalam Current
Trends In Islamist Ideology, 16, Washington: Hudson Institute, Maret
2014.
“Nata’iju al-firaz al-‘ulia li-‘imarati Abi Dhabi”. Diakses pada 29 September/
Oktober 2017. https://www.uaenec.ae/ar/result-list/abudhabi.
OPEC Share of World Crude Oil Reserves 2017. Diakses pada 16 Oktober
2017. http://www.opec.org/opec_web/en/data_graphs/330.htm.
“Religious Beliefs and Spirituality in United Arab Emirates.” Diakses pada 1
Agustus 2019. https://www.studycountry.com/guide/AE-religion.htm.
Saldana, Marta. “Rentierism and Political Culture in the United Arab Emir-
ates: The Case of UAE Students”. Ph.D. Dissertation, Exeter: University
of Exeter, 2014.
Seeberg, Peter. “The weakening of the Arab States: Pan-Arabism re-revisited af-
ter the invasion of Iraq”. Dalam Working Paper Series, No. 11, Denmark:
Centre for Contemporary Middle East Studies, University of Southern
Denmark, Mei 2007.

130 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Shihab, Mohamed. “Economic Development in the UAE”. Dalam United
Arab Emirates: A New Perspective, diedit oleh Ibrahim Al Abed dan Peter
Hellyer. London: Trident Press Ltd., 2001.
“The Worlds Largest Oil Reserves by Country.” Diakses pada 16 Oktober
2017. http://www.worldatlas.com/articles/the-world-s-largest-oil-re-
serves-by-country.html.
“The UAE Government.” Diakses pada 20 November 2017. https://gov-
ernment.ae/about-the-uae/the-uae-government/government-of-future/
tolerance-in-the-uae.
“Top Ten Countries With Worlds Largest Oil Reserves.” Diakses pada 16 Ok-
tober 2017. http://explorationanddevelopment.energy-business-review.
com/news/top-ten-countries-with-worlds-largest-oil-reserves-5793487.
“UAE: Investigate Threats against ‘UAE 5’.” Diakses pada 23 Oktober 2017.
https://www.hrw.org/news/2011/11/25/uae-investigate-threats-against-
uae-5.
“UAE Government Federal National Elections 2015.” Diakses pada 29
September 2017. http://gulfnews.com/news/uae/government/federal-
national-council-elections-2015-to-be-held-on-october-3-1.1501183.
“UAE Government Federal National Council Elections 2015.” Diakses pada
29 September 2017. http://gulfnews. com/news/uae/government/feder-
al-national-council-elections-2015-to-be-heldon-october-3-1.1501183.
“UAE Religion.” Diakses pada 20 November 2017. http://www.studycountry.
com/guide/AE-religion.htm.
“UAE Economy.” Diakses pada 7 Maret 2017. http://government.ae/en/
economy.
“UAE Economy.” Diakses pada 29 September 2017. http://www.uae-embassy.
org/about-uae/uae-economy.
“UAE Foreign Policy.” Diakses pada 29 Oktober 2017. http://www.uae-em-
bassy.org/about-uae/foreign-policy.
“UAE History.” Diakses pada 29 September 2017. http://www.uae-embassy.
org/about-uae/history.
“UAE Political System.” Diakses pada 7 Maret 2017. http://www.uaeinteract.
com/government/political_system.asp.
“United Arab Emirates”. Encyclopedia Britanica. Diakses pada 24 Oktober
2017. https://www.britannica.com/place/United-Arab-Emirates.

Problematika Kekuatan Politik ... | 131


“United Arab Emirates Population”. Diakses pada 7 Maret 2017. http://world-
populationreview.com/countries/united-arab-emirates-population/.
“United Arab Emirates People.” Diakses pada 20 November 2017. https://
theodora.com/wfbcurrent/united_arab_emirates/united_arab_emir-
ates_people.html.
“United Arab Emirates: Languages and Religion.” Diakses pada 20 November
2017. https://www.britannica.com/place/United-Arab-Emirates/Lan-
guages-and-religion.
“United Arab Emirates’ Constitution of 1971 with Amendments through
2004.” New York: Oxford University Press, 2017, diakses pada Oktober
2017. http://www.constituteproject.org.
United Nations Security Council. Resolution 2216 (2015). Adopted by the
Security Council at its 7426th meeting, on 14 April 2015. Dokumen no.
S/RES/2216 2015.
“Uni Emirat Arab Pangkas Produksi Minyak 139 Ribu Barel.” (Oktober
2017), diakses pada 24 Oktober 2017. https://www.cnnindonesia.com/
ekonomi/20171002092931-85-245486/uni-emirat-arab-pangkas-pro-
duksi-minyak-139-ribu-barel/.
Vision 2021. Diakses pada 24 Oktober 2017. http://www.vision2021.ae
Watch, Country. “United Arab Emirat: 2017 Country Review,” diakses pada
4 Mei 2017. http://www.countrywatch.com.
Wawancara dengan Ubaidillah, Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Uni
Emirat Arab. Wawancara dilaksanakan di Mekkah, Arab Saudi, 6 April
2017.
Al-Lajnah Al-Wathaniyyah Lil Intikhabat, diakses pada 17 Oktober 2017.
http://www.uaenec.ae.

132 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Bab

5
Dinamika Politik Islam di Arab Saudi,
Kuwait, dan Uni Emirat Arab:
Catatan Penutup
Dhurorudin Mashad

A. Politik Islam dalam Realitas Politik Timur


Tengah Kontemporer
Politik Islam dalam diskursus politik kontemporer s­enantiasa me-
narik untuk diperdebatkan. Masalahnya, perdebatan itu acap kali
hanya dikaitkan secara sempit dengan wacana fundamentalisme,
radikalisme, bahkan belakangan terkait dengan terorisme. Padahal,
jangkauan kajian politik Islam sebenarnya jauh lebih luas diban­
dingkan ketiga isu tersebut, mengingat Islam memang bukan seka-

| 133
dar agama, melainkan acap kali dijadikan sebagai sebuah ideologi
politik, menjadi alat untuk mencapai tujuan politik yang tecermin
dari penggunaan simbol dan konsep-konsep “islami” di ranah pu­
blik.1 Bahkan, dalam wacana sosiologis kultural, terdapat anggapan
yang jauh lebih luas, bahwa politik Islam bukan hanya sekadar faktor
ideologis, melainkan kombinasi aspek religiositas-kultural-politik
yang terkait erat dengan berbagai isu sosial kemasyarakatan sekaligus
memiliki tujuan politis sehingga mendorong umat Islam untuk aktif
di dalamnya. Alasannya, Islam ditafsirkan memiliki aspek integral
dari keyakinan (body of faith) yang membentuk semua aspek sosial
dan memiliki aspek solutif terhadap kompleksitas permasalahan
dalam masyarakat.2
Dalam perspektif ini, Islam tidak hanya ditafsirkan sebagai
agama (sebagai aspek privasi), tetapi juga merupakan ideologi, nilai
(values), dan doktrin yang memberikan fondasi bagi gerakan sosial
(social actions). Walhasil, politik Islam pun akhirnya merupakan ha­
sil dari proses “instrumentalisasi” ideologi, nilai, dan doktrin Islam
dalam sebuah gerakan Islam untuk mencapai tujuan politik (political
objectives) sebagai respons terhadap problem sosial masyarakat Islam
sesuai konteks dan waktu.3
Logika-logika semacam ini dalam realitas dunia Islam senantia-
sa mendapatkan manifestasinya secara khas, sesuai konteks tempat
dan waktu. Dalam beberapa dekade terakhir pun, agama dan politik
semacam itu menjadi diskursus yang tidak dapat dipisahkan dalam
kajian politik dunia Islam kontemporer, termasuk di Timur Tengah.
Berbagai aktivitas untuk mengukuhkan agama (baca: Islam) dalam
ranah politik, misalnya, juga muncul di sejumlah negara, baik re-
publik maupun monarki, yang berusaha menerapkan Islam dalam

1
Mohammed Ayoob, The Many Faces of Political Islam: Religion and Politics in the
Muslim World. (Ann Arbor: The University of Michigan Press, 2008), 2.
2
Graham E. Fuller, The Future of Political Islam. (New York: Palgrave M
­ acmillan,
2004), 193.
3
Guilain Denoeux, “The Forgotten Swamp: Navigating Political Islam,” Middle East
Policy, IX, No. 2, (2002), 56–81.

134 | Politik Islam di Arab Saudi ...


kehidupan bernegara. Realitas kemunculan gerakan-gerakan politik
berbasis agama di sejumlah negara Timur Tengah setelah Arab Spring,
misalnya, tidak lepas dari peran kelompok Islam di tengah kegagalan
sistem politik, sosial, dan ekonomi yang selama beberapa dekade
dibangun rezim. Oleh karena itu, dalam wacana politik kontempo-
rer di kawasan itu, Islam akhirnya dijadikan sebagai sebuah alter-
natif keyakinan yang mengilhami berbagai lapisan masyarakat serta
berhasil mengejawantahkan nilai-nilai sosial, politik, dan ekonomi
dalam kehidupan bernegara. Berpijak pada logika itu pula, sejumlah
pemerintahan monarki tertarik menggunakan Islam untuk melegi­
timasi kebijakannya, baik dalam politik, hukum, maupun ekonomi.
Hal inilah yang kita saksikan dalam realitas politik, termasuk di tiga
negara kajian: Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab yang berusaha
mendekatkan simbol Islam untuk melegitimasi kekuasaannya.

B. Prinsip Ad-Din wa Ad-Daulah di Arab Saudi,


Kuwait, dan Uni Emirat Arab
Semangat untuk “menegakkan Islam” dalam konteks politik sebe-
narnya telah tumbuh mewarnai sepanjang sejarah negara Saudi, dan
pada tataran tertentu juga UEA serta Kuwait sehingga melahirkan
konsep Ad-Din wa ad-Daulah yang mendasarkan kehidupan berne-
gara pada nilai-nilai agama.
Dalam kasus Saudi, misalnya, konstitusi negara bahkan ber-
dasarkan Al-Qur’an dan hukum syariat. Setiap keputusan politik—
yang merupakan hak prerogratif raja—senantiasa dikonsultasikan
dengan ulama, juga dengan keluarga penting kerajaan. Realitas
ini terjadi karena eksistensi negara lahir berdasar persekutuan Raja
Saud dan ulama bernama Muhammad bin Abdul Wahab, “pendiri”
Wahabisme. Pengaruh Bani Saud dan Wahabi dimulai dari Najd dan
meluas ke wilayah Hijaz yang ditandai dengan penguasaan Makkah
dan Madinah (tahun 1803 dan 1805). Peristiwa ini menandai titik
awal masuknya Wahabi ke wilayah Hijaz. Sejak itulah kolaborasi
antara keluarga Raja Saud dan ulama Wahabi terus berlanjut hingga
kini. Wahabi menjadi satu-satunya ajaran yang diterima negara.

Dinamika Politik Islam ... | 135


Bahkan, ambisi Saudi-Wahabi untuk menyebarkan ajarannya di
kawasan dan seluruh dunia menempati posisi prestisius dalam aksi
filantropi yang didukung kerajaan.
Dapat dipahami jika sampai sekarang imajinasi politis historis
dari sistem politik negara Saudi sebagai milik keluarga Bani Saud,
dengan implikasi wewenang keluarga kerajaan sangat mutlak.
Untuk mempertegas legitimasi di tengah masyarakat Saudi, kera-
jaan berkolaborasi dengan Lembaga Ulama Senior yang semuanya
dari kalangan Wahabi dan dikepalai oleh Mufti Agung. Simbiosis
kerajaan-ulama Wahabi dilembagakan dalam Hai’ah Kibar al-Ulama
lil-Buhuts wal-Ifta’ (Lembaga Ulama Senior untuk Riset dan Fatwa),
lembaga fatwa resmi Saudi. Menyusul wafatnya Mufti Saudi Abdul
Aziz bin Baz (Bin Baz) pada tahun 1999, posisi pimpinan lembaga
resmi itu hampir digantikan oleh ulama Sahwa. Karena ada indikasi
keterlibatan Ikhwanul Muslimin (IM), Raja Fahd mengurungkan
niat, lantas mengangkat Abdul Aziz bin Abdullah Al-Syeikh sebagai
pengganti Bin Baz. Bahkan, sampai tahun 2009 lembaga ulama ini
hanya diisi ulama mazhab Hanbali, dan baru era Raja Abdullah ­ulama
dari tiga mazhab lain akhirnya juga disertakan: Maliki, Hanafi, dan
Syafi’i dengan melengkapinya menjadi 21 anggota ulama. Lembaga
ulama ini digaji pemerintah dengan tugas memberi nasihat pertim-
bangan terhadap kebijakan terkait keagamaan. Lembaga ini menjadi
otoritas tunggal yang berwenang membuat fatwa bagi permasalahan
individu dan publik terkait dengan akidah, ibadah, dan muamalah
(sosial).
Lembaga ulama ini memegang kuasa penuh persoalan agama
dan memiliki akses langsung dengan raja dalam fungsi konsultasi
terhadap hal-hal strategis. Oleh karena itu, penga­ ruh lembaga
­ulama sangat besar dalam politik dalam dan luar negeri Saudi yang
sangat kental dengan misi Wahabi. Dalam konteks dalam negeri,
Pemerintah Saudi sering membuat kebijakan bernuansa keagamaan
tentu saja berdasar prinsip Wahabi. Dalam konteks perempuan,
misalkan, ada larangan menyetir bagi perempuan, kewajiban meng-
gunakan abaya dan cadar, sensor iklan dengan model perempuan,

136 | Politik Islam di Arab Saudi ...


wajib disertai mahram ketika keluar rumah. Peraturan ini diterapkan
dengan polisi syariat. Namun, untuk pesisir timur Saudi yang lebih
majemuk dan metropolis (Riyadh, Dahran, Dammam, dan kota-ko-
ta lain), penerapan syariat ini tidak seketat Makkah dan Madinah.
Adapun dalam kasus Kuwait, karakteristik umum penduduknya
ternyata hampir mirip dengan Saudi, kebanyakan Sunni (75%) ber-
mazhab Hanbali, bahkan sebagiannya beraliran Wahabi, khususnya
dalam lingkungan elite kerajaan. Relasi monarki-Wahabi seperti pola
Saudi ini, dalam kasus Kuwait dapat dirunut sejak abad ke-18 M
ketika Kuwait di bawah perlindungan Bani Khalid dapat dikalahkan
kaum Wahabi Najd (cikal bakal Kerajaan Saudi sekarang).4
Dengan pengaruh Islam yang sedemikian kuat, wajar kiranya bila
rakyat dan penguasa Kuwait menjadikan Islam sebagai agama resmi
dan syariat Islam sebagai sumber utama hukum negara, sebagaimana
tertera dalam Konstitusi Pasal 2 bahwa “Agama negara adalah Islam,
dan syariat Islam harus menjadi sumber perundang-undangan”.
Dalam hal aktivitas keagamaan, misalnya, pemerintah membentuk
komite penasihat tinggi atau dewan fatwa yang terdiri dari para
ulama untuk memberikan pemahaman terhadap masyarakat dalam
pelaksanaan syariat Islam di Kuwait.
Pengaruh Islam di Kuwait tidak hanya terlihat pada kebi­
jakan pemerintah, tetapi juga tecermin dalam kehidupan khalayak.
Perempuan Kuwait, misalnya, dianjurkan untuk memakai hijab,
tetapi tetap diberikan ruang untuk berkecimpung dalam kehidupan
sosial-politik—termasuk dalam hak memilih dan dipilih. Begitu
juga saat bulan Ramadan, baik muslim maupun nonmuslim ditun-
tut untuk tidak makan, minum, dan merokok di tempat umum dan
yang melanggar akan dikenakan denda sebesar 360 dolar. Pada hari
Jumat, seluruh umat Islam wajib salat Jumat dan menutup toko atau
aktivitas bisnisnya tanpa kecuali.
Sementara itu, dalam kasus UEA, peran agama dalam poli-
tik bernegara tidak sekuat Kuwait, apalagi Saudi dalam konteks

4
Saudi Arabia merupakan gabungan dua wilayah utama, Najd dan Hijaz.

Dinamika Politik Islam ... | 137


relasinya dengan monarki. Di antara warga negara UEA (disebut
Emirati) yang berjumlah sekitar 1–1,5 juta jiwa,5 kaum muslim
Sunni merupakan 85% dari mereka, sisanya 15% adalah Syiah, ter-
utama terkonsentrasi di Keemiran Sharjah dan Dubai. Imigran asal
Oman kebanyakan juga Syiah Ibadi, di samping ada pula pengaruh
sufi. Sebenarnya, kiprah Ikhwanul Muslimin (IM) di wilayah Teluk
Arab telah ada sebelum negara Uni Emirat Arab lahir pada 1971.
Namun, sambutan dari para pemimpin di tujuh keemiran, yaitu
Abu Dhabi, Ajman, Dubai, Fujairah, Ras Al-Khaimah, Sharjah,
dan Umm Al-Quwain dapat dikatakan kecil. Hanya di Keemiran
Dubai (tahun 1974), IM mendapat dukungan dari Emir Dubai yang
sekaligus menjabat Wakil Presiden UEA (Syeikh Rashid bin Saeed
Al-Maktoum) yang di wilayah ini tampaknya sengaja menggunakan
IM sebagai benteng melawan nasionalisme Arab. Syekh Rashid juga
berperan pada pendirian cabang-cabang IM di Ras Al-Khaimah dan
Fujairah. Namun, di berbagai keemiran lain, seperti Abu Dhabi,
pemimpinnya (Syekh Zayed bin Sultan Al-Nahyan) tidak mengizin-
kan IM untuk membuka cabang Abu Dhabi. Hal yang sama untuk
wilayah Sharjah. Kalau dalam kasus Saudi keengganan izin eksistensi
formal IM lebih karena adanya dominasi tunggal paham agama,
yakni Wahabi, tampaknya di kedua wilayah UEA tadi lebih karena
arabisme dan nasionalisme Arab yang lebih merata dibandingkan
sikap islamisme. Untuk wilayah Ajman, IM hanya diposisikan di
bawah Irsyad (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Sosial). Namun,
di UEA tetap lebih bagus dibandingkan Saudi yang secara total

5
Penduduk UEA (sekitar 10 juta) juga beragam dari segi suku dan agama. Dari segi
suku, tercatat hanya sekitar 10–15% yang merupakan penduduk pribumi Arab-
Emirat (disebut Emirati). Sisanya adalah warga migran (ekspat), baik Arab non-
Emirat maupun non-Arab, khususnya dari India, Bangladesh, Pakistan, Srilangka,
Filipina, Thailand, dan lain-lain. Para migran ini membanjiri UEA sejak booming
harga minyak di pasaran dunia (oil booms) pada tahun 1970-an, 1980-an, dan
juga sejak usai Perang Teluk Irak-Kuwait. Warga negara (Emirati) 100% muslim,
tetapi jika dilihat dari total penduduk termasuk imigran-ekspatriat, sekitar 75%
penduduk UEA beragama Islam; sisanya (25%) adalah nonmuslim. Umat Kristen
adalah sekitar 9–10%, sisanya Hindu, Buddha, Bahai, Druze, Yahudi, Sikh, Parisi,
dan lain-lain.

138 | Politik Islam di Arab Saudi ...


­ elarang berdirinya IM sebagai ormas. Namun, dalam realitas so-
m
sial kemasyarakatan, baik UEA maupun Saudi, sempat memberikan
hak bagi IM untuk berkembang sehingga sempat menguasai sektor
pendidikan (untuk kasus Saudi) dan menguasai sektor pendidikan
serta peradilan (untuk kasus UEA).
Uni Emirat Arab (UEA) merupakan satu negara Teluk yang
pada mulanya menerima dengan baik aktivitas kekuatan yang
memperjuangkan Islam (Ikhwanul Muslimin). Awalnya, kelom-
pok itu berkiprah di bidang kegiatan sosial dan budaya, dalam
perkembangan­nya kelompok itu menguasai sektor peradilan dan
pendidikan. Kedua bidang yang penting itu banyak dijabat oleh
pengikut dan simpatisan IM sehingga sampai memunculkan istilah
“negara dalam negara” (a state within a state). Melihat perkembangan
itu, penguasa UEA lantas berbalik 180 derajat membatasi kegiatan
kelompok, bahkan represif terhadap IM.

C. Antara Monarki dan Politik Islam


Aktivisme keagamaan pada tataran tertentu senantiasa berkembang
di ketiga negara, yaitu Arab Saudi, Uni ­Emirat Arab, dan Kuwait,
serta telah mendorong tumbuh ­suburnya gerakan Islam—formal
ataupun tidak formal—yang menginginkan transformasi kompre-
hensif dalam kehidupan sosio-­politik dan ekonomi negara. Berpijak
pada logika poli­tik agama itu, pemerintah di ketiga negara (pada
level yang berbeda) memakai simbol-simbol keagamaan untuk
mendapatkan legitimasi politik.
Saudi Arabia sebenarnya merupakan negara monarki absolut
yang pusat kekuasaannya ada di tangan raja. Secara resmi disebut-
kan bahwa konstitusi negara disebutkan berdasarkan Al-Qur’an dan
hukum syariat. Namun, pada tahun 1992, Raja Fahd menerbitkan
Undang-Undang Dasar Pemerintah (Niẓām al-Asāsī lī al-Ḥukm),
undang-undang tentang hak dan wewenang raja dan warga negara,
yang secara substantif mempertegas raja (kepala negara dan kepala
pemerintahan) berkuasa penuh, penguasa eksekutif sekaligus ber-

Dinamika Politik Islam ... | 139


peran sebagai legislatif dan yudikatif.6 Negara ini tidak mengenal
partai, bahkan tidak ada organisasi politik yang boleh berdiri. Proses
penjaringan aspirasi masyarakat cukup dilakukan lewat lembaga
legislatif (Dewan Syura) untuk fungsi konsultatif. Lembaga yang
beranggotakan 150 orang ini semua ditunjuk oleh raja.
Berbeda dengan level nasional, pemerintahan level lokal (Saudi)
memang mengenal penyelenggaraan pilkada, tetapi itu hanya untuk
beberapa provinsi utama saja, bahkan itu pun tidak dilakukan secara
konsisten dan periodik. Era Raja Abdullah misalnya, pilkada dilaku-
kan pada tahun 2005 dan 2011. Pilkada 2011 sebenarnya merupakan
penundaan untuk tahun 2009 karena ketidaksiapan kelengkapan
pemilu. Saudi hanya memberikan hak memilih dan dipilih bagi
laki-laki, belum memberikan ruang bagi perempuan. Hanya setelah
berkonsultasi dengan Mufti Agung ulama Wahabi pada tahun 2011
di depan Dewan Syura, Raja Abdullah memproyeksikan perempuan
bisa memiliki hak pilih dan dipilih dalam pemilu lokal 2015 seka-
ligus hak untuk duduk di lembaga tersebut. Untuk mempersiapkan
hal itu, KPU Saudi akan menyediakan tempat dan petugas khusus
untuk perempuan.7
Relasi monolitik Bani Saud-Wahabi sedemikian kokoh sehingga
membuat kehadiran gerakan-gerakan Islam nyaris tidak mendapat-
kan tempat. Akibat penerapan absolut dari Wahabisme, pemerintah
menjadi sangat selektif terhadap masuknya aliran-aliran Islam ke
Saudi. Semua bentuk organisasi non-negara dilarang dan segala
aktivitas keislaman di monopoli ulama Wahabi. Monopoli ini di
satu sisi meminimalkan oposisi menentang kekuasaan Bani Saud,

6
Government and Society of Saudi Arabia,” Encyclopedia Britanica, (3 Agustus
2017) https://www.britannica.com/place/Saudi-Arabia/Government-and-society.
7
“Women in Saudi Arabia to vote and run in elections,” BBC News, (September
2011), http://www.bbc.com/news/world-us-canada-15052030.; Aya Batrawi,
“Women win 17 seats in Saudi Arabia’s first elections with female candidates,”
Independent, (Desember 2015), http://www.independent.co.uk/news/world/
middle-east/a-woman-has-been-elected-in-saudia-arabias-elections-a6771161.
html.

140 | Politik Islam di Arab Saudi ...


tetapi di sisi lain ulama Wahabi menikmati keistimewaan otoritas
keagamaan tunggal di Saudi.
Kaitan antara monarki dan politik Islam di Kuwait agak berbeda
dibandingkan Saudi. Memang, relasi monarki-Wahabi, dalam kasus
Kuwait terjadi sejak abad ke-18 M ketika Kuwait berhasil dikuasi
raja berpaham Wahabi Najd (cikal bakal kerajaan Saudi sekarang).
Koalisi monarki-Wahabi ini tetap bertahan sampai sekarang. Dalam
hal aktivitas keagamaan misalnya, pemerintah membentuk komite
penasehat tinggi atau dewan fatwa yang melaluinya pemerintah
mengontrol langsung aktivitas lembaga keagamaan, se­perti menun-
juk imam dan muazin, memantau khotbah Jumat serta membiayai
pembangunan dan aktivitas masjid. Dalam beberapa kasus yang
terjadi, para imam yang melanggar saat khotbah dan tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku akan diskors dan diberi sanksi.
Namun, dibandingkan Saudi bahkan negara-negara Dewan
Kerja Sama Teluk (GCC) lain, Kuwait relatif lebih maju dalam
demokrasi. Sejak 1961, Kuwait menjadi negara monarki konsti-
tusional pertama di dunia Arab serta menjadi role model kawasan.
Ada beberapa hal demokrasi dapat berkembang di Kuwait. Pertama,
setelah kemerdekaan monarki berusaha keluar dari keterpurukan
dengan memperkuat negara melalui penegakan prinsip-prinsip
demokrasi. Melalui Konstitusi 1962, monarki mendorong warga
untuk dapat menikmati kebebasan dan partisipasi secara luas di­
bandingkan negara Teluk lain. Walhasil, gerakan oposisi yang terdiri,
baik dari kalangan Islam maupun liberal dapat berperan besar serta
partisipasi politik perempuan dalam beberapa dekade terakhir kian
meningkat. Kedua, perubahan sosial dan budaya yang begitu cepat,
terutama setelah Perang Teluk 1991, telah memengaruhi dan me­
ningkatkan cara pandang masyarakat Kuwait dalam berdemokrasi.
Berpijak pada prinsip keterbukaan pula, dalam soal wanita pun
perlakuan Kuwait sangat berbeda dengan Saudi. Persentase perem­
puan di Kuwait mencapai 51% dari populasi, dan mereka diberi hak
untuk berpartisipasi politik. Konstitusi menyatakan pria dan wanita
setara dalam hukum, punya hak yang sama dalam pendidikan dan

Dinamika Politik Islam ... | 141


pekerjaan. Memang dalam realitas, UU Pemilu belum memberikan
ruang bagi perempuan untuk memilih dan dipilih, tetapi pada tahun
2005, Emir Kuwait mengeluarkan dekrit agar perempuan diberi hak
penuh untuk berpartisipasi dalam pemilu. Pada Pemilu 2008, jum-
lah pemilih perempuan mencapai 55,43% dari total pemilih dengan
jumlah kandidat perempuan 27 orang dari 275 kandidat bersaing.8
Konstitusi Kuwait melarang berdirinya partai politik, namun
warga Kuwait dapat menyalurkan aspirasinya melalui organisasi
sosial atau faksi politik yang dapat mewakili pandangan politik
kelompok sosial, suku ataupun sekte. Relasi inilah yang menyatukan
warga dengan organisasi politik pilihannya melalui serangkaian per-
temuan ataupun kongres umum (Diwaniyyah) untuk menyampai-
kan program terkait dengan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi.
Berbeda dengan Saudi yang melarang berdirinya IM sebagai organi­
sasi formal—meskipun pada realitasnya—IM dapat eksis di Kuwait.
IM dapat tersebar di Kuwait berkat persinggungan antara IM Mesir
dan kelompok Islam Kuwait yang terjadi pada pertengahan abad
ke-19 setelah pemimpin gerakan Abdul Aziz Ali Mutawwa ber-
temu Hassan Al-Banna di Makkah yang kemudian menjadi cikal
bakal berdirinya jaringan pertama IM Kuwait (Kuwait Muslim
Brotherhood). Al-Mutawwa menjadi anggota Majelis Konstituante
Ikhwanul Muslimin. Melalui majelis ini, Al-Mutawwa membangun
hubungan dengan jaringan IM Mesir, bahkan sebagian di antara­
nya ikut Al-Mutawwa ke Kuwait untuk menyebarkan paham IM
Kuwait. Generasi penerus Al-Mutawwa a­ khirnya membidani lahir­
nya Islamic Constitutional Movement (ICM).9 Di Kuwait akhirnya
juga hadir organisasi Islam lain semisal Salafi ataupun Syiah dengan
segala paham yang melatarinya.

8
Muhamad S. Olimat, “Women and Politics in Kuwait”. Journal of International
Women’s Studies, 2 (September, 2009), 199–212.
9
Nathan J. Brown, “Pushing Toward Party Politics? Kuwait’s Islamic Constitutional
Movement,” Carnegie Endowment for International Peace , No. 79 (2007), 3–20,
http://carnegieendowment.org/2007/02/13/pushing-toward-party-politics-
kuwait-s-islamic-constitutional-movement-pub-19016.

142 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Hal yang lebih unik dari Kuwait adalah “friksi” internal monarki,
ternyata ikut membuka peluang partisipasi warga, termasuk kelom-
pok politik Islam. Meskipun lingkungan keluarga monarki monolit
menganut Sunni-Wahabi, terkadang muncul friksi antara elite muda
vs tua, moderat vs konservatif, yang sebenarnya telah memiliki akar
sejak awal kemerdekaan (Al-Jabir As-Sabah dan ­As-Salim). Pada
tahun 2003, muncul manuver dari moderat dipimpin putra tertua
Emir Kuwait tentang sirkulasi kepemimpinan, tetapi tidak didukung
elite tua yang juga sekutu utama Saudi. Baru pada tahun 2006 terjadi
pergantian kepemimpinan melalui rivalitas Sa’ad As-Salim As-Sabah
(generasi As-Salim) vs Sabah Al-Ahmad Al-Jabir (generasi Al-Jabir),
dan dimenangi generasi Al-Jabir As-Sabah.10 Isu suksesi terjadi pada
kancah lebih luas, terutama pada setiap pemilu dalam kancah politik
parlemen. Pada periode yang sama, misalnya, terjadi perebutan kursi
perdana menteri antara Nasir Muhammad Al-Jabir (kalangan tua)
vs Ahmad Al-Fahd (generasi muda) yang juga dimenangi generasi
tua, Muhammad Al-Jabir. Manuver Ahmad Al-Fahd (elite muda)
tidak didukung Emir Kuwait karena diduga berbahaya bagi monar-
ki, tidak hanya di Kuwait, tetapi juga di sejumlah negara monarki
Timur Tengah lain.11
Kubu muda (moderat) vs tua (konservatif ) masing-ma­ sing
membentuk faksi-faksi berhadapan di parlemen: faksi Al-Jabir dan
faksi As-Salim.12 Perbedaan pendapat serta persaingan menimbul-
kan krisis politik yang berujung pada pembubaran parlemen (2006)
sampai pada krisis terbuka (2011) yang merembet dan melibatkan
masyarakat. Slogan dalam gerakan protes pemuda dan kalangan
oposisi Islam seirama dengan Arab Spring di sejumlah negara Timur
Tengah, yakni “Asy-Sya’bu Yurid Isqaat Nizam” (rakyat mengingin-
kan rezim lengser).13 Hal ini menunjukkan bahwa keinginan suksesi

10
Kristin Smith Diwan, “New Generation Royals and Sucsession Dynamics in the
Gulf State,” Issue Paper, No.2. The Arab Gulf States Institute (Washington : The
Arab Gulf Institute), 2017.
11
Diwan, “New Generation”.
12
Diwan, “New Generation”.
13
Shafeeq Ghabra, “Kuwait at the Crossroads of Change or Political Stagnation,”

Dinamika Politik Islam ... | 143


tidak hanya bergulir di lingkungan istana dan parlemen, tetapi juga
pada tataran masyarakat. Gerakan protes (sejak 2006) ini menuntut
reformasi pemilu dan partisipasi politik yang luas dan puncaknya
adalah pada tahun 2011. Gerakan protes oleh aktivis Islam dan
kaum muda bertajuk “Nabiha Khamsa”14 (berikanlah kami yang
lima) agar seluruh lima provinsi dilibatkan dalam pemilu untuk
memberikan partisipasi bagi warga yang sebelumnya lebih bersifat
kesukuan (klanisme). Mereka juga menuntut Perdana Menteri
Nasir Muhammad Al-Ahmad As-Sabah lengser melalui semboyan
“As-Sya’bu Yurid Isqaat Nasir” (rakyat ingin Nasir turun). Pada 28
November 2011, akhirnya Syeikh Nasir mundur, diganti Syekh Jabir
Al-Mubarak Al-Ahmad As-Sabah, yang dianggap mewakili kalangan
moderat.
Sementara itu, di Uni Emirat Arab (UEA) sistem dirancang
untuk mempertahankan warisan lama, disesuaikan dengan struktur
pemerintahan modern. Konstitusi UEA yang ada sejak merdeka,
kemudian dipermanenkan pada tahun 1996. Menurut Konstitusi
UEA, bentuk pemerintahannya adalah monarki federal. Dalam hal
ini, presiden dan wakil presiden dipilih dari para emir yang berkuasa
di tujuh emirat. Posisi monarki federal ala UEA ini berarti berada di
tengah antara monarki absolut ala Saudi dan monarki konstitusional
ala Kuwait.
Secara nasional, kekuatan politik di UEA didominasi kekuasaan
para emir. Kekuatan tertinggi disimbolkan melalui Dewan Tinggi
Federal atau Federal Supreme Council (FSC) yang beranggotakan
tujuh emir dan bertugas membuat kebijakan umum negara Uni
Emirat. Dewan ini juga memilih Presiden dan Wakil Presiden UEA.
Di antara tujuh anggota FSC yang paling dominan berkuasa adalah
Emir Abu Dhabi dan Emir Dubai. Mereka berdua menduduki posisi
strategis dalam UEA.

Middle East Institute Policy paper Series. (Washington: Middle East Institute, 2014).
14
Fatiha Dazi Heni, “The Arab Spring Impact on Kuwait ‘Exceptionalism’,”
International Journal of Archeologhy and Social Sciences in the Arab Peninsula.
(Chatillon: Arabian Humanities, 2015).

144 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Sebagaimana Saudi dan Kuwait, UEA juga melarang partai poli-
tik. Hanya saja seperti Kuwait, pemilu tetap dilaksanakan di UEA
dengan memilih langsung nama kandidat anggota parlemen yang
diusulkan secara independen. Sampai 2017, Uni Emirat Arab sudah
melaksanakan tiga kali pemilu anggota parlemen (FNC), yaitu pada
Desember 2006, September 2011, dan Oktober 2015. Hanya saja,
dalam pemilu UEA, mereka yang terpilih hanya s­etengah dari 40
orang jumlah anggota parlemen. Sejumlah 20 orang sisanya ditun-
juk emir tiap-tiap emirat. Singkat kata, hanya setengah FNC yang
mewakili kepentingan rakyat, sedangkan setengah lain mewakili
kepentingan raja. Terlihat hanya separuh dari sistem perwakilan
rakyat UEA yang mewakili dan/atau dipilih rakyat sehingga pada
era Arab Spring sempat timbul protes dari masyarakat.
Dari setengah perwakilan itulah, kekuatan politik Islam dapat
muncul. Apa yang disebut sebagai ide-ide Islam yang termanifestasi
dalam kekuatan politik Islam di UEA adalah sekumpulan masya­
rakat yang membawa ide-ide keislaman dalam kiprah kehidupan­
nya, bukan dalam wujud partai karena partai memang dilarang.
Salah satu yang menonjol adalah Ikhwanul Muslimin (IM) yang
telah berkiprah di wilayah Teluk Arab sebelum negara Uni Emirat
Arab lahir yang peristiwanya hampir sama dengan kasus Saudi,
apalagi Kuwait.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, ketika Mesir dikuasai oleh
Gamel Abdel Nasser, banyak anggota IM yang melarikan diri dari
Mesir. Sebagian mereka memilih lari ke wilayah Teluk Arab, ter-
masuk wilayah yang akhirnya bernama UEA ini. Mereka adalah
individu berpendidikan, profesional, dan kalangan yang mempu-
nyai mobilitas tinggi. Mereka bekerja di sektor publik dan swasta,
termasuk sektor peradilan dan pendidikan.15
Ikhwanul Muslimin (IM) di Uni Emirat Arab (UEA) berbeda
dengan IM di negara lain. Hal ini bisa jadi berkaitan dengan karakter

15
Sultan Al-Qassemi, “The Brothers and the Gulf,” Foreign Policy, (December 2012).
http://foreignpolicy.com/2012/12/14/the-brothers-and-the-gulf/.

Dinamika Politik Islam ... | 145


negara UEA yang unik, yakni sebagai negara monarki federal. Di
negara federal (yang terdiri dari tujuh keemiran di bawah pim­pinan
seorang emir, yakni Abu Dhabi, Ajman, Dubai, Fujairah, Ras Al-
Khaimah, Sharjah, dan Umm Al-Quwain) ini, IM kali pertama didi-
rikan di Dubai pada tahun 1974 dengan mendapat dukungan dari
pemimpin Emirat Dubai yang juga menjabat sebagai Wakil Presiden
UEA, Syekh Rashid bin Saeed Al-Maktoum. Dalam konteks ini, ter-
dapat sinyal dukungan pemerintah untuk menggunakan kelompok
Islam sebagai benteng melawan nasionalisme Arab. Syekh Rashid
bahkan akhirnya memberikan kontribusi pada pendirian cabang-
cabang IM di Ras Al-Khaimah dan Fujairah.
Adapun Presiden UEA yang juga penguasa Abu Dhabi, Syekh
Zayed bin Sultan Al-Nahyan mulanya juga mau menyediakan lahan
untuk pendirian cabang IM di Abu Dhabi pada akhir tahun 1970-
an. Namun, niat itu batal, bahkan IM tidak mendapatkan izin untuk
membuka cabang Abu Dhabi. Di wilayah Sharjah, IM juga tidak
memiliki cabang. Tampaknya di kedua wilayah itu arabisme dan na-
sionalis Arab lebih merata dibandingkan sikap islamisme. Sementara
itu, di wilayah Ajman, keberadaan IM hanya diposisikan di bawah
Irsyad (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Sosial).16 Bahkan, pada
perkembangan waktu, ketika IM dianggap mengancam ”wibawa
monarki” akibat menguasai seluruh sektor pendidikan dan peradilan,
keberadaannya berusaha diberangus, sebagaimana terjadi di Saudi.
Dari kasus ketiga negara (Saudi, Kuwait, dan UEA), tampak
bahwa meskipun agama relatif diakomodasi dalam politik—tentu
saja dengan tingkat atau derajat yang berbeda-beda—atas nama
reformasi Islam ternyata kelompok politik Islam di Saudi, UEA,
dan Kuwait tetap muncul sebagai gerakan oposisi yang mengkritik
berbagai kebijakan pemerintah. Berpijak pada realitas (tesis vs anti-
tesis) tadi, semangat untuk menegakkan Islam senantiasa tumbuh
mewarnai sepanjang sejarah politik negara-negara tersebut yang

16
Mansur Al-Noqaidan, “Al-Ikhwan al-Muslimun fi al-Imarat: Al-Tamaddad wal-
Inhisar,” dalam Al-Ikhwan al-Muslimun fi al Khalij, ed. Al-Mesbar Studies and
Research Centre. (Dubai: Al-Mesbar Studies and Research Centre, 2012).

146 | Politik Islam di Arab Saudi ...


termanifestasi dalam konsep Ad-Din wa Ad-Daulah dalam arti ke-
hidupan bernegara yang berdasarkan nilai-nilai agama.
Aktivisme keagamaan semakin berkembang di negara-negara
monarki tersebut, bahkan telah mendorong tumbuh suburnya
gerakan Islam yang menginginkan transformasi menyeluruh dalam
kehidupan sosio-politik dan ekonomi. Atas nama reformasi Islam,
kelompok politik Islam muncul sebagai gerakan oposisi yang meng-
kritik berbagai kebijakan pemerintah yang pada tataran tertentu
acap kali dinilai tidak atau belum mencerminkan implementasi
nilai-nilai Islam. Dalam konteks inilah, meskipun tiga negara (Saudi,
Kuwait, dan UEA) secara formal “melabeli” diri telah menerapkan
prinsip ­Ad-Din wa ad-Daulah, realitasnya adalah di ketiga negara
tetap muncul gerakan-gerakan revivalisme Islam untuk kembali
membangkitkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.

D. Peta Kekuatan Politik Islam: Menakar


Pengaruh dalam Dinamika Politik Domestik
Munculnya kekuatan politik Islam—meminjam pendapat M ­ uhammad
Imarah—merupakan fenomena As-Sahwah Al-Islamiyyah yang secara
definitif diartikan sebagai revivalisme Islam. Revivalisme Islam
didasarkan pada konteks sejarah asal perkembangan politik dalam
dunia Islam yang tidak memisahkan keberadaan negara dan agama.
Revivalisme adalah upaya politis untuk merevitalisasi Islam dalam
ranah politik masyarakat muslim. Revivalisme Islam ditandai dengan
penegakan ajaran Islam dalam kehidupan sosial-politik, budaya, dan
kehidupan ekonomi. Tujuan dari revi­valisme Islam adalah tercipta­
nya Islam kafah dalam berbagai sektor kehidupan.
Menurut Bubalo, kebangkitan Islam memiliki beberapa ben-
tuk, di antaranya adalah kesadaran masyarakat untuk bertindak
sesuai dengan ajaran Islam.17 Di sisi lain, Dekmeijan memandang

17
Antony Bubalo, Middle East, Islamism dan Indonesia. (New South Wales: Low
Institute for International Politics, 2005).

Dinamika Politik Islam ... | 147


bahwa fenomena revivalisme Islam ditandai dengan menguatnya ak-
tivitas keagamaan yang meliputi partai politik, kelompok-kelompok
pergerakan, dan masyarakat Islam militan. Kelompok ini memiliki
kesadaran tinggi dalam memperjuangkan Islam sehingga kerap
berseberangan dengan pemerintah dan lembaga-lembaganya.
Banyak pemikir Islam terdahulu telah memberikan landasan
ideologi bagi kebangkitan Islam kontemporer. Gerakan yang mere-
ka usung bertujuan melakukan perubahan sistem sosial politik ke
arah kehidupan islami. Gerakan ini mempunyai pandangan bahwa
Islam adalah ya’lu wala yu’la ‘alaih—Islam itu tinggi dan tidak ada
yang dapat menandinginya. Berdasarkan prinsip itulah, tuntutan
pelaksanaan syariat Islam akhirnya pada tataran tertentu menjadi
agenda politik gerakan keagamaan di hampir semua negara di Timur
Tengah, termasuk UEA, Kuwait, bahkan Arab Saudi. Revivalisme
Islam ini sebagian besar di antaranya dipelopori Ikhwanul Muslimin,
yang pada perkembangannya diikuti oleh kelompok Islam lainnya,
seperti Hizbut Tahrir, Hizbu Ad-Da’wah, Hizbullah, Jihad Islam,
dan Jama’at Al-Muslimun. Gerakan-gerakan Islam tersebut menjadi
penggerak perjuangan politik Islam di Timur Tengah dengan berper-
an aktif dalam politik praktis.
Negara Saudi, Kuwait, dan UEA secara formal memang
telah “melabeli” diri sebagai telah menerapkan prinsip ­Ad-Din wa
­Ad-Daulah. Namun, realitasnya di ketiga negara itu tetap muncul apa
yang disebut gerakan-gerakan revivalisme Islam tadi, lahir tuntutan
untuk kembali membangkitkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Di Arab Saudi, misalnya, secara historis sebenarnya telah
terjadi apa yang disebut simbiosis antara kekuatan kerajaan dan
gerakan Islam. Bahkan, simbiosis yang terjadi sejak abad ke-18
M ini memberikan motivasi bagi Raja Abdul Aziz bin Saud dan
pasukannya untuk menaklukkan dan menyatukan Jazirah Arab pada
era 1912–1925. Meskipun negara Saudi didasarkan pada ideologi
pemikiran seorang ulama bernama Syekh Muhammad bin Abdul
Wahhab, seiring waktu monarki tetap menghadapi realitas tantangan

148 | Politik Islam di Arab Saudi ...


dari ­kelompok Islam lain.18 Tantangan pertama justru muncul dari
kelompok suku-suku fanatik dalam pasukan kerajaan, tetapi berhasil
dikalahkan dalam Perang Sabala tahun 1929 M. Berikutnya, sempat
pula muncul gerakan protes pimpinan pangeran Khalid bin Musa’id
(era 1960-an) karena melawan kebijakan modernisasi ala Raja Faisal.
Aksi lebih serius meletus di Makkah pada November 1979, yakni
terjadi pengambilalihan Masjidilharam oleh kelompok Juhaiman
al-‘Utaibi al-Ikhwan, yang lantas ditaklukkan melalui kekuatan
bersenjata.
Terutama sejak terjadi Perang Teluk 1991 dan Operasi Badai
Gurun dimulai oleh Amerika Serikat, Kerajaan Arab Saudi kembali
harus berhadapan dengan tumbuhnya gerakan Islam yang meng-
inginkan perubahan dalam berbagai segi kehidupan. Memang, pada
1992 otoritas negara telah mengakomodasi tuntutan dengan mem-
perkenalkan konstitusi negara untuk kali pertama sebagai tanda
mengoreksi sistem negara absolut monarki dengan sistem hukum
yang didasarkan pada hukum Islam. Namun, gerakan Islam di ne-
gara itu tidak lantas berhenti. Melalui gerakan reformasi keagamaan,
kelompok politik Islam menunjukkan diri mereka sebagai kelompok
oposisi yang mengkritik pemerintah dan bahkan mempertanyakan
legitimasi keislaman pihak kerajaan.
Dalam konteks Saudi ini, tentu saja ini menjadi sangat menarik
sebab fenomena kebangkitan Islam biasanya menjadi sebuah protes
terhadap otoritas negara sekuler bahkan telah menjadi pola yang
berpengaruh dalam politik kontemporer di dunia Arab, terutama
pada rezim-rezim republik revolusioner. Namun, khusus di Arab
Saudi, gerakan protes dari kelompok Islam ini ditujukan langsung
kepada pemerintahan monarki Islam. Artinya, dalam konteks Saudi,
Islam telah dijadikan sebagai sumber legitimasi bagi kerajaan seka-
ligus sebagai medium protes bagi kelompok oposisi. Kendati pada
masa lalu Saudi berhasil mengatasi tantangan dari kelompok oposisi

18
James P. Piscatori, “Ideological Politics in Saudi Arabia,” dalam Islam in the Political
Process, ed. James P. Piscatori. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983),
56–63.

Dinamika Politik Islam ... | 149


muslim militan, munculnya gerakan Islam baru telah menjadi per-
hatian serius bagi monarki dan para pendukungnya di kawasan.19
Kekuatan dan/atau gerakan Islam di Arab Saudi setidaknya dapat
dipetakan dalam beberapa kekuatan, baik yang berlatar belakang
Sunni maupun Syiah.
Walaupun Saudi menerapkan paham keagamaan tunggal secara
ketat, kenyataannya di negara itu tetap muncul paham keagamaan
lain, yang bahkan sampai melahirkan gerakan dan/atau kekuatan
politik Islam alternatif. Alternatif yang masih dekat dengan
Wahabisme adalah Salafi sehingga kedua paham ini dalam diskursus
umum acap kali saling ditukarbalikkan bahwa paham keagamaan
Saudi adalah Wahabi-Salafi meskipun keduanya berbeda. Padahal,
bagi Salafi (terinspirasi pemikiran ahli hadis Syekh Nashirudin Al-
Bani), kaum Wahabi yang dalam konteks kontemporer didominasi
pemikiran Abdul Aziz bin Baz disebut sebagai “keliru”.
Dalam konsep teologis tidak ada beda, hanya saja karena Wahabi
merujuk pada mazhab Hanbali, ini dianggap menjadi bermasalah
sebab kaum Salafi harusnya hanya merujuk secara murni kepada
Al-Qur’an dan hadis.20 Gerakan baru Salafi inilah yang acap kali me­
lakukan sweeping pada tahun 1965 terhadap toko yang menampil-
kan gambar wanita di Madinah. Kendati agak berseberangan,
pada perkembangannya Salafi meminta dukungan ulama Wahabi
Syekh Abdul Aziz bin Baz guna memperkuat posisi. Bin Baz lantas
memberikan wewenang kepada pemimpin mereka untuk menjadi
pengawas syariat dalam masyarakat sehingga Salafi makin kuat
menjadi gerakan militan.21 Dengan diketuai Juhaiman al-Utaibi,
mereka berani mengkritik kerajaan, bahkan sempat melakukan ku-
deta, menduduki Masjidilharam pada 20 November 1979, sehingga
ditumpas dengan menggunakan tank ke dalam Masjidilharam.22
19
Dekmejian, “The Rise of Political Islam”, 627.
20
David Commins, Islam in Saudi Arabia. (London and New York: I. B. Tauris,
2015).
21
Commins, Islam in Saudi Arabia, 138–141.
22
Yaroslav Trofimov, Kudeta Mekkah: Sejarah yang tak Terkuak. (Ciputat: Pustaka
Alvabet, 2007).

150 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Di Saudi ternyata secara “tersembunyi” juga ada Ikhwanul
Muslimin (IM). Kehadiran IM di negara ini sudah lama sejak pem-
bunuhan Hasan Al-Banna (1949 M), disusul pembersihan gerakan
ini oleh Gamal Abdul Nasser (1950-an–1960-an). Para aktivis IM
akhirnya terdiaspora ke berbagai negara, termasuk Arab Saudi.23
Memang, IM paling lambat berkembang di Saudi dibandingkan di
wilayah Arab yang lain, bahkan telah tumbuh sejak era kolo­nialisme
di negara-negara Arab. Kala itu, IM menawarkan formula atas bang-
sa Arab bahwa satu-satunya solusi menghentikan dominasi (politik,
ekonomi, dan budaya) Eropa atas Arab adalah mengembalikan
nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu,
pemikiran-pemikiran ini, IM dapat menjadi ideologi yang sangat
cepat menyebar ke luar Mesir, seperti ke Sudan, Suriah, Yordania,
dan Yaman sejak tahun 1950-an.24
Saudi memang merupakan satu-satunya negara yang menolak
berdirinya organisasi Islam apa pun, termasuk IM. Hasan Al-Banna
tahun 1946 memang sempat menemui Raja Abdul Aziz untuk
meminta izin pembukaan kantor resmi IM.25 Namun, karena relasi
monolit kerajaan-ulama Wahabi dan monopoli otoritas keagamaan
oleh ulama Wahabi, kehadiran organisasi baru di luar kontrolnya
tentu sangat mengganggu. Walhasil, Abdul Aziz menolak dengan
dalih bahwa ketika Islam telah menjadi napas bagi rakyat Saudi,
kehadiran organisasi apa pun tidak diperlukan lagi.
Namun, karena pembersihan aktivis IM di Mesir dan di­
susul negara-negara Arab lain, seperti Suriah, pengungsi IM tidak
terhindarkan semakin banyak di Saudi. Mereka mayori­tas berasal
dari kalangan intelektual dan terdidik sehingga Raja Faisal meman-
faatkan kapasitas mereka untuk ­mengembangkan pendidikan Saudi
yang masih tradisional, bahkan dilibatkan dalam peletakan fondasi

23
Stephane Lacroix, Awakening Islam: The Politics of Religious Dissent in Contemporary
Saudi Arabia, penerj. George Holoch. (Cambridge: Harvard University Press,
2011), 39.
24
Lacroix, Awakening Islam, 38.
25
Lacroix, Awakening Islam, 40–41, 62.

Dinamika Politik Islam ... | 151


kurikulum dan sistem pendidikan. Sebagian mereka memiliki andil
dalam pendirian sekolah-sekolah dan menjadi guru bagai anak-anak
Saudi. Manna’ Al-Qattan (asal Mesir), bahkan sempat memiliki
posisi penting di Kementerian Pendidikan Saudi yang mendesain
kebijakan pendidikan dan kurikulum, dengan sebagian besar di
antara­nya masih diterapkan sekarang.26 Berikutnya, intelektual IM
gelombang kedua berdatangan, seperti Muhammad Qutb (adik
Sayyid Qutb) menjadi dosen di Institute of Sharia yang akhir­
nya menjadi Universitas Ummul Quro. Ketika Universitas Islam
Madinah didirikan (tahun 1961), sebagian besar staf dan penga-
jarnya juga pengikut IM.
Pada konteks inilah terjadi pertemuan signifikan ajaran
Wahabi-IM yang oleh Muhammad Qutb ditegaskan sebagai tidak
adanya pertentangan Wahabi-IM. Bedanya, Wahabi menekankan
aspek teologis, sedangkan IM memberi warna aktivisme sosial dan
politik. Karangan Muhammad Qutb ini memberi inspirasi bagi
berdirinya gerakan As-Sahwa al-Islamiyah (Kebangkitan Islam) di
Saudi Arabia.27
Melalui sendi-sendi pendidikan, pengaruh IM menguat ke-
pada generasi muda terdidik di Saudi. Beasiswa yang diberikan
Universitas Islam Madinah terhadap mahasiswa-mahasiswa asing
juga membantu penyebaran IM dalam skala global. Berdirinya Liga
Muslim Dunia (1962) yang menjadi program Saudi bagi penye-
baran Islam dan memperkuat keberadaan institusi pendidikan Isam
di seluruh dunia juga tidak lepas dari pengaruh itu. Pembentukan
Majelis Pemuda Muslim Dunia (1972) juga menjadi saluran ­aktivis
IM di Saudi dalam memperluas pengaruh di kalangan muda di
seluruh dunia, bahkan termasuk diaspora muslim di Eropa dan
Amerika. Kedekatan IM-kerajaan mencapai puncak pada era Raja
Faisal. Saat era Perang Dingin itu, Raja Faisal memanfaatkan IM
untuk mengam­panyekan gerakan anti-sosialisme, komunisme, dan

26
Lihat Panduan Educational Policy in the Kingdom of Saudi Arabia. Lacroix, Awakening
Islam, 46.
27
Lacroix, Awakening Islam, 43.

152 | Politik Islam di Arab Saudi ...


pemerintahan sekuler (Nasser/Mesir) untuk menggalang solidaritas
dunia Islam demi kepentingan politik luar negeri Saudi Arabia.
IM menjadi mesin propaganda efektif melalui koran, majalah, dan
radio.28
Meskipun menguasai sektor pendidikan dan organisasi, IM
Saudi tetap tidak mampu menembus lembaga tradisional ulama
yang dikuasai Wahabi seperti Peradilan Syariat dan Majelis Ulama
Senior. Namun, kiprah IM pun bersinggungan langsung di wilayah
dominasi Wahabi dengan menyebarkan buku, buklet, dan selebaran
tentang pemikiran IM di sekitar Masjidilharam.29 Dalam posisi ini,
kerajaan diuntungkan: di satu sisi mendapatkan dukungan politis
dari ulama Wahabi, sedangkan di sisi lain dengan sumber daya IM,
lembaga pendidikan dan kelembagaan Saudi juga tetap terbangun
baik.
Namun, eksistensi IM secara kelembagaan merupakan orga­
nisasi yang dilarang berdiri di Saudi sehingga IM tetap berkembang
secara informal. IM tetap berkembang melalui perkumpulan pemu-
da, klub-klub hobi, olahraga, ruangan kelas, perkemahan pelajar,
aksi solidaritas, dan perkumpulan penghafal Al-Qur’an. Mereka
terhubung dengan jaringan informal yang bernama Jama’at. Metode
ini pada tahun 1970-an cukup mengakar di masyarakat Saudi.
Kedekatan dan percampuran Wahabi-IM ini pada akhirnya tetap
saja melahirkan perpecahan. Pengikut IM faksi ulama asal Suriah,
Syekh Muhammad Surur (dikenal dengan sebutan Sururi), enggan
mengkritik apalagi konfrontasi dengan pemerintah, sebuah karak-
ter tipikal Wahabisme. Adapun generasi muda IM berpendidikan
dari Barat dan telah bersentuhan dengan iklim politik demokratis
bergabung dalam As-Sahwa Al-Islamiyah (dikenal dengan sebutan
Sahwa). Sahwa pimpinan Safar Al-Hawali dan Salman Al-Awdah ini
berkarakter gabungan Wahabi-IM sehingga berbeda dibandingkan

28
Lacroix, Awakening Islam, 40-42.
29
Wawancara dengan Syekh Ismail Harbi, Wakil Direktur Yayasan Haramain, 30
Maret 2017.

Dinamika Politik Islam ... | 153


IM dari tempat asalnya yang masih mengadopsi sufisme. Hanya saja,
keduanya sama-sama memiliki tendensi politik yang kuat.
Sahwa pernah protes keras—dengan melayangkan surat
permintaan agar pemerintah kembali kepada pijakan Islam yang
benar—ketika Saudi meminta bantuan pada AS dan sekutunya
(baca: negara nonmuslim) dalam perang Irak-Kuwait tahun 1991.
Sekitar 500.000 pasukan internasional memasuki Saudi.30 Peristiwa
ini justru memicu lahirnya Dekrit Raja (1993) untuk membentuk
Kementerian Urusan Islam, Wakaf, Dakwah, dan Penyuluhan yang
melakukan kontrol ceramah dan otoritas ulama-ulama Saudi agar
loyal pada kerajaan.31 Raja Fahd melakukan pembersihan syekh yang
diduga berafiliasi dengan IM, mengganti para ulama Sahwa dari
semua posisi mereka, mengusir Muhammad Qutb dari Universitas
Ummul Quro. Menteri Dalam Negeri Saudi, Pangeran Nayef, bah-
kan secara terbuka menuduh IM sebagai sumber dari semua petaka
di Kerajaan Arab Saudi.32
Hubungan kerajaan-Sahwa berangsur membaik ketika Mufti
Saudi Abdul Aziz bin Baz meninggal (1999) sehingga menimbul-
kan kekosongan profil ulama yang mumpuni. Raja Fahd semula
ingin menjadikan ulama-ulama Sahwa sebagai penopang kerajaan
dengan syarat berkomitmen untuk tidak menentang Pemerintahan
Saudi. Tujuan Raja kala itu adalah untuk mendapatkan legitimasi
dari ulama Sahwa guna menentang Al-Qaeda yang banyak digan­
drungi pemuda Saudi. Namun, relasi ini kembali berubah ketika
Raja Abdullah tampil dan seiring munculnya isu Arab Spring. Para
ulama Sahwa kembali mengajukan petisi, mengajukan proporsi yang
adil antara hak negara dan hak berorganisasi yang ditandatangani

30
Commins, The Wahabi Mission, 144–145.
31
Commins, The Wahabi Mission, 145–147.
32
Stéphane Lacroix, “Saudi Arabia’s Muslim Brotherhood predicament,” The
Washington Post, (Maret 2014), https://www.washingtonpost.com/news/monkey-
cage/wp/2014/03/20/saudi-arabias-muslim-brotherhood-predicament/?utm_
term=.f3b04fe78fc2

154 | Politik Islam di Arab Saudi ...


10 ulama Sahwa termasuk Salman Al-Awdah.33 Seiring fenomena
penggulingan dan geliat pergantian rezim di Mesir, para ulama
Sahwa juga menuntut reformasi pemerintahan meskipun mereka
menentang rencana demonstrasi besar-besaran pada 11 Maret 2011
di Riyadh sehingga demonstrasi gagal terlaksana.
Tidak hanya muncul dari kalangan Sunni, gerakan politik Islam
di Saudi muncul dari kalangan Syiah juga. Arab Saudi memang bukan
negara monolit Sunni, melainkan ada juga warga Syiah. Meskipun
jumlah kaum Syiah hanya sekitar 10%, namun sejak berkuasa di
tahun 1913 atas wilayah-wilayah Syiah (terutama Al-Hasa), Arab
Saudi menghadapi dilema antara keinginan untuk mendapatkan
legitimasi di wilayah Syiah ini atau berpegang pada menegakkan
pengaruh Wahabi.34 Berdasarkan konteks sejarah, mayo­ritas penga-
nut Syiah berada di pesisir timur dekat dengan Teluk Persia, yakni
Al-Hasa, dekat perbatasan Oman, sebagian lagi berada di selatan
Saudi berbatasan dengan Yaman. Al-Hasa dihuni berbagai etnis
Arab, Persia, Baluchi, Asia Selatan dan Afrika. Mayoritas warga di
sana menganut Syiah Itsna Asyariyah.
Penganut Syiah di Saudi tidaklah tunggal. Itsna Asyariyah (Syiah
Imamiyah) merupakan aliran dominan, mencapai sekitar 2 juta jiwa
yang terkelompok dalam al-Baharna, Nakhawila, Bani Husaini, Bani
Ali (Harb), dan Bani Juhaynah. Kelompok 1) Al-Baharna merupakan
imigran dari berbagai tempat sejak Bani Umayyah dan Abbasiyah.
Mereka ada di pesisir timur dan terkonsentrasi di Kota Qatif dan
Dammam di sekitar Pelabuhan King Abdul Aziz dan dekat dengan
Bahrain. Mereka memiliki kesamaan etnis dengan Syiah Bahrain. 2)
Nakhawila merupakan kaum sosial menengah ke bawah, menganut
Syiah Imamiyah, dan menetap di sekitar Madinah, Wadi al-Fara.
Kebanyakan mereka berkerja sebagai petani dan buruh perkebunan
kurma di sekitar Madinah.35

33
Commins, The Wahabi Mission, 145–147.
34
Commins, Islam in Saudi Arabia, 7–8.
35
Raihan Ismail, Saudi Clerics and Shi’a Islam (New York: Oxford University Press,
2016).

Dinamika Politik Islam ... | 155


3) Penganut Syiah Imamiyah dari sebagian kecil Bani Hussaini
(keluarga Syarif Hussain yang menguasai Hijaz era penguasaan
Turki Utsmani), Bani Ali, dan Bani Juhaynah. Mereka adalah suku
nomaden di wilayah Hijaz. Sebagian besar telah menganut ajaran
Wahabi sejak keluarga Bani Saud menguasai Saudi. 4) Di sebelah
barat daya Saudi, tepatnya di Lembah Najran (sejak abad ke-16),
bahkan menjadi kiblat Syiah Ismailiyah yang berasal dari Yaman,
Pakistan, dan India. 5) Di sepanjang perbatasan Saudi–Yaman,
terdapat Syiah Zaidiyah, sebagai sekte utama Syiah Yaman. Relasi
interpersonal kesukuan, kultural, dan kedekatan geografis menye-
babkan Syiah di wilayah ini dinamis meskipun secara entitas politik
mereka terpisahkan antara dua negara.
Pada era kejayaan, harga minyak dan ekonomi Saudi m­ engalami­
surplus sehingga pembangunan besar-besaran terjadi di Saudi.
Namun, pembangunan berbagai infrastruktur (seperti rumah
sakit, sekolah, penampungan air, jalan) hanya banyak terpusat di
wilayah Sunni sehingga memancing kecemburuan yang memicu
gelombang demonstrasi di kalangan Syiah. Kelompok oposisi Syiah
terbesar di Saudi merujuk pada figur Syekh Hasan Al-Saffar (murid
Muhammad Mahdi al-Shirazi, Irak Utara). Hasan bersama kaum
muda Syiah Saudi mendirikan Organization of Islamic Revolution
(OIR) pada tahun 1979. Momentum revolusi Iran membuat OIR
kian aktif melakukan kritik bahkan demonstrasi di wilayah timur
Saudi. Akibatnya, banyak anggota OIR ditangkap.36 Berikutnya, pe-
merintah membuat kebijakan “akomodatif ”, dengan mengundang
Hasan Al-Saffar ke rumah pribadi ulama terkemuka Wahabi, Bin
Baz. OIR akhirnya menjadi lebih moderat, bahkan berganti nama
menjadi Reform Movement.37
Berbeda dengan Saudi Arabia yang telah secara kukuh menahbis-
kan ikatan yang kuat antara Ad-Din wa Ad-Daulah, Kuwait memang
kurang memperlihatkan keterkaitan sekukuh yang terjadi di Saudi

36
Commins, Islam in Saudi Arabia, 141.
37
Commins, Islam in Saudi Arabia, 105.

156 | Politik Islam di Arab Saudi ...


meskipun dengan monopoli Wahabisme. Namun, politik keterbu-
kaan di Kuwait membuka peluang tampilnya kekuatan-kekuatan
politik Islam yang bahkan menjadi sangat dominan dalam konstelasi
politik. Ada tiga faktor yang melatarbelakangi kuatnya relasi antara
warga dengan faksi politik tertentu di Kuwait, yaitu tribalisme, kelas
menengah dari para pengusaha, dan ideologi Islam.38
Pertama, faktor tribalisme (kesukuan) yang sudah men­darah
daging dalam kehidupan warga Kuwait. Kebijakan mengeluarkan
kaum Biduni (ras Arab non-Kuwait sebagai bukan warga negara
Kuwait) dalam politik Kuwait sejak 1991 merupakan bagian dari
perwujudan sentimen tribalisme. Jika populasi Arab Saudi (2016)
mencapai 31,79 juta jiwa, 36,8% di antaranya merupakan imi-
gran39, penduduk Kuwait yang berjumlah sekitar 4,398 juta jiwa,40
ma­yoritas adalah non-Kuwait (termasuk ekspatriat) yang mencapai
55%, sedangkan warga Kuwaiti (Kuwait asli) jumlahnya hanya
mencapai 45% yang umumnya mendiami wilayah perkotaan atau
Kuwait City. Polanya hampir sama dengan Saudi, yakni 85% warga
tinggal di perkotaan.41 Dari 55% tersebut, 33% di antaranya adalah
Arab non-Kuwait, sebagai etnis terbesar kedua di Kuwait. Mereka
berasal dari beragam etnis Timur Tengah dan Afrika Utara yang da-
tang setelah kemerdekaan 1961. Mereka banyak dari Palestina dan
Yordania dan berpindah kewarganegaraan hingga menjadi kelompok
etnis Arab non-Kuwait serta direkrut menjadi tentara atau polisi.
Namun, semasa perang 1991, mereka banyak yang dideportasi dan
dicabut kewarganegaraannya karena dukungan mereka terhadap
Irak, memfasilitasi pengungsi Irak, dan dituduh melakukan upaya
pembunuhan Emir Jabir Al-Ahmad As-Sabah. Sejak itulah banyak

38
A. Hiramatsu, “The Changing Nature of the Parliamentary System in Kuwait:
Islamists, Tribes, and Women in Recent Elections,” Kyoto Bulletin of Islamic Area
Studies, 4, No. 1&2, (2011), 62–73.
39
Mayoritas imigran berasal India, Mesir, Bangladesh, Srilanka, Filipina, Indonesia,
dan Pakistan yang bekerja pada berbagai sektor, seperti infrastruktur, pelayanan
publik, pendidikan, kesehatan, hingga pembantu rumah tangga.
40
“Kuwait Population 2017,” Januari 2017.
41
“Kuwait Population 2017”, 1–2.

Dinamika Politik Islam ... | 157


warga Arab non-Kuwait (seperti Arab Saudi, Irak, Yaman, dan
Sudan) tidak berkewarganegaraan alias Bidun. Bidun ini dianggap
imigran gelap oleh Pemerintah Kuwait meski telah turun-temurun
tinggal di Kuwait.
Meskipun Kuwait merupakan negara kecil yang makmur de­
ngan indeks pembangunan manusia yang tinggi dan sistem politik
demokratis yang maju, tribalisme begitu dominan dalam kehidupan
sosial-ekonomi masyarakat. Sejarah Kuwait tidak lepas dari pertalian
kuat tiga suku besar (As-Sabah, Al-Khalid, dan Al-Ghanim) yang
berimigrasi dari Najd ke wilayah pesisir Kuwait untuk mencari peng-
hidupan. Pertalian ketiga suku tersebut menjadi cikal bakal terben-
tuknya negara Kuwait modern. Politik Kuwait tidak lepas dari peran
kesukuan tersebut. Di Kuwait, suku dapat berperan sebagai partisan
(pendukung) organisasi politik tertentu tanpa campur tangan dari
pemerintah. Dalam hal ini, kepala suku mengarahkan pengikutnya
untuk memilih atau mendukung faksi tertentu sesuai dengan ideo­
logi politiknya. Terdapat sejumlah suku berpengaruh terkait basis
dukungan di Kuwait, antara lain, Al-Mutairi, Ar-Rashidi, Al-Enizi,
As-Shammari, Ad-Dhaferi, dan Al-Ajmi.42
Kedua, faktor kelas menengah yang berkembang di Kuwait
dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Etheridge, sedikitnya
terdapat sekitar 1,1 juta orang (25% dari total penduduk Kuwait)
kategori kelas menengah (kebanyakan ekspatriat berprofesi pengu-
saha).43 Meskipun tidak begitu tampak dalam percaturan politik,
pengusaha muda di Kuwait telah mendorong banyak perubahan,
baik dalam kehidupan ekonomi maupun sosial. Ketiga, faktor ide-
ologi keislaman. Peran faksi politik terutama dari kelompok Islam.
Meskipun Kuwait melarang partai politik, organisasi sosial-­
politik nonresmi dibolehkan dan berkembang dengan sangat

42
AlFozaie, Naser. “Tribalism in Kuwait: Impacts on the Parliament,” Master Thesis
2016, file:///E:/Bahan%20Tulisan%20Kuwait/Nasser-2016_Tribalisme%20
in%20Kuwait.pdf.
43
Jamie Etheridge, “Hallmarks of Kuwait’s Middle Class,” Kuwait Times (Juni 2014),
http://news.kuwaittimes.net/hallmarks-kuwaits-middle-class/.

158 | Politik Islam di Arab Saudi ...


­ inamis. Para aktivisnya sangat aktif dan berperan besar dalam kancah
d
politik Kuwait. Dalam konteks politik nasional, kelompok oposisi
dapat dibagi dalam tiga kekuatan utama, yaitu Kelompok Oposisi
Islam, Gerakan Populer (terdiri dari Forum Demokrasi Kuwait,
Aliansi Demokrasi Nasional, dan Gerakan Progresif Kuwait), dan
Kelompok Independen. Kebanyakan terdiri dari para aktivis, baik
intelektual, pemuda maupun suku yang mempunyai pandangan
kritis terhadap pemerintah.44
Ketiga kelompok tersebut mempunyai tujuan sama dalam hal
reformasi politik, tetapi terdapat perbedaan menonjol, terutama
terkait kebijakan sosial-politik, agama, dan kebijakan luar negeri.
Sementara itu, secara ideologis, aktivisme politik Kuwait didomi-
nasi beberapa arus, di antaranya, 1) kelompok pedagang liberal,
2) arus nasionalis dan progresif yang terinspirasi Nasserisme dan
Ba’tsisme, (berkembang tahun 1970-an), 3) kelompok berhaluan
Islam, seperti Ikhwanul Muslimin (IM) dan Salafi. Berdasarkan
afiliasinya, kelompok Islam dibedakan lagi dalam dua kelompok,
yaitu kelompok oposisi Islam yang terdiri dari faksi politik The
Islamic Constitutional Movement (ICM) dan Salafi. Sementara itu,
kelompok pro-Monarki terdiri dari kalangan Syiah dengan beragam
alirannya.45
ICM merupakan sayap politik IM yang cukup berpengaruh
dalam kehidupan sosial-politik masyarakat, terlihat dari simpati
masyarakat dengan aktivitas sosial-politik ICM di samping banyak­
nya anggota IM mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.46
ICM sebagai gerakan politik Islam gaya baru di Kuwait didirikan
(30 Maret 1991), bertujuan untuk melakukan reformasi peme­
rintah secara legal di samping perannya dalam bidang sosial dan

44
S. Awadh, “Islamic Political Groups in Kuwait: Roots and Influences,” Unpublished
Doctoral Thesis. (Portsmouth: University of Portsmouth, 1999).
45
Courtney Freer, “The Rise of Pragmatic Islamism in Kuwait’s Post Arab Spring
Opposition,” Project on U.S. Relations with the Islamic World at Brookings.
(Washington: Brookings Institution, 2015), 1–2.
46
Freer, “The Rise of Pragmatic Islamism,” 2.

Dinamika Politik Islam ... | 159


amal. Kemunculan ICM dilatarbelakangi oleh kekecewaan sebagian
anggotanya terhadap IM Internasional yang seolah-olah diam dan
membiarkan Irak melakukan invasi ke Kuwait pada Agustus 1990
sehingga gerakan ini memutus hubungan dengan IM internasional.
Di Kuwait, ICM tumbuh karena dorongan sebagian anggotanya
untuk memperjuangkan reformasi sosial-politik melalui Social
Reformation Society (SRS) dengan mendirikan badan amal Islam
yang berafiliasi dengan pengikut IM yang sudah ada sebelumnya. IM
Kuwait pernah mengalami perpecahan pada tahun 2003 dengan dua
kepemimpinan47 sehingga pada Pemilu 2003 kalah dan kehilang­an
tiga dari lima kursi di parlemen.
Setelah pemilu, ICM melakukan restrukturisasi secara drastis,
menciptakan Majelis Umum ICM (beranggotakan 70 orang) dan
sekretariat ICM (beranggotakan 21 orang) dan sembilan orang un-
tuk mengisi jabatan di kantor urusan politik ICM. Restrukturisasi
dimaksudkan untuk membentuk faksi politik resmi yang diizinkan
pemerintah dalam menghadapi pemilu. ICM merombak jajaran
pimpinan dengan memprioritaskan anggota muda dan moderat di­
bandingkan kalangan tua. Terbukti dengan perombakan, ICM dan
kelompok yang tergabung dalam blok oposisi memperoleh suara
signifikan, seperti pada Pemilu 2012, 2014, dan 2016. Di parlemen,
ICM berkoalisi dengan kelompok Islam lain yang beranggotakan 13
orang sebagai anggota tetap untuk bekerja sama dalam merumuskan
undang-undang dan kebijakan politik lain. ICM juga berkoalisi
dengan kelompok lain untuk mendukung kebijakannya.
ICM bertujuan melakukan reformasi pemerintahan secara legal,
melakukan islamisasi lewat reformasi konstitusional. Karakteristik
cara ini telah menjadikan ICM pilihan yang dapat diterima ka­
langan yang menginginkan implementasi Islam dalam reformasi
pemerintah­an­dengan tanpa kekerasan.48 ICM merupakan sayap
resmi gerakan Ikhwanul Muslimin Kuwait. Organisasi yang memi-

47
Shafeeq Ghabra, “Balancing State and Society: The Islamic Movement in Kuwait,”
Middle East Policy, 55(2), May, (1997), 58–59.
48
Brown, “Pushing Toward”, 3–20.

160 | Politik Islam di Arab Saudi ...


liki ikatan formal dengan organisasi induk di Mesir ini sebenarnya
membangun fungsi utama untuk bergerak di bidang sosial dan
amal. Namun, ICM akhirnya terjun juga ke ranah politik, terutama
ketika terjadi pembubaran parlemen (1976 M) akibat perseteruan
terus-menerus antara parlemen dan pemerintah. Ketika parlemen
kembali diaktifkan pada tahun 1981, Ikhwanul Muslimin memper-
oleh beberapa kursi. Capaian politik terbesar IM terjadi pada 1990,
menyusul peristiwa Saddam Hussein menyerang Kuwait. Kala itu,
angkatan muda IM tetap tinggal di Kuwait dan membentuk gerakan
perlawanan ICM.49 Sejak itulah eksistensi ICM mendapat perhatian
luar biasa dari masyarakat Kuwait. Memang, setidaknya sampai
2017 belum ada gerakan Islam yang kuat untuk memenangkan kursi
mayoritas di parlemen, tetapi eksistensi ICM (dan gerakan Islam
lain) bersifat instrumental dalam membentuk kelompok mayoritas
reformis dalam Pemilu Parlemen 2016. Tatkala terjadi perebutan
kekuasaan keluarga kerajaan pada 2006 menyusul wafatnya sang
raja, misalnya ICM mampu menggunakan situasi ini untuk mem-
peroleh dukungan rakyat dan gerakan kiri untuk membentuk koalisi
reformis.50
Selain IM, di Kuwait terdapat gerakan Islam yang juga cukup
kuat, Salafi. Kelompok ini terpilah dalam dua kelompok, antara
Salafi puritan dan aktivis. Kaum puritan lebih berkembang di da-
lam negeri, sedangkan kaum aktivis lebih banyak pendukung di luar
­negeri.51 Salafi puritan kurang politis, memilih fokus pada penguatan
keagamaan dan penegakan nilai Islam yang sesuai As-Salaf As-Salih,
sementara Salafi aktivis terlibat dalam politik praktis. Dalam Pemilu
Parlemen 2012, kelompok aktivis ini sempat mendominasi kursi

49
Amanda Rudman dkk., “Domestic Dynamics of Political Islam in the Greater
Middle East: Case Studies of Jordan, Egypt, Kuwait and Turkey,” Cornell
International Affairs Review, 1. No.1 (2007), 1–3.
50
Brown, “Pushing Toward”, 3–20.
51
Zoltan Pall, “Kuwait Salafism and Its Growing Influence in the Levant,” Carnegie
Endowment for International Peace. (Washington: Carnegie Endowment for
International Peace, 2014), 15–20.

Dinamika Politik Islam ... | 161


parlemen. Namun, karena dominasi dan sikap represif monarki,
kelompok ini jadi terpinggirkan.
Kemunculan Salafi di Kuwait menjadi organisasi yang tertata
pada pertengahan abad-19 ketika sejumlah pemuda mengikuti dak-
wah Salafi berkumpul dan menyusun program untuk mengingatkan
masyarakat Kuwait tentang pentingnya Islam yang bersumber dari
ajaran Rasul dan sahabat. Kelompok Salafi ini tidak banyak berke-
cimpung dalam kancah politik, tetapi lebih pada pendidikan dan
amal.
Pada awal Kuwait modern berdiri, Salafi mendapatkan pengikut
di Kuwait dan mulai terjun ke dunia politik, khususnya di kalangan
pedagang dan ekspatriat Arab. Mereka kali pertama mendirikan
Revival of Islamic Heritage Society (RIHS) pimpinan syekh (asal
Mesir) dan Abdurrahman Abdul Khaliq. RIHS dimaksudkan sebagai
kendaraan politik para ulama dan aktivis Salafi. Meskipun Salafi di
Kuwait kerap dirugikan rezim monarki, namun mereka menikmati
dukungan Arab Saudi sebagai sekutu dekat monarki. Konon, ko-
munitas Arab Badui dari Najd yang datang ke Kuwait abad ke-17
menjadi pengikut aliran Salafi sehingga wajar kiranya jika aktivitas
gerakan ini banyak didanai kelompok pedagang Salafi Saudi.
Selain RIHS, faksi Salafi lainnya yang berperan dalam poli-
tik Kuwait adalah Asosiasi Salafi Islam (At-Tajammu’ Al-Islami
­As-Salafi) yang didirikan pada tahun 1991 dengan tujuan memba­
ngun moralitas masyarakat Kuwait setelah Perang Teluk (invasi
Irak). Isu yang didengungkan kelompok ini di parlemen adalah
terkait dengan hukum Islam (syariat) dan menjadikan syariat sebagai
satu-satunya sumber hukum, melarang minuman keras dan perjudi-
an. Di parlemen, Asosiasi Salafi Islam merupakan kelompok Salafi
terbesar yang dekat dengan kelompok pro-monarki. Kelompok ini
harus bersaing dengan ICM untuk mendapatkan pengaruh dari elite
urban (Hadar).
Kelompok Salafi terakhir adalah Partai Ummah (Hizb Ummah),
blok politik yang menyebut diri sebagai sebuah partai meskipun hal
itu sebenarnya dilarang pemerintah Kuwait. Faksi yang berdiri pada

162 | Politik Islam di Arab Saudi ...


tahun 2005 ini sebagian besar anggotanya berasal dari komunitas
Badui yang terinspirasi dari pemikiran Syekh Al-Mutairi. Kubu ini
berusaha mendorong gerakan Salafi Kuwait agar dapat bertransfor-
masi menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan. Di parlemen,
faksi ini kerap menyerukan kedaulatan rakyat dan pelaksanaan
demokrasi di parlemen. Oleh karena itu, pandangannya yang lebih
moderat, banyak aktivis Salafi dari Partai Ummah yang tidak disukai
kalangan Salafi konservatif.
Selain kekuatan politik Islam dari kaum Sunni, di Kuwait juga
muncul kekuatan politik dari kalangan Syiah. Dari keseluruhan
penduduk Kuwait, 75% bermazhab Sunni (Maliki dan Hanbali),
tetapi eksistensi Syiah juga berpengaruh signifikan dalam konste-
lasi politik. Sekitar 15% penduduk Kuwait adalah penganut Syiah,
dan sisanya 10% nonmuslim semuanya adalah ekspatriat (pekerja
­migran). Warga Syiah di Kuwait terdiri dari dua kelompok besar,
yaitu Syiah Arab (Syiah Kuwaiti), sekitar 20% dari total warga Syiah,
sedangkan sebagian besar (80%) adalah Syiah asal Iran.52 Etnis Syiah
Iran telah menetap di Kuwait selama berabad-abad sejak Dinasti
Buyud ­menguasai Kuwait pada abad ke-10 M. Meskipun kebanyak­
an mereka adalah ekspatriat dengan budaya Syiah, umumnya mere-
ka cenderung setia pada Kuwait sebagaimana kebanyakan ekspatriat
lain. Namun, monarki Kuwait tetap menaruh curiga pada kelompok
ini sehingga sering menyebabkan terjadinya pergulatan antarkedua
kelompok dalam arena politik di Kuwait.
Dari berbagai kekuatan politik Islam yang tumbuh di Kuwait,
tampaknya ICM merupakan kelompok yang paling siap dalam
menghadapi terpaan krisis dan dominasi kuat monarki. Pasalnya,
ICM lebih mengedepankan reformasi damai dalam aksinya ketim-
bang harus menempuh cara-cara kekerasan. Hal ini berbeda dengan
kekuatan politik Islam lainnya seperti Syiah yang sudah terfragmen-
tasi secara politis dengan menjadi kelompok pro-monarki. Mereka

52
Ghabra, “Balancing State”, 9–10.

Dinamika Politik Islam ... | 163


tidak memiliki organisasi politik yang cukup baik di tengah semakin
meningkatnya krisis politik Kuwait.
Peran faksi Islam sangat besar dalam kehidupan sosial politik
Kuwait, di parlemen maupun di sektor pendidikan dan dakwah.53
Kurikulum pendidikan Islam, baik di sekolah maupun universitas
berada dalam kawalan dan kontrol kelompok ini agar tetap selaras
dengan prinsip syariat. Dalam konteks ini, apa yang terjadi di Kuwait
sama persis dengan yang sempat terjadi di Saudi sebelum akhirnya
Raja Saudi memberangus peran mereka akibat aksi (protes) politik
terkait Perang Teluk tahun 1991 yang diikuti protes politik terkait
feno­mena Arab Spring.
Bedanya adalah dalam konteks Kuwait, aktivitas sosial dan
dakwah kelompok Islam di Kuwait berperan signifikan sehingga
mampu memengaruhi berbagai kalangan. Oleh karena itu, pada se-
tiap pemilu—yang memang diselenggarakan di Kuwait—kelompok
Islam meraih suara signifikan. Namun, dominasi monarki dalam
politik dan ekonomi menjadikan kelompok ini lebih berfokus dalam
reformasi konstitusi, isu korupsi, dan aktivitas sosial kemanusiaan,
ketimbang melakukan perlawanan reformasi struktur kepemim­
pinan di Kuwait.
Pada Pemilu Februari 2012, misalnya, kelompok oposisi Islam
memperoleh 34 dari 50 kursi. Adapun kelompok liberal mem­
peroleh 9 kursi, sedangkan kalangan perempuan tidak mendapatkan
kursi.54 Pada 20 Juni 2012, Mahkamah Konstitusi Kuwait mem-
batalkan hasil Pemilu 2012 dan mengembalikannya pada Parlemen
Pemilu 2009. Pembubaran parlemen ini merupakan puncak dari
perta­rungan politik antara rezim pro monarki vs kelompok oposisi
Islam. Namun, keputusan pemerintah membubarkan parlemen
mendapatkan penolakan keras dari oposisi yang bersepakat mem-
boikot pemilu baru. Memang, pemboikotan pemilu menyebabkan

53
Ghabra, “Balancing State”, 58–72.
54
“Kuwait Study Group: The Experience of Parliamentary Politics in the GCC,”
(London: Chatham House, 2010).

164 | Politik Islam di Arab Saudi ...


hasil Pemilu Desember 2012 dikuasai kelompok pro-monarki.
Namun, serangkaian protes ekstraparlemen terus terjadi sehingga
peta persaingan, baik di eksekutif maupun legislatif beralih men-
dukung oposisi. Kemenangan oposisi Islam pada Pemilu 2012 dan
tetap eksisnya mereka dalam mengawal demokrasi dengan dukung­
an masyarakat ini terjadi karena faktor keislaman, aktivitas sosial
yang kuat dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat (terutama
di daerah yang didominasi para suku), serta sepak terjangnya sebagai
garda depan gerakan protes menentang kesewenang-wenangan dan
dominasi rezim monarki.
Dalam Pemilu 25 Juli 2013, suara kelompok Syiah turun se-
cara signifikan, hanya 8 dari sebelumnya yang mencapai 17 kursi.
Kelompok liberal mengalami peningkatan dari 1 menjadi 9 kursi.
Kelompok muslim Sunni pro-pemerintah mendapat 30 kursi dan
perempuan memperoleh 2 kursi parlemen. Berikutnya pada Pemilu
26 November 2016 kelompok oposisi memperoleh 24 dari 50 kursi.
Separuh dari kursi parlemen oposisi berasal ICM sayap Ikhwanul
Muslimin dan Salafi. Sepertiga kursi parlemen diduduki kalangan
pemuda, sedangkan Syiah dan suku mengalami penurunan menjadi
6 kursi dari 9 kursi pada pemilu sebelumnya.55
Di Kuwait, Islam memberi pengaruh signifikan dalam mem-
bentuk identitas diri komunitas “pesisir” atau suku, yang keba­
nyakan lebih termotivasi untuk meningkatkan identitas kultural
dalam sosial kemasyarakatan dibandingkan terlibat langsung dalam
kehidupan politik praktis. Komunitas suku yang kritis tidak ragu
untuk mendukung kelompok Islam fundamentalis (seperti Salafi)
ataupun reformis (ICM) selama hal itu dapat memperjuangkan
kepentingan mereka.56 Komunitas suku di pesisir inilah yang kerap
dilibatkan pemuda dan aktivis politik untuk melakukan perubahan
dan berkontribusi dalam proses demokratisasi, terutama menentang

55
K. Katzman, “Kuwait: Governance, Security, and U.S. Policy,” Congressional
Research Service, (May 2016).
56
Yagoub Al-Kandari, Tribalism, Sectarianisme, and Democracy in Kuwaiti Culture.
(Kuwait City: Kuwait Universty Press, 2014).

Dinamika Politik Islam ... | 165


kesewenang-wenangan monarki. Kesadaran politik kelompok suku
(dan kelompok pemuda) yang tumbuh dari hasil interaksi dengan
gerakan Islam ini telah sukses menghasilkan karakter baru yang lebih
kritis dan terbuka, bahkan sebagian terlibat untuk menjadi anggota
parlemen. Realitas ini telah memperluas dikotomi politik antara
konservatif monarki dan pengusaha kelas menengah serta generasi
baru aktivis politik, baik dari daerah pedalaman maupun perko-
taan) yang berhaluan Islam maupun nasional sekuler. Kelompok ini
memprotes kebijakan ekonomi yang tidak sesuai Visi Kuwait 2035
ataupun soal pengelolaan negara koruptif.57
Terkait konstelasi agama dalam konteks politik, kasus Uni
Emirat Arab (UEA) tampaknya tidak jauh beda dengan Kuwait.
Berbeda dengan Arab Saudi yang telah secara kukuh menahbiskan
ikatan yang kuat antara Ad-Din wa Ad-Daulah dan monopoli paham
Wahabi, UEA pun—sebagaimana Kuwait—kurang memperlihat-
kan keterkaitan sekukuh apa yang terjadi di Saudi. Di UEA bahkan
terdapat kelompok oposisi Islam terbesar, semisal Jamiyyat Al-Islah
(Al-Islah Society) yang bertujuan melakukan perubahan rezim. LSM
yang terdaftar di UEA sejak 1974 M ini aktivitas awalnya adalah di
bidang olah raga, budaya, amal, dan aktivitas sosial. Sebagai organi­
sasi kemasyarakatan yang mendapat lisensi dari Kementerian Tenaga
Kerja dan Sosial, Al-Islah memiliki hubungan baik dengan pegawai
pemerintah.58
Namun, pada perkembangan waktu, Al-Islah akhirnya
mengembangkan agenda reformasi, paralel dengan agenda sosialnya,
sebagaimana cukup jamak dilakukan banyak gerakan politik Islam
lain di dunia Arab, termasuk ICM di Kuwait, ataupun Ikhwanul
Muslimin (IM) di Mesir dan An-Nahdhah di Tunisia meskipun
tetap ada perbedaan dalam tujuan dan bentuk gerakannya. Walhasil,
terinspirasi oleh nilai-nilai politik Islam moderat, Al-Islah akhirnya

57
Ghabra, “Kuwait at the Crossroads,” 1–3.
58
Pekka Hakala, “Opposition in the United Arab Emirates,” Quick Policy Insight, (15
November 2012). http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/briefing_note/
join/2012/491458/EXPO-AFET_SP%282012%29491458_EN.pdf.

166 | Politik Islam di Arab Saudi ...


memiliki tujuan untuk menyediakan petunjuk moral dan reformasi
politik bagi seluruh warga negara UEA.59
Secara ideologis, Al-Islah merupakan manifestasi gerakan IM
sehingga cikal bakal eksistensinya di wilayah Teluk Arab telah ada
sebelum negara Uni Emirat Arab lahir. Pada tahun 1950–1960-
an, Mesir era Gamel Abdel Nasser melakukan pembersihan IM di
negaranya sehingga para aktivis melarikan diri ke berbagai wilayah,
termasuk wilayah yang akhirnya bernama UEA. Mereka adalah in-
dividu berpendidikan, profesional, dan kalangan yang mempunyai
mobilitas tinggi. Mereka bekerja di sektor publik dan swasta, terma-
suk sektor peradilan dan pendidikan.60 Karakteristik pendominasian
sektor pendidikan oleh IM ini persis seperti terjadi di Saudi maupun
Kuwait.
Kiprah IM di UEA adalah menangani kegiatan sosial dan bu-
daya. Apabila membaca majalah kelompok IM, Al-Islah, akan terlihat
topik yang paling sering dibahas adalah menyangkut perkembangan
pendidikan Islam, penyensoran terhadap informasi yang berasal dari
Barat, seperti tulisan di majalah atau program televisi, pembatasan
penjualan alkohol, masalah korupsi di pemerintahan, dan peram-
bahan bisnis dan budaya asing (terutama Barat) dalam masyarakat
UEA.
IM memang ingin mengembangkan sebuah agenda reformasi
politik melalui kegiatan dan program sosial. Mereka juga mendesak
pemerintah untuk membuat kebijakan yang mengarah pada dis-
tribusi kekayaan yang lebih setara.61 Pada awal bulan Maret 1979,
Dewan Al-Islah UEA menulis sebuah surat kepada penguasa setempat
menjelang pertemuan Al-Majlis al-A’la lil-Ittihadi (Dewan Penguasa
Tertinggi), yang mendukung usaha pemerintah untuk mengurangi
korupsi dan untuk menghabiskan uang minyak dengan cara “saleh”.
Pada tahun 1982, majalah Al-Islah lebih eksplisit menjelaskan posisi

59
Hakala, “Opposition”.
60
Al-Qassemi, “The Brothers”.
61
Hakala, “Opposition.”

Dinamika Politik Islam ... | 167


mereka menentang larangan pemerintah terhadap majalah Islam.
Mereka menganggap Islam dapat menyelesaikan berbagai masalah.
Katanya, “Dengan Islam, kita membebaskan tanah Islam, kita
menghentikan ketidakadilan terhadap Islam. Tiran takut kepada
kita karena Islam.”62
Pada awal 1990-an, sektor peradilan dan pendidikan UEA telah
dikuasai IM, bahkan seakan-akan menjadi “negara dalam negara”
(a state within a state). Kelompok itu akan memastikan bahwa
orang-orang yang memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa
pendidikan dan hibah adalah anggota IM—setidaknya berafiliasi
atau simpatisan mereka. Dalam waktu singkat, dewan mahasiswa dan
asosiasi profesional—seperti serikat ahli hukum dan guru—berubah
menjadi pos terdepan bagi kepentingan Ikhwanul Muslimin.63
Dapat dipahami jika dalam pemilu parlemen, Al-Islah akhir­
nya juga mendominasi 20 dari 40 kursi FNC yang diperebutkan.
Pada November 2008, masa tugas anggota FNC diperpanjang dari
dua tahun menjadi empat tahun, durasi masa kerja ini dianggap
lebih sesuai dengan parlemen lainnya di dunia. Pada Pemilu 2011,
terdapat 469 kandidat (termasuk 85 wanita) untuk 20 kursi yang
diperebutkan dalam pemilu. Pemilu 3 Oktober 2015 diikuti 330
kandidat (termasuk 74 wanita) untuk 20 kursi yang diperebutkan.
Dilihat dari latar belakang mereka, para kandidat FNC ternyata
dominan dari kalangan hukum dan pendidikan. Oleh sebab itu,
meskipun tidak ada data resmi, kemungkinan besar Al-Islah (IM)
telah mendominasi—meskipun tidak seluruh 20 kursi—kursi par-
lemen yang diperebutkan. Namun, representasi tersebut tetap tidak
memadai, mengingat 50% diangkat oleh pihak monarki.
Melihat perkembangan demikian, penguasa Emirat mulai
membatasi ruang gerak kelompok IM. Pejabat-pejabat yang bera-
filiasi dengan IM dipecat dan orang-orang sekitarnya dipindahkan

62
Abdullah Abu Al-Hadi, “Why Ban Islamic Magazines?”. Al-Islah 30/50 (1982),
dalam The Roots of Conspiracy Against the UAE 2. (Dubai: Al Mezmaah Studies
and Research Center, 2013), 172.
63
Al-Hadi, “Why Ban Islamic,” 172–173.

168 | Politik Islam di Arab Saudi ...


ke lembaga lain.64 Kemudian, pemimpin Al-Islah berpaling kepada
penguasa Ras al-Khaimah, Syekh Saqr bin Muhammad al-Qasimi,
yang mengizinkan mereka untuk secara legal mendirikan IM di
wilayah keemiran tersebut.
Namun, pada perkembangan berikutnya, penguasa UEA merasa
ada ancaman terhadap stabilitas nasional dan regional. Apalagi setelah
peristiwa Serangan 9/11 tahun 2001, dua orang UEA dituduh terli-
bat dalam tragedi WTC itu. Setelah tuduhan tersebut, otoritas UEA
memutuskan untuk mereformasi sistem pendidikan dan kurikulum
sekolah. Para pengkhotbah diwajibkan untuk mematuhi khotbah
yang telah disetujui sebelumnya oleh Kementerian Kehakiman
dan Urusan Islam. Pengawasan juga dilakukan kepada orang-orang
yang dicurigai berpartisipasi dalam kegiatan Islam untuk mencegah
penyebaran ideologi yang dianggap radikal.65
Bahkan, ada ratusan orang yang dianggap radikal ditahan Amn
al-Daulat (Aparat Keamanan Negara). Beberapa kalangan yang di-
anggap mempunyai kaitan dengan Al-Islah (pengacara, hakim, guru,
dan profesor di universitas) dibatasi ruang geraknya. Bahkan, ada yang
dilarang berpartisipasi dalam seminar atau acara publik, termasuk
ada yang diancam izin profesional mereka akan dicabut. Nasib sama
dialami pula oleh ratusan pegawai Kementerian Pendidikan UEA.
Sebagian guru dipaksa untuk pindah profesi atau pensiun dini.66
Dengan demikian, ruang kebebasan semakin menyempit. Intinya,
penguasa UEA berusaha membatasi ruang gerak kelompok yang
berafiliasi dengan Al-Islah.
Kebijakan ini telah menumbuhkan benih-benih perlawanan
terhadap rezim. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gerakan
oposisi di UEA sebenarnya sudah ada sebelum muncul Arab Spring
(2011). Pada 2009 misalnya, sejumlah aktivis, termasuk mahasiswa

64
Marta Saldana, “Rentierism and Political Culture in the United Arab Emirates:
The Case of UAEU Students,” Ph.D. Dissertation. (Exeter: University of Exeter,
2014), 139.
65
Saldana, “Rentierism and Political Culture”, 139–140.
66
Saldana, “Rentierism and Political Culture”, 139–140.

Dinamika Politik Islam ... | 169


dan narablog, meluncurkan sebuah situs www.uaehewar.net untuk
berdiskusi.67 Situs tersebut menarik perhatian warga UEA sehingga
ribuan pengguna internet yang berbasis di UEA segera memenuhi
situs. Situs dengan cepat mendapatkan reputasi sebagai tempat ter-
baik untuk mengemukakan keluhan, menantang pihak berwenang,
dan mendiskusikan masa depan negara UEA.68 Dalam beberapa pe-
kan, perdebatan seru terjadi pada sejumlah isu, termasuk kekayaan
pribadi keluarga yang berkuasa dan keberlanjutan proyek investasi
luar negeri UEA.
Pada Januari 2010, terjadi debat publik paling kontroversial
dalam situs. Ribuan pengguna internet di Emirat mengomentari
pembebasan hukuman anggota keluarga penguasa Abu Dhabi dari
tuduhan penyiksaan dan sodomi. Warga UEA mengkhawatirkan
penerapan hukum yang tidak adil tersebut akan berdampak reputasi
internasional UEA. Penguasa Emirat merasa tersudutkan dan hasil-
nya situs itu tidak dapat diakses.69 Hanya saja, situs itu masih bisa
diakses dari luar negeri (dan bertahan sampai tahun 2011) sehingga
dengan menggunakan mirror web itu, warga UEA di dalam negeri
dapat mengakses. Walhasil, ketika muncul Arab Spring, mereka
masih dapat berdiskusi dan membahas revolusi di Tunisia dan Mesir.
Meski memilih cara moderat, Pemerintah UAE menuduh
Al-Islah sebagai ancaman keamanan nasional, bahkan aktivitas­nya
dianggap subversif. Pada tahun 1994 sebagian besar anggota yang
memegang jabatan penting, baik di media, akademik, maupun di
bidang industri langsung diberhentikan. Bahkan, Ketua Al-Islah,
Syekh Sultan bin Kayed Al-Qasimi termasuk dalam daftar tahanan
pemerintah. Sejak itu, peran Al-Islah dalam kancah politik UEA
mengalami kemunduran yang pada akhirnya mendorong kondisi
instabilitas politik akibat langkah represif pemerintah.70

67
Situs itu sudah tidak dapat diakses lagi.
68
Christopher Davidson, “Fear and Loathing in the Emirates," http://
carnegieendowment.org/sada/49409.
69
Davidson, “Fear and Loathing”.
70
Davidson, “Fear and Loathing”.

170 | Politik Islam di Arab Saudi ...


E. Agama, Politik Domestik, dan Dinamika
Regional
Diplomasi dalam konstelasi politik luar negeri pada hakikatnya
adalah muslihat yang bijaksana melalui perundingan untuk men-
capai cita-cita bangsa. Efektivitas diplomasi dan atau politik luar
negeri tidak terlepas dari pergolakan di dalam negeri sebab politik
luar negeri pada dasarnya merupakan refleksi dari kebijakan politik
domestik.71 Sebaliknya, berbagai kebijakan luar negeri yang diambil
pemerintah acap kali memengaruhi konstelasi politik domestik juga.
Realitas politik luar negeri Saudi tampaknya tidak bergeser dari
logika itu. Artinya, kebijakan luar negeri Saudi pada kenyataannya
memang memengaruhi persoalan domestik, tetapi pada saat yang
sama politik domestik ternyata juga memengaruhi kebijakan luar
negerinya. Persoalan sensitif, seperti isu Syiah, telah menjadi buk-
ti kontemporer yang sangat kuat. Sejak Organization of Islamic
Revolution (OIR) ditaklukkan, baik melalui cara-cara kekerasan
dengan menangkap banyak anggota OIR maupun lewat cara “ako-
modatif ” dengan merangkul pimpinan OIR, persoalan Syiah di
Saudi sempat mengendap, bahkan seolah-olah telah tuntas tersele-
saikan. Namun, persoalan itu kembali mengemuka seiring dengan
dinamika regional. Ketika terjadi kudeta pemberontak Syiah Houthi
di Yaman atas pemerintahan Ali Abdullah Saleh, misalnya, fakta
ini telah menimbulkan kekhawatiran Pemerintah Saudi tentang
ancaman Syiah, mengingat Yaman berbatasan langsung dengan
wilayah Saudi yang berpenduduk Syiah. Di sepanjang perbatasan
Saudi–Yaman, memang terdapat Syiah Zaidiyah sebagai sekte utama
Syiah Yaman. Relasi interpersonal kesukuan, kultural dan kedeka-
tan geografis menyebabkan Syiah di wilayah ini dinamis meskipun
secara entitas politik mereka terpisahkan antara dua negara, Saudi
dan Yaman. Oleh karena itu, ketakutan terhadap radikalisme Syiah

71
Dhurorudin Mashad, “Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi,” dalam Politik
Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik, ed. Ganewati Wuryandari
(Yogyakarta: P2P-LIPI – Pustaka Pelajar, Agustus, 2008), 174.

Dinamika Politik Islam ... | 171


ini, Pemerintah Saudi lantas mengirimkan bantuan militer untuk
me­ rontokkan kekuatan Syiah Houti yang dicurigai mendapat
­dukungan persenjataan dari Iran.
Namun, seiring penyerangan Saudi kepada Syiah Houti di se-
latan Yaman, hubungan panas antara Syiah dan pemerintah-ulama
Wahabi di Saudi kembali terjadi, akibat stigma Pemerintahan Wahabi
Saudi yang anti-Syiah kian menguat. Ulama Syiah Syekh Al-Nimr
asal Syarqiyyah mengusulkan pemilu terbuka, bahkan mengancam
Provinsi Syarqiyyah akan memisahkan diri jika hak-hak kaum Syiah
tidak dipenuhi. Nimr akhirnya ditangkap sehingga muncul berbagai
demonstrasi antara 2011–2016. Hukuman mati terhadap Nimr, 4
ulama Syiah, dan 43 orang pengikutnya pada tahun 2016 tidak bisa
meredam protes, bahkan memancing kekerasan seperti mengebom
kantor intelijen Saudi di Qatif,72 dan pembunuhan polisi Saudi di
Awwamiyah sebelah timur Qatif. Saudi lantas melabeli mereka te­
roris dan membombardir wilayah itu (Mei 2017) dengan korban 23
meninggal dan 20.000 mengungsi ke wilayah lebih aman.73
Pilinan faktor domestik dan regional ini juga berlaku dalam isu
IM Saudi. Rekam jejak ulama Sahwa berbasis IM di Saudi ternya-
ta senantiasa menimbulkan kewaspadaan atau bahkan kecurigaan
rezim Saudi. Apalagi, ketika berembus isu Arab Spring di kawasan
Timur Tengah, ulama Sahwa mengajukan petisi (ditandatangani 10
ulama Sahwa, termasuk Salman Al-Awdah) yang secara substantif
menuntut reformasi pemerintahan. Meskipun Sahwa menentang
rencana demonstrasi besar 11 Maret 2011 di Riyadh, kebangkitan
Sahwa menghangatkan kembali ingatan rezim yang menganggap
Sahwa sebagai ancaman.

72
“Inside the Saudi town that’s been under siege for three months by its own
government,” Independent, (Agustus 2017), http://www.independent.co.uk/news/
world/middle-east/saudi-arabia-siege-town-own-citizens-government-kingdom-
military-government-awamiyah-qatif-a7877676.html.
73
“Saudi security forces flatten old quarter of Awamiya”, Al Jazeera, 10 Agustus 2017,
http://www.aljazeera.com/news/2017/08/saudi-security-forces-flatten-quarter-
awamiya-170809213631682.html.

172 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Berpijak pada realitas tersebut, tidak mengherankan jika Saudi
sangat menentang kekuasaan Muhammad Mursi yang berbasis IM
di Mesir, bahkan memberikan dukungan, baik secara politis mau-
pun materiel, terhadap kudeta yang dilakukan Jenderal As-Sisi yang
mengakibatkan pertumpahan darah yang besar di Tahir Square.
Dukungan Saudi terhadap As-Sisi ini memang menuai kritikan dari
dalam negeri, terutama dari ulama Sahwa. Pada 8 Agustus 2013, 56
ulama yang beberapa di antaranya berlatar IM menentang kebijakan
Saudi sehingga menjadikan suhu politik dalam negeri Saudi me­
manas. Berbagai narasi disampaikan, di antaranya, larangan untuk
turut mendukung penghancuran sesama pemeritahan muslim dan
larangan untuk menentang pemerintahan muslim yang dipilih oleh
rakyatnya.74
Dari realitas ini, tampak bahwa keputusan Saudi yang berse-
berangan dengan kehendak sebagian besar ulama dan rakyatnya
untuk mendukung kudeta As-Sisi sekaligus pelemahan kekuatan
IM Mesir akhirnya menimbulkan beberapa konsekuensi. Pertama,
Saudi harus menggelontorkan miliaran dolar untuk mendukung
pemerintahan As-Sisi. Kedua, Saudi harus lebih aktif melemahkan
kekuatan Sahwa di dalam negeri. Akhirnya, untuk kali pertama
Pemerintahan Saudi melakukan pelarangan terhadap buku-buku
IM dan menggagalkan berbagai ceramah oleh ulama-ulama Sahwa.
Kewaspadaan terhadap IM makin kuat pada era Raja Salman. Pada
4 Februari 2017, Salman mengeluarkan dekrit yang menyatakan:
pertama, IM yang berbasis di Mesir sebagai organisasi teroris. Kedua,
pelarangan terhadap segala bentuk ekspresi dukungan terhadap IM.
Ketiga, kebijakan ini juga berlaku kepada semua organisasi yang
berafiliasi dengan IM, tidak hanya Sahwa, tetapi juga Sururi.75
Dekrit ini akhirnya mengandung konsekuensi terhadap politik
luar negeri Saudi, yakni cenderung bertentangan de­ngan negara-­
negara yang dianggap dekat dengan IM, seperti Turki dan Qatar.

74
“Saudi Security Force”.
75
“Saudi Security Force”.

Dinamika Politik Islam ... | 173


Apalagi, propaganda Qatar yang mendukung fenomena gerakan
Arab Spring di berbagai negara Arab dan pemberitaan Al Jazeera
yang sering menyudutkan Peme­rintahan Saudi menyebabkan Saudi
menerapkan kebijakan keras terhadap Qatar. Hanya berselang satu
bulan dari dekrit itu, Saudi menarik duta besarnya dari Qatar dan
berlanjut pada blokade ekonomi Saudi terhadap negara tersebut.
Labelisasi teroris terhadap IM oleh Saudi secara permukaan
bersifat sangat politis, terutama akibat berbagai sikap kritis orga­
nisasi tersebut terhadap kebijakan negara. Namun, Saudi memang
menghadapi ancaman kekerasan nyata dari gerakan-gerakan yang
oleh terminologi global dilabeli teroris, seperti Al-Qaeda dan ISIS.
Namun, jika dicermati, ancaman Al-Qaeda juga terjadi akibat ke-
bijakan yang keliru oleh simbiosis Bani Saud-Wahabi. Sebenarnya,
akar persoalan­nya sama dengan yang diprotes IM faksi Sahwa, yakni
menolak keras kebijakan Saudi untuk meminta bantuan AS dalam
perang Irak-Kuwait tahun 1991. Penolakan Al-Qaeda Arabian
Peninsula (QAP)76 dapat dipetakan dalam tiga hal. Pertama, keha­
diran pasukan nonmuslim AS dianggap menodai tanah Saudi yang
terdapat dua kota suci, Makkah dan Madinah. Kedua, Saudi tidak
layak menyediakan tanah bagi pasukan nonmuslim yang akan meng-
hancurkan kepemimpinan negara muslim berdaulat (baca: Saddam
Hussein di Irak) seberapa pun kesalahannya. Ketiga, rencana penye-
diaan tempat AS membangun basis militer di Saudi menyakiti hati
umat Islam, apalagi dianggap sebagai bagian dari rencana Amerika
untuk menguasai Jazirah Arab.77 Bukan hanya kepada kekuasaan
Bani Saud, Osama juga melayangkan kritik kepada mufti Wahabi,
Bin Baz, yang mengeluarkan fatwa pembolehan semua rencana tadi.
Osama dkk. juga melontarkan kritik pedas fatwa Bin Baz yang men-

76
Al-Qaeda dibangun oleh Abdullah Al-Azzam dan Osama bin Laden yang berlatar
belakang IM dalam rangka membantu perang melawan tentara pendudukan
Soviet. Seiring berakhirnya Perang Afghanistan—dimulai sejak 1988—maka
organisasi yang bernama Makhtab Al-Khadimat yang memiliki milisi dari berbagai
bangsa pulang ke negara masing-masing.
77
Thomas Hegghammer, Jihad in Saudi Arabia. (Cambridge: Cambridge University
Press, 2010), 103–105.

174 | Politik Islam di Arab Saudi ...


dukung perundingan damai Arab-Israel, yang dilihat tidak lebih dari
pelayan fatwa terhadap sang majikan, keluarga Saud.78
Osama sebenarnya menawarkan “pasukan” mantan kom­batan
Al-Qaeda di Afghanistan sebagai penjaga negara dari ancaman
ambisi Saddam Hussain kala itu. Berdasarkan pengakuan Khaled
Shaikh Muhammad, pemimpin senior Al-Qaeda dari seluruh pela-
tihan militer Al-Qaeda terhadap ras Arab di Afghanistan, bahwa
hampir 70% di antaranya adalah warga Saudi. Namun Saudi justru
menjawab dengan melakukan penangkapan besar-besaran sekitar
800–900 orang di sekitar Makkah terkait jaringan Al-Qaeda yang
diduga akan melakukan penyerangan terhadap Saudi.79 Sejak itulah
terjadi perseteruan akut Al-Qaeda in The Arabian Peninsula (AQP)
vs rezim Saudi.
Fenomena jumlah warga negara Saudi mendukung Al-Qaeda
tadi akhirnya menjadi tidak terlalu mengejutkan ketika tercatat
bahwa lebih dari 2.000 pasukan ISIS merupakan warga negara
Saudi juga. Sebab, seiring dengan meredupnya pengaruh AQP,
sangat mungkin orang yang sama mengalihkan dukungan kepada
kemunculan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) pada tahun 2014,
mengingat pemimpin ISIS adalah mantan pemimpin Al-Qaeda asal
Irak, Abu Bakar Al-Baghdadi. Upaya ISIS menarget Pemerintah
Saudi tidak lepas dari peran militer Saudi dalam pelemahan sel-sel
ISIS serta penyerangan udara terhadap ISIS, baik dalam wilayah
domestik maupun di Irak dan Suriah.80
Melihat serangan-serangan ISIS di Saudi, sebenarnya target
yang disasar bukanlah tempat, melainkan aparat keamanan sebagai
simbol representasi pemerintah ditambah dengan kelompok Syiah
di Saudi. Pada tahun 2015, ISIS mengebom masjid di daerah Asir

78
Commins, The Wahabi Mission, 187–188.
79
Hegghammer, Jihad in Saudi Arabia, 114–115.
80
“Saudi Arabia took part in weekend air strikes against Islamic State: Pentagon,”
Reuters, (Februari 2016), http://www.reuters.com/article/us-mideast-crisis-
saudiarabia-airstrikes/saudi-arabia-took-part-in-weekend-air-strikes-against-
islamic-state-pentagon-idUSKCN0VP2FM.

Dinamika Politik Islam ... | 175


dan berlanjut di daerah warga Syiah, Qatif dan Dammam, yang
menewaskan 25 orang dan 106 di antaranya luka-luka. Penyerangan
juga merambah wilayah tengah Saudi, di titik pemeriksaan polisi di
Riyadh. ISIS juga mendeklarasikan diri sebagai pelaku pembunuhan
terhadap 12 anggota SWAT di dalam masjid. Bom bunuh diri dan
penembakan terhadap polisi juga terjadi di sepanjang tahun 2015.
Saudi menangkap beberapa pelaku dengan bendera ISIS81 bahkan
mengklaim menangkap beberapa sel ISIS, tetapi rantai jaringan ini
belum bisa diputus.82
Berbagai langkah politik bahkan militer Pemerintah Saudi ter-
hadap kekuatan politik Islam, termasuk yang superradikal semacam
Al-Qaeda ataupun ISIS, implikasinya ternyata sangat luas, bahkan
sampai harus merangkul dan/atau bermusuhan dengan negara-­
negara sekawasan (atau bahkan global). Padahal, kebijakan-­kebijakan
semacam itu memiliki pengaruh luar biasa terhadap kondisi ekonomi
Saudi yang sedang berada pada tubir “kebangkrutan”.
Tahun 2016 Saudi Arabia tidak lagi menjadi produsen minyak
terbesar di dunia. Meskipun memproduksi 12,3 juta barel per hari
(meningkat sekitar 3% dari tahun 2015), Saudi hanya pemasok
13,4% kebutuhan minyak dunia dan menguasai 38,8% produksi
minyak Timur Tengah. Konsumsi minyak dalam negeri hanya seki-
tar 28,6% dari produksi sehingga PDB per kapita Saudi mencapai
20.029 dolar (2016). Namun, jumlah ini sebenarnya menurun
drastis dihitung sejak tahun 2012. Harga minyak dunia pernah
mencapai 106,18 dolar per barel (2011), naik dari harga 78,6 dolar
per barel pada tahun 2010. PDB per kapita Saudi pernah mencapai
puncaknya pada level 25.303 dolar (2012)83, tetapi akhirnya terjun

81
“ISIL claims deadly attack on Saudi forces at mosque,” Al ­Jazeera, (Agustus 2015),
http://www.aljazeera.com/news/2015/08/suicide-attack-mosque-saudi-­arabia-
southwest-150806110739697.html.
82
“ISIS Threatens Saudi Arabia with Major Attacks, Says ‘We Will Strike You In Your
Homes’,” Newsweek, (September 2017), http://www.newsweek.com/isis-threatens-
saudi-arabia-attacks-says-its-turn-will-come-after-tehran-623715.
83
Bank Dunia. “Saudi Arabia”, diakses pada 15 Juli 2017, https://data.worldbank.
org/indicator/NY.GDP.PCAP.CD?locations=SA.

176 | Politik Islam di Arab Saudi ...


bebas pada angka 41,19 dolar per barel (2016).84 Perekonomian
Saudi diperburuk dengan pengangguran yang mencapai 12,7%.
Lesunya perekonomian Saudi belakangan ini berdampak juga pada
pembelanjaan pemerintah yang menurun dan tekanan terhadap
pekerja imigran dan ekspatriat yang semakin ketat.85
Terpuruknya ekonomi Saudi akibat harga minyak me­mang
berusaha diatasi dengan membuat Visi 2030 dengan cara mening-
katkan keterlibatan perempuan dalam lapangan pekerjaan hingga
30%, menggenjot pertumbuhan UKM pada PDB hingga level
35%, dan menumbuhkan sektor ekonomi nonmigas, seperti pari-
wisata dan jasa. Saudi ingin mengejar ketertinggalan ekonominya
dari Uni Emirat Arab dan Qatar yang telah lebih dahulu mengem-
bangkan ekonomi sektor nonmigas, terutama jasa dan pariwisata.
Ketergantungan APBN pada sektor migas memang telah membuat
ekonomi Saudi lunglai ketika harga minyak turun. Sementara itu,
keberhasilan UEA disusul Qatar membuat pengaruh Saudi secara
ekonomi politik kawasan mulai terkikis. Pertumbuhan kedua ne-
gara tersebut sebenarnya menjadi ancaman bagi Saudi. Misalnya,
banyaknya jamaah umrah dan haji menggunakan rute Dubai atau
Doha sehingga membuat ikon Jeddah ataupun Riyadh sebagai hub
tidak begitu menonjol di kawasan. Walhasil, dengan postur poli-
tik yang tampil konfrontatif, baik dalam kemelut Mesir, Yaman,
maupun Qatar, hal tersebut kian menguras modalitas keuangan
Saudi sendiri. Langkah politik Saudi dengan menandatangani pin-
jaman dengan IMF dan gebrakan politik dengan menangkapi para
pangerah-­pengusaha besar Arab Saudi terkait isu korupsi sebenarnya
merupakan cerminan dari kebutuhan keuangan Saudi yang sangat
mendesak.
Adapun profil gerakan Islam di Kuwait terkait ­dengan fenomena
regional tampaknya tidak terlalu menonjol. Realitas ini tampaknya

84
Centre for Energy Economics Research and Policy, BP Statistical Review.
85
Dominic Dudley, “Is Saudi Arabia Heading For A Recession?” Forbes, (Juli 2016),
https://www.forbes.com/sites/dominicdudley/2016/07/12/saudi-recession/2/#
6834a0d26330.

Dinamika Politik Islam ... | 177


terkait erat dengan dinamika sejarah politik Kuwait yang pernah
diserang oleh Irak dalam Perang Teluk tahun 1990. Implikasi dari
perang tersebut bahkan dirasakan sampai konteks kekinian. Pada
tataran politik dalam negeri Kuwait, misalnya, telah melahirkan
konsep Biduni, yakni warga Kuwait (turun-temurun telah menetap
di Kuwait), tetapi mereka tidak diakui sebagai warga negara Kuwait.
Mereka adalah Arab non-Kuwait, sebagai etnis terbesar kedua di
Kuwait, yang terdiri dari beragam etnis wilayah Arab dan Afrika
Utara yang datang setelah kemerdekaan Kuwait 1961. Namun,
semasa Perang Teluk 1991, mereka dianggap memberi dukungan
terhadap Irak dan memfasilitasi pengungsi Irak, sejak itulah mereka
tidak diakui sebagai warga negara alias Bidun86. Perlakuan Kuwait
atas kaum Biduni ini tentu saja menjadi sedikit ganjalan dalam
hubungan negara ini dengan berbagai negara lain, yaitu asal mula
kaum Biduni tadi.
Perang Teluk 1991 juga mewariskan “ketidakpedulian” gerakan
politik Islam Kuwait terkait konteks regional. Kemunculan ICM di
Kuwait, misalnya, memang dilatarbelakangi kekecewaan sebagian
anggotanya terhadap IM Internasional yang seolah-olah diam dan
membiarkan Irak melakukan invasi ke Kuwait pada Agustus 1990
sehingga gerakan ini memutus hubungan dengan IM internasional.
Walhasil, ketika terjadi Arab Spring misalnya, ketika banyak negara
mengalami pergolakan demokratisasi—yang hampir semuanya juga
digerakkan oleh IM—untuk mengganti rezim-rezim otoriter, se­
misal Tunisia, Libya, Mesir, tampaknya tidak memicu solidaritas IM
Kuwait untuk menggelorakan hal serupa dalam kerangka jaringan
IM. Gerakan Islam di Kuwait tampaknya memiliki tanggung jawab
untuk menjaga eksistensi negara meskipun mereka tetap harus kritis
terhadap berbagai kebijakan rezim.
Namun, sebagai anggota GCC, Liga Arab, dan OKI, gerakan
Islam di Kuwait senantiasa mendorong monarki untuk memberi

86
Biduni tidak mendapatkan hak sosial maupun politik sebagaimana warga Kuwait
lainnya, seperti asuransi kesehatan, pendidikan, akta kelahiran, kartu identitas,
serta berpartisipasi dalam pemilu.

178 | Politik Islam di Arab Saudi ...


perhatian serius terhadap persoalan di dunia Islam. Kuwait menjadi
salah satu negara yang memprakarsai proposal damai Palestina-
Israel, serta rekonsiliasi antara kelompok Hamas dan Fatah. Oleh
karena itu, posisinya tersebut, wajar kiranya sebagian kalangan
memandang, bahwa apa yang dilakukan Kuwait adalah menjadi
penyeimbang kekuatan di tengah krisis diplomatik antara Qatar dan
GCC yang dimotori Arab Saudi.
Kuwait tampaknya cenderung mengambil sikap jalan te­ngah,
tidak seekstrem Saudi belakangan ini. Di antara n ­egara Timur
Tengah lainnya, Kuwait adalah rumah yang aman bagi perkem-
bangan gerakan Islam moderat ataupun fundamentalis, seperti
Ikhwanul Muslimin (IM) dan Salafi. Bahkan, di negaranya sendiri
IM dan Salafi dapat tumbuh subur s­ehingga dalam kasus Hamas
pun Kuwait tidak berkehendak ikut me­la­belinya sebagai gerakan
“teroris” sebagaimana sikap bebe­rapa negara Arab lain.
Hanya saja, sebagai negara yang tergabung dalam aliansi an-
ti-terorisme yang digagas Saudi, Kuwait juga menjadikan persoalan
terorisme di kawasan sebagai salah satu isu pen­ting yang kerap
didengungkan pada sejumlah kesempatan. Apalagi, sejumlah ne-
gara sempat menuduh bahwa beberapa menteri dan kerabat dekat
monarki Kuwait mulai membantu dan mendanai kelompok yang
terlibat aksi teror di Suriah dan Irak. Bahkan, pada Agustus 2016, AS
menjatuhkan sanksi pembekuan aset terhadap pejabat Kementerian
Urusan Waqaf dan Islam Kuwait.
Ada beberapa alasan yang mendorong Kuwait untuk menun-
jukkan high profile dan banyak terlibat aktif dalam kebijakan politik
luar negerinya. Antara lain, kemampuan militer dan meningkatnya
ekonomi Kuwait dalam beberapa tahun terakhir melalui pendapatan
dan ekspor minyak yang telah memicu Kuwait untuk banyak terlibat
aktif sebagai penyeimbang kekuatan di tengah pudarnya pengaruh
Qatar dan Arab Saudi di kawasan. Memang, harga minyak turun
drastis sejak 2011 sehingga berpengaruh sangat besar pada negara.
Namun, sebagaimana Qatar dan UEA, Kuwait juga tidak terlalu

Dinamika Politik Islam ... | 179


mengandalkan sektor minyak karena negara telah mengembangkan
berbagai sektor lain selain minyak.
Sebagaimana Kuwait, sektor minyak memang besar penga­
ruhnya terhadap ekonomi UEA. Ekspor minyak men­capai 30% dari
PDB UEA. Karena harga minyak terus turun, UEA memangkas
produksi minyak menjadi 139 ribu barel per hari.87 Dalam sepuluh
tahun terakhir, harga minyak dunia cende­rung turun. Pada per­
tengahan 2008, harga minyak mencapai 140 dolar AS per barel,
dan pada pertengahan 2017 harganya berkisar 50 dolar AS per barel,
bahkan sempat di bawah 40 dolar AS per barel pada tahun 2016.88
Untuk mengatasi ketergantungan pada minyak, UEA melun-
curkan program diversifikasi dan liberalisasi ekonomi, guna me­
ngubah ekonominya dari ekonomi konvensional padat tenaga kerja
menjadi ekonomi berdasarkan pengetahuan, teknologi, dan tenaga
kerja terampil. Melalui Visi 2021 Pemerintah dan swasta UEA ber-
investasi di berbagai s­ ektor, seperti produksi aluminium, pariwisata,
penerbangan, per­dagangan, dan telekomunikasi. Mereka berharap
akan mencapai ekonomi yang produktif dan kompetitif pada saat
ulang tahun emas berdirinya Uni Emirat Arab pada tahun 2021.
Secara umum, visi tersebut ingin menjadikan UEA sebagai salah satu
negara terbaik di dunia pada peringatan 50 tahun Emirat.89
Secara ekonomi, UEA memang melakukan berbagai tero­bosan
perubahan dengan Visi 2021. Namun, secara poli­tik, UEA nyaris
tidak melakukan perubahan ­sampai mun­cul demonstrasi seiring
dengan fenomena Arab Spring. Fenomena ini memancing Arab
Saudi ikut campur mengi­rimkan tentara. Ini dikarenakan secara
keagamaan UEA yang rezimnya berkarakter Sunni memang memi-
liki warga Syiah yang cukup banyak.

87
“Uni Emirat Arab Pangkas Produksi Minyak 139 Ribu Barel,” diakses pada 24 Oktober
2017, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171002092931-85-245486/
uni-emirat-arab-pangkas-produksi-minyak-139-ribu-barel/.
88
“Markets Crude Oil,” diakses pada 25 Oktober 2017, http://www.nasdaq.com/
markets/crude-oil.aspx?timeframe=10y.
89
Vision 2021. Diakses pada 24 Oktober 2017, http://www.vision2021.ae.

180 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Fenomena regional di Timur Tengah, seperti penggu­ lingan
penguasa di Tunisia dan Mesir, memang telah memberikan inspirasi
bagi masyarakat UEA untuk menilai pe­mimpin mereka. Parlemen
UEA yang dianggap kurang dapat mewakili kepentingan rakyat
dikritik. Kekurangan penguasa UEA juga dibahas dalam diskusi.
Pada Maret 2011, pendiri situs www.uaehewar.net bersama de­
ngan sejumlah aktivis lainnya menyebarkan petisi yang ditujukan
ke penguasa Abu Dhabi. Salah satu tuntutan dalam petisi yang
ditandatangani 130 intelektual itu adalah agar seluruh anggota par-
lemen dipilih langsung oleh rakyat. Petisi juga meminta agar UEA
menjadi negara monarki konstitusional yang berkomitmen terhadap
hak asasi manusia dan prinsip dasar lainnya. Terdapat empat ormas
UEA yang ikut menandatangani petisi yang terdiri dari asosiasi para
ahli hukum, guru, profesional, dan dosen universitas. Jika diamati
latar belakangnya, mereka berlatar Al-Islah karena IM selama ber-
tahun-tahun memang mendominasi dua sektor itu. Keikutsertaan
empat ormas itu menambah bobot nilai dan tuntutan petisi. Para
pemrakarsa dan penanda tangan petisi memublikasikan pernyataan
bersama itu dengan mengatakan, “Masyarakat sipil UEA meman-
dang bahwa telah tiba waktunya untuk memastikan hak partisipasi
politik setiap warga melalui pemilihan dewan langsung dengan
pengawasan penuh Pemerintah Federal dan wewenang legislatif.”
Petisi juga menuliskan, “Kurangnya keterlibatan warga negara untuk
memilih perwakilan mereka selama puluhan tahun setelah pemben-
tukan negara.”90
Penguasa Emirat menanggapi petisi itu dengan menangkap
lima tokoh penanda tangan petisi. Kelima aktivis tersebut adalah
Ahmed Mansoor, seorang insinyur dan narablog; Nasser bin Ghaith,
seorang ekonom dan dosen universitas di Sorbonne Abu Dhabi; dan
aktivis daring Fahad Salim Dalk, Ahmed Abdul-Khaleq, dan Hassan
Ali al-Khamis. Mereka—yang akhirnya disebut sebagai “UEA 5”
ini—pada awal April 2011 ditahan, lalu mulai disidang secara ter-
buka pada 14 Juni 2011 dengan dikenai Pasal 176 Undang-Undang

90
www.vision2021.ae

Dinamika Politik Islam ... | 181


Pidana. Mereka dituduh menghina pejabat publik dengan menggu-
nakan situs daring terlarang (www.ueahewar.net).91
Demonstrasi memang sempat mewarnai, bahkan dianggap
telah mengancam eksistensi monarki UEA. Realitas ini bahkan
menjadi perhatian serius negara tetangga, Arab Saudi sehingga sam-
pai mengirimkan tentaranya untuk membantu aparat UEA dalam
meredam gejolak negara tersebut. Dapat dipahami jika ketika Arab
Saudi menggelindingkan kebijakan-kebijakan regional, termasuk
upaya untuk mengucilkan Qatar yang disebut telah memfasilitasi
kaum radikal, UEA langsung berdiri di belakang Saudi. Artinya,
Pemerintah Uni Emirat Arab ikut memutuskan hubungan diploma-
tik dengan Qatar dan menuding negara tetangga Teluk Arab-nya itu
mendukung ekstremisme dan membahayakan stabilitas nasional.92

Daftar Pustaka
AlFozaie, Naser. “Tribalism in Kuwait: Impacts on the Parliament”. Master
Thesis 2016, Department of International Environment and Devel-
opment Studies, diakses pada Agustus 2017. file:///E:/Bahan%20Tu-
lisan%20Kuwait/Nasser-2016_Tribalisme%20in%20Kuwait.pdf.
Al-Hadi, Abdullah Abu. “Why Ban Islamic Magazines?”. Al-Islah 30/50
(1982), dikutip dalam Salem Humaid, The Roots of Conspiracy Against
the UAE 2. Dubai: Al Mezmaah Studies and Research Center, 2013,
172–173.
Al-Qassemi, Sultan. “The Brothers and the Gulf ”. Foreign Policy, 14 De-
cember 2012. Diakses pada 18 Oktober 2017. http://foreignpolicy.
com/2012/12/14/the-brothers-and-the-gulf/.
Al-Noqaidan, Mansur. “Al-Ikhwan al-Muslimun fi al-Imarat: Al-Tamaddad
wal-Inhisar”. Dalam Al-Ikhwan al-Muslimun fi al Khalij, diedit oleh
Al-Mesbar Studies and Research Centre. Dubai: Al-Mesbar Studies and
Research Centre, 2012.
Al-Kandari, Yagoub. Tribalism, Sectarianisme, and Democracy in Kuwaiti Cul-
ture. Kuwait City: Kuwait Universty Press, 2014.

91
“UAE: Investigate Threats against ‘UAE 5’,” (25 November 2011), https://www.
hrw.org/news/2011/11/25/uae-investigate-threats-against- uae-5.
92
AFP, Senin (5/6/2017).

182 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Ayoob, Mohammed. The Many Faces of Political Islam: Religion and Politics in
the Muslim World. Ann Arbor: The University of Michigan Press, 2008.
Awadh, S. “Islamic Political Groups in Kuwait: Roots and Influences”. Un-
published Doctoral Thesis. Portsmouth: University of Portsmouth, 1999.
Bank Dunia. “Saudi Arabia”, diakses pada 15 Juli 2017. https://data.world-
bank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.CD?locations=SA.
Batrawi, Aya. “Women win 17 seats in Saudi Arabia’s first elections with female
candidates”. Independent, 13 Desember 2015, diakses pada Agustus
2017, http://www.independent.co.uk/news/world/middle-east/a-wom-
an-has-been-elected-in-saudia-arabias-elections-a6771161.html.
BP Statistical World Energy Juni 2017. BP Statistical Review of World Energy.
https://www.bp.com/content/dam/bp/en/corporate/pdf/energy-eco-
nomics/statistical-review-2017/bp-statistical-review-of-world-energy-
2017-full-report.pdf.
Brown, Nathan J. “Pushing Toward Party Politics? Kuwait’s Islamic Constitu-
tional Movement”. Carnegie Endowment for International Peace , No.79,
January 2007, 3-20, diakses pada 15 Mei 2017. http://carnegieendow-
ment.org/2007/02/13/pushing-toward-party-politics-kuwait-s-islam-
ic-constitutional-movement-pub-19016.
Bubalo, Antony. Middle East, Islamism dan Indonesia. New South Wales: Low
Institute for International Politics, 2005.
Commins, David. Islam in Saudi Arabia. London and New York: I. B. Tauris,
2015.
Commins, David. The Wahabi Mission and Saudi Arabia. London and New
York: I.B. Tauris, 2006.
Davidson, Christopher, “Fear and Loathing in the Emirates.” (18 September
2012). Diakses pada 23 Oktober 2017. http://carnegieendowment.org/
sada/49409.
Dazi Heni, Fatiha. “The Arab Spring Impact on Kuwait ‘Exceptionalism’”.
International Journal of Archeologhy and Social Sciences in the Arab Penin-
sula. Chatillon: Arabian Humanities, 2015.
Denoeux, Guilain. “The Forgotten Swamp: Navigating Political Islam”. Mid-
dle East Policy, IX, No. 2 (2002).
Diwan, Kristin Smith. “New Generation Royals and Sucsession Dynamics
in the Gulf State”. Issue Paper, No. 2. The Arab Gulf States Institute,
­Washington: The Arab Gulf Institute, 2017.

Dinamika Politik Islam ... | 183


Dudley, Dominic, “Is Saudi Arabia Heading For A Recession?” Forbes, 12 Juli
2016, diakses pada Juli 2017. https://www.forbes.com/sites/dominic-
dudley/2016/07/12/saudi-recession/2/#6834a0d26330.
Etheridge, Jamie, “Hallmarks of Kuwait’s Middle Class”, Kuwait Times, 13
Juni 2014, diakses pada 27 Agustus 2017. http://news.kuwaittimes.net/
hallmarks-kuwaits-middle-class/.
Freer, Courtney. “The Rise of Pragmatic Islamism in Kuwait’s Post Arab Spring
Opposition”. Project on U.S. Relations with the Islamic World at Brookings.
Washington: Brookings Institution, 2015, 1–2.
Fuller, Graham E. The Future of Political Islam. New York: Palgrave ­Macmillan,
2004.
Ghabra, Shafeeq. “Balancing State and Society: The Islamic Movement in
Kuwait”. Middle East Policy, 55 No. 2 (Mei 1997): 58–59.
Ghabra, Shafeeq. “Kuwait at the Crossroads of Change or Political Stagna-
tion”. Middle East Institute Policy paper Series. Washington: Middle East
Institute, 2014, 1–3.
Government and Society of Saudi Arabia”. Encyclopedia Britanica, 3 Agustus
2017, diakses pada Agustus 2017. https://www.britannica.com/place/
Saudi-Arabia/Government-and-society.
Hakala, Pekka. “Opposition in the United Arab Emirates”. Quick Policy
Insight, Directorate-General for External Policies, Policy Department,
European Parliament, 15 November 2012. Diakses pada 31 Januari
2017. http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/briefing_note/
join/2012/491458/EXPO-AFET_SP%282012%29491458_EN.pdf.
Hiramatsu, A. “The Changing Nature of the Parliamentary System in Kuwait:
Islamists, Tribes, and Women in Recent Elections”. Kyoto Bulletin of
Islamic Area Studies, 4, No. 1&2 (2011): 62–73.
Hegghammer, Thomas. Jihad in Saudi Arabia. Cambridge: Cambridge Uni-
versity Press, 2010.
“Inside the Saudi town that’s been under siege for three months by its own
government”. Independent, 4 Agustus 2017, http://www.independent.
co.uk/news/world/middle-east/saudi-arabia-siege-town-own-citi-
zens-government-kingdom-military-government-awamiyah-qat-
if-a7877676.html.

184 | Politik Islam di Arab Saudi ...


Ismail, Raihan. Saudi Clerics and Shi’a Islam. New York: Oxford University
Press, 2016.
Imarah, Muhammad. Al-Ushuliyyah Baina Al-Gharb wa Al-Islam. Kairo: Daar
Asy-Syaruq, 1998.
“ISIL claims deadly attack on Saudi forces at mosque”, Al J­azeera, 7 Agustus
2015. http://www.aljazeera.com/news/2015/08/suicide-attack-mosque-
saudi-­arabia-southwest-150806110739697.html.
“ISIS Threatens Saudi Arabia with Major Attacks, Says ‘We Will Strike You
In Your Homes’”, Newsweek, 6 September 2017. http://www.newsweek.
com/isis-threatens-saudi-arabia-attacks-says-its-turn-will-come-after-
tehran-623715.
Katzman, K. “Kuwait: Governance, Security, and U.S. Policy”, Congressional
Research Service, May, 4, 2016.
“Kuwait Population 2017”. Januari 2017, diakses pada September 2017.
http://countrymeters.info/en/Kuwait.
“Kuwait Study Group: The Experience of Parliamentary Politics in the GCC”.
London: Chatham House, 2010.
Lacroix, Stephane. Awakening Islam: The Politics of Religious Dissent in Con-
temporary Saudi Arabia, penerj. George Holoch. Cambridge: Harvard
University Press, 2011, 39.
Lacroix, Stéphane. “Saudi Arabia’s Muslim Brotherhood predicament”, The
Washington Post, 20  Maret 2014. https://www.washingtonpost.com/
news/monkey-cage/wp/2014/03/20/saudi-arabias-muslim-brother-
hood-predicament/?utm_term=.f3b04fe78fc2.
“Markets Crude Oil.” Nasdaq Crude Oil WTI (NYMEX) Price. Diakses pada
25 Oktober 2017. http://www.nasdaq.com/markets/crude-oil.aspx?-
timeframe=10y.
Mashad, Dhurorudin. Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi. Dalam
Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik, diedit
oleh Ganewati Wuryandari. Yogyakarta: P2P-LIPI – Pustaka Pelajar,
Agustus, 2008.
Olimat, Muhamad S. “Women and Politics in Kuwait”. Journal of Internation-
al Women’s Studies, Vol. 2 (September, 2009): 199–212.
Pall, Zoltan. “Kuwait Salafism and Its Growing Influence in the Levant”.
Carnegie Endowment for International Peace. Washington: Carnegie En-
dowment for International Peace, 2014, 15–20.

Dinamika Politik Islam ... | 185


Piscatori, James P. “Ideological Politics in Saudi Arabia”. Dalam Islam in the
Political Process, diedit oleh James P. Piscatori. Cambridge: Cambridge
University Press, 1983.
Qutb, Sayyid. Ma’alim fi Ath-Thariq, Diterjemahkan oleh Penerbit Darul
Uswah. Yogyakarta: Penerbit Darul Uswah, 2011.
Rudman, Amanda dkk. “Domestic Dynamics of Political Islam in the Greater
Middle East: Case Studies of Jordan, Egypt, Kuwait and Turkey”. Cornell
International Affairs Review, 1. No.1 (2007): 1–3.
Saldana, Marta. “Rentierism and Political Culture in the United Arab Emir-
ates: The Case of UAEU Students”. Ph.D. Dissertation. Exeter: Univer-
sity of Exeter, 2014.
“Saudi protesters fire-bomb intelligence building in Qatif ”, Middle East Eye,
11 Januari 2016. http://www.middleeasteye.net/news/saudi-protest-
ers-fire-bomb-intelligence-building-qatif-843608836
“Saudi security forces flatten old quarter of Awamiya”, Al Jazeera, 10 Agustus
2017. http://www.aljazeera.com/news/2017/08/saudi-security-forces-flat-
ten-quarter-awamiya-170809213631682.html.
“Saudi Arabia took part in weekend air strikes against Islamic State: Penta-
gon”, Reuters, 17 Februari 2016. http://www.reuters.com/article/us-mid-
east-crisis-saudiarabia-airstrikes/saudi-arabia-took-part-in-weekend-air-
strikes-against-islamic-state-pentagon-idUSKCN0VP2FM.
Trofimov, Yaroslav. Kudeta Mekkah: Sejarah yang tak Terkuak. Ciputat: Pusta-
ka Alvabet, 2007.
“UAE: Investigate Threats against ‘UAE 5’”. 25 November 2011. Diakses
pada 23 Oktober 2017. https://www.hrw.org/news/2011/11/25/uae-in-
vestigate-threats-against- uae-5.
Vision 2021. Diakses pada 24 Oktober 2017. http://www.vision2021.ae.
Wawancara dengan Syeikh Ismail Harbi, Wakil Direktur Yayasan Haramain,
30 Maret 2017.
“Women in Saudi Arabia to vote and run in elections,” BBC News, 25 Sep-
tember 2011. http://www.bbc.com/news/world-us-canada-15052030.

186 | Politik Islam di Arab Saudi ...


DAFTAR SINGKATAN

AED United Arab Emirates Dirham


CDLR Committee for the Defence of Legitimate Rights
CISR Centre for Islamic Studies and Research
FSC Federal Supreme Council
FNC Federal National Council
GCC Gulf Cooperation Council/Dewan Kerja Sama Teluk
ICM The Kuwait Islamic Constitutional Movement
IM Ikhwanul Muslimin
ISIS Islamic State of Iraq and Syiria
NEC The National Election Committee
OIR Organization of Islamic Revolution
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
PDB Produk Domestik Bruto
QAP Al-Qaeda Arabian Peninsula
RIHS The Society for the Islamic Heritage
UEA Uni Emirat Arab

Daftar Singkatan | 187


188 | Politik Islam di Arab Saudi ...
INDEKS

Abbasiyah, 155 As-Sabah, 69, 71, 72, 76, 78, 81–85,


Abdul Aziz bin Baz, 39, 48, 136, 150, 88, 89, 96, 143, 144, 157, 158
154
Abu Dhabi, 6, 101, 102, 104, 107, Dahran, 29, 137
111–114, 116–120, 124, 125, Dammam, 28, 29, 53, 56, 137, 155,
130, 138, 144, 146, 170, 181 176
Al-Hasa, 26, 36, 61, 155 Dubai, 6, 25, 55, 101, 102, 104, 108,
Al-Islah, 6, 7, 92, 103, 121–123, 111–114, 116–122, 128, 129,
129, 166–170, 182 138, 144, 146, 168, 177, 182
Al-Qaeda, 48–57, 126, 154, 174, Ekspatriat, 24, 72, 73, 75, 76, 81, 83,
175, 187 105, 138, 157, 158, 162, 163,
Al-Qur'an, 30, 42, 46, 139, 153 177
An-Nahdhah, 7, 166
Arab Saudi, 1–4, 8, 12, 17–20, 22–29, Federal National Council, 113, 187
31–33, 37–40, 42–45, 48–51,
55, 70, 71, 78, 83, 94–96, 102, Hanafi, 40, 136
103, 105, 108, 109, 116, 126, Hanbali, 34, 39, 49, 73, 74, 136,
127, 132, 133, 135, 139, 148, 137, 150, 163
149, 154, 155, 157, 162, 166, Hasan Al-Banna, 11, 42, 43
177, 179, 180, 182 Hijaz, 18, 26, 27, 28, 34–38, 56,
Arab Spring, 2, 18, 23, 48, 58–61, 135, 137, 156
69, 85, 91, 99, 122–124, 129,
135, 143–145, 154, 159, 164,
169, 170, 172, 174, 178, 180,
183, 184

| 189
Ikhwanul Muslimin, 3, 5, 7, 12, 13, Politik Islam, 3, 6–10, 12, 18, 70, 91,
18, 39, 42, 43, 90–92, 96, 120, 92, 95, 103, 120, 128, 133, 141,
122, 128, 129, 136, 138, 139, 143, 145–150, 155, 157, 159,
142, 145, 148, 151, 159, 160, 163, 166, 176, 178
165, 166, 168, 179, 182, 187
ISIS, 55–57, 60, 61, 63, 64, 174–176, Qatar, 2, 19, 23, 25, 37, 58, 59,
185, 187 61–63, 95, 96, 104, 105, 108,
Islamic Contitucional Movement, 127, 128, 173, 177, 179, 182
80, 91, 142, 159 Qatif, 28, 42, 56, 65, 155, 172, 176,
186
Jazirah Arab, 4, 18, 19, 20, 51, 70,
76, 148, 174 Sahwa, 39, 44, 46–49, 53, 54, 60,
Jeddah, 25, 38, 50, 177 136, 152–154, 172–174
Salafi, 49, 50, 85–87, 90, 91, 93–95,
Kuwait, 1–3, 5, 6, 8, 12, 15, 16, 19, 142, 150, 159, 161, 162, 165,
36, 37, 41, 46, 58, 67, 68–82, 179
84–96, 98–100, 103, 108, Sayyid Qutb, 11, 42, 44, 152
133, 135, 137–139, 141–148, Sudairi, 29, 30, 61, 63
154, 156–167, 174, 177–180, Sunni, 40, 42, 73, 74, 86, 88, 128,
182–187 137, 138, 143, 150, 155, 156,
163, 165, 180
Madinah, 18, 22, 27–29, 33, 35, 36, Syafi'i, 34, 40, 136
44, 45, 47, 49, 56, 135, 137, Syiah, 27–29, 38, 40–42, 53, 56–61,
150, 152, 155, 174 73, 85, 88, 90, 91, 95, 138, 142,
Makkah, 4, 18, 19, 27, 29, 33, 35, 150, 155, 156, 159, 163, 165,
36, 51, 52, 135, 137, 142, 149, 171, 172, 175
174, 175
Maliki, 34, 40, 73, 136, 163 Tribalisme, 76, 80, 81, 157, 158
Masjidil Haram, 4, 45, 50, 56, 149,
150, 153 Umayyah, 28, 155
Muhammad bin Abdul Wahab, 33, Ummul Quro, 44, 47, 152, 154
135 Uni Emirat Arab, 1–3, 6, 8, 12, 25,
Muhammad bin Salman, 24, 30 58, 101–108, 112–114, 116,
119, 120, 125, 127, 128, 132,
Najd, 18, 26, 27, 29, 34–38, 54, 56, 133, 135, 138, 139, 144, 145,
71, 74, 81, 135, 137, 141, 158, 166, 167, 177, 180, 182, 187
162
National Election Committee, 114, Wahabi, 2, 18, 27–30, 32–47, 49, 51,
187 52, 61, 62, 74, 135–138, 140,
141, 143, 150–156, 166, 172,
174, 175

190 | Politik Islam di Arab Saudi ...


BIOGRAFI EDITOR

Muhammad Fakhry Ghafur


Peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI sejak 2010 hingga
sekarang. Memperoleh gelar Sarjana Sastra Arab dan Studi Islam dari
The Faculty of Islamic Call Tripoli-Libya pada tahun 2006. Magister
Ilmu Al-Qur’an dan Studi Islam diperoleh dari Institut PTIQ Jakarta
tahun 2009.

| 191
192 | Politik Islam di Arab Saudi ...
BIOGRAFI PENULIS

Indriana Kartini
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI sejak 2003 hingga saat
ini. Menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran pada
tahun 2002. Penulis melanjutkan studi S2 di University of Melbourne,
Australia, dan memperoleh gelar Master of International Politics pada
tahun 2008.

M. Hamdan Basyar
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI sejak 1984 hingga
sekarang dan Dosen Pascasarjana UI Program Kajian Timur Tengah
dan Islam. Gelar sarjana diperoleh dari Fakultas Sastra Arab UI dan S2
(M.Si.) dari Program Kajian Stratejik Ketahanan Nasional UI. Penulis
juga menjabat sebagai Ketua Indonesian Society for Middle East Studies
(ISMES).

Muhammad Fakhry Ghafur


Peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI sejak 2010 hingga
sekarang. Memperoleh gelar Sarjana Sastra Arab dan Studi Islam dari
The Faculty of Islamic Call Tripoli-Libya pada tahun 2006. Magister
Ilmu Al-Qur’an dan Studi Islam diperoleh dari Institut PTIQ Jakarta
tahun 2009.

| 193
Nostalgiawan Wahyudhi
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI sejak 2013 hingga
sekarang. Gelar S1 diperoleh dari Jurusan Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2003 dan S2
(Master) di Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Politik,
International Islamic University of Malaysia (IIUM) pada tahun 2011.

Dhurorudin Mashad
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI sejak 1992 hingga sekarang.
Gelar sarjana (S1) diperoleh dari jurusan Ilmu Politik FISIP UI dan S2
(M.Si.) dari Program Kajian Stratejik Ketahanan Nasional UI.

194 | Politik Islam di Arab Saudi ...


POLITIK ISLAM Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab Editor: M. Fakhry Ghafur
ISBN 978-602-496-072-8
POLITIK ISLAM
ARAB SAUDI, KUWAIT,
UNI EMIRAT ARAB

Anda mungkin juga menyukai