Anda di halaman 1dari 18

Laporan Pendahuluan

Diabetes Melitus

susun dalam rangka memenuhi tugas stase keperawatan dasar

Di susun Oleh:

WIDYAWATI

14420212162

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

2022

1
A. Konsep Medis
1. Defenisi
Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas
tidak memproduksi cukup insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara
efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya. Insulin adalah hormon
yang diproduksi oleh pancreas yang berfungsi untuk mengatur penggunaan
glukosa sehingga glukosa dapat diubah menjadi energi dan membantu
mengontrol kadar gula darah (glukosa) dalam darah (WHO, 2020).

2. Etiologi
a. Diabetes milletus tipe 1
1) Faktor genetic
DM cenderung diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan.
2) Faktor imunologi
Dalam diabetes tipe ini ditemukan adanya suatu respon autoimun.
Respon ini merupakan respon abnormal karena antibodi terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut
yang dianggapnya seolah olah sebagai jaringan asing.
b. Diabetes Mellitus Tipe 2
1) Usia resistensi cenderung meningkat diusia 65 tahun
2) Obesitas/Overweight dikaitkan dengan gangguan metabolisme
intraseluler pada transpor sinyal pemanfaatan glukosa dan
peningkatan lipolisis yang kemudian menimbulkan resistensi insulin
dan hiperglikemia (Harbuwono et al., 2020).
3) Kurang olahrag dan pola makan tidak sehat
4) Riwayat keluarga dengan diabetes.
(Arambewela et al., 2018)

3. Klasifikasi
Valencia & Dols, (2021).Terdapat beberapa jenis dari DM dan berikut
adalah penjelasan klasifikasi DM sebagai berikut :

2
a. DM tipe 1 adalah gangguan kronis metabolisme, ditandai dengan
defisiensi produksi yang lengkap dari hormon insulin, yang dihasilkan
dari kerusakan sel-sel beta pankreas, biasanya disebabkan oleh reaksi
autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel beta penghasil
insulin pancreas
b. DM tipe 2 adalah suatu kondisi kronis di mana tubuh tidak dapat
membuat atau menggunakan insulin dengan benar, dapat menyebabkan
komplikasi yang melemahkan jika tidak ditangani dengan tepat atau jika
tidak ditangani. Penyebab DM tipe 2 ada kaitan kuat dengan kelebihan
berat badan dan obesitas, bertambahnya usia serta riwayat keluarga
(Valencia & Dols, 2021).
c. Gestational diabetes melitus (GDM) didefinisikan sebagai intoleransi
karbohidrat yang berkembang selama kehamilan, biasanya selama
trimester kedua atau ketiga kehamilan. Wanita dengan GDM memiliki
peningkatan risiko terkena diabetes (terutama diabetes tipe 2) di
kemudian hari. Insiden GDM meningkat dengan faktor risiko yang sama
terlihat untuk diabetes tipe 2 seperti obesitas, gaya hidup menetap, dan
peningkatan usia reproduksi wanita

4. Patofisiologi
Menurut Wijaya & Putri (2013), patofisiologi diabetes melitus yaitu
sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan
salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut: berkurangnya
pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang mengakibatkan naiknya
konsentrasi glukosa darah setinggi 200-1200 mg/dl. Peningkatan mobilisasi
lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan terjadinya
metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolesterol pada
dinding pembuluh darah dan akibat dari berkurangnya protein dalam
jaringan tubuh. Pasien-pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi
sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah yang melebihi ambang

3
ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160-180 mg/100 ml), akan
timbul glikosuria karena tubulus-tubulus renalis tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis
osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida,
potasium, dan pospat. Adanya poliuri 10 menyebabkan dehidrasi dan timbul
polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan
mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta
cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah asstenia aatau
kekurangan energi sehingga protein menjadi cepat lelah dan mengantuk
yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga
berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi. Hipergikemia yang
lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan
perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren.
Pasien-pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa yang normal, atau toleransi glukosa sesudah
makan karbohidrat, jika hiperglikemia parah dan melebihi ambang ginjal,
maka timbul glukosoria. Glukosoria ini akan mengakibatkan diuresis
osmotik yang meningkatkan mengeluarkan kemih (poliuria) harus
testimulasi, akibatnya pasien akan minum dalam jumlah banyak karena
glukosa hilang bersama kemih, maka pasien mengalami keseimbangan
kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar
(polifagia) timbul sebagai akibat kehilangan kalori.

5. Manifestasi klinik
a. Poliuria
b. Polidipsia
c. Polifagia
d. Penurunan/penambahan BB
e. Penglihatan buram
f. Luka yang sukar sembuh
(Hafeez et al., 2018).

4
6. Komplikasi
a. Komplikasi metabolik akut
1) Ketoasidosis Diabetik (KAD)
KAD merupakan komplikasi diabetes akut yang ditandai dengan
hiperglikemia (≥250 mg / dL), peningkatan kadar keton darah, dan
asidosis metabolik, biasanya dengan anion gap (AG) yang tinggi (Lee
et al., 2019).
2) Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SSH)
Hiperosmolar hyperglycaemic state (HHS) merupakan komplikasi
akut utama pada pasien dengan DM. Pemicu umum untuk HHS
termasuk kepatuhan pengobatan yang buruk, fluktuasi glukosa darah
atau respons stress. SSH adalah peningkatan glukosa darah yang
sangat tinggi (600-1200 mg/dl) tanpa adanya tanda dan gejala asidosis
3) Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah suatu komplikasi umum berikut
penggunaan glukosa. Hipoglikemia terutama berasal dari
suplai glukosa yang tidak adekuat untuk mengkompensasi
penurunan glukosa darah yang diinduksi oleh insulin eksogen
Hipoglikemia adalah turunnya kadar glukosa darah < 70 atau ≤40 mg /
dl.
b. Komplikasi metabolik kronik
1) Mikroangiopati
a) Retinopati diabetik
Retinopati diabetik adalah komplikasi mikrovaskuler umum yang
menyebabkan kehilangan penglihatan
b) Neuropati diabetik (DN)
DN adalah salah satu komplikasi diabetes yang paling umum ,
mencakup kerangka kerja sindrom klinis dan subklinis yang luas
dan heterogen dan ditandai dengan hilangnya serabut saraf secara
progresif yang mempengaruhi kedua divisi utama sistem saraf tepi,
somatik dan otonom. DN melibatkan kondisi multifaktorial dan

5
berbagai proses dalam patogenesisnya, seperti gangguan
metabolisme, lesi autoimun, inflamasi, defisiensi pertumbuhan
pembuluh darah dan saraf (Brinati et al., 2017).
c) Luka diabetic
Luka diabetic adalah salah satu jenis komplikasi dari diabetes
melitus, jika dibiarkan tidak diobati ulkus diabetic akan menjadi
kronik. Perawatan luka diabetic menggunakan metode balutan
modern selama 1 bulan dengan jumlah pengobatan sebanyak 10
kali dapat mempercepat proses penyembuhan luka diabetes
(Sudarman et al., 2020)
2) Makroangiopati
a) Penyakit kardiovaskuler
Kadar glukosa yang tinggi pada seseorang dengan DM akan
mengakibatkan stres oksidatif, glikasi protein vaskular,
abnormalitas trombosit dan koagulasi yang pada akhirnya
mengakibatkan disfungsi endotel dan beresiko langsung terhadap
bebagai penyakit kardiovaskuler seperti angina, infark miokard
(serangan jantung), stroke, penyakit arteri perifer dan gagal
jantung. (Didangelos et al., 2018).

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Kadar gula glukosa
1) Gula darah sewaktu/random <110mg/dl
2) Gula darah puasa/nuchter <110 mg/dl
3) Gula darah 2 jam PP (post prandial) <140mg/dl
(Harbuwono et al., 2020).
b. Pemeriksaan HbA1c banyak digunakan untuk pemantauan
terapeutik pada pasien diabetes karena mencerminkan kadar
glukosa dalam dua sampai tiga bulan sebelumnya. Sedangkan
pemeriksaan gula darah hanya mencerminkan saat diperiksa, dan tidak
menggambarkan pengendalian jangka Panjang (Krabbe et al., 2017).

6
Dikatakan diabetes jika hasil HbA1c adalah ≥ 6,1% (43 mmol / mol)
(Burgess et al., 2016).
8. Penatalaksanaan
a. Olah raga/latihan fisik yang rutin menyebabkan sel akan terlatih dan
lebih sensitif terhadap insulin sehingga asupan glukosa yang dibawa
glukosa transporter ke dalam sel meningkat. Aktivitas fisik yang
dilakukan bila ingin mendapatkan hasil yang baik harus memenuhi syarat
yaitu minimal 3 sampai 4 kali dalam seminggu serta dalam kurun waktu
minimal 30 menit dalam sekali beraktivitas. Tidak harus aktivitas yang
berat cukup dengan berjalan kaki di pagi hari sambil menikmati
pemandangan selama 30 menit atau lebih sudah termasuk dalam kriteria
aktivitas fisik yang baik. Aktivitas fisik ini harus dilakukan secara rutin
agar kadar gula darah juga tetap dalam batas normal (Azitha et al.,
2018).
b. Edukasi merupakan dasar utama untuk pengobatan dan pencegahan
DM yang sempurna. Pengetahuan yang minim tentang DM akan lebih
cepat menjurus ke arah timbulnya komplikasi dan hal ini merupakan
beban bagi keluarga dan masyarakat. Tingkat pengetahuan yang rendah
akan dapat mempengaruhi pola makan yang salah sehingga
menyebabkan kegemukan, yang akhirnya mengakibatkan kenaikan
kadar glukosa darah (Novyanda & Hadiyani, 2017).
c. Diet diabetes mellitus merupakan cara yang dilakukan oleh penderita
diabetes untuk merasa nyaman, mencegah komplikasi yang lebih berat,
serta memperbaiki kebiasaan makan untuk mendapatkan kontrol
metabolisme yang lebih baik dengan cara menurunkan kadar gula
darah mendekati normal dengan menyeimbangkan asupan makanan,
insulin/obat penurun glukosa oral dan aktivitas fisik, menurunkan
glukosa dalam urine menjadi negatif dan mengurangi polidipsi (sering
kencing), memberikan cukup energi untuk mempertahankan atau
mencapai berat badan normal serta menegakkan pilar utama dalam

7
terapi diabetes mellitus sehingga diabetisi dapat melakukan aktivitas
secara normal (Novyanda & Hadiyani, 2017).
d. Farmakologi
1) Pemberian terapi oral yang berdasarkan kerjanya dibagi lima golongan
yaitu
a) Pemacu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan
glinid
Sulfonilurea mempunyai efek utama memacu sekresi insulin oleh
sel beta pancreas. Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama
dengan sulfonylurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.
b) Peningkatkan sensitivitas terhadap insulin : Metformin dan
Tiazolidindion (TZD)
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (gluconeogenesis) dan memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus
DMT2.
Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari peroxisome
proliferator activated receptor gamma (PPAR -), suatu reseptor inti
termasuk disel otot, lemak dan hati. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut
glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa diperifer. Obat ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Obat yang masuk dalam
golongan ini adalah pioglitazone.
(Black & Hawks, 2016).
c) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat ini bekerja dengan menurunkan kadar glukosa darah dengan
mengurangi reabsorpsi glukosa di tubulus proksimal di ginjal dan
dengan demikian mengeluarkan glukosa dalam urin. Obat yang

8
termasuk golongan ini antara lain : canagliflozin, empagliflozin,
dapagliflozin, ipragliflozin (Rehan & Rahman).
2) Pemberian obat suntik
a) Insulin adalah obat anti diabetes mellitus
(Alfian, 2016).

B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien, meliputi : Nama pasien, tanggal lahir,umur, agama, jenis
kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, No rekam medis.
b. Keluhan utama
c. Riwayat kesehatan sekarang
d. Riwayat kesehatan dahulu
e. Riwayat kesehatan keluarga
f. Pemeriksaan Fisik
g. Klien dengan DM harus dipantau secara ketat untuk tingkat pengetahuan
dan melakukan peraatan mandiri.
(Black & Hawks, 2016).
2. Diagnosis Keperawatan
a. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hiperglikemia ditandai
dengan CRT >3dtk, nadi perifer menurun atau tidak teraba, akral teraba
dingin, turgotr kulit menurun dan edema
b. Ketidakstabilan kadar glukosa berhubugan dengan
hipoglikemia/hiperglikemia ditandai dengan mengantuk, pusing, kadar
glukosa darah rendah/tinggi, Lelah atau lesu
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan neuropati perifer ditandai
dengan kerusakan jaringan/lapisan kulit, nyeri, kemerahan
(PPNI, 2017).

9
INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa Kriteria hasil Intervensi Rasional

1 Perfusi perifer tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Observasi Observasi


asuhan keperawatan 1x 8 jam 1) Identifikasi factor resiko gangguan 1) Merupakan salah satu gangguan
sirkulasi sirkulasi, biasanya terjadi pada kaki.
Kriteria hasil :
2) sirkulasi perifer memberikan
1) Denyut nadi perifer 2) Periksa sirkulasi perifer idnikasi adanya sirkulasi sistemik,
2) Kecepatan penyembuhan bila nadi perifer tidak teraba
luka meningkat Parastesia menunjukan alirah darah keperifer
menurun tidak adekuat terapeutik
Teraupeutik Teraupeutik
3) Lakukan pencegahan infeksi 3) agar tidak terjadi infeksi
4) Lakukan perawatan kaki 4) menjaga kebersihan kaki agar
terhindar dari microorganism.
Edukasi
Edukasi
5) senam diabetic dapat meningkatkan
5) Anjurkan berolahraga rutin (senam
sirkulasi darah
diabetic)
6) kepatuhan terhadap diet dapat
6) Anjurkan program diet
memperbaiki sirkulasi

10
2 Ketidakstabilan kadar glukosa Setelah dilakukan asuhan Observasi Observasi
keperawatan 1 x 8 jam kadar
1) Identifikasi penyebab hiperglikemia 1) Hiperglikemia terjadi ketika jumlah
gula darah stabil dengan
R/ untuk memantau kadar gula insulin ke glukosa tidak mencukupi.
Kriteria Hasil :
dalam darah apakah mengalami 2) Poliura, polidipsi dan polifagia dapat
1) Kadar glukosa darah peningkatan atau penurunan menyebabkan tingkat kelesuan
terkontrol 2) Monitor tanda dan gejala berlebih pada tubuh klien karena
2) Kadar glukosa darah dalam hiperglikemia (poliura, polidipsi dan pengontrolan fungsi yang tidak
rentang normal polifagia) sesuai
Teraupeutik

3) Berikan asupan cairan oral Teraupeutik

3) untuk mempertahankan asupan


4) Konsultasi dengan medis jika tanda cairan dikarenakan polyuria
dan gejala hiperglikemia tetap ada 4) agar dapat mengantisipasi dan
atau memburuk menghambat keparahan yang
Edukasi diakibatkan oleh hiperglikemia.
5) Anjurkan monitor kadar glukosa Edukasi

11
darah secara mandiri. 5) agar pasien bisa melakukan
pengecekan kadar glukosa darah
secara mandiri.
6) Anjurkan kepatuhan terhadap diet
6) kepatuhan diet dapat mencegah
komplikasi tterjadinya hipoglikemia
atau hiperglikemia
Kolaborasi
Kolaborasi
7) Kolaborasi pemberian insulin, cairan
7) untuk menurunkan kadar glukosa
IV dan kalium jika perlu
sehingga tetap dalam rentang
normal
3 Gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan Perawatan luka
asuhan keperawatan 1 x 8 Observasi Observasi
jam kulit pasien membaik 1) Monitor karakteristik luka 1) pengkajian yang tepat terhadap luka
dengan dan proses penyembuhan akan
Kriteria hasil : membantu dalam menentukan
1) integritas kulit yang baik tindakan selanjutnya serta
bisa dipertahankan, tidak mengetahui perkembangan luka

12
ada luka/lesi pada kulit
Teraupeutik
Teraupeutik
2) Lepaskan balutan dan plester secara
bertahap 2) untuk menjaga agar kulit tetap
bersih dan kering dan untuk

3) Bersihkan jaringan nekrotik mengangkat jaringan mati.


3) Meningkatan ketepatan penyerapan
drainase
4) Pertahankan Teknik steril saat
4) Dapat menjaga kontaminasi luka
melakukan perawatan luka
dan mencegah infeksi
Edukasi
Edukasi
5) Ajarkan prosedur perawatan luka
secara mandiri 5) Meningkatkan pengetahuan tentang

Kolaborasi perawatan luka.

6) Kolaborasi pemberian antibiotic, jika Kolaborasi


perlu. 6) Antibiotic dapat menghambat
proses infeksi

13
14
3. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan dari intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan
yang diharapkan. Tujuan dari implementasi adalah membantu klien dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,
pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping. Fokus tahap implementasi asuhan
keperawatan adalah kegiatan implementasi dari perencanaan intervensi untuk memenuhi
kebutuhan fisik dan emosional. Pemenuhan kebutuhan fisik dan emosional bervariasi,
tergantung dari individu dan masalah yang spesifik, tetapi ada beberapa komponen yang
terlibat dalam implementasi asuhan keperawatan yaitu pengkajian yang terus menerus,
perencanaan, dan pengajaran (Wiklinson, 2016).
4. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan, rencana intervensi, dan
implementasinya. Tahap evaluasi pada proses keperawatan meliputi kegiatan mengukur
pencapaian tujuan klien dan menentukan keputusan dengan cara membandingkan data
yang terkumpul dengan tujuan dan pencapaian tujuan. Dengan mengukur perkembangan
klien dalam mencapai suatu tujuan maka perawat dapat menentukan efektivitas asuhan
keperawatan. Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya
dalam perencanaan, membaningkan hasil tindakan keperaatan yang telah ditetapkan
sebelumnya dan menilai efektivitas proses keperaatan mulai dari pengkajian, intervensi dan
implementasi. Evaluasi disusun menggunapak SOAP (S:ungkapan perasaan atau keluhan
yang dikeluhkan klien secara subjektif setelah diberikan implementasi keperawatan,
O:keadaan objektif yang dapat di identifikasi oleh peraat menggunakan pengamatan yang
objektif, A:analisis peraat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif, P:perencanaan
selanjutnya setelah perawat melakukan analisis). (Wiklinson, 2016).

15
DAFTAR PUSTAKA

Alfian, R. (2016). Kepatuhan Tentang Penggunaan Insulin Pada Pasien Diabetes


Mellitus Di Poliklinik Banjarmasin Dalam RSUD. DR. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin. Jurnal Ilmmiah Ibnu Sina, 1(1), 9–18.
Arambewela, M. H., Somasundaram, N. P., Jayasekara, H. B. P. R., Kumbukage, M.
P., Jayasena, P. M. S., Chandrasekara, C. M. P. H., Fernando, K. R. A. S., & Kusumsiri, D.
P. (2018). Prevalence of Chronic Complications, Their Risk Factors, and the
Cardiovascular Risk Factors among Patients with Type 2 Diabetes Attending the Diabetic
Clinic at a Tertiary Care Hospital in Sri Lanka. Journal of Diabetes Research, 2018,
4504287. https://doi.org/10.1155/2018/4504287
Awadalla, N. J., Hegazy, A. A., El-Salam, M. A., & Elhady, M. (2017).
Environmental Factors Associated with Type 1 Diabetes Development: A Case Control
Study in Egypt. International Journal of Environmental Research and Public Health, 14(6),
1–10. https://doi.org/10.3390/ijerph14060615
Azitha, M., Aprilia, D., & Ilhami, Y. R. (2018). Hubungan Aktivitas Fisik dengan
Kadar Glukosa Darah Puasa pada Pasien Diabetes Melitus yang Datang ke Poli Klinik
Penyakit Dalam Rumah Sakit M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(3), 400.
https://doi.org/10.25077/jka.v7.i3.p400-404.2018
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2016). Keperwatan Medikal Bedah (8 Buku 2). PT
Salemban Emban Patria.
Brinati, L. M., Diogo, N. A. S., Moreira, T. R., Mendonça, É. T., & Amaro, M. O. F.
(2017). Prevalência e Fatores Associados à Neuropatia Periférica em Indivíduos Com
Diabetes Mellitus Prevalence and Factors Associated with Peripheral Neuropathy in
Individuals with Diabetes Mellitus. Revista de Pesquisa: Cuidado é Fundamental Online,
9(2), 347. https://doi.org/10.9789/2175-5361.2017.v9i2.347-355
Burgess, J. C., Bridges, N., Banya, W., Gyi, K. M., Hodson, M. E., Bilton, D., &
Simmonds, N. J. (2016). HbA1c as A Screening Tool for Cystic Fibrosis Related Diabetes.
Journal of Cystic Fibrosis, 15(2), 251–257. https://doi.org/10.1016/j.jcf.2015.03.013
Didangelos, T., Moralidis, E., Karlafti, E., Tziomalos, K., Margaritidis, C.,
Kontoninas, Z., Stergiou, I., Boulbou, M., Papagianni, M., Papanastasiou, E., &

16
Hatzitolios, A. I. (2018). A Comparative Assessment of Cardiovascular Autonomic Reflex
Testing and Cardiac 123I-Metaiodobenzylguanidine Imaging in Patients with Type 1
Diabetes Mellitus without Complications or Cardiovascular Risk Factors. International
Journal of Endocrinology, 2018. https://doi.org/10.1155/2018/5607208
Hafeez, M., Siddiqi, A. H., & Ahmed, I. (2018). Diabetes Mellitus in Soldiers,
What’S New. Pakistan Armed Forces Medical Journal, 68(4), 779–783.
Harbuwono, D. S., Tahapary, D. L., Edi Tarigan, T. J., & Yunir, E. (2020). New
Proposed Cut-off of aist Circumference for Central Obesity as Risk Factor for Diabetes
Mellitus: Evidence from the Indonesian Basic National Health Survey. PLoS ONE, 15(11
November), 1–13. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0242417
Krabbe, C. E. M., Schipf, S., Ittermann, T., Dörr, M., Nauck, M., Chenot, J. F.,
Markus, M. R. P., & Völzke, H. (2017). Comparison of Traditional Diabetes Risk Scores
and HbA1c to Predict Type 2 Diabetes Mellitus in A Population Based Cohort Study.
Journal of Diabetes and Its Complications, 31(11), 1602–1607.
https://doi.org/10.1016/j.jdiacomp.2017.07.016
Lee, K., Park, I. B., Yu, S. H., Kim, S. K., Kim, S. H., Seo, D. H., Hong, S., Jeon, J.
Y., Kim, D. J., Kim, S. W., Choi, C. S., & Lee, D. H. (2019). Characterization of Variable
Presentations of Diabetic Ketoacidosis Based on Blood Ketone Levels and Major Society
Diagnostic Criteria: A New View Point on the Assessment of Diabetic Ketoacidosis.
Diabetes, Metabolic Syndrome and Obesity: Targets and Therapy, 12, 1161–1171.
https://doi.org/10.2147/DMSO.S209938
Novyanda, H., & Hadiyani, W. (2017). Hubungan Antara Penanganan Diabetes
Melitus: Edukasi Dan Diet Terhadap Komplikasi Pada Pasien Dm Tipe 2 Di Poliklinik
Rsup Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Keperawatan Komprehensif, 3(1), 25.
https://doi.org/10.33755/jkk.v3i1.81
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperaatan Indonesia : Defenisi dan Indikator
Diagnostik. DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan : Defenisi dan Tindakan Keperawatan.
DPP PPNI.

17
Rehman, S. U., & Rahman, F. (2020). Evidence-Based Clinical Review on
Cardiovascular Benefits of SGLT2 (Sodium-Glucose Co-Transporter Type 2) Inhibitors in
Type 2 Diabetes Mellitus. Cureus, 2(8). https://doi.org/10.7759/cureus.9655
Sudarman, Asfar, A., & Amir, H. (2020). Modern Dressing Wound Care Effective
Healing Diabetic. Jurnal Ipteks Terapan, 14(2), 138–145.
https://doi.org/http://doi.org/10.22216/jit.2020.v14i2.5384
Valencia, Y., & Dols, J. D. (2021). Facilitating Adherence to Evidence-Based
Practices for Adults With Type 2 Diabetes Mellitus. Journal for Nurse Practitioners.
https://doi.org/10.1016/j.nurpra.2020.12.027
Vicente, M. C., da Silva, C. R. R., Pimenta, C. J. L., Bezerra, T. A., de Lucena, H. K.
V., Valdevino, S. C., & Costa, K. N. de F. M. (2020). Functional Capacity and Self-Care in
Older Adults with Diabetes Mellitus. Aquichan, 20(3), 1–11.
https://doi.org/10.5294/aqui.2020.20.3.2
Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). KMB 2 : Keperawatan Medikal Bedah
Keperawatan Dewasa. Nuha Medika.
Wiklinson, J. M. (2016). Diagnosis Keperawatan Diagnosis NANDA-I, Intervensi
NIC, Hasil NOC. EGC.
World Health Organization. (2020). Diabetes. https://www.who.int/health-
topics/diabetes#tab=tab_1. (Data Accessed 2020-08-10)

18

Anda mungkin juga menyukai