Anda di halaman 1dari 8

NAMA : DINA MAULIDA

NPP : 30.1076

KELAS/NO ABSEN : G2/10

PRODI/FAKULTAS : TRIP/FMP

1. Apa yang dimaksud dengan kebijakan, publik, dan analisis kebijakan publik?

2. Sebut dan jelaskan tahap tahap pembuatan kebijakan publik menurut William Dunn.!

3. Berikan penjelasan saudara pada tahap mana kebijakan publik dilakukan analisis
kebijakan!

4. Sebut dan jelaskan jenis jenis kebijakan publik menurut william dun atau pakar
lainnya!

5. Sebutkan dan jelaskan suatu kebijakan publik yang sanag krusial yang menjadi isu
pemerintahan daerah saat ini yang memerlukan analisis dan uraikan alasan saudara
mengapa isu tersebut diperlukan analisis kebijakan!

Jawab

1) Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor
swasta, serta individu.

Istilah publik diserap dari bahasa Inggris public yang secara etimologis berasal dari
bahasa Latin, publicus yang berarti untuk orang for populicus. Populicus berasal dari
kata populus yang berarti orang (people). Menurut Herbert Blumer, sekelompok
orang yang dihadapkan pada suatu permasalahan dengan berbagai pendapat
mengenai cara pemecahan persoalan tersebut, serta terlibat dalam diskusi mengenai
persoalan itu merupakan publik. Sedangkan Emery Bogardus mendefinisikan Publik
adalah sejumlah orang yang bersatu dalam satu ikatan dan mempunyai pendirian
sama terhadap suatu permasalahan sosial.

Analisis kebijakan adalah suatu teknik yang digunakan dalam administrasi publik
untuk memeriksa dan mengevaluasi kebijakan suatu organisasi publik dalam
mencapaian tujuan. Analisis kebijakan adalah suatu teknik yang digunakan dalam
administrasi publik untuk memeriksa dan mengevaluasi kebijakan suatu organisasi
publik dalam mencapaian tujuan. Hal ini telah didefinisikan sebagai proses
"menentukan berbagai kebijakan dalam mencapai suatu tujuan." Analisis Kebijakan
dapat dibagi menjadi dua bidang utama:

 Analisis kebijakan yang ada, suatu analisis deskriptif yaitu, bagaimana


menjelaskan kebijakan dan perkembangannya.
 Analisis untuk kebijakan baru, yang bersifat preskriptif yaitu, suatu analisis
yang melibatkan perumusan kebijakan dan proposal (misalnya: memperbaiki
kesejahteraan sosial).

2) Adapun Tahap/Fasenya yakni

Fase Penjelasan

Penyusunan Agenda Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat
strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses
inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut
sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik
dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan
status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas
dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih
daripada isu lain.

Dalam agenda setting juga sangat penting untuk


menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam
suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues)
sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy
problem). Policy issues biasanya muncul karena telah
terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah
tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau
pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan
tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan
merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan
baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun
penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua
isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.

Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda


kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976;
Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986)[2]
diantaranya:

1. telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan,


akan menjadi ancaman yang serius;

2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à


berdampak dramatis;

3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang


banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media
massa;

4. menjangkau dampak yang amat luas ;

5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam


masyarakat ;

6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit


dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)

Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat


menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak
masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya
ditunda untuk waktu lama.
Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya
menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan ke
Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan
disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.

Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan


berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga
keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh
mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan
stakeholder.

Formulasi Kebijakan Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan


kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-
masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah
tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan
kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan
suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan,
dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing
slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan
yang diambil untuk memecahkan masalah.

Adopsi Kebijakan Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi


pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi
dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat,
warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun
warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah
yang sah. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi -
cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan
pemerintah yang membantu anggota mentolerir
pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola
melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Dimana
melalui proses ini orang belajar untuk mendukung
pemerintah.

Implementasi Kebijakan Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unti unti
administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial
dan manusia

Penilaian kebijakan Unit unit pemeriksaan dan akutansi dalam dalam


pemerintahan menentukan apakah badan badan eksekutif
dan legislatif dan peradilan memenuhu persyaratan
undang undang dalam pembuatan kebijakan dan
pencapaian tujuan

3) Pada tahap kebijakan formulasi inilah dilakukan analisis kebijakan, Masalah yang
sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat
kebijakan untuk dianalisis. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian
dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari
berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada.

4) Banyak pakar yang mengajukan jenis kebijakan publik berdasarkan sudut pandang
masing-masing. James Anderson sebagaimana dikutip Suharno (2010: 24-25)
menyampaikan kategori kebijakan publik sebagai berikut:

a. Kebijakan substantif versus kebijakan prosedural

Kebijakan substantif yaitu kebijakan yang menyangkut apa yang akan


dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan kebijakan prosedural adalah bagaimana
kebijakan substantif tersebut dapat dijalankan.

b. Kebijakan distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan redistributif

Kebijakan distributif menyangkut distribusi pelayanan atau kemanfaatan


pada masyarakat atau individu. Kebijakan regulatori merupakan kebijakan yang
berupa pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku individu atau kelompok
masyarakat. Sedangkan, kebijakan redistributif merupakan kebijakan yang
mengatur alokasi kekayaan, pendapatan, pemilikan atau hak-hak diantara
berbagai kelompok dalam masyarakat.

c. Kebijakan materal versus kebijakan simbolik


Kebijakan materal adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber
daya komplet pada kelompok sasaran. Sedangkan, kebijakan simbolis adalah
kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok sasaran.

d. Kebijakan yang barhubungan dengan barang umum (public goods) dan barang
privat (privat goods)

Kebijakan public goods adalah kebijakan yang mengatur pemberian barang


atau pelayanan publik. Sedangkan, kebijakan privat goods adalah kebijakan
yang mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas.

William N. Dunn (2000: 21) membedakan tipe-tipe kebijakan menjadi lima bagian, yaitu:

a) Masalah kebijakan (policy public)

Adalah nilai, kebutuhan dan kesempatan yang belum terpuaskan, tetapi dapat
diidentifikasi dan dicapai melalui tindakan public. Pengetahuan apa yang hendak
dipecahkan membutuhkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang mendahului
adanya problem maupun informasi mengenai nilai yang pencapaiannya menuntut
pemecahan masalah.

b) Alternative kebijakan (policy alternatives)

Yaitu arah tindakan yang secara potensial tersedia yang dapat member
sumbangan kepada pencapaian nilai dan pemecahan masalah kebijakan. Informasi
mengenai kondisi yang menimbulkan masalah pada dasarnya juga mengandung
identifikasi terhadap kemungkinan pemecahannya.

c) Tindakan kebijakan (policy actions)

Adalah suatu gerakan atau serangkaian gerakan sesuai dengan alternatif


kebijakan yang dipilih, yang dilakukan untuk mencapai tujuan bernilai.

d) Hasil kebijakan (policy outcomes)


Adalah akibat-akibat yang terjadi dari serangkaian tindakan kebijakan yang
telah dilaksanakan. Hasil dari setiap tindakan tidak sepenuhnya stabil atau diketahui
sebelum tindakan dilakukan, juga tidak semua dari hasil tersebut terjadi seperti yang
diharapkan atau dapat diduga sebelumnya.
e) Hasil guna kebijakan
Adalah tingkat seberapa jauh hasil kebijakan memberiakn sumbangan pada
pencapaian nilai. Pada kenyataanya jarang ada problem yang dapat dipecahkan
secara tuntas, umumnya pemecahan terhadap suatu problem dapat menumbuhkan
problem sehingga perlu pemecahan kembali atau perumusan kembali.Jika dilihat
secara tradisional para ilmuwan politik umumnya membagi: 1) kebijakan substantif
(misalnya kebijakan perburuhan, kesejahteraan sosial, hak-hak sipil, masalah luar
negeri); 2) kelembagaan (misalnya: kebijakan legislatif, kebijakan eksekutif,
kebijakan yudikatif, kebijakan departemen); 3) kebijakan menurut kurun waktu
tertentu (misalnya kebijakan masa reformasi, kebijakan masa orde baru)

5) Kebijakan UU Cipta Kerja yang kontroversial merupakan salah satu kebijaan krusial
Gelombang protes datang dari berbagai elemen termasuk dari sejumlah kepala
daerah. Penolakan ini bisa dipahami karena beberapa hal.
Pertama, sebagaimana yang juga menjadi salah satu pokok penolakan beberapa
elemen masyarakat, proses sejak pengusulan hingga pengesahan sangat terbatas dan
tidak melibatkan partisipasi publik secara luas, serta terburu-buru dan mengalahkan
prioritas UU lainnya. Termasuk yang tidak dilibatkan oleh presiden dan DPR adalah
otoritas daerah. Walikota Bogor, Bima Arya, misalnya, yang juga adalah Wakil
Ketua Asosiasi Pemerintah Seluruh Kota Indonesia (APEKSI) menyatakan bahwa
legislasi sama sekali tidak melibatkan APEKSI meskipun banyak aturan di UU
tersebut melibatkan peran dan kewenangan Pemerintah Kota.
Kedua, penolakan para kepala daerah ini sangat bisa kita pahami karena UU
Cipta Kerja secara signifikan mengubah peran dan fungsi pemerintahan daerah,
terutama dari sisi kewenangan. Meskipun tidak mudah melacak ketentuan tentang
kewenangan daerah dalam UU baru ini karena simpang siur naskah akhir UU, tapi
jika kita melihat pada naskah yang diketok palutertanggal 5 Oktober 2020
(berjumlah 905 halaman), sejumlah hal krusial patut menjadi perhatian pemerintah
daerah. Beberapa pasal seperti pasal 17 memangkas kewenangan pemda dalam hal
tata ruang. Dalam pasal 8 (2) disebutkan sejumlah kewenangan pemerintah pusat
yang meliputi perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan penetapan ruang
wilayah nasional. Sedangkan wewenang pemerintah daerah, sesuai norma, standar,
prosedur dan kriteria (yang ditetapkan oleh pemerintah pusat) adalah pengaturan,
pelaksanaan, dan kerjasama antar provinsi.
Tentu pembatasan ini akan sangat berpengaruh pada kewenangan pemerintah
daerah, karena hanya pemerintah pusat yang menentukan apa dan di mana lokasi
pembangunan nasional tanpa harus ada persetujuan pemerintah daerah. Pembatasan
ini mengubah aturan sebelumnya di UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
yang mengatur kewenangan pemda dalam tata ruang. Versi terakhir UU Cipta Kerja
(yang berjumlah 812 halaman) tidak banyak mengubah aturan ini.

Di samping soal tata ruang, UU Ciptaker juga membatasi peran pemda dalam
hal pemberian izin lingkungan untuk pengusaha (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan/AMDAL). Pasal 22 UU Ciptaker mengubah secara substantif UU No.
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, termasuk
menghapuskan kewenangan pemda dalam menilai dan menetapkan amdal
perusahaan.

Salah satu konsekuensi penting dari pembatasan peran dan wewenang pemda ini
adalah penurunan Pendapatan Anggaran Daerah (PAD). Sebagaimana disoroti oleh
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), pengambilalihan
kewenangan perizinan kepada pemerintah pusat menyebabkan pemda tidak bisa
mendapatkan retribusi dari pelayanan dan perizinan berusaha. Padahal retribusi ini
adalah salah satu sumber PAD terbesar bagi pemda. Di samping itu, besar
kemungkinan pemda juga enggan menjalankan fungsi pengawasan jika perizinan
diberikan tanpa melalui kewenangan pemda. Hal yang sama juga bagi perizinan
lainnya seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB), yang juga menjadi salah satu
penyumbang PAD terbesar.

Oleh karena itu perlu dilakukan analisis kebijakan secara menyeluruh agar
tujuan fari terciptanya kebijakan ini tidak banyak menimbulkan banhak masalah
baru.. Perlu dianalisis karena UU ini juga mengubah secara mendasar pemahaman
terhadap urusan pemerintahan konkuren (urusan yang dibagi antara pemerintah pusat
dan Daerah) sebagaimana diatur dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintah
daerah. UU Cipta Kerja mensyaratkan bahwa hal-hal yang diatur dalam Peraturan
Daerah (Perda) harus disesuaikan dengan intensi dari UU ini

Anda mungkin juga menyukai