Anda di halaman 1dari 5

EKONOMI MAKRO

Nama : Musdalipa
NIM : 1905066024
Kelas : A

Review 2 jurnal yang berjudul


Filsafat Ekonomi Pancasila
Nilai Nilai Budaya Suku Kutai dalam Perspektif Pancasila Sila Kelima

A. Judul : Filsafat Ekonomi Pancasila Mubyanto


Penulis :-
Abstrak :
Tulisan ini bertujuan untuk menggali dan menganalisis filsafat Ekonomi
Pancasila Mubyarto. Mubyarto adalah seorang tokoh filsuf Ekonomi Pancasila. Secara
konseptual, Ekonomi Pancasila menjadi aspek yang mendasar dalam para• digma
ekonomi Indonesia. Persoalan tentang Ekonomi Pancasila Mubyarto muncul ketika
mempertanyakan pertumbuhan ekonomi, persamaan, dan keadilan ekonomi; serta
bagaimana gagasan Ekonomi Pancasila dapat menjelaskan tentang teori per• tumbuhan
di antara masyarakat industri dan pertanian. Tulisan ini akan membahas tentang
hakikat dari Ekonomi Pancasila Mubyarto; cara kerja Ekonomi Pancasila dalam
sistem perekonomian Indonesia; upaya Mubyarto dalam mengembangkan teorinya
dalam bentuk praktis; dan tanggapan para ekonom dan ilmuwan Indonesia terhadap
teori Ekonomi Pancasila. Tulisan ini merefleksikan bahwa Ekonomi Pan• casila
Mubyarto adalah pendekatan untuk melihat fenomena perilaku ekonomi pada
masyarakat Indonesia; dan Ekonomi Pancasila Mubyarto adalah pendekatan alter• natif
untuk mempelajari ekonomi berbasiskan keindonesiaan, serta gagasan teori tandingan
dan teori ekonomi neo-klasik.
Kesimpulan :
Sejak otonomi daerah dilaksanakan mulai Januari 2001 terjadilah semacam
“perebutan” rezki antara pemerintah pusat dan pemerintahpemerintah daerah, dan
antara pemerintahpemerintah daerah (khususnya Kabupaten/ kota) yang bertetangga.
Karena dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah adalah Perdaperda, di samping UU
No. 22 dan No. 25/1999, maka pemerintah-pemerintah daerah bersama DPRD
menyusun berbagai Perda, yang jika akhirnya menimbulkan konflik dengan
kepentingan pemerintah pusat, pemerintah pusat dhi Departemen Dalam Negeri
“menegur” Pemda yang bersangkutan atau ada daerah-daerah yang secara tegas
diminta untuk mencabut “Perda-perda bermasalah”. Banyak daerah, terutama yang
kaya sumber daya alam, di masa lalu merasa disedot kekayaannya oleh pemerintah
pusat, dan investor dari luar. Nilai dan tingkat “eksploitasi” ini dapat ditaksir. Salah
satu cara menghitung atau menaksirnya adalah dengan membandingkan nilai PDRB
(per kapita) dengan nilai pengeluaran konsumsi per kapita. Dengan asumsi tidak ada
tabungan (saving), jika nilai PDRB per kapita jauh lebih tinggi dibanding nilai
pengeluaran konsumsi, maka berarti sebagian besar PDRB tidak dinikmati oleh
penduduk setempat. Dengan perkataan lain sebagian PDRB memang “dikirimkan”
kepada pemiliknya yaitu investor dari luar daerah, yang bisa beralamat di Jakarta
atau di luar negeri.
Jika Ahmad Syafii Ma’arif (2003) dan Franz Magnis-Suseno (2003)
berbicara keras tentang kerusakan bangsa yang “hampir sempurna”, sehingga tinggal
tunggu waktu dibawa masuk jurang, maka dilihat dalam perspektif ekonomi
diartikan bahwa krisis ekonomi dewasa ini sudah amat parah, yang jika dibiarkan
pasti akan mengakibatkan kebangkrutan perekonomian nasional. Meskipun orang
tidak pernah lupa menyebutkan bahwa krisis yang melanda bangsa Indonesia dewasa
ini sudah menjadi multidimensi, tokh yang paling sering disebutkan di media massa
adalah krisis ekonomi, bukan krisis politik, krisis hukum, atau krisis moral.
Sebabnya tidak lain karena selama 3 dekade Orde Baru, pembangunan ekonomi
sudah menjadi “agama”, dengan peranan yang amat dominan dari
(perusahaanperusahaan) konglomerat. Kini ketika konglomerat sudah rontok, yang
sulit dibayangkan untuk bangkit kembali karena utang yang sangat besar, maka
ekonomi secara keseluruhan dikatakan dalam keadaan krisis parah. Bahwa ekonomi
nasional dianggap masih dalam kondisi krisis, faktor-faktornya antara lain adalah
kurs dollar yang masih 3 kali lebih tinggi dibanding sebelum krisis moneter Juli
1998, bank-bank masih belum mengucurkan kredit ke sektor riil, dan pemerintah
terperangkap dalam beban utang dalam dan luar negeri yang sangat berat. Benarkah
faktor-faktor ini cukup? Mengapa inflasi yang sudah benarbenar terkendali, dan
pertumbuhan ekonomi yang sudah positif (3-4% pertahun) tidak dianggap sebagai
faktor-faktor yang seharusnya tidak lagi menggambarkan kondisi krisis ekonomi?
Memang pakar-pakar ekonomi pada umumnya masih mampu berargumentasi dan
menunjuk belum adanya investasi terutama investasi asing sebagai salah satu
penyebab pertumbuhan ekonomi rendah. “Jika pertumbuhan ekonomi hanya
ditopang oleh konsumsi maka pertumbuhan ekonomi tidak akan berkelanjutan”, kata
mereka.

B. Judul : Nilai Nilai Budaya Suku Kutai dalam Perspektif Pancasila Sila Kelima
Penulis: Reza, Noor Ellyawati, Syaiful Arifin
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi nilai-nilai budaya Suku Kutai yang
diselaraskan dengan keadilan sosial dalam butir-butir Pancasila Sila Ke-5. Penelitian
menggunakan pendekatan kualitatif. Objek penelitian adalah masyarakat lokal suku
Kutai yang berdomisili di kecamatan Tenggarong. Pengumpulan data menggunakan
teknik triangulasi, yaitu pengamatan langsung, dokumentasi, wawancara mendalam
dengan informan, studi pustaka dan diskusi terfokus (FGD). Analisis data
menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa nilai
budaya suku Kutai yang terdapat dalam filosofi beseprah mempunyai makna gotong
royong, filosofi gali-gali lengkuas kalau belum pupus belum puas dan biar genting
asal jangan pegat mempunyai makna hidup hemat, filosofi makan jangan kenyang
gubang jangan diikat mempunyai makna hidup sederhana dan rajin mencari rezeki,
filosofi Tuah himba untung langgong dapat diselaraskan mempunyai makna
pemanfaatan sumber daya alam, dan filosofi Ruhui Rahayu mempunyai makna
kesejahteraan masyarakat dapat diselaraskan dengan butir-butir Pancasila sila ke-5
sehingga dapat dijadikan sebagai pengembangan pendidikan ekonomi berbasis budaya
lokal.
Metode Penelitian :
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan grounded theory.
Penelitian kualitatif digunakan untuk menggali pengalaman hidup manusia dengan
menekankan nilai-nilai subyektif yang disampaikan oleh informan dari fenomena yang ada
dan ditampilkan dalam bentuk narasi (Polit & Hungler, 1999). Penelitian kualitatif
menekankan makna dari pengalaman seseorang yang menghasilkan suatu teori, Pendekatan
grounded theory merupakan suatu cara penelitian kualitatif yang dilakukan secara sistematis
dengan menggunakan suatu prosedur tertentu untuk menghasilkan suatu teori. (Creswell,
1998). Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif yang ditujukan untuk
memperoleh gambaran yang mendalam mengenai nilai-nilai budaya suku kutai yang dapat
diselaraskan dengan butir-butir Pancasila Sila ke-5. Objek penelitian adalah masyarakat lokal
Suku Kutai yang berdomisili di Tenggarong. Lokasi ini dipilih karena Kecamatan Tenggarong
berada di ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara, dengan jumlah penduduk terbesar di
Kabupaten Kutai Kartanegara, lokasi Kesultanan Kutai, pusat perkantoran. Adapun
pengambilan data di 3 lokasi di Kecamatan Tenggarong yakni Lokasi di kota Tenggarong,
perbatasan dengan pedalaman, perbatasan dengan kota Samarinda, 3 Lokasi ini dipilih
dengan asumsi bahwa nilai-nilai budaya suku Kutai, upaya pewarisan dan proses transfer
nilai-nilai budaya suku Kutai banyak terjadi di lokasi ini. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa dalam penelitian Grounded Research yang disampel adalah obyek
material yang berupa fenomena-fenomena yang melekat pada subyek (orang atau benda),
maka otomatis obyek formal juga ikut disampel dalam proses. Pengumpulan atau penggalian
fenomena. Dengan demikian sumber data utama dalam penelitian ini adalah fenomena yang
melekat pada orang Kutai. Fenomena yang akan diteliti adalah fenomena yang terkait
dengan fokus penelitian yaitu mengenai makna nilai-nilai budaya suku Kutai. Karena
fenomena ini melekat Suku Kutai, maka responden yang akan dikenal penelitian adalah
seluruh orang Kutai di kecamatan Tenggarong pada tahap awal. Pada tahap selanjutnya,
yaitu pada saat masuk tahap axial dan selectif coding, peneliti akan memilih beberapa orang
Kutai yang perilakunya sangat menonjol yang mewakili nilai-nilai budaya Suku Kutai yang
diteliti. Pada tahap penyampelan terbuka jumlah 20 orang, pada tahap relasional dan
variasional, ternyata dari fakta yang ada banyak fenomena yang motif dan polanya sama,
sehingga peneliti memutuskan untuk lebih fokus kepada 10 orang yang ada banyak
fenomena yang motif dan polanya sama, yang akan diteliti lebih lanjut untuk menemukan
hubungan fenomena yang ada. Pada tahap penyampelan pembeda, untuk menggali lebih
mendalam lagi makna dari budaya yang dijadikan kebiasaan, peneliti memilih 6 orang yang
menurut peneliti perilakunya sangat sering menunjukkan kebiasaan budaya suku Kutai
dalam menjalankan perspektif Pancasila sila ke- 5. Adapun 6 (enam) partisipan inti yaitu : 1.
Muhammad Jaini, 56 tahun, Pegawai negeri sipil, Kelurahan Mangkurawang. 2. Awang
Masdari, 44 tahun, Pegawai negeri sipil, Kelurahan Jahab. 3. Surya Saputra, 46 tahun,
Swasta, Kelurahan Panji. 4. Syahrial, 72 tahun, Petani, Kelurahan Loa Ipuh. 5. Irwan, 31
tahun, swasta, Kelurahan Bendang raya. 6. Eldy, 19 tahun, Mahasiswa, Kelurahan Loa Tebu.
Partisipan inti dibagi menjadi 3 wilayah yakni kota Tenggarong (Muhammad zaini dan Surya
Saputra ), Perbatasan dengan Pedalaman ( Syahrial dan Eldy ), dan Perbatasan dengan Kota
Samarinda ( Awang Masdari dan Irwan ). Sumber data lain dalam penelitian yang dapat
digunakan Sumber bahan cetak, (kepustakaan), meliputi buku “Salasiah Kutai”, “Brajaniti”,
dokumen sejarah Kerajaan Kutai, kliping tentang sejarah dan kebudayaan suku Kutai yang
diperoleh dari surat kabar, majalah ilmiah, jurnal, situs internet, dan lain-lain. Sesuai fokus
penelitian dan pendekatan yang dipilih, maka dalam pengumpulan data, teknik yang
digunakan adalah observasi partisipatif dan wawancara secara mendalam. 1) Tehnik
Observasi Partisipatif Dalam observasi ini peneliti terlihat dengan kegiatan sehari-hari orang
yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil
melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan
ikut merasakan suka dukanya. Teknik ini akan memperoleh data yang lebih lengkap, tajam,
dan sampai mengetahui pada tingkatan makna dari setiap perilaku yang tampak.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan partisipatif lengkap, artinya dalam
melakukan pengumpulan data, peneliti terlihat sepenuhnya terhadap apa yang dilakukan
sumber data.. Menurut Creswell (2008) hal ini merupakan keterlibatan peneliti yang
tertinggi terhadap aktifitas kehidupan yang diteliti. Observasi yang dilakukan untuk melihat
nilai-nilai budaya yang dijalankan suku Kutai dilingkungannya baik secara individu, rumah
tangga maupun masyarakat. Dari observasi ini peneliti mendapat gambaran tentang
fenomena yang tampak dalam menghadapi permasalahan sosial, ekonomi dan budaya, dan
bagaimana cara transfer nilai budaya suku Kutai, apakah masih dipertahankan oleh mereka
dan faktor apa yang menyebabkan nilai tersebut masih dipertahankan, serta apakah masih
relevan dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya saat ini. 2) Tehnik Wawancara Secara
Mendalam (In depth Interview) Teknik wawancara secara mendalam ini merupakan
wawancara tidak terstruktur dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang
telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengunpulan datanya. Pedoman
wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan
ditanyakan. Pertanyaan yang diajukan tidak terstruktur tapi mengalir mengikuti irama saat
dilakukannya interview dengan tujuan untuk menghilangkan suasana kaku. Selain itu dengan
menggunakan teknik ini peneliti bisa menggali data secara mendalam mengenai fenomena
yang terkait dengan bagaimana nilai-nilai budaya suku kutai dan cara transfer yang mereka
lakukan, bagaimana suku Kutai menghadapi permasalahan sosial, ekonomi dan budaya di
lingkungan mereka dan bagaimana suku Kutai memaknai nilai budayanya.

Hasil Penelitian :
1 Filosofi Beseprah yaitu makan bersama-sama antara raja dan kawulanya, pemimpin
dan masyarakatnya, serta sesama masyarakat. Pada zaman kerajaan Kutai
Kartanegara acara ini dilakukan untuk mengucapkan rasa syukur setelah panen
melimpah dan sekaligus digunakan untuk silaturahim raja dan kawulanya dengan
acara makan bersama dengan menu yang sama tapi seiring zaman tradisi ini
biasanya dimulai dengan kerja bakti terlebih dahulu.
2 Filosofi Biar genting asal jangan pegat artinya biar keuangan sudah tipis tapi masih
ada yang disisakan. Jangan sebaliknya gali-gali lengkuas kalau belum pupus belum
puas maksudnya senang berfoya-foya hingga menghabiskan harta.
3 Filosofi dalam rumah tangga : makan jangan kenyang gubang jangan diikat
maksudnya hiduplah sederhana dan rajin mencari rezeki. Biasanya nasehat ini
disampaikan pada acara pernikahan oleh perwakilan pihak wanita kepada pihak pria.
Gubang dalam bahasa Kutai adalah perahu, karena pada zaman dulu suku Kutai
kehidupannya di sepanjang sungai Mahakam dan bermata pencaharian
menggandalkan sungai Mahakam sehingga nasehat ini menggunakan perlambang
perahu.
4 Filosofi “Tuah Himba Untung Langgong”, Kalau kita memelihara sumber alam (tuah
himba) dengan baik, maka ia akan memberikan manfaat dan keuntungan (untung)
secara lestari (langgong) kepada kita dari satu generasi ke generasi lainnya. Serta
konsep Ruhui Rahayu sampai saat ini masih sebagai semboyan beberapa daerah di
Kalimantan Timur sehingga amat disayangkan bila generasi muda kita tidak dapat
mengartikan dan memaknai filosofi tersebut.

Filosofi-filosofi suku Kutai sebenarnya sudah termuat dalam dasar negara kita yaitu
Pancasila, hal ini tidak mengherankan karena Pancasila digali dari nilai-nilai adat istiadat,
nilai budaya, dan nilai religius bangsa Indonesia. Sehingga mudah untuk mengaitkannya
dengan butir-butir pancasila khususnya Pancasila Ke- V.

Fenomena-fenomena yang tampak dari hasil penelitian ini tentang nilai-nilai budaya
suku Kutai terdiri atas 3 hal yaitu :
1) Tradisi, Tradisi ini berupa tradisi beseprah yang dimaknai sebagai silaturahmi
antara pimpinan dan rakyatnya, serta rakyat dengan rakyat.
2) Kearifan lokal, kearifan lokal berupa Tuah himba untung langgong yang
dimaknai sebagai pemanfaatan sumber daya alam dan Ruhui Rahayu dimaknai
sebagai kesejahteraan bersama.
3) Filosofi suku Kutai, filosofi berupa lebih baik tulang sakit tapi leher nyaman
dari pada tulang nyaman tapi leher sakit dimaknai sebagai kerja keras, biar
genting asal jangan pegat dimaknai sebagai hidup hemat dan filosofi makan
jangan kenyang gubang jangan diikat dimaknai sebagai hidup sederhana dan
rajin mencari rezeki.
Proses pemahaman makna merupakan bagian dari pewarisan kebudayaan suku
Kutai khususnya dari perspektif Pancasila sila kelima, hal ini terlihat dari
pandangan konstitusi yang tercermin di nilai budaya suku Kutai sehingga sudah
menjadi tugas kita untuk mempertahankan, mengembangkan lebih lanjut sampai
ketahap internalisasi dan akhirnya dapat menjadi pedoman individu untuk berbuat,
berpikir dan bersikap.

Jadi kesimpulan dari jurnal pertama dan kedua tersebut yaitu membicarakan bagaimana
ekonomi Indonesia atau daera di Indonesia beralan sesuai dengan nilai atau butir-butir
Pancasila karena Pancasila merupakan pion negara kita, jadi perekonomian di Indonesia
harus berjalan sesuai dengan Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai