Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa menurut WHO adalah berbagai karakteristik positif yang

menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan

kedewasaan kepribadiannya. Sedangkan kesehatan jiwa menurut undang-undang

kesehatan jiwa nomor 3 tahun 1966 adalah kondisi yang memungkinkan

perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal dari seseorang dan

perkembangan ini berjalan selaras dengan orang lain (Carson, 2019).

Kesehatan jiwa adalah sikap yang positif terhadap diri sendiri, tumbuh,

berkembang, memiliki aktualisasi diri, keutuhan, kebebasan diri, memiliki

persepsi sesuai kenyataan, dan kecakapan dalam beradaptasi dengan lingkungan

(Pitter, H Z, 2019).

Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sejahtera fisik, psikologis serta

sosial dan tidak hanya terbebas dari penyakit atau kecacatan serta terbebas dari

stressor sehingga dapat mengendalikan stress yang terjadi pada dirinya (Gorman,

L.M, 2019). Kondisi psikologis yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang negative

dapat memunculkan kondisi stress. Respon terhadap suatu masalah yang

diberikan pada tiap individu berbeda-beda sesuai dengan faktor yang

mempengaruhi dan koping yang dimilikinya (Kumar, Rinwa, Kaur, & Machawal,

2013).
Menurut undang-undang nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa,

kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara

fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan

mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.

Kesehatan jiwa bagi manusia berarti terwujudnya keharmonisan fungsi

jiwa dan sanggup menghadapi masalah dalam hidup, merasa nahagia, dan mampu

melakukan aktivitas secara mandiri. Orang yang sehat jiwa berarti mempunyai

kemampuan menyesuaikan diri dengan disi sendiri, orang lain, masyarakat, dan

lingkungan. Manusia terdiri dari bio, psiko, sosial, dan spiritual yang saling

berinteraksi satu dengan yang lain dan saling memengaruhi (Stuart dan Sundeen,

2013; Stuart, G.W., Keliat, B., A.,& Pasaribu, 2016).

Kesehatan jiwa merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari

kesehatan dan bagian integral serta merupakan unsure utama dalam menunjang

terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh. WHO menjabarkan kesehatan

mental sebagai suatu keadaan yang baik dimana seseorang menyadari

kemampuannya, dapat menghadapi stress yang normal, dapat bekerja secara

produktif dan menyenangkan, serta dapat berkontribusi dalam komunitasnya.

Menurut WHO (2016), jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia saat

ini adalah 236 juta orang, dengan kategori gangguan jiwa ringan 6% dari populasi

dan 0,17% menderita gangguan jiwa berat, 14,3% diantaranta mengalami pasung.

Tercatat sebanyak 6% penduduk berusia 15-24 tahun mengalami gangguan jiwa


Data Riskesdas 2018 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan

Kementrian Kesehatan (Kemenkes) dilakukan pada 300.000 sampel rumah tangga

(1.2 juta jiwa) di 34 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota. Dari sejumlah data dan

informasikesehatan, poin tentang gangguan jiwa mengungkap peningkatan

proporsi cukup signifikan. Sebab, jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013 naik

dari 1.7 % menjadi 7%, artinya per 1.000 rumah tangga yang ada ODGJ, sehingga

jumlahnya diperkirakan sekitar 450.000 ODGJ berat.

Dampak individu yang mengalami gangguan kesehatan jiwa akan

mengalami perubahan dalam pikiran, perasaan dan perilakunya, sehingga dapat

mengganggu pekerjaan, aktivitas sehari-hari dan pola relasi dengan orang lain.

Gangguan jiwa dapat mengganggu fungsi dan produktivitas dalam kehidupan

sehari-hari. Jenis gangguan jiwa yang sering muncul ini terdiri dari risiko perilaku

kekerasan, halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosial, dan defisit perawatan diri.

Dampak atau perubahan yang terjadi pada psein dengan risiko perilaku kekerasan

dapat berupa perasaan tidak sabar, cepat marah, dari segi sosial kasar, menarik

diri, dan agresif (Dalami, 2014). Melihat dampak dan kerugian yang ditimbulkan,

maka penanganan pasien dengan perilaku kekerasan perlu dilakukan secara cepat

dan tepat oleh tenaga kesehatan yang professional, salah satunya yaitu

keperawatan jiwa.

Menurut penelitian Trivendi dan Shina (2020) tingkat gangguan jiwa

lebih tinggi laki-laki disbanding perempuan, pada usia dewasa banyak stressor

yang berasala dari lingkungan pekerjaan, rumah tangga, masyarakat sehingga

lebih mudah untuk mengalami stress dan berisiko melakukan perilaku kekerasan.
Menurut penelitian Wardani tahun 2015 penyebab yang paling sering

timbul pada gangguan jiwa dikarenakan himpitan masalah ekonomi, kemiskinan.

Kemampuan dalam beradaptasi tersebut berdampak pada kebingungan,

kecemasan, frustasi, konflik batin dan gangguan emosional menjadi ladang subur

bagi tumbuhnya penyakit mental salah satunya adalah risiko perilaku kekerasan.

Menurut Nanda (Dalam Sutejo 2017) Risiko perilaku kekerasan

memerupakan perilaku seseorang yang menunjukan bahwa ia dapat

membahayakan diri sendiri, orang lain atau lingkungan baik secara fisik,

emosional, seksual dan verbal. Risiko perilaku kekerasan terbagi menjadi dua

yaitu risiko perilaku terhadap diri sendiri (risk for self-directed violence) dan

risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-direct violence).

Beberapa tanda dan gejala yang muncul pada pasien dengan perilaku

kekerasan menurut Rusdi (2013) yaitu, muka merah dan tegang, pandangan tajam,

mengatup rahang dengan kuat, mengepalkan tangan, bicara kasar, suara tinggi,

menjerit atau berteriak, mengancam secara verbal dan fisik, melempar atau

memukul benda/orang lain, merusak barang atau benda dan tidak mempunyai

kemampuan mencegah/mengontrol perilaku kekerasan.

Penyebab dan perilaku kekerasan yaitu kehilangan harga diri karena tidak

dapat memenuhi kebutuhan sehingga individu tidak berani bertindak, cepat

tersinggung dan lekas marah. Akibatnya frustasi tujuan tidak tercapai atau

terhambat sehingga individu merasa cemas dan terancam, individu berusaha

mengatasi tanpa memperhatikan hak-hak orang lain, kebutuhan aktualisasi diri

yang tidak tercapai sehingga menimbulkan ketegangan dan membuat individu


cepat tersinggung. Menurut Suliswati, 2013 keperawatan jiwa adalah pelayanan

kesehatan professional yang didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan

jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respons psiko-sosial yang

maladptif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan

diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa melalui pendekatan proses keperawatan

untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah

kesehatan jiwa individu, keluarga dan masyarakat.

Menurut Stuart Sundeen dalam, peran perawat adalah sebagi Attitude

Therapy, yakni mengobservasi perubahan, baik perubahan kecil atau menetap

yang terjadi pada klien, mendemonstrasikan penerimaan, respek, memahami

klien, mempromosikan ketertarikan klien dan berpartisipasi dalam interaksi.

Menurut Peplau peran perawat meliputi : sebagai pendidik, sebagai pemimpin di

dalam situasi yang bersifat lokal, nasional, dan internasional, sebagai surrogate

parent, dan sebagai konselor.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis termotivasi untuk mengelola

studi kasus yang berjudul ‘‘Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn/Ny X Dengan

Gangguan Stimulasi Persepsi : Resiko Perilaku Kekerasan Di Ruang Kemuning

RSUD R. Syamsudin, SH. Kota Sukabumi’’

Anda mungkin juga menyukai