PENDAHULUAN
Kesehatan jiwa adalah sikap yang positif terhadap diri sendiri, tumbuh,
(Pitter, H Z, 2019).
sosial dan tidak hanya terbebas dari penyakit atau kecacatan serta terbebas dari
stressor sehingga dapat mengendalikan stress yang terjadi pada dirinya (Gorman,
L.M, 2019). Kondisi psikologis yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang negative
mempengaruhi dan koping yang dimilikinya (Kumar, Rinwa, Kaur, & Machawal,
2013).
Menurut undang-undang nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa,
kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan
jiwa dan sanggup menghadapi masalah dalam hidup, merasa nahagia, dan mampu
melakukan aktivitas secara mandiri. Orang yang sehat jiwa berarti mempunyai
kemampuan menyesuaikan diri dengan disi sendiri, orang lain, masyarakat, dan
lingkungan. Manusia terdiri dari bio, psiko, sosial, dan spiritual yang saling
berinteraksi satu dengan yang lain dan saling memengaruhi (Stuart dan Sundeen,
kesehatan dan bagian integral serta merupakan unsure utama dalam menunjang
ini adalah 236 juta orang, dengan kategori gangguan jiwa ringan 6% dari populasi
dan 0,17% menderita gangguan jiwa berat, 14,3% diantaranta mengalami pasung.
(1.2 juta jiwa) di 34 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota. Dari sejumlah data dan
proporsi cukup signifikan. Sebab, jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013 naik
dari 1.7 % menjadi 7%, artinya per 1.000 rumah tangga yang ada ODGJ, sehingga
mengganggu pekerjaan, aktivitas sehari-hari dan pola relasi dengan orang lain.
sehari-hari. Jenis gangguan jiwa yang sering muncul ini terdiri dari risiko perilaku
kekerasan, halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosial, dan defisit perawatan diri.
Dampak atau perubahan yang terjadi pada psein dengan risiko perilaku kekerasan
dapat berupa perasaan tidak sabar, cepat marah, dari segi sosial kasar, menarik
diri, dan agresif (Dalami, 2014). Melihat dampak dan kerugian yang ditimbulkan,
maka penanganan pasien dengan perilaku kekerasan perlu dilakukan secara cepat
dan tepat oleh tenaga kesehatan yang professional, salah satunya yaitu
keperawatan jiwa.
lebih tinggi laki-laki disbanding perempuan, pada usia dewasa banyak stressor
lebih mudah untuk mengalami stress dan berisiko melakukan perilaku kekerasan.
Menurut penelitian Wardani tahun 2015 penyebab yang paling sering
kecemasan, frustasi, konflik batin dan gangguan emosional menjadi ladang subur
bagi tumbuhnya penyakit mental salah satunya adalah risiko perilaku kekerasan.
membahayakan diri sendiri, orang lain atau lingkungan baik secara fisik,
emosional, seksual dan verbal. Risiko perilaku kekerasan terbagi menjadi dua
yaitu risiko perilaku terhadap diri sendiri (risk for self-directed violence) dan
risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-direct violence).
Beberapa tanda dan gejala yang muncul pada pasien dengan perilaku
kekerasan menurut Rusdi (2013) yaitu, muka merah dan tegang, pandangan tajam,
mengatup rahang dengan kuat, mengepalkan tangan, bicara kasar, suara tinggi,
menjerit atau berteriak, mengancam secara verbal dan fisik, melempar atau
memukul benda/orang lain, merusak barang atau benda dan tidak mempunyai
Penyebab dan perilaku kekerasan yaitu kehilangan harga diri karena tidak
tersinggung dan lekas marah. Akibatnya frustasi tujuan tidak tercapai atau
jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respons psiko-sosial yang
diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa melalui pendekatan proses keperawatan
dalam situasi yang bersifat lokal, nasional, dan internasional, sebagai surrogate
studi kasus yang berjudul ‘‘Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn/Ny X Dengan