Permasalahan kesehatan pada negara berkembang seolah tak ada habisnya. Salah
satunya yaitu permasalahan anemia gizi yang masih menjadi focus permasalahan gizi dan
kesehatan di Indonesia hingga saat ini. Anemia adalah kondisi menurunnya sel darah merah
yang bersirkulasi sehingga oksigen yang dibawa darah rendah. Seseorang dapat dikatakan
anemia apabila memiliki kadar hemoglobin (<12 mg/dl) ataupun hematocrit rendah.(1)
Permasalahan anemia cukup serius mengingat dampaknya terhadap kualitas sumber daya
manusia Indonesia kedepannya. Anemia tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga
terkait dengan produktivitas, pertumbuhan dan perkembangan, dan juga berkaitan dengan
kelahiran bayi. Anemia berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia dan tingkat
produktivitas dikarenakan pada kondisi anemia akan menyebabkan seseorang menjadi lebih
mudah lelah dan penurunan kapasitas kerja. Berdasarkan suatu penelitian menunjukkan
bahwa semakin rendahnya kadar hemoglobin pekerja akan semakin menurunkan kapasitas
kerjanya. Kelahiran bayi juga terkait dengan kondisi anemia ibunya. Ibu hamil menjadi
salah satu kelompok yang rentan mengalami anemia. Anemia di masa kehamilan dapat
meningkatkan risiko bayi yang dilahirkan mengalami BBLR yang kemudian juga akan
berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak ke depannya. Adanya penurunan kualitas
sumber daya manusia dan penurunan kualitas kerja maka akan berpengaruh terhadap
perkembangan bangsa.
Dalam program penurunan anemia terdapat kelompok wanita yang menjadi focus
utama yang terdiri dari kelompok wanita usia subur dan juga kelompok ibu hamil. Wanita
usia subur yang dimulai dari fase remaja mulai rentan mengalami anemia defisiensi besi
dikarenakan wanita usia subur telah mengalami menstruasi. Selama masa menstruasi,
wanita usia subur kehilangan besi dua kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Selain
disebabkan oleh menstruasi, kelompok wanita yang memasuki usia subur mulai
memperhatikan terkait penampilan dan berat badan sehingga sering kali melakukan diet/
pembatasan mengkonsumsi makanan tertentu yang menyebabkan asupan zat besi, protein,
vitamin menjadi inadekuat. Kondisi anemia pada remaja dapat menurunkan kecepatan
pertumbuhan, dan apabila terus berlanjut tanpa penanganan maka akan lebih berisiko
apabila hingga memasuki masa konsepsi.(2) Anemia pada masa kehamilan dapat terjadi
karena peningkatan kebutuhan zat besi pada ibu untuk pertumbuhan janin, sehingga
pemenuhannya harus lebih besar. Kondisi anemia di masa kehamilan berpengaruh pada
tumbuh kembang janin. Kadar hemoglobin yang rendah akan mengganggu intranutrien
khususnya pertumbuhan janin menjadi terganggu dan berisiko mengalami BBLR.(3)
Seiring dengan waktu dan perubahan lifestyle angka kejadian anemia terus
mengalami peningkatan. Berdasarkan data WHO anemia wanita usia 15 – 49 tahun terus
mengalami peningkatan. Pada tahun 2017 angka anemia sebanyak 29,6%, pada tahun 2018
menjadi 30,4% dan meningkat lagi pada tahun 2019 mencapai 31.2%. Hal yang sama juga
terjadi di Indonesia, yang mana hasil Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa proporsi anemia
pada ibu hamil mengalami peningkatan dari 37,1% pada tahun 2013 menjadi 48,9% pada
tahun 2018. Kelompok usia 15 – 24 tahun menjadi kelompok yang memiliki persentase
anemia di masa kehamilan terbanyak daripada kelompok lainnya.
Dalam rangka menurunkan angka anemia baik pada wanita usia subur maupun pada
ibu hamil diberikan intervensi secara spesifik dan sensitive. Intervensi sensitive diberikan
untuk mengatasi akar permasalahan atau faktor penyebab tak langsung. Intervensi sensitive
dapat dilakukan dengan pemberantasan kemiskinan, penguatan ketahanan pangan nasional/
daerah, dan peningkatan kualitas system pendidikan baik formal maupun informal, serta
pemberian perhatian terhadap pemberdayaan wanita melalui beberapa edukasi/ seminar.
Intervensi spesifik diberikan melalui beberapa kebijakan terkait kesehatan yang meliputi
pemberian tablet tambah darah, kapsul vitamin A, edukasi gizi pada kelompok sasaran
terutama pada wanita usia subur dan ibu hamil, dan pendampingan pada ibu hamil dengan
pemantauan berkala. Dengan pengupayaan secara sensitive dan spesifik maka tujuan
intervensi akan dapat lebih mudah untuk dicapai.
Dafpus
3. Haryanti SY, Pangestuti DR, Kartini A. Anemia dan KEK pada Ibu Hamil Sebagai
Faktor Risiko Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Studi di Wilayah Kerja
Puskesmas Juwana Kabupaten Pati. J Kesehat Masy. 2019;7:322–9.
4. Riskesdas 2018