Anda di halaman 1dari 5

SERANGAN BOM ATOM HIROSHIMA DAN NAGASAKI

Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki terjadi pada Agustus 1945, menjelang


Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus. Selain bagi Jepang dan Amerika
Serikat (AS), pengeboman dua kota ini juga jadi peristiwa penting bagi
Indonesia. Sebelum pengeboman terjadi, ketegangan antara AS dan Jepang
telah meningkat selama beberapa dekade sebelum Perang Dunia II. Jepang
menduduki wilayah Cina timur, yang menyebabkan perang antara kedua
negara pada 1937.

AS dan negara-negara Barat lainnya menghentikan ekspor bahan-bahan vital


ke Jepang dalam upaya untuk mencegah Jepang melakukan ekspansi lebih
lanjut. Jepang melihat ini sebagai tindakan agresif. Negara-negara tersebut
mencoba bernegosiasi agar Jepang mundur dari China dan AS akan mulai
mengekspor bahan bakar lagi pada akhir tahun 1941, tetapi tidak ada
kesepakatan persyaratan di antara keduanya. Jepang kemudian melancarkan
serangan udara di pangkalan udara AS Pearl Harbor, Hawaii pada 7 Desember
1941, menewaskan 2.403 tentara AS dan melukai 1.178 lainnya. Serangan itu
kemudian dinilai sebagai kejahatan perang karena terjadi tanpa
pemberitahuan dan saat pembicaraan damai sedang berlangsung. Kedua
negara menyatakan perang satu sama lain tak lama setelah serangan itu. AS
dan Jepang telah berperang selama hampir empat tahun, sejak April 1941.
Konflik berdarah dan pertempuran sengit di Pasifik telah merenggut nyawa
jutaan orang Jepang dan AS.

Perang di Eropa telah selesai hampir dua bulan sebelumnya, pada Mei 1945,
setelah Jerman menyerah tanpa syarat. AS sedang mempersiapkan invasi
darat ke Jepang, yang akan sangat sulit diperjuangkan. Setidaknya 500 ribu
orang Amerika saja kemungkinan besar akan mati, menurut perkiraan
pemerintah AS pada saat itu. Pada saat yang sama, AS sedang
mengembangkan pembuatan bom nuklir sejak akhir 1930-an. Bom sudah siap
pada musim panas 1945. Sekutu menyerukan Jepang untuk menyerah pada
akhir Juli 1945, mengancam akan terjadi "kehancuran total" jika Jepang tak
menyerah. Karena Jepang tak kunjung mengibarkan bendera putih, pada 6
Agustus 1945, sebuah bom uranium yang dijuluki Little Boy dijatuhkan di
Hiroshima. Kota itu hancur, puluhan ribu orang tewas seketika dan sebanyak
146.000 orang tewas tiga bulan setelah serangan. Banyak korban yang
dilaporkan menderita kanker dan bentuk penyakit lain yang disebabkan oleh
radiasi bom. Sejumlah besar bangunan hancur total atau rusak. Pihak
berwenang Jepang menyadari serangan lain bisa terjadi setelah Hiroshima,
tetapi memutuskan untuk bertahan daripada menyerah.
Serangan berikutnya, bom plutonium berjuluk Fat Man, jatuh di Nagasaki
pada 9 Agustus. Sebanyak 80.000 orang tewas. Di kedua kota tersebut,
sebagian besar orang yang meninggal adalah warga sipil. Hiroshima dan
Nagasaki dipilih sebagai target karena menjadi pusat militer dan industri.
Kedua wilayah ini memasok sumber daya angkatan bersenjata Jepang,
pembuatan senjata, dan teknologi militer lainnya. Jepang menyerah pada 15
Agustus, enam hari setelah serangan di Nagasaki. Kedua kota tersebut
dibangun kembali setelah perang, meskipun Hiroshima dilanda angin topan
pada bulan September 1945 yang juga menyebabkan kehancuran besar.
Sekitar 145.000 orang yang selamat dari salah satu pemboman - disebut
"hibakusha" dalam bahasa Jepang - masih hidup pada Maret 2019, menurut
pemerintah Jepang. Peringatan telah dipasang di kedua kota untuk para
korban pengeboman.

Dampak Bom Hiroshima dan Nagasaki

Bom Hiroshima menewaskan sekitar 90.000 sampai 120.000 orang, yang


meninggal baik seketika atau selama beberapa minggu dan bulan berikutnya
karena cedera atau penyakit radiasi akut, akibat kerusakan sumsum tulang
dan saluran usus. Bom yang meratakan Nagasaki 3 hari kemudian merenggut
60.000 hingga 70.000 nyawa. Perkiraan jumlah kematiannya kasar karena
“tidak ada mayat yang tersisa untuk dihitung di dekat hiposenter: Panas dan
energi secara harfiah menguapkan orang-orang di dekatnya. Dan banyak
mayat hanyut ke laut, setelah korban luka bakar yang sekarat mencari
bantuan di banyak sungai di Hiroshima,” sosiolog sains Susan Lindee dari
University of Pennsylvania menulis dalam bukunya tahun 1994 Suffering
Made Real: American Science and the Survivors at Hiroshima.

Dalam waktu 6 minggu setelah pengeboman, tiga tim ahli AS dan dua Jepang
bekerja di kedua kota untuk mempelajari dampak biologis dari radiasi. Tujuan
mereka berbeda. Orang Jepang terutama berusaha memahami efek medis
pada orang yang selamat. Orang Amerika ingin tahu bagaimana dan mengapa
orang meninggal karena radiasi ledakan atom. Salah satu kekhawatiran yang
paling mendesak adalah kemungkinan dampak radiasi pada anak-anak
penyintas. Jelas bahwa pengeboman itu berdampak pada anak-anak yang
masih dalam kandungan pada Agustus 1945, mengakibatkan peningkatan
jumlah bayi yang lahir dengan ukuran kepala kecil. Radiasi pada orang dewasa
menyebabkan perubahan genetik yang diwariskan dan cacat lahir pada
keturunannya menunjukkan bahwa mungkin ada efek jangka panjang. Para
penyintas bom nuklir, telah lama mengalami diskriminasi karena khawatir
mereka mungkin mengalami gangguan fisik atau psikologis dan bahwa anak-
anak mereka mungkin mewarisi cacat genetik. Stigma telah mempengaruhi
korban perempuan lebih dari laki-laki.

Peristiwa ini menjadi perdebatan di dunia, karena tetap menjadi satu-satunya


bom nuklir yang digunakan dalam perang. Ada yang mengatakan kejadian ini
mengakhiri Perang Dunia II lebih awal, yang akan menyebabkan lebih banyak
korban di kedua belah pihak jika AS menginvasi Jepang. Yang lain
mengatakan, penggunaan bom nuklir dalam perang pada dasarnya tidak etis
dan beberapa menyebut serangan itu sebagai kejahatan perang. Yang lain
berpendapat ada cara yang lebih damai untuk mengakhiri perang daripada
pengeboman nuklir atau invasi, seperti blokade militer di Jepang. Bom-bom
itu membuat bayangan panjang selama paruh kedua abad kedua puluh,
dengan Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet didominasi oleh kekhawatiran
bahwa salah satu negara dapat menyerang yang lain dengan bom nuklir.

Kaitan Bom Hiroshoma dan Nagasaki dengan Indonesia

Pada 10 Agustus 1945 Sutan Syahrir mendapat info melalui radio bahwa Jepang telah
kalah setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom. Momen inilah yang dimanfaatkan
Indonesia untuk mempercepat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dilansir
situs web Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pada 12
Agustus 1945, Sukarno, Hatta, dan Radjiman diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk
melakukan perundingan kemerdekaan dengan Marsekal Terauchi.

Dengan menyerahnya Jepang, akhirnya para pemuda mendorong Sukarno dan Hatta
untuk segera melakukan proklamasi lebih cepat. Untuk itu para pemuda yang
dimotori oleh Chaerul Saleh, Sukarni dan Wikana membawa Sukarno dan Hatta ke
Rengasdengklok. Malam harinya, Sukarno dan Hatta kembali ke Jakarta dan menuju
rumah Laksamana Maeda untuk melakukan penyusunan proklamasi. Penyusunan
proklamasi dilakukan oleh Sukarno, Muhammad Hatta, dan Achmad Subarjo.
Penyusunan ini disaksikan oleh Sukarni, B.M Diah, Sudiro dan Sayuti Melik. Setelah
itu naskah proklamasi di ketik oleh Sayuti Melik. Pada pagi harinya, 17 Agustus 1945
pukul 10.00, di Jalan Pegangsaan Timur No.56, proklamasi kemerdekaan Indonesia
dibacakan oleh Sukarno.

Anda mungkin juga menyukai