Anda di halaman 1dari 35

HIPERPLASIA PROSTATIS BENIGNA (BPH)

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Di Susun Oleh :

KELOMPOK 8

1. Lusius (NIM : 1420121122)


2. Oravininia Nawang Tarigas (NIM : 1420121120)

Kelas B Alih Jenjang RS Santo Vincentius Singkawang

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, kasih dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan tugas makalah Keperawatan
Medikal Bedah yang berjudul Hiperplasia Prostatis Benigna (BPH) ini.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan


Medikal Bedah. Selain itu makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan
ilmu pengetahuan tentang Hiperplasia Prostatis Benigna (BPH) bagi para pembaca
dan juga penulis. Makalah ini dapat diselesaikan atas bimbingan, pengarahan,
bantuan, dan peran serta dari berbagai pihak. Penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Yunus Adhy Prasetyo, S.Kep.,Ners.,MNS selaku dosen mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah
2. Saurmian Sinaga, S.Kep.,Ners,.M.Kep selaku dosen mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah
3. Monika Ginting, S.Kep.,Ners,.M.Kep selaku dosen mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah
4. Srihesti Manan, S.Kep.,Ners,.M.Kep elaku dosen mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini. semoga bermanfaat bagi pembaca dan tenaga
perawat khususnya.

Singkawang, Desember 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Tujuan Penelitian....................................................................................... 3
C. Metode Penulisan.......................................................................................4
BAB. II TINJAUAN TEORITIS............................................................................. 5
A. Pengertian.................................................................................................. 5
B. Etiologi.......................................................................................................5
C. Anatomi......................................................................................................7
D. Patifisiologi................................................................................................8
E. Menisfestasi Klinis...................................................................................11
F. Data Penunjang ........................................................................................13
G. Penatalaksanaan.......................................................................................17
BAB. III PEMBAHASAN.....................................................................................19
A. Pengkajian................................................................................................19
B. Analisa Data.............................................................................................23
C. Rencana Keperawatan..............................................................................24
D. Implementasi Keperawatan..................................................................... 27
E. Evaluasi....................................................................................................27
BAB. IV. PENUTUP............................................................................................. 30
A. Kesimpulan..............................................................................................30
B. Saran........................................................................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hiperplasia prostatis benigna (BPH) adalah pembesaran prostat
yang mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria (Nursalam, M &
Batticaca, 2011). Seiring dengan bertambahnya umur, maka akan terjadi
perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen karena produksi
testoteron menurun dan akan terjadi konversi testosteron menjadi
esterogen pada jaringan adiposa di perifer. Berdasarkan angka autopsi
perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat dittemukan pada umur
30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang, akan
terjadi perubahan patologik anatomik. Pada laki-laki umur 50 tahun, angka
kejadiannya sekitar 50% dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50%
dari angka tersebut di atas akan menyebabkan gejala dan tanda klinis.
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahandan efek
dari perubahannya juga terjadi perlahan-lahan (Sjamsuhidajat, R & Jong,
2004).
Di wilayah Amerika Serikat, terdapat lebih dari setengah (50%)
pada jenis kelamin laki-laki berusia 60-70 tahun yang mengalami gejala-
gejala Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) dan antara usia 70-90 tahun
sebanyak 90% mengalami gejala-gejala Benigna Prostat Hiperplasi (BPH).
Hasil riset mengatakan bahwa laki-laki yang hidup di daerah pedesaan
sangat rendah terkenan Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) dibandingkan
dengan laki-laki yang hidup di daerah perkotaan. Ini terkait dengan gaya
hidup seseorang. Laki-laki yang bergaya hidup modern cenderung lebih
besar terkena Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) dibandingkan dengan
laki-laki di daerah pedesaan (Suharyanto, 2009).
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) terjadi pada usia yang semakin
tua (>45 tahun) dimana saat keadaan fungsi testis menurun. Penurunan
yang diakibatkan oleh fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan
1
hormon testosteron dan dehidrotesteosteron sehingga memicu
pertumbuhan atau pembesaran prostat. (Rendi, M. Clevo, 2012).
Karakteristik pasien Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) pada
penelitian yang dilaksanakan di RS Bhayangkara Mataram pada bulan
April sampai dengan Juni 2015 untuk usia terbanyak ada pada kelompok
usai 61-70 tahun (38,2 %) dengan rata-rata usia 65,75. Usia paling muda
yaitu 46 tahun dan usia paling tua adalah 86 tahun (Mahendrakrisna et al.,
2016).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Instalasi Rekam
Medik RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado selama periode Januari
2014 hingga Juli 2017, didapatkan 61 pasien dengan diagnosis utama
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) tetapi data pasien yang tersedia dan
lengkap hanya 39 kasus. Dari tahun 2014-2017 jumlah kasus paling
tertinggi yaitu tahun 2016 dengan pasien 15 (38,46%) dan terendah pada
tahun 2015 dengan 3 pasien (7,69%). Menurut hasil studi pendahuluan
kabupaten Gianyar berada di wilayah keduan setelah kabupaten Tabanan
yang memiliki kejadiah BPH tertinggi yaitu 30% dari 284 pasien pada
tahun 2015 dan tahun 2016 jumlah kasus BPH di RSUD Sanjiwani
Gianyar sebanyak 200 kasus.
Penyebab terjadinya kasus BPH sampai saat ini belum diketahui
pasti, namun beberapa hipotesis mengatakan bahwa BPH erat berkaitan
dengan peningkatan kadar dihidrotesteron (DHT) dan proses aging
(penuaan) (Purnomo, 2003).
Pembesaran prostat mengakibatkan rangsangan pada kandung
kemih atau vesika, maka dari itu vesika sering berkontraksi walaupun
belum penuh. Meskipun vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi
urin sehingga pada akhir dari miksi akan dietmukan sisa urin di dalam
kandung kemih. Karena sering terdapat sisa urin, akibatnya terbentuk
bantu endapan di dalam kandung kemih atau Vesicolithhiasis
(Sjamsuhidajat, R & Jong, 2004). Jika sumbatan urin parah, maka akan
dilakukan pembedahan Transurethral Reseksi Prostatectomy (TURP)
2
(Corwin, 2009). Transurethral Reseksi Prostatectomy (TURP) merupakan
prosedur yang paling umum dan dapat dilakukan melalui endoskopi (Price,
A. Syilvia, 2005). Transurethral Reseksi Prostatectomy (TURP)
merupakan suatu pembedahan yang dilakukan pada BPH dan mempunyai
tingkat keberhasilan 80- 90%. (Suharyanto, 2009).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Peters, dkk (2010) Angka
kejadian nyeri setelah operasi dalam sampel 1490 klien rawat inap bedah,
didapatkan hasil nyeri sedang atau berat, dilaporkan 41% klien pada hari
0, 30% pada hari 1 dan 19%, 16% dan 14% pada hari 2,3 dan 4. Nyeri
adalah salah satu keluhan yang terjadi pada pasien setelah mengalami
tindakan pembedahan. Pembedahan adalah peristiwa yang bersifat bifasik
terhadap tubuh manusia yang berimplikasi pada pengelolaan nyeri (Potter
& Perry, 2006).
Berdasarkan uraian diatas peneliti menilai memerlukan
dilakukannya asuhan keperawatan komperhensif pada pasien benigna
prostat hyperplasia.

B. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan asuhan keperawatan
Hiperplasia prostatis benigna (BPH)
2. Tujuan Khusus
a) Mampu mengidentifikasi pengkajian Hiperplasia prostatis benigna
(BPH)
b) Mampu mengidentifikasi diagnose keperawatan Hiperplasia
prostatis benigna (BPH)
c) Mampu mengidentifikasi intervensi keperawatan Hiperplasia
prostatis benigna (BPH)
d) Mampu mengidentifikasi implementasi keperawatan Hiperplasia
prostatis benigna (BPH)

3
e) Mampu mengidentifikasi evaluasi keperawatan Hiperplasia
prostatis benigna (BPH)

C. METODE PENULISAN
Metode yang dipakai dalam penulisan asuhan keperawatan ini
adalah dengan menggunakan penulisan diskriptif yaitu pengumpulan data
dengan melakukan observasi terhadap semua keadaan yang terjadi.
Pendekatan proses keperawatan terdiri dari pengkajian,
perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Adapun teknik penulisan yaitu
pengumpulan data dengan melakukan observasi kemudian
menggambarkannya dengan memaparkan dalam bentuk Karya Tulis
Ilmiah, sedangkan untuk mengumpulkan data sebagai berikut:
1. Anamnesa Diperoleh dengan menanyakan kepada pasien, keluarga,
perawat, dokter dan petugas kesehatan lainnya mengenai perjalanan
penyakit dan hal-hal lain yang berhubungan dengan penyakit tersebut.
2. Observasi Partisipasi Aktif Pengadaan pengamatan dan perawatan
langsung terhadap keadaan pasien serta perkembangan penyakit
dengan melakukan asuhan keperawatan.
3. Studi Dokumentasi Pengumpulan data tentang keadaan pesien dari
catatan medik, catatan perawatan, hasil laboratorium, serta
pemeriksaan lain.
4. Studi Kepustakaan, metode pengumpulan data dengan mempelajari
sumber tertulis berupa buku yang ada hubungannya dengan materi
yang bersifat dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah dan melalui akses
internet.
5. Pemeriksaan Fisik, pemeriksaan fisik adalah teknik pengumpulan data
dengan melakukan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi, palpasi,
perkusi, auskultasi untuk mendapatkan data fisik pasien secara
keseluruhan. Penulis melakukan pemeriksaan fisik secara langsung
pada pasien.

4
BAB II
TINJAUAN KONSEP PENYAKIT

A. PENGERTIAN

Benigne Prostat Hyperplasia (BPH) adalah suatu penyakit


pembesaran atau hipertrofi dari prostat. Kata-kata hipertrofi seringkali
menimbulkan kontroversi di kalangan klinik karena sering rincu dengan
hiperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa dari segi (kualitas) terjadi
pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh jumlah (kuantitas). Namun,
hiperplasia merupakan pembesaran ukuran sel (kualitas) dan diikuti oleh
penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH seringkali menyebabkan
gangguan dalam eliminasi urine karena pembesaran prostat yang
cederung kearah depan/ menekan vesika urinaria (Prabowo dan Andi,
2014).
Hiperplasia noduler ditemukan pada sekitar 20% laki-laki dengan
usia 40 tahun, meningkat 70% pada usia 60 tahun dan menjadi 90% pada
usia 70 tahun. Pembesaran ini bukan merupakan kanker prostat, karena
konsep BPH dan karsinoma prostat berbeda. Secara anatomis, sebanarnya
kelenjar prostat merupakan kelenjar ejakulasi yang membantu
menyemprotkan sperma dari saluran (ductus). Pada waktu melakukan
ejakulasi, secara fisiologis prostat membesar untuk mencegah urine dari
vesika urinaria melewati uretra. Namun, pembesaran prostat yang terus
menerus akan berdampak pada obstruksi saluran kencing (meatus
urinarius internus) (Mitchell, 2009 dalam Prabowo dan Andi, 2014).

B. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti dari benigne prostat hyperplasia sampai sekarang
belum diketahui secara pasti, namun ada 2 faktor yang mempengaruhi
terjadinya benigne prostat hyperplasia yaitu usia dan hormonal menjadi

5
prediposisi terjadinya BPH. usia lanjut. beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa benigna prostat hiperplasia sangat erat kaitannya dengan:
1. Peningkatan Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hiperplasia.
2. Ketidak seimbangan estroge–testoteron
Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses
penuaan, pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan hormon testosteron. Hal ini memicu terjadinya hiperplasia
stroma pada prostat.
3. Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal gorwth factor atau fibroblas gorwth
factor dan penurunan transforming gorwth factor beta menyebabkan
hiperplasia stroma dan epitel, sehingga akan terjadi BPH.
4. berkurangnya kematian sel
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit
dan memicu terjadinya BPH
(Prabowo dan Andi, 2014)

6
C. ANATOMI FISIOLOGI

Gambar 1. Anatomi Fisiologi Prostat

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah bawah


kandung kemih, di depan rektum dan membungkus uretra bagian
belakang. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm
dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri atas jaringan
fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam beberapa zona, yaitu zona
perifer, zona sentral, zona transisional, zona preprostatik sfingter, dan zona
anterior. Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu
komponen dari cairan ejakulat. Volume cairan prostat merupakan ± 25%
dari seluruh volume ejakulat. Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi
kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan
pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior, seperti pada saat
ejakulasi. Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat,
kapsula prostat, dan leher kandung kemih. Di tempat tersebut banyak
terdapat reseptor adrenergik-α. Rangsangan simpatik menyebabkan
7
dipertahankan tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar ini mengalami
hiperplasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membuntu
uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih
(Purnomo., 2016). Ada tiga jenis jaringan kelenjar prostat yaitu epitelial
atau kelenjar, otot stroma atau polos, dan kapsul. Kedua jaringan stroma
dan kapsul tertanam dengan reseptor α1-adrenergik. Penyebab BPH yang
tidak jelas dapat memungkinkan karena dihidrotestosteron (DHT)
intraprostatik dan 5α-reductase tipe II yang diduga terlibat. BPH biasanya
hasil dari faktor statis (pembesaran prostat bertahap) dan faktor dinamis
(agen atau situasi yang meningkatkan α-adrenergik dan menyempitkan
kelenjar otot halus) (Wells et al., 2015)

D. PATOFISOLOGI

Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan


mengalami hiperplasia, jila prostat membesar akan meluas ke atas
(bladder), di dalam mempersulit saluran uretra prostatica dan menyumbat
aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesika.
Sebagai kompensasi terhadap tekanan prostatika, maka otot detrusor dan
buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar.
Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari
buli-buli berupa: hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selua,
sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli
dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau
Lower Urinary Symptom / LUTS.
Pada fase awal dari prostat hiperplasia, kompensasi oleh
muskulus destrusor berhasil dalam sempurna. Artinya pola dan kualitas
dari miksi tidak berubah. Pada fase ini disebut sebagai Prostat
Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan kompensasi
menjadi berkurang dan kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya
kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisa

8
urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali prostat
hyperplasia menambah kompensasi dengan meningkatkan tekanan intra
abdominal (mengejan) sehingga timbulnya hernia dan haemorhoid
puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan
ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai
Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase dekompensasi yang masih akut
menimbulkn rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan
terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa
dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh
karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari
kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa
urine dan menjadi retensi urine. Retensi urine yang kronis dapat
menimbulkan kemunduran dungsi ginjal (Jitowiyono dan Weni, 2010).
Penyakit BPH ini merupakan penyakit bedah, jika keluhan masih ringan,
maka observasi diperlukan dengan pengobatan simptomatis untuk
mengevaluasi perkembangan klien. Namun, jika telah terjadi obstruksi/
retensi urine, infeksi, insufisiensi ginjal, maka harus dilakukan tindakan
(Prabowo & Andi, 2014). Pada klien dengan BPH salah satunya adalah
TURP, setelah tindakan TUR.P dipasang kateter threeway. Irigasi
kandung kemih secara terus menerus dilakukan untuk mencegah
pembekuan darah. Rasa nyeri dapat dikarenakan adanya pembekuan
darah yang banyak di kandung kencing, sumbatan kateter, berlubangnya
kandung kencing akibat operasi atau analgetik yang tidak adekuat (Wati,
D. E. et.al. 2015).

9
pathway

Usia Lanjut

Produksi Eserogen dan Progesterone tidak


Seimbang
Tertoterone menurun Kadar esterogen
meningkat
Mempengaruhi RNA Dalam Tubuh Hyperplasia sel Stoma
pada jaringan
Proliferasi sel2 prostat BPH

Penyempitan Lumen Uretra Kurangnya informasi Ancaman perubahan Operasi /Pembedahan


Status kesehatan

Tekanan intraVesikel meningkat Insisi Resiko


Kurang pengetahuan
Krisis situasi prostaktektomi impotensi

Otot detrusor hifertrofi (fase


konpensasi) cemas Penurunan Terputusnya Sindrom
pertahanan tubuh kontinuitas jaringan TURP

Bila Keadaan Berlangsung Lama Perubahan


Resiko tinggi infeksi
Pelepasan mediator disfungsi
kimiawi nyeri Seksual
Dekompensasi otot detrusor (otot Resiko pendrahan
melemah, tidak mampu kontraksi lagi
Nyeri Akut
10
E. MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigna Prostat Hyperplasia disebut
sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme menurut
Jitowiyono & Weni (2010) dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali
disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot
destrussor buli- buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
pempertahankan tekanan intravesika sampai berakhirnya
miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui
tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa
belum puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit
ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya
dapat terjadi pada malam hari (nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
3. Derajat Benigna Prostat Hyperplasia
Menurut Jitowiyono & Weni (2010) Benigna prostat hyperplasia
terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya :
a. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan

11
prostat 1-2 cm, sisa urine kurang 50 cc, pancaran lemah,
necturia, berat ± 20 gram
b. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia
bertambah berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah
pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba, sisa
urine 50- 100 cc dan beratnya ± 20–40 gram
c. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah
tak teraba, sisa urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3–4 cm,
dan beratnya 40 gram
d. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm,
ada penyakit keginjalan seperti gagal ginjal, hydroneprosis
4. Pengukuran Besarnya Hipertrofi Prostat
Menurut (Margareth, 2012 dalam Annisa, 2017), pemeriksaan
colok dubur ada tiga cara:
a. Rectal Grading
Yaitu dengan rectal toucher diperkirakan berapa cm prostat
yeng menonjol ke dalam lumen rektum yang dilakukan
sebaiknya pada saat buli-buli kosong. Gradasi ini adalah :
1) 0 – 1 cm : grade 0
2) 1 – 2 cm : grade 1
3) 2 – 3 cm : grade 2
4) 3 – 4 cm : grade 3
5) 4 cm : grade 4
b. Clinical Grading
Dalam hal ini urine menjadi patokan. Pengukuran ini
dilakukan dengan cara meminta pasien berkemih sampai
selesai saat bangun tidur pagi, kemudian memasukkan kateter
ke dalam kandung kemih untuk mengukur sisa urin.
1) Sisa urine 0 cc : Normal
2) Sisa urin 0 – 50 cc : grade 1
3) Sisa urin 50 – 150 cc : grade 2
12
4) Sisa urine > 150 cc : grade 3
5) Sama sekali tidak bisa berkemih : grade 4
c. Intra Uretra Grading
Dengan alat perondoskope yang diukur/ dilihat beberapa jauh
penonjolan lobus lateral kedalam lumen uretra
1) Grade 1 : clinical grading sejak berbulan-bulan, bertahun-
tahun, mengeluh kalau kencing tidak lancar, pancaran
melemah, nokturia.
2) Grade 2 : bila miksi terasa panas, sakit, dysuria.
3) Grade 3 : gejala makin berat
4) Grade 4 : buli-buli penuh, dysuria overflow incontinence
Bila overlow incontinence dibiarkan dengan adanya
infeksi dapat terjadi urosepsis berat. Pasien menggigil,
panas 40-41˚C, kesadaran menurun.

F. DATA PENUNJANG
1. Observasi
Biasanya pada terapi ini pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan
hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang dapat memperburuk
keluhannya, misalnya jangan banyak minum dan mengonsumsi kopi
atau alkohol setelah makan malam, kurangi konsumsi makanan atau
minuman yang menyebabkan iritasi pada buli- buli (kopi atau coklat),
batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin, kurangi makanan pedas dan asin, jangan menahan
kencing terlalu lama. setiap 6 bulan pasien diminta untuk kontrol
dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan yang
dirasakan. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya,
mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain (Nurarif &
Hardhi, 2015)

13
2. Terapi Medikamentosa
Menurut (Wijaya, dkk, 2013 dalam Annisa, 2017), tujuan
Medikamentosa adalah berusaha untuk:
a. Mengurangi retensio otot polos prostate sebagai komponen dinamik
penyebab obstruksi intravesika dengan obat-obatan penghambat
adrenalgik alfa.
b. Mengurangi volume prostate sebagai komponen static dengan cara
menurunkan kadar hormone testosterone dan dihidrosteron (DHT)
melalui menghambat 5 alfa-reduktase.
c. Penghambat Enzim
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1 x 5
mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT
sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini
bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya
jelas pada prostate yang besar. Efek samping dari obat ini
diantaranya adalah libido, Ginekomastio.
d. Fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostate.
Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1-2 bulan
dapat memperkecil volume prostate.
e. Terapi Bedah
Menurut (Smeltzer S. C,. & Brenda G. Bare, 2015) intervensi bedah
yang dapat dilakukan meliputi:
1) Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi
terbuka yang bisa digunakan adalah:
a) Prostatektomi suprapubik
Salah satu metode mengangkat kelenjar memalui insisi
abdomen. Teknik ini dapat digunakan untuk kelenjar dengan
segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah
pasien akan kehilangan darah yang cukup bnyak
dibandingkan dengan metode lain, kerugian lain yang dapat
14
terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua
prosedur bedah abdomen mayor.
b) Prostatektomi perineal
Tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi
dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguna
untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah
mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan
rectum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini
adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
c) Prostatektomi retropubik
Tindakan lain yang dilakukan dengan cara insisi abdomen
rendah mendekati kelenjar prostat, yakni antara arkus pubis
dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik
ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi
dalam pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat
dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah dilihat, akan
tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.

2) Pembedahan endourologi, endourologi transurethral dapat


dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
a) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
TURP dilakukan dengan memakai alat yang disebut
resektoskop dengan suatu lengkung diathermi. Jaringan
kelenjar prostat diiris selapis demi selapis dan dikeluarkan
melalui selubung resektoskop. Perdarahan dirawat dengan
memakai diathermi, biasanya dilakukan dalam waktu 30
sampai 120 menit, tergantung besarnya prostat. Indikasi
TURP adalah gejala sedang sampai berat, volume prostat
kurang dari 90 gram. Tindakan ini dilakukan apabila
pembesaran prostate terjadi dalam lobus medial yang
langsung mengelilingi uretra. TUR.P merupakan tindakan
15
operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar
prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan
irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak
tertutup darah. Prosedur ini dilakukan dengan anastesi
regional ( Blok Subarakhnoidal/ SAB/ Peridural ). Manfaat
TURP antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan
serta waktu operasi dan waktu tinggal dirumah sakit lebih
singkat. Setelah itu dipasang kateter threeway. Irigasi
kandung kemih secara terus menerus dilakukan untuk
mencegah pembekuan darah. Irigasi setelah TURP
menggunakan cairan NaCl 0,9% atau sterilized water for
irrigation. Kedua jenis cairan ini lazim digunakan di
Indonesia. Setiap rumah sakit memiliki keputusan tersendiri.
Kedua jenis cairan ini aman dan sudah terdapat penelitian
yang mengungkapkannya. Di luar negri mungkin terdapat
cairan lain seperti glisin, cytal ataupun lainnya tetapi cairan
tersebut tidak masuk pasaran Indonesia. Jumlah tetesan
cairan irigasi untuk hari setelah operasi biasanya guyur. Hari
pertama sekitar 60 tetes permenit. Hari kedua sekitar 40 tetes
permenit. Hari ketiga intermiten. Meskipun demikian tetesan
dapat berbeda antar pasien disesuaikan kondisi pasien.
Setelah urin yang keluar jernih kateter dapat dilepas. Kateter
biasanya dilepas pada hari ke 3 –5. Untuk pelepasan kateter,
diberikan antibiotika 1 jam sebelumnya untuk mencegah
urosepsis. Biasanya klien boleh pulang setelah miksi baik,
satu atau dua hari setelah kateter dilepas (Wati, D. E. et.al.
2015)
b) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Tindakan ini dilakukan apabila volume prostate tidak terlalu
besar atau prostate fibrotic, indikasi dari penggunaan TURP
adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostate
16
normal/ kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang dilakukan
adalah dengan memasukan instrumen kedalam uretra. Satu
atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat
untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan
mengurangi konstriksi uretra.

G. PENATALAKSANAAN / TERAPI
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar
gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien
b. Pemeriksaan urine lengkap
c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai
kewaspadaan adanya keganasan (padila, 2021 dalam Annisa, 2017)
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urine. Secara
obyektif pancaran urine dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan
penilaian :
a. Flow rate maksimal > 15 ml/detik : non obstruktif
b. Flow rate maksimal 10-15 ml/detik : border line
c. Flow rate maksimal < 10 ml/detik : obstruksi (Padila, 2012
dalam Annisa, 2017).
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a. BOF (Buik Overzich) : untuk menilai adanya batu dan metastase
pada tulang.
b. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi
volume dan besar prostate juga keadaan buli-buli termasuk residual
urine. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal,
transurethral, dan supra pubik.
c. IVP (Pyelografi Inravena), digunakan untuk melihat exkresi ginjal
dan adanya hidronefrosis.
d. Pemeriksaan panendoskop : untuk mengetahui keadaan uretra dan
17
buli-buli
(Padila, 2013 dalam Annisa, 2017).

18
BAB III
TINJAUAN ASKEP PENYAKIT

A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan suatu proses yang sistematis pada pengumpulan data dari
berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan. Pasien dengan benigna prostat hiperplasia (BPH) terjadi pada
jenis kelamin laki-laki dengan usia 40 tahun sekitar 20%, pada usia 60
tahun meningkat 70% dan pada usia 70 tahun menjadi 90%.
1. KELUHAN UTAMA
Keluhan utama pasien mengeluh nyeri atau mengakui
ketidaknyamanan
2. RIWAYAT PENYAKIT KESEHATAN DAHULU
Riwayat penyakit sekarang dikaji dimulai dari keluhan yang dirasakan
pasien sebelum masuk rumah sakit, ketika mendapatkan perawatan di
rumah sakit sampai dilakukannya pengkajian. Pada pasien post TUR.P
biasanya didapatkan adanya keluhan seperti nyeri. Keluhan nyeri dikaji
menggunakan PQRST : P (provokatif), yaitu faktor yang
mempengaruhi awat atau ringannya nyeri. Q (Quality), yaitu kualitas
dari nyeri, seperti apakah rasa tajam, tumpul atau tersayat. R (Region),
yaitu daerah / lokasi perjalanan nyeri. S (Severity), yaitu skala/
keparahan atau intensitas nyeri. T (Time), yaitu lama/waktu serangan
atau frekuensi nyeri
3. RIWAYAT PENYAKIT KESEHATAN SEKARANG
Perawat menanyakan tentang penyakit-penyakit yang pernah dialami
sebelum nya, terutama yang mendukung atau memperberat kondisi
gangguan system perkemihan pada pasien saat ini seperti pernakah
pasien menderita penyakit kencing manis, riwayat kaki bengkak
(edema), hipertensi, penyakit kencing batu, kencing berdarah, dan
lainnya. Tanyakan: apakah pasien pernah dirawat sebelumnya, dengan
19
penyakit apa, apakah pernah mengalami sakit yang berat, dan
sebagainya (Muttaqin, 2011)
4. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Tanyakan mungkin di antara keluarga klien sebelumnya ada yang
menderita penyakit yang sama dengan penyakit klien sekarang.
5. PEMERIKSAAN FISIK
pemeriksaan Fisik Head to-toe meliputi :
a. KeadaanUmum
Keadaan umum klien mulai saat pertama kali bertemu dengan klien
dilanjutkan mengukur tanda-tanda vital.Kesadaran klien juga
diamati apakah kompos mentis, apatis, samnolen, delirium, semi
koma atau koma.
b. Pemeriksaan Tanda-tandaVital
Tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, suhu) umumnya
pasien menglami takikardi, peningkatan tekanan darah, dapat juga
terjadi hipotensi.
c. Pemeriksaan kepala danmuka
Inspeksi : Kebersihan kepala, warna rambut hitam keputihan, tidak
ada kelainan bentuk kepala, Pasien nampak meringis menahan
nyeri.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, mengkaji kerontokan dan
kebersihan rambut, kaji pembengkakan padamuka.
d. Mata
Inspeksi: Keadaan pupil isokor atau anisokor, refleks cahaya tidak
ada gangguan, konjungtivaanemis
Palpasi : tidak ada nyeri tekan atau peningkatan tekanan intraokuler
pada kedua bolamata.
f. Hidung
Inspeksi : Bersih, tidak terdapat polip, tidak terdapat nafas cuping
hidung
Palpasi : tidak ada nyeri tekan padahidung
20
g. Telinga
Inspeksi : simetris telinga kanan dan kiri, tidak ada luka, telinga
bersih tidak ada serumen.
Palpasi : tidak ada nyeritekan
h. Mulut
Inspeksi : tidak ada kelainan kogenital (bibir sumbing), warna,
kesimetrisan, sianosis atau tidak, pembengkakkan, lesi, amati
adanya stomatitis pada mulut, amati jumlah dan bentuk gigi, gigi
berlubang, warna, plak, dan kebersihan gigi.
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan pada pipi dan mulut bagian
dalam.
i. Leher
Inspeksi : tidak ada luka, kesimetrisan, masa abnormal
Palpasi : mengkaji adanya distensi vena jugularis, pembesaran
kelenjartiroid.
j. Thorak:
1) Paru-paru
Inspeksi: Simetris, tidak terdapat luka, ekspansi dada simetri
Palpasi : Tidaknya nyeri tekan, vokal
fremitussamaantarakanan dan kiri
Perkusi : normalnya berbunyisonor.
Auskultasi: normalnya terdengar vasikuler pada keduaparu.
2) Jantung
Inspeksi: Ictus cordis tidaknampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 4 & 5 mid clavicula
sinistra.
Perkusi : normalya terdengarpekak
Auskultasi : normalnya terdengan tunggal suara
jantung pertama dan suara jantungkedua.
k. Abdomen
Inspeksi : tidak ada odema, tidak terdapatlesi
21
Auskultasi : dengarkan bising usus apakah normal5-20x/menit
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada perut bagian bawah
Perkusi : kaji suara apakah timpani atauhipertimpani
l. Ekstremitas
1) Atas
Inspeksi : mengkaji kesimetrisan dan pergerakan ekstremitas
atas, Integritas ROM (Range Of Motion), kekuatan dan
tonusotot.
Palpasi : mengkaji bila terjadi pembengkakan pada ekstremitas
atas
2) Bawah
Inspeksi : mengkaji kesimetrisan dan pergerakan ekstremitas
atas, Integritas ROM (Range Of Motion), kekuatan dan
tonusotot.
Palpasi : mengkaji bila terjadi pembengkakan pada
ekstremitas atas
j) Integritaskulit
Inspeksi : warna kulit, kelembapan, akral hangat atau tidak
Palpasi :integritas kulit, CRT (Capilary Refil Time)
padajarinormalnya < 2 detik
k) Genetalia
Inspeksi : laki-laki, terpasang folley kateter 3 lubang (treeway
catheter) dengan Irigasi NaCl 0,9% (urine berwarna merah muda
kemerahan hingga merah muda jernih setelah pembedahan).
6. DATA PENUNJANG
Menurut Sjamsuhidajat (2013), pemeriksaan penunjang dari BPH
yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan colok dubur (Recta toudher),
Laboratorium, Pengukuran derajat berat obstruksi, dan Pemeriksaan
lain

22
B. ANALISA DATA DAN DIAGNOSA KEPERAWATAN

I. DiagnosaKeperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan resiko obstruksi pembekuan
darah post TUR.P
2. Resiko infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan,
imobilitas, dan terpasangkateter.
3. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut terhadap tindakan
pembedahan.
4. Resiko Pendarahan berhubungan dengan trauma efek
samping pembedahan.
Masalah
No Data Etiologi
Keperawatan

1 DS: BPH Nyeri Akut


Pasien Mengatakan nyeri, ↓
sulit tidur Insisi Proktaktektomi
DO: ↓
 klien meringis Terputusnya Kontinuitas
 klien tampak gelisah jaringan

Pelepasan mediator
kimiawi nyeri

Nyeri akut
2 DS: BPH Resiko
Pasien mengatakan sulit ↓ terjadinya
buang air kecil, dan terasa Insisi Proktaktektomi Infeksi
tidak tuntasa saat BAK ↓
DO: Terputusnya Kontinuitas
 klien tampak lsulit jaringan
berkemih ↓
Resiko tinggi infeksi
3 DS: BPH perasaan
Pasien mengatakan takut ↓
Kurangnya informasi
takut
akan proses pembedahan
↓ terhadap
DO: Kurangnya pengetahuan
↓ tindakan
 klien gelisah
 klien cemas Cemas pembedahan.

23
C. INTERVENSI

Rencana tindak lanjut dapat berupa : rencana diteruskan jika masalah


tidak berubah, rencana dimodifikasi jika masalah tetap dan semua
tindakan sudah dijalankan tetapi hasil belum memuaskan, rencana
dibatalkan jika ditemukan masalah baru dan bertolak belakang dengan
masalah yang ada serta diagnosa lama dibatalkan, rencana
ataudiagnosaselesai jika tujuan sudah tercapai dan yang diperlukan
adalah memelihara dan mempertahankan kondisi yang baru (Hemanus,
2015).
Tabel 1.Intervensi Keperawatan

No Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria Intervensi


hasil
1. Nyeri akut SLKI SIKI
Definisi: Tingkat Nyeri : Manajemen Nyeri:
Pengalaman sensorik Tingkat nyeri 1. Observasi.
atau emosional yang menurun dengan a. Lokasi,
berkaitan dengan kriteria hasil: karakteristik,
kerusakan jaringan 1. Keluhan nyeri durasi, frekuensi,
aktual atau fungsional, menurun kualitas, intensitas
dengan onset 2. Fokusmembaik nyeri.
mendadak atau lambat 3. Meringis b. Identitas skala
dan berintensitas menurun nyeri
ringan hingga berat 4. Sifat protektif c. Identitas respon
yang berlangsung menurun nyeri nonverbal
kurang dari 3 bulan. 5. Gelisahmenurun d. Identitas faktor
6. Kemampuan yang
Penyebab : menuntaskan memperberat dan
1. Agen pencedera aktivitas memperingan
fisiologis (mis. 7. Kesulitan tidur
24
Inflamasi,iskemia, menurun nyeri
neoplasma). 8. Berfokus pada e. Identitas
2. Agen pencedera diri sendiri pengetahuan dan
kimiawi (mis. menurun keyakinan tentang
Terbakar, bahan nyeri
kimiairitasi) f. Identifikasi
3. Agenpencedera pengaruh nyeri
padakualitas

fisik (mis. Abses, hidup


trauma, amputasi, g. Monitor
terbakar, keberhasilan
terpotong, terapi
mengangkat berat, komplementer
prosedur operasi, yang sudah
trauma, latihan diberikan
fisik berlebihan 2. Terapeutik.
a. Berikan teknik
Gejala dan Tanda nonfarmakologis
Mayor: untuk
Subjektif: mengurangi rasa
a. Mengeluh nyeri nyeri (mis.
Objektif: Relaksasi
a. Tampak meringis Benson)
b. Bersikap protektif b. Control
(mis. Waspada, lingkungan yang
posisi menghindari memperberat rasa
nyeri) nyeri (mis. Suhu
c. Gelisah ruang,
d. Sulit tidur pencahayaan,

25
kebisingan)
Gejala dan Tanda c. Fasilitasiistirahat
Minor: dantidur
Subjektif: 3. Edukasi.
(Tidak tersedia) a. Jelaskan
Objektif: penyebab,
a. Tekanan darah periode, dan
meningat pemicunyeri
b. Pola nafas berubah b. Jelaskan strategi
c. Nafsu makan meredakannyeri
berubah c. Anjurkan
d. Prosesberfikir memonitor nyeri
terganggu secaramandiri
e. Menarikdiri 4. Kolaborasi
a. Kolaborasi
Kondisi klinis terkait: pemberian
a. Kondisi analgesik jika
pembedahan perlu
b. Cedera traumatis
c. Infeksi
d. Sindrom koroner
akut
e. Glaukoma

D. IMPLEMENTASI

Implementasi merupakan pengolahan dan perwujudan dari suatu rencana


keperawatan yang telah di susun pada tahap perencanaan. Fokus pada
intervensi keperawatan antara lain : mempertahankan daya tahan tubuh,
mencegah komplikasi, menemukan perubahan sistem tubuh, menetapkan

26
hubungan klien dengan lingkungan, implementasi pesan dokter
(Wahyuni, Nurul. S,2016).

E. EVALUASI
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara bersambungan dengan melibatkan klien, keluarga
dan tenaga kesehatannya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat
kemampuan klien mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil
pada psserencanaan (Sri Wahyuni, 2016)
Teknik penulisan SOAP menurut (Zaidin Ali, 2010) sebagai berikut:
S (Subjective) : bagian ini meliputi data subjektif atau informasi yang
didapatkan dari klien setelah mendapatkan tindakan,
sepertiklienmenguraikan gejala sakit atau menyatakan keinginannya untuk
mengetahui tentang pengobatan. Ada tidaknya data subjektif dalam catatan
perkembangan tergantung pada keakutan penyakit klien.
O (Objective) : Informasi yang didapatkan berdasarkan hasil pengamatan,
penilaian, pengukuran yang dilakukan perawat setelah tindakan. Misalnya
pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, observasi atau hasilradiologi.
A (Assesment) : Membandingkan antara informasi subjektif & objektif
dengan tujuan & kriteria hasil yang kemudian dapat ditarik kesimpulan
bahwa masalah teratasi, masalah teratasi sebagian, atau masalah
tidakteratasi
P (Planning) : Perencanaan bergantung pada pengkajian situasi yang
dilakukan oleh tenaga ksehatan. Rencana dapat meliputi instruksi untuk
mengatasi masalah klien, mengumpulkan data tambahan tentang masalah
klien, pendidikan bagi individu atau keluarga, dan tujuan asuhan. Rencana
yang terdapat dalam evaluasi atau catatan SOAP dibandingkan dengan
rencana pada catatan terdahulu, kemudian dapat ditarik keputusan untuk
merevisi, memodifikasi, atau meneruskan tindakan yanglalu.Menurut
Olfah (2016) ada 3 kemungkinan keputusan pada tahap evaluasi :
27
1. Klien telah mencapai hasil yang ditentukan dalam tujuan, sehingga
rencana mungkindihentikan.
2. Klien masih dalam proses mencapai hasil yang ditentukan, sehingga
pada penambahan waktu, resources, dan intervensi sebelum tujuan
berhasil.
Klien tidak dapat mencapai hasil yang telah ditentukan sehingga
perlu:
a. Mengkaji ulang masalah atau respon yang lebih akurat
b. Membuat outcome yang baru, mungkin autcome pertama tidak
realistis atau mungkin keluarga tidak menghendaki terhadap
tujuan yang disusun olehperawat.
c. Intervensi keperawatan harus dievaluasi dalam hal ketepatan
untuk mencapai tujuansebelumnya.
Evaluasi yang diharapkan dari rencana intervensi manajemen nyeri dan
terapi relaksasi yaitu :
1. Keluhan nyeri menurun
2. Fokus membaik
3. Meringis menurun
4. Sifat protektif menurun
5. Gelisah menurun
6. Kemampuan menuntaskan aktivitas

7. Kesulitan tidur menurun


8. Berfokus pada diri sendiri menurun

28
29
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Setelah dilakukan pengkajian tidak semua pemeriksaan fisik yang ada
diteori ditemukan padapasien.
2. Diagnosa keperawatan primer yang muncul adalah NyeriAkut
berhubungan dengan resiko obstruksi pembekuan darah postTURP
(Transurethral prostatic resection), Resiko infeksi berhubungan dengan
insisi pembedahan, imobilitas, dan terpasangkateter, Resiko Pendarahan
berhubungan dengan trauma efek samping pembedahan, Ansietas
berhubungan dengan perasaan takut terhadap tindakan pembedahan
3. Rencana asuhan keperawatan disusun berdasarkan diagnosa yang muncul
dan dibuat berdasarkan rencana asuhan keperawatan secarateoritis.
4. Implementasi dilakukan sesuai rencana keperawatan yangdisusun.
5. Evaluasi dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Dari dua
diagnosa keperawatan yang telah ditegakkan dan implementasi yang
telah dilakukan sesuai dengan rencana tindakan keperawatan didapatkan
hasil yang dicantumkan dalam evaluasi sebagai berikut : semua diagnosa
yang ditegakkan tidak teratasi karena tidak ada perkembangan secara
signifikan menjadi lebih baik.

30
B. SARAN
1. Untuk klien
Agar selalu menerapkan anjuran dari dokter dan perawat supaya tidak
terjadi masalah yang sama dan dihindari.
2. Institusi pelayanan kesehatan
Diharapkan meningkatkan kualitas, ketelitian, perawatan,
pendokumentasian dan pelayanan yang profesional.
3. Tenaga kesehatan
Diharapkan dapat melakukan perawatan yang holistic, komprehensif,
serta tanggung jawab dalam melakukan tindakan
4. Pendidikan
Supaya meningkatkan mutu pendidikan yang berkualitas, professional,
bermutu, terampail, cekatan dan bertanggung jawab.

31
DAFTAR PUSTAKA

Detter. 2011. Rencana Asuhan Keperawatan (Terjemahan). Edisi 3. Jakarta :


EGC. Dinkes Muara Bungo Jambi Tahun 2016. Jumlah Kejadian Pasien
BPH di Dinas Kesehatan Bungo.
Dinkes Provinsi Jambi Tahun 2018. Jumlah Kejadian Pasien BPH di Dinas
Kesehatan Provinsi Jambi. Provinsi Jambi
Dongoes. 2008. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC : Jakarta.
Nusalam. 2015. Manajemen Keperawatan Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan
Nasional. Edisi 5. EGC : Jakarta.
Purnomo Basuki B. 2008. Dasar-Dasar Urologi. Malang: Anggota IKAPI
Riskesdas RI. 2016. Perawatan Maksimal Pasca Post Op BPH.Jurnal Kesehatan.
Dipublikasikan. Http://blogspot.com. (Diakses Tanggal 10 April 2019,
Pukul 20:30 WIB
Sjamjuhidajat, R & Jong Wim De. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
Tanto. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius : Jakarta
Taufan. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah, dan Penyakita
Dalam. Nuha Medika : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai