Disusun oleh :
FAKULTAS DAKWAH
IAIN SALATIGA
2021
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Akhir kata, kami memahami jika makalah ini tentu jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami butuhkan untuk
memperbaiki karya-karya kami di waktu-waktu mendatang.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
BAB I PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Masalah 5
BAB II PEMBAHASAN 6
A. Kesimpulan 15
B. Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 17
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
adalah untuk menjawab “bagaimana sejarah dakwah pra islam”,
dengan sub pokok bahasan : Pengertian sejarah dakwah pra Islam,
Kondisi kehidupan masyarakat pra Islam dan Metode dakwah pra
islam yang dilakukan para Rasul terdahulu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud sejarah dakwah pra Islam?
2. Bagaimana kondisi kehidupan masyarakat pra Islam dalam
berbagai aspek seperti kehidupan sosial kebiasaan, kebudayaan,
adat istiadat, dan kepercayaan?
3. Bagaimana metode dakwah yang di sampaikan para rasul
terdahulu?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah dakwah pra islam
2. Untuk mengetahui kehidupan masyarakat pra islam dalam
berbagai aspek seperti kehidupan sosial, kebudayaan,
kepercayaan, dan kebiasaan
3. Untuk mengetahui metode dakwah para Rasul terdahulu
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
sepanjang zaman. Kegiatan berdakwah dilakukan melalui lisan (bi
al-lisan), tulisan (bi al-kitabah) dan perbuatan (bi al-hal).4
Kata Pra sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah sebelum. Islam sendiri adalah agama yang diturunkan
oleh Allah (agama samawi) agama dari langi. Agama Islam adalah
agama etika atau akhlaq, dan para penganutnya yang sejati adalah
orang-orang etis atau akhlaqi, yaitu orang-orang yang berbudi
pekerti luhur. Ini sejalan dengan penegasan Nabi sendiri, bahwa
beliau diutus Allah hanyalah untuk menyempurnakan berbagai
keluhuran budi.5
Dilihat dari masing-masing pengertian tadi dapat
disimpulkan bahwa sejarah dakwah pra islam merupakan peristiwa
menyampaikan ajaran tauhid yang dilakukan oleh para nabi yang
juga merupakan sifat nubuwwah, dan telah dilaksanakan oleh para
nabi, sejak Nabi Adam as hingga Nabi Muhammad saw. Para nabi
memiliki misi menyebarkan ajaran tauhid Allah SWT sepanjang
sejarah dan sepanjang zaman tersebut telah melaksanakan tugas
mulia itu dengan sukses, namun para nabi tetap menghadapi
berbagai rintangan tentunya.6
4
Al-Qur’an Surah Ali Imran [3] ayat 10
5
Dr. Nurcholish Madjid, ISLAM Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Paramadina,
2006)
6
Prof. Dr. H. Abdullah, M.Si., Ilmu Dakwah Kajian Onttologi, Eistemologi, Aksiologi dan
Aplikasi Dakwah, (Bandung: Ciptapustaka Media, 2015), hlm.2.
7
pengaruhi oleh adat istiadat, semua peraturan dan perbuatan
didasarkan pada adat kebiasan.7
7
Drs. Djamuri, Asy’ari dkk, Sejarah Islam, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 1998/1989),
hlm.10.
8
Drs. Djamuri, Asy’ari dkk, Sejarah Islam, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 1998/1989),
hlm.6.
9
Drs. Djamuri, Asy’ari dkk, Sejarah Islam, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 1998/1989),
hlm.10.
10
Q.s. at-Taubah/9:97. Dalam surat al-Tawbah itu juga terdapat ayat-ayat lain yang
mengandung perkataan al-a‗râb dengan pengertian yang sumbang, yaitu ayat-ayat 90, 98,
99, 101 dan 120. Pengertian serupa juga didapati pada Q., s. al-Ahzâb/33:20; Q., s. al-Fath/
48:11 dan 16; dan Q., s. al-Hujurât/49:14
11
Drs. Djamuri, Asy’ari dkk, Sejarah Islam, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 1998/1989),
hlm.11.
12
Dalam tafsir-tafsir Indonesia, al-A„râb diterjemahkan menjadi orang-orang Arab Badui
(Tafsir Departemen Agama R.I.)
8
Maka menjelaskan maksud dari firman Allah itu,
Muhammad Asad memberikan komentarnya, yaitu disebabkan oleh
cara hidup bangsa badui yang berpindah-pindah dan kekerasan serta
kekasaran yang terkandung di dalamnya, membuat para nabi lebih
sulit untuk mendakwahkan keagamaan kepada mereka daripada
mereka yang hidup menetap dan masih diperbesar lagi oleh jarak
fisik mereka dari pusat-pusat budaya yang lebih tinggi dan sebagai
akibat nya, ketidaktahuan mereka yang lebih besar akan sebagian
besar ketentuan-ketentuan keagamaan. Karena itulah maka Nabi
sering menandaskan segi keunggulan suatu pola hidup menetap atas
suatu pola hidup nomadik. Sabda beliau, orang yang tinggal di gurun
(al-bâdiyah) akan menjadi kasar dalam perangainya, diriwayatkan
oleh Tirmidzî, Abû Dâwûd, Nasâ‘î dan Ibn Hanbal dari pe-nuturan
Ibn Abbâs, dan sebuah Hadîts yang serupa, dari penuturan Abû
Hurayrah, oleh Abû Dâwûd dan Bayhaqî.13
Hal itu mendasari pada adat istiadat bangsa Arab pada zaman
jahiliyah. Adat istiadat mereka ada yang baik dan ada pula yang
buruk. Perbuatan buruk yang mereka lakukan sebelum mereka
mengenal agama Islam adalah menyembah berhala, membunuh dan
mengubur anak perempuan hidup-hidup, senang berjudi, senang
13
Abû Hurayrah, by Abû Dâ‘ûd and Bayhaqî. Muhammad Asad, The Message of the
Qur'ân, (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), hlm. 278, catatan 131.
14
Ibn Taymîyah, Minhâj al-Sunnah, 4 jilid (Riyâdl: Maktabat al-Riyâdl al-Hadîtsah, tanpa
tahun), jil. 1, hlm. 198.
9
munum-minuman keras dan mabuk-mabukan, hidupnya dihabiskan
untuk berfoya-foya, suka berkelahi dan suka berperang, walaupun
itu hanya hal-hal kecil atau sepele kemudian yaitu mereka percaya
adanya tahayul. Namun ada juaga adat istiadat yang baik, yaitu
seperti berjiwa pemberani, dapat dipercaya, menghormati tamu, dan
mucul para ahli syair dan ahli pidato.15
10
dimulai setelah Nabi Muhammad menerima wahyu keduanya dan di
wahyu kedua itulah Nabi Muhammad Saw mulai diangkat menjadi
rasul Allah SWT.20
C. Metode Dakwah Pra Islam Yang Dilakukan Para Rasul
Terdahulu
1. Nabi Ibrahim a.s.
Metode yang diterapkan nabi Ibrahim dalam berdakwah sebagai
berikut:
1. Do’a. Do’a berarti mengagungkan Allah atas Maha kuasa-
Nya dan atas ketidakmampuan selain Allah. Nabi Ibrahim
menyadari bahwa jika umat menjadi muslim, semata-mata
karena mendapat petunjuk serta bimbingan Allah SWT.
2. Praktek bersama. Nabi Ibrahim menggunakan metode
praktek bersama dalam berdakwah sebagaimana ketika
membangun ka’bah bersama nabi Isma’il, putranya. Metode
ini mengikut sertakan jasad, akal pikiran, mulut, dan hati.
Jasad nabi Ibrahim mendidik praktek beramal kebaikan
secara lahir. Akalnya memikirkan bagaimana teknis
membangun ka’bah atau teknis beramal kebaikan. Mulutnya
selalu ceramah membina agar berbuat kebaikan dengan iklas,
hatinya selalu ingat kepada Allah dan memohon petunjuk
kepadanya yang berarti praktek mendidik olah hati.
3. Khalwat (praktek mandiri). Sebagaimana dalam surat
Ibrahim (14); 37; “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah
menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak
mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau
(Baitullah) yang dihormati.”21 Ayat di atas menjelaskan
tentang metode kholwat atau praktek mandiri dengan
menempatkan istrinya di tempat tersendiri/khusus yaitu
dilembah yang tidak mempunyai tanaman untuk bertauhid
20
Drs. Djamuri, Asy’ari dkk, Sejarah Islam, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 1998/1989),
hlm.28-29.
21
Kementerian Agama RI, Mushaf Famy bi Syauqin, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta :
Forum Pelayan Al-Qur’an, 2018), hlm.260
11
dan membuktikan Maha Kuasanya Allah SWT yaitu
keluarnya air zam-zam.
4. Keteladanan atau Uswah. Sebagaimana dalam surat al-
Mumtahanah (60): 6; “Sesungguhnya pada mereka itu
(Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu)
bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan
(keselamatan pada) hari kemudian...”22 Penggalan ayat
tersebut adalah penegasan terhadap pernyataan sebelumnya.
Dan dikecualikan dari keteladanan mereka permintaan maaf
Ibrahim untuk ayahnya, karena keteladanan yang baik yang
telah ditegaskan ini adalah yang pertama itu sendiri. Hal itu
juga merupakan pendorong bagi setiap orang yang beriman
kepada Allah dan hari kemudian agar menjadikan mereka
sebagai teladan.
5. Nasihat. Sebagaimana dalam surat al- Baqarah (2): 132;
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-
anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai
anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini
bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk
agama Islam.”23 Nabi Ibrahim dalam berdakwah juga
menggunakan metode atau wasiat yang bertujuan mengajak
patuh dan tunduk kepada Allah SWT dan utusan-Nya dengan
menggunakan kata-kata yang lebih menyentuh hati obyek
dakwahnya.
6. Dialog. Sebagaimana dalam surat al-Shoffat (37): 102;
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai
anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia
menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
22
Kementerian Agama RI, Mushaf Famy bi Syauqin, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta :
Forum Pelayan Al-Qur’an, 2018), hlm.549
23
Kementerian Agama RI, Mushaf Famy bi Syauqin, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta :
Forum Pelayan Al-Qur’an, 2018), hlm.20
12
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan
mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar.”24 Ayat di
atas menjelaskan Nabi Ibrahim berdakwah kepada Nabi
Isma’il dengan metode dialog (bukan monolog), untuk diajak
melaksanankan perintah Allah berupa disembelih, walaupun
akan tetap dilakukan tanpa persetujuannya.
7. Adu argumen. Nabi Ibrahim sesekali menggunakan metode
adu argument/debat yang bersumber dari akal pikiran sehat,
bukan hati iman. Hal ini akan dilakukan jika menghadapai
obyek dakwah atau kaum yang masih belum iman.
Penggunaan akal pikiran itu nantinya akan dipakai untuk
menjelaskan masalah ketauhidan.25
2. Nabi Musa a.s.
Metode yang dipakai oleh Nabi Musa AS dalam
menyampaikan dakwah kepada Fir’aun sesuai dengan tuntunan
dan perintah Allah SWT adalah dengan menggunakan metode
“Qoulan Layyinan” yang berarti perkataan yang lemah lembut.
Qoulan secara bahasa berasal dari isim masdar dari kata kerja
qola-yaqulu-qoulan yang berarti perkataan, sedangkan layyinan
secara bahasa yaitu isim masdar dari kata kerja lana-yalinu-
layyinan yang memiliki arti lembut. Menurut istilah qoulan
layyyinan adalah segala sesuatu perkataan yang lembut, baik,
lemah lembut, dengan penuh kehati-hatian dan harapan kepada
lawan bicara, dengan mengingat dasar dan tujuan dia
menyyampaikan pesannya dan takut tidak atau meninggalkan
penyampaiannya kepada lawan bicaranya.26
24
Kementerian Agama RI, Mushaf Famy bi Syauqin, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta:
Forum Pelayan Al-Qur’an, 2018), hlm.449
25
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2013), hlm.191-196
26
M. Quroisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian al-Quran, Volume 7,
(Jakarta: PT. Lentera Hati, Cet. Ke-5, 2000), hlm. 594
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
14
sejarah dan sepanjang zaman tersebut telah melaksanakan tugas
mulia itu dengan sukses, namun para nabi tetap menghadapi
berbagai rintangan tentunya.
B. Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad al-Usairy. 1996. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga
Abad XX, Dammam: Akbar Media
Q.s. at-Taubah/9:97
16
Abû Hurayrah, by Abû Dâ‘ûd and Bayhaqî. 1980. Muhammad Asad, The
Message of the Qur'ân, Gibraltar: Dar al-Andalus
17