Anda di halaman 1dari 20

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Tuberkulosis 1,2


Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama
menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang
berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun
tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Sekitar 80% dari tuberculosis adalah TB
paru. TB paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan
granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan.

3.2 Klasifikasi TB2


a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :
1) Tuberkulosis paru : TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru,
Milier TB, dan pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga
menderita TB ekstra paru.
2) Tuberkulosis ekstraparu: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing,
kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus
dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran
radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra
paru. Bila proses TB terdapat dibeberapa organ, penyebutan disesuaikan
dengan organ yang terkena proses TB terberat.
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan
TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1
bulan (˂ dari 28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
a) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar
kambuh atau karena reinfeksi).
b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up.
(Klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah
putus berobat /default).
d) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. Adalah pasien
TB yang tidak masuk dalam kelompok 1) atau 2).
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
1) Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap
salah satu jenis OAT lini pertama saja.
2) Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap lebih
dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan.
3) Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium tuberculosisresistan
terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau
tanpa diikuti resitan OAT lini pertama lainnya.
4) Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan
(Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).
5) Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap
Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (tes cepat molekuler) atau metode fenotip
(konvensional).
d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah pasien
TB dengan:
a) Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau
b)Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:
a) Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
b)Hasil tes HIV negative pada saat diagnosis TB.
Catatan:
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi
positif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB
dengan HIV positif.
3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada
bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.
Catatan:
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV pasien,
pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV
terakhir.

3.3 Patogenesis dan Penularan Tuberkulosis 2,3,5


1. Kuman Penyebab TB
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain:
M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai
Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas
dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang
bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas 1 – 2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultaviolet,
ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap, kuman dapat
tahan berhari – hari sampai berbulan – bulan.
2. Penularan TB
a. Sumber Penularan TB
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak
yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil
pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut
bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤
dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan
mikroskopis langsung.
Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%,
pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien
TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.
b. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia.
Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit.Tahapan tersebut meliputi
tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia, sebagai berikut:
Kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam
udara sekitar kita. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel
pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran
partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian
baru oleh makrofag. Kebanyakkan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh
makrofag keluar dari percabangan trankeobronkial bersama gerakan silia dengan
sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Disini dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang atau afek primer atau sarang (fokus)
Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar
sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat masuk melalui saluran
gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional
kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru,
otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke
seluruh bagian paru menjadi TB milier

3.4 Penegakan Diagnosis Tuberkulosis 2,3


Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan
klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi:
Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB yang meliputi:
a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan
gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu
atau lebih.
b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai
seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung.
c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang dengan
faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah padat
penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja dengan
bahan kimia yang berrisiko menimbulkan paparan infeksi paru.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Bakteriologi
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis, juga
untuk menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan pengobatan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-
Pagi (SP):
a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur. Dapat
dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap bilamana pasien
menjalani rawat inap.
2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF. TCM
merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.
3) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (Lowenstein-
Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk
identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb).
b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1) Pemeriksaan foto toraks
2) Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB ekstraparu.
c. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb
terhadap OAT.
d. Pemeriksaan serologis
Sampai saat ini belum direkomendasikan.
Definisi kasus TB
Definisi kasus TB terdiri dari dua, yaitu;
a. Pasien TB yang terkonfirmasi Bakteriologis:
Adalah pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya (sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung,
TCM TB, atau biakan. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
1) Pasien TB paru BTA positif
2) Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
3) Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
4) Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,
biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
5) TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
b. Pasien TB terdiagnosis secara Klinis
Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis
tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk
diberikan pengobatan TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
1) Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung
TB.
2) Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah diberikan
antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
3) Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
4) TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring. Pasien TB yang terdiagnosis
secara klinis dan kemudian terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum
maupun setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis.
3.5 Diagnosis Banding
3.5.1 Bronkiektasis6
Bronkiektasis merupakan penyakit dengan kerusakan permanen bronkus,
dapat dikategorikan sebagai penyakit paru obstruktif kronik. Gejala klinis
bronkiektasis meliputi batuk berdahak bercampur darah, sesak nafas, lemas, dan
penurunan berat badan.
Foto toraks AP-lateral memperlihatkan peningkatan tanda pulmoner,
atelectasis, dilatasi bronki (varicose bronchiectasis), linear luscencies dan garis
parallel menyebar dari hila (tram tracking) pada bronkoektasis silindrikal, kumpulan
kista (bronkiektasis kistik). Pada pemeriksaan darah lengkap umumnya terjadi
peningkatan jumlah sel darah putih dan anemia, serta peningkatan persentase netrofil.
3.5.2 Pneumonia7
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-
kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada. Sedangkan Temuan pemeriksaan
fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang
sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi
redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang
mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada
stadium resolusi.
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram". Pada pemeriksaan labolatorium terdapat
peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul.
Pada beberapa kasus, TB paru Nampak seperti pneumonia akut dengan
gangguan pernafasan sehingga dianggap sebagai pneumonia dapatan. Hal ini dapat
menyebabkan kekeliruan dalam pengobatan. Pada pneumonia, direkomendasikan
pemberian fluoroquinolon, yang juga merupakan OAT. Namun pemberian hanya satu
jenis OAT memiliki resiko timbulnya resistensi M.tb terhadap obat tersebut.
Fluoroquinolon merupakan salah satu obat anti TB dengan potensi tinggi, sehingga
resistensi terhadap obat tersebut dapat menimbulkan resistensi obat ekstensif.
Pada anamnesa perlu ditanyakan riwayat TB maupun kontak dengan penderita
TB, jumlah leukosit yang normal perlu dicurigai sebagai TB. Penggunaan
fluoroquinolon untuk penanganan pneumonia komunitas didapat sebaiknya dihindari
terutama di daerah endemik TB karena dapat memperlambat diagnosis dan
menyebabkan resistensi terhadap obat.
3.5.3 Efusi Pleura8
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan di dalam
rongga pleura. Proses penumpukan cairan dapat disebabkan oleh peradangan. Bila
proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus / nanah, sehingga terjadi
empiema / piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat
menyebabkan hemotoraks. Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang
menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke
dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa.
Sebab lain seperti parapneumonia, parasit, jamur, pneumonia atipik, keganasan paru,
proses imunologik seperti pleuritis lupus, pleuritis reumatoid, sarkoidosis, radang
sebab lain seperti pankreatitis, asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi.
Gejala dan tanda efusi pleura: Sesak napas, Batuk, Nyeri dada, nyeri pleuritik
biasanya mendahului efusi jika penyakit pleura, Pergerakan dada berkurang dan
terhambat pada bagian yang terkena, dan Ruang interkostal menonjol (efusi yang
berat).
Gambaran Foto Thoraks (X-Ray) yaitu permukaan cairan yang terdapat dalam
rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva dengan permukaan daerah
lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila permukaannya horizontal dari lateral
ke medial pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal dari luar atau
dalam paru-paru sendiri. Terkadang sulit membedakan antara bayangan cairan bebas
dalam pleura dengan adhesi karena radang (pleuritis). Aspirasi cairan pleura
(torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk diagnostik maupun terapeutik.
3.5.4 Abses Paru9,10,11
Abses paru merupakan nekrosis jaringan paru dan pembentukan kavitas yang
mengandung sisa nekrosis atau cairan, yang disebabkan infeksi mikroba.
Pembentukan beberapa abses kecil (<2 cm) biasanya disebut sebagai pneumonia
nekrotik atau gangrene paru.
Abses paru dapat diklasifikasikan berdasarkan perlangsungan dan
penyebabnya. Berdasarkan perlangsungannya abses paru diklasifikasikan menjadi
akut dan kronik. Disebut akut apabila perlangsungannya terjadi dalam waktu 4
minggu. Abses disebut kronik apabila perlangsungannya terjadi dalam waktu > 4-6
minggu. Sedangkan menurut penyebabnya abses paru dibagi menjadi abses primer
dan sekunder. Abses primer muncul karena nekrosis jaringan paru (akibat
pnumonitis, infeksi dan neoplasma) ataupun pneumonia pada orang normal. Disebut
abses sekunder apabila disebabkan kondisi sebelumnya seperti septik emboli
(misalnya endokarditis sisi kanan), obstruksi bronkus (misalnya aspirasi benda asing),
bronkiektasis ataupun pada kasus imunokompromis.
Faktor predisposisi terjadinya abses paru seorang pasien:
1. Ada sumber infeksi saluran pernafasan.
Infeksi mulut, tumor laring yang terinfeksi, bronkitis, bronkiektasis dan kanker
paru yang terinfeksi.
2. Daya tahan saluran pernafasan yang terganggu
Pada paralisa laring, aspirasi cairan lambung karena tidak sadar, kanker esofagus,
gangguan ekspektorasi, dan gangguan gerakan sillia.
3. Obstruksi mekanik saluran pernafasan karena aspirasi bekuan darah, pus, bagian
gigi yang menyumbat, makanan dan tumor bronkus. Lokalisasi abses tergantung pada
posisi tegak, bahan aspirasi akan mengalir menuju lobus medius atau segmen
posterior lobus inferior paru kanan, tetapi dalam keadaan berbaring aspirat akan
menuju ke segmen apikal lobus superior atau segmen superior lobus interior paru
kanan, hanya kadang-kadang aspirasi dapat mengalir ke paru kiri.
Gejala Klinis
Abses yang disebabkan infeksi anaerob akan memunculkan gejala demam,
batuk berdahak yang berbau dan terasa tidak enak, keringat malam, dan penurunan
berat badan. Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis, pemeriksaan dahak untuk
BTA dapat positif apabila disebabkan oleh M.tb.
Patofisiologi
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara, yaitu aspirasi dan
hematogen. Yang paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru bronkogenik
yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor, dan struktur
bronkial. Keadaan ini menyebabkan obstruksi bronkus dan terbawanya organisme
virulen yang akan menyebabkan infeksi pada daerah distal obstruksi tersebut. Dalam
keadaan tegak, bahan aspirasi akan mengalir menuju ke lobus medius atau segmen
posterior lobus inferior paru kanan, tetapi dalam keadaan berbaring aspirat akan
menuju ke segmen apikal lobus superior atau segmen superior lobus inferior paru
kanan, hanya kadang-kadang saja aspirat dapat mengalir ke paru kiri.
Kebanyakan abses paru muncul sebagai komplikasi dari pneumonia aspirasi
akibat bakteri anaerob di mulut. Penderita abses paru biasanya memiliki masalah
periodontal (jaringan di sekitar gigi). Sejumlah bakteri yang berasal dari celah gigi
yang sampai ke saluran pernapasan bawah akan menimbulkan infeksi. Tubuh
memiliki sistem pertahanan terhadap infeksi semacam ini, sehingga infeksi hanya
terjadi jika sistem pertahanan tubuh sedang menurun, seperti yang ditemukan pada
seseorang yang tidak sadar atau sangat mengantuk karena pengaruh obat penenang,
obat bius, atau penyalahgunaan alkohol. Selain itu dapat pula terjadi pada penderita
gangguan sistem saraf.
Jika bateri tersebut tidak dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan
tubuh, maka akan terjadi pneumonia aspirasi dan dalam waktu 7-14 hari kemudian
akan berkembang menjadi nekrosis yang berakhir dengan pembentukan abses.
Secara hematogen yang paling banyak terjadi adalah akibat septikemi atau
sebagai fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi pada bagian lain
tubuhnya seperti tricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya
akan berbentuk abses multipel dan biasanya disebabkan oleh stafilokokus.
Diagnosis
Diagnosis abses paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menyingkirikan diagnosis banding
yang lain dengan gejala yang hampir menyerupai abses paru.
1. Keluhan penderita yang khas seperti malaise, demam ringan sampai demam
tinggi, batuk purulen dengan bau amis dan penurunan berat badan.
2. Riwayat penyakit sebelumnya seperti infeksi saluran nafas atas, infeksi gigi,
serangan epilepsi, dan penurunan kesadaran berkaitan dengan sedasi.
3. Pemeriksaan laboratorium. Peningkatan jumlah leukosit yang umumnya
mencapai 10.000-30.000/mm3. Anemia dapat ditemukan pada abses lama.
4. Bronkoskopi. Untuk mengetahui adanya obstruksi pada bronkus. Obstruksi
bronkial skunder biasanya disebabkan oleh karsinoma.
5. Aspirasi Jarum Perkutan. Meripakan cara dengan akurasi yang tinggi untuk
melakukan diagnosis bakteriologis.
Foto torak memperluhatkan kavitas. Abses dapat berisi cairan saja maupun
cairan yang bercampur dengan udara sehingga memberikan gambaran air-fluid level.
Bila abses mengalami ruptur akan terjadi drainase abses yang tidak sempurna ke
dalam bronkus, yang akan memberikan gambaran kavitas dengan batas udara dan
cairan di dalamnya (air fluid level). Secara umum terdapat perselubungan di sekitar
kavitas, meskipun begitu pada terapi kavitas akan menetap lebih lama dibanding
perselubungan di sekitarnya.
Terapi
a. Terapi antibiotik
Penisilin merupakan pilihan dengan dosis satu juta unit, 2-3 kali sehari
intramuskular. Bila diperkirakan terdapat kuman gram negatif dapat ditambahkan
kloramfenikol 500 mg empat kali sehari. Respons terapi yang baik akan terjadi
dalam 2-4 minggu, dan selanjutnya bisa dilanjutkan dengan terapi antibiotik
peroral. Pada terapi peroral diberikan:
Penisilin oral 750 mg empat kali sehari.
Apabila hasil terapi kurang memuaskan, terapi dapat dirubah dengan:
Klindamisin 600 mg tiap 8 jam,
Metronidazol 4x500 mg, atau
Gentamisin 5 mg/kg BB dibagi dalam 3 dosis tiap hari.
b. Drainase postural
Selalu dilakukan bersama dengan pemberian terapi antibiotik. Tubuh
diposisikan sedemikian rupa sehingga drainase pun menjadi lancar. Pada
kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus, dengan
produksi sputum purulen.
c. Bronkoskopi
Penting untuk membersihkan jalan napas sehingga drainase pun menjadi
lancar. Di samping itu, dengan bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan
pengosongan abses yang tidak mengalam drainase yang adekuat, serta dapat
diberikannya larutan antibiotik melewati bronkus langsung ke lokasi abses.
d. Bedah
Prognosis
Bila tidak terlambat ditangani prognosisnya baik. Lebih dari 90% dari abses
paru-paru sembuh dengan manajemen medis saja, kecuali disebabkan oleh obstruksi
bronkial sekunder untuk karsinoma. Angka kematian yang disebabkan oleh abses
paru terjadi penurunan dari 30 – 40 % pada era preantibiotika dan sampai 15 – 20 %
pada era sekarang.4
Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosis
yang lebih jelek dibandingkan dengan penderita dengan satu faktor predisposisi.
Beberapa faktor yang memperbesar angka mortalitas pada Abses paru sebagai berikut
: Anemia dan Hipoalbuminem, Abses yang besar (φ > 5-6 cm), Lesi obstruksi,
Bakteri aerob, Immunocompromised, Usia tua, Gangguan intelegensia, erawatan
yang terlambat

3.6 Penatalaksanaan Tuberkulosis2,3


1. Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a. OAT lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Prirazinamid (Z), Sreptomisin
(S), Etambutol (E)
b. OAT lini kedua:

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
3) Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu
Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin,
Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat
TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.
Catatan:
Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat
diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu)
dengan mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid (H),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) yang dikemas dalam bentuk
blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan paduan OAT KDT.
1) Kategori-1:
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a) Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
b) Pasien TB paru terdiagnosis klinis.
c) Pasien TB ekstra paru.
d) Dosis harian (2(HRZE)/4(HR))
2) Kategori -2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang) yaitu:
a) Pasien kambuh.
b) Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
Pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan dua contoh uji
dahak (sewaktu dan pagi).
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang
dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus
memulai pengobatan tahap lanjutan. Pemberian OAT sisipan sudah tidak dilakukan.

Tata laksana pasien yang berobat tidak teratur

Anda mungkin juga menyukai