Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Kabupaten Batang

Kabupaten Batang saat ini merupakan gabungan antara Jabarangkah dan Kabupaten
Batang lama di Pesisiran. Kabupaten Batang pada masa Majapahit ikut pada wilayah
Mancanegara Majapahit yang bernama Kembang Jenar. Kabupaten Batang di masa lampau
juga berkaitan dengan Kerajaan Holing yang dipimpin oleh Maharani Shima. Beberapa
hipotesis terutama yang dikemukakan Van Der Meulen juga menyatakan bahwa pusat
kerajaan Kalingga terletak di Kabupaten Batang bagian Timur tepatnya di sekitar Prasasti
Sojomerto saat ini. Nama kota Lempevangih yang di Prasasti Sojomerto berkaitan dengan
Wangsa Sailendra juga serupa dengan nama Limpungwangi (Limpung) yang merupakan
kecamatan yang dekat dengan keberadaan Prasasti Sojomerto saat ini.

Kabupaten Batang dapat dibagi dalam 3 periodisasi sejarah. Berdiri sebagai


Kabupaten sejak awal abad 17 dan bertahan sampai dengan 31 Desember 1935. Per 1 Januari
1936, Batang secara resmi digabungkan kedalam Pemerintahan Kabupaten Pekalongan.

Tahun 1946, mulai ada gagasan untuk menuntut kembalinya status Kabupaten Batang.
Ide pertama lahir dari Mohari yang disalurkan melalui sidang KNI Daerah dibawah pimpinan
H.Ridwan. Sidang bertempat di gedung bekas rumah Contrder Belanda (Komres Kepolisian
922).

Tahun 1952, terbentuk sebuah Panitia yang menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat Batang. Panitia ini dinamakan Panitia Pengembalian Kabupaten Batang, yang
bertugas menjalankan amanat masyarakat Batang.

Dalam kepanitiaan ini duduk dari kalangan badan legislatif serta pemuka masyarakat
yang berpengaruh saat itu. Susunan panitianya terdiri atas RM Mandojo Dewono (Direktur
SGB Batang) sebagai Ketua, R. Abutalkah dan R. Soedijono (anggota DPRDS Kabupaten
Pekalongan) sebagai Wakil Ketua. Panitia juga dilengkapi dengan dua anggota yaitu R.
Soenarjo (anggota DPRDS yang juga Kepala Desa Kauman) dan Rachmat (anggota DPRDS)

Tahun 1953, Panitia menyampaikan Surat Permohonan terbentuknya kembali status


Kabupaten Batang lengkap satu berkas, yang langsung diterima oleh Presiden Soekarno pada
saat mengadakan peninjauan daerah dan menuju ke Semarang dengan jawaban akan
diperhatikan.
Tahun 1955, Panitia mengutus delegasi ke pemerintah pusat, yang terdiri atas RM
Mandojo Dewono, R.Abutalkah, dan Sutarto (dari DPRDS).

Tahun 1957, dikirim dua delegasi lagi. Delegasi I, terdiri atas M. Anwar Nasution
(wakil ketua DPRDS), R.Abutalkah, dan Rachmat (Ketua DPRD Peralihan). Sedangkan
delegasi II dipercayakan kepada Rachmat (Kepala Daerah Kabupaten Pekalongan),
R.Abutalkah, serta M.Anwar Nasution.

Tahun 1962, mengirimkan utusan sekali. Utusan tersebut dipercayakan kepada M.


Soenarjo (anggota DPRD Kabupaten Pekalongan dan juga Wedana Batang) sebagai ketua,
sebagai pelapor ditetapkan Soedibjo (anggota DPRD), serta dibantu oleh anggota yaitu H.
Abdullah Maksoem dan R. Abutalkah.

Tahun 1964, dikirim empat delegasi. Delegasi I, ketuanya dipercayakan R. Abutalkah,


sedang pelapor adalah Achmad Rochaby (anggota DPRD). Delegasi ini dilengkapi lima
orang anggota DPRD Kabupaten Pekalongan, yaitu Rachmat, R. Moechjidi, Ratam
Moehardjo, Soedibjo, dan M. Soenarjo.

Delegasi II, susunan keanggotaannya sama dengan Delegasi I tersebut, sebelum


menyampaikan tuntutan rakyat Batang seperti pada delegasi-delegasi terdahulu, yaitu kepada
Menteri Dalam Negeri di Jakarta diawali penyampaian tuntutan tersebut kepada Gubernur
Kepala Daerah Provinsi Jawa Tengah di Semarang.

Delegasi III, yang juga susunan keanggotaannya sama dengan Delegasi I dan II
kembali mengambil langkah menyampaikan tuntutan rakyat Batang langsung kepada
Mendagri. Sedang Delegasi IV mengalami perubahan susunan keanggotaan. Dalam delegasi
ini sebagai ketua R. Abutalkah, sebagai wakil ketua Rachmat, sedangkan sebagai pelapor
adalah Ratam Moehardjo, Ahmad Rochaby sebagai sekretaris I, R. Moechjidi sebagai
sekretaris II serta dilengkapi anggota yaitu Soedibjo dan M. Soenarjo.

Tahun 1965, diutus delegasi terakhir. Sebagai ketua R. Abutalkah, wakil ketua
Rachmat, sekretaris I Achmad Rochaby, sekretaris II R. Moechjidi, pelapor Ratam
Moehardjo serta dilengkapi dua orang anggota yaitu M. Soenarjo dan Soedibjo. Delegasi
terakhir atau kesepuluh itu, memperoleh kesempatan untuk menyaksikan sidang paripurna
DPR GR dalam acara persetujuan dewan atas Rancangan Undang-undang tentang
Pembentukan Pemerintah Kabupaten Batang menjadi Undang-undang.
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Batang terbentuk berdasarkan Undang-
undang Nomor 9 Tahun 1965, yang dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 52, tanggal 14
Juni 1965 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri RI Nomor 20 Tahun 1965, tanggal 14 Juli
1965.

Tanggal 8 April 1966, bertepatan hari Jumat Kliwon, yaitu hari yang dianggap penuh
berkah bagi masyarakat tradisional Batang, dengan mengambil tempat di bekas Kanjengan
Batang lama (rumah dinas yang sekaligus kantor para Bupati Batang lama) dilaksanakan
peresmian pembentukan Daerah Tingkat II Batang.

Upacara yang berlangsung khidmat dari jam 08.00 s/d 11.00 itu, ditandai antara lain
dengan Pernyataan Pembentukan Kabupaten Batang oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi
Jawa Tengah Brigjend (Tit) KKO-AL Mochtar, pelantikan R. Sadi Poerwopranoto sebagai
Pejabat Bupati Kepala Daerah Batang, serah terima wewenang wilayah dari Bupati KDH
Pekalongan kepada Pejabat Bupati KDH Batang, serta sambutan dari Gubernur Kepala
Daerah Jawa Tengah.

Nama Batang telah dikenal sejak orang-orang Tionghoa banyak berguru agama Budha
ke Sriwijaya. Batang ini dikenal dengan nama Batang sebagai kota pelabuhan sejaman
dengan Pemaleng (Pemalang) dan Tema (Demak). Nama Batang dikenal pada jaman kerajaan
Majapahit, sebagai suatu kota pelabuhan. Nama Batang berasal dari kata BATA-AN. Bata
berarti batu, dan AN berarti satu atau pertama. Kabupaten Batang, adalah sebuah kabupaten
di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Batang. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut
Jawa di utara, Kabupaten Kendal di timur, Kabupaten Banjarnegara di selatan, serta Kota
Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan di barat. Sebagian besar wilayah Kabupaten Batang
merupakan perbukitan dan pegunungan. Dataran rendah di sepanjang pantai utara tidak
begitu lebar. Di bagian selatan adalah terdapat Dataran Tinggi Dieng, dengan puncaknya
Gunung Prau (2.565 meter). Ibukota Kabupaten Batang terletak di ujung barat laut wilayah
kabupaten, yakni tepat di sebelah timur Kota Pekalongan, sehingga kedua kota ini seolah-
olah menyatu. Kabupaten Batang terletak pada 6o 51' 46" sampai 7o 11' 47" Lintang Selatan
dan antara 109o 40' 19" sampai 110o 03' 06" Bujur Timur di pantai utara Jawa Tengah . Luas
daerah 78.864,16 Ha. Batas-batas wilayahnya sebelah utara Laut Jawa, sebelah timur
Kabupaten Kendal, sebelah selatan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara,
sebelah barat Kota dan Kabupaten Pekalongan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten
Batang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pembentukan Kecamatan Kabupaten Batang, jumlah
kecamatan di Kabupaten Batang yang semula 12 kecamatan berubah menjadi 15 kecamatan.
Menurut sejarah, Batang telah memiliki dua kali periode pemerintahan Kabupaten. Periode I
diawali zaman kebangkitan kerajaan Mataram Islam (II) sampai penjajahan asing, kira-kira
dari awal abad 17 sampai dengan 31 Desember 1935. Sedang periode II, dimulai awal
kebangkitan Orde Baru (8 April 1966) sampai sekarang, bahkan Batang dapat ditelusuri sejak
pra-sejarah. Sejak dihapuskan status Kabupaten (1 Januari 1936) sampai tanggal 8 April
1966, Batang tergabung dengan Kabupaten Pekalongan.Tahun 1946, mulai ada gagasan
untuk menuntut kembalinya status Kabupaten Batang. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat
II Batang terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1965, yang dimuat dalam
Lembaran Negara Nomor 52, tanggal 14 Juni 1965 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri RI
Nomor 20 Tahun 1965, tanggal 14 Juli 1965. Tanggal 8 April 1966, bertepatan hari Jumat
Kliwon, yaitu hari yang dianggap penuh berkah bagi masyarakat tradisional Batang, dengan
mengambil tempat di bekas Kanjengan Batang lama (rumah dinas yang sekaligus kantor para
Bupati Batang lama) dilaksanakan peresmian pembentukan Daerah Tingkat II Batang.
Upacara yang berlangsung khidmat dari jam 08.00 s/d 11.00 itu, ditandai antara lain dengan
Pernyataan Pembentukan Kabupaten Batang oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa
Tengah Brigjend (Tit) KKO-AL Mochtar, pelantikan R. Sadi Poerwopranoto sebagai Pejabat
Bupati Kepala Daerah Batang, serah terima wewenang wilayah dari Bupati KDH Pekalongan
kepada Pejabat Bupati KDH Batang, serta sambutan dari Gubernur Kepala Daerah Jawa
Tengah.

Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik

Tata kelola pemerintahan dianggap penting untuk menjamin kesejahteraan nasional.


Tata kelola pemerintahan yang baik, atau dapat disebut good governance seturut kesepakatan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan salah satu fungsi dan tanggung jawab negara.

Beberapa definisi mengenai good governance dikemukakan oleh beberapa lembaga.


Salah satunya United Nation Development Program (UNDP) atau lembaga PBB untuk
pengembangan negara-negara di dunia mendefinisikan tata kelola pemerintahan yang baik
sebagai suatu tanggung jawab dari kewenangan ekonomi, kewenangan administrasi, dan
kewenangan politik untuk mengatur masalah-masalah sosial negara tersebut. Dari pengertian
tersebut, terlihat tiga sektor utama dari kewenangan pemerintah yang kemudian digunakan
untuk sebesar-besar kepentingan rakyat.
Di samping itu, dalam tata kelola pemerintah yang baik akan menghindari kesalahan
dalam alokasi dana pembangunan. Termasuk penanggulangan dini tindak pidana korupsi.
Good governance juga akan menjalankan anggaran secara disiplin sehingga aktivitas usaha
rakyat dapat tumbuh dengan baik. Tindakan korupsi yang berpotensi memincangkan tata
kelola pemerintahan menggerogoti Indonesia sebagai masalah yang sangat serius. Kemudian
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan sebagai lembaga independen pada 2002.
Pemerintah sebelumnaya juga menetapkan UU nomor 28 tahun 1998 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Berdasarkan definisi di atas, setidaknya good governance memiliki beberapa indikator


pengukuran. Diantara indikator tersebut adalah:

1. Transparansi
Transparansi merupakan proses keterbukaan menyampaikan informasi atau aktivitas yang
dilakukan. Harapannya, agar pihak-pihak eksternal yag secara tidak langsung ikut
bertanggung jawab dapat ikut memberikan pengawasan. Memfasilitasi akses informasi
menjadi faktor penting terciptanya transparansi ini.
2. Partisipasi
Partisipasi merujuk pada keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam
merencanakan kebijakan. Masukan dari berbagai pihak dalam proses pembuatan
kebijakan dapat membantu pembuat kebijakan mempertimbangkan berbagai persoalan,
perspektif, dan opsi-opsi alternatif dalam menyelesaikan suatu persoalan. Proses
partisipasi membuka peluang bagi pembuat kebijakan untuk mendapatkan pengetahuan
baru, mengintegrasikan harapan publik kedalam proses pengambilan kebijakan, sekaligus
mengantisipasi terjadinya konflik sosial yang mungkin muncul. Komponen yang
menjamin akses partisipasi mencakup, tersedianya ruang formal melalui forum-forum
yang relevan, adanya mekanisme untuk memastikan partisipasi publik, proses yang
inklusif dan terbuka, dan adanya kepastian masukan dari publik akan diakomodir di
dalam penyusunan kebijakan.
3. Akuntabilitas
Akuntabilitas didefinisikan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas peraturan yang
telah dibuat. Proses ini juga sekaligus menguji seberapa kredibel suatu kebijakan tidak
berpihak pada golongan tertentu. Akuntabilitas akan melewati beberapa proses pengujian
tertentu. Proses yang terstruktur ini diharapkan akan mampu membaca celah-celah
kekeliruan, seperti penyimpangan anggaran atau pelimpahan kekuasaan yang kurang
tepat. Mekanisme akuntabilitas juga memberikan kesempatan kepada para pemangku
kebijakan untuk untuk meminta penjelasan dan pertanggungjawaban apabila terdapat hal-
hal yang tidak sesuai dengan konsesus dalam pelaksanaan tata kelola di bidang tertentu.
4. Koordinasi
Koordinasi adalah sebuah mekanisme yang memastikan bahwa seluruh pemangku
kebijakan yang memiliki kepentingan bersama telah memiliki kesamaan pandangan.
Kesamaan pandangan ini dapat diwujudkan dengan mengintegrasikan visi dan misi pada
masing-masing lembaga. Koordinasi menjadi faktor yang sangat penting, karena
kekacauan koordinasi dapat menyebabkan efisiensi dan efektivitas kerja menjadi
terganggu.
5. Berorientasi konsensus (consensus orientaon)
Kebijakan yang diambil didasarkan pada pilihan-pilihan yang terbaik, berdasarkan
kesepakatan semua unsur masyarakat;
6. Berkeadilan (equity)
adanya kesempatan yang sama bagi semua warga negara, baik laki-laki maupun
perempuan, untuk meningkatkan kesejahteraannya;
7. Efektif dan efisien (effecvieness and efficiency)
Proses-proses dan kegian-kegiatan lembaga harus menghasilkan output yang sesuai
dengan tujuan dan sasaran yang digariskan, dan menggunakan sumber daya

Pada intinya tata kelola pemerintahan yang baik melibatkan berbagai pihak secara
terintegrasi. Sistem pemerintahan tidak akan berjalan optimal apabila lembaga tidak
didukung oleh partisipasi aktif oleh elemen masyarakat. Lalu, untuk mencapainya
diperlukan kesadaran serta pengetahuan agar masyarakat dapat berpikir kritis mengenai
kebijakan yang sudah seharusnya dilakukan.

Peristiwa Maladministrasi Yang Pernah Terjadi

Maladministrasi banyak terjadi di berbagai instansi pemerintah di Indonesia. Hal ini


dibuktikan dengan banyaknya laporan maladministrasi yang diterima oleh berbagai
Perwakilan Ombudsman di Indonesia.

Proses pengukuran terkait pembangunan Bendungan Wadas, Purworejo mendapatkan


banyak tanggapan dari berbagai pihak. Salah satunya dari Ombudman Republik Indonesia
Perwakilan Jawa Tengah, yang menyoroti tindakan pengamanan oleh pihak kepolisian dalam
proses pengukuran lahan penambangan material andesit.

Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jateng, Siti Farida, mengatakan sesuai dengan


Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, pihaknya
berwenang melakukan investigasi atas prakarsa sendiri (Own Motion Investigastion)
mengenai dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Berdasarkan undang-undang tersebut, Ombudsman dapat meminta klarifikasi dari


instansi terkait, baik pihak kepolisian, pemerintah daerah, ataupun kementerian maupun
Kantor pertanahan. Berdasarkan informasi yang kami peroleh dari masyarakat, proses
pengamanan oleh pihak kepolisian dalam pengukuran lahan di Desa Wadas, Kecamatan
Bener, Kabupaten Purworejo pada hari selasa 8 Februari tahun 2021 hinggga hari ini, diduga
terdapat tindakan tidak patut dan berpotensi maladministrasi. Oleh karena itu, Ombudsman
meminta kepada kepolisian untuk bertindak lebih humanis dalam melakukan pengamanan.

Tindak Lanjut Oleh Pejabat Publik

Namun demikian, bahwa Ombudsman masih akan mendalami dan melakukan


pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan potensi maladministrasi yang terjadi terkait
tindakan pengamanan oleh pihak kepolisian. Ombudsman dalam waktu dekat akan meminta
keterangan kepada Polda Jateng, Polres Purworejo, Kanwil BPN Jateng, Kantor Pertanahan
(ATR/BPN) Purworejo, Pemprov Jateng, Pemerintah Kabupaten Purworejo, dan perwakilan
masyarakat.

Ombudsman Jateng menekankan agar para pihak yang berkonflik dapat


mengedepankan musyawarah dan tidak menggunakan kekuatan fisik, sehingga diharapkan
masalah dapat diselesaikan secara progresif. Saat ini belum bisa memberikan penjelasan lebih
lanjut karena masih dalam proses pengumpulan data dan informasi awal untuk memetakan
potensi maladministrasi.

Anda mungkin juga menyukai