Anda di halaman 1dari 28

KEPERAWATAN ANAK II

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

DISUSUN OLEH
KELOMPOK IV

Andi Bunga Silvia (19320005)


Ferli Randani (19320013)
Refsi Erpiyana (19320027)
Tiya Nadila (19320035)

Dosen Pengampu : Setiawati,S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.An

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

BANDAR LAMPUNGTAHUN AJARAN 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan
karunianya sehingga tugas mata kuliah “Keperawatan Anak II” yang berjudul tentang “Systemic
Lupus Erythematosus” ini dapat terselesaikan dengan baik tanpa ada satu halangan apapun.

Adapun tujuan pembuatannya ialah dalam rangka memenuhi tugas dari mata kuliah
“Keperawatan Anak II” yang diberikan oleh Dosen kami yang beranama Ibu
Setiawati,S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.An

Kami sadar sebagai seorang mahasiswa/i yang masih dalam proses pembelajaran
pembuatan tugas dengan materi “Keperawatan Anak II” ini masih banyak kekurangannya. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang bersifat positif kami harapkan untuk memperbaiki pembuatan
maupun penulisan tugas dimasa yang akan mendatang.

Bandar Lampung, 27 September 2021

2
DAFTAR ISI

COVER ..................................................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 4
C. Tujuan ................................................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi ................................................................................................................................ 6
B. Etiologi ................................................................................................................................ 6
C. Patofisiologi ........................................................................................................................ 7
D. Pathway ............................................................................................................................... 8
E. Manifestasi .......................................................................................................................... 9
F. Klasifikasi ......................................................................................................................... 15
G. Penatalaksanaan Medis ...................................................................................................... 15
H. Penatalaksanaan Keperawatan ........................................................................................... 16
I. Pemeriksaan Penunjang ..................................................................................................... 17
J. Komplikasi ........................................................................................................................ 18
K. Asuhan Keperawatan ........................................................................................................ 19
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 27
B. Saran ................................................................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 28

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Systemic Eryithematosus Lupus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan istilah lupus
merupakan suatu penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi kronik. Penyakit
ini terjadi dalam tubuh akibat sistem kekebalan tubuh salah menyerang jaringan sehat.
Penyakit ini juga merupakan penyakit multi sistem dimana banyak manifestasi klinik
yang didapat penderita, sehingga setiap penderita akan mengalami gejala yang
berbeda dengan penderita lainnya tergantung dari organ apa yang diserang oleh
antibody tubuhnya sendiri. Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah skin
rash, arthritis, dan lemah. Pada kasus yang berat, SLE bisa menyebabkan nefritis,
masalah neurologi, anemia, dan trobositopenia.

SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja penyakit
ini angka kejadiannya didominasi oleh prempuan dimana perbandingan antara
prempuan dan laki-laki adalah 10:1. SLE menyerang prempuan pada usia produksi
,puncak insidennya usia antara 15-40.

Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi remisi
serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena
manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada
manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum
digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID ( Non-Steroid Anti-
Inflammatory Drugs),obat-obat antimalarial, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker
(imunosupresan) selain itu terdapat obat-obat yang lain seperti terapi
hormone,immunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoclonal antibody, dan
transplasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan.

B. RUMUSAN MASALAH
a) Apa definisi Systemic Eryithematosus Lupus ?
b) Bagaimana etiologi Systemic Eryithematosus Lupus?
c) Bagaimana patofisologi dari Systemic Eryithematosus Lupus?
d) Apa manifestasi klinis dari Systemic Eryithematosus Lupus ?
e) Apa klasifikasi dari Systemic Eryithematosus Lupus?
f) Bagaimana pemeriksaan penunjang dari Systemic Eryithematosus Lupus?
g) Bagaimana evaluasi dari Systemic Eryithematosus Lupus?
h) Bagaimana penatalaksanaan dari Systemic Eryithematosus Lupus?
i) Bagiaman komplikasi dari S Systemic Eryithematosus Lupus?
j) Bagaimana Asuhan Keperawatan dari Systemic Eryithematosus Lupus?

4
C. TUJUAN
a) Agar Mahasiswa/i mengetahui definisi dari Systemic Eryithematosus Lupus
b) Agar Mahasiswa/i mengetahui etiologi dari Systemic Eryithematosus Lupus
c) Agar Mahasiswa/i mengetahui patofisiologi dari Systemic Eryithematosus Lupus
d) Agar Mahasiswa/i mengetahui manifestasi klinis dari Systemic Eryithematosus
Lupus
e) Agar Mahasiswa/i mengetahui klasifikasi dari Systemic Eryithematosus Lupus
f) Agar Mahasiswa/i mengetahui pemeriksaan penunjang dari Systemic
Eryithematosus Lupus
g) Agar Mahasiswa/i mengetahui evaluasi dari Systemic Eryithematosus Lupus
h) Agar Mahasiswa/i mengetahui penatalaksanaan dari Systemic Eryithematosus
Lupus
i) Agar Mahasiswa/i mengetahui komplikasi dari Systemic Eryithematosus Lupus
j) Agar Mahasiswa/i mengetahui asuhan keperawatan dari Systemic Eryithematosus
Lupus

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,sedangkan
erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus
pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakansuatu penyakit kulit
kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.
Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga
mengakibatan kerusakan jaringan.
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun pada jaringan
penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan. Penyakit ini
lebih sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan faktor 10:1. Androgen mengurangi
gejala SLE dan estrogen memperburuk keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase
luteal siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler kolagen (suatu penyakit
autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan antibody terhadap organ tubuhnya
sendiri,yang dapat merusak organ tersebut dan fungsinya. Lupus dapat menyerang banyak
bagian tubuh termasuk sendi,ginjal,paru-paru seta jantung .

B. ETIOLOGI
Antibody anti RO dan anti LA dapat menyebabkan sindrom lupus neonates
dengan melinitasi plaseta. Sindrom ini dapat bermanifestasi sebagai lesi kulit atau blok
jatung congenital.
Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit SLE. Sekitar 20-30% pada pasien SLE mempunyai kerabatdekat yang menderita
SLE. Penelitian terakhir menunjukan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haptolip
MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase

6
awal reaksi peningkatan komplomen yaitu : Crg, Cir, Cis, C3, C4 dan C2 serta gen-gen yang
mengode reseptor drl T, immunoglobulin dan sitokin (Albar 2003).
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah
struktur DNA didaerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun
didaerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi
oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4
menyebabkan asetilasi obat menyadi lambat, obat banyak terakumulas ditubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai
benda asing tersebut (Herfindal et al,2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang
mengandung asam aino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B
sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente 2002). Selain intu infeksi virus dan bakteri
juga menyebabkan peningkatan antibody entiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit yang
akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al,2000).
Observasi klinis menunjukan pernan hormone seks steroid sebagai penyebab SLE.
Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia produktif,peningkatan
aktivitas SLE selama kehamilan, dan resiko yang sedikit lebih tinggi padaa wanita
pascamenoupause yang menggunakan suplementasi estrogen. Walapun hormone seks steroid
dipercaya sebagai penyebab SLE,namun studi yang dilakukan oleh petri dkk menunjukan
bahwa pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya
peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penfderita SLE yang penyakitnya stabil.

C. PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoimun diperkirakan
terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun
dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

7
D. PATHWAY

8
E. MANIFESTASI

Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu waktu
maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai tambahan,perjalanan
penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke sedang sehingga
parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan multisystem dari manifestasi
kliniksnya,lupus telah menggantikan sifilis sebagai great imitator.
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan samapai sedang dengan gejala
kronis,diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara terhadap atau tiba-tiba. Pada
sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas penyakit dan remisi
klinik sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang,pasien mengalami episode aktif SLE
singkat diikuti dengan remisi lambat.
Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama,walapun SLE dapat
menyebabkan berbagai tanda dan gejala, tidak semua tanda dan gejala pada pasien dengan
SLE disebabkan oleh penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek samping
pengobatan,khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus dibedakan dengan
tanda dan gejala.
1. Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif,namun penyebab infeksius
tetap harus dipikirkan,terutama pada pasien dengan terapi imunosupresi. Penurunan berat
badan dapat timbul awal penyakit,dimana peningkatan berat badan, khusus pada pasien
yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas lebih jelas pada tahap
selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum dan
seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit. Penyebab pasti gejala-gejala ini
belum jelas. Aktivitas penyakit, efek samping pengobatan, gangguan
neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat dalam timbulnya gejala
konstitusional. Pada kasus ini dijumpai gejala demam namun gejala ini mungkin juga
disebabkan oleh infeksi pneumonia. Penurunan berat badan juga ditemukan pada pasien.
Sesuai dengan teori yang mengatakan kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala
yang paling umum yang memperberat penyakit,gejala ini turut ditemukan kasus ini.
2. Manifestasi Mukokutan

9
Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam yang telah
ada sbelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan (exaggerated sunburn),
atau gejala sepereti gatal atau parastesisi setelah terpajan sinar matahari atau sumber
cahaya buatan. Zfotosensitivitas sering ditemukan dan dapat terjadi pada semua
kelompok ras dan etnis, walapun belum ada studi mengenai prevalensinya dipopulasi
umum. Ruam berbentuk kupu-kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi
dan persambungan hidung yang membagi lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai malar
rash atau butterfly ras. Ruam ini dapat ditemukan pada 20-25% pasien. Gejala ini dapat
meningkat dan sangat meradang, bertahan selams berminggu-minggu atau berbulan-
bulan. Gejala ini hilang tanpa jaringan parut. Plak eritematosa dengan adherent scale dan
telangiektasis umumnya terdapat diwajah,leher dan kulit kepala. Lupus kutis akut dalam
bentuk eritema inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pacaran sinar ultraviolet. Lesi lupus
subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit yang terpapar sinar matahari dalam
waktu lama (lengan depan, daerah V dileher ) tanpa pacaran sinar matahari dalam waktu
dekat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo riticularis, eritema periungual, eritema palmaris,
nodulpalmaris, vesikel atau bula, urtikaria akut atau kronik, panniculitis,
purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis. Alopesia dapat timbul akibatlesi pada kulit
kepala, namun biasanya muncul pada puncak SLE. Alopesia bersifat reversible, kecuali
jika terdapat lesi discoid kepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus
dibedakab dari infers virus maupun jamur. Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat
disebabkan oleh inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan saliva, yang mungkin
tumpang tindih dengan sindrom sjogren. Umumnya mata dan mulut kering merupakan
efek samping pengobatan. Pada kasus ini ditemukan manifestasi mukokutan. Sesuai
dengan teori, pada pasien ini ditemukan fotosensitivitas, yaitu eksaserbasi ruam dengan
pajanan pada sinar matahari. Pada kasus ini juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu
(malar rash atau butterfly rash) pada bagian pipi dan hidung pasien. Alopesia juga
ditemukan pada pasien ini yang mengeluh rambutnya yang sering rontok waktu menyikat
rambut.
3. Manifestasi Muskuloskeletal

10
Artritis SLE biasanya meradang dan mucul bersamaan dengan sinovitis dan nyeri,
bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah deformitas jaccoud
yang menyerupai artritis rheumatoid namun berkurang dan tidak terbukti secara
radiologis menyebabkan desttruksi kartilago dan tulang. Kelemahan otot biasanya
merupakan akibat terapi glukokortikoid atau antimalaris, namun myositis dengan
peningkatan enzim otot jarang ditemukan dan biasannya merupakan gejala yang tumpah
tindih. Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruput tendon dapat merupakan
komplikasi terapi glukokortikoid. Ostenekrosis (nekrosisavaskuler) dapat disebabkan
oleh penyakit maupun efek pengobatan gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput
femoralis, kaput hormonal, lempemg tibia dan talus. Artralgia dan myalgia merupakan
gejala lain yang sering ditemukan, dapat disebabakanoleh penyakit, efek samping
pengobatan, glucocorticoid withdrawal syndrome, endokrinopati dan faktor psikogenik.
Pada kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri pada sendi jari pada kedua tangan
yang tidak disertai dengan gangguan pergerakkan. Ini sesuai dengan manifetasi
muskuloskletal yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non erosive dan non deforming
arthritis.
4. Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis meruapakan gejala khas dengan nyeri substernal posisional dan terkadang
dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi atau dalam kasus kronik
penebalan dan fibrosis pericardium. Tamponade atau hemodinamik konstriktif jarang
ditemukan, namun dapat diinduksi oleh karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun
harus dicurigai pada pasien dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan ECG
minimal, aritmia atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat mengakibatkan
kardiomiopati dilatasi dengan tanda gagal jantung kiri. Endokarditid trombotik nonifeksi
(Libman-sacks) jarang dan seringkali tidak menimbulkan gejala, namun dapat
menimbulkan disfungsi katup mitral atau katup aorta atau embilisasi. Arterisklerosis
premature dengan angina pektrois dan infark miokardium merupakan sumber mortalitas
dan morbilitas jangka panjang yang paling serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi
glukokortikoid kronik,menopause premature, serta faktor diet dan gaya hidup dapat
menyebabkan arterosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang diindikasi dingin

11
pada jari.sering ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel ditangan dan kaki
sering tumpang tindih dengan scleroderma. Gambaran patologis yang sama pada sirkulasi
paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang namun seringkali
fatal. Sebagian besar cedera vascular trombotik pada pasien SLE dimediasi oleh antibody
antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30% pasien SLE. aPL dapat menyebabkan
thrombosis arteri dan vena spontan pada semua ukuran pembuluh darah. Keadaan
hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi protein C dan protein S, faktor V Leiden dan
antitrombin III dapat menyebabkan terjadinya trombisis, namun defisiensi faktor-faktor
ini lebih dihubungkan dengan terjadinya thrombosis vena dibandingkan trpmbosis arteri.
5. Manifestasi Paru
Pleurisy sering ditemukan pada SLE nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi dengan
bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian lain mungkin
hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru pneumonitis atau
alveolitis dan dibuktikan dengan batuk, hemoptysis, serta infiltrate paru jarang terjadi
namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan alveolus difus dapat timbul atau tanpa
pneumonitis akut dan memilik angka mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitas lupus
kronik dengan perubahan fibrotic dan paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan
perjalanan yang progresif dan prognosis yang buruk. Penyakit paru restriktif juga dapat
diakibatkan oleh perubahan pleuritik jangka panjang, miopati atau fibrosis otot
pernapasan, termasuk diafragma dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli paru
rekuren disebabkan oleh antibody antifosfilipid harus disingkirkan pada pasien dengan
gejala paru yang tidak dapat dijelaskan.
6. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan patologis
dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali tidak menimbulkan gejala
sampai glumerulonefritis membranoproliferatif difus agresif yang menuju gagal ginjal.
Gambaran klinis ditandai dengan temuan minimalis, termasuk proteinuria ringan dan
hematuria mikroskopik, sindrom nefrotik, dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia,
edema perifer, hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi atau sindrom nefritik dengan
hipertensi, sedimen eritrosit atau Kristal eritrosit pada sediaan sedimen urin dan

12
penurunan laju filtrasi glomerulus progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan
uremia. Pada kasus ini ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena
ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan proteinuria
25,00mg/dL dan leucocyte pada urin 25,00 leu/πL
7. Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan terkadang merujuk
pada SLE neuropsikiartrik atau serebritis lupus. Pasien dapat memiliki manifestasi
obyektif seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang, khorea, ataksia,
stroke dan myelitis tramsversa. Pada pasien seperti ini diagnosis dapat didukung oleh
temuan abnormal pada analisis cairan serebrospinal, seperti peningkatan kadar protein,
pleiositosi, dan /atau autoantibodi karakteristik, pada CT scan atau MRI, dapat ditemukan
lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea atau bahkan pada biopsy leptomeningeal
dengan bukti inflamasi. Gambaran alternatis lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor
yaitu psikosis. Pada kasus ini cairan serebrospinal dan pencitraan menujukkan hasil
normal dan diagnosis banding dari penysakit psikogenik primer dan/atau reaksi obat
sangat sulit untuk ditentukan. Masalah ini adalah gangguan kognitif dan kepribadian
ringan. Sakit kepala sering ditemukan dengan intesitas yang beragam. Sakit kepala lupus
yang berat dan menyerupai migren yang hanya responsive terhadap glikokortikoid
merupakan kasus yang jarang. Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi dan dapat
menggambarkan vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark pada pasien ini disuspek
lupus serbri karena penurunankesadaran.
8. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, kas untuk pasien
SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan komplikasi abdomen yang
serius. Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan dengan terapi yaitu NSAID dan
atau gastropati terkait glukokortikoid. Duodenitis dapat menimbulkan gejala. Pada kasus
jarang, vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan bedah akut. Terkadang pankreatitis
dapat merupakam gejala penyakit atau merupakan efek pengobatan. Peningkatan enzim
hati terkafdang dihubungkan dengan hepatiris noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat
dibedakan dengan hepatitis autoimun melalui gambar histologis. Peningkatan enzim hati

13
juga dapat disebabkan oleh penggunaan NSAID, azatrioprin atau metotreksat dan
penggunaan jangka panjang glukokortikoid yang dapst menyebablkan perlemakan hati
dengan peningkatan transaminase ringan.
9. Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limafadenopati difus sering merupakan temuan yang sering namun
nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat disebabkan oleh
hemolysis dengan hasil tes coombs positif, kadar haptoglobin rendah dan kadar laktat
dehydrogenase tinggi atau dengan mielosupresi. Mekanisme tidak langsung mencakup
penurunan sintesis eritropoietin dan mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus.
Hal ini dapat diperberat dengan perdarahan ringan kronik dan ketidask cukupan asupan
makanan. Leukopenia dan limfopenia sangat sering terjadi namun jarang mencapai kadar
kritis. Studi oleh Ng dkk menghungkan limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya
infeksi pada pasien SLE. Leukositosis dapat sdisebabkan oleh glukokortikoid.
Trombisitopenia ringan (100000-150000/πL) dapat disebabkan oleh antibody
antifosfolipid. Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50000/πL), disebabkan oleh
antibody antiplatelet dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya mungkindidiagnosis
sebagai purpura trombositopenik idiopatik. Pada kasus ini ditemukan kelainan atau
manifestasi hematologi sesuai dengan gambaran yang sering ditemukan pada pasien SLE.
Pada kasus ini, ditemukan gejala anemia dengan nilai haemoglobin yang rendah.
10. Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (baan sitoid) relative jarang dan merupakan temuan
nonspesifik. Konjungtivitas dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada penyakit
aktif. Mata kering dapat menunjukan tumpang tindih dengan sindrom sjogren. Kebutaan
singkat atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optic atau oklusi arteri atau vena
retina.

14
F. KLASIFIKASI

Subcommitte for systemic lupus erythematosus criteria of the America rheumatism


association diagnostic and therapeutic criteria committw tahun 1982 merevisi kreteria untuk
klasifikasi SLE.
Subcommitte ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat diantra 11 kriteria
berikut beruntun atau secara stimultan, selama sati interval observasi :
1. Ruam dibagian malar wajah
2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus dimulut
5. Setositosis (pleuritis, pericarditis)
6. Gangguan ginjal
7. Gangguan neurologis ( kejang atau psikosis )
8. Arthritis
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik,leucopenia,trombositopenia)
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear
R leonard mengusulkan jembatan keledai berikut untuk mengingat kriteria diagnosis
SLE. A Rash Points MD. Arthritis renal disease ( penyakit ginjal), ANA serositis,
Hematologi disrders, photosensitivita, oral ulcers ( ulkus dimulut) immunological
disorder,neurologic disorder, Malar rash,Discoid rash Ann Rheum Dis 2001.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronik :
1. Mencegah penurunana progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan penyakit akut,
meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan kecacatan dan mencegah komplikasi
dari terapi yang diberikan.
2. Gunakan obat-obatan antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan kortikosteroid untuk
meminimalkan kebutuhan kortikosteroid.
3. Gunakan krortikosteroid topical untuk manifestasi kutan aktif.

15
4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan dosis oral tinggil
tradisional.
5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal dan sistemik ringan dengan obat-obat
antimalarial.
6. Preparat imunosupresif (percobaan) diberikan untuk bentuk SLE yang serius

H. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Asuhan keperawatan untuk pasien SLE biasannya sama seperti asuhan keperawatan untuk
pasien penyakit reumatik (lihat” penatalaksanaan keperawatan” pada “Artritis reumatoid”).
Diagnosis keperawatan utama berfokus pada keletihan, membuat integritas kulit gangguan citra
tubuh, dan defisiensi pengetahuan.

 Pekalah terhadap reaksi psikologis pasien akibat perubahan yang terjadi dan proses
penyakit SLE yang tidak terduga; dorong pasien untuk berpatisifasi dalam kelompok
pendukung, yang dapat memberikan informasi mengenai penyakit, tips
penatalaksanaan sehari-hari, dan dukungan sosial.
 Ingatkan pasien untuk menghidari paparan sinar matahari dan sinar ultrapiolet atau
untuk melindungi diri mereka dengan tabir surya dan pakaiaan.
 Karena beberapa sistem organ berisiko tinggi terkena penyakit ini, ingatkan pasien
tentang pentingmya menjalani skrinning rutin secara berkala dan juga aktifitas untuk
meningkatkan kesehatan.
 Rujuk pasien untuk menemui ahli diet jika perlu.
 Jelaskan kepada pasien tentang pentingnya melanjutkan medikasi yang telah
diterapkan, dan memahami perubahan serta kemungkinan efek samping yang
cenderung terjadi akibat penggunaan obat tersebut.
 Ingatkan pasien tentang pentingnya menjalani pemantaaun karena mereka berisiko
tinggi mengalami gangguan sistemik, termasuk pada ginjal dan kardiovaskuler.

16
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang menujukan berbagai
manifestasi,paling sering berupa artitis. Dapat juga timbul manifestasi dikulit, ginjal dan
neorologis. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode aktivitas (ruam) dan remisi. SLE
ditegakan atas dasar gambaran klinis disertai dengan penanda serologis, khususnya beberapa
autoantibodi yang paling sering digunakan adalah antinukelar antibody ( ANA, terapi
antibody ini juga dapat ditemukan pada wanita yang tidak menderita SLE. Antibody yang
kurang spesifik adalah antibouble standed DNA antibody (anti DNA), pengukuran
bermanfaat untuk menilai ruam pada lupus. Anti-Ro, anti-La dan antibody
antifosfolipidpenting untuk diukur karena meningkatkan resiko pada kehamilan.
Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara multidisiplin. Priode aktifitas penyakit dapat
sulit untuk didiagnosa. Keterlibatan ginjal sering kali disalah artikan dengan pre-eklamsia,
tetapi temuan adanya peningkatan antibody anti DNA serta penurunan tingkat komplemen
membantu mengarahkan pada ruam.
Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan resiko keguguran.
Temuan pemeriksaan laboratorium :
1. Tes flulorensi untuk menentukan antinuclear antibody (ANA), positif dengan titer
tinggi pada 98% penderita SLE.
2. Pemeriksaan DMA double standed tinggi,spesifik untuk menentukan SLE
3. Bila titel antibobel strandar tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
4. Tes sifilis bias positif palsu pada pemeriksaan SLE.
5. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardolipin antibody) berhubungan
dengan menentukan adanya thrombosis pada pembuluh arteri, vena atau pada abortus
spontan, bayi meninggal dalam kandungan dan trombositopeni.
Pemeriksaan laboratorium ini diperiksa pada penderita SLE atau lupus meliputi darah
lengkap, laju sedimentasi darah, antibodyantinuklir (ANA), anti-AND, SLE, CRP, analyses
urin, komplemen 3 dan 4 pada pemeriksaan diagnosis yang dilakukan adalah biopsy.

17
J. KOMPLIKASI
 Ginjal
Sebagaian besar penderita menunjukan adanya penimbunan protein didalam sel-
sel tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang
menetap) pada akhirnya bias terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu
mengalami dialysis atau pencangkokan ginjal.
 Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi yang paling
sering ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan
bias terjadi pada bagaiamanapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem saraf.
Kejang, pesikosa, sindroma otak organic dan sekitar kepala merupakan beberapa
kelainan sistem saraf yang bias terjadi.
 Penggumplan darah
Kelainan darah ditemukan pada 85% penderita lupus bisa terbentuk bekuan darah
didalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru.
Jumlah thrombosis berkurang dan tubuh membentuk antibody yang melawan
faktor pembekuan darah yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
 Kardiovaskuler
Perdangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis, endocarditis maupun
miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
 Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan
tersebut timbul nyeri dada dan sesak napas.

 Otot dan kerangka tubuh


Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan
menderita arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada

18
jaringan tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang
panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri didaerah tersebut.
 Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan pangkal
hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.

K. ASUHAN KEPERAWATAN
 PENGKAJIAN
1. Anamnesis
a. Penyakit lupus eritematosus sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria,
namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan pria
b. Biasanya ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro, cina dan filiphina
c. Lebih sering pada usia 20-4- tahun, yaitu usia produktif
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra dari pasien
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu,apakah pernah menderita penyakit ginjal
atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-
fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik eritematosa menimbulkan : artaralgia/arthritis,
demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, pericarditis, bengkak pada pergelangan kaki,
kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. Keluhan-keluhan lain menyertai.
5. Riwayat Pengobatan

19
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid dan isoniazid, Dilantin, penisilamin dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakityang sama
atau penyakit autoimun yang lain
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis :
a. B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas
tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales,ronchi), nyeri saat inspirasi, produksi
sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada,suara jantung (s1,s2,s3), bunyi systolic click
(ejeksi clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur. Friction rup pericardium yang
menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang
menjadi nekrosis menunjukan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan,siku,jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan dibawah atau sisi lateral tangan.
c. B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale secara
kuantitatif dan respon otak : compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi pasien.
Seiring terjadinya depresi dan psikosis juga serangan kejang-kejang.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai filtrasi
glomelorus)
e. B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan, turgor kulit,
nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly, pembesaran limpa

20
 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidak mampuan fisik-psikososial kronis
(metastase kanker, injuri neurologis, arthritis).
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidak mampuan untuk memasukkan nutrisi karena gangguan pada mukosa mulut
4. Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu penyakit
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi

 PERENCANAAN/INTERVENSI

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


. ( NOC) (NIC)
1. Nyeri kronis berhubungan 1. Comfort level Pain management
dengan ketidak mampuan fisik- 2. Pain control 1. Monitor kepuasan
psikososial kronis (metastase 3. Pain level pasien terhadap
kanker, injuri neurologis, Tujuan : Setelah dilakukan manajemen nyeri
arthritis). tindakan keperawatan selama 2. Tingkat istirahat dan
24 jam nyeri kronis pasien tidur yang adekuat
berkurang dengan kriteria 3. Kelola antianalgesik
hasil: 4. Jelaskan pada
1. Tidak ada gangguan pasien penyebab
tidur nyeri
2. Tidak ada gangguan 5. Lakukan tehnik
konsetrasi nonfarmakologis (
3. Tidak ada gangguan relaksasi masase
hubungan punggung)
intrerpersonal
4. Tidak ada ekspresi
menahan nyeri dan
ungkapan secara
verbal
5. Tidak ada tegangan
otot

21
2 Peningkatan suhu tubuh Thermoregulasi
berhubungan dengan inflasi Tujuan : Setelah dilakukan 1. Monitor suhu
tindakan selama 24 jam sesering mungkin
pasien menunjukan kriteria 2. Monitor TD, nadi
hasil : dan RR
1. Suhu tubuh dalam 3. Monitor WBC,Hb
batas normal dan Hct
2. Nadi dan RR dalam 4. Monitor intake dan
rentang normal output
3. Tidak ada perubahan 5. Berikan antipiretik
warna kulit dan tidak sesuai advis dokter
ada pusing, pasien 6. Selimuti pasien
merasa nyaman 7. Berikan cairan
intravena
8. Kompres pasien
pada lipat paha dan
aksila
9. Tingkatkan sirkulasi
udara
10. Tingkatkan intake
cairan dan nutrisi
11. Monitor hidrasi
seperti turgor kulit,
Ketidak seimbangan nutrisi a. Nutritional status : kelembaban mukosa
3. kurang dari kebutuhan tubuh adequacty of nutrient
berhubungan dengan ketidak b. Nutritional status : 1. Kaji adanya alergi
mampuan untuk memasukkan Food and fluid intake makanan
nutrisi karena gangguan pada c. Weght control 2. Kolaborasi dengan
mukosa mulut Tujuan : Setelah dilakukan ahli gizi untuk
tindakan keperawatan Selama menentukan jumlah
2x24 jam nutrisi kurang kalori dan nutrisi
teratasi dengan indicator : yang dibutuhkan
1. Albumin serum pasien
2. Prealbumin serum 3. Ajarkan pasien
3. Hematokrit bagaimana
4. Hemoglobin membuat catatatan
5. Total iron binding makanan harian
capacity 4. Monitor adanya
6. Jumlah limfosit penurunan BB dan
gula darah
5. Monitor lingkungan

22
selama makan
6. Jadwalkan
pengobatan dan
tindakan tidak
selama jam makan
7. Monitor turgor kulit
8. Monitor kekeringa,
rambut kusam, total
protein, Hb dan
kadar Hct
9. Monitor mual dan
muntah
10. Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan jaringan
kojungtiva
11. Monitor intake nutrisi
12. Informasikan pada
pasien dan keluarga
tentang manfaat
nutrisi
13. Kolaborasi dengan
dokter tentang
kebutuhan
suplemen makanan
seperti NGT/TPN
sehingga intake
cairan yang adekuat
dapat
dipertahankan.
14. Atur posisi
semifowler tinggi
selama makan
15. Kelola pemberian
antiemetic
16. Anjurkan banyak
Kelelahan berhubungan 1. Activity tolerance minum
4
dengan kondisi fisik yang buruk 2. Energy conservation 17. Pertahankan terapi
karena suatu penyakit 3. Nutritional status IV line
energy 18. Catat adanya
Tujuan : Setelah dilakukan edema, hiperemik,

23
tindakan keperawatan selama hipertonik, papilla
2x24 jam kelelahan pasien lidah dan cavitas
teratasi dengan kriteria hasil : oral
1. Kemampuan aktivitas
adekuat 1. Monitor respon
2. Mempertahankan kardiorespirasi
nutria adekuat terhadap aktivitas
3. Keseimbangan (takikardi, disritmai,
aktivitas dan istirahat dyspnea,
4. Menggunakan teknik diaphoresis, pucat,
energy konservasi tekanan
5. Mempertahankan hemodinamik dan
interaksi social jumlah respirasi)
6. Mengidentifikasi faktor 2. Monitor dan catat
fisik dan psikologis pola dan jumlah
yang menyebabkan tidur pasien
kelelahan 3. Monitor lokasi
7. Mempertahankan ketidak nyamanan
kemampuan untuk atau nyeri selama
konsentrasi bergerak dan
aktivitas
4. Monitor intake nutrisi
5. Monitor pemberian
dan efek samping
obat depresi
6. Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang cara
meningkatkan intake
makanan tinggi
energy
7. Monitor pemberian
dan efek samping
obat depresi
8. Instruksikan pada
pasien untuk
mencatat tanda dan
gejala kelelahan
9. Jelas pada pasien
hubungan kelelahan
dengan proses
5
penyakit

24
Kerusakan integritas kulit 1. Tissue integrity : Skin 10. Dorong pasien dan
berhubungan dengan deficit and mucous keluarga
imunologi membrane mengekspresikan
2. Wound healing primer perasaannya
dan sekunder 11. Catat aktivitas yang
Tujuan : Setelah dilakukan dapat meningkatkan
tindakan keperawatan selama relaksasi
2x 24 jam kerusakan 12. Tingkatkan
integritaskulit berkurang pembatasan bedrest
dengan kriteria hasil : dan aktivitas
1. Intergritas kulit yang 13. Batasi stimulasi
baik bisa lingkungan untuk
dipertahankan (sensai, memfasilitasi
elastisitas, relaksasi
temperature, hidrasi,
pigmentasi) 1. Anjurkan pasien
2. Tidak ada luka/lesi untuk menggunakan
pada kulit pakaian yang
3. Perfusi jaringan baik longgar
4. Menujukkan 2. Hindari kerutan
pemahaman dalam pada tempat tidur
proses perbaikan kulit 3. Jaga kebersih dan
dan mencegah kering
terjadinya cedera 4. Monitor kulit akan
berulang adanya kemerahan
5. Mampu melindungi 5. Mobilasasi pasien (
kulit dan ubah posisi pasien)
mempertahankan setiap dua jam
kelembaban kulit dan sekali
perawatan alami 6. Oleskan lotion atau
6. Menunjukkan terjadi minyak pada daerah
proses penyembuhan yang tertekan
luka 7. Monitor status nutrisi
pasien
8. Monitor status nutrisi
pasien
9. Memandikan pasien
dengan sabun dan
air hangat
10. Kaji lingkungan dan
peralatan yang

25
menyebabkan
tekanan
11. Obsevasi luka :
lokas, dimensi,
kedalaman luka,
karakteristik, warna
cairan, granulasi,
jaringan nekrotik,
tanda infeksi local,
formasi traktus
12. Ajarkan pada
keluarga tentang
luka dan perawatan
luka
13. Kolaborasi ahli gizi
pemberian diet TKT,
vitamin, cegah
kontaminasi feses
dan urin
14. Lakukan teknik
perawatan luka
dengan steril
15. Berikan tekanan
pada luka

26
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang menujukan berbagai
manifestasi,paling sering berupa artitis. Dapat juga timbul manifestasi dikulit, ginjal dan
neorologis. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode aktivitas (ruam) dan remisi. SLE
ditegakan atas dasar gambaran klinis disertai dengan penanda serologis, khususnya
beberapa autoantibodi yang paling sering digunakan adalah antinukelar antibody ( ANA,
terapi antibody ini juga dapat ditemukan pada wanita yang tidak menderita SLE.
Antibody yang kurang spesifik adalah antibouble standed DNA antibody (anti DNA),
pengukuran bermanfaat untuk menilai ruam pada lupus. Anti-Ro, anti-La dan antibody
antifosfolipidpenting untuk diukur karena meningkatkan resiko pada kehamilan.
Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara multidisiplin. Priode aktifitas penyakit
dapat sulit untuk didiagnosa. Keterlibatan ginjal sering kali disalah artikan dengan pre-
eklamsia, tetapi temuan adanya peningkatan antibody anti DNA serta penurunan tingkat
komplemen membantu mengarahkan pada ruam.

B. SARAN
a.Bagi Perawat
Diharapkan kepada perawat lebih paham mengenai ventrikel septal defek.
Sehingga perawat dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien Systemic Eryithematosus Lupus.
b. Bagi Mahasiswa/i
Diharapkan kepada mahasiswa/i agar bisa lebih memahami Systemic Eryithematosus
Lupus Sehingga mahasiswa/i dapat menambah pengetahuan mengenai ventrikel septal
defek.
c. Bagi Dosen
Penyusun menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan baik dari segi materi maupun bahasanya. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan demi
kesempurnaan pembuatan makalah di masa yang akan datang.

27
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/34042189/ASKEP_LUPUS_ERITEMATOSUS_SISTEMIK_LES_1_

https://www.academia.edu/38153956/ASKEP_SLE_doc

Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing Interventions Classifivation (NIC) fifth
edition. St. Louis: Mosby Elseiver.

Herdman, T. Heather. (2012). NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions & Classification
2012-2014. UK: Wiley‐Blacwell, A John Wiley & Sons Ltd

Brunner dan Suddarth.2016.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta : EGC

28

Anda mungkin juga menyukai