PENASEHAT:
Pimpinan Komite I DPD RI
Sekretaris Jenderal DPD RI
Wakil Sekretaris Jenderal DPD RI
PENANGGUNGJAWAB:
Adam Bachtiar. SH., MH.
Dra. Mesranian, MDev.Plg.
Indra Hardiansyah, S.IP., MM.
Muhamad Ilham Nur Rizal, SH
PENULIS:
Tim Kerja RUU Pengadilan Agraria
Dr. Moh. Fadli, SH., MH.
Dr. Fendi Setyawan, SH., MH.
Dr. Jazim Hamidi, SH., MH.
Drs. Idham Arsyad, M. Ag.
EDITOR:
Yance Arizona, SH, MH
Dr. Moh. Fadli, SH., MH.
Wahyu Taufik, SH
Betria Eriani, SE
ILUSTRATOR
Haris Agustin
Muhammad Sidik Permana
Budi Pratama
Kiki Yanuar Setiawan
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Kata Pengantar Ketua Komite I DPD RI …………………….6
Pengantar Editor: Pengadilan Agraria dan Pemulihan Hak
Kewarganegaraan ………………………………………… 8
BAB I PENDAHULUAN........................................................ 15
A. Problematika Akut Sengketa Agraria ........................... 15
B. Pertanyaan/Masalah Pokok (Crusiel Question) ............. 23
C. Tujuan dan Kegunaan Pembentukan Pengadilan
Agraria…………………….............................................. 23
3
A. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945............ 46
B. TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam............................ 48
C. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria.......................................... 54
1. Latar Belakang Pengaturan Undang-Undang Pokok
Agraria....................................................................... 54
2. Dasar-Dasar Hukum Agraria Nasional........................56
3. Dasar-Dasar untuk Mengadakan Kesatuan dan
Kesederhanaan Hukum Pertanahan
............................................. 65
4. Dasar-Dasar untuk Menciptakan Kepastian Hukum.. 67
D. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman................................................ 67
E. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan
Perubahan Kedua dengan Undang-Undang 3 Tahun
2009..............................................................................70
F. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua
dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009...........76
4
............................... 93
A. Paradigma yang Dibangun .............................................. 93
B. Ruang Lingkup dan Materi Muatan RUU Pengadilan Agraria
.................................. 93
1. Ketentuan Umum
2. Asas
3. Kedudukan dan Tempat Kedudukan
4. Lingkup Kewenangan
5. Susunan Pengadilan Agraria
6. Hukum Acara
7. Transparansi dan Akuntabilitas
DAFTAR PUSTAKA
5
Sengketa dan konflik agraria telah terjadi di banyak tempat di penjuru
negeri. Permasalahan ini bukanlah permasalahan sambil lalu yang bisa
diabaikan begitu saja. Permasalahan sengketa dan konflik agraria telah
mengakibatkan banyak korban yang kehilangan tanah, tempat tinggal,
mata pencaharian, keluarga dan menjadikan beban hidup menjadi semakin
berat. Padahal tujuan negara ini dibentuk,, sebagaimana diamanatkan
dalam pembukaan UUD 1945, adalah untuk melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu, upaya untuk
menyelesaikan segala macam sengketa dan konflik agrarian yang
menyebabkan penderitaan anak bangsa, merupakana upaya untuk
mencapai cita-cita konstitusi dan oleh karena itu pula perlu dijadikan
sebagai agenda konstitusional.
Dalam menjalankan kewenanganya pengawasan yang dimiliki, DPD RI
telah berkali-kali menerima laporan dari konstituen dari berbagai daerah
mengenai permasalahan sengketa dan konflik agrarian yang dialaminya.
Baik itu berkaitan dengan persoalan kehutanan, pertambangan, kelautan,
perkebunanan dan kegiatan pertanian lainnya. Bahkan pada tahun 2013
DPD RI merespons berbagai permasalahan sengketa dan konflik agrarian
tersebut dengan membentuk Panitia Khusus Konflik Agraria dan Sumber
Daya Alam DPD RI. Hasil dari kerja panitia tersebut kemudian diputuskan
dalam Keputusan DPD RI No. 63/DPD RI/IV/2012-2013. DPD RI sangat
menyadari bahwa eskalasi konflik keagrariaan yang semakin meningkat
dan meluas memerlukan segera upaya penyelesaian sengketa secara
menyeluruh, sistematis, berkepastian hukum, dan berkeadilan. Fakta
menunjukkan bahwa ketiadaan mekanisme dan lembaga khusus yang
menangani konflik agraria secara pasti, telah mendorong timbulnya
kekerasan dalam setiap konflik agraria. Oleh karena itu, DPD RI kemudian
menyiapkan RUU tentang Pengadilan Agraria untuk mengisi situasi kosong
dan kurang memadainya institusi hukum yang ada untuk menyelesaikan
sengketa dan konflik agraria.
Buku yang ada ditangan Anda ini merupakan kristalisasi dari gagasan
rakyat Indonesia yang disampaikan melalui DPD RI untuk membentuk
pengadilan khusus yang menangani masalah sengketa dan konflik agraria
6
yang telah disusun ke dalam naskah akademik. Naskah akademik RUU
Pengadilan Agraria kemudian disunting untuk menjadi sebuah buku
sehingga lebih mudah dibaca dan dipahami oleh masyarakat, para
pengambil kebijakan dan juga para akademisi untuk bisa melakukan kajian
yang lebih dalam mengenai gagasan untuk pembentukan Pengadilan
Agraria.
Atas terbitnya buku ini kami mengucapkan terimakasih kepada
seluruh anggota DPD RI, terutama Komite I DPD RI dan juga Panitia
Khusus Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam DPD RI. Kami juga
berterimakasih kepada para staf ahli, akademisi, organisasi
nonpemerintahan dan masyarakat yang telah memberikan masukan yang
sangat berarti dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh DPD RI
untuk menyusun RUU Pengadilan Agraria. Semoga buku ini semakin
meningkatka kesadaran akan pentingnya untuk segera membentuk
pengadilan khusus untuk yang memiliki kewenangan menyelesaikan
sengketa dan konflik agraria agar mampu menjadi institusi yang efektif
guna mencapai keadilan agraria.
Pengantar Editor:
Pengadilan Agraria dan Pemulihan Hak
Kewarganegaraan
7
Sengketa dan konflik agraria semakin massif dan meluas. Masih segar
dalam ingatan kita bagaimana konflik di Mesuji, Lampung pada tahun 2012
yang berujung pada tewasnya sejumlah pihak yang bertikai. Baru-baru ini
di Karawang petani menolak eksekusi 350 Ha lahan tempat mereka hidup
dan mencari penghidupan yang dilakukan atas dalih melaksanakan
putusan pengadilan yang memenangkan PT. Sumber Air Mas Pratama
(SAMP) yang telah diakuisisi oleh PT Agung Podomoro Land (APL) atas lahan
masyarakat. Kekerasan dan intimidasi tak terelakan. Masyarakat
berhadapan dengan sekitar 7.000 aparat bersenjata lengkap hendak
melakukan eksekusi. Sembilan petani dan empat buruh yang melakukan
aksi menolak eksekusi ditangkap, 10 buruh, lima petani dan satu
mahasiswa luka-luka, satu petani diantaranya luka tembak serta puluhan
lainnya luka-luka.
Protes masyarakat hadir karena mereka menilai putusan pengadilan
tidak adil karena mengusir mereka yang telah tinggal lama disana,
membangun kampong menjadi desa definitif dan mempunyia perangkat
desa, fasilitas umum dan sosial untuk masyarakat yang berjumlah 420 KK.
Tak berapa lama setelah bentrok antara petani dengan pihak keamanan
dalam proses eksekusi, pada tanggal 17-18 Juli 2014 Komisi
Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan terhadap
Bupati Karawang (Ade Swara) bersama istri dan enam orang lainnya
termasuk pihak perwakilan dari PT. Agung Podomoro Land. Tangkap tangan
itu terkait dugaan gratifikasi dalam pengurusan izin tata ruang untuk
mempergunakan tanah yang sedang mengalami konflik dengan petani.
Operasi ini menunjukan bahwa permasalahan dibalik permasalahan konflik
agraria ada saja pihak-pihak yang melakukan cara kotor untuk
mengalahkan masyarakat.
Pada waktu yang hampir bersamaan, sejumlah ibu-ibu di Kabupaten
Rembang melakukan protes terhadap perusahaan PT. Semen Gresik
(sekarang PT. Semen Indonesia) yang melakukan operasi pembukaan
tambang karst di pengunungan Kendeng yang hanya berjarak 500 meter
dari pemukiman dan lahan pertanian mereka. Pasti pembangunan pabrik
semen itu akan berdampak kepada masyarakat sekitar yang akan
8
menghirup debu-debu yang hinggap di atas rumah dan ditanaman-tanam
hasil pertanian mereka.
Situasi konflik ini masih menunjukan bahwa hukum belum mampu
tampil menjadi kekuatan penyeimbang antara orang kecil dihadapan
penguasa. Malah seringkali institusi hukum melegitimasi tindakantindakan
yang tidak memihak kepada orang kecil. Hal ini sekaligus memberikan
penegasan bahwa institusi penegakan hukum belum memadai untuk
menyelesaikan permasalahan sengketa dan konflik agraria yang semakin
massif dan meluas.
Kurang memadainya institusi penegak hukum untuk menyelesaikan
sengketa dan konflik agraria itu kemudian membuat DPD RI mengambil
inisiatif untuk menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan
Agraria. Pengadilan Agraria diharapkan bisa menjadi salah satu solusi
untuk menyelesaikan sengketa dan konflik agraria dan memberikan
keadilan agraria sebagaimana dikehendaki oleh Pancasila dan UUD 1945.
Beberapa hal pokok yang menjadikan Pengadilan Agraria ini baru dan
relevan untuk menyelesaikan masalah sengketa dan konflik agraria
sehingga menjadi argumen yang diajukan di dalam buku ini antara lain: 1
Pertama, adanya penegasan bahwa penyelesaian sengketa dan konflik
agraria merupakan tuntutan pemenuhan jaminan konstitusional mengenai
keadilan agraria sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Keberadaan pengadilan agraria merupakan sarana
untuk memenuhi janji konstitusi agar sumber-sumber agraria bisa
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
11
Lihat Bab I bagian pendahuluan untuk penjelasan lebih lanjut mengenai relevansi Pengadilan Agraria.
Kedua, secara sosiologis meluasnya konflik agraria dengan segala
dampak yang ditimbulkanya pertanda sebuah kegagalan berfungsinya
lembaga-lembaga peradilan yang ada sekarang dalam menyelesaikan
sengketa dan/atau konflik agraria. Penciptaan Pengadilan Agraria
merupakan gagasan baru yang tidak berarti menghidupkan Pengadilan
Landreform yang pernah dibuat untuk menyelesaikan masalah-masalah
9
yang terjadi karena pelaksanaan program landreform pada tahun 1960-an.
Pengadilan Agraria dibentuk untuk merombak struktur peradilan sehingga
diharapkan pada masing-masing daerah akan ada pengadilan khusus yang
dikelola oleh orang yang ahli di bidang agraria untuk menyelesaikan
masalah-masalah berkaitan dengan sengketa dan konflik agraria.
Ketiga, gagasan pembentukan Pengadilan Agraria diiringi dengan
paradigma baru dalam melihat konflik agraria, bukan lagi sebagai masalah
yang bersifat ordinary melainkan sudah menjadi masalah yang bersifat
extra ordinary. Oleh karena itu, untuk menjawab masalah yang extra
ordinary dibutuhkan langkah-langkah yang extra ordinary yakni perlu
adanya sebuah Pengadilan Agraria yang memiliki kekhususan
dibandingkan dengan mekanisme yang sudah ada selama ini.
Keempat, kehadiran Pengadilan Agraria yang dibangun sebagai
peradilan yang transparan dan kredibel akan menghadirkan penerimaan
masyarakat. Hal ini memiliki korelasi dengan problem psikologis dan
prosedural. Problem psikologis sebenarnya sangat erat kaitannya dengan
akseptabilitas sosial khususnya “endangered community”. Problem
psikologis ini sangat penting untuk dipecahkan terutama ketika kemudian
menghadapkan masyarakat yang masuk dalam “endangered community”
dihadapkan pada sebuah kosa kata peradilan yang berdasarkan
pengalaman dalam bersentuhan dengan “peradilan“ selama ini pandangan
masyarakat terhadap “peradilan” relatif tidak begitu baik. Dalam kata lain
tingkat kepercayaan masyarakat pada putusan pengadilan masih dirasakan
belum memenuhi rasa keadilan. Oleh karena itu, kehadiran sebuah
institusi pengadilan dengan pendekatan baru akan memberikan harapan
kepercayaan kepada masyarakat.
10
hukum karena adanya perselisihan mengenai hak atau kepentingan terkait
penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan sumber daya agraria.
Dalam kaitannya dengan perkara agraria, sengketa dibagi dalam dua
jenis yaitu sengketa hak dan sengketa kepentingan. Penjelasan tentang
kedua sengketa ini sebagai berikut:
11
dihadirkan untuk mengadili masalah tanah pertanian, tetapi juga yang
berkaitan dengan kehutanan, perairan, dan pertambangan.
12
Pada umumnya pengadilan yang bersifat perdata memberikan beban
pembuktian kepada pihak yang mengajukan gugatan. Siapa yang
menggugat dialah yang harus mengajukan bukti dan dalil-dalil dari
gugatannya. Namun berbeda dalam pengadilan agraria, khususnya untuk
sengketa kepentingan (konflik agraria), beban pembuktian bisa dikenakan
kepada pihak tergugat. Dalam hal ini misalkan ketika satu kelompok
masyarakat sedang mengalami sengketa kepentingan (konflik agraria)
karena wilayah mereka diklaim oleh Kementerian Kehutanan sebagai
kawasan hutan, maka kelompok masyarakat itu bisa mengajukan gugatan
kemudian pihak kementerian kehutanan terlebih dahulu harus
memaparkan bukti secara sahih bahwa wilayah yang diklaimnya itu secara
procedural telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan melibatkan partisipasi masyarakat. Diterimanya pembebanan terbalik
pembuktian atau dikenal pula dengan asas pembuktian terbalik merupakan
terobosan hukum yang paling mendasar dalam sistem hukum Indonesia.
Memulihkan kewarganegaraan
Gagasan untuk melahirkan pengadilan agraria harus diletakan pada
konteks sosial dimana permasalahan sengketa dan konflik agraria telah
berlangsung semakin massif dan meluas. Negara harus hadir melakukan
intervensi untuk mengatasi hal tersebut sebelum situasi lebih jauh tampil
dalam bentuk keresahaan agraria yang semakin parah. Tugas pemerintah
untuk menghadirkan mekanisme penyelesaian permasalahan agraria
merupakan langkah strategis untuk memenuhi jaminan keadilan sosial dan
keadilan agraria yang terdapat di dalam Pancasila dan UUD 1945. UUD
1945 telah memberikan dasar bahwa hak milik atas tanah, hak
mendapatkan manfaat, penghidupan yang layak serta memperoleh manfaat
dari penggunaan sumber-sumber-sumber agraria merupakan hak
konstitusional warga negara. Penegasan bahwa hak atas tanah dan sumber
daya agraria lainnya merupakan hak warga negara merupakan fondasi
penting untuk melakukan penataan hubungan antara rakyat dan negara.
Ketika hak atas tanah sumber daya agraria lainnya merupakan hak warga
negara, maka secara timbal balik adalah kewajiban dari negara untuk
13
menghormati, melindungi dan memenuhi hak warga negara tersebut.
Dengan demikian, negara harus mengambil langkah-langkah strategis
terhadap pelanggaran hak warga negara atas tanah dan sumber-sumber
agraria lainnya.
Inisiatif DPD RI untuk melalukan perancangan Undang-Undang Pengadilan
Agraria merupakan upaya untuk menghadirkan negara sebagai pihak yang
memiliki tanggungjawab dalam menyelesaikan sengketa dan konflik agraria.
Dalam diskursus hak asasi manusia, pembentukan pengadilan sebagai
sarana untuk menegakan hak asasi manusia merupakan langkah untuk
membuat hak asasi manusia menjadi dapat dibenarkan (justifiable).
Pembentukan Pengadilan Agraria telah sejalan dengan semangat yang
menghargai hak asasi manusia dan negara hukum yang telah disepakati
sebagai sendi dari pembangunan Republik Indonesia. Melihat konteks
permasalahan sengketa dan konflik agraria yang semakin
mengkhawatirkan, maka pembentukan Pengadilan Agraria haruslah
menjadi prioritas pemerintahan yang berkuasa.
Penyunting
Yance Arizona
BAB I PENDAHULUAN
1 Lebih lanjut periksa Nur Aini Setiawan, Dari Tanah Sultan Menuju
Tanah Rakyat: Pola Pemilikan dan Sengketa Tanah Di Kota Yogyakarta
Setelah Reorganisasi 1917, Sains Sajogyo Institute – STPN Press,
Yogyakarta, 2011, hlm. 64-133.
14
pertanahan antara masyarakat dengan masyarakat (individu maupun
kolektif) dan antara individu/masyarakat dengan penguasa. Lembaga
pengadilan tersebut sengaja dibentuk dan disediakan bagi para pencari
keadilan bumi putera (in-landers) atas sumber daya agraria yang
disengketakan di antara mereka. Mekanisme penyelesaian sengketa pada
lembaga pengadilan tersebut diselesaikan oleh hakim lokal yang terdiri dari
para pemimpin masyarakat adat, tokoh petani, maupun tokoh masyarakat
sendiri dan tunduk pada sub-sistem hukum adat (het adat rechts). Model
penyelesaian sengketa agraria ini dipilih karena dianggapnya lebih
memenuhi rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat waktu itu.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Orde Lama pernah
memberlakukan program landreform secara terbatas sebagai implementasi
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disebut UUPA) beserta peraturan pelaksanaannya.
Pada waktu itulah dibentuk Pengadilan landreform melalui Undang-Undang
No. 21 Tahun 1964 yang bersifat khusus mengadili sengketa yang timbul
dari pelaksanaan program landreform. Namun sayang lembaga pengadilan
tersebut usianya tidak lama dan akhirnya dihapus pada tahun 1970 oleh
pemerintah Orde Baru karena dipandang menghambat program
18
aktivitas perusahaan maka tanpa disadari akan melahirkan sebuah konflik
dalam pengelolaan sumber daya alam. Kondisi ini, menstimulasikan
terjadinya resistensi dari masyarakat terhadap kehadiran perusahaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Komite I DPD-RI memandang perlu
menyusun Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria yang secara
khusus akan mengatur dan menangani sengketa dan konflik agraria.
Keberadaan pengadilan khusus ini selain bertujuan untuk mendapatkan
kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa, juga untuk menyelesaikan
berbagai konflik agraria secara berkeadilan dengan menjunjung tinggi
hakhak masyarakat sehingga tujuan dari penguasaan negara atas
sumbersumber agraria untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan
bangsa Indonesia dapat tercapai.
Penyusunan RUU Pengadilan Agraria telah menjadi keputusan dalam
Rapat Pleno Komite I DPD-RI yang didasari berbagai pertimbangan:
Pertama, banyaknya laporan dan pengaduan konflik agraria yang diterima
oleh DPD RI yang tidak mendapatkan penanganan yang serius, menyeluruh
dan berkeadilan. Bahkan kecenderungan yang terjadi adalah penanganan
konflik bersifat parsial atau kasuistik dan tidak menyentuh pada akar
persoalan konflik.
Kedua, konflik agraria adalah situasi yang extra-ordinary sehingga
perlu penanganan yang juga bersifat extra-ordinary. Disebut extra-ordinary
karena konflik agraria yang bersifat struktural, dimana pihak yang
berkonflik banyak melibatkan antara masyarakat atau komunitas dengan
badan-badan usaha milik swasta maupun pemerintah. Ketiga, salah satu
rekomendasi Pansus Agraria dan Sumber Daya Alam DPD RI yang penting
diperhatikan terkait dengan penyelesaian konflik agraria di masa
mendatang adalah melakukan kajian pembentukan pengadilan khusus
agraria. Hal ini, selain untuk mendapatkan kepastian hukum, keberadaan
pengadilan khusus ini juga untuk menyelesaikan berbagai konflik agraria
secara berkeadilan dengan menjunjung tinggi hak-hak masyarakat sehingga
tujuan dari penguasaan negara atas sumber-sumber agraria untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia dapat
tercapai.
19
Argumen-argumen pokok perlunya pembentukan Pengadilan Agraria
ini adalah: Pertama, adanya tuntutan pemenuhan prinsip fundamental
kehidupan manusia yaitu sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Artinya secara filosofis, DPD RI merasa
berkewajiban memperjuangkan keberhasilan mewujudkan pendirian
Pengadilan Agraria ini. Kedua, fakta sosiologis menunjukkan bahwa
meluasnya konflik agraria dengan segala dampak yang ditimbulkanya
pertanda sebuah kegagalan berfungsinya lembaga-lembaga peradilan yang
ada sekarang dalam menyelesaikan sengketa dan/atau konflik agraria.
Realitas tersebut dapat dimaknai bahwa peran pemerintah (melalui lembaga
peradilan) di masa lalu atas desakan kekuatan-kekuatan pemilik modal
dalam penyelesaian sengketa dan/atau konflik agraria yang “timpang” itu,
merupakan refleksi dari ketidak-mampuan tata kelola kehidupan bernegara
yang demokratis atau jauh dari penegakan prinsip-prinsip negera yang
berdasarkan hukum (rechtsstaat).
Penciptaan Pengadilan Agraria tidak berarti menghidupkan kembali
UU No. 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform, tetapi lebih
mengacu kepada corak-corak sengketa dan model penanganannya. 7
Manakala sengketa pertanahan atau agraria hanya dijadikan bagian dari
penyebab terjadinya tindak pidana atau hanya sekedar menjadi persoalan
perdata, makna tanah sebagai sumber kehidupan yang memiliki dimensi
sosial-politik-ekonomi-religius menjadi hilang. Padahal keempat ciri ini
tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia yang
berhubungan dengan tanah dan/atau sumber-sumber agraria lainnya.
Konflik agraria yang saat ini terjadi dan masih terus terjadi sudah turut
membantu menguak sisi gelap hubungan ketatanegaraan di Indonesia
selama masa Orde Baru. Sehingga penciptaan Pengadilan Agraria yang
21
pengalaman dalam bersentuhan dengan “peradilan“ selama ini pandangan
masyarakat terhadap “peradilan” relatif tidak begitu baik. Dalam kata lain
tingkat kepercayaan masyarakat pada putusan pengadilan masih dirasakan
belum memenuhi rasa keadilan.
Oleh karena itu, adalah penting memikirkan bagaimana membangun
social capital menjadi persetujuan (accord) lahirnya dan operasionalisasi
Pengadilan Agraria. Problem prosedural memiliki keterkaitan dengan
bagaimana strategi mengembangkan Pengadilan Agraria dengan proses dan
tahapan yang bisa diterima (socially aceptable). Artinya bagaimana proses
dan tahapan tersebut tidak sekedar ditentukan secara legalistik-positivistik
namun proses dan tahapan yang dibangun memang kredibel.
Berkenaan dengan poin kedua, tentang substansi yang harus
direspons oleh Pengadilan Agraria sangat dipengaruhi oleh bagaimana
membaca konflik agraria. Idealnya, Pengadilan Agraria mampu menjadi
wahana dalam menjawab problem ketimpangan struktur agraria yang
diyakini memberikan kontribusi yang signifikan timbulnya kemiskinan
struktural. Jadi secara yuridis konstitusional kehadiran Pengadilan Agraria
adalah sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 33
Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan telah diatribusikan oleh UU No. 5 Tahun
1960 tentang Peratuan Dasar Pokok-pokok Agraria.
22
4. Apa politik hukum yang akan diwujudkan dalam pembentukan RUU
tentang Pengadilan Agraria?
23
menangani penyelesaian sengketa keagrariaan dengan prinsip cepat,
sederhana, dan biaya murah.
A. Diskursus Teoretis
1. Agraria dan Sumber Daya Alam dalam Pengaturan Hukum Agraria
Istilah “agraria” bila dirunut dari kata asalnya, yakni ager atau agri yang
berarti ladang atau sebidang tanah, dan dalam arti yang jamak bisa berarti
pedusunan atau pun daerah. Bachriadi dan Wiradi 8 melihat “agraria”
sebagai wilayah pertanian, atau sepetak sawah yang di dalamnya terdapat
tanaman, air, mineral dan pemukiman. Sedangkan Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) menggunakan istilah ”sumber-sumber Agraria” yang
mempunyai arti semua bagian bumi yang mampu memberi penghidupan
bagi manusia yang meliputi perut bumi, tanah, air, udara maupun
tumbuhtumbuhan yang terdapat di atasnya. 9 Pengertian ini menunjukkan
bahwa “agraria” mengandung makna yang lebih luas dibandingkan istilah
pertanahan.
Soesangobeng membedakan antara hukum pertanahan dengan
hukum agraria. Hukum pertanahan merupakan ‘lex generalis’ sedangkan
8 DiantoBachriadi& Gunawan Wiradi, 2011. Enam Dekade Ketimpangan; Masalah
Penguasaan Tanah di Indonesia. Jakarta: Bina Desa, ARC dan KPA, hal. 1.
9 Lebih jauh lihat, Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999. Usulan Revisi UUPA. KPA,
hal. 5.
24
hukum agraria adalah ‘lex specialis’ dalam hubungan pemilikan dan
pengolahan tanah. Menurutnya, hukum pertanahan memuat filosofi, asas,
ajaran dan teori tentang norma-norma dasar pertumbuhan serta perolehan
hak kepemilikan tanah sebagai benda yang menjadi objek harta kekayaan.
Sedangkan hukum agraria, merupakan pelaksanaan norma-norma hukum
pertanahan, tentang penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagai benda
tidak tetap yang melahirkan hak perorangan untuk menikmati hasil tanah
baik oleh masyarakat maupun orang pribadi yang hak disebut sebagai hak
agraria.10
Terkait dengan berbagai pengertian agraria tersebut di atas, maka
naskah akademik ini merujuk pada pengertian agraria sebagaimana diatur
dalam Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA disebutkan
bahwa objek yang diatur oleh hukum agraria di Indonesia meliputi: “bumi,
air, udara/ruang angkasa, dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas
pemukaan tanah dan di dalam perut bumi”. 11 Ditinjau dari wujudnya secara
fisik, objek hukum itu dapat berupa tanah, air, udara, mineral dan energi,
serta seluruh jenis tumbuhan dan binatang, termasuk yang berbentuk
mikro-organisme.
Seiring dengan telah dikeluarkannya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, maka secara subtansial istilah “agraria”
dan “sumber daya alam” mempunyai hubungan yang sangat erat. Sehingga
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam merupakan
pekerjaan yang saling terkait dan berhubungan karena keduanya bertujuan
untuk mencapai kemakmuran bersama, kesejahteraan, keadilan dan
keberlanjutan.
Jika dikaitkan dengan pemanfaatan dan konservasi sumber daya
alam bagi kesejahteraan, keadilan, dan keberlanjutan, maka tinjauan
terhadap sumber daya alam (SDA) dapat dilihat dari dua sisi, yakni:
Pertama, hubungan antara kelompok sosial dengan SDA, dan hubungan
antara manusia dengan berbagai wujud dari SDA. Hubungan-hubungan
10 Herman Soesangobeng, 2012. Folosofi, Azas, Ajaran dan Teori Hukum Pertanahan
dan Keagrariaan Indonesia, Jakarta , hal. 5-6.
11 Lihat Pasal 2 UUPA No.5 Tahun 1960.
25
tersebut sebenarnya adalah sifat penguasaan manusia serta pemanfaatan
SDA yang dicakup dalam pengertian agraria. Dengan demikian, pengertian
agraria tidak terbatas pada aspek fisik tanah dan SDA lainnya, melainkan
termasuk di dalamnya aspek-aspek penguasaan manusia dan pemanfaatan
atas SDA tersebut.
Kedua, hubungan yang terjadi secara alamiah antar wujud SDA yang
mempunyai manfaat untuk memelihara integritas komunitas, habitat dan
ekosistem biologis, serta manfaat untuk menunjang proses ekologis biologis,
serta manfaat untuk menunjang proses ekologis yang penting seperti
pembentukan zat hara, arus penyerapan limbah, imigrasi satwa, serapan
dan aliran air, dan lain-lain. Hubungan-hubungan ini terjadi dalam
wilayah-wilayah yang secara alami terbentuk seperti wilayah daerah aliran
sungai, wilayah habitat hewan, wilayah pesisir dan pulau kecil, dan lain-
lain yang masing-masing mempunyai kondisi dan karateristik tersendiri. 12
Oleh karena itu, penggunaan istilah agraria di sini lebih menukik
pada penguasaan dan pemanfaatan tanah yang menjadi wadah dari
keberadaan SDA lainnya. Sedangkan titik tolak pengelolaan SDA adalah
pola pemanfaatan SDA yang terkandung dalam tanah tersebut. 14 Dengan
demikian penyelesaian konflik agraria di masa mendatang haruslah
memperhatikan keterkaitan dari agraria dan sumber daya alam. Konflik
agraria tidak hanya selalu berkaitan dengan tata kuasa (penguasaan atas
tanah), tetapi juga mencakup tata guna dan tata produksi dari tanah dan
kekayaan alam atau sumber-sumber agraria.
2. Hubungan-Hubungan Agraria
Sumber-sumber agraria merupakan anugerah Tuhan YME yang
fundamental dan vital untuk kelangsungan kehidupan umat manusia. Bagi
rakyat Indonesia, sumber-sumber agraria mempunyai arti dan fungsi yang
sangat luas, selain mempunyai fungsi ekonomi, sumber-sumber agraria
juga mempunyai arti secara sosial, politik, budaya dan bahkan religius. Hal
ini bermakna bahwa sumber-sumber agraria selain merupakan faktor
12 KSPA, Pokja PSDA dan KPA, 2001. Meneguhkan Komitmen
Mendorong Perubahan: Argumen-argumen dan usulan Ketetapan MPR RI
tentang Pelaksanaan Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya
Alam yang Adil dan Berkelanjutan, hal. 3 14Ibid, hal. 5.
26
produksi secara ekonomi, juga sebagai landasan struktur sosial yang
utama. Karena itu, penguasaan atas sumber-sumber agraria akan
berimplikasi pada akumulasi kekuasaan yang lebih luas, baik ranah fisik
maupun sosial. Penguasaan atas sumber-sumber agraria bukan hanya
membentuk aset, tetapi menjadi dasar perolehan kuasa-kuasa ekonomi,
sosial dan politik.13
Hal ini bermakna bahwa dalam setiap sumber agraria selalu disertai
hubungan-hubungan agraria yang kompleks. Menurut Wiradi, dalam
masyarakat agraris selalu ditandai dengan hubungan pokok antara mereka
yang mencurahkan tenaganya untuk berproduksi dengan mereka yang
tidak berproduksi langsung tetapi mengklaim sebagian dari hasil produksi
tersebut baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar penguasaan
mereka terhadap berbagai macam sarana atau alat produksi. 14 Dalam hal
ini, salah satu persoalan mendasar yang perlu diperhatikan dalam
hubungan-hubungan agraria yang berlangsung adalah penguasaan dan
pemanfaatan atas sumber-sumber agraria, khususnya tanah.
Kompleksitas hubungan-hubungan agraria (khususnya penguasaan
dan pemanfaatan tanah) karena bukan hanya menyangkut hubungan
manusia dengan tanah, melainkan juga menyangkut hubungan manusia
dengan manusia. Hubungan manusia dengan tanah hanya akan bermakna
jika terjadi proses aktivitas atau kerja dalam bentuk kegiatan penggarapan
dan penguasaan lahan. Dalam proses produksi inilah akan melahirkan
hubungan-hubungan lain antara manusia dengan manusia, misalnya
hubungan antara pemilik tanah dengan penggarap, antara penyakap dan
buruh tani, antara sesama buruh tani, dan sebagainya.
Sejalan dengan itu, terdapat dua jenis hubungan dalam hubungan
manusia menguasai dan memanfaatkan sumber-sumber agraria, yaitu:
Pertama, hubungan teknis pengelolaan sumber-sumber agraria melalui
aktivitas produksi. Kedua, hubungan sebagai subjek agraria (masyarakat,
negara dan swasta) yang terlibat baik secara langsung maupun tidak
3. Struktur Agraria
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa masalah agraria
sangatlah kompleks, yakni hubungan antara subyek-subyek agraria dengan
sumber–sumber agraria baik secara teknis maupun secara sosial.
Kompleksitas hubungan inilah yang membentuk sebuah struktur agraria.
Oleh karena itu, strutkur agraria dapat digambarkan sebagai hubungan
segitiga antara subyek agraria (masyarakat, negara dan swasta) yang
berpusat pada obyek agraria (tanah, air, udara dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya).
Suatu struktur agraria sesungguhnya menggambarkan hubungan
yang terbangun dari bentuk-bentuk penguasaan dan pemilikan tanah.
Menurut Cohen,16 secara umum ada dua kelompok besar di dalam
masyarakat agraris, yaitu : Pertama, sekelompok kecil tuan-tuan tanah dan
15 Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin, 2005 ibid, hal. 4. Pandangan
keduanya didasarkan atas pendapat (Sitorus 2002)
16 S. I. Cohen, 1978. Agrarian Structure and Agrarian Reform. Martinus Nijhoff Social
Sciences Division. Leiden/Boston, hal. 17-19.
28
petani besar, dan kedua adalah sekelompok besar petani penyakap, petani
kecil dan buruh tani tak bertanah. Menurutnya, hubungan diantara
kelompok-kelompok ini menjadi penentu utama dari berbagai sikap petani
terhadap pembaruan agraria dan sekaligus menentukan berhasil atau
tidaknya suatu program pembaruan.17
Cohen menggambarkan lebih jauh bahwa secara tradisional struktur
agraria dalam pemilikan tanah dibedakan ke dalam empat tipe, yakni : 1)
Tipe komunal Afrika. 2) Tipe penguasaan Asia, 3) Tipe penguasaan tanah
Amerika Latin, dan 4) Tipe Perkebunan. Tipe komunal Afrika terdapat
kelompok-kelompok kesukuan di Afrika, dimana tanah merupakan
penguasaan bersama (common property) dan akses kepada tanah relatif
tidak dibatasi. Pada tipe Asia, dasar utamanya adalah pemilik-penggarap,
penyewa-penggarap, dan petani penyakap bagi hasil.
Pada tipe Amerika Latin, meskipun terdapat pemilik-penggarap,
penyewa-penggarap dan penyakap tetapi bentuk perkebunan yang disebut
sebagai “latifindio” sangat dominan. Latifindio merupakan unit penguasaan
tanah secara politik, pemilikannya bersifat guntai dan dikelola
pegawaipegawai yang digaji serta digarap oleh petani yang berstatus semi-
hamba. Sedangkan pada tipe perkebunan, merupakan pemilikan tanah
dalam skala luas yang dimiliki oleh pengusaha swasta baik asing maupun
domestik. Penggunaan tanahnya bersifat intensif dan monokultur serta
diproduksi untuk komersial dan umumnya untuk kepentingan ekspor. 18
Empat tipe ini meskipun masih banyak bertahan, tetapi mulai banyak
berubah karena adanya perubahan struktural akibat pembangunan. Kini
muncul bentuk-bentuk baru dari penguasaan tanah, yakni tipe pertanian
kapitalis modern yang tersebar luas. Tipe pertanian kapitalis modern ini
luas penguasaan tanahnya beragam. Pertanian ini dikerjakan secara
intensif untuk kepentingan komersial dan dikerjakan oleh tenaga kerja
bayaran. Tipe lainnya yang kurang tersebar adalah pertanian koperasi dan
pertanian negara.19
4. Konflik Agraria
Kata “konflik” mempunyai makna lebih luas ketimbang kata “sengketa”.
Kata “sengketa” memiliki skala lebih kecil, menyangkut pertentangan hak
yang nyata antara satu pihak dengan pihak lainnya, dan pada umumnya
diselesaikan lewat jalur-jalur yang disediakan secara hukum. Sementara
konflik agraria didefinisikan sebagai perbedaan atau pertentangan orang
atau komunitas atas penguasaan maupun pengelolaan tanah dan sumber
daya alam.20
Menurut Wiradi, sebagai gejala sosial, konflik agraria adalah suatu
proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang
masingmasing pihak memperjuangkan kepentingannya atas objek agraria.
Sebelum berubah menjadi konflik agraria, terlebih dahulu terjadi
“persaingan” untuk memperoleh suatu objek agraria tersebut. Dari
persaingan berubah menjadi konflik pada saat masing-masing pihak
berupaya untuk menghilangkan atau menghalangi secara terbuka untuk
menguasai atau memanfaatkan objek agraria. Jadi, konflik pada dasarnya
adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan.21
20 Ibid, hal. 7.
21 Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria, Perjalanan Yang Belum Berakhir. KPA,
Insist Press, Pustaka Pelajar. Yogyakarta, hal. 85.
30
Dalam Naskah Akademik KNuPKA22, konflik agraria didefinisikan
sebagai pertentangan klaim antar satu pihak atau lebih mengenai
penguasaan maupun pengelolaan terhadap tanah dan/atau sumber daya
alam lain yang menyertainya.23 Situasi ini disebut konflik karena klaim itu
ditampilkan secara terbuka oleh satu pihak melalui berbagai ekspresi
dengan maksud menghilangkan klaim pihak lainnya. Naskah ini
berpendirian bahwa upaya-upaya penyelesaian sengketa dan/atau konflik
agraria ini harus didudukkan sebagai bagian dari cara untuk menata ulang
distribusi penguasaan tanah yang timpang selama ini.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) menggunakan istilah sengketa
pertanahan, konflik pertanahan dan perkara pertanahan. Sengketa
pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan,
badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosiopolitis.
Sementara itu, konflik pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara
orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau
lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas
secara sosio-politis. Kemudian yang terakhir, yaitu perkara pertanahan
yang selanjutnya disingkat perkara adalah perselisihan pertanahan yang
penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan
lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di
BPN Republik Indonesia.24
Di kalangan pegiat dan aktivis agraria, menggunakan istilah “konflik
agraria struktural” untuk menamai dinamika konflik agraria yang sedang
terjadi dewasa ini. Penggunaan istilah “konflik agraria struktural” ini untuk
menjelaskan konflik agraria yang melibatkan penduduk setempat atau
B. Diskursus Empiris
Ilustrasi teoritis yang telah digambarkan di atas bahwa sepanjang
sejarahnya sumber-sumber agraria selalu menjadi permasalahan karena
Dari 198 kasus yang terjadi di tahun 2012, terdapat 90 kasus terjadi
di sektor perkebunan (45%); 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur
(30 %); 21 kasus di sektor pertambangan (11 %); 20 kasus di sektor
kehutanan (4%); 5 kasus di sektor pertanian tambak/pesisir (3%); dan 2
kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai (KPA, 2012). Pada
diagram berikut dapat dilihat sebaran kasus-kasus konflik agraria
sepanjang tahun 2010-2012 berdasarkan sektor.
35
Sumber: Laporan Tahunan KPA 2010-2012
31 http://www.mongabay.co.id/2012/12/27/kaliedoskop-konflikagraria-2012-
potret-pengabaian-suara-dan-hak-rakyat-bagian-2/#ixzz2OcKYZsLo. Lihat juga Dewan
Perwakilan Daerah, Laporan Pansus Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam Dewan
Perwakilan Daerah.
37
No. KASUS JUMLAH
1. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk 29
perkebunan besar
2. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk hutan 12
produksi
3. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk hutan 4
konservasi dan lindung, termasuk taman
nasional
4. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk 9
pertambangan besar
5. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk 1
pariwisata
6. Konflik agraria akibat alokasi tanah untuk 2
No. KASUS JUMLAH
pabrik dan kawasan industri
32 Lihat, Dewan Perwakilan Daerah, Laporan Pansus Konflik Agraria dan Sumber
Daya Alam Dewan Perwakilan Daerah.
33 Jurnal Litbang Pertanian, Edisi April 2002. Hal, 133
38
menunjukkan bahwa dari 37,7 juta rumah tangga petani terdapat sekitar
36% yang dikategorikan sebagai “absolute-landless”. Sedangkan rata-rata
penguasaan tanah oleh 24,3 juta rumah tangga petani yang dapat
menguasai tanah adalah 0,89 hektar per rumah tangga.34
37 Untuk jelasnya mengenai kasus ini lihat Bachriadi dan Lucas (2001), Merampas
Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan.
38 Lihat Bachriadi (1998), Sengketa Agraria dan Perlunya
Menegakan Lembaga Peradilan Agraria yang Independen. 41 Ibid, hal. 17.
41
atau dimensi religius. Padahal jika menengok kepada sejumlah kasus-kasus
sengketa agraria yang muncul, nyaris tidak ada yang lepas dari persoalan
politik itu.41
Sementara di sisi lain, ketika ada satu-dua proses pengadilan
sengketa agraria yang secara langsung masuk ke dalam substansi
persoalan sengketa agraria itu sendiri, muncul persoalan lain yang juga
memelorotkan wibawa lembaga peradilan yang ada sekarang. Persoalannya
adalah ketidakberdayaan lembaga peradilan tertinggi – dalam hal ini MA –
untuk menjalankan fungsinya melahirkan putusan-putusan hukum yang
memenangkan rakyat yang bersengketa (bukan pihak lawannya) untuk
sebuah keadilan yang wilayah-wilayah keputusan tersebut berada di dalam
wilayah-wilayah politik.
Dengan kata lain, lembaga peradilan yang ada sekarang ketika sudah
memasuki wilayah substansi sengketa agraria itu sendiri dan dengan
sendirinya sudah masuk ke dalam dimensi politik dari persoalan-persoalan
agraria tidak memiliki keberanian untuk independen dan melahirkan
keputusan akhir yang mengalahkan entitas politik yang lebih berkuasa
(powerful) yang sedang bersengketa dengan rakyat demi sebuah keadilan
yang memang sudah semestinya.
42
adanya hukum acara perdata orang dapat memulihkan haknya yang telah
dirugikan melalui pengadilan sehingga diharapkan selalu ada ketentraman
dan suasana damai dalam hidup bermasyarakat (Elsa;258-259)
Salah satu persoalan yang penting kita cermati dalam sengketa
pertanahan melalui peradilan umum saat ini adalah bahwa sengketa
pengadilan masih tetap menggunakan hukum acara perdata HIR (Herziene
Inladsch Reglement, untuk daerah Jawa-Madura) dan Rechtsreglement voor
de Buitengewesten, untuk luar Jawa-Madura (RBg) secara murni, padahal
sejak diundangkannya UUPA, tanah bukan lagi objek hukum perdata.
Sebagaimana diketahui bahwa sejak berlakunya UUPA, segala ketentuan
mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dalam buku II KUHPerdata dicabut kecuali kententuan mengenai hipotik.
Sehingga secara prinsipil, KUHPerdata berubah total hanya mengatur
masalah barang yang bergerak. Perubahan ini tentu mempunyai makna
yang luas karena dua ketentuan ini sangat berbeda secara prinsipil. UUPA
bersumber pada hukum adat, sementara KUHPerdata berpaham barat,
UUPA memberikan Hak menguasai Negara kepada negara dan memberikan
hak atas tanah kepada orang, sementara KUHPerdata mengatur pemberian
hak kepada orang dengan hak eigendom, hak erfpacht, dan hak opstal
terhadap tanah dengan dasar kewenangan negara adalah Hak Domein.
Pembentukan lembaga pengadilan agraria tidak berarti
menghidupkan kembali UU No. 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan
Landreform, tetapi lebih mengacu kepada corak-corak sengketa dan model
penanganannya. Manakala sengketa pertanahan atau agraria hanya
dijadikan bagian dari penyebab terjadinya tindak pidana atau hanya
sekedar menjadi persoalan perdata.Makna tanah sebagai sumber
kehidupan yang memiliki dimensi sosial-politik-ekonomi-religius menjadi
hilang. Padahal keempat ciri ini tidak pernah lepas dari kehidupan
masyarakat Indonesia yang berhubungan dengan tanah dan/atau
sumbersumber agraria lainnya.
Sengketa-sengketa agraria yang saat ini terjadi dan masih terus
terjadi sudah turut membantu menguak sisi gelap hubungan
ketatanegaraan di Indonesia selama masa Orde Baru. Sehingga penciptaan
43
lembaga peradilan agraria yang independen bisa menjadi pintu masuk
untuk memperbaiki sisi gelap hubungan tertsebut.
Jadi, sesungguhnya agenda menegakkan Peradilan Agraria yang
independen bukan hanya sebuah agenda untuk menyelesaikan
persoalanpersoalan sengketa agraria dengan cara yang lebih adil dan
beradab, tetapi juga merupakan bagian dari agenda untuk menciptakan
perubahan sistem dan kultur politik di Indonesia yang dicengkeram oleh
kekuasaan otoritarian lembaga eksekutif. Dengan kata lain, agenda yang
lebih besar dari menegakkan lembaga Peradilan Agraria yang independen
adalah bagian penting dalam menegakkan kehidupan demokrasi yang
bersumber dari kepentingan rakyat di Indonesia.
44
BAB III SINKRONISASI DAN HARMONISASI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
PEMBENTUKAN
PENGADILAN AGRARIA
45
yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 tersebut tercantum
dalam pasal-pasal UUD NRI 1945.
Norma hukum yang ada dalam ketentuan-ketentuan UUD NRI 1945,
yang dapat dijadikan landasan konstitusional dan sekaligus sebagai
harmonisasi vertikal dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang
Pengadilan Agraria adalah :
1. Pasal 1 ayat (3):
Negara Indonesia adalah negara hukum.
2. Pasal 24:
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.**)
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.***)
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang.
3. Pasal 24A ayat (5) :
Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung
serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.
4. Pasal 25
“Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim
ditetapkan dengan undang-undang”.
5. Pasal 27 ayat (1) :
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
6. Pasal 28A :
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya.**)
46
7. Pasal 28D ayat (1) :
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.**)
8. Pasal 28G ayat (1) :
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.**)
9. Pasal 28H ayat (2) dan ayat (4)
(1) .......
(2) Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.**)
(3) ......
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa
pun.**)
10. Pasal 28-I ayat (1) :
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.**)
11. Pasal 33 ayat (3) :
Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
47
2001 menetapkan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. 39 TAP MPR
ini adalah hasil dari perjuangan yang terus-menerus pasca dari para pegiat
agraria yang menginginkan terlaksananya reforma agraria di Indonesia.
Ia dianggap titik puncak produk peraturan perundangan di bawah
konstitusi yang diharapkan dapat mendorong percepatan pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Selain sebagai payung hukum
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, ketetapan MPR ini
juga berarti sebuah konsensus nasional Bangsa Indonesia menuju
perombakan struktur agraria yang timpang dan perbaikan pengelolaan
sumber daya alam. MPR mengakui bahwa kebijakan dan praktik pemilikan,
penguasaan, pemanfaatan tanah dan sumber daya alam di Indonesia,
khususnya selama masa Orde Baru menimbulkan degradasi lingkungan,
ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatannya, menimbulkan berbagai konflik, serta adanya tumpang
tindih antara peraturan perundang-undangan agraria dengan sumber daya
alam. Sebagai sebuah produk hukum, TAP MPR Nomor IX/MPR/2001
memberi arah yang jelas baik dari sisi paradigmatik maupun substantif
mengenai kemana seharusnya politik hukum dan kebijakan pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia ke depan.
Kedudukan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 dalam struktur peraturan
perundang-undangan Indonesia secara tegas dinyatakan masih berlaku
melalui TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi
dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960
50
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d. rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya
manusia Indonesia;
e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan
optimalisasi partisipasi rakyat;
f. mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan,
pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan
sumberdaya alam;
g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang
optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi
mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan
dukung lingkungan;
h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor
pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan
pengelolaan sumberdaya alam;
j. mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan
keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan
sumberdaya alam;
k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara,
pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa
atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
l. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di
tingkat nasional, daerah rovinsi, kabupaten/kota, dan desa atau
yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen
sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.
f. Pasal 6:
51
(1) Arah kebijakan pembaruan agraria adalah :
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam
rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya
peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada
prinsipprinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang
berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk
rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.
c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi
dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam
rangka pelaksanaan landreform.
d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan
sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat
mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna
menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan
didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal
5 Ketetapan ini.
e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka
mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan
menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan
sumberdaya agraria yang terjadi.
f. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program
pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik
sumberdaya agraria yang terjadi.
(2) Arah kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah :
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan
antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana
dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
52
b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumberdaya
alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan
kuantitas sumberdaya alam sebagai potensi dalam
pembangunan nasional.
c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat
mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan
mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk
menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi
tradisional.
d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis
sumberdaya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan
nilai tambah dari produk sumberdaya alam tersebut.
a. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumberdaya alam
yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi
konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya
penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
b. Menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang
didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan
kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional.
g. Pasal 7: Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden
untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria
dan pengelolaan sumberdaya alam dengan menjadikan Ketetapan ini
sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua
undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan
dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti.
h. Pasal 8: Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk
segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada Sidang
Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
53
C. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria
54
yang dimaksudkan di atas dan harus sesuai pula dengan kepentingan
rakyat dan negara serta memenuhi keperluan menurut permintaan zaman
dalam segala soal agraria. Selain itu, hukum agraria nasional harus
mewujudkan penjelmaan dari pada asas kerokhanian, negara dan cita-cita
bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan,
Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan
pelaksanaan dari ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Garis-garis
Besar Haluan Negara yang tercantum didalam Manifesto Politik Republik
Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan dalam Pidato Presiden
tanggal 17 Agustus 1960.
Undang-undang ini sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum
agraria, di dalamnya hanyalah asas-asas serta soal-soal dalam garis
besarnya saja dan oleh karena itu disebut Undang-Undang Pokok Agraria
yang pelaksanaan lebih lanjut diatur didalam berbagai undang-undang,
peraturan pemerintah, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Undang-Undang Pokok Agraria disusun dengan tujuan:
a. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional,
yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat
tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
b. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan ke-
sederhanaan dalam hukum pertanahan.
c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
55
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam
wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa,
adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional".
Hal ini berarti bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah
Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa
sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia. Jadi
tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja. Demikian
pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah
samatamata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang
bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian, hubungan bangsa
Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan
semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang
paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah
Negara.
Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang
angkasa Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat abadi (Pasal 1
ayat (3)). Hal ini berarti selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai
bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa
Indonesia itu masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak
ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau
meniadakan hubungan tersebut.
Hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa
tersebut tidak berarti, bahwa hak milik perseorangan atas (sebagian
dari) bumi tidak dimungkinkan lagi. Di atas telah dikemukakan, bahwa
hubungan itu adalah semacam hubungan hak ulayat, jadi bukan berarti
hubungan milik. Dalam rangka hak ulayat dikenal adanya hak milik
perseorangan. Kiranya dapat ditegaskan bahwa dalam hukum agraria
yang baru dikenal pula hak milik yang dapat dipunyai seseorang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain atas bagian
dari bumi Indonesia (Pasal 4 jo.Pasal 20). Dalam pada itu hanya
permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh
seseorang.
56
Selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat, dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, terdapat pula hak
guna-usaha, hak guna-bangunan, hak-pakai, hak sewa, dan hak-hak
lainnya yang akan ditetapkan dengan Undang-undang lain (Pasal 4 jo
Pasal 16).
b. Mengganti asas domein warisan kolonial. Asas domein yang
dipergunakan sebagai dasar dari perundang-undangan agraria yang
berasal dari Pemerintah jajahan tidak dikenal dalam hukum agraria
yang baru.Asas domein bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat
Indonesia dan asas dari negara yang merdeka dan modern.Berhubung
dengan ini asas tersebut, yang dipertegas dalam berbagai "pernyataan
domein", yaitu misalnya dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit (S.1870-118),
S.1875-119a, S.1874- 94f, S.1888-58 ditinggalkan dan
pernyataanpernyataan domein itu dicabut kembali.
Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa
untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI
1945 tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa
Indonesia ataupun negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih
tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat
(bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus
dilihat arti ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, bahwa
"Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh
Negara". Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan
"dikuasai" dalam pasal ini bukanlah berarti "dimiliki", akan tetapi
adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada negara, sebagai
organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia, untuk pada tingkatan
yang tertinggi:
1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaannya.
2) menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas
(bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.
57
3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukkum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.
Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur
(Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3)).
Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang
dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu.Artinya sampai
seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk
menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan Negara
tersebut. Adapun isi hak-hak itu serta pembatasan-pembatasannya
dinyatakan dalam Pasal 4 dan pasal-pasal berikutnya serta pasal-pasal
dalam BAB II.
Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan
sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan
penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan diatas negara
dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau
badan-hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan
keperluannya, misalnya hak milik, hak-guna-usaha, hak gunabangunan
atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu
Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk
dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masingmasing (Pasal 2 ayat
(4)). Kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun sedikit atau banyak
dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuankesatuan masyarakat
hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada.
c. Pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat masyaakat hukum adat.
Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan
kekuasaan negara sebagai yang disebut dalam Pasal 1 dan Pasal 2
maka didalam Pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan
mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya dalam alam
bernegara dewasa ini. Pasal 3 itu menentukan: "Pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masya-rakat-masyarakat hukum adat,
58
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi".
Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya
hak ulayat dalam hukum agraria yang baru. Sebagaimana diketahui
biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta
diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah
hak tersebut diakui secara resmi dalam undang-undang, dengan akibat
bahwa dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu
pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Penyebutan hak
ulayat dalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya
berarti pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan
diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang
masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya
dalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak gunausaha)
masyarakat hukum yang bersangkuatan. sebelumnya akan didengar
pendapatanya dan akan diberi "recognitie", yang memang ia berhak
menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan
hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi
pemberian hak guna-usaha. Sedangkan pemberian hak tersebut di
daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian
pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum
berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya
hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan
proyekproyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana
menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk.
Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah
itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai
hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari
ketentuan Pasal 3 di atas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum
harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas
59
dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan
kepentingan yang lebih luas. Tidaklah dapat dibenarkan, jika dalam
alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih
mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak,
seakan-akan ia terlepas dari hubungannya dengan masyarakat hukum
dan daerah-daerah lainnya dalam lingkungan negara sebagai kesatuan.
Sikap yang demikian terang bertentangan dengan asas pokok yang
tercantum dalam Pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa
akibat terhambatnya usahausaha besar untuk mencapai kemakmuran
Rakyat seluruhnya.
Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian di atas, tidak
berartibahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan tidak
akan diperhatikan sama sekali.
d. Dasar yang keempat diletakkan dalam Pasal 6, yaitu bahwa "Semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial". Hal ini berarti, bahwa hak atas
tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan
tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) sematamata
untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan
kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan
dengan keadaannya dan sifat dari haknya, hingga bermanfaat baik bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun
bermanfaat bagi masyarakat dan negara.
Tetapi ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan
perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum
(masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula
kepentingan-kepentingan perseorangan.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah
saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan
pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya
(Pasal 2 ayat (3)).
Berhubung dengan fungsi sosialnya, suatu hal yang sewajarnya
tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya
serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja
60
dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang
bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang,
badanhukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum
dengan tanah itu (Pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan tersebut
akan diperhatikan kepentingan fihak yang secara ekonomis lemah.
e. Hanya warga Indonesia yang dapat mempunyai hak atas tanah. Sesuai
dengan asas kebangsaan tersebut dalam Pasal 1, menurut Pasal 9 jo
Pasal 21 ayat (1) hanya warganegara Indonesia saja yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik tidak dapat dipunyai oleh
orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang
(Pasal 26 ayat (2)). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan
hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada dasarnya
badanbadan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (Pasal 21 ayat (2)).
Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan
hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan
hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya,
asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluan
yang khusus (hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai menurut
Pasal 28, Pasal 35 dan Pasal 41). Dengan demikian dapat dicegah usaha-
usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan mengenai
batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (Pasal 17).
Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat
mempunyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan
masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan,
sosial dan hubungan perekonomian, maka diadakanlah suatu
"escapeclause" yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu
mempunyai hak milik. Dengan adanya "escape-clause" ini maka
cukuplah nanti bila ada keperluan akan hak milik bagi sesuatu atau
macam badan hukum diberikan dispensasi oleh Pemerintah, dengan
jalan menunjuk badan hukum tersebut sebagai badan-badan hukum
yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (Pasal 21 ayat (2)). Badan-
badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan
ditunjuk dalam pasal 49 sebagai badan-badan yang dapat mempunyai
61
hak milik atas tanah, tetapi sepanjang tanahnya diperlukan untuk
usahanya dalam bidang sosial dan keagamaan itu. Dalam hal-hal yang
tidak langsung berhubungan dengan bidang itu mereka dianggap
sebagai badan hukum biasa.
f. Kesetaraan antara laki-laki dan wanita. Terkait dengan asas
kebangsaan di atas ditentukan dalam Pasal 9 ayat (2): "Tiap-tiap
warganegara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta
untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya".
Sejalan dengan hal itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan
warganegara yang lemah terhadap sesama warga-negara yang kuat
kedudukan ekonominya. Dalam Pasal 26 ayat (1) ditentukan: "Jual beli,
penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak
milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah".
Ketentuan inilah yang akan merupakan alat untuk melindungi
golongan-golongan yang lemah dimaksud.
Selanjutnya dapat ditunjuk pula ketentuan-ketentuan yang
dimuat dalam Pasal 11 ayat (1), yang bermaksud mencegah terjadinya
penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui
batas dalam bidang-bidang usaha agrarian hal mana bertentangan
dengan asas keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Segala usaha
bersama dalam lapangan agraria harus didasarkan atas kepentingan
bersama dalam rangka kepentingan nasional (Pasal 12 ayat (1)) dan
Pemerintah berkewajiban untuk mencegah adanya organisasi dan
usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat
monopoli swasta (Pasal 13 ayat (2)).
Bukan saja usaha swasta, tetapi usaha-usaha pemerintah yang
bersifat monopoli harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat
banyak. Oleh karena itu usaha-usaha pemerintah yang bersifat
monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang- undang (Pasal
13 ayat (3)).
62
g. Penataan ulang penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan
sumber-sumber agraria. Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) mengatur suatu
asas yang sedang menjadi dasar perubahan-perubahan dalam struktur
pertanahan hampir diseluruh dunia, yaitu dinegara-negara yang
telah/sedang menyelenggarakan apa yang disebut "landreform" atau
"agrarian reform" yaitu"Tanah pertanian harus dikerjakan atau
diusahakan secara aktip oleh pemiliknya sendiri".
Supaya semboyan tersebut dapat diwujudkan perlu diadakan
ketentuan-ketentuan lainnya. Misalnya ketentuan tentang batas
minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, supaya ia
mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri
dan keluarganya (Pasal 13 jo Pasal 17). Selain itu perlu ada ketentuan
mengenai batas maksimum luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak
milik (Pasal 17), agar dicegah tertumpuknya tanah ditangan
golongangolongan yang tertentu saja. Dalam hubungan ini Pasal 7
memuat suatu asas yang penting, yaitu pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak dipekenankan, karena hal yang
demikian itu adalah merugikan kepentingan umum. Akhirnya ketentuan
itu perlu dibarengi pula dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-
bantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya
tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan
penguasaan tanahnya kepada orang lain.
Mengingat susunan masyarakat pertanian kita sekarang masih
perlu dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh
orang-orang yang bukan pemiliknya, misalnya secara sewa, bagi-hasil,
gadai dan lain sebagainya. Tetapi segala sesuatu peraturan-peraturan
lainnya, yaitu untuk mencegah hubungan-hubungan hukum yang
bersifat penindasan si-lemah oleh si-kuat (Pasal 24, Pasal 41 dan Pasal
53). Begitulah misalnya pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian
bagi-hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan pada
persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar
"freefight", akan tetapi penguasa akan memberi ketentuan-ketentuan
tentang cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan
63
keadilan dan dicegah cara-cara pemerasan ("exploitation de l-'homme par
l'homme"). Sebagai misal dapat dikemukakan ketentuan-ketentuan
didalam UU No. 2 Tahun 1960 tentang "Perjanjian Bagi Hasil" (L.N.
1960-2).
Ketentuan pasal 10 ayat (1) tersebut adalah suatu asas, yang
pelaksanaannya masih memerlukan pengaturan lebih lanjut (ayat (2)).
Dalam keadaan susunan masyarakat kita sekarang ini peraturan
pelaksanaan itu nanti masih perlu membuka kemungkinan
diadakannya dispensasi. Misalnya seorang pegawai-negeri yang untuk
persediaan hari-tuanya mempunyai tanah satu dua hektar dan
berhubung dengan pekerjaannya tidak mungkin dapat
mengusahakannya sendiri, harus dimungkinkan untuk terus memiliki
tanah tersebut. Selama itu tanahnya boleh diserahkan kepada orang
lain untuk diusahakan dengan perjanjian sewa, bagi-hasil dan lain
sebagainya. Tetapi setelah ia tidak bekerja lagi, misalnya setelah
pensiun, tanah itu harus diusahakannya sendiri secara aktip (ayat (3)).
h. Perencanaan penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan
tanah. Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan
negara tersebut, perlu suatu rencana ("planning") mengenai peruntukan,
penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk
pelbagai kepentingan hidup rakyat dan negara: Rencana Umum
("National planning") yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang
kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus ("regional
planning") dari tiap-tiap daerah (Pasal 14). Dengan perencanaan itu
penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga
dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan
rakyat.
64
a. Sebagaimana telah diterangkan diatas hukum agraria sekarang ini
mempunyai sifat "dualisme" dan mengadakan perbedaan antara hakhak
tanah menurut hukum adat dan hak-hak tanah menurut hukumbarat,
yang berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-
undang Hukum Perdata Indonesia. Undang-undang Pokok Agraria
bermaksud menghilangkan dualisme dan secara sadar hendak
mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai
bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian.
Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan
kesadaran hukum rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia
sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang
baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum
adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan
disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang
modern/internasional. Sebagaimana dimaklumi hukum adat dalam
pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan
masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang
feodal.
b. Dalam menyelenggarakan kesatuan hukum itu Undang- undang Pokok
Agraria tidak menutup mata terhadap masih adanya perbedaan dalam
keadaan masyarakat dan keperluan hukum dari golongan-golongan
rakyat. Berhubung dengan itu ditentukan dalam pasal 11 ayat 2:
"Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keprluan hukum golongan
rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional diperhatikan". Yang dimaksud dengan perbedaan yang
didasarkan atas golongan rakyat misalnya perbedaan dalam keperluan
hukum rakyat kota dan rakyat perdesaan, pula rakyat yang ekonominya
kuat dan rakyat yang lemah ekonominya. Maka ditentukan dalam ayat
2 tersebut selanjutnya, bahwa dijamin perlindungan terhadap
kepentingan golongan yang ekonomis lemah.
c. Penghapusan perbedaan antara hukum-adat dan hukum-barat dalam
bidang hukum agraria, maka maksud untuk mencapai, kesederhanaan
hukum pada hakekatnya akan terselenggarakan pula.
65
Selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, hukum agraria yang baru pada
pokoknya mengenal hak-hak atas tanah, menurut hukum adat yang
disebut dalam pasal 16 ayat (1) huruf (d) sampai dengan (g). Adapun untuk
memenuhi keperluan yang telah terasa dalam masyarakat kita sekarang
diadakan 2 hak baru, yaitu hak guna-usaha (guna perusahaan pertanian,
perikanan dan peternakan) dan hak guna-bangunan (guna
mendirikan/mempunyai bangunan diatas tanah orang lain) pasal 16 ayat
(1) huruf b dan c).
Adapun hak-hak yang ada mulai berlakunya Undang-Undang ini
semuanya akan dikonvensi menjadi salah satu hak yang baru menurut
Undang-undang Pokok Agraria.
66
tanah yang bersifat "rechts- kadaster", artinya yang bertujuan menjamin
kepastian hukum.
67
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman telah sesuai dengan perubahan Undang-UUD NRI
1945 di atas, namun substansi undang-undang tersebut belum mengatur
secara komprehensif tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yang
merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Selain pengaturan secara komprehensif, undang-undang ini juga
untuk memenuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU/2006,
yang salah satu amarnya telah membatalkan Pasal 34 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut juga telah membatalkan ketentuan yang terkait dengan
pengawasan hakim dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial.
Sehubungan dengan hal tersebut, sebagai upaya untuk memperkuat
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan mewujudkan sistem peradilan
terpadu (integrated justice system), maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman perlu diganti.
Hal-hal penting dalam undang-undang ini antara lain sebagai berikut:
a. Mereformulasi sistematika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman terkait dengan pengaturan secara
komprehensif dalam undang-undang ini, misalnya adanya bab
tersendiri mengenai asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
b. Pengaturan umum mengenai pengawasan hakim dan hakim
konstitusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
c. Pengaturan umum mengenai pengangkatan dan pemberhentian
hakim dan hakim konstitusi.
68
d. Pengaturan mengenai pengadilan khusus yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara
tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
e. Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan
memiliki keahlian serta pengalaman di bidang tertentu untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.
f. Pengaturan umum mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan.
g. Pengaturan umum mengenai bantuan hukum bagi pencari keadilan
yang tidak mampu dan pengaturan mengenai pos bantuan hukum
pada setiap pengadilan.
h. Pengaturan umum mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan
hakim dan hakim konstitusi.
69
kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban sistem serta penyelenggaraan
hukum merupakan hal yang mempengaruhi tumbuhnya suasana
perikehidupan sebagaimana dimaksudkan di atas. Masalahnya adalah, hal
tersebut secara bersamaan merupakan pula tujuan kegiatan pembangunan
dibidang hukum dalam kerangka pelaksanaan pembangunan nasional.
Dengan pemahaman seperti ini, salah satu pendekatan yang ingin
dilakukan adalah kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman.
Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata
Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-lembaga
Tinggi Negara dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung diberi kekuasaan dan
kewenangan untuk:
a. memeriksa dan memutus:
1) permohonan kasasi;
2) sengketa tentang kewenangan mengadili;
3) permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. memberikan pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta
maupun tidak, kepada Lembaga Tinggi Negara;
c. memberikan nasehat hukum kepada presiden selaku Kepala Negara
untuk pemberian atau penolakan grasi;
d. menguji secara materiil hanya terhadap peraturan
perundangundangan di bawah undang-undang;
e. melaksanakan tugas dan kewenangan lain berdasarkan
undangundang.
Untuk dapat menyelenggarakan kekuasaan dan kewenangan tersebut
dengan sebaik-baiknya, Mahkamah Agung melaksanakan hal-hal sebagai
berikut :
a. wewenang pengawasan meliputi:
70
1) jalannya peradilan;
2) pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim di semua
Lingkungan Peradilan;
3) pengawasan yang dilakukan terhadap Penasihat Hukum dan
Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan;
4) pemberian peringatan, tegoran, dan petunjuk yang diperlukan.
b. meminta keterangan dan pertimbangan dari :
1) Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan;
2) Jaksa Agung;
3) Pejabat lain yang diserahi tugas penuntutan perkara pidana.
c. membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan
atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya
peradilan.
d. mengatur sendiri administrasinya baik mengenai administrasi
peradilan maupun administrasi umum.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang telah
diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman ditegaskan:
a. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara
hukum Republik Indonesia;
b. penyelenggara Kekuasaan Kehakiman adalah Pengadilan di
lingkungan:
1. Peradilan Umum;
2. Peradilan Agama;
3. Peradilan Militer;
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
c. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Tertinggi dan melakukan
pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan.
71
Dengan memperhatikan kedudukan dan peranan Mahkamah Agung
seperti tersebut di atas, perlu diberikan pengaturan yang mantap, jelas, dan
tegas kepada lembaga ini.
Salah satu prinsip yang telah diletakkan dalam Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana yang telah diganti dengan
UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
adalah bahwa peradilan harus memenuhi harapan para pencari keadilan
yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, adil, dan
biaya ringan. Seiring dengan prinsip tersebut di atas serta sebagai upaya
untuk mewujudkan sistem peradilan yang lebih efektif dan efisien dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di negara hukum Republik
Indonesia, dalam Undang-undang ini ditegaskan bahwa Mahkamah Agung
adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan.
Untuk memperoleh Hakim Agung yang merdeka, berani mengambil
keputusan dan bebas dari pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar,
diperlukan persyaratan sebagaimana diuraikan dalam Undang-undang ini.
Pada dasarnya pengangkatan Hakim Agung berdasarkan sistem karier dan
tertutup.
Namun demikian dalam hal-hal tertentu dapat pula dibuka
kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang tidak didasarkan
sistem karier. Untuk Hakim Agung yang didasarkan sistem karier berlaku
ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041).
Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-
baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu undang-
undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku,
sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong
kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal
sebagai "Contempt of Court".
Mengenai bagaimana Mahkamah Agung akan dapat melaksanakan
tugas tersebut, Undang-undang ini juga memberikan kepadanya
keleluasaan untuk menetapkan sendiri pembidangan tugas dalam susunan
72
organisasinya sehingga dapat secara tuntas menjangkau penyelesaian
semua masalah yang berasal dari berbagai lingkungan peradilan.
Namun begitu mengingat tugas tersebut sangat luas dan berat, maka
untuk memberi dukungan administrasi yang sebaik-baiknya, dalam
Undang-undang ini ditetapkan adanya Sekretaris Jenderal yang dirangkap
oleh Panitera Mahkamah Agung. Perangkapan jabatan ini didasarkan pada
pemikiran bahwa dengan demikian penyelenggaraan pelayanan
administrasi Mahkamah Agung secara keseluruhan dapat dilakukan
dengan lebih efektif dan terpadu. Untuk itu, dalam pelaksanaan tugas
sehari-hari. Panitera Mahkamah Agung dibantu oleh Wakil Panitera
Mahkamah Agung untuk tugas-tugas administrasi peradilan, dan Sekretaris
Jenderal Mahkamah Agung dibantu oleh Wakil Sekretaris Jenderal
Mahkamah Agung untuk tugas-tugas penyelenggaraan administrasi umum,
seperti pengurusan keuangan, kepegawaian, peralatan, pemeliharaan, dan
lain-lain.
Dengan pemisahan ini, panitera dapat lebih memusatkan
perhatiannya kepada tugas-tugas yang bersifat teknis peradilan. Sedangkan
pemberian dukungan administrasi yang meliputi administrasi keuangan,
kepegawaian peralatan, pemeliharaan, dan lain-lainnya diselenggarakan
oleh Sekretariat Jenderal.
Dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985,
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. undang-undang ini
memuat perubahan terhadap berbagai substansi Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Perubahan tersebut, di samping
guna disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan dalam UUD
NRI 1945, juga didasarkan atas Undang-undang mengenai kekuasaan
kehakiman baru yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana diubah dengan Undang- Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Substansi perubahan dalam undang-undang ini antara lain tentang
penegasan kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan
73
kehakiman, syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim agung,
serta beberapa substansi yang menyangkut hukum acara, khususnya
dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam memeriksa dan
memutus pada tingkat kasasi serta dalam melakukan hak uji terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dalam
Undang-Undang ini diadakan pembatasan terhadap perkara yang dapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Pembatasan ini dimaksudkan
untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah
Agung sekaligus untuk mendorong peningkatan kualitas putusan
pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding sesuai dengan nilai-nilai
hukum dan keadilan dalam masyarakat.
Dengan bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung jawab
Mahkamah Agung antara lain di bidang pengaturan dan pengurusan
masalah organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung, maka organisasi Mahkamah Agung perlu dilakukan pula
penyesuaian.
Dalam rangka penyesuaian dimaksud dan mengakomodasi
perkembangan hukum dalam masyarakat, maka Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan
UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tersebut, dilakukan perubahan
kembali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Jadi, undang-
undang ini adalah Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004. Perubahan dilakukan karena Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004,
khususnya yang menyangkut pengawasan, sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan
menurut UUD NRI 1945. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara
tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Oleh
karena itu, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha
negara. Akan tetapi, Mahkamah Agung bukan satu-satunya lembaga yang
74
melakukan pengawasan karena ada pengawasan eksternal yang dilakukan
oleh Komisi Yudisial. Berdasarkan Pasal 24B UUD NRI 1945, Komisi
Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena itu,
diperlukan kejelasan tentang pengawasan yang menjadi kewenangan
Mahkamah Agung dan pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi
Yudisial. Pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung meliputi
pelaksanaan tugas yudisial, administrasi, dan keuangan, sedangkan
pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial adalah pengawasan
atas perilaku hakim, termasuk hakim agung. Dalam rangka pengawasan
diperlukan adanya kerja sama yang harmonis antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial.
75
diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang masing-masing mempunyai lingkup kewenangan
mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu. Untuk terwujudnya
peradilan yang sederhana, cepat, tepat, adil, dan dengan biaya ringan
sebagaimana ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, maka
dasar yang selama ini berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun
1965 mengenai kedudukan, susunan organisasi, kekuasaan tata kerja, dan
administrasi pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, perlu diganti dan
disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.
Undang-undang tentang Peradilan Umum ini merupakan pelaksanaan
ketentuan-ketentuan dan asas-asas yang tercantum data Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan
Umum dalam Undang-undang ini dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Dalam Undang-
undang ini diatur susunan, kekuasaan, dan kedudukan Hakim serta tata
kerja administrasi pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.
Pengadilan Negeri merupakan Pengadilan Tingkat Pertama untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi
rakyat pencari keadilan pada umumnya, kecuali undangundang
menentukan lain.
Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding terhadap
perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri, dan merupakan
Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa kewenangan
mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. Di samping itu
sesuai dengan prinsip “diferensiasi” yang dicantumkan data Pasal 10
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan perubahannya, Pengadilan
dilingkungan Peradilan Umum sekaligus merupakan Pengadilan untuk
perkara tindak pidana ekonomi, perkara tindak pidana anak, perkara
pelanggaran lalu lintas jalan, dan perkara lainnya yang ditetapkan dengan
undang-undang. Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi
diatur dengan undang-undang tersendiri.
76
Mengingat luas lingkup tugas dan berat beban pekerjaan yang harus
dilaksanakan oleh Pengadilan, maka perlu adanya perhatian yang besar
terhadap tata cara dan pelaksanaan pengelolaan administrasi Pengadilan.
Hal ini sangat penting, karena bukan saja menyangkut aspek
ketertiban dalam penyelenggaraan administrasi baik di bidang perkara
maupun di bidang kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor, dan
lain-lainnya, melainkan juga akan mempengaruhi kelancaran
penyelenggaraan peradilan itu sendiri.
Oleh karenanya, penyelenggaraan administrasi Pengadilan dalam
undang-undang ini dibedakan menurut jenisnya dan dipisahkan
penanganannya, walaupun dalam rangka koordinasi pertanggung-jawaban
tetap dibebankan kepada seorang pejabat, yaitu panitera yang merangkap
sebagai sekretaris.
Selaku Panitera ia menangani administrasi perkara dan hal-hal
administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial). Dalam
pelaksanaan tugas ini Panitera dibantu oleh seorang Wakil Panitera dan
beberapa orang Panitera Muda.
Selaku Sekretaris ia menangani administrasi umum seperti
administrasi kepegawaian dan lain sebagainya, sedang dalam pelaksanaan
tugasnya ia dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Dengan demikian staf kepaniteraan dapat lebih memusatkan
perhatian terhadap tugas dan fungsinya membantu Hakim dalam bidang
peradilan, sedangkan tugas administrasi lainnya dapat dilaksanakan oleh
staf sekretariat.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku. Kepala
Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
Di samping itu perlu adanya pengaturan tersendiri mengenai
tunjangan dan ketentuan lain bagi para pejabat peradilan khususnya para
Hakim; demikian pula pangkat dan gaji diatur tersendiri berdasarkan
peraturan yang berlaku, sehingga para pejabat peradilan tidak mudah
dipengaruhi baik moril maupun materiil.
77
Untuk lebih meneguhkan kehormatan dan kewibawaan Hakim serta
Pengadilan, maka perlu juga dijaga mutu (keahlian) para Hakim, dengan
diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi Hakim yang diatur
dalam undang-undang ini, dan diperlukan pembinaan sebaik-baiknya
dengan tidak mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara.
Selain itu diadakan juga larangan bagi para Hakim merangkap
jabatan penasehat hukum, pelaksana putusan Pengadilan, wali, pengampu,
pengusaha, dan setiap jabatan yang bersangkutan dengan suatu perkara
yang akan atau sedang diadili olehnya. Selanjutnya diadakan pula larangan
rangkapan jabatan bagi Panitera dan Jurusita.
Agar peradilan dapat berjalan dengan efektif, maka Pengadilan Tinggi
diberi tugas pengawasan terhadap Pengadilan Negeri di daerah
hukumnya.Hal ini akan meningkatkan koordinasi antar Pengadilan Negeri
di daerah hukum suatu Pengadilan Tinggi yang bermanfaat bagi rakyat
pencari keadilan, karena Pengadilan Tinggi dalam melakukan pengawasan
tersebut dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan.
Selain itu pekerjaan dan kewajiban Hakim secara langsung dapat
diawasi sehingga jalannya peradilan yang sederhana, cepat, tepat, adil, dan
dengan biaya ringan akan lebih terjamin.Petunjuk-petunjuk yang
menimbulkan persangkaan keras, bahwa seorang Hakim telah melakukan
perbuatan tercela dipandang dari sudut kesopanan dan kesusilaan, atau
telah melakukan kejahatan, atau kelalaian yang berulang kali dalam
pekerjaannya, dapat mengakibatkan bahwa ia diberhentikan tidak dengan
hormat oleh Presiden selaku Kepala Negara, setelah ia diberi kesempatan
membela diri. Hal ini dicantumkan dengan tegas dalam undang-undang ini,
mengingat luhur dan mulianya tugas Hakim.Apabila ia melakukan
perbuatan tercela dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri, baginya
tetap berlaku ancaman yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No.
30. Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman disahkan sebagai pengganti Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan–ketentuan Pokok Kekuasaan
78
Kehakiman. Sehubungan dengan hal tersebut telah diubah pula Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan
UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung perlu pula dilakukan
perubahan. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan
mengenai peradilan umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun non
yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan tersebut bersumber dari kebijakan
yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dikehendaki oleh UUD NRI 1945.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum antara lain sebagai berikut:
1. syarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan di lingkungan
peradilan umum;
2. batas umur pengangkatan hakim dan pemberhentian hakim; 3.
pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;
4. pengaturan pengawasan terhadap hakim.
Perkembangan berikutnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman diganti dengan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung diubah lagi (perubahan kedua) dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Perubahan undang-undang tersebut antara lain dilatarbelakangi
dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
tanggal 23 Agustus 2006, dimana dalam putusannya tersebut telah
menyatakan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan
ketentuan pasal-pasal yang menyangkut mengenai pengawasan hakim
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
79
bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan karenanya tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Sebagai konsekuensi logis-yuridis dari putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, telah dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan
UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 49
Tahun 2009, merupakan salah satu undang-undang yang mengatur
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, maka perlu
pula dilakukan perubahan sebagai penyesuaian atau sinkronisasi terhadap
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial.
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan
mengenai peradilan umum, pengawasan tertinggi baik menyangkut teknis
yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan
finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, pengawasan ekstenal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan
prinsip kebebasan hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas
dan akuntabilitas hakim.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
80
1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum antara lain
sebagai berikut:
1. penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh
Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim
yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim;
2. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada
pengadilan negeri maupun hakim pada pengadilan tinggi, antara lain
melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan,
akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui proses atau lulus
pendidikan hakim;
3. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc.
4. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
hakim;
5. kesejahteraan hakim;
6. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan;
7. transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan
pertanggungjawaban biaya perkara;
8. bantuan hukum;
9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum sebagaimana yang telah diubah dengan
UndangUndang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum pada
dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan
melalui penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system),
terlebih peradilan umum secara konstitusional merupakan salah satu
badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan
dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata dan pidana.
81
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN
YURIDIS PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG TENTANG
PENGADILAN AGRARIA
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
82
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan UUD NRI 1945.41
Pembentukan Undang-Undang Pengadilan Agraria didasarkan pada
beberapa argumentasi filosofis, yaitu:
a. Memberikan jaminan tetap eksisnya cita-cita pembentukan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, mewujudkan persatuan dan
kesatuan bangsa, serta keadilan dan kesejahteraan yang merata
diseluruh wilayah Indonesia.
b. Tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan, termasuk
memberikan jaminan keadilan, rasa aman dan bebas dari rasa
takut serta dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum
sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945.
c. Tanggungjawabnegara memberikan perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan hak asasi melalui upaya penciptaan
suasana yang aman, tentram, damai, adil dan sejahtera lahir
maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda
yang dibawah kekuasaannya, melalui pengupayaan dan
pemerataan pembangunan serta peningkatan akses di bidang
hukum, politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan
keamanan.
Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional di atas salah
satunya melalui penyelenggaraan pengadilan yang cepat, murah dan
sederhana. Hal ini sejalan dengan cita-cita pembangunan nasional.
Pembangunan nasional Indonesia dalam pelaksanaanya mengacu pada
strategi yang bersifat inklusif.42 Strategi ini sejalan dengan Pancasila yang
menjadi pandangan hidup dan dasar falsafah di dalam setiap
84
Selain prasyarat di atas, dalam suatu negara hukum harus
mencerminkan bahwa:
a. semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
b. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya.
c. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
d. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi; dan
e. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dengan demikian, secara filosofis hukum dan penegakannya melalui
lembaga peradilan bertujuan untuk menciptakan kepastian, kemanfaatan
dan keadilan. Tujuan tersebut tampaknya memerlukan pengadilan khusus
di bidang agraria dengan harapan: (1) mampu melakukan proses penemuan
kebenaran materiil yang sangat diperlukan dalam penyelesaian konflik atau
sengketa agraria, jika putusan pengadilan sungguh-sungguh diharapkan
mewujudkan bukan hanya kepastian hukum namun lebih-lebih
kemanfaatan dan keadilan dalam redistribusi sumberdaya agraria; (2)
pengadilan khusus ini dapat mengeterapkan bukan hanya prinsip
persamaan di hadapan hukum, namun jika memang diperlukan sesuai
dengan amanah Pasal 28H ayat (2) UUD Negara RI 1945 juga
mengeterapkan prinsip pemberian kemudahan dan perlakuan khusus
kepada pihak tertentu yang bersengketa agar mendapatkan kesempatan
85
dan manfaat yang sama terhadap sumberdaya agraria yang menjadi obyek
sengketa sehingga pihak tertentu tersebut mencapai persamaan dan
keadilan.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah
dan kebutuhan masyarakat dan negara yang terkait dengan sistem
peradilan khususnya dalam penyelesaian-penyelesaian masalah-masalah
keagrariaan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan di latar belakang bahwa
tuntutan pendirian Pengadilan Agraria kembali diwacanakan kepada publik
pada tanggal 11 dan 12 Oktober 2005 oleh beberapa kalangan masyarakat,
khususnya para advokat. Mereka mensinyalir bahwa tuntutan gugatan
sengketa agraria ke Pengadilan Umum telah menimbulkan banyak keluhan
tegasnya berupa rasa tidak percaya karena beberapa faktor yang melatar
belakangi di antaranya: putusan pengadilan yang tidak memenuhi rasa
keadilan masyarakat, kinerja pelayanan SDM Agraria yang kurang baik,
serta adanya campur tangan pihak ketiga yang dapat mempengaruhi
imparsialitas putusan hakim.
Konflik agraria hingga kini terus terjadi bahkan semakin marak dan
merata di seluruh wilayah Indonesia. Eskalasi konflik keagrariaan ini tentu
memerlukan segera upaya penyelesaian sengketa secara menyeluruh,
sistematis, berkepastian hukum, dan berkeadilan. Fakta menunjukkan
bahwa ketiadaan mekanisme dan lembaga khusus yang menangani konflik
agraria secara pasti, telah mendorong timbulnya kekerasan dalam setiap
konflik agraria.43
43 Data base Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah merekam
bahwa dari 1.753 kasus konflik agraria di sepanjang Tahun 1970 – 2001
telah merambah 11 juta hektar tanah dan telah mengakibatkan sekitar 1
juta kepala keluarga (KK) menjadi korban. Dari ribuan kasus ini ternyata
hanya sekitar 7,6 % yang masuk pengadilan dan sebagian besar berakhir
86
Berbagai konflik agraria mengakibatkan: Pertama, hilangnya akses
masyarakat terhadap sumber-sumber agraria. Kedua, kerusakan struktur
sosial masyarakat yang didasari atas struktur agraria yang timpang, dan
ketiga terjadi kerusakan mutu ekologi yang berkait langsung dengan
turunan mutu manusia yang kehidupannya bergantung terhadap sumber
daya agraria. Karenanya, penyelesaian konflik agraria sesungguhnya bukan
sekedar untuk mengakhiri kekerasan supaya tidak berulang, tetapi lebih
jauh adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Penyelesaian konflik agraria selama ini masih mencerminkan adanya
suatu keadaan yang tidak memuaskan dan atau tidak memenuhi rasa
keadilan, khususnya bagi kelompok-kelompok tertentu yang mengandalkan
hidup dari tanah dan kekayaan alam, seperti kaum tani, nelayan, dan
masyarakat adat. Bagi mereka, penguasaan atas tanah dan kekayaan alam
adalah syarat dari keselamatan dan keberlanjutan hidup mereka. Namun,
konflik agraria telah memporak-porandakan syarat keberlanjutan hidup
mereka. Bersamaan dengan ketidakpuasan dan ketidakadilan dalam
konflik, melekat sejumlah kekerasan, penyingkiran, eksploitasi dan
penindasan baik yang dilakukan oleh aparatus negara,
perusahaaperusahaan berskala raksasa, maupun proyek-proyek lain.
Melihat berbagai konflik agraria yang terjadi di Indonesia dan yang
telah mengakibatkan berbagai dampak baik secara ekonomi, sosial, dan
lingkungan, maka perlu adanya penanganan yang serius khususnya dari
aspek penyelesaian sengketanya, melalui pembentukan lembaga pengadilan
yang khusus menangani konflik-konflik keagrariaan.
Keberadaan pengadilan khusus ini selain bertujuan untuk
mendapatkan kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa, juga untuk
menyelesaikan berbagai konflik agraria secara berkeadilan dengan
menjunjung tinggi hak-hak masyarakat sehingga tujuan dari penguasaan
Negara atas sumber-sumber agraria untuk kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat dan bangsa Indonesia dapat tercapai. Di sisi lain, masih terdapat
88
menempatkan konflik agraria sebagai sesuatu yang bersifat extra ordinary
menjadi sesuatu yang sangat penting, namun tentu saja perlu diwaspadai
jebakan-jebakan yang dapat menjauhkan subtansi dari pembentukan
peradilan agraria ini, yakni untuk mewujudkan keadilan sosial dalam
bidang agraria. Untuk menghindari jebakan dan menghindari terjadinya
peradilan agraria lahir prematur setidak-tidaknya ada dua hal yang penting
untuk dikritisi, yakni; 1) Proses pengembangan peradilan agraria, dan 2)
Subtansi strategis yang direspon peradilan agraria.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru. Beberapa persoalan
hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang
tidak harmonis atau tumpang tindih, peraturannya sudah ada tetapi tidak
memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada dan sangat
dibutuhkan.
Secara substansi (kompetensi materi) yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan (konflik) pertanahan selama ini diselesaikan melalui
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Ruang lingkup
kompetensi Peradilan Umum berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU No. 2
Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 49 Tahun 2009
adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan
perkara perdata baik ditingkat pertama maupun tingkat banding.
Sedangkan Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan
ketentuan Pasal 50 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah
dengan UU No. 51 Tahun 2009 adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.Kompetensi kedua peradilan
89
tersebut jika dikaitkan dengan masalah pertanahan ruang lingkup
penangannya hanya berkaitan dengan permasalahan kepemilihan dan
hakhak atas tanah, baik yang menyangkut aspek keperdataan, pidana
maupun administratif. Sedangkan masalah-masalah konflik agraria yang
ruang lingkupnya jauh lebih luas dan dampaknya jauh lebih besar, belum
menjadi ruang lingkup penanganan peradilan ini. Terlebih lagi masih
banyaknya konflik-konflik agraria yang belum terselesaikan dan tertangani
dengan tuntas, serta dengan mengacu pada sejumlah ketentuan yang ada,
perlu dibentuk pengadilan agraria. Ketentuan yang dimaksudkan antara
lain adalah :
1. UUD NRI 1945 khususnya Pasal 24 jo. Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat
(2), dan Pasal 33 ayat (3). Ketentuan-ketentuan memberikan arahan
amanah bahwa peradilan harus diarahkan pada penegakan hukum dan
juga keadilan (Pasal 24 ayat (1) dengan cara menjamin adanya
perlindungan dan kepastian hukum serta perlakuan yang sama (Pasal
28D ayat (1)), namun jika perlakuan yang sama justru menyebabkan
terjadinya ketidak-adilan maka putusan pengadilan itu harus mampu
memberikan kemudahan dan perlakuan khusus agar seseorang
mendapatkan kesempatan dan manfaat yang sama terhadap sumberdaya
agraria sehingga seseorang tersebut mencapai persamaan dan keadilan
(Pasal 28H ayat (2)). Pengadilan khusus bidang agraria diharapkan dapat
melaksanakan amanah tersebut sehingga cita-cita sumberdaya agraria
dapat menjadi sumber kemakmuran bagi semua orang akan dapat
diujudkan;
2. TAP MPR No.IX/MPR/2001 khususnya Pasal 6 ayat (1) huruf d, huruf e,
huruf f, dan ayat (2) huruf e yang mengamanahkan untuk menyelesaikan
konflik penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria bagi
terlaksananya penegakan hukum dengan mendasarkan pada sejumlah
prinsip sebagaimana tertuang Pasal 5. Amanah lainnya yaitu
memperkuat kelembagaan serta kewenangan dan pembiayaan
kelembagaan yang bertugas dalam penyelesaian konflik dan reforma
agraria. Artinya, jika penyelesaian konflik agraria harus diselesaikan di
pengadilan, TAP MPR ini membuka kemungkinan untuk membentuk
90
pengadilan khusus bidang konflik agraria sebagai bagian dari penguatan
terhadap lembaga peradilan umum;
3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
khususnya Pasal 27 yang memperkenankan pembentukan pengadilan
khusus di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara serta pembentukannya diatur
dalam Undang-undang. Artinya, pembentukan pengadilan khusus bidang
Agraria di lingkungan peradilan-peradilan tersebut dibuka dengan
pertimbangan pengadilan yang berlangsung saat ini tidak mampu
menyelesaikan secara tuntas sumber konflik atau sengketa agraria.
Syaratnya adalah pembentukannya diatur dalam undang-undang. Istilah
“dalam undang-undang” mengandung makna dapat dalam suatu
undang-undang tersendiri atau sebagai bagian dari undang-undang yang
memuat hukum materiil agrarian atau perpaduan keduanya. Dengan
pertimbangan bahwa pengadilan agraria mempunyai kompetensi
absolute terhadap sengketa yang bersumber dari penguasaan dan
pemanfaatan semua sumberdaya agraria, pilihan pembetukannya
dilakukan dengan undang-undang tersendiri karena secara teknis tidak
mungkin memasukkan pengaturan pembentukannya dalam
masingmasing Undang-Undang sumber daya agrarian yaitu tanah,
hutan, tambang, air, dan sumber daya alam lainnya.
Selain itu, secara yuridis dorongan pembentukan lembaga Pengadilan
Agraria lebih dikarenakan:
1. Secara materiil konflik-konflik agraria belum tertangani oleh lembaga
peradilan yang telah ada.
2. Mewujudkan amanat TAP MPR Nomor IX/MPR/2001
tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.44
92
Ketentuan umum Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria
memuat rumusan akademik mengenai batasan, definisi, alternatif,
singkatan, atau akronim yang digunakan dalam penyusunan norma.
Referensi rumusan ini berasal dari bahan hukum primer, sekunder, dan
tersier sehingga rumusan ketentuan umum menjadi komprehensif.
Ketentuan umum yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang tentang
Pengadilan Agraria adalah mengenai pengertian yang digunakan dalam
Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria tersebut, antara
lain sebagai berikut:
a. Agraria adalah bumi, air baik air permukaan maupun air tanah, dan
segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan tanah berupa
sumberdaya hutan dan di dalam perut bumi berupa bahan tambang.
b. Tanah adalah permukaan bumi, baik yang ada di daratan maupun di
bawah air laut.
c. Tanah adat adalah bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat suatu
Masyarakat Hukum Adat tertentu.
d. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat adalah perangkat kewenangan
yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup
para warganya, untuk mengambil manfaat dari sumber daya agraria
terutama tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
penghidupannya, yang timbul dari hubungan secara batiniah dan
lahiriah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum
adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
e. Pengadilan Agraria adalah pengadilan khusus yang dibentuk di
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di lingkungan peradilan umum
yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara
agraria.
f. Perkara agraria adalah perkara perdata yang timbul dalam pelaksanaan
peraturan perundang-undangan di bidang tanah, hutan, air, dan
tambang.
g. Sengketa adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antarsubyek hukum karena adanya perselisihan mengenai hak atau
93
kepentingan terkait penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan sumber
daya agraria.
h. Sengketa hak adalah perselisihan yang timbul karena adanya
pelanggaran terhadap hak penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan
sumber daya agraria yang dimiliki perseorangan atau badan hukum.
i. Sengketa kepentingan adalah perselisihan yang timbul karena adanya
ketimpangan dan ketidakadilan dalam penguasaa, kepemilikan dan
pemanfaatan dibidang sumber daya agraria antara kelompok
masyarakat dengan orang atau badan hukum yang menguasai sumber
daya agraria dalam skala besar.
j. Mediasi sengketa agraria yang selanjutnya disebut mediasi adalah
penyelesaian sengketa hak dan sengketa kepentingan dalam bidang
agraria melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
mediator yang netral.
k. Mediator Sengketa Agraria yang selanjutnya disebut mediator adalah
hakim dalam tingkat pengadilan pertama atau seseorang yang
memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri
untuk bertugas melakukan mediasi untuk menyelesaikan sengketa hak
dan/atau sengketa kepentingan di bidang agraria.
l. Konsiliasi Sengketa Agraria yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah
penyelesaian sengketa hak dan sengketa kepentingan dalam bidang
agraria melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
konsiliator yang netral.
m. Konsiliator Sengketa Agraria yang selanjutnya disebut konsiliator adalah
hakim dalam tingkat pengadilan pertama atau seseorang yang
memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator yang ditetapkan oleh
Menteri untuk bertugas melakukan konsiliasi untuk menyelesaikan
sengketa hak dan/atau sengketa kepentingan di bidang agraria.
n. Hakim Karier adalah hakim pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim Pengadilan
Agraria.
o. Hakim Ad-Hoc adalah hakim yang diangkat dengan syarat-syarat dan
mekanisme yang telah ditentukan untuk menjadi hakim ad-hoc pada
94
Pengadilan Agraria Tingkat Pertama, Tingkat Banding dan Tingkat
Kasasi.
p. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria.
q. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
2. Asas
Pengadilan Agraria ini dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan dalam undang-undang ini
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara khususnya pencari keadilan dibidang agraria.
b. Kemanfaatan adalah bahwa setiap materi muatan dalam undangundang
ini harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
c. Kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan dalam
undangundang ini harus dapat mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
d. Responsif adalah bahwa setiap materi muatan dalam undang-undang
ini harus dapat menampung kepentingan para pencari keadilan
dibidang agraria.
e. Kebenaran materiil adalah bahwa materi muatan dalam undang-undang
ini selain mengedepankan kebenaran formil juga kebenaran materiil
untuk mencapai keadilan yang hakiki.
95
tingkat pertama dan kasasi mengenai sengketa kepentingan yang terkait dengan : (1)
penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan sumber daya agraria; atau (2)
perampasan tanah. Susunan Pengadilan Agraria . Pengadilan Agraria terdiri dari
Pengadilan Agraria yang berada dalam kamar Pengadilan Negeri, merupakan
Pengadilan Agraria Tingkat Pertama. Susunan Pengadilan Agraria Tingkat Banding
terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris. Hakim Anggota
Pengadilan Agraria Tingkat Banding adalah Hakim Tinggi. Jumlah anggota hakim
Pengadilan Agraria Tingkat Pertama sekurangkurangnya terdiri dari 9 (sembilan)
orang termasuk Ketua dan Wakil Ketua dengan unsur 3 (tiga) orang hakim karier dan
6 (enam) orang hakim ad hoc.
a. Majelis Hakim
Pemeriksaan perkara agraria dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan
Agraria yang berjumlah 3 orang, terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier
pada Pengadilan Agraria dan 2 (dua) orang hakim ad hoc. Majelis hakim
diketuai oleh hakim karier dari Pengadilan Agraria.
Hakim karier pada Pengadilan Agraria Tingkat Pertama ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan Negeri. Hakim karier pada Pengadilan Agraria Tingkat
Banding ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Tinggi. Hakim karier pada Tingkat
Kasasi ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung. Hakim karier dimaksud
ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku
Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Untuk memilih dan
mengusulkan Hakim ad hoc, Ketua Mahkamah Agung membentuk panitia
seleksi. Panitia seleksi bertugas melakukan penerimaan pendaftaran dan
penyeleksian. Ketentuan mengenai Panitia Seleksi diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Hakim karier dan Hakim ad hoc diangkat selama 5 (lima) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Untuk dapat
ditetapkan sebagai Hakim karier pada Pengadilan Agraria, calon harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi hakim sekurang-kurangnya selama 10
(sepuluh) tahun;
b. berpengalaman menangani perkara perdata, terutama sengketa
keagrariaan;
c. menguasai hukum adat setempat yang berkaitan dengan keagrariaan;
96
d. cakap, jujur, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi
yang baik selama menjalankan tugas;
e. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin dan/ atau terlibat dalam
perkara pidana; dan
f. memiliki sertifikat khusus sebagai hakim karier Pengadilan Agraria.
97
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan
menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak
membedakan orang dan akan melaksanakan kewajiban saya sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.”
b. Pemberhentian Hakim
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria Tingkat Pertama, Tingkat Banding dan
Tingkat Kasasi diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas)
bulan;
d. telah berumur 68 (enam puluh delapan) tahun bagi Hakim Ad-Hoc
pada Pengadilan Agraria Tingkat Pertama dan Tingkat Banding serta
98
telah berumur 70 (tujuh puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc
pada Tingkat Kasasi;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas; atau
f. telah selesai masa tugasnya.
Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Hakim Ad-Hoc
Pengadilan Agraria diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya
dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya tanpa
alasan yang sah; atau
c. melanggar sumpah atau janji jabatan.
Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana
dimaksud dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk
mengajukan pembelaan kepada Mahkamah Agung. Hakim Ad-Hoc
Pengadilan Agraria sebelum diberhentikan tidak dengan hormat dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya. Hakim Ad-Hoc yang
diberhentikan berlaku pula ketentuan sebagaimana di atas.
Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria dilakukan dengan
memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia. Untuk
pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria Tingkat
Pertama paling sedikit 6 (enam) orang dan pada Pengadilan Agraria Tingkat
Banding paling sedikit 4 (empat) orang.
Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan
tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada
Pengadilan Agraria Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri) sesuai dengan
kewenangannya. Ketua Pengadilan Tinggi melakukan pengawasan atas
pelaksanaan tugas Hakim Banding, Hakim Ad-Hoc Banding, Panitera
Muda, dan Panitera Pengganti pada Pengadilan Agraria Tingkat Banding
(Pengadilan Tinggi) sesuai dengan kewenangannya. Ketua Mahkamah Agung
melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim Kasasi,
99
Hakim Ad Hoc Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan
Agraria pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya.
Dalam melakukan pengawasan Ketua Pengadilan Negeri dapat
memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim dan Hakim Ad-Hoc.
Dalam melakukan pengawasan Ketua Pengadilan Tinggi dapat memberikan
petunjuk dan teguran kepada Hakim Banding dan Hakim Ad-Hoc Banding.
Dalam melakukan pengawasan Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan
petunjuk dan teguran kepada Hakim Kasasi dan Hakim Ad Hoc Kasasi.
Petunjuk dan teguran dimaksud tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim,
Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi Pengadilan Agraria dalam memeriksa dan
memutus sengketa.
Tata cara pengangkatan, pemberhentian dengan hormat,
pemberhentian dengan tidak hormat, dan pemberhentian sementara
Hakim Ad-Hoc diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan
Tunjangan dan hak-hak lainnya bagi Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria
diatur dengan Keputusan Presiden.
100
perundang-undangan yang berlaku. Susunan organisasi, tugas, dan tata
kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan Agraria diatur dengan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung.
Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam
Berita Acara. Berita Acara tersebut ditandatangani oleh Hakim, Hakim
AdHoc, dan Panitera Pengganti. Panitera Muda bertanggung jawab atas
buku perkara dan surat-surat lainnya yang disimpan di Sub Kepaniteraan.
Semua buku perkara dan surat-surat dimaksud baik asli maupun foto copy
tidak boleh dibawa keluar ruang kerja Sub Kepaniteraan kecuali atas izin
Panitera Muda.
6. Hukum Acara
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agraria adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Dalam proses
beracara di Pengadilan Agraria, pihak-pihak yang berperkara tidak
dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah
Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
101
a. Pengajuan Gugatan
Gugatan diajukan pada Pengadilan Agraria dimana obyek sengketanya
berada di wilayah pengadilan yang bersangkutan. Gugatan dapat diajukan
secara lisan maupun tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan
Agraria. Jika gugatan diajukan secara lisan maka Panitera wajib mencatat
pokok gugatan yang disampaikan oleh penggugat. Gugatan yang melibatkan
lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan
memberikan kuasa khusus. Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut
gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah
memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat
akan dikabulkan oleh Pengadilan Agraria hanya apabila disetujui tergugat.
102
melimpahkan penyelesaian sengketa tersebut ke jalur persidangan
pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui mediasi atau konsiliasi
merupakan pilihan penyelesaian sengketa yang tidak bersifat berjenjang.
103
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mediator wajib
merahasiakan semua keterangan yang diminta
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan Agraria
melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh
para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan
Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
Agraria melalui mediasi, maka:
a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi
pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada
mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis
dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah
menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud
pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
untuk kemudian didaftar di Pengadilan Agraria pada Pengadilan
Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian
Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Agraria pada
Pengadilan Negeri dilakukan sebagai berikut:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti
pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
104
eksekusi kepada Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di
wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan
eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran
Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan
permohonan eksekusi melalui Pengadilan Agraria pada Pengadilan
Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke
Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri yang berkompeten
melaksanakan eksekusi.
Dalam hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para
pihak, maka sengketa dilanjutkan pada jenjang persidangan pengadilan.
Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya
40 (empat puluh) hari kerja untuk sengketa hak dan 60 (enam puluh) hari
kerja untuk sengketa kepentingan. Jika dalam batas waktu tersebut belum
menghasilkan kesepakatan, Mediator dengan persetujuan para pihak dapat
mengajukan perpanjangan mediasi kepada ketua Pengadilan Negeri untuk
sengketa hak paling lama 14 (empat belas hari) dan untuk sengketa
kepentingan 30 (tiga puluh) hari. Jika batas waktu yang telah diperpanjang
terlampaui dan tidak menghasilkan kesepakatan, maka Ketua Pengadilan
Negeri menetapkan sengketa tersebut diselesaikan melalui jalur
persidangan di pengadilan.
Mediator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan
penyelesaian sengketa yang dibebankan kepada negara. Besarnya
honorarium/imbalan jasa ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung. Kinerja
Mediator dalam menangani sengketa dipantau dan dinilai oleh Ketua
Pengadilan Negeri dimana sengketa didaftarkan.
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian
mediator serta tata kerja mediasi diatur dengan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung.
105
2) Penyelesaian Sengketa Agraria Melalui Konsiliasi
Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang
terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang
pertanahan/agraria Kabupaten/Kota. Penyelesaian sengketa oleh
konsiliator, dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan
penyelesaian secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri. Ketua
Pengadilan Negeri setelah menerima pengajuan penyelesaian sengketa
melalui konsiliasi oleh para pihak, mempersilakan kepada para pihak untuk
menunjuk konsiliator yang disepakatinya. Para pihak dapat mengetahui
nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari daftar nama
konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pertanahan/agraria.
Konsiliator yang telah ditunjuk oleh apara pihak, wajib lapor kepada kepada
Ketua Pengadilan Negeri.
Konsiliator harus memenuhi syarat :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S-1);
e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. memiliki pengalaman di bidang Agraria sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun;
h. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan/agraria; dan
i. syarat lain yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Konsiliator yang telah terdaftar diberi legitimasi oleh Ketua
Mahkamah Agung atau Pejabat yang berwenang di bidang
Pertanahan/Agraria.
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
menerima permintaan penyelesaian sengketa secara tertulis, konsiliator
harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya dan
106
selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan
sidang konsiliasi pertama. Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi
ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar
keterangannya. Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak
menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya
ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna
penyelesaian sengketa agraria berdasarkan undang-undang ini, wajib
memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan
surat-surat yang diperlukan. Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh
konsiliator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga
kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsiliator wajib
merahasiakan semua keterangan yang diminta.
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian sengketa agraria melalui
konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Agraria
pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian sengketa Agraria
melalui konsiliasi, maka:
a. konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi
pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada
konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis
dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah
menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud
pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3
107
(tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
untuk kemudian didaftar di Pengadilan Agraria pada Pengadilan
Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama
untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Agraria pada Pengadilan
Negeri sebagaimana dimaksud dilakukan sebagai berikut:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti
pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi di Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah
Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran
Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan
permohonan eksekusi melalui Pengadilan Agraria pada Pengadilan
Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke
Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri yang berkompeten
melaksanakan eksekusi.
Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud ditolak oleh salah
satu pihak atau para pihak, maka sengketa dilanjutkan pada jenjang
persidangan pengadilan.
Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambatlambatnya 40
(empat puluh) hari kerja untuk sengketa hak dan 60 (enam puluh) hari
kerja untuk sengketa kepentingan. Jika dalam batas waktu belum
menghasilkan kesepakatan, Konsiliator dengan persetujuan para pihak
dapat mengajukan perpanjangan konsiliasi kepada ketua Pengadilan Negeri
untuk sengketa hak paling lama 14 (empat belas hari) dan untuk sengketa
kepentingan 30 (tiga puluh) hari. Jika batas waktu perpanjangan
terlampaui dan tidak menghasilkan kesepakatan, maka Ketua Pengadilan
108
Negeri menetapkan sengketa tersebut diselesaikan melalui jalur
persidangan di pengadilan.
Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan
penyelesaian sengketa yang dibebankan kepada negara. Besarnya
honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Ketua
Mahkamah Agung. Kinerja konsiliator dalam menangani sengketa dipantau
dan dinilai oleh Ketua Pengadilan Negeri dimana sengketa didaftarkan.
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian konsiliator
serta tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah
Agung.
a) Persiapan Persidangan
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak adanya
kesepakatan para pihak untuk tidak menggunakan jalur mediasi maupun
konsiliasi atau habisnya jangka waktu penyelesaian melalui mediasi atau
konsiliasi yang tidak menghasilkan kesepakatan, Ketua Pengadilan Negeri
sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri dari 1 (satu) orang Hakim
Karier sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai
Anggota Majelis yang akan memeriksa dan memutus perkara yang
diajukan. Setelah terbentuk majelis hakim, maka majelis hakim wajib
mamanggil para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja. Untuk
membantu tugas Majelis Hakim ditunjuk seorang Panitera Pengganti.
109
b) Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan
Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang
pertama. Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah
apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat
tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui
disampaikan di tempat kediaman terakhir. Apabila pihak yang dipanggil
tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat tinggal kediaman terakhir, surat
panggilan disampaikan melalui Kepala Kelurahan atau Kepala Desa yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil atau
tempat kediaman yang terakhir. Penerimaan surat penggilan oleh pihak
yang dipanggil sendiri atau melalui orang lain dilakukan dengan tanda
penerimaan. Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir
tidak dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat
pengumuman di gedung Pengadilan Agraria yang memeriksanya.
Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di
persidangan guna diminta dan didengar keterangannya. Setiap orang yang
dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli berkewajiban untuk
memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di bawah sumpah.
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna
penyelidikan untuk penyelesaian sengketa agraria berdasarkan
undangundang ini wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang
yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh
prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta.
Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri
sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, Ketua Majelis
Hakim menetapkan hari sidang berikutnya. Hari sidang berikutnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam waktu
selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan.
110
Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak
diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah
dipanggil secara patut tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang
penundaan terakhir, maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi
penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi. Dalam hal tergugat
atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut tidak datang
menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir, maka Majelis
Hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim
menetapkan lain. Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib
menghormati tata tertib persidangan. Setiap orang yang tidak mentaati tata
tertib persidangan, setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah
Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
Dalam putusan Pengadilan Agraria ditetapkan kewajiban yang harus
dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah
satu pihak atas setiap penyelesaian sengketa agraria.
111
d) Pengambilan Putusan
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum,
kesaksian, fakta-fakta yang ada, perjanjian yang ada, kesejarahan,
kebiasaan, kemanfaatan dan keadilan. Putusan Mejelis Hakim dibacakan
dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam hal salah satu pihak tidak hadir
dalam sidang, Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera
Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak
yang tidak hadir tersebut. Putusan Majelis Hakim merupakan putusan
Pengadilan Agraria. Tidak dipenuhinya ketentuan dimaksud berakibat
putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Putusan Pengadilan harus memuat :
a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat
kedudukan para pihak yang berselisih;
c. ringkasan pemohon/penggugat dan jawaban termohon/ tergugat
yang jelas;
d. pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal
yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus,
nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya
para pihak.
Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan di atas dapat menyebabkan
batalnya putusan Pengadilan Agraria.
Majelis Hakim wajib memberikan putusan dengan batas waktu
tertentu. Untuk penyelesaian sengketa hak dalam waktu
selambatlambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak sidang
pertama. Untuk penyelesaian sengketa kepentingan dalam waktu
selambatlambatnya 150 (seratus lima puluh) hari kerja terhitung sejak
112
sidang pertama. Putusan Pengadilan Agraria ditandatangani oleh Hakim,
Hakim Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.
Panitera Pengganti Pengadilan Agraria dalam waktu
selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim
dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada
pihak yang tidak hadir dalam sidang. Selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari kerja setelah putusan ditandatangani, Panitera Muda harus sudah
menerbitkan salinan putusan. Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu
selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan
harus sudah mengirimkan salinan putusan kepada para pihak. Ketua
Majelis Hakim Pengadilan Agraria dapat mengeluarkan putusan yang dapat
dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan banding atau
kasasi.
Putusan Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri mempunyai kekuatan
hukum tetap apabila :
a. Untuk sengketa hak tidak diajukan permohonan banding kepada
Pengadilan Tinggi dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari kerja; dan
b. Untuk sengketa kepentingan tidak diajukan permohonan kasasi
kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari kerja.
Penentuan 14 (empat belas) hari kerja:
a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam
sidang majelis hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima
pemberitahuan putusan.
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan
permohonan banding atau kasasi harus menyampaikan secara tertulis
melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri
setempat. Sub Kepaniteraan Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri
dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak tanggal penerimaan permohonan harus sudah menyampaikan berkas
113
perkara kepada Ketua Pengadilan Tinggi untuk permohonan banding atau
kepada Ketua Mahkamah Agung untuk permononan kasasi.
g) Pembuktian
Alat bukti dapat berupa:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan para saksi; dan/atau
d. pengakuan para pihak;
e. persangkaan,
f. sumpah, dan
114
g. penguasaan fisik.
h. rekaman/video yang kebenarannya tidak diragukan Surat atau
tulisan sebagai alat bukti terdiri dari :
a. akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang
pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan
berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan
sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang
tercantum didalamnya;
b. akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani
oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa
hukum yang tercantum didalamnya;
c. surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh Pejabat
yang berwenang;
d. surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf b,
dan huruf c yang ada kaitannya dengan Banding atau Gugatan.
Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau
karena jabatannya, Hakim Ketua dapat menunjuk seorang atau beberapa
orang ahli. Dalam hal perkara yang berkaitan dengan/menyangkut tanah
adat/masyarakat hukum adat, Hakim harus menghadirkan saksi ahli dari
lingkungan masyarakat hukum adat setempat. Seorang ahli dalam
persidangan harus memberi keterangan baik tertulis maupun lisan, yang
dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut
pengalaman dan pengetahuannya.
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu
berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh
saksi. Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali
berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim
Tunggal. Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian
diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti.
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam:
a. Sengketa hak, merupakan beban dan tanggung jawab penggugat; dan
115
b. Sengketa kepentingan, merupakan beban dan tanggung jawab tergugat.
116
BAB VI P E N U T U P
117
secara adil berdasarkan UUPA. Lebih lanjut, Mahkamah Agung perlu
membentuk kamar khusus di bidang pertanahan, yang berisi hakim agung
yang memiliki kompetensi dalam bidang hukum agraria (khususnya
pertanahan).
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Hakim G. Nusantara dan Budiman Tanuredjo (1997), Dua Kado
Hakim Agung buat Kedung Ombo: Tinjauan Putusan-putusan
Mahkamah Agung tentang Kasus Kedung Ombo, Jakarta: Elsam
Achmad Sodiki, 2013. Politik Hukum Agraria, Jakarta : Konsitusi Press.
118
AristionoNugroho, dkk., 2011, Ngandangan Kontemporer: Implikasi Sosial
Land Reform Lokal, STPN Press, Yogyakarta.
Arya W Wirayuda, 2011, Dari Klaim Sepihak Hingga Land Reform: Konflik
Penguasaan Tanah Di Surabaya 1959-1967, STPN Press, Yogyakarta.
Christodoulou, D, 1990. The Unpromised Land. Agrarian Reform an Conflict
Worldwide,London and New Jersey: Zed Books.
Dianto Bachriadi (1998), Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakan
Lembaga Peradilan Agraria yang Independen
Dianto Bachriadi dan Anton Lucas (2001), Merampas Tanah Rakyat: Kasus
Tapos dan Cimacan, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Dewan Perwakilan Daerah, Laporan Pansus Konflik Agraria dan Sumber
Daya Alam Dewan Perwakilan Daerah
Dianto Bachriadi & Gunawan Wiradi, 2011. Enam Dekade Ketimpangan;
Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia. Jakarta: Bina Desa, ARC
dan KPA.
Elsa Syarif, 2012. Menuntaskan Sengketa Melalui Pengadila Khusus
Pertanahan. Jakarta : Gramedia
Endriadmo Soetarto dan Shohibuddin, 2005, Reforma Agraria; Prasyarat
Utama Bagi REvitalisasi Pertanian dan Pedesaan. Bandung: KPA.
Gunawan Wiradi, 2000. Reforma Agraria; Perjalanan yang Belum Berakhir.
Yogyakarta: Insist Press.
Herman Soesangobeng, 2012. Filosofi, Azas,Ajaran dan Teori Hukum
Pertanahan dan Keagrariaan Indonesia.
KPA, Bina Desa, Pokja PSDA, 2001. Meneguhkan Komitmen Mendorong
Perubahan. Jakarta: Pokja PSDA.
--------------, 1999. Usulan Ketetapan MPR RI tentang Pembaruan Agraria.
Bandung: KPA
Maria S.W. Sumardjono, 2009. Kebijakan pertanahan antara regulasi dan
implementasi, Jakarta : penerbit buku kompas.
Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma
Baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Yogyakarta.
Noer Fauzi, 2003. Bersaksi untuk Pembaruan Agraria; Dari Tuntutan Lokal
Hingga Kecendrungan Global. Yogyakarta : Insist Press.
119
Noer Fauzi Rachman, 2011, Pengantar dalam Mulyani, Lilis, dkk (2011)
Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan : Analisis
Hukum dan Kelembagaan. Jakarta : PMB LIPI dan PT Gading Inti
Prima.
Tim Kerja Komnas HAM-KPA-HuMA-Walhi-Bina Desa, 2004. Pokok-Pokok
Pikiran Mengenai Penyelesaian Konflik Agraria. Jakarta: Tim Kerja
Komnas HAM.
Yanis Maladi, 2008, Pendaftaran Tanah Nasional dan Kehidupan Hukum
Masyarakat (Perspektif Teori-Teori Sosial), Mahkota Kata, Yogyakarta.
Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total
Media, Yogyakarta.
B. Disertasi
Abrar, 1999, Hak Penguasaan Negara Atas Pertambangan Berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, UNPAD, Bandung.
Aslan Noor, 2003, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia
Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Disertasi, UNPAD, Bandung.
Ilyas, 2005, Konsepsi Hak Garap Atas Tanah Dalam Sistem Hukum
Pertanahan Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Ajaran Negara
Kesejahteraan, Disertasi, UNPAD, Bandung.
Muchsan, 1997, Perbuatan Pemerintah Dalam Memperoleh Hak Atas Tanah
Untuk Kepentingan Umum, Disertasi, UGM, Yogyakarta.
Parlindungan A.P., 1975, Pandangan Kritis Berbagai Aspek Dalam
Pelaksanaan UUPA Di Daerah Jambi, Disertasi, UGM, Yogyakarta.
Ronald Z Titahelu, 1993, Penerapan Asas-Asas Hukum Umum Dalam
Penggunaan Tanah Untuk Sebesar-sebesar Kemakmuran Rakyat:
Suatu Kajian Filsafati dan Teoretik Tentang Pengaturan dan
Penggunaan Tanah Di Indonesia, Disertasi, UNAIR, Surabaya.
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam.
120
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
PokokPokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 49
Tahun 2009.
Peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian
dan Penanganan Kasus Pertanahan.
ANGGOTA KOMITE I
PERIODE 2009-2014 BIOGRAFI PENULIS:
121
drafting, Constitutional Lawyer, pengabdian masyarakat, dan aktif sebagai sepiritualitas yang
lain.
Beberapa buku yang sudah berhasil diterbitkan antara lain: “Hermeneutika Hukum
(Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks)”, UII Press, Yogyakarta, 2005.
Email: jazim@telkom.net merupakan salah satu sarana silaturrahmi di antara kita, dan para
pembaca dapat memberikan saran, kritik, informasi, serta tausiahnya.
122
Fendi Setiawan dilahirkan di Pacitan, 17 Februari 1972. Saat
ini merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember.
Selain itu juga aktif sebagai Kepala Laboratorium Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember. Menempuh
pendidikan kesarjanaan di Fakultas Hukum Jember kemudian
dilanjutkan dengan magister dan doktoral di Program Pasca
Sarjana Universitas Padjajaran, Bandung yang keduanya
diselesaikan dengan predikat cum laude. Gelar doktor diperoleh
pada tahun 2010 dengan disertasi membahas mengenai perlindungan konsumen.
Selain mengajar, Fendi juga aktif dalam forum-forum ilmiah mengikuti konferensi yang
diselenggarakan di tingkat nasional dan internasional. Berbagai kegiatan penelitian dan
konsultasi dijalaninya, termasuk dalam banyak penyusunan rancangan peraturan daerah dan
rancangan undang-undang. Email: fendi.setyawan@gmail.com
123
124