Anda di halaman 1dari 13

Cerita Rakyat Indonesia : Legenda Candi Prambanan (Lara Jongrang)

Prabu Baka adalah Raja Prambanan yang terkenal sakti. Sosoknya berupa raksasa yang mengerikan. Meski
sosoknya berupa raksasa, dia mempunyai anak perempuan yang sangat cantik wajahnya. Rara Jonggrang
nama anak perempuan Prabu Baka itu.

Cerita Rakyat Indonesia Asal Mula Candi Prambanan - Lara Jongrang


Syandan, Kerajaan Prambanan diserang oleh Kerajaan Pengging yang dibantu Bandung Bondowoso yang
terkenal sakti. Bandung Bondowoso mampu mengalahkan Prabu Baka dalam pertarungan yang sangat seru.
Prabu Baka tewas terkena senjata Bandung Bondowoso. Kerajaan Prambanan dikuasai Bandung
Bondowoso.

Ketika Bandung Bondowoso melihat Rara Jonggrang, dia langsung jatuh hati. Ia pun melamar Rara
Jonggrang untuk diperistrinya. Rara Jonggrang sesungguhnya tidak bersedia diperistri oleh Bandung
bondowoso yang telah membunuh ayah kandung tercintanya. Namun, untuk Iangsung menolaknya, Rara
Jonggrang tidak berani. Ia mengetahui kesaktian Bandung Bondowoso. Dia bisa celaka jika menolak
lamaran Bandung Bondowoso yang pemarah itu. Ia lantas mencari cara agar urung diperistri Bandung
Bondowoso. Katanya, "Aku bersedia engkau peristri, namun aku mempunyai syarat untuk itu."

"Apa syarat yang engkau kehendaki?"

"Aku ingin engkau membuatkan seribu candi dan dua sumur yang sangat dalam," jawab Rara Jonggrang.
"Semua itu harus engkau selesaikan dalam semalam. Jika engkau dapat melakukannya, aku bersedia
engkau peristri."

Baik" Bandung Bondowoso menyanggupi permintaan Rara Jonggrang. "Aku akan memenuhinya.'

Bandung Bondowoso mengerahkan kesaktiannya. Dipanggilnya seluruh bala tentara makhluk gaib yang
pernah ditaklukkannya. Bandung Bondowoso meminta makhluk-makhluk gaib itu membantunya membuat
seribu candi dan dua sumur yang sangat dalam waktu semalam.

Bala tentara makhluk gaib menyatakan kesediaannya. Mereka lantas bekerja keras. Sangat luar biasa cara
kerja mereka, amat cepat. Candi-candi terwujud dalam waktu singkat. Jumlahnya terus meningkat. Begitu
pula dengan dua sumur yang sangat dalam itu. Melewati tengah malam, ratusan candi telah berdiri. Dua
sumur itu juga telah dalam. Mereka terus bekerja keras untuk mewujudkan permintaan Rara Jonggrang.

Rara Jonggrang sangat khawatir mendapati kenyataan itu. Menurut perkiraannya, Bandung Bondowoso
akan mampu mewujudkan kehendaknya. Candi-candi terus dibuat dalam kecepatan yang menakjubkan. Dua
sumur yang sangat dalam itu juga hampir selesai. Bergulirnya sang waktu menuju fajar masih terbilang
cukup bagi Bandung Bondowoso untuk merampungkan pembuatan seribu candi dan dua sumur yang sangat
dalam itu. Kian khawatir Rara Jonggrang ketika mendapati jumlah candi yang dibuat telah melebihi sembilan
ratus sembilan puluh candi. Lantas, apa yang harus dilakukannya untuk menggagalkan usaha Bandung
Bondowoso?

Setelah sejenak memikirkan cara, Rara Jonggrang lantas membangunkan gadis-gadis Prambanan. Rara
Jonggrang meminta gadis-gadis to untuk membakar jerami di wilayah Prambanan sebelah timur. Sebagian
gadis-gadis itu dimintanya pula untuk menumbuk padi dan juga menaburkan berbagai jenis bunga yang
harum baunya.

Bala tentara makhluk gaib sangat terperanjat mendapati cahaya menyemburat berwarna kemerah-merahan
di sebelah timur. Mereka juga mencium harum aneka bunga. Kian kaget pula mereka saat mendengar bunyi
lesung dipukul, Semua ciri-ciri itu menunjukkan jika waktu pagi telah tiba. Mereka pun bergegas pergi karena
takut. Padahal, sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi telah selesai, hanya tinggal satu candi lagi
untuk mewujudkan permintaan Rara Jonggrang. Meski hanya tinggal satu candi lagi, namun Bandung
Bondowoso tidak mungkin dapat membuatnya tanpa bantuan hantuan bala tentara makhluk gaib.

lara jonggrang dikutuk menjadi arca ke 1000


Tak terkirakan kemarahan Bandung Bondowoso. Ia tahu, hari masih terhitung malam. Waktu pagi belum
datang. la juga mengetahui, semua itu dilakukan Rara Jonggrang untuk menggagalkan usahanya. Jelas dia
menangkap keengganan Rara Jonggrang untuk diperistrinya. Dengan kemarahan yang meluap, Bandung
Bondowoso pun mengeluarkan kutukannya. Gadis-gadis Prambanan yang membantu Rara Jonggrang untuk
menggagalkan usahanya dikutuknya menjadi perawan-perawan tua. Kepada Rara Jonggrang, Bandung
Bondowoso berujar, "Hei Rara Jonggrang! Seribu candi yang engkau minta hampir selesai, hanya tinggal
satu candi lagi, Karena engkau telah melakukan kecurangan untuk menggagalkan usahaku, maka jadilah
engkau arca dalam candi ke seribu!"

Seketika itu tubuh Rara Jonggrang membatu menjadi arca. Arca tersebut lantas diletakkan di dalam ruang
candi besar yang hingga kini disebut candi Lara Jonggrang,

Pesan Moral dari cerita adalah memaksakan kehendak dan juga kecurangan akan membuahkan kerugian di
kemudian hari, kita hendaklah berani mengungkapkan kebenaran meski sangat pahit sekalipun.
 Menak Jingga dan Damar Wulan

damar wulan dan menak jingga


Menakjingga adalah seorang adipati di daerah Blambangan. Terkenal sakti mandraguna dirinya. Ia
mempunyai pusaka yang luar biasa ampuh lagi bertuah. Gada Wesi Kuning namanya. Merasa dirinya sakti
dan juga mempunyai senjata yang luar biasa ampuh, Menakjingga menjadi sosok yang angkuh, kejam, lagi
sewenang-wenang. Apapun juga yang dikehendakinya harus terwujud dalam kenyataan. Ia akan mengamuk
sejadi jadinya jika keinginannya tidak dituruti.

Suatu hari Adipati Menakjingga mengirimkan utusan ke Kerajaan Majapahit. Adipati Menakjingga hendak
melamar penguasa Majapahit, Ratu Ayu Kencana Wungu, yang belum bersuami itu. Ratu Ayu Wungu
Wungu menolak pinangan Adipati Menakjingga itu. Sang ratu tak ingin diperistri adipati yang congkak, kejam,
lagi telah banyak mempunyai istri itu.

Tak terkirakan kemarahan Adipati Menakjingga ketika utusannya kembali ke Kadipaten Blambangan dan
menyatakan lamaran sang adipati ditolak Ratu Majapahit. Tanpa berpikir panjang, Adipati Menakjingga
segera memerintahkan segenap prajurit Blambangan untuk bersiap-siap guna menyerang Majapahit. Adipati
Menakjingga Iangsung memimpin penyerangan tersebut.

Perang dahsyat segera meletus setelah kekuatan Majapahit dikerahkan untuk menghadapi kekuatan
Blambangan. Adipati Menakjingga mengamuk dalam peperangan dahsyat itu. Dengan senjata Gada Wesi
Kuning saktinya, ia menghadapi ratusan prajurit Majapahit yang ditugaskan untuk meringkusnya. Benar-
benar menggetarkan kesaktian Adipati Menakjingga, karena dengan sekali tebasan Gada Wesi Kuning-nya,
belasan hingga puluhan prajurit Majapahit tewas karenanya.

Para prajurit Majapahit akhirnya mundur karena tidak sanggup menghadapi amukan Adipati Menakjingga
dan juga keperkasaan para prajurit Blambangan. Ratu Ayu Kencana Wungu sangat bersedih mendapati
kekalahan para prajuritnya. Ia pun lantas bersemedi, memohon petunjuk dari Dewa untuk mengatasi
masalah besar yang tengah dihadapinya tersebut. Petunjuk itu pun didapatkan sang ratu. `Menakjingga akan
binasa jika berhadapan dengan pemuda bernama Damar Wulan!"

Ratu Ayu Kencana Wungu lantas memerinhkan Patih Logender untuk mencari pemuda bernama Damar
Wulan. Sosok pemuda yang dimaksud akhirnya diketemukan. la tinggal jauh di luar kotaraja Majapahit. Dia
segera diiringkan untuk menghadap Ratu Ayu Kencana Wungu di istana kerajaan Majapahit.

"Damar Wulan," kata Ratu Ayu Kencana wungu setelah Damar Wulan duduk bersimpuh di hadapannya,
"kuperintahkan engkau untuk melenyapkan Adipati Menakjingga yang telah merusuh dan menyebabkan
kerusakan di Majapahit. Bawa kepala Menakjingga di hadapanku sebagai wujud rasa baktimu pada
Majapahit dan juga diriku!"

"Hamba, Gusti Prabu."

Setelah menghaturkan sembahnya, Damar Wulan segera menuju Blambangan seorang diri. Seketika tiba di
alun-alun Kadipaten Blambangan, Damar Wulan lalu menantang bertarung Adipati Menakjingga. Tak
terkirakan kemarahan Adipati Menakjingga. Segera dilayaninya tantangan Damar Wulan. Setelah melalui
pertarungan yang sengit, Adipati Menakjingga mampu mengalahkan Damar Wulan. Damar Wulan pingsan
terkena hantaman Gada Wesi Kuning. Para prajurit Blambangan lantas menangkap dan memenjarakan
Damar Wutan di penjara Kadipaten Blambangan. Pertolongan akhirnya tiba bagi Damar Wulan. Tanpa
diduganya, dua selir Adipati Menakjingga memberikan bantuannya. Dewi Wahita dan Dewi Puyengan nama
kedua selir tersebut. Keduanya sesungguhnya sangat membenci Adipati Menakjingga. Mereka sangat
berharap Damar Wulan mampu membunuh Adipati Menakjingga agar diri mereka terbebas dari penguasa
Kadipaten Blambangan yang kejam lagi sewenang-wenang itu.

Dewi Wahita dan Dewi Puyengan membuka rahasia kesaktian Adipati Menakjingga. "Rahasia kesaktian
Adipati Menakjingga berada pada Gada Wesi Kuningnya," kata mereka. "Tanpa senjata sakti andalannya itu,
niscaya engkau akan dapat mengalahkannya."

Damar Wulan meminta tolong kepada Dewi Wahita dan Dewi Puyengan untuk mengambil senjata andalan
Adipati Menakjingga tersebut. Dengan diam-diam, Gada Wesi Kuning itu akhirnya berhasil diambil dua selir
Adipati Menakjingga tersebut. Gada Wesi Kuning lantas diserahkan kepada Damar Wulan. Dengan
bersenjatakan Gada Wesi Kuning, Damar Wulan pun kembali menantang Adipati Menakjingga.

Pertarungan antara Adipati Menakjingga dan Damar Wulan kembali terjadi. Sangat seru pertarungan
mereka. Akhirnya Adipati Blambangan yang terkenal sombong, kejam, lagi sewenang-wenang itu menemui
kematiannya setelah tubuhnya terkena hantaman Gada Wesi Kuning. Kepalanya dipenggal. Damar Wulan
lantas membawa potongan kepala Adipati Menakjingga kembali ke Majapahit.

Sesungguhnya perjalanan Damar Wulan ke Blambangan itu diikuti oleh dua anak Patih Logender yang
bernama Layang Seta dan Layang Kumitir. Keduanya mengetahui keberhasilan Damar Wulan menjalankan
titah Ratu Ayu Kencana Wungu. Keduanya lantas merencanakan siasat licik untuk merebut potongan kepala
Adipati Menakjingga dan mengakui sebagai pembunuh Adipati Menakjingga di hadapan Ratu Ayu Kencana
Wungu. Dengan demikian mereka berharap akan mendapatkan hadiah yang sangat besar dari penguasa
takhta Majapahit itu.

Dalam perjalanan pulang kembali ke Majapahit, Damar Wulan dicegat Layang Seta dan Layang Kumitir.
Terjadilah pertarungan di antara mereka. Damar Wulan dikeroyok dua saudara kandung anak Patih
Logender tersebut. Pada suatu kesempatan, mereka berhasil merebut kepala Adipati Menakjingga dan
bergegas meninggalkan Damar Wulan. Setibanya di istana Majapahit, Layang Seta dan Layang Kumitir
segera menghadap Ratu Ayu Kencana Wungu. Mereka menyatakan bahwa mereka telah berhasil
mengalahkan Adipati Menakjingga. Mereka lantas menyerahkan potongan kepala Adipati Menakjingga
kepada Ratu Ayu Kencana Wungu.

Sebelum Ratu Ayu Kencana Wungu berujar; datanglah Damar Wulan. Damar Wulan menyatakan
keberhasilannya mengalahkan Adipati Menakjingga dan memenggal kepalanya. "Ampun Gusti Prabu, di
tengah jalan hamba dihadang dua orang dan potongan kepala Adipati Menakjingga itu berhasil mereka
rebut."

Ucapan Damar Wulan segera disanggah Layang Seta dan Layang Kumitir yang menyatakan jika mereka
itulah yang berhasil mengalahkan Adipati Menakjingga. Damar Wulan akhirnya mengetahui jika dua orang
itulah yang menghadangnya dan merebut potongan kepala Adipati Menakjingga.

Perselisihan antara Damar Wulan dan dua anak Patih Logender itu purl kian memanas. Ratu Ayu Kencana
Wungu menengahi perselisihan itu. Katanya, "Untuk membuktikan pengakuan siapakah di antara kalian yang
benar, maka selesaikan secara jantan. Bertarunglah kalian. Siapa yang menang di antara kalian, maka
dialah yang benar."

Pertarungan antara Damar Wulan melawan Layang Seta dan Layang Kumitir kembali terjadi. Kebenaran itu
akhirnya terbuka setelah Damar Wulan berhasil mengalahkan kakak beradik anak Patih Logender tersebut.
Layang Seta dan Layang Kumitir akhirnya mengaku bahwa yang mengalahkan Adipati Menakjingga
sesungguhnya Damar Wulan. Meski mereka telah mengakui, namun tak lepas pula mereka dari hukuman.
Ratu Ayu Kencana Wungu memerintahkan prajurit untuk memenjarakan Layang Seta dan Layang Kumitir
karena telah berani berdusta kepadanya.

Ratu Ayu Kencana Wungu kemudian memberikan hadiah yang luar biasa bagi Damar Wulan. Damar Wulan
diperkenankan Ratu Ayu Kencana Wungu untuk menikahinya. Pesta pernikahan antara Ratu Ayu Kencana
Wungu dan Damar Wulan pun dilangsungkan secara besar-besaran. Segenap rakyat Majapahit bergembira
karena ratu mereka akhirnya bersuami. Suami sang ratu adalah sosok yang terbukti besar rasa baktinya
kepada Majapahit karena berhasil mengalahkan Adipati Menakjingga yang telah memporak-porandakan
kedamaian dan ketenteraman Majapahit.

Pesan Moral Cari Cerita Rakyat Indonesia Damar Wulan dan Menak Jingga adalah Kebenaran pada
akhirnya akan terbuka meski berusaha untuk ditutup-tutupi. Begitu pula dengan kejahatan akan tersingkap
pula meski berusaha ditutupi serapat mungkin. Kebenaran akan mendapatkan kebaikan di kemudian hari.
ALDHE WUNA

Pada zaman dahulu, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja Muna berna Omputusangia,

nama asli dari Omputusangia adalah La Ode Husaeni. Omputusangian memiliki seorang istri yang sudah

dinikahinya selama tujuh puluh tahun. Setiap hari, Omputusangia hanya disibukkan dengan masalah-

masalah kerajaan karena kerajaan adalah sebuah pusat penyimpanan semua hal-hal penting, boleh dibilang

semua yang ada dalam kerajaan adalah panutan atau pedoman yang dibutuhkan dan diinginkan oleh rakyat

Muna.

Tiba pada suatu malam, Omputusangia duduk di tempat peristirahatannya, ia pun berpikir bahwa sudah tujuh

puluh tahun menikahi istrinya namun Omputusangian belum juga mendapatkan keturunan, lelah berpikir

akhirnya raja terlelap tidur karena sudah larut malam.

Pagi hari, Omputusangia mendapat kabar dari pengawal kerajaan bahwa pulau Muna didatangi seorang

saidagar dari Arab dengan niat untuk menyebarkan agama Islam, saudagar itu bernama Saidhi Raba.

Pengawal kerajaan itu menambahkan lagi bahwa Saidhi Raba memiliki kemampuan hebat seperti sebuah

kesaktian karena Saidhi Raba datang di pulau Muna lewat udara. Mendengar berita itu, Omputusangia

memerintahkan pengawalnya untuk memanggil Saidhi Raba datang ke kerajaan. Pergilah pengawal kerajaan

tersebut ke tempat Saidhi Raba. Setelah raja menunggu seharian di istana, pengawal yang disuruhnya tadi

kembali, namun tidak bersama Saidhi Raba. Melihat wajah raja yang kelihatan marah, pengawal tersebut

menjelaskan alasannya tidak membawa Saidhi Raba. Pengawal itu mengatakan bahwa Saidhi Raba tidak

ingin dating ke Istana karena raja memelihara babi, dan menurut ajaran agama Saidhi Raba yakni Islam,

babi adalah hewan yang haram.

Demi kedatangan Saidhi Raba, Raja Muna rela melepas semua babinya. Disurulah kembali pengawal untuk

pergi menjemput Saidhi Raba. Sore harinya, Saidhi Raba datang ke Istana dan bertanya pada Raja tentang

maksud Raja memanggil dirinya. Omputusangia pun berkata bahwa ia ingin menguji kesaktian dari Saidhi

Raba, hingga ia mampu menyebarkan ajaran agama Islam di Muna. Pertama-tama, Raja menguji Saidhi

Raba untuk membaca isi hatinya, apabila Sidhi Raba dapat membaca apa yang diinginkan oleh Raja saat itu

maka Raja akan masuk dalam ajarannya yakni Islam. Dengan kemampuan yang dimilikinya, Sidhi Raba pun

mengatakan bahwa Raja ingin sekali memiliki seorang anak karena istrinya mandul. Berdoalah Saidhi Raba

kepada Tuhan namun doanya belum dikabulkan. Muncul kecurigaan dari Raja bahwa Saidhi Raba tidaklah

sehebat seperti apa yang dibicarakan. Saidhi Raba rupanya tidak berhenti disitu, dilanjutkannya lagi untuk

berdoa yang kedua kalinya, akhirnya doa Saidhi Raba diterima. Istri Raja pun mengandung dan Raja masuk

agama Islam karena senang melihat istrinya telah mengandung. Sebelum pulang, Saidhi Raba berkata pada
Raja bahwa roh yang ada dalam kandungan istrinya adalah roh yang terpaksa diberikan Tuhan karena umur

istri Raja Muna sudah sangat tua.

Perkataan Saidhi Raba rupanya terus dipikirkan oleh Omputosangia. Tibalah waktunya untuk istri Raja

melahirkan. Ternyata perkataan Saidhi Raba benar, anak yang dilahirkan oleh istri Raja Muna berbadan

setengah manusia dan setengah ular. Raja pun sedih melihat kondisi anaknya namun ia harus berterima

kasih karena ia telah meminta anak itu dari kesaktian Saidhi Raba. Setiap hari, apabila ada kunjungan tamu

dari Bugis ataupun Minangkabau, anaknya yang diberi nama La ode Muna selalu disembunyikan dalam guci

karena Raja malu dengan keadaan fisik yang dialami oleh anaknya.

Lima belas tahun kemudian, La ode Muna tumbuh menjadi dewasa. Mulailah ia menggoda para gadis yang

ada dalam lingkungan istana. Ia pun menyampaikan niatnya untuk memiliki seorang pacar, namun Raja tidak

menhendaki dan melarangnya karena tidak mungkin La Ode Muna dapat menikahi seorang gadis bila

kondisi fisiknya setengah manusia dan setengah ular. Sampai pada suatu hari, Omputosangia memutuskan

untuk membuang La Ode Muna agar ia tidak mendapatkan malu dari anak jadi-jadian itu. Raja membuang

La Ode Muna di Unggumora dengan bekal 44 biji telur dan 44 biji ketupat. Setelah empat puluh hari di

buang di tempat itu, La Ode Muna terbang ke langit dengan badan yang menyala dan mengatakan bahwa

saya telah terbang. Sampai sekarang rakyat Muna tidak mengetahui arah La Ode Muna terbang. Ada pula

yang mengatakan bahwa La Ode Muna terbang ke Ternate. La Ode Muna dianggap sebagai seorang yang

memiliki ilmu ataupun kemampuan. Jadi, rakyat Muna mengistimewakan La Ode Muna karena ia manusia

yang berkah karena disamping memiliki kekurangan ia juga mempunyai kelebihan yakni setiap yang ia

ucapkan akan menjadi kenyataan.


Lagu Daerah Jawa

 Gek Kepriye

Duh kaya ngene rasane

Anake wong ora duwe

Ngalor ngidul tansah diece

Karo kanca kancane

Pye pye pye pye ya ben rasakna

Pye pye pye pye rasakna dewe

Pye pye pye pye ya ben rasakna

Pye pye pye pye rasakna dewe

Besuk kapan aku bisa

Urip kang luwih mulya

Melu nyunjung drajating bangsa

Indonesia kang mulya

Pye pye pye pye mbuh ra weruh

Pye pye pye pye mbuh ra ngerti

Pye pye pye pye mbuh ra weruh

Pye pye pye pye mbuh ra ngerti


CERITA RAKYAT BUGIS
Putri Raja Bima dan Panglima Bone

Raja Bima , Sultan Malikuk Said mempunyai seorang putri yang bernama Fatimah , seorang putri yang

terkenal sakti oleh rakyatnya bahkan hingga daerah lainnya dan diberi gelar oleh orang Makassar dengan

sebutan Karaeng Basse’ Bumbung kebo’. Ketika itu, Sultan Malikul Said bertanya kepada Fatimah, wahai

anakku Fatimah , tidak terlintas kah di benakmu untuk memiliki seorang pendamping.

Fatimah pun menjawab, ada apa gerangan sehingga Ayah berkata demikian? Sultan Malikul Said pun

menjawab, Karena dari sekian banyak pria yang datang melamar mu tidak seorang pun, yang kamu terima.

Fatimah pun menjawab, Aku tidak akan menikah, selama Aku belum mendapatkan seorang Pria, yang

mempunyai ilmu setara atau melebihi ilmu yang Aku punya walaupun dia, menyerupai hewan.

Mendengar perkataan putrinya, Sultan Malikul Said pun, bertanya kepada Fatimah, wahai Anak ku jika pria

itu ada darimana asalnya. Fatimah pun, menjawab, kelak dia akan datang dari arah Ko’banga ( kerajaan

Gowa) dengan menggunakan perahu. Sultan Malikul Said pun menjawab, Jika itu yang kamu inginkan Aku

tidak dapat berbuat apa-apa.

Hari-hari pun berlalu namun pria itu belum datang juga, akhirnya Sultan Malikul Said datang kepada

anaknya, wahai anak ku sampai kapan kah kamu akan menunggunya? Fatimah pun menjawab, samapai dia

datang, tidak peduli berapa lama Aku akan menunggu. Secara diam-diam Sultan Malikul Said, menyebarkan

kabar mengenai putrinya yang menginginkan seorang pria yang mempunyai ilmu yang setara dengannya

atau bahkan yang melebihi ilmunya.

Pada akhirnya kabar mgenai pria yang diinginkan Fatimah samapi ke Ko’banga, dan akhirnya di dedengar

oleh panglima kerajaan Bone, yang bernama, Abdullah yang terkenal akan ke saktiannya. Akhirnya Abdullah

pun, pergi menuju Kerajaan Bima, dan sebelum dia pergi, dia berpesan kepada semuah orang yang ada di

Mare’ , Aku tidak akan kembali sebelum Aku membawanya pulang, Abdullah pun pergi menuju Bima.

Dan akhirnya Abudllah pun tiba di Sumba, tanpa di beri tahu, Fatimah sudah menyadari akan kehadiran

orang yang dicarinya itu, tanpa sepatah kata kepada Sultan, Fatimah lansung menuju Sumba tempat

dimana, Abdullah datang. Akhirnya Fatimah pun tiba di Sumba, dan menuju kapal yang di tumpangi

Abdullah, saat Fatima tiba disana Abdullah pun berkata jika Aku orang yang kamu nanti naiklah keatas

perahu ku dan Aku akan membawa mu pergi. Fatimah pun naik keatas perahu Abdullah, dan akhirnya

mereka pun berlayar menuju Bone.

Saat setelah kepergian Fatimah, Sultan mengutus Adik Fatimah yang bernama, I Ratu pergi menyusul

Fatimah ke Bone untuk menyampaikan jikalau Sultan Malikul Said, merestui hubungan mereka. Dan saat itu,
Fatimah dan I Ratu tinggal dan menetap di Bone bersama Abdullah, tepatnya di Mare’ karalla dan pindah ke

Leang-leang , Maros dan disana Abdullah diangkat sebagai pemimpin atau raja gallarrang Leang-leang.

Diposkan oleh Haeruddin di 09.02


Kisah Seorang Nelayan
Tersebutlah pada zaman dahulu, ada seorang nelayan yang miskin lagi jujur pergi keluar mejala di tengah
lautan. Gelombang besar tidak menakutkannya kerana dia sedar betapa dia mencari rezeki yang halal untuk
keluarganya. Dia sedar Allah akan memberkati rezekinya yang dicari dengan titik peluhnya sendiri.
Setelah beberapa lama dia menebarkan jala, dia tidak mendapat apa-apa tangkapan pun. Dia berhenti
seketika sambil menadah tangan ke langit seraya berdoa.
“Tuhanku, Engkau yang memberikan rezeki kepada sesiapa yang engkau kehendaki dan Engkau merahmati
sesiapa yang Engkau rahmati. Sesungguhnya aku mohon rezeki daripada-Mu untuk kuhidupi keluargaku,”
doanya dengan bersungguh-sungguh.
Setelah itu, dia menebarkan jalanya sekali lagi. Sewaktu nelayan itu menarik jalanya kali ini, dia mendapat
seekor ikan yang sangat luar biasa. Sisik ikan itu berkilau-kilauan seperti emas. Dua biji matanya pula
keliahtan seperti intan yang bergemerlapan. Nelayan itu mengucapkan kesyukurannya lalu bersujud di dalam
sampannya itu dan menadah ke langit sekali lagi. Dia belum pernah melihat ikan yang secantik dan seganjil
itu.
Setelah dia mengalihkan ikan itu ke dalam sebuah bekas yang mengandungi air laut, dia duduk berfikir
seketika.
“Pasti tidak ada sesiapa yang akan mahu membeli ikan ini dengan harga yang tinggi,” katanya dalam hati.
“Mereka akan menganggap ikan ini seperti ikan-ikan biasa yang lainnya.”
Setelah puas berfikir, dia mnegambil keputusan untuk membawa ikan itu sewaktu dia menghadap rajanya.
Raja di negeri tempat tinggalnya itu termasyhur sebagai seorang raja yang amat adil lagi bijaksana. Akan
tetapi, permaisuri baginda terkenal pula dengan sikap kikir sedta tamak. Namun, dia bertekad untuk
mempersembahkan ikan yang dia dapat itu kepada rajanya.
Sewaktu menghadap rajanya dengan mempersembahkan ikan tangkapannya itu, raja tersebut berasa takjub
lagi kagum ketika melihat ikan itu.
“Wahai nelayan, Di manakah engaku dapat ikan yang ganjil lagi ajaib ini?” titah raja.
Nelayan itu berdatang sembah sambil berkata, “Ampun tuanku! Patik dapat menangkap ikan yang ajaib ini
dengan menjalanya di sebuah teluk di lautan selatan negri ini.”
“Wah, sungguh engkau berani menjala ikan di sana pada masa keadaan laut bergelombang besar lagi
berbahaya pada musim ini!” puji raja.
“Ampun tuanku, dengan izin Allah juga, sesuatu yang susah dapat dilaksanakan,” sembah nelayan itu
dengan penuh takzim.
Baginda raja berasa gembira mendengar sembah nelayan itu lalu mengahdiahinya seribu wang emas.
Nelayan itu bersyukur sesudah mengucapkan terima kasih atas kurnia rajanya itu. Dia menerima pemberian
raja itu dengan penuh rasa hormat.
Pada waktu itu, permaisur raja lalu bertitah, “Ayuhai Kakanda, bukankah pemberian itu terlalu mahal bagi
harga seekor ikan sahaja.”
“Tidak mengapa, wahai adinda! Ikan yang beta dapat daripada nelayan ini bukan ikan sebarangan. Cuba
adinda lihat ….,” titah baginda lalu menunjukkan ikan yang sudah dialihkan ke dalam sebiji mangkuk yang
berisi air. Sisik ikan itu keemas-emasan sementara biji-biji matanya berkilau-kilauan seperti intan.
“Bagi adindalah, ikan tetap ikan,” celah permaisuri dengan megahnya.
“Kalau demikian menurut adinda, apakah yang mesti kakanda lakukan sekarang?” titah baginda sambil
tersenyum.
“Itu mudah sahaja,” jawab permaisuri dengan manja. “Kakanda panggil semula nelayan itu dan titahkan
kepadanya untuk diberitahu sama ada ikan itu jantan atau betina. Jikalah dia menjawab jantan, kakadan
katakan betina dan begitu sebalinya, supaya jawapan nelayan itu boleh dikatakn salah. Denga yang
demikian, wang yang diambil itu kanda paksa dia kembalikan.”
Setelah mendengar sembah permaisuri itu, raja itu lalu menitahkan pengawalnya memanggil nelayan itu
datang kembali menghadap baginda. Apabila dia mendengar bahawa dia diperintahkan supaya menghadap
baginda semula, nelayan itu tersentak. Namun, dia segera masuk menghadap raja.
“Ampun tuanku, pati datang mengadap,” sembah nelayan itu.
Raja itu lalu bertitah,”Beta mahu tahu. Jika jawapan kamu betul, tidak mengapa. Namun, jika jawapanmu
salah, beta mahu kamu kembalikan semula hadiah yang telah beta kurniakan kepada kamu sebentar tadi.”
“Titah dijunjung, ampun tuanku!” balas nelayan itu.
“Apakah ikan yang kami bawa sebentar tadi iakn jantan atau ikan betina?”
Nelayan itu berfikir sejenak. Dia pun lalu bersuara sesudah beberapa katika, “Ampun tuanku, sebenarnya
ikan itu bukan ikan jantan atau ikan betina. Ikan itu …..” jawanya sambil tersenyum simpul.
Raja itu kemudian ketawa terbahak-bahak! Sesusah reda ketawanya, baginda lalu bertitah, “Bagus, kamu
tidak perlu menjawabnya!” Baginda masih tersenyum simpul cuba menahan dirinya daripada terus ketawa.
Baginda lalu menghadiahi nelayan itu seribu wang emas lagi.
Melihatkan tindakan baginda raja, permaisur mengerut-ngerutkan keningnya sambil menarik wajah masam
kerana rancangannya tidak menjadi.
Nelayan itu semakin gembira mendapat wang tamahan itu. Dia pun lalu memasukkan wang yang baru
didapatinya ke dalam uncang yang dia bawa itu. Tiba-tiba sejumlah wang meas itu jatuh ke lantai. Nelayan
itu memnugutnya dengan segera dan memasukkannya semula.
Melihat akan hal itu, permaisuri lalu berbisik kepada baginda raja, “Lihat kakanda, betapa kedekutnya
nelayan ini. Satu keping wang mas pun dia kutip, sedangkan dia sudah memiliki hampir dua ribu keping
wang mas!”
Raja bersetuju dengan kata-kata permaisuri itu lalu baginda bertitah lagi, “Hai, nelayan. Kamu ini sangat
kedekut! Kamu mendapat banyak wang emas tetapi sekeping yang jatuh pun kamu pungut!”
Nelayan itu tersentak mendengar akan titah rajanya. Dia lalu mengangkat sembah seraya berkata, “Ampun
tuanku! Sebenarnya, patik memungut semula wang emas yang jatuh itu bukanlah patik kedekut dan tamak.
Patik amat menjunjung duli tuanku. Patik tidak rela wang emas yang ditempa dengan gambar wajah tuanku
jatuh di lantai dan dipijak-pijak orang, ampun tuanku!”
Mendengar akan jawapan nelayan itu, baginda berasa sungguh terharu. Tanpa berfikir-fikir lagi, baginda
menambah jumlah wang emas kepada nelayan itu. “Wahai nelayan yang bijaksana,” titah baginda, “Kamu
rakyat beta yang taat lagi setia. Beta tambah lagi jumlah wang emas kamu itu.”
“Ampun tuanku, kurnia tuanku patik junjung tinggi,” sembah nelayan itu lagi sambil mengukirkan senyuman
sekali lagi.
Permaisuri raja menjadi bertambah-tambah murka namun baginda hanya menahan dirinya. Nelayan itu
pulang ke rumah dengan perasaan yang sungguh gembira.

Anda mungkin juga menyukai