Anda di halaman 1dari 3

nama : Dika Adi Y/X-6/06

remidi : perancangan usaha grafika

A. salah satu produk grafika dianalisa SWOT

contoh analisis SWOT usaha kecil jenis kuliner, yaitu penjualan bakso :

Brand sudah terkenal di kalangan masyarakat


Harga sangat terjangkau dan masih dibawah kompetitor
Tempat yang strategis sehingga sangat mudah diakses
Konsep tempat berdesain ala anak muda, dengan dilengkapi
Strengths (Kekuatan)
Wifi
Konsep lesehan, sehingga mempermudah para pembeli untuk
makan dan lebih terasa kebersamaannya
Sudah mempunyai website dan forum pribadi
Bebas dari bahan berbahaya seperti pengawet, MSG, dll.

Banyak sekali pesaing di luar sana


Weakness (Kelemahan) Masih kurang inovasi dalam penyajian bakso
Masih kekurangan modal untuk mengembangkan usaha

Masyarakat sangat senang dengan makanan berkuah


Dengan daya inovatif dan kreatif usaha ini memiliki
kesempatan besar untuk menguasai pasar.
Opportunities (Kesempatan)
Anak muda yang sangat suka dengan tempat yang mempunyai
akses Wifi
Belum banyak tempat makan sederhana dan tersedia Wifi.
Harga bahan baku terus meningkat sehingga memaksa harga
Threats (Ancaman) bakso juga meningkat Masih sering terjadi gangguan pada
koneksi Wifi Banyak pesaing yang meniru konsep yang telah
kami buat. Membuat Analisis Strategi

B. Kesuksesan wirausaha grafika dengan satu produk unggulannya.

Biografi Tri Sumono pemilik CV 9 jaya


Tri sumono adalah seorang pengusaha yang memiliki berbagai usaha yaitu peternakan, perkebunan
jahe, pertanian padi dan masih banyak lagi. Memang usaha Pak Tri belumlah sebesar Yusuf Kalla atau
Aburizak Bakrie namun patut diacungi jempol. Melalui CV 3 Jaya miliknya, ia bermetamorfosa dari
seorang tukang sapu menjadi seorang pengusaha yang terbilang cukup sukses.

Tri Sumono dilahirkan di Gunung Kidul tanggal 7 Mei 1973. Ia hanyalah seorang lulusan SMA. Tri
Sumono lalu hijrah ke Jakarta dengan harapan dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang
layak. Dengan berbekal ijazah SMA dan beberapa kaos di tas ia mencari pekerjaan di Jakarta. Ia sadar
bahwa lulusan SMA tak mungkin bisa bekerja di kantoran.

Sesampainya di Jakarta ia menerima pekerjaan apapun agar bisa membeli makanan. Kemudian ia
mendapat tawaran bekerja sebagai tukang sapu di sebuah kantor di Palmerah – Jakarta Barat.

Tak perlu menunggu waktu lama, Tri Sumono kemudian diangkat menjadi tenaga pemasar hingga
menjadi penanggungjawab di gudang. Ia juga seorang yang ulet. Ketika hari libur, ia mencari penghasilan
tambahan dengan menjual aksesoris seperti jepit rambut dan kalung di Stadion Gelora Bung Karno. Pak
Tri melakukan ini selama 4 tahun dengan bermodal uang 100 ribu rupiah.

Saat berjualan tersebut ia berfikir bahwa ternyata hasil dari berdagang jauh lebih menjanjikan dari pada
jadi karyawan yang gajinya sedikit dan sulit naiknya. Akhirnya ia mengambil keputusan keluar dari
pekerjaannya dan memilih fokus berjualan aksesoris.

Tri Sumono terus mengembangkan impiannya, ia tak mau berhenti di satu lini usaha saja, pemikrannya
adalah dengan memiliki banyak usaha maka jauh lebih baik dan lebih stabil pemasukannya dibanding
sedikit usaha.

Ia kemudian menangkap peluang membuat nata de coco. Dari info yang diperolehnya, nata de coco
adalah sari kelapa yang difermentasikan dengan bantuan bakteri Acetobacter xylium. Ia kemudian
membeli bakteri ini di LIPI Bogor. Kemudian hasil produksinya itu dipasarkan ke beberapa perusahaan
minuman kemasan di JaBoDeTaBek.

Awalnya banyak yang membeli nata de coco darinya namun lama kelamaan orderan menjadi sepi
karena ternyata kualitas sari kelapanya menurun, bahkan ia akhirnya menghentikan proses produksinya.

Ia memutar otak untuk mencari tahu cara membuat sari kelapa atau nata de coco yang baik. Ia pun
nekad menemui salah satu dosen IPB dan mengatakan kalau ia ingin belajar membuat nata de coco yang
baik, ia juga menyatakan bersedia membayar berapapun demi memperoleh ilmu itu.

Mulanya si dosen memandang sebelah mata mungkin dalam hatinya berkata tak mungkin orang seperti
Tri Sumono yang hanya lulusan SMA bisa mencerna keterangan darinya. Namun Pak Tri tetap bersih
keras ingin belajar darinya dan Pak Tri pun menang. Dosen itu mempersilahkan Pak Tri untuk belajar dua
bulan membuat nata de coco yang berkualitas. Setelah ilmunya dirasa cukup, Pak Tri pun mulai
memproduksi lagi dan menawarkan nata de coco hasil produksinya ke beberapa perusahaan.

Hasilnya sangat memuaskan. Banyak perusahaan minuman yang membeli sari kelapa darinya. Ia
langsung memproduksi 10.000 nampan sekaligus dengan nilai 70 juta rupiah. Saat ini kondisinya
terbalik, banyak perusahaan yang antri membeli sari kelapa dari Tri Sumarmo.

Dalam satu bulan, omset usahanya bisa mencapai 500 juta sampai satu miliar. Benar-benar keajaiban
itu ada. Seorang tukang sapu lulusan SMA telah menjelma menjadi miliarder jika memiliki impian dan
terus berusaha mengejar impian itu. Usaha Tri terus berdiversivikasi ke perkebunan jahe dan pertanian
padi serta jual beli properti.

Sekali lagi pepatah yang menagtakan “Sukses itu hak setiap orang” telah terbukti di hidup Tri Sumono,
pemilik CV 3 Jaya.

Anda mungkin juga menyukai