Anda di halaman 1dari 3

Pancasila dan keharusan reaktualisasi

Orde baru berakhir pada 1998, Sepanjang masa orde baru Pancasila dijadikan Negara sebagai
rujukan, orientasi pembangunan, dan digalakkan di berbagai tingkatan.

Suasana tersebut berubah total setelah pergerakkan reformasi muncul, dan mengakhiri masa
kekuasaan panjang orde baru. Bersamaan dengan itu semua, bermunculan ancaman disintegrasi,
seperti : Lepasnya Timor Timur, Gerakkan Aceh Merdeka untuk memisahkan diri dari NKRI, Gerakkan
Papua Merdeka, dan konflik-konflik antar etnis lainnya di Indonesia.

Berbagai konflik dan pergerakkan yang menambah daftar panjang perusak integritas bangsa dan jati
diri Indonesia. Bahkan beragam realitas yang tidak sejalan dengan cita-cita reformasi, dan tujuan
awal dibentuknya Negara Indonesia ini tidak hanya menjadi ancaman bagi demokrasi semata, tetapi
menjadi ancaman serius terhadap eksistensi Empat Konsensus atau pilar wawasan kebangsaan
Indonesia : Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Saat gegap gempita reformasi merebak, bermunculan pandangan tentang bagaimana memosisikan
Pancasila dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara. Ada kelompok yang melihat demokrasi liberal
sebagai penyebab keterpurukan bangsa. Kelompok ini beranggapan keterpurukan tersebut
dikarenakan bangsa Indonesia telah meninggalkan Pancasila.

Sebaliknya kelompok lain beranggapan pula, demokrasi adalah pilihan yang tepat. Bagi kelompok ini
pancasila tetap sebagai dasar dar negra.

Pancasila sebagai ideologi Indonesia yang terbuka dan lahir dari budaya Indonesia, sebagai
perwujudan atas kemerdekaan Indonesia. Pancasila sepantasnya dibarengi dengan pendidikan, dan
pengajaran Pancasila melalui pembelajaran dengan pendekat bagi pengajar, dan peserta didik.

Pada 2001 Kuntowijoyo memunculkan gagasan “Radikalisasi Pancasila” yang berisi : 1)


Mengembalikan Pancasila sebagai ideology negara; 2) Mengembalikan Pancasila sebagai ideologi
menjadi Pancasila sebahgai ilmu; 3) Mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi tehadap
produk-produk perundangan, koherensi antara sila, dan korespondensi dengan realisasi social; 4)
Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan negara menjadi melayani kepentingan rakyat;
dan 5) Menjadikan pancasila kritik kebijakan negara.

Sebagai system yang digali dari kebudayaan, dan pengalaman Indonesia, Pancasila harus
ditempatkan sebagai cita-cita dan etika berpolitik warga negara. Maka sila-sila Pancasila yang terkait
harus menjadi orientasi praktik politik setiap hari. Misalnya sila pertama “ketuhanan Yang Maha Esa”
yang mengandung prinsip spiritual harus besinergi dengan prinsip sila kedua “Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab” dimana berpolitik sebagai cara menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, dan keadilan di
dunia sebagai pesan universal Agama.

Menurut budayawan Abdul Hadi W.M, adalah menjadi kekuasaan negara dijadikan
sebagai, Pertama, asas legalitas atau legistimasi hukum yang berlaku di NKRI berdasarkan
pancasila. Kedua, disahkan dan dijalaankan secara demokratis. Ketiga, dilaksanakan berdasarkan
prinsip moral.
Pancasila: Pengertian Etimologi, Historis, dan Terminologi

Pancasila terdiri dari dua kata, panca artinya “lima” dan sila artinya “dasar”. Secara harfiah,
Pancasila memiliki pengertian “Dasar yang memiliki lima unsur”. Secara historis Pancasila tidak lepas
dari situasi perjuangan bangsa Indonesia menjelang kemerdekaan.

Menurut Soekarno, panduan, dan dasar negara Indonesia mestilah bukan meminjam dari unsur-
unsur asing yang tidak sepenuhnya sesuai dengan jati diri bangsa, tetapi harus digali dari rahim
kebudayaan Indonesia sendiri..

Pada sidang BPUPKI 29 Mei 1945, Mr. Mohammad Yamin mengusulkan dasar negara yang
mencerminkan asas dasar negara Indonesia. antara lain:

1.      Peri Kebangsaan.

2.      Peri Kemanusiaan.

3.      Peri ketuhanan.

4.      Peri kerakyatan.

5.      Kesejahteraan Rakyat.

Kemudian yang disarikan secara tertulis dalam bentuk rancangan konstitusi atau UUD RI. Pada
bagian pembukaan usulan konstitusi tersebut termaktub rumusan dasar negara sebagai berikut.

1.       Ketuhanan Yang Maha Esa.

2.      Kebangsaan persatuan Indonesia.

3.      Rasa kemaqanusiaan yang adil dan beradab.

4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

5.      Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada 22 Juni 1945 sembilan tokoh pergerakkan nasional yang disebut panitia Sembilan antara lain:
Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Moezakir,
Haji  Agus Salim,  Jakarta panitia Sembilan menyusun sebuah piagam yang kemudian dikenal dengan
“Piagam Jakarta” dirumuskan di dalamnya butir-butir pancasila sebagai berikut:

1.      Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.

2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3.      Persatuan Indonesia.

4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

5.      Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.


Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD’45.
Pengesahan ini meliputi:

1.      Melakukan beberapa perubahan pada rumusan Piagam Jakarta yang kemudian berfungsi
sebagai pembukaan UUD’45.

2.      Menetapkan rancangan hukum dasar yang telah diterima badan penyidik pada 17 Juli 1945,
setelah mengalami berbagai perubahan karena berkaitan dengan perubahan Piagam Jakarta ,
kemudian berfungsi sebagai Undang-Undang Dasar 1945.

3.      Memilih presiden dan wakil presiden pertama.

4.      Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai Badan Musyawarah Darurat.

Berdasarkan pengesahan tersebut UUD’45 terdiri dari Pembukaan, dan pasal-pasal yang terdiri dari
37 pasal, 1 Aturan peralihan yang terdiri dari 4 pasal, dan 1 Aturan tambahan yang terdiri dari 2 ayat.
Pada bagian pembukaan konstitusi UUD’45 inilah kelima sila pada Pancasila yang sering kita ucapkan
dan dengarkan hingga saat ini tercantum.

Anda mungkin juga menyukai