Anda di halaman 1dari 27

TERAPI CAIRAN DAN BALANCE SALT SOLUTION

I. PENDAHULUAN
Terapi cairan intravena perlu diperlakukan seperti obat, layaknya insulin,
kemoterapi, atau antibiotik. Pemberian cairan harus sesuai dengan kondisi anak,
diberikan dalam dosis yang tepat dengan komposisi elektrolit yang sesuai. 1
Kelainan cairan dan elektrolit umum ditemukan pada anak yang dirawat di rumah
sakit. Sebuah pendekatan yang disesuaikan dengan tiap individu (individualized)
dibutuhkan dalam memberikan terapi cairan sesuai dengan diagnosis dan
keparahan penyakitnya.2

Cairan intravena dapat dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu kristaloid dan
koloid. Larutan kristaloid mengandung air, elektrolit, dan/atau glukosa, sedangkan
koloid mengandung albumin dan produk darah. Cairan intravena dapat bersifat
isotonik, hipotonik, dan hipertonik. Secara umum, larutan isotonik digunakan
untuk menggantikan cairan ekstraseluler, larutan hipotonik untuk mengganti
cairan intraseluler dan ekstraseluler, serta larutan hipertonik digunakan untuk
mengoreksi hiponatremia yang simtomatik.3

Terapi cairan dibagi menjadi tiga, yaitu terapi cairan rumatan (maintenance),
terapi cairan pengganti (replacement), dan terapi cairan pengganti defisit (deficit
replacement).4 Terapi cairan rumatan diberikan pada seorang anak yang tidak
dapat makan secara enteral. Bersamaan dengan cairan rumatan, seorang anak
dapat diberikan terapi cairan pengganti bila terjadi kehilangan cairan yang sedang
berlangsung (on going). Bila dehidrasi sudah terjadi, seorang anak memerlukan
tambahan terapi cairan pengganti defisit. Anak yang menunggu operasi bisa jadi
hanya membutuhkan terapi cairan rumatan, sedangkan seorang anak dengan
dehidrasi akibat diare memerlukan terapi cairan rumatan dan pengganti defisit,
serta bahkan terapi cairan pengganti bila diare masih terus terjadi.5

II. PEMASUKAN DAN PENGELUARAN CAIRAN TUBUH


Tubuh mendapatkan cairan dengan dua sumber utama, yaitu ditelan dalam bentuk
likuid atau air dalam makanan yang dapat menambah cairan tubuh sebanyak 2.100
ml/hari dan sintesis dalam tubuh melalui mekanisme oksidasi karbohidrat yang
menambah sekitar 200 ml/hari cairan tubuh. Pemasukan ini sangat bervariasi di
antara individu bergantung pada iklim, kebiasaan, dan level aktivitas.6

Mekanisme kehilangan cairan dalam tubuh dibagi menjadi empat, yaitu


insensible water loss, kehilangan cairan melalui keringat, melalui feses, dan oleh
ginjal. Sebagian cairan yang hilang tidak dapat dihitung secara akurat, misalnya
akibat evaporasi dari saluran respirasi dan difusi melalui kulit yang diperkirakan
dapat menyebabkan kehilangan cairan sekitar 700 ml/hari dalam kondisi normal.
Jumlah air yang hilang melalui keringat sangat lah bervariasi bergantung pada
aktivitas fisik dan temperatur lingkungan. Volume keringat normalnya sekitar 100
ml/hari. Melalui feses hanya sedikit (sekitar 100 ml/hari) air yang hilang. Namun
bila diare berat, air yang hilang dapat meningkat hingga beberapa liter per hari.
Mekanisme terakhir hilangnya cairan tubuh adalah melalui urin yang
diekskresikan ginjal. Pada seseorang yang dehidrasi volume urin bisa hanya 500
ml/hari, sebaliknya pada seseorang yang meminum banyak sekali air, volume urin
dapat mencapai 20 L/hari.6

III. KOMPOSISI CAIRAN TUBUH


Total body water (TBW) merupakan persentase cairan tubuh yang tersimpan di
dalam kompartemen cairan tubuh berdasarkan berat badan. TBW dibagi atas dua
kompartemen utama, yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. 6 Pada fetus
dan neonatus, volume cairan ekstraseluler lebih banyak daripada volume cairan
intraseluler. Namun pada usia 1 tahun, rasio volume cairan intraseluler berbanding
cairan ekstraseluler mencapai level yang sama dengan dewasa. Volume cairan
ekstraseluler diestimasi sekitar 20-25% berat badan dan volume cairan intraseluler
diestimasi sekitar 30-40% berat badan.7

Cairan ekstraseluler dibagi menjadi cairan plasma (intravaskuler) dan cairan


interstisial.6 Cairan plasma meliputi 5% berat badan dan volumenya dipengaruhi
oleh berbagai kondisi patologis seperti dehidrasi, anemia, polisitemia, gagal
jantung, osmolalitas plasma yang abnormal, dan hipoalbuminemia. Sedangkan
cairan interstitial meliputi sekitar 15% berat badan (gambar 1) dan dapat
mengalami peningkatan pada penyakit yang berkaitan dengan edema seperti gagal
jantung, protein-losing enteropathy, gagal hati (liver failure), sindrom nefrotik,
sepsis, ascites, dan efusi pleura.7 Ada sebuah kompartemen kecil lain yang dikenal
sebagai cairan transeluler, yaitu cairan sinovium, peritoneum, perikardium,
intraokular, dan serebrospinal. Biasanya cairan transeluler dianggap sebagai
cairan ekstraseluler yang khusus dengan komposisi yang berbeda dengan cairan
plasma atau interstisial. Seluruh cairan trasnseluler bila digabungkan bersama
dapat berjumlah sekitar 1 hingga 2 liter.6
Gambar 1. Kompartemen total body water yang dinyatakan dalam persentase berat
badan pada anak dan dewasa.7

Terdapat keseimbangan antara cairan intravaskuler dan interstisial.


Keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan onkotik mampu menjaga volume
intravaskuler dengan perfusi jaringan yang adekuat. Cairan intravaskuler memiliki
konsentrasi albumin yang lebih tinggi daripada cairan interstisial sehingga tekanan
onkotik menarik cairan masuk ke dalam intravaskuler. Tekanan hidrostatik
dipengaruhi oleh aksi pompa jantung yang mendorong cairan intravaskuler di
ujung arteri kapiler untuk keluar ke rongga interstisial. Umumnya terjadi
pergerakan yang seimbang dengan adanya penurunan tekanan hidrostatik dan
peningkatan tekanan onkotik di ujung vena kapiler yang membuat air berpindah
dari rongga interstisial ke dalam sirkulasi kembali. Cairan yang masih tersisa
dalam rongga interstitial akan masuk lagi ke sirkulasi melalui pembuluh limfe.7

IV. KOMPOSISI ELEKTROLIT


Cairan plasma dan interstisial dipisahkan oleh membran kapiler yang highly
permeable sehingga komposisi elektrolitnya serupa. Yang paling membedakan
kedua kompartemen ini adalah konsentrasi protein yang lebih tinggi di plasma.
Akibat efek Donnan, konsentrasi kation sedikit lebih tinggi (sekitar 2%) di plasma
bila dibandingkan dengan cairan interstisial. Protein dalam plasma memiliki
muatan negatif sehingga cenderung berikatan dengan kation seperti natrium dan
kalium sehingga memiliki jumlah natrium dan kalium yang tinggi di plasma.
Sebaliknya anion cenderung sedikit lebih tinggi konsentrasinya di cairan
interstisial karena muatan negatif protein di plasma menolak anion. Untuk
memudahkan, konsentrasi ion di cairan interstisial dan plasma dapat dianggap
serupa. Selain itu, cairan esktraseluler memiliki ion bikarbonat yang tinggi,
namun kuantitas kalium, kalsium, magnesium, fosfat, dan ion asam organik lain
yang rendah (gambar 2).6

Gambar 2. Konsentrasi kation dan anion di rongga intraselular dan plasma,


dinyatakan dalam mEq/L.7

Cairan intraseluler dipisahkan dari cairan ekstraseluler melalui membran sel


yang highly permeable terhadap air, namun tidak permeabel terhadap mayoritas
elektrolit di tubuh. Cairan intraseluler hanya sedikit mengandung natrium dan
klorida, hampir tidak ada kalsium. Berkebalikan dengan cairan ekstraseluler,
cairan intraseluler malah memiliki konsentrasi kalium dan fosfat yang tinggi
dengan kuantitas sulfat dan magnesium yang moderate (tabel 1). Sel juga
mengandung banyak protein (hampir empat kali lipat dari protein dalam plasma).6

Tabel 1. Osmolaritas zat dalam cairan intraseluler dan ekstraseluler.6

Plasma Interstisial Intraseluler


Kandungan
(mOsm/L H2O) (mOsm/L H2O) (mOsm/L H2O)
Na+ 4,2 4,0 140
Ca2+ 1,3 1,2 0
Mg2+ 0,8 0,7 20
Cl- 106 108 4
HCO3- 24 28,3 10
HPO4-, H2PO4- 2 2 11
SO4- 0,5 0,5 1
Fosfokreatinin 45
Karnosin 14
Asam amino 2 2 8
Kreatinin 0,2 0,2 9
Kandungan Plasma Interstisial Intraseluler
(mOsm/L H2O) (mOsm/L H2O) (mOsm/L H2O)
Laktat 1,2 1,2 1,5
Adenosin trifosfat 5
Hexose monofosfat 3,7
Glukosa 5,6 5,6
Protein 1,2 0,2 4
Urea 4 4 4
Total mOsm/L 299,8 300,8 301,2
Corrected osmolar 282 281 281
activity (mOsm/L)
Tekanan osmotik total di 5441 5423 5423
suhu 37⁰C (mmHg)

V. OSMOLALITAS
Osmolalitas adalah konsentrasi za terlarut yang dinyatakan per kilogram air,
sedangkan osmolaritas adalah konsentrasi zat terlarut yang dinyatakan per liter
cairan.6 Cairan intraseluler dan ekstraseluler berada dalam kondisi equilibrium
osmolalitas karena membran sel permeabel terhadap air. Bila osmolalitas pada
satu kompartemen berubah, perpindahan air akan segera terjadi untuk
menyamakan osmolalitasnya. Osmolalitas plasma normalnya adalah 285-295
mOsm/kg. osmolalitas plasma dapat diestimasi dengan perhitungan formula
berikut:7

Osmolalitas = 2 x [Na] + [glukosa]/18 + [BUN]/2,8

Perkalian konstanta 2 dengan konsentrasi natrium memberikan gambaran kasar


angka osmolalitas. Urea dapat permeabel dengan mudah di antara intraseluler dan
ekstraseluler sehingga pada kondisi normal tidak ada perbedaan konsentrasi urea
yang dapat memindahkan air. Kondisi hiperglikemia dapat meningkatkan
osmolalitas plasma sehingga terjadi perpindahan air dari intraseluler ke rongga
ekstraseluler. Secara klinis ini penting untuk dikenali pada anak dengan
hiperglikemia akibat ketoasidosis diabetikum. Perpindahan air yang signifikan
menyebabkan dilusi natrium di rongga ekstraseluler yang berimplikasi pada
terjadinya hiponatremia. Dikenal istilah effective osmolality (atau nama lainnya
tonicity) yang menentukan tekanan osmotik yang mampu memindahkan air di
antara rongga esktraseluler dan intraseluler dengan formula:7

Effective osmolality = 2 x [Na] + [glukosa]/18

Osmolalitas plasma diregulasi secara ketat pada rentang nilai 285-295


mOsm/kg. Osmoreseptor di hipotalamus dapat menilai perubahan osmolalitas
plasma meski hanya 1%. Bila terjadi peningkatan pada effective osmolality,
neuron di nukeli supraoptik dan paraventrikular di hipotalamus akan
mensekresikan hormon antidiuretic (antidiuretic hormone [ADH]). Ujung akson
neuron ini berakhir di pituitari posterior. ADH yang bersirkulasi berikatan dengan
reseptor V2 di sel-sel collecting duct di ginjal menyebabkan ekspresi water
channel (aquaporin-2) ke collecting duct. Hal ini menyebabkan peningkatan
permeabilitas terhadap air yang berimplikasi pada peningkatan resorpsi air ke
medulla renalis. Hasil akhirnya adalah konsentrasi urin yang meningkat dan
ekskresi urin yang berkurang. Sekresi ADH menghilang saat osmolalitas plasma
terlalu rendah, menyebabkan ekskresi urin yang encer.7

Osmoreseptor di hipotalamus berhubungan dengan korteks serebri untuk


menstimulasi rasa haus saat osmolalitas plasma meningkat. Saat terjadi deplesi
volume cairan intravaskuler, stimulasi untuk sekresi ADH dan rasa haus terjadi
bersama-sama, tanpa memandang osmolalitas plasma. Sensasi rasa haus
membutuhkan deplesi volume cairan yang moderate dan perubahan osmolalitas
plasma 1-2%. Baroreseptor yang menilai perubahan volume plasma, dapat juga
menstimulasi rasa haus.7

VI. LARUTAN ISOTONIK, HIPOTONIK., DAN HIPERTONIK


Efek konsentrasi yang berbeda dari larutan yang impermeabel di cairan
ekstraseluler terhadap volume sel dapat dilihat di gambar 3. Bila sebuah sel
diletakkan di larutan yang osmolaritasnya 292 mOsm/L (isotonik), sel tersebut
tidak akan mengerut atau membengkak karena konsentrasi air di cairan intra dan
ekstraseluler sudah sama. Contoh cairan isotonic adalah 0,9% NaCl atau 5%
larutan glukosa (dekstrosa). Jika sel diletakkan di larutan hipotonik dengan
osmolaritas <282 mOsm/L, air akan berdifusi ke dalam sel menyebabkan
pembengkakan sel dengan tujuan menyamakan osmolaritas di dalam dan luar sel.
Larutan NaCl dengan konsnetrasi <0,9% merupakan larutan hipotonik. Bila sel
diletakkan ke dalam larutan hipertonik, air akan keluar dari dalam sel ke rongga
ekstraseluler menyebabkan sel mengerut hingga konsentrasi air di keduanya sama.
Larutan NaCl dengan konsnetrasi >0,9% merupakan larutan hipertonik.6
Gambar 3. Efek larutan isotonic (A), hipertonik (B), dan hipotonik (C) terhadap
volume sel.6

VII. KOMPOSISI CAIRAN INTRAVENA DAN INDIKASINYA


Cairan intravena dapat dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu kristaloid dan
koloid. Larutan kristaloid mengandung air, elektrolit, dan/atau glukosa, sedangkan
koloid mengandung albumin dan produk darah. Cairan intravena dapat bersifat
isotonik, hipotonik, dan hipertonik. Secara umum, larutan isotonik digunakan
untuk menggantikan cairan ekstraseluler, larutan hipotonik untuk mengganti
cairan intraseluler dan ekstraseluler, serta larutan hipertonik digunakan untuk
mengoreksi hiponatremia yang simtomatik.3 Cadangan glikogen dalam hati dan
otot anak-anak jumlahnya paling sedikit saat baru lahir membuat pasien anak-
anak lebih kesulitan menjaga normoglikemia melalui glikogenolisis dan
glukoneogenesis saat puasa. Kebutuhan eletrolit dan cairan berkaitan dengan
metabolisma. Anak-anak memiliki metabolisme yang lebih tinggi sehingga lebih
banyak membutuhkan cairan dan glukosa. Anak-anak berisiko mengalami
dehidrasi dan hipoglikemia saat puasa sehingga terapi cairan pada anak-anak
direkomendasikan agar mengandung suplementasi dekstrosa.8 Komposisi cairan
intravena yang umum digunakan dapat dilihat di tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Komposisi larutan kristaloid3,9-14
Osmolalitas Na+ Cl- K+ Ca2+ Laktat Glukosa Lainnya
Larutan
(mOsm) (mEq/L) (g/dL)
NS (0,9%) 308 154 154 - - - - -
D5NS (2A) 586 154 154 - - - 50 -
D5 278 - - - - - 50 -
D10 555 - - - - - 100 -
D20 1112 - - - - - 200 -
D5 ¼NS 355 38 38 - - - 50 -
D5 ½NS 432 77 77 - - - 50 -
D5LR 525 130 109 4 2,7 28 50 -
½NS 154 77 77 - - - - -
3% NaCl 1026 513 513 - - - - -
RL 272 130 109 4 3 28 - -
RA 272 130 109 4 3 - - Asetat 28
PlasmaLyteAa 294 140 98 5 - 8 - -
Sterofundin 304 140 127 4 2,5 - - Asetat 24,
maleate 5
KA-EN 1B 38,5 38,5 - - - 37.5 -
KA-EN 3A 60 50 10 - 20 27 -
KA-EN 3B 50 50 20 - 20 27 -
KA-EN 4A 30 20 10 - 10 40 -
KA-EN 4B 30 28 8 - 10 37,5 -
KA-EN MG3 50 50 20 - 20 100 -
Keterangan:
a
mengandung tambahan Mg2+ 3 mEq/L, asetat 27 mEq/L, dan glukonat 23 mEq/L.
NS Normal Saline (NaCl 0,9%); D5NS 5% dekstrosa dalam 0,9%NaCl; D5 5% desktrosa dalam
air; D10 10% desktrosa dalam air; D20 20% desktrosa dalam air; D5 ¼NS 5% desktrosa dalam
0,225% NaCl; D5 ½NS 5% dekstrosa dalam 0,45% NaCl; ½ NS 0,45% NaCl; RL Ringer’s
Lactate; RA Ringer’s Acetate.3

Tabel 3. Komposisi koloid selain produk darah3


Larutan Osmolalitas Na+ Cl- Albumin Dekstran HES COP
(mOsm) (mEq/L) (mEq/L) (d/L) (g/L) (g/L) (mmHg)
Albumin 5% 308 154 154 50 - - 20
Albumin 308 154 154 250 - - 100
25%
Dextran-40 310 154 154 - 100 - 68
Dextran-70 310 154 154 - 60 - 70
HES 6% 310 154 154 - - 60 30
Gelofusin 274 154 125 - - - 26-29
Keterangan: HES hetastarch; COP colloid oncotic pressure.

Dekstrosa dalam Air (Dextrose in Water)


Dekstrosa dalam air tersedia sebagai larutan 2.5, 5, 10, dan 20% (mengandung 25,
50, 100, dan 200 gram dekstrosa dalam 1 L air). Dekstrosa dimetabolisme
menjadi air dan karbondioksida, sedangkan air dalam larutan tersebut akan
terdistribusi dalam kompartemen ekstraseluler dan intraseluler. Dalam
penggunaan klinis, larutan dekstrosa yang paling umum digunakan adalah larutan
5% dekstrosa yang biasa ditulis sebagai D5W (5% dextrose in water). Indikasi
pemberian D5W meliputi:
a. Untuk menggantikan defisit cairan pada kasus hipernatremia
b. Untuk menyediakan energi dan mencegah starvasi (ketosis)
c. Untuk mengatasi hipoglikemia
d. Untuk dikombinasikan dengan larutan asam amino sebagai nutrisi
parenteral
e. Sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan syndrome of inappropriate
antidiuretic hormone karena konsentrasi Na+ sangat rendah
f. Sebaiknya tidak memberikan D5W bila bertujuan untuk ekspansi volume
ekstraseluler pada pasien hipovolemia atau pasien hipokalemia.3

Larutan NaCl
Larutan NaCl tersedia sebagai larutan 0.225%, 0.45%, 0,9%, 3%, dan 5%
(mengandung 38.5, 77, 154, 513, dan 1250 mEq Na+ dalam 1 L larutan). 0,9%
NaCl dikenal pula sebagai normal saline (NS) dan bersifat isotonik. Larutan
0,225% dan 0,45% NaCl disebut sebagai larutan hipotonik. Sedangkan larutan 3%
dan 5% NaCl disebut sebagai larutan hipertonik. Indikasi pemberian larutan NaCl
terdapat pada tabel 4.3

Tabel 4. Indikasi pemberian larutan NaCl3


Isotonik (0,9% NaCl)
1. Untuk ekspansi volume ekstraseluler pada pasien hipovolemia
2. Untuk mengatasi hiponatremia pada pasien hipovolemia
3. Untuk mengatasi metabolik alkalosis
4. Untuk mengatasi hipernatremia pada pasien hipotensi
5. Larutan yang lebih dipilih pada pasien yang menjalani pemeriksaan
radiologi dengan kontras
6. Larutan yang lebih dipilih pada pasien kritis yang mengalami renjatan,
Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dan terkadang luka bakar
7. Harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan kelebihan Na+,
misalnya pada gagal hati dan gagal jantung.
Hipotonik (0,45% NaCl)
1. Untuk mengatasi hipernatremia pada pasien hipovolemia yang memiliki
defisit cairan yang lebih banyak daripada defisit elektrolit
2. Tidak untuk digunakan pada kondisi hipotonik hiponatremia
Hipertonik (3%, 5% NaCl)
1. Untuk mengatasi hiponatremia simtomatik
2. Untuk diberikan pada pasien trauma kepala
3. Untuk mengatasi hipotensi dan kram otot pada pasien hemodialisis.
Dekstrosa dalam NaCl
Dekstrosa dalam NaCl tersedia sebagai D5 dalam 0,225% NaCl, 0,45% NaCl, dan
0,9% NaCl. Larutan ini menyediakan elektrolit berupa Na+ dan Cl- serta energi
dari dekstrosa. Indikasinya serupa dengan D5W, namun dapat digunakan untuk
koreksi ketidakseimbangan elektrolit.3

Balanced Salt Solution


Seiring berjalannya waktu, dikembangkan larutan yang lebih fisiologis dengan
komposisi garam yang lebih menyerupai darah daripada 0,9% NaCl yang
kemudian disebut sebagai balance salt solution (BSS).1,15 Larutan NaCl yang
mengandung konsentrasi [Cl-] yang tinggi menyebabkan kondisi yang dikenal
sebagai asidosis metabolik hiperkloremik.1,16 Dalam penelitan yang
membandingkan pemberian NS dan RL dalam resusitasi cairan, didapatkan 2/3
subjek penelitian dari grup NS mengalami asidosis metabolik hiperklorik,
sedangkan dalam grup RL tidak ada. 17 Pemberian NS dalam volume besar juga
lebih berisiko menyebabkan overload cairan interstisial dan mengakibatkan
edema daripada BSS. Hal ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler
akibat asidosis metabolik hiperkloremik.1 Dalam studi eksperimental hewan,
administrasi NS diikuti dengan peningkatan mediator proinflamasi. Pada pasien
yang menjalani operasi, terdapat peningkatan risiko infeksi pada pasien yang
mendapat NS daripada yang mendapat BSS.15

Asidosis dapat dicegah dengan pemberian bikarbonat atau metabolizable anion


seperti asetat, laktat, malate, dan sitrat. Contoh BSS adalah lactated Ringer’s
solution, Hartmann’s solution, dengan sedikit perubahan konsentrasi ion Plasma-
Lyte dan Sterofundin. Pemerian metabolizable anion untuk mengganti klorida
sudah terbukti tidak meningkatkan keasaman plasma. Selain itu BSS tidak
mengurangi aliran darah ke arteri renalis dan perfusi korteks renalis, hal yang
terlihat pada infus NS.15

Sekitar 110 tahun yang lalu, Sydney Ringer (1834-1910), seorang dokter
Australia mengenalkan larutan NaCl yang mengandung ion K2+ dan Ca2+. 80 tahun
kemudian, Alexis Hartmann (1898-1964), seorang dokter anak di Amerika,
menambahkan laktat non Cl- untuk mencegah asidosis metabolik. Larutan yang
dikembangkan oleh Hartmann kemudian dikenal sebagai Ringer Laktat.
Kemudian seiring berjalannya waktu, dibuat dibuat BSS dengan asestat sebagai
pengganti laktat. Asetat menstabilisasikan pH lebih cepat daripada laktat dan
dimetabolisme di berbagai jaringan, sedangkan laktat secara umum hanya
dimetabolisme di hepar.1 Larutan ini dikenal sebagai Ringer Acetate (RA) yang
direkomendasikan pada pasien dengan kelainan fungsi hati. Dalam British
Consensus Guidelines on Intravenous Fluid Therapy for Adult Surgical Patient,
BSS lebih direkomendasikan daripada NS untuk resusitasi cairan. NS berpotensi
menyebabkan dilutional-hyperchloremic acidosis, yaitu efek samping setelah
pemberian NS dalam jumlah besar.17 Secara umum penggunaan BSS dapat
diberikan untuk mengatasi masalah yang muncul pada penggunaan NS.15

RL adalah BSS yang paling rutin digunakan dalam terapi cairan karena
dianggap sebagai physiologic saline. RL mengandung lebih sedikit Na+ daripada
NS sehingga tidak seefektif NS dalam ekspansi volume. Namun, RL tidak
direkomendasikan pada pasien gagal ginjal karena kandungan K + dapat
menyebabkan hiperkalemia. Indikasi pemberian RL meliputi:

a. Untuk mengganti kehilangan cairan isotonik pada kasus luka bakar atau
operasi
b. Untuk mengoreksi asidosis metabolik dengan hipokalemia
c. Tidak digunakan untuk sekadar ekspansi volume saja, kecuali pasien
mengalami hipokalemia dan/atau hipobikarbonatemia
d. Tidak digunakan pada pasien lactic acidosis, meski RL sendiri tidak
berpotensi menyebabkan lactic acidosis pada pasien dengan renjatan
e. Tidak digunakan pada pasien gagal ginjal karena berpotensi menyebabkan
hiperkalemia
f. Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan gagal hati.3

Penggunaan KA-EN bukan ditujukan untuk resusitasi, namun direkomendasikan


sebagai terapi rumatan yang disesuaikan dengan kondisi individu. Pada pasien
dewasa, KA-EN 3B menjadi rekomendasi terapi rumatan yang mengimbangi
kebutuhan cairan, elektrolit, dan dekstrosa.11 Pada anak-anak pemberian KA-EN
disesuaikan dengan konsentrasi elektrolit dan kebutuhan dekstrosa harian.
Kemampuan pemberian nutrisi enteral juga dipertimbangkan. Pada anak yang
hanya dapat menerima nutrisi parenteral, perlu diberikan larutan dengan
kandungan dekstrosa yang lebih tinggi. KA-EN juga direkomendasikan pada anak
dengan hipernatremia karena kandungan natriumnya yang rendah dan dapat pula
digunakan untuk mengoreksi kalium bila terjadi hipokalemia. KA-EN 3A
mengandung kalium 10 mEq/L, sedangakan KA-EN 3B memiliki kandungan
kalium lebih tinggi, yaitu 20 mEq/L (kandungan dekstrosa keduanya masing-
masing hanya 27 g/L).10,11 KA-EN MG3 dapat diberikan pada pasien anak
hipokalemia (mengandung kalium 20 mEq/L) yang membutuhkan kadar dekstrosa
lebih tinggi (kandungan dekstrosa 100 g/L).14

Albumin
Albumin merupakan koloid yang paling sering digunakan dalam tataran klinis.
Larutan ini diekstraksi dari plasma manusia dan tersedia sebagai 5% atau 25%
dalam NS. Tujuan utama pemberian albumin adalah menjaga tekanan onkotik
intravaskuler. Albumin bertahan dalam kompartemen intravaskuler selama lebih
dari 16 jam sebelum berdifusi ke dalam rongga interstisial. Indikasi pemberian
albumin, yaitu:
a. Untuk ekspansi volume intravaskuler ketika kristaloid telah gagal
memperbaiki volume intravaskuler yang hilang
b. Untuk mengatasi pasien edema berat dengan sindroma nefrotik yang
resisten terhadap diuretik poten
c. Untuk mencegah instabilitas hemodinamik dan AKI setelah parasentesis
dalam jumlah besar (>5 L)
d. Untuk mencegah kerusakan ginjal dan mortalitas pada pasien peritonitis
bakterialis spontan
e. Untuk mengatasi hipoalbuminemia dan hipovolemia pada pasien sirosis
f. Untuk mengatasi sindrom hepatorenal dengan agen lain (midodrine,
octreotide)
g. Untuk menggantikan volume plasma selama plasmaferesis
h. Tidak digunakan untuk mengatasi hipoalbuminemia akibat malnutrisi,
kecuali pasien mengalami protein lossing enteropathy
i. Tidak dignakan secara rutin pada pasien kritis dengan hipovolemia, luka
bakar, atau hipoalbuminemia karena administrasi albumin tidak
mengurangi mortalitas.3

VIII. TERAPI CAIRAN


Tujuan pemberian terapi cairan adalah menjaga volume intravaskuler yang
adekuat dan efektif, menjaga elektrolit dalam batas nilai normal, dan mencegah
overload cairan.18 Terapi cairan dibagi menjadi tiga, yaitu terapi cairan rumatan
(maintenance), terapi cairan pengganti (replacement), dan terapi cairan pengganti
defisit (deficit replacement).5 Terapi cairan rumatan diberikan pada seorang anak
yang tidak dapat makan secara enteral. Bersamaan dengan cairan rumatan,
seorang anak dapat diberikan terapi cairan pengganti bila terjadi kehilangan cairan
yang sedang berlangsung (on going). 5,18 Bila dehidrasi sudah terjadi, seorang anak
memerlukan tambahan terapi cairan pengganti defisit. Anak yang menunggu
operasi bisa jadi hanya membutuhkan terapi cairan rumatan, sedangkan seorang
anak dengan dehidrasi akibat diare memerlukan terapi cairan rumatan dan
pengganti defisit, serta bahkan terapi cairan pengganti bila diare masih terus
terjadi.5

A. Terapi Cairan Rumatan


Anak umumnya memiliki variasi dalam asupan cairan dan elektrolit harian. Hal
ini terkecuali pada pasien yang mendapat regimen diet oral secara tetap
misalnya melalui selang nasogaster (nasogastric tube [NGT]) atau mendapat
nutrisi parenteral secara total (total parenteral nutrition [TPN]). Anak yang
sehat dapat menoleransi variasi asupan cairan yang signifikan karena terdapat
banyak mekanisme homeostatis yang dapat menyelaraskan absorpsi dan
ekskresi cairan dan elektrolit.5 Kalkulasi kebutuhan cairan dan elektrolit dalam
menentukan dasar terapi rumatan bukanlah kebutuhan absolut, namun
perhitungan ini memberikan petunjuk poin awal untuk estimasi terapi cairan. 2,5

Perhitungan metode Holliday-Segar untuk terapi cairan rumatan intravena


didasarkan pada ekspenditur kalori yang tetap dalam kategori berat badan
kering/baseline pasien (tabel 5). Metode lain yang tersedia menggunakan
nomogram untuk perhitungan permukaan luas tubuh dan ekspenditur kalori
untuk menentukan kebutuhan cairan.2

Tabel 5. Metode Holliday-Segar untuk Kalkulasi Cairan Rumatan Intravena2

Rumus Perhitungan Holliday-Segar:


 10 kg pertama: kebutuhan cairan adalah 100 ml/kgBB/hari atau 4
ml/kg/jam.
 10-20 kg: untuk setiap kilogram berat badan di atas 10 kg, tambahkan
50 ml/kgBB/hari atau 2 ml/kg/jam dari permulaan 40 ml/jam.
 >20 kg: untuk setiap kilogram berat badan di atas 20 kg, tambahkan 20
ml/kgBB/hari atau 1 ml/kg/jam dari permulaan 60 ml/jam.
Contoh:
Seorang anak dengan berat badan 26 kg, tidak dapat minum per oral, dan
sedang menunggu operasi, maka kebutuhan cairan rumatannya adalah 40 +
20 + 6 = 66 ml/jam cairan intravena.

Tujuan pemberian cairan rumatan adalah untuk mencegah dehidrasi, kelainan


elektrolit, ketoasidosis, dan degradasi protein. Cairan rumatan umumnya
diperlukan untuk pasien pra-operasi dan pasca-operasi. Namun banyak pula
pasien nonoperasi yang memerlukan cairan rumatan. Menjadi penting untuk
mengenali indikasi yang tepat untuk pemberian cairan rumatan. Seorang remaja
normal yang sedang berpuasa sebelum operasi tidak memerlukan cairan rumatan
karena dapat menoleransi 12 sampai 18 jam tanpa asupan oral. Berbeda dengan
hal ini, seorang bayi berusia 6 bulan yang sedang menunggu operasi harus
mendapat cairan intravena dalam 8 jam setelah pemberian makanan terakhir.
Bayi lebih mudah mengalami dehidrasi daripada pasien yang lebih tua. Anak
dengan produksi urin yang tinggi akibat diabetes insipidus harus mendapat
terapi cairan rumatan.5
Terapi cairan rumatan merupakan larutan yang terdiri dari air, glukosa,
natrium, dan kalium. Larutan ini memiliki keunggulan dari kesederhanaan
konten, masa penyimpanan yang lama, biaya murah, dan kompatibel dengan
pemberian intravena perifer. Cairan rumatan menggantikan air, natrium, dan
kalium yang keluar melalui urin dan feses, serta menggantikan air yang
menguap dari kulit dan paru-paru. Glukosa dalam cairan rumatan memenuhi
sekitar 20% kebutuhan normal kalori pasien sehingga mampu mencegah
degradasi protein dan ketoasidosis akibat starvasi.5

Cairan rumatan memang tidak memenuhi kebutuhan kalori, protein, lemak,


vitamin, dan mineral. Dengan kalori yang inadekuat, pasien akan kehilangan
berat badan sekitar 0,5-1% setiap harinya. Namun hal ini tidak menjadi masalah
bagi pasien yang menerima cairan intravena hanya untuk beberapa hari.5

Terapi cairan rumatan juga tidak memenuhi kebutuhan elektrolit seperti


kalsium, fosfor, magnesium, dan bikarbonat. Bagi mayoritas pasien, hal ini tidak
menjadi masalah bila hanya beberapa hari. Namun memang pada kondisi
kehilangan cairan dan elektrolit yang masih berlangsung, perlu diberikan
tambahan elektrolit sesuai kebutuhannya.5

Dari urin, kehilangan cairan bisa mencapai sekitar 60% dari total kehilangan
cairan. Ginjal normal memiliki kemampuan untuk memodifikasi homeostasis
dengan mendilusi dan mengonsentrasikan urin. Pemberian cairan rumatan
menjaga kondisi tubuh agar tidak overhidrasi maupun dehidrasi.Tidak ada
akurasi yang absolut mengenai perhitungan kebutuhan cairan, namun Holliday-
Segar menyediakan pengukuran yang berbasis berat badan pasien dengan
memerhatikan bahwa pada anak yang lebih kecil dan muda terdapat kebutuhan
cairan yang lebih tinggi. Pada anak dengan berat badan berlebih (overweight)
lebih tepat perhitungan menggunakan lean body weight (diperkirakan
menggunakan persentil 50 berat badan terhadap tinggi badan anak) agar tidak
terjadi estimasi kebutuhan cairan berlebih.5

Larutan intravena yang umumnya dipilih untuk terapi rumatan pada anak
adalah 0,45% NS dan 0,9% NS. Larutan ini tersedia dengan atau tanpa dekstrosa
5%. Sebagai tambahan, dapat pula ditambahkan 20 mEq/L KCl, 10 mEq/L KCl,
atau tanpa kalium. Farmasi rumah sakit juga dapat membuat larutan custom
dengan menambahkan elektrolit lain seperti kalsium, magenesium, fosfat, asetat,
dan bikarbonat.5

Osmolalitas plasma yang normal adalah 285-295 mOsm/kg. Pemberian


cairan intravena yang lebih rendah osmolalitasnya dapat menyebabkan air
berpindah ke dalam sel darah merah yang berakibat pada hemolisis. Karenanya,
cairan intravena secara umum didesain untuk memiliki osmolalitas dekat dengan
285 mOsm/kg atau lebih (cairan dengan osmolalitas yang lebih tinggi tidak
menyebabkan masalah). 0,225% NS (osmolalitas = 68) tidak boleh
diadministrasi via perifer. Sedangkan D5 0,225% NS (osmolalitas = 346) atau
D5 0,45% NS + 20 mEq/L KCl (osmolalitas = 472) dapat diberikan.5

Dahulu pilihan cairan rumatan pada anak adalah cairan hipotonis (misalnya
0,0225% normal saline [NS]).2 Namun terdapat kontroversi mengenai konten
natrium dalam terapi cairan rumatan, mengingat cairan hipotonis dapat
menyebabkan hiponatremia dengan sequelae yang serius akibat edema serebri.
Cairan hipotonis terlihat lebih fisiologis karena konsentrasi natrium memang
rendah dalam air susu ibu dan susu formula. Namun anak yang dirawat di rumah
sakit sering mengalami gangguan ekskresi air, baik akibat deplesi volume atau
stimuli nonosmotik untuk produksi ADH.5 Dua buah studi metaanalisis
menyimpulkan penggunaan larutan hipotonis meningkatkan 2 kali risiko
konsentrasi natrium serum <135 mEq/L dan >5 kali risiko konsentrasi natrium
serum <130 mEq/L.19,20 Karena cairan hipotonis meningkatkan risiko
hiponatremia, 0,225% NS tidak lagi direkomendasikan sebagai cairan rumatan
standard dan penggunaannya direstriksi di banyak rumah sakit.5,21 Pemberian
larutan isotonik memberikan perlindungan terhadap hiponatremia tanpa
peningkatan risiko hipernatremia baik pada pasien bedah maupun non bedah,
dan pada pasien kritis dan nonkritis.21

Cairan rumatan biasanya mengandung D5 yang menyediakan 17 kkal/100


mL dan hampir memenuhi 20% kebutuhan kalori harian. Jumlah ini cukup
untuk mencegah produksi keton dan meminimalisasi degradasi protein, namun
anak akan kehilangan berat badan dengan regimen ini. Ini menjadi alasan anak
perlu segera diberikan TPN setelah pemberian cairan rumatan selama beberapa
hari, terutama bila pemberian makanan dengan rute enteral tidak
memungkinkan. Cairan rumatan juga kekurangan nutrient krusial seperti
protein, lemak, vitamin, dan mineral.5

Kebutuhan elektrolit harian pada anak sehat adalah sekitar 2-4 mEq/kgBB
natrium dan 1-2 mEq/kgBB kalium.2 Kebutuhan ini terpenuhi penambahan KCl
dalam terapi cairan. D5 0,45% NS + 20 mEq/L KCL direkomendasikan pada
anak yang akan operasi dan tidak mengalami deplesi volume plasma atau faktor
risiko untuk produksi ADH nonosmotik. D5 0,9% NS + 20 mEq/L KCl
direkomendasikan bagi anak dengan deplesi volume plasma, hiponatremia, atau
memiliki risiko produksi ADH nonosmotik (adanya infeksi paru seperti
bronkhiolitis atau pneumonia dan adanya infeksi sistem saraf pusat). Pasien
operasi umumnya menerima cairan isotonis (NS, RL) selama operasi dan di
ruang pemulihan selama 6 sampai 8 jam setelah operasi dengan penambahan
dekstrosa jika diperlukan. Terapi cairan rumatan selanjutnya sebaiknya D5 NS
atau RL dengan penambahan 10-20 mEq/L KCl berdasarkan konsentrasi kalium
serum.5 Kalium dalam cairan pengganti intravena perlu ditunda sampai pasien
memiliki produksi urin yang adekuat untuk menghindari risiko hiperkalemia.2

Pedoman ini berasumsi tidak ada penyakit yang menyertai yang memerlukan
penyesuaian dalam jumlah volume dan komposisi elektrolit untuk cairan
rumatan. Neonatus dan bayi prematur tidak termasuk dalam pedoman ini
mengingat fisiologi mereka yang unik. Anak dengan insufisiensi ginjal tidak
mampu mengekskresikan kalium sehingga tidak dapat menoleransi 10 atau 20
mEq/L kalium. Pasien dengan produksi ADH persisten karena penyakit yang
mendasari (syndrome of inappropriate ADH secretion, gagal jantung kongestif,
sindrom nefrotik, penyakit hepar) sebaiknya menerima lebih sedikit cairan
rumatan. Anak dengan meningitis diberi restriksi cairan, kecuali terjadi deplesi
volume cairan intravaskuler. Terapi yang disesuaikan per individu dan monitor
yang hati-hati penting untuk dilakukan. Monitor meliputi pengukuran berat
badan, produksi urin, dan elektrolit untuk mengidentifikasi overhidrasi atau
dehidrasi, hiponatremia, dan kelainan elektrolit lainnya.5 Kebutuhan cairan
rumatan dapat meningkat atau berkurang tergantung pada kondisi klinis (tabel
4).

Cairan rumatan dengan dasar NaCl mulai kembali dipertanyakan


penggunaannya karena berpotensi menyebabkan asidosis hiperkloremik. Dalam
sebuah jurnal review, cairan yang direkomendasikan dan dianggap terbaik untuk
terapi rumatan anak adalah D5LR karena mengurangi risiko terjadinya asidosis
hiperkloremik dan pada pasien operasi abdomen lebih sedikit menyebabkan
ileus pasca operasi akibat deplesi elektrolit.8

Tabel 6. Penyesuaian kebutuhan cairan rumatan berdasarkan klinis5

Sumber Penyebab Peningkatan Penyebab Penurunan


Kebutuhan Cairan Kebutuhan Cairan
Kulit Radiant warmer Inkubator
Fototerapi
Demam
Keringat
Luka bakar
Paru-paru Takipnea Humidified ventilator
Trakeostomi
Saluran gastroinstestinal Diare
Sumber Penyebab Peningkatan Penyebab Penurunan
Kebutuhan Cairan Kebutuhan Cairan
Muntah
Bilas lambung
Ginjal Poliuria Oliguria/anuria
Lain-lain Surgical drain Hipotiroidisme
Third spacing

Pemilihan komposisi cairan dapat disesuaikan dengan status hidrasi anak dan
kondisi elektrolit anak terkait seperti yang tertera dalam algoritma di bawah ini:18

Gambar 4. Algoritma pemilihan komposisi dan laju cairan rumatan pada


bangsal pediatrik18
B. Terapi Cairan Pengganti
Saluran cerna merupakan sumber potensial terjadinya kehilangan cairan yang
biasanya disertai dengan hilangnya elektrolit dan menyebabkan gangguan pada
konsentrasi elektrolit dan volume cairan intravaskuler. Dalam feses terdapat
konsentrasi bikarbonat yang tinggi sehingga anak yang diare berat, dapat
mengalami asidosis metabolic. Emesis dapat menyebabkan alkalosis metabolik.
Cairan pengganti untuk menggantikan hilangnya cairan dari saluran cerna perlu
disesuaikan dengan konsnetrasi elektrolit yang biasa ada pada cairan saluran
cerna. Penggantian dilakukan setiap 1-6 jam bergantung pada laju kehilangan
cairannya.5
Diare merupakan penyebab paling umum kehilangan cairan pada anak. Hal
ini menyebabkan dehidrasi dan gangguan elektrolit. Pada anak dengan diare
signifikan yang kesulitan untuk mengganti cairan lewat oral, penting untuk
merencanakan pemberian terapi cairan pengganti (tabel 7). Volume feses
sebaiknya diukur dan digantikan dengan cairan dalam jumlah yang sama.5

Tabel 7. Terapi cairan pengganti untuk diare5

Komposisi rerata diare


Natrium: 55mEq/L
Kalium: 25 mEq/L
Bikarbonat: 15 mEq/L
Pendekatan untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang
berlangsung
Larutan: D5 ½ NS + 30 mEq/L natrium bikarbonat + 20 mEq/L KCl
Penggantian volume feses setiap 1 sampai 6 jam

Kehilangan cairan gaster, baik melalui emesis atau bilas lambung, dapat
menyebabkan dehidrasi, hypokalemia, dan alkalosis metabolik. Komplikasi ini
dapat dicegah dengan pemberian cairan pengganti yang komposisinya mirip
dengan cairan lambung (tabel 8).5

Tabel 8. Terapi cairan pengganti untuk emesis atau nasogastric losses5

Komposisi rerata cairan lambung


Natrium: 60 mEq/L
Kalium: 10 mEq/L
Bikarbonat: 90 mEq/L
Pendekatan untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang
berlangsung
Larutan: NS + 10 mEq/L KCl
Penggantian volume emesis atau bilas lambung setiap1 sampai 6 jam
Penggantian cairan pada kasus perubahan produksi urin akibat gangguan
ginjal juga memiliki pendekatan yang serupa. Pasien mendapat cairan pengganti
sesuai kecepatan insensible water loss. Menggantikan cairan insensible loss
pada anak anuria secara teori akan menjaga keseimbangan cairan dengan
memberikan 25-40% cairan rumatan. Pada mayoritas anak dengan insufisiensi
ginjal tidak mendapat atau hanya sedikit mendapat tambahan kalium karena
ginjal merupakan organ terpenting untuk ekskresi ginjal sehingga pada kondisi
insufisiensi dikhawatirkan terjadi hiperkalemia.5 Pada anak yang oliguria,
penting untuk memberikan cairan pengganti bagi urin yang diekskresikan untuk
mencegah dehidrasi. Hal ini terutama terjadi pada anak dengan gagal ginjal akut
yang mengalami penuruan bertahap pada laju filtrasi glomerulus. Larutan
pengganti yang sesuai untuk diberikan di awal adalah D5 ½ NS. Pada kasus
anak dengan polyuria,penting untuk menilai jumlah elektrolit natrium dan
kalium yang keluar bersaman dengan urin (tabel 9).5

Tabel 9. Terapi cairan pengganti untuk perubahan fungsi ginjal5

Oliguria/anuria
Penggantian insensible water loss (24-40% cairan tumatan) dengan D5 ½ NS
Penggantian setiap ml urin yang keluar dengan D5 ½ NS ± KCl
Poliuria
Penggantian insensible water loss (24-40% cairan tumatan) dengan D5 ½ NS
± KCl
Mengukur elektrolit yang keluar bersama urin
Penggantian setiap ml urin yang keluar dengan larutan yang sesuai dengan
perhitungan elektrolit dalam urin

Surgical drain dan chest tube menyebabkan kehilangan cairan yang dapat
diukur untuk digantikan dengan larutan pengganti yang sesuai. Third space
losses yang dimanifestasikan dengan edema dan ascites merupakan perpindahan
air dari intravaskuler ke rongga interstisial yang bila berlebih dapat
menyebabkan deplesi volume intravaskuler. Penggantian third space fluid
bersifat empiris dan disiapkan pada anak-anak yang berisiko misalnya pada luka
bakar atau operasi abdomen. Third space losses dan chest tube merupakan
cairan isotonik sehingga memerlukan pengganti larutan isotonik pula dengan
jumlah yang disesuaikan dengan status volume intravaskuler. Kehilangan
protein dari chest tube dapat signifikan sehingga terkadang perlu
dipertimbangkan pemberian 5% albumin sebagai larutan pengganti.5

C. Terapi Cairan Pengganti Defisit

Dehidrasi paling sering disebabkan oleh gastroenteritis pada anak. Evaluasi


klinis dapat menentukan persentase dehidrasinya (tabel 10). Perhitugan defisit
cairan dapat dilakukan dengan mengalikan persentase dehidrasi dengan berat
badan anak, misalnya pada anak yang memiliki berat bada 10 kg dan dehidrasi
10% makan defisit cairannya adalah 1 L.22

Tabel 10. Evaluasi klinis dehidrasi22

Kondisi Klinis Berdasar Dehidrasinya Persentase Dehidrasi


Dehidrasi ringan <5% pada bayi; <3%
 Nadi normal atau meningkat pada anak
 Penurunan produksi urin
 Kehausan
 Pemeriksaan fisik normal
Kondisi Klinis Berdasar Dehidrasinya Persentase Dehidrasi
Dehidrasi sedang 5-10% pada bayi; 3-6%
 Takikardia pada anak
 Sedikit atau tidak ada produksi urin
 Gelisah atau letargis
 Mata dan fontanel cekung
 Air mata berkurang
 Membran mukosa kering
 Turgor kulit kembali lambat
 Capillary refill time melambat (>1.5 detik)
 Dingin dan pucat

Dehidrasi berat >10% pada bayi; >6%


 Nadi perifer dapat cepat dan lemah atau absen pada anak
 Penurunan tekanan darah
 Tidak ada produksi urin
 Mata dan fontanel sangat cekung
 Membran mukosa sangat kering
 Turgor kulit kembali sangat lambat
 Capillary refill time sangat lambat (>3 detik)
 Dingin, mottled
 Lemas (limp)
 Penurunan kesaran

Pada dehidrasi ringan-sedang, pemberian cairan lewat oral lebih


direkomendasikan.23 Namun anak dengan dehidrasi berat memerlukan resusitasi
cairan segera.2, 10 Saat ini pedoman yang dipakai di Indonesia dalam tata laksana
dehidrasi berat adalah pemberian terapi cairan 100 ml/kgBB yang disesuaikan
dengan usia anak. Larutan terbaik adalah larutan Ringer Laktat (disebut pula
larutan Hartman untuk penyuntikan). Tersedia juga larutan Ringer Asetat. Jika
larutan Ringer Laktat tidak tersedia, larutan garam normal (NaCl 0.9%) dapat
digunakan. Larutan glukosa 5% (dextrosa) tunggal tidak efektif dan jangan
digunakan. Beri 100 ml/kg larutan yang dipilih dan dibagi sesuai Tabel 11
berikut ini.24
Tabel11. Terapi cairan pada dehidrasi berat24
Pertama, berikan 30 ml/kg Selanjutnya, berikan 70 ml/kg
dalam: dalam:
Umur < 12 bulan 1 jam 5 jam
Umur ≥ 12 bulan 30 menit 2½ jam
Gambar 5. Bagan penanganan dehidrasi berat yang memerlukan terapi cairan
intravena.24

Dalam Nelson Textbook of Pediatric edisi 20, dehidrasi berat diperlakukan


selayaknya syok hipovolemik sehingga anak dengan dehidrasi berat
memerlukan resusitasi cairan segera dengan larutan isotonik seperti NS atau RL
yang diberikan secara bolus dengan dosis 20 ml/kgBB dalam waktu sekitar 20
menit.2,22 Anak dengan dehidrasi berat dapat memerlukan bolus berulang secepat
mungkin. Pada anak dengan alkalosis metabolik (memiliki gejala muntah
berulang), tidak boleh diberikan RL karena laktat akan memperparah alkalosis.22
Penilaian ulang perlu segera dilakukan dan bolus ulang perlu cepat diberikan
(sampai 60 ml/kgBB dalam 30-60 menit). Protokol resusitasi menyarankan
resusitasi cairan awal sebaiknya dimulai dengan kristaloid (NS atau ringer
lactate [RL]). Setelah 60ml/kgBB kristaloid diberikan, pemberian koloid dapat
dipertimbangkan.2

Fase resusitasi dan rehidrasi awal berakhir setelah anak mendapat volume
intravaskuler yang adekuat. Umumnya anak akan menunjukkan perbaikan klinis
dengan nadi yang berkurang (tidak lagi takikardia), normalisasi tekanan darah,
perbaikan perfusi, produksi urin yang lebih baik, dan kesadaran membaik.
Dengan volume intravaskuler yang adekuat diperlukan rencana terapi cairan
selama 24 jam ke depan. Pada kondisi dehidrasi isonatremik atau hiponatremik,
defisit cairan dikoreksi dalam waktu 24 jam (tabel 12), namun pada dehidrasi
hipernatremik diperlukan waktu yang lebih lama.22

Tabel 12. Terapi cairan pada dehidrasi22

Resusitasi:
Pengembalian volume intravaskuler dengan
 NS 20 ml/kgBB dalam 20 menit
 Ulangi jika perlu
Pasca resusitasi:
 Hitung kebutuhan cairan dalam 24 jam: vvolume cairan rumatan + defisit
 Sisa cairan diberikan dalam 24 jam menggunakan D5 NS + 20 mEq/L KCl
 Ganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung (setiap buang air besar
atau muntah)

Pemantauan cairan masuk dan keluar perlu dilakukan dengan sangat seksama
pada anak yang mengalami dehidrasi. Tanda dehidrasi yang tampak dari
pemeriksaan fisik memerlukan rehidrasi berkelanjutan. Tanda overhidrasi dapat
berupa kongesti pulmoner atau edema. Pengukuran elektrolit serum penting
dipantau setiap hari pada anak yang mendapat rehidrasi lewat intravena. Karena
dehidrasi dapat menyebabkan gagal ginjal akut, maka pemberian kalium perlu
ditunda sampai anak miksi. Alkalosis metabolik juga dapat terjadi pada anak
yang dehidrasi sehngga perlu diberikan tambahan natrium bikarbonat atau
natrium asetat.22

Dehidrasi Hiponatremik

Diare mengandung konten natrium 50 mEq/L. Penggantian cairan diare


dengan air biasa yang mengandung sedikit sekali natrium akan menyebabkan
penurunan konsentrasi natrium dalam darah. Deplesi volume menstimulasi
sintesis ADH yang mengurangi ekskresi air. Risiko hiponatremia semakin tinggi
bila deplesi volume intravaskuler disertai renal salt wasting, third space losses,
atau diare dengan konten natrium tinggi (kolera).22
Tujuan awal tata laksana dehidrasi hiponatremik adalah dengan koreksi
volume intravaskuler dengan NS atau RL. Koreksi yang terlalu cepat (>12
mEq/L dalam 24 jam) berasosiasi dengan peningkatan risiko central pontine
myelinolysis. Secara umum tata laksana pada tabel 8 menghasilkan kondisi
klinis yang baik pada pasien dengan dehidrasi hiponatremik. Pemberian kalium
selalu disesuaikan dengan level kalium dalam serum dan fungsi ginjal anak. Bila
anak menunjukkan gejala neurologis akibat hiponatremia (kejang), dapat
diberikan infus larutan salin hipertonik 3% untuk segera meningkatkan
konsentrasi natrium di serum.22

Dehidrasi Hipernatremik

Dehidrasi hipernatremik merupakan bentuk dehidrasi paling berbahaya


karena menyebabkan berbagai kerusakan neurologis serius seperti perdarahan
sistem saraf pusat dan trombosis. Perpindahan air dari dalam sel otak ke cairan
ekstraseluler yang hipertonik menyebabkan sel otak mengerut dan merobak
pembuluh darah dalam otak. Anak dengan dengan dehidrasi hipernatremik
biasanya letargis. Hypernatremia dapat menyebabkan demam, hipertonik, dan
hiperrefleksia.

Pemberian tata laksana yang terlalu cepat dapat mengakibatkan morbiditas


dan mortalitas yang signifikan. Idiogenic osmoles terbentuk di dalam otak
selama proses hipernatremia. Idiogenic osmoles ini menaikkan osmolalitas
dalam sel otak untuk memberi perlindungan pada otak agar tidak mengerut.
Dengan koreksi hiprenatremia, idiogenic osmoles ini menghilang secara
perlahan. Bila koreksi hipernatremia dilakukan terlalu cepat, gradien osmosis
dapat terbentuk yang malah menyebabkan perpindahan air dari rongga
ekstraseluler ke dalam sel-sel otak menghasilkan edema serebri. Gejala edema
serebri dapat berupa kejang sampai herniasi otak dan kematian.22

Untuk mengurangi risiko edema serebri dalam koreksi dehidrasi


hipernatremik, konsentrasi natrium dalam serum tidak boleh berkurang >12
mEq/L setiap 24 jam dan perbaikan defisit dilakukan dalam beberapa hari (tabel
9). Resusitas awal dehidrasi hipernatremik perlu memakai NS. RL tidak boleh
digunakan karena bersifat lebih hipotonik daripada NS dan dapat cepat
menurunkan konsentrasi natrium. Bila edema serebi sudah terjadi akibat koreksi
yang terlalu cepat, maka dapat diberikan infus NaCl 3%. Setiap 1 ml/kg dari
NaCl 3% dapat meningkatkan kadar natrium dalam serum sebanyak 1 mEq/L.22
Tabel 13. Tata laksana dehidrasi hipernatremik22

Pengembalian volume intravaskuler:


 NS 20 ml/kgBB dalam 20 menit (dapat diulang jika perlu)
 Tentukan waktu koreksi berdasarkan konsentrasi natrium di awal
[Na] 145-157 mEq/L: 24 jam
[Na] 158-170 mEq/L: 48 jam
[Na] 171-183 mEq/L: 72 jam
[Na] 184-196 mEq/L: 84 jam
Masukkan cairan dengan laju konstan:
D5 + ½ NS + 20 mEq/L KCl (kecuali kontraindikasi) dengan kecepatan
1.25-1.5 kali rumatan
Monitor konsentrasi natrium serum
Sesuaikan cairan dengan status klinis dan konsentrasi natrium dalam serum:
 Ada tanda deplesi volume: masukkan NS 20 ml/kgBB
 Natrium menurun terlalu cepat (pilih salah satu)
 Meningkatan konsentrasi natrium dengan cairan IV
 Menurunkan laju cairan IV
 Natrium menurun terlalu lambat (pilih salah satu)
 Menurunkan konsentrasi sodium dengan cairan IV
 Meningkatkan laju cairan IV
Ganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung (setiap buang air besar atau
muntah)

IX. CAIRAN RESUSITASI

Hipovolemia tetap menjadi penyebab utama renjatan (shock) di seluruh dunia


akibat gastroenteritis. Restorasi volume intravaskuler secara cepat 2 dan agresif
menjadi kunci utama untuk bertahan hidup (survival).25 Pasien dengan resusitasi
yang inadekuat atau terlambat memiliki risiko disfungsi organ atau berkembang
menjadi renjatan yang ireversibel. Terlepas dari tipe renjatan, kondisi hipovolemia
dengan derajat tertentu biasanya terjadi dan terapi cairan intravena harus selalu
dipertimbangkan dalam langkah awal resusitasi. Resusitasi cairan segera
dilakukan dengan larutan isotonik seperti NS atau RL yang diberikan secara bolus
dengan dosis 20 ml/kgBB dalam waktu sekitar 20 menit.2,22 Anak dengan
dehidrasi berat dapat memerlukan bolus berulang secepat mungkin. Pada anak
dengan alkalosis metabolik (memiliki gejala muntah berulang), tidak boleh
diberikan RL karena laktat akan memperparah alkalosis.22 Penilaian ulang perlu
segera dilakukan dan bolus ulang perlu cepat diberikan (sampai 60 ml/kgBB
dalam 30-60 menit). Protokol resusitasi menyarankan resusitasi cairan awal
sebaiknya dimulai dengan kristaloid (NS atau ringer lactate [RL]). Setelah
60ml/kgBB kristaloid diberikan, pemberian koloid dapat dipertimbangkan.2
Setiap bolus harus diberikan secepat mungkin melalui akses vaskuler. Sebuah
pengecualian diterapkan pada renjatan kardiogenik, pasien umumnya sensitif
terhadap kelebihan volume (volume overload) dan administrasi 5-10 ml/kg cairan
isotonik perlu dilakukan dengan hati-hati dan secara ideal dimonitor dengan
pengukuran tekanan vena sentral (central venous pressure [CVP]).2

Syok sepsis berasosiasi dengan rilisnya mediator inflamasi yang memengaruhi


permeabilitas kapiler dan fungsi jantung sehingga biasanya mengakibatkan
penurunan vascular resistance. American College of Critical Care Medicine
(ACCM) di tahun 2011 merekomendasikan resusitasi cairan segera dengan
pemberian cairan IV isotonik sampai 60 ml/kgBB dalam 15 menit untuk anak
dengan syok sepsis. Bolus dberikan sampai perfusi membaik. Studi menunjukkan
resusitasi agresif menurunkan risiko mortalitas hingga 9 kali. Tujuan pemberian
rehidrasi ini adalah menurunkan laju denyut jantung dan capillary refill time,
meningkatkan tekanan darah serta saturasi oksigen vena sentral.25

Akses intravena atau intraosseous harus segera dicapai sebagai akses


pemberian cairan dan obat-obatan yang dibutuhkan dalam resusitasi. Penilaian
ulang tanda-tanda vital, dan status klinis harus dikerjakan di antara bolus untuk
mengevaluasi perubahan status klinis dan respon terapi.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Santi M, Lava SA, Camozzi P, Giannini O, Milani GP, Simonetti GD, et al. The great
fluid debate: saline or so-called “balanced” salt solutions? Italian journal of
pediatrics. 2015;41(1):1.

2. Fluids, Electrolytes, and Neuroendocrine Metabolic Derangements. Dalam: Madden


MA, editor. Pediatric Fundamental Critical Care Support. 2 ed: Society of Critical
Care Medicine; 2014.

3. Reddi AS. Intravenous Fluids: Composition and Indications. Dalam: Reddi AS,
editor. Fluid, Electrolyte and Acid-Base Disorders: Clinical Evaluation and
Management: Springer New York; 2013. p. 38-44.

4. Meyers RS. Pediatric Fluid and Electrolyte Therapy. The Journal of Pediatric
Pharmacology and Therapeutics : JPPT. 2009;14(4):204-11.

5. Greenbaum LA. Maintenance and Replacement Therapy. Dalam: Kliegman RM,


Stanton BMD, Geme JS, Schor NF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th ed:
Elsevier Health Sciences; 2015. p. 384-7.

6. Hall JE. The Body Fluid Compartments. Guyton and Hall Textbook of Medical
Physiology 13th ed: Elsevier Health Sciences; 2015. p. 305-12.
7. Greenbaum LA. Electrolyte and Acid Base Disorders. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BMD, Geme JS, Schor NF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th ed: Elsevier
Health Sciences; 2015. p. 346-50.

8. Carcillo JA. Intravenous fluid choices in critically ill children. Current Opinion in
Critical Care. 2014;20(4):396-401.

9. MIMS. KA-EN 1B. 2016 [cited 2017 8 Januari]; Available from:


http://www.mims.com/indonesia/drug/info/ka-en%201b/ka-en%201b?type=full.

10. MIMS. KA-EN 3A. 2016 [cited 2017 8 Januari]; Available from:
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/ka-en%203a/ka-en%203a?type=full.

11. MIMS. KA-EN 3B. 2016 [cited 2017 8 Januari]; Available from:
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/ka-en%203b/ka-en%203b?type=full.

12. MIMS. KA-EN 4A. 2016 [cited 2017 8 Januari]; Available from:
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/ka-en%204a/ka-en%204a?type=full.

13. MIMS. KA-EN 4B. 2016 [cited 2017 8 Januari]; Available from:
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/ka-en%204b/ka-en%204b?type=full.

14. MIMS. KA-EN MG3. 2016 [cited 2017 8 Januari]; Available from:
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/ka-en%20mg3/ka-en%20mg3?type=full.

15. Severs D, Hoorn EJ, Rookmaaker MB. A critical appraisal of intravenous fluids:
from the physiological basis to clinical evidence. Nephrology Dialysis
Transplantation. 2015;30(2):178-87.

16. McCluskey SA, Karkouti K, Wijeysundera D, Minkovich L, Tait G, Beattie WS.


Hyperchloremia After Noncardiac Surgery Is Independently Associated with
Increased Morbidity and Mortality: A Propensity-Matched Cohort Study. Anesthesia
& Analgesia. 2013;117(2):412-21.

17. Guidet B, Soni N, Rocca GD, Kozek S, Vallet B, Annane D, et al. A balanced view
of balanced solutions. Critical Care. 2010;14(5):325.

18. Edelson JB, Orenstein EW, Zaoutis LB, Copelovitch L. Intravenous Fluid
Management in the Pediatric Hospital Setting: Is Isotonic Fluid the Right Approach
for all Patients? Current Treatment Options in Pediatrics. 2015;1(1):90-9.

19. Foster BA, Tom D, Hill V. Hypotonic versus isotonic fluids in hospitalized children:
a systematic review and meta-analysis. The Journal of pediatrics. 2014;165(1):163-9.
e2.
20. Wang J, Xu E, Xiao Y. Isotonic versus hypotonic maintenance IV fluids in
hospitalized children: a meta-analysis. Pediatrics. 2013:peds. 2013-41.

21. Choong K, McNab S. IV fluid choices in children: have we found the solution?
Jornal de Pediatria. 2015;91(5):407-9.

22. Greenbaum LA. Deficit Therapy. Dalam: Kliegman RM, Stanton BMD, Geme JS,
Schor NF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th ed: Elsevier Health Sciences;
2015. p. 388-90.

23. Niescierenko M, Bachur R. Advances in pediatric dehydration therapy. Current


opinion in pediatrics. 2013;25(3):304-9.

24. Organization WH. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan
Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota2009.

25. Simpson JN, Teach SJ. Pediatric rapid fluid resuscitation. Current opinion in
pediatrics. 2011;23(3):286-92.

Anda mungkin juga menyukai