I. PENDAHULUAN
Terapi cairan intravena perlu diperlakukan seperti obat, layaknya insulin,
kemoterapi, atau antibiotik. Pemberian cairan harus sesuai dengan kondisi anak,
diberikan dalam dosis yang tepat dengan komposisi elektrolit yang sesuai. 1
Kelainan cairan dan elektrolit umum ditemukan pada anak yang dirawat di rumah
sakit. Sebuah pendekatan yang disesuaikan dengan tiap individu (individualized)
dibutuhkan dalam memberikan terapi cairan sesuai dengan diagnosis dan
keparahan penyakitnya.2
Cairan intravena dapat dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu kristaloid dan
koloid. Larutan kristaloid mengandung air, elektrolit, dan/atau glukosa, sedangkan
koloid mengandung albumin dan produk darah. Cairan intravena dapat bersifat
isotonik, hipotonik, dan hipertonik. Secara umum, larutan isotonik digunakan
untuk menggantikan cairan ekstraseluler, larutan hipotonik untuk mengganti
cairan intraseluler dan ekstraseluler, serta larutan hipertonik digunakan untuk
mengoreksi hiponatremia yang simtomatik.3
Terapi cairan dibagi menjadi tiga, yaitu terapi cairan rumatan (maintenance),
terapi cairan pengganti (replacement), dan terapi cairan pengganti defisit (deficit
replacement).4 Terapi cairan rumatan diberikan pada seorang anak yang tidak
dapat makan secara enteral. Bersamaan dengan cairan rumatan, seorang anak
dapat diberikan terapi cairan pengganti bila terjadi kehilangan cairan yang sedang
berlangsung (on going). Bila dehidrasi sudah terjadi, seorang anak memerlukan
tambahan terapi cairan pengganti defisit. Anak yang menunggu operasi bisa jadi
hanya membutuhkan terapi cairan rumatan, sedangkan seorang anak dengan
dehidrasi akibat diare memerlukan terapi cairan rumatan dan pengganti defisit,
serta bahkan terapi cairan pengganti bila diare masih terus terjadi.5
V. OSMOLALITAS
Osmolalitas adalah konsentrasi za terlarut yang dinyatakan per kilogram air,
sedangkan osmolaritas adalah konsentrasi zat terlarut yang dinyatakan per liter
cairan.6 Cairan intraseluler dan ekstraseluler berada dalam kondisi equilibrium
osmolalitas karena membran sel permeabel terhadap air. Bila osmolalitas pada
satu kompartemen berubah, perpindahan air akan segera terjadi untuk
menyamakan osmolalitasnya. Osmolalitas plasma normalnya adalah 285-295
mOsm/kg. osmolalitas plasma dapat diestimasi dengan perhitungan formula
berikut:7
Larutan NaCl
Larutan NaCl tersedia sebagai larutan 0.225%, 0.45%, 0,9%, 3%, dan 5%
(mengandung 38.5, 77, 154, 513, dan 1250 mEq Na+ dalam 1 L larutan). 0,9%
NaCl dikenal pula sebagai normal saline (NS) dan bersifat isotonik. Larutan
0,225% dan 0,45% NaCl disebut sebagai larutan hipotonik. Sedangkan larutan 3%
dan 5% NaCl disebut sebagai larutan hipertonik. Indikasi pemberian larutan NaCl
terdapat pada tabel 4.3
Sekitar 110 tahun yang lalu, Sydney Ringer (1834-1910), seorang dokter
Australia mengenalkan larutan NaCl yang mengandung ion K2+ dan Ca2+. 80 tahun
kemudian, Alexis Hartmann (1898-1964), seorang dokter anak di Amerika,
menambahkan laktat non Cl- untuk mencegah asidosis metabolik. Larutan yang
dikembangkan oleh Hartmann kemudian dikenal sebagai Ringer Laktat.
Kemudian seiring berjalannya waktu, dibuat dibuat BSS dengan asestat sebagai
pengganti laktat. Asetat menstabilisasikan pH lebih cepat daripada laktat dan
dimetabolisme di berbagai jaringan, sedangkan laktat secara umum hanya
dimetabolisme di hepar.1 Larutan ini dikenal sebagai Ringer Acetate (RA) yang
direkomendasikan pada pasien dengan kelainan fungsi hati. Dalam British
Consensus Guidelines on Intravenous Fluid Therapy for Adult Surgical Patient,
BSS lebih direkomendasikan daripada NS untuk resusitasi cairan. NS berpotensi
menyebabkan dilutional-hyperchloremic acidosis, yaitu efek samping setelah
pemberian NS dalam jumlah besar.17 Secara umum penggunaan BSS dapat
diberikan untuk mengatasi masalah yang muncul pada penggunaan NS.15
RL adalah BSS yang paling rutin digunakan dalam terapi cairan karena
dianggap sebagai physiologic saline. RL mengandung lebih sedikit Na+ daripada
NS sehingga tidak seefektif NS dalam ekspansi volume. Namun, RL tidak
direkomendasikan pada pasien gagal ginjal karena kandungan K + dapat
menyebabkan hiperkalemia. Indikasi pemberian RL meliputi:
a. Untuk mengganti kehilangan cairan isotonik pada kasus luka bakar atau
operasi
b. Untuk mengoreksi asidosis metabolik dengan hipokalemia
c. Tidak digunakan untuk sekadar ekspansi volume saja, kecuali pasien
mengalami hipokalemia dan/atau hipobikarbonatemia
d. Tidak digunakan pada pasien lactic acidosis, meski RL sendiri tidak
berpotensi menyebabkan lactic acidosis pada pasien dengan renjatan
e. Tidak digunakan pada pasien gagal ginjal karena berpotensi menyebabkan
hiperkalemia
f. Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan gagal hati.3
Albumin
Albumin merupakan koloid yang paling sering digunakan dalam tataran klinis.
Larutan ini diekstraksi dari plasma manusia dan tersedia sebagai 5% atau 25%
dalam NS. Tujuan utama pemberian albumin adalah menjaga tekanan onkotik
intravaskuler. Albumin bertahan dalam kompartemen intravaskuler selama lebih
dari 16 jam sebelum berdifusi ke dalam rongga interstisial. Indikasi pemberian
albumin, yaitu:
a. Untuk ekspansi volume intravaskuler ketika kristaloid telah gagal
memperbaiki volume intravaskuler yang hilang
b. Untuk mengatasi pasien edema berat dengan sindroma nefrotik yang
resisten terhadap diuretik poten
c. Untuk mencegah instabilitas hemodinamik dan AKI setelah parasentesis
dalam jumlah besar (>5 L)
d. Untuk mencegah kerusakan ginjal dan mortalitas pada pasien peritonitis
bakterialis spontan
e. Untuk mengatasi hipoalbuminemia dan hipovolemia pada pasien sirosis
f. Untuk mengatasi sindrom hepatorenal dengan agen lain (midodrine,
octreotide)
g. Untuk menggantikan volume plasma selama plasmaferesis
h. Tidak digunakan untuk mengatasi hipoalbuminemia akibat malnutrisi,
kecuali pasien mengalami protein lossing enteropathy
i. Tidak dignakan secara rutin pada pasien kritis dengan hipovolemia, luka
bakar, atau hipoalbuminemia karena administrasi albumin tidak
mengurangi mortalitas.3
Dari urin, kehilangan cairan bisa mencapai sekitar 60% dari total kehilangan
cairan. Ginjal normal memiliki kemampuan untuk memodifikasi homeostasis
dengan mendilusi dan mengonsentrasikan urin. Pemberian cairan rumatan
menjaga kondisi tubuh agar tidak overhidrasi maupun dehidrasi.Tidak ada
akurasi yang absolut mengenai perhitungan kebutuhan cairan, namun Holliday-
Segar menyediakan pengukuran yang berbasis berat badan pasien dengan
memerhatikan bahwa pada anak yang lebih kecil dan muda terdapat kebutuhan
cairan yang lebih tinggi. Pada anak dengan berat badan berlebih (overweight)
lebih tepat perhitungan menggunakan lean body weight (diperkirakan
menggunakan persentil 50 berat badan terhadap tinggi badan anak) agar tidak
terjadi estimasi kebutuhan cairan berlebih.5
Larutan intravena yang umumnya dipilih untuk terapi rumatan pada anak
adalah 0,45% NS dan 0,9% NS. Larutan ini tersedia dengan atau tanpa dekstrosa
5%. Sebagai tambahan, dapat pula ditambahkan 20 mEq/L KCl, 10 mEq/L KCl,
atau tanpa kalium. Farmasi rumah sakit juga dapat membuat larutan custom
dengan menambahkan elektrolit lain seperti kalsium, magenesium, fosfat, asetat,
dan bikarbonat.5
Dahulu pilihan cairan rumatan pada anak adalah cairan hipotonis (misalnya
0,0225% normal saline [NS]).2 Namun terdapat kontroversi mengenai konten
natrium dalam terapi cairan rumatan, mengingat cairan hipotonis dapat
menyebabkan hiponatremia dengan sequelae yang serius akibat edema serebri.
Cairan hipotonis terlihat lebih fisiologis karena konsentrasi natrium memang
rendah dalam air susu ibu dan susu formula. Namun anak yang dirawat di rumah
sakit sering mengalami gangguan ekskresi air, baik akibat deplesi volume atau
stimuli nonosmotik untuk produksi ADH.5 Dua buah studi metaanalisis
menyimpulkan penggunaan larutan hipotonis meningkatkan 2 kali risiko
konsentrasi natrium serum <135 mEq/L dan >5 kali risiko konsentrasi natrium
serum <130 mEq/L.19,20 Karena cairan hipotonis meningkatkan risiko
hiponatremia, 0,225% NS tidak lagi direkomendasikan sebagai cairan rumatan
standard dan penggunaannya direstriksi di banyak rumah sakit.5,21 Pemberian
larutan isotonik memberikan perlindungan terhadap hiponatremia tanpa
peningkatan risiko hipernatremia baik pada pasien bedah maupun non bedah,
dan pada pasien kritis dan nonkritis.21
Kebutuhan elektrolit harian pada anak sehat adalah sekitar 2-4 mEq/kgBB
natrium dan 1-2 mEq/kgBB kalium.2 Kebutuhan ini terpenuhi penambahan KCl
dalam terapi cairan. D5 0,45% NS + 20 mEq/L KCL direkomendasikan pada
anak yang akan operasi dan tidak mengalami deplesi volume plasma atau faktor
risiko untuk produksi ADH nonosmotik. D5 0,9% NS + 20 mEq/L KCl
direkomendasikan bagi anak dengan deplesi volume plasma, hiponatremia, atau
memiliki risiko produksi ADH nonosmotik (adanya infeksi paru seperti
bronkhiolitis atau pneumonia dan adanya infeksi sistem saraf pusat). Pasien
operasi umumnya menerima cairan isotonis (NS, RL) selama operasi dan di
ruang pemulihan selama 6 sampai 8 jam setelah operasi dengan penambahan
dekstrosa jika diperlukan. Terapi cairan rumatan selanjutnya sebaiknya D5 NS
atau RL dengan penambahan 10-20 mEq/L KCl berdasarkan konsentrasi kalium
serum.5 Kalium dalam cairan pengganti intravena perlu ditunda sampai pasien
memiliki produksi urin yang adekuat untuk menghindari risiko hiperkalemia.2
Pedoman ini berasumsi tidak ada penyakit yang menyertai yang memerlukan
penyesuaian dalam jumlah volume dan komposisi elektrolit untuk cairan
rumatan. Neonatus dan bayi prematur tidak termasuk dalam pedoman ini
mengingat fisiologi mereka yang unik. Anak dengan insufisiensi ginjal tidak
mampu mengekskresikan kalium sehingga tidak dapat menoleransi 10 atau 20
mEq/L kalium. Pasien dengan produksi ADH persisten karena penyakit yang
mendasari (syndrome of inappropriate ADH secretion, gagal jantung kongestif,
sindrom nefrotik, penyakit hepar) sebaiknya menerima lebih sedikit cairan
rumatan. Anak dengan meningitis diberi restriksi cairan, kecuali terjadi deplesi
volume cairan intravaskuler. Terapi yang disesuaikan per individu dan monitor
yang hati-hati penting untuk dilakukan. Monitor meliputi pengukuran berat
badan, produksi urin, dan elektrolit untuk mengidentifikasi overhidrasi atau
dehidrasi, hiponatremia, dan kelainan elektrolit lainnya.5 Kebutuhan cairan
rumatan dapat meningkat atau berkurang tergantung pada kondisi klinis (tabel
4).
Pemilihan komposisi cairan dapat disesuaikan dengan status hidrasi anak dan
kondisi elektrolit anak terkait seperti yang tertera dalam algoritma di bawah ini:18
Kehilangan cairan gaster, baik melalui emesis atau bilas lambung, dapat
menyebabkan dehidrasi, hypokalemia, dan alkalosis metabolik. Komplikasi ini
dapat dicegah dengan pemberian cairan pengganti yang komposisinya mirip
dengan cairan lambung (tabel 8).5
Oliguria/anuria
Penggantian insensible water loss (24-40% cairan tumatan) dengan D5 ½ NS
Penggantian setiap ml urin yang keluar dengan D5 ½ NS ± KCl
Poliuria
Penggantian insensible water loss (24-40% cairan tumatan) dengan D5 ½ NS
± KCl
Mengukur elektrolit yang keluar bersama urin
Penggantian setiap ml urin yang keluar dengan larutan yang sesuai dengan
perhitungan elektrolit dalam urin
Surgical drain dan chest tube menyebabkan kehilangan cairan yang dapat
diukur untuk digantikan dengan larutan pengganti yang sesuai. Third space
losses yang dimanifestasikan dengan edema dan ascites merupakan perpindahan
air dari intravaskuler ke rongga interstisial yang bila berlebih dapat
menyebabkan deplesi volume intravaskuler. Penggantian third space fluid
bersifat empiris dan disiapkan pada anak-anak yang berisiko misalnya pada luka
bakar atau operasi abdomen. Third space losses dan chest tube merupakan
cairan isotonik sehingga memerlukan pengganti larutan isotonik pula dengan
jumlah yang disesuaikan dengan status volume intravaskuler. Kehilangan
protein dari chest tube dapat signifikan sehingga terkadang perlu
dipertimbangkan pemberian 5% albumin sebagai larutan pengganti.5
Fase resusitasi dan rehidrasi awal berakhir setelah anak mendapat volume
intravaskuler yang adekuat. Umumnya anak akan menunjukkan perbaikan klinis
dengan nadi yang berkurang (tidak lagi takikardia), normalisasi tekanan darah,
perbaikan perfusi, produksi urin yang lebih baik, dan kesadaran membaik.
Dengan volume intravaskuler yang adekuat diperlukan rencana terapi cairan
selama 24 jam ke depan. Pada kondisi dehidrasi isonatremik atau hiponatremik,
defisit cairan dikoreksi dalam waktu 24 jam (tabel 12), namun pada dehidrasi
hipernatremik diperlukan waktu yang lebih lama.22
Resusitasi:
Pengembalian volume intravaskuler dengan
NS 20 ml/kgBB dalam 20 menit
Ulangi jika perlu
Pasca resusitasi:
Hitung kebutuhan cairan dalam 24 jam: vvolume cairan rumatan + defisit
Sisa cairan diberikan dalam 24 jam menggunakan D5 NS + 20 mEq/L KCl
Ganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung (setiap buang air besar
atau muntah)
Pemantauan cairan masuk dan keluar perlu dilakukan dengan sangat seksama
pada anak yang mengalami dehidrasi. Tanda dehidrasi yang tampak dari
pemeriksaan fisik memerlukan rehidrasi berkelanjutan. Tanda overhidrasi dapat
berupa kongesti pulmoner atau edema. Pengukuran elektrolit serum penting
dipantau setiap hari pada anak yang mendapat rehidrasi lewat intravena. Karena
dehidrasi dapat menyebabkan gagal ginjal akut, maka pemberian kalium perlu
ditunda sampai anak miksi. Alkalosis metabolik juga dapat terjadi pada anak
yang dehidrasi sehngga perlu diberikan tambahan natrium bikarbonat atau
natrium asetat.22
Dehidrasi Hiponatremik
Dehidrasi Hipernatremik
DAFTAR PUSTAKA
1. Santi M, Lava SA, Camozzi P, Giannini O, Milani GP, Simonetti GD, et al. The great
fluid debate: saline or so-called “balanced” salt solutions? Italian journal of
pediatrics. 2015;41(1):1.
3. Reddi AS. Intravenous Fluids: Composition and Indications. Dalam: Reddi AS,
editor. Fluid, Electrolyte and Acid-Base Disorders: Clinical Evaluation and
Management: Springer New York; 2013. p. 38-44.
4. Meyers RS. Pediatric Fluid and Electrolyte Therapy. The Journal of Pediatric
Pharmacology and Therapeutics : JPPT. 2009;14(4):204-11.
6. Hall JE. The Body Fluid Compartments. Guyton and Hall Textbook of Medical
Physiology 13th ed: Elsevier Health Sciences; 2015. p. 305-12.
7. Greenbaum LA. Electrolyte and Acid Base Disorders. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BMD, Geme JS, Schor NF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th ed: Elsevier
Health Sciences; 2015. p. 346-50.
8. Carcillo JA. Intravenous fluid choices in critically ill children. Current Opinion in
Critical Care. 2014;20(4):396-401.
10. MIMS. KA-EN 3A. 2016 [cited 2017 8 Januari]; Available from:
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/ka-en%203a/ka-en%203a?type=full.
11. MIMS. KA-EN 3B. 2016 [cited 2017 8 Januari]; Available from:
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/ka-en%203b/ka-en%203b?type=full.
12. MIMS. KA-EN 4A. 2016 [cited 2017 8 Januari]; Available from:
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/ka-en%204a/ka-en%204a?type=full.
13. MIMS. KA-EN 4B. 2016 [cited 2017 8 Januari]; Available from:
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/ka-en%204b/ka-en%204b?type=full.
14. MIMS. KA-EN MG3. 2016 [cited 2017 8 Januari]; Available from:
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/ka-en%20mg3/ka-en%20mg3?type=full.
15. Severs D, Hoorn EJ, Rookmaaker MB. A critical appraisal of intravenous fluids:
from the physiological basis to clinical evidence. Nephrology Dialysis
Transplantation. 2015;30(2):178-87.
17. Guidet B, Soni N, Rocca GD, Kozek S, Vallet B, Annane D, et al. A balanced view
of balanced solutions. Critical Care. 2010;14(5):325.
18. Edelson JB, Orenstein EW, Zaoutis LB, Copelovitch L. Intravenous Fluid
Management in the Pediatric Hospital Setting: Is Isotonic Fluid the Right Approach
for all Patients? Current Treatment Options in Pediatrics. 2015;1(1):90-9.
19. Foster BA, Tom D, Hill V. Hypotonic versus isotonic fluids in hospitalized children:
a systematic review and meta-analysis. The Journal of pediatrics. 2014;165(1):163-9.
e2.
20. Wang J, Xu E, Xiao Y. Isotonic versus hypotonic maintenance IV fluids in
hospitalized children: a meta-analysis. Pediatrics. 2013:peds. 2013-41.
21. Choong K, McNab S. IV fluid choices in children: have we found the solution?
Jornal de Pediatria. 2015;91(5):407-9.
22. Greenbaum LA. Deficit Therapy. Dalam: Kliegman RM, Stanton BMD, Geme JS,
Schor NF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th ed: Elsevier Health Sciences;
2015. p. 388-90.
24. Organization WH. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan
Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota2009.
25. Simpson JN, Teach SJ. Pediatric rapid fluid resuscitation. Current opinion in
pediatrics. 2011;23(3):286-92.