Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA BERAT ( CKB )


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik ( PBK ) KGD

Dosen Pembimbing : Ibu Yani Trihandayani,ners.,m.kep

Disusun oleh :

FUTRI SIFA KHOERUN NISSA

19017

Tingkat 3A

Kelompok 10

Jl.walet No.21,Kertawinangun,Kedawung Cirebon,Jawa Barat 45153

STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON

2020/2021
A.Konsep Cedera Kepala Berat
1. Pengertian
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,tengkorak dan
otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yangserius diantara penyakit
neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya
(Smeltzer & Bare 2001).
Cedera kepala berat merupakan cedera kepala yang mengakibatkan penurunan
kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia > 24 jam (Haddad, 2012).
Cedera kepala berat adalah keadaan dimana penderita tidak mampu melakukan
perintah sederhana oleh karena kesadaran menurun (GCS < 8) (ATLS, 2008).

2. Etiologi
Kejadian cedera kepala bervariasi mulai dari usia, jenis kelamin, suku, dan faktor
lainnya. Kejadian-kejadian dan prevalensi dalam studi epidemiologi bervariasi
berdasarkan faktor -faktor seperti nilai keparahan, apakah disertai kematian, apakah
penelitian dibatasi untuk orang yang dirawat di rumah sakit dan lokasi penelitian
(NINDS, 2013).

Penyebab cedera kepala berat adalah: 1. Trauma tajam Trauma oleh benda tajam dapat
menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi
kontusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan
masa lesi, pergeseran otak atau hernia. 2. Trauma tumpul Trauma oleh benda tumpul dan
menyebabkan cedera menyeluruh (difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan
terjadi dalam 4 bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada
hemisfer serebral, batang otak atau kedua-duanya. Akibat trauma tergantung pada : a.
Kekuatan benturan (parahnya kerusakan). b. Akselerasi dan Deselerasi c. Cup dan kontra
cup Cedera cup adalah kerusakan pada daerah dekat yang terbentur. Sedangkan cedera
kontra cup adalah kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan benturan. 1) Lokasi
benturan 2) Rotasi Pengubahan posisi pada kepala menyebabkan trauma regangan dan
robekan substansia alba dan batang otak. 3) Depresi fraktur Kekuatan yang mendorong
fragmen tulang turun menekan otak lebih dalam. Akibatnya CSS (Cairan Serebro Spinal)
mengalir keluar ke hidung, telinga → masuk kuman → kontaminasi dengan CSS →
infeksi →kejang.

3. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg
% karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral seperti kesulitan dalam berbicara,nyeri
di kepakla dan bola mata, tampak berkeringat, bisa muntah, dan terjadi kerusakan fungsi
motorik. Dari sini dapat muncul masalah keperawatan gangguan perfusi jaringan serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat
akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral bood flow (CBF) adalah 50-60 ml/menit/100 gr
jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala menyebakan
perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan
vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi.
Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuuh darah arteri dan arteriol
otak tidak begitu besar.
Pathway
4. Tanda dan gejala
a. Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%)

b. Hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mm Hg)

c. Gangguan kesadaran

d. Abnormalitas pupil

e. Defisit neurologic

f. Hemiparase

g. Kejang

h. Perubahan tanda-tanda vital

i. Mual dan muntah

j. Vertigo, gangguan pergerakan, mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran.

k. GCS < 8 (Mansjoer Arif ,dkk ,2000).

Tanda gejala menurut jenis pendarahannya :


1) Fraktur kranium

Fraktur tulang tengkorak (cranium) dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak
(basiscranii), dan dapat berbentuk garis atau linear dan dapat pula terbuka atautertutup.
Fraktur cranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit
kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaputdura(ATLS,2008).
1. Respon buka mata (E) : 4 Spontan
3 Terhadap suara
2 Terhadap nyeri
1 Tidak ada
2. Respon motorik (M) 6 Turut perintah
5 Melokalisir nyeri
4 Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)
3 Fleksi abnormal (dekortikasi)
2 Ekstensi abnormal (deserebrasi)
1 Tidak ada (flaksid)
3. Respon verbal (V) 5 Berorientasi baik
4 Disorientasi tempat dan waktu
3 Kata-kata tidak teratur
2 Suara tidak jelas
1 Tidak ada
4. Nilai GCS = (E + M +V) :
Nilai tertinggi = 15
dan terendah = 3
( D. Jong, 2010).

2) Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua
jenis lesi ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal adalah perdarahan epidural, perdarahan
subdural, kontusio (hematom intraserebral), dan perdarahan intra serebral.

3) Cedera otak difusi

Cedera otak difusi mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan normal, sampai
cedera iskemi-hipoksik yang berat.Cedera otak difus berat biasanya diakibatkan oleh
hipoksia, iskemi otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi
segera setelah trauma. Pada kasus tersebut, awalnya CT scan sering menunjukkan
gambaran normal, atau gambaran otak bengkak secara merata dengan batas area substasia
putih dan abu-abu hilang. Kelainan difus lainnya, seringterlihat pada cedera dengan
kecepatan tinggi atau cedera deselerasi, yang dapat menunjukkan gambaran titik
perdarahan multipel diseluruh hemisfer otak tepat dibatas area putih dan abu-abu.

4) Perdarahan epidural

Perdarahan epidural relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua cedera otak dan 9% dari
pasien yang mengalami koma. Hematom epidural itu secara tipikal berbentuk bikonveks
atau cembung sebagai akibat dari pendorongan perdarahan terhadap duramater yang
sangat melekat di tabula interna tulang kepala. Perdarahan ini sering terjadi pada area
temporal atau temporoparietal dan biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea
media akibat fraktur tulang tengkorak.

5) Perdarahan subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural, kira -kira 30% dari
cedera otak berat. Perdarahan ini sering terjadi akibat robekan pembuluh darah atau vena
-vena kecil di permukaan korteks serebri. Berbeda dengan perdarahan epidural yang
berbentuk lensa cembung pada CT scan, perdarahan subdural biasanya mengikuti dan
menutupi permukaan hemisfer otak. Perdarahan ini dapat menutupi seluruh permukaan
otak. Kerusakan otak yang berada di bawah perdarahan subdural biasanya lebih berat dan
prognosisnya lebih buruk daripada perdarahan epidural.

6) Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak berat). Sebagian besar
terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, meskipun dapat juga terjadi pada setiap
bagian dari otak. Kontusio serebri dapat terjadi dalam waktu beberapa jam atau hari,
berkumpul menjadi perdarahan intraserebral atau kontusio yang luas (ATLS, 2008).

5. Pemeriksaan penunjang
a. Computerized Tomography Scanner (CT scan) dengan/tanpa kontras Mengidentifikasi
luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa
kontras radio aktif

c. Cerebral angiografi Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan


otak skundre menjadi edema, perdarahan, dan trauma.

d. Serial Electro Enchephalo Gram (EEG) Dapat melihat perkembangan gelombang


patologis

e. Sinar X Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis


(perdarahan/edema) fragmen tulang

f. Brain Auditory Evoked Respon (BAER) Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak
kecil

g. Positron Emission Tomography (PET) Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism


otak

h. Cairan Serebrospinal (CSS) Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subarachnoid

i. Kadar elektrolit Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan


intracranial

j. Screen toxicology Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan


penurunan kesadaran

k. Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral) Rontgen thorak menyatakan akumulasi
udara / cairan pada area pleural.

l. Toraksentesis Menyatakan darah/cairan

m. Analisa gas darah (AGD/astrup) Analisa gas darah (AGD/astrup) adalah salah satu tes
diaknostik untuk menentukan status status respirasi. Status respirasi dapat digambarkan
melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa
6. Komplikasi
1) Patah tulang tengkorak

Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Patah tulang
tengkorak bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam
rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek
meningens (selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan
meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga. Bakteri kadang memasuki tulang
tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat
pada otak. Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali
jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.

2) Konkusio

Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya
cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio
menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural yang
nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada
goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak. Konkusio bisa menyebabkan
kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang abnormal; sebagian besar penderita
mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari. Beberapa penderita
merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau
perasaannya berkurang dan kecemasan. Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama
beberapa hari sampai beberapa minggu, jarang lebih dari beberapa minggu. penderita bisa
mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. keadaan ini disebut
sindroma pasca konkusio.

3) Gegar otak & robekan otak

Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang biasanya disebabkan
oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan otak adalah robekan pada jaringan
otak, yang seringkali disertai oleh luka di kepala yang nyata dan patah tulang tengkorak.
Gegar otak dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI menunjukkan
kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa menyebabkan kelemahan pada satu
sisi tubuh yang diserati dengan kebingungan atau bahkan koma. Jika otak membengkak,
maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan yang sangat
hebat bisa menyebabkan herniasi otak.

4) Perdarahan intracranial

Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di dalam otak


atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena
cedera atau stroke. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan
pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas
juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada
perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada
salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau
bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia
lanjut. Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah
merobek arteri. darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat
memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga baru
muncul beberapa jam kemudian. sakit kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam
kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi
peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma.

5) Kerusakan pada bagian otak tertentu

Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan mempengaruhi
kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri
biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera
menentukan jenis kelainan yang terjadi.

7. Penatalaksanaan medis
Secara umum :
1) Tindakan terhadap peningkatan TIK
a. Pemantauan TIK dengan ketat.
b. Oksigenasi adekuat
c. Pemberian manitol
d. Penggunaan steroid
e. Peninggatan tempat tidur pada bagian kepala
f. Bedah neuro
2) Tindakan pendukung lain
a. Dukung ventilasi
b. Pencegahan kejang
c. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
d. Terapi antikonvulsan
e. CPZ untuk menenangkan pasien
f. NGT Penanganan pasien Di Unit Perawatan Intensif (UPI/ICU)
Kelompok ini terdiri dari penderita yang tidak mampu mengikuti perintah sederhana
bahkan setelah stabilisasi kardiopulmonal. Walau definisi tersebut memasukan cedera
otak dalam spektrum yang luas, ia mengidentifikasikan kelompok dari penderita yang
berada
pada risiko maksimal atas morbiditas dan mortalitas. Pendekatan 'tunggu dan lihat' sangat
mencelakakan dan diagnosis serta tindakan tepat adalah paling penting.
Pengelolaan pasien dibagi 4 tingkatan:
a. Stabilisasi cardiopulmoner Cedera otak sering diperburuk oleh kerusakan sekunder.
Miller melaporkan pasien dengan cedera otak berat yang dinilai saat masuk UGD, 30%
dalam hipoksemik (PO2 < 95mmHg,dan 12% dengan anemik (hematokrit < 30%).
Diperlihatkan bahwa hipotensi saat masuk (TD sistolik 40 tahun dan posturing motor)
yang, bila ditemukan saat masuk, berhubungan dengan akan terjadinya peningkatan TIK.
TIK tinggi berhubungan dengan outcome yang lebih buruk. Karenanya wajib untuk
menstabilkan kardiopulmoner segera.
a) Jalan Nafas
Yang sering bersamaan dengan konkusi adalah terhentinya nafas untuk sementara. Apnea
yang lama sering menjadi penyebab kematian yang segera pada suatu kecelakaan. Bila
pernafasan buatan segera dilakukan, dapat dicapai outcome yang baik. Apnea, atelektasis,
aspirasi dan sindroma distres respirasi akuta (ARDS) sering bersamaan dengan cedera
kepala berat, dan karenanya satu-satunya aspek yang paling penting dalam pengelolaan
segera pasien tersebut adalah mempertahankan jalan nafas yang baik. Setiap pasien
dengan cedera kepala berat harus diintubasi segera. Kecermatan harus diperhatikan dalam
menjamin letak yang benar dari tube endotrakhea, bukan esofageal. Jarang, bila perlu
dilakukan trakheostomi emergensi, terutama pada pasien dengan cedera maksilofasial
berat dimana intubasi dihindari karena pembengkakan berat jaringan lunak serta adanya
distorsi anatomi. Dalam usaha mempertahankan jalan nafas, saluran mulut dan nasal
harus bersih dari semua benda asing, sekresi, darah dan muntah. Sekali tube endotrakheal
pada tempatnya, balon harus digembungkan untuk mencegah atau mengurangi aspirasi,
dan pengisapan seksama saluran trakheal harus dilakukan.
b) Tekanan Darah
Pada pasien cedera kepala sering di temukan Hipotensi dan hipoksia.Bila jalan nafas
sudah diperbaiki, nadi dan tekanan darah pasien diperiksa dan siapkan jalur vena.
Minimum dua jalur vena (gunakan Jelcos 14 atau 16) harus terpasang baik. Umumnya
digunakan kateter vena infraklavikular perkutaneus subklavian atau jugular, walau
kadang-kadang pembukaan vena safena atau brakhial diperlukan untuk mendapat jalur
vena yang memadai. Pada titik ini, darah bisa diambil untuk pemeriksaan rutin, skrining
koagulasi, kadar alkohol serum, contoh untuk bank darah serta gas darah arterial. Bila
pasien hipotensif, sangat penting untuk memperbaikinya sesegera mungkin. Hipotensi
biasanya tidak karena cedera kepala semata, kecuali pada fase terminal dimana sudah
terjadi kegagalan medullari. Jauh lebih umum, hipotensi adalah pertanda kehilangan
darah banyak,yang mana bisa tampak atau tersembunyi, atau keduanya. Pada pasien
cedera dengan hipotensif, pertama harus dipikirkan cedera cord spinal yang terjadi
(dengan kuadriplegia atau paraplegia) serta kontusi atau tamponade kardiak dan
pneumotoraks tension sebagai penyebabnya. Selama upaya mencari penyebab hipotensi,
penggantian volume harus dimulai dengan menggunakan salin normal atau plasmanat.
Transfusi darah harus dilakukan sesegera mungkin bila tekanan darah tidak bereaksi
memadai terhadap penggantian cairan atau bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gm%
(HCT 30%). Darah kelompok O Rh negatif mungkin bisa digunakan selama belum
tersedianya darah yang telah dibanding silang. Pentingnya parasentesis abdominal rutin
pada pasien koma dengan hipotensif sudah terbukti. Harus ditekankan bahwa
pemeriksaan neurologis tidak berarti sepanjang pasien dalam hipotensif. Pasien yang
tidak responsif terhadap stimulasi saat hipotensif, sering kembali kepemeriksaan
neurologis yang mendekati normal segera setelah tekanan darah diperbaiki.
c) Kateter
Kateter Foley ( 16-18 French untuk dewasa) diinsersikan dengan hati-hati dan urine
dikirimkan untuk pemeriksaan urinalisis dan skrining toksik (bila tersedia). Hematuria
gross mengarah pada cedera renal dan iniindikasi untuk IVP emergensi. Hematuria ringan
mungkin sekunder atas kateterisasi traumatika, kontusi renal atau jarang-jarang
aneurisma aortik dissekting. Perhatian khusus harus diberikan atas catatan masukan dan
keluaran cairan, terutama pada anak dan orang tua. Sebagai tambahan untuk menjamin
keseimbangan cairan, setiap catatan membantu penaksiran kehilangan darah serta
pengamatan perfusi renal. Setelah stabilitas pulmonal tercapai pada pasien yang
mengalami cedera kepala berat, maka di lanjutkan pada tahap berikutnya yaitu
b. Pemeriksaan Umum
Selama proses penstabilan kardiopulmoner, dilakukan pemeriksaan umum secara cepat
untuk mencari cedera lain. Lebih dari 50% pasien cedera kepala berat disertai cedera
sistemik major lainnya, memerlukan penanganan oleh spesialis lain. Perhatian khusus
diberikan pada : Cedera kepala dan leher: laserasi, tempat perdarahan, otorrhea,
rhinorrhea, mata racoon (ekkhimosis periorbital).
a) Cedera toraks: fraktura iga, pneumotoraks atau hemotoraks, tamponade kardiak,
(dengan bunyi jantung lemah, distensi vena jugular, dan hipotensi), aspirasi, atau ARDS.
b) Cedera abdominal: terutama laserasi hati, limpa atau ginjal. Perdarahan biasanya
berakibat tenderness, guarding atau distensi abdominal. Namun tanda-tanda ini mungkin
tidak muncul dini dan mungkin tersembunyi pada pasien koma. Adanya bising usus
biasanya pertanda tenang.
c) Cedera pelvik: Cedera pada pasien yang tidak koma bisa ditetapkan secara klinis.
Konfirmasi radiologis biasanya diperlukan. Pemeriksaan rektal mungkin berguna. Cedera
pelvik sering bersamaan dengan kehilangan darah tersembunyi dalam jumlah besar.
d) Cedera tulang belakang: Trauma kepala dan tulang belakang mungkin bersamaan, dan
kombinasi tersebut harus selalu dicari walau kejadiannya hanya 2 hingga 5% dari pasien
cederaCedera ekstremitas: Mungkin terjadi kerusakan tulang atau jaringan lunak (otot,
saraf, pembuluh darah). Fraktura pada pasien gelisah harus dibidai segera untuk
mencegah kerusakan saraf dan pembuluh bersangkutan. Tindakan definitif pada
kebanyakan pasien cedera ekstremitas dapat ditunda hingga setelah tindakan terhadap
masalah yang mengancam nyawa. kepala berat. Tulang belakang leher paling sering
dikenai.
c. Pemeriksaan Neurologis
Segera setelah status kardiopulmoner distabilkan, pemeriksaan neurologis cepat dan
terarah dilaksanakan. Walau berbagai faktor dapat menghalangi penilaian akurat dari
status neurologis pasien pada saat tersebut (hipotensi, hipoksia, atau intoksikasi), data
yang berharga dapat diperoleh. Antara alert penuh dan koma dalam, terjadi perubahan
kesadaran yang sinambung hingga sulit untuk melakukan penilaian secara objektif.
Sebagai dikemukakan didepan, untuk keperluan ini SKG digunakan secara luas. Bila
pasien menunjukkan respons yang bervariasi terhadap stimulasi, atau responsnya berbeda
pada setiap sisi, tampilan respons yang terbaik lebih merupakan indikator prognostik
yang lebih akurat dibanding respons yang terburuk. Untuk mengikuti kecenderungan arah
perjalanan penyakit, lebih baik melaporkan baik respons terbaik maupun terburuk.
Dengan kata lain, respons motor sisi kiri dan kanan dicatat terpisah. Sebagai stimulus
nyeri standar adalah penekanan dalam terhadap bed kuku. Pemeriksaan tidak hanya
terbatas pada parameter ketidaksadaran yang digunakan dalam SKG (kemampuan
membuka mata, respons motor serta respons verbal), namun hal yang sama pentingnya
dalam menaksir pasien dengan gangguan kesadaran adalah usia, tanda-tanda vital, res-
pons pupil, dan gerakan mata. SKG memberikan grading sederhana dari arousal dan
kapasitas fungsional korteks serebral, dan respons pupil serta gerakan mata digunakan
untuk menilai fungsi batang otak. Usia lanjut, hipotensi, dan hipoksia semuanya
mempengaruhi buruknya outcome. Semua faktor tersebut berpengaruh dalam penentuan
prognosis pada cedera kepala berat.
d. Prosedur Diagnostik
Segera setelah keadaan kardiorespiratori distabilkan dan pemeriksaan neurologis
pendahuluan dilengkapkan, segera ditentukan adanya lesi massa intrakranial. Pasien
diintubasi dan diparalisakan memakai pankuronium (Pavulon) atau obat sejenis dan
dipasang ventilasi mekanik. Manuver ini mencegah pasien menggeliat atau bergerak,
yang berarti mencegah terjadinya peninggian TIK dan secara nyata menambah kualitas
pemeriksaan diagnostik. CT scanning mengungguli semua tes yang lebih kuno. Namun
tes lain digunakan juga baik sebagai pengganti CT scanning, atau tes angiografi untuk
melengkapi data tertentu.

8. Pengkajian
a. Identitas pasien Nama, Umur, Jenis kelamin, Agama, Pendidikan, Pekerjaan, Alamat,
Status perkawinan

b. Riwayat kesehatan

1) Keluhan utama Berisi data subyektif yang dirasakan pasien ketika masuk rumah sakit.

2) Riwayat penyakit sekarang Pasien mengalami penurunan kesadaran, latergi, mual


muntah, nyeri kepala, perdarahan, kelemahan, fraktur tengkorak, amnesia sesaat,
gangguan pendengaran penciuman penglihatan.

3) Riwayat penyakit dahulu Pasien pernah mengalami penyakit sistem saraf, riwayat
trauma terdahulu, riwayat penyakit darah dan riwayat penyakit sistemik

4) Riwayat penyakit keluarga Adanya riwayat penyakit menular

c. Pemeriksaan fisik

1) Kesadaran coma

GCS : 3-8

2) Vital sign

Tekanan darah : menunjukkan normal atau abnormal

Suhu : berada pada rentang hipertermi suhu > 38oC

Nadi : takikardi

RR : normal atau abnormal


3) 6 B

a) B1 (Breating)

Inspeksi : pasien terlihat menggunakan otot bantu nafas, terlihat peningkatan frekuensi
nafas

Auskultasi : terdapat bunyi stridor yang diakibatkan lidah jatuh ke belakang ketika
penurunan kesadaranataupun kejang. Terdengar suara ronchi akibat penumpukan sputum
pada jalan nafas

Perkusi : terdapat bunyi redup jika terdapat edema paru Palpasi : tidak terdapat benjolan
atau massa pada thorak

b) B2 (Blood)

Inspeksi : pasien terlihat pucat, sianosis jika terjadi gangguan perfusi. Terdapat
perdarahan di area kepala dengan fraktur atau dengan tanpa fraktur akibat kerusakan
jaringan

Auskultasi : terdengar suara bunyi jantung S1 S2 tunggal

Perkusi : tidak terdapat bunyi redup Palpasi : terjadi peningkatan frekuensi nadi, nadi
teraba lemah, distritmia, tidak terdapat pembesaran vena jugularis

c) B3 (Brain)

Inspeksi : terjadi penurunan kesadaran, respon pupil menunjukkan mengecil menandakan


disfungsi enchepalo dan gangguan metabolisme. Terlihat sulit menggerakkan bagian
tubuh sebagian tergantung bagian otak mana yang mengalami cedera

Palpasi : terdapat benjolan berupa hematoma karena adanya internal bledding, terdapat
nyeri tekan pada bagian yang mengalami luka

d) B4 (Blader)

Inspeksi : tidak terdapat luka pada area blader. Pasien mengalami oliguria dan gangguan
perfusi hingga ke ginjal akibat adanya gangguan metabolisme. Terjadi inkontinensia urin
akibat gangguan sistem saraf
Palpasi : teraba keras akibat terjadi retensi urin ataupun bendungan urin Perkusi :
terdengar bunyi redup jika terdapat bendungan urin

e) B5 (Bowel)

Inspeksi : pasien terlihat mual dan muntah akibat peningkatan TIK

Auskultasi : penurunan jumlah bising usus dan akan terdengar lemah Palpasi : tidak
terdapat asites atau benjolan Perkusi : terdengar bunyi timpani

f) B6 (Bone)

Inspeksi : pasien datang terlihat parase atau paraplegi akibat bagian otak yang rusak

Palpasi : terdapat nyeri tekan pada tulang tengkorak yang mengalami kontraktur atau
fraktur. Terdapat gangguan reflek patella sesuai letak otak yang mengalami kerusakan
serta penurunan tonus otot

9. Diagnosa keperawatan
Menurut Arif Muttaqin, (2008) diagnosa keperawatan yang muncul pada cedera kepala
berat adalah sebagai berikut:
a. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi perfusi
b. Risiko perfusi serebral tidak efektif b.d cedera kepala
c. Nyeri akut b.d dengan agen pencedera fisik
10. Intervensi keperawatan
Perencanaan keperawatan pada pasien cedera kepala berat
No Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
keperawatan hasil
1. Gangguan pertukaran Setelah dilakukan 1.Monitor 1. Untuk
gas b.d
tindakan keperawatan kecepatan aliran mengetahui
ketidakseimbangan
ventilasi perfusi selama 3x24 jam oksigen dengan tepat
diharapkan 2.Monitor tanda- aliran oksigen
pertukaran gas tanda yang diperlukan
normal dengan hipoventilasi
kriteria hasil : 3.Pertahankan 2. Mengetahui
kepatenan jalan adekuat oksigen
1.Tingkat kesadaran
meningkat nafas oksigen yang ada
didalam tubuh
2. Dispnea menurun
pasien
3.Bunyi nafas
tambahan menurun 3. Mencegah
obstruksi/aspirasi
4. Pusing menurun

5. Gelisah menurun

6. PCO2 membaik

7. PO2 membaik

8.Takikardia
membaik

9.Pola nafas membaik

10.Warna kulit
membaik

2. Risiko perfusi serebral Setelah dilakukan 1.Identifikasi 1. Untuk


tidak efektif b.d cedera
tindakan keperawatan penyebab mengkaji status
kepala
selama 3x24 jam peningkatan TIK neurologis
diharapkan perfusi 2. Monitor tanda
selebral normal dan gejala 2. Untuk
dengan kriteria hasil : peningkatan TIK mengetahui
3. Monitor MAP status tanda dan
1.Tingkat kesadaran
(Mean Atrial gejala yang
meningkat
Pressure) dialami
2.Sakit kepala
menurun 3.Untuk
mengetahui
3. Gelisah menurun peningkatan
perfusi selebral
4.Kecemasan
menurun

5. Demam menurun

6.Nilai rata-rata
tekanan darah
membaik

3. Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan 1.Identifikasi 1.Untuk


pencedera fisik tindakan keperawatan karakteristik mengetahui
selama 3x24 jam nyeri penyebab nyeri
diharapkan nyeri akut 2. Identifikasi
teratasi dengan riwayat alergi 2. Agar tidak
kriteria hasil : obat terjadi hal yang
3. Identifikasi fatal
1. Nyeri terkontrol
kesesuaian jenis
2.Kemampuan analgetik 3.Pemberian
mengenali penyebab analgetik untuk
nyeri mengendalikan
nyeri
3.Kemampuan
menggunakan teknik
non farmakologi

4.Penggunaan
analgetik

11. Implementasi
Menurut Setiadi,(2012) dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan,
implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan.
12. Evaluasi
Menurut Setiadi,(2012) dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan, tahap
penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya.
Komponen catatan perkembangan, antara lain sebagai berikut :
1. Kartu SOAP(data subjektif, data objektif, analisis/assessment, dan perencanaan/plan)
dapat dipakai untuk mendokumentasikan evaluasi dan pengkajian ulang.
2. Kartu SOAP sesuai sebagai catatan yang ringkas mengenai penilaian diagnosis
keperawatan dan penyelesaiannya. SOAP merupakan komponen utama dalam catatan
perkembangan yang terdiri atas:
a. S (Subjektif) : data subjektif yang diambil dari keluhan klien, kecuali pada klien yang
afasia.
b. O (Objektif) : data objektif yang diperoleh dari hasil observasi perawat, misalnya
tanda-tanda akibat penyimpanan fungsi fisik, tindakan keperawatan, atau akibat
pengobatan.
c. A (Analisis/assessment) : masalah dan diagnosis keperawatan klien yang
dianalisis/dikaji dari data subjektif dan data objektif. Karena status klien selalu berubah
yang mengakibatkan informasi/data perlu pembaharuan, proses analisis/assessment
bersifat diinamis. Oleh karena itu sering memerlukan pengkajian ulang untuk
menentukan perubahan diagnosis, rencana, dan tindakan.
d. P (Perencanaan/planning) : perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan
keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang (hasil modifikasi rencana
keperawatan) dengan tujuan memperbaiki keadaan kesehatan klien. Proses ini
berdasarkan kriteria tujaun yang spesifik dan periode yang telah ditentukan.
13. Daftar pustaka
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Mdikal Bedah, edisi 8. Jakarta :
EGC Gallo & Hudak. 2001. Keperawatan Kritis, edisi VI. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
PPNI. 2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
Morton, Patricia, dkk. 2012. Keperawatan Kritis Volume 2 Pendekatan Asuhan Holistik.
Jakarta : EGC Price,
Sylvia dan Lorraine Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai