Anda di halaman 1dari 10

REVIEW MATA KULIAH ETNISITAS, MULTIKULTURALISME DAN

INTEGRASI NASIONAL

PERTEMUAN KE-4

Dinamika, bentuk Negara dan pemerintahan: Imperium & Negara Westphalian

Nama : Oky Chandra Firmansyah


NIM : 20/467945/PMU/10551

Pendahuluan

Sebelum dan selama abad pertengahan, Kekaisaran Romawi menjadi penguasa sebagian
besar Eropa dengan institusi yang paling kuat Gereja Katolik Roma dan kekaisaran Romawi Suci
Bangsa Jerman. Kekaisaran tersebut terbentuk dari ratusan kawasan negara Austria, Republik Ceko,
Prancis bagian timur, Jerman, Swiss, kawasan Benelux (Belgia, Belanda, dan Luksemburg), dan
beberapa bagian Italia.

Perang Tiga Puluh Tahun awalnya dimulai sebagai perang agama, yang tumbuh dari konflik
antara Katolik Roma Jerman dan para pemeluk Protestan. Hal ini berkembang menjadi sebuah kontes
politik penguasa Habsburg di Kekaisaran Romawi Suci yang berusaha memperluas kendali mereka
di Eropa, sementara sejumlah kekuatan lainnya seperti Swedia berusaha membatasinya. Prancis pada
khususnya (meskipun juga kekuatan Katolik) khawatir dengan prospek hegemoni Habsburg di
Eropa. Kepausan Spanyol dan sebagian besar pangeran Jerman bergabung dengan kelompok Katolik
yang diperjuangkan oleh Habsburg Austria. Mereka ditentang oleh kekuatan
Protestan Swedia dan Denmark, pangeran Jerman yang Protestan, dan Prancis Katolik (setelah
1635). Perang Tiga Puluh Tahun adalah konflik paling dahsyat di era Eropa modern awal. [1] Baik
Austria-Jerman, maupun kawasan Eropa yang lebih luas, terlibat dalam perang yang bermula dari
masa pemerintahan Kaisar Maximilian I, khususnya, semenjak Reformasi dan pemilihan Karl
V, Raja Spanyol, ke tahta kekaisaran tahun 1519.

Maximilian I memulai konflik ini, dan Karl V melanjutkan kekuasaan Katolik yang


membangkitkan ketakutan ambisi universalisme Habsburgyang tak terpadamkan, serta konflik
normal Abad Pertengahan Jerman yang terancam akibat keragaman agama, juga mengacaukan
sistem politiknya hingga sekitar tahun 1648.[2] Klaim historis Prancis terhadap Kekaisaran Jerman,
telah tertanam dalam jiwa Prancis dan berlanjut dalam pemerintahan Louis XIV. Kehadiran Prancis,
tidak bisa diabaikan. Periode ini juga menyaksikan asal mula dan perkembangan obsesi Prancis
terhadap wilayah Italia—yang bermula dari invasi pertama Italia pada tahun 1494 yang merupakan
awalan dari konflik Prancis-Habsburg. Karl V merebut kembali kota Milan dari Prancis pada tahun
1535. Prancis sejak saat itu secara efektif dikelilingi oleh wilayah kekuasaan atau dalam
pengaruh Habsburg. Beberapa kawasan yang diklaimnya, di antaranya: Flanders, Artois, Franche-
Comte dan Milan. Prancis juga berusaha untuk mempertahankan rute invasi Timur Laut dan Timur
ke Prancis untuk menjaga hubungan dengan Swiss dan Venesia; serta rute menuju Italia tengah.

Secara umum, perang tiga puluh tahun terdiri dari empat fase. Fase pertama adalah
fase Bohemia (1618-1625) yang ditandai perang saudara di wilayah Bohemia. Perang Bohemia ini
melibatkan Liga Katolik yang dipimpin Raja Ferdinand II melawan Serikat Protestan yang dipimpin
Pangeran Friedrich V dari Palatine. Kemudian Raja Ferdinand II diberhentikan dari jabatan rajanya
oleh pangeran-pangeran Bohemia, dan sebagai gantinya, Friedrich V diangkat menjadi raja Bohemia
pada tahun 1618. Naiknya Ferdinand II sebagai Kaisar Agung Romawi pada tahun 1620 akhirnya
berujung pada penghapusan Protestanisme dari Bohemia. Fase kedua adalah fase Denmark (1625-
1630) di mana Raja Christian IV dari Denmark berpartisipasi membela kaum Protestan. Jenderal
perang Liga Katolik, Wallenstein, terlalu kuat bagi Christian IV sehingga kekalahan terjadi di pihak
Protestan. Kedua fase ini berlangsung selama 10 tahun, di mana Bohemia sepenuhnya menjadi
Katolik di bawah kekuasaan Ferdinand II. Fase ketiga diawali dengan kedatangan
Raja Swedia (1625-1635), Gustavus Adolphus di tanah Jerman. Fase ini disebut dengan fase Swedia.
Negara seperti Denmark (lagi), Polandia, Finlandia, dan beberapa negara kecil di kawasan Baltik,
serta Raja Gustavus bergabung untuk membantu kaum Protestan, khususnya menolong
saudaranya, Adipati Mecklenburg, yang saat itu sedang diasingkan. Fase ini ditandai dengan
keterlibatan kekaisaran Prancis, melalui Perdana Menteri Kardinal Richelieu, yang
membantu Swedia secara finansial. Gustavus berhasil melawan pasukan pihak Katolik di
Pertempuran Breitenfield dan Lützen, yang terjadi pada tahun 1631 dan 1632.
Namun, Gustavus akhirnya tewas dalam pertempuran di Nördlingen pada tahun 1634. Hal ini
membuat Prancis ikut campur tangan membela pihak protestan (lebih tepatnya melawan Dinasti
Habsburg).

Fase terakhir ditandai dengan kedatangan Prancis pada perang ini (1635-1648), yang
sekaligus menandai "internasionalisasi" Perang Tiga Puluh Tahun, dengan
bergabungnya Belanda (yang merupakan bentuk balas budi ketika dibantu berperang melawan
Spanyol pada tahun 1622), Skotlandia, dan sejumlah tentara bayaran Jerman yang disewa raja-raja
Protestan Jerman, yang memperkuat kubu Serikat Protestan. Perang pada fase ini berlangsung lama,
bahkan bisa disebut 'stalemate' (imbang), di mana tidak ada pihak yang memenangkan peperangan.
Hal ini disebabkan keterbatasan logistik di kedua belah pihak. Situasi 'stalemate' membuat para raja
atau ratu tidak memiliki pilihan lain selain membuat perjanjian damai untuk menghentikan perang,
setidaknya untuk sementara waktu. Perang ini berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Westfalen,
dengan dua traktat utamanya: Traktat Münster yang mendamaikan Prancis (dan sekutunya)
dengan Kekaisaran Agung Romawi serta Traktat Osnabrück yang mendamaikan Swedia (dan
sekutunya) dengan Kekaisaran Agung Romawi.

Perjanjian Westphalia dalah serangkaian perjanjian yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (yang
dalam sejarah kekristenan Eropa juga dianggap perang antara Katolik & Protestan) dan secara resmi
mengakui Republik Belanda dan Konfederasi Swiss. Perjanjian ini ditandatangani pada 24 Oktober
1648. Perjanjian ini melibatkan 109 delegasi yang mewakili kekuatan-kekuatan Eropa, termasuk
Ferdinand II yang telah menjadi Raja Kekaisaran Romawi Suci, Raja Phillip IV dari Spanyol, Ratu
Cristina dari Swedia, Kerajaan Prancis, Republik Belanda dan kota-kota yang merdeka. Sebagai hasil
dari Perjanjian Westphalia, Belanda memperoleh kemerdekaan dari Spanyol, Swedia menguasai
Baltik dan Prancis diakui sebagai kekuatan Barat yang terkemuka. Kekuatan Kaisar Romawi Suci
hancur dan negara-negara Jerman kembali dapat menentukan agama di wilayah mereka. Perjanjian
Westphalia membentuk sebuah preseden mengenai perdamaian yang dibangun oleh kongres yang
diplomatis dan sebuah sistem tatanan politik baru di Eropa Tengah, yang kemudian dikenal dengan
nama Kedaulatan Westphalia (Wesphalian Sovereignty). Sistem ini berbasis pada konsep negara-
negara berdaulat yang hidup berdampingan dengan agresi antara yang terjaga dengan keseimbangan
kekuatan. Prinsip-prinsip Westphalia inilah yang menjadi konsep negara berdaulat yang saat ini
dikenal dan menjadi pusat dari hukum internasional dan tatanan dunia modern

Imperium mengacu pada sekelompok negara dan kelompok etnik yang menempati


wilayah geografis dipimpin atau dikuasai oleh satu kekuatan politik. Sedangkan
Imperialisme mengacu pada kebijakan sebuah negara besar yang dapat memegang kendali
pemerintahan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara atau berkembang. Jadi
imperialisme ialah politik dalam menguasai seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri
yang dibentuk sebagai imperiumnya.

Penyebab Imperium antara lain :

- Keinginan untuk menjadi jaya, menjadi bangsa yang terbesar di seluruh dunia.


- Perasaan bahwa bangsa itu adalah bangsa istimewa di dunia ini.
- Hasrat untuk menyebarkan agama yang dapat menimbulkan imperialisme.
- Letak suatu negara yang dianggap geografis tidak menguntungkan, dan
- Sebab-sebab ekonomi.

Imperium besar di dunia yaitu:

A. Imperium Umayah, dipimpin oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (w. 60 H/680 M),
merupakan salah satu kerajaan Islam yang berhasil menaklukkan daerah-daerah yang
menjadi target kekuasaannya.
Penyebab Kemundurannya:

 Berakhirnya kekuasaan Dinasti Umayah.


 Munculnya fanatisme kesukuan antara orang-orang Arab maupun non-Arab.
 Tenggelamnya sebagian khalifah Bani Umayah dalam kemewahan duniawi, dan
 Munculnya berbagai kelompok pemberontak dari kalangan Syiah.

B. Imperium Abbasiyah, Abu Al-Abbas dilantik menjadi khalifah pertama Bani Abbasiyah
pada tahun 750 M, Bani Abbasiyah berhasil mempertahankan kekhalifahan selama 3
abad, menanamkan kembali corak kepemimpinan Islami, menyuburkan ilmu
pengetahuan dan teknologi, hingga pengembangan budaya dan seni.

C. Imperium Turki Usmani, Sebuah kerajaan yang berpusat di Turki modern dan pernah
berkuasa hingga selatan Eropa, barat Asia, dan utara Afrika. Menurut Philip K Hitti
dalam History of the Arabs, Turki Usmani merupakan campuran suku-suku Iran di Asia
Tengah yang bergerak dari Mongolia menuju Asia kecil dan berangsur-angsur
menggeser posisi Bani Seljuk.

D. Imperium Britania Raya, terkenal sebagai pencaplok hampir sekitar satu per empat
wilayah Bumi pada masa kejayaannya sekitar Abad ke 18-19. Kerajaan Britania Raya
mampu mempertahankan wilayah kekuasannya hingga ratusan tahun. Britania Raya
mengalami kemunduran yang disebabkan seperti korupsi yang meraja lela di dalam
East India Company, Perang Dunia I, dan Perang Dunia II.

E. Imperium Mongolia, Kemajuan bangsa Mongol secara besar-besaran terjadi pada


masa kepemimpinan Esugei Bahadur Khan yang berhasil menyatukan 13 kelompok
suku. Bangsa Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani
menghadang maut dalam mencapai keinginannya. Bangsa Mongol mengalami
kemajuan pesat di bidang militer.

F. Imperium Persia, Didirikan oleh Cyrus the Great berdiri pada 550 SM melalui tahap
perkembangan yang kompleks. Kepemimpinan Cyrus kala menjadi raja ketiga ternyata
menuai popularitas. Karena, ia berhasil menyatukan bangsa berbeda latar-belakang
melalui toleransi dan pengakuan terhadap agama minoritas.
G. Imperium Amerika Serikat, Pengaruh ekonomi, militer, dan budaya Amerika Serikat di
negara lain yang berkaitan dengan ekspansi atau perluasan ke wilayah asing. Konsep
ini dipopulerkan pada masa kepresidenan James K. Polk yang membawa Amerika
Serikat ke kancah Perang Meksiko–Amerika Serikat tahun 1846.
Perjanjian-perjanjian Eropa Mengubah Konstelasi Geopolitik Dunia

Magna Carta adalah piagam yang dikeluarkan di Inggris pada tanggal 15


Juni 1215 yang membatasi monarki Inggris, sejak masa Raja John, dari kekuasaan Absolut
yang mengharuskan raja untuk membatalkan beberapa hak, menghargai beberapa prosedur
legal, menerima keinginan raja yang dapat dibatasi oleh hukum. magna carta dianggap
sebagai lambang perjuangan hak-hak asasi manusia.

Perjanjian Westphalian Perjanjian yang diselenggarakan oleh para pemimpin di benua


Eropa pada tahun 1648. Terbentuknya perjanjian westphalian menandai berakhirnya perang
30 tahun pada tahun 1618 -1648 antara Katolik dan Protestan di Eropa.
Perjanjian Westphalian  disebut sebagai tonggak lahirnya hukum Internasional modern.
perjanjian westphalian membuat banyak perubahan dalam bentuk negara modern yang
meliputi tumbuhnya representative government, terjadi revolusi industry, terjadi
perkembangan hukum Internasional, dan timbulnya prosedur-prosedur untuk menyelesaikan
konflik secara damai

Pada abad pertengahan dan sebelumnya Eropa dikuasai oleh kekaisaran Romawi.
Kaisar-kaisar Romawi memerintah secara sewenang-wenang terhadap rakyat, hal tersebut
yang mendorong rakyat meminta perlindungan dari gereja. Dan sejak saat itu gereja
mendominasi terhadap rakyat dengan kedudukan seorang paus lebih tinggi dari raja. Semua
keputusan raja harus di bawah persetujuan dari pihak gereja. Gereja sebagai episentrum di
dalam pemerintahan maupun pusat kehidupan masyarakat. Keputusan dan ketetapan gereja
menjadi sendi utama. Bahkan di saat itu gereja memiliki pasukan-pasukan misionaris yang
berfungsi menjaga ajaran dari gereja tersebut. Masyarakat harus mengikuti dari ajaran yang
dipimpin oleh gereja, ajaran di luar gereja sangat tidak diterima termasuk dengan agama
lain. Apapun yang tidak sama dengan gereja dianggap melenceng dan dijatuhi hukuman.
Seperti Galileo Galilei yang dijatuhi hukuman mati karena teorinya yang bertentangan
dengan gereja dengan matahari sebagai pusat tatasurya (heliosentris) bukannya bumi
(geosentris) yang dikemukakan oleh Ptolemeus. Pada abad pertengahan gereja juga
berpendapat bahwa bumi itu datar sehingga melarang rakyatnya untuk berpergian terlalu
jauh karena ditakutkan akan terjatuh. Pada masa itu dikenal dengan abad kegelapan di
Eropa, karena manusia saat itu dilarang berpikir yang bertentangan dengan gereja,
menyebabkan manusia menjadi tumpul.
Pada masa ini, gereja benar-benar mendominasi dengan doktrin-doktrinnya kepada
masyarakat yang harus mengutamakan kepentingan gereja diatas segalanya. Bahkan gereja
menerbitkan surat penebusan dosa untuk dijual, yaitu surat Indulgensia. Jika masyarakat
ingin dosanya hilang harus ditebus dengan membeli surat tersebut. Pengaruh jiwa zaman
pada abad pertengahan ini ada tiga, yaitu: Theosentris, providensi, dan yenseitigheit
(mementingkan kehidupan di akhirat daripada kehidupan duniawi). Ciri utama pada abad
pertengahan ialah theosentris (berpusan kepada Tuhan), dominasi gereja, dan feodalistik
(dalam kegiatan sosial ekonomi).
Dominasi gereja yang terlalu tinggi sehingga membuat orang lebih berorientasi pada
kehidupan setelah mati menimbulkan ketidakseimbangan di dalam sosial masyarakat.
Gereja yang mulai mempengarungi sistem politik menjadi masalah tersendiri. Imperium
Romawi Suci yang merupakan imperium terbesar saat itu dengan kaisarnya yaitu Ferdinand
II dan Bohemia berusaha mengurangi dominasi gereja. Ferdinand II berusaha untuk
mengurangi ritual-ritual keagamaan yang dilakukan oleh rakyatnya. Perlawanan rakyat
terhadap apa yang telah dilakukan Ferdinand II dan Bohemia menyebabkan perang yang
disebut “Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648)”. Perang melibatkan kekuatan besar di
Eropa seperti Swedia, Perancis, Spanyol dan Austria semua melakukan perlawanan
terutama di wilayah Jerman. Kekejaman yang dilakukan oleh tentara bayaran pada saat
perang menjadikan trauma tersendiri.
Pada saat Ferdinand II mulai membatasi hak keagamaan yang dinikmati oleh
rakyatnya, mereka langsung meminta bantuan kepada kaum Protestan di seluruh kekaisaran
dan negara-negara Protestan asing terkemuka seperti Inggris, Republik Belanda, dan
Denmark. Ferdinand pada gilirannya menyerukan kepada umat Katolik Jerman (dipimpin
oleh Bavaria), Spanyol, dan kepausan. Dalam perjuangan berikutnya, Ferdinand dan
sekutu-sekutunya meraih kemenangan besar di Gunung Putih (1620) di luar Praha yang
memungkinkan pemusnahan Protestan di sebagian besar tanah Hapsburg. Didorong oleh
keberhasilan ini, Ferdinand berbalik pada tahun 1621 terhadap para pendukung Protestan
Bohemia di Jerman (Perang 30 tahun di Eropa, n.d.).
Dominasi agama di Eropa pada abad pertengahan menjadi masalah yang tak
terelakkan sehingga menimbulkan berbagai macam konflik. Sistem dogmatis yang
diterapkan gereja tidak bisa diterima oleh semua kalangan. Sebagian besar konflik- konflik
yang terjadi berawal dari dominansi gereja dan kerajaan yang ada waktu itu. Tetapi, ketika
kerajaan yang berbeda pendapat dengan gereja mereka membawa isu keagamaan di dalam
meminta bantuan dan dukungan. Agama yang dianut oleh suatu raja menjadi dogmatis
kepada rakyatnya. Awalnya gereja menjadi sebuah citra dari perlawanan rakyat terhadap
suatu imperium yang membawa penderitaan. Gereja menjadi titik harapan perlawanan
rakyat terhadap feodalisasi dari kerajaan.
Ketika Eropa berada pada masa-masa kelam yang diisi dengan berbagai perang,
Perjanjian Westphalia muncul sebagai awal lahirnya pendamai di antara kaum yang terlibat
dalam perang yang berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya. Perjanjian Westphalia
juga menandai berakhirnya perang antara Katolik dan Protestan di Eropa yang berlangsung
selama 30 tahun. Perjanjian ini sedikit banyak membawa pengaruh pada dinamika politik
internasional hingga saat ini. Sekitar abad pertengahan, Eropa dilanda peperangan yang
cukup dahsyat yang melibatkan kaum Katolik dan Protestan. Perang tersebut berlangsung
selama kurang lebih tiga puluh tahun dimulai tahun 1618 hingga 1648. Perang tersebut juga
merupakan hasil dari pertentangan kedua belah pihak yang dimulai oleh Reformasi
Protestan sampai pada kontra Reformasi Katolik. Di samping aspek agama ternyata juga
terdapat persaingan dinasti Hapsbruk dan Boubron hingga pada akhirnya tercapai
Perjanjian Westphalia.
Sebelum munculnya Perjanjian Westphalia, keadaan Eropa diisi oleh berbagai
konflik yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar kala itu. Kekuatan-kekuatan
tersebut merupakan kerajaan-kerajaan yang masing-masing memiliki kuasa yang terlibat
konflik bersenjata dengan berbagai alasan. Konflik tersebut awalnya dipicu oleh
upaya pembunuhan atas Raja Bohemia pada tahun 1618, yang akhirnya menjadi
Kaisar Romawi Suci, Ferdinand II. Setelah menjabat sebagai Kaisar Romawi
Suci, Ferdinand II menerapkan nilai-nilai Katolik di setiap penjuru kerajaannya. Hal
tersebut membuat kaum Protestan memberontak. Pemberontakan itu kemudian
membawa Eropa ke dalam pergolakan perang. Perang tersebut menghancurkan
sebagian besar wilayah Eropa, terutama Jerman. Di wilayah tersebut, para kelompok
bersenjata yang tidak diberikan upah mengobrak-abrik dan menjarah banyak kota, desa,
serta pertanian. Dengan terjadinya kehancuran, korban tewas berjatuhan dengan
jumlah besar, timbulnya wabah kelaparan dan penyakit, maka muncullah
Perjanjian Westphalia sebagai akhir dari perang tiga puluh tahun yang menjadi pembawa
masa kelam di Eropa. Sebelum itu, organisasi-organisasi yang memiliki otoritas politik di
abad pertengahan di Eropa didasarkan pada tatanan hierarki yang tidak jelas. Westphalia
membentuk konsep legal tentang kedaulatan, yang pada dasarnya berarti bahwa para
penguasa, atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak lain yang
memiliki kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah
yang sama. Perjanjian ini merupakan titik awal dari dikembangkannya sistem negara
modern. Selain berakhirnya perang 30 tahun antara kaum Katolik dan Protestan,
Perjanjian Westphalia juga secara resmi mengakui kedaulatan Belanda dan Konfederasi
Swiss. Perjanjian Westphalia melibatkan Kaisar Romawi Suci Ferdinand II beserta
Kerajaan dari Spanyol, Prancis, Swedia, Belanda, dan sejumlah penguasa wilayah lain di
Eropa.
Selain mengakhiri perang tiga puluh tahun di Eropa, Perjanjian Westphalia
juga meneguhkan perubahan dalam peta politik dunia. Selain itu, perjanjian ini
juga mengakhiri upaya untuk menegakkan imperium Romawi Suci yang selama ini memiliki
pengaruh kuat atas negara-negara di dunia terutama di Eropa. Hubungan antara negara-
negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan
nasional negara itu masing-masing. Sebelumnya gereja memiliki kekuatan atas
hubungan antar-negara, dan Perjanjian Westphalia mengakhiri itu semua. Kemerdekaan
negara Belanda, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman juga diakui dalam
Perjanjian Westphalia.
Setelah munculnya Perjanjian Westphalia, susunan masyarakat internasional yang baru
didasarkan atas negara-negara nasional dan tidak lagi berdasarkan pada kerajaan-kerajaan.
Selain itu susunan masyarakat internasional juga didasarkan pada hakekat negara tersebut
bersama dengan pemerintahannya, yakni memisahkan kekuasaan negara dan pemerintahan
dari pengaruh gereja. Perjanjian Westphalia yang meletakkan dasar bagi bentuk dan hakekat
tersebut dalam susunan masyarakat internasional yang baru. Sebagai konsekuensi atas
kemunculan Perjanjian Westphalia, Kekaisaran Romawi Suci mengalami perpecahan.
Swedia mengambil kendali wilayah Baltik, kemerdekaan Belanda dari Spanyol diakui secara
penuh, dan Prancis muncul sebagai kekuatan baru.. Perjanjian Westphalia tidak lantas
membuat Eropa berhenti berperang. Prancis dan Spanyol tetap berkonflik selama
sebelas tahun berikut hingga muncul Traktat Pyrenees pada 1659. Perjanjian Westphalia
dalam Hubungan Internasional sebagai pemicu perpecahan Kekaisaran Romawi Suci dan
hadirnya negara-negara berdaulat yang baru di Eropa, Perjanjian Westphalia secara sarat
menghadirkan konsep negara-bangsa (nation-state). Selain itu muncul juga istilah
negara modern.

Daftar Pustaka:
1. http://himahiunhas.org/index.php/kajian-strategis/isu-isu-internasional/39-perjanjian-
westphalia-tonggak-negara-bangsa

2. http://regifauzi.wordpress.com/2012/04/07/perjanjian-westphalia/

3. Istanto, F., Sugeng Hukum Internasional, Penerbit Univ. Atmajaya, Yogyakarta, 1998
10

Anda mungkin juga menyukai