1. Rapid Assesment
Kaji cepat dapat dilakukan kepada sasaran / penyintas mulai dari kelompok
rentan, penyintas yang kehilangan anggota keluarga saat terjadi bencana,
penyintas yang mengalami luka berat, penyintas yang rumahnya hancur atau
rusak berat, orang dewasa, ibu hamil, penyandang disabilitas.
Asesmen dilakukan dengan teknik :
a. Wawancara terbuka
b. Wawancara tertutup dengan menggunakan instrument kaji cepat
c. Activity Daily Living Mapping
Metode ini digunakan untuk asesmen pada kelompok wanita dan pria
dewasa dengan menuliskan aktivitas penyintas sehari-hari sebelum
bencana, aktivitas saat ini setelah pengungsian, masalah dan harapan
penyintas.
d. Tools berupa body mapping
Body mapping digunakan untuk asesmen pada kelompok anak dan
remaja, dengan menggambar secara utuh bentuk manusia secara
abstrak, kemudian menuliskan apa yang mereka fikirkan, mereka lihat,
mereka dengar, mereka cium, mereka rasakan pada saat bencana, dan
menuliskan harapan mereka
e. Cerita dan menggambar pada anak
2. Intervensi
Intervensi yang dilakukan berupa
a. Intervensi individu dan kelompok
1) Teknik katarsis dan ventilation
Memfasilitasi penyintas untuk mengungkapkan perasaan yang
dialaminya sehubungan dengan bencana yang terjadi
2) Teknik support
Memberikan semangat bahwa apa yang sedang dihadapinya
sekarang bukanlah akhir dari kehidupannya
3) Teknik debriefing
Memfasilitasi penyintas untuk mengungkapkan perasaan / kesedihan
yang dialaminya sehubungan dengan bencana yang terjadi, kalau
bisa kesedihan tersebut dialami secara penuh dan utuh, tidak
tertunda
4) Teknik motivasi dan support
Mengajak penyintas untuk untuk meningkatkan kembali motivasi
hidupnya kearah ke depan bersama keluarganya
5) Play therapy (untuk anak-anak), dengan berbagai bentuk kegiatan,
Seperti bernyanyi bersama, menggambar,mendengarkan dongeng,
permainan (games), dan lain-lain dengan tujuan utama agar anak-
anak memiliki keceriaan
Program Air dan Sanitasi Darurat PMI berawal saat bencana tsunami melanda
Aceh dan beberapa kawasan di Samudera Hindia pada 2004.
Saat itu, beberapa palang merah (Perhimpunan Nasional) dari negara sahabat
seperti Palang Merah Spanyol, Perancis, dan Jerman turut berkontribusi
menangani air bersih untuk para pengungsi dengan menggunakan berbagai
peralatan pengolahan air yang mereka miliki.
Setelah operasi berakhir, para Perhimpunan Nasional ini menghibahkan
peralatan-peralatan tersebut kepada PMI untuk digunakan dalam penanganan
bencana di masa depan.
Sejak 2005, Tim Air dan Sanitasi PMI telah terlibat dalam beberapa operasi
penanggulangan bencana seperti gempa Nias 2005, letusan Merapi 2006, banjir
Pakistan 2007, gempa Sichuan Cina 2008, gempa Padang 2009, gempa Haiti
2010, banjir Wasior Papua, gempa dan tsunami Mentawai dan letusan Merapi
yang terjadi kembali pada 2010.
Untuk mendukung pelayanan air dan sanitasi, PMI mendirikan Pusat Air dan
Sanitasi Darurat PMI di Jatinangor Bandung Jawa Barat yang tidak hanya
dilengkapi dengan berbagai perlengkapan operasional dan gudang penyimpanan
mesin pengolahan air bersih, tetapi juga memiliki relawan yang ahli di bidang air
dan sanitasi.
A. Pengadaan Air.
Dalam situasi bencana mungkin saja air untuk keperluan minumpun tidak
cukup, dan dalam hal ini pengadaan air yang layak dikunsumsi menjadi paling
mendesak. Namun biasanya problema–problema kesehatan yang berkaitan
dengan air muncul akibat kurangnya persediaan dan akibat kondisi air yang
sudah tercemar sampai tingkat tertentu.
Tolok ukur kunci
1. Persediaan air harus cukup untuk memberi sedikit–dikitnya 15 liter per
orang per hari
2. Volume aliran air ditiap sumber sedikitnya 0,125 liter perdetik.
3. Jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500 meter
4. 1 (satu) kran air untuk 80 – 100 orang
B. Kualitas air
Air di sumber–sumber harus layak diminum dan cukup volumenya untuk
keperluan keperluan dasar (minum, memasak, menjaga kebersihan pribadi dan
rumah tangga) tanpa menyebabakan timbulnya risiko–risiko besar terhadap
kesehatan akibat penyakit–penyakit maupun pencemaran kimiawi atau
radiologis dari penggunaan jangka pendek.
Tolok ukur kunci ;
1. Di sumber air yang tidak terdisinvektan (belum bebas kuman), kandungan
bakteri dari pencemaran kotoran manusia tidak lebih dari 10 coliform per
100 mili liter
2. Hasil penelitian kebersihan menunjukkan bahwa resiko pencemaran
semacam itu sangat rendah.
3. Untuk air yang disalurkan melalui pipa–pipa kepada penduduk yang
jumlahnya lebih dari 10.000 orang, atau bagi semua pasokan air pada
waktu ada resiko atau sudah ada kejadian perjangkitan penyakit diare, air
harus didisinfektan lebih dahulu sebelum digunakan sehingga mencapai
standar yang bias diterima (yakni residu klorin pada kran air 0,2–0,5
miligram perliter dan kejenuhan dibawah 5 NTU)
4. Konduksi tidak lebih dari 2000 jS / cm dan airnya biasa diminum
5. Tidak terdapat dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan
pengguna air, akibat pencemaran kimiawi atau radiologis dari pemakaian
jangka pendek, atau dari pemakain air dari sumbernya dalam jangka waktu
yang telah direncanakan, menurut penelitian yang juga meliputi penelitian
tentang kadar endapan bahan–bahan kimiawi yang digunakan untuk
mengetes air itu sendiri. Sedangkan menurut penilaian situasi nampak tidak
ada peluang yang cukup besar untuk terjadinya masalah kesehatan akibat
konsumsi air itu.
C. Prasarana dan Perlengkapan
Tolok ukur kunci :
1. Setiap keluarga mempunyai dua alat pengambil air yang berkapasitas 10–
20 liter, dan tempat penyimpan air berkapasitas 20 liter. Alat–alat ini
sebaiknya berbentuk wadah yang berleher sempit dan/bertutup
2. Setiap orang mendapat sabun ukuran 250 gram per bulan.
3. Bila kamar mandi umum harus disediakan, maka prasarana ini harus cukup
banyak untuk semua orang yang mandi secara teratur setiap hari pada
jam–jam tertentu. Pisahkan petak–petak untuk perempuan dari yang
untuk laki–laki.
Bila harus ada prasarana pencucian pakaian dan peralatan rumah tangga
untuk umum, satu bak air paling banyak dipakai oleh 100 orang.
Drainase
Pada kasus banjir dan paska banjir, sering air menggenang beberapa saat bahkan hari,
maslaha drainase aalah merupakan factor penting.
Adanya sungai yang besar dalam suatu wilayah, dalam rangka menyelesaikan
permasalahan banjir lokal sistem drainase yang ada cenderung untuk langsung
mengarahkan pembuangan akhir pada sungai tersebut yang dasar sungainya berada
jauh lebih rendah dari dataran kota. Di Kota yang mengalami perkembangan, banyak
terjadi perubahan fungsi saluran, dari semula saluran irigasi menjadi saluran drainase.
Saluran drainase berfungsi membuang air ke badan air tetapi sebaliknya saluran irigasi
berfungsi mambawa air ke daerah pertanian, artinya secara karakter fisik luas
penampang basah pada saluran irigasi semakin hilir semakin sempit bahkan habis,
karena airnya terbagi habis ke sawah-sawah. Meskipun demikian saluran irigasi dirubah
menjadi drainase.
Secara umum sistem drainase terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu drainase makro dan
drainase mikro. Saluran pembuangan makro adalah saluran pembuangan yang secara
alami sudah ada yang terdiri dari sungai besar . Saluran drainase regional (makro),
adalah saluran drainase yang berawalan dari luar batas administrasi kota, awalan atau
hulunya berada relatif jauh dari batas kota. Lajur salurannya melintas dalam wilayah kota.
Saluran pembuangan mikro adalah saluran yang sengaja dibuat mengikuti pola jaringan
jalan. Pada akhirnya saluran ini bermuara pada saluran makro yang dekat dengan
saluran mikro tersebut. Saluran drainase kota (mikro), adalah saluran drainase yang
mempunyai hulu atau awalan aliran berada di dalam wilayah kota
genangan air
Beberapa wilayah kota besar seperti di Kota Bogor masuk dalam daerah rawan banjir.
Sering terjadi genangan air, sampai meluas, kenapa bisa terjadi seperti ini ? Penyebab
utama permasalahan yang terkait dengan hal ini dikarenakan kondisi sistem drainase di
kota, yaitu antara lain :
Belum terintegrasinya sistem drainase satu wilayah dengan wilayah lain disekitarnya.
Karakteristik topografi yang sangat variatif, dimana merupakan lahan pedataran
dengan kemiringan relatif landai hingga lereng agak curam dengan keterbatasan
kapasitas tampung dan laju aliran sistem drainase yang ada. Masih terbatasnya
prasarana drainase mikro dan tidak berfungsinya sistem drainase yang ada,
diindikasikan dengan munculnya areal rawan permasalahan genangan banjir &
rawan longsor.
Meningkatnya intensitas curah hujan
Karakteristik iklim dengan angka curah hujan setiap tahunan cukup, dimana selama
perioda meningkatnya angka curah hujan seringkali terjadi peningkatan debit
limpasan air permukaann. Akumulasi debit limpasan permukaan akibat meningkatnya
intensitas curah hujan yang berasal dari bagian hulu dan tengah yang langsung
terkonsentrasi masuk kedalam areal cekungan atau wadah buangan alami seringkali
menimbulkan terjadinya luapan dan genangan banjir pada areal cekungan dan lahan
yang elevasinya relatif rendah di bagian hilir.
Pendangkalan dan penyempitan jaringan drainase makro. Penurunan kapasitas
saluran drainase alamiah, umumnya terjadi akibat meningkatnya laju erosi
permukaan dan sedimentasi pada alur sungai yang relatif landai sehingga
menimbulkan masalah pendangkalan dan penyempitan berlangsung relatif cepat
menyebabkan penyusutan penampang alir saluran. Kapasitas prasarana jaringan
drainase yang sudah ada umumnya masih kurang berfungsi efektif menampung
sementara dan mengalirkan kelebihan air. Kondisi demikian juga disebabkan
kurangnya efektifnya kegiatan antisipasi O&P jaringan irigasi dan drainase.
Berubah fungsi saluran irigasi menjadi saluran drainase Perubahan penggunaan
lahan yang sangat signifikan dari budidaya kawasan pertanian, menjadi budidaya
kawasan perkotaan dan permukiman / perumahan. Seringkali saluran irigasi yang
seharusnya dimanfaatkan sebagai penyuplai air pada areal persawahan berubah
fungsi menjadi saluran drainase permukiman dan drainase jalan. Karena sistem
jaringan irigasi dan drainase tersebut saling terkoneksi, kondisi demikian
menyebabkan efektifitas fungsi dan kapasitas pelayanan saluran irigasi dan drainase
berkurang.
Mix Drain, Terjadi akibat penyimpangan perilaku pengelolaan sampah dan limbah
serta penggunaan lahan yang keliru diperkotaan/ areal pemukiman yang padat
penduduk dan pusat kegiatan perdagangan/pasar tradisionil, sehingga membebani
kapasitas normal saluran drainase sehingga harus berfungsi sebagai wadah
buangan limpasan air hujan maupun limbah domestik dan sampah padat.
Bangunan Air
Bangunan air dalam hal ini adalah bangunan yang berfungsi dan sebagai prasarana
pengaliran air, antara lain bangunan bendung, bendungan, bangunan bagi, bangunan
sadap, bangunan terjun, bangunan pelimpah, gorong-gorong, jembatan, bangunan talang
dan lain sebagainya. Secara umum kondisi bangunan air harus berfungsi dengan baik.