Anda di halaman 1dari 3

Desa Jatiluwih Populerkan Beras Merah dan Kerajinan Bambu

Masyarakat Jatiluwih Tabanan mulai mengenggali potensi produk lokal


yakni beras merah dan bambu untuk menjadi sumber pendapatan selain
mengunggulkan pemandangan sawah berundak.

I Nengah Sutirtayasa, Ketua Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih,


mengatakan selama ini persawahan Jatiluwih hanya terkenal dengan
pemandangannya. Padahal, di sana ada beberapa potensi lokal lainnya mulai dari
produksi beras merah hingga tanaman bambu yang dapat dimanfaatkan sebagai
kerajinan.

Dia berharap dengan diadakannya Jatiluwih Festival 2018, masyarakat


memiliki ruang yang semakin luas untuk memamerkan potensi lokal tersebut.
Sehingga, sumber daya manusia (SDM) lokal bisa diberdayakan.

Apalagi, selama ini sawah-sawah yang ada di Jatiluwih merupakan milik


masing-masing pribadi. Sehingga, masing-masing masyarakat Jatiluwih harus
diberdayakan. 

Nantinya,  di gelaran Jatiliuwih Festival 2018, masyarakat lokal akan terlibat


dalam pemarean stand UMKM. Setidaknya, ada sekitar 10 UMKM memamerkan
potensi lokal unggulan, yakni beras merah dan kerajinan bambu. UMKM tersebut
mulai dari ragam kuliner jajanan Bali dari beras merah, teh dari beras merah,
hingga ragam kerajinan anyaman bambu.

“Kita dari manajemen berusaha mewadahi masyarakat untuk bisa


menampilkan karyanya [kerajinan bambu dan beras merah,” katanya, Rabu
(5/9/2018).

Dia menambahkan Tabanan selama ini dikenal sebagai lumbung beras Bali
lantaran persawahan yang terkelola dengan baik salah satunya Jatiluwih.
Persawahan Jatiluwih selain memiliki pemandangan sawah berundak yang indah,
juga memiliki sistem tata kelola air yang komunal dan berkeadilan. Kondisi ini
ditunjang oleh adat istiadat masyarakat yang sangat kental.

Menurutnya, ikatan kekerabatan dan adat telah menjadikan masyarakat


bersepakat untuk mengelola persawahan dan sistem irigasinya atau subak dengan
baik. Adat dan kebudayaan ini pun berkembang menjadi tradisi yang secara turun
temurun dijalankan sebagai praktek kearifan lokal. Tradisi turun temurun ini
diwujudkan dalam Tri Hita Karana sebagai wujud harmoni antara manusia dengan
alam dan Tuhan.

“Itulah yang menjadikan festival tahun ini memang sengaja mengambil


konsep yang berbeda dengan tahun sebelumnya, yakni mengusung konsep
kreativitas dan budaya, berbeda dengan sebelumnya berfokus pada agriculture
festival,” katanya.
The village jatiluwih rice red and craft bamboo

The public jatiluwih tabanan, began about the potential prodocts local the
rice red and bamboo to be a source of income besides mengunggul the sights
paddy fields be rundar I Nengah Sutirtayasa chairman of the tourism attraction
jatiluwih said for this paddy jatiluwih with just a famous.
Wista her but there are some local potential other her start from the
production of the red rice to bamboo plants that can be untilized as a craft. He
hopped with this existing jatiluwih festival two thousand nighteen communities
have the space is getting wider to show off the potential of the local so that local
human resources can be empowered. Later his hold the festival of jatiluwih two
thousand nighteen local communities will be involved in pemarean SMES stand
at least there are about ten. SMES ranging from a varipty of culinary snacks of
brown rice tea, brown rice to a varienty of crafts woven bamboo. We are from
management trying to arrommodate people to be abls to display his masterpieces
(crafts bamboo and red rice). He added tabanan for this is known as the rice born
of bali reason rice fields that are managed by either one of his jatiluwih. Jatiluwih
rice fields in addition to have a view of the rice terrares beautiful also has a
system of water governance that are communal and equitable conditions is
supported by the costoms of the community that is very thick.
According to his hes to kinship and tradition have made the community
agreed to manage the fields and irrigation system of his or subak with the better’s
cultural enclaves an this developen into a tradition, for generation in a run as the
practice of local wisdom hereditary tradition is embodied in tri hita karana as a
from of harmony between man and native and god. That’s what makes this year’s
festival was deliberatply taking a diffent concept years before the concept of
crearivity and culture different from his prior forus on agriculture festival hes
said.

Anda mungkin juga menyukai