Anda di halaman 1dari 20

Referat

ANTIPSIKOTIK TIPIKAL

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia
Aceh Utara

Oleh :

Jihan Haura, S.Ked


2106111012

Preseptor :
dr. Mila Astari Harahap, M.Ked (KJ), Sp.KJ

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSUD CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa, karena atas segala
rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Antipsikotik Tipikal”. Penyusunan referat ini merupakan pemenuhan syarat
untuk menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF/Ilmu
Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit
Umum Cut Meutia Aceh Utara.
Seiring rasa syukur atas terselesaikannya refarat ini, dengan rasa hormat dan
rendah hati saya sampaikan terimakasih kepada:
1. Pembimbing, dr. Mila Astari Harahap, M. Ked (KJ), Sp.KJ atas arahan dan
bimbingannya dalam penyusunan referat ini.
2. Sahabat-sahabat kepaniteraan klinik senior di Bagian/SMF/Ilmu Kesehatan
Jiwa Fakultas Kedokeran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum
Cut Meutia Aceh Utara, yang telah membantu dalam bentuk motivasi dan
dukungan semangat.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu dan saya mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dalam penyempurnaan referat ini. Semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Aceh Utara, Januari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 2
2.1 Antipsikotik Tipikal ............................................................................. 2
2.2 Fisiologi ................................................................................................ 3
2.3 Golongan Antipsikotik Tipikal ............................................................ 5
2.4 Sediaan dan Cara Penggunaan Obat Antipsikotik Tipikal ................... 9
2.5 Interaksi Obat ..................................................................................... 10
2.6 Efek Antipsikotik Tipikal ................................................................... 11
2.7 Penatalaksanaan ................................................................................. 14
BAB 3 KESIMPULAN ...................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 17

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

Antipsikotik adalah antagonis dopamin dan menyekat reseptor dopamine


dalam berbagai jaras di otak. Antipsikotik ini berfokus pada mengurangi gejala
psikosis dengan cepat, memperpanjang periode kekambuhan, dan mencegah
pengulangan gejala yang lebih buruk. Pada pengobatan yang teratur pasien dapat
kembali ke dalam lingkungan sosialnya dalam waktu yang lebih cepat. Pasien yang
rutin menjalani pengobatan selama satu tahun memiliki resiko lebih kecil untuk
mengalami kekambuhan. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan
perubahan pola fikir yang terjadi pada skizofrenia (1)(2).
Antipsikotik dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan mekanisme
kerjanya, yaitu antipsikotik generasi pertama atau antipsikotik tipikal dan
antipsikotik generasi kedua atau antipsikotik atipikal. Antipsikotik tipikal sangat
efektif, tetapi sering menimbulkan efek samping yang serius. Antipsikotik tipikal
bekerja dengan cara menghambat reseptor dopamin (D2) di sistem limbik, termasuk
daerah ventral stratum. Akibat blokade dopaminergik di stratum tersebut
menyebabkan efek samping gejala ekstrapiramidal. Obat golongan ini dapat
menghasilkan efek samping ekstrapiramidal meliputi distonia akut, akatisia, gejala
parkinsonism, dan tardive dyskinesia. Contoh obat antipsikotik tipikal antara lain
haloperidol, thioridazin, thiothixen, flupenazin, trifluoperazin, klorpromazin, dan
perfenazin (3).
Pemberian obat antipsikotik tipikal umumnya pada pasien dengan gejala
positif seperti halusinasi, delusi, gangguan isi pikir dan waham. Sedangkan untuk
pasien psikotik dengan gejala negatif obat tipikal hanya memberikan sedikit
perbaikan (4).

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antipsikotik Tipikal


Antipsikotik (juga disebut neuroleptics) adalah kelompok obat-obatan
psikoaktif umum tetapi tidak secara khusus digunakan untuk mengobati psikosis,
yang ditandai oleh skizofrenia. Obat antipsikotik memiliki beberapa sinonim antara
lain neuroleptik dan transquilizer mayor. Seiring waktu berbagai antipsikotik telah
dikembangkan. Antipsikotik generasi pertama yang dikenal sebagai antipsikotik
tipikal ditemukan pada 1950-an (5).
Antipsikotik tipikal bekerja dengan menyebabkan blockade pascasinaptik
reseptor dopamine D-2 dalam susunan saraf pusat. Sistem dopaminergic sentral
yang utama ialah:
1. Sistem mesolimbik
2. Sistem tuberoinfundibular
3. System nigrostriatal
4. Jaras retinal
Kerja antidopaminergik pada sistem mesolimbik merupakan efek yang
dibutuhkan, karena dianggap sangat berperan untuk aktivitas antipsikotik obat-
obatan antipsikotik tipikal (6).
Antipsikotik tipikal terbagi menjadi 3 kelas yaitu (7):
1. Golongan phenotiazine terbagi menjadi 3 rantai yaitu:
a) Rantai aliphatic contohnya: Chlorpromazine dan levomepromazine
b) Rantai piperazine contohnya : perphenazine, Trifluoperazine, dan
Fluphenazine
c) Rantai piperidine contohnya: Thioridazine.
2. Golongan butyrophenone yaitu Haloperidol
3. Golongan diphenylbuthyl piperidine yaitu Pimozide.

2
3

Indikasi pemakaian (8):


1. Skizofrenia akut dan psikosis akut lainnya (missal, psikosis akibat
amfetamin, psikosis organik). Harus digunakan bersama litium pada
serangan manik akut pada gangguan bipolar.
2. Skizofrenia kronis.
3. Depresi berat dengan gambaran psikotik yang bermakna, gunakan bersama
dengan antidepresan.
4. Sindrom Tourette, Haloperidol adalah obat paling lazim dipakai.
Penggunaan lain:
1. Antipsikotik dapat juga digunakan untuk sementara pada beberapa kondisi
lain (missal, agitasi akut pada kondisi nonpsikotik, antiemesis, dll)
2.2 Fisiologi
Empat jalur dopamin di otak berperan dalam patofisiologi skizofrenia serta
terapi efek dan efek samping dari agen antipsikotik. Setiap jalur memiliki kerja
yang unik pada fisik, kognitif, dan psikologis. Sebagai contoh, hiperaktivitas
dopamin pada jalur dopamin mesolimbik diduga menginduksi psikosis, sehingga
mengurangi aktivitas dopamin di jalur tersebut, maka dengan memblokir reseptor
dengan obat antipsikotik, secara teoritis akan mengurangi gejala psikotik. Meskipun
blokade reseptor D2 mungkin memiliki hasil yang bermanfaat dalam satu jalur,
dapat menimbulkan masalah di bagian lain (9).
1. Jalur dopamin Nigrostriatal
Jalur nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari sistem saraf
ekstrapiramidal, mengontrol movements atau pergerakan. Jalur ini merosot
pada penyakit Parkinson, dan blokade reseptor D2 di jalur ini menyebabkan
penyakit drug-induced-movement EPS dan, akhirnya, tardive dyskinesia.
Kekurangan Dopamin serta blokade reseptor dalam jalur ini juga dapat
menyebabkan distonia dan akatisia.
2. Jalur dopamin mesolimbik
Hiperaktivitas dalam jalur dopamin mesolimbik diduga menyebabkan
psikosis dan gejala positif skizofrenia seperti halusinasi dan delusi. Jalur ini
juga diduga terlibat dalam emosi dan sensasi kesenangan (pleasure) -
4

stimulan dan kokain meningkatkan kegiatan dopamin di sini. Bahkan,


paranoid dan psikosis yang dapat diinduksi oleh penyalahgunaan stimulant
dalam jangka masa panjang, hampir tidak bisa dibedakan dari skizofrenia.
Pemblokiran hiperaktivitas pada jalur ini dapat mengurangi atau
menghilangkan gejala positif.
3. Jalur dopamin mesokortical.
Peran jalur dopamin mesokortikal, terutama pada skizofrenia, masih
diperdebatkan. Jalur ini diduga untuk mengontrol fungsi kognitif, dan
kekurangan dopamin dalam jalur ini bertanggung jawab untuk gejala negatif
dan kognitif dari skizofrenia. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah
tantangan terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis
akan menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif. Dengan kata
lain, agen antipsikotik harus dapat menurunkan dopamin di jalur
mesolimbik untuk mengurangi gejala positif tetapi meningkatkan dalam
jalur mesokortikal untuk mengobati gejala negatif dan kognitif.
4. Jalur dopamine Tuberofundibular
Fungsi normal jalur dopamin tuberoinfundibular menghambat pelepasan
prolaktin. Pada wanita postpartum, aktivitas di jalur ini menurun, sehingga
memungkinkan laktasi. Jika fungsi normal dari jalur ini terganggu,
misalnya, dengan D2-blocking obat, hiperprolaktinemia dapat terjadi,
dengan efek samping sepertigalaktorea, amenore, dan disfungsi seksual (9).

1. Jalur Nigrostriatal
2. Jalur Mesolimbic
3. Jalur Mesocortical
4. Jalur Tuberofundibular

Gambar 2. 1 Empat jalur Dopamine pada Otak Manusia


5

2.3 Golongan Antipsikotik Tipikal


1. Golongan Phenotiazine
Prototipe kelompok ini adalah Chlorpromazine (CPZ). Pembahasan
terutama mengenai CPZ dengan mengemukakan tentang fenotiazine lain
bila ada kimia. Chlorpromazine (CPZ) adalah 2-klor-N-(dimetil-
aminopropil)-fenotiazin. Derivate fenotiazine lain didapat dengan cara
substitusi pada tempat 2 dan 10 inti fenotiazin.
FARMAKODINAMIK
CPZ (Largactil) berefek farmakodinamik sangat luas, Largactil diambil dari
kata largeaction. Efek pada susunan saraf pusat, CPZ menimbulkan efek
sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh terhadap rangsang dari lingkungan.
Pada pemakainan lama, dapat timbul toleransi terhadap efek sedasi.
Timbulnya sedasi sangat tergantung dari status emosional penderita
sebelum minum obat. Chlorpromazine berefek antipsikosis terlepas dari
efek sedasinya. Refleks terkondisi yang diajarkan pada tikus hilang oleh
CPZ. Pada manusia kepandaian pekerjaan tangan yang memerlukan
kecekatan dan daya pemikiran berkurang. Aktivitas motorik diganggu
antara lain terlihat sebagai efek kataleptik pada tikus. CPZ menimbulkan
efek menenangkan pada hewan buas. Efek ini juga dimiliki oleh obat lain,
misalnya barbiturate, narkotik, meprobamat, dan klordiazepoksid. Berbeda
dengan barbiturate, CPZ tidak dapat mencegah timbulnya konvulsi akibat
rangsang listrik maupun rangsang oleh obat. Semua derivate fenotiazine
mempengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme
(efek Ekstrapiramidal).
FARMAKOKINETIK
Pada umumnya semua fenotiazine diabsorbsi dengan baik bila diberikan
peroral maupun parenteral. Penyebaran luas ke semua jaringan dengan
kadar tertinggi di paru – paru, hati, kelenjar suprarenal dan limpa. Sebagian
fenotiazin mengalami hidroksilasi dan konjugasi, sebagian lain diubah
menjadi sufoksid yang kemudian diekskresi bersama feses dan urin. Setelah
6

pemberian CPZ dosis besar, maka masih ditemukan ekskresi CPZ atau
metabolitnya selama 6 – 12 bulan (10).
Cara Kerja Obat
1) Memblokir reseptor dopamine 2, mengurangi gejala positif psikosis dan
meningkatkan perilaku lainnya.
2) Kombinasi dopamine D2, histamine H1, dan blockade M1 kolinergik di
pusat muntah dapat mengurangi mual dan muntah.
Lama Kerja Obat
1) Gejala psikotik dapat membaik dalam seminggu, tetapi mungkin perlu
beberapa minggu untuk efek penuh pada perilaku.
2) Tindakan pada mual dan muntah segera (11).
2. Golongan Butirofenon
Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania penderita psikosis
yang karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin. Reaksi
ekstrapiramidal timbul pada 80% penderita yang diobati haloperidol.
Oksipertin merupakan derivat butirofenon yang banyak persamaannya
dengan CPZ. Oksipertin berefek blockade adrenergic dan antiemetik serta
dapat menimbulkan parkinsonisme pada manusia dan katalepsi pada hewan.
FARMAKODINAMIK
Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin, tetapi butirofenon
memperlihatkan banyak sifat farmakologi fenotiazin. Pada orang normal,
efek haloperidol mirip fenotiazin piperazin. Haloperidol memperlihatkan
antipsikotik yang kuat dan efektif untuk fase mania penyakit mania depresif
dan skizofrenia. Efek fenotiazin piperazin dan butirofenon berbeda secara
kuantitatif karena butirofenon selain menghambat efek dopamin juga
menghambat turun over ratenya.
FARMAKOKINETIK
Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam
plasma tercapai dalam waktu 206 jam sejak menelan obat, menetap sampai
72 jam dan masih dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu –
minggu. Obat ini ditimbun dalam hati kira-kira 1% dari dosis yang diberikan
7

diekskresikan melalui empedu. Ekskresi haloperidol lambat melalui ginjal,


kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 5 hari sesudah pemberian dosis
tunggal (10).
Cara Kerja Obat
1) Memblokir reseptor dopamine 2, mengurangi gejala positif psikosis dan
kemungkinan perilaku agresif, eksplosif dan hiperakif.
2) Memblokir reseptor dopamine 2 di jalur nigrostriatal, meningkatkan tics
(gerakan/ucapan berulang yang diluar kendali) dan gejala lain pada
sindrom Tourette.
Lama Kerja Obat
Gejala psikotik dapat membaik dalam 1 minggu, tetapi mungkin diperlukan
beberapa minggu untuk efek penuh pada perilaku (11).
3. Golongan Diphenylbutyl piperidine
Pimozide adalah turunan diphenylbutyl piperidine dengan sifat neuroleptic
yang berguna dalam pengelolaan pasien skizofrenia kronis. Hal ini relatif
tidak menenangkan dan dapat diberikan dalam dosis tunggal harian.
Hal ini diasumsikan bahwa mekanisme pimozide adalah terkait dengan
reseptor dopaminergic pusat. Tampaknya memiliki kemampuan selektif
untuk memblokir reseptor dopaminergik sentral, meskipun mempengaruhi
onset norepinefrin pada dosis yang lebih tinggi. Efek ekstrapiramidal
neuroleptik lain terlihat juga pada pimozide, tetapi tampaknya memiliki
efek otonom lebih sedikit. Seperti neuroleptik lainnya, efek endokrin dan
perubahan EKG juga telah dilaporkan pada pimozide.
FARMAKODINAMIK
Potensiasi efek obat yang bekerja pada SSP (anestesi, opiat, alkohol, dll)
serta atropin dan insektisida organophosphorous mungkin terjadi dengan
penggunaan pimozide. Baik hewan dan manusia menunjukkan bahwa
pimozide dapat menghalangi aksi amfetamin. Oleh karena itu, penggunaan
2 obat secara bersamaan tidak dianjurkan. Karena pimozide memperpanjang
interval QT dari EKG, efek aditif pada interval QT akan diantisipasi jika
diberikan dengan obat lain, seperti fenotiazin, antidepresan trisiklik atau
8

agen antiarrhythmic, yang memperpanjang interval QT. Administrasi


bersamaan tersebut tidak boleh dilakukan.
FARMAKOKINETIK
Tingkat puncak dalam plasma manusia terjadi antara 3 dan 8 jam setelah
pemberian dan kadar plasma menurun perlahan-lahan menjadi sekitar 50%
dari tingkat puncak pada 48 sampai 72 jam setelah pemberian dosis. Dalam
studi dosis tunggal yang melibatkan sukarelawan sehat, plasma berarti paruh
pimozide tritiated (radioaktivitas total) ditemukan menjadi 29 +/-10 (SD)
jam. Dalam sebuah studi dosis ulangan durasi pendek yang melibatkan
penderita skizofrenia kronis plasma paruh berarti adalah 55 +/ -20 (SD) jam.
Ada perbedaan 13 kali lipat antarindividu di daerah di bawah kurva
konsentrasi-waktu pimozide serum dan gelar setara variasi dalam tingkat
serum puncak di antara pasien yang diteliti. Signifikansi hal ini tidak jelas
karena ada beberapa korelasi antara kadar plasma dan temuan klinis. Dalam
studi dosis tunggal, 19% (kisaran 8-32%) radioaktivitas itu diekskresikan
dalam urin dalam 24 jam. Sekitar 40 sampai 50% diekskresikan dalam urin
dan 20% dalam tinja dalam waktu 1 minggu. Metabolit utama dalam kedua
urin dan kotoran adalah 4-bis (p fluorophenyl) asam butirat. Pimozide
berubah merupakan setidaknya 50% dari radioaktivitas tinja tetapi hanya
sebagian sangat kecil dari plasma dan urin radioaktivitas.
Cara Kerja Obat
1) Memblokir reseptor dopamin 2 di jalur dopamin nigrostriatal,
mengurangi tics pada sindrom Tourette.
2) Ketika digunakan untuk psikosis, dapat memblokir reseptor dopamin 2
di jalur dopamin mesolimbik, mengurangi gejala positif psikosis.
Lama Kerja Obat
1) Bantuan dari tics dapat terjadi lebih cepat daripada tindakan
antipsikotik.
2) Gejala psikotik dapat membaik dalam 1 minggu, tetapi mungkin
diperlukan beberapa minggu untuk efek penuh pada perilaku (11).
9

2.4 Sediaan dan Cara Penggunaan Obat Antipsikotik Tipikal


Tabel 2. 1 Nama Obat Antipsikotik Tipikal (7)
No. Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran

1. Chlorpromazine Chlorpromazine (Indofarma) Tab 25; 100mg 150-600mg/h


Promactil (Combipa) Tab 100mg
Meprosetil (Meprofarm) Tab 100mg
Cepezet (Mersifarma) Tab 100mg 50-100 mg (im)
Ampul 50 mg/2cc Setiap 4-6 jam
2. Perphenazine Perpenazine (Indofarma) Tab 4 mg 12-24 mg/h
Triflafon (Schoring) Tab 2; 4; 8 mg
3. Trifluoperazine Stelazine (Glaxo-smitrh-kline) Tab 1; 5 mg 10-15 mg/h
4. Fluphenazine Anatensol (B-M Squibb) Tab 2,5; 5 mg 10-15 mg/h
5. Thioridazine Melleril (Novartis) Tab 50; 100 mg 150-300 mg/h
6. Haloperidol Haloperidol (Indofarma) Tab 0,5; 1,5; 5 mg 5-15 mg/h
Dores (Pyridam) Cap 5 mg
Tab 1,5 mg
Serenace (Pfizer-Pharmacia) Tab 0,5; 1,5; 5 mg
Lig. 2 mg/ml 5-10 mg (im) /4-6
Amp 5 mg/cc jam
Haldol (Janssen) Tab 2; 5 mg
Govotil (Guardiaan Tab 2; 5 mg
Pharmatama)
Lodomer (Mersifarma) Tab 2; 5 mg 5-10 mg (im) /4-6
Amp 5 mg/cc jam
Haldol Decanoas (Janssen) Amp 50 mg/cc 50 mg (im) /2-4
minggu
7. Pimozide Orap Forte (Janssen) Tab 4 mg 2-4 mg/h

Cara Penggunaan
Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek
klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder
(efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal).
Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis
ekivalen. Misalnya pada contoh sbb: Chlorpromazine dan Thiridazine yang efek
samping sedatif kuat terutama digunakan terhadap Sindrom Psikosis dengan gejala
dominan: gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan dan
perilaku, dll. Sedangkan Trifluoperazine, Fluphenazine, dan Haloperidol yang efek
samping sedatif lemah digunakan terhadap Sindrom Psikosis dengan gejala
dominan: apatis, menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan minat dan insiatif,
hipoaktif, waham, halusinasi, dll. Tetapi obat yang terakhir ini paling mudah
10

menyebabkan timbulnya gejala ekstrapiramidal pada pasien yang rentan terhadap


efek samping tersebut perlu digantikan dengan Thioridazine (dosis ekuivalen)
dimana efek samping ekstrapiramidalnya sangat ringan. Untuk pasien yang sampai
timbul “tardive dyskinesia” obat anti psikosis yang tanpa efek samping
ekstrapiramidal adalah Clozapine.
Apabila obat anti-psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam
dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan
obat anti-psiosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis
ekivalen-nya, dimana profil efek samping belum tentu sama.
Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis
obat anti-psikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolelir dengan baik efek
samping-nya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang (7).
2.5 Interaksi Obat
1. Antipsikosis + Antipsikosis lain = potensial efek samping obat dan tidak ada
bukti lebih efektif (tidak ada efek sinergis antara 2 obat anti-psikosis).
Misalnya, Chlorpromazine + Reserpine potensial efek hipotensif.
2. Antipsikosis + Antidepresan trisiklik efek samping antikolinergik
meningkat (hatihati pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus,
penyakit jantung).
3. Antipsikosis + ECT = dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis pada
pagi hari sebelum dilakukan ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena
angka mortalitas yang tinggi.
4. Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan
serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih
besar (dose-related). Yang paling minimal menurunkan ambang kejang
adalah obat anti-psikosis Haloperidol.
5. Antipsikosis + Antasida = efektivitas obat antipsikosis menurun disebabkan
gangguan absorbs (7).
11

2.6 Efek Antipsikotik Tipikal


Gejala Ekstrapiramidal (Extrapyramidal Syndrome)
Gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi
antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering
memberikan efek samping gejala ekstrapiramidaal yaitu Haloperidol,
Trifluoperazine, Perphenazine, Fluphenazine, dan chlorpromazine. Namun lebih
sering diakibatkan oleh obat dengan potensial tinggi yang memiliki afinitas yang
kuat pada reseptor muskarinik. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot
skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu diluar kendali traktus
kortikospinal (piramidal).
Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi
distonia akut, tardive diskinesia, akatisia, dan sindrom parkinson.
1. Reaksi distonia akut
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang
timbul beberapa menit. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah
otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai
tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik, sikap badan yang tidak biasa
hingga optistotonus (melibatkan keseluruhan otot tubuh). Hal ini akan
mengganggu pasien, dapat menimbulkan nyeri hingga mengancam
kehidupan seperti distonia laring atau diafragmatik. Reaksi distonia akut
sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai,tetapi
dapat terjadi kapan saja. Terjadi pada kira – kira 10% pasien, lebih lazim
pada pria muda dan lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang
berpotensi tinggi, seperti haloperidol, trifluoperazine dan fluphenazine .
2. Akatisia
Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap
bergerak, atau rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas
atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik
yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi
gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi,
12

pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain dari akatisisa hanya dapat
ditemukan pada kasus yang berat.
3. Sindrom Parkinson
Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah
topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan pada saat
berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat
menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan,
akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara,
penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal,
kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia negatif. Tremor
dapat diteukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang. Gaya
berjalan dengan langkah yang kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena
kekakuan otot.
4. Tardive diskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif
reseptor dopamine di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan
otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik yang
mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernapas, dan makan pasien dan
kadang mengganggu. Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis
kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Gejala
hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu
(12)(13)(14).
Sindrom Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna merupakan gabungan dari hipertermia,
rigiditas, dan disregulasi autonomik yang dapat terjadi sebagai komplikasi serius
dari penggunaan obat antipsikotik. Sindrom ini pertama kali dikenal tahun 1960
setelah observasi pasien yang diberikan obat antipsikotik potensial tinggi.
Mekanisme antipsikotik sehingga dapat menyebabkan SNM berhubungan
dengan sifat antagonism obat terhadap reseptor D-2 dopamine. Blokade pusat
reseptor D-2 pada hipotalamus, jalur nigrostriatal, dan di medulla spinalis
menyebabkan terjadinya peningkatan rigiditas otot dan tremor berkaitan yang
13

dengan jalur ekstrapiramidal. Blockade reseptor D2 hipotalamus juga


menghasilkan peningkatan titik temperatur dan gangguan mekanisme pengaturan
panas tubuh. Sementara itu efek antipsikotik di perifer tubuh menyebabkan
peningkatan pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma sehingga terjadi
peningkatan kontraktilitas yang juga dapat berkontribusi dalam terjadinya
hipertermia, rigiditas, dan penghancuran sel otot.
Gambaran gejala klinis SNM dapat berupa:
a) Disfagia
b) Resting tremor
c) Inkontinensia
d) Delirium yang berkelanjutan pada letargi, stupor hingga koma (level
kesadaran yang fluktuatif)
e) Tekanan darah yang labil/berubah-ubah
f) Sesak nafas, takipnea
g) Agitasi psikomotrik
h) Takikardia dan hipertermia (demam tinggi)
i) Rigiditas
Efek Hormonal
Obat psikotik tipikal yang digunakan dalam jangka waktu yang panjang dapat
menyebabkan peningkatan produksi hormon prolaktin terutama pada wanita.
Blokade pada traktur tuberoinfundibular yang terproyeksikan ke hipotalamus
dan kelenjar hipofisis mengakibatkan berbagai efek samping neuroendokrine, yakni
peningkatan pelepasan hormone prolaktin.
Prolaktin serum yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi seksual pada
wanita maupun pria yang dapat bermanifestasi sebagai galaktorrhea, amenorrhea
dan poembesaran payudara pada wanita, gangguan fungi ereksi dan pencapaian
orgasme, gangguan libido, impotensi, dan ginekomasti pada pria (5)(15).
14

Gambar 2. 2 Efek Obat Antipsikotik (7)

2.7 Penatalaksanaan
Gejala Ekstrapiramidal (Extrapyramidal syndrome)
Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani.
Penghentian obat-obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi
harus dilakukan sesegera mungkin. Pemberian terapi antikolinergik merupakan
terapi primer yang diberikan. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan
penanganan cepat dan agresif. Umumnya diberikan Benztropin dengan jalur
intravena atau difenhidramin intramuskuler.
Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan antikolinergik dan
amantadin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan
lorazepam.
Untuk sindrom Parkinson diberikan agen antikolinergik. Sementara untuk
tardive diskinesia ditangani dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana
untuk dosis medikasinya. Penggunaan golongan Benzodiazepin dapat mengurangi
efek gerakan involunter pada banyak pasien.

Gambar 2. 3 Obat-obat Antiparkinson Antikolinergik (8)


15

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM)


Penanganan yang paling utama bila pasien mengalami SNM adalah
penghentian terlebih dahulu konsumsi obat-obatan antipsikotik. Gejala akan
berkurang dalam 1-2 minggu. Untuk mempertahankan fungsi organ-organ vital
tubuh dan mencegah dari komplikasi yang lebih buruk perlu diperhatikan untuk
menjaga kestabilan sirkulasi dan ventilasi pasien, temperatur yang meningkat
diatasi dengan pemberian antipiretik dan resusitasi cairan secara agresif dan
mengontrol keseimbangan cairan bila terdapat tanda yang mengarahkan
kemungkinan terjadi gagal ginjal. Terapi farmakologi yang diberikan yakni
bromocriptine yang merupakan agonis dan prekursor reseptor dopamine (10)(16).
BAB 3
KESIMPULAN

Antipsikotik tipikal merupakan golongan obat yang memblokade dopamine


pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (dopamine D-2 receptor antagonist). Walaupun efek blokade
reseptor dopamine D-2 di mesokortikal dan mesolimbik dipercaya sebagai terapi
pada gangguan psikotik namun juga menjadi penyebab utama timbulnya berbagai
efek samping gangguan kognitif dan perilaku.

Efek samping yang mungkin terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal


dapat berupa gangguan fungsi kognitif, efek sedatif yang mungkin tidak diharapkan
pada pasien yang masih bisa aktif bekerja, dan efek antikolinergik berupa mulut
kering dan hipotensi postural. Efek gangguan hormonal dapat berupa amenorrhea
pada wanita, gangguan fungi ereksi dan pencapaian orgasme pada pria, gangguan
libido, impotensi, dan ginekomasti. Efek samping yang perlu diperhatikan yakni
gangguan ekstrapiramidal (extrapyramidal syndrome) berupa reaksi distonia akut,
tardive diskinesia, akatisia, dan sindrom Parkinson. Sedangkan efek samping yang
perlu diwaspadai dan memerlukan tindakan segera dan agresif yakni Sindrom
Neuroleptik maligna yang bila tidak segera ditangani dapat menyebabkan kematian.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Amir N. Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia.


Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2013.
2. Zygmunt A, Mechanic D, Offson M, Boyer CA. Interventions to Improve
Medication Adherence in Schizophrenia. Am J Psychiatry. 2002;1653–64.
3. Yulianty M., Cahaya N, Srikartika V. Studi Penggunaan Antipsikotik dan
Efek Samping pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum
Kalimantan Selatan. J Sains Farm Klin. 2017;
4. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2001.
5. Meltzer Y. Herbert. Antipsychotic and Anticholinergic Drugs. Michael G
Gelder, Juan J López-Ibor, Jr Nancy Andreasen New Oxford Psychiatry.
2000;Chapter 6.2.5.
6. Basant K. Puri, Paul J. Laking, Ian H. Treasaden. Buku Ajar Psikiatri.
Jakarta: EGC; 2011.
7. Maslim R. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta: PT. Nuh Jaya;
2001. 23–30 p.
8. Davod A. Tomb. Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGC; 2004.
9. Goldstien, Menek, Ariel Y. Deutch. Dopaminergic mechanisme in the
pathogenesis of skizofrenia. FASEB J. 2013;
10. George W, Arana JF. Antipsychotic Drugs. Handb Psychiatr Drug Ther.
2000;
11. Stephen M. Stahl. Essential Psychopharmacology The Prescriber’s Guide.
Singapore: Markono Print Media Pte Ltd; 2006.
12. Kent R. Olson. Poisoning and Drug Overdose. The United States Of
America: Appleton and Lange; 1994.
13. Boland R, Verduin ML. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry
Twelfth Edition. Vol. 59, Postgraduate Medical Journal. North American:
Wolters Kluwer Health; 2021. 542–542 p.
14. Maharatih A, Nuhriawangsa I, Sudiyanto A. Psikiatri Komprehensif. Jakarta:
EGC; 2015.
15. Uretsky PDS. Antipsychotic Drugs. Gale Encyclopedia Medicine. 2000;
16. Wilkatis John, Teresa M. HN. Classic Antipsychotic Maedications.
Psychopharmacology. England: American Psychiatric Publishing; 2004.

17

Anda mungkin juga menyukai